Ceritasilat Novel Online

Kucing 2


Fear Street Kucing Bagian 2



Aku juga tidak terlalu peduli.

   Lupakan, pikirku.

   Lupakan dia.

   Aku berbalik dan membiarkan pintu menutup agak keras di belakangku.

   Kit tinggal di Canyon Road.

   Kami berjalan dengan santai menyusuri jalan yang dipagari pepohonan, bercakap-cakap dengan nyaman, seakan-akan kami memang sudah berteman selama ini.

   Mobil-mobil melintas lewat.

   Beberapa orang membunyikan klakson ke arah kami, tapi aku bahkan tidak berpaling untuk melihat siapa yang berusaha menarik perhatian kami.

   Aku merasa sangat bahagia.

   Ada sesuatu yang hebat tengah berlangsung antara Kit dan aku.

   Kami berbelok memasuki jalur masuk ke rumahnya.

   Ia tinggal di sebuah rumah bata lama yang dinding depannya ditumbuhi ivy.

   "Kau mau mampir sebentar?"

   Tanya Kit.

   "Atau kau harus pulang untuk makan malam?"

   "Masih agak lama,"

   Jawabku gembira. Kit membuka pintu dan melangkah masuk.

   "Apa yang kautunggu?"

   Aku mengikutinya masuk ke dalam. Ia menutup pintu di belakangku. Aku melirik ke sekeliling ruang depan. Ada tangga yang menuju lantai dua. Sebuah lorong panjang menuju dapur. Di sebelah kiri terdapat ambang pintu melengkung menuju ruang duduk.

   "Rumahmu bagus,"

   Kataku mengomentari.

   Lalu aku melompat sewaktu seekor kucing hitam berlari menuruni tangga ke arah kami.

   Kudengar erangan kucing di sebelah kiriku.

   Seekor kucing belang melesat dari ruang duduk.

   Dua ekor anak kucing putih dengan bulu-bulu kaku berderap di lorong dari dapur.

   Beberapa meter di depan, seekor kucing kelabu tengah duduk memelototi diriku.

   Aku membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.

   Tapi sebelum aku sempat bicara, kucing-kucing tersebut melengkungkan punggung dan membuka mulut, memperdengarkan desisan melengking menakutkan.

   Chapter 15

   "SINGKIRKAN mereka!"

   Lolongku. Kit tertawa.

   "Marty -tenang. Mereka cuma lapar."

   Bisa kurasakan wajahku berubah memerah. Kedua kakiku gemetar. Kuharap Kit tidak melihat betapa ketakutannya diriku.

   "Eh... sesudah kejadian dengan kucing di sekolah, kurasa aku agak kacau,"

   Kataku mengakui.

   "Aku dengar kejadiannya,"

   Kata Kit. Ia harus berteriak, karena kucing-kucingnya masih terus mendesis-desis.

   "Itu kecelakaan -benar?"

   "Yeah,"

   Jawabku dengan perasaan tidak nyaman. Kit melemparkan ranselnya ke lantai.

   "Kau belum mau pergi, bukan? Mungkin kucing-kucing ini akan tenang begitu mereka sudah mengenalmu."

   Ia tidak ingin aku pergi. Sulit dipercaya! Kit benar-benar menyukai diriku. Kalau saja kami tidak sedang dikelilingi kucing-kucing yang mendesis-desis menjengkelkan itu.

   "Kau memelihara berapa ekor kucing?"

   Tanyaku. Ia meringis.

   "Beberapa."

   Pandanganku menyapu ke sekeliling ruangan. Kucing-kucing ada di mana-mana.

   "Aku... aku benar-benar harus pergi,"

   Kataku tergagap.

   "Kalau aku tidak berhasil mendapatkan nilai bagus dalam ulangan matematika...."

   Kit tampak kecewa. Aku merasa tidak enak. Tapi kucing-kucing itu -mereka benarbenar membuatku merinding. Dan aku begitu alergi terhadap mereka. Aku sudah mulai merasakan hidungku tersumbat dan wajahku mulai membengkak.

   "Mungkin lain kali,"

   Kataku sambil bergerak ke pintu.

   "Akan kutelepon atau apa. Oke?"

   Kucing yang hitam menyapukan tubuhnya ke kakiku. Hewan tersebut melengkungkan punggungnya dengan kaku sewaktu melewati diriku. Seekor kucing putih gemuk dengan ekor sangat panjang menjerit marah dari tangga.

   "Kurasa... kurasa sebaiknya mereka kuberi makan dulu,"

   Kata Kit sambil menggeleng.

   "Aneh sekali, Marty. Aku tidak mengerti. Mereka tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya."

   "Aku... aku memang memiliki hubungan khusus dengan kucing,"

   Kataku bergurau. Lalu aku lari keluar dari sana secepat mungkin. ******************************************** "Kau yakin ini gagasan bagus?"

   Bisik Barry.

   "Kita bisa mendapat kesulitan besar."

   "Yang benar saja,"

   Sergah Dwayne.

   "Ini akan dicatat dalam sejarah sebagai lelucon paling hebat yang pernah dilakukan di SMA Shadyside."

   "Marty?"

   Tanya Barry, menunggu pendapatku.

   "Kita harus melakukannya,"

   Jawabku.

   "Gayle layak mendapatkannya, man. Dia masih belum mau melupakan masalahnya. Setiap kali bertemu, dia bersikap seakan-akan kita tidak pernah ada. Tulisannya di koran tentang pengadilan Sidang Murid-ku adalah kesalahannya yang terakhir."

   Kami seharusnya berada di ruang loker, bersiap-siap berlatih. Tapi gagasan yang tiba-tiba melintas dalam benak Dwayne perlu segera dilaksanakan. Klub Hak-hak Hewan selalu rapat di ruang kelas di lantai pertama sepulang sekolah, setiap hari Selasa.

   "Saatnya memberi Gayle pelajaran,"

   Bisikku. Barry masih tampak khawatir.

   "Ayolah, Barry,"

   Desak Dwayne.

   "Marty yang tertimpa abu panas seorang diri karena kejadian dengan kucing itu. Kita harus membalasnya, bukan?"

   Barry mengangguk.

   "Baik."

   Aku berdiri di balik pintu tertutup ruang kelas tempat Klub Hak-hak Hewan tengah berkumpul.

   Bisa kudengar suara Gayle berceloteh di dalam.

   Pada suatu saat, kudengar ia menyebut-nyebut namaku.

   Keraguan apa pun yang kurasakan akan tindakan kami seketika menghilang.

   Kulihat arlojiku.

   Pukul tiga lewat tujuh menit.

   Barry dan Dwayne akan berada di jendela yang terbuka sekarang ini.

   Sebentar lagi, pikirku.

   Lalu jeritan-jeritan mulai terdengar.

   Kudengar jeritan melengking dan teriakan-teriakan terkejut.

   "Singkirkan mereka dari sini!"

   Jerit seorang gadis.

   "Singkirkan dariku!"

   "Tikus!"

   Teriak seorang cowok.

   "Ratusan ekor!"

   Yang benar saja, pikirku.

   Seringai merekah di wajahku.

   Barry, Dwayne, dan aku telah mencuri selusin tikus putih dari laboratorium biologi dan menyimpan mereka dalam kotak.

   Pada pukul tiga lewat tujuh menit, Dwayne melemparkan mereka melalui jendela ruang kelas tempat Klub Hak-hak Hewan sedang rapat.

   Pintu terempas membuka dan para anggota klub berhamburan keluar ke lorong.

   Kulihat dua ekor tikus berlari melewatiku, menyusuri lorong.

   Aku pindah ke ambang pintu yang telah terbuka.

   Gayle dan dua orang gadis lainnya tengah mengejar-ngejar tikus.

   "Keluarkan mereka!"

   Jerit Gayle. Pada saat itu ia melihatku.

   "Kau yang melakukan ini?"

   "Tentu saja tidak,"

   Jawabku. Tapi sulit untuk menahan tawa. Kudengar tawa dari luar jendela. Dwayne dan Barry. Gayle melirik tajam ke arah mereka. Keduanya merunduk. Tapi Gayle lari ke jendela.

   "Aku lihat kalian!"

   Teriaknya.

   "Aku lihat kalian, orang tolol! Kalian dalam masalah besar!"

   "Dan kau juga!"

   Salaknya padaku.

   "Aku?"

   Tanyaku dengan nada tidak berdosa.

   "Apa yang sudah kulakukan?"

   "Aku akan membalasmu, Marty,"

   Kata Gayle.

   "Ini belum selesai. Tidak dalam waktu dekat."

   "Memang,"

   Jawabku.

   "Memang." ********************************************** Kuceritakan kejadian tersebut pada Kit di The Corner malam harinya. Ia tertawa hingga keluar air mata.

   "Kau jahat,"

   Katanya memarahi.

   "Tapi lucu juga."

   Kejadian memalukan di rumahnya dengan kucing-kucingnya kemarin telah menjadi sejarah.

   Ia berjanji untuk membantuku belajar matematika, dan kuajak ia ke bioskop hari Sabtu malam.

   Ia menjawab ya.

   Lalu ia menciumku! Karena kami sedang duduk di The Corner, ciumannya hanya sekilas.

   Selama sedetik aku memikirkan Jessica, yang telah melambai padaku di lorong pagi itu.

   Lalu seluruh pemikiran tentang Jessica menghilang.

   Hanya Kit Morrissey gadis yang bisa kupikirkan.

   Kemudian, sewaktu kutemani ia berjalan kaki pulang, ia tidak mengajakku masuk ke dalam.

   Mungkin ia tidak ingin mengulangi kejadian kemarin malam.

   Well, aku juga tidak ingin.

   Sambil menggumam sendiri, aku berbalik meninggalkan Canyon Drive dan menuju rumahku sendiri.

   Sewaktu tiba di Fear Street, awan telah menutupi matahari.

   Udara berubah sejuk.

   Tiga blok dari rumah, aku mendengar meongan pertama.

   Aku menghirup napas dan melirik ke belakangku.

   Seekor kucing hitam tengah berderap di tengah jalan.

   Aku berbalik dan mempercepat langkah.

   Rumahku hanya dua setengah blok jauhnya.

   Kudengar desisan di sebelah kiriku.

   Pandanganku melesat ke sana.

   Seekor kucing gelandangan kurus melesat menyeberangi halaman rumput di depanku.

   Aku semakin mempercepat langkahku.

   Kucing hitam di belakangku mendesis.

   Aku mulai berlari-lari kecil.

   Sebuah Lexus keemasan yang mengilat diparkir di tikungan blok berikutnya.

   Aku melesat menyeberangi jalan dan berderap melewati mobil tersebut.

   Saat melirik ke belakang, kulihat sepasang kucing Siam melompat turun dari sebatang pohon ek.

   Mereka mendarat di atap Lexus.

   Melompat turun ke aspal.

   Dan bergabung dengan kucing hitam, kucing gelandangan, dan seekor kucing belang.

   Aku menyadari bahwa mereka sedang mengikutiku.

   Mereka mengejarku! Kucing-kucing tersebut berlari.

   Aku melesat sepanjang jalan dan melintasi persimpangan.

   Aku bisa melihat rumahku di depan.

   Kakiku terayun-ayun.

   Keringat menetes dari dahiku.

   Jantungku berdebar-debar kencang.

   Kuberanikan diri untuk melirik ke belakang bahuku.

   Sekarang ada paling sedikit sepuluh ekor kucing.

   Sepuluh ekor kucing yang mengeong-eong, berlari kencang.

   Mendekat.

   Sepuluh ekor kucing mengejarku, dengan mata kemilau, cakar menghantam aspal tanpa suara...

   Tanpa suara...

   bagai hantu.

   Chapter 16 APA aku bisa mengalahkan mereka? Harus kucoba.

   Mereka hanya kucing, kataku pada diri sendiri.

   Atau bukan? Sejak kapan kucing bepergian dalam rombongan? Dan sejak kapan kucing mengejar-ngejar orang? Lututku berdenyut-denyut saat berlari.

   Sisi tubuhku terasa sakit.

   Aku melirik ke belakang -dan melihat paling sedikit selusin kucing.

   Mata mereka menyala bagai api.

   Cakar-cakar menghantami trotoar.

   Ekor mereka kaku dan tegak lurus.

   "Ohhhh."

   Aku mengerang pelan. Aku terengah-engah menghela napas. Jalur masuk rumahku tinggal beberapa meter lagi jauhnya.

   "Hei!"

   Jeritku saat merasakan sebuah cakar menancap ke bagian belakang kakiku.

   Aku berbalik dan melihat dua ekor kucing melompat ke punggungku.

   Aku membungkuk dan mereka melayang melewati kepalaku.

   Sambil tetap merunduk, dengan kaki berdenyut-denyut, aku berlari menyusuri jalur masuk.

   Aku menerobos sepanjang rumpun mawar yang berjajar di halaman.

   Dan menerjang ke serambi depan.

   Kusambar tombol pintu.

   Memutarnya.

   Macet.

   "Ohhh."

   Terkunci.

   Tentu saja, pintunya terkunci.

   Kujejalkan tanganku ke saku celana jeans.

   Mencari-cari kunci.

   Apa aku bisa masuk ke dalam sebelum kucing-kucing itu menyerang? Kucabut kuncinya -dan menjatuhkannya.

   Kunci tersebut berdentang di serambi dan berhenti di tepi keset selamat datang.

   "Tidak!"

   Jeritku. Dan membungkuk untuk mengambilnya. Aku berbalik untuk melihat apakah kucing-kucing tersebut hendak menyerang. Kucing-kucing... Tidak ada kucing.

   "Hah?"

   Aku menelan ludah dengan susah payah. Kucing-kucing tersebut telah lenyap. Menghilang.

   "Ba... bagaimana mungkin?"

   Aku merasa seperti tercekik.

   Tapi sebenarnya aku tidak peduli bagaimana mereka bisa menghilang secepat itu.

   Atau kenapa mereka muncul.

   Aku hanya ingin masuk ke dalam.

   Di dalam, di mana aku aman.

   ******************************************** Kuduga aku akan mendapat masalah karena kejadian dengan tikus-tikus tersebut.

   Tapi tidak ada yang mengatakan apa-apa mengenai kejadian itu.

   Gayle berpapasan denganku di lorong dan bahkan tidak bersedia memandang ke arahku.

   Jessica juga bersikap dingin.

   Ia pasti sudah mendengar tentang hubunganku dengan Kit.

   Mungkin dari Riki.

   Tapi tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mengatasinya.

   Kuharap Jessica tidak terlalu sakit hati.

   Ia tampaknya manis.

   Aku sangat menyukainya -tapi Kit sangat memesona.

   Dalam satu pelajaran di sore hari, Riki mencibir ke arahku.

   Lalu ia mengangkat tangannya dan menirukan gerakan mencakar di udara.

   Kemudian aku berlatih dengan regu basketku untuk pertama kali sejak seminggu.

   Barry, Dwayne, dan aku kembali mencatat nilai seperti biasa, seakan-akan aku tidak pernah tidak berlatih.

   ********************************************* Kit dan aku belajar matematika di rumahku hingga pukul sembilan malam hari itu.

   Sebelum ia pulang, kami kembali berciuman.

   Lagi dan lagi.

   Satu-satunya saat aku merasa tidak khawatir akan apa yang sudah menimpa diriku adalah sewaktu menghabiskan waktu bersama Kit.

   Ia menyebabkan segalanya terasa baik-baik saja.

   ********************************************** Telepon berdering.

   Mataku tersentak membuka.

   Kulirik jam di samping ranjang.

   01.37 pagi.

   Siapa yang menelepon sepagi ini? Kuangkat tangkai telepon.

   "Halo?"

   Kataku dengan suara masih mengantuk. Sunyi.

   "Haloooo?"

   Kataku dengan nada jengkel.

   "Meong."

   "Riki, hentikan,"

   Sergahku.

   "Meeooong."

   "Riki?"

   Tanyaku. Sunyi.

   "Hei -siapa ini?"

   Jeritku marah.

   Terdengar desisan melengking seekor kucing.

   Kututup teleponnya.

   Suara desisan tersebut terngiang di telingaku.

   Aku harus menarik selimut hingga menutupi kepala agar tidak menggigil.

   Chapter 17 MATA pelajaran bahasa Inggris berlangsung tepat sesudah makan siang di hari Jumat.

   Itu artinya selama setengah pelajaran aku harus berjuang agar tetap terjaga, mengantuk karena baru saja makan.

   Aku duduk di bagian belakang kelas dan menatap ke awanawan gelap dan hujan lebat di luar, dan berharap ada dua potong tusuk gigi untuk mengganjal kelopak mataku.

   Sewaktu bel berbunyi, kuambil buku-bukuku dan berjalan sambil tetap mengantuk ke lorong.

   Laboratorium biologi berada di sisi seberang gedung sekolah, dan dua lantai di bawah kelas Inggris.

   Aku bergegas melangkah sepanjang lorong dan mencoba mengingat di mana kusimpan pekerjaan rumah biologiku.

   Kudorong pintu tangga bersama beberapa lusin anak lainnya, dan menuruni tangga.

   "Hei, Marty,"

   Kata seseorang.

   "Semoga beruntung nanti malam."

   Di tikungan tangga di antara lantai, murid-murid berlalu lalang melewati dua orang yang tengah bertengkar. Dwayne dan Riki. Bukannya memanggil mereka, aku menutup mulut dan terus saja berjalan.

   "Apa maksudmu, Dwayne?"

   Kudengar Riki menyentak.

   "Kata yang mana yang tidak kaumengerti, Riki?"

   Jawab Dwayne kasar.

   "Kau membuat Marty tidak tenang. Sudah saatnya menghentikan semua omong kosong tentang kucing itu. Hentikan tingkahmu! Mengerti? Marty harus memusatkan perhatian untuk pertandingan basket."

   "Oh, aku mengerti sepenuhnya,"

   Kata Riki sambil mencibir saat aku melewati mereka.

   "Kau sekarang mengancamku, bukan? Apa yang akan kaulakukan kalau aku terus mengganggu Marty?"

   "Memberitahu seluruh sekolah bahwa kami kalah karena dirimu,"

   Kata Dwayne.

   Aku bergegas meninggalkan mereka.

   Sepanjang pelajaran biologi, aku terus memikirkan pertengkaran mereka.

   Kuputuskan untuk berbicara dengan Dwayne.

   Untuk memberitahunya agar tidak mencampuri urusanku.

   Tidak peduli seberapa baik Dwayne sebagai teman, aku tidak ingin ia membela diriku.

   ********************************************* Riki tidak datang menyaksikan pertandingan.

   Aku merasa senang.

   Tapi sewaktu reguku berlari-lari memasuki lapangan, kulihat Gayle duduk di panggung penonton.

   "Apa yang dilakukannya di sini?"

   Gumamku pada Barry, yang berlari di sebelahku.

   "Mungkin untuk memelototi kita,"

   Barry menggerutu sambil menggeleng.

   Dalam pertandingan ini Dwayne, Barry, dan aku bermain bersama lebih baik daripada sebelumnya.

   Seluruh anggota regu sisanya juga bermain dengan lebih bersemangat daripada biasanya, dan kami menghancurkan Truesdale Mustangs dengan 67 banding 42.

   Kurasa aku belum pernah merasa lebih bahagia atau lebih bergairah lagi.

   Kemenangan tersebut memberi kami kesempatan untuk ikut dalam turnamen negara bagian.

   Kurasa kami tidak mungkin kalah.

   Tidak dengan komposisi yang sekarang.

   Yang tidak kuketahui adalah komposisi tersebut bakal berubah.

   Chapter 18 KAMI menyelenggarakan pesta besar-besaran di ruang loker.

   Lalu semua orang pulang ke rumah masing-masing, penuh semangat dan siap berlatih hari Senin besok.

   Dalam perjalanan pulang, aku merasa begitu bergairah hingga hampir-hampir tidak bisa melihat dengan benar.

   Aku penasaran, apakah keikutsertaan regu basket kami dalam turnamen akan membantuku memenangkan beasiswa tersebut.

   Lebih baik begitu, pikirku.

   Beasiswa itu sangat berarti bagiku.

   Tentu saja, nilai juga penting.

   Nilai! Buku-bukuku ada di ransel, yang entah tersimpan dalam ruang loker atau tergeletak di gimnasium.

   "Sial!"

   Aku merengut.

   Lalu kuputar mobil kembali di tengah-tengah Division Street dan melaju ke sekolah.

   Sewaktu memasuki tempat parkir murid, semua lampu telah dipadamkan.

   Kurasa bahkan petugas kebersihan pun sudah pulang.

   Sorotan lampu depan mobilku menyapu bagian belakang sekolah.

   Sesuatu kemilau tertimpa cahaya.

   Pintu belakang gimnasium tampak menggantikan dinding bata.

   Rambut merah Gayle melambai-lambai di belakangnya saat ia melesat menyeberangi tempat parkir.

   Kuawasi ia menghilang ke dalam kegelapan.

   "Hah?"

   Gumamku.

   "Apa yang dilakukannya di sini?"

   Aku hampir-hampir tidak bisa melihat wajahnya.

   Tapi tampaknya ia tengah panik.

   Aku penasaran, apakah ia sedang memburu seseorang.

   Aku melangkah turun dari mobil dan mencari-carinya.

   Tapi suasana terlalu gelap untuk melihat lebih jauh dari tempat parkir.

   Aku berlari-lari kecil ke pintu yang tadi dibiarkan terbuka oleh Gayle.

   Bagus, pikirku.

   Tanpa ada bagian perawatan untuk membuka pintu, aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam.

   Aku melangkah memasuki lorong gelap.

   Sebuah lampu kuning menyala di tengah-tengah antara pintu keluar dan pintu masuk ganda gimnasium.

   Sepatu sneaker-ku mencicit di lantai ubin.

   Suaranya menggema di aula yang kosong.

   Angin mengembus pintu hingga menutup di belakangku -dan aku melompat karenanya.

   "Whoa. Tenang,"

   Kataku sendiri keraskeras.

   Aku melangkah memasuki gimnasium yang gelap dan merabaraba menuju ke kanan.

   Telapak tanganku menyusuri dinding hingga, akhirnya, menemukan saklar lampu.

   Kujentikkan saklar tersebut.

   Cahaya membanjiri gimnasium.

   Kulihat ranselku di salah satu sudut panggung penonton sisi jalan.

   Aku mendesah lega dan berlari-lari kecil ke sana.

   Sewaktu membungkuk untuk mengambilnya, kulihat ada sesuatu di bawah panggung penonton.

   Sepatu? Tidak.

   Aku memicingkan mata lebih keras.

   Ada sesuatu yang menempel pada sepatu tersebut.

   Kaki? "Ohhhh."

   Aku mengerang pelan tanpa tertahan.

   Ranselku terjatuh dari tangan.

   Kudekati sosok tersebut, dan berlutut agar bisa melihat ke bawah panggung penonton.

   Tanganku meraba ke sesuatu yang basah.

   Dan likat.

   Kucabut tanganku.

   Darah.

   Masih hangat.

   Tubuhku menggigil tanpa tertahan.

   Tanpa berpikir, kusapukan tangan ke celana jeans.

   Dan ternganga menatap tubuh yang tergeletak di bawah panggung penonton.

   Tercincang habis.

   Wajahnya, kulitnya, tercakar habis-habisan.

   Kemejanya robek-robek.

   Tertutup darah.

   Berlumuran darah.

   Tapi aku masih bisa melihat bahwa kemeja tersebut kemeja Hawaii.

   "Dwayne!"

   Dwayne, tergeletak tewas dan tercincang. Terendam darahnya sendiri. Tercincang habis.

   "Tidaaaaaak,"

   Lolongku. Dan mengatasi lolonganku, dari panggung penonton seberang, kudengar seekor kucing mengeong. Chapter 19

   "KENAPA kau tidak memberitahu polisi bahwa Gayle ada di sana?"

   Tanya Barry dengan marah sesudah polisi meninggalkan rumahku.

   "Bukan dia pelakunya,"

   Kataku bersikeras.

   Polisi mula-mula menanyaiku di sekolah, lalu mengunjungi rumahku malam itu juga.

   Ibuku sudah menghubungi ibu Barry dan menceritakan apa yang telah terjadi.

   Barry muncul sewaktu polisi masih di rumah, dan mereka juga menanyai dirinya.

   Tadinya aku takut polisi menduga akulah yang telah membunuh Dwayne -karena ada darahnya di pakaianku.

   Tapi tampaknya mereka tidak menuduhku begitu.

   Setelah polisi pergi, Barry dan aku tidak berbicara selama beberapa menit.

   Aku bahkan tidak mampu memandangnya.

   Tidak ada lagi Three Stooges.

   Tidak ada lagi Tiga Pendekar.

   Tidak ada lagi kemeja Hawaii.

   Tidak ada lagi lelucon konyol.

   Dwayne sudah tidak ada lagi.

   "Dari mana kau tahu bukan Gayle pelakunya?"

   Kata Barry mendebat.

   "Dia orang terakhir yang ada di sana, bukan?"

   Aku duduk di sofa ruang duduk, menepuk-nepuk kepala Teddy. Barry mondar-mandir di karpet.

   "Gayle bukan pembunuh,"

   Kataku.

   "Kau tahu dia tidak mungkin membunuh siapa pun."

   "Apa kau tidak pernah menyaksikan berita, man!"

   Teriak Barry.

   "Itu yang selalu dikatakan teman-teman dan keluarga pembunuh! 'Oh, dia tampaknya gadis yang baik!' Salah!"

   "Kau tidak melihat mayat Dwayne,"

   Kataku pelan. Tenang.

   "Kau tidak melihat apa yang menimpa dirinya. Gayle tidak mungkin melakukannya. Kau mengerti?"

   Barry menunduk menatap kakinya.

   "Man, aku... maafkan aku,"

   Katanya tergagap.

   "Aku tidak memikirkan bagaimana perasaanmu, menemukan Dwayne seperti itu."

   Ia mengangkat kepalanya.

   "Jadi, siapa yang membunuh Dwayne kalau bukan Gayle?"

   Tanyanya.

   Aku angkat bahu.

   Tidak mungkin aku memberitahunya tentang kucing yang kudengar tepat sesudah menemukan mayat Dwayne.

   Tentang segala sesuatu yang sudah menimpa diriku sejak kucing di gimnasium tersebut mati.

   Barry tahu ada yang tidak beres.

   Tapi kalau ia kuberitahu bahwa mungkin seekor kucing yang telah membunuh Dwayne, ia pasti akan menyebutku sinting.

   ********************************************* "Oh, Marty, mengerikan,"

   Kata Kit sambil mengerang.

   "Maafkan aku. Ada yang bisa kubantu?"

   "Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun,"

   Jawabku, suaraku terdengar serak.

   "Hubungi aku kalau kau memang perlu,"

   Kata Kit.

   "Telepon saja kalau kau sudah siap -sekalipun hanya untuk bercakap-cakap, oke?"

   "Oke. Trims. Trims, Kit."

   Aku sudah memberitahukan berita buruknya pada Kit.

   Sekarang masih ada satu tugas lagi yang harus kulakukan.

   Aku harus menemui Gayle.

   Kutekan bel pintunya.

   Lampu-lampu di dalam rumah menyala, tapi tidak ada seorang pun yang membukakan pintu.

   Aku meninggalkan serambi dan hendak berlalu.

   Lalu kudengar derak kunci diputar dan pintu depan berderit membuka.

   "Siapa itu?"

   Kata seseorang dengan suara serak.

   "Marty,"

   Jawabku, sambil melangkah ke bawah lampu serambi.

   "Oh, Marty!"

   Gayle terisak. Ia membuka pintu lebar-lebar. Air mata membasahi wajahnya. Sedikit riasan yang dikenakannya meninggalkan jejak hitam di kedua pipinya.

   "Gayle, aku...,"

   Kataku mulai berbicara. Tapi Gayle tidak mendengarkan. Ia memelukku erat-erat.

   "Marty, maafkan aku karena tindakan-tindakan buruk yang kulakukan padamu,"

   Katanya.

   "Dia tewas,"

   Gumamnya.

   "Sulit dipercaya dia sudah tewas. Aku selalu menyukai Dwayne. Di tahun pertama, dia satu-satunya cowok yang menyadari keberadaanku. Dia membuatku tertawa begitu sering. Rasanya aku tidak akan pernah tertawa lagi!"

   Kupeluk Gayle. Tadi pagi ia merupakan musuh bebuyutanku. Tapi sekarang aku memeluknya erat-erat.

   "Tidak apa,"

   Bisikku.

   "Tidak apa."

   Ia menarik diri dan menghapus air matanya.

   "Aku benar-benar tolol,"

   Gumamnya.

   "Teman terbaikmu meninggal dan aku justru menangis padamu. Maafkan aku, Marty."

   "Kita bisa menangis bersama-sama,"

   Kata seseorang lain. Riki melangkah ke lorong, sambil menghapus air mata dari wajahnya. Aku mengangguk pada Riki.

   "Kau tidak apa-apa?"

   "Kurasa begitu."

   "Gayle, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,"

   Kataku pada Gayle.

   "Apa pun,"

   Katanya berjanji.

   "Aku melihatmu lari keluar dari gimnasium,"

   Kataku padanya.

   "Tepat sebelum aku menemukan mayat Dwayne. Apa yang kaulakukan di sana?"

   Chapter 20

   "YA. Aku memang ada di sana. Dan sekarang aku merasa kematian Dwayne sebagian merupakan kesalahanku,"

   Kata Gayle dengan suara tercekik.

   "Apa maksudmu?"

   Tanyaku.

   "Aku berkeliaran di sekolah sesudah pertandingan selesai. Pelatih gimnastik mengatakan aku bisa menggunakan ruang angkat berat. Lalu kusadari sudah terlalu malam. Aku harus menjaga bayi. Jadi, aku berganti pakaian di ruang loker dan lari keluar dari gimnasium. Kalau saja tidak terburu-buru, aku mungkin sempat melihat orang sinting yang membunuh Dwayne,"

   Katanya menjelaskan. Ia terisak.

   "Tapi aku sedang tergesa-gesa... oh, Marty, akan kulakukan apa saja untuk membantu."

   "Trims, Gayle,"

   Jawabku.

   "Aku tidak yakin ada yang bisa dilakukan siapa pun. Tapi paling tidak kau sudah menjawab pertanyaanku. Aku tidak akan pernah meragukan dirimu lagi. Aku berjanji." ********************************************** Dwayne dimakamkan pada hari Senin pagi. Kami yang menghadiri pemakaman tersebut terlambat datang ke sekolah. Kepala Sekolah memaklumi. Aku hampir-hampir tidak bisa memperhatikan pelajaran sama sekali sepanjang siang. Sorenya, sewaktu hendak berlatih basket, aku terus membayangkan Dwayne dalam peti matinya. Kudorong pintu ruang loker hingga terbuka. Seluruh anggota regu yang lainnya ada di sana. Mata Coach Griffin tampak merah, seakan-akan habis menangis. Ia mengulurkan ikat lengan hitam pada kami semua.

   "Kalian tidak harus mengenakannya,"

   Katanya.

   "Tapi aku akan mengenakannya setiap kali latihan, dan setiap kali pertandingan turnamen, untuk mengenang Dwayne."

   Semua anggota regu basket mengenakan ikat lengan masingmasing. Tapi aku hanya menatap kain elastis hitam tersebut.

   "Marty?"

   Tanya Coach Griffin.

   "Aku tidak tahu apakah bisa bermain tanpa dia, Coach,"

   Kataku berbisik.

   Coach Griffin tidak mengatakan apa-apa selama semenit.

   Kukira ia akan mendesakku, mengatakan bahwa perasaan kehilanganku akan berlalu.

   Bagaimanapun, Shadyside belum pernah memenangkan turnamen negara bagian, dan Coach Griffin mungkin sangat menginginkan trofi tersebut.

   "Kalau kau merasa tidak enak untuk bertanding, Marty, kami semua mengerti,"

   Katanya akhirnya.

   "Aku tidak,"

   Gumam Barry.

   "Maaf?"

   Tanyaku. Ä’BYKYLάWάS.BOGÅžPOT.ÄŒOM Barry duduk di bangku di seberang ruangan, punggungnya menempel pada sederetan logam kelabu loker.

   "Aku tidak bisa mengerti,"

   Ulangnya sambil melotot ke arahku. Barry dan aku tidak banyak bicara setelah malam kematian Dwayne. Kurasa kami berdua begitu patah semangat, hingga bertemu pun rasanya terlalu menyakitkan.

   "Bagaimana mungkin kau bisa berpikir untuk tidak ikut bertanding?"

   Tuntut Barry.

   "Dwayne juga temanku, Marty. Kita Tiga Pendekar, ingat? Bukan dua."

   "Aku tahu,"

   Kataku mengakui.

   "Aku tidak peduli apakah kita akan menang atau kalah,"

   Kata Barry.

   "Tapi Dwayne pasti ingin kita bertanding."

   Aku menatap sepatu sneaker-ku selama beberapa detik. Lalu kuangkat kepalaku untuk membalas tatapan Barry.

   "Bertanding saja tidak cukup,"

   Kataku padanya sambil mengenakan ikat lengan tersebut.

   "Kita akan memenangkan turnamen, demi Dwayne."

   "Demi Dwayne!"

   Seluruh anggota regu menyambut.

   Kami belum pernah berlatih sekeras itu.

   ********************************************** Selama latihan, Riki duduk tinggi di atas panggung penonton, bersama Gayle dan beberapa gadis lainnya.

   Barry dan aku melambai pada mereka, dan mereka balas melambai.

   Lebih banyak anak yang menyaksikan latihan ini dibandingkan biasanya.

   Kurasa hal itu karena semangat untuk mengikuti turnamen negara bagian.

   "Kau mau belajar bersama malam ini?"

   Tanya Barry padaku di ruang loker, setelah latihan.

   "Aku harus bekerja pukul enam sampai sembilan di tempat penampungan hewan. Mungkin aku mampir sesudahnya,"

   Kataku.

   "Bagus."

   Ia mengangguk.

   "Oh, hei... aku bisa menumpang sampai di rumah?"

   "Bisa,"

   Kataku menyetujui.

   "Tapi cepatlah, oke?"

   Aku harus bergegas pulang dan menyantap makan malam secepatnya kalau ingin tiba tepat pada waktunya di tempat penampungan hewan.

   Beberapa kali bekerja lagi dan hukumanku akan selesai.

   Aku tidak sabar menunggunya.

   Aku bergegas mandi dan mengenakan pakaianku.

   "Barry, cepatlah!"

   Panggilku ke arah ruang mandi.

   "Sebentar lagi!"

   Katanya berjanji.

   "Kau pulang, Marty?"

   Tanya Kevin Hackett sambil menyandang ransel di bahunya.

   "Yeah,"

   Jawabku. Lalu berteriak pada Barry "Kutunggu di pintu belakang!"

   "Oke!"

   Kevin dan aku menerobos pintu keluar belakang.

   Kami bercakap-cakap selama dua menit, terutama tentang pelajaran.

   Kami sekelas dalam pelajaran sejarah, tapi tampaknya Kevin juga tidak lebih siap dibandingkan denganku.

   Mobil beberapa orang guru masih diparkir di tempat parkir sekolah.

   Kusadari bahwa banyak di antara mereka yang bekerja hingga larut.

   Pintu samping gimnasium dalam keadaan terbuka.

   Pintu tempat Gayle berlari keluar pada malam Dwayne terbunuh.

   Saat memikirkan gadis tersebut, Gayle kembali muncul dari pintu itu.

   Ia melirik arlojinya dengan gelisah dan mengetuk-ngetukkan kakinya.

   Ia tidak melihatku, dan aku tidak ingin mendekatinya.

   "Ada apa dengan Barry?"

   Kataku mengeluh.

   "Itu ayahku,"

   Kata Kevin.

   "Aku harus pergi."

   Ia bergegas menjauh.

   Saat Kevin dan ayahnya melaju pergi, mereka melewati sebuah mobil polisi yang datang.

   Mobil tersebut menyelinap masuk ke tempat parkir dan mesinnya mati.

   Petugas di belakang kemudi tidak turun.

   Sebaliknya, ia duduk mengawasi tempat parkir.

   Polisi mengawasi sekolah setelah latihan dan di malam hari.

   Jelas sekali, mereka menduga si pembunuh akan kembali.

   Aku menggigiti bibirku dengan gugup.

   Dan melirik arlojiku.

   "Ayolah, Barry,"

   Gumamku. Kutarik pintu belakang hingga terbuka dan berderap masuk kembali ke ruang loker.

   "Ayo pergi!"

   Panggilku.

   "Kau membuatku terlambat!"

   Aku tidak melihat Barry.

   "Barry, keluar!"

   Teriakku. Kujejalkan kepalaku ke dalam ruang mandi. Tidak ada orang di sana. Ia juga tidak ada di ruang loker.

   "Oh, man,"

   Bisikku sambil menggeleng.

   "Barry?"

   Tidak ada jawaban. Kubuka pintu ke gimnasium.

   "Barry?"

   Panggilku. Seseorang telah memadamkan lampu. Suaraku bergema dalam kegelapan. Dengan memicingkan mata sekuat tenaga, aku melihat sebuah sosok yang meringkuk tak bergerak di lapangan. Oh, tidak... jangan lagi! teriak benakku.

   "Tidaaaaak!"

   Chapter 21 JANTUNGKU berdetak kencang.

   Aku menatap sosok yang tidak bergerak di lantai kayu tersebut.

   Kukedipkan mataku satu kali.

   Dua kali.

   Pandanganku menyesuaikan diri dengan keremangan.

   Dengan tangan gemetar aku mencari-cari saklar lampu dan menghidupkannya.

   Ransel hijau Barry tergelak di lantai, di tengah-tengah gimnasium.

   Bukan Barry.

   Bukan Barry.

   Ransel Barry.

   Aku bergegas menyeberangi gimnasium untuk mengambil ransel tersebut.

   Sewaktu membungkuk, kudengar suara-suara dari balik pintu gimnasium.

   Aku bergegas menuju pintu ganda yang terbuka sedikit.

   "Barry?"

   Panggilku sambil mendorong salah satu daunnya hingga terbuka. Di lorong, Barry berdiri sambil memeluk Riki. Mereka tengah berciuman. Tapi mereka bergegas memisahkan diri sewaktu melihat kehadiranku.

   "Oh! Hei, Marty,"

   Kata Barry tergagap. Riki tersenyum.

   "Hai, Marty."

   "Hei, guys,"

   Jawabku. Jadi, Barry dan Riki berpacaran. Bagus juga menurutku. Barry memerlukan pacar. Dan aku sudah memperjelas bahwa aku tidak tertarik pada Riki. Aku meringis ke arah Riki.

   "Sekarang aku tahu kenapa Gayle berkeliaran di luar, menatap arlojinya."

   "Uupss!"

   Riki tertawa kecil.

   "Kuharap dia tidak marah. Aku... eh... ada urusan."

   Ia tersenyum pada Barry.

   "Dengar Barry, aku harus pergi sekarang. Jelas aku sudah terlambat untuk bekerja,"

   Kataku menjelaskan.

   "Maaf kalau aku tidak bisa menunggu."

   "Tidak apa,"

   Jawabnya.

   "Bukan masalah. Mungkin Gayle mau kutumpangi."

   Kuserahkan ransel Barry kepada pemiliknya.

   "Sampai nanti?"

   Tanya Barry.

   "Kuusahakan,"

   Kataku berjanji. ********************************************* "Kau terlambat, Marty,"

   Bosku memarahi.

   "Maaf, Carolyn. Aku tidak punya alasan bagus,"

   Kataku mengakui.

   "Kali ini kumaafkan. Bagaimana kabarmu?"

   Tanyanya, ekspresinya melunak. Pandangannya mempelajari diriku.

   "Sedang kuatasi,"

   Kataku padanya.

   "Terkadang sulit bagiku untuk percaya bahwa Dwayne sudah meninggal. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya tidak bisa bertemu lagi dengannya."

   Carolyn menyentuh bahuku.

   "Berat. Senang kau bisa mengatasinya."

   Ia mendesah.

   "Kuharap aku bisa tinggal dan bercakap-cakap, Marty. Tapi aku harus pergi. Tapi, terlebih dulu, kau harus bertemu dengan penghuni baru kita, Brutus."

   "Brutus?"

   Ia mengajakku ke ruang kandang.

   "Aku mencari-cari kandang ini di gudang seharian tadi,"

   Carolyn menjelaskan. Aku menatap Brutus. Kandangnya, jauh lebih besar daripada kandang-kandang lainnya, berada di ujung barisan.

   "Wow!"

   Kataku sambil mendekati hewan besar tersebut.

   "Aku tidak tahu kau juga menampung serigala jadi-jadian!"

   Carolyn tidak tertawa mendengar gurauanku.

   "Jangan terlalu dekat, Marty,"

   Katanya memperingatkan.

   "Brutus berbahaya. Dokter hewan akan kemari besok pagi untuk membuatnya tidur."

   Kutatap anjing kampung raksasa tersebut.

   Hewan itu beratnya pasti seratus kilo! Anjing itu tidak menyalak atau menggeram padaku.

   Tapi aku tetap menjauh.

   Sewaktu aku masih kecil, ayahku pernah menjelaskan bahwa anjing-anjing yang pendiam terkadang lebih berbahaya, karena kau tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

   Setelah Carolyn pergi, semua anjing dan kucing kuberi makan.

   Brutus bergerak-gerak tidak nyaman sewaktu kuberikan piring makanannya di dalam kandang.

   Ia menunduk dan menatapku dengan sepasang mata kuning.

   Beberapa ekor kucing mondar-mandir dalam kandang mereka dengan gugup.

   Tapi ruang kandang yang besar tersebut sunyi.

   Kuambil sapu dari lemari persediaan dan mulai menyapu.

   Aku berada di tengah-tengah ruangan -di lorong antara anjing dan kucing -sewaktu mendengar sesuatu.

   Suara menggeser lembut.

   Langkah kaki.

   Aku menyandar ke sapu dan mendengarkan.

   Mulutku tiba-tiba terasa kering.

   Kedua kakiku gemetar.

   Terdengar langkah kaki lain.

   Kucengkeram tangkai sapu begitu keras, hingga tanganku terasa sakit.

   "Siapa... siapa di situ?"

   Kataku dengan suara tercekik. Tidak ada jawaban.

   "Hei... siapa di sana?"

   Teriakku.

   Kudengar langkah kaki lain.

   Dari dinding seberang.

   Lalu kudengar dentangan.

   Dentangan logam.

   Seekor anjing menyalak.

   Anjing lainnya mengikuti.

   Lalu seluruh anjing yang ada menyalak.

   Kuangkat sapuku, seakan-akan hendak menggunakannya sebagai senjata.

   Aku maju selangkah ke arah asal suara.

   Kucing-kucing mulai mengeong.

   Di atas segala keributan tersebut kudengar dentangan logam lain lagi.

   Pintu sebuah kandang menghantam dinding kandang.

   Kucing-kucing mendesis dan mengeong.

   Anjing-anjing menyalak.

   "Hei!"

   Teriakku. Seekor kucing melangkah ke lorong.

   "Hah?"

   Aku tersentak terkejut.

   Seekor kucing lain melangkah keluar di samping kucing pertama.

   Kudengar pintu kandang lain dibuka.

   Dua ekor kucing lagi melompat ke lorong.

   Mereka melengkungkan punggung.

   Gigi-gigi mereka berkilau dalam cahaya saat mereka mendesis ke arahku.

   Aku mundur selangkah.

   "Ada apa ini?"

   Jeritku. Kenapa ada yang membuka pintu-pintu kandang? Siapa yang ada di dalam sana? "Please..."

   Aku hendak bicara. Pintu kandang lain berdentang membuka. Lebih banyak kucing lagi yang memenuhi lorong. Anjing-anjing menyalak dan melolong. Seekor kucing kuning menerjangku. Hewan tersebut mengangkat cakar depannya dan mencakar udara.

   "Tidaaaak!"

   Aku menyurut mundur. Kudengar dentangan keras lagi. Lebih dekat. Tapi aku tidak melihat seorang pun. Kucing-kucing bertambah dekat, sambil mencakar-cakar udara. Mendesis-desis. Ekor mereka berdiri tegak. Punggung melengkung.

   "Siapa di sini? Siapa yang melakukan ini?"

   Jeritku.

   Kucing-kucing tersebut sekarang bergerak lebih cepat.

   Mata mereka kemilau.

   Pandangan mereka mengancam.

   Pandangan dingin.

   Aku mundur.

   Satu langkah.

   Lalu langkah berikutnya.

   Desisan dan meongan kucing-kucing semakin memekakkan telinga.

   Tapi aku tidak bisa memperhatikannya.

   Kucing-kucing tersebut membentuk lingkaran.

   Mengepung diriku.

   Mereka melengkung pada kaki belakang mereka.

   Selusin ekor kucing yang mendesis-desis.

   Mereka menampilkan gigi-gigi mereka.

   Mengangkat cakar mereka.

   Dan melompat menyerang.

   Chapter 22

   "TIDAAAAAAK!"

   Lolongan serak terlontar dari kerongkonganku. Kuangkat sapu di antara kedua tanganku. Dua ekor kucing menerkam dadaku sambil menjerit. Kuayunkan tangkai sapu ke arah mereka -melemparkan mereka hingga terbang melewati kandang-kandang.

   "Marty -apa yang kauLAKUKAN?"

   Seseorang berteriak mengatasi salakan dan jeritan hewanhewan.

   Aku terhuyung-huyung mundur hingga mengenai dinding.

   Kucing-kucing tersebut menyurut mundur.

   Mereka sekarang diam.

   Menatapku dengan mata mereka yang kemilau.

   Anjing-anjing berhenti menyalak.

   Dengan perasaan gamang, aku berjuang untuk meredakan napas.

   Keringat mengucur di dahiku.

   Seluruh tubuhku gemetar.

   Carolyn melangkah ke lorong, pandangannya liar karena shock.

   "Marty -kenapa?"

   Sapu di tanganku terjatuh. Carolyn meraih seekor kucing hitam dan dengan lembut meletakkannya kembali ke dalam kandang. Kucing-kucing tersebut sekarang mendengkur lembut.

   "A... ada orang yang kemari tadi!"

   Kataku dengan napas tersentak, menelan ludah dengan susah payah.

   "Ada yang melepaskan kucing-kucingnya."

   Carolyn berpaling dan mencari-cari di dalam ruangan.

   "Siapa yang kemari?"

   Ia kembali memandangku, wajahnya tampak khawatir.

   "Marty, pintunya dikunci. Tidak ada yang bisa masuk kemari."

   "Tidak. Sungguh...,"

   Kataku bersikeras, jantungku masih berdebar-debar kencang. Carolyn mengumpulkan kucing-kucing yang lain dan mengembalikan mereka ke kandang. Aku tidak bergerak dari dinding. Kedua kakiku masih gemetar terlalu hebat untuk bisa berjalan.

   "Mereka... menyerangku!"

   Kataku pada Carolyn.

   "Ada yang membuka kandang dan..."

   "Marty, pergilah ke kantor,"

   Kata Carolyn tegas. Ia memberi isyarat dengan tangannya.

   "Please. Pergilah ke sana dan duduk."

   Dengan patuh aku meninggalkan ruang kandang dan berjalan ke kantor.

   Dalam perjalanan, aku mengambil air minum dari pancuran.

   Kalau saja aku bisa berhenti gemetaran! Carolyn masuk ke kantor beberapa menit kemudian.

   Ia menggigiti bibir bawahnya dan memandangku serius sambil duduk di belakang mejanya.

   "Carolyn...,"

   Aku hendak bicara. Tapi ia mengangkat tangan, menyuruhku diam.

   "Marty, aku tahu kau baru saja mengalami shock,"

   Katanya lembut.

   "Tapi kau harus menyadari -kaulah yang sudah membuka kandang-kandang itu. Kau yang melepaskan kucing-kucingnya."

   "Tidak...,"

   Kataku bersikeras.

   "Dengarkan aku..."

   Ia menggeleng.

   "Tidak ada orang lain lagi di sini, Marty. Kau sendirian bersama hewan-hewan itu. Sendirian. Aku kembali karena tas tanganku tertinggal. Dan melihat kau di sana. Kandangkandangnya terbuka. Kucing-kucingnya ada di mana-mana di lantai."

   "Tapi... mereka menyerangku!"

   Jeritku. Ia kembali menggeleng. Ia mengangkat satu jari ke bibirnya.

   "Aku melihat kau yang menyerang mereka,"

   Katanya.

   "Aku melihat kau mengayunkan sapu. Kucing-kucing itu hanya mengawasimu."

   "Tidak!"

   Jeritku.

   "Kau harus percaya padaku!"

   "Aku percaya kau sedang tertekan. Dan sangat jengkel. Dan mungkin tengah shock,"

   Jawab Carolyn.

   "Aku akan mengantarmu pulang, Marty. Dan kuminta kau berbicara dengan orangtuamu. Mungkin menemui dokter. Dan berusaha memulihkan ketenanganmu lagi."

   Ia bangkit berdiri dan berjalan mengitari meja ke kursiku.

   "Aku khawatir denganmu. Sungguh."

   Aku juga khawatir dengan diriku sendiri.

   Apa mungkin Carolyn benar? Apa benar aku menderita shock? Apa aku yang sudah melepaskan kucing-kucing itu dari kandang? Tidak.

   Tidak mungkin, kataku sendiri.

   Tapi bagaimana aku bisa yakin? "Aku...

   aku bisa pulang sendiri,"

   Kataku padanya. Aku bangkit berdiri dengan gemetar.

   "Aku sungguh menyesal,"

   Gumamku.

   "Aku... aku masih harus bekerja di sini lima jam lagi. Kau mau..."

   "Aku mau kau kembali kalau kau merasa sudah siap,"

   Katanya.

   "Yakin kau tidak mau kuantar pulang?"

   "Tidak. Trims. Mobilku ada di luar."

   Ia tetap memegangi bahuku, sementara aku mendului berjalan ke pintu. Lalu ia berdiri di ambang pintu, mengawasiku sementara aku memundurkan mobil dan kemudian melaju pergi.

   "Wow,"

   Kataku keras-keras, sambil berbelok menuju Fear Street.

   "Wow. Wow."

   Aku masih gemetar.

   Aku tidak ingin pulang.

   Aku tidak ingin memberitahu Mom dan Dad akan apa yang sudah terjadi.

   Tapi aku harus berbicara dengan seseorang.

   Jadi, aku menuju rumah Barry.

   Rumah tersebut gelap gulita sewaktu aku memasuki jalur masuk.

   Aneh, pikirku.

   Ia tahu aku akan mampir sepulang kerja nanti.

   Ia pasti ada di belakang, pikirku.

   Aku turun dari mobil -dan terjatuh karena sepeda roda tiga milik adik lelakinya.

   "Aowww!"

   Aku jatuh ke aspal. Kulit tanganku terkelupas.

   "Malam yang buruk,"

   Gumamku. Aku beranjak bangkit, membersihkan diri, dan berjalan ke pintu depan.

   "Hei..."

   Yang membuatku terkejut, pintunya terbuka beberapa inci. Ada yang sudah ceroboh, pikirku. Kudorong pintunya hingga membuka sedikit lebih lebar dan mengintip ke dalam ruang duduk. Gelap total.

   "Ada yang di rumah?"

   Panggilku.

   "Hei, Barry -kau di rumah?"

   Tidak ada jawaban. Aku masuk selangkah ke dalam ruangan.

   "Barry? Kau di sini? Ini aku."

   Sunyi.

   "Hei -kau membiarkan pintumu terbuka!"

   Teriakku. Masih tetap tidak ada jawaban. Jadi, kuputuskan untuk menuju bagian belakang rumah. Aku maju beberapa langkah ke lorong -dan terjatuh karena sesuatu yang lembut dan berat di lantai ruang duduk. Chapter 23

   "OH, tidak!"

   Jeritan lirih terlontar dari kerongkonganku. Aku jatuh berlutut.

   "Barry? Barry?"

   Sambil menjerit serak, aku mengulurkan tangan -dan menyalakan lampu meja. Dan menatap apa yang tadi telah membuatku terjatuh. Sebuah karpet tergulung. Aku mendesah panjang.

   "Marty, kau sudah lepas kendali,"

   Kataku sendiri.

   "Kau benar-benar lepas kendali."

   "Hei -ada orang di sana?"

   Kudengar Barry memanggil dari bagian belakang rumah. Aku terlompat. Kudengar suara bisik-bisik. Lalu tawa kecil seorang gadis.

   "Ini aku,"

   Kataku.

   Setelah melangkahi karpet, aku bergegas ke ruang dalam.

   Dan menemukan Barry dan Riki duduk berdekatan -sangat dekat -di sofa kulit.

   Noda lipstik merah tua mengotori pipi Barry.

   Rambut Riki berantakan di sekitar wajahnya.

   Lengan Barry memeluk bahu Riki.

   "Hei -hai!"

   Sapa Barry sambil meringis.

   "Ada apa, Marty? Kami... eh..."

   Riki menyelinap menjauhinya. Ia mendorong rambutnya ke belakang dengan dua tangan.

   "Pintunya terbuka,"

   Kataku sambil menunjuk dengan kikuk.

   "Aku tidak bermaksud..."

   "Kukira kau bekerja di tempat penampungan malam ini,"

   Kata Riki sambil meluruskan sweater-nya.

   "Kata Barry, kau baru datang larut malam nanti."

   "Aku... aku harus pergi lebih awal,"

   Kataku tergagap.

   "Ada kejadian aneh di sana. Dan Carolyn merasa sebaiknya aku pulang dan..."

   "Siapa itu Carolyn?"

   Tanya Riki.

   "Dia bosku di sana,"

   Kataku menjelaskan.

   "Ada yang mengeluarkan kucing-kucing dari dalam kandang. Dan..."

   "Maaf?"

   Sela Barry.

   "Kucing-kucingnya lepas semua,"

   Kataku, mengulangi dengan nada mendesak.

   "Dan mereka menyerangku. Mereka mendesakku sampai tersudut ke dinding. Dan kalau Carolyn tidak lupa membawa pulang tas tangannya..."

   Suaraku menghilang.

   Kulihat cara mereka menatapku.

   Mereka tidak mempercayaiku.

   Kenapa tidak? Kata-kataku memang terasa tidak masuk akal.

   Seluruh cerita itu terdengar tidak masuk akal.

   Mereka tidak mempercayaiku -dan tidak ingin mendengar kisah gila-gilaan tentang kandang-kandang yang membuka sendiri dan kucing-kucing yang menyerang manusia.

   Mereka ingin berdua saja agar bisa berpacaran.

   Bisa kulihat semuanya di wajah mereka.

   Barry mendesah.

   "Mungkin nanti saja aku meneleponmu?"

   Katanya. Ia terus memberi isyarat dengan matanya.

   "Yeah. Oke."

   Aku bisa menangkap maksudnya.

   "Kau tidak apa-apa, Marty?"

   Tanya Riki.

   "Kau tampak agak... kacau."

   "Tidak. Aku baik-baik saja,"

   Gumamku.

   "Sampai nanti, guys."

   Aku berbalik dan bergegas meninggalkan ruangan. Aku lari menyeberangi ruang duduk yang gelap, hampir-hampir jatuh karena karpet tergulung itu lagi.

   "Whoa!"

   Jeritku. Aku melompatinya, dan menghambur keluar dari rumah. Dan menabrak seorang pria besar berambut ubanan yang menyusuri jalur masuk. Kami berdua menjerit terkejut.

   "Siapa kau?"

   Tanya pria itu. Ia memicingkan mata memandangku. Mempelajariku.

   "Teman Barry,"

   Jawabku tanpa bernapas. Ia mengangguk, tetap memandangiku.

   "Aku tetangganya,"

   Katanya, memberi isyarat ke rumah di seberang.

   "Kulihat pintu depannya terbuka. Aku kemari sekadar memastikan tidak ada kejadian apa-apa."

   "Yeah. Tidak ada apa-apa,"

   Kataku padanya.

   "Kurasa Barry hanya lupa menutupnya sewaktu masuk tadi."

   Tetangga itu mengamatiku dengan lebih teliti lagi. Lalu ia mendengus dan berbalik kembali ke rumahnya.

   "Malam yang bagus,"

   Gumamnya sambil berlalu.

   "Tidak juga,"

   Jawabku lembut.

   Bukan malam yang bagus sama sekali, kataku memutuskan sendiri.

   Malahan malam ini merupakan salah satu malam paling menakutkan seumur hidupku.

   Aku tidak tahu bahwa ketakutan itu baru saja dimulai.

   Chapter 24 KEESOKAN harinya ibuku mengetuk pintu kamar tidurku pukul tujuh lebih sedikit.

   Hujan deras menghantam jendelaku dan awan-awan gelap menghalangi matahari.

   Aku ingin menutupi kepala dengan bantal dan melanjutkan tidur.

   Tapi sudah dua kali aku terlelap.

   Satu kali lagi dan aku pasti akan terlambat ke sekolah.

   "Marty? Kau sudah bangun?"

   Panggil Mom dari lorong.

   "Yeah!"

   Kataku sambil mengerang.

   "Sudah. Aku turun sebentar lagi."

   "Boleh aku masuk?"

   Tanyanya.

   "Silakan,"

   Jawabku. Sewaktu Mom membuka pintu, bisa kulihat bahwa ia baru saja menangis. Kedua matanya merah dan bengkak. Ia mengusap rambutnya dan berkata.

   "Kenakan pakaianmu dan cepatlah turun, Marty."

   "Ada apa, Mom?"

   Tanyaku.

   "Apa yang terjadi?"

   "Marty,"

   Bisik Mom, menghapus air mata dari pipinya.

   "Marty, ada polisi di bawah yang ingin bicara denganmu."

   Jantungku serasa tenggelam.

   Polisi.

   Kukenakan celana jeans dan kaus.

   Lalu kuikuti ibuku turun ke bawah.

   Kenapa ibuku menangis? Pertanyaan tersebut menghantuiku saat melangkah masuk ke ruang duduk.

   Kedua polisi berseragam tersebut berdiri berdekatan, berbisik-bisik.

   "Opsir Martinez, Opsir Lambert, ini putraku, Marty,"

   Kata Mom pada mereka.

   "Hai,"

   Gumamku.

   "Marty, duduklah,"

   Kata Opsir Martinez. Aku merasa terganggu karena ia mempersilakan aku duduk di rumahku sendiri. Aku duduk dan menunggu. Polisi tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik.

   "Apa ini karena kejadian semalam?"

   Tanyaku, muak karena menunggu.

   "Ada apa semalam?"

   Tanya Opsir Lambert, memicingkan matanya.

   "Di tempat penampungan hewan,"

   Kataku menjelaskan.

   "Ada yang membuka kandang-kandangnya dan..."

   Kedua polisi tersebut bertukar pandang, lalu memandang ibuku. Akhirnya mereka kembali mengalihkan perhatian kepadaku.

   "Tidak. Ini bukan karena kejadian di tempat penampungan,"

   Kata Opsir Lambert.

   "Marty, apa kau pergi ke tempat lain sesudah meninggalkan tempat penampungan hewan semalam?"

   Tanya Martinez.

   "Tentu saja."

   Aku angkat bahu.

   "Aku ke rumah temanku, Barry. Kami seharusnya belajar bersama. Tapi pacarnya juga ada di sana, jadi aku pergi."

   "Pacarnya?"

   Tanya Lambert.

   "Maksudmu Riki Crawford?"

   "Yeah,"

   Kataku menyetujui.

   "Look, apa ada kejadian di tempat penampungan sesudah aku pergi? Apa Carolyn baik-baik saja?"

   "Dia baik-baik saja, Marty,"

   Kata Opsir Martinez, berusaha meyakinkan diriku. Lalu jantungku hampir-hampir berhenti berdetak.

   "Oh, tidak,"

   Bisikku.

   "Tolong jangan katakan ada sesuatu yang menimpa Barry. Please..."

   Kedua polisi tersebut menunduk. Lambert menggigit bibirnya sebelum berbicara.

   "Maafkan aku, Marty,"

   Katanya lembut.

   "Ada yang membunuh temanmu Barry semalam. Dia dicakar habis-habisan."

   Chapter 25

   "DWAYNE dan Barry,"

   Bisikku.

   "Dwayne dan Barry. Mustahil."

   "Oh, Marty, benar-benar mengerikan,"

   Kata Mom sambil terisak. Ia menggeleng, dagunya gemetar.

   "Aku turut berduka."

   Ia memelukku. Aku duduk di kursi dan memandang kosong. Aku tidak bisa membalas pelukan Mom. Aku bahkan tidak menangis.

   "Marty? Kau baik-baik saja?"

   Tanya Opsir Martinez.

   "Kami bisa pergi dulu dan kembali lagi nanti."

   Pertanyaan polisi tersebut menyentakkan diriku kembali ke kesadaran.

   "Tidak. Tidak, aku baik-baik saja, kurasa,"

   Gumamku.

   "Apa yang ingin kalian ketahui?"

   Ibuku berjalan ke depan sofa dan duduk di sampingku. Kedua polisi tersebut masih tetap berdiri, dan itu menyebabkan aku gugup. Seakan-akan mereka burung pemakan bangkai, menatap diriku.

   "Mungkin kau ingin memanggil pengacara?"

   Tanya Opsir Martinez.

   "Kami harus memberimu pilihan itu."

   Aku menggeleng.

   "Akan kujawab pertanyaan kalian. Aku ingin membantu."

   "Pukul berapa kau meninggalkan rumah Barry semalam, Marty?"

   Tanya Lambert.

   "Entahlah."

   Aku angkat bahu.

   "Beberapa menit sebelum pukul sepuluh, kurasa. Riki mungkin lebih ingat. Dia masih ada di sana bersama Barry sewaktu aku pergi."

   "Ada tetangga yang melihatmu lari keluar dari dalam rumah,"

   Kata Lambert, tatapannya menusuk mataku.

   "Kata tetangga itu kau tampak liar, sangat bersemangat."

   "Tunggu sebentar!"

   Jeritku.

   "Kalian tidak mengira aku yang membunuh Barry, bukan? Kalian pasti sudah sinting!"

   Kedua opsir tersebut mengangkat alis mereka. Lalu Martinez angkat bahu.

   "Cobalah mengerti dari sudut pandang kami, Marty,"

   Katanya.

   "Kami mengetahui semua kejadian yang melibatkan dirimu selama beberapa minggu terakhir ini."

   "Hah?"

   Jeritku.

   "Kejadian?"

   Ia mengangguk.

   "Mula-mula, ada pembunuhan kucing di gimnasium sekolah. Lalu kau bertingkah laku aneh di sesi Sidang Murid. Kau memberitahu semua orang bahwa kau melihat kucing yang sudah mati, padahal tidak ada apa-apa sama sekali. Lalu kaulah yang menemukan mayat Dwayne Clark."

   Aku merasa mual. Aku tidak bisa mendebat semua yang dikatakannya.

   "Akhirnya, semalam di tempat penampungan hewan,"

   Kata polisi tersebut, melanjutkan.

   "kata manajernya dia menemukan semua kucing terlepas. Dan kau sedang memukuli mereka dengan sapu."

   "Ini keterlaluan!"

   Sembur ibuku.

   "Dwayne dan Barry temanteman terbaik putraku!"

   "Aku bukan pembunuh!"

   Jeritku.

   "Oke. Oke. Aku membunuh kucing itu. Tapi itu kecelakaan. Aku tidak akan pernah menyakiti siapa pun. Terutama teman-teman terbaikku."

   Martinez memberi isyarat dengan dua tangan agar aku tenang.

   "Maaf,"

   Gumamku.

   "Aku... aku begitu bingung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kalian tidak benar-benar menganggapku sudah membunuh Barry, bukan?"

   "Tidak,"

   Jawab Martinez.

   "Tapi kami harus melacak setiap petunjuk. Kata Riki Crawford, kau meninggalkan rumah lebih dulu daripada dirinya. Dia keluar pukul sebelas, dan menelepon Barry begitu tiba di rumah. Barry masih baik-baik saja pukul setengah dua belas."

   "Dengan begitu, kau punya alibi,"

   Kata partnernya.

   "Dan juga Riki,"

   Tambah Martinez. Kedua polisi tersebut berbalik hendak pergi. Lalu Martinez menyambar lengan Lambert, dan mereka berbalik kembali memandangku.

   "Satu pertanyaan lagi,"

   Kata Opsir Martinez.

   "Kau mengatakan pintu rumah keluarga Allens terbuka sewaktu kau tiba?"

   "Ya,"

   Jawabku.

   "Temanmu Riki ingat kau mengatakan sesuatu tentang pintunya yang terbuka,"

   Lanjut Martinez.

   "Tapi dia bersumpah bahwa sewaktu dia dan Barry duduk di ruang dalam, pintu depannya tertutup dan terkunci."

   "Apa maksud Anda?"

   Tanyaku, merasa sangat kebingungan.

   "Maksud Anda pembunuhnya mungkin sudah ada di dalam rumah sewaktu Marty tiba di sana?"

   Tanya ibuku.

   Kedua polisi tersebut mengangguk.

   Aku mengawasi mereka berjalan ke pintu.

   Aku tidak mengantar mereka.

   Aku hampir-hampir tidak bisa menggerakkan satu otot pun.

   ********************************************** Tentu saja pelajaran ditunda.

   Miss Bevan, wakil kepala sekolah, menelepon Mom dan mengatakan kalau telah memanggil pembimbing khusus untuk berbicara dengan murid-murid mengenai kedua pembunuhan tersebut.

   Kata Mom, aku harus menemui dan berbicara dengan mereka.

   Tapi aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.

   Apa yang harus dikatakan? Aku tetap di kamarku sepanjang pagi, merasa mati.

   Aku tidak bisa berpikir.

   Tidak bisa menangis.

   Aku tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali.

   Tidak lama selewat tengah hari, aku turun ke bawah dan membuat roti isi.

   Kugigit sepotong dan tidak mampu menghabiskan sisanya.

   Aku duduk di dapur, menatap roti tersebut sesaat.

   Lalu kuangkat telepon dan menghubungi Kit.

   "Marty, bagaimana kabarmu?"

   Tanyanya.

   "Aku... entahlah. Kurasa aku shock atau semacamnya. Aku tidak bisa berpikir dengan benar."

   "Aku juga,"

   Jawab Kit.

   "Sulit dipercaya."

   Kami berdua terdiam sejenak. Aku bisa mendengar suara napasnya.

   "Di berita dikatakan Barry dicakari hingga tewas,"

   Kata Kit akhirnya.

   "Kedengarannya... kedengarannya sungguh sulit dipercaya, Marty."

   Suaranya pecah.

   "Yeah."

   Aku mendesah.

   "Sulit dipercaya."

   "Keduanya -anak-anak yang kita kenal -dicakari hingga tewas. Apa pembunuhnya sudah sinting? Dia seperti hewan buas!"

   Aku tidak menjawab. Tiba-tiba aku sangat ingin menutup telepon. Aku tidak bisa membicarakannya. Kenapa aku menelepon Kit? "Riki ada di sana bersama Barry semalam?"

   Tanya Kit.

   "Kudengar dia..."

   "Yeah. Riki sedang bersamanya,"

   Kataku menyela.

   "Tapi katanya dia pergi pukul sebelas dan menelepon Barry tidak lama sesudah itu."

   "Dia pasti kacau sekali,"

   Kata Kit.

   "Mungkin sebaiknya kutelepon dia."

   "Baik sekali,"

   Jawabku.

   "Kita semua harus bersikap baik satu sama lain,"

   Kata Kit.

   "Mungkin dengan begitu kita bisa melewati kejadian ini."

   "Mungkin,"

   Jawabku, merasa tenggorokanku mengencang.

   "Aku... sulit bagiku untuk percaya bahwa semuanya dimulai dari kucing bodoh itu."

   "Kau tidak sungguh-sungguh percaya...,"

   Kit hendak bicara. Tapi aku tidak bisa bercakap-cakap lagi. Aku bisa merasakan diriku mulai hancur berantakan.

   "Nanti saja, Kit,"

   Kataku dengan suara tercekik.

   Kututup telepon sebelum ia sempat mengatakan apa pun.

   Aku tidak tahu apa yang kulakukan sepanjang sore harinya.

   Aku tidak benar-benar ingat.

   ********************************************** Keesokan harinya, sekolah menyelenggarakan pertemuan khusus untuk mengenang Dwayne dan Barry.

   Acara tersebut sangat menyedihkan.

   Hampir semua orang menangis.

   Para pembimbing menawarkan untuk mengadakan pertemuan dengan murid-murid yang ingin dibantu.

   Sesudah itu Coach Griffin menyelenggarakan rapat regu.

   Acara tersebut merupakan rapat paling sunyi yang pernah kami selenggarakan.

   "Bagaimana perasaan kalian?"

   Tanya Coach Griffin.

   "Masih ingin bertanding dalam turnamen? Atau sebaiknya kita lewatkan saja? Sejujurnya saja. Akan kupenuhi semua keinginan kalian."

   Semuanya berpaling memandangku. Semua orang tahu Dwayne dan Barry merupakan teman-teman terbaikku.

   "Kita... kita tidak bisa menang tanpa mereka,"

   Gumamku.

   "Kurasa sebaiknya kita tidak ikut bertanding."

   Beberapa orang mengangguk. Tapi yang lainnya memprotes. Kevin berbicara.

   "Marty, sesudah kematian Dwayne, kau yang mengatakan kita seharusnya bertanding demi dirinya. Sekarang kurasa kita harus bermain sebaik-baiknya -dan bertanding demi Dwayne dan Barry."

   Kami membicarakan hal itu lebih jauh.

   Lalu kami memutuskan untuk terus mengikuti pertandingan.

   Kubayangkan kedua temanku membawa bola melintasi lapangan, saling menggoda, melemparkan bola dengan anggun.

   Aku harus keluar dari gimnasium tersebut.

   Menjauh dari semua orang.

   Aku menghambur keluar, memasuki lorong, dan berlari-lari kecil ke lokerku.

   Dua orang gadis tengah bersandar ke dinding.

   Keduanya berbicara bersamaan.

   Gayle dan Riki.

   Mereka berhenti bicara sewaktu melihat kehadiranku.

   Riki bergegas mendekat dan memelukku.

   "Bagaimana?"

   Bisiknya. Aku angkat bahu.

   "Kau tahu."

   Mereka bertukar pandang. Mereka berdua tampak sangat tegang.

   "Ada apa?"

   Gumamku.

   "Kalian berhenti bicara sewaktu aku muncul."

   "Kami... eh... membicarakan dirimu,"

   Jawab Riki, pandangannya terarah pada Gayle.

   "Marty, kami agak khawatir,"

   Kata Gayle.

   "Maksudku, tentang dirimu."

   "Aku?"

   Kupicingkan mataku menatap mereka.

   "Bisa kuatasi,"

   Kataku.

   "Kurasa."

   "Tidak. Bukan itu yang kami maksudkan,"

   Sela Riki.

   "Maksud kami... Dwayne... Barry... kalian semua Tiga Pendekar, bukan?"

   Aku mengangguk.

   "Dan ada yang membunuh mereka. Dan sekarang masih tersisa satu orang. Kau."

   Aku akhirnya memahami maksud mereka. Aku begitu terbenam dalam pemikiran tentang kedua almarhum temanku, sehingga hal tersebut tak pernah terlintas dalam pikiranku.

   "Maksudmu?"

   Pandangan Gayle menusuk mataku.

   "Apa menurutmu kau giliran berikutnya?"

   Tanyanya. Chapter 26 SEWAKTU aku muncul di tempat penampungan hewan beberapa malam kemudian, Carolyn menyambutku dengan sikap terkejut.

   "Marty -bagaimana kabarmu?"

   Tanyanya, pandangannya mengamatiku dengan teliti.

   "Oke, kurasa,"

   Kataku padanya.

   "Sulit. Tapi kucoba untuk mengatasinya."

   "Kau tidak perlu kemari malam ini,"

   Katanya.

   "Kalau kau ingin menunggu beberapa minggu lagi..."

   "Tidak. Aku harus tetap sibuk,"

   Kataku.

   "Agar pikiranku tidak melayang ke mana-mana."

   Ia mengajakku ke ruang kandang.

   "Aku sudah memberi makan mereka semua,"

   Katanya.

   "Aku tidak mengira kau akan kemari. Jadi, kurasa kau bisa menyapu dan membersihkan saja."

   Sebuah salakan keras menyebabkan aku berputar.

   "Hei!"

   Jeritku.

   "Anjing jahat itu -Brutus. Kukira dia sudah ditidurkan."

   "Ada yang menyelamatkannya pada detik terakhir,"

   Jawab Carolyn.

   "Kita mungkin menemukan pemilik untuk Brutus. Orang yang sedang mencari anjing yang benar-benar menakutkan untuk menjaga tokonya."

   "Brutus mendapat pekerjaan,"

   Gumamku. Anjing tersebut menggeram ke arahku.

   "Kurasa itu gagasan buruk,"

   Kata Carolyn.

   "Sifat Brutus benarbenar jelek. Tapi..."

   Telepon berdering. Carolyn bergegas ke kantor untuk menerimanya. Aku berjalan menyusuri lorong di sela-sela kandang, menuju lemari peralatan.

   "Kuharap kalian bersikap baik malam ini,"

   Kataku pada kucing-kucing.

   Beberapa menit kemudian, Carolyn mengucapkan selamat malam.

   Kudengar pintu depan ditutup di belakangnya.

   Lalu kudengar mobilnya melaju meninggalkan tempat parkir.

   Aku menyandar ke sapu, mendorongnya sepanjang lorong pertama.

   Kembali di tempat penampungan ini menyebabkan aku merinding.

   Tapi aku masih harus melayani di sini beberapa jam lagi.

   Dan aku sangat ingin tetap sibuk.

   Mati-matian agar benakku tetap sibuk.

   Kalau saja suasana di sini tenang malam ini, pikirku.

   Tapi keinginanku tidak terpenuhi.

   Chapter 27 AKU tengah menyapu lorong terakhir sewaktu kucing-kucing mulai mendesis.

   Mula-mula hanya beberapa ekor.

   Di sisi seberang ruang kandang.

   Tapi suara tersebut dengan cepat menyapu seluruh ruangan, seperti angin yang kuat dan marah.

   "Hentikan!"

   Teriakku.

   "Hentikan sekarang juga!"

   Aku tahu tindakan tersebut bodoh.

   Berteriak-teriak pada kucing.

   Dan tampaknya justru menyebabkan mereka semakin bersemangat.

   Kulepaskan sapu dan kututupi telinga dengan tangan.

   Kucingkucing mengeong dan mendesis-desis.

   Keributan yang memekakkan telinga tersebut menyebabkan anjing-anjing mulai menyalak.

   "Ada orang di sini?"

   Panggilku. Apa ada orang yang sudah menyebabkan hewan-hewan ini berubah sinting? "Ada orang di sini?"

   Teriakku sekuat tenaga.

   Tidak ada jawaban.

   Anjing-anjing menubruk sisi kandang masing-masing, seakanakan hendak keluar.

   Kucing-kucing melengkungkan punggung mereka dan mendesis.

   Aku harus pergi dari sini, pikirku.

   Tidak ada alasan untuk tetap berada di sini.

   Aku berbalik menuju kantor -dan tersentak terkejut.

   "Kit!"

   Seruku. Kit melangkah keluar dari balik deretan kandang kucing. Ia mengenakan kaus kelabu longgar dan celana hitam ketat. Rambutnya tergerai di sekitar wajahnya.

   "Kit...,"

   Teriakku untuk mengatasi jeritan dan desisan hewanhewan.

   "Apa yang kaulakukan di sini? Aku senang bertemu denganmu!"

   Yang membuatku terkejut, ekspresinya berubah keras dan dingin.

   "Sekarang giliranmu, Marty,"

   Katanya. Chapter 28

   "HAH?"

   Aku maju selangkah mendekatinya.

   "Kit -apa katamu tadi? Di sini ribut sekali."

   Ia mengangkat satu tangannya. Desisan dan salakan seketika berhenti.

   "Hei -ajaib!"

   Seruku.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   "Sekarang giliranmu, Marty,"

   Ulangnya; ia menatapku dengan pandangan sedingin es.

   "Giliranku? Aku tidak mengerti."

   "Kau membunuhku,"

   Katanya dengan pelan, datar.

   "Kau membunuhku, lalu kedua temanmu tertawa-tawa."

   Aku maju mendekatinya, benakku berputar.

   "Kit, kau baik-baik saja?"

   Tanyaku.

   "Kata-katamu tidak masuk akal."

   Ekspresinya berubah semakin dingin. Ia menarik bibirnya dan menggumamkan desisan menakutkan.

   "Akulah kucing itu, Marty,"

   Bisiknya.

   "Aku kucing gelandangan itu. Kucing dari gimnasium. Kucing yang kaubunuh bersama teman-temanmu."

   "Whoa!"

   Seruku.

   "Tenang. Tenang dulu."

   Kuletakkan tanganku di bahunya. Tapi ia mendesis lagi bagai hewan dan menyentakkan bahunya dari tanganku. Wajahnya memancarkan kebencian. Mata hijaunya menyambar marah.

   "Tenang,"

   Kataku.

   "Akan kupanggilkan dokter. Kau akan sembuh. Kau hanya tegang, Kit. Karena semua kejadian mengerikan selama minggu kemarin. Kau jadi mengatakan yang tidak-tidak. Tapi... akan kucarikan bantuan."

   "Akulah kucing itu, Marty,"

   Ulangnya.

   "Kau sudah bertemu dengan keluargaku -ingat? Kucing-kucing lain dalam rumahku? Mereka itu saudara dan saudariku."

   "Tapi, Kit...,"

   Aku hendak bicara. Ia mengangkat tangan dan mencakar udara.

   "Aku pengubah-bentuk,"

   Lanjutnya.

   "Aku salah satu pengubahbentuk terakhir di bumi. Aku berubah-ubah antara seorang gadis dan seekor kucing. Mudah sekali bagiku."

   Ia maju selangkah.

   "Kenapa kau membunuhku, Marty? Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau dan teman-temanmu selalu bersemangat untuk mengusirku?"

   "Kit, please..."

   Pintaku.

   "Kau bukan kucing. Kau hanya sangat kebingungan sekarang ini. Tapi kau akan sembuh. Aku janji."

   "Kau tahu kenapa aku berkeliaran di gimnasium?"

   Tanyanya.

   "Kau tahu kenapa aku tinggal di bawah panggung penonton? Agar bisa dekat denganmu!"

   "Hah?"

   Aku tersentak.

   "Aku diam di sana untuk menyaksikan dirimu,"

   Katanya bersikeras.

   "Aku begitu tergila-gila padamu."

   Ia mencibir.

   "Itu cinta sejati, Marty. Dan bagaimana caramu membalas? Kau menjatuhkan diriku dari atas panggung penonton. Kau mencoba membunuhku. Kau tidak tahu bahwa aku punya sembilan nyawa."

   Aku menatapnya tajam. Mulutku ternganga. Aku tidak mempercayai kata-katanya sedikit pun. Tidak sepatah kata pun. Semuanya sinting. Kit yang malang sudah gila.

   "Akan kucarikan bantuan,"

   Kataku padanya.

   "Tidak, tidak akan,"

   Katanya.

   "Kau akan mati, Marty. Aku akan merindukanmu. Sungguh. Tapi aku sudah terlalu lama bermain-main denganmu. Sudah saatnya mengakhirinya."

   "Dengarkan aku...,"

   Kucoba menjelaskan.

   Tapi aku berhenti sewaktu melihat ia mulai berubah.

   Bulu-bulu kelabu dengan cepat tersembul di seluruh wajahnya.

   Ciri-cirinya melebur menjadi satu, sementara kumis kucing menjulur keluar dari bawah hidungnya.

   Ia menyelinap keluar dari pakaiannya, tertutup oleh bulu-bulu kelabu sekarang.

   Menyusut...

   menyusut...

   Dan akhirnya berdiri pada keempat kakinya.

   Tangan dan kakinya berubah menjadi cakar.

   Sebuah ekor menjulang kaku di belakangnya.

   Bibirnya tertarik ke belakang dan mendesis bagai kucing.

   "Tidaaaaaaak!"

   Aku melolong ngeri sekaligus tak percaya. Aku tengah menatap kucing itu. Kucing kelabu dengan bercak hitam berbentuk berlian di dahinya. Aku tengah menatap Kit. Menatap kucing yang sudah mati itu. Menatap kucing yang sudah kubunuh.

   "Tidak -please!"

   Pintaku. Aku terhuyung-huyung mundur. Tapi tidak cukup cepat. Ia melompat tinggi, mengangkat kedua cakarnya yang tajam. Sakit yang luar biasa menyambar seluruh wajahku. Kulihat darah merah manyala -darahku! -menciprati lantai.

   "Ohhhhh."

   Sakitnya menyebar ke seluruh tubuhku. Ia menarik cakarnya. Kulihat sepotong kulitku di sana. Sambil memegangi wajahku yang berlumuran darah, aku jatuh berlutut. Dan melihatnya mengangkat cakar untuk mengirisku lagi. Chapter 29

   "AOWWWWW!"

   Aku menjerit saat cakar kucing tersebut mengiris kemejaku, merobek kulitku.

   Kit menjerit.

   Matanya menari-nari gembira.

   Ia kembali menerkam.

   Aku merunduk menghindar.

   Ia mendarat dengan keras di sampingku, di lantai ruang kandang.

   Rasa sakit menyambar di seluruh tubuhku, menyebabkan aku terlipat.

   Darahku membasahi lantai.

   Saat mengangkat kepala, kulihat ia bangkit berdiri.

   Bersiap menyerang lagi.

   Aku mengerang.

   Tidak ada jalan untuk meloloskan diri.

   Aku menyadari ia akan membunuhku.

   Ia akan mencincangku habis-habisan.

   Ia melontarkan kepalanya ke belakang sambil menjerit melengking.

   Dan menerjangku lagi.

   Aku berbalik -dan cakarnya merobek sisi tubuhku.

   Segalanya berubah merah.

   Semerah darahku.

   Aku tercekik.

   Terengah-engah menghirup napas.

   Aku merasa diriku semakin lemah.

   Memudar...

   memudar menjadi merah.

   "Tidaaak!"

   Kataku sambil mengerang.

   Kudorong diriku maju.

   Menyambar kandang-kandang anjing sebagai pegangan.

   Mengangkat diriku menjauhinya.

   Sebuah geraman tajam menyebabkan aku berhenti.

   Sekalipun kesakitan, sekalipun pandanganku berkunangkunang, aku melihatnya.

   Brutus.

   Anjing besar tersebut menggeram ke arahku.

   Kudengar Kit menjerit.

   Aku berbalik dan melihatnya berlari ke arahku dengan keempat kakinya.

   Pandangannya liar.

   Bulu-bulunya berdiri tegak bagai tersengat listrik.

   "Brutus,"

   Kataku sambil mengerang.

   Aku berusaha membuka selot kandang.

   Tanganku gemetar hebat, hingga sulit bagiku untuk melakukannya.

   Akhirnya aku bisa menarik pintu kandang hingga terbuka.

   Anjing besar tersebut keluar kandang tepat pada saat Kit menyerang.

   Aku jatuh ke lantai.

   Rasa sakit menyapu seluruh tubuhku.

   Menarikku ke bawah...

   ke bawah.

   Tapi kuangkat kepalaku tepat pada waktunya untuk melihat anjing besar tersebut menjepitkan rahangnya ke kucing itu.

   Kit menjerit dan mencakar.

   Kudengar derakan memuakkan sewaktu Brutus mematahkan leher Kit dengan gigi-giginya.

   Kit merintih panjang.

   Tubuhnya merosot tanpa nyawa di rahang anjing tersebut.

   Dan aku merosot ke lantai.

   Mengawasi tirai merahnya berubah menjadi hitam.

   Chapter 30 DOKTER UGD tersebut menggeleng.

   Ia telah menjahit lukalukaku dan memeriksa diriku.

   "Aku masih tidak bisa mempercayainya,"

   Gumamnya.

   "Kucing yang melakukan semua ini padamu?"

   Aku mengangguk muram.

   "Yeah. Seekor kucing. Aku tidak tahu mengapa hewan itu menyerangku. Tapi aku tidak akan kembali ke tempat penampungan hewan itu lagi. Itu sudah pasti."

   "Kurasa itu tindakan yang cerdas,"

   Dokter tersebut menyetujui.

   "Kurasa kau tidak cocok bergaul dengan hewan."

   Benar-benar pernyataan yang meremehkan! pikirku.

   Sewaktu meninggalkan rumah sakit dengan orangtuaku, aku berharap bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada mereka.

   Tapi tidak mungkin mereka akan mempercayai ceritaku.

   Orangtuaku tidak akan mempercayai adanya pengubah-bentuk.

   Aku tidak kenal seorang pun yang mempercayai adanya pengubahbentuk.

   Kecuali diriku, tentu saja.

   Riki menelepon beberapa jam sesudah aku tiba di rumah.

   Tubuhku terasa begitu sakit, hingga hampir-hampir tidak bisa menahan telepon di telingaku.

   Tapi kami bercakap-cakap cukup menyenangkan.

   Kuputuskan bahwa Riki ternyata boleh juga.

   Malahan ia hebat juga.

   Kuputuskan untuk meminta maaf atas perlakuanku padanya sebelum ini.

   Mungkin ia dan aku bisa mencoba lagi -sekarang, sesudah kengerian itu berlalu.

   Pertandingan turnamen basket yang pertama akan berlangsung hari Jumat malam yang akan datang.

   Tubuhku masih terasa sakit, dan sisi tubuhku berdenyut-denyut setiap kali menangkap bola.

   Tapi aku begitu gembira karena kembali ke lapangan, begitu gembira karena menjalani kehidupan normal, sehingga tidak kuacuhkan rasa sakit itu dan aku berusaha sebaik-baiknya.

   Pertandingan akan berakhir dua menit lagi, dan kami masih kalah dua angka.

   Kevin dan Joe Gimmell saling melemparkan bola sambil bergemuruh melintasi lapangan.

   Aku berderap di dekat garis tembak, mencoba mendapat kesempatan.

   Aku berpura-pura ke kiri.

   Joe bisa melihat bahwa posisiku terbuka.

   "Lemparkan! Lemparkan!"

   Teriakku.

   Ia berhenti men-dribble bola dan mengangkatnya, seakan-akan hendak melemparkan bola tiga angka sendiri.

   Lalu ia melontarkan bola kepadaku.

   Aku meraihnya.

   Dan melihat cahaya hijau di bawah panggung penonton.

   Dua cahaya hijau.

   Dua mata hijau.

   Mata seekor kucing.

   Seekor kucing dengan bercak hitam berbentuk berlian di dahinya.

   Bola memantul pada dadaku.

   Penonton mengerang.

   Aku tidak peduli.

   Aku menatap kucing itu.

   Hewan tersebut mengacungkan cakar yang berlumuran darah.

   Dan aku mulai menjerit.END

   

   

   

Wiro Sableng Roh Dalam Keraton Wiro Sableng Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut

Cari Blog Ini