Terror Di Akhir Pekan 2
Fear Street Terror Di Akhir Pekan Bagian 2
"Kita harus menelepon polisi."
"Kau tak bisa melaporkan orang hilang sampai orang itu lenyap selama dua puluh empat jam. Ini baru..."
Chris melihat arlojinya.
"Sekarang baru jam dua. Kalian berdua tiba di sini jam sembilan tadi malam."
Baru beberapa jam? pikir Tina. Aku merasa seakan sudah berabad-abad menunggu Josh.
"Mungkin aku harus menelepon paman dan bibiku,"
Gumamnya.
"Kalau itu maumu,"
Jawab Chris. Tidak, aku tidak benar-benar ingin menelepon mereka, pikirnya. Mereka akan menelepon orangtuanya dan semua orang akan muncul di Patterson. Dan akhir pekannya bersama Josh akan berakhir sebelum dimulai.
"Tidak,"
Kata Tina, sambil mengayun-ayunkan kaki di beton.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan."
"Aku tahu apa yang kauperlukan,"
Kata Chris. Chris menepuk pahanya sendiri.
"Bagaimana kalau frozen banana?"
Di antara semua makanan di pasar malam ini, frozen banana adalah kesukaan Tina. Bagaimana Chris bisa tahu? pikir Tina. Apakah ia bisa membaca pikiran atau semacam itu? "Oke,"
Tina menyetujuinya dengan ragu-ragu.
Mereka berjalan di antara stan-stan dan wahana-wahana menuju kios es krim.
Pikiran Tina melayang jauh dari pasar malam.
Aku tidak adil terhadap Chris, pikirnya.
Bukan maunya menghabiskan akhir pekan ini bersamaku.
Aku harus berhenti khawatir dan mulai bersenang-senang.
Setelah makan frozen banana, mereka menuju Ferris Wheel.
Ketika mereka antre, Tina berusaha untuk mengobrol walaupun setengah hati.
Tapi pikirannya mengembara ke Holly dan Josh.
"Nah, apakah kau pernah mendengar mereka?"
Tanya Chris.
"Mendengar siapa?"
"Sudahlah,"
Jawab Chris.
"Giliran kita berikutnya."
Petugas mengantarkan mereka ke kursi.
Chris menurunkan palang pengaman.
Semenit kemudian wahana itu mulai bergerak.
Udara musim semi yang sejuk menerpa wajah Tina.
Suara-suara terdengar makin samar.
Tina merasa perutnya mulas ketika kursi mereka menurun.
Ia merasakan embusan angin ketika kursi naik kembali.
Chris mengatur-atur kameranya.
Ia mengarahkannya pada Tina dan memotretnya beberapa kali ketika mereka sedang berputar.
Tina mengamati orang-orang yang berkerumun di bawah, berharap melihat Holly.
Di perjalanan turun berikutnya, pikirnya, aku akan memeriksa bagian sebelah sana.
Tapi kursi mereka tidak turun lagi.
Kursi itu tersentak dan kemudian berhenti.
Tina menengadah ke langit terbuka.
Aku nyaris dapat menyentuh awan, pikirnya.
"Kita macet,"
Kata Chris.
"Kau pernah macet di atas?"
"Tidak,"
Jawab Tina.
Anak-anak di kursi bawah mulai menangis mencari orangtua mereka.
Seekor burung hinggap di jari-jari roda raksasa itu, kemudian terbang lagi.
Aku ingin bisa terbang, pikir Tina, dan memulai akhir pekan ini dari awal lagi.
Karena asyik melamun, ia tidak sadar Chris telah bergerak mendekat -sampai cowok itu memeluknya.
Mata Chris menatap matanya tajam.
Jangan sekarang, pikir Tina.
Aku tidak sudi mencium dia di sini.
Aku sama sekali tidak mau menciumnya.
Aku punya pacar.
Pacar yang akan kembali beberapa saat lagi.
Tina menepi.
Chris mengelus pipi Tina.
"Berhentilah merasa cemas,"
Katanya menenangkan.
"Kau terlalu khawatir."
Chris memeluknya dan mencondongkan badannya ke depan.
Kemudian Chris menekankan bibirnya yang lembut ke bibir Tina.
Tina sebetulnya tidak ingin, tapi ia tidak bisa menahan diri.
Ia menyerah dan balas mencium.
Chris memeluknya lebih erat.
Ciumannya semakin dalam.
Aku menyukainya, pikir Tina.
Aku tahu seharusnya tidak boleh berperasaan begini, tapi aku benar-benar suka.
Angin sepoi-sepoi dengan lembut menggoyang kursi mereka.
Anak-anak yang menjerit terdengar samar di kejauhan.
Jari-jari tangan Chris menyisir rambut Tina.
Kemudian Chris memegang wajah Tina dengan kedua tangannya.
Pandangannya menerawang.
"Chris,"
Tina menyentuh lengannya.
"Kau tidak apa-apa?"
Chris tidak menjawab.
"Chris,"
Tina mengulangi.
"Bicaralah."
Chris menyipitkan mata memandang Tina. Apa yang dilihatnya? tanya Tina dalam hati. Ekspresinya begitu dingin. Chris membuka ekor kudanya. Rambutnya tergerai. Ia menggeleng.
"Maaf,"
Kata Chris akhirnya.
"Aku tidak pernah naik Feeris Wheel sejak..."
Suaranya makin pelan.
"Tak apa-apa,"
Ujar Tina lembut.
"Carla sudah menceritakan tentang dia kepadaku."
"Aku selalu melihat wajahnya,"
Bisik Chris.
"Aku ingin bisa mengusir bayangan wajahnya."
"Itu perlu waktu,"
Ujar Tina. Senang rasanya menghibur Chris. Bagaimanapun, Chris telah menghibur dia sepanjang hari ini. Chris mengalihkan tatapan matanya yang hijau dan tajam itu padanya.
"Kau tahu, Josh bodoh karena pergi seperti itu,"
Katanya.
"Bagaimana kalau aku tidak muncul di stasiun kereta api ketika kau tiba kemarin? Kau tahu apa yang bisa terjadi pada dirimu?"
Tina bergidik ngeri.
"Jangan ngomong begitu."
"Ia seharusnya di sini terus,"
Chris melanjutkan.
"Kukatakan kepadanya jika aku punya pacar seperti kau, aku tidak akan pergi ke mana-mana."
Chris bergerak mendekat.
"Kuharap mereka segera memperbaiki wahana ini,"
Kata Tina, sambil melihat ke bawah.
"Buat apa buru-buru?"
Chris memeluknya lagi.
"Aku takut ketinggian,"
Tina berbohong.
Chris memeluknya erat.
Tulang-tulangnya menekan dada cowok itu.
Tina hampir tak bisa bernapas.
Kumohon, mulailah berputar lagi.
Kumohon.
Kami berdua terlalu berat untuk berada di satu sisi kursi ini.
Tina melihat ke bawah, ke tanah.
Chris menekankan bibirnya ke bibir Tina.
Bibir Chris rasanya seperti cokelat dan pisang.
Aku tak ingin mencium dia lagi, pikir Tina.
"Chris!"
Teriak Tina, sambil mendorong Chris.
"Please. Kita membuat kursi ini miring."
Chris menekankan bibirnya ke bibir Tina lagi. Tina memalingkan wajah.
"Hentikan,"
Kata Tina tegas.
"Ada apa sih?"
Bentak Chris.
"Permainan apa yang kaumainkan?"
"Aku -aku tidak memainkan permainan apa-apa,"
Tina tergagap. Chris mencengkeram Tina dan mendaratkan ciuman di pipinya dengan penuh nafsu. Tina bergidik.
"Hentikan!"
Teriak Tina.
"Aku tidak main-main."
Didorongnya Chris ke sisi lain kursi. Kumohon berputarlah lagi. Kumohon! "Kupikir kau ada rasa pada diriku,"
Kata Chris marah.
"Semenit yang lalu tampaknya kau tidak keberatan kucium. Akuilah, kau ada rasa!"
"Ya... Maksudku, aku menyukaimu, tapi kau tahu bagaimana perasaanku pada Josh."
"Bagaimana tentang tadi malam?"
Chris memprotes.
"Dan beberapa menit yang lalu? Kau tidak memikirkan Josh."
Aku harus menemukan kata-kata yang tepat, pikir Tina.
"Kau benar,"
Tina mulai.
"Tapi Josh dan aku sudah pacaran selama dua tahun."
Ia menelan ludah dengan susah payah. Chris mengamati kursi Ferris Wheel dengan cepat. Ia meletakkan tangannya di atas palang pengaman dan mulai mengayunnya.
"Aku akan membuat kursi ini terbalik,"
Ancamnya.
"Kau penggoda, ya kan! Akuilah, Tina!"
Kursi itu miring ke depan.
"Chris,"
Teriak Tina.
"Hentikan. Kita bisa terlempar."
"Kalau begitu cium aku,"
Desaknya, sambil bergerak mendekat.
"Cium aku dan kemudian katakan bagaimana perasaanmu. Ayo. Cium aku sekarang!"
"Tidak!"
Teriak Tina. Chris mengayun gerbong itu dengan badannya. Ke belakang dan ke depan. Ke belakang dan ke depan.
"Hentikan!"
Desak Tina. Tina merasa perutnya mulas. Darah mengalir cepat ke kepala. Dicengkeramnya palang pengaman. Tina menatap orang-orang yang berkerumun di bawah. Ia membayangkan dirinya jatuh... jatuh. Otaknya berhamburan di atas semen.
"Chris! Kau gila!"
Jeritnya.
Chris tertawa.
Ia mengayun kursi itu lebih kencang.
Jantung Tina berdegup kencang.
Tina membuka mulut untuk menjerit.
Tidak ada suara yang keluar.
Jari-jarinya terlepas dari palang pengaman.
Chapter 11 TURUN...
turun.
Tidak.
Tidak jatuh.
Kursi mereka bergerak lagi.
Ferris Wheel mulai berputar.
Kursi itu berayun ke atas.
Tina menghela napas panjang karena lega.
Ia menoleh pada Chris.
Chris memainkan tali kameranya.
Ia menatap ke depan tanpa suara.
Apa yang dipikirkan Chris? Apakah ia tahu bahwa ia hampir membunuh kami berdua? Masih gemetar, Tina memeluk ujung kursi.
Mereka meluncur turun.
Tina mencondongkan tubuhnya ke depan, siap untuk melompat turun begitu wahana berhenti.
Tapi ternyata ia tidak berhenti.
Sekarang ada apa lagi? pikirnya.
"Hei, Chris!"
Petugas wahana melambai.
"Aku akan memberimu dua putaran lagi karena kau tadi macet begitu lama."
Tidak, pikir Tina. Aku harus menyingkir darinya.
"Bagaimana kalau kuambil beberapa fotomu lagi?"
Tanya Chris santai. Ia mengeluarkan kamera dari kotaknya. Chris bersikap seakan tidak terjadi apa-apa, pikir Tina. Sulit dipercaya.
"Pencahayaan di atas sini payah,"
Ujar Chris. Ia melihat ekspresi wajah Tina yang ketakutan.
"Aku membuatmu takut, ya?"
Tina mengangguk.
"Maaf,"
Gumam Chris. Ia mengatur kameranya.
"Aku hanya bercanda. Aku betul-betul minta maaf."
Suaranya terdengar ramah lagi.
Seperti Chris yang telah menolongnya sepanjang akhir pekan ini.
Aku kasihan padanya, pikir Tina.
Kematian pacarnya pasti membuat cowok ini begitu terpukul.
Tina tetap berdiam diri ketika kursi mereka terus berputar.
Aku harus turun dulu dari sini, pikirnya.
Setelah itu baru kuhadapi Chris.
Akhirnya kursi sampai ke tanah dan berhenti.
Tina bergegas turun.
"Hei, tunggu!"
Panggil Chris, menyusulnya. Chris menangkap lengannya.
"Tina,"
Pinta Chris dengan lembut.
"Jangan marah dong."
Tina menghela napas. Chris kelihatan begitu sedih. Kalau saja dulu aku tidak mencium Chris, peristiwa tadi tidak akan terjadi. Tina menatap Ferris Wheel. Ia ngeri ketika membayangkan dirinya jatuh dari puncaknya.
"Kumohon,"
Chris. mengulangi permintaannya.
"Aku seharusnya tahu ini akan terjadi. Aku pernah bilang, aku tidak pernah pergi ke pasar malam, sejak... kau tahu... kecelakaan yang menimpa Judy."
"Ayo kembali ke asrama,"
Ajak Tina seraya berbalik dari Ferris Wheel itu.
"Mungkin Holly ada di sana."
"Oke,"
Chris setuju sambil meraih tangan Tina.
Tina cepat-cepat memasukkan kedua tangannya ke saku.
Aku tak boleh memberinya harapan lagi.
Mulai sekarang aku akan bersikap amat dingin, sangat hati-hati.
Tina bergegas menerobos kerumunan orang.
Seorang badut tertawa keras sekali.
Musik membahana.
Anak-anak menjerit dan berlari-lari dengan gembira.
Satu menit lagi di tempat ini aku bisa meledak! pikir Tina.
Tina melihat skuter mereka.
Ia melompat naik.
Aku ingin kelihatan benar-benar cantik di hadapan Josh ketika ia pulang, pikir Tina ketika Chris menghidupkan mesin.
Aku akan mandi yang lama dan keramas dan...
Mau ke mana Chris? "Hei, Chris."
Tina menepuk bahu Chris keras-keras.
"Bukankah asrama ke arah sana?"
"Kupikir sebaiknya kita ke studioku sekarang. Memotretmu untuk portofoliomu!"
Chris berteriak sambil menoleh padanya.
"Jangan sekarang!"
Tina memprotes. Ia menarik lengan kemeja Chris.
"Ayo balik."
Chris menghentikan skuternya di pinggir jalan.
"Baru jam tiga,"
Chris menjelaskan.
"Carla baru akan kembali bersama mereka paling tidak jam lima. Ini satu-satunya kesempatan untuk memotretmu di dalam ruangan."
"Tapi aku kelihatan jelek sekali,"
Bantah Tina sambil mengusap rambutnya yang berantakan.
"Tidak, kau tidak jelek. Lagi pula, aku punya pakaian dan makeup di sana. Segala yang kaubutuhkan."
Bagaimana jika Chris kumat lagi? pikir Tina.
"Please. Aku memberitahu pamanku bahwa aku akan mengambil beberapa fotomu. Ia menyuruh aku berjanji akan menunjukkan foto-foto itu padanya."
Ini kesempatanku, pikir Tina. Jika Rob Roberts menyukai fotofoto itu, ia akan mengundang aku menjadi modelnya! Tina harus waspada terhadap Chris. Kalau Chris berbuat yang aneh-aneh, ia akan pergi.
"Oke,"
Tina setuju.
"Tapi hanya selama satu jam."
"Baik."
Chris mengulurkan tangan kanannya.
Tina ragu-ragu.
Sekarang aku yang bersikap tolol, pikirnya..
Chris kan hanya ingin bersalaman.
Dengan enggan Tina menyambutnya.
Chris menjabat tangannya dengan cepat.
Mereka melaju di antara mobil-mobil yang lalu lalang.
Mungkin reaksiku berlebihan di Ferris Wheel tadi, pikir Tina.
Bukankah Josh pernah juga bertingkah konyol seperti itu ketika di pasar malam Fear Street? Ia dan Jack Cooper mencoba memutar mobil balap keluar dari relnya.
Kurasa Chris tidak bermaksud menyakiti aku.
Dan ia akan menunjukkan foto-fotoku pada pamannya.
Jadi paling tidak, ada yang positif pada akhir pekan mengerikan ini.
Mereka berbelok ke persimpangan yang padat.
Sekelebat Tina melihat seorang cewek sedang mencium cowok di dekat mobil yang diparkir.
Cewek dengan rambut gelap pendek.
Memakai kaus putih dengan kata-kata PATTERSON MAVERICKS di punggung.
Tina memicingkan matanya agar bisa melihat lebih jelas.
Carla! Carla tidak pergi menjemput mereka.
Ia tidak meninggalkan kampus.
Apa-apan ini? Chapter 12
"BERHENTI! Chris -berhenti!"
Jerit Tina sambil menarik bahu Chris. Chris mengurangi kecepatan skuternya dan berhenti di pinggir jalan.
"Kita melewati Carla!"
Jerit Tina.
"Ia tadi sedang mencium seorang cowok!"
Tina menunjuk ke blok yang baru mereka lewati.
"Apa?"
Teriak. Chris.
"Tidak mungkin."
"Kembali!"
Tina berkeras.
"Cepat!"
"Jalan ini satu arah,"
Chris menjelaskan.
"Aku harus mengitari blok ini."
"Cepat!"
Desak Tina.
Ia melingkarkan lengannya di pinggang Chris ketika cowok itu meluncur ke jalanan lagi.
Apa yang terjadi? Tina heran.
Kenapa Carla membohongi kami? ĒBYKYLάWάS.BOGŞPOT.ČOM Cepat! Cepat! Dalam hati ia mendesak Chris.
Aku harus menanyai Carla.
Aku harus mengetahui yang sebenarnya! Tetapi ketika Chris akan belok ke kiri, skuter itu mogok.
"Tidaaak!"
Erang Tina.
"Aku tak tahu apa yang rusak,"
Chris minta maaf.
"Tunggu sebentar. Letakkan kakimu di pedal."
Chris berusaha menghidupkan mesinnya lagi. Tidak berhasil. Mobil-mobil menderu lewat.
"Apa yang rusak?"
Desak Tina.
"Entah,"
Jawab Chris.
"Turunlah."
Chris mendorong skuter itu ke pinggir jalan dan memeriksa mesinnya. Aku bisa lari kembali ke tempat aku melihat Carla tadi, pikir Tina. Tapi semua jalan satu arah sangat membingungkan. Chris mencoba menghidupkan mesin itu berulang kali.
"Kupikir bensinnya banjir,"
Gumam Chris.
"Kita lari saja ke sana!"
Pinta Tina.
"Sebentar lagi hidup,"
Kata Chris.
"Aku bisa merasakannya."
Mesin skuter itu terbatuk-batuk, lalu akhirnya menyala.
"Naiklah!"
Teriak Chris. Mereka meluncur kembali di jalanan. Chris membelok ke kiri, lalu ke kiri lagi. Mau ke mana dia? pikir Tina. Ia mundur terlalu jauh.
"Jalan ini!"
Teriak Tina di telinga Chris.
"Belok sini."
"Mana?"
Tina mencari-cari di antara mobil-mobil yang diparkir.
"Di sana! Di dekat van itu!"
Chris berhenti di samping van tersebut. Tak ada orang di sana.
"Aku tahu itu tadi Carla,"
Tina berkeras ketika turun dari skuter.
"Kenapa ia masih di sini?"
"Carla sudah tidak di sini,"
Kata Chris.
"Ia tidak mungkin masih di sini. Ia membawa jipku."
"Tapi sikapnya aneh. Mungkin ia tidak pernah berangkat."
"Buat apa ia berbohong?"
Desak Chris. Tina menelan ludah dengan susah payah. Ada yang berbohong. Pasti Carla.
"Kupikir ia tidak jadi berangkat karena, entah mengapa, ia tidak ingin aku bertemu Josh,"
Tina berkata.
"Carla dan Steve punya janji untuk pesta dansa nanti malam,"
Chris mengingatkan Tina.
"ia sangat menginginkan cowok itu kembali, sama seperti kau."
Ketika mereka sedang berdebat, dua cewek lewat di seberang jalan.
"Lihat mereka,"
Kata Chris, sambil menunjuk.
"Cewek yang pendek itu."
Gadis tersebut memakai jeans dan kaus putih bertulisan PATTERSON MAVERICKS di dada dan punggung. Dari kejauhan mudah saja ia dikira Carla.
"Oke. Kau menang,"
Tina mengakui.
"Merasa lebih tenang?"
Tanya Chris.
"Begitulah,"
Tina berbohong. Ia tidak merasa lebih tenang sedikit pun. Semua gadis di college boleh saja memakai kaus yang sama. Tapi gadis yang dilihat Tina tadi betul-betul Carla. Tak ada keraguan di benaknya.
"Lebih baik kita pergi,"
Desak Chris.
"Kita tak punya banyak waktu lagi."
Beberapa menit kemudian mereka membelok ke jalan sempit yang tidak rata.
Tina berpegangan kuat-kuat.
Chris melambatkan skuternya di depan sebuah gedung apartemen di antara dua lapangan kosong.
Tanaman menjalar merambat di dinding gedung itu, menutupi hampir semua batanya dan membingkai jendela-jendelanya.
Chris menghentikan skuter di jalan masuk.
Ia memutar gasnya sekali sebelum mematikan mesin.
Lalu ia melompat turun.
"Studio itu ada di bawah tanah,"
Kata Chris. Ia berjalan mendahului di tangga di salah satu sisi bangunan. Di dasar tangga Chris membuka pintu yang menuju gang yang panjang. Gang itu terasa pengap. Sebuah bola lampu memancarkan cahaya suram di atas karpet yang kotor.
"Kok kau bisa menemukan tempat ini sih?"
Tanya Tina.
"Lumayan lama juga mencarinya,"
Jawab Chris. Ia berjalan ke pintu di ujung gang.
"Aku ingin tempat yang tenang. Karena letaknya di bawah tanah, hampir tak ada suara dari luar. Tempat ini sempurna."
Chris membuka gerendel yang kuat dan dua kunci lagi di bawahnya. Kenapa ia memasang begitu banyak kunci? Tina heran. Aku yakin tak seorang pun tahu tempat ini ada.
"Aku menyimpan banyak peralatan yang sangat mahal di dalam,"
Chris menjelaskan, seakan dapat membaca pikirannya.
"Mau tak mau aku harus hati-hati."
Chris membuka pintu dan melangkah ke samping, menyilakan Tina lewat duluan. Ketika Tina masuk ke ruangan itu, Chris menekan tombol. Lampu menyala, bersamaan dengan berkumandangnya lagu yang dinyanyikan Psycho Surfers.
"Aku mengatur seluruh tempat ini dengan tombol ini,"
Chris menjelaskan, sambil menggantungkan kunci-kuncinya di paku dekat pintu.
"Aku tahu musik ini sangat keras, tapi musik ini membantu membangkitkan suasana kerja yang cocok."
Jantung Tina berdetak cepat karena gembira.
Semua yang ada di ruangan ini menarik perhatiannya.
Ia tak tahu apa yang harus dilihatnya duluan.
Satu-satunya cahaya dari luar masuk lewat dua jendela kecil di lantai dasar.
Karpet warna beige lembut menutupi lantai.
Foto dan poster para model yang mengenakan pakaian indah berderet di dinding.
Wow! pikir Tina.
Aku kenal beberapa model ini.
Foto-foto ini pasti dibuat oleh pamannya.
Tapi foto-foto para gadis yang tidak dikenalnya juga menakjubkan.
Aku ingin tahu apakah foto-fotoku akan jadi bagus seperti ini.
"Silakan melihat-lihat,"
Kata Chris bangga.
"Aku harus memeriksa sesuatu di kamar gelap."
Chris menghilang lewat pintu di ujung ruangan.
Tina berjalan pelan-pelan mengelilingi ruangan itu, mengagumi semuanya.
Di dekat salah satu dinding terdapat meja panjang yang di atasnya terletak segala macam perlengkapan.
Sebuah tripod, kipas angin tinggi, dan lampu sorot berdiri di dekat meja itu.
Di rak terletak beberapa kamera, lensa-lensa, dan berlusin-lusin kaleng tempat film.
Di sudut ujung ia melihat meja Chris.
Dan di sebelah meja itu terletak stereo dan TV.
Ini studio yang mengagumkan, pikirnya.
Dengan penuh semangat, ia menyusuri dinding lagi, memperhatikan foto-foto yang digantung dengan lebih teliti.
Ia sampai ke foto gadis-gadis yang mengenakan gaun malam.
Setiap gadis menandatangani fotonya.
Nama-nama Gabrielle, Francesca, dan Tahnee menyerbunya.
Tina menggumamkan namanya sendiri.
"Tina."
Betapa membosankan. Aku harus mengganti namaku. Berikutnya ia sampai ke bagian foto-foto yang tidak biasa. Banyak efek khusus.
"Aku ingin memotretmu seperti foto ini,"
Kata Chris, sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Tina. Terkejut, Tina berbalik.
"Bagaimana kau membuat foto seperti itu?"
Tanyanya. Tina menunjuk foto seorang gadis yang duduk di atas pasir. Bibir dan kuku gadis itu dipulas warna merah tua. Sebuah sekop biru mencuat dari pasir di sebelah ibu jari kakinya. Bagian lain foto tersebut berwarna hitam-putih.
"Aku mewarnai foto hitam-putih itu dengan pensil-pensil spesial ini,"
Chris menjelaskan.
"Untuk mendapatkan efek yang kuinginkan. Aku bisa memberimu rambut cokelat dan mata hijau."
"Well, kau fotografernya. Kau bisa melakukan apa saja yang kauinginkan pada diriku,"
Kata Tina. Chris melebarkan matanya.
"Apa saja yang kuinginkan?"
Tina merasa wajahnya merah padam.
"Kau tahu apa yang kumaksud."
Aku seharusnya tidak bicara begitu, Tina memarahi dirinya sendiri.
Aku harus berhati-hati.
Aku tak boleh membuatnya salah sangka lagi.
Tina berpaling ke dinding.
Matanya mendarat di foto seorang gadis berambut gelap dan bermata hijau.
Bulu kuduknya meremang.
Siapa dia? pikirnya.
Ia mirip aku.
Kami bisa dikatakan kembar, yang berbeda hanya warna rambut dan mata kami.
Si gadis tersenyum pada sang fotografer, mulutnya setengah terbuka, siap untuk bicara.
Aku hampir bisa mendengar suaranya, pikir Tina.
Dia mencoba mengatakan apa padaku? Foto itu membuatnya merinding.
Ia memaksa dirinya berpaling dan melanjutkan menyusuri dinding.
Chris berdiri rapat di sampingnya.
Tina sampai ke sebuah foto kapal layar.
Layarnya yang kuning dan oranye menggelembung ditiup angin.
"Ini kapalmu?"
Tanya Tina.
Chris tidak menjawab.
Cowok itu sedang menatapnya, raut wajahnya serius.
Aku salah ngomong lagi, pikir Tina.
Kenapa aku tak bisa ingat untuk menutup mulutku? Chris memikirkan Judy.
Chris mengamati wajahnya dan kemudian beralih ke belakang bahunya.
Ia mengenang kembali kecelakaan itu, pikir Tina.
Seperti di Ferris Wheel dulu.
Tina menahan napas.
Jangan kumat lagi, Chris.
Please.
Chris mengambil kacamata dari saku dan memakainya.
Kemudian ia menyisir rambutnya dengan jari.
"Itu dulu kapalku,"
Jawabnya pahit sambil menatap foto itu. Keheningan mencekam mereka. Tina pura-pura memperhatikan foto-foto yang lain di dinding.
"Ada makeup di kamar mandi,"
Kata Chris lembut.
"Pakailah. Kau tahu, bubuhkan eye shadow dan lipstik tebal-tebal. Dan kemudian kita akan memilih baju."
Chris berlalu dan sibuk memilih lensa dan kamera yang cocok.
Tina berjalan melintasi ruangan.
Aku tak tahu di mana kamar mandinya, pikirnya.
Ia tahu yang di ujung adalah pintu untuk masuk ke kamar gelap.
Dua pintu yang lain berdiri bersebelahan.
Tina memilih pintu yang sebelah kiri.
Ia meraih pegangan pintu.
"Jangan buka yang itu!"
Teriak Chris. Tina menarik tangannya dari pegangan pintu. Kenapa Chris marah begitu sih? pikirnya. Chris bergegas menghampirinya.
"Sori,"
Ia minta maaf.
"Di sana banyak bahan kimia yang tidak boleh kena cahaya."
Tina lega.
"Kukira itu kamar mandi,"
Katanya.
"Kalau begitu kamar mandinya di sebelah, ya?"
Chris mengangguk.
"Aku seharusnya memberitahumu. Ini salahku."
Tina membuka pintu itu dan menyalakan lampu. Tidak menyala.
"Oh, aku lupa,"
Seru Chris.
"Tombolnya yang di dekat kaca."
Tina berjalan pelan-pelan di kamar mandi yang gelap, tangannya terulur ke depan.
Di sini gelap sekali, pikirnya.
Aku tak bisa melihat apa-apa.
Kakinya membentur sesuatu dengan keras.
Apa itu? Tina berlutut dan meraba-raba lantai.
Kemudian ia merasakan ada rambut.
Rambut manusia.
Seseorang berbaring di atas lantai kamar mandi.
Tak bergerak.
Sama sekali tak bergerak.
Tak bergerak seperti orang mati.
Chapter 13
"
CHRIS!"
Tina menjerit.
"Chris -tolong!"
Ia mendengar langkah kaki Chris yang terburu-buru.
Chris meloncat masuk ke kamar yang gelap.
Tina mendengarnya menyalakan lampu.
Mata Tina berkedip-kedip.
Dengan ngeri memandang tubuh yang telentang di lantai tersebut.
Tubuh manekin.
Manekin yang memakai rok merah dan wig cokelat.
Bibirnya yang dicat membentuk senyuman.
Matanya yang biru menatap kosong pada Tina.
"Oh! Aku -sori!"
Tina tergagap.
"Kupilkir -"
"Itu Mary,"
Chris menjelaskan.
"Aku memakainya untuk mengetes pencahayaan. Aku seharusnya tidak meninggalkannya di sini. Kau tak apa-apa?"
"Ya. Baik."
Tina berjuang menenangkan jantungnya yang berdebar-debar.
"Aku akan siap-siap sekarang."
Tina melihat dirinya sendiri di cermin.
Cahaya yang terang menampakkan semua pori-pori di wajahnya.
Ada lingkaran gelap di bawah mataku, pikirnya.
Ia pernah membaca artikel di majalah-majalah mode tentang cara memakai makeup untuk sesi pemotretan.
Tapi ini adalah pemotretan sungguhan yang pertama baginya.
Ia memperhatikan makeup yang berderet di counter.
Chris punya semuanya.
Lipstik bermacam-macam warna.
Merah terang.
Cokelat tua.
Magenta.
Putih.
Eye liner dan eye shadow.
Krim, pensil, dan bedak.
Aku bisa betah di sini seharian, pikir Tina.
"Mulailah dengan alas bedak,"
Perintah Chris. Chris menyentuh wajah Tina.
"Ummm. Medium light."
Tina menuang cairan itu ke telapak tangannya dan mengoleskannya di wajahnya.
Biasanya ia hanya memakai makeup yang amat tipis, tapi hari ini lain.
Ia membubuhkan eyeliner warna abu-abu tua di atas dan di bawah pelupuk matanya.
Kemudian ia membubuhkan eyeshadow warna gelap dan maskara hitam tebal-tebal.
Ia menggunakan perona warna koral muda di tulang pipinya dan lipstik merah terang.
Ia merasa Chris memperhatikan gerak-geriknya.
"Tambah lipstiknya,"
Saran Chris.
"Lalu pakai ini."
Ia mengulurkan sikat tipis untuk menggambar garis bibir.
"Pakailah warna yang lebih gelap untuk membentuk garis bibirmu."
"Begini."
Ia menoleh dan tersenyum pada Chris.
"Kau perlu membedaki wajahmu supaya tidak mengilat kena cahaya lampu."
Chris membuka laci dan mengeluarkan sebuah wadah bulat. Kemudian ia menghampirinya dengan membawa tempat bedak itu.
"Biar kubedaki wajahmu,"
Katanya.
Rasanya aneh sekali, pikir Tina ketika Chris membedaki wajahnya.
Mata Chris seakan menusuk matanya ketika ia membedaki wajahnya, tapi ia merasa Chris seakan tidak melihatnya lagi, Tina Rivers.
Chris seolah melihatnya sebagai kreasinya.
Tina tahu dari majalah mode bahwa Rob Roberts memanjakan model-modelnya selama pemotretan berlangsung.
Ia bersikap seperti teman baik mereka.
Lalu, setelah pekerjaan besar itu selesai, ia berlayar berminggu-minggu dengan yacht-nya tanpa bicara dengan seorang pun.
Hanya dengan kucing-kucingnya.
Sifat aneh pasti menurun dalam keluarganya, kata Tina dalam hati.
"Sempurna,"
Ujar Chris, sambil melangkah mundur.
"Sikat rambutmu dan biarkan tergerai. Di lemari dinding di belakangmu ada beberapa pakaian. Kenapa kita tidak mulai dengan rok mini merah dan blus putih? Dan pakailah sepatu merah, oke?"
"Apa pun yang kaukatakan,"
Jawab Tina.
"Sampai ketemu sebentar lagi."
Chris cepat-cepat keluar dari kamar mandi.
Tina membuka pintu lemari dinding.
Selain pakaian yang disarankan Chris, ia melihat beberapa bodysuit, jeans berpotongan pinggul ketat, selembar blus sutra yang indah.
Dan setengah lusin gaun malam yang tampak mahal.
Wow! pikirnya.
Dari mana ia mendapatkan semua pakaian yang indah ini? Kalau punya uang, pasti baju-baju seperti ini yang akan kubeli di Dalby's di Shadyside.
Kalau aku mampu belanja di sana.
Ia memeriksa baju-baju itu.
Nomor enam.
Nomor enam.
Nomor enam.
Ukuran tubuhnya.
Enaknya punya uang, pikirnya.
Pasti Chris membeli sendiri pakaian-pakaian ini untuk semua modelnya.
Tina berganti baju dengan cepat.
Di belakang pintu tergantung cermin sepanjang tubuh.
Ia berputar di depannya.
Aku tak habis pikir bagaimana semua pakaian ini bisa pas sekali denganku, pikirnya.
Josh pasti suka melihatku mengenakan pakaian ini.
Mungkin aku bisa membelinya dari Chris.
Musik diganti dengan lagu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Ia ingin tahu grup apa yang menyanyikannya.
"Siap?"
Seru Chris di sela-sela musik yang berdentum-dentum. Tina membuka pintu. Chris berdiri di depan kamera, ekspresi wajahnya serius. Ia memakai kacamatanya lagi.
"Aku mesti bagaimana?"
Tanyanya malu-malu.
"Duduklah di sofa itu dan palingkan wajahmu dari kipas angin."
Tina melakukan perintah Chris. Kipas angin itu meniup rambutnya. Cahaya lampu yang terang terasa panas di wajahnya. Chris mulai menekan tombol kamera. Berkali-kali.
"Tunjukkan ekspresi melamun,"
Kata Chris cepat. Ia melepaskan kamera dari tripod dan maju mendekati Tina. Ia berlutut.
"Silangkan kakimu. Sekarang tampilkan ekspresi cemberut."
Dengan wajah intens, ia mendekat. Chris benar-benar menjiwai, pikirnya. Kuharap aku tampil dengan bagus.
"Letakkan jari-jarimu di bibir,"
Perintah Chris.
"Seakan kau sedang mencoba untuk mengingat sesuatu."
Ia menekan tombol beberapa kali lagi.
"Tunjukkan ekspresi wajah marah."
Chris menekankan kata marah. Itu sih gampang, pikir Tina. Ia membayangkan Carla. Digigitnya bibir bawahnya. Carla sebaiknya sedang di perjalanan untuk menjemput cowok-cowok itu, kalau tidak, awas.
"Sekarang bergayalah seolah kau sedang jatuh cinta,"
Desak Chris. Ditatapnya Tina lewat lensanya. Tina memikirkan Josh. Tentang senyumnya yang hangat dan rambutnya yang tebal dan ikal. Dan gurauan konyolnya yang selalu membuatnya tertawa.
"Kau tidak dengar?"
Chris mengulangi pertanyaannya.
"Kubilang seolah kau sedang jatuh cinta. Tunjukkan perasaan yang lebih... dalam. Lagi!"
"Aku sedang berusaha,"
Bisiknya. Keringat menetes di wajah Tina. Rambutnya terbang memasuki matanya. Ia ingin menggaruk pipi. Tapi ia tahu, ia tidak boleh berbuat begitu.
"Percuma."
Chris menghela napas, seraya menurunkan kameranya.
"Kau mulai berkeringat."
Ia berjalan menuju kamar mandi dan kembali membawa bedak dan dua kaleng soda.
"Ini."
Chris duduk di sampingnya di sofa. Tina meneguk sodanya, kemudian meraih bedak.
"Biar aku saja yang membedaki wajahmu."
Chris membubuhkan bedak di kening dan pipinya. Ia melakukannya agak terlalu lama. Ini mengerikan, pikir Tina. Ia merasa mata Chris menusuk matanya. Cowok itu lebih mencondongkan tubuhnya. Tina membuang muka. Kumohon jangan coba mencium aku.
"Kurasa aku harus membiasakan diri dengan lampu-lampu ini,"
Katanya. Aku akan mengajak Chris bicara tentang fotografi saja, Tina memutuskan. Membuat percakapan ini tetap bersifat resmi dan bersahabat.
"Tak jadi soal,"
Jawab Chris.
"Kau model terbaik yang pernah bekerja denganku selama ini."
"Chris,"
Tina mulai. Ia berdiri dan merapikan roknya.
"Aku suka pakaian ini. Jika kau tidak membutuhkannya lagi untuk model yang lain, aku ingin membelinya."
Chris tetap diam.
"Atau katakan padaku di mana kau membelinya, dan aku akan menanyakan apakah mereka punya baju yang sama,"
Tina mengusulkan. Ekspresi melamun kembali tampak di wajah Chris. Apa yang telah kukatakan? Jantung Tina berdentam-dentam di dadanya. Aku salah ngomong. Aku bisa merasakannya. Chris menatapnya. Apa yang telah kuucapkan? "Itu punya Judy,"
Chris akhirnya menjawab dengan suara pelan dan datar. Pakaian Judy! Tina merinding. Aku mengenakan pakaian cewek yang sudah mati! Ketika ia akan pergi, Chris menangkap tangannya.
"Mau ke mana?"
Desaknya.
"Kita belum selesai."
"Aku... aku ingin mengenakan pakaian yang lain. Mungkin salah satu dari baju-baju itu,"
Katanya dengan suara melengking.
"
Semuanya pakaian Judy,"
Kata Chris padanya.
"Ukuran kalian sama persis."
Chris menyimpan semua pakaiannya? Kenapa? Tak mungkin semua gadis modelnya berukuran nomor enam! Tina begitu terpana sehingga tak bisa bergerak.
"Ayo,"
Perintah Chris.
"Duduklah lagi di sofa."
Kulit Tina terasa gatal di balik pakaiannya. Cewek yang sudah meninggal pernah mengenakan pakaian ini. Apakah ia pernah berdansa memakai rok ini? Atau ke bioskop? Apakah ia kencan dengan Chris memakai pakaian ini? "Duduklah dan silangkan kakimu,"
Chris memberikan instruksi dengan dingin. Tina melakukan perintah Chris.
"Tidak. Ke arah yang lain."
Tampaknya Tina tidak bisa melakukan pose yang benar. Aku tak bisa konsentrasi, pikirnya. Aku harus melepas rok ini.
"Aku tahu apa yang tidak beres,"
Kata Chris. Chris lari ke kamar mandi dan kembali membawa wig dari manekin tadi.
"Ini, pakailah."
Tina menjejalkan rambutnya ke bawah wig itu. Kulit kepalanya terasa gatal. Rambut itu tergerai di bahunya membentuk ikal halus.
"Jauh lebih bagus,"
Gumam Chris.
Chris mengangkat kameranya ke mata tapi tidak menekan tombolnya.
Ia tetap mengatur-atur fokus pada wajah Tina.
Lensanya diputar keluar-masuk.
Ada yang tidak beres, pikir Tina.
Kenapa ia tidak memotret? Chris mendekat dan duduk di lantai di depannya.
"Aku tidak tahu kenapa kaucat rambutmu jadi pirang,"
Omelnya. Hah? Apa maksudnya? Tina memainkan ujung wignya, berusaha untuk tidak memandang Chris. Mungkin jika aku tidak melakukan kontak mata atau diam saja, ia tidak akan menggangguku.
"Judy!"
Bentaknya.
"Lihat aku!"
Judy? Ia memanggilku Judy? Tina menatap mata Chris. Dan berusaha untuk tetap tenang.
"Kenapa sih kau hari ini?"
Tanya Chris.
Chris duduk di sofa di sebelahnya.
Tina menyelipkan tangannya di bawah paha.
Aku tak akan membiarkan dia menyentuhku.
Namun Chris menduga lain.
Cowok itu memeluknya dan menundukkan wajah sehingga hanya beberapa inci dari wajah Tina.
Tina mendorong Chris menjauh.
"Kenapa kau?"
Tanya Chris.
"Kau yang menginginkan aku memotretmu. Apa aku tidak mendapat apa-apa sebagai imbalannya?"
"Chris,"
Tina memohon.
"Kumohon -"
"Bagaimana kalau ciuman, Judy?"
Chris menuntut, wajahnya mendekati wajah Tina.
"Bagaimana kalau ciuman? Aku senang sekali karena kau telah kembali."
Chapter 14 TINA mendorong Chris dan melompat berdiri.
Ia gila, Tina tersadar.
Aku harus keluar dari sini.
Sekarang.
Chris melompat dan maju mendekati Tina.
Kuasailah dirimu, kata Tina pada dirinya sendiri.
Ia mengira aku Judy.
Ia mencintai Judy.
Ia tidak akan menyakiti Judy.
Ia tidak akan menyakiti aku.
Tina menghela napas dalam-dalam Ia ingin mencium Judy.
Sebetulnya ia tidak ingin menciumku.
Yang dipikirkannya cuma Judy.
"Chris,"
Kata Tina kalem.
"Ini aku, Tina. Ingat? Pacar Josh."
Chris menatapnya tapi tidak menjawab.
"Ingat? Aku ke sini untuk berakhir pekan, tapi Josh terlambat datang karena pergi kamping. Ingat Carla sedang di perjalanan untuk menjemput Steve dan Josh?"
Tina melanjutkan. Kumohon ingatlah. Chris memalingkan wajah. Ketika cowok itu menoleh dan memandang wajah Tina lagi, ekspresinya sudah berubah.
"Kau mirip sekali dengan... dia..."
Suaranya melemah.
"Seharusnya kau tidak menyuruhku memakai wig ini. Dan bajubaju ini,"
Bisik Tina.
"Kau benar,"
Chris mengiyakan dengan berbisik.
"Chris, aku tahu apa yang telah terjadi sangat menyedihkan. Kehilangan Judy seperti yang kaualami.... Mengerikan. Sungguh menyedihkan. Tapi kau harus percaya padaku kau akan bertemu dengan gadis lain suatu hari nanti,"
Kata Tina padanya.
"Lihat saja. Luka hatimu akan sembuh. Kau akan menemukan seseorang yang bakal membuatmu bahagia. Seseorang yang akan mengusir kepedihan itu."
Kening Chris berkerut.
"Mungkin."
Tina berdiri. Aku harus melepaskan pakaian ini, pikirnya. Aku harus menyingkir dari Chris.
"Well, kupikir aku sudah cukup banyak berpose hari ini. Aku capek sekali. Aku tidak pernah mengira betapa sulitnya berpose. Nah, aku akan ganti pakaian. Lalu aku akan kembali ke asrama."
Tina beranjak ke kamar mandi. Chris menyambar lengan Tina.
"Kau model yang hebat,"
Katanya.
"Pamanku pasti terkesan dengan foto-foto ini."
Tina melirik tangan Chris.
"Bagus,"
Jawab Tina. Ia tidak peduli apakah Rob Roberts akan melihat foto-foto itu atau tidak. Ia hanya ingin keluar dari sini.
"Beberapa foto lagi,"
Chris berkeras, sambil memegangi lengan Tina.
"Tidak,"
Jawab Tina.
"Aku capek sekali, dan lampu-lampu itu membuatku agak mual. Rasanya aku sudah tidak kuat."
Tina melihat mata Chris berkilat marah.
Tangan cowok itu memegang lengannya lebih erat.
Di wajahnya tampak ekspresi aneh dan berbahaya itu lagi.
Lebih baik aku mengikuti kemauannya, pikir Tina.
Lebih baik aku bersandiwara sampai bisa keluar dari sini dengan selamat.
Aku tak boleh membuatnya benar-benar marah.
"Well, oke,"
Tina setuju.
"Tapi biarkan aku memakai pakaianku sendiri. Perasaanku tidak enak memakai pakaian ini, kau tahu maksudku?"
"Tunggu! Aku punya ide yang lebih bagus."
Chris menariknya ke kamar mandi. Tenggorokan Tina menjadi kering. Sekarang apa lagi? Dari bagian belakang lemari dinding di kamar mandi Chris mengeluarkan selembar gaun bergaya kuno. Panjang dan berat, terbuat dari kain biru tua.
"Ini dari tahun delapan belas sembilan belas,"
Ia menjelaskan.
"Nenek buyutku dulu memakai ini."
"Indah sekali!"
Seru Tina, agak lega. Gaun ini jelas bukan milik judy.
"Ada topi di meja perlengkapan dekat kaktus. Pakailah,"
Perintah Chris.
"Dan oleskan lagi lipstikmu. Pilihlah warna merah tua. Oke?"
Tina mengangguk, lalu Chris meninggalkan kamar mandi.
"Oh, dan satu lagi,"
Chris menambahkan, sambil mengulurkan kepala ke dalam kamar mandi.
"Terima kasih karena kau mengizinkan aku memotretmu. Foto-foto itu akan bagus untuk portofolioku."
Chris tersenyum lebar.
Tina memaksa dirinya untuk membalas senyum Chris.
Chris kelihatan normal kembali.
Dari satu segi sikapnya itu justru membuat situasi ini semakin menakutkan.
Chris berubah-ubah antara Chris yang manis, yang enak untuk diajak bicara dan banyak canda, dan Chris yang emosional, mudah marah, dan mengerikan.
Chris mana yang akan dihadapinya setelah ini? Tina memakai pakaiannya sendiri di balik gaun kuno itu.
Rencananya adalah keluar dari sana secepat mungkin.
Dengan memakai pakaiannya sendiri ia juga jadi merasa lebih aman.
Gaun itu pas sekali di pinggang, kemudian menggembung sampai ke lantai.
Karena mengenakan pakaiannya sendiri di baliknya, gaun itu terasa agak sesak.
Begitu ada kesempatan, aku akan keluar, katanya kepada dirinya sendiri.
Tapi aku harus menuruti kemauan Chris sampai aku bisa kabur.
Tina menghela napas dalam-dalam.
Gaun kuno itu "mengigit"
Pinggangnya.
Berpikirlah positif.
Tetap tenang.
Dengan susah payah ia mengancingkan gaun itu.
Perutnya terasa mulas.
Ia mengamati permukaan meja, mencari lipstik merah tua.
Diambilnya tabung demi tabung.
Semua warna ada kecuali merah tua.
Lipstik itu pasti ada di salah satu laci.
Ia membuka laci paling atas.
Dua tabung lipstik menggelinding di dalamnya.
Ketika meraih salah satu lipstik itu, ia melihat ada selembar foto yang tertelungkup.
Dengan rasa ingin tahu, ia mengambil foto itu dan membaliknya.
Ia kaget sekali.
Bulu romanya berdiri.
Ia melihat foto itu, membaliknya berulang kali.
"Astaga!"
Bisiknya.
Chapter 15 TANGAN Tina gemetar.
Foto itu hampir jatuh.
Foto dirinya.
Sedang tidur memakai kaus di ranjang asrama Josh.
Foto itu diambil tadi malam.
Tina menutup mulutnya dengan tangan.
Aku tak boleh menjerit.
Aku harus tetap tenang.
Tapi bagaimana aku bisa tetap tenang? Seseorang memang telah masuk ke kamarnya.
Chris.
Chris telah menyelinap masuk dan memotretnya selagi ia tidur! Ia sadar, Chris benar-benar gila.
Chris gila -dan ia mungkin berbahaya.
Apa yang dipikirkan Chris? Apakah ia mengira ia bisa menghidupkan Judy lagi? Apakah ia pikir aku ini Judy? Tina mengangkat bagian bawah gaunnya dan menyelipkan foto itu di saku.
Pikirannya dengan cepat menelaah semua pilihan yang ada.
Ia hanya punya satu pilihan.
Keluar.
Menyingkir dari Chris.
Ia mengintip ke luar kamar mandi.
Chris sedang menebar pasir di lantai dan menyeret sebatang pohon palem yang tinggi ke samping selimut pantai.
Tenggorokan Tina tercekat.
Ia melirik manekin gundul itu.
Mata birunya yang lebar dan senyumnya yang dingin membuat Tina bergidik ngeri.
"Kenapa sih lama sekali?"
Seru Chris.
"Waktu kita tinggal sedikit."
Chris jengkel. Aku harus hati-hati.
"Sebentar,"
Serunya.
"Aku sedang memakai sepatu kanvasku lagi."
"Telanjang kaki saja. Kau seolah berada di pantai!"
Teriak Chris. Ketika ia keluar, Chris sedang membungkuk di atas meja, membalik-balik majalah.
"Lihat ini,"
Katanya.
"Aku ingin kita melakukan beberapa gaya seperti ini."
Sekilas Tina melihat sebuah foto yang diambil di pantai. Cewek-cewek yang mengenakan gaun malam panjang dan warnawarni itu tersenyum sambil membawa botol-botol parfum indah.
"Duduklah di sana."
Chris menunjuk pemandangan pantai yang telah dipasang.
Pasir menutupi lantai.
Latar belakang biru sebagai langit.
Sebuah bola pantai terletak di atas pasir.
Kenapa pemandangan laut? tanya Tina pada diri sendiri.
Judy kan meninggal di laut.
Jika aku berpose di sana, ia pasti akan berpikir aku Judy.
Ia harus mengalihkan perhatian Chris.
Lalu ia bisa kabur dari studio ini.
"Berbaringlah. Aku akan mengambil foto pasir yang merembes dari sela jari-jarimu,"
Saran Chris.
"Tidak gampang berbaring memakai gaun ini, tapi aku akan mencoba,"
Jawab Tina.
"Beri aku waktu sebentar untuk mengatur rok ini."
Ia harus mengulur waktu.
Ia tidak mau Chris memotretnya! Aku harus keluar dari sini, kata Tina pada dirinya sendiri seraya berpikir keras.
Ia tadi membawakan aku soda ketika mengambilkan bedak.
Aku tidak melihat ada lemari es di kamar mandi.
Ia pasti menyimpan soda di kamar gelap.
Kalau aku bisa menyuruhnya pergi ke kamar gelap, aku bisa lari ke luar.
"Sebelum kita mulai,"
Pinta Tina.
"Boleh aku minum? Panas sekali di bawah lampu-lampu ini."
"Tentu,"
Jawab Chris.
"Apa pun boleh untuk model topku." . Modelmu satu-satunya, pikir Tina pahit. Dan sebentar lagi kau tidak akan punya model sama sekali. Di perjalanan ke kamar gelap, Chris berhenti. Tina melihat lemari es di rak di sebelah lensa-lensa. Apakah Chris menyimpan soda di sana? Jika demikian, ia tidak perlu pergi ke kamar gelap. Bagaimana aku bisa keluar dari sini? Chris membuka lemari es itu dan mengeluarkan sebotol cairan untuk mencuci film.
"Lemari esnya terlalu kecil untuk menyimpan barang-barang ini,"
Chris menjelaskan.
Bagus! Sodanya tidak ada di lemari es itu.
Beberapa menit lagi, kata Tina pada dirinya sendiri.
Kemudian kabur.
Chris berjalan pelan ke kamar gelap.
Tina melihatnya membuka pintu dan menghilang ke dalam.
Sekarang! pikir Tina.
Sambil mengangkat gaun kuno itu, Tina lari menuju pintu keluar.
Terkunci.
Kenapa Chris memasang semua kunci ini? pikirnya.
Dengan kalut ia berusaha membuka kunci yang paling atas.
Putar ke kiri? Tidak.
Ke kanan? Ayolah! Buka! Kumohon! Putar ke kanan? Pasti ke kanan.
Membukalah, pintanya.
Buka! Buka! Gerendel yang kuat itu menjepret ke belakang.
"Bagus!"
Diputarnya pegangan pintu sekali lagi. Pintu itu tidak terbuka. Jantungnya berdebar-debar. Tangannya gemetar.
"Aku segera keluar!"
Chris berteriak dari kamar gelap.
"Aku sedang memeriksa sesuatu."
Salah satu kunci itu masih terpasang.
Tapi yang mana? Yang mana? Dicobanya kunci satu persatu.
Akhirnya ia mendorong pintu hingga terbuka.
Aku tidak bisa lari memakai rok ini, ia sadar.
Tina menghambur di gang yang suram.
Aku harus melepaskan rok ini.
Dibukanya kancing-kancing rok itu sambil berlari.
Lari di gang.
"Oh!"
Teriaknya ketika rasa sakit yang amat sangat menusuk kakinya yang telanjang.
Potongan kaca yang tajam.
Ia membungkuk dan mencabut potongan kaca itu.
Darah mengucur ke atas karpet yang kotor.
Kakinya sakit sekali, tapi ia tahu ia harus tetap berlari.
Jangan berhenti, katanya dalam hati.
Tak ada waktu sekarang.
Pokoknya keluar.
Dengan napas terengah-engah, ia terpincang-pincang ke pintu keluar.
Hanya beberapa kaki lagi.
Tangannya mencengkeram pegangan pintu.
Dikunci! Pintu keluar ini juga dikunci! Kunci-kunci.
Di mana kunci-kunci itu? Di studio Chris.
Aku akan masuk lagi, ia memutuskan.
Aku akan pura-pura ini tidak terjadi.
Chris pasti masih berada di kamar gelap.
Ia berputar, bertekad untuk mendapatkan kunci-kunci itu dan kabur dari sini.
Ia berbalik menuju studio -dan menabrak Chris.
Wajah cowok itu menampakkan kemarahan yang amat sangat.
"Mau ke mana kau, Judy?"
Desak Chris.
"Chris -Aku -Aku..."
Tina tergagap.
"Sungguh, Chris. Aku harus pergi. Pemotretan kali ini tidak bisa kulakukan. Bukan karenamu, aku hanya merasa malu pada diriku sendiri. Dan lampu-lampu itu... Aku -Aku... tak tahan kena lampu-lampu... Kumohon, Chris... Biarkan aku pergi!"
"Kembali, Judy,"
Chris menggeram.
"Kembali. Aku tak mau terpaksa membunuhmu lagi!"
Chapter 16 HAH? Membunuh aku? pikir Tina, tercekam ketakutan. Bukankah kematian Judy karena kecelakaan? Rasa panik memenuhi dadanya. Keringat dingin membuat tubuhnya basah kuyup.
"Biarkan aku pergi!"
Teriaknya.
Chris mengabaikan permintaannya.
Ia memelintir lengan Tina Tina menatap mata Chris.
Tampak kebencian.
Kebencian yang lebih hebat daripada yang pernah ia lihat di wajah orang lain.
Chris mendorong Tina di sepanjang gang.
Masuk kembali ke dalam studio.
"Kumohon...!"
Teriak Tina.
"Kumohon, Chris!"
Tak seorang pun tahu aku di sini, pikir Tina.
Tak seorang pun.
Chris mendesak Tina ke meja perlengkapan.
Didorongnya tubuh cewek itu dengan kuat.
Punggung Tina menghantam duri-duri kaktus yang tajam.
Ia mendengar gaunnya robek.
Duri-duri itu menusuk kulitnya.
"Apakah aku menyakitimu?"
Teriak Chris, napasnya terengah-engah. Tina menggigit bibir.
"Ekspresi yang bagus,"
Kata Chris padanya, matanya liar.
"Aku suka itu. Tetap begitu. Biar kupotret."
Bagus. Pergilah ambil kameramu, pikir Tina. Nanti aku bisa kabur lagi. Tapi Chris tidak mencari kamera. Ia malah menyusun jarijarinya membentuk lingkaran dan meletakkannya di depan mata, purapura menyetel fokus.
"Kita pasangan yang begitu serasi. Kenapa kau harus merusak segalanya?"
Chris menuntut.
"Kenapa? Jawab aku, Judy!"
Chris memutar tubuh Tina. Kemudian ia menyentakkan lengan Tina ke belakang punggungnya. Ia melingkarkan lengan kanannya di leher Tina. Tina hampir tidak bisa bernapas. Apa yang akan dilakukan Chris setelah ini? "Ayolah, Judy,"
Kata Chris dengan suara serak.
"Jangan melawan kali ini."
Tina menyepak kaki Chris. Ia mengayunkan kepalanya ke belakang, lalu menghantamkan kepalanya ke gigi Chris. Chris tertawa. Tina menyepak pergelangan kaki Chris dengan kakinya yang telanjang. Chris tertawa lagi. Tawanya seperti orang gila, kejam.
"Lepaskan aku!"
Jerit Tina.
"Aku bukan Judy!"
Tapi ia tahu Chris tidak mendengar. Chris mempererat jepitan lengannya di leher Tina. Tina menghunjamkan giginya ke kulit cowok itu.
"Aduh!"
Teriak Chris.
Ia mengendurkan cengkeramannya.
Sambil menjerit nekat Tina melepaskan diri.
Tapi Chris menjegal dan membantingnya ke lantai.
Pipinya menghantam karpet.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tina mencoba merangkak menjauh.
Tapi Chris menangkap pergelangan kakinya dan mulai menyeretnya melintasi lantai.
Tina mencengkeram karpet.
Tapi ia tidak bisa membebaskan diri.
"Chris, tolong,"
Tina memohon.
"Lepaskan aku. Kenapa kaulakukan ini?"
"Kau tak bisa lagi berbuat seenakmu, Judy,"
Kata Chris dengan marah.
"Tapi aku bukan Judy. Please!"
Tina menangis tersedu-sedu.
"Aku Tina. Tina."
"Sekarang kau harus mengikuti keinginanku."
Chris menyeret Tina ke kamar gelap.
"Bersenang-senanglah!"
Teriak Chris.
Dibantingnya pintu kuatkuat.
Tina mendengar kunci diputar.
Kegelapan menyelubunginya.
Udara berbau asam.
Mulutnya terasa pahit.
Zat kimia, pikirnya.
Dengan tangan gemetar ia melepaskan gaun kuno itu dan melemparkannya ke dalam kegelapan.
Otot-ototnya sakit.
Kakinya yang luka berdenyut-denyut.
Aku harus tetap tenang, pikirnya.
Aku harus berpikir jernih.
Itu satu-satunya jalan untuk menang melawan orang gila.
Pelan-pelan matanya terbiasa dengan kegelapan.
Obyek-obyek di ruangan itu mulai menampakkan bentuknya.
Alat untuk memperbesar film.
Pemotong kertas.
Bak cuci.
Meja panjang dengan baki-baki berisi bahan kimia.
Lemari metal.
Di atas kepalanya, klise-klise film tergantung di tali nilon.
Ia menemukan handuk kertas dan plester, lalu membuat perban sementara untuk kakinya yang berdarah.
Ia ingin mempersiapkan diri sebelum lari.
Aku harus mencari sesuatu untuk dijadikan senjata, pikirnya.
Ketika Chris datang, aku harus siap.
Tapi apakah Chris akan kembali? ia bertanya dalam hati.
Mungkin Josh akan ke sini dan menemukan aku.
Ya.
Aku akan tinggal di sini sampai Josh datang dan mencari aku.
Josh akan segera kembali.
Kalau melihat aku tidak ada di asrama, ia akan berusaha mencari kemari.
Aku akan tinggal di dalam kamar gelap ini sampai pertolongan tiba.
Kamar gelap yang nyaman dan aman.
Ia bisa mendengar Chris berteriak-teriak di balik pintu.
"Tidak kali ini, Judy. Kali ini aku bosnya."
Ruangan itu mulai berputar.
Ia merasa seperti kembali berada di Ferris Wheel, dan bumi jauh di bawahnya.
Aku berpikir seperti orang gila, Tina mengomeli dirinya sendiri.
Aku tidak dapat tinggal di sini.
Selamat? Aku pasti bercanda.
Aku akan jadi gila, pikir Tina.
Dinding-dinding ini akan menelanku.
Dan sekarang, sewaktu-waktu Chris akan menerobos masuk.
Aku perlu senjata.
Ia melihat lampu di atas.
Ia berdiri, mengulurkan lengan, dan menyalakan lampu.
Cahaya merah menerangi kamar itu.
"Tidak!"
Tina menjerit.
"Oh tidak!"
Ia berharap tadi tidak menyalakan lampu.
Chapter 17 SAMBIL memicingkan mata menembus cahaya merah, mata Tina menyapu dinding.
Foto-foto menutupi setiap inci dinding itu.
Foto-foto dirinya sendiri.
Matanya yang diperbesar.
Bibirnya.
Chris memakai foto-foto yang kukirimkan untuk Josh, pikir Tina.
Kemudian ia memperbesar foto-foto itu dan memotongnya.
Tina mengenali kepingan-kepingan hidupnya.
Hidupnya.
Berbagai kenangannya -menempel di dinding rumah orang gila.
Semuanya di sini.
Semua foto itu.
Foto yang diambil pada Hari Natal, ia sedang duduk di beranda depan rumahnya yang bersalju.
Foto Tina sedang menunggang Buttercup, kuda betina di tanah pertanian pamannya di Georgia.
Fotonya sedang memakai bikini yang diambil Josh sewaktu piknik kelas Josh di Fear Lake.
Dan foto pesta dansa.
Tina menarik foto itu dan membaliknya.
Pesan yang ditulisnya untuk Josh tertera di balik foto itu.
Tapi Chris telah mengubah nama Josh menjadi namanya sendiri.
Tolong Josh -temukan aku! pikirnya dengan putus asa.
Rasa menggigil menjalari tubuhnya.
Ia memeluk tubuhnya sendiri, mengayun-ayunkannya ke depan dan ke belakang sambil memperhatikan foto-foto itu.
Aku tak bisa mempercayai ini.
Dan kemudian ia menemukan sebuah foto yang paling mengerikan dari semua foto itu.
Di stasiun kereta api! Foto wajahnya yang ketakutan ketika ia berhadapan dengan laki-laki yang mencoba merampoknya.
Chris mengambil foto itu sebelum ia menolongku! Gila.
Apakah ia sedang memotret aku sekarang? tanya Tina kepada dirinya sendiri.
Mungkin ia punya lubang pengintai di dinding.
Apakah ia sedang mengawasi aku sekarang? Ia terobsesi padaku.
Ia terobsesi pada Judy.
Ia membunuh Judy.
Dan aku menciumnya, pikir Tina.
Ia pembunuh dan aku menciumnya.
Ia ngeri kalau ingat tangan Chris dengan lembut pernah membelai sisi wajahnya.
Seandainya saja ia bisa menghilang ke dalam salah satu foto itu.
Kembali ke masa ketika ia merasa aman.
"Josh -di mana kau?"
Bisiknya.
"Cepat datang. Kumohon!"
Tenggorokannya terasa kering dan panas.
Air mata menggenang di sudut matanya dan kemudian bergulir turun ke pipi.
Aku tak boleh hanya duduk di sini dan menunggu.
Menunggu untuk dibunuh.
Aku harus membuka pintu itu.
Aku harus keluar dari sini.
Sambil berdiri, ia melihat ke sekelilingnya untuk mencari benda tajam.
Ia perlu sesuatu untuk ditusukkan ke lubang kunci.
Matanya memandang lemari metal yang tinggi.
Kakinya gemetar ketika ia berjalan melintasi kamar gelap.
Kuatkanlah, katanya pada dirinya sendiri.
Semua akan beres.
Tapi saat ia membuka pintu lemari itu, Tina tahu bahwa tak ada yang bakal beres lagi.
Bau busuk menusuk hidungnya begitu pintu terbuka.
Perutnya mual.
Rasa asam mengumpul di lidahnya.
"Tidaaak!"
Ratapan yang lemah keluar dari tenggorokannya.
Ia memaksa matanya menatap wajah itu.
Apa yang tersisa di wajah tersebut.
Mata yang cekung menatapnya dengan pandangan kosong.
Persis seperti putih telur.
Pakaian itu.
Ia mengenali kaus hitam dengan gambar gunung di bagian depannya itu.
Ia yang membelikan kaus itu.
Tina ingat ia membelinya pada hari Josh diterima di Patterson.
Tidak.
Itu bukan dia.
Itu bukan dia.
Bukan.
Tina menjerit.
Tubuh Josh yang sudah kaku berguling ke lantai.
Chapter 18 TINA menahan air mata.
Ia menguatkan diri untuk menelentangkan mayat itu.
Wajah Josh...
wajahnya yang tampan....
Kulitnya telah rusak, menampakkan tulang hidung dan pipi.
Kulit di keningnya terkelupas.
Tina melihat pembuluh darah merah tipis di batas tumbuh rambut di kepalanya.
Rambutnya yang cokelat tebal dan indah hampir habis terbakar.
Kimia? Apakah Chris menggunakan bahan kimia untuk membunuh Josh? Tidak.
Ia memperhatikan luka menganga di sisi kepala Josh.
Chris pasti mengejutkan Josh dengan menyiramkan bahan kimia itu ke wajahnya.
Kemudian Chris menghantam kepala Josh.
Rasa dingin menjalari punggungnya.
Ia meraih tangan Josh.
Begitu dingin.
Dingin dan kaku.
Tina merasa tenggorokannya tersumbat.
Ia menjatuhkan tangan itu, memalingkan wajah, dan ingin muntah.
Ia membayangkan apa yang dipikirkan Josh di saat terakhir.
Apakah kau memikirkan aku, Josh? Aku mencintaimu.
Aku sangat mencintaimu.
"Judy!"
Teriakan Chris membuyarkan lamunannya.
Chris menarik pintu hingga terbuka.
Mata Chris melebar karena shock.
Mulutnya ternganga ketika melihat Tina berlutut di samping Josh.
Apakah Chris tidak tahu apa yang telah dilakukannya? tanya Tina dalam hati sambil terisak.
Apakah ia tidak ingat? "Judy,"
Bisik Chris sambil memegang tangan Tina.
Chris menariknya berdiri.
Sambil tersenyum, Chris memegang wajah Tina dengan kedua tangannya.
Kulit Chris terasa kasar ketika ia mengelus tulang pipi Tina.
Ia pembunuh, pikir Tina.
Dan ia menyentuh aku.
Begitu lembut.
Aku tak sanggup diperlakukan begini.
"Tak ada yang bisa memisahkan kita lagi. Tak ada,"
Bisik Chris. Matanya tiba-tiba melihat ke sekeliling kamar yang merah itu dan kemudian menatap Tina. Tina bergidik. Chris benar-benar gila.
"Aku hampir siap,"
Bisik Chris.
"Kita bisa pergi beberapa menit lagi."
"Pergi?"
Kata Tina kaget.
"Ke mana... ke mana kau akan membawaku?"
"Jangan pura-pura, Judy. Kau tahu betapa aku benci itu."
Tina tahu ia tidak cukup kuat untuk melawan Chris. Aku akan mencoba bicara dengan dia, pikirnya. Dulu pernah berhasil. Mungkin kali ini akan berhasil lagi.
"Kita akan bahagia bersama-sama. Kau akan lihat, Judy."
Chris mengayun-ayunkan tangan Tina. Chris bersikap seakan kami sedang berdiri di jalanan, mengobrol dengan akrab, pikir Tina. Bukan di dalam kamar gelap, dengan mayat Josh terbaring di atas lantai.
"Chris,"
Kata Tina, sambil menahan diri dengan susah payah agar tidak menangis tersedu-sedu.
"Ya?"
Chris menggenggam jari-jarinya dengan erat.
"Kau tidak akan bisa berbuat begini,"
Gumam Tina.
"Orangorang akan mulai mencari aku dan..."
Tina menelan ludah.
"Josh. Orang-orang akan bertanya-tanya di mana aku."
"Tak ada yang akan mencarimu, Judy,"
Chris melepaskan tangan Tina dan mulai menatap foto-foto itu.
"Mereka tidak akan mengirimkan regu pencari untuk orang yang sudah mati."
"Mereka akan menjebloskanmu ke dalam penjara, Chris. Apakah kau ingin menghabiskan sisa hidupmu di balik terali?"
Tanya Tina dengan suara gemetar.
"Aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Judy."
Mata Chris mengamati wajah Tina.
Dari ujung rambut hingga ujung kaki dan kembali ke wajahnya lagi.
Seharusnya aku menyadari waktu di stasiun kereta api dulu kalau ia terobsesi padaku, pikir Tina.
Kenapa aku tidak melihatnya? Chris menyeringai pada Tina.
Begitu puas dengan dirinya sendiri.
Tetap tenang, perintah Tina pada dirinya sendiri.
Tetap tenang.
Itu satu-satunya jalan agar kau bisa keluar dengan selamat.
"Jika kau membiarkan aku pergi sekarang, aku tak akan bercerita pada orang lain, aku janji,"
Tina berbohong. Pelan-pelan Tina mundur dari Chris.
"Mau ke mana kau?"
Tanya Chris tajam.
"Tidak ke mana-mana."
"Bagus, Judy."
Chris bergerak mendekati.
"Aku senang akhirnya kau menyadari bahwa aku benar."
Tina mundur seinci.
"Tentu, Chris,"
Gumamnya.
"Tentu."
Tina mundur ke tempat bahan kimia untuk mencuci film.
Ini dia, pikirnya.
Sekarang kau akan memperoleh ganjaran atas apa yang telah kaulakukan kepada Josh.
Tina menyambar baki yang terdekat.
Asam.
Ini pasti asam yang sama dengan yang dipakainya untuk membakar Josh.
Chris tersenyum padanya.
Senyum itu masih tampak di wajah Chris ketika Tina menarik lengannya ke belakang -dan menuangkan asam itu ke wajahnya.
Chapter 19 CAIRAN itu menciprati wajah Chris.
Chris berteriak terkejut -dan menggosok-gosok matanya.
Tapi ketika ia menurunkan tangan, wajahnya tampak marah saja, bukan kesakitan.
"Kau mengambil baki yang salah, Judy,"
Kata Chris dengan suara serak.
"Isinya hanya air."
Air! Tina merasa lantai yang dipijaknya runtuh.
"Kau tidak pernah peduli dengan hobi fotografiku, kan?"
Tuduh Chris. Cepat-cepat Chris menyeberangi ruangan, air menetes-netes dari kedua pipinya. Chris meraih kedua baki lain. Tina terkesiap. Apa yang akan dilakukannya? pikir Tina gelisah. Chris melihat foto-foto di dinding sekilas.
"Wajah yang cantik,"
Gumamnya.
Dengan satu tangan ia menyapu baki-baki itu ke lantai.
Cairan memercik ke udara.
Tina bergidik.
Cairan itu memercik ke atas.
Tina melompat mundur.
Tapi setetes cairan jatuh ke lengannya.
Tina menatap dengan ketakutan ketika sebuah lingkaran yang sangat kecil di kulitnya terasa panas sekali dan kemudian mengelupas.
Inikah yang dirasakan wajah Josh? Isak ngeri keluar dari kerongkongan Tina.
"Apa kaupikir aku akan melemparkan itu kepadamu?"
Tanya Chris. Ia mengelus pipi Tina dengan jari-jarinya.
"Aku tidak akan merusak wajah secantik ini. Bersama-sama kita akan kaya. Kau dan aku."
Aku harus keluar dari sini sebelum ia membunuhku, kata Tina pada dirinya sendiri. Tina langsung mencari-cari benda yang berat di kamar gelap itu. Sesuatu untuk dilemparkan pada Chris.
"Kau sudah kaya. Kau punya segalanya."
"Segalanya?"
Jawab Chris. Ia menggandeng Tina.
"Sekarang baru aku punya segalanya. Sejak dulu aku hanya menginginkan kau, Judy.
"Aku tak mengerti kenapa kau tidak pernah tahu itu. Tapi semua itu di masa lalu. Ayo."
Chris menarik Tina keluar dari kamar gelap. Tina melihat sebuah tripod dari metal di lantai dekat mesin pembesar film. Cocok. Sebaiknya rencana ini berhasil. Ia melirik tubuh Josh yang telentang di lantai. Kemudian ia menjerit ketakutan.
"Chris! Si Josh! Ia bergerak. Ia bangun!"
Chapter 20
"HAH?"
Chris berputar.
Tina mengambil tripod itu -dan mengayunkannya kuat-kuat.
Tripod itu menimbulkan suara bergemeretak ketika menghantam wajah Chris.
Darah menetes-netes dari hidung Chris.
Ketika ia mengangkat kedua tangannya ke wajah, Tina mengayunkan tripod itu lagi.
"Aku benci kau!"
Jeritnya.
"Kau telah membunuh Josh!"
Ia mengangkat logam itu ke udara untuk kedua kalinya.
Chris berbalik.
Tripod itu menghantam bagian belakang kepala Chris.
Ia mengerang dan ambruk ke lantai.
Tubuhnya tertelungkup di sisi Josh.
Sambil menangis tersedu-sedu, Tina menjatuhkan tripod itu.
Keringat dingin membuat tubuhnya basah kuyup.
Ia memeluk dirinya sendiri.
Apakah aku telah membunuh Chris? Apakah aku membunuhnya? Ketika menatap kedua tubuh yang diam itu, ia merasa mual.
Ia membungkuk di atas bak cuci dan muntah-muntah.
Tak ada yang tersisa dalam diriku, pikirnya.
Tak ada sama sekali.
Ia mengusapkan tangannya yang berkeringat ke atas handuk kertas.
Napasnya sesak, dengan terhuyung-huyung ia keluar dari kamar gelap itu.
Polisi, pikirnya.
Aku harus menghubungi polisi.
Kakinya gemetar.
Ia hampir tak bisa sampai ke telepon.
Kuatkanlah, katanya pada diri sendiri.
Cari pertolongan.
Aku harus mematikan musik itu, ia memutuskan.
Rasanya kepalaku jadi berdenyut-denyut.
Ia berjalan sempoyongan menghampiri sound system dan meraba-raba tombolnya sampai musik itu berhenti.
Dalam keheningan, Tina mendengar suara berdentam-dentam samar.
Di belakangnya.
Ia berputar.
"Chris?"
Tidak.
Tak ada orang di sana.
Tina menatap pintu lemari dinding.
Pintu yang dilarang Chris untuk dibuka.
Apa yang ada di sana? Dengan langkah pelan dan ragu-ragu Tina menghampiri pintu itu.
Mungkin sebaiknya aku tidak membukanya, pikirnya.
Ia menekan telinganya ke pintu itu.
Kau harus membuka pintu itu, katanya pada dirinya sendiri.
Kau harus menyelidiki apa yang dilarangnya untuk kaulihat.
Ketakutan mencekam jantungnya.
Buka! perintahnya pada diri sendiri.
Ia meletakkan tangan di pegangan pintu.
Ditariknya pintu itu hingga terbuka.
"Holly!"
Tina menjerit. Sepupunya itu terbaring diam di lantai. Chapter 21 MATI? Tidak! Kaki dan tangan Holly terikat. Rambutnya yang cokelat menutupi wajahnya. Ia mengerang.
"Hunnnnh?"
Holly mengangkat wajah, matanya masih tertutup. Ia hidup! Tina berlutut di sampingnya.
"Holly? Holly? Kau tidak apaapa? Kau masih hidup? Holly? Kumohon kau baik-baik saja, Holly. Please!"
Air mata mengalir di pipi Tina. Ia menyambar Holly dan memeluknya dengan emosional.
"Aku sangat bersyukur akhirnya bisa menemukanmu. Mengerikan. Begitu mengerikan."
Holly berkedip beberapa kali. Ia menggelengkan kepalanya, pusing. Akhirnya ia membuka mata. Ia menyipitkan matanya dengan susah payah untuk memandang Tina, mencoba memfokuskan pandangan.
"Tina -kaukah itu! Oh, wow.... Berapa lama aku ada di lemari ini?"
"Aku -aku tak tahu,"
Tina tergagap.
"Aku begitu ketakutan. Chris terus berteriak menuduh aku telah menghancurkan rencananya. Ia menginginkan kau sepenuhnya untuk dirinya sendiri,"
Holly terisak-isak.
"Ia mengikat aku dan meninggalkan aku di sini. Di dalam gelap. Aku tak tahu berapa lama di sini. Aku tak tahu apa yang telah direncanakannya. Aku -kupikir ia akan meninggalkan aku di sini selamanya!"
Tina membuka ikatan di lengan dan kaki sepupunya dengan susah payah. Tali yang tipis itu menggores jari-jarinya. Tangannya bergetar begitu hebat, sehingga rasanya lama sekali ia baru bisa membuka ikatan itu.
"Cepat. Cepat dong,"
Pinta Holly.
"Sekujur tubuhku -kesemutan. Aku harus bergerak, Tina. Aku harus pergi dari sini. Aku sangat ketakutan. Kupikir aku akan mati. Aku sungguh-sunguh berpikir begitu."
Sejak tadi Holly ada di dalam lemari dinding, pikir Tina, sambil berusaha membuka ikatan yang kuat itu. Sementara aku berpose untuk Chris, Holly ada di lemari dinding ini.
"Josh yang mati!"
Seru Tina. Holly"
Meratap.
"Tidak, Tina. Tidak. Menyedihkan sekali."
Tina menarik-narik simpul tali itu dengan panik.
"Aku -kupikir aku telah membunuh Chris,"
Tina melanjutkan.
"Kuhantam dia. Keras. Di belakang kepalanya."
Holly menggeleng, masih pusing. Ia kelihatan tidak memahami semua yang dikatakan Tina kepadanya.
"Kau menghantam Chris? Dengan apa?"
"Dengan tripod. Kudengar tengkoraknya berderak. Aku -"
"Kau bunuh dia?"
Suara Holly menjadi parau, gemetar.
"Kupikir demikian,"
Kata Tina kepadanya.
"Aku tak yakin. Tapi kupikir aku sudah membunuhnya."
Tali terlepas dari mata kaki Holly. Holly mengerang sambil menggosok-gosok kakinya.
"Aku tak tahu apakah aku bisa berjalan. Aku sudah berada di dalam sini lama sekali. Terkunci di kegelapan. Sejak usai pesta itu."
"Bagaimana ia membawamu ke sini?"
Tanya Tina.
"Chris memperkenalkan aku pada seorang cowok,"
Holly menerangkan.
"Di pesta itu. Aku pergi ke kota dengan cowok tersebut. Kami pergi ke kelab. Sampai larut malam."
"Kau tidak kembali ke asrama?"
Tanya Tina.
"Ya. Aku kembali ke sana,"
Jawab Holly.
"Sekitar jam empat. Tapi ketika sampai di kamar, Chris menyergapku. Kukira ia sudah menunggu aku. Ia menangkapku. Lalu memukul kepalaku dengan sesuatu."
Holly meraba kepalanya. Tina melihat segumpal darah beku di rambut Holly.
"Ketika siuman aku sudah di lemari dinding ini,"
Kata Holly kepadanya.
"Aku -aku sangat ketakutan, Tina."
"Ia gila,"
Gumam Tina.
"Chris benar-benar gila. Dipikirnya aku ini Judy. Pacar lamanya."
"Aku tahu ia aneh. Dari menit pertama aku bertemu dia,"
Jawab Holly. Ia berdiri tegak dengan susah payah.
"Ayo. Kita keluar dari sini."
Sambil bergandengan tangan, mereka terhuyung-huyung keluar dari lemari dinding.
"Kita selamat sekarang,"
Kata Tina kepada Holly.
Tapi aku tidak merasa selamat, pikir Tina, sampai aku berada jauh dari studio ini.
Ia melirik hamparan pasir.
Hanya setengah jam yang lalu Chris menginginkannya berpura-pura sedang menikmati suasana pantai.
Pura-pura.
Itulah kehidupan Chris.
Ia pura-pura menjadi cowok yang baik.
Ia pura-pura Judy masih hidup.
Tina bergidik.
Masih menggandeng Holly, ia berjalan ke pintu.
"Apa -apa itu?"
Holly tergagap.
"Apakah ada orang lain di sini?"
Tina juga mendengarnya. Langkah-langkah kaki. Tina berputar. Chris! Chris! Masih hidup! Chris sempoyongan keluar dari kamar gelap, darah merah segar mengalir turun ke wajahnya. Ia mengacungkan sebuah gunting yang tajam dan panjang.
"Selamat tinggal, Judy,"
Seru Chris, seraya mengayun-ayunkan gunting di depannya, sambil menggunting udara. Kres. Kres. Kres.
"Selamat tinggal, Judy."
Darah menetes dari mulutnya dan turun ke dagu, ketika ia mengucapkan kata-kata itu dengan suara serak.
Chris bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan.
Tina berusaha menghindar.
Tina terjatuh.
Menghantam dinding.
Chris mengangkat gunting itu di atas kepalanya.
Pintu studio mendadak terbuka.
Carla dan seorang cowok jangkung berambut pirang menerobos masuk.
"Carla -tolong kami!"
Jerit Tina.
"Carla -syukurlah kau ke sini!"
Chris menurunkan guntingnya. Ia menoleh kepada Carla. Ia menghela napas lega.
"Kenapa kalian lama sekali?"
Tanya Chris setengah menuntut.
"Mereka hampir kabur."
Chapter 22
"CARLA -? Tina terkesiap.
"Carla -kau tidak di pihak Chris -bukan? Apakah kau membantu Chris selama ini?"
"Kenapa kalian begitu lama?"
Tanya Chris tajam. Ia mengelap darah dari dagunya dengan punggung tangan. Diusapnya bagian belakang kepalanya -tempat Tina tadi memukulnya -dan mengerang.
"Carla -!"
Teriak Tina. Carla melewati Holly dan Tina dan berjalan menghampiri Chris.
"Chris -darah itu. Kepalamu. Apakah kau tak apa-apa? Kau luka parah."
"Apa yang terjadi di sini?"
Tanya cowok berambut pirang itu.
"Bagaimana kau sampai terluka? Kami perlu memanggil dokter?"
"Aku tak apa-apa, Steve,"
Jawab Chris pelan. Ia memberikan isyarat dengan guntingnya.
"Hanya ada sedikit kesulitan di sini. Tapi semuanya sudah bisa diatasi sekarang karena kau dan Carla ada di sini. Kenapa kau lama sekali?"
Tina merasa sangat terluka, sangat marah, sehingga ia merasa bisa mengamuk.
"Carla -kok kau menolong dia?"
Jerit Tina.
"Kok kau bisa begitu jahat?"
Steve dan Carla tidak mengacuhkan Tina, bersikap seolah ia tidak ada di ruangan itu, bersikap seakan ia tidak sedang berpelukan dengan sepupunya, berteriak-teriak kepada mereka.
"Hei, man, coba kulihat kepalamu,"
Kata Steve seraya bergerak mendekati Chris. Chris mengangkat guntingnya dengan sikap mengancam.
"Mundur. Sudah kukatakan kepada kalian aku baik-baik saja."
Steve mengangkat kedua tangannya.
"Oke. Oke."
Steve mundur cepat-cepat. Carla menoleh dan menunjuk Tina dan Holly.
"Bagaimana dengan mereka?"
"Ia membunuh Josh!"
Tina meratap.
"Ia pembunuh! Ia membunuh Josh. Kenapa kalian membantu dia sekarang? Ia pembunuh! Apakah itu tidak berarti apa-apa buat kalian?"
Carla tetap tidak mengacuhkan Tina. Ia bergerak menghampiri Chris.
"Aku ke sini untuk menolongmu, Chris. Kau tahu itu. Kau tahu itu -kan?"
"Kami berdua ke sini untuk menolongmu,"
Kata Steve.
"Apa yang bisa kami bantu?"
Chris mengusap bagian belakang kepalanya. Ia meringis kesakitan. Tina melihat Chris dengan susah payah memaksa matanya agar tetap terfokus.
"Judy tidak mau berpose untukku lagi,"
Katanya kepada teman-temannya.
"Aku ingin memotretnya beberapa kali lagi."
"Oke,"
Jawab Carla.
"Steve dan aku akan membantu. Bagaimana kalau aku memotretmu dan Judy bersama-sama? Untuk portofoliomu."
"Tidak!"
Teriak Tina.
"Kalian berdua gila! Aku bukan Judy, dan aku tidak mau berpose untuk dia!"
Carla memandang Tina dengan wajah marah.
"Lebih baik turuti apa yang dikatakannya,"
Bisik Holly. Aku tidak bisa duduk di sebelah Chris, pikir Tina. Aku tidak mau. Lebih baik aku mati daripada membiarkan dia menyentuhku lagi.
"Steve, bawa sini kamera itu,"
Pinta Carla sambil tetap memandang Chris. Steve berjalan ke meja, mengambil sebuah kamera, dan menyerahkannya kepada Carla.
"Ini."
Carla menyodorkan kamera itu kepada Chris.
"Kau atur jaraknya, dan aku akan mengambil foto itu."
Carla menoleh kepada Tina.
"Judy, berdiri di sini."
Ia melambai kepada Tina agar mendekati Chris.
"Cepat."
Tina menelan ludah. Aku tak bisa. Aku tak bisa.
"Ambil kameramu,"
Desak Carla kepada Chris. Disodorkannya kamera itu kepada Chris. Chris meraih kamera itu. Secepat kilat Carla menyambar gunting itu dari tangan Chris.
"Tangkap dia!"
Carla berteriak kepada Steve.
"Cepat!"
Steve meloncat ke depan. Memeluk Chris. Mendorong Chris ke lantai. Tina menatap ketakutan, Chris terjerembap di lantai. Ia tidak melawan. Ia meringkuk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Kenapa kau harus menghancurkannya lagi? Kenapa?"
Ratap Chris.
"Kenapa?"
Carla buru-buru menghampiri Tina dan Holly.
"Aku benarbenar minta maaf."
Carla merangkul Tina.
"Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang dilakukan Chris. Aku tak percaya ia membunuh Josh. Aku benar-benar tidak percaya!"
"Kau -kau tidak bekerja sama dengan Chris?"
Tanya Tina.
"Kau tidak membantu dia melakukan semua ini?"
"Tidak!"
Teriak Carla.
"Tidak. Kau harus percaya padaku! Steve dan aku tadi bersandiwara di hadapan Chris -hanya dengan begitu kami bisa merampas guntingnya, supaya kami bisa memastikan kalian akan selamat."
Tina menghela napas.
"Aku... percaya padamu."
Holly memeluk Tina. Ketiga gadis itu saling berpelukan. Steve berdiri menjaga Chris, tak sedetik pun mengalihkan pandangannya dari cowok itu. Tina menangis tersedu-sedu.
"Kau harus melihat wajah Josh."
"Aku akan menelepon polisi,"
Kata Holly.
"Aku amat ketakutan,"
Gumam Carla.
"Chris mengatakan kepadaku bahwa Josh kencan dengan cewek lain akhir pekan ini. Katanya Josh diam-diam telah pacaran dengan cewek itu selama berbulan-bulan. Oh, Tina, aku sangat menyesal. Kata Chris kami harus mencegahmu tahu tentang cewek itu."
"Aku sedang berkemah di gunung,"
Kata Steve.
"Carla memberitahu aku bahwa Josh pergi dengan cewek lain, dan kau di sini dengan Chris."
"Ketika mengatakan itu Steve bersungguh-sungguh,"
Carla menyela.
"Kata Steve, Chris bohong. Katanya, Josh tidak pacaran dengan orang lain melainkan denganmu. Katanya Josh sudah merencanakan kedatanganmu sepanjang minggu."
"Itulah sebabnya Josh tidak ikut pergi kamping,"
Steve menjelaskan. Tina membiarkan air matanya mengalir ke pipi. Josh yang malang.
"Itu sebabnya aku panik,"
Kata Carla kepada Tina.
"Josh tidak pacaran dengan cewek lain dan ia tidak kamping bersama Steve. Jadi di mana Josh? Karena itulah aku tahu Chris telah berbuat sesuatu pada Josh."
"Ia membunuh Judy juga. Ia mengatakannya kepadaku,"
Kata Tina tertahan.
"Aku seharusnya mencurigai sesuatu. Aku -aku -"
"Oh, aku seharusnya telah mencurigainya juga. Chris mengalami depresi yang dalam karena kematian Judy,"
Steve menimbrung.
"Jika kau bicara padanya, ia bahkan tidak mendengarkanmu. Ia bicara tentang Judy sepanjang waktu."
"Polisi akan sampai di sini sebentar lagi,"
Holly memberitahu.
"Akhir pekan ini menjadi mimpi buruk. Mimpi buruk yang amat mengerikan."
Terpuruk di atas lantai, Chris menengadah memandang Tina.
"Aku akan mencuci fotomu, Judy. Besok. Kau akan seperti mereka. Kali ini kau akan sungguh-sungguh seperti mereka. Kau akan sangat bahagia, Judy. Aku akan membuatmu bahagia. Aku sungguhsungguh."
Tina menutup telinga dengan tangannya dan lari dari studio.
Aku tak mau mendengar dia lagi! katanya kepada dirinya sendiri.
Tak mau! Ia terus berlari tanpa berhenti sampai tiba di udara yang segar.
Kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di atas rumput dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
Udara memenuhi paru-parunya.
Tubuhnya terasa santai dan hatinya merasa tenang.
Ia mendengar bunyi sirene di kejauhan.
Akhirnya pertolongan datang juga.
Tina menatap langit yang mulai gelap.
Matanya menatap bintang pertama malam itu.
Tak ada permintaan malam ini, pikirnya.
Tak ada permintaan sama sekali.
Tina tahu, walaupun berharap setengah mati, ia tidak akan pernah bisa menghapus akhir pekan ini dari ingatannya.END
Pengemis Binal Bidadari Lentera Merah Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Wiro Sableng Wasiat Sang Ratu