Kucing 1
Fear Street Kucing Bagian 1
PROLOG situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin
http.//cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat....
thank.
AKU tidak pernah menyukai kucing.
Bahkan anak kucing pun tidak.
Satu alasan, aku alergi terhadap kucing.
Kalau berada dalam satu ruangan dengan kucing, aku akan mulai batuk-batuk dan bersinbersin.
Dan wajahku akan membengkak bagai marshmallow.
Selain itu, bagiku tampang kucing sangat jahat.
Kenapa mereka harus menatap seperti itu? Apa yang mereka pikirkan? Kenapa mereka menyelinap ke sana kemari dengan diam-diam begitu? Seakan-akan merahasiakan kesalahan.
Aku tahu.
Aku tahu.
Terkadang aku agak terbawa perasaan.
"Marty, tenanglah."
Itu yang selalu dikatakan Dad padaku.
"Marty jangan terlalu membesar-besarkan. Marty dinginkan kepalamu."
Dad memiliki sejuta ekspresi manis seperti itu.
Kuakui ia benar.
Terkadang aku lupa diri.
Terkadang aku keterlaluan.
Terkadang aku lepas kendali.
Maksudku, itu salah satu risikonya menjadi remaja, bukan? Tapi aku berkata jujur sewaktu mengatakan aku tidak pernah berniat membunuh kucing tersebut.
Kucing tersebut menyebabkan aku sinting.
Hewan itu menyebabkan seluruh regu basket sinting, dengan hidup di bawah panggung penonton gimnasium seperti itu.
Muncul setiap kali kami hendak berlatih.
Berlarian di sela-sela kaki-kaki kami.
Yeah.
Kucing itu menyebabkan kami sinting.
Tapi aku tidak pernah berniat membunuhnya.
Dan percayalah, aku membayar atas kematiannya.
Kami semua membayarnya.
Chapter 1 PADA hari Selasa, saat latihan basket telah berlangsung separuh jalan, Coach Griffin kehilangan kesabaran terhadap diriku dan anak-anak lainnya.
"Marty! Ada masalah apa kau hari ini?"
Sentaknya.
"Kau dan dua badut lainnya, pergi dari lapanganku! Cobalah memperbaiki lemparan bola kalian!"
Langit-langit gimnasium SMA Shadyside hampir tiga puluh kaki tingginya dan dipenuhi lampu-lampu putih dan oranye yang berjajar rapi.
Panggung penonton berada di kedua tepi lapangan -yang kami sebut sisi sekolah dan sisi jalan.
Pintu ganda di salah satu ujung gimnasium menuju sekolah.
Di ujung seberangnya, papan nilai menjuntai di atas pintu yang menuju ruang loker.
Barry, Dwayne, dan aku berjalan ke panggung penonton di sisi sekolah.
Di lapangan, latihan dimulai lagi.
"Ada apa dengan Coach?"
Tanya Barry.
"Ada yang lupa memberitahunya bahwa ini SMA, bukan NBA?"
Dwayne mendengus.
"Dia mendengar isu bahwa dia orang baik. Dia ingin meluruskan pendapat itu."
Aku tertawa. Dwayne Clark adalah pelawak dalam kelompok kami. Ia tidak pernah menganggap serius apa pun. Ia dan Barry Allen sudah lama sekali menjadi sahabat terbaikku.
"Aku serius,"
Gerutu Barry.
"Mungkin permainan kita tidak terlalu bagus, tapi Coach tidak perlu menyuruh kita keluar lapangan."
Aku mengambil sebuah bola basket dari panggung penonton dan melemparkannya ke dada Barry.
Ia menangkapnya dengan mudah.
Barry melemparkan bola tersebut ke arah Dwayne.
Kami saling melemparkan bola tersebut selama beberapa saat.
Barry dan Dwayne sangat kontras dari segi fisik.
Dwayne berambut pirang.
Ia agak pendek untuk ukuran pemain basket.
Dan ia seharusnya mengurangi berat badannya beberapa kilo.
Barry jangkung, kurus, dan berambut hitam.
Ada beberapa gadis yang menganggap ia mirip pemeran Superman di televisi.
Kecuali untuk kacamatanya, kurasa ia tidak mirip sedikit pun.
Kalau tidak sedang bermain basket, Barry mengenakan kacamata berbingkai kawat hitam.
Mengenai kepribadian, Barry juga kebalikan dari Dwayne.
Barry terlalu serius, sehingga merugikan dirinya sendiri, dan ia sangat mudah marah.
Terlalu mudah.
Sifat pemarah Barry sering kali menyebabkan ia mendapat masalah.
Para anggota regu lainnya bergemuruh melintasi gimnasium dari satu sisi ke sisi yang lain.
Kulemparkan bola ke Dwayne, dan menyadari bahwa Coach Griffin melirik ke arah kami.
"Tenang, guys,"
Kataku.
"Coach benar. Permainan kita hari ini tidak maksimal. Mungkin kita perlu istirahat beberapa menit. Pertandingan hari Jumat nanti penting sekali."
"Setiap pertandingan penting untukmu, Marty,"
Kata Dwayne.
"Kau harus berusaha mendapatkan beasiswa basket."
Dwayne senang mengolok-olokku tentang beasiswa basket untuk masuk college.
Mendapatkan beasiswa itu akan mempermudah kehidupanku dan orangtuaku.
Dan sekalipun lelucon Dwayne tidak bermaksud jahat, kurasa ia agak iri padaku.
Barry merupakan cerita lain.
Aku tahu Barry memang iri.
"Setiap pertandingan penting bagi Shadyside Tigers, Dwayne,"
Sergahku.
"Regu ini sangat berarti bagiku."
"Hebat,"
Ejek Dwayne.
Ia dan Barry melontarkan tawa mirip hyena.
Kalau Dwayne dan Barry berlawanan satu sama lain, aku ada di tengah-tengahnya.
Tidak terlalu jangkung, tidak terlalu pendek.
Tidak terlalu gemuk, tidak kurus.
Rambutku berwarna cokelat muda.
Itulah aku, Mr.
Rata-rata.
Kecuali dalam hal basket.
Kami bertiga telah bermain basket di bundaran di ujung jalan tempat tinggalku sejak kelas tiga SD.
Dan hasilnya kelihatan jelas.
Regu Tigers tengah mendapat tahun terbaik mereka setelah sekian lama.
Terutama karena Dwayne, Barry, dan aku.
Terutama karena aku.
Semua orang mengatakan akulah bintang regu.
Kucoba untuk tidak menjadi besar kepala karenanya.
Tapi tidak mudah.
Kami duduk di panggung penonton bersama Joe Gimmell, Kevin Hackett, dan beberapa pemain lainnya.
Kit Morrissey juga ada di panggung tersebut.
Aku terkejut melihatnya di sana.
Kurasa aku belum pernah melihat cewek datang sebelumnya.
"Hei, Dwayne,"
Godaku.
"Kit sedang memperhatikanmu, buddy. Mungkin akhirnya kau mendapat kencan untuk pesta perpisahan nanti."
"Dia sudah memintaku, Marty,"
Katanya membual.
"Tentu saja kutolak. Aku tidak ingin merusak reputasiku dengan terlihat bersamanya di depan umum."
"Yeah, terserahlah,"
Kataku sambil melambaikan tangan.
Sebagian besar orang menganggap Kit Morrissey gadis paling cantik di Shadyside.
Tapi setahuku tidak ada seorang cowok pun yang cukup bernyali untuk mengajaknya keluar.
Dwayne pasti akan mendapat serangan jantung kalau Kit menyapanya.
Aku mengamati latihan selama beberapa menit.
Coach Griffin kembali berteriak pada Larry Burns.
Kuambil sehelai handuk kecil dan mulai menggosok wajahku.
Agak ke bawah panggung, Kevin Hackett tengah mengambil minuman dari kotak pendingin.
"Ada yang tersisa, Hackett?"
Tanyaku.
"Hanya Gatorade,"
Jawabnya sambil angkat bahu.
"Hei,"
Bisik Barry, menyodokku dengan sikunya.
"Lihat siapa yang baru datang."
Aku berpaling ke arah pintu ganda gimnasium. Gayle Edgerton dan Riki Crawford berdiri di sana. Gayle yang berambut merah mengawasi sekeliling gimnasium. Ia melihatku, lalu menarik lengan Riki dan berjalan mendekati kami.
"Oh, man."
Aku mendesah.
"Ada-ada saja."
"Kau mau pergi?"
Tanya Barry.
"Akan kututupi."
"Tidak, man, aku tidak akan melarikan diri,"
Kataku memutuskan.
"Aku tidak punya alasan untuk bersembunyi. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Oke, ini pemakamanmu,"
Gumamnya.
Para pemain di lapangan berteriak dan melambai ke arah Gayle dan Riki saat mereka berjalan menyusuri tepi lapangan.
Kevin menawarkan Gatorade pada Gayle, tapi gadis tersebut tidak mengacuhkannya.
Kev yang malang, pikirku.
Ia sudah mengejar Gayle selama empat tahun.
Gayle tersenyum pun tidak mau kepadanya.
"Hai, guys,"
Kicau Gayle sambil tersenyum, memperlihatkan kawat gigi di mulutnya.
Ia satu-satunya senior yang masih mengenakan kawat gigi.
Tapi tampaknya ia tidak merasa terganggu.
Ia tidak pernah menutupi mulutnya kalau tersenyum atau tertawa.
Kurasa hebat juga ia bisa percaya diri seperti itu.
"Dengar, Marty,"
Kata Gayle.
"aku mau menulis artikel tentang Tigers untuk majalah sekolah, dan aku ingin mewawancarai kalian. Kau tahu. Tentang julukan Tiga Pendekar itu. Riki akan memotret untuk artikel itu."
Hebat, pikirku.
Persis yang kubutuhkan.
Riki dan aku pernah keluar bersama-sama.
Bukan kegiatan istimewa -nonton film, menyantap piza, berjalan-jalan ke mal.
Sewaktu aku tidak lagi meneleponnya, ia marah sekali.
Katanya kalau aku ingin memutuskan hubungan dengannya, seharusnya aku mengatakannya terus terang, bukannya meninggalkan dirinya begitu saja.
Sulit kupercaya ia begitu membesar-besarkan masalah ini.
"Jadi, kau mau menjadikan kami bintang, hah?"
Kata Dwayne bergurau.
"Sudah saatnya!"
Riki memandangku dengan penuh harap. Mungkin ia mengira aku akan meminta maaf. Tapi tidak ada lagi yang harus kukatakan. Sewaktu Barry menyiku diriku, seketika aku merasa lega.
"Marty -kucingnya!"
Jeritnya sambil menunjuk.
"Itu dia! Tangkap!"
Chapter 2 AKU berpaling dan melihat kucing tersebut melesat keluar dari bawah panggung penonton.
Coach Griffin memaki.
Dave Ionello tengah bersiap memasukkan bola.
Kucing tersebut melesat memotong jalurnya.
Dave hampir terjatuh karena hewan kelabu keperakan tersebut.
Cengkeramannya pada bola terlepas, dan bolanya memantul menjauh.
Kucing tersebut berhasil tiba di seberang gimnasium dengan selamat.
Hewan itu berlari sepanjang panggung penonton, menuju dinding seberang.
"Tangkap!"
Teriak Dwayne. Ia melesat.
"Jangan!"
Kata Gayle memprotes.
"Itu jahat!"
Dwayne berlari mengejar kucing itu.
Hewan tersebut berada di bawah keranjang dekat pintu ganda.
Sewaktu melihat kedatangan Dwayne, si kucing melesat sepanjang tepi lapangan.
Barry dan aku lari menyeberangi lapangan untuk mencegatnya.
Coach berteriak pada kami, tapi kami tahu ia tidak benar-benar marah.
Memburu kucing tersebut boleh dikatakan telah menjadi bagian dari latihan.
Dan kegiatan ini ternyata menjadi semacam permainan bagi kami.
Tapi kami tidak pernah berhasil menangkap kucing tersebut hingga sekarang.
Entah bagaimana, si kucing selalu berhasil meloloskan diri.
Kata Coach, si kucing terlalu gesit bagi kami.
Terserah.
"Keberuntunganmu habis, Marty,"
Kata Barry sambil terengahengah, berlari di sampingku.
"Kurasa Riki ingin bertengkar lagi denganmu."
"Yeah,"
Kataku menyetujui.
"Untung kucing itu keluar."
"Tangkap, guys!"
Teriak Dave Ionello sewaktu Barry dan aku berlari melewatinya.
Coach kembali meneriakkan nama-nama kami.
Aku berbalik dan melihat senyuman di wajahnya.
Kurasa kami tidak akan mendapat masalah besar.
Para pemain lainnya berdiam diri di tengah-tengah lapangan untuk menyaksikan Dwayne mengejar kucing tersebut, serta Barry dan aku yang berlari untuk memotong jalur pelarian hewan itu.
Gayle dan Riki menjerit-jerit agar kami tidak mengganggu si kucing.
"Aku berhasil memaksanya keluar!"
Teriak Dwayne.
"Ke arah kalian!"
Kucing tersebut terbirit-birit menjauhi Dwayne, belum menyadari kehadiran Barry dan diriku.
Kalau menyadarinya, ia mungkin akan menyelinap ke bawah panggung penonton, seperti biasanya.
Sepertinya makhluk tersebut sudah sekitar sebulan tinggal di bawah sana.
Aku tahu ada beberapa anak yang suka memberinya makanan dan air.
Para pemandu sorak sangat menyukainya dan memberinya nama-nama bodoh seperti Puffy dan Baby.
Gayle pernah menulis artikel pendek tentang kucing yang tinggal di gimnasium untuk koran sekolah.
Aku tersenyum saat membaca permohonan Gayle dalam tulisannya agar ada yang mau mengadopsi hewan tersebut dan memberinya rumah yang baik.
Dengan cara yang aneh, kucing tersebut telah menjadi maskot Tigers.
Kalau saja bulunya belang-belang, kami mungkin akan menjadikannya maskot resmi.
Tapi sayangnya kucing itu berbulu kelabu keperakan, dan ada bercak hitam berbentuk berlian di kepalanya.
Kami tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang akan kami lakukan kalau berhasil menangkap kucing tersebut.
Kepala sekolah mengatakan keberadaan hewan di dalam gimnasium menimbulkan bahaya kesehatan.
Jadi, kami mungkin akan menghubungi Tempat Penampungan Hewan Shadyside.
Tapi yang penting bukanlah menangkap kucing tersebut.
Yang penting adalah mengejar-ngejarnya.
"Kemari, pus, pus!"
Panggil Barry.
"Kemari, pus."
Barry dan aku berhasil memblokir jalur kucing tersebut. Si kucing memelototi kami dan mendesis. Kuulurkan tanganku ke arahnya. Si kucing menyelinap ke bawah panggung penonton dan menghilang.
"Harper!"
Teriak Coach Griffin. Aku berbalik. Kuharap ia tidak terlalu marah. Aku merasa lega sewaktu melihatnya masih tersenyum.
"Kalau sudah selesai bermain-main, mungkin kau dan badutbadut lainnya mau main basket?"
Tanya Coach.
"Mau sekali!"
Jawabku. Untuk paruh waktu kedua latihan, Coach selalu membagi anakanak menjadi dua regu dan bermain satu melawan yang lain. Aku melewati Gayle dan Riki sewaktu berlari-lari kecil kembali memasuki lapangan.
"Badut?"
Tanya Gayle.
"Kukira dia memanggil kalian Tiga Pendekar."
"Kalau sedang senang terhadap kami, dia memanggil kami begitu,"
Kataku menjelaskan.
"Kalau permainan kami kurang baik, kami menjadi Moe, Larry, dan Curly."
Kudengar Gayle tertawa sewaktu aku berlari memasuki lapangan.
Barry mendapat posisi tengah.
Ia melontarkan bola ke arahku begitu pertandingan dimulai, dan kami melesat maju di lapangan, menuju keranjang.
Kulemparkan bola ke Dwayne, dan ia mengalihkannya ke Barry sewaktu Barry telah berada di sudut lapangan.
Barry berpura-pura melemparkan bola tiga angka dan mengalihkannya pada aku yang telah berada di dalam lingkaran.
Kuterima bolanya dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Kami sudah beraksi kembali.
Sewaktu berlari kembali ke sisi seberang lapangan, kulihat Riki dan Gayle tengah bercakap-cakap di tepi lapangan.
Apa mereka sedang membicarakan diriku? Aku tidak suka kalau Riki menceritakan versinya pada Gayle.
Terutama karena Gayle bermaksud menulis tentang diriku untuk koran sekolah.
Barry mencuri bola dan melemparkannya menyeberangi lapangan ke arahku.
Hampir-hampir aku gagal menangkapnya.
"Waspada, Harper!"
Teriak Coach Griffin dari tepi lapangan. Sewaktu berlari melintasi lapangan lagi, aku melirik sekilas ke arah kedua gadis tersebut. Riki tengah menunjuk ke arahku. Aku tahu pasti mereka tengah membicarakan diriku! "Marty!"
Teriak Barry.
"Awas..."
"Whoooa!"
Aku melirik ke bawah dan melihat kucing kelabu keperakan tersebut melesat di depanku.
Terlambat.
Kakiku mengenai kucing tersebut tepat di bawah perutnya.
Kucoba mempertahankan keseimbanganku.
Tapi tidak bisa.
Kudengar jeritan marah kucing itu sewaktu aku menerjangnya, lalu terlontar melewatinya.
Aku jatuh ke lantai gimnasium dengan keras.
Ada sesuatu yang remuk terjepit lututku.
Dan sakit yang membara memancar dari kakiku.
Sambil menjerit kesakitan, aku terkapar di lantai.
Apa yang sudah kulakukan? aku penasaran.
Chapter 3
"SAKIT?"
Tanya perawat sekolah. Ia menekankan tiga jarinya ke lututku. Aku mengernyit, dan mengertakkan gigi.
"Oh, yeah,"
Kataku sambil mengerang.
"Tolong jangan lakukan lagi."
"Bagaimana?"
Tanya Coach Griffin.
"Kurasa kucing itu sudah menghabiskan delapan dari sembilan nyawanya hari ini!"
Gerutuku.
"Aku berbicara dengan Mrs. Nathanson, Marty,"
Sergah Coach Griffin.
"Aku setuju denganmu, Coach,"
Kata Mrs. Nathanson sambil mendesah.
"Mungkin hanya terkilir.Tapi Marty perlu beristirahat selama dua hari, atau kerusakannya bisa lebih parah lagi. Akan kuberi kau perban Ace, Marty, untuk mengempiskan bengkaknya."
Setelah Mrs. Nathanson berlalu, Coach Griffin berbalik memandangku.
"Ya, sudah,"
Katanya.
"Harper, maaf, tapi kau tidak ikut bertanding hari Jumat nanti."
"Aow, yang benar saja!"
Jeritku.
"Anda pasti bergurau!"
"Oh, man!"
Dwayne mengerang.
"Sekarang kita tidak bakal bisa menang. Mereka akan menyantap kita seperti sarapan."
"Coach, kita memerlukan Marty,"
Pinta Barry.
"Kucing bodoh itu!"
Sergahku.
"Lebih baik aku tidak melihatnya lagi dalam waktu dekat."
"Dengar, Harper,"
Sentak Coach Griffin sambil menusukkan jarinya ke arahku.
"Kalau kau tidak menteror kucing itu, ini tidak akan terjadi."
"Aduh, Coach, Anda tahu itu tidak benar,"
Kataku sambil mengerang.
"Kami bahkan tidak mengejar kucing itu sewaktu aku jatuh. Kucing itu lari ke lapangan dan aku terjatuh karenanya."
Coach mengerutkan kening ke arahku.
"Kalau kau tidak ingin bertanggung jawab atas keadaan lututmu, itu urusanmu. Tapi memenangkan pertandingan basket ini urusanku. Dan kau bagian dari rencana kejuaraan besar. Jadi, jaga dirimu baik-baik, Marty,"
Kata Coach Griffin.
Aku mengangguk, terlalu jengkel dan marah untuk menjawab.
Regu basket kami mulai meninggalkan lapangan.
Coach mengikuti mereka.
Dwayne dan Barry tetap menemaniku.
Gayle dan Riki mengawasi dari tepi lapangan.
Setelah semua orang berlalu, mereka menggabungkan diri dengan kami.
"Well, itu berita buruk,"
Dwayne berkomentar.
"Aku akan mengenakan kemeja Hawaii ekstra-ajaibku hari Jumat nanti."
Dwayne selalu punya lelucon untuk setiap kesempatan, dan sehelai kemeja Hawaii yang buruk untuk melengkapinya.
Tahun ini regu basket kami membeli seragam pertandingan yang khusus dibuat untuk Dwayne.
Seragam tersebut dihiasi tulisan Hawaii yang benarbenar buruk.
Dwayne dan Barry masing-masing memegangi satu lenganku dan membantuku bangkit berdiri.
Kucoba menguji kekuatan lututku.
"Bagaimana, Marty?"
Tanya Riki.
"Sakit,"
Sahutku ketus.
"Well, itu bukan salahku!"
Jeritnya.
"Maaf,"
Gumamku.
"Aku bukan marah pada kalian. Aku marah pada kucing bodoh itu. Pokoknya, lututku sakit, tapi aku masih bisa berjalan."
"Tidak mungkin kau bisa bertanding hari Jumat nanti, Marty,"
Kata Barry, mengamati keadaanku.
"Yeah,"
Kataku menyetujui dengan sedih.
"Tapi minggu depan jelas aku sudah siap. Tidak peduli apa kata Coach."
"Yeah,"
Kata Barry "Sebaiknya kau sudah siap minggu depan. Ingat beasiswamu."
"Aku bahkan tidak tahu apakah akan memenangkan beasiswa itu atau tidak!"
Seruku. Tidak ada yang mengatakan apa-apa selama waktu yang terasa lama.
"Tapi...,"
Kata Dwayne, hendak mengatakan sesuatu.
"Rasanya kau pernah memberitahuku bahwa kau sudah mendapatkan beasiswa itu,"
Kata Riki.
"Memang,"
Kataku, tergagap.
"Kurang-lebih. Tapi belum benarbenar pasti. Masih ada satu orang lagi yang sedang dipertimbangkan universitas."
"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada kami?"
Tuntut Gayle. Lalu aku teringat alasan Gayle datang ke gimnasium.
"Gayle, ini tidak akan dimuat dalam koranmu,"
Kataku menjelaskan.
"Hanya antara kita, oke?"
Aku tidak ingin Gayle memberitahu seluruh sekolah bahwa aku sudah berbohong dengan mengaku telah mendapatkan beasiswa itu.
"Katakan saja, Harper,"
Desak Barry.
"Well, kalian tahu aku, kan,"
Kataku memulai.
"Kurasa aku agak terhanyut. Kudengar dari universitas bahwa aku mendapat kemungkinan kedua. Kurasa aku sudah terburu-buru menyimpulkan."
Aku mendesah.
"Aku tahu tindakan itu bodoh. Tapi... sekali berbohong, aku tidak bisa mengingkarinya dan mengatakan yang sejujurnya. Terlalu memalukan kalau kulakukan."
Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik. Lalu Riki tersenyum dan meninju bahuku.
"Jangan khawatir, Marty,"
Katanya.
"Kau akan memenangkan beasiswa itu. Aku yakin."
Aku tahu Riki hanya berusaha bersikap manis, tapi aku tetap saja merasa lebih baik.
"Trims, Riki,"
Jawabku. Aku berbalik kepada yang lain.
"Ayo pergi dari sini."
"Aaaah!"
Jeritku begitu mulai melangkah.
"Wow -sakitnya. Aku hampir-hampir melupakan lutut sialan ini."
"Hati-hati, man,"
Barry memperingatkan.
"Kurasa kita tidak akan bisa memenangkan turnamen tanpa dirimu."
"Aku tahu kalian tidak bisa menang tanpa diriku,"
Kataku bergurau.
Dengan tertatih-tatih aku melangkah ke pintu ganda gimnasium bersama teman-temanku.
Lalu aku melihatnya.
Kucing kelabu keperakan tersebut berdiri di dekat pintu.
Bahkan dari jarak yang cukup jauh, bisa kulihat mata hijaunya melotot ke arahku.
"Hewan yang berani,"
Gumam Riki.
"Hewan bodoh,"
Sergahku.
"Tangkap dia."
Chapter 4
"JANGAN lagi!"
Seru Gayle.
Barry dan Dwayne berlari mengejar kucing tersebut dengan kecepatan penuh.
Aku tertatih-tatih di belakang mereka, dengan tekad bulat untuk membalas dendam.
Kucing itu melesat menyeberangi gimnasium, bagai sebuah kilasan keperakan.
Kali ini kucing itu tidak berlari ke bawah panggung penonton.
Sebaliknya, ia justru melesat sepanjang tangga panggung penonton.
Barry dan Dwayne berlari mengejarnya.
Sewaktu aku tertatih-tatih di dua anak tangga pertama panggung penonton, Barry dan Dwayne berhasil menyudutkan kucing tersebut di puncak anak tangga.
Kucing tersebut berpaling ke sana kemari, mencari jalan untuk meloloskan diri.
Aku bergegas menaiki tangga, kebencianku pada kucing itu semakin besar, seiring dengan setiap langkah menyakitkan.
Kalau bukan karena kucing ini, aku pasti ikut dalam pertandingan hari Jumat malam nanti.
"Hei, sudahlah!"
Seru Gayle.
"Itu cuma kucing. Marty, ayolah! Kau bahkan tidak melihat kau lari ke mana!"
Aku tidak mengacuhkan Gayle. Sesudah aku selesai menanganinya, kucing ini tidak akan berkeliaran di dalam gimnasium lagi. Hewan tersebut akan mendapat rumah yang menyenangkan di Tempat Penampungan Hewan Shadyside.
"Kemari, pus, pus, pus,"
Panggil Dwayne.
Rasa sakit memancar dari lututku sewaktu melangkah ke puncak panggung penonton di samping Dwayne.
Barry berdiri di tepi, dua anak tangga ke bawah dari tempat kucing tersebut meringkuk, terjebak.
Kami tidak akan membiarkannya lolos.
Aku maju selangkah, dan meringis kesakitan.
Mendaki tangga panggung penonton menyebabkan sakitnya semakin hebat.
"Ini semua salahmu, kucing,"
Sentakku. Kucing tersebut melengkungkan punggung dan mendesis ke arahku.
"Marty! Jangan ganggu kucing itu!"
Panggil Riki dari lantai gimnasium.
"Please!"
Kuulurkan tanganku untuk menangkap kucing tersebut, menyambarnya dari bawah kaki depannya, dan mengangkatnya.
Hewan tersebut mendesis dan menggeliat-geliat.
Kucing tersebut mengibaskan cakarnya yang setajam pisau cukur ke lenganku.
Tapi aku tetap tidak melepaskannya.
Kucing tersebut mulai memberontak hebat dalam cengkeramanku.
Lalu kepalanya menunduk -dan hewan tersebut membenamkan giginya ke lenganku.
Sebelum aku sempat menjerit, si kucing mengibaskan cakarnya ke keningku.
Aku terhuyung-huyung mundur ke tepi panggung penonton.
Sakit yang tajam menyengat dari lengan dan wajahku.
Darah menetes ke mataku.
"Marty awas!"
Seru Barry. Kucoba mencari pijakan. Tapi lututku yang terluka tidak mampu bertahan. Aku jatuh ke tepi panggung penonton. Kalau tidak berhasil berpegangan, aku pasti jatuh. Riki menjerit.
"Marty!"
Seru Dwayne.
Aku berpaling, dan melihat Dwayne.
Kulepaskan kucing itu dan meraih tangan Dwayne.
Dwayne menarikku kembali ke panggung penonton.
Aku berpaling tepat pada waktunya untuk melihat kucing tersebut jatuh.
Ia berputar-putar di udara, dan menghantam lantai kayu keras pada sudut yang salah.
Derakan yang memuakkan menggema ke seluruh gimnasium.
Hewan tersebut tidak bergerak.
"Kukira kucing selalu mendarat pada kakinya,"
Gumam Barry.
"Aku juga,"
Jawabku. Lalu kudengar jerit kemarahan Gayle.
"Kau... kau membunuhnya!"
Chapter 5 GAYLE menatapku dari bawah. Pandangannya penuh kemurkaan.
"Kau benar-benar kejam,"
Jeritnya.
"Hah?"
Gimnasium terasa berputar-putar. Aku duduk di salah satu bangku.
"Kucing itu!"
Jerit Riki.
"Kau melemparkan kucing itu dari panggung penonton!"
Kedua gadis tersebut menatapku, wajah mereka memucat karena shock.
"Tidak!"
Protesku.
"Ayolah, Riki... Gayle. Aku melepaskan kucing itu agar bisa berpegangan pada Dwayne."
"Kau benar-benar menjijikkan, Marty,"
Sergah Gayle.
"Kau membunuh kucing malang itu!"
"Ayolah, Gayle,"
Pintaku.
"Kami tidak sengaja melakukannya. Kau melihatnya..."
"Kuberitahukan apa yang kulihat!"
Jerit Gayle.
"Kalian tiga orang goblok mengejar kucing itu dan melemparkannya dari atas panggung penonton! Kau membunuh seekor hewan yang tidak berdaya, Marty. Kau... kau..."
"Hei, guys,"
Kata Dwayne dari lantai gimnasium.
"Kalian mau setup kucing?"
Barry tertawa.
Gayle memandang Dwayne.
Bibir Dwayne tertarik ke belakang dengan jijik, dan kukira ia akan menangis.
Dwayne mengangkat kucing tersebut pada ekornya.
Gayle dan Riki menjerit ngeri.
Kemeja Hawaii Dwayne ternoda darah, tapi tampaknya ia tidak menyadari.
"Ayolah, Gayle,"
Kata Barry sambil mengerang.
"Siapa yang peduli dengan kucing bodoh itu? Hewan itu hanya mengacaukan latihan basket kami saja. Tidak ada bedanya antara kucing gelandangan dengan tikus, kalau menurutku."
"Kau idiot."
Gayle mencibir.
"Tikus termasuk serangga pengganggu. Kucing hewan yang cantik dan peka."
"Well, aku cantik dan peka,"
Kata Dwayne sambil meringis. Wajah Gayle memerah karena murka. Riki berdiri diam, sambil menggeleng-geleng.
"Kau sudah mengenalku selama empat tahun,"
Kataku mengingatkan Gayle.
"Kaukira aku akan sengaja membunuh kucing itu? Membunuh hewan apa pun dengan sengaja? Yang benar saja!"
"Aku tahu apa yang sudah terjadi, Marty,"
Kata Gayle.
"Jangan coba mengatakan aku tidak melihatnya. Aku berdiri tepat di sini. Aku tidak bodoh, kau tahu."
"Aku tidak pernah mengatakan kau bodoh! Tapi maksudku, Gayle, kau tahu bagaimana aku sangat mencintai Teddy. Membunuh kucing itu sama seperti membunuh Teddy, anjingku sendiri. Tidak mungkin aku akan menyakiti hewan."
Dwayne mengacungkan kucing itu.
"Hei, Gayle, mungkin kau memerlukan mantel bulu?"
Tanyanya. Ia dan Barry tertawa terbahak-bahak.
"Cukup. Aku pergi!"
Jerit Gayle.
"Hentikan, guys,"
Seruku. Aku benar-benar marah sekarang.
"Ini tidak lucu."
Aku berpaling pada Riki.
"Bantu aku, Riki,"
Pintaku.
"Kau tahu aku tidak akan membunuh hewan. Ya, aku memang marah. Ya, aku mengejar kucing itu. Ya, aku ingin menyingkirkannya. Tapi bukan dengan membunuhnya!"
Riki menyapukan tangan ke rambut pirangnya yang dipotong pendek.
"Riki?"
Pintaku.
"Kukira aku mengenalmu,"
Katanya pelan.
"Tapi aku juga melihatnya, Marty. Mungkin kau tidak sengaja melakukannya. Mungkin kejadiannya memang kecelakaan. Tapi tampaknya tidak seperti kecelakaan."
"Oh, man, kalian semua sudah sinting!"
Jeritku sambil mengangkat tangan tanda menyerah. Aku kembali memandang Riki, tapi ia bahkan tidak mau membalas tatapanku.
"Oke. Baik,"
Kataku tergagap.
"Terserahlah. Kau dan Gayle mau bilang apa, silakan saja! Aku pergi! Aku harus menyembuhkan lutut ini agar bisa main basket minggu depan!"
"Pergilah,"
Kata Gayle sambil mencibir.
"Tidak ada yang menghentikanmu."
"Sulit dipercaya!"
Teriakku.
"Kucing bodoh itu sudah melukai lututku. Lalu aku mencoba mengusirnya dari gimnasium, dan hewan itu merobek lengan dan wajahku. Aku berdarah, kalau kalian tidak menyadarinya!"
Kuhapus darah dari keningku. Tidak satu pun dari kedua gadis tersebut tampak bersimpati.
"Hei, aku menyesal hewan itu mati, tapi aku tidak membunuhnya,"
Kataku bersikeras. Baik Gayle maupun Riki tidak berbicara.
"Lidah kalian dimakan kucing?"
Tanya Barry pada mereka.
"Tutup mulutmu, Barry!"
Teriakku.
"Kau dan Dwayne sudah bersikap seperti idiot. Kenapa kalian tidak membelaku?"
Dwayne dan Barry hanya berdiri diam. Paling tidak, mereka tidak tertawa lagi.
"Well?"
Desakku.
"Ayolah, Marty."
Dwayne angkat bahu.
"Siapa yang peduli dengan kucing?"
"Lagi pula,"
Tambah Barry.
"kami teman-teman terbaikmu. Siapa yang akan mempercayai kalau kami mengatakan kau tidak membunuh kucing itu?"
Mereka benar. Orang-orang kemungkinan besar akan lebih mempercayai Gayle. Bagaimanapun, kami adalah Tiga Pendekar. Itulah yang ingin ditulis Gayle hingga ia datang kemari. Sekarang ceritanya berubah.
"Gayle, please...,"
Aku hendak berkata.
"Aku sudah muak bicara denganmu,"
Sela Gayle.
"Kau bukan cowok seperti yang kukira semula, Marty. Kau tidak akan lolos dari kesalahanmu ini."
Sejenak Gayle memelototiku dengan dingin, lalu berbalik dan berderap keluar, dengan Riki di sampingnya.
Dwayne dan Barry bergegas menjauh.
Kuawasi mereka membuang bangkai kucing tersebut ke dalam tong sampah di belakang gimnasium.
Aku merasa dingin.
Kubayangkan tatapan dingin Gayle sekali lagi.
Begitu marah.
Begitu jijik.
Membunuh kucing tersebut merupakan kecelakaan.
Kejadian yang sangat memalukan, kuakui.
Tapi yang benar saja -apa sebenarnya yang menjadi masalah Gayle? Mengapa ia begitu membesar-besarkan kejadian ini? Tentu saja, siang itu aku tidak tahu betapa jengkelnya Gayle.
Dan aku tidak mungkin bisa mengetahui bahwa kematian kucing gelandangan itu baru merupakan kematian pertama.
Yang lain-lain akan mati sebelum tahun pelajaran kali ini berakhir.
Chapter 6 AKU tiba di sekolah hari Rabu pagi dengan tekad bulat untuk berbicara dengan Gayle.
Gayle selama ini merupakan teman yang baik.
Pendapatnya penting bagiku.
Aku merasa jengkel sewaktu tiba di rumah semalam, aku bahkan tidak bisa memberitahu orangtuaku tentang apa yang sudah terjadi.
Kami merupakan keluarga yang cukup dekat, tapi kejadian ini benar-benar menyebabkan aku terguncang.
Hujan tercurah dari langit sewaktu aku memarkir mobil ibuku di tempat parkir SMA Shadyside.
Dengan tertatih-tatih aku menyeberangi jalan menuju pintu depan.
Sebuah Saturn kelabu berhenti di tepi jalan, dan Lydia James melompat turun.
Ia menutupi kepalanya dengan ransel.
"Hai, Lydia,"
Panggilku.
Lydia berpaling, melihatku, lalu membuang muka.
Ia berlarilari menaiki tangga di depanku.
Saturn kelabu tersebut melaju pergi dengan membawa Mrs.
James di belakang kemudi.
Ibu Lydia tersebut memelototiku sewaktu berlalu memasuki lalu lintas.
Whoa! pikirku.
Aku pernah melakukan kesalahan apa terhadapnya? Aku berlari menaiki tangga, mengejar Lydia, dan berhasil menangkap pintu tepat sebelum menutup.
"Lydia?"
Ulangku.
"Aku menyapamu."
Ia berbalik dan menatapku dengan pandangan benci.
Dua gadis tertawa kecil sewaktu berpapasan dengan kami.
Lydia bergegas menuju kelasnya.
Kami berdua terlambat, jadi aku tidak berani mengejarnya.
Lagi pula, pada saat ini aku sudah menduga apa yang sedang terjadi.
Gayle.
Jelas Gayle telah memberitahu beberapa teman kami.
Tapi apa yang diberitahukannya? Bahwa aku seorang pembunuh kucing? Bagaimana mereka bisa mempercayai bahwa aku mampu melakukan tindakan sekejam itu? Dan siapa yang akan diberitahu Gayle setelah ini? Apa ia akan menulis tentang kejadian ini dalam koran sekolah? Aku mendesah dan tertatih-tatih menyusuri lorong.
Aku menghindari segerombolan murid lain yang juga terlambat.
Pintu ruang kelasku terbuka.
Aku bisa mendengar suara-suara dari dalam.
Bel berdering tepat pada saat aku masuk ke dalam.
Sebagian besar murid lainnya masih berdiri sambil bercakap-cakap.
Hari ini baru benar-benar dimulai setelah guru kelas kami, Mrs.
Howe, memerintahkan kami untuk duduk dan diam.
"Kau terlambat, Marty,"
Tegur Mrs. Howe dengan ketus. Aku benar-benar terkejut.
"Maaf, Mrs. Howe,"
Kataku.
"Oh, duduk sajalah,"
Perintahnya.
"Kau beruntung aku tidak menghukummu."
"Menghukum?"
Tanyaku.
"Apa yang sudah ku...?"
"Duduk!"
Sentaknya. Ia memelototiku hingga aku berjalan ke mejaku dan duduk. Pada waktu itu semua anak lainnya telah duduk di kursi masingmasing.
"Kau seharusnya malu pada dirimu sendiri,"
Gumam Mrs.
Howe sewaktu berjalan melewati mejaku.
Mataku membelalak.
Jadi, itu sebabnya! Mrs.
Howe sudah mendengar bahwa aku membunuh kucing bodoh itu.
Gayle sudah bekerja dengan cepat.
Aku melirik ke sekeliling kelas, mencari-cari dukungan.
Ada beberapa anak yang mencibir, tapi yang lainnya tampak marah.
Sebagian besar gadis-gadis mengerutkan kening ke arahku.
Hebat, pikirku.
Aku tidak akan pernah bisa berkencan dengan gadis dari SMA Shadyside lagi! "Gayle sudah keterlaluan,"
Kataku kemudian kepada Dwayne dan Barry di ruang makan.
"Dwayne, adik perempuanmu bahkan tidak mau menyapaku di lorong, sesudah istirahat kedua. Semua orang di sekolah menganggapku semacam orang sinting pembunuh kucing!"
Barry melalap roti isinya seakan-akan tengah kelaparan. Dwayne dan aku menyantap hamburger hockey-puck. Kemeja Hawaii oranye dan biru Dwayne ternoda saus.
"Kau tahu,"
Gumam Dwayne dengan mulut dipenuhi hamburger.
"hamburger ini rasanya mirip kucing."
Barry tertawa terbahak-bahak.
"Ayolah, guys,"
Pintaku.
"Beri aku kesempatan. Ini serius."
Mereka mencoba mengendalikan diri.
Barry menanggalkan kacamatanya dan menggosok matanya, menyapu air mata karena tawanya.
Dwayne berusaha meredakan napas.
Lalu mereka saling melirik, dan kembali terbahak-bahak.
Pertunjukan mereka mulai menarik tatapan murid-murid lainnya, juga para wanita di belakang meja makan siang.
"Oh, ini benar-benar keterlaluan!"
Bisikku marah.
"Oke, oke,"
Kata Barry menyetujui.
"Kau benar, Marty. Gayle sudah keterlaluan. Tapi apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?"
"Barry benar, man,"
Kata Dwayne.
"Kami sudah memberitahukan kejadian sebenarnya pada semua orang, tapi tampaknya tidak ada yang ingin mengetahui kebenarannya."
"Hei, Marty, apa kau tahu bahwa Gayle adalah presiden Klub Hak-Hak Hewan?"
Tanya Barry.
"Aku baru tahu tadi pagi,"
Kataku menggerutu.
"Dia mungkin juga satu-satunya anggota. Sekarang berani taruhan dia sudah merekrut separuh sekolah."
Sesudah makan siang, aku menuju kelas.
Kulihat segerombolan anak berkumpul di depan salah satu papan pengumuman di luar kantor pembimbing.
Aku berdiri di belakang kelompok tersebut dan menjulurkan leherku untuk melihat poster yang sudah menarik perhatian semua orang.
Saat membacanya, perutku terasa melilit.
Dengan huruf-huruf hitam besar, poster tersebut bertuliskan.
KEKEJAMAN TERHADAP HEWAN! Poster itu mengumumkan akan diselenggarakan pawai minggu depan.
Kulihat namaku dicantumkan dalam poster tersebut.
Tepat di atas foto hewan-hewan yang dilecehkan dan disiksa, foto-foto yang menjijikkan.
Sementara aku berdiri dan shock, seorang gadis di depanku berpaling.
Matanya membelalak sewaktu mengenaliku.
Dengan cepat ia menyiku cowok di sebelah kanannya.
Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, paling sedikit dua puluh orang murid yang marah telah menatapku.
Aku merasa begitu malu, hingga tidak mengatakan apa pun untuk membela diri.
Aku hanya berbalik dan melangkah pergi.
Bagaimana mungkin Gayle tega berbuat begini padaku? Dalam semalam ia sudah menjadikan diriku anak yang paling dibenci di sekolah, dengan satu gosip yang tidak benar.
Lalu pikiran yang mengerikan melintas di benakku.
"Oh, tidak."
Aku tersentak.
"Kalau kejadian ini masuk ke dalam catatan sekolahku, tidak mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa itu!"
Aku harus bertindak. Tapi apa? Kemudian kutemukan Gayle dan Riki bersama setengah lusin gadis lainnya dan dua cowok dari regu lari.
"Gayle, kita harus bicara,"
Kataku.
"Kau harus berhenti menyebarkan berita bohong tentang diriku."
"Kalian mendengar sesuatu?"
Tanya seorang gadis berambut pirang dengan sok. Gayle tidak mengacuhkanku.
"Ayolah, Gayle, kita masih berteman sampai kemarin,"
Pintaku.
"Benar, Marty,"
Jawabnya dingin.
"Kita dulu teman. Sampai kemarin."
"Baik! Itu maumu?"
Teriakku.
"Kau benar-benar menyebalkan, Gayle."
Salah seorang cowok, Aaron Hatcher, mulai mendekatiku.
"Mundur, Aaron,"
Sergahku.
"Ini bukan masalahmu."
"Ya, Aaron, jangan ikut campur,"
Kata Gayle menyetujui.
"Kalau tidak, dia mungkin akan memperlakukanmu sama seperti kucing itu."
"Oh, man..."
Aku mengerang. Aaron menyambar lenganku. Kalau Dwayne dan Barry tidak berada di sana untuk menyeretku pergi, aku mungkin sudah memukulnya.
"Tenang, Marty,"
Bisik Barry di telingaku.
"Kau ingin diskors? Kau tidak bisa menanggungnya, dan juga regu basket kita tidak bisa menanggungnya."
"Bye, Marty,"
Kata Gayle sambil mencibir.
"Kau akan mendengar kabar dariku tidak lama lagi."
"Kukira teman seharusnya saling mempercayai!"
Seruku padanya. Ia tidak mengacuhkannya. Riki hanya berdiam diri. Sekarang ia melangkah mendekatiku. Ia meraih lenganku dan mengajakku keluar dari gimnasium ke lorong yang berubin.
"Kau mau apa di dalam tadi?"
Tuntut Riki.
"Apa keadaannya belum cukup buruk tanpa dibantu tindakanmu yang seperti orang bodoh itu?"
"Kau benar. Tapi juga...,"
Aku tergagap.
"Kalau kau menutup mulut, mungkin kau bisa bermain basket lagi minggu depan. Kau tampaknya sudah bisa berjalan dengan baik,"
Katanya, mengamatiku dan mengubah topik pembicaraan.
"Well, lututku masih lemah,"
Kataku mengakui.
"Pelatih tidak akan mengizinkan aku ikut bertanding minggu ini. Tapi minggu depan aku akan bertanding."
"Kalau kau menjaga sikapmu,"
Katanya.
"Yeah."
Aku mendesah. Orang-orang melewati kami dalam perjalanan mereka ke kelas masing-masing. Beberapa orang menatapku. Aku selalu suka menjadi pusat perhatian di lapangan basket. Tapi ini berbeda. Aku tidak menyukainya sama sekali.
"Ayolah, Riki. Apa kau tidak bisa bicara pada Gayle untukku? Aku tahu kau dan aku bukan teman terbaik, tapi kaulihat apa yang dilakukannya padaku."
"Aku tidak suka memberitahumu hal ini,"
Jawabnya.
"Tapi aku berpihak pada Gayle. Kupikir kau sudah sinting, memperlakukan kucing seperti itu. Kurasa kau layak dihukum. Tapi aku tidak ingin regu kita gagal dalam pertandingan karena dirimu."
"Aku tidak tahu apa pendapatmu tentang kejadian di atas panggung penonton itu,"
Kataku.
"Tapi aku tidak pernah..."
Ekspresi shock Riki yang begitu tiba-tiba menyebabkan aku menghentikan kata-kataku di tengah-tengah kalimat.
Pandangannya terpaku ke wajahku.
Aku mengangkat tanganku dan menyentuh pipiku.
Kuturunkan lagi tanganku dan menatap jemariku.
Jemariku basah dan merah.
Karena darah.
Chapter 7
"MARTY, kau berdarah!"
Jerit Riki.
"Yeah, bisa kulihat,"
Jawabku tajam.
"Kucing itu mencakarku kemarin di sini. Kukira lukanya sudah menutup. Aku pasti tidak sengaja membuatnya terbuka lagi, entah bagaimana."
"Kurasa begitu,"
Kata Riki.
"Nanti kita bicara lagi,"
Kataku padanya.
Aku pergi ke kamar kecil tanpa menunggu jawaban.
Kusiramkan air ke wajahku, lalu mengeringkannya dengan tisu.
Kusambar tisu baru dan menyentuhkannya dengan lembut ke keningku.
Setelah satu-dua menit, pendarahannya berhenti.
Aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan hingga lukaku kembali terbuka.
Tapi aku yakin nanti pasti sembuh.
Sewaktu keluar dari kamar kecil, aku melihat Coach Griffin.
Ia berdiri di balik pintu kantin, mencari-cari seseorang.
Aku tidak ingin berbicara dengan Coach pada waktu itu.
Aku berbalik dan bergegas menuju lokerku.
"Harper!"
Panggil Coach Griffin. Ia sudah melihatku.
"Kemarilah sebentar."
Dengan enggan aku berbalik menghadapinya. Coach Griffin berjalan mendekatiku.
"Yeah, Coach?"
Tanyaku.
"Ada apa?"
Tatapannya tajam menusukku.
"Kurasa kau tahu ada apa, Marty,"
Jawabnya. Jangan sampai dia juga terpengaruh, pikirku.
"Coach, kalau ini tentang kucing itu..."
"Ya?"
Kuceritakan kejadiannya menurut versiku. Bagaimana aku hendak jatuh dan tanpa sengaja melepaskan kucing itu. Coach Griffin memelototiku.
"Marty,"
Katanya dengan kaku.
"apa kau sadar bahwa ceritamu itu terdengar lemah?"
"Well, yeah, kurasa begitu,"
Kataku mengakui.
"Tapi, Coach, itulah yang terjadi. Aku tidak akan membunuh hewan. Anda tahu, aku sendiri memiliki hewan peliharaan."
Ia menatapku sesaat lebih lama, lalu ekspresi wajahnya berubah.
"Aku percaya,"
Katanya.
"Sebagian besar guru dalam gedung ini juga merasa begitu. Tidak ada yang ingin menganggapmu bisa sekejam itu."
"Tidak, Coach,"
Kataku bersikeras.
"Aku bersumpah. Tapi kuharap Mrs. Howe juga sependapat dengan Anda."
"Masalah sebenarnya bukan pada guru-guru,"
Kata Coach padaku.
"Masalahnya anak-anak lainnya. Dan yang lebih penting lagi, orangtua mereka."
"Hah?"
Kataku.
"Ada apa dengan orangtua mereka?"
Coach Griffin mengerutkan kening.
"Kalau berita ini dimuat di koran, sekolah akan tampak sangat buruk. Kau tahu. Sekolah harus memikirkan citranya di mata publik."
Aku memikirkan beasiswa akademiku. Aku melihatnya terbang ke luar jendela. Aku tiba-tiba merasa mual.
"Aku egois, Marty,"
Coach Griffin mengakui.
"Aku hanya memikirkan regu basketku. Dan artikel buruk apa pun di koran akan berarti sangat buruk bagi regu basket."
Ia mengerutkan kening.
"Menurut isu yang kudengar, kau benar-benar membunuh kucing itu. Dan Dwayne dan Barry membantumu."
"Apa maksud Anda, Coach?"
Tanyaku dengan gugup.
"Anda mau aku mengundurkan diri dari regu?"
Kerutan di kening pelatih itu bertambah dalam.
"Tidak, Marty. Aku ingin kau kembali bergabung secepat mungkin. Masalahnya, Klub Hak-hak Hewan membesar-besarkan kejadian ini. Kalau kau ingin ikut bertanding minggu depan, well..."
"Apa, Coach?"
Desakku.
"Apa yang harus kulakukan? Aku bersedia melakukan apa saja."
"Kepala Sekolah memintaku bicara denganmu. Dia ingin kau menghadapi tuduhan klub di Sidang Murid besok."
"Tapi itu tidak benar!"
Protesku.
"Anak-anak di Sidang Murid teman-teman Gayle semua. Kalau aku disidang, mereka akan menyantapku hidup-hidup!"
"Mereka akan bersikap adil,"
Jawab Coach Griffin pelan.
Tapi aku tahu mereka tidak akan bersikap adil.
Aku tahu aku akan hancur.
Chapter 8 SIDANG MURID mengadakan pertemuan di gimnasium keesokan harinya, sewaktu makan siang.
Bagian perawatan membawa meja guru untuk hakim.
Meja tersebut diletakkan di bawah keranjang seberang, menghadap ke panggung penonton.
Di sampingnya terdapat kursi kayu yang digunakan sebagai tempat saksi.
Aku duduk di sebuah kursi yang mirip, menghadap ke meja hakim.
Semua orang lainnya duduk di panggung penonton.
Banyak murid dan guru yang hadir.
Aku mencari-cari di antara mereka dan merasa lega sewaktu melihat orangtuaku tidak ada di sana.
Semalam aku sudah memberitahu mereka tentang seluruh kejadiannya.
Mereka sangat memahami.
Mereka menawarkan untuk hadir dalam Sidang Murid hari ini dan menunjukkan dukungan mereka padaku.
Aku merasa bersyukur.
Tapi kukatakan aku bisa menanganinya sendiri.
Tapi apa benar? Duduk di sana, di hadapan semua orang, sulit kupercayai betapa gugup perasaanku.
Kedua tanganku sedingin es.
Mulutku terasa begitu kering, sehingga aku terus-menerus menelan ludah.
Aku penasaran, apakah semua orang bisa melihat betapa tegangnya diriku.
Aku menyilangkan kaki.
Mencoba tampak tenang.
Bagaimanapun, aku tahu aku tidak bersalah.
Tapi apakah Sidang Murid akan menganggap demikian pula? Dan kalau mereka memutuskan aku bersalah, apa hukumanku nanti? Riki dipanggil terlebih dulu.
Ia tampaknya juga gugup.
Tapi ia menceritakan kejadiannya menurut versinya dengan sederhana.
Dwayne dan Barry mendapat giliran berikutnya.
Mereka bersaksi dengan baik, dan ini mengejutkan.
Dwayne bahkan tidak bergurau.
Dan Barry menceritakan pada semua orang betapa aku sangat sayang pada anjingku, dan bahwa aku tidak pernah menyakiti hewan.
Aku selalu menganggap Sidang Murid ini sebagai lelucon.
Tapi tiba-tiba aku harus menganggapnya sangat serius.
Reputasi dan karier akademiku tergantung dari sidang ini.
Sesudah itu, Mrs.
Howe meminta Gayle maju ke depan.
Aku berhenti mendengarkan.
Paling tidak, kucoba untuk tidak mendengarkan.
Tapi setelah semenit, aku tidak tahan lagi.
"... dia menyambarnya, dan melemparkannya dari atas panggung penonton,"
Kata Gayle.
"Lalu dia dan Dwayne dan Barry mengayun-ayunkannya, menggoda kami. Lalu aku pergi."
"Itu tidak benar!"
Teriakku sambil melompat bangkit dari kursiku. Suaraku serak. Dua orang anak tertawa.
"Duduk, Martin,"
Perintah Mrs. Howe.
"Tapi aku..."
"Martin. Duduk. Kau akan mendapat giliranmu nanti."
Aku kembali duduk.
Akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menceritakan kejadiannya menurut versiku.
Aku ditanyai oleh seorang gadis bernama Jessica Wells.
Ia bertindak sebagai pengacara untuk Klub Hak-hak Hewan.
Aku juga memiliki pengacara.
Ia akan mendapat kesempatan menanyaiku sesudah Jessica selesai.
"Jadi, Marty, kau mengaku tidak menggoda Gayle dengan bangkai kucing. Dan kau tidak membuang bangkai itu ke tong sampah?"
Tanya Jessica, mencoba terdengar seperti pengacara sejati.
"Sepenuhnya,"
Kataku.
"Kau sudah mendengar kisah yang sama dari Barry dan Dwayne. Bahkan dari Riki! Aku tidak pernah menyentuhnya lagi sesudah..."
"Sesudah apa?"
Tuntut Jessica.
"Kapan kau terakhir kali menyentuh kucing itu?"
"Well, sewaktu aku menjatuhkannya,"
Kataku.
"Sewaktu kau menjatuhkannya?"
Tanya Jessica keras-keras.
"Aku mengerti. Ada satu pertanyaan lagi."
"Oke,"
Gumamku.
"Apa kau pernah memberitahu teman-temanmu bahwa kau akan 'menyingkirkan' kucing itu?"
Tanya Jessica. Bisikan-bisikan dan napas tersentak memenuhi auditorium.
"Well, ya. Ya. Kurasa aku memang pernah mengatakannya. Tapi... tapi yang kumaksudkan adalah..."
Tidak ada yang mendengarkan sekarang.
Semua orang berbicara dan berbisik-bisik sendiri.
Juri berada di luar gimnasium selama lima belas menit.
Sewaktu mereka masuk kembali, beberapa orang di antaranya bahkan tidak bersedia memandangku.
Tapi mereka tetap saja menyebabkan aku terkejut.
"Juri memutuskan bahwa terdakwa, Martin A. Harper, tidak bersalah untuk tuduhan pembunuhan terhadap kucing itu,"
Carey Donovan membacakan keputusan mereka. Kudengar erangan dan sentakan napas terkejut dari panggung penonton. Dua orang anak bertepuk tangan. Aku mengembuskan napas panjang, lega.
"Tapi, dalam hal kekejaman terhadap hewan, juri memutuskan kau bersalah sepenuhnya,"
Lanjut Carey membacakan keputusan mereka. Lalu ia melirikku.
"Menjijikkan."
"Hei!"
Protesku.
"Cukup, Carey,"
Mrs. Howe menegurnya.
"Terima kasih. Terima kasih pada kalian semua karena sudah menganggap serius acara ini, dan karena sudah melakukan pekerjaan dengan begitu bertanggung jawab."
Mrs. Howe membungkuk di atas mejanya.
"Martin, karena kau diputuskan bersalah atas kekejaman, kau harus melakukan layanan masyarakat selama tiga puluh jam di Tempat Penampungan Hewan Shadyside. Hukumanmu akan dimulai minggu ini."
Tiga puluh jam? Dengan belajar dan bermain basket, aku tidak bakal punya waktu luang semenit pun selama berminggu-minggu! Aku hendak memprotes.
Tapi lalu aku melihat sesuatu bergerak di bawah panggung penonton.
Aku melihat ada bayang-bayang yang bergerak.
Sebuah sosok gelap yang menyelinap dari bawah bangku.
Sepasang mata hijau memelototiku dari kedua sisi bercak hitam berbentuk berlian.
"Oh, tidaaak,"
Kataku mengerang. Kucing itu. Kucing kelabu keperakan itu. Chapter 9
"KUCINGNYA -kucingnya di sana!"
Kataku dengan suara tercekik. Aku menunjuk ke sepasang mata hijau kemilau di bawah bangku.
"Kucingnya -masih hidup!"
Aku melompat bangkit. Kedua kakiku gemetar sewaktu aku melesat ke panggung penonton. Beberapa anak lainnya berlompatan bangkit. Mereka mengintip ke bawah tempat duduk. Kudengar tawa riuh. Banyak yang melontarkan tatapan kebingungan.
"Tidak ada kucing di sana!"
Kata seseorang.
"Apa ini yang kaulihat?"
Tanya seorang gadis. Ia mengambil sepasang sepatu sneaker tinggi dari bawah kursinya.
"Tadi ada!"
Kataku bersikeras, sambil masih tetap menunjuk ke tempat tadi aku melihatnya.
"Sungguh!"
"Cukup, Marty,"
Bentak Mrs. Howe.
"Hentikan. Ini tidak lucu."
"Anda benar,"
Kataku menyetujui.
"Ini sama sekali tidak lucu." ******************************************* Siang itu aku membawa buku sejarahku sewaktu berlatih. Aku duduk di tepi lapangan, membaca tugasku. Ujian akhir sudah semakin dekat. Kurasa sebaiknya aku belajar mulai sekarang. Sebagaimana biasa, ada beberapa gadis yang tengah duduk di panggung penonton di belakangku, mengawasi latihan. Salah satunya adalah Jessica Wells. Ia turun dan duduk di sampingku. Ia sangat manis, dengan mata hijau cemerlang yang selalu berkilau-kilau, senyum memesona, dan rambut cokelat lurus.
"Hei."
"Hei."
"Aku mau minta maaf,"
Katanya.
"Menjadi pengacara dalam Sidang Murid merupakan keharusan untuk mata pelajaran studi sosial. Kemarin giliranku. Aku tidak ingin menyebabkan kau mendapat masalah apa pun."
"Wow,"
Jawabku.
"Terima kasih banyak. Sebagian besar orang bahkan tidak bersedia tertangkap basah bercakap-cakap denganku sekarang ini. Karena aku ini pembunuh kucing yang sangat jahat."
Ia mengerutkan kening.
"Aku senang mereka memutuskan kau tidak bersalah atas tuduhan itu."
Para T'igers berderap ke sana kemari, melintasi lapangan. Tapi saat menatap mata hijau Jessica, aku hampir-hampir tidak ingat mereka berada di sana.
"Yo, Harper!"
Seru Dwayne. Sewaktu berpaling ke lapangan, kulihat ia dan Barry mengacungkan jempol masing-masing. Aku tertawa, begitu pula Jessica. Bagus. Lalu aku melihat Riki. Ia berdiri di dekat pintu ganda gimnasium yang terbuka, memelototi diriku dan Jessica.
"Hei!"
Panggilku pada Riki. Aku tersenyum dan melambai memanggilnya, sebagaimana yang biasa kulakukan pada temanku yang mana pun.
"Hai, Riki!"
Panggil Jessica. Riki berbalik dan berderap keluar dari gimnasium. Punggungnya tampak kaku karena marah.
"Ada apa dengan dia?"
Tanya Jessica. Aku benar-benar tidak ingin membicarakannya. Tapi kupikir jawaban yang hanya separuh masih lebih baik daripada tidak ada jawaban sama sekali.
"Kami keluar bersama-sama dua kali,"
Kataku mengakui.
"Dia tidak tahu kenapa aku tidak lagi meneleponnya."
"Kenapa?"
Tanya Jessica. Aku tidak siap untuk mendapat pertanyaan tersebut.
"Entahlah,"
Jawabku akhirnya.
"Kurasa aku cuma tidak ingin berhubungan serius dengan dia, atau apa pun."
Jessica dan aku duduk menyaksikan latihan basket dalam kebisuan.
Reguku bermain dengan baik.
Kurasa mereka bisa menang tanpa kehadiranku dalam pertandingan besok malam.
Sewaktu teman-temannya turun dari panggung penonton dan menuju pintu, Jessica bangkit berdiri.
"Well, teman-temanku sudah pergi. Sebaiknya aku mengejar mereka."
Ia mendesah.
Kuucapkan selamat tinggal dan berterima kasih untuk kata-kata manis yang diucapkannya tadi.
Lalu kuambil buku pelajaranku dan membacanya.
Beberapa menit kemudian kudengar jeritan lirih.
Sewaktu mendengarnya lagi, aku tahu jeritan tersebut suara seekor kucing.
Chapter 10 SAMBIL menjerit terkejut, aku melompat naik ke atas kursi.
"Ngeooong! Hssssss!"
Aku berbalik -dan melihat tiga orang gadis, kurang-lebih selusin anak tangga di atasku. Mereka tengah tertawa-tawa. Apa mereka yang tadi menirukan suara kucing? Kenapa semua orang bersikap sekejam ini? Setelah latihan, Coach Griffin mendekatiku.
"Kau seharusnya lebih memusatkan perhatianmu pada latihan, Marty,"
Katanya memarahi.
"Aku ingin umpan balikmu, bagaimana caranya mengatasi absennya dirimu."
"Mudah, Coach,"
Jawabku.
"Pindahkan Lenny ke tengah, biarkan Dwayne dan Barry yang jnenyerang maju. Yang bertugas menjaga sudah cukup bagus."
Coach Griffin tersenyum.
"Hmm, ternyata kau memperhatikan juga."
"Agak,"
Jawabku.
"Dengar, Marty, aku ingin kau tahu bahwa tindakanmu hari ini sudah benar, membela diri seperti itu. Sidang Murid menjadikanmu teladan."
Ia menggeleng.
"Kurasa itu tidak adil. Akan kucoba memperingan hukumanmu. Kau harus beristirahat untuk bisa ikut bertanding hari Jumat yang akan datang."
"Aku akan baik-baik saja, Coach,"
Kataku berjanji.
"Lagi pula, aku sudah memikirkannya. Aku memang tidak membunuh kucing itu, tapi mungkin aku agak kejam terhadapnya. Sudah seharusnya kuterima hukuman itu dan melakukan kerja tiga puluh jam penuh."
Coach Griffin membelalak terkejut.
"Kau anak yang baik, Marty,"
Bisiknya.
"Tapi kalau kau memberitahu siapa pun apa yang baru saja kukatakan, latihanmu setiap hari akan menjadi siksaan pribadi sampai musim pertandingan berakhir."
Aku meringis.
"Trims, Coach."
Malamnya, setelah makan malam, aku belajar sejarah hingga lewat pukul sepuluh.
Teddy, anjing shar-pei-ku, tidur nyenyak di ranjangku.
Sesekali ia mengangkat kepala dan menggoyanggoyangkan tubuhnya yang bagai beludru keriput.
Setelah sejarah terasa tidak masuk akal lagi bagiku, kucoba belajar trigonometri.
Setiap beberapa menit, aku memikirkan kejadian selama tiga hari terakhir.
Tentang Jessica Wells, dan tentang komentar Coach Griffin.
Aku juga banyak memikirkan Gayle dan Riki, dan kucing bodoh yang malang itu.
Dan aku juga memikirkan saat mengira melihat kucing tersebut di bawah panggung penonton selama Sidang Murid.
Dan tentang mendengar dengkuran dan desisannya sewaktu regu basket berlatih.
Apa aku hanya mengada-ada? Apa anak-anak melontarkan lelucon keji padaku? Telepon berdering, mengejutkanku.
Aku melirik jam sambil meraih tangkai telepon.
Saat itu pukul sebelas lewat lima belas.
"Halo?"
Sunyi.
"Siapa ini?"
Tanyaku. Lalu kudengar seseorang bernapas. Tidak berat, seperti yang biasa dilakukan orang iseng di telepon. Napas orang ini lembut.
"Halo? Siapa ini?"
Kataku sekali lagi. Kubanting tangkai telepon. Jantungku berdetak kencang di telingaku. Telepon kembali berdering. Aku menatapnya. Telepon berdering lagi. Aku menelan ludah dengan susah payah. Pada deringan ketiga, kuangkat telepon tersebut.
"Kau akan membayar, Marty,"
Bisik seorang wanita dengan suara serak.
"Kaudengar? Kau akan membayar perbuatanmu!"
"Hei -siapa ini?"
Jeritku. Lalu aku mengenali suara tersebut. Chapter 11
"ADA apa denganmu, Riki?"
Tanyaku dengan marah.
"Ada apa denganmu?"
Balas Riki.
"Untuk terakhir kalinya, aku tidak membunuh kucing itu!"
Kataku.
"Aku bukan menelepon tentang kucing!"
Kata Riki.
"Aku tahu apa yang sudah kaulakukan, jerk! "
Aku mengempaskan diri ke ranjang, di samping Teddy. Sambil mendesah, aku menatap ke luar jendela.
"Aku mau tidur, Riki. Kenapa tidak kaukatakan saja alasanmu berteriak-teriak padaku di tengah malam? Lalu kita berdua bisa menutup telepon dan aku bisa istirahat."
Awan melayang menutupi bulan. Aku membenamkan kepalaku ke bantal dan menatap ke langit.
"Well, Riki?"
Kataku mengulangi.
"Kau sibuk menggoda Jessica Wells, lalu melambai padaku, seakan-akan segalanya baik-baik saja!"
"Oh, man."
Aku mendesah dan memejamkan mata karena frustrasi.
"Kenapa kau harus peduli dengan siapa aku bicara? Untuk terakhir kalinya, aku bukan pacarmu, Riki. Lagi pula, kukira kau membenciku sekarang. Kau tahu, karena sudah membunuh kucing itu."
"Jessica hanyalah penghinaan terbaru bagiku,"
Katanya.
"Kudengar kau juga tertarik pada Kit Morrissey."
"Please,"
Kataku sambil mengerang.
"Cowok macam apa di Shadyside yang tidak tertarik pada Kit?"
"Dan,"
Lanjut Riki.
"hari ini Gayle memberitahuku bahwa dia melihatmu keluar bersama Lisa Greene pada malam kau membatalkan acaramu denganku. Katamu kau sakit."
Riki mengerang.
"Kau pembohong, Marty. Aku tidak tahan dibohongi lebih lama lagi."
Apa yang bisa kukatakan? Riki memang benar. Sekalipun begitu, aku harus mengatakan sesuatu agar ia mau menutup teleponnya.
"Kau tahu, Riki?"
Kataku.
"Kau benar. Aku keluar bersama Lisa malam itu. Kami tidak bersenang-senang, tapi kau tidak peduli tentang itu. Aku berbohong padamu karena kurasa lebih baik begitu daripada menyakiti perasaanmu."
Aku menghela napas.
"Mungkin sebaiknya aku tidak memedulikan perasaanmu,"
Lanjutku.
"Tapi kuharap kita bisa berteman. Kurasa aku keliru."
"Sejak dulu pun kau selalu keliru!"
Teriaknya begitu keras, hingga aku terpaksa menjauhkan telepon dari telingaku.
"Oh, kau benar-benar cowok yang peka, Marty, tidak ingin menyakiti perasaanku,"
Jeritnya.
"Kalau kau tidak ingin menyakiti perasaanku, kau seharusnya tidak membohongiku sejak awal! Aku benci padamu. Aku benar-benar benci padamu!"
"Terserah,"
Jawabku.
Riki membanting teleponnya.
Aku menatap ke langit, membiarkan nada panggil berdengung di telingaku.
******************************************* Di sekolah keesokan harinya, aku mengurusi urusanku sendiri.
Aku tidak lagi tertarik untuk berdebat dengan siapa pun tentang kucing yang telah mati itu.
Sebagian besar anak-anak bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Kehidupan boleh dikatakan sudah kembali normal.
Pada akhir hari itu, aku sudah merasa jauh lebih baik.
Lututku yang sakit masih terasa berdenyut-denyut, tapi suasana hatiku sudah baik.
Mungkin seluruh kejadian mengerikan itu sudah benar-benar berlalu.
Setelah makan malam, ayahku menurunkanku di belakang sekolah untuk mengikuti pertandingan basket.
Aku tertatih-tatih memasuki pintu belakang, menuju ruang loker.
Coach Griffin menyapaku.
Aku berdiri di pintu yang menuju gimnasium dan mendengarkan ia menyampaikan ceramah kecilnya seperti biasa.
Sewaktu regu basket berlari-lari melewati diriku, banyak di antaranya yang menepuk bahuku atau melontarkan ibu jari ke arahku.
Para penonton seketika riuh ketika kami memasuki gimnasium.
Tapi suara lain segera terdengar di antaranya.
Suara erangan kucing.
Regu lawan tengah mengejekku.
Aku merasa begitu malu dan marah.
Aku menunduk dan berharap bisa berada di tempat lain selain di gimnasium ini.
Dwayne berteriak menyuruh mereka menutup mulut.
Barry, Kevin, dan beberapa anggota regu basket lainnya juga berteriakteriak.
Tapi regu lawan tidak berhenti, hingga Coach Griffin menyeberangi lapangan dan membisikkan sesuatu kepada pelatih mereka.
Tidak lama setelah itu, suara kucing berhenti.
Saat pertandingan dimulai, kudengar lebih banyak lagi yang menirukan suara kucing dari panggung penonton.
Kucoba untuk tidak mengacuhkannya dan memusatkan perhatian pada pertandingan.
Tapi tidak semudah itu.
Pada saat istirahat paruh waktu, sebuah tangan lembut menyentuh bahuku.
"Kau tidak apa-apa?"
Tanya Jessica Wells.
"Aku baik-baik saja."
Aku mendesah.
"Seandainya aku tahu siapa yang masih menyebarkan cerita tentang kucing itu."
Ia angkat bahu.
"Mungkin Gayle."
"Siapa lagi?"
Jawabku.
"Kau tahu,"
Katanya.
"kurasa mereka mengolok-olokmu bukan karena kau sudah membunuh kucing itu."
"Apa ada alasan lain?"
Tanyaku.
"Kurasa mereka mengolok-olokmu karena kau agak ketakutan sewaktu Sidang Murid kemarin. Kau tahu, sewaktu kau mengatakan melihat kucing."
"Aku memang melihat kucing,"
Kataku bersikeras. Jessica menatapku dengan tajam.
"Aku tidak tahu apa yang kulihat itu kucing yang sama,"
Tambahku.
"Tapi tampaknya mirip sekali. Entahlah. Aku cuma ingin masalah kucing bodoh ini berlalu."
"Pasti, Marty,"
Katanya berjanji.
"Gayle dan Klub Hak-hak Hewan sudah mengorganisir pawai antikekejaman terhadap hewan. Tapi setelah acara itu selesai... Sabar sajalah."
"Yeah. Sabar,"
Gumamku.
"Nah,"
Katanya dengan nada ringan.
"kudengar kau berkencan dengan Lisa Greene."
Aku tersenyum.
"Ada yang lucu?"
Tanyanya.
"Agak,"
Kataku mengakui.
"Aku heran melihat cepatnya isu menyebar di sekolah ini."
"Jadi, kau tidak berpacaran dengan Lisa?"
"Kami pernah jalan-jalan bersama,"
Jawabku.
"Tapi hanya itu saja. Kami cuma berteman."
Jessica tersenyum.
"Bagus."
Kami saling tersenyum.
Lalu sama-sama menunduk.
Tapi aku tetap tersenyum.
Orang-orang boleh menggodaku sesuka hati, selama gadis-gadis seperti Jessica tetap tersenyum padaku.
********************************************* Aku baru pulang menjelang pukul sepuluh malam.
Aku ingin merebahkan diri di ranjang dan tidak membuka mata hingga pagi hari.
Tapi aku tahu tidak akan sempat belajar banyak selama dua malam di tempat penampungan hewan besok.
Aku duduk di depan mejaku.
Kubuka buku pelajaran matematikaku dan mulai membaca.
"Hah?"
Aku melompat ketika mendengar beberapa ekor kucing menjerit.
Sekarang dengan kesadaran penuh aku merangkak menyeberangi ranjang ke jendela dan mengintip ke luar.
Aku tidak bisa melihat mereka, tapi dalam kegelapan di luar sana, dua ekor kucing tengah berkelahi.
Jeritan-jeritan mereka terdengar mengerikan -dan sangat dekat dengan rumah.
Sambil berlutut di ranjang, kututup jendelanya.
Tidak membantu.
Aku masih tetap mendengar perkelahian mereka, masih mendengar mereka saling mengeong mengancam dan mendesis-desis.
Akhirnya kudengar raungan memekakkan telinga.
Lalu sunyi.
"Whoa."
Aku mendesah.
Kemudian aku kembali duduk di meja belajarku dan membuka buku pelajaran sejarah.
Tapi aku merasa terlalu lelah untuk bisa berkonsentrasi.
Saat menguap untuk ketiga kalinya, kuputuskan untuk mengakhirinya.
Kututup buku pelajaran sejarah dan kuregangkan tubuhku.
Ada yang menggaruk jendela di atas ranjangku.
Aku melompat dari kursi, menjatuhkannya ke lantai.
Kutatap jendela itu.
Tidak ada apa-apa di sana.
Lalu kudengar suara garukan lagi.
Suara cakar menggurat kaca.
Jantungku berdebar-debar di dalam dada.
Kudengar desisan lembut.
Lalu ada yang mencakar-cakar jendela lagi.
Apa pun yang ada di luar, tengah berusaha masuk.
Chapter 12
"HEI!"
Jeritku. Terdengar sesuatu menghantam kaca. Tongkat? Lalu segenggam kerikil menghujani jendela.
"Man, aku bisa sinting!"
Gumamku.
Bukan kucing yang tengah mencakari jendela.
Aku mengintip ke halaman di bawah.
Dwayne dan Barry tengah berdiri di bawah sebatang pohon ek besar.
Mereka melambai memanggilku turun.
Aku tertatih-tatih ke lemari pakaian dan mengenakan kaus biru laut.
Lalu aku merangkak menyeberangi ranjangku dan membuka daun jendela.
Aku menjulurkan tangan ke pohon, menyambar sebatang dahan besar dengan dua tangan, dan menyeret kakiku di belakang.
Aku sudah sering melakukannya sebelum ini, tapi belum pernah dengan lutut terluka.
Rasa sakit menyengat dari kakiku.
Hampir-hampir peganganku terlepas dan aku jatuh ke sesemakan di bawah.
Tanpa mengacuhkan sakitnya, aku berayun dari dahan ke batang pohon dan meluncur ke tanah.
"Hei -pakaian yang bagus!"
Kataku kepada Dwayne.
"Apa?"
Protesnya. Ia menatap kemeja Hawaii ungu dan hijau yang dikenakannya.
"Maksudmu ini? Ada apa dengan kemeja ini?"
"Well,"
Jawabku.
"aku lebih menyukainya daripada kemeja biru bergambar flamingo birumu."
"Itu bukan kemeja Hawaii,"
Tambah Barry.
"Itu kemeja putih. Ada yang memuntahi pakaiannya."
Barry dan aku tertawa.
"Kita mau ke mana?"
Tanyaku.
"The Corner,"
Jawab Barry.
"Ke mana lagi?"
The Corner merupakan tempat berkumpul yang populer di Shadyside, jauhnya sekitar satu blok dari sekolah.
Kami semua sering berkumpul di The Corner.
Dan kalau aku tidak tahu mau mengajak seorang gadis ke mana, kami biasanya menuju ke sana.
Kami berdiri dalam antrean untuk memesan, lalu menyelinap ke tempat duduk di bagian belakang restoran.
Kami bisa melihat siapa saja yang masuk.
Kalau ada kenalan kami yang muncul -terutama gadis-gadis -kami pasti melihat mereka.
"Nah, Marty,"
Kata Barry dengan mulut penuh piza.
"apa yang terjadi kemarin di Sidang Murid? Maksudku, kau lepas kendali."
Aku membeku.
"Apa maksudmu?"
"Kau tahu. Melihat kucing itu."
Aku tidak menjawab.
"Kucing, Marty. Kucing itu. Halo? Katamu kau melihat kucing yang sudah mati itu di bawah panggung penonton,"
Barry mengingatkan. Tapi aku tidak perlu diingatkan. Kutatap Dwayne, tapi ia tidak mau membalas pandanganku.
"Aku memang melihat kucing itu,"
Kataku bersikeras.
"Aku tahu apa yang kulihat. Kucing itu ada di sana dan menatapku."
Barry dan Dwayne tampak tertegun.
"Mirip cara kalian menatapku sekarang,"
Tambahku sinis.
"Whoa!"
Seru Barry.
"Tunggu sebentar. Kau benar-benar percaya sudah melihat kucing yang sama, yang kita lihat jatuh dari panggung penonton dan mati? Kucing yang sama yang aku dan Dwayne buang di tong sampah?"
"Benar,"
Jawabku. Aku tahu ini kedengarannya sinting. Tapi kedua orang ini teman terbaikku. Kalau aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada mereka, pada siapa lagi aku bisa bercerita? "Aow, yang benar saja!"
Kata Barry.
"Kau pasti bergurau!"
"Aku melihat kucing itu,"
Kataku mengulangi.
"Mungkin kucing itu belum mati seperti dugaan kita semula. Atau mungkin ada lebih dari satu kucing yang tinggal di gimnasium."
Keduanya menatapku.
Dan tidak mengatakan apa-apa.
Dari The Corner, kami bergegas menuju rumahku.
Kalau ibuku memeriksa kamarku sesudah pukul sebelas dan tidak menemukanku di situ, aku akan mendapat masalah besar.
Lututku rasanya baik-baik saja.
Tapi tidak mungkin aku bisa memanjat pohon untuk masuk kembali ke kamarku.
Aku harus menggunakan pintu depan.
Hanya saja kuharap orangtuaku sudah tidur.
Satu blok sebelum kami tiba di jalanku, aku berbelok ke kiri.
"Kau mau ke mana?"
Tanya Dwayne.
"Tidak bisa menemukan rumahmu sendiri dalam gelap?"
"Kita memotong lewat halaman belakang,"
Kataku menjelaskan.
"Lebih cepat begitu."
Aku menuju rumah keluarga Millens.
Halaman belakang rumah mereka dipisahkan oleh sepetak hutan dengan halaman belakang rumahku.
Kami bertiga menyusuri jalur masuk rumah keluarga Millens dengan diam-diam.
Rumah mereka gelap.
Malam seakan-akan menelan kami.
"Menakutkan,"
Bisik Dwayne.
Aku mendengar bunyi jangkrik.
Angin mengembus dedaunan di atas kepala kami.
Kami berjalan menyusuri samping rumah.
Kusadari bahwa pintu samping rumah tersebut terbuka di belakang pintu kaca antibadainya.
Sewaktu melewati pintu tersebut, kulihat ada sesosok bayangan dalam kegelapan di balik kaca.
Ada yang mengawasi kami.
"Hei, guys...,"
Bisikku. Sesuatu menghantam bagian dalam pintu badai. Kami menjerit terkejut. Aku bersiap untuk lari saat seekor anjing yang tengah memamerkan taringnya kembali menubruk pintu.
"Whoa!"
Jerit Dwayne.
"Aku terlalu muda untuk mendapat serangan jantung."
Kami bergegas menyeberangi halaman belakang. Dan tiba di sebuah jalan setapak sempit yang membentang menembus hutan, menghubungkan halaman rumahku dengan halaman rumah mereka.
"Lewat sini,"
Kataku pada teman-temanku, dan kami menyelinap masuk ke dalam hutan.
Beberapa meter jauhnya di jalan setapak, aku bisa melihat rumahku di sela-sela pepohonan.
Lampu di lantai bawah menyala, tapi kamar tidurku masih gelap.
Kuharap orangtuaku tidak tahu aku keluar rumah.
Kudengar desisan keras di atas kepalaku.
"Hei!"
Teriak Dwayne. Kudengar jeritan seekor hewan. Dari sebatang dahan pohon di atas kami. Lalu terdengar suara berdebum. Ada yang mendarat dengan keras di atas kepala Barry.
"Tolong!"
Teriaknya. Chapter 13
"SINGKIRKAN makhluk ini!"
Jerit Barry.
"Singkirkan!"
Seekor kucing! Barry mati-matian berusaha melemparkan hewan tersebut dari atas kepalanya. Tapi kucing itu bertahan di sana dengan cakarnya. Dwayne meraih sebatang dahan pohon yang besar dan mengayunkannya ke belakang bahunya.
"Hentikan!"
Jeritku.
"Kau akan memukul Barry."
Dwayne membuang dahannya.
Aku menerjang ke Barry.
Menyambar kucing tersebut dengan dua tangan.
Dan mencabutnya dari atas kepala temanku.
Kubuang kucing yang menjerit-jerit tersebut ke tanah.
Dwayne menendang hewan tersebut ke dalam hutan.
Kudengar kucing itu terbanting menerobos dahan-dahan dan sesemakan, melolong-lolong sepanjang jalan.
"Oh, wow,"
Kata Barry sambil mengerang.
"Oh, wow."
"Barry, biar kulihat wajahmu,"
Kataku. Kupicingkan mataku menembus kegelapan. Pipi Barry tercakar. Tapi tidak terlalu dalam.
"Kau tidak apa-apa,"
Kataku padanya.
"Tapi sebaiknya kauperiksakan luka-lukamu."
"Ada apa, Marty?"
Tanyanya.
"Apa tadi itu kucing yang sama?"
"Tidak mungkin, man,"
Sela Dwayne.
"Kucing yang itu sudah mati, ingat?"
Aku memang ingat. Tapi sekalipun hutannya gelap, aku sempat melihat kucing yang menyerang Barry dengan cukup baik. Aku cukup yakin sudah melihat sebuah intan hitam di kening hewan tersebut.
"Marty?"
Tanya Barry.
"Bukan,"
Jawabku mantap.
"Kucing itu sudah mati, Barry. Kucing itu sudah mati." ******************************************** Keesokan malamnya, hari Sabtu, aku memulai layanan sosialku di Tempat Penampungan Hewan Shadyside. Sebuah bangunan persegi berlantai satu. Tempat penampungan tersebut menawarkan bantuan bagi segala jenis hewan. Tapi sebagian besar pelanggan mereka merupakan kucing dan anjing gelandangan. Manajernya, Carolyn Peters, tampaknya sangat ramah. Kutanyakan apa tugasku. Ia memberitahukan bahwa aku harus menyapu lantai, memberi makan hewan-hewan, dan menelepon ke rumahnya kalau ada yang tampak sakit. Mudah sekali. Rata-rata di malam hari mereka memintaku ada di tempat penampungan pukul tujuh, sewaktu Carolyn pulang ke rumah. Antara pukul sembilan dan sebelas, seorang penjaga malam datang, dan aku bebas untuk pulang ke rumah. Pada malam pertama tersebut, aku mulai dengan menyapu. Sesaat kemudian, aku masuk ke kawasan kandang. Setelah menyandarkan sapuku ke dinding, aku berjongkok untuk mengamati hewan-hewan. Di sebelah kiri, anjing-anjing tengah terlelap di dua deretan panjang kandang yang ditumpuk dua buah. Di sebelah kanan, kucingkucing berkeliaran di dalam susunan kandang yang sama. Beberapa dari kandang-kandang tersebut berisi lebih dari satu ekor hewan. Seekor kucing liar kelabu bermata kuning menatapku dari sebuah kandang di bagian bawah. Tahu-tahu hewan tersebut mendesis dan melengkungkan punggungnya.
"Yeah? Sama untukmu, buddy,"
Gumamku.
Aku memikirkan kejadian yang menimpa Barry semalam, dan menggigil.
Aku tidak ingin berada di dekat kucing, kecuali kalau terpaksa sekali.
Pada pukul sembilan aku memberi mereka makan.
Sesudah itu aku akan duduk di kantor kecil dan belajar.
Dengan begitu, aku tidak perlu menghabiskan waktu terlalu banyak dengan kucing, dan alergiku tidak akan timbul.
Kuambil sapu dan berbalik untuk keluar dari ruang kandang.
Tapi sebuah debuman tajam menyebabkan aku berputar balik.
"Siapa itu?"
Tanyaku.
"Ada orang di belakang?"
Tidak ada jawaban.
Kulihat sebuah lampu kecil berkilas melintasi kamar yang gelap.
Lalu hewan-hewan berubah ribut.
Anjing-anjing mulai menyalak dan melolong.
Kucing-kucing mulai mendesis dan menjerit-jerit.
Kututup telingaku dengan tangan, mencoba menghalangi suara mengerikan tersebut.
"Hentikan!"
Jeritku.
"Hentikan!"
Hewan-hewan tersebut menghantamkan diri mereka ke kandang masing-masing. Desisan dan jeritannya semakin keras. Semakin keras.
"Hentikan!"
Jeritku.
"Hentikan! Ada apa ini?"
Chapter 14
"HENTIKAN! Hentikan!"
Jeritku.
Kutekankan tanganku ke telinga dengan lebih kuat.
Tapi tetap saja kudengar jeritan-jeritan mereka.
Kucing-kucing mencakari kandang.
Menjerit-jerit.
Mendesisdesis.
Mulut mereka tertarik ke belakang, membentuk seringai buas.
Mata mereka kemilau dan liar.
Anjing-anjing menengadah dan melolong.
"Please!"
Pintaku, jantungku berdebar-debar.
Sambil tetap memegangi telingaku, aku berbalik dan berlari keluar ruangan.
Kubanting pintu kantor hingga tertutup di belakangku.
Tapi tetap saja suara-suara tersebut terdengar.
Aku menerjang ke meja.
Menyambar telepon dengan tangan gemetar.
Dan menekan nomor telepon rumah Carolyn.
"Kemarilah cepat!"
Kataku dengan suara tercekik.
"Please. Cepat! Ada yang tidak beres! Ada yang sangat tidak beres!"
"Tapi, Marty...,"
Katanya memprotes.
"Aku baru saja tiba. Ada apa?"
"Datanglah,"
Pintaku.
"Cepat."
Kutunggu di kantor hingga ia tiba.
Jeritan-jeritan dan salakansalakan tidak mereda.
Aku bisa mendengar anjing-anjing mengempaskan diri ke kandang.
Dan di atas semuanya, desisan melengking kucing-kucing.
Sekitar sepuluh menit kemudian, kulihat sorotan lampu depan mobil di jendela kantor.
Mobil Carolyn bergulir memasuki tempat parkir.
Sambil tetap memegangi telinga, aku lari ke pintu depan.
Kutarik selotnya dan kubuka pintunya.
Desisan dan jeritan itu berhenti.
"Hah?"
Aku tersentak. Sekarang suasana sunyi. Carolyn melangkah ke pintu depan. Matanya menyapu kandang-kandang dengan gelisah.
"Marty -ada apa?"
Tanyanya. ********************************************** Sewaktu makan siang hari Senin, kuceritakan kejadian tersebut pada Barry dan Dwayne. Barry menggeleng. Dwayne bersiul panjang.
"Aneh,"
Gumamnya.
"Apa manajer tempat penampungan itu mempercayaimu?"
Tanya Barry. Aku angkat bahu.
"Entahlah. Dia hanya menatapku."
Aku mendesah dan mengesampingkan roti isiku.
"Aku tidak tahu, apa lagi yang harus kupercayai."
"Hei, bergembiralah,"
Desak Dwayne.
"Bisa saja kejadiannya jauh lebih buruk, Marty."
"Lebih buruk?"
Jawabku.
"Lebih buruk bagaimana?"
Ia memikirkannya.
"Entahlah,"
Katanya akhirnya. Kami semua tertawa. Tapi tawaku tawa terpaksa. Dalam perjalanan keluar, aku tengah memikirkan kucing dan anjing -dan menabrak seseorang.
"Oh, maaf,"
Gumamku. Ternyata Kit Morrissey.
"Hai, Marty,"
Katanya, dan melontarkan senyum lebar ke arahku.
"Bagaimana kabarmu?"
Selama beberapa detik aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Kit pindah ke Shadyside dalam liburan bulan Desember.
Ia dengan cepat menjadi salah satu gadis paling populer di sekolah.
Rambutnya yang cokelat chestnut tergerai ke bahunya, membingkai wajahnya dengan sempurna.
Matanya hijau zamrud, dihiasi bintik-bintik keemasan.
"Eh,"
Kataku tergagap.
"kau tidak masuk dua hari ini ya?"
"Aku sakit. Flu atau semacam itulah,"
Kata Kit.
"Sekarang sudah lebih baik."
"Tampangmu juga baik,"
Kataku menggoda.
"Kau sendiri tidak jelek, Harper,"
Jawabnya.
"Eh, kau mau es krim atau apa di The Corner sepulang sekolah?"
Tanyaku. Bola matanya menyipit.
"Apa kau tidak berlatih?"
"Lututku terluka minggu lalu,"
Kataku menjelaskan.
"Aku tidak bisa berlatih. Kalau aku tidak menyaksikan latihan satu kali, Coach tidak akan marah."
Kit memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu mengangguk.
******************************************** Aku menemui Kit di tangga samping sekolah, dan kami berjalan ke The Corner.
Kami bercakap-cakap selama hampir dua jam.
Ia benar-benar menyenangkan.
Aku terpesona olehnya, habis-habisan.
Sewaktu kami meninggalkan The Corner, sesuatu menyebabkan aku kembali melirik ke dalam.
Dan aku langsung membeku.
Di bagian belakang, Riki tengah duduk seorang diri.
Ia melotot ke arahku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana.
Wiro Sableng Dewi ULar Agatha Christie Lapangan Golf Maut Pendekar Slebor Lembah Kutukan