Ceritasilat Novel Online

Duel Dan Kemelut Cipatujah 1


Roro Centil Duel Dan Kemelut Di Cipatujah Bagian 1


SATU ALAM MENJADI SAKSI akan adanya pertarun-gan maut yang bakal berlangsung....

   Bukit Karang He-lang tampak hening mencekam.

   Ratusan burung Elang yang diikuti burung-burung lainnya sejak tadi telah menyingkir pergi, berbondong-bondong meninggalkan sarangnya.

   Puluhan ekor kera dan siamang hiruk-pikuk berloncatan dengan suara gaduh.

   Tampaknya mereka sangat ketakutan sekali.

   Naluri kebinatangan-nya telah dapat menerka bahwa tempat itu bakal po-rak-poranda.

   Bakal hancur! Membuat mereka saling bergegas meninggalkan daerah yang dianggap gawat itu untuk segera menyingkir pergi.

   Seekor Raja Rimba yang menghuni bukit itu-pun sudah angkat kaki dengan memperdengarkan su-ara mengaum panjang.

   Hawa aneh yang mencekam te-lah menyelimuti sekitar bukit itu.

   Dan...

   satu keane-han adalah kini cahaya merah tampak seperti meram-bah sekitar bukit.

   Angin membersit keras seperti bakal ada taufan yang bakal terjadi.

   Udara sebentar gelap sebentar terang.

   Bau-bau busuk seperti bersembulan di sana-sini membaur dengan sejuta keseraman yang membangunkan bulu roma.

   Dua sosok tubuh telah saling berhadapan.

   Ber-diri tak bergeming.

   Kedua rambut wanita itu sama-sama terurai.

   Sesekali menyibak karena tiupan sang angin.

   Keheningan memang mencekam perasaan.

   Dan detik demi detik terus merayap yang akhirnya sampai pada ujungnya.

   "Hm, disinikah tempat pertarungan kita, Giri Mayang...?"

   Suara Roro Centil menyobek keheningan yang mengembara disekitar bukit itu.

   "Benar! Inilah tempat pertarungan yang ku pi-lih! Dan... disini pula tempat kuburanmu, Roro Cen-til...!"

   Menyahut Giri Mayang dengan nada sinis.

   "Kematian bagiku tak menjadi soal, perempuan iblis! Asalkan kaupun ikut serta mengiring kematian-ku, bagiku aku sudah puas! Dan aku dapat mati me-ram...!"

   Menyahut Roro dengan suara datar.

   "Hihihi... seribu Iblis siap sedia menjaga nya-waku, Roro Centil. Dan aku telah pula menghubungi guruku untuk siap melindungi diriku! Kalau kau mampus mana mungkin kau bisa bawa nyawaku me-nyertai kematianmu?"

   Ujar Giri Mayang dengan nada sini, dengan tertawa menghina. Akan tetapi Roro Centil juga tertawa dengan di-barengi kata-kata yang lebih "nyelekit"

   Di ulu hati Giri Mayang.

   "Hihihi... hihi... kalau seribu Iblis menjaga nyawamu, aku bahkan seribu Malaikat menjaga nyawaku dari ketelengasanmu! Mana mungkin kau bisa men-gambil nyawaku...?"

   "Keparat...!"

   Memaki Giri Mayang. Seketika wajahnya berubah merah padam.

   "Setan alas!"

   Maki pula Roro.

   "Roro Centil, jangan kau mengumbar kesom-bonganmu! Hari ini aku akan balaskan dendam pati kematian ayahku!"

   Membentak Giri Mayang lagi, dengan menatap tajam dan mulai mempergunakan penga-ruh ilmu batinnya untuk mempengaruhi Roro.

   "Bagus! Aku justru mau minta tebusan ratusan kepala yang telah kau tanggalkan dari tubuh rakyat tak berdosa dan para pendekar, serta orang-orang Ke-rajaan yang telah kau bantai seenak udelmu! Hihihi... aku cuma mau minta kepalamu untuk kupersembah-kan pada Baginda Raja...!"

   Sahut roro dengan suara tegas dan lantang.

   Giri Mayang menekan perasaannya.

   Darahnya menyentak sampai ke kepala tubuhnya agak tergetar menahan kemarahannya yang meluap.

   Akan tetapi dia berusaha menahannya, dan membentak dengan suara yang berpengaruh.

   Suara yang berisi serangan dengan kekuatan batin yang telah selesai dimanterainya.

   "Roro Centil...! Kau tak lebih dari hamba ku sa-ja! Bersujudlah untuk menerima hukuman dariku!"

   Akan tetapi beranjakpun tidak Roro dari tem-patnya berdiri. Bahkan dia mengumbar suara tertawa melengking tinggi yang membuat tanah bergetaran.

   "Hihihi... hihihi... Giri Mayang! Giri Mayang...! Kau tak lebih dari anjing buduk yang menjijikkan! Ma-ri mendekat padaku untuk kugebuk pantatmu 13 kali!"

   Berkata Roro Centil dengan juga balas menyerang dengan kekuatan batin yang menindih kekuatan serangan lawan.

   Hebat akibatnya.

   Tubuh Giri Mayang tampak bergetar dan agak terhuyung.

   Nyaris kakinya melang-kah ke depan satu tindak kalau dia tak cepat-cepat berusaha melawan kekuatan serangan Roro yang me-rangsang hawa aneh, menindih kekuatan batinnya yang sekaligus mendadak punah.

   Pucat pias seketika wajah Giri Mayang.

   Sadar-lah dia kalau lawan dihadapannya tak boleh dianggap enteng.

   Namun mana Giri Mayang mau unjukkan ke-lemahannya pada musuh besarnya itu? Dengan melo-tot gusar dia membentak heat.

   "Roro Centil! Jangan kau terlalu sombong! Lihat sekelilingmu! Kau tak dapat meloloskan diri dari ke-pungan seribu Iblis yang akan merecah kulit dan da-gingmu!"

   Bau busuk seketika menyebar, dan kian mendekati Roro.

   Pendekar itu putarkan pandangannya ke sekeliling.

   Benar saja apa yang dikatakan wanita iblis itu, sekejap telah terlihat makhluk-makhluk menye-ramkan yang tak terkirakan banyaknya mengurung Roro Centil.

   Bergidik juga Roro melihat rupa wajah dan bentuk yang menyeramkan, namun cepat Roro merapal mantera salah satu dari 7 jurus penolak iblis, warisan si Manusia Padang Pasir, Terdengar suara jeritan disekeliling disertai suara meletup bagai bara disiram api.

   BHUSSSS! BHUSSSS...! BHUSSSS .

   .! Puluhan Iblis dan siluman-siluman jahat terjungkal seketika.

   Dan tubuh-tubuh mereka hancur.

   Lalu berubah men-jadi asap hitam yang membumbung meninggalkan bau sangit yang menusuk hidung.

   Akan tetapi tidak semua makhluk-makhluk halus yang mengerikan itu terjung-kal, belasan sosok tubuh yang agak kebal telah melu-ruk bagaikan angin menderu menerjang Roro.

   Tersentak Roro Centil.

   Sepasang lengannya bergerak memutar dan mengibas beberapa kali.

   Itulah jurus pertama dan kedua dari tujuh mantera yang sambil bergerak, mulut Roro mengucapkan mantera-mantera suci itu.

   Terdengar suara jeritan dan meraung yang membangunkan bulu roma.

   Belasan sosok tubuh makhluk halus itu buyar berpentalan.

   Hawa panas yang membersit dari angin pukulan Roro yang berbau mantera suci seketika telah membakar menghan-guskan tubuh-tubuh mereka.

   Terkesiap Giri Mayang.

   Nyalinya agak menciut menyaksikan kehebatan Roro Centil.

   "Edan!? dari ma-na dia dapatkan ilmu-ilmu itu...?"

   Sentak Giri Mayang dalam hati. Kembali Giri Mayang komat-kamit membaca mantera. Cepat sekali dia telah mengadakan hubungan dengan gurunya, melalui batin.

   "Hehehe... pergunakanlah Tangan Iblis mu, muridku...! Jangan khawatir, aku segera datang ke bukit Karang Helang untuk membantumu bila kau mendapat kesulitan. Akan tetapi jangan kau bernyali kecil karena dengan Sepasang Tangan Iblis mu aku yakin dapat membinasakan si Roro Centil!"

   Itulah suara batin tingkat tinggi yang telah di-lontarkan Nini Lembutung pada Giri Mayang.

   "Terima kasih, guru...!"

   Menyahut Giri Mayang melalui kontak batin itu.

   Dan...

   kini sepasang matanya bagaikan menyala-nyala menatap pada Roro.

   *** Kita beralih sejenak.

   pada dua sosok tubuh yang tengah berlari cepat menuju kesatu arah...

   Kedua sosok tubuh itu adalah satu laki-laki dan satu wanita.

   Si wanita itu tak lain dari si peniup seruling, sedangkan laki-laki yang berada dibelakangnya adalah Sam-bu Ruci.

   Tiba-tiba wanita berbaju merah kembang-kembang itu hentikan tindakan kakinya, lalu menoleh ke belakang.

   "He? Siapa suruh kau mengikutiku...?"

   Berkata wanita muda alias sang gadis itu dengan nada ketus. Pemuda dibelakang itu tersenyum, dan sekali enjot tubuh sudah berada dihadapan sang gadis. Lan-tas saja tertawa bergelak.

   "Lho...? Aku punya kaki...?"

   Menyahut Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok.

   Mendapat jawaban demikian wajah sang gadis jadi semakin cemberut.

   Akan tetapi ternyata semakin cemberut justru semakin can-tik.

   Entah mengapa sejak berjumpa dengan wanita itu Sambu Ruci seperti menaruh perhatian padanya.

   Wa-laupun bicara sang gadis itu selalu bernada ketus, namun Sambu Ruci yang ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu, diam-diam selalu mengintilnya.

   "Kau memang punya kaki!"

   Tukas sang dara cantik ini.

   "Akan tetapi mau apa kau membuntuti aku terus?"

   Tanyanya kesal.

   "Aku sendiri tak mengetahui, mengapa kakiku maunya mengikuti langkah kakimu?"

   Menyahut Sam-bu Ruci dengan tersenyum.

   "Lelaki semacammu pasti tidak punya maksud baik"

   "Hm, kau seorang dukun peramal rupanya?"

   "Cis! Enak saja kau bicara! Aku bukan dukun!"

   Membentak sang gadis.

   "Nah, kalau kau bukan seorang dukun, jangan menuduh sembarangan. Aku punya niat baik, yaitu ingin berkenalan denganmu..."

   Berkata Sambu Ruci.

   "Boleh aku tahu namamu, nona cantik...?"

   Bertanya Sambu Ruci.

   "Aku tak punya nama!"

   Sahut lagi gadis itu dengan nada ketus, seraya membuang muka. Akan tetapi ternyata wajahnya berubah jadi merah dadu kare-na dipuji demikian. Sambu Ruci tersenyum, seraya menjura.

   "Aku yang rendah ini bernama Sambu Ruci siapakah geran-gan nama anda nona gagah? Ilmu lari cepat mu mem-buat aku jadi kagum..."

   Ujarnya.

   "Huuu... gombal! Aku sudah tahu namamu Sambu Ruci, tak usah sampai dua kali kau menye-butkan. Baiklah, akan kuberitahukan namaku..."

   Ujar sang gadis seraya mencabut serulingnya dari belakang punggung.

   "Kau perhatikan benda ini terbuat dari apa-kah...?"

   Tanya gadis itu seraya perlihatkan serulingnya mendekat ke wajah Sambu Ruci.

   "Hmmm..."

   Termenung sesaat pemuda itu se-raya perhatikan benda itu.

   "Apakah namamu Seruling Gading...?"

   Ta-nyanya tiba-tiba.

   "Tepat sekali! Itu namaku sekaligus julukan ku! Nah! kini langkahkan kakimu ke lain arah! Aku mau terus ke utara...!"

   Berkata sang gadis alias si Seruling Gading. *** DUA "HAI...!? LIHATLAH! Ada bercak-bercak darah berserakan disini...!"

   Teriak Sambu Ruci tiba-tiba. Tentu saja membuat si gadis Itu terkejut, dan segera melihat ke tempat yang ditunjuk si pemuda. Sepasang ma-tanya menjalari sekitar pelataran disisi hutan itu. Bercak-bercak darah tampak semakin banyak.

   "Mari kita selidiki!"

   Ujar Sambu Ruci seraya mendahului bergerak. Si gadis tak menyahut, tapi segera beranjak untuk meneliti sekitar tempat itu. Selang sesaat terdengar seruan tertahan Sambu Ruci.

   "Hai...! Lihatlah kemari! Banyak mayat berge-limpangan!"

   Mendengar teriakan itu kontan si Seruling Gading melompat menghampiri.

   Dan terperangah melihat mayat-mayat dari para prajurit Kerajaan berge-limpangan dengan keadaan kepala terlepas dari tu-buhnya.

   Juga beberapa ekor kuda yang mati dengan tubuh hangus.

   Gadis itu jadi bergidik seram.

   "Ini... ini pasti perbuatan perempuan Iblis itu lagi!"

   Berkata Seruling Gading dengan nada suara agak menggeletar.

   "Benar! Lagi-lagi perempuan setan itu meminta korban! Perbuatannya semakin keterlaluan. Kalau dia menyerang ke Kota Raja keadaan bisa gawat!"

   Gadis itu tak berkata apa-apa kecuali tercenung dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berom-bak-ombak menahan geram.

   "Apa yang harus kita perbuat?"

   Akhirnya si Seruling Gading bertanya. Kali ini nada suaranya tidak lagi ketus seperti tadi. Sambu Ruci terdiam sejenak la-lu sahutnya.

   "Pendapatku begini, sebaiknya kita bantu men-gubur jenazah, lalu kita berangkat ke Kota Raja mela-porkan kejadian ini!"

   "Huuuu...! Pendapatmu selalu menyusahkan orang saja! Kukira sebaiknya kita melapor saja ke Kota Raja, mengenai penguburan para prajurit Kerajaan ini kita serahkan pada yang wajib mengurusnya!"

   Sanggah si Seruling Gading seraya berikan pendapat. Ternyata Sambu Ruci melompat girang.

   "Aku setuju! Aku setuju...! Aha, tak ku sangka nona Seruling berotak encer! Benar...! Kalau kita yang menguburkan jangan-jangan nanti bisa terjadi kesa-lahpahaman...!"

   Mau tak mau gadis itu jadi tersenyum melihat kelakuan Sambu Ruci yang berjingkrakan seperti orang dapat lotere.

   "Wahai...! Alangkah manisnya nona Seruling kalau tersenyum begitu!"

   Ujar Sambu Ruci dengan geleng-gelengkan kepala.

   "Huuu... gombal! Marilah-kita berangkat!"

   "Mari... tukas Sambu Ruci seraya lengannya bergerak menyambar pergelangan tangan si Seruling Gading, yang barusan melangkah lewat disampingnya. Tentu saja gerakan tak terduga itu diluar pemikiran sang gadis. Mau tak mau terpaksa dia membiarkan perge-langan tangannya dicekal pemuda itu. Dan... Srrr tera-sa hawa aneh telah menjalar ke sekujur tubuh mem-buat hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tangan pemuda itu terasa hangat, dan cekalannya mengan-dung kemesraan. Inilah yang membuat hatinya berde-bar.

   "Dia memang tampan...! Akan tetapi aku belum tahu isi hatinya. Aku khawatir hatinya tak setampan wajahnya..."

   Bisik hati si Seruling Gading dengan wajah bersemu merah dan terasa panas.

   Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya untuk coba men-jajal kekuatan lawan.

   Hawa panas segera menyebar dipergelangan tangannya.

   Dia menduga Sambu Ruci pasti akan sege-ra lepaskan tangannya.

   Akan tetapi terkejut gadis ini karena tahu-tahu serangkum hawa dingin segera mengalir cepat menindih hawa panas dari tenaga dalam-nya.

   Dan...

   keadaan kembali seperti semula.

   Yang membuat gadis ini melengak adalah si pemuda itu te-tap tenang-tenang saja tak menampakkan wajah terke-jut.

   Bahkan sambil berjalan cepat mengikuti gerakan langkahnya dia mengajak bercakap-cakap.

   "Kota Raja tak seberapa jauh lagi. Setelah me-lewati perbatasan di depan -sana kita sudah memasuki wilayah bagian selatan ini. Kukira di sana pasti ada markas terdekat dari lasykar Kerajaan yang bertugas menjaga wilayah itu!"

   "Bagaimana kalau ternyata perempuan iblis itu telah tiba lebih dulu dan mengacau di Kota Raja...?"

   Untuk menutupi perasaannya yang tak karuan itu sengaja si gadis membuat dalih pertanyaan.

   Tiba-tiba Sambu Ruci hentikan tindakan ka-kinya.

   Sepasang mata Sambu Ruci menatap tajam pa-da sang gadis.

   Aneh, seperti terkena daya magnet yang amat luar biasa.

   gadis itupun menatap tajam memandang pada wajah tampan laki-laki dihadapannya.

   Dan...

   dua pasang mata itupun saling menatap ber-pantulan.

   Terasa oleh si dara itu cekalan tangan si pemu-da semakin erat mencekal pergelangan tangannya.

   Bahkan meluncur turun untuk mencekal telapak tan-gannya.

   Menyentuh jemarinya lalu menyatukan den-gan jemari tangannya.

   Tak terasa diapun mencekal erat pula jemari tangan Sambu Ruci, dan menatap dengan mata terperangah kagum.

   Ya, dia memang se-jak berjumpa dengan pemuda itu telah mengagumi ke-tampanan wajahnya.

   Akan tetapi dia memang selalu bersikap ketus, karena khawatir terjebak "cinta".

   Berapa banyak laki-laki yang telah dikenalnya ternyata cuma laki-laki hidung belang yang berwatak buruk, yang cuma berkenalan untuk melampiasan nafsu be-jatnya.

   Watak-watak kebanyakan dari orang yang per-nah dijumpainya itulah yang membuat dia selalu ber-sikap ketus.

   Keramah-tamahan justru amat memba-hayakan dirinya.

   "Kalau dia mengacau di Kota Raja, kita akan menempurnya!"

   Berakta Sambu Ruci dengan suara tegas dan tegar.

   "Ya!... kita akan menempurnya!"

   Berdesis pula suara si Seruling Gading.

   Dan...

   keduanya sama-sama tersenyum, lalu mengangguk berbareng.

   Aneh! Seketi-ka kekerasan hati si gadis peniup seruling punah su-dah.

   Ya! Sambu Ruci si Bujang Nan Elok telah berhasil menaklukkan hatinya.

   Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan.

   Keduanya jadi terkejut, dan sama-sama menoleh ke arah depan.

   "Sssst! Mari kita sembunyi rombongan siapa ge-rangan yang lewat!"

   Sambu Ruci tempelkan jari telun-juknya diatas bibir.

   Dan...

   dengan melompat sambil tetap bergandengan tangan.

   Sekejap saja mereka sudah berlindung dibalik batu besar.

   Tak berapa lama kemu-dian serombongan pasukan berkuda itu telah melewati mereka.

   Ternyata adalah rombongan pasukan Kerajaan.

   Kedua "sejoli"

   Ini jadi saling tatap, dan sama-sama tersenyum.

   "Bagus! Berarti kita tak usah repot-repot ke Kota Raja...!"

   Berkata Sambu Ruci dengan ber-bisik. Si gadis peniup seruling mengangguk. Dengan keadaan wajah sama-sama berdekatan begitu mau tak mau membuat napas mereka terasa saling berpagutan. Sementara lengan mereka masih tetap saling genggam dengan erat.

   "Kita pergi dari sini..."

   Bisik si gadis, seraya menarik tangannya dari genggaman Sambu Ruci. Akan tetapi justru pemuda itu semakin erat menggenggam-nya.

   "Tunggu dulu..."

   Berkata lirih Sambu Ruci. Dan sepasang mata pemuda itu seperti mencari-cari sesuatu disekitar wajahnya.

   "Seruling Gading...! Apakah kau bersedia ber-sahabat denganku?"

   Tiba-tiba Sambu Ruci ucapkan kata-kata. Gadis itu tak menjawab selain anggukkan kepa-lanya. Lalu tundukkan wajah.

   "Terima kasih, Seruling Gading...! Marilah kita pergi!"

   Ujar Sambu Ruci yang tak lakukan sesuatu pun dalam keadaan wajah mereka begitu dekat. Padahal "sesuatu"

   Itu sudah dibayangkan oleh sang gadis.

   Dan dia memang takkan menolak.

   Bahkan hatinya sudah tergetar, juga hasratnya.

   Akan tetapi sang pemuda tampan itu justru cuma ucapkan terima kasih, lalu menarik lengannya untuk segera beranjak pergi me-ninggalkan tempat itu...

   Sementara orang-orang dari rombongan pasu-kan Kerajaan itu sibuk mengurus mayat-mayat menge-rikan yang bertebaran ditempat itu, Sambu Ruci dan si gadis peniup seruling sudah meninggalkan tempat itu...

   Cahaya merah yang membersit dari atas bukit Karang Helang ternyata telah terlihat oleh kedua rema-ja yang tengah berlari-lari cepat diatas lembah.

   "Lihatlah, Seruling Gading! Cahaya itu bebera-pa pekan yang lalu muncul dari puncak gunung Ga-lunggung, tetapi sekarang telah muncul lagi dan ber-pindah ke atas bukit itu. Menurut yang ku tahu ca-haya merah itu adalah pertanda akan timbulnya ba-nyak malapetaka...!"

   Berkata Sambu Ruci.

   "Kau percaya... ?"

   Tanya sang gadis.

   "Entahlah! Tapi menurut kenyataan sejak mun-culnya cahaya merah itu dari puncak Galunggung, te-lah muncul bencana besar yaitu mengganasnya lagi si perempuan Iblis Giri Mayang. Hingga sampai saat ini Iblis perempuan itu telah meminta puluhan korban ke-ganasannya. Entah apa lagi yang bakal terjadi! Apakah cahaya merah dari atas bukit itu suatu pertanda akan lebih memburuknya bencana pada umat manusia? Apakah bakal muncul lagi manusia-manusia Iblis lain-nya, ataukah wabah penyakit? Aku tak mengetahui...!"

   Menjawab Sambu Ruci.

   "Ingin kulihat dari manakah asal cahaya merah itu. Kau mau menemaniku kesana...?"

   Berkata si gadis dengan tersenyum.

   "Hahaha... mengapa tidak? Pergi berdua dengan seorang sahabat secantikmu aku takkan menolak!"

   "Huu, lagi-lagi kau memujiku cantik. Aku kha-watir bila kau lihat lagi perempuan lain yang cantiknya melebihi ku, lantas apakah kau masih tetap menye-butku cantik?"

   Berkata menyindir gadis itu.

   "Haiiih, Seruling Gading! Aku jamin mataku tak jelalatan memperhatikannya. Bukankah aku tetap me-nyebut mu cantik?"

   Tukas Sambu Ruci.

   "Mulutmu memang, akan tetapi hati orang sia-pa tahu?"

   "Hatiku dan mulutku sama...!"

   Tak mau kalah Sambu Ruci.

   "Baik! Coba katakan, lebih cantik mana aku dengan RORO CENTIL?"

   Diluar dugaan "adat"

   Ketus si Seruling Gading kembali muncul.

   Dengan menatap tajam dan lengan bertolak pinggang dia berdiri menung-gu jawaban Sambu Ruci.

   Melihat demikian mau tak mau Sambu Ruci jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.

   Akan tetapi dia sudah punya jawaban yang pasti, wa-laupun pada kenyataannya Roro Centil memang sukar dikalahkan dalam segalanya.

   Roro terlalu cantik dan sukar untuk dinilai dari segi mana kecantikan serta keayuannya.

   Juga berilmu tinggi yang susah diukur menurut penilaiannya.

   Dan...

   disamping Roro punya "adat"

   Aneh yang sukar diterka, Roro juga punya keanggunan tersendiri sebagai seorang wanita yang ideal.

   Adapun si Seruling Gading ternyata juga seo-rang wanita yang ideal.

   Terkadang ketus, tapi terka-dang lemah lembut.

   Disamping tubuh semampai berisi serta wajah yang cantik rupawan, tak kalah dengan Roro Centil.

   Akan tetapi walau bagaimana Roro tetap berada diatasnya.

   Jauh dari seberang lautan Sambu Ruci men-gembara cuma mencari Roro.

   Sejak Roro menghilang dari Pulau Andalas, dan sejak adiknya menikah den-gan sahabatnya, bernama Rahwanda.

   Yang pernah pu-la mereka bersaing dan bertarung memperebutkan Ro-ro Centil, gara-gara Sambu Ruci mengira Rahwanda mengingini juga wanita Pendekar Perkasa itu yang se-lama lebih dari sebulan berada di tempat tinggalnya.

   Dia memang menggilai Roro Centil.

   Akan tetapi Roro ternyata sukar didekati.

   Roro cuma jinak-jinak Merpati.

   Kemunculan dan kepergiannya sukar diketa-hui.

   Membuat Sambu Ruci mulai mengendur hasrat-nya untuk menyunting sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.

   Dan saat muncul si gadis peniup seruling yang baru dikenalnya berapa hari, Sambu Ruci mulai antu-sias untuk mengenalnya lebih dekat.

   Rasa simpatinya semakin besar karena gadis itu mempunyai banyak persamaan dengan Roro.

   Cuma satu hal yang berbeda yaitu si gadis peniup seruling tidak memiliki kegenitan seperti Roro.

   Ya! Seruling Gading tetaplah Seruling Gading, dan Roro Centil tetaplah Roro Centil yang masing-masing dengan segala yang dipunyainya...

   Ditatapnya dalam-dalam mata gadis itu.

   Diperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah-olah tengah menaksir orang untuk di perbandingkan dengan Roro Centil.

   Akhirnya terdengar suara Sambu Ruci setelah menghela napas, dan tersenyum.

   "Kau... kau masih lebih cantik dari Roro Centil, Seruling Gading...! Kau mempunyai kelebihan yang tak dipunyai pendekar itu!"

   "Apakah kelebihannya...?"

   Tanya Seruling Gading dengan ketus, tapi tak bisa dibilang ketus karena nada suaranya ada tercampur suara mengandung getaran.

   Hidungnya terasa menggembung karena pujian itu, akan tetapi rasa penasaran membuat dia lakukan pertanyaan yang telah dilontarkan dengan cepat.

   "Kelebihannya terletak dari sinar matamu...!"

   Ujar Sambu Ruci datar.

   "Ha...?!"

   Tersentak Seruling Gading.

   "Aneh sekali..."

   Ujarnya mendesah.

   "Apanya yang aneh...?"

   "Kelebihannya itu!"

   Sahutnya pendek.

   "Lho? Mengapa harus aneh?"

   Tanya Sambu Ruci seraya mendekat.

   "Aku berkata sejujur-nya, adik Seruling Gading..."

   "Sinar matamu teramat sejuk bila kupandang. Dan disana kulihat ada cahaya ke"ibu"an...."

   Seruling Gading tertunduk dengan rona merah menjalari wajahnya. Lengan Sambu Ruci bergerak menggamit dagunya. Menengadahkan lagi wajah dara itu dengan sepasang mata yang menatap tajam seolah mau menembus ke sanubari sang dara.

   "Seruling Gading...! Aku mencintaimu... aku te-lah menemukan apa yang kucari, yaitu Cinta Suci. Aku... aku akan segera melamar mu, sayang..."

   Berde-gupan jantung dara itu.

   Suara nafasnya mendesah.

   Dan sepasang matanya terpejam.

   O....

   Alangkah indahnya! Alangkah indahnya kata-kata itu! Dan dia tak menolak tatkala Sambu Ruci dekatkan wajahnya.

   Sesuatu yang dinanti membuat dia terperangah den-gan napas tertahan.

   Akan tetapi Sambu Ruci ternyata cuma mencium keningnya.

   Selanjutnya dirasakan dekapan kuat yang me-meluknya erat-erat.

   Dan lengan Sambu Ruci membelai rambutnya.

   Ah, sikap itu terasa terlalu membuat gere-gatnya hati sang gadis.

   Akan tetapi seruling Gading semakin yakin bahwa dia telah menjumpai seorang pemuda pilihan yang bukan laki-laki hidung belang.

   Hidup mengembara yang telah dijalani sekian lama se-jak dia lari dari perguruan, lari dari ayah tiri yang ternyata mempunyai nafsu binatang membuat dia harus menghadapi banyak marabahaya.

   Dia membutuhkan seseorang untuk melindunginya.

   Dan...

   dia memang sudah mendapatkannya! Tak terasa Seruling Gading balas mendekap dengan erat.

   Serasa tak mau dia melepaskannya.

   Se-mentara air matanya telah menitik.

   Betapa teramat bahagianya dia saat itu...

   "Kakak Sambu..., benarkah ucapanmu itu.?"

   "Mengapa tidak, sayang ku...? Aku memang akan melamar mu! Aku akan datang pada kedua orang tuamu untuk meminang mu dengan segera!"

   Sahut Sambu Ruci.

   "Apakah kau membalas cintaku yang suci ini...?"

   Tanya Sambu Ruci, karena gadis itu tak menjawab. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kecuali dekapan yang semakin erat, dan air mata yang semakin deras mengalir.

   "Kau... kau menangis, sayangku...?"

   Berkata Sambu Ruci seraya menggamit dagu sang dara yang telah mengendurkan dekapannya.

   "Ya! Aku menangis karena aku... aku bahagia... sahut Seruling Gading dengan suara menggetar.

   "Aku pasrahkan jiwa dan ragaku hanya pada-mu, kakak Sambu..."

   Ujarnya pula dengan suara lirih. Sepasang matanya yang berkaca-kaca itu gemerlapan bagaikan percikan cahaya mutiara. Dan gadis itu men-coba untuk tersenyum.

   "Ohh..."

   Tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Sambu Ruci selain desahan lirih yang lepas melapangkan dadanya.

   Dipeluknya ga-dis itu erat-erat, dan direngkuhnya bibir mungil itu dengan kasih mesra, Saat itu dunia serasa mereka yang punya.

   Dan saat itu mereka tenggelam dalam ke-bahagiaan yang paling indah.

   Angin sepoi berhembus memagut dahan, meng-guncang ranting.

   Tiga empat daun kering melayang tu-run dari tangkainya...

   Betapa indahnya Cinta.

   Betapa agungnya Cinta! Tuhan telah mempertemukan jodoh sepasang makhluknya...

   Matahari semakin condong ke arah bukit.

   Se-mentara cahaya merah yang membersit dari puncak bukit Karang Helang telah lenyap sejak tadi.

   *** TIGA "HAI...!? LIHATLAH...! Cahaya merah itu telah lenyap!"

   Berkata Sambu Ruci. Gadis yang tengah tersi-pu dengan menundukkan wajah itu seketika tenga-dahkan lagi wajahnya untuk melihat ke arah langit di sebelah barat. Benar saja! Cahaya merah itu memang telah sirna.

   "Apakah kau tak akan membatalkan niatmu untuk melihat ke arah tempat keluarnya cahaya merah itu?"

   "Aku memang mau melihatnya. Pasti cahaya itu keluar dari bukit bernama Karang Helang itu! Cahaya itu tepat diatasnya...!"

   Menyahut si Seruling Gading.

   "Baiklah! Mari kita kesana...!"

   Ujar Sambu Ruci.

   Lengannya terulur, dan gadis itu cepat menyambutnya dengan mesra.

   Tak berapa lama dua sosok tubuh su-dah berkelebatan untuk melesat cepat menuju ke arah bukit Karang Helang.

   Sementara itu di atas bukit Karang Helang...

   Dua sosok tubuh itu masih tegak berdiri ber-hadapan.

   Sama-sama menatap dengan tatapan tajam laksana dua mata pisau yang mau menembus jantung lawan masing-masing.

   Dua pasang mata yang dida-lamnya tersimpan cahaya dendam, dan memancarkan hawa maut.

   Lenyapnya cahaya merah yang membaur di atas bukit itu menandakan para Iblis yang membantu Giri Mayang dalam menghadapi Roro Centil telah me-lenyapkan diri.

   Roro Centil perlihatkan senyuman si-nisnya, seraya berkata.

   "Hm, Giri Mayang! Sudah ha-biskah bala bantuanmu? Mayo, munculkan ular-ular siluman untuk menghadapi aku!"

   Tantang Roro.

   "Keparat...! Rasakanlah Sepasang Tangan Iblis ku!"

   Membentak Giri Mayang.

   Dan dua larik sinar biru telah membersit ke arah Roro Centil dengan cepat.

   Giri Mayang membarenginya dengan suara tertawa mengikik menyeramkan.

   Roro Centil yang telah siap meng-hadapi segala kemungkinan, pergunakan kekuatan serta kepekaan seluruh inderanya.

   WHUSSS! WHUSS! Hawa dingin mencekam dis-aat dua larik sinar biru itu memecah menjadi beberapa cahaya yang dengan suara bersiutan menerjang si Pendekar Wanita Pantai Selatan dari perbagai arah.

   Dengan membentak keras Roro putarkan tubuhnya dengan jurus Pusaran Angin Puyuh.

   Sengaja Roro mencoba keampuhan jurus warisan si Dewa Angin Puyuh sahabatnya alias paman angkatnya.

   Laksana terkena pusaran angin puting-beliung puluhan cahaya biru itu berpentalan.

   Akan tetapi dua larik sinar biru telah membumbung ke atas, lalu me-nukik...

   Dan...

   BHLARRR! Tanah menyemburat ke udara.

   Dua larik sinar biru dari sepasang tangan Iblis itu telah mampu membobol pertahanan Roro.

   Akan tetapi tubuh Roro sendiri telah lenyap tak berbekas.

   Giri Mayang kerutkan keningnya dengan sepa-sang mata liar menjelajahi sekitar tempat itu.

   "Aku berada dibelakangmu, Giri Mayang!"

   Tahu-tahu suara Roro terdengar dibelakangnya.

   Tentu saja membuat wanita Iblis itu tersentak kaget.

   Lengan ba-junya bergerak mengibas ke belakang dengan hanta-man tenaga dalam.

   WHUSSS! Dua batang pohon yang berada tepat tak jauh dibelakangnya berderak patah, dan tumbang dengan suara gemuruh.

   Akan tetapi terperangah wanita itu karena tera-sa rambut kepalanya seperti dibetot dengan keras.

   Dan sekejap kakinya telah tak menginjak tanah.

   Menjerit Giri Mayang dengan meringis kesakitan.

   Tubuhnya ta-hu-tahu terlempar ke udara dengan membumbung pe-sat.

   Satu bayangan berkelebat turun, dan hantam-kan pukulan jarak jauh ke arahnya.

   Dalam keadaan melayang ke atas itu ternyata Giri Mayang dapat meli-hat Roro Centil yang barusan menjambak rambutnya.

   Setelah membetotnya dengan lemparan kuat ke udara, tubuh Roro meluncur turun, lalu hantamkan puku-lannya.

   Itulah jurus dari pukulan Kosongkan Perut Menahan Lapar.

   Cepat sekali Giri Mayang "menarik"

   Kembali sepasang Tangan Iblisnya.

   Dan memapaki se-rangan itu.

   BHLAKRRR! Tubuh Roro terlempar beberapa tombak.

   Akan tetapi tubuhnya sendiri semakin tinggi melambung jungkir balik ke udara.

   Hebat akibat ben-turan dua kekuatan itu.

   Karena Roro Centil terengah-engah dengan kucurkan darah dari mulutnya.

   Namun terperangah Giri Mayang, karena ternyata tubuhnya tak meluncur turun lagi.

   Tergantung-gantung dia di udara dengan keadaan kepala di bawah kaki diatas.

   Sementara Roro cepat berdiri.

   Lalu menyeka darah kental yang mengalir dari bibirnya ke dagu.

   Te-rasa hawa busuk yang menyesakkan dadanya dan bau amis merangsang hidung, teramat memuakkan.

   Na-mun cepat-cepat Roro pusatkan kekuatan batin serta satukan segenap tenaga dalam untuk mengusir rasa sesak pernafasannya.

   Selang sesaat keadaan kondisi tubuhnya mulai normal kembali.

   Kini sepasang mata dara perkasa ini menatap ke atas.

   Saat mana dua larik sinar biru baru saja membersit ke arahnya mengarah leher.

   Terperan-gah Roro Centil karena tahu-tahu sepasang lengan Ib-lis telah berada beberapa jengkal lagi siap mencengkeram untuk memoteskan kepalanya dari tubuhnya.

   "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!"

   Teriak Roro seraya kibaskan lengannya.

   Dan...

   segelombang tenaga yang tak terlihat telah membuat sepasang Tan-gan Iblis seperti membentur satu dinding baja, yang membuat sepasang lengan itu terpental balik.

   Sementara pertarungan tengah berlangsung se-ru, sepasang mata sejak tadi telah mengikuti jalannya pertarungan dari sesosok tubuh berjubah putih.

   Siapa lagi kalau bukan Nenek Muri Asih.

   Mulut wanita tua ini ternganga melihat jurus pukulan Roro yang mem-buat tubuh Giri Mayang tergantung-gantung di udara.

   Akan tetapi sepasang tangan iblisnya telah memburu nyawa Roro tiada henti.

   Lagi-lagi Nenek Muri Asih ternganga dengan mata membelalak seperti tak per-caya.

   Jurus Roro disaat dalam detik maut berada di depan mata ternyata telah tertolong dengan jurus ba-rusan yang amat hebat.

   Yaitu jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis! Akibatnya cahaya biru dari Se-pasang Tangan Iblis itu terpental balik.

   Bahkan Roro telah membarenginya dengan tiga-empat hantaman dengan jurus-jurus aneh.

   Sinar biru itu seketika terpecah menjadi ratu-san sinar kecil-kecil yang membaur dan terpental de-ras ke ratusan penjuru.

   Akan tetapi percikan sinar bi-ru kembali bergerak menyatu, untuk kemudian beru-bah menjadi sepasang sinar biru dari sepasang tangan Iblis.

   Melengak Roro Centil.

   Dia telah pergunakan jurus-jurus dari si Manu-sia Gurun Pasir.

   Akan tetapi sinar itu tampaknya su-kar dilumpuhkan.

   Sementara Giri Mayang yang "tergantung"

   Di udara tampak mulai kehabisan nafas. Reaksi dari pukulan Roro yang mempergunakan jurus ciptaannya di Pulau Air masih bersisa. Saat mana tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh.

   "Heheheheh... heheheh... Roro Centil! Kau tak-kan mampu melumpuhkan Sepasang Tangan Iblis! Ha-ri ini adalah hari yang tepat untuk mengubur jasad Pendekar tolol yang sok menjadi pahlawan! Ya! hari ini adalah hari kematianmu, bocah wadon... heheheh..."

   Selesai tertawa si nenek mata juling yang baru muncul itu telah jejakkan kakinya ke tanah.

   Bumi te-rasa bergetar.

   Akan tetapi hebat akibatnya.

   Karena seketika tubuh Giri Mayang yang tergantung di udara te-lah jatuh meluruk kembali ke bumi.

   Tersentak Roro melihat kemunculan si nenek mata juling, juga melihat kekuatan jejakkan kakinya ke tanah yang terasa menggetarkan jantung.

   Akan tetapi melihat tubuh Giri Mayang yang meluncur jatuh ke tanah, mana Roro Centil mau membiarkannya? Sekali berkelebat tubuh-nya telah membersit secepat angin.

   Akan tetapi si nenek mata juling alias Nini Lembutung tak mau kalah cepat untuk menyela-matkan muridnya.

   Kakinya bergerak menjejak tanah, dan tubuhnya melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya memburu Roro.

   Dengan di sertai bentakan keras sebelah lengannya bergerak menghantam den-gan pukulan tenaga dalamnya.

   "Bocah keparat! kau rasakan ini...!"

   Dalam keadaan mengambang di udara agaknya sukar bagi Roro untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu.

   Akan tetapi pada detik itu secercah cahaya perak telah menghadang di depan Nini Lembutung memapaki serangan itu.

   BHLARRRR...! Terdengar suara ledakan keras, disertai dengan terlemparnya tubuh Nini Lembutung.

   Akan tetapi den-gan ringan kaki nenek mata juling telah kembali jejakkan kakinya ke tanah.

   Tampak wajahnya berubah pu-cat karena terkejut, Setitik darah tersembul disudut bibirnya.

   Ternyata terpentalnya tubuh Nenek tua renta ini tidak sendiri, karena sesosok tubuh berjubah pu-tihpun ikut terhuyung, yang tahu-tahu telah berada ditempat itu.

   Dialah si nenek Muri Asih.

   Sementara itu Giri Mayang baru dapat bernapas.

   Begitu rasakan ha-wa segar dari lenyapnya pengaruh pukulan Roro Cen-til, serta mengetahui tubuhnya meluncur turun segera melihat gerakan Roro Centil yang meluncur ke arah-nya.

   Akan tetapi lambatnya gerakan luncuran tubuh-nya telah membuat Roro lebih cepat setindak untuk bergerak menyambar kakinya.

   Giri Mayang memang punya kegesitan luar biasa.

   Dengan gerak reflek ka-kinya menendang...

   Adanya Roro Centil yang baru saja menyiapkan "tameng"

   Untuk memapaki serangan Nini Lembutung, tapi tak jadi dipergunakan karena tiba-tiba munculnya selarik cahaya selendang perak yang menyambar si penyerangnya. Tahulah Roro kalau Nenek Muri Asih yang muncul menolongnya. Kini "tameng"

   Yang telah disiapkan itu segera dipergunakan untuk memapaki serangan kaki Giri Mayang.

   DHESSS...! Terdengar teriakan tertahan Giri Mayang.

   Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan ja-tuh bergulingan di tanah.

   Meraung wanita iblis itu karena terasa tulang kakinya berderak patah.

   Dengan meringis kesakitan, tiba-tiba wanita ini cepat "tarik"

   Lagi Sepasang Tangan Iblisnya. Sementara Roro Centil baru saja jejakkan kakinya ke tanah setelah berjumpa-litan di udara. Sementara dilain pihak...

   "Nini Lembutung...! Akulah lawanmu! Jangan ikut campur dalam urusan pertarungan adu jiwa ke-dua bocah itu!"

   Membentak Nenek Muri Asih yang telah berdiri dihadapan Nini Lembutung dengan gagah. Jubah putihnya berkibaran tertiup angin.

   "Keparat! rupanya kau si Selendang Perak Pe-langi...!"

   Mendelik sepasang mata juling nenek sakti dari pulau Andalas ini.

   "Tidak salah! matamu walaupun juling ternyata masih awas!"

   Ujar nenek Muri Asih.

   "Kunyuk keparat! kau minta mampus!"

   Maki Nini Lembutung.

   Dan sepasang lengannya bergerak menyilang menggeletar.

   Bibir perempuan sakti ini ber-kemak-kemik membaca mantera.

   Tiba-tiba...

   WHUSSS! WHUAA...! Sepasang lengannya bergerak menghantam ke depan saling susul.

   Membersitlah sinar merah berhawa panas saling susul meluncur pesat mengancam jiwa nenek Muri Asih.

   *** EMPAT BHLARRR! BHLARRR! BHLARRR...! Terdengar suara ledakan beberapa kali.

   Percikan-percikan lelatu api terlihat di udara.

   Ternyata nenek Muri Asih telah memapaki serangan demi serangan itu dengan pukulan-pukulan sinar peraknya.

   Hebat akibatnya karena kedua tokoh itu sama-sama terhuyung dengan wajah pucat.

   Masing-masing dari mulutnya mengalirkan da-rah kental.

   Tampak masing-masing menggelosor terduduk, dan mereka berusaha memulihkan kekuatannya kare-na mereka telah sama-sama terluka dalam akibat ben-turan-benturan kekuatan tenaga dalam tingkatan ting-gi itu.

   Sementara itu Giri Mayang tampaknya telah punya "sayap"

   Lagi walaupun sebelah tulang kakinya patah.

   Karena Sepasang Tangan Iblis telah berada di lengannya lagi.

   Kemunculan Nini Lembutung telah di-ketahui.

   Hal ini telah membesarkan nyalinya lagi yang tadinya mulai mengecil.

   Tentu saja geramnya luar biasa dia pada nenek Muri Asih.

   Perempuan tua itulah yang telah mengu-rungnya beberapa pekan yang lalu di hutan rimba be-lantara, hingga sampai beberapa hari dia tak mampu keluar dari tempat itu.

   Apa lagi telah diketahui nenek itu telah meng-halangi "tabrakan"

   Nini Lembutung, yang dalam se ge-brakan tadi telah berhasil menyelamatkan Roro Centil dengan sambaran "selendang"

   Peraknya. Beberapa "la-brakan"

   Antara kedua tokoh itu telah menarik perhatian mereka sejenak untuk menyaksikannya.

   Baik Giri Mayang maupun Roro Centil sama-sama terkejut ka-rena benturan demi benturan tenaga dalam kedua ne-nek itu, amat keras.

   Dalam sejenak terperangah itu, Giri Mayang le-bih dulu tersadar.

   Dan kesempatan disaat Roro lengah tak disia-siakan.

   Sepasang lengan Iblisnya dile-paskan...

   "Hihihi... mampuslah kau Roro Centil keparat...!"

   Bentaknya dalam hati. Terperangah Roro ketika tersadar bahaya men-gancam jiwanya. Sepasang Lengan Iblis yang bentuk-nya menyeramkan itu telah berada sejengkal lagi di depan matanya.

   "Tamatlah riwayatku...!"

   Memekik Ro-ro dalam hati. Akan tetapi dengan gerak reflek sepa-sang tangan Roro yang selalu "berisi"

   Itu secepat kilat telah bergerak menangkap...

   Sebuah dari sepasang lengan itu berhasil ditangkap, tapi sebuah lagi lolos dari tangkapannya.

   Karena sekonyong-konyong si Lengan Iblis melesat ke sisi.

   Nyaris pinggang Roro kena terkoyak kalau dia tak cepat jatuhkan diri bergulingan.

   Sementara sebelah Lengan Iblis itu masih tak lepas dari cekalan tangan Roro.

   Bah-kan diperkuat dengan kedua tangan.

   Giri Mayang tak berikan kesempatan Roro untuk berdiri lagi.

   Dengan kekuatan batinnya yang tinggi Giri Mayang "menyetir"

   Tangan Iblisnya untuk meluncur mencengkeram leher Pendekar Wanita itu dari belakang.

   Sedangkan sebuah lagi dari lengan Iblisnya telah dibetot, keras agar terlepas dari tangan Roro.

   Roro Centil menyadari dirinya dalam bahaya.

   Namun sebisanya dia harus mempertahankan diri un-tuk menyelamatkan nyawanya.

   Ketika itu juga dengan jurus "Lompatan Harimau Gurun Pasir"

   Roro membarengi kekuatan Tangan Iblis yang telah membetotnya.

   Terdengar jeritan parau menyayat hati dan sua-ra derak tulang yang patah.

   Darah menyemburat.

   Dan sebuah kepala manusia terlempar ke udara...

   Itulah jeritan parau dari Giri Mayang! Kepalanya telah putus, terlepas dari tubuhnya dengan darah memuncrat men-gerikan.

   Bersamaan dengan robohnya tubuh tanpa ke-pala dari wanita iblis itu, terdengar suara BHLAARRR! Secercah kilatan perak dan pelangi menyambar ke be-lakang Roro Centil.

   Sinar biru seketika memercik ke udara.

   Ternyata sepasang "Selendang"

   Nenek Muri Asih telah menghantam sebuah dari Tangan Iblis yang nyaris mencengkeram leher Roro.

   Sementara itu berbareng dengan bunyi ledakan keras dibelakangnya, Roro telah jatuhkan tubuhnya bergulingan.

   Roro memang telah mengetahui bahaya maut mengancam dibelakangnya, namun keburu Ne-nek Muri Asih menghantam Tangan Iblis yang sebuah itu dengan "selendang"

   Peraknya.

   Dan...

   disaat kepala Giri Mayang meluncur tu-run, sebuah bayangan dengan cepat telah menyambar.

   Detik berikutnya Roro Centil telah berdiri dengan ga-gah.

   Rambutnya berkibaran tertiup angin.

   Pada sebe-lah lengannya tampak tergantung-gantung sebuah ke-pala manusia tanpa tubuh yang dicengkeram rambut-nya.

   Itulah kepala Giri Mayang...! Lengan satunya lagi tiba-tiba bergerak menghantam tubuh Giri Mayang tanpa kepala, yang seketika terbakar hangus! Apakah sebenarnya yang terjadi? Kiranya disaat tubuh Roro Centil terbetot oleh kekuatan Tangan Iblis yang ditarik Giri Mayang, Roro Centil telah membaren-gi melesat dengan jurus Lompatan Harimau Padang Pasir.

   Ternyata Roro telah arahkan cengkeraman Tan-gan Iblis pada majikannya.

   Tak ampun lagi si Tangan Iblis mencengkeram ganas! Tapi yang dicengkeram adalah batang leher "majikan"nya sendiri.

   Dengan kekuatan tangannya Roro Centil menyentakkan kepala Giri Mayang hingga sekaligus putus! Dan...

   terlempar ke udara...

   Asap hitam membumbung disertai bau sangit yang menusuk hidung, ketika Roro Centil selesai membaca mantera dari Tujuh Mantera Penolak Iblis warisan si Manusia Gurun Pasir.

   Dan...

   saat itu pula Tangan Iblis yang dicekal kuat oleh Roro telah lenyap.

   Kejadian itu ternyata tak luput dari mata Nini Lembutung, yang baru saja selesai memulihkan luka dalamnya.

   Tampak wajah dan sekujur kulit wanita tua itu telah berubah menjadi merah laksana darah.

   Pera-lihan demikian ternyata membuat wajahnya lebih me-nyeramkan lagi, yang ternyata juga berubah secara mendadak.

   Dari kedua sisi bibirnya telah tersembul dua buah taring yang runcing mengerikan.

   Dengan mendengus bagai suara kerbau di go-rok, tiba-tiba sepasang lengannya terpentang ke arah nenek Muri Asih.

   Wanita tua yang baru saja menolong Roro itu tak sempat berbuat apa-apa karena ketika menoleh pada Nini Lembutung, serangan dahsyat itu telah datang dengan mendadak.

   Walaupun demikian dia telah menangkis sebisanya.

   Namun...

   segera ter-dengar jeritan ngeri si nenek Muri Asih.

   Tubuhnya terlempar bergulingan bercampur dengan deru angin pa-nas yang menerbangkan batu-batu.

   Bau sangit mengembara.

   Keadaan tubuh nenek Muri Asih tampak mengkhawatirkan, karena seluruh pakaiannya telah hangus terbakar.

   Pada bagian dadanya tampak tertera sebuah te-lapak tangan yang menghitam jelas menempel dikulit dan payudaranya.

   Wanita tua ini mencoba bangkit, akan tetapi kembali dia roboh dan beberapa kali muntahkan darah hitam kental.

   Dalam keadaan demikian, sebuah bayangan berkelebat ke arahnya seraya terdengar suara teriakan tertahan.

   "Nenek Muri...! kau... kau... kau terluka...?"

   Ternyata Roro telah menghampiri dan menatap dengan khawatir.

   Lompatan Roro yang menghampiri nenek Muri Asih ternyata dibarengi dengan kelebatan tubuh Nini Lembutung setelah menyambar Tangan Iblis dari hasil pembentukan percikan sinar biru yang buyar terkena hantaman "selendang"

   Perak pelangi nenek Muri Asih tadi.

   Ternyata lagi-lagi si nenek mata juling ini mau membokong.

   Dendamnya semakin menghebat melihat kematian Giri Mayang, sedangkan dendamnya sendiri belum terbalaskan.

   Lengan Iblis yang dicekalnya me-luncur pesat untuk mencekeram leher Roro Centil.

   Sementara lengannya sendiri membarengi dengan me-naburkan serbuk racun dalam genggaman tangannya.

   Modharrr...!"

   Bentaknya dengan bersemangat. Akan tetapi satu keanehan terjadi. Roro Centil balikan tubuhnya seraya membentak.

   "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis! Dan buyarlah serbuk racun yang ditaburkan Nini Lembu-tung yang meluruk deras ke arah Roro dan nenek Muri Asih. Juga sinar biru dari Tangan Iblis itu tertolak mental. Sebagai gantinya terdengar jeritan parau Nini Lembutung yang terkena sambaran serbuk racunnya sendiri, dan cengkeraman Tangan Iblis yang "dikendalikan"

   Roro dengan kekuatan batinnya.

   *** LIMA TANGAN IBLIS yang mengerikan itu menceng-keram perutnya.

   Sementara si nenek mata juling beru-saha menariknya.

   Darah mengucur bertetesan.

   Tampak wajah Nini Lembutung yang telah be-rubah mengerikan itu jadi semakin menyeramkan.

   Tu-buhnya terhuyung-huyung lalu ambruk ke tanah dan berkelojotan meregang nyawa.

   Jeritan-jeritan paraunya bagaikan suara jeritan setan dan iblis.

   Roro Centil melompat mundur untuk kemudian memeluk nenek Muri Asih yang seperti telah tak berdaya dengan luka pa-rahnya.

   Tiba-tiba cuaca sekonyong-konyong berubah gelap.

   Angin membersit keras.

   Petir menggelegar ber-sahut-sahutan.

   Salah satu kilatannya menyambar tubuh Nini Lembutung yang tengah sekarat meregang nyawa.

   THARRRRR...! Cahaya terang benderang itu sekilas menyobek kegelapan.

   Tampak asap hitam membumbung, juga bau sangit segera tercium dalam bersitan angin ken-cang.

   Roro Centil makin erat memeluk tubuh wanita tua itu.

   "Apakah yang akan terjadi...?"

   Berdesis bibir pendekar wanita kita.

   "Tenanglah, Roro..."

   Terdengar suara nenek Mu-ri Asih. Nada suaranya lemah. Trenyuh hati Roro me-mandangnya. Diam-diam dia salurkan hawa hangat ke tubuh wanita tua itu.

   "Nenek Muri...! Kita harus segera tinggalkan tempat ini..."

   Berbisik Roro. Akan tetapi wanita tua itu menggeleng.

   "Sabarlah...! Aku masih mau bercakap-cakap denganmu, Roro..."

   Menyahut wanita tua itu.

   "Kau telah berhasil menemui si Manusia Gurun Pasir...?"

   Tanya nenek Muri Asih.

   "Benar, nenek Muri! akan tetapi cuma kerangkanya saja."

   Sahut Roro.

   "Hehehe... bagus! dan... kau pasti telah mempe-lajari kitab simpanannya!"

   Tertawa nenek Muri Asih.

   "Benar...!"

   "Sukurlah....! Secara tak langsung kau telah menjadi pewaris ilmu si Manusia Gurun Pasir itu, Ro-ro. Kau sungguh beruntung. Tapi aku adalah manusia yang sial. Karena berpuluh tahun aku mencari si Ma-nusia Gurun Pasir tapi tak pernah berjumpa...! Manu-sia Gurun Pasir adalah orang negeri Tursina jauh di Timur Tengah sana. Dia bekas seorang Sultan yang pernah memerintah beberapa wilayah dalam satu Ke-rajaan di negeri itu. Sedangkan aku... aku cuma seo-rang inang pengasuh, dari seorang Ratu perempuan yang pernah berkuasa disatu wilayah utara Manusia Gurun Pasir berhasil menyunting majikanku, alias sang Ratu di wilayah utara itu dalam pengembaraan-nya. Ditubuh ku mengalir darah jahat dari ibuku. Me-lihat kebahagiaan sang Ratu junjunganku dengan si Manusia Gurun Pasir aku jadi mengiri. Aku telah la-kukan kejahatan, yaitu berusaha memisahkan mereka berdua...! Akan tetapi kesudahannya aku menyesal. Aku membenci perbuatan jahat ku. Aku memang be-rusaha keras melenyapkan sifat jahat dalam diriku, akan tetapi aku merasa tak sanggup untuk menguasai jiwaku keseluruhan. Sejak itu aku tak tahu lagi ten-tang sang Ratu junjunganku itu. Ya, sejak aku berhen-ti jadi inang pengasuh dan meninggalkan wilayah uta-ra itu. Namun belasan tahun kemudian aku menden-gar suara gaib yang memerintahkan aku merawat see-kor harimau tutul! Sejak itulah aku menjadi "pengasuh"

   Dari si Tutul.

   Sayang aku belum juga dapat menguasai kejahatan yang terkadang selalu timbul untuk merangsang jiwaku.

   Acap kali aku telah menyuruh si Tutul melakukan kejahatan.

   Akan tetapi untunglah...! aku sering gagal dan merobah jalan pikiran untuk ce-pat membatalkan niat jahatku itu....

   Hingga akhirnya aku telah berjumpa denganmu, Roro...! Dan kau telah menaklukkan si Tutul dengan cahaya sebuah cincin bermata batu Merah Delima yang kuketahui jelas ada-lah milik sang Ratu.

   Entah dari mana kau dapatkan benda itu hingga berada ditangan mu, waktu itu aku tak berniat menyelidiki.

   Bahkan aku telah menyangka kau adalah titisan dari sang Ratu junjunganku itu.

   Sejak itu aku melenyapkan diri...

   Walau sebenarnya orang telah mengenalku sebagai seorang Pendekar pe-rempuan yang digelari si Pendekar Selendang Perak Pelangi.

   Namun aku merasa sebutan Pendekar itu pa-daku terasa berat bagiku menerimanya.

   Karena terka-dang aku malu pada diriku sendiri yang suka berbuat kejahatan, walaupun hal itu kuperbuat diluar kesada-ranku...!"

   Demikian tutur nenek Muri Asih dengan agak panjang lebar.

   "Tapi anehnya sejak si Tutul berada padamu, aku mulai bisa mengatasi golakan darah jahat yang merangsang syaraf ku. dan mengendalikannya!"

   Roro Centil mendengarkan penuturan si nenek dengan tertegun dan terlongong-longong. Selang sesaat setelah terbatuk-batuk beberapa kali, nenek Muri Asih lanjutkan ucapannya.

   "Aku telah pernah berjanji akan menurunkan ilmuku padamu, Roro...! Akan tetapi "agaknya maut sebentar lagi akan menjemputku..."

   Ujarnya lagi dengan fasal lain, karena telah selesai dalam memberikan penuturan dari kisah hidup yang dialaminya.

   Roro memang tak sempat untuk menuturkan, dan si nenek Muri Asih tak pernah tahu kalau sebe-narnya si Tutul yang selalu mengikut padanya adalah roh dari si Manusia Gurun Pasir, seperti apa yang te-lah dituturkan sendiri oleh suara gaib ketika Roro berada didalam goa di tengah gurun pasir...

   "Tidak! nenek Muri...! kau harus hidup! aku akan berusaha menolongmu menyembuhkan luka da-lam ditubuh mu...!"

   Sentak Roro terkejut. Akan tetapi wanita tua itu cuma tersenyum. Tatapan mata wanita tua ini semakin melemah. Namun tampak dia berusaha menguatkan tubuhnya.

   "Dekatkan telingamu kemari, Roro...!"

   Perintahnya ti-ba-tiba. Tak ayal Roro segera menuruti kehendak wani-ta tua perkasa ini untuk mendekatkan telinganya pada mulut nenek Muri Asih. Terdengar bisikan kata-kata... Dan tampak Roro manggut-manggut.

   "Kau ha-palkan kata-kataku ini. Aku yakin kau akan mampu memecahkannya. Dan dengan demikian lunaslah hu-tangku karena kau pasti bisa memainkan jurus-jurus Selendang Perak Pelangi..."

   Berkata nenek Muri Asih dengan nada pasti dan tampak kepuasan pada wajahnya. Tiba-tiba wajah wanita tua itu berubah pucat dan menegang.

   "Roro! segeralah kau tinggalkan tempat ini.! ce-pat! cepatlah...! perintah nenek Muri Asih. Akan tetapi Roro malah tertegun dan tak beranjak dari tempatnya. Sementara kilatan-kilatan petir tetap terlihat beredepan dilangit. Angin keras masih membersit. Sekilas terpan-dang tubuh Nini Lembutung terkapar tak berkutik dengan tubuh yang telah menghitam hangus. Roro bergidik ngeri melihatnya, seraya menatap menengadah ke atas. Tiba-tiba terperangah Roro Centil ketika meli-hat ada perubahan pada wajah dan sekujur tubuh ne-nek Muri Asih. Tubuhnya berubah menjadi merah juga rambutnya. Dan wajahnya telah berubah jadi menye-ramkan, karena sepasang taring telah tersembul dari kedua sudut bibirnya.

   "AAH...!?"

   Tersentak Roro seraya beringsut mundur.

   "Sudah terlambat, Roro...! tapi tak apalah! kau sudah terlanjur melihat bentuk ujudku! Ketahuilah...! aku dan Nini Lembutung itu adalah saudara sedarah. Walau aku dengannya adalah lain ayah tapi darah ibuku masih menyerap dalam tubuhku! Darah yang te-lah kena kutukan iblis! Kini pergilah cepat kau, Roro! Sebentar lagi petir akan menghanguskan tubuhku!"

   Berkata nenek Muri Asih dengan suara serak parau. Akan tetapi Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya.

   "Tidak nenek Muri, kau tak boleh termakan ku-tukan! kalau memang kau sudah ditakdirkan mati, kau harus mati dalam keadaan wajar...!"

   Sahut Roro. Dan tanpa perdulikan perintah nenek Muri Asih yang telah berubah jadi mengerikan itu, Roro Centil cepat membaca "mantera-mantera Suci"

   Dari tujuh kalimat yang dipelajari dari Manusia Gurun Pasir.

   Tiba-tiba langit mendadak berubah cerah.

   An-gin yang membersit keras itu pelahan-lahan melenyap.

   Juga kilatan petir telah terhenti.

   Alam tampak kembali tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa...

   Dan...

   tertegun Roro Centil ketika menatap pa-da nenek Muri Asih ternyata tubuh dan wajahnya telah kembali seperti sedia kala.

   Wanita tua itu tampak seperti masih tersenyum padanya dengan mata setengah terbuka.

   Akan tetapi nyawanya telah melayang.

   "Nenek...! nenek Muri... Aiii, kau benar-benar telah "mendahului"....!-ucap Roro dengan lirih dan ha-ti trenyuh. Lengannya bergerak mengusap wajah wani-ta tua bekas Pendekar Wanita Perkasa itu hingga ter-katup kelopak matanya. Lama Roro tercenung mena-tap dengan tertegun. Tak lama terdengar suara helaan nafasnya.

   "Yah, takdir tak dapat dipungkiri...! akan tetapi aku puas, karena kau dapat mati dengan sewajarnya, nenek, Muri.... Semoga Tuhan mengampuni dosamu..."

   Ucap Roro dengan suara lirih.

   Pelahan-lahan Roro mu-lai tersadar kalau sudah waktunya dia meninggalkan tempat itu.

   Segera dipondongnya jenazah nenek Muri Asih alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.

   Terkejut Roro Centil ketika sejenak mengamati sekitar tempat itu, karena hutan rimba yang berada disekitar bukit Karang Helang telah porak-poranda ba-gaikan baru diterjang badai.

   Roro memang tak menya-dari dan tak begitu memperhatikan kalau angin keras yang berpusaran diatas bukit tadi telah membuat hu-tan belantara ditempat itu seperti baru diobrak-abrik "tangan Raksasa.

   Akan tetapi tidak sampai merambah ke tempat pertarungan.

   Roro menatap sejenak ke arah Matahari yang sudah semakin condong lalu bergegas menuruni lereng bukit.....

   *** ENAM "NONA ROROOOO...! Satu teriakan santar membuat Roro Centil hentikan langkahnya, dan meno-leh ke arah suara.

   Segera terlihat dua sosok tubuh berlari-lari mendatangi.

   Beberapa saat kemudian kedua sosok tubuh itu telah tiba dihadapannya.

   "Sobat Sambu Ruci...! ah, kiranya anda...?"

   Berkata Roro, Seraya sepasang matanya memperhati-kan kawan wanita laki-laki itu.

   Sambu Ruci agaknya tak teringat sama sekali untuk memperkenalkan gadis kawannya itu pada Ro-ro, karena sepasang matanya tertuju pada jenazah seorang wanita tua dalam pondongan pendekar wanita itu.

   "Nenek Muri Asih...! Apakah yang terjadi?"tanya Sambu Ruci dengan menatap tertegun pada Roro.

   "Beliau telah tewas... menyahut Roro dengan tersenyum pahit.

   "Ah...!?"

   Tersentak Sambu Ruci.

   Seketika persendian sekujur tubuhnya terasa lemas.

   Begitu juga dengan wanita si gadis peniup Seruling alias si Seruling Gading.

   Dia menatap dengan tertegun dan hati mencelos, karena belum lama dia berjumpa dengan nenek itu yang telah memerintahkan menguburkan puluhan jenazah penduduk dari dua desa akibat per-buatan Giri mayang.

   Tapi kini dijumpainya lagi wanita sakti itu telah tewas dengan keadaan mengenaskan.

   Ketika tertatap kepala tanpa tubuh yang te-rayun-ayun di bawah lengan Roro serentak keduanya melangkah mundur dengan terperangah.

   "Hihihi... inilah kepala si Giri Mayang! Setelah selesai mengubur jenazah nenek Muri Asih, aku akan mengantarkannya ke Istana. Akan kupersembahkan pada Raja!"

   Berkata Roro yang telah memaklumi keter-kejutan kedua remaja itu.

   "Kami baru mau melihat ke atas bukit untuk mengetahui apa yang terjadi disana. Akan tetapi cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Petir menyambar dan angin keras bagaikan taufan datang secara tiba-tiba. Ter-paksa kami urungkan niat. Tak dinyana diatas sana telah terjadi pertarungan hebat! Dan diatas sana pula tempat kematian perempuan Iblis bernama Giri Mayang! Sungguh tak kusangka kalau anda berhasil membunuhnya, nona Roro...! akan tetapi bagaimana kisahnya sampai nenek Muri Asih bisa tewas...?"

   Tutur Sambu Ruci yang diakhiri dengan pertanyaan.

   "Hm, nanti akan kuceritakan! marilah kita cari tempat yang baik untuk mengebumikan jenazah nenek Muri ini...!"

   Menyahut Roro.

   "Ehm, tapi perkenalkan dulu atuh siapa gadis kawanmu itu...?"

   Sambung Roro dengan tersenyum. Belum lagi Sambu Ruci buka mulut si Gadis te-lah maju selangkah seraya menjura pada Roro.

   "Maafkan, aku yang rendah bernama dan ber-gelar si Seruling Gading. Gembira sekali dapat berjumpa dengan anda, kakak Pendekar! Nama anda telah terdengar santar ke setiap tempat, membuat setiap golongan Pendekar mengagumi. Dan...aku adalah salah seorang penga-gum anda...!"

   Ujar Seruling Gading yang kemudian mengangkat wajah dengan senyum menghiasi bibirnya.

   Sementara diam-diam hatinya memuji dan ka-gum luar biasa akan kecantikan sang pendekar wanita itu.

   Sudah cantik berilmu tinggi pula yang sukar di-ukur...! Oo....

   betapa kecilnya aku bila dibandingkan dengannya...? berpikir Seruling Gading dalam benak.

   "Pantas kalau Sambu Ruci pernah "ada Hati"

   Dengannya!"

   Berkata dalam hati si gadis ini. Roro Centil mengangguk seraya tersenyum.

   "Namamu dan gelarmu bagus sekali, adik...! Baiklah nanti kita teruskan bercakap-cakap, Mari kita tinggalkan tempat ini...!"

   Tukasnya kemudian seraya menatap pula pada Sambu Ruci Keduanya dengan berbareng mengangguk.

   Roro segera putarkan tubuh.

   Lalu me-langkah untuk segera berlari cepat menuruni lereng bukit karang Helang.

   Tak ayal Sambu Ruci dan Seruling Gading se-gera berkelebat mengikuti.

   Lengan Sambu Ruci bergerak terulur ke sisi un-tuk menggamit lengan gadis itu, yang segera menyam-butnya dengan cekalan erat.

   Dengan bergandengan tangan keduanya berla-ri-lari serta terkadang melompat menyusul kelebatan tubuh Roro, Hingga tampak dari kejauhan bagaikan dua bayangan merah dan putih yang berkelebatan me-nuruni lereng bukit Karang Helang.

   Bukit yang telah membawa maut! Akan tetapi kemenangan berada dipi-hak Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.

   Walau harus berkorban dengan kehilangan nyawa seo-rang Pendekar Wanita tua yang berbudi luhur.

   Roro benar-benar menepati janjinya yaitu men-girimkan kepala Giri Mayang pada Raja yang diserta-kan pula didalamnya sepucuk surat.

   "Semoga dengan tewasnya perempuan Iblis bernama Giri Mayang ini, keadaan di wilayah Kerajaan anda kembali pulih dan tenteram seperti sediakala"

   Demikian isi surat yang dituliskan diatas secarik kertas.

   Dan pada bagian bawahnya tertera nama RORO CENTIL.

   Tentu saja amat suka-citanya hati Raja.

   Bagin-da Raja telah menyediakan hadiah istimewa untuk sang Pendekar Wanita itu yang telah berjasa memulih-kan keamanan di wilayah kekuasaan Kerajaannya.

   Se-gera disebar undangan ke setiap tempat, karena tak diketahui dimana beradanya Pendekar Wanita Roro Centil itu.

   Agaknya Raja ingin melihat sendiri bagai-mana rupa dan wajah tokoh Pendekar yang namanya banyak disanjung orang itu.

   Beberapa hari ditunggu-tunggu ternyata tak ada berita datangnya sang dara Perkasa itu.

   Akhirnya sepekan kemudian.

   Raja men-dengar berita adanya Pendekar Besar itu menetap di Pesanggrahan desa Cipatujah.

   Segera diutus orang un-tuk menyelidiki ke sana.

   Ketika utusan itu kembali, segera datang menghadap seraya menyembah.

   "Ampun, Gusti Paduka Raja, Pendekar Roro Centil telah pergi meninggalkan pesanggrahan CIPA-TUJAH dimana dia menetap. Tak seorangpun dari ra-kyat Cipatujah mengetahui kemana perginya...!"

   Termenung Baginda Raja dengan laporan itu. Ketika utusan itu telah kembali keluar ruangan pen-dopo Istana, Baginda Raja terdengar menghela napas dan terdengar suaranya bergumam lirih...

   "Haih...! Pendekar Wanita itu memang sukar di-ikuti jejaknya. Kepergiannya tentu sengaja dipercepat, karena aku yakin dia tak membutuhkan imbalan atas segala jasanya...!"

   Gumam sang Raja.

   Lalu bangkit dari kursi singgasananya dan beranjak masuk ke ruang dalam.

   Hari itu juga kepala Giri Mayang diperintahkan untuk dibakar....

   Sementara di Pesanggrahan Cipatujah....

   Sepasang Pengantin Baru itu masih tampak malu-malu diriung banyak orang.

   Akan tetapi dari pancaran matanya terlihat si-nar kebahagiaan, itulah pasangan pengantin dari Sambu Ruci dan Seruling Gading.

   Pernikahan itu telah selesai dan resmi sudah mereka menjadi suami-isteri.

   Walaupun untuk itu mereka cukup dihadiri oleh bebe-rapa orang sebagai saksi, tanpa wali.

   Roro Centil memang telah meninggalkan tempat itu, begitu selesai memberi selamat pada kedua mem-pelai.

   Entah apa yang membuat Roro cepat-cepat ber-lalu, sedangkan tetamu undangan masih berdatangan.

   Dan banyak orang yang diundang belum munculkan diri.

   "Numpang nikah"

   Dikampung orang memang harus banyak menemui syarat-syarat tertentu. Tapi karena sedikit banyak mereka tahu siapa adanya orang yang berada ditempat pesta perkawinan itu juga orang yang punya "tempat"

   Dimana diadakan pesta pernikahan itu syarat-syarat tampaknya tak berlaku.

   Rumah besar itu adalah Pesanggrahan milik seorang tokoh silat kenamaan didaerah itu yang berge-lar Ki Astagina.

   Pesanggrahan Cipatujah memang telah disetujui oleh Ki Astagina untuk di pakai menikahkan kedua mempelai yang menumpang menikah di wilayah itu, yang juga telah disetujui Kepala Desa Cipatujah.

   "Aku telah menolong menikahkan mereka...! Hm, tampaknya Sambu Ruci benar-benar mencintai gadis itu. Si Seruling Gading juga demikian..!"

   Terdengar suara desis lirih dari bibir dara berambut panjang terurai itu. Dia memang Roro Centil yang tengah duduk diatas batu karang ditepi pantai. Pagi itu laut tampak tenang tak berombak. Angin cuma semilir saja.

   "Sukurlah! semoga mereka bisa rukun..."

   Terdengar lagi desis suara Roro.

   Sepasang matanya tampak menatap jauh ke cakrawala.

   Terkadang memperhatikan burung-burung camar yang sesekali menukik menyambar ikan-ikan dipermukaan air.

   Dan...

   suara helaan napas sang dara terdengar menyibak keheningan dipantai itu.

   Dan...

   aneh! disaat-saat seperti itu Roro terin-gat pada seorang laki-laki brewok yang bertampang ga-gah.

   Ya laki-laki yang bernama Joko Sangit.

   Laki-laki yang digelari si Brandal Pemabukan.

   "Huh...! terdengar suara mendengus dari hidung Roro. Dan bibirnya membuat tekukkan dengan mimik cemberut.

   "Lelaki hidung belang macam itu mengapa ha-rus diingat-ingat...?"

   Tiba-tiba menggumam Roro Centil. Dialihkannya ingatannya pada lain Wajah. Akan tetapi justru wajah Sambu Ruci yang terpampang di pe-lupuk mata. Plak! tiba-tiba Roro telah menampar pipinya sendiri.

   "Mengapa justru Sambu Ruci yang ku ingat? Aiiih! dia sudah jadi milik orang! Dan aku memang tak ada hati padanya...!"

   Berkata Roro dalam hati.

   Dan dia jadi tertawa sendiri karena lagi-lagi teringat pada Joko Sangit.

   Tertawa yang didalamnya mengandung kepedi-han.

   Roro memang tak dapat mendustai dirinya sendiri kalau dia memang serasa ingin sekali berjumpa den-gan laki-laki itu.

   Laki-laki yang telah membangkitkan rasa cemburu dihatinya.

   Akan tetapi menimbulkan pu-la rasa kasihan, karena tampaknya Joko Sangit selalu menjadi bulan-bulanan perempuan bejat.

   Apa yang di-ingat Roro adalah ketika mengingat kejadian di wilayah Lembah Soka disaat kaum golongan Pendekar akan menyebrang ke tengah Telaga Berkabut untuk meng-gempur Istana Kerajaan Pugar Alam, pada beberapa bulan yang lalu.

   Joko Sangit memang "jatuh"

   Dalam pelukan seorang perempuan yang menamakan dirinya si Dewi Perunggu. Mengingat demikian seketika wajah Roro beru-bah merah dan terasa panas, yang membuat dia menggigit bibirnya dengan wajah kesal.

   "He? mengapa aku tak mencoba mempelajari jurus Selendang Perak Pelangi?"

   Tiba-tiba Roro teringat akan bisikan kata-kata ditelinganya ketika saat nenek Muri Asih akan menghembuskan napas terakhir...

   Ro-ro duduk merenung untuk mengingat-ngingat bisikan kata-kata itu, dan mencoba memecahkannya.

   Tak lama wajah Roro membersitkan kegiran-gan.

   Dan...

   mulailah dia mencoba berlatih dengan pu-kulan-pukulan tangannya.

   Air laut menyemburat ter-kena hantaman-hantaman pukulan Roro.

   Akan tetapi belum menampakkan hasilnya.

   Roro terus mencoba dan mencoba...! Kemauan kerasnya untuk menguasai jurus nenek Muri Asih semakin membuat dia penasa-ran.

   Akhirnya Roro mengambil keputusan untuk me-netap sementara dipantai itu guna mempelajari jurus-jurus Selendang Perak Pelangi.

   *** TUJUH Sementara itu Tiga sosok tubuh laki-laki yang bentuk tubuhnya berbeda satu sama lain tampak ten-gah berdiri diatas lamping bukit.

   Menyapukan pan-dangan mata mereka pada sekitar tempat itu.

   Seorang bertubuh jangkung mirip galah.

   Seorang lagi bertubuh pendek kekar.

   Sedangkan yang paling sisi adalah seo-rang laki-laki gemuk berpipi tembem.

   Rambutnya hi-tam kaku.

   Dua dari ketiga orang ini mengenakan pa-kaian dari kulit kerbau.

   Si jangkung kurus mencekal sebatang ruyung yang panjangnnya melebihi kepa-lanya.

   Si pendek kekar membawa dua buah buli-buli arak yang tergantung dipinggangnya.

   Sedangkan si gemuk pipi tembem yang memakai jubah kuning dari kain kasar itu bertangan kosong.

   Melihat dari tampangnya si gemuk itu seperti seorang pegulat ulung, yang bukan penduduk asal daerah itu.

   Boleh dibilang seperti orang asing yang ba-ru injakkan kaki ke wilayah itu.

   "Kakang Sapi Lanang. tujuan kita adalah me-nyeret si gadis bandel itu untuk pulang kembali ke perguruan, bukan untuk tujuan macam-macam!"

   Ber-kata si pendek kekar yang membawa buli-buli arak pada si laki-laki jangkung.

   Si pendek kekar ini berna-ma Suro Ragil yang terhitung adik seperguruan laki-laki jangkung bernama Sapi Lanang itu.

   Agaknya Suro Ragil telah mengetahui watak kakak seperguruan nya yang suka menyeleweng.

   "Hohohoho... tentu! tentu saja...! Apakah info itu jelas bahwa si Seruling Gading berada di Cipatu-jah...? balik bertanya Sapi Lanang.

   "Orang-orang kita yang melacak kepergian si Seruling gading yang kabur dari perguruan itu cukup jelas dan dapat dipercaya. Kukira saat ini masih bera-da di Pesanggrahan milik Ki Astagina, kokolot desa Cipatujah!"

   "Bagaimana kalau Ki Astagina menghalangi? Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?"

   Tanya lagi Sapi Lanang.

   "Ki Astagina kenal baik watak guru kita dan agaknya memandang persahabatan, dia takkan meng-halangi...!"

   "Ya, itu dugaanmu. Tapi dugaanku lain! ki As-tagina adalah sesepuh atau "kokolot"

   Di wilayah Cipatujah.

   Kalau si Seruling Gading ternyata memang me-minta perlindungan padanya, masakan dia mau biar-kan kita menyeret gadis bandel itu? Tentu hal demi-kian akan menurunkan wibawanya! Kukira dia pasti mempertahankan, atau meminta guru kita yang men-gambilnya sendiri, disamping ingin tahu jelas persoa-lannya!"

   Tukas Sapi Lanang.

   "Boleh jadi demikian...! Ya, kalau demikian kita terpaksa harus pakai kekerasan!"

   Tegaskan Suro Ragil.

   "Hohoho... itu memang mauku! Aku memang mau menjajal kehebatan orang-orang Cipatujah terma-suk Ki Astagina!"

   Tertawa bergelak Sapi Lanang.

   "Kalau kau kalah aku yang akan mematahkan batang leher Ki Astagina!"

   Tiba-tiba menyelak bicara si laki-laki gemuk berjubah kuning yang sedari tadi tak bersuara.

   "Hohoho.... bagus! bagus, sobatku Zimbage! Kau memang sengaja kuajak agar banyak pengalaman di wilayah ini. Kau bisa tumbangkan "jago-jago"

   Cipatujah!"

   Berkata Sapi Lanang seraya menepuk-nepuk bahu si gemuk dengan lengannya yang panjang melewati tubuh Suro Ragil, Tak lama ketiga sosok tubuh itu sudah berke-lebatan menuruni bukit.

   Sapi Lanang dengan memper-gunakan ruyungnya melompat-lompat dengan gerakan lincah.

   Sedangkan si gemuk yang bernama Zimbage itu ternyata dapat berlari cepat dengan suara langkah ka-kinya yang berdebum menggetarkan tanah.

   Suro Ragil merendenginya dengan ilmu lari yang tak kalah cepat.

   Sebentar saja ketiga tubuh itu telah lenyap di-balik lereng bukit...

   Pada saat itu di Pesanggrahan Cipatujah.

   Sambu Ruci ternyata setelah selesai menyam-but para tamu undangan dari "sesepuh"

   Desa Cipatujah Ki Astagina tampak berdiri seraya menjura kepada semua orang. Disisinya berdiri pula si gadis Seruling Gading yang telah menjadi istrinya.

   "Sobat-sobat semua dan yang kami hormati se-sepuh Pesanggrahan Cipatujah. Agaknya kami tak da-pat tinggal lama untuk menetap disini. Sehubungan dengan sudah berangkatnya terle-bih dulu sobat kita Pendekar Roro Centil. Kami ucapkan terima kasih kami yang sebesar-besarnya pa-da semua yang telah hadir. Terutama pada sesepuh Ki Astagina, atas bantuannya hingga selesainya urusan pernikahan kami!"

   Ujar Sambu Ruci seraya kemudian menjura pada laki-laki tua bersorban putih yang duduk dikursinya.

   Bibirnya tampak tersungging senyu-man.

   Lalu menghisap dalam-dalam pipa tulang yang selalu terselip disudut bibir.

   Kemudian hembuskan asap tembakau yang mengepul tebal ke udara.

   Ki Astagina bangkit untuk berdiri dari kursinya seraya balas menjura.

   "Terima kasih kembali atas ucapan anda, sobat Sambu Ruci! kami merasa heran mengapa anda buru-buru mau pergi...? Sebaiknya menetap disini dulu satu dua hari. Kami tak merasa terganggu. Dan kamar di Pesanggrahanku cukup lebar terbuka buat kalian menginap beberapa malam!"

   Berkata Ki Astagina.

   "Selain itu pula..."

   Lanjut ucapannya.

   "Seruling Gading adalah murid dari sobatku Ki Sugema dari perguruan "Surya Medal". Jadi diantara kita masih ada ikatan persahabatan. Apalagi anda adalah sahabat baik dari Pendekar Roro Centil yang amat kami kagu-mi...!"

   Sejenak Sambu Ruci tundukkan wajahnya.

   Hal itu memang telah diketahui, tapi tujuannya untuk cepat meninggalkan tempat itu adalah dikhawatirkan ada terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

   Karena seperti telah diketahui dari Seruling Gading, kalau Seruling Gading telah "lari"

   Dan perguruan itu.

   Juga ada firasat tidak baik, karena berita perkawinan mereka pasti akan tercium oleh ayah tiri Seruling Gading.

   Sejenak kedua pengantin baru itu jadi saling berpandangan.

   Tapi tampaknya Seruling Gading tak setuju ka-lau harus menerima usul Ki Astagina.

   Sambu Ruci se-gera angkat bicara lagi.

   "Terima kasih atas kemurahan hati anda sobat sesepuh KI Astagina. Namun untuk menjaga agar di wilayah Cipatujah ini tetap dalam kedamaian, kami te-lah sepakat untuk segera meninggalkan tempat ini...! Sejenak suasana menjadi hening. Melihat de-mikian para tetamu segera satu persatu mulai berdiri menjura pada Ki Astagina untuk berpamitan. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara berdebum di kejauhan yang membuat tanah seperti tergetar. Dan selang sesaat tiga sosok tubuh telah berdiri diluar pelataran.

   "Hohohoho... hoho...tampaknya disini tengah ada keramaian pesta! Mengapa kau orang tua tak mengundang kami dari Perguruan Surya Medal, sobat tua Ki Astagina...?"

   Si jangkung sapi Lanang lebih dulu pentang suara. Semua yang hadir jadi terkejut. Ki Astagina se-gera tahu siapa yang datang dengan memandang dua orang berbaju kulit, satu pendek dan satu jangkung itu.

   "Silahkan duduk sobat-sobat murid Ki Suge-ma...!"

   Berkata datar Ki Astagina seraya bangkit berdiri.

   Tiga buah bangku segera dikosongkan.

   Bahkan lebih dari sepuluh bangku telah kosong pada saat itu juga.

   Karena beberapa tamu segera ang-kat pantat untuk meninggalkan tempat pesta itu sond-er permisi lagi pada tuan rumah.

   "Hm, terima kasih! rasanya kami tak perlu du-duk! kedatangan kami adalah untuk membawa mem-pelai perempuan itu, atas perintah guru kami Ki Su-gema!"


Putri Bong Mini Hilangnya Seorang Pendekar Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis

Cari Blog Ini