Duel Dan Kemelut Cipatujah 2
Roro Centil Duel Dan Kemelut Di Cipatujah Bagian 2
Berteriak lantang Sapi Lanang dengan mata melotot pada Seruling Gading. Seraya ucapnya pula;
"Eh, gadis bandel! siapa yang izinkan kau kawin seenaknya tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada sang istri yang tampak terlihat wajahnya berubah tegang. Namun dengan tegar dia menyahut.
"Siapa yang berhak mela-rangku? Aku bebas melakukan apa saja sekehendak ku tanpa tahu segala urusan meminta izin pada ma-nusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua orang ka-wannya.
"Kau berani memaki guru...?"
Bentak Sapi Lanang gusar.
"Mengapa tidak? dari pada aku pulang ke Per-guruan, lebih baik mati! Kau juga manusia bejat! tinggal bersama manusia-manusia seperti kalian sama dengan membiarkan aku diterkam macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang dilontarkan Seruling Gading membuat semua orang melengak. Bahkan Ki Astagina sudah melompat ke hadapan me-reka.
"Sabar! Sabar...! segala urusan bisa didamai-kan! Ada kejadian apakah sebenarnya harap kau Sapi Lanang memberi tahukan!"
Berkata Ki Astagina. Akan tetapi Sapi Lanang unjuk tertawa menga-kak dan berkata sinis. Hohoho... kau orang tua seharusnya tak men-jadi wali untuk menikah kan anak orang semaunya! Bagusnya kami datang belum terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah maklum dengan kejadian sebenarnya, karena Seruling Gading telah maklum mengadukan hal ikwalnya pada dia. Akan tetapi orang tua itu seolah tak mengerti persoa-lan.
"Aku menjadi wali adalah atas dasar menolong orang. Kukira gurumu Ki Sugema tak berhak penuh menjadi walinya, karena dia ayah tiri. Akan tetapi bisa juga menjadi wali kalau me-mang si mempelai perempuan menghendaki. Wali un-tuk seorang perempuan dalam satu pernikahan dibo-lehkan memakai wali siapa saja apabila ayah kan-dungnya telah meninggal"
Tegaskan Ki Astagina dengan suara yang gamblang. Semua yang hadir tampak manggut-manggut dan memaklumi akan peraturan pernikahan yang ber-laku disaat itu.
"Baik! urusan itu adalah urusan nanti dengan guruku! kini kami cuma mau menjelaskan bahwa kami diperintah oleh guru kami untuk membawa perem-puan bandel ini dengan segera. Dan... kami takkan kembali dengan tangan kosong tentunya!"
Berkata Su-ro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan menghalangi kalau orang yang akan kau bawa itu tak menolak! nah, bagaimana keputusanmu, Seruling Gading?"
Tanya Ki Astagina seraya berpaling pada Seruling Gading.
"Aku telah jadi milik orang yang telah syah menjadi suamiku! kalau suamiku menginginkan, tentu aku tak menolak...!" .sahut Seruling Gading dengan suara tenang. Sepasang matanya mengerling pada Sambu Ruci. Bahkan lengannya telah menggamit len-gan pemuda gagah itu. Melihat demikian Sapi Lanang tampakkan wa-jah yang mendongkol bukan main. Dia memang per-nah mau berbuat kurang ajar pada gadis itu ketika be-rada di pesanggrahan Surya Medal. Tak tahunya sang guru alias ayah tiri Seruling Gading juga "maui"
Anak tirinya.
"Kami akan segera datang menemui guru kalian!"
Di luar dugaan Sambu Ruci telah berkata dengan suara tegas.
Bukan saja semua orang melengak, akan tetapi pihak murid Perguruan Surya Medal juga melengak.
Namun diam-diam hati mereka memuji akan keberanian serta sifat kesatria yang dimiliki pemuda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu sekarang kita berangkat!"
Ternyata Suro Ragil langsung mendahului bicara me-mutus persoalan.
Sapi Lanang tampaknya kurang puas, karena dia memang akan menjajal kekuatan orang Pesanggrahan Cipatujah yang terkenal dengan kedigjayaannya.
Apa lagi dengan persoalan ini, bisa kemungkinan menjadi berbuntut panjang.
Segera dia berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan ini ikut serta, urusan bisa runyam! Aku tak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa...!"
Sebaiknya kami cuma akan membawa orang yang diperlukan, lain tidak! Kalau kalian semua kurang puas, silahkan tunjukkan kekuasaan kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, aku takkan gentar untuk melayani...!" *** DELAPAN "GURU...! Biarkan aku menghajar mulut manu-sia sombong ini.
Seorang laki-laki bertubuh kekar me-lompat ke depan.
Wajahnya tampak merah padam ka-rena mendengar penantangan Sapi Lanang barusan.
Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, laki-laki ber-tubuh kekar itu sudah membentak keras seraya me-nerjang dengan kepalan tinjunya mengarah ke muka Sapi Lanang.
"Manusia sombong! kau hadapi dulu aku, Partawenda.. ..! yang akan menghancurkan mu-lutmu!"
WHUUUK! Tinjunya Partawenda meluncur de-ras secepat angin.
DHESSS! Secepat kilat Sapi Lanang memapa-kinya dengan ruyungnya.
Tak ampun si penerjang itu menjerit keras, seraya menarik tangannya dan ber-jingkrakan dengan menyeringai kesakitan.
Tentu saja serangan dengan tenaga keras yang diadu dengan ruyung keras yang telah di isi dengan aliran tenaga dalam membuat benda itu jadi sekeras besi.
Tak ampun kepalan tangan Partawenda matang biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma sebegitu saja yang bermulut besar mau menghancurkan mulut ku!"
Men-gakak tertawa si jangkung kurus. Sementara Suro Ragil jadi menggerutu pada kakak seperguruannya.
"Haih, lagi-lagi kau cari penyakit, kakang Sapi Lanang!"
Tapi Sapi Lanang tak memperdulikan. Dia sudah maju melompat ke depan Seruling Gading seraya julurkan lengan untuk menarik tangan gadis itu.
"Hayo kau ikut aku pulang, tanpa pemuda ingusan itu!"
Bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat untuk sege-ra mencekal erat pergelangan tangan gadis itu.
Akan tetapi tiba-tiba laki-laki jangkung itu menjerit parau la-lu jatuh terjengkang seraya lepaskan cekalannya.
Da-rah menyemburat berpuncratan tatkala si jangkung kurus itu berkelojotan di tanah.
Terperangah semua mata menatapnya.
Tak lama tubuh Sapi Lanang meng-geliat, lalu menelentang tak bergerak lagi dengan kepa-la terkulai.
Ternyata lehernya telah sobek yang mengalirkan darah tiada henti.
Keadaannya mengerikan ka-rena tulang lehernya hampir putus! Tentu saja kejadian itu membuat mata Suro Ragil dan si gemuk Zimbage jadi mendelik kaget.
Keti-ka menoleh pada laki-laki di samping Seruling Gading, ternyata dia telah lenyap.
Gadis itu sendiri berdiri terpaku menatap kejadian aneh barusan.
Akan tetapi dia telah melihat berkelebatnya Sambu Ruci keluar dari tempat itu dengan melompat tinggi ke atas wuwungan rumah.
"Haiii! Jangan lari kau!"
Membentak Sambu Ruci. Ternyata dia telah mengetahui siapa pelaku dari perbuatan itu. Sayang orang yang dikejarnya itu telah lenyap"
Bedebah! Cepat benar larinya pembunuh itu...!"
Memaki Sambu Ruci dengan kecewa.
Sesaat kemudian dia telah berkelebat turun lagi dari atas wuwungan rumah pesanggrahan.
Akan tetapi disambut dengan terjangan kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal itu yang disertai bentakan menggeledek Suro Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu jiwa dengan mu.!"
WHUUK! WHUUUUK...! WHUUKK! Tiga serang-kai serangan senjata sepasang kipas tipis Suro Ragil terpaksa dielakkan dengan cekatan kalau Sambu Ruci tak mau kehilangan kepala dan putus lengan dan kaki.
Gerakan melompat beberapa kali itu ternyata membuat kesempatan si gemuk Zimbage gerakkan sepasang len-gannya untuk membekuk tubuh Sambu Ruci begitu dia jejakkan kaki ke tanah.
Tentu saja Sambu Ruci melengak kaget.
Karena tak menduga si gemuk telah berada dihadapannya yang mempunyai lompatan luar biasa.
Lengannya segera bergerak menepis.
Akan tetapi rangkulan si gemuk Zimbage mendadak berubah jadi jotosan.
DESS! Terlempar Sambu Ruci seketika dengan teriakan tertahan.
Tinju si gemuk tepat bersarang ke dadanya.
Tak ampun tubuh Sambu Ruci roboh ter-jungkal dan bergulingan di tanah.
Kejadian dalam se-kejapan itu telah membuat keadaan ditempat pesta itu jadi kacau.
Beberapa orang anak buah Ki Astagina ber-lompatan ke arah tempat pertarungan.
Sedangkan Ki Astagina sendiri cuma terpaku tak bergeming.
Semen-tara Seruling Gading telah perdengarkan teriakan his-terisnya seraya melompat ke arah Sambu Ruci yang terjatuh kena hantaman si gemuk barusan.
"Kakak Sambu...!"
Pekiknya. Mendahului orang-orang yang berlarian, Seruling Gading telah tiba di hadapan Sambu Ruci.
"Kakak Sambu...! Kau... kau terkena...!"
Sambu Ruci tersenyum, seraya melompat bangun berdiri.
Wajahnya agak menyeringai kesakitan.
Tapi dengan menggeliat dan kerahkan tenaga dalam mengusir rasa sakit, lengan Sambu Ruci mengusap dadanya.
Sesaat dia telah kembali tersenyum menatap Seruling Gading.
Seringainya lenyap.
"Keparat! Kalian berdua harus mampus! Untuk menebus nyawa kakak seperguruanku!"
Bentak Suro Ragil dengan mata nyalang dan wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk mematahkan batang lehernya!"
Berkata Zimbage dengan menggeram. Dengan langkah berdebum dia maju beberapa tindak.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar seruan. Dan... Ki Astagina sudah melompat ke tempat itu.
"Tunggu dulu sobat-sobat murid Ki Sugema....! Kalian salah paham!"
Kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal ini palingkan kepala menatap Ki As-tagina. Suro Ragil cepat buka suara.
"Huh! kalian semua keterlaluan! Apakah den-gan membunuh seorang dari pihak kami masih kau katakan salah paham? Pembunuh itu jelas dari pi-hakmu! Kalau bukan kawan si pemuda ingusan ini, mungkin juga kau memang telah siapkan orang-orang andalanmu untuk membunuh kami secara pengecut! Jangan coba-coba kau mau mengelabui dengan sandi-wara macam begini!?"
Membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan kau sembarangan me-nuduh! Kami bukan sebangsa pengecut yang mau main sembunyi-sembunyi membunuh orang! Pelaku pembunuhan itu bukan dari pihak kami..!"
Berkata lantang Ki Astagina.
Tampak wajah orang tua ini merah padam karena dituduh berbuat curang membo-kong dengan mempergunakan tenaga orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu terdengar suara tertawa dingin yang mencekam.
Dan dua sosok tubuh berkelebat muncul.
Dialah Ki SUGEMA, yang muncul bersama seorang kakek tua renta berkulit hitam.
Men-genakan jubah warna hijau.
Lengannya mencekal se-buah tongkat berbentuk Kelabang berwarna hitam berkilat.
Sebuah tongkat yang aneh, dan tampak san-gat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah kau mau mungkir dengan perbuatanmu?"
Membentak Ki Sugema.
"Kau tunggulah sebentar lagi, siapa gerangan orang yang telah membunuh muridku, Si Sapi Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema berkata, dua sosok tubuh telah muncul. Ternyata kedua orang itu mem-bekuk seseorang yang mengenakan topeng hitam me-nutupi wajahnya.
"Bagus, murid-murid ku. Kalian amat cekatan menangkapnya!"
Ujar Ki Sugema memu-ji.
"Nah kalian lihatlah siapa orang ini! Dialah yang telah membunuh muridku. Kami memang mau menyatroni ke tempat Pesanggrahanmu, Ki Astagina. Tapi ketika baru sampai diujung desa, aku melihat se-seorang berkelebat melarikan diri. Terpaksa aku turun tangan membekuknya. Aku segera perintahkan kedua muridku ini menangkapnya. Lalu mendahului kema-ri...!"
Ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang muridku ter-bunuh.
Kalau dia ini bukan orang suruhanmu, aku akan habiskan perkara, dan angkat kaki dengan mem-bawa anakku si Seruling Gading.
Persoalan mu meni-kahkan dia takkan ku ungkit lagi atau ku perpanjang.
Cukup sampai disini...! Tapi kalau dia memang benar orang suruhanmu...
Hm, mana bisa aku mandah saja kau laksanakan kejahatan seenak perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan ujung belati yang menikam ulu hati Ki Astagina yang seketika wa-jahnya jadi merah padam. Benaknya memikir.
"Heh!? Tipu muslihat macam apa yang akan dipergunakan manusia ini?". Diam-diam dia juga terkejut melihat adanya kakek hitam yang muncul bersama Ki Sugema. Sepa-sang mata kakek itu memancarkan kilatan tajam yang seperti mau menembus jantung.
"Siapa pula kakek hitam tua renta ini?"
Bertanya-tanya hati Ki Astagina. Saat itu Ki Sugema telah memberi perintah se-belum Ki Astagina buka suara.
"Nah, cepat buka topeng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua perguruan Surya Medal ini segera jalankan perintah.
Dan...
Plas! Topeng penutup muka laki-laki tawanan itu telah disibakkan hingga terlepas.
Segera terlihat tampang seorang laki-laki yang ditaksir berusia tiga puluh tahun.
Ki Astagina kerutkan keningnya.
Dia memang tak mengenal laki-laki ini.
Tapi belum lagi dia buka suara, Ki Sugema telah membentak si laki-laki tawanan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki ini?"
Bertanya Ki Sugema seraya menunjuk pada Ki Astagina. Orang itu mengangguk.
"Benarkah kau orang suruhannya?"
Tanya lagi Ki Sugema.
Kembali si tawanan mengangguk.
Membuat semua orang menahan napas.
Ki Astagina tersen-tak kaget, kakinya melangkah mundur satu tindak.
Bibirnya sudah tergetar untuk menyangkal.
Akan teta-pi orang tua ini rasakan lidahnya menjadi kelu.
Sua-ranya tersendat dikerongkongan.
Terheran laki-laki ketua dari Pesanggrahan Cipatujah ini.
Ketika menatap pada si kakek tua renta bertongkat kelabang hatinya jadi bergidik karena sepasang mata itu telah member-sitkan kekuatan tersembunyi yang menyerangnya.
Hingga dia cuma bisa membungkam mulut.
"Katakan! Berapa upah mu untuk pekerjaan ini! Dan dengan senjata apa kau telah membokong anak buahku...!"
Bertanya lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di pinggangku...! dan... aku... aku membunuhnya dengan senjata dibalik ba-juku ini...!"
Menyahut laki-laki tawanan itu dengan suara menggetar.
Kedua murid segera meraba pinggang dan me-rogoh pakaian laki-laki tawanan itu di sebelah dalam.
Sebuah benda dan sekantong uang dalam bungkusan kain segera diberikan pada Ki Sugema oleh salah seo-rang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan... kalian lihatlah kema-ri. Bukti-bukti telah terlihat disini. Apakah kau Astagina masih mau mungkir...?"
CRING...! Benda itu telah dilemparkan ke ha-dapan Ki Astagina, dan jatuh tepat di depan ujung ka-ki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih berdiri terpaku dengan tubuh menggeletar.
Keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhnya.
Tampaknya dia seperti tak berdaya dengan bukti-bukti yang telah jelas itu.
Pa-dahal sebenarnya dia tengah "bertarung"
Adu kekuatan batin pada si kakek hitam bertongkat kelabang yang telah menyerangnya. Hingga mulutnya pun tetap bungkam tanpa keluarkan sepatah katapun.
"Lihatlah! Benda inilah yang telah menebas leh-er muridku! Heh! Sebuah senjata yang ampuh. Bekas-bekas darah pun masih tampak disini...!"
Berkata sinis dengan suara lantang laki-laki ketua Perguruan Surya Medal ini seraya unjukkan benda itu yang mempunyai bentuk aneh.
Yaitu sebuah benda ruyung besi sepan-jang satu jengkal.
Pada bagian tengahnya terdapat se-buah tombol berwarna merah.
Tampak Ki Sugema se-perti tengah mengamati senjata itu.
Bagian ujung mata kapak tipis itu memang masih tampak ada bekas-bekas darah.
Sementara itu Sambu Ruci dan Seruling Gading cuma saling pandang menatap, lalu lemparkan tata-pannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci alihkan pandan-gannya pada kakek hitam kurus berjubah kuning, yang sejak tadi seperti tak lepas menatap pada Ki As-tagina yang tampak tubuhnya gemetaran.
Sorot mata kakek kurus itu memang membersitkan cahaya aneh yang membuat Sambu Ruci tersentak.
Diam-diam dia sudah waspada dengan segala kemungkinan.
Lengan-nya pun pelahan mulai merayap bergerak untuk me-raih gagang pedangnya diatas bahu.
Sementara ma-tanya menatap pada Ki Sugema dan si kakek kurus jubah kuning berganti-ganti.
Melihat demikian Serul-ing Gading segera lepaskan cekalannya pada lengan Sambu Ruci.
Dan sekejap dia sudah mencabut serul-ing gadingnya yang terselip dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat menegangkan itu membuat semua orang menahan napas tatkala melihat Ki Sugema telah arahkan "senjata aneh"
Itu ke arah Ki Astagina. Ketika sinar kilat berkredep meluncur ke arah Ki Astagina, saat itu berkelebat pula selarik cahaya perak dari arah sisi Seruling Gading. TRANGNG...! Terdengar suara benturan benda keras yang dibarengi dengan bentakan.
"Pengecut curang!"
Itulah suara bentakan Sam-bu Ruci yang telah melompat dan menangkis serangan maut Ki Sugema dengan pedang pusakanya.
Bahkan sekaligus menyambarkan pedangnya untuk menabas ke arah pinggang Ki Sugema.
Tentu saja membuat Ki Sugema jadi terperangah kaget.
Namun sebagai seo-rang tokoh yang sudah berpengalaman, Ki Sugema da-pat mengelakkan diri dengan bersalto dua kali ke belakang.
Akan tetapi tebasan pedang Aksara terus menge-jar Ki Sugema.
Yang dicecar adalah senjata maut yang berada dilengan laki-laki ketua dari Perguruan Surya Medal itu.
Senjata hebat itu begitu kena tertangkis telah kembali lagi menempel pada gagangnya.
Semacam per yang kuat memang berada didalam gagang benda maut itu, yang dapat membuat kapak tipis diujung ga-gang itu melesat dan kembali dengan menekan tombol merah.
Benda itu memang telah dilihat Sambu Ruci yang telah dipergunakan laki-laki bertopeng untuk menyerang Sapi Lanang dari atas wuwungan rumah.
Akan tetapi tiba-tiba dibelakang Sambu Ruci terdengar suara...
WHUUUK...! Tersentak laki-laki ini melihat benda hitam yang menyerupai kelabang meluncur de-ras ke arah punggungnya.
Itulah tongkat kelabang si kakek hitam kurus yang mau menggebuk punggung dari belakang.
Sambaran deras itu sukar ditangkis, terpaksa Sambu Ruci bantingkan tubuhnya ke samp-ing.
WHUK! WHUK! WHUK! BHUM! BHUMM! BHUM MM...! Tiga hantaman berturut-turut membuat tanah menyemburat.
Tampak Sambu Ruci bergulingan menghindari "gebukan"
Tongkat kelabang si kakek kurus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu jiwa denganmu!"
Terdengar satu bentakan nyaring.
Dan...
sekelebat bayangan merah menerjang kakek hitam kurus itu dengan hantaman-hantaman pukulan dan tusukan se-ruling.
Ternyata Seruling Gading tak bisa mandah saja berdiam diri melihat keadaan Sambu Ruci yang dalam bahaya maut itu.
*** SEMBILAN KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG ter-nyata punya gerakan gesit sekali.
Tubuhnya berkeleba-tan diantara hantaman-hantaman pukulan dan sam-baran seruling ditangan gadis itu.
Bahkan tongkat ke-labangnya telah meluncur deras menyapu kaki sang gadis.
Terperangah gadis itu, namun dengan sebat dia telah jejakkan kaki untuk melompat.
Akan tetapi sam-baran tongkat itu ternyata cuma siasat belaka.
Ketika tubuh si gadis mencelat ke udara, Kakek kurus hitam itu telah membarenginya dengan hantaman telapak tangannya...
Dalam keadaan mengapung demikian, apa lagi serangan barusan begitu cepat datangnya, Seruling Gading tak dapat berbuat apa-apa selain membelalak kaget.
Dan terdengar jeritan sang gadis.
Tubuhnya terlempar tujuh-delapan tombak.
Sambu Ruci cuma da-pat ternganga, karena dia baru saja akan merangkak bangun dari bergulingannya.
Akan tetapi sebelum tu-buh Seruling Gading menyentuh tanah, sebuah bayan-gan telah berkelebat menyambarnya.
Itulah bayangan tubuh Ki Sugema.
Sekejap kemudian tubuh si gadis te-lah berada dalam bopongan laki-laki tua itu, yang se-gera terdengar suaranya tertawa berkakakan.
"Hahahaha... haha... terima kasih sobat Kelabang Hitam! Bocah perempuan anakku ini musti diamankan dulu...!"
Selesai berkata Ki Sugema melesat lenyap dari tempat itu.
"Bangsat licik!"
Memaki Sambu Ruci dengan mata membelalak. Tubuhnya berkelebat untuk mengejar. Akan te-tapi sebuah bayangan kuning telah melesat mengha-dang.
"Biarkan dia pergi membawa anak gadisnya! ku-peringatkan lebih baik kau menyingkir siang-siang se-belum mati konyol!"
Membentak si kakek hitam kurus yang telah melintangkan tongkat kelabangnya di depan Sambu Ruci.
"Dia istriku...!"
Membentak lagi Sambu Ruci dengan melototkan mata pada kakek kurus itu.
Akan tetapi tersentak Sambu Ruci.
Justru me-natap mata si kakek kurus itulah membuat pancaran sinar mata si kakek yang telah menyalurkan kekuatan batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena lantas saja otak-nya tak dapat bekerja.
Jiwanya kosong melompong ka-rena telah dipengaruhi oleh satu kekuatan batin yang seperti telah menyedotnya, untuk tertegun meman-dang orang dihadapannya.
Ketika sebelah telapak tangan kakek kurus hi-tam itu terarah ke tubuhnya, segelombang angin halus telah menerjang tubuh Sambu Ruci.
Dan...
pemuda ini mengeluh.
Sekujur tubuh dan tulang persendiannya terasa lemah dan linu.
Jatuhlah pemuda ini dengan menekuk lutut, bersama dengan terlepasnya pedang ditangannya.
Itulah ilmu menotok jarak jauh yang amat luar biasa.
Tertawa dingin si kakek kurus.
Tiga betas pisau terbang tahu-tahu meluncur deras ke arah si kakek kurus ketika tubuhnya melesat dan tengah berada di udara.
TRRRAAANGNG...! Sekali memutarkan tongkat kelabangnya ketiga belas senjata rahasia pisau terbang yang dilontarkan seseorang itu telah berhasil kena disampok berpentalan.
Dan...
den-gan ringan tanpa mempengaruhi kelebatan tubuhnya, kakek ini jejakkan kakinya dihadapan Ki Astagina.
La-ki-laki ketua dari Pesanggrahan dan "Sesepuh"
Dari wilayah desa CIPATUJAH tampak masih berdiri tegar di-tempatnya.
Akan tetapi kepalanya telah terkulai, dan dari lehernya mengalirkan darah yang masih mengu-cur menetes membasahi tanah.
Laki-laki tua ini ternyata telah tewas.
Dua so-sok tubuh melompat ke hadapan si kakek seraya ber-teriak.
"Awas serangan!"
Teriak salah satu dari kedua orang itu.
Mereka adalah Suro Ragil dan si gemuk Zimbage.
TRAAANGNG...! Lagi-lagi si kakek yang memang telah mengetahui adanya sambaran angin di bela-kangnya telah balikkan tubuh untuk secepat kilat memutarkan tongkat kelabangnya.
Berpentalan bela-san pisau terbang yang nyaris menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini tidak sampai disitu saja.
Karena detik berikutnya tubuh si Kelabang Hitam telah melejit kesatu arah disisi Pesanggrahan.
"BRASSH! Lengannya menghantam batang pohon di-depannya. Pohon besar itu berderak patah bercampur dengan satu jeritan parau dari belakang pohon. Dan... bersama tumbangnya pohon besar itu sesosok tubuh terlempar beberapa tombak yang langsung tewas seke-tika. Sekejap dia sudah tiba lagi dihadapan Suro Ra-gil dan si gemuk Zimbage. Sementara itu belasan anak buah Ki Astagina telah berlompatan mengurung. Bah-kan beberapa orang tetamu dari Ki Astagina turut pula mencabut senjata. Kakek hitam kurus ini hanya mendengus, seraya membentak keras.
"Kalian semua me-nyingkirlah! Apakah mau mati konyol seperti ketua-mu...?"
Jubah kakek kurus ini bergerak mengibas.
Dan...
robohlah tubuh Ki Astagina yang memang su-dah tak bernyawa itu.
Terperangah para murid Ki As-tagina.
Mereka memandang dengan mata membelalak karena tampak leher sang Ketua telah tersobek men-ganga dengan darah yang sudah hampir berhenti men-galir.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat ke tempat itu, seraya perrdengarkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahah... hahaha... aku terpaksa membunuh Ketua kalian ini! Sebenarnya dia masih terhitung sahabatku! Tapi sudah kukatakan tadi kalau ternyata si pembo-kong muridku memang orang suruhannya, aku tak dapat berpeluk tangan. Kematiannya adalah setimpal dengan kejahatannya! Nah! Apakah kalian semua mau mati dengan cara seperti gurumu...?!"
Membentak Ki Sugema, begitu habis ucapkan kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat belasan anak buah Pesanggrahan Cipatujah jatuhkan diri berlutut dan masing-masing lepaskan senjatanya.
Tak dikisahkan panjang-lebar, Pesanggrahan CIPATUJAH saat itu juga telah dikuasai Ki SUGEMA, yang memang mengambil kesempatan untuk bertindak cepat demi mencuci namanya.
Dibunuhnya Ki Astagi-na adalah karena sahabatnya itu telah mengetahui persoalan dia dengan anak tirinya, yaitu Seruling Gading.
Sebenarnya sebelum Roro centil dan sepasang se-joli itu menetap sementara di Pesanggrahan Cipatujah, orang-orang Ki SUGEMA telah lama melacak jejak Seruling Gading yang kabur dari perguruan.
Pelacakan itu tertunda dengan munculnya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan Giri Mayang dengan Sepasang Tan-gan Iblisnya.
Namun bukan hanya berhenti begitu sa-ja.
Disamping ingin mengetahui siapa tokoh yang te-lah melakukan pembantaian di beberapa tempat yang menghebohkan wilayah Kota Raja itu, Ki Sugema ting-galkan markasnya untuk mencari juga kemana per-ginya sang murid alias anak tiri yang digandrunginya itu.
Tercenung Ki Sugema ketika mengetahui mun-culnya Roro Centil yang tengah duel dengan Giri Mayang, kemudian berakhir dengan kemenangan Pen-dekar Wanita itu.
Diam-diam dia menguntit kepergian si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang kemudian se-cara kebetulan dia dapat melihat adanya Seruling Gad-ing yang tengah dicarinya.
Segera diketahui pula adanya Sambu Ruci yang telah diam-diam memadu cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil menetap di Pe-sanggrahan Ki Astagina sahabatnya yang menjadi "sesepuh"
Di wilayah desa Patujah.
Segera di sebar orang-orangnya untuk menyamar menjadi penduduk biasa untuk mengetahui apa yang diperbuat selanjutnya oleh Ki Astagina.
Dan tercenganglah Ki Sugema ketika mengetahui dari laporan anak buahnya bahwa laki-laki yang bernama Sambu Ruci itu akan menikah den-gan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada Ki Astagina, karena enak saja menyediakan diri menjadi "wali"
Dalam pernikahan anak tirinya.
Ketika undangan yang mendapat tetamu terhormat dari seorang pendekar wanita yang "kondang" (ternama) hampir diseantaero Pulau Jawa.
Juga agar warganya dapat mengetahui dan melihat wajah tokoh Pendekar yang selama ini cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui pernikahan serta adanya sebuah pesta kecil yang penuh semarak di Pesanggrahan Cipatujah, tapi diam-diam telah me-nyebar orang-orangnya untuk melihat situasi.
Bahkan jauh-jauh hari dia telah menjumpai paman gurunya (si Kelabang Hitam) yang kebetulan baru beberapa hari ini datang, ke Pesanggrahannya.
Kakek berilmu tinggi itu memang tengah mencari Roro Centil.
Dia baru saja ti-ba dua hari yang lalu.
Berita dari Kota Raja yang dilewati dalam perjalanannya ke Pesanggrahan Surya Medal telah terdengar santar.
Bahwa Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah berhasil mem-bunuh Giri Mayang si perempuan iblis yang telah me-nimbulkan kehebohan dengan mengadakan pemban-taian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si kakek hitam kurus bertongkat Kelabang yang bergelar si Kelabang Hitam itu mencari Roro Centil.
Demikianlah hingga adanya si Kelabang Hitam itu telah membuat Ki Sugema berhasil melaksanakan niat busuknya melenyapkan Ki Astagina.
Tentu saja perbuatan itu dilakukan setelah menerima laporan bahwa Roro Centil telah meninggalkan Pesanggrahan Cipatujah.
Dan dengan bantuan seorang tokoh baya-ran yang mempunyai senjata aneh itu, Ki Sugema sukses dengan rencana busuknya mempengaruhi orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, bahwa Ketua mereka yang menjadi sahabat baiknya telah punya niat jahat untuk menumbangkan kedudukannya.
Pa-dahal Ki Sugema sendiri yang memang berhasrat mau menguasai wilayah CIPATUJAH yang makmur.
Dengan kekuatan "sugesti"
Yang dipunyai si Kelabang Hitam bukan tak mungkin kalau Roro Centil bi-sa diringkus. Dan... sudah ada niat buruk yang tersirat dihati Ki Sugema yang doyan "daun muda"
Itu untuk melalap si gadis Pendekar Wanita yang punya nama beken itu.
Bahkan rencana demi rencana telah terukir dibenak Ki Sugema untuk bisa menaklukkan Roro Centil.
Memperalatnya untuk kepentingan "kekua-saannya".
Dengan menebeng nama Roro Centil bila telah menjadi istrinya segalanya akan menjadi mudah.
Karena Roro kenal baik dengan orang-orang dari setiap Kerajaan di wilayah Pulau Jawa.
Dan bukan mustahil kalau dia bisa menduduki jabatan tinggi disatu Kera-jaan paling besar masa itu, yaitu Kerajaan MATARAM.
Cita-citanya yang membumbung tinggi itu se-makin mantap.
Mulailah Ki Sugema mengatur renca-na-rencana selanjutnya melalui perembukan singkat.
Yaitu mengatur jebakan agar Roro Centil bisa datang lagi ke Pesanggrahan CIPATUJAH.
Namun dimalam yang semakin melarut itu di ruangan dalam Pesanggrahan Ki Sugema terpaksa ha-rus menunda pembicaraan, karena dia punya kepen-tingan lain untuk menyalurkan hasratnya yang sudah sekian lama terbendung itu.
Ya! mendadak bayangan wajah dan kemolekan tubuh sang anak tin telah ter-bayang di ruangan matanya.
"Baiklah! Kukira perembukan bisa kita lan-jutkan besok. Silahkan kalian beristirahal. Dan... maaf, sobat Pemburu Keping Emas, ku terpaksa "me-minjam"
Dulu senjatamu karena aku masih memerlu-kan! Khusus buat sobat Pemburu Keping emas aku te-lah suruh anak buahku menyediakan tempat peristi-rahatan yang nyaman. Ya! Sebuah kamar yang nya-man bekas tempat tidur Ki Astagina. Silahkan..."
Dalam berbicara itu diam-diam Ki Sugema telah kedipkan mata pada kakek kurus hitam itu, seraya mengerling pada si Pemburu Keping Emas yang menjadi "orang sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini manggut-manggut pelahan mengerti.
Udara malam yang dingin menyeruak dimalam yang penuh kemelut itu.
Pesanggrahan CIPATUJAH laksana dicekam hawa sejuk yang mencekam jantung.
Karena disana kini telah dihuni oleh manusia-manusia tamak yang berakhlak rusak.
Manusia-manusia yang lebih mementingkan diri pada "ambisi".
*** SEPULUH SERULING GADING TERGOLEK di pembarin-gan bersih dengan keadaan tertotok.
Mempelai wanita yang bernasib tragis ini tak berdaya apa-apa lagi selain menunggu nasib apakah kelak yang bakal menim-panya.
Sementara diruang lain Sambu Ruci dalam keadaan terikat tali-tali kulit yang kuat.
Terduduk disudut ruang dengan keputusasaan yang telah memben-turkan dirinya pada jalan buntu.
Tak ada harapan un-tuk meloloskan diri lagi baginya.
Tulang-tulang per-sendiannya seolah sudah tak bersumsum lagi.
Entah siksaan apa yang telah dihadapinya oleh Suro Ragil dan Zimbage yang bertubi-tubi, diterimanya, akibat ra-sa dendam yang tertumpah karena kematian sapi La-nang.
Tubuhnya tampak matang biru dan muka ben-gap.
Tampak seperti bekas-bekas pukulan keras yang dihunjamkan pada sekujur tubuh pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak disudut bibir dan bawah hidungnya.
Kalau sang Ketua mereka, Ki Sugema tak memberi ultimatum agar tak membunuh-nya, tentu siang-siang Sambu Ruci telah dibunuh oleh Suro Ragil.
Pintu "penjara"
Tiba-tiba terluka. Dan empat orang anak buah Ki Sugema muncul dimuka pintu. Lalu dua orang menghampiri. Dan menyeret bangun pemuda itu, lalu menggusurnya keluar dari kamar ta-hanan itu.
"Dibawa kemana...?"
Bertanya seorang dari mereka.
"Ke kamar tempat beristirahat Ketua kita!"
Menyahut kawannya.
"Lho? mau diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala! mau dimampusin ju-ga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul! hayo, cepat jalannya, monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari ruangan itu karena sepasang kakinya seperti telah tak bertenaga lagi.
Dengan tubuh yang babak belur demikian me-mang sulit kalau Sambu Ruci punya julukan Si Bujang Nan Elok.
Karena wajahnya sudah tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong hingga ja-tuh menggabruk dimuka pintu kamar.
Ki Sugema se-gera perintahkan anak buahnya meninggalkan kamar tempat beristirahatnya.
Lalu beranjak menutup pintu kamar.
Lengan Ki Sugema mencengkeram dada pemu-da itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam beginikah tampang pen-gantin laki-laki yang mengawini gadis orang tanpa me-lamarnya lagi?"
Membentak geram Ki Sugema dengan mengumbar tertawanya berka-kakan.
Kepala Sambu Ruci terkulai menunduk, seperti enggan menatap wajah manusia yang telah menawan-nya itu.
Akan tetapi Sugema telah menjambak ram-butnya untuk membuat kepala pemuda itu menenga-dah.
"Heh! tatap mukaku, bocah...! Tataplah agar kau dapat melihat jelas siapa orangnya yang telah menaklukkan kecoa tengik macam kau! Dan... hahaha... coba kau lihat siapa yang terbaring di pembaringan itu?"
Ujar Ki Sugema seraya "
Menyeret"
Wajah orang untuk melihat ke pembaringan. Seketika sepasang mata Sambu Ruci terbelalak lebar, karena di atas pembaringan tergeletak sesosok tubuh yang dalam keadaan tanpa busana....
"Sst..... Seruling..... Gading!?' tersendat suara Sambu Ruci yang memandang dengan terperangah. Akan tetapi suara itu tersendat dikerongkon-gan.
"Lepaskan istriku.....apa... apakah yang kau mau lakukan!"
Tiba-tiba Sambu Ruci berhasil menge-luarkan suaranya.
Ki Sugema kembali perdengarkan suara tertawa mengakak.
Tiba-tiba lengannya men-cengkeram lagi dadanya.
Dibawanya tubuh tak ber-daya itu kesudut ruangan, Ketika dua kali jarinya me-nolok ke lutut segera tubuh laki-laki itu menjadi berdiri kaku tak bergeming.
Dan sepasang kaki itu seperti menjadi kuat untuk berdiri disudut ruangan dengan punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu pemandangan yang membuat Sambu Ruci terpaksa harus pejamkan matanya karena tak sanggup menatap apa yang ter-pampang dihadapannya Ki Sugema telah melucuti pa-kaiannya sendiri dan...
naik ke atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru saja tersadar dari pingsan.
Akan tetapi pengaruh totokan pada tu-buhnya membuat dia tak mampu untuk berbuat apa-apa kecuali menjerit dengan suara yang terdengar se-perti desahan belaka, karena urat suaranya telah ditotok.
"Hahahaha... malam ini biarlah aku yang menggantikan pengantin laki-laki untuk mencicipi ma-lam pertama...". ujar Ki Sugema dengan menyeringai bagaikan iblis. Selanjutnya... Sambu Ruci hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat tak sanggup rasanya dia untuk menyaksikan perbuatan bejat yang telah membuat air matanya mengucur deras. Air mata dari seorang laki-laki yang amat mencinta istrinya. Dan tak ada yang lebih bejat lagi dari seorang ayah tiri yang telah "penyantap"
Anak gadisnya sendiri......Ternyata ju-ga pada malam itu satu nyawa telah melayang yaitu dibunuhnya si pembunuh bayaran alias si Pengejar Keping Emas oleh kakek hitam kurus bertongkat kelabang alias si Kelabang Hitam...
*** BHLARRR!BHLAARRRRR.
BHLARRRRR...! Cahaya perak dan pelangi berkredepan di udara yang diiringi dengan dentuman-dentuman menggele-gar.
Roro centil berteriak girang.
"Horeee, aku ber-hasil! aku berhasiiil!"
Dan terdengar suara mengikik merdu membuat segerombolan burung camar yang tengah bertengger dipuncak-puncak karang terkejut karena suara dentuman-dentuman keras itu dan buyar berterbangan ketakutan dengan suara berkiak-kiak riuh.
Selanjutnya di pantai sunyi, itu tampak banyak berkelebatan cahaya-cahaya perak dan pelangi yang diselingi dentuman-dentuman pesisir pantai itu jadi semarak bagaikan ada sebuah "
Pesta laut".
Selendang-selendang perak dan pelangi seperti bermuncu-lan dari sekeliling permukaan laut dipantai bergelombang tenang itu.
Sukar untuk dipercaya bagi orang yang percaya adanya hantu laut, karena Roro memang Memainkan jurus-jurus pukulan selendang perak dan pelanginya dengan berlompatan diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang dapat berlari di-atas air, siapa lagi kalau bukan Roro Centil.
Karena pada zaman itu cuma ada dua orang yang dapat memi-liki kesaktian seperti itu.
Pada tiga tahun yang silam pernah ada seorang tokoh golongan hitam yang bergelar "Hantu Siluman Kera", yang juga memiliki ilmu semacam demikian, tapi telah tewas ditangan Roro Centil (baca.
Serial Roro centil, dalam judul.
Siluman Kera putih).
Dan pada saat ini ada seorang tokoh yang me-nyembunyikan diri untuk memperdalam ilmu-ilmunya yang juga memiliki ilmu berjalan dan berlari diatas air tokoh misterius itu pernah muncul diperairan wilayah tenggara.
Beritanya memang telah menyebar yang da-tang dari mulut para nelayan di wilayah itu.
Akan te-tapi belum ada satu kejadian yang merugikan dipihak para Nelayan.
Bahkan mereka menganggap tokoh mis-terius itu adalah sebangsa mahluk halus yang sesekali muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah bersuka cita dengan keberhasilannya menguasai jurus-jurus ca-haya perak Pelangi warisan mendiang Nenek Muri Asih, sepasang mata sejak tadi telah memandangnya dengan mata tak berkedip.
Dialah Si Kakek kurus Hi-tam yang bergelar si Kelapa Hitam.
Duduk bersila di-atas batu karang.
Tongkat kelabangnya tergeletak di-depannya.
Bibirnya tampak berkumat-kamit membaca mantera.
Tiba-tiba lengannya bergerak meraih tongkat.
Dan...
Whessss! Tongkat pusakanya telah dilemparkan ke dalam laut.
Sementara dia masih teruskan "kumat-kamit"
Nya dengan mata tetap ke arah depan.
"Menakjubkan! Apakah yang telah terjadi den-gan lemparan tongkatnya? Ternyata tongkat yang berbentuk Kelabang itu telah berubah menjadi seekor Kelabang Raksasa yang bergerak hidup. Meluncur pesat dipermukaan air me-nuju ke arah Roro Centil.... Sementara itu Roro tengah asyik dengan "per-mainan"nya yang seolah tiada membosankan. Sinar perak dan Pelangi itu bagaikan selendang-selendang sutera saja di kejauhan. Sepintas yang terlihat adalah seperti layaknya seorang Bidadari yang tengah mainkan selendangnya dengan menari-nari. Dan memanglah, Roro tengah memainkan ju-rus-jurus "Tarian Bidadari"
Yang tampaknya lemah gemulai.
Jurus-jurus tarian yang didapat dari gurunya si Manusia Banci, atau si Manusia Aneh Pantai Selatan.
Dalam pada itu Kelabang Raksasa penjelmaan dari tongkat si kakek kurus Hitam telah semakin men-dekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya dengan naluri serta inderanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang bergerak kehitaman mendekati.
"Kelabang Raksasa...!"
Tersentak Roro dengan pendengarkan teriakan kaget.
Karena jelas sudah dia melihat seekor kelabang yang amat luar biasa besar-nya dengan puluhan kakinya yang mengerikan berge-rak meluncur ke arahnya.
Tak ayal lengannya langsung bergerak meng-hantam "binatang"
Itu. Sinar perak berkelebat... BHLARR! PRASSSS! air laut menyerumbat bergelombang. Roro Centil tegak menanti dengan waspada untuk me-lihat hasil dari hantamannya. Akan tetapi kelabang Raksasa itu lenyap.
"Aneh! pasti ada yang tidak beres...!"desisnya tersentak. Sementara sepasang mata Roro mulai di guna-kan untuk menembus melihat ke dasar air disekeli-lingnya dengan mempergunakan kekuatan batin yang hebat. Namun memang Kelabang Raksasa itu lelah le-nyap. Di dasar air tak terlihat apa-apa kecuali ratusan ekor ikan yang berseliweran kesana-kemari. Namun kecepatan matanya ternyata dapat me-nangkap melesatnya sebuah bayangan hitam di kejau-han yang meluncur pesat untuk kemudian lenyap da-lam sekilas. Roro cepat mengkonsentrasikan indra matanya. Dan... kini terlihatlah dengan jelas kalau di atas batu karang disisi pantai sebelah sana ada seseorang yang duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! kalau ada makhluk atau manusia yang iseng menggangguku saat ini tak mungkin tidak kalau bukan cecunguk yang duduk dibatu karang itu-lah orangnya...!"
Berkata Roro dalam hati.
Dan...
tak ayal lagi tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini telah meluncur pesat untuk melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk diatas batu ka-rang itu ternyata juga meluncur dengan kecepatan hampir menyamai luncuran Roro Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan yang cukup hebat! siapakah kakek hitam berjubah kuning itu? Jelas dia mencekal tongkat seperti bentuk seekor kelabang! Dugaanku tak salah kalau dia cecunguk yang telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menggang-guku dengan "kelabang raksasa"
Ciptaannya!"
Berpikir Roro.
"Baik! aku tak perlu mendahuluinya. Ingin ku lihat kemana arah larinya! ataukah ini satu jebakan agar aku membuntuti? Hihihi... persetan! Aku tak takut dengan segala macam jebakan!"
Gumam gadis pendekar ini seraya percepat kejarannya untuk dapat memperdekat jarak. *** SEBELAS Tersentak Roro Centil ketika mengetahui bah-wa si kakek baju kuning itu menuju ke wilayah CIPA-TUJAH.
"He...? aneh! aku belum bisa memastikan apakah orang ini berniat jahat atau tidak! Entah manusia baik-baik atau manusia jahat...! Jelas jalan ini adalah jalan lurus ke Pesanggrahan Ki Astagina! berkata Roro dalam hati juga agak ragu dengan tindakan yang dilakukan manusia dihadapannya, yang sepertinya me-mang sengaja "membawa"nya untuk kembali pulang ke Pesanggrahan. Segera saja Roro teringat pada Sambu Ruci yang baru dua hari ini melangsungkan pernikahannya dengan gadis bernama Seruling Gading. Tiba-tiba disaat Roro agak melantur pikirannya karena melamun sejenak barusan, tahu-tahu si kakek hitam jubah kuning itu telah lenyap dari pandangan-nya. Tersentak Roro Centil. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang agak terlena, karena bayangan yang "tidak-tidak"
Mengenai sepasang Pengantin Baru itu sekelebat muncul dibenaknya.
"Setan alas! kemana kaburnya manusia itu?"
Desis Roro kaget. Terpaksa dia hentikan larinya untuk menjaga kalau-kalau ada serangan gelap. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara se-perti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro Centil...! aku orang sendi-ri! keadaan di Pesanggrahan Ki Astagina sedang gawat. Sahabatmu Sambu Ruci dan istrinya, si bocah perem-puan bernama Seruling Gading itu dalam bahaya maut. Kami amat memerlukan bantuan anda...! Ter-paksa "kita"
Berpisah agar tak menaruh kecurigaan bahwa diam-diam aku memanggil kedatangan anda.
Turutlah apa yang aku katakan untuk kita bisa mem-bekuk manusia Iblis itu.
Tepat berada dihadapan Pe-sanggrahan pada jarak 10 tumbak, anda harus berge-rak memutar ke kanan melalui jalan samping, silahkan anda memasuki satu pintu ruangan.
Disana dalam keadaan aman...! Dan anda akan muncul tepat dibela-kang ruangan tempat si "Iblis Sakti Mata Seribu"
Yang menyandera sahabatmu...! Aku akan muncul dari ruangan depan. Dan... kita akan sama-sama meng-gempurnya."
Tentu saja kata-kata yang dikirim melalui tenaga dalam itu membuat Roro Centil melengak kaget.
"Iblis Sakti Mata Seribu...?"
Aiih, baru aku mendengarnya!"
Berdesis Roro Pelahan.
Dan dilihatnya bayangan kuning dari jubah si Kakek hitam yang dibuntuti itu berkelebat keluar dari balik pohon, lalu lenyap dalam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak untuk cepat tiba di depan Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu dengan penuturan kakek misterius itu.
Benarkah apa yang dikatakannya? Berkata dalam hati gadis Pende-kar ini.
Akan tetapi Roro sudah mengambil keputusan untuk menusuki kata-kata si kakek misterius itu, ka-rena dalam keadaan demikian dan bukti masih belum jelas, mana boleh dia berburuk sangka pada orang.
Ka-lau si kakek yang demikian saktinya itu masih memer-lukan bantuannya, tentu dapat dibayangkan keheba-tannya manusia yang menamakan dirinya si Iblis Sakti Mata Seribu itu! pikir Roro.
Yang segera menduga bahwa disekitar Pesanggrahan itu telah dipasang 1000 mata untuk memata-matai sekitarnya.
Apa lagi hal ini adalah demi keselamatan Sam-bu Ruci, sahabatnya.
Mana Roro bisa mandah dan bi-arkan saja orang mencelakai?.
Tepat 10 tombak di depan Pesanggrahan yang tampak sunyi sepi mencekam itu, Roro Centil menyeli-nap kebalik semak, lalu bergerak memutar ke arah ka-nan.
Benar saja! Pada bagian samping Pesanggrahan itu segera terlihat satu pintu ruangan yang setengah terbuka.
Roro ternyata cukup cerdik untuk tidak semba-rang memasukinya.
Segera meramal aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah lenyap tak terlihat mata manusia biasa.
Lalu meluncur untuk segera memasuki pintu ruangan tanpa membukanya lagi.
Cukup dengan miringkan tubuhnya menyelinap masuk dari sisi celah daun pintu yang terbuka itu.
Ruangan itu kosong! dan gelap.
Roro gunakan kekuatan batinnya agar dapat melihat dalam gelap.
Akan tetapi .....
"Aiiiih!? ilmu sihir!"
Sentak Roro kaget dengan suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu terang ben-derang.
Dan...terkejut Roro Centil ketika melihat di setiap sudut ruangan goa itu tampak jelas sosok-sosok tubuh si kakek hitam jubah kuning yang telah menjadi belasan sosok tubuh.
Bahkan ketika dia bergerak memutar tubuh, dibelakangnya pun berjajar tubuh-tubuh si kakek mis-terius itu yang rupa dan bentuknya sama.
Kemana dia menatap ternyata selalu bentrok dengan berpasang-pasang mata si kakek misterius itu yang cahaya matanya membuat dia bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? apa maksudmu den-gan semua ini!?"
Bentak Roro dengan mata menatap tajam pada masing-masing "manusia"
Disekelilingnya. Sementara sepasang lengannya sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi satu serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang mau menjebakmu untuk masuk perangkap ku. Dan kini kau sudah ter-jebak! Akan tetapi kau tak perlu khawatir, nona Pen-dekar, karena aku takkan menyakitimu...!"
Terdengar suara tertawa yang sukar diketahui dari mana arahnya, karena berpantulan dari sekitar ruangan itu.
Dan...
segelombang angin halus telah menerpa ke arah Roro Centil.
Tiupan angin halus yang seperti tak kentara kalau itu adalah sebuah serangan yang dapat melumpuhkan orang dalam sekejap.
Terkejut bukan main Pendekar Wanita Pantai Selatan ini ketika tahu-tahu rasakan tulang persen-diannya terasa linu, Tenaganya pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata Roro yang terlihat cuma berpasang-pasang mata bersinar aneh itu saja yang seperti telah mempengaruhi batinnya.
Dan...mendadak saja Roro Centil telah jatuh berlutut ketika suara si Kelabang Hitam membisik di-telinganya.
Bisikan bernada perintah, yang langsung menyerang sirkuit otak Roro untuk menuruti apa yang diinginkan kakek tua hitam itu.
Seketika saja sirnalah ilmu halimunan Roro un-tuk kembali terlihat sebagaimana wajarnya.
Hal mana membuat si Kelabang Hitam tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma sebegitu saja ke-hebatanmu bocah perempuan pendekar. Kegagahanmu memang boleh dibanggakan, tapi kau kurang penga-laman! Aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Rimba Persilatan sudah banyak mengalami berma-cam pertarungan. Sudah banyak makan sama-garam! Akan tetapi dalam setiap pertarungan kukira pertarungan sekarang inilah yang paling sukses."
Berkata si Kelabang Hitam dengan terkekeh-kekeh.
Lalu...
apakah yang terjadi kemudian? Melihat Roro Centil sudah kena ditaklukkan kakek hitam ini kembali berkemak-kemik membaca mantera.
Lagi-lagi lengannya bergerak untuk melontarkan segelombang angin halus memperkuat serangan totokan jarak jauh.
Dengan mengulang demikian kakek ini tak khawatir lagi Roro Centil akan mampu untuk melepaskan toto-kan ampuhnya yang memang amat luar biasa.
Roro perdengarkan keluhannya.
Dan dengan lunglai langsung menggeletak dilantai.
"Hehehe... bagus! aku akan bantu melucuti pa-kaianmu! Tenagamu terlalu lemah, dewiku...! Kau ten-tu belum pernah merasakan nikmatnya seorang laki-laki! Aku tahu kau memang masih gadis tulen! Dan... hehehe... aku memang memerlukan kau Sangat kuper-lukan! Karena dengan mereguk kenikmatan dari tu-buhmu, akan terjadi "penyaluran". Kegaiban yang ada pada tubuhmu memungkinkan pindahnya ilmu-ilmu "dalam"
Yang berada pada tubuhmu tersalur ketubuh-ku! ketahuilah...
aku amat mendambakan itu! karena tenaga dalamku bisa bertambah! Dan aku akan awet muda...! kulitku yang keriput ini bisa menjadi kencang lagi..."berkata mendesah si kakek hitam itu seraya membungkuk untuk membukai pakaian Roro.
Sedangkan belasan bayangan-bayangan tubuh palsu si Kelabang Hitam yang lainnya mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada reaksi apa-apa.
Ke-cuali terdengar suara desah nafasnya yang teratur...
ya! Roro ternyata telah kena "Sugesti"
Yang diucapkan melalui batin untuk mempengaruhi sirkuit otaknya.
Dan...
dia tak tahu kalau lengan si kakek binal ini mulai melepaskan pakaian Roro dengan tubuh menggele-tar karena hawa rangsangan dari birahi yang mengge-legak, seperti tak tertahankan lagi untuk cepat-cepat melaksanakan niatnya.
Ternyata kakek hitam ini memang mencari Roro Centil untuk maksud itu.
Yaitu menyerap ilmu gaib serta kekuatan tenaga dalam Roro lahir-batin yang ha-rus dilakukannya dengan melakukan persanggamaan.
Dengan tenaga "luar dan dalam"
Yang kelak bakal terpadu itu, bukan mustahil kalau seluruh ke-kuatan batin, serta bermacam kegaiban yang dimiliki Roro bahkan sampai tenaga dalam Roro akan terkuras bersih.
Akan tetapi membelalak sepasang mata si kela-bang hitam, karena tiba-tiba terdengar suara mengge-ram dahsyat.
GRRRRRRRR...
Berbareng dengan suara gera-man itu si kelabang hitam berteriak kaget karena tahu-tahu tubuh yang akan ditindihnya itu telah berubah wujud.
Bukan lagi Roro Centil yang bertubuh mulus lagi, akan tetapi adalah seekor Harimau Tutul yang luar biasa besarnya.
Yang telah mencengkeram ganas dengan taring-taringnya yang tajam runcing.
Sementa-ra kuku-kuku yang runcing itu telah membenam pada kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si Kelabang Hi-tam lemparkan tubuhnya bergulingan.
Jubahnya ter-koyak dengan seketika berikut terkoyaknya pula kulit punggung, dada dan sedikit kulit lehernya.
Pucat pias seketika wajah kakek hitam ini.
Na-mun secepat kilat dia telah menyambar tongkat Kela-bang yang bagaikan tersedot meluncur ke arahnya.
Dengan sigap lengannya bergerak menangkap.
"Hihihi... manusia licik! enak saja kau mau menjamah tubuhku! Manusia sepertimu memang layak untuk mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang dibarengi den-gan suara bentakan.
Tersentak lagi-lagi si Kelabang Hitam karena tiba-tiba Harimau Tutul itu telah lenyap.
Dan...
tahu-tahu dihadapannya tegak berdiri gadis Pendekar itu.
Menatapnya dengan sepasang mata yang seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak mempan dengan ilmu tenungku?"
Tergagap si Kelabang Hitam berkata.
"Dan... kau bisa berubah jadi Harimau? Ilmu apakah yang kau miliki...?"
Sentaknya kaget seraya mundur dengan menempelkan tubuhnya ke dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama si Manusia Gu-run Pasir? Itulah ilmu yang telah terwaris padaku!"
Menyahut Roro dengan suara keren.
"Manusia... Gurun... Pasir...?"
Seperti mengeja si kakek hitam itu mengulangnya. Tiba-tiba tubuhnya mendadak berubah jadi gemetaran dan serta merta dia jatuhkan dirinya untuk berlutut.
"Oh...! Ampunilah selembar nyawaku ini, no... nona Pendekar...! Aku si tua bangka ini sungguh-sungguh tak mengetahui..."
Ucapnya dengan suara terputus-putus.
Disamping terheran karena melihat ti-ba-tiba si kakek hitam ini jadi tampak ketakutan sekali mendengar nama gurunya itu, namun tak mengurangi kewaspadaan Roro terhadap musuhnya.
Ternyata Roro memang berpura-pura seolah terkena pengaruh keku-atan ilmu hitam si Kelabang Hitam.
Karena sebelum memasuki pintu ruangan tadi Roro memang telah siap mempergunakan ajian penangkal segala macam ilmu setan.
Yaitu merapal tujuh kalimat Penolak Iblis.
Hing-ga ketika si Kelabang Hitam pergunakan kekuatan ma-tanya untuk mensugesti Roro, gadis Pendekar itu tidak terkena pengaruh apa-apa.
Roro memang ingin mengetahui maksud apa sebenarnya si kakek hitam itu men-jebaknya.
"Kau benar-benar ingin diampuni nyawamu? Hm, apakah bukan cuma tipu muslihat belaka?"
Bertanya Roro dengan sikap jumawa. Bahkan sepasang lengannya telah bertolak pinggang dengan mata mena-tap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta, nona Pendekar. Se-bagai bukti ambillah tongkatku. Aku takkan memper-gunakannya lagi..."
Menyahut si Kelabang Hitam dengan suara menggeletar. Seraya gerakkan lengannya meraih tongkat. Lalu asongkan pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan tongkatmu...!"
Berkata Roro.
Lengannya bergerak terulur untuk menyambuti tongkat berbentuk Kelabang itu.
Dasar memang ma-nusia licik.
Detik itu juga membersit ratusan jarum berbisa dari mulut tongkat Kelabang si kakek hitam.
Akan tetapi tubuh Roro mendadak "lenyap"
Dengan seketika.
Sukar untuk diduga oleh si Kelabang Hitam.
Karena di saat maut sudah sedetik di depan mata buat kematian Roro Centil, ternyata tubuh Roro telah mele-tik ke atas.
Bahkan kejadian yang begitu cepat itu si Kelabang Hitam tak sempat mengetahui kemana melesatnya tubuh si Pendekar Wanita itu.
Tahu-tahu dia telah menjerit parau dengan teriakan pendek, tubuh-nya menggabruk jatuh ke lantai.
Darah kental berwar-na putih bercampur merah menyemburat membercak dilantai.
Ternyata batok kepala manusia licik ini telah pecah berantakan.
Otaknya berhamburan keluar.
Dan...
tanpa sempat berkelojotan lagi, si kakek hitam ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur turun dari langit-langit ruangan dan jejakkan kaki dengan ringan dilantai.
Ternyata Roro Centil.
Kiranya sewaktu si Kelabang Hitam angsongkan tongkatnya, Roro yang ber-mata jeli telah melihat jari lengan si kakek itu bergerak memijit tombol rahasia yang berada di sebelah bawah tongkat.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil telah was-pada dan menduga ada sesuatu yang tidak beres bakal terjadi.
Begitu melihat jari lengan si Kelabang Hitam bergerak, secepat kilat Roro telah melesat ke atas.
Sekejap tubuhnya telah menempel di langit-langit ruan-gan.
Detik itu dia telah melihat berhamburannya ratu-san jarum yang meluruk keluar dari dalam mulut tongkat Kelabang si kakek.
Mendelik sepasang mata Pendekar Wanita kita.
Dan tak ayal lagi langsung kirimkan satu pukulan he-bat dari salah satu jurus pukulan warisan si Dewa Tengkorak.
Tak ampun lagi si Kelabang Hitam harus menebus mahal dengan nyawanya, akibat kelicikannya sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...! Manusia semacam mu sudah terlalu bejat! Mana bisa mulutnya dipercaya?"
Memaki Roro dengan wajah cemberut jengkel.
Diraih-nya tongkat Kelabang yang nyaris merenggut jiwanya itu.
Lalu dibantingkan ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Selanjutnya Roro sudah bergerak melesat ke-luar dari dalam ruangan itu...
*** DUA BELAS SESOSOK TUBUH merintih-rintih menggelepoh dipintu ruangan kamar memegangi pundaknya yang terluka dan tampak mengalirkan darah.
Tersentak Ro-ro Centil.
Secepat kilat dia sudah melompat mengham-piri.
"He? Kau Ponara...? Katakan, apakah yang telah terjadi...?"
Bertanya Roro dengan krenyitkan alis-nya, ketika mengetahui laki-laki itu adalah anak buah Ki Astagina.
Roro memang mengenal pada beberapa orang murid Ki Astagina ketika membantu menggali kubur buat jenazah nenek Muri Asih yang disemayam-kan disatu bukit kecil dibagian belakang Pesanggrahan Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar menjeblak terbuka.
Dan...
WRRRRRT! Jala sutera itu begitu cepat telah merungkup tubuh Roro Centil.
Dan, saat berikutnya...
BHUSSSSS! Asap tipis berbau harum seketika menyebar, begitu terdengar letupan kecil ketika pada detik barusan sebuah benda menggelundung di bawah kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu mudah untuk menawan Roro Centil!"
Terdengar suara tertawa berkakakan.
Dan...
sesosok tubuh telah tersembul di pintu kamar.
Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya.
Saat itu asap tipis berbau harum yang mengandung obat bius itu telah melenyap sirna.
Dan tubuh Roro Centil tergeletak pingsan dalam rangkupan jala sutera.
"Hm, terima kasih atas bantuanmu, Ponara...! Kelak pasti aku berikan imbalan padamu!"
Berkata Ki Sugema pada laki-laki bernama Ponara yang adalah murid Ki Astagina. Laki-laki itu telah melompat lagi menghampiri ke muka pintu kamar. dan tersenyum dengan menjura pada Ki Sugema, seraya ucapnya.
"Hambapun mengucapkan terima kasih sebe-lumnya...! apakah selanjutnya yang harus hamba la-kukan. Ketua...?"
Ternyata kejadian barusan adalah telah direncanakan sebelumnya.
Ponara yang gila kedu-dukan mau saja diperalat oleh Ki Sugema untuk men-jebak Roro.
Dengan berpura-pura terluka yang se-sungguhnya cuma melumuri pundaknya dengan darah palsu.
Ponara dijanjikan kelak akan diberi peluang untuk menjadi seorang Perwira Kerajaan di Kerajaan Ma-taram, bila rencana Ki Sugema berhasil untuk mempe-ristri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini silahkan kau berang-kat ke Akhirat!"
Selesai menyahut, sebuah kilatan membersit dari lengan Ki Sugema. Dan... tanggallah kepala Pona-ra dari tubuhnya. Darah memuncrat yang diiringi den-gan robohnya tubuh laki-laki gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau sudah tak ku-pentingkan lagi!"
Berkata Ki Sugema seraya siapkan la-gi senjata ampuh pencabut nyawa hasil rampasannya itu ke balik bajunya. Akan tetapi terperangah Ki Sugema ketika mendengar suara menggeram. Tahu-tahu jala sutera itu telah "terbang"
Melesat ke arahnya.
Dan detik berikutnya laki-laki telengas ini tampak telah bergumul dengan seekor harimau Tutul yang luar biasa besar-nya.
Akan tetapi tak berapa lama tubuh Ki Sugema te-lah terkulai tak bergeming lagi.
Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak mengerikan sekali dengan sekujur tubuh penuh cabikan-cabikan.
Darah menganak sungai dari luka dilehernya yang menganga hampir putus! Sedangkan disekelilingnya bertebaran serpihan jala sutera yang sudah hancur tak berbentuk lagi.
Harimau Tutul itu ternyata telah lenyap entah kemana...
*** Dengan kesal Roro Centil membanting senjata maut yang "disita"
Dari jenazah Ki Sugema, hingga me-lesak ke dalam tanah, Tampak wajah si Pendekar Wa-nita ini merah padam. Telah ubak-ubakan dia mencari dimana Sambu Ruci dan Seruling Gading. Tapi tak di-jumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan ini punya ruangan rahasia?"
Memikir Roro.
"Baik...! akan ku selidiki!"
Desisnya serentak begitu selesai bermenung. Tubuh Roro kembali berkelebat untuk memasuki setiap ruangan Pesanggrahan. BRAAAK...! Tiba-tiba terdengar suara bergedu-brakan. Roro merandek dengan wajah tegang.
"Apakah ada manusia iblis lagi yang masih bercokol di Pesanggrahan ini?"
Berkata Roro dalam hati.
Sekejap dia sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari reruntuhan tem-bok disalah satu ruangan belakang Pesanggrahan, wa-jah orang itu kusut, pucat dan malang biru seperti bekas-bekas pukulan.
Dialah Sambu Ruci adanya.
Den-gan susah payah pemuda itu merangkak keluar dari celah lubang yang menganga direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!"
Satu teriakan lelah membuat dia palingkan wajahnya untuk memandang ke arah datangnya suara.
"No... nona Roro..."
Teriak laki-laki ini dengan suara parau lemah. Akan tetapi wajahnya membersitkan cahaya girang. Sekejap saja Roro Centil telah jejakkan kakinya dihadapan laki-laki ini.
"Ahhh...! Sambu...! Apakah yang telah terjadi? Kemana is... istrimu Seruling Gading?". tanya Roro dengan terkejut karena memandang wajah tampan Sambu Ruci matang biru dengan keadaan yang meng-giriskan hati. Sekujur tubuhnya juga banyak luka-luka dengan pakaian yang sudah robek disana-sini. Sambu Ruci jatuhkan tubuhnya duduk menggelepoh. Wajah-nya menunduk tanpa bisa berikan jawaban pada Roro. Setitik air mata tampak tersembul disudut kelopak mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah menyiksamu? Akan kuremukkan tulang-tulang tubuhnya! Dan... kemana Seruling Gading...?"
Tanya Roro lagi dengan suara menggetar.
Pelahan laki-laki ini menengadahkan wajahnya menatap pada Roro.
Tampaknya Sambu Ruci teramat lemah untuk bicara.
Roro Centil yang tahu diri, segera berkelebat.
Dan sesaat telah kembali lagi dengan membawa se-kendi air.
"Minumlah Sambu...!"
Ujar Roro.
Sambu Ruci tersenyum lemah seraya menyambuti dengan ulurkan lengannya.
Lalu meneguk habis isi kendi itu.
Setelah menghela nafas dan merenung sejenak, mulailah Sam-bu Ruci buka suara, menceritakan kejadiannya, den-gan singkat.
Roro Centil dengan wajah sebentar merah sebentar pucat mendengarkan penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap dalam ruangan rahasia di Pesanggrahan itu setelah dipaksa menyak-sikan perbuatan edan Ki Sugema terhadap istrinya.
Diceritakannya siapa Ki Sugema.
Dan kejadian-kejadian penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh Suro Ragil dan si laki-laki gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah mampus ditanganku! Dan senjata mautnya telah kulenyapkan! Kakek iblis bertongkat Kelabang itu sudah kukirim nyawanya ke Neraka...!"
Menyahut Roro dengan pertanyaan Sambu Ruci yang mempertanyakan kedua tokoh yang menguasai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu Seruling Gading?"
Bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi nasibnya, sejak dia disekap si keparat Ki Sugema itu..."
Jawab Sambu Ruci.
"Haihhh! Aku memang manusia bodoh! Tak berguna...!"
Berkata Sambu Ruci memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah...! mari kita tinggalkan tempat ini! aku akan berusaha mencarinya!"
Ujar Roro menghibur. Lalu memapah Sambu Ruci berdiri, seraya diam-diam salurkan "hawa murni"
Untuk menambah tenaga dalam laki-laki itu. Terasa hawa hangat mengalir ke tubuh Sambu Ruci, yang dirasakan oleh laki-laki itu. Ternyata kemudian Sambu Ruci agak pulih tenaganya. Dia tersenyum menatap Roro.
"Terima kasih... kau baik sekali..."
Ucapnya lirih.
*** Sambu Ruci duduk termangu-mangu di depan sebuah pondok petani diatas bukit kecil.
Pemandangan indah terhampar dihadapannya.
Akan tetapi keinda-han itu seakan tak berarti.
Karena yang terbayang me-lulu wajah Seruling Gading.
Dua hari sudah dia mene-tap di atas bukit kecil itu.
Selama itu Roro Centil telah merawatnya, memberinya obat dan bermacam ramuan yang harus diminumnya.
Memasak air.
Menanak nasi dan sebagainya.
Tak ubahnya seolah dia dirawat oleh seorang "istri"
Tercinta.
Ah, begitu mengharukan.
Begitu pedih.
Begitu bahagia tampaknya.
Bahagiakah Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia yang tahu! dan yang membuat dia tersenyum pahit adalah apa yang dialaminya saat itu adalah begitu lucu! Ya, satu kelu-cuan, karena dia justru punya "pengganti"
Istrinya yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga sampai kesembuhannya pulih kembali.
Hari itu dia duduk di depan pondok menunggu kedatangan Roro yang telah wanti-wanti memesannya agar tak kemana-mana.
Dia termangu-mangu menatap ke bawah bukit dengan pandangan kosong.
Wajah Se-ruling Gading sebentar membayang namun sebentar melenyap di ruang matanya.
Kemelut di Cipatujah itu telah berakhir.
Kini cuma tinggalkan puing-puing dari reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi terengkuh...
"Apa-kah aku tak berjodoh dengannya?"
Berkata sendiri Sambu Ruci.
"Ya! Kalau aku berjodoh, tentu tak terjadi peristiwa macam begini...!"
Menjawab pula sendirian laki-laki itu, yang akhirnya dia cuma tersenyum pahit dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ehm...!"
Suara deheman itu seketika membuat dia tersentak dari lamunannya. Ketika dia membalik ternyata Roro Centil telah berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang, no... nona Roro...?"
Tanya Sambu Ruci tergagap. Seulas senyum segera tersuguh buatnya. Ya! Mutlak! Memang senyum itu cuma untuknya.
"Panggillah aku Roro saja, mengapa harus pa-kai "nona"...?"
Berkata Roro dengan mengerling. Sambu Ruci tertawa hambar.
"Ya, ya, ya... baiklah! Aku akan menyebut mu dengan panggilan Tabib Roro! apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan tabib!"
Menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau memang seorang tabib. Kau telah merawatku hingga luka-lukaku serta kesehatan-ku pulih kembali!"
Sangkal Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!"
Menyahut Roro dengan tersenyum manis.
Aneh! Diam-diam dan diluar kesadaran Roro.
Gadis Pendekar itu rasakan dadanya berdeba-ran.
Ya! Roro memang mulai sering merasakan deba-ran-debaran sejak merawat Sambu Ruci selama ini.
Satu keanehan yang dia sendiri juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat menghilangkannya un-tuk kembali menenangkan diri.
Apakah ada terbersit rasa cinta dihati roro pada laki-laki yang telah kehilangan istrinya itu? Entahlah! Tapi yang jelas debaran itu adalah satu kewajaran.
Karena setiap naluri wanita memang demikian bila berhadapan dan bergaul terlalu erat dengan laki-laki.
"Ada berita baik yang kutemukan, Sambu...!"
Tiba-tiba Roro Centil memutus "tegangan"
Tersembunyi diantara dua jalur halus yang merentang barusan.
"Berita...? Oh, katakanlah!"
Menyahut Sambu Ruci. Agak tersentak seperti sukmanya baru kembali dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua mayat disatu tebing batu. Ciri-cirinya jelas seperti yang telah kau tuturkan padaku. Aku yakin itu mayat Suro Ragil dan si gemuk Zimbage...!"
Berkata Roro seraya menuangkan air ke dalam gelas tanah dari kendi berisi air putih. Lalu me-neguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?"
Sentak Sambu Ruci.
"Tak adakah berita mengenai Seruling Gading?"
Tanya Sambu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! akan tetapi kuharap kau tak terkejut mendengarnya!"
Menyahut Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi dengan dia...?"
Tanya Sambu Ruci dengan berusaha bicara biasa. Namun di-am-diam hatinya mulai menyentak lagi, yang segera di-tekannya agar tak membuat suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah berubah menjadi orang yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia... maksudmu dia berubah menjadi... GILA...?"
Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!"
Sahut Roro dengan suara tenang.
"Dia telah berhasil lolos rupanya dari sekapan Ki Sugema. Tapi dikejar oleh Suro Ragil dan si gemuk itu, entah siapa yang telah membunuh kedua orang itu. Dari berita yang kudapat tak ada yang mengeta-huinya. Akan tetapi mengenai Seruling Gading menjadi hilang ingatan itu banyak berita yang kudapat dari penduduk disekitar tempat itu..."
Tutur Roro. Terhenyak sesaat Sambu Ruci. Wajahnya me-nunduk. Tampak satu kesedihan yang luar biasa diro-na wajahnya.
"Tak adakah kau temukan dia...?"
Tanya Sambu Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang kudengar Seruling Gading menerjunkan diri ke dasar jurang! Aku telah mencoba mencari mayatnya didasar jurang pada lokasi yang dikira-kirakan penduduk. Tapi tak kujumpai mayatnya disana..."
Menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu tragis nasibmu..."
Mendesah suara Sambu Ruci. Kini titik air bening yang tersembul disudut mata laki-laki itu telah meluncur tu-run. Namun, Sambu Ruci segera seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah suratan takdir!"
Berkata Roro "Kita belum bisa pastikan Seruling Gading tewas.
Namun kukira.
Sambu Ruci seperti tak mendengar penjelasan Roro.
Dia menatap jauh ke bawah lembah.
Jauh...! dan bahkan lebih jauh lagi.
Dua ekor elang tampak melayang di ketinggian.
Bukit kecil itu seperti sunyi.
Dan memang terasa sunyi...
Seperti juga sunyinya hati Sambu Ruci.
Ketika dia berpaling ternyata Roro Centil telah lenyap tak terlihat bayangannya.
Semakin sunyilah hati Pendekar Muda ini.
Senja pun tampak mulai melingkupi daerah perbukitan itu....
TAMAT E-Book by Abu Keisel
https.//www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Pulau Neraka Lambang Kematian Menyingkap Rahasia Tabir Hitam Karya Danang HS