Empat Iblis Kali Progo 2
Roro Centil Empat Iblis Kali Progo Bagian 2
Melihat si Dewa Tengkorak yang masih berdiri tegak dengan posisi orang memukul dengan rentangkan sebelah tangannya, Roro jadi terpaku.
"Masih hidupkah si iblis tua bangka ini ?"
Desisnya pelahan.
Dan tubuhnya sudah bergerak melompat berdiri.
Pertama-tama yang diburunya adalah kearah Ki Bayu Sheta.
Akan tetapi ketika dia menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar Bayangan ternyata sudah tak bernyawa lagi.
Tercenung si gadis tanggung ini.
Air matanya sudah kembali menggenang.
Lalu bergerak melompat kearah mayat gurunya si Maling Sakti menatapnya sejenak dan duduk bersimpuh dengan linangan air mata.
Tiba-tiba kembali dia palingkan wajahnya menatap pada si Dewa Tengkorak.
Aneh!? Mengapa manusia iblis itu tak juga gerakkan tubuh? Apakah diapun sudah mati? Berkata dalam hati si gadis tanggung ini.
Dan dengan sebat Roro sudah melompat kehadapan mayat si Manusia Jerangkong itu.
Nyatalah setelah diperhatikan kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun sudah tak bernapas lagi.
Dan kematiannya memang sungguh aneh.
Sementara Roro sendiri tengah tercenung, karena dirasakannya tubuhnya menjadi amat ringan sekali ketika melompat-lompat.
Justru beberapa kali dia hampir terhuyung jatuh karena merasa kelebihan tenaga.
Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga dalamnya telah bertambah 10 kali lipat.
Disamping merasa heran, juga merasa sedih sekali melihat semua orang yang disayanginya telah tewas.
Kini Roro palingkan wajahnya menatap pada sebuah lubang besar dihadapannya.
Sesuatu tampak tersembul ditengah lubang yang hangus kehitaman itu.
"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak? Bertanya hatinya. Dan Roro sudah beranjak mendekati. Lalu melompat kedalam lubang. Benarlah apa yang diduganya. Tak ayal dia sudah gerakkan tubuh membungkuk, dan lengannya bergerak mencabut benda itu hingga tersembul seluruhnya batang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu. Kini dia kembali termangu-mangu.... Apakah yang akan dilakukannya lagi? Ternyata Roro berotak cerdas, segera dia berfikir kalau lubang besar itu pasti akibat hantaman lengan si Dewa Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu justru membuat kematiannya? Berfikir Roro. Dan lubang ini adalah dipergunakan untuk mengubur jenazahnya? Pikirnya lagi. Namun Roro tak dapat berlama-lama untuk berfikir, karena dia sudah bergerak melompat keluar dari dalam lubang. Dan selanjutnya Roro sudah bekerja cepat untuk mengangkat ketiga jenazah .... Satu-persatu dimasukkan kedalam lubang besar itu. Tak lama ketiga jenazah sudah terbaring mem-bujur didalam lubang. Gadis tanggung ini memandanginya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata. Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi rupanya Tuhan sudah mentakdirkan kalian wafat dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan jasad kalian terkubur dalam satu lubang..! Sesaat Roro sudah tundukkan wajah dengan sepasang mata sudah menjadi basah oleh genangan air mata. Namun cuma sesaat, karena Roro sudah hapuskan air matanya. Lalu mulailah bekerja cepat menguruk lubang kubur menutupi ketiga jenazah itu dengan tanah. Selang tak berapa lama pekerjaannya pun selesailah sudah. Kini segunduk tanah telah tersembul diatas Bukit Kera. Dan seorang dara tanggung duduk bersimpuh dihadapan gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-kemik seperti memanjatkan doa. Tak berapa lama dia sudah bangkit berdiri. Lengannya mencekal sebatang Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna hitam legam itu. Setelah berfikir sejenak, tombak itu segera ditancapkan ke atas gundukan tanah setelah dengan seolah menjadikan tombak itu sebagai batu nisan. Lalu gadis tanggung itu balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke langit dengan pejamkan mata, dan terdengar suara helaan napasnya. Tak lama dia segera menindakkan kaki melangkah meninggalkan gundukan tanah itu.... Akan tetapi baru sepuluh langkah dia sudah hentikan lagi tindakannya. Telinganya seperti mendengar satu suara aneh yang menyusup ke daun telinganya.
"Aiiih, bocah tolol...! Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh sayang kalau dijadikan batu nisan! Mengapa tak kau bawa saja sebagai kenang-kenangan..?"
Tentu saja Roro jadi melengak heran.
Suara siapakah gerangan yang menyusup ke telinganya? Pikir Roro.
Akan tetapi Roro memang tak perlu berfikir lebih jauh.
Hatinya sedang dilanda kesedihan.
Dia berpendapat suara itu adalah suara hatinya sendiri.
Oleh sebab itu segera dia balikkan tubuh, dan kembali beranjak mendekati gundukan tanah itu.
Dan sekali lengannya bergerak, Tombak Pusaka itu telah dicabutnya lagi.
INGIN kencang membersit dari arah selatan...
dan dari kejauhan sudah terdengar deburan-deburan ombak yang melanda karang.
Dua sosok tubuh itu berlompat-lompatan saling kejar dibarengi suara-suara bentakan dan tawa cekikikan.
Ternyata mereka adalah dua orang wanita.
Kalau yang seorang adalah seorang gadis tanggung yang tak lain adalah Roro adanya, tapi yang seorang lagi adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun.
Wanita ini memakai baju sutera warna merah.
Rambutnya memakai dua buah konde dikiri-kanan yang kedua kondenya dibeliti oleh pita berwarna merah.
Sikapnya amat genit luar biasa.
Sementara pada lengannya terdapat dua potong benda sepanjang satu depa.
Ternyata kedua benda itu tak lain dari tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang entah bagaimana telah menjadi dua bagian.
Sementara si gadis tanggung bernama Roro itu tengah mengejarnya dengan melompat-lompat disertai bentakan-bentakan keras.
"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau biarkan aku yang merawatnya..?"
Berkata si wanita genit itu.
Suaranya terdengar aneh bagi pendengaran Roro, karena terkadang kecil terkadang besar mirip laki-laki.
Si gadis tanggung ini plototkan matanya dengan wajah gusar.
Beberapa puluh kali lompatan sudah dilakukan untuk mengejar wanita yang telah merebut potongan tombak itu dari tangannya, akan tetapi wanita itu mempunyai gerakan aneh.
Hingga selalu dia tak berhasil merebut kembali benda itu.
Kiranya sewaktu Roro tinggalkan Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit oleh sesosok tubuh yang tak lain dari wanita aneh ini.
Ketika Roro ditengah perjalanan berhenti untuk melepas lelah dan duduk dibawah pohon, lengannya telah iseng mempermainkan tombak hitam itu.
Tak dinyana Roro berhasil menemukan kejanggalan pada bagian tengah tombak, yang ternyata besinya agak tebal dengan dua guratan melingkar.
Rasa penasarannya membuat dia memperhatikan, dan menyelidiki kedua guratan ditengah batang tombak.
Ternyata kemudian dia berhasil memutarkan sebagian batang tombak, yang ternyata bagian tengahnya itu merupakan sambungan.
Sayang disaat dia tengah mau menyelidiki lebih lanjut pada bagian tengah tombak yang berlubang, telah berkelebatlah sebuah bayangan merah menyambar kedua potongan tombak itu.
Tentu saja Roro jadi terkejut, karena tahu-tahu kedua potong benda ditangannya telah lenyap dan berpindah tangan.
Dengan gusar dia melompat dan mengejar si bayangan merah.
Semakin lama semakin menjauh, hingga dari mulai matahari separuhnya dari atas kepala hingga sampai menjelang senja mereka berkejaran.
Ternyata keduanya telah tiba disatu daerah pantai.
Itulah daerah Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-besar bukit bergulung-gulung menyeramkan.
Roro yang sedianya akan kembali ke lereng Rogojembangan, jadi terkecoh karena mengejar si wanita aneh ini.
Rasa penasarannya serta kemendongkolan hatinya untuk kembali merebut tombak itu membuat dia tak berhenti mengejar.
Bahkan selama berkejar-kejaran itu Roro telah lancarkan serangan-serangan hebat.
Tenaga dalamnya yang telah bertambah 10 kali lipat itu amat menguntungkan Roro.
Karena disamping tenaga hantaman lengannya menjadi berlipat ganda, dia juga dapat melakukan lompatan-lompatan mengejar si wanita genit itu.
Tekad Roro telah bulat untuk merebut kembali Tombak Pusaka itu.
Akan tetapi amat diherankan karena selalu saja serangannya lolos tanpa dapat mengenai sasarannya, ataupun menyentuh seujung rambutpun tubuh wanita aneh itu.
Demikianlah hingga mereka telah tiba diatas tebing karang di Pantai Selatan.
"Hihihi... bocah manis! Tenaga dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa Tengkorak telah mewariskan tenaga dalamnya padamu! kau sungguh beruntung, bocah! Tapi... benda ini kau biarkanlah untukku! Aku akan menyimpannya untuk kenang-kenangan..!"
Berkata si wanita aneh itu dengan senyum genit dan menimang-nimang benda itu bahkan menciuminya. Roro jadi semakin mendongkol. Tiba-tiba dia sudah lakukan bentakan keras seraya melompat menerjang.
"Kau boleh ambil benda itu setelah kau dapat jatuhkan aku!"
Bentaknya.
Dan....
WHUK! WHUK..! Dia sudah kirimkan serangan dahsyat.
Lagi-lagi terjadi keanehan, karena si wanita itu cuma melenggang-lenggokkan tubuhnya seperti orang menari.
Namun serangan beruntun Roro ternyata telah luput.
Semakin menggebu kepenasaran Roro, hingga dia telah keluarkan seluruh kepandaiannya menerjang si wanita aneh yang genit luar biasa itu.
Suara-suara teriakan dan cekikikan terdengar silih berganti...
Dan diatas bukit Pantai Selatan itu seperti ada dua bayangan saja yang terlihat berkelebatan.
Sementara di bawah tebing suara deburan ombak Pantai Selatan yang bergulung-gulung berhem-pasan menerjang batu karang.
Hingga suatu saat tiba-tiba Roro terpekik, karena dia telah kelebihan melompat tanpa mampu menahan tubuhnya lagi.
Dan terjerumuslah si gadis tanggung itu ke bawah tebing karang.
Lalu sekejap tubuhnya telah lenyap ditetan ombak ganas...
"Hihihi... bagus! akan kulihat apakah kau mampu menyelamatkan diri ?"
Berkata si wanita aneh.
Dan sekejap tubuhnya telah melesat dari situ, lalu lenyap dibalik batu tebing yang bertonjolan.
Tubuh Roro si bocah perempuan tanggung itu timbul tenggelam dihantam ombak yang bergulung-gulung.
Apakah Roro akan mudah saja menghadapi maut yang akan merenggut nyawanya? Tidak! Kekerasan hatinya telah mengalahkan segalanya.
Dengan patokan, sebelum ajal berpantang mati! Roro berusaha berenang, walau beberapa teguk air telah lewat masuk tenggorokannya.
Segera teringat sepintas disaat menggoda Ginanjar dengan menyelam ke dalam air, kemudian menarik kaki bocah laki-laki itu.
Dan Ginanjar berteriak-teriak ketakutan....
Roro telah disangka Hantu Air yang biasa mengganggu orang mandi dekat air terjun itu.
Ingatan itu membangkitkan semangat Roro untuk bisa hidup.
Segera diatahan napas, dan menyelam sedalam mungkin ke dalam air.
Sepasang matanya dibentangkan lebar-lebar.
Terasa perih, karena air laut memang asin berbeda dengan air sungai.
Namun tekad untuk hidup menggebu-gebu didada Roro.
Dipaksakannya untuk tetap dapat membuka matanya, hingga lambat laun rasa perih dimatanya itupun sudah tak terasakan lagi.
Dengan berenang cepat dibawah air itu memang Roro berhasil menghindari arus dari ombak ganas diatas permukaan.
Karang demi karang dibawah air terus dilewati.
Tiba-tiba tercekat hatinya melihat ada sebuah terowongan didasar air.
Bergegas dia berenang kesana dengan tenaga sekuat-kuatnya.
Dadanya sudah terasa sesak karena menahan napas, tapi dengan sekuat tenaga dia mencoba bertahan....
Bagai seekor ikan Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan kecil lainnya didasar laut itu, tubuh Roro sudah meluncur melewati terowongan.
Ombak santar yang terasa mengganggunya mendadak jadi hilang.
Kembali dia enjot tubuh untuk berenang sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah teramat lemah.
Dadanya terasa semakin sesak, seperti mau pecah.
Kekuatannya untuk menahan napas sudah mencapai klimax, dan dia memang sudah tak sanggup untuk bertahan lagi.
Terowongan itu sudah terlewati, akan tetapi Roro sudah kehabisan napas.
Untuk menyembul kepermukaan pun sudah tak sanggup.
Terpaksa dia biarkan tubuhnya mengapung sendiri, dan dua tiga teguk air lewat kembali masuk ketenggorokannya....
Pandangannya sudah menjadi gelap, kepalanya terasa berat.
Dan si gadis tanggung ini sudah pejamkan matanya karena tak mampu lagi untuk membuka matanya.
Maut seperti akan segera tiba diruang matanya.
Akan tetapi takdir agaknya belum menentukan sang dara tanggung itu harus mati didasar air, karena tampak tubuh yang sudah tak berdaya itu pelahan-lahan melambung keatas.
Dan selang sesaat antaranya sudah tersembul kepermukaan air.
Roro memang sudah hampir tak sadarkan diri, akan tetapi disaat kepalanya menyembul keatas permukaan air, masih terlintas setitik fikiran jernih dibenaknya.
Segera dia gerakkan kepala untuk menghirup udara.
Begitu temukan udara segar, semangat bocah perempuan ini timbul lagi.
Segera digapaikan kedua lengannya agar tubuhnya dapat terus mengapung, dan sedot udara sebanyak-banyaknya.
Akhirnya diapun membuka sepasang matanya.
Ternyata telah berada dalam sebuah ruang didasar tebing karang terjal.
Semangat hidupnya kembali muncul.
Segera dia berenang ke tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan kakinya sudah menyentuh pasir halus ditempat yang dangkal.
Terdengar keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan ketepi pasir dengan perasaan lega, dan Roro sudah pejamkan matanya untuk menarik napas dalam-dalam....
* * * * Entah berapa lama dia berbaring melepaskan kelelahan yang amat luar biasa, hingga sampai-sampai bocah perempuan itu tertidur lelap.
Ketika Roro membuka matanya terkejutlah dia, karena melihat sesosok tubuh yang tak lain dari si wanita genit itu telah berdiri tersenyum menyeringai dihadapannya.
Dengan gusar Roro sudah gerakkan tubuh untuk bangkit menyerang.....
Akan tetapi alangkah terkejutnya dia mengetahui tubuhnya tak dapat digerakkan, bahkan dia sudah dalam keadaan terlentang diatas sebuah pembaringan dari batu persegi dengan keadaan tubuh telanjang bulat.
"Hihihihi... hihi.. bocah hebat! bocah hebat..! Kau benar-benar membuat aku mengiri!"
Terdengar si wanita genit itu berkata. Sepasang matanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan senyum tersungging dibibirnya.
"Hehehe... aku memang sudah pastikan kau tak akan mampus..!"
Sambungnya lagi, seperti seorang peramal yang sudah menentukan nasib manusia.
"Mampus atau tidak bukanlah urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku begini? Lepaskan aku! Dan mari bertempur lagi! Apakah kau kira aku takut? Kau ternyata bisanya bermain curang, menawanku disaat aku tak sadarkan diri..!"
Teriak Roro dengan sepasang mata melotot tajam pada si wanita aneh itu.
Sementara hatinya berdebaran, entah akan diapakan tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya begitu..? "Hihihi...
dalam bertempur mengapa harus pakai segala macam aturan? Kau sudah dapat kukalahkan, dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja siapa mau larang? Hihihi...
hihi..!"
Kembali si wanita terpingkal-pingkal geli hingga tubuhnya sampai bergun-cangan.
"Pakaianmu basah, dan sedang kujemur biar kering. Dan kau terpaksa kutotok dulu agar tidak menyu-sahkanku..!"
Ujar si wanita aneh itu sambil beranjak meninggalkan Roro dengan melenggang-lenggok genit.
"Heeeiii!? Mau ke mana kau? Bebaskan aku...!"
Teriak Roro sekuat-kuatnya.
Akan tetapi wanita itui cuma melirik genit, lalu menyelinap masuk ke sebuah ruangan goa.
Roro mengeluh.
Ya Tuhan, mengapa nasibku begini jelek...? Tak berapa lama wanita aneh itu sudah kembali dengan membawa sesuatu diatas piring dari kerang laut.
"Apa itu..?"
Tanya Roro dengan mata membeliak. Dia sudah merasa yakin kalau si wanita yang telah menawannya itu pasti akan menyiksanya.
"Hihihi... ini makanan untukmu!"
Sahutnya, seraya mendekati Roro.
"Kau perlu mengganjal perut agar tidak mampus..!"
Sambungnya lagi.
"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi diberi makan olehmu? Biarkan saja aku mampus, apa perdulimu..?"
Teriak Roro dengan wajah cemberut kesal.
"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi! lepaskan aku..!"
Teriak Roro, seraya kerahkan tenaga untuk melompat bangun, dan gerakkan kepalanya menepis.
Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat digerakkan, cuma kepalanya saja yang bisa bergerak, akan tetapi itupun hampir tak bertenaga.
Namun makanan itu memang sudah masuk ke mulut Roro ketika si wanita itu dengan paksa telah menjejalkannya.
Mendelik sepasang mata Roro, dan...
Fruuuhh..! Roro sudah semburkan lagi makanan itu dari mulutnya.
Rasa anyir dan bau memuakkan itu membuat dia mau muntah.
"Hihihi.... baiklah, kalau kau tak mau makan akan tahu sendiri apa akibatnya!"
Berkata si wanita itu seraya lengannya bergerak ke bawah pembaringan batu! Dan sekejap lengannya telah mencekal sebuah bumbung bambu.
Dengan cengar-cengir sumbat bumbung bambupun dibuka, dan tuangkan isinya keperut Roro...
Terpekik si gadis tanggung ini, karena segera puluhan ekor binatang Kalajengking telah merayap diatas perutnya.
Berteriak-teriak dia dengan ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk meronta.
Akan tetapi tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali.
"Tidaaak! tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..! hiiii... auuuw..!"
Hampir gila rasanya Roro karena takutnya. Akan tetapi si wanita itu justru mengikik tertawa dengan terpingkal-pingkal.
"Baik, baik..! aku mau makan..! aku mau makan..!"
Akhirnya Roro berteriak dengan wajah pucat ketakutan, terasa geli dan takutnya bukan buatan terhadap binatang itu yang seperti menggelitik kulit perutnya.
"Bagus! Nah, begitu..! barulah kau seorang bocah yang baik!"
Ujar si wanita dengan tampilkan senyum kemenangan.
Dan segera diraupnya binatang itu untuk dimasukkan kedalam bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya dan letakkan kembali ke bawah pembaringan.
Demikianlah, akhirnya Roro mau disuapi makanan aneh itu, yang ternyata adalah lumut laut.
Siapakah sebenarnya si wanita yang bersuara aneh mirip laki-laki dan terkadang wanita itu? Ternyata tak lain dari seorang tokoh Rimba Hijau yang sudah lama mengurung diri digoa dasar tebing Pantai Selatan.
Dialah yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai Selatan, atau orang menjulukinya Si MANUSIA BANCI.
Karena memang sebena-rnyalah wanita genit itu bukanlah seorang wanita, melainkan seorang wadam alias Banci.
Tubuhnya memang amat mirip dengan wanita.
Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, karena kepandaiannya merias dirilah yang membuat dia mirip sekali dengan wanita.
Roro yang sudah merasa bosan berada dipembaringan batu dengan tubuh terlentang itu seperti tak digubris permintaannya untuk membebaskan toto-kan si manusia Banci itu.
Demikianlah, entah sudah berapa hari berapa malam, Roro tak dapat berkutik.
Entah berapa puluh kali makanan yang memuakkan itu masuk ke perutnya.
Namun lama kelamaan dia sudah biasa.
Roro memang sudah berupaya untuk melepaskan diri, akan tetapi si Manusia Banci itu selalu mengulangi menotoknya, hingga dia tak dapat berbuat apa-apa selain mengeluh memikirkan nasibnya.
Satu hal yang membuat Roro tak habis pikir adalah si manusia aneh itu sering menimang-nimang kedua potong benda yang telah direbut dari tangannya, yaitu potongan tombak Pusaka milik si Dewa Tengkorak.
Terkadang si Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi terkadang menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran.
Membuat Roro jadi kasihan.
Entah ada rahasia apa dibalik keanehannya itu.
Roro semakin menyadari kalau wanita dihadapannya itu bukan wanita, tapi juga bukan laki-laki.
Terbukti suatu ketika, tampak seorang gadis cantik sekali memasuki ruangan kamarnya.
Terperangah Roro, karena gadis cantik itu tak mengenakan pakaian sama sekali alias telanjang bulat...
Rambutnya terurai, dengan sepasang mata redup, bak bidadari bangun tidur layaknya.
Langkahnya lemah gemulai dengan perlihatkan senyumnya yang menawan hati.
"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku baik-baik! Apakah aku cantik..?"
Bertanya si gadis cantik itu. Barulah Roro sadar kalau gadis cantik itu tak lain dari si wanita aneh. Segera saja dia mengangguk dengan tersenyum.
"Kau amat cantik sekali, bibi..!"
Menyahut Roro seraya manggut-manggut.
"Apakah aku amat mirip dengan perempuan..?"
Tanyanya lagi.
Tentu saja pertanyaan itu membuat dia ternganga, karena jelas wanita itu seorang perempuan, mengapa bertanya demikian? Pikir Roro.
Namun dia tak berani memastikan apakah si bibi itu seorang perempuan, karena terkadang memang agak mirip dengan laki-laki.
Dan kesemuanya itu membuat dia jadi bingung, tapi segera menjawab.
"Hihihi... kau mirip sekali dengan perempuan, dan bukankah kau... kau memangnya bukannya seorang perempuan seperti aku..?"
Tanya Roro yang tak dapat menyembunyikan apa yang dilihatnya. Akan tetapi jawabannya adalah wanita ini menatapnya tajam-tajam dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya yang bercampur isak.
"Ah,... seandainya aku memang seorang perempuan, tidaklah aku menderita begini..!"
Dan dia sudah balikkan tubuh lalu lengannya menyambar jubah yang biasa dikenakannya. Tak lama dia sudah lepaskan dua buah benda dari tubuhnya, seraya beranjak menghampiri Roro.
"Kau lihatlah! Benda ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat sedemikian rupa, karena aku memang ingin sekali menjadi seorang wanita!"
Berkata si manusia banci. Barulah Roro tersadar kalau si wanita aneh itu memang bukan wanita dan bukan laki-laki. Karena segera tampak dadanya yang rata. Benda-benda itu telah membuatnya mirip dengan wanita yang seperti tak mengenakan busana.
"Oh..!?"
Tersentak Roro, dan kembali dia manggut-manggut dengan hati yang mulai mencair, karena segera timbul rasa kasihan pada si bibi itu.
"Benda-benda ini kelak akan kuhadiahkan padamu, Roro..!"
Berkata si manusia Banci, yang kembali sudah perlihatkan wajah cerah.
Beberapa bulan sudah Roro tinggal diruang goa di dasar tebing karang Pantai Selatan itu.
Dan selama itu Roro telah diperlakukan secara aneh.
Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam ramuan.
Dan setiap pagi tentu akan menerima makanan memuakkan dari lumut laut.
Keanehan-keanehan yang dilakukan terhadap Roro ternyata mempunyai maksud tertentu.
Bahkan berbagai macam ramuan telah disuguhkan Roro yang ternyata telah dicampur oleh makanan dari lumut laut itu.
Hingga tanpa disadari Roro telah memakan beberapa ramuan yang langka dan jarang terdapat didunia, yaitu ramuan awet muda.
Karena sebenarnya si Manusia Banci itu telah mencapai usia 60 tahun lebih, tapi kenyataannya bagaikan seorang yang masih berusia tiga puluh tahun.
Si Manusia Banci memang amat berharap pada Roro agar menjadi muridnya, dan mewarisi segenap ilmu kepandaiannya.
Itulah sebabnya Roro diperlakukan secara aneh, untuk segera dapat menerima ilmu-ilmunya.
Demikianlah....
Roro si bocah perempuan yang berusia sekitar lima belas tahun itu telah resmi menjadi murid si Manusia Banci atau si Manusia Aneh Pantai Selatan.
Tak seorangpun mengetahui adanya Roro di Pantai Selatan itu, yang tengah digembleng berbagai ilmu kedigjayaan oleh si Manusia Banci.
Bahkan Roro mempelajari juga jurus-jurus maut si Dewa Tengkorak yang bernama 10 Jurus Pukulan Kematian.
Ternyata didalam Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu ada tersimpan segulung kertas yang berisikan tulisan rahasia dari ilmu-ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus Pukulan Kematian itu.
Dan Roro telah mempelajarinya dari gurunya yang aneh itu.
Satu hal yang baru dimengerti Roro, adalah ternyata si Dewa Tengkorak adalah laki-laki pujaannya yang telah membuat sang guru tergila-gila padanya.
Namun si Dewa Tengkorak tak mengacuhkan "cinta"
Nya.
Ternyata walaupun si Dewa Tengkorak memang banyak mempunyai isteri, si Manusia Banci ini tetap menaruh cinta yang sedalam lautan.
Walaupun cintanya tak kesampaian.
Memang satu kejadian yang amat tragis dalam kisah manusia yang memburu cinta.
Akan tetapi takdir memang harus disadari oleh setiap manusia.
Karena Tuhan memang telah mengkodratkan diri manusia masing-masing dengan keadaannya....
* * * * Bagaimanakah dengan nasib Ginanjar sepeninggal Roro yang telah pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini telah mencari-carinya ke setiap tempat.
Namun tak membawa hasil.
Menjelang pagi segera teruskan pencariannya ke tempat-tempat dimana Roro biasa berlatih.
Akan tetapi tetap saja tak dijumpai si gadis tanggung yang bengal itu.
Akhirnya Ginanjar memutuskan untuk tetap berdiam menunggu datangnya si Maling Sakti guru Roro, atau paman gurunya itu.
Selama itu Ginanjar selalu berlatih memperdalam kepandaiannya yang telah diajarkan si Pendekar Bayangan.
Namun selama lebih dari satu bulan, tetap saja tak ada orang yang datang menyambangi pondoknya dilereng Rogojembangan itu.
Baik Roro maupun sang paman gurunya si Maling Sakti tak memunculkan diri.
Akhirnya Ginanjar bertekad turun gunung.
Tujuannya adalah mencari dimana adanya Roro saudara seperguruannya itu.
Sekalian mencari tahu tentang paman gurunya, yang menurut gurunya berada di wilayah Kota Raja.
Memikir demikian Ginanjar segera berkemas untuk membuntal pakaiannya.
Akan tetapi terkejut pemuda tanggung ini ketika menemukan secarik kertas bertulisan dibawah pakaiannya.
Ternyata adalah sebuah surat dari Ki Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya.
Surat itu mengatakan agar Ginanjar segera berangkat bersama Roro ke Kota Raja, bila sang paman guru alias si Maling Sakti tak juga datang dalam waktu satu bulan.
Disana Ginanjar disuruh mencari seorang sahabat sang guru yang berdiam di wilayah Kota Raja, bernama Ronggo Alit.
Untuk menjumpainya adalah tidak sulit, karena Ronggo Alit membuka sebuah warung yang berdagang obat-obatan.
Ronggo Alit adalah bekas anggota Partai Kaum Pengemis, yang sejak Partai itu dibubarkan dia membuka usaha demikian di wilayah Kota Raja.
Ginanjar dan Roro diharapkan dapat tinggal digedung kediaman sahabatnya itu untuk sementara waktu.
Termenung sejenak bocah laki-laki tanggung itu.
Lalu diteruskannya membaca surat.
Ternyata diakhir kalimat si Pendekar Bayangan ada menitipkan kata-kata untuk sang sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan Roro memanggilnya "Paman".
Dan pada kalimat yang paling akhir adalah Ginanjar telah diwariskan sebuah Pedang Pusaka.
Yaitu pedang pusaka milik sang guru.
Kemudian ditunjukkan dalam surat tempat penyimpanannya.
Kembali termenung Ginanjar, lalu segera dilipatnya surat itu dimasukkan kesaku bajunya sebelah dalam.
Tak lama dia sudah bangkit berdiri, dan segera menghampiri sebuah rak diatas tempat tidur gurunya.
Disanalah dia menemukan sebuah pedang yang gagangnya terbuat dari perak berkilauan.
Sarung pedangnya berukir seekor naga.
Tampak wajah Ginanjar menampilkan wajah girang.
Akan tetapi juga bersedih, karena sampai kini tak diketahui nasib gurunya, juga nasib Roro dan sang paman gurunya.
Namun segera pemuda tanggung ini cepat berkemas.
Beberapa keping uang ternyata telah diselipkan juga dekat sarung pedang.
Dia dapat mempergunakannya bila mana perlu.
Agaknya Ki Bayu Sheta telah mempersiapkan terlebih dulu sebelum keberangkatannya.
Ketika matahari sudah hampir berada diatas kepala, Ginanjar sudah tinggalkan pondok dilereng Gunung Rogojembangan itu.
Terasa sedih juga hatinya karena hampir sepuluh tahun sejak dia diambil si Pendekar Bayangan dari sebuah rumah yatim piatu, dia dididik ditempat ini oleh Ki Bayu Sheta.
Hingga dia merasa sang guru sebagai orang tuanya sendiri.
Dari sang guru diketahuinya bahwa orang tuanya telah meninggal.
Tak diketahui jelas siapa dan dimana meninggalkan ayah ibunya, karena Ginanjar memang tak pernah menanyakannya.
Tak lama bocah laki-laki tanggung itu telah berkelebat cepat menuruni lereng Rogojembangan.
Dengan bekal keyakinan untuk suatu ketika dia dapat menjumpai Roro saudara seperguruannya.
Angin pegunungan berhembus sejuk seperti mengantarkan kepergiannya yang tentu saja akan banyak menimba pengalaman kelak ditempatnya yang baru.
SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung oleh Baginda Raja Kerajaan Medang.
Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten itu menjadi aman.
Tiada lagi pemerasan-pemerasan yang dilakukan oleh para petugas pajak dan para petani dan pedagang.
Rakyat amat berterima kasih pada pihak Kerajaan yang telah menindak tegas abdi-abdi Kerajaan yang menyeleweng.
Bahkan mereka juga dapat bernapas lega, karena tidak didengarnya lagi bencana-bencana seperti perampokan, pemer-kosaan para gadis atau pemerasan-pemerasan lainnya.
Rakyat kembali bekerja dengan tekun menggarap sawah ladang pertaniannya.
Para saudagar tak lagi meng-khawatiri akan adanya perampasan harta bendanya, serta bermacam kesulitan yang sering dihadapi.
Dan pada beberapa bulan kemudian, segera diadakan pengangkatan Adipati baru pengganti Adipati Haryo Gawuk.
Tentu saja rakyat menyambut dengan gembira, karena mereka berharap Adipati pengganti ini benar-benar memperhatikan akan kesejahteraan rakyat wilayahnya.
Dalam upacara pengangkatan Adipati baru ini ternyata telah diadakan hiburan yang sengaja diadakan untuk menghibur rakyat.
Berita adanya hiburan diwilayah Kadipaten Banjar Mangu segera tersiar ke beberapa daerah.
Dan sudah tersiar beritanya bahwa yang akan menjabat sebagai Adipati di wilayah itu adalah seorang laki-laki yang masih berusia cukup muda, yaitu sekitar 30 tahun.
Bernama SURA NINGRAT.
Pesta berlangsung meriah saat itu, dan sukurlah tak terjadi suatu keributan, karena para lasykar keamanan Kadipaten menjaga dengan ketat.
Agaknya sejak ditangkapnya Adipati Haryo Gawuk, para begundal yang biasa mengganggu rakyat segera menyingkir jauh-jauh.
Demikianlah...
dengan resmi Adipati Sura Ningrat berhak menguasai beberapa wilayah, yang kemudian sejak dalam masa pemerintahannya, rakyat hidup sejahtera aman sentausa.
Bahkan telah ditingkatkannya taraf hidup kaum petani yang ternyata banyak membantu Kerajaan dalam urusan pangan.
* * * * Pemerintahan Sura Ningrat sebagai Adipati ternyata mengalami masa kejayaan sampai lebih dari lima belas tahun.
Sayang Adipati yang gagah dan bertanggung jawab serta disenangi rakyatnya itu tak berumur panjang.
Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia cukup muda.
Kesedihan melanda rakyat disekitar wilayahnya, yang mengalami masa berkabung sampai berlarut-larut.
Ternyata kemudian pengganti Adipati Sura Ningrat adalah seorang yang berbeda wataknya dengan Sura Ningrat.
Yaitu Adipati LAKSONO.
Peraturan-peraturan yang telah dibina Adipati Sura Ningrat telah banyak yang dirobah, dan ternyata cukup membe-ratkan rakyat dengan pajak yang cukup tinggi.
Akan tetapi karena sang Adipati ini masih ada hubungannya dengan Baginda Raja Kerajaan Medang rakyat tak dapat berbuat apa-apa.
Walaupun keadaan rakyat jadi cukup menderita namun tak urung sudah pula berjalan masa pemerintahan sang Adipati itu sampai lebih dari tujuh tahun.
Dan pada masa pemerintahan Adipati Laksono inilah kisah ini terjadi.
Kemunculan empat orang yang menamakan diri nya EMPAT IBLIS KALI PROGO telah menambah penderitaan rakyat disekitar wilayah Kadipaten Banjar Mangu.
Ternyata keempat manusia berkepandaian tinggi itu mendiami gedung Kadipaten yang menghadap kearah barat.
Sukar untuk ditolak kedatangan keempat orang itu yang telah menghadap pada sang Adipati sebagai tamu terhormat.
Karena disamping ilmunya yang tinggi, kedatangannya adalah atas utusan seorang pembesar Kerajaan, yang katanya untuk membantu menjaga keamanan diwilayah itu Karena disinyalir adanya desas-desus tentang pembangkangan rakyat atas tindakan sang Adipati Laksono.
Memang Adipati itu pernah mengirim utusan ke Kota Raja berkenaan dengan keadaan situasi di wilayahnya.
Ternyata ada segolongan penduduk yang diam-diam menaruh kebencian pada sang Adipati Yaitu berdasarkan sakit hati, karena seorang anak gadis dari penduduk telah dipaksanya menjadi istrinya.
Tentu saja dengan janji-janji yang muluk.
Akan tetapi baru belakangan diketahui kalau gadis itu cuma jadi permainannya saja.
Dan setelah bosan, segera dikembalikan pada orang tuanya dengan alasan yang tak masuk akal.
Karena si wanita itu dituduh mencuri perhiasan istri tuanya.
Dilain pihak ternyata mulai bermunculan para pemuda yang menentang secara sembunyi-sembunyi, karena ketidak adilan sang Adipati dalam menjalankan pemerintahannya.
Bahkan mulai terasa keadaan yang tidak aman.
Usia sang Adipati Laksono itu sudah mencapai hampir lima puluh tahun.
Seharusnya sudah diadakan penggantian sesuai undang-undang.
Kalau bukan keturunannya sendiri yang menggantikannya, tentu masih kerabatnya.
Atau kalau tak ada kerabatnya tentu orang lain atas pilihan dari rakyat yang dipandang berwibawa untuk menduduki jabatan tersebut.
Bercokolnya empat orang yang mempunyai gelaran menyeramkan itu ternyata menambah keresahan rakyat diwilayah itu.
Mulailah banyak terjadi kekerasan dan pertumpahan darah.
Dan kesemuanya itu bila terjadi, tak ada keputusan yang adil terhadap rakyat dari Adipati Laksono.
Setelah bermacam persoalan itu langsung saja terkubur ke laut....
* * * * Hari masih siang...
akan tetapi wilayah Kota Raja telah ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat.
Ternyata hari itu adalah hari bersuka ria, karena malam nanti akan diadakan pesta keramaian dengan meriah diberbagai tempat untuk menyambut hari ulang tahun Kerajaan Medang.
Seorang pemuda gagah berpakaian serba putih berjalan agak kaku memasuki tempat keramaian.
Di pinggangnya terserang sebuah pedang yang gagang sarungnya sengaja dibungkus oleh secarik kain agar tak begitu menyolok.
Sebentar-sebentar langkahnya terhenti untuk memandang atau memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Keba-nyakan yang diperhatikannya adalah seorang wanita atau gadis.
Siapakah gerangan pemuda gagah ini...? Ternyata tak lain dari Ginanjar adanya.
Murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini telah berdiam di Kota Raja selama hampir dua tahun dirumah sahabat gurunya Ronggo Alit.
Ternyata untuk menemukan rumah sang "paman"
Itu tak begitu sulit.
Agaknya Ginanjar cukup betah berdiam dirumah Ronggo Alit, yang ternyata telah menerima kedatangannya dengan ramah tamah.
Tenaga anak muda ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat membantu-bantu pekerjaannya, disamping menambah pengertiannya akan ilmu obat-obatan.
Agaknya Ronggo Alit telah mengetahui akan prihal perjanjian Ki Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si Dewa Tengkorak.
Akan tetapi tak menceritakannya pada Ginanjar.
Cuma terlihat Ronggo Alit menghela napas dengan menampilkan wajah sedih.
Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman gurunya yang bernama si Maling Sakti itupun dijawabnya dengan menggeleng kepala, walau dia telah mengetahui keadaan sebenarnya.
Ternyata Ronggo Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga harus mencampuri urusan si Pendekar Bayangan.
Namun tak mau melibatkan orang lain.
Dengan tidak munculnya kedua tokoh bekas Ketua Partai Kaum Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.
Demikianlah untuk menutupi kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja menyibukkan dengan urusannya.
Dan Ginanjar giat membantu usahanya selama ini.
Namun dalam setiap kesempatan selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar mencari dan menyelidiki kemana perginya saudara seperguruannya yang bernama Roro itu, sambil mencari bahan obat-obatan.
Akan tetapi sampai hampir dua tahun tetap saja tak ada beritanya.
Dalam usia Ronggo Alit yang semakin menua dan tiadalah orang tua itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar merasa berat untuk meninggalkannya.
Walau hatinya sudah menggebu untuk pergi mengembara mencari saudara seperguruannya.
Hari itu Ginanjar telah minta izin untuk melihat keramaian, serta menyelidiki siapa tahu bisa menemukan Roro.
Karena dengan adanya keramaian diberbagai tempat diwilayah Kota Raja itu, akan banyak pengunjung berdatangan.
Demikianlah, Ginanjar yang telah menjadi seorang pemuda remaja itu, pasang mata meneliti setiap wanita atau gadis yang berlalu lalang ditengah keramaian pasar.
"Ah, seandainya Roro masih hidup dan aku menjumpainya, tentu aku akan pangling. Pasti dia sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita..!"
Desis suara Ginanjar pelahan sambil termangu-mangu.
Namun sesaat dia sudah beranjak ke tengah pasar untuk menyelidiki lebih banyak, serta melihat persiapan keramaian malam nanti.
Menjelang agak senja suasana dikota itu semakin ramai.
Ginanjar yang merasa perutnya lapar, segera memasuki sebuah restoran yang paling ramai.
Sementara memesan makanan sepasang matanya selalu jelalatan memperhatikan setiap pengunjung wanita.
Namun tetap saja orang yang dicarinya tak kelihatan.
Selesai bersantap Ginanjar segera ayunkan langkah lagi...
Kali ini yang ditujunya adalah ke tempat yang agak sepi dibelakang pasar.
Karena ditempat sepi ini dia berpendapat dapat menemukan ilham untuk mencari ke arah mana disekitar wilayah Kota Raja itu.
Tiba-tiba diujung sebuah gang terdengar suara teriakan, namun sesaat kembali melenyap.
Seperti suara teriakan seorang wanita...? Berkata Ginanjar dalam hati.
Karena yang tengah dicarinya adalah seorang wanita, tentu saja dia sudah bergegas untuk melihat.
Lorong dibelakang pasar itu tampak sunyi.
Akan tetapi sepasang mata si pemuda ini telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak, yang ternyata adalah sepasang kaki.
Seperti sosok tubuh seseorang yang baru saja diseret masuk ke sebuah pintu rumah petak.
Ginanjar jadi curiga, dan segera berkelebat melompat dengan tak menimbulkan suara.
Dari sebuah jendela kecil dia telah melihat apa yang tengah terjadi sebenarnya.
Sepasang mata pemuda ini jadi melotot dengan wajah gusar, karena terlihat tiga orang laki-laki berwajah penuh cambang bauk tengah berusaha membukai pakaian seorang gadis yang telah dibekap mulutnya.
"Hai! lepaskan dia..!"
Ginanjar telah keluarkan bentakan keras seraya melompat ke depan pintu.
Tentu saja membuat ketiga laki-laki itu jadi terkejut, dan serentak sudah mencabut senjata dari balik pakaiannya.
Tanpa keluar suara dua orang telah menerjang keluar setelah yang seorang memberi isyarat.
Pemuda ini memang baru pertama kalinya mengalami pertarungan, sepasang matanya dipergunakan baik-baik.
Dan dengan gesit dia sudah berhasil mengegos serta tepiskan tangannya membuat kedua serangan itu luput.
Dan bahkan dengan cepat sekali sepasang lengannya kembali bergerak menghantam...
BUK! BUK...! Terdengar keduanya mengeluh dibarengi dengan robohnya tubuh si penyerang.
Melihat kedua kawannya jatuh nyusruk dengan cuma beberapa jurus, si laki-laki yang satunya ini melompat menerjang dengan belati panjangnya.
Namun Ginanjar memang telah mempersiapkan diri dari segala kemungkinan.
Tubuhnya melompat ke samping.
Sebelah kakinya bergerak menghantam perut orang itu.
BEKK! Terdengar suara laki-laki itu mengeluh, dan tubuhnya sudah terhuyung.
Sebelah lengannya memegangi perutnya yang jadi mulas dengan wajah menyeringai kesakitan.
"Keparrat..!"
Berdesis suara orang itu, seraya tiba-tiba putarkan tubuh untuk mengirim serangan beruntun menabas kaki dan menusuk ke arah tenggorokan.
Ginanjar gerakkan kakinya untuk melompat, sambil doyongkan tubuh ke belakang.
Loloskan serangan itu.
Tiba-tiba dia telah keluarkan bentakan keras, dan kirimkan pukulan jarak jauh.
BUK..! Laki-laki itu terhuyung ke belakang mau jatuh, dan saat itu sebelah kaki pemuda itu telah menghantam telak mengenai dadanya.
DHESS...! Tak ampun laki-laki brewok itu roboh terjungkal.
Sementara dua kawannya telah bangkit lagi.
Melihat si pemuda berdiri tegak dengan bertolak pinggang, nyalinya sudah luntur.
Serentak mereka segera melarikan diri.
Sedangkan si lelaki barusan sudah bangkit lagi dengan belati panjangnya, segera ngeloyor pergi dengan terhuyung-huyung menyusul kedua kawannya.
Ginanjar perlihatkan senyumnya, lalu balikkan tubuh untuk melihat wanita tadi.
Tampak seorang gadis yang berwajah cukup cantik tengah menatapnya disudut ruangan.
Wajahnya pucat, rambutnya kusut masai.
Sementara kedua lengannya disilangkan diatas dada menutupi payudaranya yang sedikit tersembul, karena pakaiannya telah robek sebagian.
"Ah, te... terima kasih atas pertolonganmu tuan..!"
Berkata si gadis dengan mengangguk, seraya perlihatkan senyumannya. Sekilas pandangan mata Ginanjar mampir juga ke arah bagian yang sedikit terbuka itu, tapi segera palingkan pandangannya ke lain arah.
"Sudahlah! Siapa namamu? dan dimanakah rumahmu..?"
Bertanya Ginanjar.
"Namaku... Kasmini! Rumahku... ng... cukup jauh dari belakang pasar ini!"
Menyahut si gadis.
Lalu ceritakan kejadiannya secara singkat pada Ginanjar hingga dia disekap ditempat kosong itu.
Karena khawatir kalau para bajingan itu mengganggi lagi, terpaksa Ginanjar mengan-tarkannya untuk kembali ke rumahnya.
Dalam perjalanan Kasmini segera ceritakan tentang keadaan hidupnya.
Terperangah pemuda itu mendengarnya, karena ternyata Kasmini seorang gadis piatu yang cuma hidup berdua dengan seorang kakeknya, yang sudah teramat tua dan sakit-sakitan.
Kasmini terpaksa mencari nafkah dengan membantu-bantu orang, seperti mencuci pakaian dan lain-lain.
Akan tetapi dia hanya menerima upah saja.
Boleh diumpamakan sebagai pembantu yang tidak tetap.
Kepergiannya adalah untuk membeli obat sepulang dari bekerja, karena penyakit sang kakek kambuh lagi.
Akan tetapi telah terjadi kejadian seperti yang dialaminya tadi, yang dilakukan oleh para begundal pasar yang sudah lama mengincarnya.
MENUNGGU kedatangan seorang cucu perempuannya bagi seorang kakek tua renta tanpa daksa dan penyakitan selama hampir satu hari, adalah sungguh membuat rasa bosan dan serba salah.
Dibagian belakang reruntuhan gedung tua yang sudah tak terawat lagi terdengar suara keluhan dan rintihan yang mengenaskan.
Seorang kakek tua renta duduk setengah terbaring diatas lantai, bertilam kain yang penuh tambalan.
Sungguh mengenaskan hati melihatnya, karena sang kakek itu bertubuh cacad.
Yaitu kedua belah kakinya buntung sebatas dengkul.
Laki-laki tua kurus kering itu perdengarkan keluhannya yang menghiba.
"Kasminiiii..! ah, kemanakah engkau cucuku."
Keluhnya dengan suara lirih hampir tak terdengar.
Rambut dikepalanya sudah tinggal beberapa lembar, wajahnya cekung pucat.
Karena disamping lapar, si kakek itu memang dalam keadaan sakit.
Selang tak berapa lama terdengar suara-suara diluar berbisik-bisik.
"Inilah tempat tinggalku..! Marilah masuk! Aku harus memberikan nasi ini dulu pada kakek, dan meminumkan obat!"
Terdengar suara wanita.
Laki-laki tua ini gerakkan pelupuk matanya, lalu membuka sepasang matanya yang cekung ke dalam.
Tak lama sudah tersembul dipintu sesosok tubuh, yang tak lain dari Kasmini adanya.
Dilengannya tercekal sebuah bungkusan berisi nasi dan lauk-pauknya.
Serta sebungkus obat.
"Kasmini... kau sudah pulang cucuku.. ? Siapakah tetamu diluar? Ah, mengapa tak kau suruh masuk..?"
Bertanya sang kakek dengan suara lemah.
Pendengaran tuanya ternyata masih cukup tajam, karena disamping suara Kasmini ada pula didengarnya suara seorang laki-laki.
Sementara Ginanjar yang berada diluar merasa tak enak hati bila tak menjenguk kakek sang gadis yang telah ditolongnya itu.
Bahkan ditengah perjalanan telah pula membelikan obat dan dua bungkus nasi.
Sesaat dia sudah beranjak kedalam ruangan yang sempit dan kotor penuh sarang laba-laba itu.
"Kakek..! Tuan inilah yang telah menolongku, dan membelikan obat serta dua bungkus nasi ini untuk kita!"
Berkata Kasmini dengan berbisik pada telinga kakeknya.
"Ah, selamat... da., tang ke pondok burukku, tuan muda..! Terima... kasih atas budi baikmu menolong cucuku..!"
Berkata si kakek dengan suara lirih, dan perlihatkan senyumannya.
Ternyat Kasmini telah berbisik-bisik menceritakan secara singkat kejadian yang menimpanya.
Ginanjar yang telah berjongkok dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa manggut-manggut seraya berkata.
"Ah, kakek..! Sudahlah, perto-longanku itu tak berarti apa-apa..! Segeralah kau bersantap, dan meminum obat agar lekas sembuh!"
Ginanjar berikan segenggam uang di lengan sang kakek, yang tak putus-putus ucapkan terima kasih. Selanjutnya sudah berdiri lagi seraya menjura pada si kakek, dan menatap pada Kasmini.
"Maaf, aku tak dapat berlama-lama lagi, karena ada hal lain yang harus aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak, kapan-kapan aku pasti akan singgah lagi kemari!"
Berkata Ginanjar.
Wajah si gadis tampak perlihatkan kemuraman, dan sepasang matanya sudah berkaca-kaca.
Akan tetapi dia segera mengangguk.
Setelah menjura lagi pada si kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh untuk beranjak keluar ruangan.
Baru saja sembulkan tubuh dipintu, telah terdengar bentakan keras diluar halaman.
"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau sudah jual lagak dihadapan ketiga kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?"
Ginanjar segera telah dikepung oleh empat orang yang bertampang seram.
"Hen!? siapakah kalian ini..?"
Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya. Keempat orang itu saling pandang sesama kawannya, lalu terdengar suara tertawanya gelak-gelak.
"Hahaha... hahaha... Rupanya kau seorang pemuda ingusan yang baru turun gunung! Semua orang sudah mengenal siapa kami!"
Berkata salah seorang.
"Baik, pasanglah telingamu lebar-lebar! Kami adalah si EMPAT IBLIS KALI PROGO! Kami bertugas menjaga keamanan di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja berhak menangkap atau membunuh mampus pengacau seperti kau!"
"Heh!"
Mendengus Ginanjar, dengan turunkan alisnya.
"Apakah kesalahanku, hingga kalian menyebutku pengacau? Justru kawanmu itulah yang telah mengacau! Mereka telah berusaha menyekap gadis ini untuk diperkosa! Mengapa justru aku yang dianggap pengacau ?"
Tanya Ginanjar dengan hati mendongkol. Keempat sosok tubuh dihadapannya itu pelototkan matanya dengan gusar.
"Justru kaulah yang mau memperkosanya, lalu dihalangi oleh ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau mau membela diri dengan menimpakan kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-kawan ringkus dia..!"
Bentak salah seorang dari keempat Iblis Kali Progo yang bertubuh kekar berkulit hitam legam.
Terperangahlah seketika Ginanjar, karena mengapa justru dia yang dianggap mau memperkosa si gadis yang telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya.
Saat itu tiga orang dari mereka telah mencabut senjatanya dipinggang, yaitu golok-golok yang melengkung lebar berkilat-kilat.
Kasmini tiba-tiba telah melompat kepintu seraya berteriak.
"Dusta! Kalian telah membalikkan kesalahan pada orang lain! Ketiga begundal pasar itu aku sudah mengenalnya, dan telah beberapa kali membujukku untuk menuruti napsu binatangnya! Kalau tak datang tuan muda ini tentu aku... aku..."
Kasmini tak dapat teruskan kata-katanya. Karena seketika dia sudah gemetaran dan menangis terisak-isak.
"Tutup mulutmu..!"
Tiba-tiba membentak si tubuh kekar berkulit hitam.
Dan dia sudah beri isyarat ketiga kawannya menerjang Ginanjar.
Tiga buah golok berkelebat menabasnya, si gadis Kasmini perde garkan jeritan ketakutan.
Akan tetapi dengan seba si pemuda itu sudah melompat menghindar dengan tubuh berjumpalitan diudara.
Dan sudah menjauh sekitar lima tombak.
Tentu saja keempat orang itu segera memburu dengan wajah bringas.
Sekejap saja mereka telah mengurung si pemuda itu lagi.
Kini keempat orang yang berjulukan si Empat Iblis Kali Progo itu sudah siap dengan senjata terhunus.
Mengetahui dirinya dalam bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut pedangnya dari pinggang.
"Bagus! Sebutkan siapa kau dan siapa gurumu bocah? Agar kami tak penasaran membunuhmu.."
Teriak salah seorang yang bernama Tambi. Yaitu laki-laki berkulit hitam tadi.
"Benar! Kami si Empat Iblis Kali Progo tentu akan dapat penghargaan dari pihak Kerajaan kalau berhasil membunuh seorang pengacau yang cukup punya nama!"
Teriak yang bertubuh pendek berhidung besar seperti bengkak, dengan tertawa menyeringai. Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang dua lagi bernama Reksa dan Bangik.
"Hm, tak perlu macam-macam! kalian majulah..!"
Bentak Ginanjar dengan gusar.
Dia rupanya sudah geregetan sekali untuk menabas kepala orang yang telah memfitnahnya itu.
Walaupun baru untuk kedua kalinya ini Ginanjar bertarung, tapi murid si Pendekar Bayangan ini memang tak mengenal takut.
Tentu saja kata-kata Ginanjar membuat mereka jadi gusar, dan segera menerjang dengan berbareng.
TRANG! TRANG! TRANG! Sebentar saja ditempat sunyi itu telah terjadi pertarungan seru.
Ginanjar pergunakan pedangnya untuk menangkis setiap serangan.
Bahkan balas menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi keempat orang itu memang berilmu tinggi, dan mereka maju berempat.
Dengan berkelebatan saling berganti mereka berlompatan menghindar, sedangkan yang lainnya sudah menerjang lagi disaat si pemuda mencecar kawannya.
Sekejap saja sudah terdengar suara bentakan-bentakan dan beradunya senjata tajam.
Sementara itu Kasmini cuma bisa memandangi dengan mata terbeliak bersimbah air mata.
Sang kakek ternyata telah beringsut ke pintu untuk melihat kejadian.
Terbelalak sepasang mata tua itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Kasmini segera memeluknya untuk segera mengajaknya kembali ke dalam.
Pada saat pertarungan itu terjadi, ternyata sesosok tubuh berindap-indap mendekati belakang reruntuhan gedung tua itu.
Ternyata tak lain dari salah seorang laki-laki yang tadi dihajar oleh Ginanjar, dan melarikan diri.
Wajahnya menyeringai tertawa melihat kedua orang ini tengah memperhatikan pertarungan dengan wajah pucat.
Sekejap dia sudah melompat ke pintu.
Lengannya bergerak menarik lengan gadis itu yang jadi menyentak terlepas dari pegangannya ke tubuh si kakek.
"Hehehe... Kasmini! ayo, kau ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu mampus!"
"Hah!? tidak! tidaak! lepaskan aku..! kau... kau bajingan keparat..!"
Berteriak-teriak Kasmini dengan terkejut.
Segera dia meronta-ronta untuk melepaskan cekalan laki-laki itu.
Akan tetapi satu hantaman pada belakang lehernya membuat gadis itu mengeluh, dan pingsan tak sadarkan diri.
Terkejut sang kakek, yang melihat keadaan cucunya.
Segera dia beringsut cepat seraya melompat untuk menangkap tubuh cucunya yang akan dipondong si laki-laki.
"Jangan..!? Jangan ganggu cucuku... lepaskan.. dia..!"
Teriaknya dengan suara terengah.
Akan tetapi satu hantaman telak telah mengenai dadanya.
BUK..! Terdengar si kakek mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke lantai.
Sekali bergerak si laki-laki brewok itu sudah memondong sang gadis, dengan perlihatkan wajah menyeringai.
Namun diluar dugaan lengan si kakek kembali menyambar.
Dan sebelah kakinya kena ditangkap.
Agaknya dalam keadaan yang sedemikian fatal itu dia sudah tak hiraukan dirinya lagi.
Sisa-sisa tenaganya dipergunakan untuk membela cucunya, walau dalam keadaan sakit dan tubuh tanpa daksa.
Hantaman lengan laki-laki barusan itu telah membuat tulang iganya berderak patah.
Akan tetapi semangatnya untuk mempertahankan cucu perempuannya bagaikan semangat seekor banteng luka.
Sayang...
semua yang dilakukannya itu tak berarti apa-apa.
Bahkan dengan sekali kaki si laki-laki brewok itu bergerak, terlemparlah tubuh si kakek bergulingan ke tengah ruangan.
Dan baru berhenti ketika membentur tembok.
Terdengar suara teriakan parau menyayat hati, yang kedengarannya amat lemah sekali.
Tampak tubuh tua renta itu menggeliat sejenak, lalu terdiam.
Ternyata nyawanya telah melayang dengan seketika.
Tulang-tulangnya yang telah rapuh itu tak kuat untuk beradu dengan tembok tebal.
Bahkan belakang batok kepalanya telah rengat mencucurkan darah.
Tewaslah sang kakek dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa diketahui lagi oleh sang cucu perempuannya yang telah tak sadarkan diri...
"Hehehe... kakek tua renta! Kau memang sudah sepantasnya mampus..!"
Mendesis si laki-laki itu dengan wajah geram menatap tubuh si kakek yang sudah tak berkutik lagi.
Tak ayal segera dibalikkan tubuh, untuk bekelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara pertarungan terus berlangsung hingga belasan jurus.
Ginanjar telah mendengar suara teriakan Kasmini, akan tetapi untuk melepaskan diri dari rangsakan keempat manusia itu teramat sulit.
Salah-salah nyawa bisa melayang.
Karena terjangan-terjangan golok mereka benar-benar sebat dan sulit untuk dihindari.
Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang.
Dan dengan pedangnya dia dapat menangkis setiap serangan.
Ternyata Ginanjar memang kalah dalam pengalaman bertarung.
Jurus-jurus gerak tipu keempat lawannya terkadang membingung-kan.
Hingga kini dia lebih banyak bertahan dari pada menyerang.
"Hahaha... biarkan saja gadismu itu tak usah kau urusi! Kalau kau mampus toh banyak orang lain yang mengurusi..!"
Mengejek Tambi si laki-laki kekar berkulit hitam.
Ginanjar tak perdulikan ocehan orang.
Segera dia mulai mencari jalan memecahkan serangan mereka.
Untunglah otaknya cerdas.
Segera teringat dia akan beberapa jurus yang cukup ampuh yang pernah dipelajari.
Tiba-tiba dia telah merobah sikap tempurnya.
Kini gerakkan pedang memutar dahsyat hingga keluarkan angin pusaran yang menderu.
Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.
Terkejut juga si Empat Iblis Kali Progo, segera mereka mundur beberapa langkah dengan pasang kuda-kuda.
Lalu salah seorang memberi isyarat untuk segera bergerak memutar, dan berlompatan dengar gerakan menyilang.
Sementara setiap gerakan melompat selalu diiringi dengan tebasan, ke arah kaki.
Mau tak mau Ginanjar sambil putarkan pedangnya berlompatan menghindari serangan-serangan yang datang bergantian itu.
Tampak keringat anak muda itu telah mengucur deras.
Baru pertama kali bertarung sudah menemukan lawan yang tangguh, bahkan dikeroyok empat orang.
Membuat pemuda Lereng Rogojembangan ini jadi benar-benar memeras keringat.
Tiba-tiba dia sudah perdengarkan bentakan-bentakannya.
Kini sebelah lengannya dipergunakan menghantam ke arah setiap tubuh yang berkelebat menabaskan senjata ke arah kakinya.
Hal tersebut rupanya telah dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali Progo.
Segera gerakan mereka berubah arah.
Kini menyerang secara bergantian ke arah kepala, dengan lompatan-lompatan tingginya.
Bersyiuran angin dari setiap tebasan golok lawan mengarah kepalanya.
Ginanjar jadi kertak gigi menahan amarah.
Kini sepasang pedangnya bergerak lebih cepat menghantam dan menghalau setiap serangan.
Hasilnya memang cukup memuaskan.
Karena segera tampak keempat orang lawannya terdesak mundur.
Gerakan-gerakan pedangnya adalah yang dinamakan jurus Naga Mengamuk Menerjang Taufan.
Tentu saja dengan menggunakan jurus ini Ginanjar telah mengeluarkan banyak tenaga.
Namun segera terdengar teriakan tertahan dari salah seorang lawan.
BRET...! Tebasan pedangnya yang bergulung-gulung itu berhasil merobek pundak salah seorang lawan berikut tersobeknya daging lengannya.
Darah menyemburat, dan laki-laki bernama Begu Lowo itu meringis memegangi lukanya dan melompat mundur dua tombak.
Tiga orang kawannya menggerung keras.
Dan menerjang dengan tebasan-tebasan gencar dengan arah yang tidak bersamaan.
Ada yang mengarah leher, ada yang mengarah pinggang dan mengarah ke kaki.
Serangan serentak itu dibarengi dengan hantaman-hantaman sebelah lengannya yang bertenaga dalam kuat.
Tersentak Ginanjar.
Kali ini dia harus tak boleh salah perhitungan.
Tubuhnya segera melompat melambung setinggi dua tombak.
Pedangnya dipergunakan menangkis setiap serangan, sambil elakkan tubuh mengegos.
Tapi kali ini satu tabasan tak berhasil dihindari.
Ketika tubuhnya meluncur turun, satu hantaman lengan membuat tubuhnya doyong ke belakang.
Dan saat itu dipergunakan Tambi untuk menabaskan goloknya.
BRET!...
Nyaris pinggang Ginanjar putus tertabes, pada saat itu tak meluncur sebutir batu kerikil menghantam golok Tambi hingga terpental...
TANGNG...! Terkesiap laki-laki bernama Tambi itu, karena lengannya bergetar kesemutan.
Dan dia tak dapat menahan genggaman goloknya lagi, yang segera terlepas terpental.
Dengan terperanjat dia sudah melompat mundur.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar ke depan dengan perdengarkan teriakan parau menyayat hati, lalu roboh meregang nyawa dengan menggeliat-geliat.
Sesaat kemudian dia sudah tewas.
MELOMPATLAH seorang dari Empat Iblis Kali Progo untuk memburu kearah kawannya yang satu ini.
Setelah memeriksa betapa terperanjatnya ketika melihat pada leher sang kawan, te-dapat dua buah lubang sebesar jari tangan yang mengucurkan darah.
Siapakah yang telah menyerangnya? Sentak hatinya.
Tiba-tiba berkelebatlah sebuah bayangan hijau ke tengah kalangan dibarengi dengan suara tertawa mengikik merdu.
Dan sesosok tubuh telah berdiri di situ.
"Hihihi...hihi... tak tahu malu mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu kesalahannya! Rupanya aku amat beruntung sekali dapat berkenalan dengan anda yang bernama besar! Ternyata kalianlah yang menamakan diri Empat Iblis Kali Progo...!"
Bukan saja tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu saja yang terbelalak, akan tetapi sepasang mata Ginanjar pun terbelalak dengan tubuh terpaku melihat munculnya seorang gadis yang bertubuh semampai, berpinggang langsing, dengan rambut beriapan.
Siapakah wanita ini adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati.
Dia tak dapat menatap wajah orang, karena sosok tubuh itu membe-lakanginya.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu sudah balikkan tubuh menatapnya.
"Hihihi... kau menyingkirlah, anak muda! Biar aku yang mengirim nyawa mereka ini ke akhirat!"
Terperangah Ginanjar, karena hampir saja dia menyebut nama Roro.
Akan tetapi wajah wanita itu tampak kaku dan pucat.
Sepasang matanya sipit dengan hidung agak besar.
Namun mempunyai perawakan yang hampir mirip dengan saudara seperguruannya itu.
Bahkan suaranya bernada mirip sekali.
Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan segera melompat ke tepi.
Sementara hati Ginanjar berkecamuk sendiri, ketiga orang dari Empat Iblis Kali Progo itu telah perdengarkan bentakannya.
"Heh! Kiranya kau yang telah membokong saudaraku..?"
Bentak salah seorang.
"Membokong..? Hihihi... hihi.. dalam bertarung tak ada urusan dengan segala macam aturan! Apa lagi menghadapi manusia keji semacam kalian yang sudah aku dengar keja-atannya! Berapa orang gadis didesa wilayah Kadipaten Banjar Mangu yang telah kalian perkosa? Dan berapa orang dari rakyat yang tak bersalah telah kalian aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri telah mengeroyok seorang pemuda yang belum tentu bersalah!"
Berkata wanita itu dengan suara lantang.
"Kurang ajar! mulutmu harus dihajar dengan ini !"
Teriak Reksa yang sudah menerjang diikuti kedua orang kawannya.
Berkelebatan tiga buah golok yang berkilatan menabas dan merencah tubuhnya.
Akan tetapi dengan gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari serangan mereka sekejapan telah lolos.
Terkejut bukan main mereka, karena tampaknya si wanita ini bukannya menggelakkan diri, akan tetapi terhuyung-huyung bagai orang mabuk.
Namun nyatanya serangan mereka telah terelakkan dengan mudah.
Segeralah mereka merobah gerakan dengan gerakan memutari tubuh si wanita itu.
Sementara senjata-senjata mereka membuat gerakan menebas dan menusuk secara bergantian, disertai bentakan-bentakan keras yang mengacaukan konsentrasi lawan.
Akan tetapi tampaknya hal itu tak membawa hasil, karena justru si wanita pergunakan jurus yang aneh.
Sepasang lengannya bergerak mengibas keberapa arah.
Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo ini.
Karena segera merasai segelombang angin panas telah menerjangnya.
Tampak serangan mereka mulai kacau.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik si wanita.
Tahu-tahu tubuhnya telah lenyap, karena terbungkus oleh asap kabut yang menghalangi pandangan mereka.
Ginanjar yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi berseru kagum, karena tubuh si wanita bagaikan bayangan telah berada diluar kepungan tanpa setahu ketiga lawannya.
Dan saat berikutnya, sudah terdengar suara jeritan-jeritan menyayat hati.
Karena lengan si wanita telah bergerak cepat sekali dibarengi kelebatan tubuhnya.
Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh ke tanah dengan berkelojotan meregang nyawa.
Tak berapa lama tiga manusia itu sudah lepaskan nyawa masing-masing, dan berkaparan ditanah dengan bersimbah darah.
Sesaat ketika asap kabut mulai menipis kembali tubuh wanita itu telah lenyap entah kemana...
Terkejut Ginanjar dengan mata terbelalak lebar.
Seperti melihat hantu saja layaknya.
Kejadian itu berlalu begitu cepat, sampai-sampai pandangan matanya tak dapat mengikuti kelebatan tubuh si wanita.
Dan tahu-tahu sudah lenyap.
Sejenak membuat Ginanjar jadi terpaku.
Akan tetapi tubuhnya sudah berkelebat melompat menghampiri ketiga mayat.
Ketika memeriksanya, ternyata pada masing-masing leher mereka terdapat dua buah lubang sebesar jari-jari tangan.
Tersentak dia seketika.
Hatinya berseru kagum, akan tetapi juga ngeri.
Karena dengan tangan kosong saja si wanita itu telah berhasil merobohkan ketiga lawannya.
Menandakan betapa tingginya ilmu si wanita itu.
Bahkan tadi dia telah berhasil diselamatkan nyawanya oleh si wanita misterius itu yang mempergunakan sambitan dengan batu kerikil.
Entah dimana suaranya, tahu-tahu telah terdengar lapat-lapat suara tertawa mengikik si wanita itu dibarengi kata-kata...
"Hihihi... hihi... anak muda! Segeralah kau bawa pulang gadismu itu! Dia berada diujung jalan yang menuju kehutan...!"
Tentu saja kata-kata itu membuat terkejut Ginanjar, karena jelas ditujukan kepadanya.
Aneh nya suara itu seperti menyusup masuk ketelinganya.
Sesaat Ginanjar sudah melompat dari situ, akan tetapi tiba-tiba dia kembali putarkan tubuh ketika teringat akan si kakek tua renta.
Dan kembali berkelebat ke arah reruntuhan gedung tua...
Sekejap dia sudah berdiri dimuka pintu.
Terbelalaklah matanya melihat sosok tubuh sang kakek yang sudah terkapar bersimbah darah tanpa berkutik lagi.
"Hah!? kakek..!"
Dia sudah melompat menghampiri.
Tercenung seketika Ginanjar menatap mayat kakek tua renta tanpa daksa yang telah tewas dengan keadaan mengerikan itu.
Tak terasa sepasang matanya sudah berkaca-kaca...
Akan tetapi tak lama pemuda itu sudah berkelebat tinggalkan reruntuhan gedung tua itu.
* * * * "Kasmini...!"
Berteriak Ginanjar dengan suara parau, ketika melihat sesosok tubuh tergeletak disisi jalan dengan keadaan tubuh hampir telanjat bulat.
Kerena pakaiannya sudah robek-robek disana-sini.
Tak jauh dari tubuh gadis itu terkapar sesosok tubuh laki-laki brewok yang tak bernyawa lagi.
Ternyata tak lain dari laki-laki yang pernah dihajarnya tadi dibelakang pasar.
Dipandanginya mayat laki-laki itu.
Segera Ginanjar teringat kejadian tadi.
Sekilas memang dia melihat suara teriakan sang gadis, lalu melihat sang dara ini dalam pondongan laki-laki.
Akan tetapi saat itu dia tengah menghadapi terjangan-terjangan si Empat Iblis Kali Progo yang mengancam jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk berbuat apa-apa selain bertarung mempertahankan nyawanya....
Keadaan tubuh laki-laki brewok itu amat mengerikan, karena tulang dadanya remuk dan patah-patah mencuat keluar.
Sedangkan selangkangannya bersimbah darah.
Terperangah seketika Ginanjar.
Akan tetapi Ginanjar sudah alihkan tatapannya pada gadis itu lagi.
"Kasmini..!"
Teriaknya lirih, seraya guncang-guncangkan tubuh sang gadis.
Kasmini tampak membuka sepasang matanya.
Ketika melihat siapa yang telah berada dihadapannya, segera saja gadis itu berteriak girang seraya memeluk pemuda itu dengan erat sambil menangis terisak-isak.
"Sudahlah adik..! bahaya telah lewat! kau telah selamat...!"
Berkata Ginanjar dengan wajah memerah, dan jantungnya terasa bergetar karena keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan sedemikian rupa. Bahkan sepasang payudaranya yang terbuka memutih padat itu menekan erat ke dadanya.
"Kau... kau benahilah pakaianmu, Kasmini...!"
Ujar Ginanjar lirih, seraya mendorong tubuh si gadis.
"Ahh...?"
Tersentak sang gadis itu ketika menyadari keadaan tubuhnya.
Segera dia beringsut untuk merapihkan sobekan bajunya yang menyingkap dadanya.
Sementara sepasang matanya telah menatap ke arah sesosok mayat laki-laki brewok yang dikenalnya.
Segera Kasmini teringat akan kejadian yang menimpanya.
"Oh, kaukah yang telah menolongku, tuan muda..? Dan... bagaimana dengan nasib kakekku..?"
Bertanya Kasmini seraya palingkan wajah menatap Ginanjar. Pemuda ini cuma tundukkan wajah sambil menggeleng.
"Bukan aku yang telah menolongmu..! Sayang, kakekmu yang malang itu sudah tewas..!"
Ujarnya dengan suara lirih.
"Ah., kakek...!"
Sentak sang gadis dengan sepasang mata terbelalak. Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan air mata bercucuran.
"Kalau bukan kau yang menolongku, lalu siapa kah...?"
Tanya si gadis tiba-tiba, yang segera menengadahkan wajahnya menatap pada Ginanjar.
"Seorang wanita yang berilmu amat tinggi...! Entah siapa aku tak mengetahui...!"
Sahut Ginanjar dengan suara lirih, seraya bangkit berdiri dan tatapkan matanya jauh ke arah depan.
Tercenung sang gadis tanpa dapat berkata apa-apa.
Desir angin yang lewat ditempat itu menyibakkan rambutnya.
Dan Ginanjar masih berdiri memandang jauh kearah sana, sementara hatinya dilanda dengan berbagai macam pertanyaan.
Kemanakah gerangan wanita itu ? Siapa-kah dia..? Suaranya amat mirip dengan Roro, akan tetapi dia bukan Roro! Karena aku masih ingat betul pada raut wajahnya...! Bertanya-tanya hati si pemuda ini dengan tatapan mata seperti tak berkedip.
Entah apa yang ditatapnya.
Tapi yang jelas wajah cantik saudara seperguruannya itu yang berkelebatan diruang matanya....
* * * * Tahu-tahu sesosok tubuh telah berkelebat ke hadapannya.
Terkesiap pemuda itu, karena sosok tubuh wanita yang menolongnya telah berada ditempat itu.
Hihihi...
mengapa melamun anak muda..? Gadismu itu amat cantik! Mengapa tak kau bawa pulang..? Hari sudah semakin senja! Pulanglah! Ajaklah dia ke tempat tinggalmu.
Dan berilah perlindungan padanya..!"
Ujarnya, seraya berpaling menatap Kasmini.
"Jenazah kakekmu itu kulihat sudah ada yang mengurusnya! Kau nona manis tak perlu mengkhawatirkannya lagi, dia sudah tenang di Alam Baka...!"
Ujar si wanita itu dengan suara terdengar merdu.
Cepat-cepat Kasmini bangkit berdiri lalu menjura seraya ucapkan terima kasih atas pertolongannya.
Melihat mayat laki-laki brewok itu dan keadaan dirinya yang masih utuh serta penjelasan Ginanjar, segera tahulah dia kalau wanita inilah yang telah menye-lamatkannya dari bencana.
Ginanjar pun segera menjura hormat.
"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar..! Bolehkan aku mengetahui siapa nama nona Pendekar...?"
Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati. Sementara tatapan matanya tak lepas memperhatikan wajah wanita itu.
"Hihihi... namaku..."
Wanita itu tak meneruskan kata-katanya, karena lengannya sudah bergerak mengupas kulit mukanya. Ternyata dia memakai kulit muka palsu dari bahan karet yang lunak dan tipis. Segera terpampang seraut wajah yang cantik jelita...
"Roro..!"
Teriak Ginanjar tiba-tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah membeliak menatapnya.
"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa bilang aku Roro..? Kalau ditambahi Centil barulah betul! Namaku memang Roro Centil..!"
Berkata gadis cantik itu dengan tertawa mengikik merdu.
Dan sebelum Ginanjar sempat berkata apa-apa, tubuh sang dara cantik itu sudah berkelebat cepat.
Sekejap saja sudah lenyap dari hadapan mereka.
Ginanjar baru tersadar dari terperangahnya, dan segera berkelebat mengejar.
"Rorooooo...! Rorooooooo...!"
Berteriak-teriak Ginanjar.
Akan tetapi tubuh sang gadis cantik itu sudah tak kelihatan lagi.
Pemuda ini kembali berdiri terpaku menatap ke depan, lalu tundukkan wajahnya.
Setitik air bening membersit turun dari sudut matanya.
Entah apa yang dirasakannya kini, gembira ataukah bersedih...? Dia telah berhasil menjumpai Roro.
Akan tetapi Roro yang telah muncul dihadapannya sudah bukan Roro yang dulu lagi, melainkan Roro Centil yang ilmunya susah diukur tingginya...
Angin senja berhembus pelahan, menyibak rambut didahi pemuda lereng Rogojembangan itu.
Ketika sepasang lengan halus menggamit tangannya dan mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru tersadar.
Sepasang kakinya pun beranjak melangkah...
Ditinggalkannya tempat yang telah membawa kenangan itu dengan hati masygul, akan tetapi bibir sang pemuda telah sunggingkan senyuman.
Senyum yang amat trenyuh, karena telah mengingat lagi akan kisah-kisah indah yang lucu di air terjun, di lereng Rogojembangan.
Sayup-sayup seperti ada terdengar suara menyusup ke telinganya.
"Ginanjar..! kalau ada kesempatan, datanglah ke Pantai Selatan tahun depan! Aku berada disana..! Oh, ya... jagalah gadismu baik-baik...!"
T A M A T Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Fujidenkikagawa
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Disponsori oleh. Warung Mbok Tukijem
Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Putri Bong Mini Hilangnya Seorang Pendekar Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua