Tombak Pusaka Ratu Shima 1
Roro Centil Geger Tombak Pusaka Ratu Shima Bagian 1
S A T U KI RANGGA WULUNG duduk di kursi goyang sambil memilin-milin jenggotnya yang cuma sejumput, hampir memutih.
Matanya menatap keluar jendela.
Tapi bukan keadaan diluar rumah itu yang terlihat didepan matanya.
Melainkan dia memandang jauh....! jauh sekali kemasa dimana dia masih menjabat sebagai seorang Tumenggung Kerajaan Mataram.
Agak lama dia termenung demikian, hingga didengarnya suara langkah mendekat dibelakang menghampiri.
Dia tahu yang datang adalah anak gadis.
Karena, dirumah itu tak ada siapa-siapa lagi.
"Ayah...! sampai kapan kita akan begini terus? Apakah tak ada jalan lain selain kau bermenung setiap hari?"
Berkata, gadis itu dengan berdiri dibelakang punggung sang ayah.
Gadis yang berwajah cukup cantik ini berna-ma Jayeng Sari.
Lengannya meraba bahu ayahnya, seraya bergerak memijit-mijit pundak laki-laki tua ini.
Sementara Ki Rangga Wulung masih belum lepaskan pandangannya keluar jendela.
Tapi kali ini yang ditatapnya adalah keadaan diluar rumah.
Tak lama Ki Rangga Wulung terdengar menghela nafas.
Lalu bangkit berdiri dari kursinya.
"Sabarlah, anakku...! dalam berdiam diri begini bukannya aku tak berpikir apa-apa. Akan tetapi aku tengah merencanakan sesuatu....! Yah, dengan diberhentikannya aku dari jabatan semakin terasa pahitnya hidup!"
Ujarnya seraya berpaling menatap pada sang gadis.
"Lalu...? apakah rencana yang telah kau pikirkan itu, ayah....?"
"Aku sudah cukup usia, anakku. Jadi wajar kalau aku diberhentikan dari jabatanku. Aku tak memikirkan apa-apa lagi dengan diriku. Akan tetapi yang kupikirkan kini adalah kau....!"
Menyahut Ki Rangga Wulung.
"Aku....?"
Tukas Jayeng Sari dengan agak terkejut.
"Ya! kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah teramat dewasa! Kau perlu segera menikah....! agar ada yang me-rawatmu!"
Ujar Ki Rangga Wulung dengan suara tegas. Akan tetapi Jayeng Sari menyahut dengan cepat.
"Aku belum mau menikah, ayah...!"
"Mengapa....?"
Tanya Ki Rangga Wulung.
Alisnya bergerak naik, menampakkan kerut-kerut didahinya.
Terheran orang tua ini.
Tapi yang ditanya cuma berdiam diri, menatap keluar jendela.
Wajahnya tampak kaku.
Seperti eng-gan memberikan jawaban pada ayahnya.
Akhirnya kem-bali Ki Rangga Wulung yang membuka mulut untuk bica-ra.
"Aneh, kau ini....!"
Ujarnya.
"Laki-laki bernama SATRYO yang menggantikan kedudukanku sebagai Tumenggung itu cukup simpatik. Dia memang pernah punya istri. Tapi telah lama menduda. Ketika dia kemari menyambangiku sebelum menerima jabatan Tumenggung dari Baginda Raja, kunilai dia seorang yang balk. Simpatik, dan berwibawa. Bukankah dia ada bercakap-cakap dengan kau?"
"Hm, jadi ayah akan menjodohkan aku dengan dia....?"
Potong Jayeng Sari.
"Maaf ayah, aku tak dapat meneri-manya. Seperti kukatakan tadi aku belum mau menikah dengan siapa saja....!"
Ujar Jayeng Sari "Bahkan.... aku.... aku amat membencinya!"
Sambungnya lagi.
"Jayeng Sari....? waraskah otakmu?"
Terkejut Ki Rangga Wulung mendengar kata-kata anak gadisnya itu.
"Otakku masih waras, ayah! Aku tak sudi bersuamikan laki-laki seperti itu. Apa cuma dia laki-laki didunia ini...? Aku dapat menentukan siapa jodohku dan calon suamiku kelak! akan tetapi bukan dia!"
Sambut Jayeng Sari dengan celotehnya yang tegas.
"Baik! baik, kalau itu yang kau maui, akan tetapi apa yang membuat kau membencinya?"
Berkata Ki Rangga Wulung. Akan tetapi Jayeng Sari tak menjawab. Tapi kemudian.
"Ayah, hal itu adalah urusan pribadiku. Membenci saja kukira tidaklah berdosa kalau tidak mendendam. Kuha-rap ayah tak mempertanyakan hal itu.!"
Selesai berucap, Jayeng Sari kembali masuk keruang dalam.
Memasuki kamarnya dan mengunci pintu Dan luar kamar, Ki Rang-ga Wulung mendengar suara isak tersendat anak gadis-nya.
Dia berdiri dipintu kamar.
Keningnya berkerut.
Lengannya bergerak mengeluk pintu.
Seraya panggilnya.
"Sari...! Jayeng Sari...! Bukalah pintu, anakku...! Suara isak itu mendadak lenyap. Namun setelah di-tunggu sekian lama pintu tetap tak dibuka. Ki Rangga Wulung tahu kalau anak gadisnya tak mau membukanya Dia masih marah, dan dia tahu kalau hati Jayeng Sari telah tersinggung dengan niat baiknya itu. Setelah mere-nung sejenak Ki Rangga Wulung segera beranjak mening-galkan pintu kamar Jayeng Sari Terdengar lagi suara he-laan napasnya. Malam itu keadaan diluar gedung Ki Rangga Wulung nampak sunyi senyap. Akan tetapi ruangan depan gedung masih tampak terang dengan lampu gantung berukir yang terdapat diruangan itu. Suasana sepi di Gedung itu se-makin terasa oleh Ki Rangga Wulung yang duduk me-nyandar dikursinya. Alam pikirannya kembali menera-wang kemasa yang silam. Masa jayanya, dimana dia ma-sih berusia tiga puluh tahun. Akan tetapi masa itu adalah masa yang penuh dengan bermacam peristiwa kehidupan dan kemelut rumah tangga. Dia bukanlah seorang suami yang baik. Diakuinya dia sering menyeleweng pada wanita-wanita penjaja cinta. Itu dikarenakan sang istri tak pernah mempunyai keturunan. Pertengkaran sering terjadi dalam rumah gedung itu. Dan bila hal itu terjadi, dia harus segera menyingkir pergi untuk melampiaskan perasaan kesalnya pada wanita-wanita penghibur. Atau minum arak sampai mabuk. Walau de-mikian dia tetap menjalankan tugas dengan baik sebagai seorang Tumenggung Kerajaan Mataram. Hingga akhirnya meletus pula "perang kecil"
Dalam rumah tangganya Sang istri memutuskan untuk berpisah.
Rangga Wulung tak dapat menahan lagi keinginan is-trinya untuk itu.
Dan perpisahanpun terjadi.
Akhirnya dia menikah lagi.
Dan dikaruniai seorang anak perempuan.
Dialah Jayeng Sari.
Namun sang istri telah meninggal-kannya terlebih dulu sebelum Jayeng Sari dewasa.
Dan dia hidup menduda hingga sampai saat diberhentikannya dia dari jabatan tumenggung Kerajaan Mataram.
Dalam masa-masa sepi demikian, laki-laki tua Ini ter-nyata telah membayangkan kehadiran istrinya yang per-tama.
Betapa dia memang masih amat mencintai Nyi Se-kar.
Dan ada hasrat dia untuk mencarinya.
Rupanya hal itu agak mengganggu pikiran Ki Rangga Wulung.
Hingga dia segera kecilkan lampu depan.
Berjingkat-jingkat Ki Rangga Wulung mendekati kamar anak gadisnya.
Dari lubang kunci dia mengintip kedalam.
Jayeng Sari ternyata telah tidur.
Niatnya untuk keluar rumah jadi gagal, karena kain selimut sang anak gadis telah menyingkap hing-ga menampakkan bagian tubuh gadis itu dalam kereman-gan cahaya lampu kamar.
Tampak wajah laki-laki tua ini berubah tegang.
Sekian lama dia hidup berdua dengan anak gadisnya tak disadari kalau Jayeng Sari telah dewasa dan semakin cantik.
Entah mengapa dia tak mau menikah cepat-cepat? pikirnya.
Padahal dia amat penuju dengan Satryo si Tumenggung Muda yang menggantikan kedudukannya itu.
Wajah sang ayah ini menampakkan kegelisahannya.
Entah berapa kali dia mondar-mandir didepan pintu ka-mar anak gadisnya.
Sebentar-sebentar berhenti didepan pintu untuk kem-bali mengintip dari celah lubang kunci.
Akhirnya dengan tangan gemetar dia membuka pintu kamar dengan perla-han.
Ternyata pintu tak terkunci.
Rupanya Jayeng Sari lupa menguncinya Rasa lelah dan banyak memikir mem-buat gadis itu tertidur agak cepat.
Lengan tua itu mulai terulur untuk meraba.
Dan me-nyingkapkan apa yang sudah tersingkap itu semakin le-bar.
Gadis itu menggeliat.
Dan dia terkejut dengan mata membelalak.
Sang ayah telah berada dipembaringannya dengan mata membinar dan napas memburu.
"Ayah...!? ada apakah...? mengapa kau masuk keka-marku....?"
Sentak Jayeng Sari. Seraya beringsut mundur kesudut pembaringan. Lengannya bergerak menyambar kain selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Sari...! Sari, aku.... aku..."
"Ayah! kelakuanmu tak pantas! Sa...sadarlah ayah.....!"
Membentak Jayeng Sari. Dari sikap ayahnya tahulah dia apa yang telah terjadi. Dan apa yang akan dilakukan ayahnya. Akan tetapi cepat sekali tubuh Ki Rangga Wu-lung melompat menerkamnya.
"Tidak! tidak...! jangan ayah! kau, kau...telah gila! Lepaskan aku!"
"Sari....! aku tahu kau kesepian! aku tahu kau mendambakan laki-laki! Kalau kau tak mau menikah, menga-pa kau menolak....? berilah aku kesempatan. Sekali ini saja....! ya! cuma sekali...."
Berkata Ki Rangga Wulung dengan suara tergetar.
"Ayah! apakah kau tak takut kutukan Tuhan? sadar-lah! aku anakmu! Darah dagingmu...!"
Berkata Jayeng Sa-ri menyadarkan ayahnya. Akan tetapi...
"Sari! kalau kau tak menuruti kemaua-nku, lihatlah! lebih baik kau kubunuh! Ya! kau akan ku-bunuh...!"
Ancam Ki Rangga Wulung yang sudah kerasukan setan. Jari-jari lengannya bergerak ke leher Jayeng Sari untuk mencekik.
"Ayah...!? Oh, ja...jangan ayah...! ampun! ampunkan aku ayah! hk...hk...hk..jangan ayah! ja jangan..."
Pucat pias wajah Jayeng Sari.
Akhirnya dia cuma menyerah.
Dia tak berdaya lagi.
Sekujur tubuhnya lemah lunglai.
Dan dia tak mampu berbuat apa apa ketika dengan tersenyum menyeringai sang ayah mulai melolosi pakaiannya.
Lalu melepaskan pula pakaiannya sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba Jayeng Sari yang telah katupkan sepasang matanya dengan simbahan air mata itu, mem-buka lagi matanya.
"Ayah! kalau kau mau lakukan, lakukanlah...! Akan tetapi ketahuilah, perbuatanmu adalah terkutuk! Dan aku tak mau menanggung dosanya...! ucap gadis ini dengan tandas. Dia telah berusaha menahan segala perasaannya, menghadapi kenekatan sang ayah yang telah kerasukan setan itu.
"Ba...baik! baik! aku yang akan menanggung dosanya!"
Menyahut laki-laki tua.
Dan...
selesai berkata, dia telah menindih tubuh anak gadisnya.
Dan....terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi! Manusia yang beriman lemah apapun bisa saja dilakukan, kalau setan telah mera-suki hati dan jiwanya.
Malam semakin kelam! Desah angin diluar gedung ba-gaikan ribuan iblis yang tertawa.
Hitamnya malam ternya-ta lebih hitam lagi ruangan kamar tempat terjadinya perbuatan terkutuk itu.
D U A SESOSOK TUBUH tegak berdiri didepan pintu kamar yang tak tertutup itu.
Dilengannya tercekal sebuah TOMBAK.
Dan sebuah buntalan besar berada pula dice-kalan tangan kirinya.
Buntalan besar itu diletakkan didepan pintu.
Dan so-sok tubuh itu berkelebat lenyap...
Perbuatan terkutuk itupun berlanjut terus tanpa ada hambatan.
Suara desah napas yang membaur dengan rin-tihan kecil seperti sirna ditelan lengangnya malam.
Ma-nakala Ki Rangga Wulung perdengarkan lenguhannya.
Dan hempaskan tubuhnya kesisi pembaringan dengan napas tersengal.
Selang sesaat, Ki Rangga Wulung bang-kit untuk duduk.
Lengannya mencengkeram rambutnya yang awut-awutan.
Sementara si gadis bernama Jayeng Sari menelungkup, menekap kepalanya dengan bantal.
Tenggelam dengan sedu sedan yang hampir tak terdengar.
Tiba-tiba sepasang mata Ki Rangga Wulung membela-lak lebar.
Karena terpandang buntalan besar didepan pin-tu kamar.
Dengan heran, disambarnya kain selimut un-tuk penutup tubuh dan dia beranjak menghampiri.
"Siapa yang meletakkan disini...?"
Berkata dia dalam hati.
"Aneh...?"
Desisnya pelahan.
Rasa penasaran membuat dia ulurkan kepala untuk melihat keluar kamar, tapi tak ada bayangan sosok tubuhpun.
Pintu depan masih tertutup rapat.
Akhirnya diseretnya buntalan itu ke dekat pembaringan.
Dan, dia segera buka ikatannya untuk me-lihat apa isi buntalan itu.
Seketika membelalak sepasang mata laki-laki tua itu.
Karena yang berada dalam buntalan tak lain dari berma-cam senjata dan beberapa kotak perhiasan.
"Ah, apakah tak salah mataku? Ini...ini benda-benda Pusaka Kerajaan!"
Mendadak tubuh Ki Tumenggung bergetaran.
Sementara lengannya membinar, ketika membuka isi kotak berukir itu benar seperti dugaannya adalah berisi perhiasan dari berbagai macam, dari emas.
Juga terdapat ke-pingan-kepingan uang emas.
Tiba-tiba meledaklah tertawanya, gelak-gelak.
Dan dia sudah membangunkan anak gadisnya.
Mengguncang-guncang punggungnya.
"Hahahaha... hahaha... Sari! Sari! lihatlah, kita...kita kaya raya! Lihat perhiasan-perhiasan ini! Kita akan kaya! Hahaha... hahaha..."
Diguncang-guncangkan demikian, dan suara kata-kata aneh yang didengarnya, membuat Jayeng Sari terhenti dari sedu sedannya.
Dan.....sepasang mata Jayeng Sari jadi membelalak ke-tika melihat sang ayah tengah memperlihatkan uang emas dan bermacam perhiasan dihadapannya.
"Kau lihatlah, Sari...! kita akan kaya....! Kita telah keja-tuhan rejeki yang jatuh dari langit!"
Ujar sang ayah. Se-makin membelalak lebar mata Jayeng Sari ketika ayahnya mengangkat buntalan besar, dari bawah pembaringan. Meletakkannya diatas tempat tidur, lalu menghamburkan isinya.
"Hah!? dari mana kau dapatkan benda-benda dalam buntalan ini?"
Berkata Jayeng Sari dengan wajah pucat.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya! Segera kemasilah pa-kaianmu! Lalu siapkan kuda. Kita pergi dari sini!"
Berkata Ki Rangga Wulung.
"Ayah! apakah ini bukan benda-benda pusaka Kera-jaan Mataram yang kudengar lenyap dicuri oleh bekas Senapati bernama Wira Rati itu....?"
Akan tetapi sebelum Ki Rangga menjawab sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar. Dan satu suara menyahuti, dibelakang Ki Rangga Wulung.
"Benar! ini memang harta benda milik Kerajaan Mataram. Dan, akulah pencurinya....!"
Tentu membuat Ki Rangga Wulung terkejut, dan cepat balikkan tubuhnya.
Tapi...
JROSS! Terhenyak laki-laki bekas Tumenggung ini.
Sepasang matanya membeliak.
Karena tahu-tahu seba-tang Tombak telah terhunjam menembus lambungnya.
Hal kejadian itu demikian cepat.
Hingga Jayeng Sari cu-ma bisa terperangarah dengan mata membeliak dan mu-lut terperangah.
"Kakk...k...kau...Wi....ra....pp...Patt..i...ii...?"
Terdengar suara Ki Rangga Wulung terputus-putus.
"Hahaha....benar! Nah, berangkatlah kau ke Akhirat, Rangga Wulung! Kukira kau bisa diajak kerja sama. Anak gadismu ku kepingini, kau tolak. Tak tahunya kau "makan"
Sendiri! Dasar tua bangka rakus!"
Berkata laki-laki itu seraya menyentakkan tombaknya.
Dan terdengar jeritan parau Ki Rangga Wulung.
Tubuhnya terlempar mem-bentur tembok.
Lalu menggabruk dilantai.
Darah me-muncrat.
Memercik diruangan kamar itu.
Diiringi pekik histeris Jayeng Sari, laki-laki bekas Tumenggung itu menggeliat.
Lalu terkulai dengan melepaskan nyawanya.
Darah menggelogok dari luka lebar yang menoreh isi pe-rutnya.
Bercampur isi perut yang berhamburan.
"Ayaah...!? ayah....!"
Memekik Jayeng Sari dengan wajah pucat. Akan tetapi dia cuma berdiri mematung me-mandang pada ayahnya dan laki-laki itu berganti-ganti.
"Kau....kau...mengapa membunuh dia? mengapa...?"
Teriak wanita muda ini dengan mata membelalak. Sementa-ra lengannya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hahaha...! dia sudah pantas masuk kubur! Dan, kau....? hm, rupanya dari pada menerima lamaranku se-tahun yang lalu rupanya lebih senang disunting ayahmu sendiri yang sudah tidak waras ini! Hahaha...dunia me-mang sudah edan!"
Tertawa Wira Pati dengan menghamburkan kata-kata tajam.
"Wira Pati apakah kau anggap dirimu juga bukan ma-nusia bejat? Kau sama saja dengan ayahku! Dan aku amat yakin kalau perbuatan ayah adalah akibat terpenga-ruh oleh kelakuan burukmu. Karena ayah bersahabat denganmu!"
"Hm, jangan membawa-bawa aku! perbuatan ayahmu tak ada sangkut-pautnya dengan diriku!"
Berkata dingin Wira Pati.
Tiba-tiba pancaran matanya membinar menja-lari liku-liku tubuh Jayeng Sari.
Wira Pati beranjak menghampiri.
Jayeng Sari beringsut mundur.
Wajahnya tampak berubah pias.
Dari tatapan mata laki-laki berusia hampir setengah abad itu, dia telah tahu akan apa yang bakal dilakukan manusia ini.
"Hm, setelah kau ternoda begini apakah kau masih ju-ga menolak keinginanku?"
Berkata Wira Pati dengan wajah sinis, dan tertawa menyeringai. Kakinya terus me-langkah mendekati Jayeng Sari yang telah merapatkan tubuh di sudut dinding, tak berkutik.
"Pilih antara dua! apakah kau mau cepat-cepat me-nyusul ayahmu ke alam Baka ataukah mau melayaniku secara baik-baik...?"
Ancam Wira Pati. Ujung tombaknya yang masih berlumuran darah itu terangkat untuk di-arahkan ke dada wanita muda itu. Tergetar tubuh Jayeng Sari. Sepasang matanya membeliak menatap ujung mata tombak.
"Aku...aku akan melayanimu, Raden.... tapi, tidak ditempat ini. Aku....aku ngeri melihat jenazah ayah...."
Menyahut Jayeng Sari dengan napas tersengal.
"Hmm...."
Wira Pati palingkan wajahnya untuk menatap pada mayat Ki Rangga Wulung. Lalu palingkan lagi pada Jayeng Sari.
"Baik! kau kemasilah benda-benda ini! malam ini juga kau harus turut denganku. Hahaha... setelah selesai urusan kita tentunya! berkata dia.
"Nah! cepat kerjakan!"
Bentaknya dengan halus. Lalu menggeser tubuh untuk memberi jalan pada Jayeng Sari.
"Ba..ba..baik Raden!"
Menyahut Jayeng Sari.
Lalu segera turuti perintah Wira Pati.
Sementara hati wanita ini tak menentu.
Sedih, gusar menjadi satu menindih dadanya.
Selesai wanita muda itu membungkus lagi benda-benda itu dalam buntalan, Wira Pati perintahkan Jayeng Sari keluar ruangan, Dan....Bruk! pintu kamar itu segera ditutup rapat Wira Pati.
"Ke arah sana!"
Berkata Wira Pati dengan menunjuk dengan tombaknya! Jayeng Sari mengangguk. Lalu dengan tubuh terhuyung melangkahkan kakinya menuju ruangan dalam. Dia tahu ke arah tempat itu adalah ke arah kamar ayahnya.
"Ayo! buka pintu kamar itu. Kita bermalam sejenak! Menjelang pagi dinihari sebentar lagi kita harus sudah tinggalkan desa ini!"
"Ya... baik, Raden..!"
Menyahut Jayeng Sari.
Lalu membuka pintu kamar.
Dan melangkah masuk.
Diikuti Wira Pati...
Keadaan diluar gedung masih sunyi seperti tadi.
Se-mua kejadian tak seorangpun dari penduduk itu yang mengetahui.
Dan, pada malam yang penuh peristiwa itu, Jayeng Sa-ri lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit.
Menuruti kemauan iblis Wira Pati untuk memberikan kehangatan tubuhnya pada laki-laki buronan Kerajaan Mataram itu......
WIRA PATI sang buronan Kerajaan Mataram itu terka-par kelelahan.
Dengkurnya terdengar memenuhi ruangan.
Laki-laki yang telah melampiaskan keperkasaannya itu tampaknya amat kelelahan setelah banyak perjalanan dia lakukan demi meloloskan diri dari kejaran orang-orang Kerajaan.
Kini dia terlena pulas dengan tidur mendengkur.
Sebe-lah lengannya menempel diatas perut wanita disebelah-nya.
Tidurkah wanita anak Ki Rangga Wulung itu ? Tidak! Jayeng Sari masih belalakkan matanya.
Mata yang telah berkaca-kaca karena nasib telah menyeretnya hingga bermacam kejadian, menimpanya.
Wajahnya yang cantik itu kini telah dilumuri dengan simbahan air mata dipi-pinya.
Seakan tertegun dia menatap langit-langit kamar, menerangi diri yang bernasib buruk.
Sesaat seperti tersadar dia, ketika mendengar suara dengkur Wira Pati.
Dan tercekatlah hatinya untuk bisa meloloskan diri dari cengkeraman laki-laki buronan Kerajaan itu.
Pelahan dia bangkit.
Setelah mengangkat dengan hati-hati tangan Wira Pati yang memeluknya.
Laki-laki itu ternyata benar-benar pulas.
Jayeng Sari menggeser tubuh-nya untuk turun dari pembaringan.
Dia berhasil.
Wira Pa-ti tetap tak bergerak dari posisi tidurnya.
Degup-degup jantung wanita itu semakin cepat.
Se-mentara dia tak berayal untuk segera merapihkan pa-kaiannya.
Lalu setelah meneliti keadaan Wira Pati, den-gan pelahan dan berjingkat-jingkat segera beranjak men-dekati pintu kamar.
Membukanya dengan pelahan sekali.
Dan dia menarik napas lega, setelah berada diluar kamar.
Ditutupnya lagi pintu kamar itu.
Keringat dingin tam-pak membasah disekujur tubuh.
Setelah mengatur napas, dan detak jantungnya agak mereda.
Barulah Jayeng Sari bergegas keluar dari dalam gedung itu.
Dia harus cepat kalau tak ingin jadi korban ketelenga-san laki-laki yang telah mengancam akan membunuhnya itu, bila dia melarikan diri.
Namun segalanya memang menggembirakan.
Tak ada bahaya apa-apa.
Suasana da-lam gedung itu masih tetap seperti tadi.
Dan suara dengkur laki-laki buronan Kerajaan Itu masih terdengar sa-mar-samar.
Jayeng Sari membuka pintu belakang gedungnya.
Dan dari ruangan dapur itu, dia berkelebat lari menembus ke-pekatan malam.
Sesaat tubuhnya sudah lenyap ditelan gelapnya malam yang sial itu...
Suara burung hantu ter-dengar seperti mengantarkan kepergiannya meninggalkan tempat itu.....
TIGA Esok harinya...
Seorang laki-laki berbaju putih dari kain kasar.
Berce-lana pangsi warna abu-abu tampak berjalan bergegas menghampiri kerumunan orang.
Dipinggangnya tersoren sebilah pedang.
Dialah Ginanjar adanya.
Sementara dibe-lakang pemuda itu terlihat beberapa ekor kuda melintasi pula jalan itu.
Ternyata rombongan orang-orang Kadipaten.
Seorang laki-laki tua yang berada dibagian depan adalah Adipati Kiduling Kuto.
Lima penunggang kuda di-belakangnya adalah para pengawalnya.
Ginanjar segera menyingkir untuk memberi Jalan, Ke-tika rombongan itu tiba ditempat kejadian, kerumunan orang itupun segera.
menyibak bubar.
Semua mata tertu-ju pada para penunggang kuda.
Mengetahui kalau yang datang adalah Adipati Kiduling Kuto, mereka menghatur-kan sembah.
"Selamat datang kanjeng Adipati..."
"Selamat datang Gusti Adipati..!"
Beberapa orang membuka suara. Adipati Kiduling Kuto hentikan kudanya. Matanya me-nyapu pandangan semua orang yang menunduk dihada-pannya. Lalu menatap pada sosok tubuh yang terbujur ditanah itu. Sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat.
"Apakah kalian mengetahui siapakah mayat perem-puan itu?"
Tanya sang Adipati.
"Ampun Gusti, hamba mengenalnya. Dia puteri Ki Rangga Wulung!"
Menyahut salah seorang dihadapannya.
"Aneh? mengapa bisa berada ditempat ini? Apakah kalian mengetahui siapa yang telah membunuhnya?"
Tanya lagi Adipati Kiduling Kuto dengan sapukan pandangannya pada beberapa orang.
Sementara Ginanjar telah berada pula dikerumunan orang itu.
Matanya menatap pada perempuan yang terbu-jur kaku itu.
Sebuah belati tampak jelas terhunjam didadanya.
Salah seorang dari kerumunan orang itu tiba-tiba menyeruak keluar, menghampiri ke hadapan Adipati Kiduling Kuto.
Seraya menyembah, laki-laki itu berkata.
"Ampun, Gusti.! Nama hamba Wiryo Jembluk. Hamba tadi malam bertugas meronda. Jelas sekali hamba melihat sebelum menjelang shubuh, sesosok tubuh berlari-lari ke arah tengah desa. Merasa curiga kami yang meronda ber-tiga segera mengejarnya. Ternyata perempuan itu adalah Nyi Jayeng Sari. Puteri Ki Rangga Wulung. Lalu hamba menanyai..."
"Aku tanyakan siapakah yang telah membunuhnya! apakah kau mengetahui?"
Membentak Adipati Kiduling Kuto.
"Aku tak menanyakan macam-macam!"
Sambungnya. Dibentak demikian si laki-laki bernama Wiryo Jembluk ini jadi gelagapan.
"Ya...! Yya.. Gusti. hamba...hamba.."
Belum lagi habis kata-katanya tiba-tiba laki-laki itu menjerit keras dan roboh terjungkal.
Ternyata dadanya telah tertembus sebuah belati kecil.
Sesaat setelah berkelojotan, Wiryo Jembluk terkapar tak berkutik, karena nyawanya telah melayang.
Pucatlah wajah semua orang.
Juga wajah Adipati Kiduling Kuto.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat diantara kerumu-nan orang.
Ginanjar tersentak kaget.
Dia lihat jelas laki-laki itu yang telah menyambitkan pisau belati itu ke arah Wiryo Jembluk.
"Dia pembunuhnya...! he! jangan lari!!"
Membentak pemuda ini.
Tubuhnya berkelebat.
Dan dengan gerakan salto diudara setinggi lima tombak, tubuh Ginanjar melewati kepala-kepala orang.
Dilain kejap dia sudah berada dihadapan laki-laki yang mau melarikan diri itu.
SET! SET! Dua pisau belati meluncur ke arah leher dan dada Gi-nanjar yang dilontarkan laki-laki Itu.
Namun Ginanjar berhasil mengelakkan diri dengan gerakan lincah.
Dan...BUK! lengannya telah menghantam dada orang.
Pukulan itu tak terlalu keras, akan tetapi membuat laki-laki pembunuh itu terdorong mundur hingga jatuh ter-jengkang.
Ginanjar tak berlaku ayal untuk cepat melompat.
Len-gannya sudah bergerak untuk mengirimkan totokannya.
Dia berpendapat harus meringkus laki-laki itu tanpa ha-rus membunuhnya.
Akan tetapi tiba-tiba sebatang anak panah telah men-dahuluinya menembus dada laki-laki itu, yang jadi meng-geliat sejenak.
Setelah mengerang, lalu terguling tak berkutik.
Tewas seketika.
"Bagus! kau amat cekatan anak muda! manusia pem-bunuh ini memang pantas mampus!"
Terdengar suara berkata. Ternyata Adipati Kiduling Kuto telah berada dihadapannya bersama seorang pengawalnya yang memba-wa busur dan anak panah. Ginanjar cepat-cepat mengha-turkan hormat. Diam-diam hatinya membathin.
"Hebat! tak dinyana Adipati ini punya gerakan hebat. Juga pen-gawalnya..."
Ginanjar memang telah melihat jelas kedua orang Kadipaten itu melompat dari punggung kuda masing-masing.
Si pengawal bersenjata panah itu telah men-cabut sebatang anak panah dan melemparkannya untuk membunuh laki-laki itu tanpa menggunakan busur lagi.
"Terima kasih atas pujian anda Adipati...! akan tetapi sayang, mengapa dia dibunuh?"
Berkata Ginanjar.
"Apakah maksud anda, sobat? Dan, siapa anda! meli-hat dari caramu bicara kau pasti orang Rimba Hijau. Si-lahkan perkenalkan nama dan julukanmu!"
Berkata pengawal Adipati itu dengan suara lantang. Ginanjar mena-tap pada Adipati Kiduling Kuto. Laki-laki tua itu men-gangguk seraya berkata.
"Benar! coba kau ungkapkan maksud anda, anak mu-da. Dan akupun ingin mengetahui siapa anda gerangan. Tentunya seorang pendekar dari pihak golongan Putih, yang berada dipihak Kerajaan...!"
"Ah, hamba hanya seorang pendekar picisan yang tak berguna, Adipati! Namaku Ginanjar. Dan julukanku...ngng... aku tak punya julukan!"
Menyahut Ginanjar dengan suara datar merendah. Dia sudah mau sebutkan dirinya berjulukan si Dewa Linglung. Akan tetapi merasa julukan itu tak sesuai lagi dengan keadaan dirinya yang sudah kembali waras. Adipati Kiduling Kuto manggut-manggut.
"Nah, seka-rang jelaskan maksud kata-katamu. Mengapa kau men-cegah orangku membunuhnya?"
Ginanjar tersenyum, seraya menyahut.
"Maksudku demikian, Adipati. Kalau orang ini tak dibunuh, kita bisa menanyai. Atau memaksanya bicara. Hamba berpendapat kalau-dia pulalah yang telah mela-kukan pembunuhan terhadap anak gadis Ki Rangga Wu-lung itu. Akan tetapi bukan mustahil kalau dia hanya su-ruhan orang lain. Nah, kita bisa menanyai siapa gerangan orang yang berada dibelakangnya...!"
Tutur Ginanjar.
Sejenak tercenung Adipati ini.
Sementara sang pengawal menatap berganti-ganti pada atasannya dan Ginanjar dengan wajah kaku.
Apakah tindakannya akan disalah-kan ataukah dibenarkan oleh sang Adipati.
Tampak kemudian Adipati Kiduling Kuto manggut-manggut seraya mengelus jenggotnya.
Lalu berkata.
"Haih! pendapatmu benar, anak muda! Ya! kau telah bertindak salah, Hambali! akan tetapi kejadian ini sudah ter-lanjur...!"
"Lalu apakah selanjutnya yang akan kita lakukan Gus-ti Adipati?"
Tanya Hambali. Wajahnya tampak berubah merah. Tampaknya laki-laki ini agak mendongkol juga terhadap Ginanjar yang membuat dia dipersalahkan oleh Adipati. Untung sang Adipati tak memperpanjang urusan.
"Hm, pergilah empat orang dari kalian ketempat tinggal Ki Rangga Wulung! Periksa keadaan didalam rumahnya!"
Perintah Adipati.
"Daulat, kanjeng Gusti Adipati!"
Menyahut Hambali.
Dan selanjutnya memberi isyarat pada keempat kawan-nya, yang telah berdatangan.
Salah seorang kawan pen-gawal itu membawakan pula kudanya.
Lalu, setelah me-lompat keatas kuda, bergegas empat orang pengawal Ka-dipaten itu memacu kuda masing-masing untuk mening-galkan tempat itu.
Dengan tujuan ke arah tempat kedia-man Ki Rangga Wulung.
Ginanjar menatap kepergiannya.
Sang Adipati mendekati Ginanjar menepuk pundaknya.
"Anak muda, tampaknya kau bisa diajak bekerja sama! marl ketempat kediamanku...! urusan ini kita serahkan saja pada keempat pengawalku! Kita kembali ke Kadipa-ten!"
"Ah, kalau hamba diajak singgah, mana mungkin kutolak? Terima kasih Adipati...!", menyahut Ginanjar. Sang Adipati melompat kepunggung kuda yang dibawakan oleh seorang dari pengawal yang tak turut serta. Lalu beri isyarat pada pengawal itu untuk berikan kudanya pada Ginanjar. Tak lama dua ekor kuda sudah mencongklang pelahan meninggalkan kerumunan ditempat itu. Pengawal yang seorang diperintahkan menunggu kawan-kawannya di-tempat itu, sekalian mengurus jenazah wanita anak gadis Ki Rangga Wulung itu untuk dikuburkan sebagaimana mestinya.
"Bila tak ada kejadian apa-apa dikediaman Ki Rangga Wulung ataupun ada terjadi peristiwa, kau katakan pada keempat pengawal kawanmu untuk segera menghadapku di Kadipaten!"
Teriak Adipati Kiduling Kuto sesaat ketika dia hentikan kudanya dan membalik ke arah pengawalnya.
"Daulat kanjeng Gusti Adipati. Perintah akan hamba laksanakan!"
Menyahut pengawal ini. Tak lama dia cuma menatap punggung kedua orang itu hingga lenyap meninggalkan debu mengepul.
"Heh! pemuda bernama Ginanjar itu jangan-jangan bi-sa menggeser kedudukanku di Kadipaten. Tampaknya Adipati amat berkenan melihatnya!"
Gumam pengawal ini.
Dan dengan bersungut-sungut segera dia perintahkan orang berkerumun itu bubar.
Beberapa orang laki-laki diperintahkan menggali lubang untuk mengubur jenazah perempuan itu.
Matahari mulai merayap naik.
Tampak kesibukan di-tempat itu dari para penduduk yang menjalankan perin-tah menggali kubur.....
Sementara si pengawal Kadipaten itu cuma duduk di bawah pohon dengan bertopang dagu.
Seolah seribu ke-melut membentang dalam benaknya.
Sikap Adipati pada Ginanjar itu membuat dia takut tergeser sebagai orang-orang kepercayaan dan andalan sang junjungannya.
EMPAT "Ampun Gusti Adipati! hamba melaporkan.
Keadaan di rumah kediaman Ki Rangga Wulung tak dapat hamba ceritakan.
Segeralah gusti Adipati melihatnya sendiri...!"
Melapor salah satu dari keempat pengawal Kadipaten. Di-alah Hambali.
"Hm, mengapa demikian?"
Bertanya Adipati Kiduling Kuto. Keningnya berkerut, dan alisnya naik terjungkat. Ginanjar yang sedang duduk bercakap-cakap dengan Adipati ini juga terheran mendengar laporan itu.
"Ampun Gusti Adipati. Terlalu berat mengatakannya, karena hal ini adalah sesuatu yang diluar dugaan. Dan hanya gusti Adipati sendirilah yang berhak melihatnya. Tiga orang kawan kami masih berada disana...!"
Berkata lagi pengawal bernama Hambali itu. Setelah termenung sejurus, laki-laki Adipati ini berpaling pada Ginanjar.
"Sobat Ginanjar, mari kita melihatnya. Kukira pasti ada kejadian yang luar biasa...!"
Ginanjar mengangguk.
"Hamba tak keberatan, Adipati...!"
Ujar pemuda ini. Nah, Hambali segeralah kau siapkan kudaku. Juga kuda buat tetamuku sobat Ginanjar ini!"
"Daulat, Gusti, perintah akan hamba laksanakan...!"
Menyahut Hambali. Lalu setelah meminta diri, segera be-ranjak keluar dari pendopo. Tak lama diluar sudah tersedia dua ekor kuda.
"Mari sobat Ginanjar...!"
Ajak Adipati Kiduling Kuto.
Dan dia melompat terlebih dulu kepunggung kudanya.
Ginanjar mengikuti.
Tak lama kedua kuda telah men-congklang cepat keluar halaman gedung Kadipaten.
Ham-bali memandang disebelah dua orang pengawal Kadipa-ten, hingga kedua kuda itu lenyap ditikungan jalan.
Diatas kuda, Adipati Kiduling Kuto berkata.
"Sobat Ginanjar! anak buahku teramat patuh padaku! lihatlah! un-tuk satu hal yang amat besar, dia tak mau melancangi melapor, kecuali menitahkan aku sendiri melihat keja-dian. Tampaknya hal ini bukan hal biasa! karena dia ta-kut kesalahan bicara...!"
Ginanjar kerutkan aliasnya.
"Ada kejadian apakah sebenarnya, dirumah kediaman Ki Reng-gana itu ?"
Berkata Ginanjar dalam hati.
Akan tetapi dia cuma manggut-manggut tanpa memberikan komentar pada Adipati Kiduling Kuto.
Tak lama mereka sudah berada dihalaman sebuah rumah gedung model lama yang tampak diluar dijaga oleh tiga orang pengawal berkuda.
Ketika melihat Adipati muncul bersama Ginanjar, mereka seperti agak terkejut melihat pemuda itu.
Tapi segera turun dari kudanya, se-raya menyembah hormat.
"Syukurlah Gusti Adipati berkenan datang melihat sendiri keadaan didalam. Hamba takut melancangi kanjeng Gusti...!"
Akan tetapi sambil berkata mata laki-laki yang bicara ini menatap pada Ginanjar dengan sorot mata tajam. Be-gitu pula kedua kawannya.
"Hm, kalian tak usah curiga padanya. Dia orang sendiri...!"
Berkata Adipati. Ginanjar yang tahu diri segera menjura hormat pada ketiganya.
"Mari, sobatku! kita lihat keadaan didalam. Apakah gerangan yang telah terjadi...?"
Ginanjar mengangguk.
Sementara ketiga pengawal cuma menunduk, setelah mem-persilahkan Adipati Kiduling Kuto untuk menindak ma-suk.
Didepan gedung keduanya hentikan kuda.
Setelah menambatkan kudanya, Adipati melangkah lebar mema-suki ruangan dalam gedung Ki Rangga Wulung yang be-kas Tumenggung itu.
Ginanjar mengikutinya dari bela-kang.
Sementara dua dari pengawal Kadipaten itu mengi-kutinya dibelakang Ginanjar.
Satu persatu ruangan dipe-riksa.
Ketika melihat pintu kamar terbuka dan bau mayat menyerang hidung membuat Adipati ini tampak berubah wajahnya.
"Hm, pasti ada yang tidak beres!"
Berbisik dia pada Ginanjar. Dan... segera terpampang dihadapan mereka, se-sosok tubuh yang telah jadi mayat terkapar diruangan kamar. Sosok tubuh dari Ki Rangga Wulung, yang tewas dengan isi perut robek. Ususnya terburai keluar.
"Ah...!?"
Tersentak Ginanjar. Adipati inipun kelihatan berubah kaget wajahnya.
"Haiiih! inikah kejadian yang tak mau dilaporkan itu?"
Berkata Adipati.
"Lagi-lagi pembunuhan! siapakah bangsat tengik yang telah melenyapkan nyawa bekas Tumeng-gung Kerajaan ini...?"
Menggetar suara Adipati.
"Benar, Gusti Adipati. Akan tetapi bukan ini saja!"
Menyahut pengawal yang dibelakang Ginanjar.
"Hm, mari kita periksa ruangan lain..!"
Berkata Adipati Kiduling Kuto.
Lalu beranjak melangkah kelain ruangan.
Dan ketika membuka sebuah pintu kamar yang memang sudah setengah terbuka pintunya.
Segera terpampang la-gi sebuah pemandangan menyeramkan.
Hal ini bukan sa-ja membuat Ginanjar terkejut, akan tetapi sang Adipati ini juga belalakkan matanya.
Mulutnya ternganga dengan berteriak kaget.
"Hah!? dia..dia si WIRA PATI,...?"
Tentu saja hal itu membuat Ginanjar terpaku tak ber-geming, karena melihat seorang laki-laki berusia 40 ta-hun lebih yang tergantung lehernya oleh seutas tambang pada langit-langit kamar, Sementara di bawahnya tergeletak sebuah buntalan yang setengah terbuka, berisi ben-da-benda pusaka Kerajaan.
Darah membanjir menganak sungai diatas pembaringan! hingga kelantai.
Lambung la-ki-laki itu sobek memburaikan isi perutnya.
Sungguh se-buah pemandangan yang amat mengerikan.
"Wira Pati....? maksud Adipati, apakah dia si orang buronan Kerajaan Mataram yang tengah dicari-cari itu...?"
Tanya Ginanjar terkejut.
"Tak salah, sobatku....! dia Wira Pati adanya?"
Menyahut Adipati ini.
"Akan tetapi aneh! siapakah orang yang telah membunuhnya, dan menggantungnya dalam kamar Ki Rangga Wulung ini?"
Wilayah Kota Raja jadi gempar, karena si buronan Ke-rajaan bernama Wira Pati yang telah merampok harta pu-saka Kerajaan, telah berhasil dibawa mayatnya oleh Adi-pati Kiduling Kuto, Tentu saja orang-orang Kerajaan mengelu-elukan Adipati Kiduling Kuto yang telah berhasil menyelamatkan harta pusaka Kerajaan Mataram.
Benda-benda pusaka itu masih utuh dalam buntalan.
Kecuali sebuah tombak.
Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima yang lenyap tak ketahuan kemana rimbanya.
Untuk itu sang Adipati itu telah menerima penghargaan besar dari bagin-da Raja Mataram.
Selain penghargaan, tentu saja menda-pat pub hadiah istimewa dari Baginda Raja Kerajaan Ma-taram atas jasanya itu.
Rakyat tampaknya amat bersuka cita dengan hasil ge-milang yang dilakukan Adipati Kiduling Kuto yang bertindak cepat meringkus dan membunuh mati si buronan yang bekas Senapati itu bersama anak-anak buahnya.
Demikianlah.
Apa yang memang sudah seharusnya terja-di, juga telah menjadi kenyataan.
Walaupun sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang membunuh buronan Kerajaan itu.
Tapi karena tak seorangpun dari pihak ra-kyat maupun para pendekar yang buka suara atau men-getahui kejadian sebenarnya, semua yakin kalau Adipati Kiduling Kuto yang berjasa...
Hal mana membuat Ginanjar yang telah menjadi teta-mu di gedung Kadipaten Adipati Kiduling Kuto jadi geleng kepala tak mengerti.
Dua hari dia menjadi tetamu di gedung Kadipaten, Ginanjar merasa tugasnya sudah selesai.
Karena toh biang kerok yang menjadi buronan Kerajaan telah mati.
Walau tak tahu siapa pembunuhnya, namun mau tak mau sang Adipati Kiduling Kuto itulah yang be-runtung.
Mendapat penghargaan, juga hadiah istimewa dari Raja.
"Hm, Adipati tentu tak melupakan keempat pengawal Kadipaten yang telah berjasa dengan "anugerah"
Besar itu...!"
Berdesis Ginanjar dalam duduknya. Sepasang matanya menatap keluar dari kamar tempat dia bermalam sebagai tetamu istimewa Adipati Kiduling Kuto.
"Apakah sebaiknya aku meninggalkan gedung Kadipa-ten ini? Info yang kudapat dari orang Kadipaten, bahwa penghargaan dan hadiah telah diberikan hari ini oleh baginda Raja! Menurut seorang pengawal yang bam pulang dari Kota Raja, Adipati baru kembali sore nanti...."
Berkata Ginanjar dalam hati.
Termenung sesaat pemuda ini se-perti menimbang-nimbang keputusannya.
Akhirnya dia bangkit dari kursinya, lalu beranjak ke ruangan pendopo.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara merintih dari dalam ruang kamar ditengah gedung.
Tersentak pemuda ini.
"Aih, siapakah gerangan yang merintih itu?"
Pikirnya.
Tak ayal dia sudah hentikan langkah, dan berbalik ke arah ruang dalam.
Itulah ruangan kamar istri Adipati Kiduling Kuto.
Suara mengerang dan rintihan itu semakin jelas dari celah daun pintu kamar yang setengah terbuka.
Mau tak mau Ginanjar tertegun bingung.
"Tidak! jangaan! tolooong...! lepaskaaan...!"
Teriakan itu semakin jelas.
Membuat Ginanjar tak sabar.
Dan membuka daun pintu kamar dengan cepat.
Dan selanjutnya sudah melompat kedalam.
Kelambu pada tempat tidur is-tri Adipati Kiduling Kuto tampak tertutup dan bergoyang-goyang.
Orang didalam tak begitu jelas.
"Celaka...!? jangan-jangan ada orang jahat yang masuk mau memperkosanya. Ataukah anak buah Adipati sendiri yang mau berbuat kurang ajar?"
Seru tak hati Ginanjar.
Tak ayal dia sudah berkelebat melompat.
Lengannya me-nyibak kelambu.
Akan tetapi tertegun dia, karena istri Adipati itu tengah mengigau dalam tidurnya.
Dia telah berteriak-teriak dan merintih dengan mata tertutup.
Ten-tu saja dengan pakaian setengah terbuka.
"Aiiih! siang-siang begini mengigau..."
Memaki Ginanjar dalam hati. Seraya garuk-garuk kepala yang tidak gat-al. Akan tetapi tersentak dia. karena mendengar langkah-langkah kaki mendekat ke arah kamar.
"Celaka! aku bisa dituduh berbuat tidak senonoh...? Aii! aku harus cepat menyingkir!"
Sentaknya dalam hati.
Akan tetapi terlambat....' "Bangsat licik! apa yang kau lakukan disini bocah keparat...?! tahu-tahu telah terdengar suara bentakan.
Dan tiga sosok tubuh dari tiga pengawal Kadipaten telah ber-lompatan masuk.
Pucatlah seketika wajah Ginanjar.
Dan pada saat itu juga tahu-tahu telah berkelebat sesosok tubuh dari balik pintu kamar itu.
Lengannya bergerak men-girimkan jotosan kepunggung Ginanjar.
Mengetahui ada bayangan sekilas dibelakang, dan merasa angin pukulan dibelakanganya, Ginanjar bertindak cepat untuk menge-lakkan diri.
Dia berhasil.
Gerakan mengegos itu telah di-barengi dengan lompatan ke arah pintu.
Tapi dua batang tombak telah meluruk deras mengancam dadanya.
Ter-paksa Ginanjar gunakan kelincahannya.
Lengannya ber-gerak kedepan dengan jari tangan mengembang.
Dan...Krep! Dua batang tombak itu telah kena dicekal.
Selanjutnya yang terdengar adalah suara bergedubrakan-nya tubuh kedua pengawal Kadipaten itu yang meluncur ke arah meja.
Membentur keras hingga meja tergelimpang terbalik patah-patah tertindih dua tubuh pengawal itu.
Kiranya Ginanjar telah gunakan kekuatannya untuk membetot tubuh lawan.
Selanjutnya dengan gerakan gesit, dia telah berhasil melompat keluar dari dalam kamar istri Adipati Kiduling Kuto itu.
"Cegat dia...! cepat! jangan biarkan meloloskan diri...! membentak orang yang tadi bersembunyi dipintu kamar. Sementara itu terdengar pula suara jeritan-jeritan kaget dari istri sang Adipati yang agaknya telah tersadar dari mimpinya. Seketika suasana didalam gedung Adipati itu menjadi hiruk pikuk. Suara bentakan dan teriakan terdengar di setiap sudut ruangan, sampai ke pendopo.
"Kejaar! tangkaaap! Tangkap bangsat itu! dia mau memperkosa Kanjeng Ibu Adipati....!"
"Tidak! dusta..! aku tak melakukan apa-apa..! aku...aku..."
Teriak Ginanjar seraya melompat keruangan pendopo. Akan tetapi belasan pengawal Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Tetamu macam beginikah yang menjadi tamu istime-wa gusti Adipati? Heh! tangkap dia! Cincang sampai mampus!!"
Terdengar teriakan-teriakan disana sini.
"Rupanya kau laki-laki hidung belang ya..? Ayo. kawan-kawan! ringkus setan bau kencur ini...!"
LIMA Dua orang pengawal menerjang Ginanjar dengan dua bilah golok besar.
Satu menyerang ganas untuk membe-lah batok kepala.
Sedang satu lagi menabas pinggang.
Pemuda ini jadi gelagapan.
Terpaksa dia lakukan gerakan jatuhkan tubuh kelantai.
Kakinya menjejak perut pengawal yang satu.
Sedangkan sepasang lengannya me-nangkap bilah golok yang nyaris membelah tubuhnya.
Dengan sekali sentakan, tubuh si penyerang yang golok-nya tertangkap itu terlempar membentur dinding kayu...BRAKK! Dua teriakan terdengar santar.
Dan kedua tubuh pengawal Kadipaten itu terjengkang bergulingan.
Cepat Ginanjar gerakkan tubuh melompat berdiri.
"Tunggu! kalian telah salah menuduh orang! aku akan berikan penjelasan! berteriak Ginanjar. Akan tetapi percuma. Suara kentongan telah terdengar dipukul bertalu-talu. Dan diluar gedung puluhan prajurit Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Edan! apa-apaan ini...?"
Tersentak kaget Ginanjar.
"Kau tak dapat loloskan diri kurcaci tengik! Menyerahlah! Kau akan menerima hukuman berat dari Kanjeng Adipati...!"
Terdengar bentakan. Dan...enam orang pengawal segera menerjang dengan melontarkan tambang-tambang atau tali laso untuk menjerat dia.
"Celaka...!?"
Membathin pemuda ini.
Enam tali laso telah meluncur ke arah Ginanjar untuk menjeratnya.
Pengawal-pengawal Kadipaten itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Ginanjar cepat cabut pedangnya untuk menabas.
Namun bersa-maan dengan itu.
Beberapa pisau terbang telah pula me-luncur deras kearahnya.
Dalam keadaan demikian ter-nyata membuat pemuda ini jadi melengak.
Untunglah pa-da saat itu selarik cahaya perak telah menghantam buyar semua serangan.
Dan...
selarik sinar pelangi meluncur ke arah Ginanjar.
Membelit tubuhnya.
Saat berikutnya tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur deras keluar dari ruang pendopo.
Tentu saja kejadian itu membuat para pengawal Kadipaten jadi terkejut.
Ternyata bukan mereka saja.
Ginanjar pun terkejut bukan main, karena tahu-tahu dia rasakan tubuhnya terbetot keluar pendopo.
Detik selanjutnya Ginanjar rasakan tubuhnya mengapung ke udara.
Ternganga semua pengawal Kadipaten melihat tubuh Ginanjar melayang keatas setinggi lebih dari sepuluh tombak.
Dan lenyap dibalik wuwungan gedung Kedipatian itu.
"Kejar.!"
Mereka hampir serempak. Dan berloncatanlah tubuh-tubuh para pengawal itu untuk mengejar Ginanjar. Akan tetapi mereka tak dapatkan lagi pemuda itu disana. Ginanjar telah lenyap entah kemana bagaikan diterbang-kan angin....
"RORO...? kau...kau...??? Ah, lagi-lagi kau telah me-nyelamatkanku! Ilmu Sinar perak-pelangi itu dari mana kau dapatkan? Ah, ah..sungguh mengagumkan!"
Berkata Ginanjar, ketika dapatkan dirinya berada diatas bukit. Dihadapannya berdiri tegak Roro Centil yang tersenyum memandangnya.
"Hihihi... Ginanjar! Ginanjar..! kau mengapa membuat kerusuhan di kediaman Adipati Kiduling Kuto itu?"
Ujar Roro dengan suaranya yang merdu. Lalu duduk diatas batu. Pandangannya dialihkan menatap kebawah bukit.
"Hm, aku tak membuat keasusilaan...!"
Tugas anak muda ini.
"Lalu? mengapa pengawal-pengawal Kadipaten mau meringkusmu?"
Tanya Roro menyelidik.
"Menurut yang kudengar kau mau mengganggu istri Adipati itu!"
Ginanjar jadi garuk-garuk kepala kesal.
"Kau percaya?"
"Yah! Setengah percaya setengah tidak!"
"Kalau aku ceritakan kejadian sesungguhnya kau mau mempercayai-ku?"
Tanya lagi Ginanjar.
"Akan kupertimbangkan dulu, apakah ceritamu be-nar!"
Sahut Roro.
"Baik! akan kukatakan sebenarnya. Setelah itu terserah kau, apakah mau mempercayai atau tidak!"
Berkata pemuda itu.
Lalu tanpa ayal lagi Ginanjar segera ceritakan kejadiannya dari awal hingga akhir.
Selain itu diceritakan pula kejadian sebelumnya mengenai peristiwa di kediaman Ki Rangga Wulung.
Tentang diketemukannya mayat WIRA PATI sang buronan Kerajaan Mataram yang telah tewas dalam keadaan tergantung di langit-langit kamar.
"Jadi sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang telah membunuh Wira Pati! melainkan seorang yang misterius, yang telah bertindak tanpa diketahui siapapun,"
Berkata Ginanjar. Roro jadi kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu. Tampaknya dia amat serius memikirkan hal kejadian.
"Kejadian itu memang aneh!"
Berkata Roro, sesaat kemudian setelah lama tercenung.
"Hahaha... memang aneh! apakah kau percaya Adipati itu ataukah percaya aku?"
Tertawa hambar Ginanjar seraya menatap Roro dalam-dalam.
"Hm, baik! aku percaya padamu! akan tetapi kau ha-rus membantuku. Aku akan berusaha memecahkan per-soalan ini. Saat ini kau pasti akan dikejar terus oleh orang-orang Kadipaten. Sebaiknya kau menyingkir jauh-jauh. Aku akan coba menyelinap ke gedung Kadipaten untuk menyelidiki..!"
Berkata Roro.
"Aku sih setuju saja. Tapi aku akan kemana baiknya menurut pendapatmu?"
Tanya Ginanjar. Roro jadi terme-nung sejurus.
"Yak! kalau begitu sebaiknya kau ke Kota Raja. Temui Tumenggung SATRYO. Dan ceritakan tentang kejadian sebenarnya mengenai kematian Wira Pati itu. Dua hari kemudian aku akan menyusulmu kesana...!"
Ujar Roro dengan wajah cerah.
"Hm, baiklah kalau begitu!"
"Bagus! akan tetapi kau harus waspada! setiap saat nyawamu akan terancam. Karena pengawal-pengawal Kadipaten takkan membiarkan kau hidup. Kukira, kau kini jadi orang penting. Karena hanya kaulah yang mengeta-hui kejadian terbunuhnya Wira Pati. Takkan dibiarkan-nya kau hidup karena amat membahayakan kedudukan-nya!"
Ujar Roro dengan serius.
"Kalau begitu aku terpaksa harus menyamar...!"
Berkata Ginanjar.
"Hihihi, itulah jalan terbaik! akan tetapi hati-hati. Aku yakin orang-orang Adipati Kiduling Kuto tak akan tinggal diam dan bertebaran mencarimu!"
"Heh! jangan khawatir! aku dapat menjaga diriku! berkata Ginanjar. Roro Centil manggut-manggut, lalu ujar-nya kemudian.
"Nah, baiklah kalau begitu! Aku segera pergi. Sampai jumpa lagi dua hari kemudian di Kota Ra-ja!"
"Kalau tak ada halangan, tentunya...!"
Sambung Roro.
"Ya, kalau tak ada halangan!"
Sahut Ginanjar sambil tersenyum. Roro Centil bangkit berdiri, lalu beranjak melangkah. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap dari atas bukit itu. Ginanjar cuma terpaku memandang. Hatinya membathin.
"Haiih, kalau tak ada dia keadaanku bisa lebih gawat. Heh, dia benar-benar seorang Dewi Peno-long...!"
Adipati Kiduling Kuto telah kembali dari Kota Raja sore itu.
Dengan diantar oleh pasukan kehormatan dari Kerajaan Mataram.
Tentu saja dengan membawa hadiah isti-mewa dari Kerajaan Mataram.
Hadiah istimewa dari Ba-ginda Raja Mataram adalah Tiga hektar sawah dan tanah, mutlak jadi miliknya.
Permintaan hadiah itu adalah atas dasar baginda menawarkan apa yang diingini oleh Adipati Kiduling Kuto.
Ternyata sang Adipati meminta hadiah tanah dan sawah.
Permintaan itu dikabulkan Baginda Raja.
Hingga sang Adipati kembali ke Kadipaten sore itu dengan membawa surat ditangannya.
Surat dari tiga hektar sawah dan tanah yang menjadi hak miliknya secara syah.
Selain itu pula Baginda telah memberi pula uang emas sebagai imbalan atas jasanya.
Tumenggung Satryo yang memimpin pasukan kehor-matan untuk mengantar sang Adipati itu cuma mengan-tar sampai perbatasan Kota Raja.
Selanjutnya kembali ke markas, di Kota Raja.
Adapun Adipati Kiduling Kuto dengan pengawal-pengawal kadipaten meneruskan perjala-nan menuju ke Kedipatian.
Derap langkah kaki-kaki kuda terdengar dan terlihat semakin mendekat kewilayah Kadi-paten.
Dan, tak lama mereka tiba dipintu gerbang gedung Kadipaten.
Beberapa pengawal segera datang menyambut.
Juga istri sang Adipati yang masih berusia muda itu menyam-but sang Adipati dipintu pendopo.
"Selamat datang, kanda Adipati...!"
"Hm, ya...!ya...! apakah tak ada kejadian apa-apa dirumah kita?"
Bertanya Adipati Kiduling Kuto.
"Marilah kita bicara didalam, kanda!"
Berkata sang istri dengan agak berubah wajahnya. Laki-laki Adipati ini mengangguk. Lalu beranjak memasuki ruang pendopo.
"Celaka, kanda...! tetamu kita, laki-laki muda bernama Ginanjar itu berhasil meloloskan diri!"
Tak sabar sang istri telah buka pembicaraan, sambil melangkah keruangan tengah. Membelalak sepasang mata Adipati ini.
"Bagaimana bisa terjadi? bukankah telah kuatur rencana agar dia dijadikan tawanan!"
"Kanda dapat tanyakan nanti pada pengawal-pengawal Kadipaten yang telah ditugaskan kanda untuk hal itu nanti!"
Berkata sang istri.
"Akan tetapi sebaiknya kanda beristirahat dulu...!"
Adipati Kiduling Kuto tak menjawab. Dihempaskannya tubuhnya kekursi diruang tengah ber-bantal empuk itu. Dan dihelanya napasnya panjang-panjang.
"Walau bagaimanapun anak muda itu harus dile-nyapkan! Karena hanya dia yang mengetahui kejadian itu!"
Berdesis suara sang Adipati. Sepasang matanya tampak membinar. Dan dia tampak gelisah.
"Hal itu dapat diatur nanti kanda! minumlah dulu! kau tentu haus!"
Laki-laki ini tak menolak ketika istrinya me-nyorongkan nampan berisi minuman segar kehadapan-nya.
Diraihnya cangkir perak berisi minuman segar kesu-kaannya.
Dan direguknya hingga ludas.
ENAM Malam itu bulan sabit mengambang dilangit...
Seekor kuda pelahan keluar dari belakang gedung Kedipatian.
Sesosok tubuh berpakaian serba hitam telah menyeretnya keluar dengan gerakan hati-hati.
Lalu melompat dengan sigap.
Dan selanjutnya mencongklang pelahan mening-galkan tempat itu.
Laki-laki itu memakai topeng untuk menutupi wajahnya.
Sekejap kemudian telah lenyap diti-kungan jalan.
Ternyata penunggang kuda itu menuju ke arah utara.
Memasuki jalan setapak disisi hutan.
Tak la-ma telah menuruni sebuah bukit kecil.
Setelah membelok ke arah timur, lalu berhenti didepan sebuah candi.
Membelok disisi candi, ada sebuah jalan lurus yang menuju kesisi bukit.
Dan tepat dibelakang candi itu dia hentikan langkah kudanya.
Melompat turun.
Menyembu-nyikan kuda, dan mengikatnya disekitar pohon dibalik semak.
Lalu beranjak melangkah kesisi bukit.
Disini terlihat sebuah pondok terpencil ditempat itu.
Pondok satu-satunya.
Tampak dari kejauhan cahaya lam-pu tersembul dari jendela yang terbuka.
Dia terus me-langkah menghampiri.
"Kokok Beluk terbang malam...!"
Berteriak pelahan, la-ki-laki bertopeng itu. Suasana tampak hening mencekam. Jarak antara laki-laki itu tinggal beberapa tombak lagi.
"Hehehe... silahkan masuk, sobatku...! aku telah mengetahui kedatanganmu!"
Terdengar suara serak dari dalam pondok. Ternyata laki-laki itu mengucapkan kata-kata sandi (rahasia).
"Ah, terima kasih, kakek Panembahan!"
Berkata laki-laki itu seraya bergegas mendekati pondok.
Tak lama pin-tu terbuka dengan suara berderit.
Aneh! pintu itu seperti terbuka sendiri.
Seorang kakek berusia hampir tiga perempat abad tampak duduk dibalai-balai bambu bera-laskan tikar.
Diatas meja terang bersinar cahaya lampu tempel menerangi wajahnya yang keriput.
Sepasang ma-tanya terkatup rapat.
Kakek ini mengenakan jubah warna hitam.
Berkepala hampir gundul, yang cuma tinggal bebe-rapa lembar lagi rambutnya.
Dihadapannya terdapat sebuah pedupaan.
Dan sebuah tombak berwarna hitam tergeletak dihadapannya.
Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.
Laki-laki ini melangkah ke-dalam dan menjura hormat, seraya membuka topeng wa-jahnya.
Ternyata dia tak lain dari Adipati Kiduling Kuto.
"Silahkan duduk sobat Adipati...!"
Berkata si kakek berjubah hitam itu. Tanpa membuka matanya dan masih tetap duduk seperti tadi.
"Terima kasih...!"
Sahut laki-laki ini. Sang Adipati segera beranjak untuk duduk disudut sisi balai-balai.
"Tampaknya kau gelisah sekali. Bukankah kau baru terima hadiah dari Baginda Raja? Ada maksud apakah dengan kedatanganmu?"
Bertanya si kakek itu.
"Aku perlu bantuanmu, kakek Panembahan...!"
"Heheheh...sudah kuduga! Apakah mengenai pemuda bernama Ginanjar yang berhasil meloloskan diri itu...?"
Melengak Adipati Kiduling Kuto.
"Kakek Panembahan telah mengetahui?"
Tanyanya terheran. Akan tetapi juga kagum.
"Hm, mata bathinku lebih awas dari pada kedua mata-ku ini!"
Menyahut si kakek. Lalu nampak membuka mata. Ternyata kakek ini mempunyai sepasang mata yang amat kecil alias sipit. Hingga hampir tak terlihat biji matanya.
"Benar sekali apa yang kakek Panembahan katakan itu. Bocah laki-laki itu amat membahayakan. Dia harus dilenyapkan secepatnya. Aku khawatir dia membocorkan hal ini dengan melapor ke Kota Raja!"
Berkata sang Adipati.
"Hm, benar apa katamu! Apakah kau tak berupaya untuk berbuat sedini mungkin sebelum anak muda itu membocorkan rahasia itu?"
"Sudah, kakek Panembahan! Aku telah sebar anak bu-ahku yang menyamar untuk mengawasinya disekitar wi-layah Kota Raja. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran-ku adalah, adanya seseorang sakti yang berada dibela-kangnya!"
"He? siapa dia? mata bathinku tak dapat menangkap-nya...!?"
Tersentak Kakek ini.
"Aku sendiri tak mengetahui, kakek Panembahan. Yang kutahu adalah para pengawal Kadipaten anak-anak buahku itu telah menceritakan..."
Lalu Adipati Kiduling Kuto segera menuturkan kejadian aneh hingga lolosnya pemuda bernama Ginanjar itu dari sergapan anak buah-nya.
"Sinar perak dan pelangi itu amat luar biasa. Dan telah menyelamatkan nyawa _muda itu. Kalau bukan seorang yang sakti yang telah menolongnya, tak mungkin dia da-pat lolos dari ringkusan anak-anak buahku yang telah berpengalaman...!"
"Sinar perak dan pelangi....?"
Menggumam si kakek mata sipit ini.
"Benar, kakek Panembahan!"
Kakek ini tampak kerutkan keningnya dan tertegun se-jenak.
"Seperti aku pernah mengenai siapa pemilik ilmu aneh itu! Ya, ya..! aku ingat. Si pemilik ilmu itu tak lain dari seorang perempuan yang pernah berjulukan si Pendekar Selendang Perak Pelangi! Hm, kalau tak salah ber-nama MURI ASIH!"
Berkata si kakek dengan suara berdesis.
"Mungkinkah perempuan sakti itu!"
Gumamnya. Agak lama si kakek Panembahan itu tercenung dengan serius. Namun tak lama dia berkata.
"Sobat Adipati, coba tolong kau ambilkan aku segelas air putih!"
"Baik, kakek Panembahan..."
Menyahut sang Adipati, seraya beranjak menuju ruang belakang pondok.
KAKEK Panembahan itu tampak komat kamit memba-ca mantera.
Dihadapannya segelas air putih yang diberi asap pedupaan.
Diputar-putarkannya pedupaan itu bebe-rapa kali.
Sementara matanya terpejam.
Tak lama dia le-takkan lagi pedupaan itu.
Sepasang matanya terbuka.
Memandang kedalam gelas berisi air putih itu.
Sementara sang Adipati menanti dengan hati berdebar.
Tampak wajah kakek itu berubah pucat ketika mena-tap kedalam air.
Namun tak lama wajah berubah membe-si.
Dia membentak keras.
"Kau akan menjadi gila, bila turut campur urusanku! Siapa kau bocah perempuan...?"
Adipati Kiduling Kuto sampai terlonjak kaget.
PRAKK! Terkejut dia karena tahu-tahu gelas berisi air itu pe-cah.
Airnya tumpah membanjir ditikar.
Ternyata bukan Adipati itu saja yang terkejut, akan tetapi kakek inipun terperanjat.
Karena satu suara terdengar mendenging ditelinganya.
"Hihihi... kakek tua bangka! hebat juga ilmu bathinmu! Aku Roro Centil yang akan memberantas pengacau licik macam kau!"
Tergetar tubuh kakek ini.
Tiba-tiba lengannya meraih Tombak Pusaka Ratu Shima.
Bibirnya mem-baca mantra.
Dan...
PLASH! aneh! tiba-tiba tombak Pusa-ka itu lenyap.
Kakek ini gerakkan lengannya mengibas.
Pintu pondok itu tahu-tahu menjeblak terbuka.
Dan tu-buh si kakek telah melesat keluar bagaikan terbang.
Lalu lenyap dikegelapan malam.
Adapun Adipati Kiduling Kuto jadi terkejut.
Dia jadi serba salah.
Apakah yang akan dilakukannya? Dia pun memburu keluar dari pondok.
"Sobat Adipati! segeralah kau kembali pulang!"
Terdengar suara ditelinganya, tanpa diketahui dimana adanya si kakek Panembahan.
"Ah!? ha... baik, kakek Panembahan!"
Sahutnya dengan cemas.
Dan..
tak ayal dia segera berlari-lari menuruni bukit kecil itu.
Tak lama telah tiba ditempat dia menambatkan kuda.
Dan selanjutnya selang sesaat Adipati Ki-duling Kuto telah melarikan kudanya dengan cepat me-ninggalkan tempat itu.
Sementara itu diatas Candi sesosok tubuh tegak berdi-ri mematung bagaikan arca.
Sosok tubuh seorang wanita yang berambut panjang terurai.
Cahaya bulan sabit me-nerangi wajahnya.
Siapa lagi wanita itu, kalau bukan RORO CENTIL.
Ketika langkah kuda melewati sisi Candi, kuda tung-gangan Adipati itu meringkik panjang.
Mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Hawa aneh yang membangunkan bulu roma telah membuat sang kuda mengetahui akan adanya sesuatu yang menakutkan.
Karena dihadapannya tegak berdiri seekor harimau tutul yang luar biasa besarnya.
Akan tetapi harimau tutul itu lenyap, ketika terdengar bentakan.
"Roro Centil! akulah lawanmu, jangan ganggu dia..!"
Dan segelombang angin menerpa bergulung-gulung ke arah harimau itu, yang segera lenyapkan diri. Kuda Adi-pati Kiduling Kuto jadi tenang kembali. Dan bergegas sang Adipati memacu kudanya untuk segera minggat dari tempat itu.
"Hihihi... boleh juga ilmu pukulan angin taufanmu, kakek!"
Terdengar suara dari atas Candi. Entah sejak ka-pan di bawah Candi telah berdiri diatas batu, si kakek Panembahan. kepalanya yang gundul itu berkilat-kilat kena cahaya rembulan. Laki-laki tua ini menatap keatas Candi.
"Bocah perempuan! ada hubungan apakah kau dengan si Pendekar Selendang Perak Pelangi, Muri Asih itu...!"
Bertanya dia. Suaranya terdengar dingin. Akan tetapi jelas mengandung tekanan tenaga dalam hebat.
"Hihihi... dia boleh juga disebut guruku! Sayang, beliau yang berhati mulia itu telah tak ada didunia ini lagi!"
Menjawab Roro.
"Dia telah mati...?"
Tanya kakek tua ini dengan suara terkejut.
"Benar! ada apakah kau menanyakannya? Aku datang untuk meringkusmu, dan tentu saja untuk mengambil kembali benda Pusaka yang masih ketinggalan dan bera-da ditanganmu itu!"
Ujar Roro. Terkejut kakek ini, karena ternyata Roro dapat mengetahui kalau Tombak Pusaka Ratu Shima yang telah lenyap sirna itu berada ditangan-nya. Dengan kekuatan manteranya si kakek ini memang telah membuat tombak itu tak nampak oleh mata biasa.
"Heheheh... bocah centil! kau terlalu sombong! Walau kau punya ilmu setinggi langit, apa kau dapat buktikan kata-katamu?"
Menantang si kakek dengan mendongkol.
"Hm, akan kucoba! tapi sebelumnya segera kau se-butkan siapa dirimu! Gelarmu! Bukankah kau yang telah membunuh si Wira Pati itu? Juga keluarga bekas Tu-menggung Ki Rangga Wulung...?"
Cerocos Roro Centil, memberondong dengan pertanyaan.
"Hehehe... hehehe... Aku digelari si Laba-laba Hitam. Namaku tak perlu kusebutkan! Memang aku yang telah membunuh si Wira Pati itu. Dia telah tak kuperlukan lagi. Hehehe... ketahuilah, pencurian harta pusaka Kerajaan itu hanya dalihku saja untuk memiliki Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kudengar disimpan di Istana Kerajaan Mataram!"
Ujar si kakek yang bergelar si Laba-laba Hitam itu.
"Heh! kalau bekas tumenggung, Ki Rangga Wulung itu, bukan aku yang membunuh. Akan tetapi si Wira Pati itu sendiri. Sedangkan anak gadis Ki Rangga Wulung yang mati itu aku tak mengetahuinya!"
Sambungnya lagi.
"Hm, begitukah...? Hebat juga rencanamu itu, Laba-laba Hitam! Kematian gadis bekas Tumenggung itu aku telah mengetahui. Dia dibunuh si Adipati Kiduling Kuto yang bekerja sama denganmu! Hebat! Hebat...! Tipu daya licik yang mengagumkan. Dengan cara demikian, bukan-kah Adipati Kiduling Kuto dapat penghargaan dari Bagin-da Raja Kerajaan Mataram. Padahal semua ini adalah permainan busuk kalian. Wira Pati kau bunuh, setelah berhasil mencuri benda-benda pusaka Kerajaan Mataram demi keamanan kalian!"
"Hehehe... Roro Centil! aku telah dengar kehebatanmu! Dan kau telah mengetahui rahasiaku. Maka jalan yang baik buat kau adalah segera. berangkat ke Akhirat!"
T U J U H "Hihihi... gertakanmu lumayan juga, Laba-laba Hitam. Akan tetapi jangan bertarung disini. Aku khawatir meru-sak Candi!"
Berkata Roro dengan suara merdu.
"Persetan dengan Candi!"
Memaki si kakek Laba-laba Hitam. Lengannya bergerak menghantam ke arah Roro. Menggebu angin pukulan si kakek bagaikan angin praha-ra. Terkejut Roro Centil.
"Celaka!"
Mendesis suara Roro.
Betapa mendongkolnya dia karena si kakek tak menghi-raukan kata-katanya.
Candi itu adalah salah satu dari peninggalan Kerajaan SRIWIJAYA.
Harus dijaga kelesta-riannya.
Berpikir demikian, tiba-tiba Roro berteriak keras.
Sepasang lengannya terangkat.
Dan...
satu tenaga yang tak kelihatan melebihi kekuatan angin pukulan si laba-laba Hitam telah membersit keluar dari sepasang tangan-nya.
WKHUUUUSSS...! Terkejut Ki Panembahan alias si La-ba-laba Hitam.
Angin pukulannya telah diterpa sambaran angin panas yang dahsyat luar biasa.
Bahkan kekuatan anginnya sendiri berbalik menghantam tubuhnya.
Da-tangnya begitu cepat, hingga tak lagi dia sempat berbuat sesuatu.
Tak ampun tubuh si Laba-laba Hitam terlempar keudara sejauh lebih dari dua puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara itu amatlah beruntung si kakek dapat mengimbangi kekuatan serta mengkonsentrasikan panca indranya.
Hingga dengan rin-gan dia telah daratkan kakinya keatas bukit.
Terengah-engah si Laba-laba Hitam.
Lalu salurkan hawa murni untuk sebarkan keseluruh tubuh.
Hatinya menggumam.
Kakek ini bersyukur karena dia tak terluka dalam.
Angin panas itu cuma membuat tubuhnya tertolak mental, karena dia telah lindungi tubuhnya dengan tena-ga dalam inti yang membuat tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! luar biasa kekuatan tenaga dalam bocah perempuan itu. Tak percuma dia bernama besar yang menggoncangkan jagat!"
Diam-diam hatinya memuji dan terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman untuk bertarung! Sudah siapkah kau kakek sakti...?"
Satu suara membuat dia terperangah, karena ketika dia membalik, ternyata Roro Centil telah berada dibelakangnya.
"Edan...! begitu cepat dia menyusulku?"
Mendesis suara si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam? apakah kau mau serah-kan Tombak Pusaka Ratu Shima itu dengan suka rela ataukah kau tetap berkeinginan mengangkanginya?"
Bertanya Roro. Namun si Laba-laba Hitam tak menjawab. Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba tu-buhnya mendadak lenyap sirna. Tak kelihatan lagi oleh mata biasa.
"Hihihi... mau kabur kealam haluspun kau percuma saja, Laba-laba Hitam. Aku takkan melepaskanmu begitu saja sebelum benda Pusaka itu kau serahkan padaku!"
Berkata Roro dengan tertawa mengikik. Dan...tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itupun sirna pula dari pandangan. Kini kedua tokoh Rimba Persilatan itu telah berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau mengajakmu bertarung di-alam yang tak kelihatan oleh mata manusia biasa", ujar si kakek. Nah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku!"
Bentaknya dengan suara dingin mencekam jantung.
"Silahkan! aku siap melayanimu, kakek Laba-laba Hitam menyahut Roro dengan jumawa. Walau diam-diam dia ju-ga harus waspada. Karena dia yakin kalau sang kakek itu punya ilmu tinggi yang belum pernah dilihatnya. Tampak Laba-laba Hitam telah selesai pula membaca mantera. Lengannya bergerak memutar. Menimbulkan segulung asap hitam yang menerjang ke arah Roro. Asap yang bergulung-gulung itu mendadak be-rubah menjadi seekor Laba-laba Raksasa. Tersentak Roro Centil. Tahu-tahu dia telah terkurung oleh kaki-kaki hitam berbulu yang menyeramkan. Sementara taring sang Laba-laba Raksasa telah siap menerkamnya. WHUUK! WHUUUK...! Lengan sang pendekar Perkasa ini bergerak menghan-tam ke arah tubuh makhluk itu. Akan tetapi terkejut Ro-ro. Karena pukulannya hanya menghantam bayangan sa-ja. Makhluk itu tetap tak merobah posisi menerkamnya. PRAASSH! kepala mukluk itu menyerang ganas. Batu bukit itu hancur beserpihan, Namun Roro berhasil gu-lingkan tubuhnya untuk menghindar.
"Heheheh...! keluarkan seluruh kesaktianmu, nona Pendekar Pantai Selatan!"
Terdengar suara tertawa menge-jek mendesing ditelinga Roro.
Makhluk menyeramkan itu telah meluruk lagi untuk merencah tubuh Roro Centil mentah-mentah.
Empat pasang kaki makhluk itu berhasil mencengkram tubuh wanita Pendekar ini.
Roro terkejut bukan main.
Segala daya upayanya untuk menyerang La-ba-laba Raksasa menemui jalan buntu.
Hingga dia agak ayal dan berhasil diterkam makhluk mengerikan itu.
Be-lum lagi dia sempat berbuat sesuatu.
Tahu-tahu tubuh-nya telah kena jerat benang laba-laba, hingga kaki dan tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar kesekujur tubuh Roro.
Segera dia berusaha konsentrasikan syaratnya yang membaur tak keruan.
Dengan berguling-guling Roro berusaha men-jauh dari makhluk itu, walau tubuhnya tak leluasa bergerak.
Sementara sang Laba-laba Raksasa tampaknya cuma bertindak mempermainkan korbannya yang hampir tak berdaya.
Karena sekejap kaki-kaki sang makhluk Raksasa telah kembali menerkamnya.
Dan lagi-lagi Roro harus menerima nasib lebih parah.
Benang-benang sutera sang laba-laba yang lengket itu kembali membelit dan mem-bungkus tubuhnya.
"Celaka! aku tak dapat berpikir normal, aku tak tahu apa yang harus kulakukan...!"
Membathin Roro dalam keluh putus asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro menjerit sekuatnya.
Sungguh diluar dugaan.
Jeritan yang diraungkan itu ka-rena kesal akan ketidak berdayaannya ternyata telah me-nolong Roro dari bahaya maut.
Cengkeraman kaki-kaki si Laba-laba Raksasa mengendur.
Bahkan tanpa disadari je-ritan yang mirip raungan harimau itu telah memutuskan benang-benang jerat si Laba-laba Raksasa.
Tentu saja hal itu membuat Roro tersentak girang.
Tak ayal dia sudah melompat bangkit.
Kejap berikutnya Roro segera satukan kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan bathin la-wan yang telah mempengaruhi sirkuit otaknya hingga dia tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata masih berdiri tegak dengan Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya.
Terhe-ran dia melihat Roro berhasil melepaskan diri dan memu-tuskan jerat sutra laba-laba ciptaannya.
Herannya cuma putus oleh suara jeritan yang mirip raungan harimau.
Melihat Roro tegak berdiri menghimpun kekuatan bathin yang telah menindih kekuatan bathinnya, laki-laki tua ini segera berkomat-kamit lagi.
Sebelah tangannya menyilang diatas dada.
Tiba-tiba dia membentak keras.
"ROBOH...!"
Lengan yang menyilang diatas dada itu digerakkan menghantam Roro.
Itulah pukulan ghaib yang dinamakan Serapah Dewa Maut.
Hebat akibatnya! Tubuh Roro tam-pak tergetar hebat.
Laba-laba Raksasa itu telah lenyap.
Namun segelombang angin pukulan telah membuat tu-lang-tulangnya serasa lumpuh.
Hampir saja dia jatuh menekuk lutut.
Untunglah dengan kekuatan tenaga ba-thin yang telah dapat mengungguli tenaga bathin si kakek Panembahan itu, Roro cuma terhuyung saja.
Bahkan dengan satu bentakan nyaring, Roro balas menyerang dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga seranganku!"
WHUUUKK...! BLUARRR! Cahaya perak membersit menyambar tubuh si kakek Laba-laba Hitam.
Akan tetapi kakek itu, telah berhasil lemparkan tubuhnya bergulingan.
Pukulan dahsyat itu menghantam batu dan pohon hingga hancur beserpihan.
Sekejap si kakek itu telah menampakkan diri lagi dialam nyata.
Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Pendekar Romantis Geger Di Kayangan Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur