Kail Naga Samudera 2
Satria Gendeng Kail Naga Samudera Bagian 2
"Cukup, Kek,"
Tahan Satria. Dia tak kuasa mendengarkan penuturan yang mengiris-ngiris perasaannya. Keduanya terdiam. Beberapa lama.
"Baiklah. Aku bersedia menjadi murid-mu...,"
Ucap Satria, akhirnya.
Dongdongka menatap dengan sinar mata tak percaya.
Genangan air mata di kelopak mata bagian bawahnya semakin mengembang.
Senyum tuanya mekar, berbareng dengan jatuhnya bulir bening dari kedua mata berkerutnya.
Dan dipeluknya si pemuda tanggung kuat-kuat.
Angin mempermainkan nyiur.
Ombak memperdengarkan debur.
Senja pun luruh di ba-tas waktu.
Semuanya menyaksikan.
Bukankah ketulusan hati membuat segalanya menjadi begi-tu damai? ENAM PERTARUNGAN antara Ki Kusumo dengan Ki Ageng Sulut telah merambat terlalu jauh dari tempat semula.
Keduanya kini tampak di batas utara Karangbolong.
Terhitung sudah puluhan jurus telah berla-lu.
Pertarungan mereka tetap saja sengit.
Alot.
Tanpa ada tanda-tanda akan segera berakhir.
Keduanya memang sama-sama tangguh.
Kesaktian masing-masing tak diragukan.
Sementara waktu telah menelan perkelahian mereka cukup lama.
Sudah hampir satu hari penuh.
Bertarung dalam waktu demikian lama ten-tu akan banyak menyita tenaga.
Apalagi bagi dua lelaki berusia senja seperti mereka.
Namun, sekali lagi nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Iblis Dari Neraka bukanlah sekadar omong ko-song.
Perkelahian yang sengit menguras tenaga itu nyatanya tak membuat keduanya kehilangan kegarangan.
Sementara itu, baik Ki Kusumo ataupun Ki Ageng Sulut sudah sama-sama mengalami luka.
Tak bisa dibilang remeh.
Menilik sudut bibir dan hidung mereka yang mengeluarkan darah, setidaknya telah bersarang luka dalam cukup parah.
Itu pun tetap tak mengurangi keampuhan pertu-karan serangan keduanya.
Mereka benar-benar tangguh, perkasa se-perti dua ekor naga jantan tua.
Melampaui seratus jurus, mulai tampak kedigdayaan Ki Ageng Sulut dalam penguasaan kesaktian.
Perlahan tapi pasti, Ki Ageng Sulut merayap mengungguli lawannya.
Pada saatnya, dia sudah berada di atas angin.
Tak percuma dia sesumbar sebelumnya pada Ki Kusumo.
Jurus demi jurus mengalir bagai amukan air bah.
Tenaga dalam berbentrokan.
Kegesitan dan kecepatan saling memburu.
Teriakan tarung memenggal satu sama lain.
Keduanya tetap bagai naga tua! Sampai suatu ketika....
"Hiaaa!!!"
Dash! Dari medan laga yang terlihat seperti pu-singan angin puting beliung, tubuh Ki Kusumo terlempar.
Deras.
Keras.
Mulutnya menyembur-kan darah segar.
Selang meluncur lebih dari sepuluh tombak ke belakang, punggung Ki Kusumo menghantam telak-telak bukit karang besar.
Kakek perkasa itu jatuh melorot.
Dia kehi-langan taji tarungnya.
Di sana, Ki Ageng Sulut berdiri menyerin-gai.
Matanya mencemooh tegas-tegas ke arah la-wannya.
Di sudut bibirnya merembes darah.
Na-mun dia tahu, lukanya tak separah lawan.
Masih bisa dia berdiri gagah.
Masih sanggup dia meng-gempur hingga seratus jurus lagi.
Sedangkan lawannya kini? "Sekarang kau baru menyadari siapa aku sesungguhnya, bukan?! Ageng Sulut, Iblis Dari Neraka.
Raja diraja kesaktian.
Momok dunia persilatan!"
Sesumbar Ki Ageng Sulut, congkak.
Selama berkata, ditepuknya dada.
Ki Kusumo berupaya bangkit.
Dadanya se-sak.
Seperti ada beton sebesar banteng menin-dihnya.
Napasnya terseret.
Tangannya mendekap dada.
Baru sempat menggerakkan tulang pung-gungnya, darah sudah termuntah lagi dari mu-lutnya.
"Terkutuk kau Ki Ageng Sulut!"
Sumpah Ki Kusumo, nyaris tak kentara. Ki Ageng Sulut tertawa. Suaranya tidak se-perti orang tertawa. Terdengar lebih mirip dengking keledai gusar. Dia mendengar jelas serapah lawannya. Biarpun jaraknya cukup jauh dan di-ucapkan samar oleh Ki Kusumo.
"Kau sudah tak bisa lagi melawanku, Ku-sumo. Kenapa tak mengaku kalah saja?!"
Cemooh Ki Ageng Sulut tak puas.
"Aku memang terluka parah. Namun tak berarti aku akan menyerah padamu!"
Tandas Ki Kusumo mendesis datar.
"Tak menyerah? Tak menyerah?"
Ki Ageng Sulut tertawa lagi. Suara tawa yang memuakkan di telinga siapa pun.
"Kau akan segera mampus, Kusumo. Sebaiknya kau sadari itu. Aku akan memberimu kesempatan untuk hidup, bahkan untuk seratus tahun lagi. Syaratnya, kau ha-rus...."
"Tidak!"
Terabas Ki Kusumo tegas.
"Keparat!"
"Jangan kau mengira aku akan sudi meno-longmu menyembuhkan penyakitmu. Terkutuklah kau Ki Ageng Sulut. Semoga penyakitmu meron-grongmu selama hidup!"
Rahang Ki Ageng Sulut mengeras. Kejang. Tegang. Terdengar gemeletuk dalam.
"Kau keras kepala! Aku bersumpah, kau akan menyesal...."
"Kau ingin membunuhku? Lakukan, Iblis Dari Neraka terkutuk! Lakukan!"
Tantang Ki Kusumo.
Dia berusaha mengangkat dada.
Sekali la-gi, darah termuntah keluar dari mulutnya.
Tangan Ki Ageng Sulut mengeras, menyu-sul rahangnya.
Akan dibunuhnya Ki Kusumo.
Di-bunuhnya! Kepala lelaki tua itu akan diremukkan dengan satu pukulan jarak jauh.
Dia bersumpah! Namun, itu tak mungkin dilakukan.
Ki Ageng Su-lut menyadari benar, Ki Kusumo memegang kartu yang menentukan.
"Kenapa kau terdiam? Bukankah kau begi-tu ingin membunuhku?"
Ledek Ki Kusumo.
Tidak mungkin Ki Ageng Sulut membu-nuhnya! Tak mungkin! Ki Kusumo berusaha tertawa.
Sulit.
Mena-rik napas pun sudah demikian susah payah.
Baik dirinya maupun lawan, sama-sama tahu kalau dirinya dibunuh maka tak ada lagi yang bisa me-nyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut.
Tak seo-rang pun.
Kalaupun ada, maka tabib itu berada amat jauh dari tanah Jawa.
Mungkin di negeri Tiongkok.
Tapi itu pun tak menjamin dengan mu-dah ditemukan.
Lagi pula, penyakit Ki Ageng Sulut mempunyai pantangan.
Dia tak boleh terkena air laut di bagian kulit mana pun.
Karenanya tak ada alasan baginya untuk mengambil resiko me-nyeberangi samudera.
Tepatnya, dia tak cukup berani melakukan itu! Sedang di tanah Jawa ini, hanya Ki Kusu-mo satu-satunya tabib yang dapat diandalkan untuk menyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut.
Si Iblis Dari Neraka tersudut.
Kendati posi-sinya berada di atas saat itu.
Penyakit apa yang diderita tokoh sesat ini? Penyakit menjijikkan yang telah merongrongnya selama berpuluh tahun.
Di dadanya tumbuh se-macam jamur yang membusukkan kulitnya.
Mu-la-mula hanya terdapat di satu bagian kecil dada kanannya.
Makin hari, jamur itu tumbuh makin membesar.
Melebar.
Kulitnya memerah, lalu mu-lai membusuk.
Dari kulit, jamur itu merambat membusukkan dagingnya! Selang beberapa puluh tahun, penyakit menjijikkan itu telah memakan seluruh dada Ki Ageng Sulut.
Sekujur dada kakek bengis itu kini hanya dipenuhi daging busuk berwarna merah kehitaman.
Berlendir dan selalu mengeluarkan nanah.
Anehnya, tak ada sedikit pun bau mene-bar darinya! Ketika mengetahui ada seorang tabib yang dipercaya kalangan Kerajaan Majapahit beberapa puluh tahun lalu, Ki Ageng Sulut berusaha segera menemuinya.
Pertama kali bertemu, Ki Ageng Sulut da-tang layaknya orang baik-baik.
Bahkan dia dapat meyakinkan Ki Kusumo hingga mau menjadi seorang teman dekat baginya.
Mereka makin dekat.
Dan Ki Kusumo pun menyanggupi dapat me-nyembuhkan penyakitnya itu.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Sewaktu Ki Kusumo tahu sepak terjang calon pasiennya di dunia persilatan, dia mengurungkan niat mengobati.
Tentu saja Ki Ageng Sulut menjadi gusar.
Kesaktiannya yang sudah menjadi momok mena-kutkan saat itu, hendak dimanfaatkan untuk memaksa si Tabib Sakti.
Kala yang sama, Ki Ku-sumo telah menyepi ke Pulau Dedemit.
Ki Ageng Sulut hendak menyatroninya.
Sayang, bentangan laut menyurutkan tekadnya.
Hatinya kecut membayangkan tubuhnya akan dengan cepat membusuk ketika terpercik air laut.
Bertahun-tahun Ki Ageng Sulut mengintai kemunculan Ki Kusumo ke tanah Jawa setiap li-ma tahun sekali.
Namun selama itu, tak pernah sekali pun dia sanggup melacaknya.
Apalagi me-nemukannya.
Kini, setelah berusaha sekian ta-hun akhirnya ditemukan pula tabib sakti itu.
Sebenarnya, Ki Ageng Sulut tak perlu me-maksa Ki Kusumo untuk merawatnya sekian la-ma.
Ketika pertama kali tabib kesohor bukan saja di seantero tanah Jawa namun sampai ke negeri seberang itu menyanggupi akan mengobati pe-nyakit Ki Ageng Sulut, dia pernah menjelaskan obatnya.
"Penyakitmu akan bisa disembuhkan den-gan rendaman ekor pari pelangi. Satu makhluk laut yang hanya pernah hidup di Laut Jawa dua ratus tahun lalu,"
Kata Ki Kusumo waktu itu.
"Apakah kau memilikinya?"
Tanya Ki Ageng Sulut Ki Kusumo mengangguk.
"Bagus!"
Karena tak mempunyai prasangka apa pun terhadap calon pasiennya, kecuali rasa persaha-batan, Ki Kusumo mengungkapkan lagi.
"Sayang, aku telah menyatukannya menjadi satu bagian senjata pusaka, Kail Naga Samudera!"
Begitu pernah diungkapkan Ki Kusumo pada Ki Ageng Sulut. Jadi, si Iblis Dari Neraka hanya perlu memaksa Ki Kusumo berbicara mengenai tempat penyimpanan senjata pusaka Kail Naga Samudera.
"Katakan padaku di mana kau sembunyi-kan Kail Naga Samudera, Kusumo!"
Tekan Ki Ageng Sulut "Aku tahu pada akhirnya kau akan menun-tut benda itu!"
"Jangan banyak cincong! Katakan saja di mana benda itu!"
"Kau memang bodoh, Ki Ageng Sulut! Ke-napa kau pikir aku akan memberikan Kail Naga Samudera padamu?!"
"Bedebah keparat!"
"Dan kebodohanmu itu pun telah menye-babkan kau membuang tenaga sia-sia bertarung denganku. Kau tahu bukan, aku tetap tak akan memberikan Kail Naga Samudera padamu!"
"Semestinya kau memang kubunuh, Ku-sumo!"
"Di situlah kebodohanmu yang lain. Kau sebenarnya pun tahu, kalau kau membunuhku kau tak akan mendapatkan Kail Naga Samudera selamanya! Dan membusuklah tubuhmu perla-han-lahan sampai ajal menjelang..."
Ki Ageng Sulut mendengus-dengus. Tanpa diduga oleh Ki Kusumo, manusia sesat keji itu berkata.
"Kau salah menduga tentang diriku, Kusumo. Kalau kenyataannya kau tak akan membe-rikan Kail Naga Samudera padaku, maka sama saja bagiku untuk membunuhmu atau tidak membunuhmu! Lagi pula, aku akan lebih puas mati membusuk setelah kau kubuat mampus!"
Sadarlah Ki Kusumo kini bahwa dirinya terlalu mudah menduga Ki Ageng Sulut.
Semes-tinya, orang tua itu menyadari kalau manusia macam Ki Ageng Sulut sering sulit diduga tabiatnya.
Sang tabib sakti menegang.
Nyawanya dirasa sudah sampai di tenggo-rokan.
Terutama ketika Ki Ageng Sulut mengang-kat tinggi-tinggi kedua tangannya....
* * * Perubahan memang tak terelakkan.
Hu-kum alam telah berbicara.
Tak ada satu pun di semesta ini yang tetap.
Dari satu kejapan mata ke kejapan selanjutnya, selalu berubah.
Tak bumi.
Tak langit.
Tak usia.
Kalau kemarin-kemarin Satria begitu ngo-tot menolak tawaran Ki Kusumo dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk menjadi muridnya tiba-tiba saja ini hari dia telah resmi menjadi seorang murid.
Perubahan telah terjadi.
Siapa yang sanggup menahannya? Hari ini, di pantai Tanjung Karangbolong dua lelaki bertaut usia amat jauh terlihat berdiri menghadap Samudera Hindia.
Mereka adalah Satria.
Bersama si tua bangka bertabiat sinting, Dongdongka.
Terhitung mulai hari ini, pelajaran untuk si pemuda tanggung dimulai.
Setelah berdiri mengheningkan cipta, me-makukan karsa dan rasa untuk beberapa lama, Dongdongka mulai bergerak.
Kakinya melangkah mantap di atas pasir.
"Untuk menjadi muridku, pertama-tama kau harus belajar menjadi 'sinting',"
Katanya memulai. Satria merengut. Pelajaran sinting macam apa ini? Ditatapnya sang guru dengan pandangan memprotes. Mulutnya baru hendak melancarkan pertanyaan. Dongdongka sudah keburu men-gangkat tangan, mengacungkan dua jarinya.
"Yang kedua, jangan dulu banyak tanya!"
Satria bungkam. Guru tetap guru. Kalau dia sudah bertekad untuk belajar dari orang tua itu, sesinting-sintingnya Dongdongka, peraturan-nya harus dilaksanakan. Biasanya, di sanalah letak keberhasilan seorang murid.
"Kenapa kau harus belajar 'sinting'?!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mengajukan per-tanyaan. Satria tak tahu jawabannya. Tapi mulutnya tetap gatal hendak mengajukan protes. Belum-belum, si tua bangka yang terus berjalan mengi-tarinya mulai berkicau lagi.
"Asal kau tahu. Di dunia ini, sudah banyak orang 'sakit'. Kau tahu maksudnya? Banyak orang yang sebenarnya terserang penyakit jiwa. Satu contoh, ketamakan itu sebenarnya pun penyakit jiwa. Orang berjiwa se-hat, tak mungkin melepaskan begitu saja keinginan tamaknya. Apalagi? Banyak! Kebanyakan timbul dari sifat-sifat tercela yang meruyak dari benak lalu berwujud dalam perilaku.... Satria pusing mendengarkan khotbah Dongdongka. Sebenarnya dia hendak menurun-kan ilmu bela diri atau sedang belajar ilmu kudu? Kudu menjadi sinting seperti orang tua itu? "Kapan belajar ilmu bela dirinya, Kek?"
"Kubilang jangan banyak tanya! Kau telah melanggar peraturan kedua. Hukumannya, kau harus melompat-lompat di tempat dengan gaya seekor kodok bunting!"
Satria mendelik.
"Laksanakan!"
Bentak Dongdongka. Terpaksa Satria mulai melompat-lompat.
"Yang tinggi!"
Seru Dongdongka.
"Harus berapa kali aku melompat, Kek?!"
Tanya Satria.
"Kau melanggar lagi peraturan kedua!"
Satria mendelik lagi. Hukuman 'lompat ko-dok bunting' saja belum lagi selesai. Sudah ada lagi pelanggaran baru menurut gurunya. Bagaimana ini? "Sebagai hukuman pelanggaran kedua, kau harus melompat sambil menyuarakan suara ko-dok!"
Mak?! Satria terperangah dalam hati.
Untuk memprotes dia tak punya nyali.
Takut Dongdong-ka menambahkan hukuman untuknya.
Ini benar-benar pelajaran menjadi orang sinting, pikirnya.
Satria melompat-lompat.
Tinggi.
Napasnya sudah terengah-engah.
Belum lagi dia harus me-nirukan suara kodok.
"Krok.... Hhhh.... Krok.... HHhhh!"
"Yang keras!"
"Krrrooookkk!!! Hhhhh.... Krrooookkk"
"Cah Bagus!"
Selagi Satria menjadi 'kodok bunting', Dongdongka meneruskan khotbahnya.
"Jadi sampai di mana penjelasanku tadi? O, iya. Karena banyak orang di dunia ini sudah terserang penya-kit jiwa. Maka, anggaplah sudah banyak orang 'sinting' berkeliaran di muka bumi ini. Memang tak seperti 'sinting'nya orang sinting. Kau mengerti maksudku?"
"Kroookh!!"
"Maksudku, kesintingan mereka sudah ti-dak disadari lagi karena sudah dianggap perbuatan biasa. Nah, agar kita tidak jadi ikut 'sakit', ki-ta harus belajar mengetahui sifat-sifat apa saja yang bisa menjadikan jiwa kita 'sakit'. Untuk mengetahui dalamnya lautan, tentunya kita harus menyelam. Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang 'sakit' atau bukan, aku memutuskan untuk bertingkah seperti orang 'sakit'! Kau mengerti maksudku?!"
"Krrokkh!!"
"Ya, anggaplah kau mengerti. Meski sebe-narnya, aku sendiri tak mengerti.... Jadi, peraturan pertama itu harus kau laksanakan selama menjadi muridku! Belajarlah menjadi orang 'sinting'!"
Pelajaran pertama selesai untuk hari itu.
Dongdongka pergi begitu saja meninggalkan Sa-tria.
Muridnya sendiri jatuh telentang kecapaian di atas pasir.
Mulutnya terengah-engah.
Karena keseringan menyuarakan suara kodok, dengusan napasnya pun tanpa sadar memperdengarkan suara kodok.
"Krrooohhhhh! Hos-hoshos!"
Kalau hari ini Satria menjadi 'kodok bunt-ing', jangan-jangan besok disuruh menjadi kerbau bunting?! Mana tahan! TUJUH MAYANGSERUNI sedang duduk menikmati senja menua di atas sebuah bukit ketika di bawah sana datang segerombolan penunggang kuda dari arah barat.
Debu mengepul dilatar belakangi pemandangan matahari merah jingga yang setengah menyembul di pelipis bumi.
Penunggang kuda paling depan, membawa panji merah bergambar tengkorak.
Tak sulit menduga siapa mereka.
Hanya satu gerombolan yang membawa panji ber-lambang demikian.
Laskar Lawa Merah.
Tak salah lagi! "Mau apa mereka kembali?"
Tanya Mayangseruni seraya bangkit.
Laskar Lawa Merah di bawah sana melari-kan kuda tunggangan dengan cara menggila.
Ada sepuluh lelaki berperawakan dan penampilan ka-sar memacu kuda seperti kesetanan.
Keliru Mayangseruni mengira mereka hanya kembali.
Sebenarnya mereka sedang dikejar oleh sepasu-kan tentara Kerajaan Demak.
Selang beberapa saat kemudian, sudah tampak kepulan debu yang jauh lebih tinggi ke angkasa.
Asalnya dari gerak laju pasukan berku-da Kerajaan Demak.
Jumlah mereka lebih dari ti-ga puluh orang.
Tentu saja itu menciutkan nyali sepuluh anggota Laskar Lawa Merah yang entah kenapa terpisah dari pasukan induknya itu.
Pertanda bahwa Pasukan khusus Kerajaan Demak yang ditugaskan untuk menangani ge-rombolan perampok Laskar Lawa Merah telah mulai memasuki wilayah tersebut.
Saat Mayangseruni memperhatikan kejar-kejaran di kejauhan sana, tanpa disadari seseorang sudah berdiri di belakangnya.
"Kau harus bertanggung jawab terhadap nyawa seluruh anak buahku seandainya pasukan Demak berhasil menumpas mereka, Nona!"
Mayangseruni terperanjat. Cepat dia berba-lik. Ditemukannya Dirgasura. Berdiri dengan kesan mengancam, serta siap menggempur.
"Apa maksudmu?"
Kesiap Mayangseruni.
"Jangan berpura-pura lagi padaku, Nona. Kau kira mataku sudah buta? Kau adalah mata-mata Demak! Kau datang lebih dahulu ke sini untuk menyelidiki gerakan kami. Setelah kami ma-suk, kau kirimkan berita kepada pasukan Demak. Kau membuat perangkap yang cukup bagus un-tuk kami!"
Tuding Dirgasura.
"Jangan asal menuduh!"
"Sia-sia kau hendak mengelabui aku. Aku sudah terbiasa dengan siasat. Aku sudah menga-lami banyak persoalan, Nona. Bahkan sampai ta-nah seberang. Bodoh sekali kalau aku tak bisa mengendusi siasat macam ini!"
"Kau telah keliru menilaiku, Kisanak!"
"Keliru? Bagaimana dengan kalung ini?!"
Dirgasura mengangkat tangan kanan, memperli-hatkan satu kalung perak berlambang Kerajaan Demak dengan baris aksara Arab.
Wajah Mayangseruni berubah.
Tampak je-las keterkejutannya.
Langsung dirabanya dada.
Kalung yang selama ini dikenakan sudah tak ada lagi di sana.
Kalung miliknya telah berpindah tangan.
Tentu Dirgasura telah merampasnya tanpa disadari oleh gadis ayu itu ketika dia terlibat pertarungan dengan si kepala begal.
"Kau masih mau mungkir?"
Dirgasura menyudutkan.
Mayangseruni merasa jati dirinya telah ter-buka.
Dia tak mungkin mengelak lagi.
Percuma untuk menyangkal.
Dirgasura dengan amat cerdik membuat gadis tanggung itu mengaku secara tak langsung dengan memperlihatkan kalung milik-nya.
"Aku memang berasal dari Demak...,"
Akunya.
"Bagus!"
"Tapi aku bukan mata-mata seperti kata-mu!"
"Ha ha ha ha!"
Dirgasura melangkah beberapa tindak, mempersempit jarak dengan Mayangseruni. Pan-dangannya menombak tajam ke wajah gadis itu, menebarkan ketegangan.
"Kau mau aku percaya?"
Desis Dirgasura.
Mimik wajahnya memperlihatkan ancaman.
Juga gerak-geriknya.
Bahaya menjelang, pikir Mayangseruni.
Dia harus bersiaga terhadap segala kemungkinan.
Maka, diloloskannya sepasang pedang dari wa-rangka di punggungnya.
Cepat pula dipasangnya kuda-kuda.
Dengan Dirgasura di hadapannya, itu bisa berarti ancaman yang lebih berbahaya dari tiga ekor harimau lapar.
Mayangseruni menyadari hal itu.
Srang! "Ha ha ha ha!"
Gelak Dirgasura. Tak tahu apa yang dianggapnya lucu.
"Jangan paksa aku, Dirgasura!"
Ancam Mayangseruni. Perlahan langkahnya tersurut mundur, menjaga jarak. Semakin sempit jaraknya dengan Dirgasura, akan memberi semakin kesempatan besar bagi lelaki setengah raksasa itu melakukan serangan mendadak.
"Sudah kukatakan, aku bukan mata-mata Demak!"
Serunya kembali, mencoba meyakinkan Dirgasura.
Usaha sia-sia.
Naga-naganya, Dirgasura ju-stru lebih percaya pada kecurigaannya sendiri.
Akan sia-sia pula bagi Mayangseruni untuk men-gemukakan tujuan sebenarnya dia datang ke dae-rah itu.
Jalan satu-satunya adalah meloloskan diri.
Artinya, dia harus bertarung kembali dengan kepala perampok paling ditakuti di Pesisir Selatan Jawa.
Pilihannya kini, menyerang atau diserang terlebih dahulu.
Mayangseruni memutuskan menyerang le-bih dahulu.
"Heaaa!!" * * * Waktu beringsut. Tanpa disiasati, waktu justru terasa melesat terlampau cepat. Banyak orang tak menyadari, sampai mereka menemukan usia mereka telah sedikit tersisa. Empat bulan terlewati. Pantai Tanjung Karangbolong. Satria sudah memasuki purnama keempat masa bergurunya dengan Dedengkot Sinting Ke-pala Gundul. Ketika itu, dia terlihat sedang melatih jurus-jurus yang telah diturunkan padanya. Pemuda itu cepat menangkap. Jurus-jurus awal milik sang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa yang sebenarnya sulit dapat 'ditelan'nya hanya dalam tempo demikian singkat. Untuk jurus-jurus awal saja, seorang pendekar yang sudah berbekal cukup ilmu olah kanuragan membutuhkan waktu setengah tahun. Tak percuma Dongdongka mengangkatnya menjadi murid. Tak salah pula lelaki tua bertabiat sinting itu memilihnya. Bukan cuma punya ba-kat. Dia pun memiliki kecerdasan dalam menang-kap seluruh pelajaran. Namun kunci utamanya adalah kekuatan hatinya. Dia tak pantang putus asa. Tak pernah berdamai dengan kata menyerah. Semangatnya adalah api yang tak padam meski disiram guyuran hujan. Kemauannya adalah la-har yang terus menggelegak. Dalam dirinya terta-nam nilai-nilai luhur. Budi pekerti yang mengakar, kehalusan perasaan yang menghujam, keari-fan yang dalam, keperkasaan yang menjulang. Satria memang calon seorang 'Satria' sejati! Hari ini, dia diperintah untuk memperaga-kan seluruh jurus yang telah didapat. Dia bergerak cepat dan teratur. Terkadang melambat seper-ti jompo. Terkadang gemulai seperti penari. Di lain saat, jurus-jurusnya berubah menggebu. Pukulannya menderu. Tendangannya membabi buta, beruntun laksana gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, terdengar suara cukup keras. Pertanda setiap gerakannya mengandung tenaga kuat. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Wa-jahnya mematang. Digarang sinar matahari. Juga karena aliran darah yang terpacu liar. Di tengah-tengah jurus, pemuda itu me-lompat-lompat, berjingkat-jingkat. Tangannya menampar-nampar kening sendiri. Wajahnya be-rubah. Dari garang tanpa senyum, kini mengum-bar cengengesan sejadi-jadinya. Kakinya menendang tak karuan ke sana kemari. Satu tangan yang lain meliuk-liuk seperti mengikuti irama la-gu yang tak terdengar.
"Haa-haa! He he he!"
Terlempar teriakan disertai kekeh renyah-nya.
Dongdongka duduk memperhatikannya di atas sebatang lidi sepanjang tiga jengkal, tak ter-lihat kalau satu ujung lidi menancap di pasir.
Bahkan hanya tampak menyentuh permukaannya saja.
Plok Plok Plok! Tua bangka itu bertepuk tangan menyaksi-kan muridnya memainkan kegilaan di tengah-tengah jurus-jurus yang diperagakan.
Mulutnya berteriak-teriak riuh rendah, menandingi suara gemuruh ombak yang siap berjuang mendaki pantai.
"Aku suka bagian itu! Aku suka sekali! Ha ha ha!"
Satria makin terlihat gendeng.
Dia berjumpalitan ke sana kemari.
Tubuhnya pun dipenuhi pasir.
Disusul dengan gerakan menandak nga-wur.
Pada bagian ini, pemuda itu seolah sedang bermain-main.
Namun di balik itu, sebenarnya terkandung kehebatan tersendiri.
Orang yang menyaksikannya akan menganggap lelucon ten-gik.
Namun bagi tokoh persilatan bermata jeli akan berpendapat lain.
Mereka akan menemukan kekuatan tersembunyi di balik setiap gerakan ka-caunya, atau kecerdikan, atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga, atau bahaya maut! Seper-ti....
"Hieeeee-heeee!"
Prak prak prak! Gerakan lemah gemulai sebelah tangan Sa-tria menampar beruntun satu batang pohon kela-pa.
Kelihatannya seperti tidak sengaja.
Akibat yang ditimbulkannya cukup mencengangkan.
Ba-tang pohon kelapa itu menjadi tercabik setengah bagian.
Menurun berturut-turut dalam jarak yang nyaris sama! Dongdongka bertepuk tangan lagi.
Lebih riuh.
Lebih bersemangat.
"Jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'-mu sudah cukup matang, Satria! Bagus-bagus-bagus!"
Satria menjura. Menutup jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'. Dadanya masih turun naik. Sebaliknya, wajahnya masih memancarkan se-mangat. Bahkan sepertinya dia belum cukup puas, kendati gurunya sudah cukup banyak me-muji.
"Apa ada jurus baru yang hendak kau ajarkan padaku, Kek?"
Tanya Satria.
Dongdongka menggeleng-gelengkan kepala.
Muridnya satu ini benar-benar membuatnya ke-walahan.
Menurut perkiraan Dongdongka, Satria tak akan bisa mencapai jurus 'Dedengkot Gen-deng Kegirangan' setidaknya sampai dua-tiga purnama mendatang.
Sekarang, belum-belum dia sudah minta nambah! "Kunyuk kecil! Kenapa kau tidak bisa sedikit bersabar, Cah Gendeng!"
Rutuk Dongdongka. Dari atas lidi, tubuhnya mencelat kecil. Dia berdiri bertolak pinggang.
"Segala hal yang baik harus disegerakan, Kek. Bukan begitu?"
Kilah Satria.
"Ndas mu!"
Satria terkekeh. Dihampirinya sang guru.
"Apakah 'kesintingan'ku dalam jurus tadi sudah cukup sempurna, Kek?"
Tanyanya lagi. Ingin tahu penilaian gurunya lebih banyak. Dongdongka mencibir.
"Bagaimana, ya..."
Satria menunggu.
"Tampaknya, kau malah lebih 'sinting' dari aku! Hua-ha-ha ha!"
Keduanya lalu beranjak meninggalkan pan-tai. Latihan hari itu selesai. Mereka akan beristirahat sejenak di gubuk Ki Kusumo yang telah di-bangun kembali oleh keduanya.
"Sebentar!"
Tahan Dongdongka, baru saja beberapa tindak mereka melangkah. Mata kelabu Dedengkot Sinting Kepala Gundul melirik ke atas. Pada buah kelapa muda di satu pohon. Buahnya lebat, mengundang selera.
"Aku haus. Tentu segar kalau kita minum air kelapa setelah latihan seperti ini. Setuju pada pendapatku bukan?"
"Setuju!"
Seru Satria.
"Nah, sebagai murid, tentu kau mau sedikit menyenangkan gurumu, bukan?"
"Maksudnya?"
"Maksudku, kau yang naik memetik kela-pa, Tolol!"
Wajah Satria langsung kecut.
Soal letih ha-bis latihan sebenarnya tak menjadi soal.
Cuma, sepanjang pengetahuannya gurunya itu akan sangat mudah kalau cuma menginginkan buah kelapa muda.
Tak perlu memanjat, dia tinggal menjentikkan kerikil dengan tenaga dalam.
Tentu kelapa akan berjatuhan.
Kenapa harus aku juga disuruh memetik? Gerutunya dalam hati.
Tapi dilaksanakannya juga perintah sang guru.
Dihampirinya satu pohon.
Satria mulai memanjat.
Baru tiga-empat tombak dia meman-jat, tahu-tahu....
Wush! Bugh! "Wadau!"
Satria jatuh berdebam. Pantatnya meninju pasir telak. Sakitnya sampai ke ulu hati. Bahkan ke jempol kaki. Guru ahli 'kesintingan'nya telah melepas pukulan jarak jauh ringan. Menyebabkan pemuda tanggung itu terjatuh.
"Aku tidak menyuruhmu memanjat seperti kunyuk kurang makan, Cah Gendeng!!"
Teriak Dongdongka sengit.
"Tapi tadi Kakek menyuruhku memetik ke-lapa, bukan?"
"Iya, tapi tidak dengan cara seperti itu!"
Satria menggaruk-garuk kepala.
Bingung juga dia.
Disuruh memetik buah kelapa, tapi dilarang memanjat.
Jadi harus bagaimana.
Memeloto-tinya sampai buah kelapa berjatuhan sendiri? Ah, itu sih bukan 'sinting' pura-pura lagi.
itu sinting benaran! "Jangan cuma garuk-garuk kepala seperti itu! Bangun!"
Hardik Dongdongka. Satria bangkit. Tangannya mengurut-urut pantat yang masih terasa pegal berdenyut.
"Jadi caranya bagaimana, Kek?"
Tanya Satria terdengar memelas. Dia meringis-ringis. Bukan karena pegal di sekitar pantatnya. Melainkan karena tak tahu cara yang dimaui gurunya.
"Pikirkan sendiri! Pokoknya, sore nanti aku harus sudah meminum air kelapa muda! Awas, kalau ketahuan kau masih berusaha memanjat!"
Ancam si tua bangka.
Seenaknya, Dongdongka lalu ngeloyor per-gi.
Tinggal Satria garuk-garuk kepala tak gat-al.
Sendiri.
Dia diberondong kebingungan.
Apa maunya kakek satu ini? Pikirnya keras.
Pikir! Perintah benaknya, mengingat perka-taan sang guru.
Satria pun berkutat memikirkan.
Berdiri salah, maka dia duduk.
Duduk pun salah, maka dia berdiri lagi.
Duduk lagi, berdiri lagi.
Duduk lagi, berdiri lagi.
Belum juga dia dapat mencari cara yang lain agar dapat memetik kelapa tanpa harus memanjat.
Pakai galah? Bisik hatinya.
Mau cari bam-boo panjang di mana? Di sepanjang pantai ini, tak ada pohon bambu.
Atau dilempari saja dengan batu? Masa iya kelapa muda yang berserat alot dapat jatuh hanya karana dilempari? "Brengsek..."
Rutuk Satria, dongkol sendiri.
Akhirnya terpikir lagi olehnya sesuatu.
Bu-kankah gurunya dapat dengan mudah menjentik kerikil kecil untuk menjatuhkan buah kelapa dengan menyalurkan sedikit tenaga dalam? Lalu, kenapa harus memerintah muridnya? Tentu ada maksud di balik itu.
Sudah pasti ini berhubungan dengan pelajaran olah kanuragan yang telah didapat.
Pasti kakek itu hendak men-gujiku, duga Satria yakin.
Sadar dirinya cuma sedang diuji, Satria pun mulai mengingat-ingat kembali seluruh pelajaran olah kanuragan yang telah didapatnya.
"Aku dapat!"
Pekik pemuda tanggung ber-kemauan keras itu akhirnya.
Dia ingat sekarang, pada satu bagian jurus Dedengkot Gendeng Kegirangan ada penekanan kekuatan di bagian kaki.
Beberapa minggu terakhir gurunya memerintah dia untuk melatih kedua kakinya dengan cara menyeret beban seberat setengah anak kerbau sambil berlari di atas pasir.
Sudah hampir sepuluh pekan setiap hari hal itu dilakukan.
Tentu sekarang sudah terlihat hasilnya.
Cuma saja, sampai saat itu Satria belum menyadari.
Untuk mengetahuinya, tentu dia harus menguji sendiri.
Aku harus mencoba apakah otot-otot kaki-ku sudah cukup kuat, pikir Satria.
Lalu, dicarinya dua pohon kelapa yang tumbuh berdampingan yang jaraknya tak begitu jauh.
Setelah sekian lama dicari, akhirnya ditemukan juga.
Jarak antara keduanya cukup lebar.
Sekitar tiga-empat depa.
Satria pun mulai mempersiapkan diri.
Mu-la-mula, dipusatkan segenap karsa dan rasanya sejenak.
Setelah sampai pada titik kekhusukan tertentu, dia mencoba menghimpun tenaga di se-kujur otot kakinya.
Pada saatnya....
"Hhhh...."
Diiringi hempasan napas, Satria berlari kuat.
Tiba di satu batang pohon, kakinya menjejak dan dihentakkan kuat-kuat.
Tubuhnya pun terlempar.
Otot kakinya yang terlatih selama ini, baik selama mengarungi lautan menuju Pulau Dedemit atau selama berlari dengan beban, mem-buat hentakan itu demikian bertenaga.
Tubuhnya terlempar.
Mencelat seperti seekor bajing ke arah pohon di sebelahnya.
Ketajaman mata dan ketepatan perhitun-gannya yang terlatih dalam menghadapi karang di sekitar Pulau Dedemit membantunya untuk menempatkan dengan tepat pijakan berikutnya pada batang pohon kelapa.
Begitu kakinya menjejak dan dihentakkan, tubuhnya mencelat lagi ke pohon kelapa sebelahnya.
Lebih tinggi dari sebelumnya.
Begitu seterusnya, hingga akhirnya dia tiba di satu puncak pohon kelapa.
"Berhasil!!! Aku berhasiiilll!!!"
Teriak Satria kegirangan di atas pohon kelapa.
Dari dalam gubuk, diam-diam Dongdongka memperhatikan pemuda tanggung itu dengan si-nar mata terkagum-kagum.
Dia bangga punya murid seperti Satria.
Tampaknya aku dan Kusu-mo telah cukup berhasil mendidiknya, bisik ha-tinya.
"Kakek aku berhasiiill!!"
Teriak Satria tidak puas. Dongdongka keluar. Pura-pura tidak tahu dia.
"Mana kelapanya?"
Bentaknya dari bawah.
Satria melongo seketika.
Baru sadar, dia telah sampai di puncak pohon kelapa mandul! DELAPAN MENJELANG tengah malam.
Ada debur ombak.
Tiada letih sepanjang waktu, di sepanjang garis berliku pantai Tanjung Karangbolong.
Ada kedamaian ditawarkan.
Bintang-gemintang di langit.
Angin menuai bisiknya.
"Saaaatriaaaa!!!"
Pemuda tanggung yang dipanggil terlonjak kaget.
Dia terjaga dari tidurnya.
Matanya mengerjap-erjap.
Sayu karena masih mengantuk.
Kalau tak salah, tadi dalam mimpi dia bertemu bidadari.
Sialnya, kenapa suara bidadari itu begitu cem-preng seperti kaleng rombeng? "Satriaaaa!"
E, bujubuneng! Rupanya suara itu bukan teriakan bidadari cantik dalam mimpinya.
Telinga Satria hafal benar dengan suara panggilan menyakitkan telinga seperti itu.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Siapa lagi? Satria tergopoh-gopoh keluar gubuk.
Lang-kahnya sempoyongan.
"Ada apa, Kek?"
Tanyanya masih dengan mata mengerjap-erjap dan wajah kalang kabut.
"Ke sini kau!"
Perintah Dongdongka.
Orang tua aneh itu sedang duduk mencekung sendiri menghadap laut.
Hampir setiap malam dia mela-kukan itu.
Mungkin sedang merenungi perjalanan hidup yang telah demikian lelah.
Satria menghampiri.
Sebelum sampai, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memperlihatkan sesuatu di tangannya.
Tanpa berbalik, membiarkan punggung bungkuk-nya menghadap Satria.
"Kau dapat dari mana benda ini?"
Ta-nyanya.
Malam gelap.
Cahaya bulan sabit samar-samar.
Satria memperjelas pandangan.
Sesuatu di tangan gurunya adalah benda yang pernah di-temukannya tanpa sengaja di Pulau Dedemit.
Benda berbentuk bambu kuning sepanjang satu jengkal.
Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas.
Di ujung lain berbentuk ekor na-ga berwarna sama.
(Untuk mengetahui lebih jelas, baca kem-bali episode sebelumnya .
"Geger Pesisir Jawa")! "O, itu,..,"
Desah Satria sambil menguap lebar-lebar.
"Cepat jawab!"
"Aku menemukannya di Pulau Dedemit!"
"Sudah kuduga...."
"Sudah itu saja, Kek? Aku masih ngan-tuk...."
"Belum! Duduk kau!"
Dalam hati Satria mengeluh. Bidadari da-lam mimpinya pasti sudah pergi jauh entah ke mana. Syukur-syukur masih menantinya di ko-long balai "Aku ingin bicara padamu tentang benda ini,"
Ucap Dongdongka. Nada suaranya mendatar. Tak setinggi sebelumnya.
"Ho-oh... ho-oh...,"
Sahut Satria, dibarengi kuapan lebar tambahan. Matanya sebentar-sebentar terpejam. Sebentar terbuka. Angin laut yang sepoi-sepoi basah memperparah kantuknya. Bletak! Matanya kontan mendelik. Jidatnya baru saja dijitak Dongdongka.
"Buka matamu lebar. Pasang telinga baik-baik...."
Satria meringis-ringis sambil mengurut ji-dat.
"Iya, Kek...,"
Sungutnya.
"Aku menemukan benda ini di bawah ba-laimu. Pasti kau yang telah meletakkannya di sa-na. Kau tahu benda apa ini?"
Susul Dongdongka kemudian. Pemuda tanggung di sisinya menggeleng.
"Barangkali cangklong...."
"Jangan menjawab sebelum kusuruh!"
Tadi ditanya! Gerutu Satria dalam hati.
"Benda ini adalah benda pusaka, tahu?!"
Waduh, mulai lagi penyakit lama gurunya. Kata 'tahu' di akhir kalimat itu benar-benar menyebalkan! Kenapa dia senang sekali menyebut 'tahu'.... Eh, apa katanya tadi? Satria tercekat. Kasak-kusuk hatinya tersunat.
"Benda pusaka?"
Perangahnya. Mulutnya menganga. Dongdongka mengangguk.
"Orang terakhir yang memiliki ini adalah Kusumo."
"Ki Kusumo? Jadi benda pusaka itu milik Ki Kusumo. Waduh, sungguh aku tak tahu kalau benda itu milik Ki Kusumo, Kek. Aku justru menganggap benda itu cuma kerajinan tangan bi-asa...,"
Satria gelagapan.
Takut disalahkan.
Dongdongka tak berkata apa-apa.
Ditarik-nya ekor naga pada ujung benda itu.
Srrt! Lalu batang yang semula pendek kini me-manjang.
Ada bagian-bagian yang rupanya dapat ditekan masuk ke dalam.
Selain itu, logam ber-bentuk ekor naga dihubungkan pula oleh ekor pa-ri kering.
Warnanya aneh.
Seperti warna pelangi.
Dongdongka berdiri.
Dihampirinya bibir pantai.
Di batas pasir di mana ombak tak bisa la-gi mendaki, dia berhenti.
Berdiri diam beberapa saat.
Tak lama berselang, tangannya mulai menggerak-gerakkan benda yang telah berubah seperti kail di tangannya.
Wuk wuk wuk! Mata kail logam berbentuk ekor naga ber-putar, memperdengarkan suara keras menggidik-kan.
Makin lama, suaranya makin santer.
Tak seperti bergaung.
Lebih tepat dikatakan bergemu-ruh.
Satria beringsut mundur.
Wajahnya keta-kutan.
Disangkanya Dongdongka akan mencam-buknya karena telah lancang membawa benda pusaka milik Ki Kusumo.
Pemuda tanggung itu makin kecut menyaksikan ekor pari yang berpu-tar membersitkan warna-warni pelangi di kegelapan malam! Berpendar melingkar selebar wuwun-gan gubuk! Dan ketika Dongdongka melecutkan benda di tangannya ke arah ombak.
Cletarr! Wrrr! Ada cahaya pelangi terbersit dari ujung kail.
Menuju ombak besar dan menerkamnya.
Ka-la itu juga, ombak terpecah.
Terbentuk sibakan memanjang sesaat, membuat dasar pantai terlihat! Mata Satria tak berkedip menyaksikan itu.
Mulutnya menganga lebar-lebar.
Kantuknya ter-bang entah ke mana.
"Kau lihat itu?"
Tanya Dongdongka tanpa berbalik atau menoleh. Si pemuda tanggung yang ditanya cuma mengangguk-angguk seperti orang tolol.
"Aku hanya mengerahkan sedikit tenaga dalamku. Hanya sedikit. Namun benda pusaka ini telah sanggup membelah ombak! Ada kekuatan sakti yang terkandung di dalamnya.... Benda seperti ini tidak boleh jatuh ke tangan orang sesat. Harus ada pewaris yang tepat untuk menerima amanat benda ini."
"Kekuatan sakti?"
Ulang Satria latah. Dongdongka menghampiri Satria. Orang tua itu menepuk bahu si pemuda tanggung.
"Benda ini jadi milikmu...,"
Ucapnya datar. Satria bagai disambar geledek.
"Kusumo telah mewasiatkan padaku bahwa benda pusaka ini akan jadi milikmu. Jauh hari setelah kami bersepakat untuk mengangkatmu menjadi murid kami. Dia memang telah yakin kau akan menemukan Kail Naga Samudera ini di tempat rahasianya."
Terus saja pemuda tanggung itu melongo.
"Tapi, kau baru siap mendapatkan benda pusaka ini jika kau sudah selesai berguru denganku!" * * * Satria hari itu sedang berjalan di sekitar hutan perbatasan Pandan-Kutowinangun. Gu-runya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyu-ruhnya untuk berburu rusa. Dia hendak makan enak, makan besar, begitu kata Dongdongka. Tak mau makan daging kelinci atau ayam hutan yang lebih mudah didapatkan. Dia cuma mau makan daging rusa panggang! Kakek tua itu seperti perempuan sedang ngidam saja! Ada seekor rusa gemuk sedang asyik ma-kan semak. Satria tersenyum. Buruannya menanti. Di-persiapkannya anak panah. Cukup hanya dengan sekali bidik, akan didapatkannya rusa jantan gemuk itu. Akan dibawanya pulang ke gubuk, biar gurunya merasa senang, pikirnya. Agar tak meleset, Satria mengendap-endap lebih dekat. Sialnya, dia menginjak ranting kering. Krak! Rusa itu pun lari.
"Brengsek!"
Rutuk Satria.
Sekarang, dia harus mencari lagi buruan yang lain.
Tak putus semangat, pemuda tanggung itu meneruskan per-buruan.
Rejeki memang tak kemana-mana kalau berjodoh.
Rusa yang sebelumnya dilihat ternyata tak beranjak terlalu jauh dari tempat semula.
Kembali Satria mempersiapkan anak panah.
Bu-sur direntangkan dengan mantap.
Jaraknya su-dah cukup bagus.
Mata tajamnya pun sebelah menyipit, melakukan bidikan.
Wukh! Busur melepas anak panah.
Anak panah melesat.
Dan tepat mengenai si rusa jantan.
Ketika didekati, ternyata ada dua anak pa-nah telah menembus tubuh hewan itu.
Satu milik Satria.
Menancap di sisi kiri rusuknya.
Yang lain entah milik siapa.
Menancap di rusuk kanan.
Tak lama berselang keluar pemilik anak panah.
Seorang prajurit pasukan Demak yang pernah mengajari Satria beberapa jurus dasar kepra-juritan.
"Hey, bukankah kau Satria?!"
"Kang Punggawa?!"
Seru Satria, mengenali lelaki itu.
"Anak panah ini milik Kakang?"
Tanyanya kemudian. Si prajurit mengangguk.
"Jadi bagaimana dengan rusa ini?"
Tanya Satria. Dia tak merasa berhak memiliki rusa itu sendiri.
"Sudahlah. Aku bisa mendapatkan rusa yang lain. Lagi pula bukan cuma aku yang ditu-gaskan memburu rusa. Kami butuh beberapa ekor untuk persediaan makanan pasukan."
"Jadi tugas pasukan Demak menumpas ge-rombolan begal itu belum juga berhasil?"
Prajurit itu menggeleng. Wajahnya berusa-ha menyembunyikan kekecewaan.
"Sebenarnya, kami telah berhasil menge-pung mereka. Namun ada satu hal yang membuat kami tak bisa berkutik...."
Lalu prajurit itu pun bercerita tentang ke-jadian beberapa pekan lalu.
Pasukan Demak di bawah pimpinan Sena Bagaspati waktu itu berhasil mengepung posisi Laskar Lawa Merah di hutan perbatasan Pandan -Kutowinangun.
Setelah memergoki beberapa orang anggota Laskar Lawa Merah tanpa sengaja, pasukan Demak berhasil menemukan pasukan induk Laskar Lawa Merah.
Hal itu pun berkat siasat cerdik Bagaspati.
Ketika sepuluh anggota begal sedang diburu pa-sukannya, sengaja Bagaspati memerintahkan se-luruh pasukan untuk menghentikan pengejaran.
Hanya dirinya saja yang melanjutkan pen-gejaran.
Dengan begitu tujuannya berubah men-jadi pengintaian.
Dan memang itu yang diingin-kan Bagaspati.
Dia memang merasa harus men-gambil alih sendiri tanggung jawab pengintaian berbahaya tersebut.
Sementara tanggung-jawab memimpin pasukan diserahkan kepada wakilnya.
Dengan cara itu, sepuluh anggota begal Laskar Lawa Merah menyangka telah lolos dari kejaran.
Sementara dengan diam-diam, Bagaspati terus menguntit mereka.
Bagaspati yakin, suatu saat, mereka akan membawanya langsung ke pasukan induk di bawah pimpinan gerombolan Dir-gasura.
Siasat tersebut berhasil membawanya ke posisi pasukan induk Laskar Lawa Merah di sekitar tempat yang dikepung kini.
Bagaspati kembali secepatnya ke pasukannya.
Lalu dengan satu gerakan kilat, pasukannya mengepung posisi ge-rombolan Laskar Lawa Merah.
Dirgasura ketika itu marah besar menda-pati ke sepuluh anak buahnya menggabungkan diri.
Selaku seorang pimpinan gerombolan begal yang banyak menelan asam garam peperangan di beberapa medan, tentu saja dia mengkhawatirkan penggabungan mereka malah akan menuntun pasukan Demak ke posisi pasukan induknya.
Kalau tak memikirkan kekuatannya akan berkurang un-tuk menghadapi pasukan Demak, akan dibunuh-nya kesepuluh anak buah yang ceroboh itu.
Kekhawatirannya terbukti.
Sayang, tak ada tindakan lain dapat dilakukan.
Karena sudah ter-lambat.
Pasukan Demak sudah lebih cepat men-gepung.
Namun, Dirgasura adalah seorang ahli siasat.
Sebelum semua itu terjadi, dia telah memperhitungkan kemungkinan tersebut.
Satu 'tameng rahasia' telah dipersiapkan.
Akan dipergunakannya jika keadaan telah begitu mendesak.
Mayangserunilah 'tameng rahasia' itu! Pe-rempuan muda ayu itu berhasil diringkusnya ke-tika ke sepuluh anak buahnya terpergok pasukan Demak.
"Jadi, kami terpaksa mundur teratur ketika Dirgasura busuk itu mengancam sanderanya. Perbuatan busuk yang dulu pernah pula dilaku-kan ketika terjadi pembantaian pasukan kami di Kadipaten Ketawang.... (Bacalah episode pertama .
"Tabib Sakti Pulau Dedemit")!"
Prajurit Demak yang bertemu dengan Satria mengakhiri ceri-tanya.
Satria tentu saja tak jelas mengenai sandera perempuan Dirgasura.
Sebab lelaki di depan-nya hanya menceritakan tentang secara gam-blang.
Tanpa menjelaskan rinci siapa perempuan yang disandera.
"Kakang tahu siapa wanita itu?"
Tanya Satria.
"Itulah!"
Tukas prajurit Demak itu.
"Di samping karena kami tak mungkin memperta-ruhkan nyawanya, ternyata gadis itu adalah seorang putri Patih Kerajaan Demak!"
"Namanya?"
Susul Satria. Entah bagaimana perasaannya mendadak jadi tak enak. Ada semacam firasat bahwa sandera perempuan Dirgasura dikenalnya. Karenanya dia jadi begitu penasaran.
"Aku pernah mendengar namanya. Seben-tar...."
Prajurit tadi mengingat-ingat.
"O, iya! Mayangseruni."
Tersentaklah Satria bagai disengat puluhan kalajengking.
"Perempuan sebaya saya, Kang?"
"Iya. Kok tahu?"
"Rambutnya diekor kuda?"
"Iya-iya!"
"Wajahnya ayu, berbaju kuning, bercelana pangsi merah hati?!"
"Iyaaa! Eh, kau kenal dia, ya?"
"Kacau-balau!!"
"Kacau-balau?! Siapa yang kacau-balau?!"
"Dia itu kawanku, Kang!"
"Kawanmu?!"
"Kalau begitu, Kakang sekarang beri tahu saya di mana Laskar Lawa Merah berada seka-rang!"
"Memangnya?"
"Aku akan ke sana. Mau menyelamatkan Mayangseruni!"
Kening prajurit tadi berkerut. Alisnya ber-taut.
"Kau jangan bergurau?!"
"Ah, Kakang Ini!"
"Ah, kau ini!"
"Sungguh Kang, aku tak bergurau!"
SEMBILAN SENJA, menjelang malam.
Satria mengen-dap-endap masuk gubuk.
Rusa hasil buruannya diletakkan begitu saja di depan pintu.
Kalau sebelumnya dia berniat pulang sambil berteriak-teriak membanggakan rusa jantan gemuk hasil berburu kepada gurunya, kini niat itu telah berubah tajam.
Dia malah tak ingin kepulangannya diketa-hui sedikit pun.
Sebelum masuk, dia sempat mengintip dari celah gubuk.
Gubuk sepi.
Dedengkot Sinting Ke-pala Gundul tidak ada.
Barangkali sedang tepe-kur di tepi pantai seperti malam-malam biasa.
Dongdongka tak ada.
Artinya kesempatan besar bagi Satria untuk memulai rencananya.
Rencana yang tercetus begitu saja ketika dia mendengar penuturan prajurit Demak bahwa Mayangseruni telah disandera Laskar Lawa Me-rah.
Di dalam gubuk, Satria mulai mencari-cari.
Ditengoknya kolong balai.
Benda yang dicari tak ada di sana.
Ditengoknya pula tempat lain.
Tak ada juga.
Semakin lama mencari, pemuda itu mulai kesal.
Dia mulai mengobrak-abrlk isi gubuk.
Balai diterbalikkannya.
Kaki balai dari bambu di-telitinya.
Siapa tahu benda yang dicari ada di dalamnya.
Tak ada juga.
Napas Satria sudah turun-naik.
Karena kesal.
Bukan karena kecapaian mencari.
Seluruh isi gubuk sudah dibongkar-bongkarnya.
Balai sudah.
Tempayan sudah.
Tak ada juga.
Dia diam sebentar.
Matanya melayap ke mana-mana, men-duga-duga di mana lagi tempat yang paling me-mungkinkan untuk mencari benda yang di-mauinya.
Di atap? Kepalanya menggeleng.
Sulit me-nyembunyikan sesuatu di atap gubuk yang tak berlangit-langit.
Dipendam di bawah lantai tanah gubuk? Satria menggeleng lagi.
Gurunya bukan sejenis makhluk yang suka melakukan pekerjaan menyu-litkan.
Lagi pula tak ada tanda-tanda kalau tanah di dalam gubuk pernah digali.
Lantas di mana? Mendadak pintu berderit.
Satria menyang-ka Dongdongka telah kembali.
Brengsek kalau begitu.
Dia belum lagi menemukan benda yang dicari.
Kalau kakek itu sudah pulang, dia tak bisa lagi meneruskan pencarian.
Tak ada yang masuk juga.
Rupanya tadi hanya hembusan angin menggerakkan pintu dari bilik bambu.
Saat itulah, mata si pemuda tang-gung melihat kerangka di sisi pintu.
Kerangka itu terbuat dari bambu bulan sebesar pergelangan tangan.
Dan ruas bambunya di bagian atas tak terlalu dalam.
Cukup untuk menyembunyikan benda yang dicarinya.
Bibir Satria menyeringai jelek.
Pasti Kakek Dongdongka menyimpannya di sana! Duganya yakin.
Bagi Satria, pikiran orang tua macam De-dengkot Sinting Kepala Gundul mudah sekali di-duga, meskipun saktinya seperti siluman pen-gangguran.
Padahal orang lain malah bisa dibuat pusing tujuh kali tujuh keliling! Dengan keyakinan luber, Satria buru-buru memeriksa kerangka pintu.
Tepat sekali perki-raannya! Benda yang dicari-carinya memang dis-embunyikan di sana oleh Dongdongka.
Kali Naga Samudera.
Satria memang tak main-main ketika ber-kata akan menolong Mayangseruni di sarang Laskar Lawa Merah.
Kail Naga Samudera dirasa amat dibutuhkan untuk menghadapi mereka.
Mau bilang apa lagi.
Pemuda tanggung satu itu kerapkali bertindak agak gendeng.
Bahkan jauh hari sebelum berguru pada Dedengkot Sinting.
Paling tidak, begitulah anggapan prajurit Demak yang bertemu dengan Satria di hutan siang tadi.
Baru saja Satria hendak beranjak, terden-gar siulan sember, menyenandungkan lagu tak jelas.
Tak lama, terdengar seruan serak Dongdong-ka.
"Makan besaaarr! Satriaaa! Rupanya kau berhasil mendapatkan rusa jantan besar. Gemuk lagi. Kau benar-benar murid berbakti!"
Satria merutuk dalam hati sejadi-jadinya.
Rencananya bisa gagal dengan kepulangan kakek aneh itu.
Cepat-cepat disembunyikan Kail Naga Samudera di balik punggungnya.
Dan mumpung si tua itu belum masuk ke dalam, dia harus mengambil tindakan cepat.
Keluar dari jendela bela-kang.
Berjingkat-jingkat Satria menuju jendela.
Dinaiki nya jendela.
Sewaktu berhasil naik dan hendak turun....
"Ngomong-ngomong, kau berniat minggat atau apa?"
Dongdongka sudah berdiri bersandar di bilik sisi jendela. Alis matanya terungkit-ungkit. Kacau balau! Gerutu. Satria dalam hati. Dia meringis. Terus dia berusaha cengengesan. Tanpa sedikit pun mimik meyakinkan.
"He he he...."
Dedengkot Sinting Kepala Gundul ber 'he he he' juga.
"Aku iseng tak ada kerjaan Kek. Jadi, ku-panjat saja jendela. He he he...."
"Kok bisa begitu, ya? He he he...,"
Ledek Dongdongka dengan paras yang menyebalkan.
"Berikan Kail Naga Samudera itu padaku!"
Bentaknya.
"Cepuuuuaaat!"
Bersungut-sungut, Satria turun dari jende-la gubuk.
"Tapi aku membutuhkan pusaka ini, Kek...,"
Rajuknya.
"Ah, tai kucing! Kau belum membutuhkan benda itu sampai kau benar-benar telah mewa-riskan seluruh kesaktianku!"
Tumpas Dongdongka. Wajah pemuda tanggung itu cemberut. Asam sekali.
"Ayo serahkan!"
Paksa Dongdongka. Tan-gannya menjulur ke depan. Jarinya bergerak-gerak meminta.
"Baiklah,"
Tandas Satria. Tahu-tahu timbul akal kancilnya. Diserahkan Kail Naga Samudera seperti tak punya masalah apa-apa. Setelah itu, dia ngeloyor pergi.
"Mau ke mana kau?!"
"Entahlah!"
"Minggat?!"
"Iya, minggat!"
Wajah Dongdongka berubah pucat. Ming-gat? Ancaman paling menyeramkan bagi tua bangka itu.
"Bagaimana dengan panggang rusa kita?"
Dicobanya merayu Satria.
"Silakan Kakek menghabiskan sendiri...."
Dongdongka garuk-garuk kepala.
"Bag... bagaimana dengan pelajaran olah kanuraganmu, Cah Gendeng?"
"Aku tidak mau lagi!"
Meringislah bibir peyot Dongdongka. Itu sebenarnya hal yang paling ditakuti Dongdongka. Buru-buru dikuntitnya langkah si pemuda tang-gung. Di belakang pemuda itu, Dongdongka ber-tanya lagi.
"Memangnya kenapa?"
"Karena aku mau berhenti!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Entahlah...."
"O, kau ingin benda ini, kan?"
Satria menghentikan langkahnya. Diam-diam dia tersenyum di depan Dongdongka. Kakek itu tak tahu senyum kancilnya. Meski tak meli-hat, Satria yakin Kakek Dongdongka sedang me-nyodorkan Kali Naga Samudera di belakangnya.
"Ya,"
Jawab Satria mantap sambil membalikkan tubuh cepat. Tapi dia kecele. Matanya melotot. Sebab yang disodorkan Dongdongka adalah... buntut ru-sa jantan! "Kau ingin benda ini?"
Ulang Dongdongka. Dia terkekeh.
"Aku berhenti jadi murid mu!"
Ketus Satria sambil membalikkan badan kembali. Dia melanjutkan langkah gusar.
"Baik-baik. Kail Naga Samudera boleh kau pegang. Asal kau memberitahu apa tujuanmu?"
Dongdongka akhirnya menyerah.
"Kalau kau tetap mau aku menjadi murid-mu, kau harus menyerahkan Kail Naga Samudera itu padaku tanpa banyak tanya. Tanpa syarat."
Dongdongka manyun. Sebenarnya yang murid itu Satria atau dia? Sebal juga punya murid satu ini. Suka membuat pegal perasaan. Sayang Satria cuma satu-satunya murid pilihannya. Kalau tidak, sudah dicekiknya sejak dulu! "Nih...."
Pasrah, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyerahkan Kail Naga Samudera pada murid-nya. Satria meneruskan langkah tergesa setelah menerima Kail Naga Samudera. Wajahnya cerah. Seperti ular kadut baru menelan seekor tikus sa-wah.
"Katanya kau tak pergi kalau kuberikan benda itu?"
Protes Dongdongka, tak mengerti. Satria menoleh dengan senyumnya.
"Aku ada sedikit urusan, Kek. Aku janji akan kembali. Aku cuma meminjam benda ini se-bentar saja. Nanti juga kukembalikan,"
Katanya, berubah sopan. Dongdongka cuma bisa mengangkat bahu.
"Terserah kaulah...,"
Gumamnya pasrah.
Satria pergi.
Pakai melambaikan tangan pula! Bikin Dongdongka makin sebel saja.
* * * Menjelang tengah malam.
Setelah kepergian Satria, Dongdongka mendapat tamu tak terduga-duga.
Seorang yang sudah dikenalnya datang.
Dedengkot Sinting Ke-pala Gundul tidak merasa senang menerimanya.
Bukan karena bermusuhan.
Melainkan karena orang itu adalah Ki Kusumo yang keadaannya sangat menyedihkan.
Bahkan bisa disebut men-gerikan.
Ki Kusumo datang menyeret-nyeret diri di pasir.
Kedua belah kakinya sudah tak ada! Ku-tung di batas lutut.
Luka-luka yang dideritannya terlalu parah.
Darah tercecer sepanjang seretan tubuhnya di pasir pantai.
Sudah banyak darah yang telah mengalir keluar.
Nyawanya di ambang maut.
Hanya keteguhan hatinya yang membuat dia masih sanggup mencapai tempat itu.
Ki Ageng Sulut, yang lebih dikenal dengan julukan sangar sebagai Iblis Dari Neraka, telah mengutungi kakinya.
Sewaktu datuk sesat itu menanyakan perihal Kail Naga Samudera pada Ki Kusumo, dia tak mendapat jawaban sedikit pun.
Kegusarannya meletus menjadi tindakan biadab.
Dia memaksa Ki Kusumo bicara dengan mengan-cam akan memotong bagian tubuhnya.
Karena sang tabib kenamaan yang sudah tak berdaya tak juga mau berbicara, maka anca-man itu pun dilaksanakan.
Dengan sabetan 'Tangan Baja Merah'-nya, Ki Ageng Sulut memba-bat satu kaki Ki Kusumo.
Saat menguasai kea-daan sepenuhnya seperti itu, dengan amat mudah Ki Ageng Sulut melakukan tindakan keji terhadap Ki Kusumo.
Sekali lagi Ki Ageng Sulut menurunkan an-caman.
Ki Kusumo harus bicara.
Jika tidak, sebelah kakinya yang lain akan menyusul.
Jawaban Ki Kusumo cuma senyum menan-tang.
Dan sebelah kakinya pun menjadi korban berikutnya.
Sekali ini bukan karena Ki Ageng Sulut ingin membuktikan ancamannya.
Melainkan dia dibuat amat murka oleh kekeraskepalaan Ki Kusumo.
Dalam hati kerasnya, bergaung-gaung keinginan untuk membunuh saja Ki Kusumo.
Namun dia tak bisa melakukannya.
Sebab dia ta-hu benar, jika Ki Kusumo dibunuh, maka kesem-patannya untuk mendapatkan pemunah penya-kitnya akan hilang.
Yakin kalau Ki Kusumo tetap tak akan bi-cara, akhirnya Ki Ageng Sulut meninggalkan la-wannya begitu saja.
Toh, suatu hari dia bisa me-laksanakan siasat lain.
Meskipun untuk itu dia harus sedikit lebih lama menderita penyakit men-jijikkannya.
"Kusumo, kenapa dengan dirimu?!"
Seru Dongdongka. Bukan main terperanjatnya sesepuh itu menyaksikan keadaan Ki Kusumo. Terengah-engah, terputus-putus, juga ter-sendat-sendat seolah berkutat mempertahankan nyawa di ujung tenggorokan, Ki Kusumo membi-sikkan sesuatu pada Dongdongka.
"Kk.... Kail Naga Samudera. Ki Ageng Sulut datang untuk mengincarnya...."
Tak sempat menambah satu kata pun pada kalimatnya, Ki Kusumo sudah jatuh tak sadarkan diri.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terhenyak.
Bahaya besar sedang mengincar Satria.
Pada saat yang sama, nyawa Ki Kusumo pun da-lam keadaan terancam.
Jika tidak segera ditolong, tabib ternama itu akan segera mati dan tanah Jawa akan kehilangan dirinya.
Siapa yang harus didahulukan? SEPULUH SATRIA benar-benar tiba di markas terak-hir Laskar Lawa Merah malam itu.
Dia mengen-dap-endap di antara semak-semak, mencari-cari tempat di mana Mayangseruni ditahan.
Sebenarnya prajurit Demak yang dite-muinya di hutan waktu itu tidak memberitahukan padanya lokasi terakhir gerombolan perampok.
Dianggapnya, Satria hanya main-main.
Lagi pula urusan itu adalah wewenang kerajaan, terlalu besar untuk dibicarakan pada seorang bocah baru besar seperti Satria.
Terutama posisi terakhir Laskar Lawa Merah.
Satria memang tak tergolong pemuda tang-gung berhati cebol.
Dia tak menyerah untuk mencari tahu.
Diputarnya otak.
Didapatnya akal.
Di-am-diam disatroninya pasukan Demak.
Caranya dengan menguntit prajurit Demak yang dite-muinya.
Di barak sementara pasukan Demak, Sa-tria menguping setiap pembicaraan prajurit De-mak.
Sampai akhirnya salah seorang dari mereka menyebut-nyebut nama tempat di mana Laskar Lawa Merah terakhir dikepung.
Kembali ke Satria.
Sudah cukup lama pe-muda tanggung itu mengintai markas darurat Laskar Lawa Merah.
Mayangseruni belum terlihat juga.
Hanya ada anggota begal.
Sebagian sedang duduk tertawa-tawa sambil menenggak arak di seputar api unggun besar.
Sebagian lain tertidur di bawah pohon.
Lainnya berjaga-jaga.
Jumlah mereka tak kurang dari empat puluh orang! Bah-kan mungkin lebih! Dirgasura tak tampak di antara mereka.
Besar kemungkinan lelaki setengah raksasa ber-darah dingin itu menempati tenda kulit satu-satunya yang berdiri di sana.
Dari celah-celah tenda, menyelinap lamat-lamat cahaya lentera.
Kalau di mana-mana tak ada, besar ke-mungkinan pula Mayangseruni berada di tempat yang sama.
Tentu Dirgasura merasa harus men-jaga langsung gadis itu di dalam tendanya, pikir Satria.
"Atau...."
Satria mendesis.
Terpikir olehnya lelaki laknat itu melakukan perbuatan tak seno-noh pada Mayangseruni.
Kalau itu sempat terjadi, Satria bersumpah akan membunuh Dirgasura meski nyawanya harus ditukar dengan nyawa pemimpin gerombolan itu! Satria harus memastikan apakah Mayang-seruni tidak kenapa-napa.
Dia begitu khawatir terhadap keselamatannya.
Sepertinya dia men-ganggap Mayangseruni sebagai Tresnasari saja.
Perlahan-lahan, dia mengendap sangat hati-hati.
Dalam jarak lima tombak dari tenda, Satria berhenti.
Dia tak ingin mengambil resiko.
Jika benar Dirgasura berada dalam tenda, maka gerak-geriknya akan diketahui oleh telinganya.
Pen-dengarannya tentu sudah amat terlatih.
Terlalu dekat Satria mengintai, akan semakin besar ke-mungkinan Dirgasura mengetahui keberadaan-nya.
Angin bertiup.
Menyingkap kerai penutup tenda.
Saat itulah Satria mempunyai kesempatan untuk mencuri pandangan ke dalam tenda.
Kenyataannya, Mayangseruni memang berada di da-lam tenda.
Begitu Juga Dirgasura.
Anehnya, kenapa Mayangseruni tampak sedang berbincang-bincang akrab dengan Dirga-sura? Satria yakin dirinya tak salah lihat.
Kerai cukup lama terkuak angin.
Cukup waktu baginya untuk mencuri-curi pandangan dengan jelas.
Dia tak mungkin salah lihat! "Tak mungkin...,"
Bisik Satria amat perlahan, tak percaya pada pandangannya sendiri.
Namun sekali lagi, matanya memang tak salah lihat.
Kini, menyeruak keraguan dalam dirinya.
Tentang siapa sesungguhnya Mayangseruni.
Apa mungkin Mayangseruni adalah anggota gerombo-lan Laskar Lawa Merah.
Mungkinkah dia mata dan telinga Dirgasura di luar sana? Kalau me-mang begitu, masih adakah alasannya menyela-matkan Mayangseruni? Keraguan makin menggumpal-gumpal.
Tanpa sadar, Satria tersurut mundur aki-bat keterkejutannya sendiri.
Di belakangnya, sebatang ranting kering tergeletak.
Benda itu terin-jak tak sengaja.
Krak! "Hoi, siapa itu?!"
Terdengar teriakan Dirga-sura dari dalam tenda.
Sangar.
Bergemuruh.
Sa-tria tercekat.
Sebelum sempat dia menyadari keadaan-nya, satu deru santer terdengar dari arah samping.
Satria melempar pandangan siaga.
Disaksikannya ada mata tombak menuju dirinya.
Deras.
"Haih!"
Berkawal satu teriakan, pemuda itu berge-rak refleks membuang tubuh ke depan.
Tombak luput memangsa dirinya dan menancap di satu batang pohon.
Satria sendiri bergulingan sebentar.
Ketika bangkit kembali dengan pancangan kuda-kuda, anak buah Dirgasura sudah menge-pungnya dengan senjata lengkap.
Posisinya be-nar-benar terjepit.
Dia melompat ke arah yang keliru, semata hanya mengikuti dorongan nalurinya saja.
Namun itu malah menempatkan dirinya tepat di depan tenda Dirgasura.
Jaringan otot Satria mengeras.
Saraf-sarafnya berdenyut, menggiring kete-gangan.
Memuncak.
Kerai tenda tersingkap oleh terjangan se-seorang dari dalam.
Dirgasura keluar dengan wajah garangnya.
Tak ada waktu lagi untuk menunggu, desis hati Satria.
Pilihannya.
mendahului atau didahului! Maka, diloloskannya Kail Naga Samudera dari balik bajunya.
Srttt! Benda kecil itu memanjang ketika disentak.
Detik berikutnya, Satria mengayunkan mata kail berbentuk ekor naga ke arah Dirgasura.
Wuk! Meski dalam keadaan tidak siap, Dirgasura sanggup menghindari sambaran mata logam ta-jam yang hendak mengoyak tenggorokannya.
Dia hanya mundur satu tindak.
Disusul dengan ter-kaman ke depan.
Satu hentakan tangan ke tanah dilakukan.
Tubuhnya berjumpalitan sekali di udara dan hinggap dengan kuda-kuda kokoh.
Dirgasura berdiri di depan Satria.
Dengan segala kebengisannya.
"Kau lagi...,"
Desisnya geram, menemukan Satria.
Satria panik.
Biar bagaimanapun dia tetap pemuda tanggung hijau.
Tak banyak pengalaman tarung dimilikinya.
Kepanikan itu mendorongnya untuk melakukan serangan susulan yang membabi buta.
Wukh wukh wukh! Kali Naga Samudera diputarnya bagai kese-tanan.
Tenaga sakti berkat perbauran Ramuan Pulau Dedemit dengan zat langka dasar samudera yang mengendap dalam dirinya pun terpancar keluar.
Tersalur deras ke tangannya, lalu menye-ruak ke dalam Kail Naga Samudera.
Malam kala itu juga menjadi terang bende-rang.
Warna pelangi menebar dalam jarak satu-dua tombak.
Mengepung tubuh si pemuda tang-gung.
Kala yang sama, beberapa anak buah Dir-gasura memekik nyaris berbarengan.
Lalu tubuh-tubuh berjatuhan.
Ada yang kehilangan kepala.
Ada yang terpotong setengah badan.
Ada yang terbelah dadanya....
Dirgasura sempat menyelamatkan diri den-gan membuang tubuh sekuat-kuatnya ke bela-kang.
Tak urung kulit perutnya tersayat oleh angin putaran Kail Naga Samudera.
Sepertinya, angin putaran senjata pusaka di tangan pemuda tanggung itu telah menjelma menjadi mata pe-dang kasat mata! Ketika sanggup menempatkan diri cukup jauh dari ancaman maut senjata si pemuda tang-gung, mata Dirgasura dibuat tak berkedip me-nyadari benda apa yang berada di tangan lawan berusia hijaunya.
"Kail Naga Samudera...,"
Desis Dirgasura terseret, bergetaran.
Berdesir hatinya bukan karena kehebatan si pemuda tanggung, melainkan karena kebesaran kabar burung tentang Kail Na-ga Samudera.
Yang menggetarkan.
Yang menci-utkan nyali! Di lain pihak, Satria sendiri dibuat terpe-rangah-perangah sendiri.
Bagaimana mungkin dia melakukan semua itu? Bagaimana mungkin lima-enam orang begal menemui ajal seketika dengan cara yang demikian menggidikkan di tangannya? Hanya karena kepanikan makin menguasai dirinya, dia tak bisa lagi mempersoalkan semua itu.
Yang ada dalam benaknya saat itu cuma gemuruh nyalang.
Seluruh anak buah Dirgasura memburu ke arahnya.
Dengan senjata masing-masing! Satria makin kesetanan! "Dedengkot Gendeng Kegirangan!"
Serunya memberi api pada keberaniannya sendiri.
Lalu mengalirlah dalam setiap geraknya ju-rus-jurus awal milik sesepuh di antara sepuh dunia persilatan tanah Jawa .
Dedengot Sinting Tanah Jawa.
Satria berpusing sebentar, seakan hendak membuat kepalanya menjadi pusing sendiri.
Keti-ka putaran liarnya terhenti, wajahnya telah berubah sama sekali.
Dari kesan bergaris ketakutan, kini memperlihatkan kemahagirangan tak teru-kur.
Mimiknya telah menjelma menjadi lekuk wa-jah orang-orang sinting.
Sekali lagi, dalam keadaan terdesak seperti itu Satria mengalami ketangguhan tiba-tiba seca-ra mencengangkan.
Jurus-jurus 'Dedengkot Gen-deng Kegirangan' seperti telah menjadi bagian darah dan dagingnya.
"Hua-hua-ha-hai!"
Menyusul gerakan amat ngawur diperli-hatkannya.
Sebentar dia mencak-mencak.
Seben-tar kemudian dia berjingkat-jingkat, melompat-lompat, meraung-raung.
Setiap pergantian gerak, berguguran satu demi satu anak buah Dirgasura.
Mati dalam keadaan tak kalah mengerikan dari korban Satria sebelumnya.
Satria tergelak-gelak.
Dia benar-benar ba-gai telah kerasukan dedemit sinting Alas Roban! Di tangannya, Kail Naga Samudera bagai moncong kematian yang setiap saat mematuk nyawa.
Satu demi satu.
Padahal 'Dedengkot Gen-deng Kegirangan' adalah jurus-jurus tangan ko-song.
Namun entah bagaimana Satria mampu be-gitu saja membuatnya menjadi serangkai gerak mematikan dengan Kail Naga Samudera di tan-gannya.
Dirgasura sekali lagi tak berkedip.
Lamat-lamat, dikenalinya jurus-jurus itu.
Jurus-jurus yang tak pernah dimiliki satu pun tokoh persilatan tanah Jawa, kecuali Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Lalu kenapa tiba-tiba seorang bocah hijau memilikinya? Bahkan menurut pengamatan-nya sendiri, jurus-jurus itu telah berkembang dari bentuk awalnya.
Keterperangahan Dirgasura tak sempat berlangsung lama.
Karena Satria mendadak ber-gulingan di tanah.
Sambil memekik seperti orang mabuk, sebelah kakinya menanduk ke depan dari bawah.
Perut Dirgasura terancam bobol! Gerakan amat cepat dan tiba-tiba si pemu-da tanggung membuat Dirgasura tak sempat lagi menghindar.
Dia hanya bisa melakukan tangki-san dengan sepasang pergelangan tangannya.
Dakh "Aahhhk!"
Tubuh Dirgasura terjengkang ke belakang.
Dia sungguh tak menyangka betapa dahysat te-naga tendangan bocah itu.
Tangannya terasa nye-ri luar biasa.
Kalau dia tak menyalurkan tenaga dalam ke pergelangannya, tentu tulangnya telah remuk! Padahal jelas-jelas tubuh lawan jauh lebih kecil dibanding dirinya yang dua kali lebih besar dari orang dewasa biasa.
Dirgasura cepat menyentak otot perutnya.
Bangkit dengan gaya sentakan seekor ulat jambu.
Sebelum kuda-kudanya kokoh, lawan kecilnya te-lah menerjang kembali.
Ganas.
Meledak-ledak.
Satria telah menjelma menjadi Dewa Kema-tian Kecil.
Penebar maut berpendar warna pelan-gi! Terkaman Satria datang.
Seperti ancaman seekor kucing liar di udara terhadap seekor ular.
Tangannya hendak melakukan tamparan berun-tun.
Seperti ketika dia melakukannya pada ba-tang pohon kelapa dalam latihan.
Wajah, leher, dan dada Dirgasura sasarannya.
Dirgasura sekali lagi tak punya kesempa-tan untuk menghindar.
Tamparan pertama me-mang sempat diluputkan.
Kepalanya menggeleng cepat ke sisi.
Tamparan kedua yang mengarah ke lehernya terpaksa harus dipapaki dengan tangan kanan.
Prak! Punggung tangan Dirgasura remuk! Dia menjerit tertahan.
Tamparan ketiga Satria menyusul.
Dirgasura tahu, dadanya akan segera re-muk seperti tulang punggung tangan kanannya.
Namun bodoh sekali kalau dibiarkan itu terjadi.
Dia memilih untuk menangkis sekali lagi tampa-ran lawan dengan tangan kirinya.
Dengan resiko akan mengalami keadaan serupa seperti tangan kanan.
Prak! "Wuaa!"
Sekali lagi terdengar suara tulang remuk.
Giliran punggung tangan kiri Dirgasura.
Satria seperti tak puas dengan hasil seran-gannya.
Dia memekik.
Entah kegirangan.
Entah pe-kikan kemenangan.
Entah.
Yang jelas sorot ma-tanya begitu mengerikan dalam pandangan la-wan.
Meski sudut bibirnya terus memperlihatkan cengiran sinting.
Hanya dengan satu sentakan kaki yang sudah terlatih dalam membelah samudera dan berlari dengan beban di pantai, dia melompat me-lampaui kepala Dirgasura.
Dengan kedua tangan terluka parah, tak mungkin lagi bagi Dirgasura untuk menyerang ke bagian atas.
Dirgasura hanya bisa mengikuti gerakan kilat Satria dengan pandangan seperti orang tercekik.
Kejap berikutnya, lehernya benar-benar terkena cekikan.
Satria telah melibatkan tali Kail Naga Sa-mudera yang terbuat dari ekor Pari Pelangi ke leher lawan.
Dan satu hentakan penuh dilakukan, mengandung tenaga sakti meledak-ledak di sekujur saraf tangannya.
Sekejapan saja, sepasang bola mata Dirga-sura mendelik penuh.
Wajahnya bagai diterjang gelegak darahnya sendiri.
Merah.
Sematang men-tari di ujung samudera.
Lidahnya menjulur ke-luar.
Dia meregang-regang.
Kedua tangannya tak kuasa lagi untuk melepaskan jeratan Kail Naga Samudera di lehernya.
Terlepas erangan tercekik.
Nyawa Dirgasura merayap menuju pintu kematian.
Tubuhnya perlahan-lahan merambat turun, tersimpuh dan akhirnya jatuh, saat Satria mengendorkan jeratan Kail Naga Samudera.
Dirgasura tertelungkup tanpa nyawa.
Dari dalam tenda, terdengar pekikan seorang wanita.
"Ayaaah!!"
SELESAI Segera terbit! Serial Satria Gendeng dalam episode . IBLIS DARI NERAKA Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Fujidenkikagawa
Pendekar Bayangan Sukma Sumpit Nyai Loreng Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis