Ceritasilat Novel Online

Tragedi Pulau Berhala 1


Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Bagian 1


SATU RAKIT yang terbuat dari batang-batang kayu itu terapung-apung di tengah laut.

   Didayung oleh seo-rang laki-laki berpakaian compang-camping.

   Laki-laki ini masih muda.

   Berusia sekitar 30 tahun.

   Kabut masih agak tebal melingkupi sekitar perai-ran.

   Sementara samar-samar di belakang rakit tam-pak sebuah pulau.

   Tampaknya, laki-laki ini seperti ingin cepat-cepat menjauhi pulau itu.

   Jelas terlihat kecemasan pada wajahnya ketika kabut mulai me-nipis, dan cahaya fajar mulai membersit dari arah cakrawala.

   Laki-laki ini mempercepat mengayuh rakitnya dengan mengerahkan hampir semua kekuatan tena-ganya.

   Berbeda dengan mengayuh perahu yang den-gan mudah bisa membelah gelombang.

   Akan tetapi mengayuh rakit amatlah sulit untuk meluncur maju.

   Apalagi semakin ke tengah, ombak semakin besar.

   Namun semangat laki-laki itu untuk melarikan diri dari pulau itu semakin menggebu.

   Jangankan ombak semacam saat itu.

   Bahkan gelombang seting-gi gunung pun akan diterjangnya untuk segera lolos dari neraka Pulau Berhala.

   Apa yang dikhawatirkan laki-laki Itu memang menjadi kenyataan.

   Karena jauh di belakangnya di antara gelombang, tampak timbul tenggelam bebe-rapa buah kepala-kepala manusia.

   Semakin lama semakin mendekati rakit yang bergerak lambat.

   Ke-pala-kepala yang botak tanpa rambut itu sebentar-sebentar lenyap dan sebentar kemudian timbul un-tuk mengejar rakit.

   Pertanda si pengejar-pengejar itu adalah manu-sia-manusia yang ahli bermain di air.

   Jarak antara para pengejar dan rakit itu cuma tinggal sepertiga lemparan tombak lagi.

   Sementara si pengayuh rakit masih tidak mengetahui dirinya te-rancam bahaya maut.

   Empat kepala botak ini tampak saling memberi isyarat.

   Sesaat kemudian tampak di tangan masing-masing telah tergenggam sebuah belati.

   Dengan satu isyarat pada hitungan ketiga dari jari tangan salah seorang yang diacungkan.

   Maka mele-satlah empat buah belati Itu menuju sasarannya....

   Trang! Trang! Trang! Sukar diduga kalau di saat bahaya maut siap menjemput nyawa laki-laki itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan kuning.

   Disusul dengan terden-garnya jeritan-jeritan parau menyayat hati.

   Apakah yang terjadi? Keempat bilah belati itu masing-masing telah me-nancap di empat kepala gundul yang berada di atas permukaan air itu.

   Tampak keempatnya berkelojotan di dalam air dengan kepala timbul tenggelam.

   Darah pun menya-tu dengan air yang menyibak, membuat air laut yang bergelombang Itu menjadi kemerahan.

   Tak lama keempat kepala gundul itupun teng-gelam untuk tidak timbul lagi.

   Bukan buatan terkejutnya laki-laki Itu.

   Mata-nya membelalak melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas rakitnya.

   Dia menyaksikan sendiri ketika melihat empat buah kepala manusia digenangi darah, sesaat sebe-lum keempat kepala itu tenggelam.

   Segera tahulah dia apa yang telah terjadi.

   "No...nona..! Sssi..siapakah anda..?"

   Bertanya la-ki-laki itu dengan tergagap.

   Betapa tidak terkejut dia karena di hadapannya berdiri seorang gadis cantik berambut terurai mengenakan pakaian dari kulit macan tutul.

   Sementara di tangannya tergerai seutas rantai berbandulan yang mirip dengan bentuk payudara.

   Siapakah adanya dia ini, tentunya sudah dapat diterka kalau dia adalah RORO CENTIL si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

   "Hihihi..."

   Roro cuma tertawa renyah tanpa me-nyahuti.

   Akan tetapi laki-laki Itu mendadak terkejut dan hampir saja dia jatuh terguling kalau tak cepat-cepat berpegang pada batang kayu rakit.

   Karena mendadak rakit seperti terbang meloncat dari atas air.

   Selanjutnya rakit itu telah membelah gelombang dengan meluncur pesat bagai anak panah melesat dari busurnya.

   Laki-laki itu ternganga, dan hampir-hampir tak percaya karena wanita muda dan cantik itu cuma gunakan lengannya sesekali mengayuh, namun rakit telah meluncur pesat bagaikan terbang.

   "Hebat! Luar biasa..! apakah aku berhadapan dengan seorang Dewi Laut ataukah seorang manu-sia?"

   Berdesis laki-laki Itu dengan menatap kagum pada Roro. Yang ditatap unjukkan senyuman manis membuat jantung laki-laki Ini berdebar.

   "No..nona..."

   Laki-laki Ini kembali ngangakan mulutnya untuk bertanya. Akan tetapi belum habis per-tanyaannya, rakit seperti terhempas keras membuat dia terlonjak kaget. Bukan main terkejutnya dia karena rakit telah berada di atas daratan.

   "Nah! kau telah selamat. Pergilah ke mana kau akan menuju. Akan tetapi aku perlu keteranganmu mengenai pulau itu, dan siapa gerangan pengejar-pengejar dan pembokongmu yang berkepala botak itu?"

   Berkata Roro seraya melompat ke atas pasir.

   "Terimakasih atas pertolongan anda, nona..."

   Laki-laki itu menjura.

   "Namaku Bergola. Hampir setahun aku disekap di pulau neraka itu. Pulau itu dinama-kan Pulau Berhala oleh sang Pemimpin atau Ketua yang menamakan dirinya Paderi Mata Seribu. Orang-orang berkepala botak yang mengejar ku ada-lah anak-anak buah si paderi gila itu..."

   Sahut Bergola.

   "Paderi Mata Seribu? gumam Roro terkejut.

   "Apa yang telah dilakukannya di pulau itu?"

   Tanya Roro dengan menatap tajam wajah Bergola.

   Laki-laki ini menghela napas sejenak.

   Pandangan matanya dialihkan ke tengah lautan.

   Akan tetapi belum lagi Bergola memberikan kete-rangan, tiba-tiba cuaca berubah gelap.

   Angin keras bersiutan.

   Roro tersentak kaget.

   Terlebih lagi adalah laki-laki bernama Bergola itu.

   Seketika wajahnya berubah pucat pias.

   Itulah pertanda pelariannya telah diketahui oleh si Paderi Mata Seribu.

   Saat itu di udara tiba-tiba terlihat dua titik cahaya merah meluncur pesat dari arah laut.

   "Benda apakah itu?"

   Desis Roro. Sementara dia telah waspada untuk menghadapi apa yang bakal ter-jadi. Roro segera gunakan kekuatan mata batin untuk melihat sinar merah itu.

   "Ah, sepasang mata yang merah menyala?"

   Sentak Roro terkejut.

   "Apakah Ini ilmu yang digunakan si Paderi Mata Seribu??"

   Pikir Roro.

   Belum lagi Roro melakukan tindakan, mendadak terdengar suara tertawa berkakakan yang mengge-tarkan gendang telinga.

   Suara itu berkumandang keras menembus anak telinga.

   Getaran suara itu mempengaruhi syarap Roro.

   Namun cepat Roro gu-nakan kekuatan batinnya untuk segera menutup pendengarannya.

   Sementara sepasang lengannya siap melakukan hantaman pada cahaya merah Itu.

   Detik itu pula tiba-tiba Roro tersadar bahwa di samping dia ada seorang lagi, yaitu laki-laki berna-ma Bergola.

   "Cepat tutup telingamu!"

   Teriak Roro. Akan tetapi terlambat. Bergola telah perdengarkan suara jeritan menyayat hati. Tubuhnya terjungkal ke tanah. Berkelojotan tubuh laki-laki itu seperti terkena stroom. Tak lama Bergola sudah tak berkutik lagi. Diam un-tuk selama-lamanya.

   "Keparat! memaki Roro. Sepasang lengannya bergerak menghantam cahaya merah itu. BHLARRRR! Dua larik sinar perak dan pelangi meluncur menghantam cahaya itu. Sesaat setelah terjadi ledakan, cuaca mendadak berubah terang kembali. Sua-ra tertawa itu lenyap. Roro Centil kerutkan alis seraya putar tubuh un-tuk mengawasi sekitarnya. Tapi tak ada tanda-tanda adanya sepasang cahaya merah itu. Tersentak Roro seketika itu juga untuk segera memburu ke arah Bergola. Akan tetapi dia cuma menjumpai tubuh yang su-dah tak bernyawa lagi. Laki-laki buronan itu telah tewas dengan keadaan mengerikan. Dari sekujur liang di tubuhnya menga-lirkan darah kental berwarna hitam.

   "Setan Alas!"

   Memaki Roro.

   "Heeeiii! Paderi Iblis Mata Seribu! keluarlah kau! Unjukkan dirimu, pengecut!"

   Berteriak-teriak Roro menantang.

   Dia yakin kalau yang telah mengelua-rkan ilmu tertawa mengandung maut itu adalah si Paderi Mata Seribu! DUA Tak ada sahutan.

   Juga tak ada tanda-tanda lain.

   Semua kembali tenang.

   Ombak mengalun pelahan memecah di pantai.

   Mata Roro membersitkan ca-haya kemarahan.

   Tiba-tiba dia telah perdengarkan suara lengkingan panjang.

   Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah laut lepas.

   Diiringi suara teriakan yang berkumandang.

   "Paderi Mata Seribu! Tunggulah kedatangan ku!"

   Selanjutnya yang terlihat adalah pemandangan yang menakjubkan.

   Tubuh gadis pendekar perkasa Itu berkelebatan dan berlari-lari di atas air.

   Ke manakah tujuan Roro Centil? Ya! Ke mana lagi kalau bukan ke Pulau Berhala! Sementara kita me-nengok dulu keadaan di Pulau Berhala.

   Pulau Berhala adalah gugusan dari Pulau Kari-mata.

   Terletak di antara dua buah pulau besar di sebelah Utara laut Jawa.

   Di tengah pulau itu telah dibangun sebuah istana dikelilingi pagar tembok.

   Istana yang tampak megah akan sudah terlihat dari kejauhan.

   Megah, juga penuh keangkeran.

   Karena seluruh tembok istana ber-cat hitam.

   Tampaknya nama Pulau Berhala bukanlah nama yang tak mempunyai arti.

   Karena di sekeliling pulau terlihat ratusan area dari batu.

   Arca-arca alias berhala itu berbentuk paderi berkepala botak.

   Arca-arca itu belumlah selesai seluruhnya, karena tampak di sana-sini puluhan orang tengah bekerja keras memahat batu untuk pembuatan berhala ter-sebut.

   Siapakah adanya laki-laki yang melarikan diri bernama Bergola Itu? Dialah salah seorang pekerja pemahat batu dan pembuat area yang menjalani kerja paksa di bawah kekuasaan si Paderi Mata Se-ribu! Saat itu tiba-tiba di antara kelengangan yang se-sekali terdengar suara-suara dentingan pahat peme-cah batu, tiba-tiba terdengar suara seperti gong di-palu.

   Itulah tanda isyarat adanya bahaya.

   Belasan paderi berjubah merah bermunculan.

   Sementara pekerja segera hentikan pekerjaannya.

   Mereka berkumpul.

   Lalu digiring untuk masuk ke barak-barak yang berada di sebelah kiri Istana.

   Paderi-Paderi berjubah merah itu kemudian me-nebar ke sekitar pulau.

   Tak lama puluhan paderi berjubah kuning kem-bali bermunculan.

   Juga menebar ke sekitar tembok Istana.

   Dan terakhir adalah puluhan paderi berju-bah hitam yang berkelebatan menebar.

   Sukar untuk bisa diikuti gerakan tiga gelombang paderi yang berjubah dengan warna berlainan itu.

   Karena sekejapan saja mereka telah lenyap di antara berhala-berhala yang bertebaran di sekeliling istana.

   Kita beralih pada Roro Centil yang sedang menuju ke arah Pulau Berhala.

   Pendekar Wanita yang kini mulai dijuluki orang si Macan Tutul Betina Pantai Selatan itu telah berniat menyatroni Pulau Berhala.

   Roro memang telah mendengar tentang adanya lenyapnya orang-orang desa di wilayah Utara yang hilang secara misterius.

   Kedatangannya ke wilayah Utara Itu adalah un-tuk menyelidiki berkenaan dengan peristiwa itu.

   Roro berpendapat keanehan itu tak bisa tidak adalah karena adanya penculikan.

   Motif apakah ki-ranya dengan penculikan-penculikan yang membuat keresahan penduduk wilayah pantai Utara Pulau Jawa itu dia belum bisa mengetahui.

   Untuk itulah Roro bertekad menyelidiki.

   Ketika dia tengah berke-liaran di sekitar pantai Utara dengan memperguna-kan ilmunya yaitu berjalan dan berkelebatan di atas air, Roro melihat sebuah rakit terapung-apung ber-penumpang seorang laki-laki berpakaian compang-camping.

   Orang itu adalah Bergola, yang kemudian dito-longnya.

   Sayang Bergola tewas ketika munculnya dua cahaya merah yang disusui dengan cuaca yang berubah gelap dengan mendadak.

   Kemudian terden-gar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan anak telinga, yang kemudian akibat dari suara ter-tawa aneh itu mengakibatkan tewasnya Bergola.

   Demikianlah! Melalui sedikit keterangan dari Bergo-la, Roro mengambil keputusan untuk melabrak si Paderi Mata Seribu yang menjadi pemimpin para pa-deri di Pulau Berhala.

   Keyakinannya begitu pasti kalau otak dari pencu-likan orang-orang desa itu adalah si Paderi Mata Seribu! Dua titik cahaya merah tiba-tiba melesat ke luar dari dalam pintu istana Hitam diiringi oleh suara tertawa berkakakan yang menyeramkan.

   "Hoahaha... hahah... hahaha... bersiap-siaplah kalian untuk menyambut kedatangan tetamu "isti-mewa". Dialah si Macan Tutul Betina Pantai Selatan! RORO CENTIL! Bila kita berhasil menawannya, ma-ka kita akan segera mengadakan pesta besar. Pesta kemenangan! Karena dialah orang yang bakal mem-buat kehancuran partai kita!"

   Suara tertawa itu disusui oleh kata-kata yang berkumandang ke seantero pulau.

   Dan begitu sele-sai kata-kata itu, tiba-tiba cahaya merah itupun lenyap.

   Suasanapun kembali hening.

   Pulau itu seperti lengang tiada berpenghuni seorang pun.' Dalam keadaan hening yang mencekam itulah ti-ba-tiba terdengar suara tertawa merdu dari arah lautan.

   Suara tertawa seorang wanita yang semakin mendekat ke arah Pulau Berhala.

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin bersi-utan.

   Ombak menyemburat seperti diterjang angin puting beliung.

   Terdengar suara teriakan terkejut bernada suara wanita.

   Namun selang sesaat lenyap.

   namun apa yang terlihat kemudian? Sesosok tubuh terlempar ke udara.

   Siapa lagi kalau bukan tubuh Roro Centil.

   Apakah gerangan yang terjadi dengan sang Pendekar Pantai Selatan itu? Kiranya ketika Roro hampir mendekati Pulau Berhala, tiba-tiba dari arah depan bersiut angin keras menerpa tubuhnya.

   Gelombang besar pun menghantam tubuhnya.

   Gadis Ini terpekik kaget.

   Tak ampun tubuhnya terlempar ke udara terbawa hempasan gelombang yang dahsyat.

   Dalam keadaan yang serba aneh dan mendadak itu, Roro sesaat seperti kehilangan kekuatannya.

   Karena untuk pertama kalinya inilah dia menghadapi hal semacam ini.

   Namun sebagai seorang Pendekar yang sudah banyak makan asam-garam dalam menghadapi berbagai bencana, Roro masih sempat mengkonsentrasikan daya pikirnya untuk segera imbangi lemparan tubuhnya dengan melayang di udara mengikuti daya kekuatan hempasan gelom-bang tersebut.

   Tak hanya itu, Roro segera menghimpun tenaga dalam di sekujur tubuh.

   Akan tetapi pada saat itu lapat-lapat telinganya mendengar suara bentakan.

   "Bocah tolol! belum saatnya kau menyatroni Pulau Berhala!"

   Di lain kejap, Roro rasakan hempasan keras kem-bali menerpa tubuhnya.

   Kail ini Roro benar-benar lenyap seluruh daya kekuatan panca inderanya.

   Pandangannya mendadak menjadi gelap.

   Dan dia cuma merasakan tubuhnya seperti melayang dengan amat pesat.

   Namun selanjutnya dia sudah tidak ta-hu apa-apa lagi.....

   TIGA Sebuah perahu sampan didayung seorang pemu-da berwajah tampan meluncur membelah selat.

   Ge-mericik bunyi air yang tersibak.

   Dia seorang laki-laki yang berusia kira-kira 25 tahun lebih.

   Berkulit putih.

   Berpakaian warna abu-abu.

   Menyandang pe-dang di punggung-nya.

   Siapakah laik-laki muda yang tampan ini? Dialah SAMBU RUCI.

   Seorang to-koh muda dari golongan putih yang digelari si Pen-dekar Selat Karimata.

   Akan tetapi juga mendapat ju-lukan si Bujang Nan Elok.

   Sepasang mata pemuda ini memandang ke sekitar selat.

   Tampaknya arah yang ditujunya telah semakin dekat, karena tak lepas-lepas dia memandang ke arah sebuah bukit yang tegak menjulang di sebelah Barat.

   Bukit itu seperti membangkitkan kenangannya pada beberapa tahun yang silam.

   Di atas bukit Itulah dia dipelihara oleh seorang tua perempuan yang berilmu tinggi.

   Orang tua kosen itu bernama Mamak Metangat.

   Sejak dia berusia sebelas tahun hingga sampai dua puluh tahun, menggemblengnya dengan bermacam ilmu kedigjayaan.

   Hingga kemudian dia turun gu-nung dengan bekal Itu dan menjadi seorang pende-kar bergelar si Pendekar Selat Karimata.

   Semakin dekat ke arah bukit di sisi selat, sema-kin resahlah tampaknya pemuda itu.

   Sementara bi-birnya mulai perdengarkan suara menggumam...

   "Ah, Mak Metangat. Masih hidupkah beliau setelah sekian tahun aku tak pernah menjenguknya?"

   Dikayuhnya perahu kecil itu untuk mempercepat perjalanan yang ditujunya.

   Kini bukit itu makin dekat.

   Makin jelas.

   Tak lama berselang setelah kira-kira lewat sepe-nanak nasi, pemuda tampan itu mengayuh pera-hunya ke tepi.

   Ujung perahu segera menyentuh ta-nah.

   Pemuda ini merapatkan badan perahu, lalu berdiri, dan melompat ke darat.

   Tak lama kemudian pemuda itu telah bergegas untuk segera mendaki bukit.

   Sementara perasaan-nya merasa tak enak.

   Hatinya waswas.

   "Apakah gerangan yang terjadi?"

   Gumamnya.

   Gerakan-gerakan pemuda itu gesit sekali hingga dalam waktu yang tak berapa lama dia telah tiba di ujung tangga undakan batu.

   Pada puncak bukit itu segera terlihat sebuah pondok kayu beratap rumbia.

   Akan tetapi mata Sambu Ruci terpana melihat keadaan pondok yang sudah roboh.

   Ketika melihat keadaan sekeliling tempat Itu tampak porak poranda seperti baru dilanda angin ribut.

   Jantung Sambu Ruci berdetak keras.

   Tak me-nunggu lama dia telah melompat mendekati pondok.

   Bibirnya menggetar meneriakkan nama gurunya.

   "Mak Guru Metangat..! Di manakah kau..?"

   Beberapa kali dia memanggil.

   Namun tak ada sa-hutan.

   Cuma suaranya saja yang berpantulan lagi terdengar di telinganya.

   Tersentak kaget pemuda ini melihat sesosok tu-buh tertelungkup di batang pohon yang roboh.

   Membelalaklah mata Sambu Ruci mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.

   "GURUUU..!?"

   Teriaknya seraya memburu. Akan tetapi dia cuma bisa tertegun menatap dengan mata mendelong ketika melihat sosok tubuh itu sudah menjadi kerangka yang membusuk. Kakinya tersu-rut mundur.

   "Guru...."

   Desisnya terperangah.

   Jelas sekali mayat itu adalah mayat nenek tua kosen yang menjadi gurunya.

   Akan tetapi dia cuma bisa menjumpai dalam keadaan telah menjadi bangkai! Yakinlah dia bahwa di tempat itu telah terjadi pertarungan hebat, yang mengakibatkan tewasnya Mak Metangat.

   Akan tetapi siapakah orang yang te-lah menewaskan gurunya Itu? Ada perselisihan apa-kah hingga terjadi pertarungan di atas bukit tempat kediaman Mak Metangat? Sambu Ruci termangu-mangu menatap jenazah sang guru.

   Tak terasa air matanya menggenang di pelupuk mata.

   Bau menyengat hidung membuat Sambu Ruci tersadar dari terpakunya.

   Segera dia mendekati je-nazah itu untuk mengangkatnya.

   Akan tetapi lagi-lagi mata Sambu Ruci membela-lak.

   Dilihatnya pada batang kayu terdapat guratan dalam berbentuk tulisan.

   Cepat Sambu Ruci membacanya.

   Tulisan yang agaknya ditulis oleh nenek tua kosen ini di saat akhir hidupnya bertuliskan.

   PADERI MATA SERIBU.

   "Paderi Mata Seribu?"

   Sentak Sambu Ruci terkejut.

   "Apakah si pembunuh guru adalah si Paderi Mata Seribu?"

   Desis Sambu Ruci terperangah.

   Lama dia terpaku memandangi tulisan yang tak karuan bentuknya, tapi masih dapat terbaca.

   Jelas Itu sebuah tulisan yang mempunyai maksud.

   Dan Sambu Ruci yakin kalau si pembunuh yang mene-waskan gurunya adalah si Paderi Mata Seribu.

   Dia berpendapat sebelum nyawa sang guru direnggut maut, masih sempat menuliskannya pada batang pohon dengan guratan kuku.

   Masih tampak adanya tanda-tanda bekas darah.

   Sepasang lengan pemuda ini mengepal keras.

   Da-danya bergerak naik-turun, pertanda dia sangat gu-sar.

   Giginya gemeretuk beradu.

   Dari mulut pemuda ini terdengar suara mengge-ram.

   "Hhh ... Paderi Mata Seribu! Tunggulah pembalasan dendam patiku! Aku yakin kaulah yang telah membunuh guru!"

   Dua tetes air mata bening pun mengalir turun membasahi pipi si Bujang Nan Elok.

   Wajah pemuda ini menunduk menahan gejolak kemarahan, kesedi-han bercampur penyesalan.

   Dia seperti mengutuk pada dirinya sendiri karena tak mengetahui terja-dinya pertarungan itu....

   Lama ...

   lama ...

   dia terunduk dengan menahan perasaan, mengumbar kesedihan.

   Ketika lapat-lapat telinganya mendengar suara orang di belakangnya.

   "Sudahlah! Kematian memang sudah menjadi bagian dari setiap manusia yang hidup. Mengapa harus terlalu bersedih? Bukankah semua manusia pada sua-tu saat pun akan menemui kematian? Bukankah se-tiap saat manusia diancam maut? Kuburkanlah je-nazah gurumu. Tak baik membiarkannya berlama-lama. Masih untung di sekitar wilayah ini tak ada bina-tang buas. Jenazah itu masih utuh dalam keadaan sebagaimana wajarnya..."

   Sambu Ruci menoleh. Terlihatlah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih. Bahkan alis kumis dan jenggotnyapun memutih. Di lengan kakek tua Itu tercekal sebuah tasbih. Wajahnya nampak berwibawa.

   "Siapakah kau orang tua?"

   Bertanya Sambu Ruci tertegun, sesaat setelah dia balikkan tubuh menatap orang. Kakek jubah putih mengelus jenggotnya. Bibirnya sunggingkan senyuman.

   "Namaku Ki Balung Putih, anak muda. Secara kebetulan aku melewati tempat ini dan melihatmu mendaki bukit. Aku segera mengikutimu, karena mungkin kau bisa membantuku"

   Menyahut si ka-kek. Sambu Ruci kerutkan keningnya. Diam-diam ha-tinya membatin.

   "Hm, kakek ini tanpa setahu-ku telah berada di belakangku. Gerakannya tak menim-bulkan suara. Tentunya seorang tua yang berkepan-daian tinggi. Pertolongan apakah yang diinginkan-nya?". Sejurus antaranya Sambu Ruci termangu, La-lu ujarnya.

   "Namaku Sambu Ruci"

   Berkata pemuda ini memperkenalkan diri.

   "Apakah anda tersesat jalan?"

   Sambungnya menduga. Laki-laki itu gelengkan kepala. 'Tidak! bukan hal Itu yang kuinginkan kau membantuku. Tapi hal lain!"

   Ujar si kakek.

   "Sudahlah, nanti akan kuceritakan. Mari kubantu dulu kau mengubur jenazah gurumu!"

   Sergah si kakek. Sambu Ruci mengangguk.

   "Terima kasih atas bantuanmu, kakek!"

   Berkata Sambu Ruci.

   Cepat dia pondong mayat Mamak Metangat untuk dibaringkan di tanah.

   Sementara si kakek jubah putih Itu gulung lengan jubahnya, dan rentangkan tangan.

   Bles! Sepasang lengan itu membenam sebatas si-ku di tanah.

   Cepat sekali bekerjanya si kakek jubah putih itu.

   Dalam beberapa saat saja dia telah menggali lubang yang cukup dalam.

   Sambu Ruci terpaku melihat kehebatan sepasang lengan si kakek yang seolah sepa-sang besi lempengan saja yang digunakan untuk menggali tanah.

   Dalam waktu singkat lubang yang cukup dalam telah selesai dibuat.

   "Hayo, cepat kau pendam jenazah gurumu, sobat muda Sambu Ruci!"

   Suara perintah si kakek membuat Sambu Ruci tersadar dari keterpakuannya menatap kerja si ka-kek yang membuat dia kagum.

   "Oh, ya! ... baik, kek! Ah, terima kasih! aku telah menyusahkan anda Ki Balung Putih!"

   Sahut Sambu Ruci.

   Tak ayal dia segera pondong tubuh jenazah untuk diterima oleh sepasang lengan Ki Balung Putih yang merentang.

   Kakek ini masih berada di dalam lubang yang baru selesai dibuatnya.

   Tak lama jenazah Mamak Metangat telah diba-ringkan.

   Ki Balung Putih segera melompat ke luar lubang.

   EMPAT Selanjutnya si kakek segera menimbun lubang kuburan Itu dengan tanah.

   Sambu Ruci membantu dengan cekatan.

   Hingga tak berapa lama lubang pun sudah selesai ditimbun.

   Sambu Ruci menancapkan sebongkah batu runc-ing di atas gundukan tanah itu.

   Lalu bersihkan tangannya disertai helaan napas lega.

   Akan tetapi terkejut Sambu Ruci melihat si kakek jubah putih itu tak ada lagi di tempat itu.

   "Hai? ke mana orang tua itu?"

   Sentaknya terkejut.

   "Gila! gerakannya sungguh luar biasa! Datang dan perginya bagaikan siluman saja!"

   Berkata Sambu Ruci dalam hati. Selagi dia termangu itu terdengar suara di kejau-han, di lereng bukit.

   "Hoooiii! anak muda Sambu Ruci! Segera turun-lah! aku baru saja selesai mencuci tangan!"

   "Haiiih! kakek yang aneh dan hebat!"

   Sentak Sambu Ruci.

   Tak ayal dia telah melompat dari tempat itu, sete-lah menjura di hadapan kuburan jenazah gurunya.

   Saat berikutnya Sambu Ruci sudah bergegas turun dari atas bukit dengan melompat-lompat.

   Dilihatnya si kakek bernama Ki Balung Putih ten-gah duduk ongkang-ongkang kaki di atas batu ke-tinggian di sisi sungai.

   Wajah dan tangannya basah.

   Rupanya dia me-mang baru saja selesai mencuci muka dan member-sihkan tangannya yang kotor.

   "Aku telah membantumu menggali kubur menge-bumikan jenazah gurumu. Kini giliran kau yang membantu aku!"

   Berkata si kakek.

   "Ah katakan saja apa yang perlu kubantu. Aku selalu bersedia dan siapkan tenaga untuk meno-longmu kakek!"

   Sahut Sambu Ruci, seraya men-dekati sisi sungai. Lalu membasuh tangannya yang kotor sekaligus-mencuci muka yang penuh berke-ringat dan debu.

   "Haha... hehe... bagus! Marilah kau ikut aku!"

   Berkata si kakek sambil tertawa terkekeh. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Sambu Ruci. Lengannya bergerak menyambar lengan pemuda itu. Dan belum lagi Sambu Ruci tersadar, dia sudah rasa tubuhnya melayang ke tengah air.

   "Aaaah..!?"

   Tersentak kaget Sambu Ruci. Hatinya membatin.

   "Gila! apa-apaan ini? Apakah kakek ini orang yang tidak waras?"

   Pemuda ini gelagapan karena sekejap lagi tubuhnya akan tercebur di air.

   Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh permu-kaan air, tiba-tiba tubuhnya kembali terangkat, dan melambung lagi.

   Ternyata si kakek jubah putih itu cuma menotol permukaan air dengan ujung kaki, dan selanjutnya telah melompat lagi.

   Tentu saja Sambu Ruci yang engannya dicekal kuat oleh si ka-kek kembali terbawa melayang.

   Hal tersebut terjadi berulang kali.

   Sambu Ruci terkejutnya sampai-sampai mulutnya ternganga dan tak bisa bicara apa-apa.

   Sementara itu kecepatan gerakan si kakek yang melompat-lompat di atas air begitu cepatnya, hingga dia cuma rasakan angin ke-ras menerpa tubuh dan wajahnya.

   Dalam beberapa saat saja tahu-tahu kakinya te-lah menjejak daratan.

   Kakek itu segera lepaskan cekalannya.

   Sambu Ruci agak terhuyung.

   Hampir saja ia jatuh.

   Kepa-lanya terasa pusing.

   Namun segera dia pejamkan mata untuk segera menenangkan hati yang benar-benar kaget bercampur takjub.

   Baru pertama kali-nya dia dibawa melompat-lompat di atas air.

   "Kakek ..! ah, kau ... kau hebat sekali!"

   Tak terasa dia memuji dengan menatap kagum pada si kakek.

   "Hahaha... Itu cuma ilmu meringankan tubuh yang mudah untuk dilatih. Kau sendiri pun akan mampu kelak kalau kau mau mempelajari!"

   Berkata si kakek.

   "Oh, ajarkanlah aku ilmu itu, kek ..!"

   Teriak Sambu Ruci. Dan tanpa terduga oleh si kakek Ki Balung Putih, tahu-tahu Sambu Ruci telah jatuhkan dirinya berlutut di hadapannya seraya mengucap.

   "GURU! Hari ini aku bersumpah akan menjadi muridmu, dan mengangkatmu sebagai guru!"

   "Weeelii! lho! Iho? baru bertemu sudah mau mengangkat ku sebagai guru! Aiiii! bocah muda! Kau bangunlah!"

   Teriak kaget Ki Balung Putih, Namun dia cuma bisa garuk-garuk kepala melihat anak mu-da itu tetap berlutut tak mau berdiri.

   "Aku tak akan bangun kalau kau orang tua belum menyatakan bersedia mengangkat ku sebagai muridmu!"

   Ujar Sambu Ruci.

   Sementara diam-diam dalam berlutut itu Sambu Ruci tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya kebat-kebit.

   Dia memang telah dengan nekat melakukan hal seperti ini, Karena dia tahu kalau saat ini adalah saat yang amat tepat.

   Musuh besarnya si Paderi Mata Seribu dapat di-duga adalah seorang tokoh yang ilmunya luar biasa tingginya.

   Terbukti telah menewaskan gurunya.

   Ka-lau dia tak mengangkat guru pada kakek aneh ini, bagaimana mungkin dia bisa membalas dendam? Sedangkan ilmunya yang masih rendah ini bila di-gunakan untuk membalas dendam samalah dengan tiada artinya.

   "Wah! wah! kau memang bocah yang keterlaluan! Baik! Baiklah! kau kuterima menjadi murid-ku! Hayo kau bangunlah, anak muda!"

   Akhirnya setelah berkali-kali menggaruk kepala si kakek jubah putih segera mengabulkan permintaan Sambu Ruci. Tentu saja bukan kepalang girangnya hati pemuda ini. Se-raya melompat dengan berjingkrak girang dia telah memeluk Ki Balung Putih.

   "Oh, terimakasih, guru! Terimakasih, guru ..!"

   Barulah Sambu Ruci kemudian melepaskan pelu-kannya, dengan tersipu dia menatap pada kakek itu.

   "Maafkan aku, guru ..! Tentunya kau amat mak-lum dengan keadaanku saat ini ..!"

   Berkata Sambu Ruci. Ki Balung Putih manggut-manggut.

   "Ya! ya! aku mengerti. Untuk mencari si Paderi Mata Seribu guna menuntut balas kematian gurumu itu memang kau harus memerlukan bekal, ilmu-ilmu kedigjayaan!"

   Potong Ki Balung Putih. Dia memang telah melihat goresan di batang pohon yang dibaca pemuda itu yang ditulis oleh Mamak Metan-gat sebelum mati. Hingga dia dapat menerka apa yang tersirat di hati pemuda itu.

   "Ah, sukurlah, kau telah mengetahuinya, guru!"

   Berseri girang wajah Sambu Ruci.

   "Sudahlah! ayo, kau ikutilah aku!"

   Berkata kakek itu seraya berkelebat melompati masuk hutan.

   "Baik, guru! ke lubang semut pun aku akan mengikutimu!"

   Teriak Sambu Ruci seraya melompat mengejar.

   Tak lama kedua sosok tubuh itu pun le-nyap ditelan rimbunnya hutan......

   *** Gadis ini duduk di atas batu tak bergeming mena-tap ke hadapannya dengan mata mendelong.

   Di be-lakangnya sebuah pondok bambu beratap rumbia.

   Satu-satu pondok yang terpencil di tengah hutan itu.

   Keadaan di tempat itu sunyi mencekam.

   Seseka-li terdengar suara burung-burung hutan menyanyi-kan lagi.

   Tapi dia seperti tak peduli dengan semua itu, Yang membuat aneh adalah dari pelupuk mata si gadis mengalir air bening dan sepasang mata yang bulat itu berkaca-kaca.

   Ketika itulah terdengar suara memanggil na-manya.

   "Cinderani ...!"

   Gadis ini menoleh dan agak terkejut. Karena sege-ra melihat siapa yang telah berada di belakangnya. Cepat-cepat dia bangkit untuk segera berlutut, se-raya mengucap dengan suara gemetar.

   "Kakek ... Segeralah berikan keputusan hukuman ku! Kalau kau perintahkan aku untuk membunuh diri sekalipun akan kulaksanakan saat ini juga!"

   Ki Balung Putih menatap tajam pada muridnya. Lalu mendengus dan berkata ketus penuh wibawa.

   "Cinderani! Kesalahan yang kau perbuat tak dapat ditebus dengan membunuh diri! Apakah kau ki-ra perbuatan bunuh diri itu dapat memupus dosa-mu? Heh! Bahkan justru akan memperberat dosamu. Dan kau akan mati dengan keadaan terkutuk!"

   Cinderani tak menjawab, kecuali terisak-isak. Se-juta kesedihan dan penyesalan seperti menyesakkan dadanya. Namun sebisa-bisa dia menggigit bibir un-tuk menahannya.

   "Bahkan dosamu akan bertambah berlipat ganda karena telah membunuh pula benih yang telah be-rada dalam rahim mu! Tidak! aku takkan menyu-ruhmu membunuh diri. Akan tetapi telah ku bawa-kan seorang pemuda yang akan mengawinimu agar tak membuat malu!"

   Lanjutkan berkata si kakek.

   Tentu saja kata-kata itu membuat si gadis me-nengadah menatap wajah sang kakek.

   Lalu sepasang mata itu dialihkan ke sekeliling tempat itu, mencari-cari pemuda yang dikatakan sang guru.

   Ki Balung Putih tersenyum.

   Tiba-tiba lengannya bergerak untuk masukkan dua jari ke dalam mulut-nya.

   Dan terdengarlah suara suitan nyaring.

   LIMA Sambu Ruci yang sedang menatap dari tempat persembunyiannya pada kedua orang itu dengan tak mengerti, mendengar suara suitan si kakek segera melompat ke luar.

   Sementara hatinya jadi berdeba-ran.

   Dia telah mendengar sendiri secara lapat-lapat pembicaraan Ki Balung Putih dan gadis itu.

   Hatinya membatin.

   "Wah, celaka! Apakah yang akan dimintai pertolongan si kakek adalah untuk hal ini? Celaka dua belas! Aku telah terlanjur bersedia menolong-nya, bahkan aku telah mengangkat guru padanya. Kalau aku disuruh menikah dengan gadis itu ba-gaimana aku harus menolak?"

   Walau demikian Sambu Ruci tak dapat tidak me-muji akan kecantikan si gadis bernama Cinderani itu.

   "Muridku! perkenalkanlah! Ini cucuku yang juga muridku bernama CINDERANI!"

   Berkata Ki Balung Putih pada Sambu Ruci.

   Gadis itu tersipu dengan mata berkejap-kejap, lalu menunduk.

   Tak sepatah-pun kata ke luar dari mulutnya.

   Sementara hatinya serasa tak menentu.

   Apakah dia bergirang hati ataukah bersedih.

   Pemuda itu memang tampan dan gagah.

   Akan tetapi apakah mungkin pemuda itu mau menikahinya, sedang dia dalam keadaan ha-mil? Kalau dibandingkan dengan SOMARA mungkin Somara kalah jauh perihal ketampanannya.

   Akan te-tapi dia telah terlanjur mencintainya berpikir Cinderani.

   "Mulai saat ini kau tak perlu mengingat-ingat SOMARA! Bocah edan itu mana mungkin berani tunjukkan diri di hadapanku? Bahkan aku telah tak mengakuinya sebagai muridku lagi!"

   Ujar Ki Balung Putih dengan suara ketus, seperti telah mengetahui apa yang tersirat di hati Cinderani.

   "Guru ..!? Apakah pertolonganmu itu untuk..."

   Sela Sambu Ruci dengan wajah memerah. Akan te-tapi telah dipotong oleh Ki Balung Putih.

   "Sambu Ruci! kau telah menjadi muridku. Dan kau telah mengatakan bahwa kau bersedia meno-longku. Setelah kau menikahi gadis muridku Ini, kau harus cari si Somara itu untuk membunuhnya. Dan kau tak dapat menolak keputusanku. Ingat! kau adalah muridku yang harus menuruti apa yang diinginkan gurunya!"

   "Ba... baik..! Guru! akan tetapi Kalau cuma untuk menutupi malumu, kukira tidaklah akan membuat pernikahan bahagia. Menurutku cinta tak dapat di-paksakan!"

   Dengan tergagap Sambu terpaksa me-nyahuti.

   "Hm, kata-katamu mungkin benar! Akan tetapi betapa aku amat membenci pada si SOMARA itu. Enam tahun aku mendidiknya agar menjadi seorang murid yang berjiwa pendekar. Setelah turun gunung ternyata membuat namaku jadi tercemar. Dia telah melakukan perbuatan kotor di mana-mana. Dan yang sungguh membuatku menyesal mengangkat murid pada si jahanam itu adalah, justru dia telah pula melakukan perbuatan kotor pula pada adik se-perguruannya sendiri! Sungguh amat memalukan! Kalau saja tidak memandang benih yang telah tum-buh di rahim muridku ini, tentu siang-siang aku telah membunuhnya!"

   Berkata Ki Balung Putih dengan menunjuk pada Cinderani. Sepasang matanya berbinar-binar karena kema-rahannya.

   "Hm, katakan Cinderani! apakah kamu masih te-tap mencintai si Somara murid durhaka itu?"

   Tiba-tiba Ki Balung Putih membentak muridnya.

   Tergetar tubuh si gadis.

   Akan tetapi dia tak men-jawab apa-apa, kecuali kembali terisak-isak.

   Sambu Ruci jadi terpaku dengan tenggorokan serasa ter-sumbat.

   Mau tak mau hatinya menjadi trenyuh dan kasihan pada si gadis.

   "Kalau kau tak mau menjawab, biarlah aku saja yang membunuh diri!"

   Teriak Ki Balung Putih. Tiba-tiba dia gerakkan lengannya menghantam kepalanya sendiri.

   "Guruuuu!"

   Teriak Cinderani tersentak kaget.

   Sambu Ruci jadi terperangah kaget.

   Sungguh dia tak menduga Kalau si kakek itu akan mengemplangkan lengannya sendiri ke batok kepalanya.

   Untuk meng-gagalkan niat itu sangatlah sukar karena kata-kata dan gerakan lengan si kakek begitu cepat.

   Akan tetapi ternyata gerakan lengan si kakek ter-tahan cuma seinci di kulit batok kepala.

   Telapak tangan si kakek miring ke sisi kepala.

   Dan ....

   Bhaarrrr! Krrrraaaak!' Batang pohon di belakang si kakek hancur.

   Dan dengan suara bergrotakan batang pohon itu rebah ke tanah.

   Tampak telapak tangan Ki Balung Putih kepulkan asap putih tipis yang timbulkan hawa pa-nas.

   Membelalak mata Sambu Ruci.

   Kakek itu ternyata bukan berkata main-main.

   Kalau pukulan itu tak dibelokkan ke sisi tentu batok kepala si kakek sudah hancur.

   "Guru...! baiklah, guru! Aku berjanji takkan mengingat Somara lagi. Maafkan aku, guru..."

   Teriak his-teris Cinderani seraya memburu dan memeluk kaki orang tua itu dengan terisak-isak. Ki Balung Putih berdiri kaku tak bergeming.

   "Bersediakah kau menikah dengan anak muda ini?"

   Berkata Ki Balung Putih datar.

   "Aku... aku bersedia, guru. Aku takkan menolak apa yang telah menjadi kemauanmu..! sahut si gadis tegas, seraya melepaskan pelukan dan mengusap air matanya. Kemudian bangkit berdiri. Ditatapnya wa-jah sang kakek yang telah merawatnya sejak dia be-rusia sepuluh tahun.

   "Guru, kini aku harus tanyakan pada pemuda itu, apakah dia bersedia menikahi ku?"

   Berkata Cinderani. Akan tetapi Ki Balung Putih justru tertawa berka-kakan hingga terkekeh-kekeh.

   "hiehehe ... heheh .... Pemuda ini takkan menolak. Kau tak perlu khawatir!"

   Ujarnya.

   "Nah! kau telah dengar semuanya, Sambu Ruci. Apakah yang akan kau katakan?"

   Bertanya Ki Balung Putih dengan menatap tajam pada Sambu Ruci. Sambu Ruci menatap pada Ki Balung Putih dan Cinderani berganti-ganti. Lalu menghela napas.

   "Yah, apa yang bisa kutolong, tentu akan kulakukan. Asalkan semua itu demi kebaikan kalian!"

   Berkata Sambu Ruci.

   "Haha .. heheh ... bagus! bagus! Sudah kuduga, kau tentu takkan menolak. Nah, kalian berkenalan-lah lebih dekat. Dua hari lagi kau segera menikah!"

   Selesai berkata dengan girang, si kakek berkelebat melompat masuk ke dalam pondok. Akan tetapi kembali merandek.

   "Sambu Ruci! muridku yang baik! aku akan wa-riskan ilmu silatku yang belum pernah kuturunkan pada semua muridku padamu. Akan tetapi nanti, se-telah kalian resmi menikah!"

   Selesai mengucap kakek Ini lenyap di balik pintu pondok yang kemudian menutup rapat. Sambu Ruci tersenyum menggumam.

   "Aiiih, ka-kek yang aneh!". Kedua pasang mata itu pun saling beradu dan tampak mereka sama-sama tersenyum. Namun kemudian Cinderani tertunduk dan ter-sipu. Dua hari kemudian, tampak seorang pemuda ga-gah tengah berlatih dengan tekun menerima petun-juk KI Balung Putih mempelajari ilmu-ilmu kedig-jayaan. Dialah Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Sementara si gadis bernama Cinderani duduk di atas tangga pondok memperhatikan dari kejauhan. Pernikahan Sambu Ruci dengannya telah resmi. Semuanya berjalan tanpa ada halangan apa-apa. Akan tetapi Cinderani di malam pernikahan itu tak merasa disentuh sedikitpun oleh Sambu Ruci suaminya.

   "Pernikahan aneh!"

   Gumamnya. Masih terbayang ketika mereka sama-sama membisu dalam bilik satu kamar. Sementara Cinderani gelisah, namun Sambu Ruci malahan tidur pulas dengan mendengkur.

   "Sambu Ruci juga aneh. Apakah dia cuma ber-maksud menolongku saja untuk menghapus malu guru?"

   Desisnya pelahan.

   Sementara matanya menatap pada laki-laki muda itu yang masih tekun berlatih.

   Sebentar-sebentar terdengar suara teriakannya menggema di sekitar hutan lengang Itu.

   Gerakan-gerakan Sambu Ruci dalam mempelajari setiap jurus baru yang diperolehnya tak pernah mengalami kesukaran.

   Karena di samping Itu dia seorang yang berotak cerdas juga telah memiliki dasar-dasar ilmu silat.

   Bahkan memang tak dapat di-katakan rendah ilmu yang dimilikinya.

   "Bagus! tiga jurus barusan adalah jurus-jurus yang kunamakan Tiga Kera Sakti Berebut Makanan!"

   Berkata Ki Balung Putih.

   "Masih ada waktu untukmu melatih ilmu-ilmu itu dengan lebih sempurna. Kukira cukup satu bulan kau menerima dan mempelajari kesembilan jurus Ilmu ciptaanku! Bulan depan barulah kau mulai mempelajari ilmu berjalan dan berlari di atas air!"

   "Ah, terimakasih atas semua itu, guru!"

   Sahut Sambu Ruci seraya menghapus keringat di dahi.

   "Hm, setelah satu bulan lagi, kau harus meninggalkan tempat ini. Tugasmu yang utama adalah mencari di mana adanya si SOMARA murid durhaka itu untuk kau kirim nyawanya ke Akhirat. Selesai dengan tugasmu kau boleh pergi ke mana kau suka. Atau mungkin kau akan mencari si PADERI MATA SERIBU?"

   Bertanya Ki Balung Putih.

   "Benar, guru! Tiada lain itulah yang kunantikan!"

   Sahut Sambu Ruci.

   "Tapi apakah aku harus turun gunung berdua dengan Cinderani?"

   Tanyanya dengan menatap pada Ki Balung Putih.

   "Tentu saja, Dia telah menjadi istrimu yang syah! Kau harus menjaganya dan menyayanginya dengan sepenuh hati!"

   Bentak Ki Balung Putih dengan mata mendelik.

   "Oh, ya! ya! akan kuingat selalu pesan itu guru..!"

   Berkata Sambu Ruci dengan tergagap.

   "Bagus! Nah, kau teruskanlah latihanmu!"

   Ujar Ki Balung Putih dengan tersenyum.

   Lalu balikkan tubuh dan melangkah ke arah pondok.

   Sambu Ruci mengangguk.

   Sejenak melirik pada Cinderani yang masih duduk di tangga pondok, yang kemudian beranjak masuk ketika kakek itu menda-tangi.

   Namun Sambu Ruci tak memperhatikan lagi.

   Ka-rena segera dia mulai menghapal jurus-jurus Tiga Kera Sakti Berebut Makanan.

   Jurus-jurus baru yang dipelajarinya itu memang hebat luar biasa.

   Semangat Sambu Ruci untuk cepat memiliki ju-rus tersebut demikian menggebu.

   Semua itu demi tujuannya yang satu.

   Yaitu men-cari si Paderi Mata Seribu untuk kelak membalas dendam kematian gurunya Mamak Metangat.

   ENAM Kita tinggalkan dulu keadaan ketiga orang di hu-tan sunyi itu.

   Kita beralih pada nasib Roro Centil yang dibawa terbang angin puting-beliung dengan cepat.

   Sampai-sampai Roro tak sadarkan diri, tak Ingat apa-apa lagi pada dirinya.

   Entah beberapa saat lamanya Roro tak me-ngetahui.

   Ketika lapat-lapat kembali dia mendengar suara untuk kedua kalinya.

   "Bukalah matamu, bocah Centil!"

   Roro seperti tersentak kaget dan sekejap membu-ka matanya.

   Suara itu adalah suara yang amat di-kenalnya.

   Yaitu suara gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan atau si Manusia Band.

   Ketika memandang ke sekeliling dia seperti ber-mimpi karena melihat dirinya berada di sebuah tem-pat yang amat asing baginya.

   "Ah!? Di manakah aku? Tempat apakah ini?"

   Ber-gumam Roro dengan menatap takjub pada sekeli-lingnya.

   Sekitar tempat itu terhampar pasir putih berkilauan laksana perak.

   Tumbuh-tumbuhan di tempat itu seperti dalam khayalan saja.

   Aneh! baru pertama kail dia melihatnya.

   Terdiri dari pohon-pohon tanpa daun.

   Akan tetapi penuh dengan ca-bang yang berjuluran seperti ular.

   Cendawan warna-warni berserakan di tanah ber-pasir putih itu.

   Sementara dia termangu, kembali terdengar suara itu lagi.

   "Bocah Centil!"

   Kau tak usah terkejut. Kau berada di negeri Siluman. inilah tempat kakek gurumu Begawan Bhama Kosala!"

   Tersentak Roro Centil. Dan serta merta dia berte-riak girang.

   "Guru ..! Di manakah kau? Mengapa kau tak me-nampakkan dirimu?"

   Mata Roro jelalatan memandang ke arah datang-nya suara.

   "Hihihi ... aku telah berada di alam halus. Pertemuan Ini adalah pertemuan yang terakhir. Karena sudah masanya aku meninggalkan dunia fana!"

   Menyahut suara gaib itu. Roro tertegun. Mendadak se-pasang mata gadis ini berkaca-kaca.

   "Guru ..! benarkah kau sudah mati?"

   Tanya Roro tersendat.

   "Aiii! bocah Centil! bukankah si Joko Sangit telah menceritakan padamu tentang apa yang terjadi? Bahkan tombak pusaka Ratu Syima milik si Dewa Tengkorak kekasihku itupun telah dipulangkan ke istana Kerajaan Mataram, sudah tak berada di Pan-tai Selatan lagi!"

   Sahut suara gaib itu.

   "Akan tetapi guru sering muncul dan sering membisikkan ke telingaku untuk memberi petunjuk. Bahkan menolongku hingga kail terakhir ini!"

   Tukas Roro penasaran. Suara gaib itu terdengar tertawa.

   "Hihihi ... memang. Tapi kali ini adalah kali yang terakhir sekali. Karena setelah ini habislah masa hi-dupku di alam halus. Di tempat ini kau akan di-bimbing oleh guruku. Beliau termasuk kakek guru-mu. Segeralah kau temui dia untuk kau menerima petunjuk dari beliau!"

   Berkata suara gaib itu.

   "Aku akan menurut apa petunjukmu, guru ... Akan tetapi berilah aku kesempatan melihat wajah-mu. Untuk yang terakhir, guru .."

   Berkata Roro dengan terisak.

   "Aiiihh! bocah tolol! kau masih saja cengeng! Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjang mu. Ternyata kau seorang yang berbakti pada gurumu. Kau telah membalaskan dendam membunuh mu-suh-musuh gurumu, yaitu istri-istri si Dewa Tengkorak. Baiklah! untuk yang terakhir kali ini akan kabulkan permintaan mu. Cuma satu hal yang harus kau penuhi dari permintaanku."

   Ujar suara gaib si Manusia Banci.

   "Apakah itu, guru?"

   Tanya Roro mendesak.

   "Sudahkah kau mendengar pesanku melalui JOKO SANGIT?"

   "Selain mengatakan tentang kematianmu, dia tak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia ada berkata bahwa belum waktunya dia menyampaikan satu pesan darimu, guru. Aku sendiri tak pernah menanyakan-nya!"

   Sahut Roro.

   "Yah! aku tahu apa yang menjadikan halangan Joko Sangit, murid Ki Jagur Wedha si Pendekar Gentayangan itu. Dia akan tetap berusaha men-gungguli kesaktianmu. Dan tak akan mengatakan-nya sebelum dia berhasil!"

   Roro ternganga. Lalu manggut-manggut.

   "Guru ..! Apakah sebenarnya yang kau pesankan itu? katakanlah, guru!"

   Sela Roro dengan perasaan tak menentu.

   "Baiklah! Pesanku itu akan ku utarakan padamu! Yang kuinginkan adalah cuma satu hal. Yaitu kau menikahlah dengan JOKO SANGIT!"

   Berkata suara gaib si Manusia Banci. Roro laksana mendengar guntur di slang hari. Suara itu terngiang-ngiang di telinganya. Bergetarlah suara Roro.

   "Guru...! aku tak berdaya. Hal itu terserah dia sendiri. Karena sebagai seorang perempuan, aku cuma menunggu pernyataan darinya. Sayang aku baru mengetahui sekarang. Kalau saja aku menden-garnya sejak dulu, mana mungkin aku mengabaikan perintah guru? Aku ... aku tak dapat berdusta, guru. Akupun mencintainya. Tapi semua itu tak mungkin bila dia belum mampu mengungguli Ilmu kedig-jayaan yang kumiliki! Tampaknya dia patah hati dan tak pernah mau berjumpa denganku!"

   Berkata Roro dengan suara datar agar trenyuh.

   "Hihihi... semuanya dapat kau atur! Bukankah kau seorang muridku yang tolol, tapi cerdik?"

   Nah, pergunakanlah ilmu mata batinmu. Aku akan mem-perlihatkan diri untuk saat terakhir ini ..!"

   Berkata suara gaib itu. Roro Centil tak ayal segera turutkan perintah, un-tuk gunakan ilmu pandangan mata batin. Namun tetap dia tak melihat apa-apa.

   "Segera kau akan melihat wajah gurumu, bocah Centil!"

   Berkata suara gaib si Manusia Banci.

   Dan tiba-tiba di hadapan Roro terlihat segumpal asap putih yang semakin lama semakin tebal.

   Lalu memben-tuk sesosok tubuh.

   Semakin lama semakin sempur-na.

   Hingga kejap berikutnya di hadapan Roro terlihat sesosok tubuh wanita cantik berpakaian sutera putih.

   Itulah sosok tubuh si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Banci.

   "Guru ...!"

   Teriak Roro girang.

   "Ah, kau amat cantik sekali, guru...!"

   Terperangah Roro melihatnya. Arwah si Manusia Banci tersenyum menatap Roro dengan mata bercahaya. Akan tetapi cuma sekejap. Ya! teramat cepat sekali. Roro belum puas menatap, sosok tubuh jelmaan itu telah lenyap sirna.

   "GURUUUU!"

   Teriakan Roro membarengi le-nyapnya sosok tubuh sang guru yang telah mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaan yang membuat dia bergelar dengan gelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

   Suara teriakannya terdengar lagi berpantulan.

   Dan Roro tertegun bagai arca.

   Menatap ke ha-dapannya dengan terlongong.

   Alam serasa hening seperti dalam mimpi.

   Dua titik air mata dara ini meleleh ke pipi.

   Ter-dengar suara Roro pelahan bercampur isak.

   "Selamat jalan guru ..! Semoga arwahmu menda-pat ketenangan di alam Baka ..!"

   Di saat Roro tengah termangu-mangu itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh.

   Roro tersentak kaget seraya menghapus air matanya.

   Membelalak mata Roro melihat batang-batang pohon tanpa daun itu tiba-tiba berjuluran bagaikan ular ke arahnya.

   Tentu saja Roro segera sadar bahaya apa yang mengancam pada dirinya.

   Dengan perdengarkan teriakan keras dia melom-pat menghindar.

   Secara reflek lengannya bergerak menghantam.

   Bhlarrr! Bhlarrrl.

   Dua hantaman itu membuat batang-batang po-hon yang berjuluran bagai ular itu hancur ber-tebaran.

   Akan tetapi sejenak Roro ternganga karena melihat dirinya telah terkurung oleh ratusan poton-gan batang pohon yang bergerak menghambur ba-gaikan lintah-lintah raksasa ke arahnya.

   "Edan! Gila! makhluk apakah ini?"

   Sentak Roro terperanjat.

   Di samping ngeri juga merasa aneh, Roro bertin-dak cepat untuk menghalau "lintah-lintah raksasa itu dengan hantaman pukulan-pukulan-nya.

   Ber-lompatanlah Roro di antara serpihan-serpihan hidup yang menakutkan itu.

   Gerakan Roro yang cekatan itu memang membuat "lintah-lintah raksasa"

   Itu hancur bertebaran jadi bubuk.

   Dan dia berhasil menjauhi dengan berlompat sejauh dua puluh tombak.

   Akan tetapi sejenak Roro terpana melihat seekor makhluk raksasa mirip ulat bulu menghadang di depan.

   Makhluk yang beruas-ruas itu mendesis.

   Dari mulutnya yang bertaring tajam menyembur uap putih.

   Uap itu menimbulkan hawa yang membuat kepalanya menjadi pening.

   Namun Roro tak segera berdiam diri.

   Dengan kebe-ranian luar biasa dia menerjang makhluk itu.

   Pukulan dengan jurus-jurus Sinar Perak Pelangi berkilatan menghantam.

   Akan tetapi luar biasa.

   Makhluk itu amat kebal.

   Bahkan secara cepat Roro sudah terdesak.

   Kali ini Roro terpaksa harus meng-hindari diri dari serangan uap-uap beracun yang membuat kepalanya semakin pening.

   Roro terhuyung mundur dengan melompat lom-pat.

   Namun Lagi-lagi uap yang menyembur dari mu-lut makhluk itu kembali menerjangnya.

   Roro kehilangan konsentrasi.

   Dia mulai kena cengkeraman kaki-kaki sang ulat raksasa.

   Tubuh-nya telah berada di depan moncong makhluk itu.

   Dalam saat demikianlah Roro gunakan ilmu dari si Manusia Gurun Pasir.

   T U J U H Jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis sege-ra digunakan.

   Sepasang lengan Roro bergerak menghantam....

   BHLARRR! Dentuman keras terdengar.

   Akan tetapi berbareng dengan Itu, tubuh Roro pun terlempar ke udara.

   Ro-ro telah kehilangan kesadarannya karena telah menghisap uap beracun yang membuat dia tak sa-darkan diri.

   Namun detik tadi dia telah mampu gu-nakan jurus si Manusia Gurun Pasir yang ampuh.

   Makhluk raksasa mengerikan itu mendadak le-nyap.

   Dan ...

   sebuah cahaya kuning tiba-tiba mem-bersit ke arah tubuh Roro.

   Kejadian aneh segera berlangsung.

   Tubuh Roro lenyap terbungkus dalam kemilau cahaya kuning itu.

   Sementara cahaya itu sendiri meluncur ke arah puncak bukit di pulau aneh itu.....

   Lalu lenyap.

   Ketika Roro sadarkan diri lagi, dia terkejut meli-hat dirinya telah berada disatu ruangan berlantai marmar.

   Dinding ruangan Ku putih berkilat-kilat.

   Sebuah ruangan yang amat luas.

   Yang membuat Ro-ro lebih terpana adalah di hadapannya tampak se-buah arca seorang kakek.

   Area batu yang sudah ber-lumut.

   Dalam keadaan tertegun kebingungan Kulah Roro mendengar suara gaib dari arah arca.

   "Cucuku ...! Jangan terkejut. Kau telah berada di tempatku. Akulah kakek gurumu yang bergelar Bagawan BHAMA KOSALA! Heheheh ... selamat datang cucuku yang cantik!"

   Terperangah Roro karena jelas dia mendengar su-ara Ku dari arah arca.

   Akan tetapi apakah patung manusia itu yang bicara? pikir Roro.

   Namun mendengar nama Bagawan Bhama Kosa-la, Roro cepat-cepat bangkit dan jatuhkan dirinya berlutut di hadapan patung.

   "Kakek guru, terimalah sembah sungkem ku. Aku Roro Centil telah membuat huru-hara di tempat ke-diamanmu!"

   Berkata Roro.

   Dia tak peduli apakah area itu yang bicara atau bukan.

   Tapi yakin kalau suara gaib itu datangnya dari arah arca.

   Suatu keanehan tiba-tiba terjadi.

   Area batu yang mirip seorang kakek tua yang sudah berlumut itu mendadak lenyap.

   Dan asap putih tipis membum-bung.

   Mata Roro terbelalak melihat dibekas arca telah menjelma sesosok tubuh yang amat mirip den-gan patung kakek tua itu.

   "Ah? apakah ini kakek guru Bagawan BHAMA KOSALA?"

   Berdesis Roro.

   "Hehehe ... bocah cucuku. Apakah kau bersedia menjadi muridku?"

   Bertanya kakek jubah putih yang mirip dengan sosok arca itu. Sepasang mata dari se-seorang tua yang berusia lanjut sekali. Berjenggot kelabu. Berhidung mancung. Sepasang matanya bersinar.

   "Atas perintah guruku aku memang dibawa ke tempat ini adalah untuk itu, kakek! Tentu saja aku amat berterima kasih Kalau kau mau mengangkat ku sebagai murid!"

   Ucap Roro dengan menunduk hormat. Sementara hatinya berdebar-debar. Semua kejadian ini amat misterius dan dia seperti berada di alam gaib yang amat menakjubkan. Bagawan Bhama Kosala tertawa mengekeh. Sua-ranya membuat bulu roma Roro meremang.

   "Sebenarnya ilmu kedigjayaan mu sudah tinggi. Akan tetapi sudah menjadi kodrat bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Aku akan berikan tiga macam Ilmu padamu. Ya, tiga macam ilmu kedigjayaan yang mungkin bisa membuat kau lebih per-kasa, cucuku. ilmu ini adalah ilmu yang cuma bera-da di negeri siluman. Yang bisa dipergunakan untuk bekalmu menghadapi musuh-musuhmu yang juga berilmu siluman. Setelah itu kau boleh kembali ke dunia manusia! Akan tetapi ingatlah. Jangan kau pergunakan il-mu ini untuk perbuatan yang tidak baik!"

   Tutur Ba-gawan Bhama Kosala.

   "Murid akan selalu ingat akan wejangan mu, kakek guru!"

   Sahut Roro dengan girang.

   "Aku percaya akan pribadimu!"

   Tersenyum sang Begawan.

   "Nah, hari ini juga kau mulailah mempelajari!"

   "Terimakasih, kakek guru! ujar Roro dengan mengangguk girang. Si kakek menunjuk ke arah sebuah batu putih bagai pualam di sudut ruangan. Nah! kau bertapa-lah di atas batu itu selama empat puluh hari empat puluh malam. Bila kau sanggup melewati ujian ini maka kau berhak menerima ketiga macam ilmu dariku."

   Berkata Bagawan Bhama Kosala. Roro menatap ke arah tempat itu lalu mengangguk.

   "Kalau persyaratan untuk menerima ketiga ma-cam ilmu itu adalah demikian, tentu aku akan men-cobanya, kakek guru!"

   Tandas Roro.

   "Sukurlah! Semoga kau lulus dalam ujian itu!"

   Bagawan Bhama Kosala manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya.

   Akan tetapi sekejap kemudian tubuhnya lenyap sirna.

   Roro ternganga.

   Walaupun dia mempergunakan mata batin namun tetap tak mampu melihat ke ma-na lenyapnya tubuh kakek bagawan itu.

   Namun tak lama kemudian Roro sudah melompat ke sudut ruangan.

   Kemudian segera mulai mengatur kaki untuk duduk bersila.

   Segeralah dia memulai tapanya....

   *** Pulau Berhala mulai menunjukkan kekuasaan-nya.

   Kecemasan mengembara ke setiap daerah.

   Ka-rena sang ketua para paderi itu mulai haus pada wanita-wanita cantik.

   Pulau Berhala memang amat sukar untuk didatangi golongan lain yang berniat menyelidiki pulau itu.

   Karena penjagaan yang ketat.

   Di samping ratusan paderi dari Istana Hitam siap mencabut nyawa! Belasan manusia berkepala gundul tampak ber-sembulan di permukaan air menyeberangi pulau.

   Tak sebuahpun perahu nelayan berani mendekati pulau itu.

   Dalam beberapa saat saja mereka telah mendarat di pantai pasir.

   Mereka saling memberi isyarat.

   Lalu segera me-nyebar.

   Gerakan mereka cepat sekali karena dalam bebe-rapa kejap saja sosok-sosok tubuh itu langsung lenyap.

   Pantaipun kembali sunyi mencekam....

   Akan tetapi ternyata sepasang mata telah mem-perhatikan pendaratan itu dengan mata bersinar.

   Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh.


Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah

Cari Blog Ini