Berjalan Dalam Tidur 2
Fear Street Berjalan Dalam Tidur Bagian 2
Hanya ada satu jendela di lotengnya.
Jalan itu tampaknya sudah tak asing lagi baginya, tapi tetap terasa janggal.
Mayra berjalan menuju lampu, lewat trotoar tanah di tepi jalan.
Ia mengayunkan lengan kanannya, mula-mula perlahan, lalu makin cepat, sambil memegangi pakaian tidurnya di bagian pinggang dengan tangan kiri.
Apakah yang di dekat lampu itu papan nama jalan? Ya.
Ia melewati satu lagi rumah tua yang gelap, jauh dari jalan.
Rumput dan ilalang tinggi terbentang di halamannya bagai permadani.
Apa aku mengenal rumah itu? Apa aku mengenal jalan ini? Berapa jauh aku telah berjalan? Apakah aku telah berjalan memasuki mimpi lain? Ia bergegas mendekati papan nama jalan.
FEAR STREET.
Ia memandang ke kejauhan, kemudian membacanya lagi.
Tidak berubah.
Masih bertuliskan FEAR STREET.
Kenapa aku ada di sini? Ia berjalan dalam tidur ke Fear Street, ke tepi hutan.
Ke tepian, pikirnya.
Ke tapal batas.
Melewati batas kewarasan.
Aku sudah gila.
Kata-kata itu terus diulang dalam hatinya sampai kehilangan makna.
Ia mendongak melihat tanda jalan itu lagi.
Benar-benar ada.
Bukan mimpi.
Ia berada di Fear Street dengan hanya berpakaian tidur di tengah malam.
Ia berjalan dalam tidur ke sini...
untuk mencari...
apa? Barangkali ia akan berdiri di sana selamanya, terpana memandangi papan nama jalan hitam-putih itu.
Namun pendar-pendar sinar merah membawanya kembali ke alam nyata, dan ia sadar dirinya tidak sendirian lagi sekarang.
Ada pintu mobil dibanting.
Seorang laki-laki berjalan ke arahnya.
Lampu merah berpendarpendar.
Seolah mengelilinginya.
Mayra mengedipkan mata, berusaha menghindari sinar silau itu.
Ia tahu ini cuma mimpi, sekali lagi datang untuk menakutnakutinya.
Ia menunduk, berharap melihat air danau yang biru dingin.
Tapi ia hanya melihat debu.
"Miss?"
Laki-laki itu berdiri tepat di hadapannya, disinari kilau cahaya merah.
"Miss? Apa yang kaulakukan di luar sini?"
Ia polisi. Di belakangnya Mayra melihat pendar-pendar lampu merah di atap mobil polisi itu.
"Hai. Saya... saya tidak tahu."
"Kau baik-baik saja?"
"Ya, saya kira begitu."
"Apakah kau terluka? Apakah ada orang yang membawamu kemari?"
"Tidak."
Polisi itu memegang lengan Mayra dengan lembut. Mayra mengikutinya menuju lampu merah yang berpendar-pendar.
"Boleh aku mengantarkanmu pulang? Kau tinggal di sekitar sini?"
"Terima kasih, Pak." ********************************* Kali ini ibu Mayra menanggapi masalah itu dengan serius. Ia berlari ke pintu depan, mengenakan piama laki-laki bergaris yang selalu dipakainya, dengan wajah takut dan kaget ketika melihat Mayra dan polisi berwajah serius itu. Ia membawa Mayra ke dapur, erat memeluk pinggang anaknya. Mata mereka mengerjap oleh tajamnya sinar lampu dapur. Mrs. Barnes menjerang air untuk membuat cokelat panas. Mayra bercerita tentang mimpinya dan tentang bagaimana ia terjaga di Fear Street.
"Tak ada lagi yang kuingat. Tak ada lagi yang dapat kujelaskan,"
Kata Mayra, lalu pecahlah tangisnya. Mrs. Barnes mendekat ke sampingnya dan memeluknya.
"Ssshhh. Sekarang kau sudah aman."
"Tapi apa yang terjadi padaku? Kenapa aku melakukannya?"
"Aku tak tahu,"
Sahut ibunya sambil menuangkan sebungkus bubuk cokelat ke dalam cangkir.
"Aku tak tahu apa-apa tentang berjalan dalam tidur. Tapi yang penting jangan cemas, jangan terlalu kuatir."
"Terlalu kuatir?"
Jerit Mayra. Ia tahu ibunya berbicara dengan sangat pelan supaya ia tenang, namun hal itu malah membuatnya marah.
"Bagaimana aku tak kuatir? Aku berjalan ke Fear Street sambil tidur!"
"Aku tahu, Sayang,"
Kata ibunya. Ia menuangkan air mendidih ke dalam cangkir dan menggeser cangkir itu ke dekat Mayra.
"Mom, aku tak dapat..."
"Dr. Sterne sedang cuti minggu ini,"
Potong Mrs. Barnes.
"Tapi begitu dia masuk kerja, kita akan langsung menemuinya."
"Apa yang dapat ia katakan?"
Tanya Mayra tidak senang. Diteguknya cokelat panas itu sedikit dan lidahnya langsung serasa terbakar.
"Well, aku tak tahu. Kupikir mungkin dia dapat menjelaskan tentang penyakit berjalan dalam tidur itu. Maksudku, apa penyebabnya."
"Gila. Itulah penyebabnya,"
Gerutu Mayra, ia menangkupkan kedua tangannya di sekeliling cangkir hangat.
"Aku sudah sinting."
"Sudah. Berhentilah berkata begitu."
Mrs. Barnes tiba-tiba kelihatan sangat letih.
"Kau tidak sinting. Ada sesuatu yang tidak kita mengerti, itu saja. Dr. Sterne orang pandai. Dia akan menolong kita. Nah, sekarang kau mau tidur di kamarku? Ayo. Kita tidur, yuk."
"Trims, Mom. Tapi, sungguh, aku baik-baik saja sekarang. Cokelat panas ini manjur. Aku sudah jauh lebih tenang sekarang, Suster Nancy."
Mayra tersenyum pada ibunya, kemudian kembali menyesap cokelat di cangkirnya.
"Mungkin kita bisa memindahkan Kim ke kamarmu untuk sementara,"
Usul ibunya.
"Dia gampang terjaga, dia pasti akan dengar kalau kau bangun. Lalu dia bisa..."
Mereka berdua terkejut mendengar bunyi langkah kaki yang keras. Kim berderap masuk ke ruangan itu dengan mengenakan piama Garfield the Cat. Matanya terpejam, kedua lengannya terjulur lurus ke depan.
"Aku jalan sambil tidur,"
Ia bergumam menirukan suara hantu.
"Aku jalan sambil tidur..."
"Kim!"
Mayra berteriak, sebal sekali melihat tingkah adiknya.
"Kau tadi menguping seluruh pembicaraan kami, ya?"
Tanya Mrs. Barnes. Kim tidak menghiraukan mereka berdua, melainkan terus berjalan seperti zombie menyeberangi dapur, matanya tetap terpejam.
"Aku jalan sambil tidur. Awas, hati-hati."
"Berhenti, Kim. Tidak lucu,"
Kata Mrs. Barnes.
"Dia memang kurang ajar."
Mayra menggeleng-geleng. Akhirnya Kim membuka matanya.
"Aku juga bisa jalan sambil tidur, tahu."
"Kenapa belum tidur? Kau harus bangun pagi untuk berangkat ke camp, ingat?"
Mrs. Barnes memegang bahu Kim dan memutar badannya, lalu mendorongnya keluar dari dapur.
"Aku masih tidur. Aku sedang jalan dalam tidur,"
Kim bersikeras.
Beberapa saat kemudian Mayra sudah kembali ke tempat tidurnya.
Ia merasa capek, bahkan lemas sekali.
Namun ia tidak dapat tidur lagi.
Setiap akan terlelap, ia memaksakan diri untuk kembali terjaga.
Tidak, tidak bisa, pikirnya.
Aku tak bisa membiarkan diriku bermimpi lagi.
Ia memelototi langit-langit, merasa semakin ketakutan.
Aku tak boleh tertidur lagi, pikirnya.
Chapter 10 WALKER sangat mengkhawatirkan keadaan Mayra.
Ia bergegas ke rumahnya sebelum gadis itu berangkat bekerja.
Ia kelihatan menawan dengan jins pudar buntung dan kemeja polo bergaris merah-putih.
Mayra gembira melihatnya.
"Kau tak perlu ke sini pagi-pagi sekali. Aku baik-baik saja. Sungguh."
"Tapi aku ingin ketemu kau,"
Kata Walker pada Mayra. Dengan kikuk ia duduk berselonjor di atas karpet ruang tamu.
"Duduklah di sini."
"Aku tak bisa. Nanti aku terlambat ke rumah Mrs. Cottler."
"Cuma sebentar saja kan tidak apa-apa."
Walker mengulurkan tangan dan menarik Mayra ke sampingnya.
"Jangan ngaco,"
Kata Mayra menyeringai. Dipeluknya Walker. Ia suka kalau cowok itu bersikap memaksa dan ngotot seperti sekarang. Ini jarang terjadi.
"Ceritakan yang tadi malam."
"Kan sudah kuceritakan di telepon. Tak ada yang lainnya."
"Aneh,"
Kata Walker.
"Aneh? Begitu? Begitu pendapatmu?"
"Yeah."
Mendadak Walker bersungguh-sungguh.
"Yeah, ini aneh."
"Oh. Kupikir aku yang kauanggap aneh."
"Yeah, itu juga."
"Terima kasih banyak. Yang serius dong. Aku betul-betul takut."
"Aku serius. Aku juga takut. Untukmu, maksudku. Pasti ngeri rasanya tiba-tiba terbangun di suatu tempat di luar rumah."
"Bukan di sembarang tempat. Tapi di Fear Street."
"Begini, aku punya usul."
Walker bersandar ke sofa.
"Mungkin aku bisa menghipnotismu dan mencoba menemukan apa masalahmu, atau arti mimpi itu, atau yang lainnya."
"Tidak, trims,"
Kata Mayra cepat-cepat. Ia mulai berdiri, tapi Walker menariknya lagi.
"Tidak. Aku serius. Aku sudah mempraktekkannya. Maksudku, aku yakin sekarang aku sudah lebih menguasainya. Pantas dicoba, kan?"
"Walker, kau memang aneh."
Mayra bangkit berdiri dan berjalan menuju cermin di koridor. Sambil merapikan T-shirt, ia dapat melihat bayangan Walker melalui cermin. Pemuda itu kelihatan sangat tersinggung.
"Itu pujian lho,"
Kata Mayra. Namun ekspresi Walker tidak berubah.
"Jadi kau akan menemui psikiater itu?"
"Yeah. Begitu dia kembali dari cutinya. Kata Mom, dia baik sekali. Dia telah melakukan semacam penelitian mengenai tidur, jadi mungkin dia tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaanku berjalan dalam tidur."
Walker berdiri dan berjalan mendekati Mayra.
Gadis itu melihatnya melalui cermin.
Keren sekali dia, kata Mayra dalam hati.
Sebaiknya aku segera berangkat.
Tiba-tiba ia ragu apakah dapat mempercayai dirinya sendiri berduaan saja dengan Walker di rumah.
Jika sekarang Walker memeluknya, ia pasti tak jadi berangkat kerja ke rumah Mrs.
Cottler.
Tapi Walker ternyata diam saja.
Lama sekali ia memandangi bayangan Mayra di cermin, lalu bertanya.
"Boleh aku mengantarmu berangkat kerja?"
"Yeah. Trims."
Mayra bertanya-tanya dalam hati apakah Walker menyadari betapa kecewanya dia. ************************************ Kucing hitam itu seolah terpana melihat Mayra,kepalanya miring, mata kuning-hijaunya tampak membesar.
"Hazel,"
Kata Mayra.
"di mana Mrs. Cottler?"
Wanita tua itu tidak membukakan pintu. Setelah mengetukngetuk beberapa kali, Mayra masuk ke dalam rumah. Ia disambut kucing itu dengan pandangan takut dan curiga.
"Mrs. Cottler? Mrs. Cottler?"
Tak ada jawaban.
"Mungkin dia di atas,"
Kata Mayra keras. Kucing itu menaiki tangga seolah mengerti apa yang dikatakan Mayra.
"Mrs. Cottler?"
Panggil Mayra. Tidak ada jawaban, jadi Mayra menaiki tangga. Pintu kamar tidur Mrs. Cottler terbuka. Mayra mengintip ke dalam. Kamar itu kosong. Tapi Mayra melihat pintu kamar mandi yang tertutup di dinding seberang. Mayra masuk ke kamar itu.
"Mrs. Cottler?"
Ia mendengar pancuran di kamar mandi mengucur.
Jadi di situlah Mrs.
Cottler.
Mayra berbalik akan keluar ketika pandangannya menangkap sesuatu di atas lemari pakaian.
Ia mendekatinya.
Sebatang lilin hitam yang telah terbakar habis, dikelilingi genangan lelehan hitam.
Di sampingnya ada kotak perhiasan kecil yang terbuka.
Di dalamnya Mayra melihat onggokan manik-maniknya yang berwarna biru pucat.
Rupanya Mrs.
Cottler belum mulai merangkainya.
Mengapa dikeluarkan? Mengapa ditaruh di dekat lilin hitam yang aneh ini? Gemerencik air di shower tiba-tiba berhenti.
Lebih baik aku keluar dari sini sebelum dia melihatku, pikir Mayra.
Ia berbalik dan cepat-cepat keluar dari kamar itu tanpa bersuara.
Mayra sedang menyiapkan makan siang berupa salad ikan tuna ketika akhirnya Mrs.
Cottler muncul di dapur.
Wanita tua itu bertopang pada tongkatnya dan tersenyum penuh rasa bersalah.
"Aku bangun kesiangan hari ini,"
Katanya pada Mayra.
"Pasti menyebalkan mesti menunggui perempuan tua seperti aku."
"Hari ini cerah,"
Kata Mayra, sambil masih memikirkan kalung manik-maniknya di dalam kotak perhiasan.
"Makan siang hampir siap."
Mrs. Cottler melangkah mendekati meja di samping Mayra.
"Kau kelihatan capek, Mayra,"
Katanya dengan wajah berkerut prihatin.
"Yeah, saya tahu. Akhir-akhir ini tidur saya tak nyenyak."
"Barangkali ibumu sebaiknya menyuruhmu tidur lebih awal."
Seulas senyum ganjil muncul di wajahnya.
"Omong-omong, bagaimana kabar ibumu?"
Ternyata dia ingat ibuku, kata Mayra dalam hati. ************************************* Acara berjalan-jalan ke tepi danau terhalang oleh hujan angin.
"Tak apa-apa,"
Kata Mrs. Cottler.
"Aku cuma ingat Vincent kalau pergi ke sana. Itu caraku untuk selalu mengenangnya dalam hidupku. Tapi hal itu selalu membuatku sedih."
"Kita akan membaca beberapa bab tambahan hari ini,"
Mayra berkata, tersenyum hangat, mencoba menghibur wanita tua itu.
Tibatiba mimpi itu berkelebat di benaknya.
Dilihatnya danau itu, danau impian, berkilauan dan jernih.
Dipaksanya bayangan itu menghilang dari benaknya, diambilnya buku, dan dicarinya halaman yang akan dibacakannya.
Beberapa jam kemudian hari masih gerimis ketika Mayra pulang.
Air hujan yang dingin terasa nyaman di wajahnya.
Dengan langkah cepat ia menyusuri Fear Street, ingin segera sampai di rumah.
Ia masih berada di depan makam Fear Street, sepatu karetnya menapak di atas kubangan yang bertebaran di jalan, ketika tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki di belakangnya.
Apakah itu orang yang pernah mengikutinya, cowok berleher besar itu? Ia gemetar dan makin mempercepat langkahnya.
Siapa dia? Apa maunya? "Hei...
Mayra!"
Mayra membalikkan badan. Bukan orang mengerikan itu. Ternyata Link.
"Link? Apa kerjamu di Fear Street?"
Dengan tangan, Link menyisir rambut hitamnya yang basah oleh air hujan ke belakang, dan tersenyum lebar pada Mayra.
"Aku sedang menunggumu."
Ia mengenakan jins denim hitam dan T-shirt tanpa lengan yang berwarna cerah. Lengan dan dadanya sangat kecokelatan. Mayra tidak membalas senyumnya.
"Link, jangan mulai lagi. Aku tak mau..."
"Tidak. Aku cuma bercanda,"
Kata Link, bergegas menyamai langkah Mayra.
"Aku harus mengantarkan barang. Lalu aku melihatmu keluar dari rumah itu, jadi..."
Mayra melihat pickup merah di belakang Link yang diparkir di tengah jalan. Pintu di sisi pengemudi dibiarkan terbuka lebar.
"Itu mobilmu?"
"Well, mereka memperbolehkan aku memakainya untuk mengantar barang,"
Sahut Link sambil tersenyum lagi.
"Mau jalanjalan?"
Ia meraih tangan Mayra, namun gadis itu menarik tangannya menjauh.
"Tidak. Aku tak mau."
Tiba-tiba bayangan Walker muncul dalam pikiran Mayra. Ia ingin tahu apa yang sedang dikerjakan cowok itu pada saat ini. Ia ingin secepat mungkin menelepon Walker begitu ia sampai di rumah.
"Akan kuantar kau pulang. Ayo, Mayra. Kayaknya hujan akan turun lagi."
"Tak usah,"
Tolak Mayra.
"Aku cuma akan mengantarkanmu. Aku takkan ngomong apaapa. Janji."
Mayra ragu-ragu, lalu melihat ke langit yang makin gelap.
"Kau janji takkan mengajakku berkencan, atau semacamnya, Link?"
Link mengangkat tangan kanannya, pura-pura bersumpah.
"Tidak. Aku tidak seseram yang kaubayangkan,"
Jawabnya sambil tertawa. Mayra mengikuti Link ke mobilnya dan membuka pintu di sisi penumpang.
"Pakai tangga itu untuk naik,"
Kata Link. Mayra duduk dan menutup pintu. Dilihatnya Link berlari-lari kecil mengelilingi mobil dan meloncat untuk membuka pintu di sisi pengemudi. Dia kelihatan hebat, batin Mayra. Link menyelinap ke belakang kemudi dan melontarkan senyum jahat.
"Kau kelihatan capek. Aku tahu apa yang kaubutuhkan. Jalanjalan ke tempat jauh dan bersantai,"
Katanya sambil memegang bahu Mayra dengan tangannya yang hangat.
"Kenapa kita tidak pergi ke River Road saja?"
Dengan bergurau Mayra memukul tangan Link agar menjauh.
"Link... kau sudah janji!"
Mayra meraih pegangan pintu, tapi jelas tidak serius. Link menstarter mobil dan mulai melaju meninggalkan Fear Street.
"Tahu aku ketemu siapa kemarin? Kerry Post."
"Oh, yeah?"
Kerry adalah sahabat Link yang pindah ke Selatan, juga pindah sekolah di sana. Mayra menyukai Kerry dan baru sekarang menyadari bahwa ia tidak pernah teringat pada Kerry sejak ia putus dari Link.
"Bagaimana kabarnya?"
"Masih aneh seperti biasanya."
Link berbelok ke kanan di Park Drive.
"Tahu apa yang dikerjakannya selama liburan musim panas ini? Dia menjadi Mister Frostycone Man."
"Kau pasti bercanda!"
Mayra tertawa.
"Maksudmu dia harus berpakaian seperti corong es krim besar sama dengan yang lainnya itu?"
"Yep. Seingatku rute mobil es krimnya di Old Village. Dia harus terus-terusan membunyikan bel sepanjang hari. Aku bilang aku akan selalu mengingatnya sebagai Kepala Corong!"
Mayra tertawa.
"Dan di mana ceweknya yang nyentrik -Alice?"
"Menurutku sepanjang liburan ini Alice pasti berusaha menghindari Kerry!"
Mereka berdua tertawa.
Mayra memandangi Link, mengamati wajah tampannya.
Ia lupa betapa cowok ini kadang bisa sangat menyenangkan.
Rasanya santai dan nyaman berdua dengannya, seperti dulu.
Link menyadari Mayra sedang mengamatinya.
Ia kembali memegang bahu Mayra.
"Bagaimana kalau kita pergi ke River Road?"
Tanyanya pelan.
"Cuma ngobrol."
Mayra hampir mengatakan ya.
Apa ruginya? Link meremas bahu Mayra.
Tidak, prkir Mayra.
Ini salah.
Wajah Walker terlintas dalam benaknya.
Segalanya sudah berakhir antara diriku dan Link.
Memang, dia cowok hebat.
Memang, aku kadang-kadang merindukan dia dan teman-teman kami berdua.
Memang, aku merasa nyaman bersamanya.
Tapi aku sekarang pacaran dengan Walker.
"Link, antarkan aku pulang,"
Katanya, dengan pandangan lurus ke kaca depan.
Ia menoleh, dan melihat kekecewaan di wajah Link.
Pemuda itu tidak hanya kecewa.
Ia murka.
Kemarahannya menggelegak akibat sekali lagi ditolak Mayra.
Mereka melaju ke rumah Mayra dalam suasana sunyi, kesunyian yang mencekam dan muram.
********************************** Link menurunkan Mayra di tepi jalan, dan gadis itu berlari ke halaman rumahnya tanpa berpamitan.
Mayra terkejut ketika menemukan Donna sedang menunggu di teras depan.
Temannya memakai celana pendek hijau Day Glo yang dipadu blus pendek.
Pakaian itu membuatnya tampak makin mungil.
"Siapa yang mengantarkanmu?"
Tanya Donna, memandang Mayra dengan mimik heran.
"Link,"
Jawab Mayra cepat.
"Sekarang kita ngomong yang lainnya."
Donna tersentak.
"Dia belum menyerah, hah?"
"Sudah kukatakan, kita ngomong yang lainnya saja,"
Mayra berkata ketus, setelah menemukan kuncinya ia membuka pintu depan. Donna mengikutinya masuk ke ruang tamu yang sejuk dan menyenangkan.
"Oke. Yang lainnya. Bagaimana kabar Mrs. Cottler?"
Donna bertanya dan menjatuhkan diri ke sofa kulit yang merapat ke dinding.
"Aneh,"
Sahut Mayra.
"Aku harus ngomong yang lainnya lagi?"
Donna menjulurkan kaki, dan meletakkannya di atas meja tamu.
"Aku ketemu Walker di mall. Katanya kau... uh... jalan dalam tidur lagi.
"Aku baru akan meneleponmu."
"Mau ngomong tentang hal ini?"
Mayra menghela napas.
"Tidak banyak yang bisa diomongkan."
"Kau benar-benar ceria hari ini,"
Donna menggerutu.
Mayra masih memikirkan Link, bagaimana tadi ia begitu terpesona pada cowok itu di mobil.
Mayra dan Donna membutuhkan waktu sejenak untuk dapat mulai bercakap-cakap, seolah-olah mereka dua orang asing yang sama sekali belum saling kenal.
Mula-mula mereka mengobrol macam-macam, seakan untuk melicinkan jalan ke pembicaraan selanjutnya.
Potongan rambut baru sepupu Donna.
Porsche merah mungil dan lucu yang dibeli orangtua Pete Goodwin.
Film baru Tom Cruise.
"Oh, ngomong-ngomong, tadi ada cowok yang mencarimu ke sini,"
Celetuk Donna tiba-tiba.
"Hah?"
"Kalau tak salah namanya Cal anu atau semacamnya. Kau kenal dia?"
"Tidak."
Perasaan takut mulai merambat naik dari perut Mayra.
"Dia mau apa?"
"Entah. Dia menghampiri teras waktu aku sedang menunggumu. Orang itu besar, sangat besar, otot dan lehernya juga kelihatan besar."
"Oh, tidak."
"Mayra... kau kenapa? Kau pucat sekali."
"Yeah. Aku tak apa-apa. Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini? Apakah dia mengatakannya?"
"Tidak. Uh... oh, yeah. Katanya Mrs. Cottler yang memberitahunya."
Mrs. Cottler? Si Cal ini kenal Mrs. Cottler? Mengapa Mrs. Cottler memberikan alamat Mayra pada orang ini? "Dia mau apa?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa. Kukatakan kau tak ada di rumah. Semoga tindakanku benar,"
Kata Donna.
"Tampangnya agak serem."
"Yeah, memang,"
Sahut Mayra. Ia menceritakan pertemuan pertamanya dengan Cal di depan makam Fear Street.
"Oh, well. Mungkin dia mau menawarimu untuk berlangganan majalah."
Donna bersandar di sofa dan memandangi bayangan yang bergerak-gerak di langit-langit.
"Yeah. Pasti,"
Kata Mayra sinis.
"Jadi kenapa kau jalan dalam tidur?"
Tanya Donna mendadak. Mayra terdiam sejenak untuk memusatkan pikirannya ke masalah itu.
"Kalau saja aku tahu,"
Jawabnya singkat.
"Aku pernah melihat film tentang cewek yang berjalan dalam tidur setiap malam."
Donna menggaruk lututnya.
"Ya ampun,"
Mayra mengerang.
"Pasti kau mau menceritakannya padaku, kan?"
"Betul. Dia berjalan dalam tidur karena ingin membunuh seorang cowok."
"Donna... sudahlah..."
"Dia tidak berani membunuh cowok itu saat dia bangun. Jadi dia berjalan dalam tidur dan membunuhnya dalam tidur. Lalu orangorang tidak dapat menuduhnya membunuh, karena dia sedang tertidur ketika melakukannya."
"Donna... jangan gitu dong!"
Mayra memohon.
"Barangkali kau mau membunuh seseorang,"
Kata Donna.
"Ya. Kau!"
Mayra berjalan menghampiri Donna. Jari-jarinya melingkari leher Donna, lalu ia pura-pura mencekiknya.
"Oke, oke. Apa teorimu?"
Tanya Donna.
"Teoriku?"
"Tentang berjalan dalam tidur."
"Teoriku adalah..."
Sekonyong-konyong ide itu muncul di benaknya, seperti ledakan yang menghancurkan semua rintangan, mengejutkan Mayra.
"Teoriku adalah Mrs. Cottler seorang penyihir dan dia menenungku supaya berjalan dalam tidur."
Donna tertawa.
"Bagus, Mayra. Itu sebagus plot filmku."
Mayra juga tertawa.
Namun dalam benaknya terbayang wanita tua itu saat sedang duduk tegak di tempat tidurnya dengan mata tertutup.
Dan ia membayangkan lilin hitam yang dinyalakan serta kalung manikmaniknya yang ada dalam lemari pakaian.
Ia teringat akan ucapan Stephanie bahwa penyihir hanya memerlukan barang seseorang untuk digunakan sebagai alat menenung orang itu -dan dalam hati kecilnya Mayra tahu pasti teorinya benar.
Chapter 11
"MOM, bolehkah aku berhenti kerja pada Mrs. Cottler?"
Mrs. Barnes, memakai celemek bergaris merah-putih di atas celana khaki dan T-shirt, membalik-balik hamburger satu per satu di atas panggangan arang, mengerjapkan mata karena asap.
"Mom, dengar apa yang kukatakan?"
Tanya Mayra mendekat.
"Tidak. Sori. Kau ngomong apa, Sayang? Hamburger ini sudah hampir siap. Panggil Kim dan Donna."
"Tapi aku tanya dulu, Mom,"
Mayra mendesak, berusaha tidak terdengar merengek.
"Bagaimana jika aku berhenti kerja? Tidak apaapa, kan?"
Mrs. Barnes mengernyit Ia menepuk nyamuk yang hinggap di lengannya dengan sarung tangan untuk memanggang.
"Kukira kita takkan membicarakan masalah serius. Karena itu kita pergi ke Danau Monolac, ingat? Supaya kau bisa berakhir pekan, jauh dari segala problem yang membebani pikiranmu."
Seperti biasa ibunya mempunyai ide spontan, dan saat itu terasa bagus bagi Mayra.
Paman George mempunyai pondok yang luas dengan tiga kamar tidur dan pemandangan ke danau.
Mrs.
Barnes memperbolehkan Mayra mengajak Donna.
Pergantian suasana barangkali sesuai dengan anjuran dokter.
Berakhir pekan di danau yang indah, jauh dari Mrs.
Cottler, jauh dari Fear Street, jauh dari semuanya -Mayra langsung setuju.
Ia harus membatalkan janjinya dengan Walker.
Meskipun terdengar kecewa, Walker mau mengerti.
"Pergilah,"
Katanya.
"Bersenang-senanglah. Dan jangan pikirkan yang berat-berat."
Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkannya.
Ia tidak dapat melepaskan diri begitu saja dari beban pikirannya.
Sabtu sore, ia dan Donna berperahu ke tengah danau dengan perahu pamannya.
Donna mengenakan celana pendek Day-Glo dan blus pendek yang dipakainya pada Selasa sore.
Mayra memakai T-shirt hijau panjang di atas pakaian renang putih.
Hari ini cerah, danau berkilauan di bawah sorot matahari, bagaikan dalam dongeng.
"Indah, ya?"
Tanya Donna.
"Apa?"
Mayra sedang melamun.
Ia sedang memikirkan Mrs.
Cottler, kalung manik-maniknya, pengalamannya berjalan dalam tidur di Fear Street, di mana rumah Mrs.
Cottler berada.
Semuanya jelas sekarang.
Mrs.
Cottler gila! Wanita tua itu berniat membalas dendam pada ibunya lewat Mayra.
Rupanya Mrs.
Cottler belum lupa pada pelayanan Mrs.
Barnes yang tidak memuaskannya selama ia dirawat di rumah sakit.
Lalu ia menggunagunai Mayra dan membuatnya berjalan dalam tidur.
Ada dua hal yang harus kukerjakan, kata Mayra pada dirinya sendiri.
Aku harus mendapatkan kembali kalungku.
Dan aku harus berhenti dari pekerjaan ini, berusaha berada sejauh mungkin dari Mrs.
Cottler.
Tiba-tiba ia menyadari Donna sedang berdiri di perahu itu.
"Donna... apa yang kaulakukan?"
Donna tertawa.
"Nah, akhirnya kau memperhatikan aku. Sudah lima menit aku ngomong, tapi kau tak mendengarkan sama sekali."
"Sori. Aku cuma -aku tak tahu -berpikir."
"Kebiasaan jelek."
Donna duduk dengan kaki tersilang.
Perahu itu berayun lembut di air hijau kebiruan.
Donna mencoba mengajaknya bercakap-cakap, tentang rencananya sesudah lulus dari Shadyside High, tapi Mayra tidak bisa berkonsentrasi mendengarkannya.
Sesudah beberapa saat, Donna akhirnya menyerah, dan kedua gadis itu berbaring telentang dalam kebisuan, memandangi gumpalan awan yang melayang-layang di atas.
Mayra menghabiskan sisa sore itu sendirian di pondok, mencoba beristirahat.
Waktu ia keluar malam itu, Donna sedang bermain dengan Kim di tepi pantai berkerikil.
Ibunya sedang memanggang barbecue.
"Jadi aku bisa berhenti kerja?"
Tanyanya.
"Kita benar-benar memerlukan penghasilanmu,"
Kata Mrs. Barnes. Perhatiannya terpusat pada hamburger yang mulai gosong.
"Pekerjaan itu sangat gampang, Mayra. Kenapa kau ingin berhenti?"
Kenapa? Apa yang dapat Mayra katakan? Ia tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Mrs. Cottler adalah seorang penyihir. Dia menenungku hingga aku berjalan dalam tidur."
Oh, pasti menggemparkan. Ibunya akan menertawakannya selama bermingguminggu.
"Uh... aku cuma ingin berhenti."
Alasan yang sangat lemah.
"Tetaplah bekerja."
Mrs. Barnes memejamkan mata ketika angin meniupkan asap ke wajahnya.
"Kau tidak biasanya gampang menyerah. Bayangkan saja baju-baju baru yang bisa kaubeli sebelum masuk sekolah lagi."
"Tapi, Mom... kupikir pekerjaan itu menyebabkan aku berjalan dalam tidur,"
Kata Mayra. Ia tidak bermaksud mengatakannya, dan segera menyesalinya. Mrs. Barnes memandang Mayra dengan jengkel.
"Jika kau selalu berjalan dalam tidur setiap kali mendapat pekerjaan baru, hidupmu akan penuh dengan kesulitan, Mayra."
"Itu... bukan itu maksudku,"
Mayra tergagap-gagap.
"Oh, sudahlah."
Ia membalikkan badan serta cepat-cepat memanggil Donna dan Kim untuk makan malam.
Ia merasa konyol sekali.
Kim dan Donna berada di tepi pantai yang berpasir.
Mereka bersama seorang kenalan baru Kim, anak laki-laki bernama Andy, dua-tiga tahun lebih muda daripada Kim.
Mereka asyik menggali lubang dalam di pasir.
Ketika Mayra mendekat, Kim berjingkat dan menjatuhkan sekop pasirnya.
"Lihat,"
Katanya pada Donna dan Andy.
"Tebak siapa aku."
Kim memejamkan mata, menjulurkan lengan lurus ke depan, dan mulai melangkah dengan kaku melintasi pasir, sambil mendengkur keras-keras.
"Aku tahu. Kau Mayra!"
Teriak Donna, tak berhasil menahan tawanya.
"Tidak lucu. Jangan membuatnya makin kurang ajar,"
Mayra berkata marah. Donna mengangkat bahu. Kim menurunkan lengan dan membuka matanya.
"Ini sangat lucu, tolol."
"Kim, jangan menyebutku tolol. Dengar, sekarang sudah waktunya Andy pulang. Dan saat kita makan malam."
"Lihat,"
Kata Andy, menyeringai ke arah Mayra.
Tangannya memegang mobil plastik berwarna merah.
Tiba-tiba ia mengayunkan lengannya ke belakang dan melemparkan mobil-mobilan itu ke dalam air.
Mayra melihat mobil-mobilan itu menerjang ombak yang bergulung lembut, kemudian meluncur.
"Mobil itu mengapung,"
Andy berkata bangga.
"TIDAK!"
Mayra menjerit, mengejutkan semua orang. Dengan pandangan terpaku pada mobil merah kecil itu, ia mengatupkan kedua tangan di telinga, seolah tak mau mendengar apa-apa.
"TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!"
Jeritnya. Mrs. Barnes menjatuhkan sendok penggorengnya dan berlari turun ke pantai.
"Ada apa, Mayra?"
"TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!"
Beberapa menit kemudian barulah mereka berhasil menenangkan Mayra. Namun Mayra tidak dapat menjelaskan mengapa ia menjeritjerit. Chapter 12
"DONNA, kau terlambat."
Donna mengangkat bahu.
"Sori. Aku tadi disuruh ibuku."
Ia memakai T-shirt Hard Rock Cafe belel dan jins buntung.
"Baik sekali ibumu mau meminjamkan mobilnya padaku."
"Yah, kadang dia dijemput ke rumah sakit."
Mayra melirik jam tangannya dengan gelisah, lalu menyerahkan kunci mobil pada Donna.
"Katanya bensinnya penuh."
"Aku sebal sekali harus ke dokter gigi di Waynesbridge,"
Kata Donna.
"Tak ada bus yang bisa kunaiki ke sana. Sekali lagi trims, ya."
Ia mulai melangkah keluar, kemudian tiba-tiba kembali lagi.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku? Baik-baik saja"
Sahut Mayra cepat.
"Bagus. Kayaknya kau gelisah."
"Tidak. Aku hanya cemas terlambat kerja."
"Sori sekali lagi,"
Kata Donna.
"Katakan pada Mrs. Cottler ini gara-gara aku."
"Dan kemudian mungkin dia akan menyihirmu juga."
Mayra bermaksud hanya bergurau, namun suaranya terdengar serius.
"Kau yakin kau tak apa-apa?"
Donna memegangi pintu kasa, badannya setengah di dalam dan setengah di luar rumah.
"Yeah. Begitulah. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di danau itu. Aku... aku cuma terlalu capek, barangkali."
"Kau tak bisa tidur?"
"Aku tak berani tidur,"
Mayra membuka rahasianya.
"Aku takut jika tertidur, aku akan mimpi lagi. Dan jika mimpi, aku akan berjalan dalam tidur lagi. Jadi aku..."
"Kau memaksakan diri tetap terjaga?"
"Yeah."
"Aneh."
Donna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh simpati.
"Yeah. Memang aneh,"
Mayra berkata pahit. Ia melihat jam tangannya lagi, kemudian mendorong Donna ke luar rumah.
"Pergi. Pergi. Pergi. Sana, pergi ke dokter gigimu. Sekarang aku benar-benar terlambat."
"Oke, oke. Aku akan pergi. Tahu nggak, Mayra, lebih baik kau berhenti kerja."
"Ibuku melarang."
Mayra menutup pintu depan, lalu mengikuti temannya.
"Bagaimana kalau kau mengantarku? Sekarang sudah mulai hujan."
"Sori. Sudah penuh."
Donna tertawa ngakak. Mayra tidak tersenyum.
"Hei... aku cuma bercanda lho."
"Nggak lucu,"
Kata Mayra cemberut, sambil menguap.
"Kau tak enak diajak ngomong kalau kurang tidur."
Donna membuka pintu depan Toyota dan duduk di balik kemudi.
"Ini memang bukan musim panas yang menyenangkan,"
Kata Mayra dengan muram sambil melirik jam tangannya lagi, memikirkan wanita tua yang sedang menunggunya di rumah menyeramkan di tepi danau itu.
******************************* Ketika keluar dari mobil dan berpamitan pada Donna, Mayra melihat Mrs.
Cottler sedang mengawasinya dari pintu depan.
"Selamat pagi, Mrs. Cottler,"
Sapanya.
Namun tampaknya wanita tua itu hanya menatap Donna, tidak menanggapinya.
Mayra bergegas ke serambi depan.
Mrs.
Cottler berpakaian serba putih -blus putih lengan panjang dan rok putih berlipit.
Rambutnya yang hitam pekat dan kulitnya yang bersemu merah membuatnya kelihatan berumur setengah usia sebenarnya.
"Mayra, aku harus bicara denganmu,"
Katanya. Satu tangannya berpegangan pada tongkat, sedangkan tangannya yang lain mendorong pintu kasa.
"Saya... saya sungguh-sungguh minta maaf karena terlambat, Mrs. Cottler,"
Mayra tergagap-gagap sambil melangkah ke dalam rumah, yang terasa dingin meskipun cuaca di luar sedang panas.
"Saya harus menunggu teman saya dan..."
"Tidak apa-apa,"
Kata Mrs. Cottler cepat. Ia berbalik dan perlahan-lahan berjalan melewati ruang tamu yang berantakan menuju dapur.
"Ada yang harus kukatakan padamu."
Apakah dia akan mengaku telah mengguna-gunaiku? Itulah yang pertama muncul dalam benak Mayra.
Sebersit rasa takut muncul di dalam perutnya.
Tiba-tiba ia merasa kedinginan.
Kenapa begitu dingin dalam rumah ini? Suhu udara di luar saat itu paling tidak 29 derajat Celsius.
Mrs.
Cottler bersandar ke meja dapur dan tersenyum.
"Aku akan pergi beberapa hari."
"Oh!"
Kata itu keluar begitu saja dari mulut Mayra, ungkapan perasaan terkejutnya. Ia sama sekali tidak menyangka hal itu yang akan diucapkan Mrs. Cottler.
"Adikku sakit. Aku akan menjenguknya di Vermont,"
Lanjut Mrs. Cottler, sibuk membetulkan bagian depan blusnya.
"Jadi Anda tidak akan memerlukan saya?"
Mayra bertanya sambil mencoba menyembunyikan kegembiraannya. Namun dalam hati ia bersorak kegirangan.
"Well, aku tak dapat membawa Hazel. Jadi aku ingin kau memberinya makan tiap hari. Dan selama di sini, kau bisa membawa masuk surat dan menyirami tanaman."
"Tentu. Akan kukerjakan!"
Seru Mayra. Dia akan pergi, katanya dalam hati. Pergi. Pergi. Mungkin selama dia pergi aku dapat tidur dengan tenang lagi.
"Tentu saja aku tetap akan membayarmu penuh."
Mrs. Cottler berjalan ke arah bak cuci piring.
"Oh. Terima kasih."
Aku akan membayarmu untuk pergi dari sini, pikir Mayra.
"Anda sangat baik, Mrs. Cottler."
"Yah, aku tahu kau akan mengurus Hazel dan rumah ini dengan baik selama aku pergi."
Hazel memandang Mayra dengan ragu. Kucing itu terus-menerus berada di dekat kaki Mrs. Cottler pagi ini, seakan tahu akan segera ditinggal pergi majikannya.
"Ya. Saya akan datang tiap hari,"
Kata Mayra.
"Kapan Anda berangkat?"
Ia berharap suaranya tidak terdengar terlalu antusias.
"Besok pagi. Hari ini adik iparku sedang menuju ke sini untuk menjemputku."
Mrs. Cottler sampai di bak cuci piring dan menyandarkan tongkatnya.
"Ya ampun. Aku sampai lupa tadi sedang mengerjakan sesuatu di sini."
Ia mengangkat sebuah pisau daging besar, jenis yang hanya dilihat Mayra di tempat penjagalan, dan mulai memotong-motong sesuatu -mengangkat pisau itu tinggi-tinggi dan mengayunkannya ke bawah keras-keras hingga menimbulkan bunyi berdebum.
Mayra mendekati bak cuci piring untuk melihat apa yang sedang dipotong wanita tua itu dengan sepenuh tenaga.
Lalu ia mundur, mengerang, merasa mual.
Benda itu seperti tangan manusia.
Dengan senyum ganjil di wajahnya, Mrs.
Cottler berbalik dan memandangi ekspresi Mayra.
"Mayra... ada apa?"
Ia bertanya sambil mengangkat pisau daging itu tinggi-tinggi, siap mengayunkannya kembali.
"Yang Anda cincang itu..."
Jari Mayra menunjuk. Mrs. Cottler tertawa.
"Ada apa? Kau tak pernah melihat tulang kaki babi, ya? Adikku sangat menyukainya."
Ia membalikkan badan lagi untuk meneruskan pekerjaannya.
Tulang kaki babi? Kayaknya bukan deh....
Crok, crok, crok.
Mrs.
Cottler tampak gembira sekali ketika mengangkat dan mengayunkan pisau besar itu.
Crok.
Crok.
Crok....
********************************** Mayra pulang menerobos hujan yang turun meskipun langit terang-benderang.
Ia merasa letih dan gelisah.
Begitu sampai di rumah, ia langsung memasukkan anak kunci ke lubangnya dan bergegas masuk.
"Mom... Mom sudah pulang?"
Panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Ia menuju dapur dan mendongak melihat jam dinding yang terbuat dari kuningan di atas bak cuci piring.
Setengah lima.
Kira-kira setengah jam lagi Kim baru akan sampai di rumah.
Ketika ia membuka lemari es untuk mencari minuman dingin, pesawat telepon berdering.
Ia mengangkatnya setelah deringan pertama.
"Hai, Mayra."
Suara ibunya.
"Aku masih di rumah sakit. Ada kecelakaan."
Sekonyong-konyong seluruh tubuh Mayra terasa dingin.
"Kecelakaan?"
"Ya. Donna. Dia di sini. Di rumah sakit. Di bangsalku. Aku... uh... well... Dia mendapat kecelakaan parah sewaktu mengendarai mobil."
Chapter 13
"D ONNA, kau kedengaran aneh."
Mayra mencengkeram erat gagang telepon, tangannya sampai terasa sakit.
"Yeah. Aku tahu."
Suara Donna terdengar parau dan jauh sekali. Ia berbicara perlahan-lahan, seolah baru bangun dari tidur panjang.
"Kupikir ini pengaruh obat bius yang mereka berikan padaku."
"Kau kesakitan, ya?"
Lama sekali tidak ada sahutan.
"Tidak. Sudah tidak lagi. Aku... sebentar, Mayra. Perawat akan memberiku obat lagi."
Mayra mondar-mandir di dapur. Terima kasih, Tuhan, dia masih hidup, pikirnya. Dia pasti akan sembuh.
"Halo, aku lagi,"
Donna berkata, suaranya hanya terdengar berbisik sekarang.
"Rasanya aku baik-baik saja, Mayra."
"Kata Mom kakimu patah."
"Yeah. Pergelangan tanganku juga patah. Rusukku memarmemar."
Mayra membayangkan Mrs. Cottler ketika sedang mencincang tulang kaki babi itu.
"Ibumu sangat baik,"
Kata Donna.
"Aku sempat panik waktu melihat slang-slang berseliweran di lenganku. Tapi dia tenang saja. Dia menjelaskan semuanya. Rasanya nasibku masih baik."
"Baik?"
Tangan Mayra berkeringat. Dijepitnya gagang telepon di bawah dagunya, lalu ia mondar-mandir lagi.
"Well, orang gila itu memang benar-benar mencoba membunuhku. Aku yakin."
Sejenak Mayra terdiam. Orang gila? Apa yang sedang dibicarakan Donna? Obat bius yang diberikan perawat itu pasti telah mulai bekerja dan membuatnya agak aneh, pikir Mayra.
"Donna, apa katamu?"
"Orang gila itu mencoba mendorongku. Maksudku, dia sudah berhasil mendorongku keluar dari jalanan."
"Siapa?"
"Aku tak tahu. Aku cuma bisa melihat mobilnya. Hujan lebat sekali. Dan dia menurunkan tebengnya di kaca depan, hingga aku tak dapat melihat mukanya."
"Apa? Ada orang yang sengaja menabrakmu?"
"
Yeah.
Dia muncul dari samping dan mulai menyundulku.
Aku kaget dan takut.
Lalu aku ngebut.
Berusaha menjauhinya.
Tapi dia menyundul lagi dengan lebih kencang.
Jalanan sangat licin akibat hujan.
Aku sedang di jalan raya, dan di sana tak ada belokan.
Tak ada..."
Sepertinya Donna melantur.
"Donna... kau masih di sana? Kau tak apa-apa?"
"Lalu dia menyerudukku dari samping. Pasti kencang sekali. Dan tentu saja karena mobilnya lebih besar... jauh lebih besar daripada Toyota kecil itu. Aku... aku tak bisa mengendalikan mobil lagi."
"Dan kau menabrak?"
"Ada pembatas di pinggir jalan raya. Pembatas jalan dari beton. Aku menabraknya. Aku terpelanting dan terguling-guling beberapa kali. Kaca mobil pecah berantakan. Segalanya di sekelilingku seolah bergetar. Rasanya aku takkan pernah melupakan bunyi mengerikan itu. Kayaknya seluruh dunia retak. Berkeping-keping. Oh, aku capek, Mayra. Mataku rasanya sudah berat sekali."
Dalam benak Mayra terlintas pikiran yang mengerikan.
"Donna... apa warna dan jenis mobil itu?"
"Jenis pickup."
"Ya, dan warnanya?"
"Hah?"
"Cobalah ingat-ingat."
"Warnanya... uh... merah. Pickup merah. Sekarang aku mau tidur, Mayra,"
Bisik Donna.
"Pil-pil ini..."
"Bye, Donna. Nanti kau kujenguk."
Ditunggunya sahutan Donna, tapi rupanya gadis itu sudah benar-benar tertidur.
Pickup Link berwarna merah, pikirnya.
Dan Link sangat marah waktu kutolak.
Demikian marah hingga tak bisa bicara.
Mayra meletakkan kembali gagang telepon dan menyadari bahwa tubuhnya bergidik.
Seluruh tubuhnya menggigil.
Bukan karena udara dingin.
Rasa dingin itu dimulai dari dalam otaknya, lalu turun ke tubuhnya.
Karena pikirannya.
Ia menggigil karena takut.
Tak mungkin Link, ia berkata dalam hati sambil memeluk tubuhnya sendiri, berusaha berhenti gemetar.
Tak mungkin Link.
Tapi siapa pun orang itu, sasarannya bukanlah Donna.
Donna sedang memakai mobilku.
Akulah sasaran sebenarnya.
********************************** Walker cepat-cepat meletakkan pesawat telepon ketika Mayra masuk ke kamarnya.
"Oh, hai. Tak kusangka kau datang."
Ia kelihatan bingung. Kedua pipinya memerah. Ia mengenakan celana pendek tenis berwarna putih dan T-shirt tanpa lengan yang juga putih.
"Sedang telepon teman cewekmu, ya?"
Mayra menggoda.
"Ha, ha. Lucu sekali."
Mayra menyentuh pipi Walker.
"Hai, orang asing."
"Mengapa kau ke sini?"
Tanya Walker. Padahal Mayra berharap mendapat sambutan yang lebih hangat.
"Aku ingin bicara denganmu. Banyak yang ingin kukatakan. Walker berjalan ke jendela. Matahari telah turun di balik pepohonan, namun udara masih terasa panas dan lengket. Walker melayangkan pandangannya ke luar jendela.
"Kata ibumu tadi aku boleh naik,"
Mayra berkata, tiba-tiba merasa telah mengganggu cowok itu.
"Tidak apa-apa,"
Walker berkata tanpa membalikkan badan.
"Kau tak senang ketemu aku, ya?"
Tanya Mayra. Mengapa ia harus meminta cowok ini supaya bersikap ramah? Benarkah sikap aneh Walker ini cuma karena rasa malunya? "Tentu aku senang."
Walker mendekat dan merangkul bahu Mayra dengan sebelah lengan.
"Aku ingin menunjukkan padamu satu tipuan baru lagi."
"Jangan, Walker. Tak ada peragaan tipuan malam ini. Aku ingin bicara denganmu. Aku sungguh-sungguh harus bicara."
Walker kelihatan kecewa.
"Well, oke. Ayo kita turun. Kita duduk di ruang keluarga saja. Kau bisa cerita apa saja."
Nah, begitu dong, kata Mayra dalam hati.
Ia mengikuti Walker turun ke ruang keluarga.
Mereka berdua duduk berdekatan di sofa kulit dan bercakap-cakap tanpa gangguan selama hampir dua jam.
Mayra bercerita mengenai Donna dan pickup merah itu.
Juga tentang Cal, cowok yang mengikuti dan menanyakan dirinya.
Lalu ia menceritakan teorinya bahwa Mrs.
Cottler telah menyihirnya hingga ia berjalan dalam tidur.
"Kau pasti akan menertawakanku. Aku tahu,"
Mayra berkata sebelum menceritakan teorinya. Tapi Walker tidak tertawa. Wajahnya makin serius ketika Mayra berbicara, dan ia mulai mengangguk setuju.
"Mungkin kau betul,"
Katanya ketika Mayra selesai bicara.
"Kau tidak menganggap otakku miring?"
"Tidak. Penyihir memang tidak hanya ada dalam buku-buku dongeng,"
Walker berkata dengan serius.
Mereka duduk berdampingan, saling merapat meskipun ruang keluarga itu cukup panas.
Walker duduk bersila dengan kakinya yang panjang dan mengulurkan sebelah lengannya ke sandaran sofa di belakang Mayra.
Mayra ingin memeluk Walker, tapi wajah cowok itu tampak serius.
Mayra tak ingin mengganggunya sekarang.
Ia ingin mendengar komentar Walker.
"Aku sudah sering membaca tentang penyihir dan pertemuanpertemuan mereka,"
Kata Walker.
"Jumlah penyihir sekarang lebih banyak daripada zaman dulu. Mereka memang diam-diam, tapi tetap ada."
"Dan mungkinkah penyihir membuat orang berjalan dalam tidur?"
Mayra bertanya sambil menyandar pada Walker.
"Ada banyak jenis sihir,"
Jawab Walker hati-hati.
"Pertanyaanku adalah, kenapa? Apa alasan orang melakukan itu padamu?"
"Well, aku tidak yakin. Mrs. Cottler pernah dirawat di rumah sakit, dan ibuku menjadi perawatnya. Entah bagaimana, Mrs. Cottler mendapat ide sinting bahwa ibuku mencoba membunuhnya. Dia protes pada pihak rumah sakit sampai menimbulkan keributan."
"Dan kau pikir..."
"Dia mempekerjakanku dan menyihirku untuk membalas dendam pada ibuku."
"Aneh."
Walker menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, aku lupa mengatakan padamu, Mrs. Cottler sedang pergi ke luar kota beberapa hari."
"Pas sekali!"
Walker berseru dan melonjak dari sofa.
"Hah? Apa maksudmu? Aku masih harus ke sana untuk memberi makan kucingnya. Aku tak dapat main denganmu sepanjang hari."
"Bahkan lebih sempurna lagi,"
Kata Walker.
"Kita mendapat kesempatan untuk mengadakan penyelidikan selama beberapa hari. Besok kita ke sana bersama dan meneliti rumah itu. Akan kita pastikan apakah dia penyihir. Dan kalau memang benar, kita cari bukti-buktinya."
Mayra meremas tangan Walker.
"Asyik! Kau akan menemaniku? Sungguh?"
"Tentu saja,"
Sahut Walker.
"Aku tak suka melihatmu seperti ini, terus-menerus cemas. Kecapekan. Kita harus menyelidiki apa penyebabnya. Harus."
"Terima kasih,"
Kata Mayra penuh syukur.
"Dan terima kasih karena kau telah mempercayaiku."
Mayra menjatuhkan diri ke dalam pelukan Walker dan mereka berpelukan dengan mesra lama sekali, sampai ibu Walker masuk ke ruangan itu dan menawarkan snack. ********************************* "Tumben, Hazel, kau belum pernah segirang ini melihatku."
Kucing itu menggosokkan tubuhnya ke pergelangan kaki Mayra dan mengeong keras.
"Pasti kau lapar, kan?"
Mayra berbalik dan memegangi pintu kasa untuk Walker.
"Ayo masuk. Jangan sampai kucing ini keluar."
Walker cepat-cepat masuk, lalu memandangi kucing di bawahnya.
"Kucing hitam. Yah, ini satu bukti bahwa wanita tua itu penyihir!"
"Hei... Kupikir kau akan serius dalam hal ini."
Mayra marah.
"Aku serius,"
Walker berkata sambil melangkah melewati Mayra menuju ruang tamu.
Ruangan itu segelap waktu malam hari.
Tirai tebalnya tertutup, menghalangi sinar cerah matahari pagi.
Walker mendekati tirai dan menyibakkannya.
Sinar matahari langsung menerobos masuk ke ruangan berantakan itu.
"Wow! Lihat rongsokan ini!"
"Mrs. Cottler benar-benar kolektor sejati,"
Kata Mayra sambil membungkuk untuk membelai kucing.
"Lihat-lihat saja dulu, aku mau memberi makan Hazel."
Ia berjalan ke dapur, namun kucing itu tidak mengikutinya, malahan memandangi Walker dengan curiga.
"Ke sini, Hazel. Kau tak mau makan, ya? Biarkan saja si Walker. Dia takkan merusak apa-apa. Dia cuma mau lihat-lihat."
Kucing itu mengeong lagi dengan keras seolah memperingatkan Walker, dan kemudian dengan enggan mengikuti Mayra ke dapur.
Ia mulai melahap makanannya dengan rakus begitu Mayra menaruh piring di lantai, dan gadis itu lalu bergegas bergabung dengan Walker di ruang tamu.
Rasanya aneh berada di situ tanpa kehadiran Mrs.
Cottler.
Langit-langit berderik seakan ada orang yang berjalan di lantai atas.
Ruangan itu berdebu dan pengap.
Berbau lapuk, bau yang tidak pernah tercium Mayra bila wanita tua itu ada di rumah.
Ketika mereka berdua mengamati rak-rak yang penuh ukiran dan pahatan antik -pajangan berbentuk hewan serta bunga-bunga langka yang dikeringkan -Mayra merasa seseorang sedang mengawasi mereka.
Ia berpaling beberapa kali, mengira akan melihat Mrs.
Cottler di belakangnya.
Tentu saja tak ada orang lain di situ.
Ih, seram, kata Mayra dalam hati.
Namun perasaan ganjil itu tidak mau hilang juga.
"Itu apa?"
Walker bertanya sambil menunjuk sebuah pintu.
"Ruang keluarga?"
"Bukan. Itu perpustakaan."
"Ayo kita periksa."
Mayra mengikuti Walker ke perpustakaan berpanel hitam dengan rak buku memenuhi lantai sampai langit-langit di keempat dindingnya.
Perabot lain yang mengisi ruangan itu hanya berupa satu meja mahoni tua dan satu kursi kulit berwarna gelap.
Mayra baru sekali-dua kali masuk ke ruangan ini untuk mengambil buku yang akan dibacakannya.
Ia belum pernah sempat menjelajahinya.
"Wow. Beberapa buku kelihatan sudah sangat kuno,"
Kata Walker, matanya menelusuri rak-rak itu. Mereka mulai memeriksa judulnya. Di satu dinding terdapat rak berisi navel-novel klasik, satu set karya Shakespeare, koleksi sandiwara Yunani.
"Aku ingin tahu apakah dia membaca semua ini,"
Kata Walker.
"Hei, kau jadi membisu. Ada apa?"
"Aku tak tahu. Rasanya seram,"
Sahut Mayra. Ia berbalik dan melihat kucing itu sedang berdiri di pintu masuk, memandanginya dengan mata hijau berkilauan. Ia memaksakan diri untuk berbalik lagi ke arah buku-buku itu.
"Lihat ini, Walker."
Walker buru-buru menengok ke arah Mayra.
"Apa yang kautemukan?"
"Buku-buku lihat judulnya. Semuanya tentang ilmu sihir."
Mayra membaca beberapa judul keras-keras. Lalu ia menarik keluar buku yang tampaknya kuno sekali. Sampulnya yang tebal telah robek dan pudar. Dibukanya buku itu. Halamannya yang kuning berkerut-kerut.
"Lihat yang ini."
Ia menyodorkan buku itu pada Walker. Judulnya Pemujaan Sejati. Pada halaman pertama terdapat foto patung berbentuk setan yang tersenyum, dipahat dengan cermat.
"Berapa umur buku ini?"
Tanya Walker.
"Tidak ada tanggalnya,"
Jawab Mayra.
"Tapi kelihatannya benar-benar tua. Lihat, buku ini berisi kumpulan mantra dan resep aneh."
Mayra mengembalikan buku itu ke rak.
"Seluruh dinding ini berisi buku tentang ilmu gaib,"
Kata Walker. Tiba-tiba si kucing mengeong, mengagetkan Mayra.
"Diam, Hazel,"
Tegur Mayra.
"Kami kan cuma lihat-lihat."
Ia kembali meneliti rak yang lebih rendah, matanya menangkap sebuah judul. Psikologi Berjalan dalam Tidur. Ia berlutut supaya dapat mengamati rak itu dengan lebih teliti. Orang yang Berjalan dalam Tidur. Kasus Berjalan dalam Tidur.
"Dia membohongiku!"
Teriak Mayra.
"Apa? Ada apa di bawah situ?"
Walker sedang memegang buku setebal kamus yang bersampul kulit.
"Ini buku-buku tentang berjalan dalam tidur."
Walker menutup buku tebal yang sedang ia pegang.
"Sungguh?"
"Sesudah berjalan dalam tidur untuk pertama kalinya, aku bertanya pada Mrs. Cottler kalau-kalau dia tahu sesuatu mengenai hal itu, dan ia hanya mengatakan masalah itu sangat misterius.
"Tapi ternyata dia punya serak penuh buku tentang berjalan dalam tidur."
"Dia sengaja tak ingin aku tahu dia paham tentang berjalan dalam tidur."
Walker membantunya berdiri.
"Aku mulai menduga teorimu benar,"
Kata Walker, sambil masih tetap memegangi tangan Mayra.
"Mrs. Cottler pasti penyihir. Dan lihat buku berjalan dalam tidur itu -yang kuning itu -Buku Harian Orang yang Berjalan dalam Tidur. Lihat cara menaruhnya. Menonjol keluar"
"Maksudmu buku itu kelihatan baru saja dipakai akhir-akhir ini,"
Kata Mayra.
"Ya. Benar."
Mayra menarik keluar buku itu dan meletakkannya di meja.
"Mungkin aku akan meminjam yang ini dan membacanya. Mungkin aku akan meminjam beberapa."
Walker melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Mayra dan menarik gadis itu ke pelukannya yang hangat.
"Aku sangat gembira kau ada di sini,"
Kata Mayra.
"Jika aku harus ke sini sendirian dan menemukan semua barang ini, aku akan histeris."
"Ini memang koleksi buku yang ganjil,"
Walker berkata.
"Sangat aneh."
"Ayo kita ke atas,"
Mayra berkata dan menarik tangan Walker.
"Aku ingin menunjukkan lilin-lilin hitam itu padamu. Mungkin masih ada barang lainnya lagi di sana."
Mereka hampir sampai di pintu ketika Mayra memperhatikan kedua foto di atas meja di tengah ruangan.
"Oh, tidak!"
Jeritnya, sambil menunjuk ke arah foto itu.
"Walker... lihat! Aku tak percaya!"
Chapter 14 KUCING itu mengeong dengan marah dan meloncat ke atas meja. Mayra tidak menghiraukannya dan meraih bingkai ganda itu. Ia mengangkatnya hingga Walker dapat melihatnya.
"Ini Stephanie dan Link,"
Walker berkata, ia tampak seheran Mayra.
"Itu foto-foto sekolah mereka tahun lalu."
"Kenapa foto-foto ini bisa ada di meja Mrs. Cottler?"
Tanya Mayra, sambil terpana memandangi foto-foto itu seakan ia bisa mendapat jawaban dari sana. Kucing itu akan mengayunkan cakar ke lengan Mayra, namun luput.
"Hazel, kau kenapa sih?"
Tanya Mayra.
"Kau tak ingin aku mengambil foto ini? Kau ingin diperhatikan, begitu?"
Kucing itu menatapnya dengan pandangan kosong. Mayra mengembalikan foto-foto itu ke atas meja.
"Mungkin jawaban misteri ini ada di dalam."
Mayra menarik laci meja. Laci itu penuh foto, kertas, buku catatan, dan kartu.
"Walker, lihat ini."
Mayra kembali menemukan foto Stephanie di dalam laci itu. Yang ini barangkali sudah berumur paling tidak dua atau tiga tahun. Mayra meneruskan membongkar-bongkar isi laci.
"Jika kau menemukan fotoku di situ, jangan katakan!"
Kata Walker. Ia mencoba bercanda, tapi nada suaranya terdengar ketakutan. Mayra menarik keluar setumpuk foto dan mulai memeriksanya satu per satu.
"Aku ingin tahu apakah di sini ada foto si Leher Besar itu,"
Katanya.
"Maksudmu cowok yang mengikutimu itu?"
"Yeah. Cal. Bagaimanapun, dia terlibat dalam hal ini. Mungkin dia putra Mrs. Cottler!"
Kemudian Mayra menarik keluar selembar kartu ucapan selamat ulang tahun dan membukanya.
"Well, well."
"Apa?"
"Dengarkan ini. 'Selamat ulang tahun, Bibi Lucy. Salam sayang, Stephanie.'"
"Bibi Lucy?"
"Mrs. Cottler adalah bibi Stephanie!"
Seru Mayra.
"Dan bibi Link! Pantas saja! Stephanie-lah yang memberitahuku mengenai pekerjaan ini! Lucunya, dia tak pernah menyebut-nyebut Mrs. Cottler adalah bibinya."
"Yeah. Lucu."
Walker sependapat. Mayra melemparkan kembali semua foto dan kertas ke dalam laci.
"Dan sekarang mungkin Stephanie serta bibinya bekerja sama. Barangkali keduanya mengarahkan guna-guna mereka padaku, membuatku berjalan dalam tidur, membuatku hilang ingatan!"
"Tenang, tenang,"
Walker berkata.
"Kalungku."
Mendadak Mayra teringat pada manik-maniknya.
"Aku akan mengambil kembali manik-manikku. Itu yang pertamatama akan kulakukan. Lalu aku akan meminta kembali scarf-ku dari Stephanie."
"Scarf-mu?"
"Yeah. Lalu aku akan berhenti bekerja di sini dan sedapat mungkin menjauh dari Mrs. Cottler serta kemenakan-kemenakannya yang terkasih itu!"
Mayra membanting laci hingga menutup dan nyaris tersandung kucing, bergegas keluar dari perpustakaan.
"Mayra... kau mau apa?"
Walker benar-benar terpana.
"Sudah kukatakan. Aku akan ke atas, mau mengambil kalung manik-manikku."
Mayra berlari menaiki tangga, Hazel mengikuti di belakangnya sambil mengeong-ngeong keras seolah memprotes.
"Hazel... awas. Aku tak mau tersandung lagi."
Kemudian ia berlari sepanjang koridor, dan masuk ke kamar tidur yang mempunyai dua lemari pakaian rendah di kedua sisi dindingnya.
Ada kotak perhiasan, di sudut lemari itu, tepat di tempat Mayra pernah melihatnya.
Ia bergegas menghampiri dan mengulurkan tangan ke dalam untuk mengambil kalung manik-manik itu.
"Oh, tidak!"
Kotak itu kosong. Kalung manik-manik itu lenyap. ************************************* "Whoa! Pelan-pelan,"
Tukas Donna.
"Menurutku, walau tak dibius, aku juga takkan mengerti ceritamu."
Mayra terkejut melihat keadaan Donna.
Ia tak bermaksud menampakkan kekagetannya waktu melangkah masuk ke kamar itu.
Tapi ia tak siap melihat temannya memakai gips, sama sekali tak dapat bergerak, dengan slang bertempelan di lengannya.
Tapi paling tidak Donna masih terdengar seperti biasanya.
Ia berusaha melucu dengan mencela makanan rumah sakit dan mengeluh tentang salah satu perawat, yang tak sengaja menduduki lengannya ketika sedang memberi obat! Meskipun biasanya kedua cewek itu tidak pernah mendapat masalah mencari topik pembicaraan, Mayra segera merasa salah tingkah waktu mencoba bercakap-cakap.
Dengan canggung ia duduk di kursi lipat di samping tempat tidur Donna, berusaha mencari topik dari dunia luar untuk diceritakan pada temannya.
Akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi.
Ia menceritakan kepergiannya ke rumah Mrs.
Cottler dengan Walker sehari sebelumnya, bagaimana ia telah membuktikan bahwa wanita tua itu adalah penyihir, dan Stephanie -kemenakannya -mungkin juga penyihir.
"Memang ada orang yang suka terlalu cepat mengambil kesimpulan,"
Kata Donna sinis.
"tapi ini keterlaluan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, apa sebenarnya yang sudah kaubuktikan, Mayra? Kau membuktikan bahwa Stephanie dan Link ada kaitan keluarga dengan Mrs. Cottler. Well, barangkali Stephanie sudah menyebutkannya padamu waktu ia menawarkan pekerjaan itu, dan kau mungkin cuma sedang tak mendengarkan. Dan apa lagi yang kaubuktikan? Bahwa Mrs. Cottler sangat tertarik pada barang-barang berbau mistis dan sejenisnya?"
"Tapi semuanya cocok,"
Mayra berkeras, tidak sabar dengan sikap tidak percaya Donna.
"Aku tak pernah berjalan dalam tidur sampai aku mulai bekerja pada Mrs. Cottler. Dan aku meninggalkan kalungku di rumahnya."
"Ohh,"
Donna mengerang.
"Ada apa? Kaupikir aku tolol, ya?"
"Tidak. Leherku gatal, aku tak bisa menggaruknya."
Mayra tertawa. Ia membungkuk di atas tempat tidur dan menggaruk leher Donna.
"Nah, kau senang kan aku menjengukmu?"
"Dengar, aku tahu kau benar-benar jengkel pada kasus berjalan dalam tidur yang kaualami dan yang lain-lainnya,"
Donna kembali pada pembicaraan semula.
"Tapi jangan kehilangan akal sehat. Sekarang abad kedua puluh, ingat? Sudah tak ada lagi orang yang berkeliaran menenung orang lain."
"Kata Walker masih ada. Katanya sekarang para penyihir itu malah lebih sering mengadakan pertemuan dibandingkan dengan di abad ketujuh belas."
Donna kembali mengerang.
"Gatal lagi?"
"Tidak. Aku cuma ngantuk. Sori. Pasti akibat pil-pil itu. Aku harus tidur sekarang. Aku tak sanggup membuka mata lagi. Kita ngobrol lagi kapan-kapan, ya? Aku punya banyak waktu untuk memikirkan hal itu. Aku yakin kita berdua bisa memecahkannya."
Donna menguap.
"Terima kasih kau mau datang."
"Aku akan segera ke sini lagi,"
Mayra berkata sambil bangkit berdiri.
"Kau juga harus tidur,"
Kata Donna kemudian.
"Kalau saja aku bisa tidur,"
Gumam Mayra, dan tiba-tiba ia merasa tertekan.
Ia melangkah keluar dari kamar dan bergegas menelusuri koridor rumah sakit.
************************************** Mayra sedang dalam perjalanan pulang, ia duduk dalam bus jurusan Division Street yang penuh sesak.
Dahinya sedang ia tempelkan di jendela ketika tiba-tiba di benaknya muncul gagasan pergi ke rumah Stephanie dan langsung menanyainya.
Diliriknya jam tangannya.
Hampir pukul lima.
Stephanie sudah pulang kerja sekarang.
Dan mungkin Link belum pulang.
Waktu yang tepat.
Ia menekan bel, menunggu bus berhenti, lalu turun.
Hanya tinggal beberapa blok lagi ia akan sampai di rumah Stephanie.
Matahari berwarna kuning tua, tampak rendah di langit.
Udara sore terasa dingin dan kering.
Mayra menarik napas dalam-dalam.
Apa yang akan kukatakan padanya? Aku hanya akan ngomong terus terang bahwa aku tahu apa yang terjadi.
Tentu saja dia akan menyangkal.
Dia pasti menyangkal semuanya.
Tapi kemudian akan kusebutkan apa yang kulihat di rumah Mrs.
Cottler.
Aku tahu penyihir tua itu adalah bibinya.
Dan aku tahu kenapa dia mengambil scarf putihku, Lalu apa? Lalu dia harus menghentikannya.
Dia dan wanita tua itu harus menghentikan apa yang mereka perbuat terhadapku.
Satu blok lagi.
Seekor anjing menyalak dan menyerbu Mayra di halaman rumput yang panjang serta datar.
Anjing itu berkaing-kaing kaget ketika lehernya tersentak, tercekik rantai yang tak cukup panjang.
Hewan itu terpental terbalik.
Mayra tak dapat menahan tawanya.
Anjing memang binatang tolol, pikirnya.
Bayangan Hazel melintas di benaknya.
Sebaliknya, kucing itu tampak cerdas sekali.
Hazel jelas tidak suka melihat Mayra dan Walker menyelidiki rumahnya.
Kucing itu kelihatan lega waktu mereka berdua meninggalkan rumah Mrs Cottler.
Binatang aneh....
Sekarang Mayra telah sampai di teras depan rumah Stephanie.
Pintu depannya terbuka.
Ia mengintip melalui pintu kasa.
Aku tak sabar lagi menunggu Stephanie membuka kedok "Miss Polos"-nya di hadapanku, katanya dalam hati.
Kali ini aku tahu terlalu banyak untuk bisa dia tipu.
"Permisi,"
Serunya ke dalam. Tak ada jawaban.
"Stephanie... kau di rumah?"
Masih sunyi.
Mayra membuka pintu kasa dan melangkah masuk.
Diedarkannya pandangan ke seputar ruang tamu.
Aneh rasanya kembali lagi ke rumah ini.
Semuanya terasa begitu akrab.
Tak ada satu pun yang berubah, dan rasanya belum lama Mayra meninggalkannya.
"Stephanie?"
Ia memanggil ke atas.
Ketika pandangannya melayang ke puncak tangga, ia dapat melihat pintu kamar Stephanie yang tertutup.
Mungkin dia ada di dalam kamarnya dan tak dapat mendengarku, batin Mayra.
Saat menaiki tangga yang berlapis karpet tebal, Mayra menyadari jantungnya berdegup kencang.
Perasaannya tidak enak.
Barangkali ia sebaiknya kembali pulang dan melupakan semua ini.
Sebenarnya ia lebih menyukai menghindari pertengkaran dan yang sejenisnya.
Tidak.
Ia harus maju terus.
Ia tak tahan melalui malam-malam penuh rasa takut untuk tidur, takut akan mengalami mimpi buruk dan terbangun entah di mana, jauh dari rumah.
Diketuknya pintu kamar tidur Stephanie.
Tak ada jawaban.
Tapi ia dapat mendengar bunyi musik dari dalam.
"Stephanie. Kau di dalam?"
Ia mendorong pintu hingga membuka dan mengintip ke dalam.
Kamar itu gelap gulita, satu-satunya sinar berasal dari tiga batang lilin yang berkedip-kedip.
Dalam kegelapan itu, Stephanie duduk di lantai di samping lilin, memunggungi Mayra.
Ia bersila di depan lingkaran putih, dan melantunkan tiga-atau empat kata yang sama berulang kali tanpa irama.
Ada beberapa benda kecil di dalam lingkaran itu.
Namun karena cahaya yang suram dan bergoyanggoyang, Mayra tak dapat melihat dengan jelas benda apa itu.
Bagaimanapun, ia berhasil melihat dengan jelas satu hal -Stephanie mengikatkan scarf putih Mayra di sekeliling kepalanya.
Chapter 15 TIBA-TIBA Stephanie berhenti komat-kamit dan menoleh.
"Mayra... kenapa kau di sini?"
"Jangan tanya. Apa yang sedang kaulakukan?"
Mayra bertanya sambil melangkah masuk ke kamar. Stephanie meloncat berdiri.
"Cuma berlatih. Siapa yang menyuruhmu masuk? Apakah ibuku ada?"
"Aku masuk sendiri,"
Sahut Mayra.
"Sekarang kau dapat keluar sendiri,"
Kata Stephanie dengan kasar. Matanya yang hijau berkilat-kilat dalam cahaya lilin, sangat mirip mata Hazel.
"Tidak, sampai kau katakan kenapa kau melakukan ini."
Mayra bergeming dari tempatnya berdiri.
"Melakukan ini? Apa maksudmu?"
Mayra menuding lingkaran itu. Ketika mendekat, ia dapat melihat di dalamnya terdapat tulang-tulang, mungkin tulang ayam, yang diatur membentuk segi tiga.
"Kau tahu aku selalu tertarik pada hal-hal yang berbau mistis,"
Kata Stephanie. Ia menyalakan lampu di atas laci pakaian.
"Jadi aku cuma mencoba-coba. Memangnya kenapa?"
"Kenapa kau mengguna-gunaiku?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Mayra. Ia tidak benar-benar berniat mengajukan pertanyaan itu. Sekarang setelah menyatakannya, sekonyong-konyong ia merasa malu. Stephanie tertawa.
"Ya ampun, Mayra. Kau gila, ya?"
"Kau memang mengguna-gunaiku,"
Mayra berkeras.
"Kau memakai scarf-ku."
"Hah?"
Stephanie meraih ke atas kepalanya dan menarik lepas scarf putih itu, rambutnya terurai sampai melewati bahu.
"Nih."
Disorongkannya scarf itu ke tangan Mayra.
"Ambil."
"Kau pakai ini untuk mengguna-gunaiku,"
Mayra mengulangi ucapannya, namun mulai merasa ragu-ragu.
"Itu kupakai untuk menahan rambutku ke atas,"
Kata Stephanie dengan nada mengejek.
"Aku selalu keramas sehabis pulang kerja. Aku tak mau bahuku basah. Ambil saja scarf konyolmu itu."
"Tapi, Stephanie, aku sudah tahu semuanya."
Mayra berusaha agar suaranya tetap terdengar normal, tiba-tiba ia ingin lari, lari meninggalkan rumah ini dan tidak bertemu Stephanie ataupun kakaknya lagi.
"Aku tahu Mrs. Cottler bibimu."
"Ya ampun, mati aku,"
Stephanie mengejek lagi dan menjatuhkan tubuhnya di tepi tempat tidur.
"Tentu saja kau tahu dia bibiku. Aku mengatakannya padamu waktu menawarkan pekerjaan itu."
"Tidak, kau belum pernah mengatakannya padaku,"
Sangkal Mayra. ia berpikir keras. Benarkah yang dikatakan Stephanie? Pernahkah dia mengatakannya? Mayra tidak dapat mengingatnya.
"Aku yakin kau tidak mengatakannya,"
Katanya lagi.
Aku seharusnya tidak pernah memulai ini, pikir Mayra.
Aku merasa begitu yakin ketika naik ke sini dan menemukan Stephanie komat-kamit di lantai.
Tapi sekarang...
Tidak, aku betul.
Aku harus betul.
Aku tidak mengada-ada.
Aku berjalan dalam tidur karena ada orang yang telah menenungku.
Kalau bukan Stephanie, pasti bibinya.
Stephanie bohong, Mayra memutuskan.
"Apa kau pikir orang lain juga berniat mencelakaimu?"
Tanya Stephanie, bersedekap.
"Kenapa kau sangat jahat padaku?"
Mayra menyemburkan kemarahannya.
"Kukira kita berteman."
"Aku tidak jahat padamu. Aku marah karena kau nyelonong masuk ke kamarku dan menuduhku seenaknya. Kaulah yang jahat. Kau sembarangan menuduhku menenungmu! Omonganmu ngawur dan sinting!"
"Aku tidak sinting!"
Teriak Mayra.
"Kau kenal cowok bernama Cal?"
"Siapa?"
"Cal. Aku tak tahu nama lengkapnya. Cowok pirang berbadan dan berleher besar."
Stephanie tertawa.
"Tidak. Aku tidak kenal. Memangnya kenapa aku harus kenal dia?"
"Bibimu kenal dia. Bibimu menyuruh cowok itu membuntutiku."
"Mayra, aku benar-benar tak paham apa yang sedang kaubicarakan. Semua omonganmu tak jelas juntrungannya sejak kau menerobos masuk ke sini. Kau kenapa? Kau kelihatan sangat capek dan menakutkan."
"Kau tahu aku tak bisa tidur nyenyak!"
Mayra berteriak, mulai kehilangan kendali diri dan tak dapat mengontrolnya.
"Kau tahu aku berjalan dalam tidur... dan kau tahu kenapa!"
"Berjalan dalam tidur?"
Aku tahu dia pura-pura tidak bersalah, pikir Mayra.
"Kau berjalan dalam tidur mungkin akibat perasaan bersalah telah memutuskan hubungan dengan Link."
"Stephanie, hentikan!"
"Memangnya kenapa? Kau sendiri yang mulai, Mayra. Kau tahu apa yang kupikir waktu aku tadi melihatmu berdiri di sini?"
"Apa?"
"Kupikir kau datang untuk berbaikan kembali dengan Link karena Walker mencampakkanmu."
Sekonyong-konyong Mayra merasa dingin sekali, seakan-akan darahnya membeku. Apa yang sedang dibicarakan Stephanie? Mayra merasa salah dengar.
"Karena Walker mencampakkanmu."
Apa yang dimaksud Stephanie? Mungkin aku memang sinting, kata Mayra dalam hati.
"Walker? Mencampakkan aku? Hah?"
"Setiap orang tahu dia sekarang pacaran dengan Suki Thomas."
Apakah aku sudah masuk ke Twilight Zone? pikir Mayra.
"Sekarang kau hanya mau menyakitiku,"
Mayra berkata lirih dan mulai melangkah mundur keluar dari kamar itu.
"Tidak,"
Stepahnie berkeras.
"Jangan katakan kau tidak tahu hal ini."
"Tak ada yang harus kuketahui. Aku ketemu Walker tadi pagi. Kau cuma berusaha menyakiti hatiku."
"Aku melihat Walker dan Suki makan piza bersama di mall,"
Kata Stephanie.
"Well, aku juga Lihat. Itu biasa saja, bukan berarti Walker mencampakkan aku."
Mayra menggenggam scarf putihnya dengan kencang, hingga tangannya terasa sakit.
"Kau memang kekanakkanakan,"
Mayra berkata dengan suara bergetar. Stephanie diam saja, hanya mengangkat bahu dan memutar bola matanya.
"Selamat tinggal, Stephanie. Sori aku nyelonong masuk dan merusak latihan sihirmu."
Mayra berbalik dengan cepat dan melangkah ke pintu, kepalanya agak pusing.
"Sori juga!"
Teriak Stephanie di belakangnya. Kemudian sekonyong-konyong, ketika Mayra sampai di tangga, Stephanie muncul tepat di belakangnya. Ia memegang bahu Mayra.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf,"
Kata Stephanie lirih, tanpa nada marah sama sekali.
"Maaf untuk... semuanya."
Mayra berlari menuruni tangga, mendorong pintu kasa, terbiritbirit keluar dari rumah itu, napasnya megap-megap.
Matahari hampir tenggelam, tapi udara masih panas dan lembap.
Ia berdiri di tengah jalan mobil yang berkerikil, masih terengah-engah, menunggu merasa lebih tenang.
Apa maksud Stephanie dengan mengatakan "maaf untuk semuanya"? Mayra bertanya-tanya.
Maaf karena bersikap jahat? Maaf karena telah mengguna-gunaiku hingga aku berjalan dalam tidur? Maaf karena membuat gosip tentang Walker? Ia tidak bisa berlama-lama memikirkannya.
Tiba-tiba ia melihat pickup merah Link memasuki halaman.
"Hei... Mayra... hai!"
"Oh, tidak,"
Gumam Mayra. Link adalah orang terakhir yang ingin dijumpainya saat itu. Link menghentikan mobilnya di depan Mayra dan melompat keluar, wajah kerennya nyengir lebar.
"Ini kejutan."
"Aku... uh... bicara dengan Stephanie."
Cengiran Link menghilang.
"Sungguh?"
Mobil itu. Sekonyong-konyong Mayra teringat pada pickup merah itu. Donna. Orang gila yang menabraknya.
"Link,"
Mayra berkata.
"dua hari yang lalu, kau..."
Ia menunduk untuk memeriksa bumper mobil itu.
Mulus dan tak penyok.
Ia memeriksa kedua spakbor depan.
Tanpa cacat, seperti masih baru.
Jadi bukan Link, pikirnya.
Bagaimana mungkin aku mengira Link-lah pelakunya? Mungkin Stephanie benar.
Mungkin aku memang gila.
Aku curiga setiap orang yang kukenal berusaha menyakitiku.
Lalu pikirannya melayang pada Donna yang sedang terbaring di rumah sakit dengan slang-slang menempel di lengannya.
Dan Cal, yang memandangnya dengan mengerikan.
Dan ia sendiri berjalan dalam tidur masuk ke hutan ,itu....
"Aku tidak gila,"
Katanya, tanpa menyadari bahwa ia berbicara keras-keras.
Link ternganga memandanginya.
Chapter 16 MALAM itu Mayra bermimpi lagi.
Kali ini angin menderu-deru ketika ia melangkah ke danau.
Gelombang gelap, sehitam tinta, menepuk-nepuk pergelangan kakinya, membasahi tepi bawah pakaian tidurnya.
Warna-warna tampak begitu jelas.
Langit malam bagaikan beledu hitam.
Bulan berkilauan keemasan, nyaris seterang matahari.
Ia menyeberangi gelombang.
Air terasa dingin, dingin sekali mengenai kakinya.
Lagi-lagi, seseorang sedang mengawasinya dari tepi danau.
Siapakah orang itu? Mayra penasaran ingin mengetahuinya.
Ia mencoba berbalik, namun seolah ada yang menahan punggungnya.
Ia harus tetap berjalan, berjalan dengan sangat lambat, tapi tanpa berhenti, di atas gelombang gelap yang memukul-mukul.
Dalam sekejap ia dikelilingi air.
Daratan, hutan, semuanya lenyap di belakangnya.
Siapakah itu? Siapakah itu yang ada di belakangnya di tepi danau? Siapakah itu yang diam-diam mengawasinya ketika ia menyeberangi air? Sekonyong-konyong ia dapat melihat.
Semua bergeser, dan ia dapat melihat tepi danau, semak-semak rendah, pepohonan gelap yang melambai-lambai di belakangnya.
Sekarang terang sekali.
Bulan bercahaya putih menyilaukan.
Cahayanya menyebar di tepi danau seperti lampu sorot.
Siapa yang ada di sana? Seseorang sedang berdiri di bawah cahaya putih itu.
Ia mengerjap-ngerjap supaya dapat melihat lebih jelas.
Ya.
Ya.
Ia dapat melihat orang itu sekarang.
Itu Walker.
Walker berdiri mematung, tanpa suara, mengawasi Mayra ketika gadis itu menoleh lagi dan menyeberangi ombak.
Walker, mengapa kau memandangiku seperti itu? Lalu, tiba-tiba, ia menghilang bersama sinar bulan yang terang.
Digantikan oleh gelapnya ombak yang basah.
Gelombang itu menarik Mayra ke bawah, ke bawah.
Ia berusaha memberontak, mencoba berenang.
Namun air itu begitu kuat.
Air naik sampai ke pinggangnya, sekarang dingin sekali, dingin yang membekukan, dan berat.
Berat, makin berat.
Mayra tenggelam makin dalam.
Oh, tolonglah aku, tolong.
Kenapa aku tak bisa berenang? Kenapa aku tak bisa bergerak? Ia merasa makin tenggelam.
Ia mencoba mengangkat lengan ketika kepalanya mulai tenggelam, tapi kedua lengannya tak dapat digerakkan.
Makin tenggelam ke dalam air yang berat dan gelap.
Ia tercekik sekarang.
Oh, biarkan aku bernapas.
Ia terbangun.
Tapi ia masih di dalam mimpinya.
Atau rasanya begitu.
"Oh, biarkan aku bernapas."
Air itu mencekiknya.
Ia megap-megap dan berjuang melawan air -menggapai-gapai, menelan air lagi.
Masih tidurkah dia? Tidak.
Ini nyata.
Ia di dalam air.
Air yang dalam.
Ia tenggelam.
Air naik ke atas kepalanya.
Ia menutup matanya dan berjuang ke atas.
Ia cepat-cepat ke permukaan, tersedak, memukul air, menggapai-gapai, mencoba menarik tubuhnya sendiri, menariknya keluar dari air, keluar dari mimpi yang bukan mimpi.
Ia berusaha menjerit, berteriak minta tolong.
Namun tak ada suara yang keluar.
Rambutnya kusut, menutupi wajahnya.
Ia berusaha menyibakkannya supaya dapat bernapas.
Aku tak dapat bertahan di atas, pikirnya, dan ia mulai tenggelam lagi, matanya membelalak, jantungnya berdegup kencang.
Itu satu-satunya suara yang terdengar di dalam air yang sunyi -air yang berputar-putar mematikan, mengelilinginya sekali lagi.
Aku tenggelam.
Aku mati.
Tapi di manakah aku? Ia mulai melihat rona-rona, warna-warna terang.
Dadanya terasa sakit.
Paru-parunya hampir meledak.
Aku tenggelam.
Aku mati.
Lengan-lengan kuat meraih bahunya.
Lengan-lengan kuat merengkuhnya ke atas.
Apakah ia sedang mimpi juga? Dibukanya matanya.
Tidak.
Ada sebuah speedboat kecil.
Dan seorang laki-laki bertopi bisbol yang menutupi keningnya.
Orang itu berjenggot pendek.
Laki-laki itu meraih bahu Mayra.
Menariknya.
Tubuh gadis itu kini terasa sekarang, seberat ikan paus.
"Bantu aku,"
Katanya.
"Kau dapat membantuku mengangkat tubuhmu?"
Suara pria itu terdengar sangat jauh, berkilo-kilometer jauhnya.
Pria itu menariknya lagi.
Mayra tidak dapat membantunya.
Perahu kecil itu miring dan terombang-ambing naik-turun.
Rasanya lama sekali sebelum akhirnya Mayra terbaring telentang di perahu kecil itu.
"Kau bisa bicara?"
Tanya laki-laki itu. Matanya tampak ramah. Mayra mengangkat kepalanya dan muntah. Air menyembur keluar dari mulutnya, air danau yang payau. Ia tersedak, menarik napas dalam-dalam, muntah lagi, lalu mulai merasa lebih baik.
"Kau bisa bernapas?"
Tanya orang itu. Mayra melihat joran dan gulungan senar, kotak peralatan memancing, di samping motor tempel kecil di buritan. Laki-laki itu tidak menunggu jawaban Mayra.
"Untung tadi aku lewat."
Mayra mengangguk. Ia mulai gemetar.
"D-dingin,"
Katanya. Laki-laki itu menarik tali pada motor tempel, dan mesin itu mulai hidup.
"Aku akan membawamu ke tepi,"
Katanya.
"Sori, aku tak punya selimut. Aku tak mengira malam ini akan memancing seorang gadis di danau. Dan ternyata kau satu-satunya hasil tangkapanku."
Mayra melihat tepi danau yang gelap dibatasi pepohonan. Mereka hampir sampai ke sana. Mayra belum pernah berjalan dalam tidur sejauh ini ke dalam danau. Cukup jauh untuk menenggelamkan dirinya.
"Apa yang sedang kaulakukan di dalam air sendirian malammalam begini?"
Tanya pemancing itu.
"Aku tak tahu,"
Sahut Mayra. Chapter 17 SAMBIL menggigit bibir bawahnya, Mrs. Barnes meletakkan gagang telepon.
"Dr. Sterne bilang dia dapat menemuimu besok pagi. Kau mau sup tomat semangkuk lagi?"
"Tidak. Aku sudah kepanasan,"
Mayra menjawab sambil memutar-mutar sendok dengan jarinya.
"Apakah Mom pikir dia benarbenar bisa menyembuhkanku?"
Ibunya melangkah melintasi dapur, berhenti di belakang Mayra dan melingkarkan lengan ke bahunya.
"Mayra, kita harus berbuat sesuatu. Kau nyaris tenggelam malam ini."
Mrs. Barnes membungkuk dan menempelkan pipi ke rambut Mayra yang masih basah.
"Kupikir Dr. Sterne benar-benar dapat menolong."
Mayra mendesah. Ia mendongak melihat jam dinding dapur. Betulkah sekarang pukul setengah empat pagi? "Lebih baik kau pergi tidur,"
Kata ibunya.
"Menurutmu kau akan bisa tidur?"
"Aku tak tahu apakah aku ingin tidur,"
Sahut Mayra. Pandangannya menerawang ke luar jendela, ke dalam kegelapan.
"Aku sungguh-sungguh ngeri, Mom. Kenapa aku begini?"
Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Pendekar Pulau Neraka Geger Rimba Persilatan Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat