Ular Betina Selat Madura 1
Roro Centil Ular Betina Selat Madura Bagian 1
SATU PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, meninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu.
Udara malam itu agak dingin.
Langit cerah tak berawan.
Rembulan tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai yang indah itu.
Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan.
Di perahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah.
Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah bercengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau.
Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona.
Pakaiannya dari sutra yang tipis.
Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya yang jenjang.
Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah dadanya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu.
Sementara si pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu.
Dia tetap menjalankan tugas mengayuh perahu.
Wanita pendayung perahu itu adalah pegawai dari pesanggrahan "MELATI"
Yang berdiri tegar dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu.
Dia tahu kalau wanita muda dan cantik itu adalah orang baru.
Dan bahkan baru malam ini dia menerima tetamu dari majikannya.
Dan dia disamping sebagai pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi tugas untuk "menjaga"
Sang tamu.
Karena banyak kejadian sang tetamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak ketahuan kemana perginya.
Juga pernah ada yang membawa kabur perahu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu seorang yang punya ilmu kedigjayaan.
Menilai dari pakaiannya serta potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang saudagar kaya.
Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak mungkin.
Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap, yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu.
Itulah sebabnya si gadis pendayung perahu tampak tenang-tenang saja bahkan dari mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagukan nada-nada dalam satu nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditutupkan.
Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangannya mendayung.
Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan diatas ombak yang tenang.
Sementara didalam ruangan perahu pesiar itu.
"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru ... ah, masih sore begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dimalam hari ini lebih dulu?"
Berkata si wanita.
"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...! Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!"
Menyahut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak membuka kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau seperti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu, sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melayani suamimu sendiri..."
Berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuhnya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan tetapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani tetamu. Kalau aku takut adalah wajar menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?"
Bertanya laki-laki bangsawan itu.
Pandangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu.
Jelas terpandang kemontokan tubuh wanita.
Sementara napasnya semakin menggebu menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.
"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita.
"Mengapa dengan suamimu?"
Tanyanya.
"Dia mati mendadak..."
"Ooooh ...! Serangan penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh orang!"
Sahut si wanita. Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.
"Kasihan..."
Ucapnya lirih.
"Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini karena kesepian ...?"
Pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?"
Balik bertanya wanita itu. Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar.
"Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya semakin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan mata membelalak. Hatinya memaki.
"Ooo, laki-laki jalang, pengumbar nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi bergoyang keras terguncang-guncang.
Gadis pendayung perahu itu tersenyum.
Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu.
Lalu dialihkan menatap ke laut lepas.
Lengannya meraih kendi berisi arak.
Diteguknya beberapa tegukan.
Dia perdengarkan tertawa kecil.
Sisa arak dituangkannya kelaut...
*** Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi mengantuk.
Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya kesisi perahu diburitan itu.
Sepasang matanya seperti malas untuk dipentang.
Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup.
Goyangan perahu telah kembali tenang.
Agak lama dia pejamkan mata.
Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak.
Akan tetapi sepasang mata gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka.
Dan dia terlonjak kaget seperti dipagut ular.
Apakah gerangan yang membuat dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar perahu membasahi kakinya.
Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga sepertiga bagian.
"Celaka...!? Perahu tenggelam!"
Terdengar teriakannya tertahan.
Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai pintu perahu.
Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan setengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat.
Sekitar tubuhnya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur dengan air laut yang menggenangi pembaringan.
Membasahi kasur dan bantal.
Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang menjadi "gula-gula"
Dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak kelihatan batang hidungnya.
"Hah!? Apakah yang telah terjadi?"
Sentaknya kaget.
Sekali bergerak dia telah melompat kepembaringan.
Ketika membalikan tubuh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak bernyawa lagi.
Karena tulang lehernya telah patah.
Tentu saja membuat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan terkejut.
Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar perahu pesiar itu.
Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang papannya telah ambrol.
"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus menyelamatkan diri...!"
Berdesis wanita pendayung perahu itu.
Segera dia melompat lagi keluar.
Tak ada jalan lain selain harus berenang.
Maka...
BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air.
Selanjutnya dia harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi.
Jarak dari perahu yang mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh.
Namun terpaksa ditempuhnya dengan berenang.
Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai.
Tenaganya serasa hilang terkuras seluruhnya.
Ketika dia palingkan muka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perempuan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melakukannya dari bawah air?"
Menggumam wanita pendayung ini.
Sukar untuk menerka pelaku kejadian itu.
Bisa saja Andini telah ditolong orang berilmu tinggi dan melarikannya.
Bisa juga Andini yang telah melakukan semua itu.
Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian itu pada sang Ketua, majikannya.
Dan yang jelas pula dia pasti akan kena dampratan.
Mungkin juga hukuman.
Karena dia tahu persis adat sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..."
Bisiknya berdesis.
Dan dia segera merayap ke darat.
Cahaya rembulan agak remang-remang ketika segumpal awan hitam melintas.
Gadis pendayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi.
Karena hatinya tengah dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah.
Sesosok tubuh tahu-tahu berkelebat dihadapannya.
Tersentak kaget wanita pendayung perahu ini.
Namun dia mengeluh.
tubuhnya terkulai serasa lumpuh.
Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah menotoknya.
Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya.
Dan melarikannya dengan cepat.
Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng.
Apalagi cuaca sedang gelap.
Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan meletakkan tubuhnya pada pundaknya.
Sekejap antaranya sosok tubuh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.
*** DUA "HAH!? KAU...
KUNTALI...?"
Tersentak si wanita pendayung perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya. Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!"
Menyahut wanita berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah ja-dinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!"
Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah tinggal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepentingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan diri!"
Berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.
"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani melakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pelaku, yaitu kematian!"
Menyahut Windarti. Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya dari totokan.
"Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah mana? Pondok siapakah ini?"
Tanya gadis pendayung perahu itu memperhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang mengetahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!"
Ujar Kuntali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan berikan satu setel pakaian untuknya.
"Kau membawa serta pakaianmu?"
"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya. Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang kawan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya.
"Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu pesiar dalam kawalanku itu?"
"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman perahu itu aku mengetahui...!"
Menyahut Kuntali.
"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?"
Tanya Windarti dengan terkejut. Akan tetapi Kuntali hanya tertawa kecil.
"Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"
"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo Kromo itu?"
Tersentak Windarti si wanita pendayung.
"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi ka-wanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung belang itu!"
Menyahut Kuntali dengan tersenyum.
"Dia bernama Pukat Inten yang bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA....!"
Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan kawannya itu membuat dia terperangah.
"Ular Betina Selat Madura...?"
Desisnya tersentak.
"Jadi si perempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu adalah dia?"
Berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini.
Windarti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat heboh dikalangan para saudagar di Selat Madura.
Wanita berkepandaian tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga.
Berita tentang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa bulan yang lalu.
Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak terdengar lagi beritanya.
"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian menjalin persahabatan dengannya?"
Tanya Windarti ingin tahu.
Sementara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Betina itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan lehernya.
Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari bencana.
Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pesanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang berada di jalur sesat! Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik.
Untuk diumpankan atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing.
Pesanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penjahat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai wilayah.
Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersembunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan.
Adapun gadis pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pesanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua perguruan.
Kisahnya adalah sebagai berikut.
Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya adalah murid wanita dari Perguruan CEMPAKA BIRU, sebelum adanya Pesanggrahan Melati.
Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG.
Wanita tua itu menyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka.
Hingga tak seorangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba Hijau.
Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab sejak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu.
Diantara enam murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seorang adalah murid yang paling tua, bernama NAGASARI.
Wanita itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling diandalkan oleh sang guru.
Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawahannya.
Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh sakit.
Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah.
Secara tak langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasari.
Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya.
Hal mana membuat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat dimana terdapat seorang tabib.
Konon khabarnya tabib itu seorang yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat sekalipun.
Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan Nagasari.
Dia bernama BEGUK REKSASANA.
Seorang laki-laki bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundurkan diri dari jabatannya.
Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak membantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan bermacam obat-obatan.
Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari semakin parah.
Bermacam obat dan jamu telah diminum.
Namun hasilnya tiada kelihatan.
Hal mana membuat Nagasari juga para murid lainnya menjadi cemas.
Demikianlah, Beguk Reksasana memberi saran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang mengetahui tempatnya.
Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan apa yang diperbuat muridnya.
Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.
Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup.
Keadaannya sungguh amat mengkhawatirkan.
Dengan sebuah tandu sang guru diusung.
Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga pesanggrahan.
Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Reksasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka.
Nagasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru telah meninggal dunia.
Penyakitnya terlalu berat.
Hingga sukar diobati lagi.
Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut.
"Kita tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah ditangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau kiranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai disitu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru berpulang dengan tenang...!"
Ucap Nagasari dengan suara menggetar. Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gurunya itu.
"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?"
Bertanya Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat, yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah, kalian dapat membacanya bergantian...!"
Sahut Nagasari.
Seraya berikan sehelai kertas kulit pada Kuntali.
Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserahkan pada Nagasari.
Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah kakak tertua seperguruan mereka.
Dibagian bawah tulisan surat wasiat itu tertera tanda-tangan guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian.
Demikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu.
Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari.
Namun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta menyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kuntali, yang selalu dibisikkan pada Windarti.
Bahkan kedua laki-laki saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditutup oleh Nagasari.
Dan diganti dengan nama Pesanggrahan MELATI.
Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut diwilayah utara Pulau Jawa.
Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Reksasana yang telah menjadi suami Nagasari.
Pernikahan mereka dilangsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya.
Kecuali dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...
*** TIGA "KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan dia...
?"
Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menyelami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Sepertinya ada nada "kecemburuan"
Dari kata-kata yang diucapkan gadis ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung ini.?"
Dan "persahabatan"
Macam apakah antara kedua saudara seperguruan ini...? "Windarti...!"
Terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian.
"Jangan khawatir! kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!"
Seraya berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengannya meraih dagu gadis pendayung itu.
"Sungguhkah ucapanmu...?"
Berkata Windarti, sementara hatinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu. Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!"
Suara Windarti mendesah.
Pakaian yang baru mau dikenakan itu merosot kembali.
Dan...
tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali erat-erat.
Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli.
Tapi ini lain.
Karena mereka sama-sama satu jenis.
Yaitu wanita...
Sungguh sukar diduga kalau kiranya "persahabatan"
Windarti dan Kuntali seperti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering mengadakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya mereka bagaikan "bayi-bayi"
Yang baru saja dilahirkan.
Tanpa sehelai benang melekat ditubuh.
Dan...
sukar untuk diceritakan.
Karena mereka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat dengan memperdengarkan desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka.
Dan..., satu suara dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?"
Tersentak kedua gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa.
Seketika melompat untuk masing-masing menyambar pakaiannya.
Dan tertegun menatap kehadapannya, karena sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri bertolak pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir.
Akan tetapi saat itu juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali.
"Cepat kita melarikan diri...!"
Desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam jendela.
Dan detik berikutnya, Kuntali telah mendahului melompat.
Tak ayal Windarti segera menyusul.
Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "sahabat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri.
Tapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah terkepung! lebih baik menyerah. Mungkin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!"
Bersamaan dengan sua-ra itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka. Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembulan segera diketahui siapa mereka yang menghadang.
"Tapak Doro, Binangun...!"
Menyingkirlah! jangan halangi kami!"
Membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya menjalankan perintah Ketua!"
Menyahut salah seorang dari dua laki-laki itu.
Sementara kedua pasang mata mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya yang tak berpakaian.
Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa.
"Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempatsempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadisgadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?"
Berkata Tapak Doro "Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap kalian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!"
Timpal Binangun dengan tertawa menyeringai.
Panas rasanya muka Kuntali.
Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat pergi dari situ.
Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut.
Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu.
Melihat kedua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini segera mengejar.
Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah dipersiapkan.
WHUUT!...
Krep! Luncuran tali laso yang memang sudah dikuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Windarti.
Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terlepas seketika.
Karena dia berada dibagian belakang.
Apalagi Windarti dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hingga dia sukar untuk membuat gerakan.
Itulah sebabnya dia dengan mudah terkena jeratan tali laso.
Padahal dalam keadaan biasa Windarti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu.
Seperti diketahui Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.
"Bedebah...!"
Memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak tubuh Windarti jatuh bergulingan.
"Keparat kalian...!"
Membentak gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara seperguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang dan jatuh terjerembab bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!"
Teriak Kuntali dengan kalap.
Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai singa.
Tapi...
BUK! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan telak telah lebih dulu menghantam punggungnya.
Terguling-guling dia ditanah.
Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan mengiris jantung.
"Bocah tak tahu adat! kuberi kebebasan padamu di Pesanggrahan Melati malah mau melarikan diri...! kau akan menyesal dengan ulahmu itu Kuntali!"
Itulah suara Nagasari yang telah berada ditempat itu.
Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya.
Karena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu kedigjayaan tinggi.
Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokohtokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Melati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya.
Yaitu yang bergelar si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali.
Belum lagi dia berusaha untuk bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat kehadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan cepat.
Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus oleh Tapak Doro.
"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri kalian kesempatan baik...!"
Berkata Nagasari dengan tersenyum. Binangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap mereka hampir berbareng.
"Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan Windarti!"
Ujar Nagasari dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?"
Tanya Tapak Doro.
"Dia sudah ada yang memesan!"
Sahut Nagasari pendek.
"Nah! kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk mengaturnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibatnya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga mahal telah dibuatnya tenggelam...!"
Diam-diam tersentak kaget Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya.
Wajah wanita ini jadi berubah semakin pias.
Tak ada lagi baginya kesempatan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Selat Madura yang menjadi sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu.
Akan tetapi mereka jadi serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya.
Juga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai terlebih dulu.
"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah ragu-ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi di Pesanggrahan Melati?"
Berkata Nagasari, seraya mengambil tempat duduk diatas sebatang kayu.
"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera menjatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!"
Ujar Nagasari.
"Baik! baik...! Ketua..."
Ucap Tapak Doro dan Binangun serentak.
Segera mereka mengambil keputusan.
Ternyata Tapak Doro yang akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang.
Maka, tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.
Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos.
Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang memberikan hukuman mati pada Kuntali.
Dan seperti kata Nagasari, dia juga akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertutupkan apa-apa.
Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Doro.
Tak perlu lagi.
Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok.
Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam, namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca.
Sementara Windarti telah menggigit bibirnya sampai berdarah.
Betapa perih hatinya menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya.
Namun dia tak berdaya.
Dan setitik air bening kembali merayap turun membasahi pipinya.
Angin malam yang dingin seperti meresap ketulang.
Dan...
batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai.
Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar.
Tontonan yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya.
Dan lenyapnya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pesanggrahan Melati...
*** EMPAT Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati telah diperketat.
Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kakitangan Ketua Pesanggrahan Melati.
Terlihat orang-orang yang berkepandaian tinggi simpang-siur membagi tugas.
Karena mereka telah mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ketempat itu.
Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau.
Dialah Beguk Reksasana.
Sedangkan ketiga laki-laki tua yang ratarata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.
"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!"
Ujar salah satu gurunya yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya istriku...!"
Berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera menjura pada ketiga gurunya. Seraya berkata.
"Syukurlah, kebetulan guru semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu memang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diamdiam telah berkomplot dengan dia!"
Tiga Dedemit Gunung Siung manggut-manggut mendengar penuturan muridnya.
"Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?"
Tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit. Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah diketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!"
Ujar Beguk Reksasana.
Ketiga orang gurunya mengangguk.
Dan Beguk Reksasana segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat.
Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggrahan di pesisir pantai itu.
Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh wanita tampak mengintai.
Seorang wanita dari anak buah Nagasari datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu.
Wanita ini beringsut mundur.
Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan cepat sekali dia telah menyergapnya.
Mulutnya dibekap hingga tak mengeluarkan suara.
Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai menggelosoh.
Bahkan langsung merokok urat suaranya.
Kemudian apakah yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga wanita ini.
Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu.
Lalu tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri.
Rambutnya yang basah diuraikan.
Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi.
Tentu saja dengan "bebas"
Dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya mencari-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu memasuki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu kamar dibukanya. Tapi kamar itu kosong.
"Heh!? kemanakah Kuntali? Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?"
Berdesis suara gadis ini pelahan.
Segera dia tutupkan lagi pintu kamar.
Lalu dengan gerakan gesit segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua.
Tak lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar.
Itulah memang kamar si saudagar tua.
Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari dalam...
Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya.
Memasukkannya ke dalam pakaiannya.
Hingga tampak perutnya agak menggembung.
Tak lama dia telah keluar lagi.
Beruntung tak ada seorangpun didalam Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu.
Hampir semua pintu kamar dimasuki.
Bahkan kali ini adalah kamar khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya.
Pintu kamar itu terkunci.
Namun baginya hal itu bukan halangan.
dengan kunci palsu dimilikinya pintu bisa dibuka.
Sekejap dia sudah melompat kedalam.
Lalu tutupkan pintu dari dalam.
Habislah uang dan perhiasan Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih.
Saat itu terdengar suarasuara diluar kamar.
Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruangan Pesanggrahan.
Tersentak dara ini.
Onggokan terakhir dari perhiasan mahal milik Nagasari cepat diraupnya.
Lalu dimasukkan dalam baju.
Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut dara ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Kukira dia sudah disana..."
Desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.
"Haiii!? siapa kau...?"
Satu bentakan menggema diruangan itu.
Akan tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela.
Yang membentak tak lain dari Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya.
Bahkan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan mudah.
Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jendela tak ayal dia sudah mengejar.
Akan tetapi.
WHUUUK!...
CRIIING! Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia"
Wanita ini yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan diri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam miliknya yang dihamburkan untuk menyerangnya.
"Bedebah!"
Memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat untuk mengejar seraya berteriak.
"Pencuriii! tangkap dia! tangkaaap...!"
Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjatasenjata ditangan.
"Dimana pencurinya!?"
"Pencurinya dimana...?"
Mereka saling mempertanyakan. Sebagian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok"
Adalah Nagasari sang Ketua.
"Apa yang terjadi Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!"
"Kepuuung! Bunuuuh...!"
Berteriak-teriak mereka.
Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul.
Melihat banyak anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, sejenak mereka saling pandang.
Namun cuma sesaat.
Karena dengan gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk mendahului para anak buah itu.
Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini sepuluh kali lipat dari gerakan mereka.
Sekejap mereka telah tersusul.
Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata telah kehilangan jejak.
"Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan itu? memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran.
"Celaka...! Oh, ludaslah sudah harta bendaku! Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?"
Berdesis wanita ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu.
Berpikir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh.
Semangatnya serasa lenyap untuk mengejar lebih jauh.
Apalagi dia telah kehilangan jejak.
Tak tahu lagi kemana larinya orang yang dikejarnya.
Namun hatinya telah meyakinkan siapa adanya orang itu.
Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat Madura? Pikirnya.
Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali lagi menuju kearah Pesanggrahan.
Benaknya berkecamuk memikirkan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya.
Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi lemari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati.
Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai memakan waktu lebih dari dua tahun.
Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba...
"Itu dia...! tangkap! kejaar!"
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orangorangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak mengenali aku?"
Membentak Nagasari dengan suara mengeledek.
"Hah!? KET... KETTT... KETUA...?"
Hampir berbareng mereka melompat mundur dengan suara tertahan.
"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami tak mengenali orang..."
Menyahut salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!"
Maki Nagasari dengan mendongkol.
Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya.
Dan tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang.
Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya.
Baru saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang menyongsongnya.
Langsung lakukan pertanyaan.
"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?"
Mendelik sepasang mata wanita ini.
"Kau...?! apa saja kerjamu, kakang...? sampai tak tahu kejadian ini...?"
Membentak Nagasari dengan hati kesal.
"kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersembunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk me-laksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, kecuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
Menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!"
Ujar Nagasari dengan mendengus.
"Tak tahukah bahwa kamar kita telah kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..."
Teriak Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk menuju ke arah kamarnya.
Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut.
Lalu bergerak melompat menyusul istrinya.
Didapati Nagasari tengah tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka.
Laci tempat menyimpan uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap mata!"
Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.
"Ini semua gara-gara kau...!"
Tiba-tiba membentak Nagasari seraya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku...? He? aku tak tahu menahu dengan semua ini! Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan disini ada pula tiga orang guru kita...!"
Bela Beguk Reksasana sang suami.
"Cih! kalau. tidak gara-gara kau menerima wanita muda bernama Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!"
Berkata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembaringan.
"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan purapura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya. Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!"
Semakin ketus katakata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..."
Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.
"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak usah kau mencari-cari alasan! Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita membekuk si Ular Betina keparat itu!"
Potong Nagasari dengan bentakan ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan... terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata.
"Baiklah, istriku! Kelak akan ku seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan kamar itu... *** LIMA Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari tergolek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membelalakkan matanya.
"Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?"
Tersentak Windarti berkata dalam hati.
Lama dia termangu dengan benak memutar.
Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan sebagai tawanan.
Kali ini berbeda dengan dahulu.
Kalau dahulu dia seperti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak.
Bahkan ditugaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong untuk berkencan ditengah laut.
Tapi kali ini dia tak bisa bebas bergerak.
Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso.
Bahkan masih dalam keadaan membugil.
Pesanggrahan Melati itu kembali lengang.
Karena suara-suara gaduh itu lenyap lagi.
Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas.
Tapi lapat-lapat dia ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!.
Bunuuh...!"
Cuma itu yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara hatinya mulai menduga-duga.
"Apakah si manusia misterius yang menamakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dikejar...?"
Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi.
Yang terbayang justru kejadian tadi.
Kejadian yang telah membuat bulu ro-manya berdiri dan tubuhnya bergidik seram.
Hatinya terasa disayatsayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pelampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun.
Dua orang saudara seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Nagasari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan mereka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, namun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain.
Nagasari telah menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi.
Dan bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui kematian ditangan Nagasari.
Sebagai tebusan atas antara pengkhianatannya.
Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pipinya.
Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya.
Cuma jeritan pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau melihat.
Dan tak akan melihat, karena segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun.
Dan selanjutnya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki terbelenggu...
Kini keheningan merayapi ruangan itu.
Cuma desah napasnya dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga.
Sunyi! Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah kehilangan orang yang paling dikasihi.
Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya sendiri.
Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia telah menempuh jalan salah.
Ya! tak semustinya dia mencintai sesama jenis.
Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya.
Namun segalanya terputus sudah.
Kuntali telah mati! Dan takkan hidup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat luar biasa pada Nagasari.
Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan tak lekang terkena panas! "Nagasari...! tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan puas belum terbalaskan...!"
Berdesis Windarti dengan sepasang lengan mengepal dalam belenggu. Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di hadapannya.
"Ssssst!"
Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut memberi isyarat. Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?"
Sentaknya dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya.
Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan tajam.
Dan...
tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik bajunya.
Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.
Bahkan segera membuka totokannya.
Selesai itu, si orang bertopeng segera balikkan tubuhnya membelakangi.
Tampak lengannya merogoh lagi kebalik baju.
Dan melemparkan "sesuatu"
Kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian.
Tentu saja membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira.
Tak ayal segera dia beringsut, untuk segera melompat bangun.
Ternyata satu stel pakaian dari sutera warna hitam.
Dan...
cepat dikenakannya.
Sepasang mata si orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai berpakaian? Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya dengan cepat.
Sebentar saja sudah rapih berpakaian.
Cepat si orang bertopeng putar tubuh.
Lalu beri isyarat untuk mengikutinya.
Dengan berindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu.
Melompat gesit dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara.
Tiba dibagian belakang Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tangan Windarti.
Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang.
Selanjutnya...
WHUT! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur.
Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!? Oh, guruuu...!"
Berteriak Windarti dengan tersentak antara terkejut dan girang.
Dan menghambur dia untuk kemudian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu.
Wanita tua itu tak lain dari Nini CANDRA GUMINTANG.
Sang guru yang dikhabar-kan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu adalah gurunya tercinta.
Yaitu Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU.
Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi.
Bahkan Matahari telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur.
Juga melihat jelas sepasang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah.
Yakinlah dia kalau yang dihadapannya itu bukan hantu.
Ya! dia memang Nini Candra Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya.
Juga guru Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi Ketua.
Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI.
Yang berfungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penampungan wanita-wanita cantik.
Merupakan bisnis besar yang dikelola secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wanita tua itu.
Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, seraya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari kita berbincang-bincang didalam...!"
Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng itu.
"Haih! ya...! aku sampai lupa, guru...!"
Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu.
lepaskan cadar penutup wajahnya.
Karena memandangi pertemuan yang mengharukan antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama.
Menatap dengan mata mendelong.
Adapun Windarti jadi terlongong mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng.
Apalagi setelah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka topengnya.
"Kau..., kau SHIDARTA...?"
Sentak Windarti terkejut. Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum.
"Marilah kita duduk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami ceritakan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau menyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"
"Benar, Shidarta..."
Menyahut dara ini.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."
"Marilah kita bicara didalam...!"
Ujar Shidarta seraya menggamit lengan Windarti.
Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan.
Cukup besar pondok sederhana itu.
Shidarta beranjak melangkah kearah meja.
Lalu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya.
Tak sabar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.
"Guru...! ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi? Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. apakah memang Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang mengatakan guru telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...? Pertanyaan Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu. Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera menjawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ketika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah akibat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membunuhnya. Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu menjadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menurut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan dibawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit. Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau membunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendiri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu, karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajahnya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati. Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari SHIDARTA. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir) Nini Candra Gumintang. *** ENAM SHIDARTA memang "menghilang"
Ketika Beguk Reksasana muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru.
Karena dia telah segera mengenali laki-laki itu.
Laporan Shidarta pada Adipati Donggala mengenai kejahatan yang telah direncanakan.
Serta niat perbuatan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan.
Shidarta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat rahasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut.
Tentu saja dengan janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati.
Bukan saja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri.
Hal kejadian itu segera dilaporkan pada Raja.
Hingga kemudian pihak Kerajaan menetapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan.
Pelacakan dalam mencari jejak Tali membawa hasil.
Namun ada berita ditemui sesosok mayat oleh para prajurit kadipaten.
Mayat yang mirip dengan Tali Wangsa dalam perawakannya.
Sayangnya mayat itu sudah dalam keadaan hancur mukanya.
Juga serpihan daging yang sudah hampir hancur membusuk.
Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali Wangsa adanya.
Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pakaian yang dikenakannya.
Sosok mayat itu ditemukan mengambang disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian.
Agak lega hati Shidarta mendengar berita itu.
Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di Pesanggrahan Cempaka Biru.
Bahkan bersahabat baik dengan Nagasari.
Namun dengan nama Beguk Reksasana.
Hal mana membuat Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak.
Walaupun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasana tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang guru keseorang tabib agak membuatnya curiga.
Seperti dibisikkan Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua.
Mereka merasa tak punya hak untuk melarang niat baik Nagasari.
Apalagi dua orang saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana, diam-diam menguntit kepergian mereka.
Tentu saja dengan alasan minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rombongan mereka berangkat.
Sebagai murid termuda.
Apalagi masih adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wilayah tempat itu.
Mereka tak dapat melarang.
Cuma Kuntali yang berpesan agar tidak terlalu lama.
Shidarta mengangguk, dan mengatakan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai.
Lalu cepat berangkat pergi.
tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyusul pengangkut tandu yang membawa sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang.
Yaitu kesebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu memakan waktu satu hari penuh.
Tempat itu tersembunyi.
Dan disana ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari.
Tentu saja saudara seperguruan tertua itu mendapratnya.
Karena Shidarta melanggar pesannya untuk ikut serta.
Nagasari hanya membolehkan dua orang saja yang turut serta.
Yaitu Tapak Doro dan Binangun.
Saat itu Beguk Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula.
Tersentak kaget buronan Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah saudara seperguruan Nagasari.
Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah tak mengenai Shidarta.
Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak hampir setahun tak menampakkan diri.
Bahkan orang-orang Kadipaten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya mayat laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..."
Ujar Nagasari.
Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah menjadi murid dari Perguruan Cempaka Biru.
Kau harus tunduk dan patuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu.
Sebabnya kau kularang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada satupun laki-laki.
Kau adalah murid termuda.
Tapi kalau kau merasa sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu kesembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian.
Tapi cuma kuberi waktu satu bulan.
Tepat tiga puluh hari kau harus sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!"
Menyahut Shidarta dengan tundukkan wajahnya.
"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan. Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pada setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah diberi wewenang untuk itu...!"
Lanjut ucapan Nagasari memberi peringatan. Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!"
Sahutnya lirih.
Lalu setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana, Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu segera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit.
Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat larinya.
Hatinya membatin.
"Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan membiarkan aku pergi begitu saja...!"
Dugaannya benar.
Ketika membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok tubuh.
Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau menembus jantung.
Bibirnya tampakkan senyum sinis.
Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja.
Seperti tak merasa terkejut.
Karena justru hal inilah yang diinginkannya.
Tetap melang-kah dengan tegar.
Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti.
Sementara Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...? Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?"
Shidarta pura-pura bertanya. Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Biru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan nyawamu...!"
Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa hambar.
"Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan katakata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu TALI WANGSA! Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik"
Mu untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam.
Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari.
Juga kau khawatir aku melaporkan pada Adipati.
Heh! kau kira aku takut pada seorang buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk mu.
Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!"
Berkata Shidarta dengan lantang.
Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya.
Bahkan mau merebut kedudukan Adipati kakak iparnya.
Laki-laki yang pernah diangkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak mengenai budi.
Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya.
"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cukup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apaapa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami berdua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya secara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukatakan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?"
Membentak Shidarta dengan wajah merah padam.
"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman gurumu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhianat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku memaksa guru membuka mulut!"
Satu suara terdengar dibelakang Shidarta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri tegak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman iblis! "Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!"
Memaki Shidarta dengan wajah berubah bringas.
Dan...
Srreek! Dia telah mencabut senjatanya.
Sepasang tombak pendek bergagang perak.
Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa agar membinasakan pemuda itu secepatnya.
Laki-laki buronan kerajaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu.
Dan sehelai selendang sutera warna merah dari balik pakaiannya...
*** TUJUH Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat miringkan kepalanya.
Karena hawa dingin membersit cepat sekali menebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi.
Beguk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah dipersiapkan sejak semula.
Disamping nalurinya yang cukup peka.
Akan tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasa-na membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat.
Selendang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan bayangan merah.
Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang tombak.
Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit lengan atau kaki Shidarta.
Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terkesiap.
Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang demikian hebat.
"Hahaha... Shidarta! lebih baik kau buang senjata kapakmu yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!"
Mengejek Tali Wangsa.
Menggerung gusar Shidarta.
Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana.
Kali inilah kesempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas dan menangkis serangan lawan.
Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksasana jejakkan kaki! pemuda itu telah menghantam dadanya dengan telak.
BUK! Terhuyung laki-laki.
Sementara Shidarta telah melompat berdiri.
"Jahanam keparat! kubunuh kau...!"
Membentak dahsyat Shidarta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya.
Suara berdesin membelah udara...
Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Reksasana menangkis dengan pedangnya.
Ternyata dalam keadaan terhuyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^ untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!"
Memaki Beguk Reksasana.
Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar.
Terlihat cahaya yang bergulung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam.
Inilah jurus berbahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana.
Terperangah oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya.
Karena sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...! Satu benturan keras terdengar.
Shidarta terkejut karena rasakan kedua lengannya kesemutan.
Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya telah terlepas dari genggamannya.
Saat mana berdesis suara dibelakang leher yang menimbulkan hawa dingin.
"Ah.!?"
Tersentak kaget Shidarta.
Namun dia masih bisa mampu membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar Ungu Beguk Reksasana.
Akan tetapi terdengar suara tertawa mengikik dibelakangnya.
Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan.
Ternyata Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda ini.
Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit.
Dan jatuh tersungkur dua-tiga tombak ke depan.
"Bagus! Nagasari...!"
Berkata Beguk Reksasana dengan menyeringai tertawa.
"Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.
"Sekarang?"
Tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!"
Sahut Nagasari.
Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha untuk bangkit.
Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah membuat dia terluka dalam.
Tampak darah menggelogok berkali-kali dari mulutnya.
Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup.
Saat mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah lakukan serangan kilat.
Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit untuk membelah batok kepala Shidarta.
Sedangkan selendang sutera merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu.
Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa.
Dan...
Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat, mendadak lenyap tak berbekas.
Terhenyak Beguk Reksasana Sementara Nagasari belalakkan mata terperangah.
"Angin apakah yang lewat barusan?"
Desis Nagasari.
"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!"
Gumam Nagasari.
"Yaa...!"
Keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menyadarkan.
"Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pusaka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu kita pikirkan...!"
"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin itu melintas!"
Berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!"
Ujar Nagasari alihkan pembicaraan Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin meremang.
Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura.
Akan tetapi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak mengetahui.
Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula.
Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya Seta.
LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang gagah.
Juga berilmu tinggi.
Disamping ahli dengan segala macam jenis racun, dia juga pandai ilmu obat-obatan.
Sayangnya dia berakhlak buruk.
Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya.
Hingga ilmu-ilmu warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru.
Dan tidak diperkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya.
Hal kejadian itu sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah menceritakan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Seta itu.
Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara seperguruannya itu.
Bahkan dengan diam-diam dikirimnya NAGASARI (anak gadisnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang.
Yang baru saja mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru.
Pendekar Rajawali Sakti Iblis Penggali Kubur Pendekar Mabuk Murka Sang Nyai Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk