Ular Betina Selat Madura 2
Roro Centil Ular Betina Selat Madura Bagian 2
Dia tahu betul kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari mendiang guru.
Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta tak pergi jauh.
Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergurunya itu.
Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni lagi pondok perguruannya.
Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta.
Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya Tentu saja membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh.
Sebenarnya diapun amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandung-nya sendiri.
Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara diam-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan.
Bahkan guru Lodaya Setapun tak mengetahui.
Suatu hari telah berdatangan beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka.
Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang mencari Lodaya Seta.
Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbuatan jahat.
Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya, bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan akal licik.
Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatannya yang telah dilakukan.
Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat perbuatannya ketahuan.
Lodaya Seta melarikan diri.
Dengan ilmunya yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak.
Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbongkar.
Karena secara tak sengaja Candra Gumintang justru turun gunung.
Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta untuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas titahan gurunya.
Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang sedianya akan kembali keperguruan.
Demikianlah, akhirnya diketahui tempat tinggal Lodaya Seta.
Dan mengetahui pula kalau dia salah seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang Setan pada waktu itu.
Tentu saja dengan menyatroninya belasan pendekar itu membuat terkejut RESI GENTAYU guru kedua murid itu.
Hampir saja terjadi pertumpahan darah.
Dan hari itu juga Resi Gentayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid.
Bahkan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya Seta.
Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan.
Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah.
Apabila adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penyesalannya.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesalahanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak pergi dari sini? Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita. Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!"
Berkata Candra Gumintang dengan suara lirih.
"Kakang mbok...! aku mengerti kau tak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua untuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan citacita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa. Ooo... alangkah menyesalnya aku..."
Berkata Lodaya Seta. Dan kembali air matanya mengalir bercucuran.
"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak mengetahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan kita. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Karena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntutnya...!"
Ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya menginginkan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya. Benar saja...! "Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?"
Tanya Lodaya Seta. Candra Gumintang menggeleng.
"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta.
"Aku akan segera meninggalkan wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang mbok!"
Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh.
Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Namun sejak itu Lodaya Seta tak pernah muncul.
Bahkan sampai wafatnya Resi Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan perguruan Cempaka Biru.
Padahal murid pertamanya adalah anak kandung Lodaya Seta.
Candra Gumintang memang selama hidupnya tak menikah.
Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita saja.
Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki.
Yaitu Tapak Doro, Binangun dan Shidarta.
*** DELAPAN Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya, bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta dihadapannya.
"Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penyakitku?"
Bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa mengenali orang dihadapannya.
"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bilang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah menerima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!"
Ujar Lodaya Seta dengan menyeringai.
Lodaya Seta telah berubah jadi seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih lebat.
Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok.
Keadaannya memang tak berubah banyak.
Cuma berbeda dari kumis dan jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah.
Kulit tubuhnya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.
"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu menjadi manusia baik-baik?"
Tanya Nini Candra Gumintang.
"Hehehe... tentu saja...! bukankah aku menjadi seorang tabib? aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang lemah tak berdaya tanpa pamrih Aku tak mengharapkan imbalan apaapa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membutuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Semua ini untuk kemanusiaan...!"
Sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gumintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening.
"Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kudu-ga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! kalau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..."
Ujar Nini Candra Gumintang dengan terharu.
"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...? atau, cucumu...?"
Tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.
"Kau sendiri bagaimana?"
Balas bertanya. apakah kau sudah bersuami?"
Wanita tua itu menggeleng.
"Aku masih tetap sendiri sejak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usiaku...!"
Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mudamu? Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut"
Padamu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu sendiri..."
Berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas.
Pernyataan Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah.
Akan tetapi tak ditampakkan diwajahnya.
Andaikata sejak dulu sebelum Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, niscaya dia bahagia mendengarnya.
Dan takkan ditolak cintanya karena memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang telah menanam benih "cinta"
Pada Lodaya Seta.
Akan tetapi dia tak berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta adiknya sendiri.
Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lodaya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya.
Hingga kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah perguruan.
Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup.
Cintanya seolah karam didasar laut.
Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak pernah bersua ini.
Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi pipinya yang telah keriput.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Lodaya..."
Ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepatcepat menghapus air matanya.
"Oh... ya...! baiklah akan kukatakan. Aku memang telah menikah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bu-kankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"
Membelalak mata Candra Gumintang.
"Hah!? jadi... jadi NAGASARI itu anakmu...?"
"Benar!"
Sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.
"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!"
Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan padaku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak perempuanku satu-satunya yang amat ku sayangi...!"
Sampai disini tibatiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sampai air matanya bercucuran.
"Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! tapi aku gembira. Baiklah! akan kuberikan sisa harta pusaka warisan guru itu padamu..."
Melonjak girang NAGASARI yang diam-diam sembunyi mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali Wangsa.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!"
Menyahut Lodaya Seta dengan wajah girang.
"Nah, minumlah ini untuk kesehatanmu. Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!"
Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam mangkuk.
"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera meminumnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta bertanya.
"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"
"Oh ya ...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk sesaat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu, lalu diberikan pada Lodaya Seta.
"Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bukalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta dimana harta pusaka itu disimpan!"
Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta manggut-manggut gembira.
"Ah, sungguh kakang mbok seorang yang berbudi luhur. Juga berhati bersih! membuat aku jadi malu hati...!"
"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bukankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia? Kalau aku tak memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"
"Benar! benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhuran budimu...."
Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta. Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.
"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada Naga Sari? Juga pada paman Lodaya Seta?"
Bertanya Windarti. Nini Candra Gumintang menggeleng.
"Sejak jauh-jauh hari aku memang telah membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu. Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat Lodaya Seta...!"
Sahut Wanita tua itu.
"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?"
Tanya Windarti.
"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..."
Demikianlah! Nini Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya.
Ternyata kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar.
Sementara Candra Gumintang semakin redup matanya.
Obat ramuan yang diminumnya ternyata tak lain dari obat bius.
Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah tidur pulas.
Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk Reksasana tersenyum.
Mereka berembuk untuk memulai rencana selanjutnya.
Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma pura-pura pulas.
Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh obat bius.
Kecurigaannya mulai timbul, karena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka.
Mengapa Nagasari tak mau munculkan diri terang-terangan.
Dan ada apakah dibalik kejanggalan ini...? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam perbuatan dan tindak-tanduknya.
Semua sikap itu melalui menjadi perhatiannya.
"Bagus...! dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?"
Tanya Nagasari pada Lodaya Seta, Seusai menceritakan kejadian aneh tentang Shidarta.
"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...! balas bertanya Lodaya Seta.
"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"
"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat penyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sembuhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mampu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Terutama Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan rahasia ini!"
Ujar Nagasari.
"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah melenyapkannya...!"
Lanjut ucapan Nagasari.
"Yah! tak ada jalan lain ...!"
Akhirnya Lodaya Seta manggutmanggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat menyesali tindakannya.
Karena tak menduga akan semudah itu Candra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya.
Nasi telah menjadi bubur.
Apa mau dikata.
Kini tak ada jalan lain selain melenyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.
Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang.
Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat panggilan dari Nagasari yang menemuinya.
"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketempat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.
"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!"
Menyahut Tapak Doro.
"Hm, jangan khawatir! aku tak pernah mendustai apa yang telah kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini sa-ja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang paling aku percaya...!"
Sahut Nagasari dengan tersenyum.
"Nah! Kerjakanlah!"
"Baik kakang mbok...!"
Hampir berbareng mereka menyahut.
Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini Candra Gumintang keluar goa.
Bergantian mereka memanggul wanita tua yang dalam keadaan terbius itu.
Hingga mereka tiba ditepi jurang yang dalam.
Disana mereka berhenti.
"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu, Binangun!"
Ujar Tapak Doro.
"Toh bila kita lemparkan saja kejurang, tentu dia akan mati!"
"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah! lebih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi kita!"
Sahut Binangun.
Disaksikan elang dan burung-burung gagak yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binangun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru mereka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya...
Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup.
Berambut putih beriapan.
"Tahan!"
Sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.
"Heh! Siapa Kau...!?"
Tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja dia lantas urungkan niatnya. Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.
"Bagaimana adik Binangun? apakah sebaiknya kita bikin mampus dulu penghalang ini?"
Bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk. Dan... Sreet! Criing...! Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang.
"Manusia ataukah hantukah kau? mengapa menghalangi niat kami?"
Bentak Tapak Doro.
"Hmm...!"
Orang itu perdengarkan suara dihidung.
Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah kedua murid perguruan Cempaka Biru itu.
Sepasang lengan si Manusia muka mayat itu merentang.
Jari-jari tangannya mengembang, siap mencengkeram batok kepala keduanya.
"Awas, adik Binangun...!"
Tapak Doro memperingati.
Sementa-ra dia sendiri segera melompat menghindar.
Bahkan senjata golok besarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan.
Binangun miringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan.
Suara rantainya bergemerincing.
Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si manusia muka mayat.
Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya.
Tiba-tiba tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah.
Dari gerakan menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya.
Sepasang lengannya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro dan Binangun.
"Edan...!"
Maki Binangun.
Serangan senjata rantai berbandulan tiga mata tombak itu lolos.
Bahkan dia kini harus hindarkan serangan mendadak yang di luar dugaan.
*** SEMBILAN Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun masih bisa hindari serangan ganas itu.
Bahkan lemparkan tubuhnya kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si manusia muka mayat.
Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu.
Walau tak urung baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.
Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya.
Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah.
Tampak gusar Tampak Doro.
Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan.
Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal untuk membunuh guru mereka.
Lompatan dengan jurus Macan putih Menerkam kijang segera dilakukan.
Bahkan golok besarnya sudah melayang ganas untuk menabas pinggang lawan.
Gerakan cepat ini seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut.
Kembali dia menghindar dengan Lompatan salto.
Tapi kali ini Tampak Doro terus mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.
Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata tombak dari bandulan rantainya.
Terlihat si manusia muka mayat sepertinya terdesak.
Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan saltonya.
Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu.
Suatu ketika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata tombak Binangun.
Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.
"Keparat! kau harus mampus! karena telah memperlambat urusan kami!"
Bentak Tapak Doro dengan gusar.
Semakin menggebu niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah terdesak.
Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilangan jejak.
Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana.
Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari.
Akhirnya mereka memutuskan untuk cepat kembali.
Pekerjaan mereka harus segera diselesaikan.
Demikianlah.
Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ketepi tebing.
Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini candra Gumintang.
Sesaat kemudian...
"Satu.... dua.... ti...ga !"
Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang itu ke mulut jurang.
Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian lenyap tak kelihatan lagi.
Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur dan tertutup kabut.
Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang kayu.
Ya, sebatang kayu..! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.
Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu, tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pekerjaannya...
Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya, yang ditutup dengan kata-kata...
"Nah! Itulah sebabnya aku masih hidup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"
Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan itu.
"Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"
"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajahnya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si Manusia Muka Mayat!"
"Ooooh...!?"
Ternganga Windarti.
"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik seperguruanku, si Lodaya Seta.!"
Ujar nini Candra Gumintang lebih lanjut. Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menyelamatkan nyawaku... !"
Berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada Windarti. Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget.
"Aiiih! jadi demikiankah adanya...?"
Ucapnya dengan terbelalak matanya.
"Kini dimanakah paman Lodaya Seta?"
Tanya Windarti seraya palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.
"Beliau ada ditempat ini...!"
Ujar Shidarta.
"Guru...! bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman guru...?"
"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular Betina Selat Madura...!"
"Baik, guru...!"
Menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera bangkit berdiri. Windarti mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya untuk meraih tangan dara itu.
"Mari kita ketempat mereka...!"
Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini Candra Gumintang.
"Guru...! aku pergi dulu..."
Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum.
"Pergilah Windarti!"
Ucapnya.
Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan kayu jati itu.
Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair dangkal.
Diseberang sungai pada tempat ketinggian, tampak berdiri sebuah rumah panggung yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."
Windarti manggut-manggut.
"Siapakah nama atau gelarnya kini?"
"Beliau memakai nama Ki DONDOMAN dengan gelar Malaikat Tangan Sebelas...!"
Sahut Shidarta.
"Ah!?"
Nama yang aneh dan gelar yang hebat!"
Puji Windarti.
Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti sejenak.
Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelusuri relung hati dara itu.
Sementara lengannya masih mencekal jemari tangan Windarti.
Darah pemuda ini berdesir, dengan detak jantung yang berdegupan.
Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia.
Sementara yang ditatap jadi serba salah.
Dia tak mengerti ada apa dengan sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...? "Windarti...!"
Terdengar suara Shidarta.
"Bolehkan aku mengutarakan isi hatiku...?"
"Hm, mengapa tidak? kita kan saudara seperguruan. Kalau kau punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!"
Sahut Windarti dengan termenung heran.
"Aneh!"
Pikir Shidarta.
"Windarti seperti biasa-biasa saja berhadapan denganku. Apakah tak ada "rasa"
Dihatinya secuilpun terhadapku?"
"Terima kasih, Windarti..."
Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa yang akan dikatakannya.
"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Mengapa tak kau paparkan padaku?"
Pertanyaan Windarti membuat Shidarta tersentak.
"Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan kukatakan?"
Ujar Shidarta tergagap.
"Lho? kok malah berpikir dulu? langsung saja bicara! Kau tam-paknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg dihatimu...!"
Akhirnya Shidarta bicara juga setelah menelan ludah berkalikali.
"Windarti...! apakah selama ini tak ada kau simpan nama seorang laki-laki dihatimu?"
"Nama seorang laki-laki?"
Hm, maksudmu...?"
Tanya Windarti tak mengerti.
"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?"
Ulang pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegupan tak keruan.
"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidarta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki-laki!"
Sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega.
"Kalau tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum terjamah tangan laki-laki..."
Pikir Shidarta.
"Windarti...! tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama menaruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang padamu itu masih ada. Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebenarnya amat mencintaimu, Windarti...!"
Serasa terbebas uneg-uneg dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.
Tercenung sesaat Windarti.
Walau dihatinya mengadakan pertentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ternyata masih berfungsi.
Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya.
Seperti mendapat tempat direlung hati.
Selama ini dia memang menyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ketidak wajaran.
Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya.
Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas jemari tangannya.
Sesaat hatinya berdegupan.
Entah perasaan apa yang berkeca-muk di dadanya.
bahagiakah? atau dia harus bersedih.
Karena segera teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada.
Tiba-tiba dadanya bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis ditangan Nagasari.
"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghargai. Dan... aku tak menolak cintamu....!"
Ujar Windarti dengan mata berkaca-kaca.
"Kau... kau terima cintaku, Windarti?"
Tanya Shidarta penasaran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas. Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.
"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya hatiku...!"
Teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepalanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.
"Ehmm...!"
Satu deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna hitam.
"Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Seta"
Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut... *** SEPULUH Andaikan wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggrahan Melati yang membunuh bangsawan tua itu?"
Tanya Windarti setelah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.
"Tidak salah...! aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orangorang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk menggelariku!"
Sahut Wanita bersuara merdu itu.
"PERAMPOK TENGIK...! kiranya kau bersembunyi disini?"
Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.
Dan tiga sosok tubuh berloncatan mengurung.
Mereka rata-rata berjubah hitam.
Tak pelak lagi mereka itu tak lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu tiga orang guru Beguk Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.
"Hihihi... bagus! bagus...! tanganku memang sudah gatal untuk mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyusul kemari!"
Berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik tertawa.
Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di depan mata.
Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar katakatanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung Siung itu.
Tentu saja membuat Windarti melegak heran.
Ingin sekali dia menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Madura itu.
Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.
Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh.
Dan muncul pula sesosok tubuh.
Dialah si manusia muka mayat.
"Heheheheh... Tiga Dedemit Gunung Siung! akulah lawanmu....!"
Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh. Langsung salah seorang membentak.
"Huh! Siapakah kau...?"
"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"
"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Melati! Apakah kau mau membela maling?"
Bentak Dedemit Gunung Siung.
"Huuu!? begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pesanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Kalau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu harta tak halal?"
Tukas si manusia Muka Mayat.
"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pesanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"
Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya saling pandang dengan kawannya sendiri.
"Heh! siapakah kau ini sebenarnya?"
Bertanya salah seorang da-ri mereka. Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi gerakkan tangannya "membuka"
Kulit wajahnya. Ternyata dia mengenakan semacam topeng kulit manusia.
"Nah! apakah kalian masih mengenali wajahku...?"
Bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.
"LODAYA SETA...!?"
Tersentak kaget ketiga manusia ini.
Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta adanya.
Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu.
Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.
"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasari! apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutukmu?"
Berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.
Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan serempak.
Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi bersama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Ternyata disaat Beguk Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul.
Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka telah sampai ketempat itu.
"A... a... ayah...!? benarkah kau tak mengakui aku anak kandungmu lagi?"
Teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat. Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda itu.
"Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya putih! apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?"
Membentak Ki Dondoman.
Nagasari mundur dua langkah.
Wajahnya tak sedap dipandang.
Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya.
Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.
"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak. Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggantikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu! Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pandai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar ayah membenciku...!"
Berkata Nagasari bercampur isak.
Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari dengan tak berkedip.
Dengan pancaran mata berapi-api.
Sekilas terbayang lagi saat kematian KUNTALI, yang sebelum dihabisi nyawanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Tapak Doro dan Binangun.
Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak tertahankan lagi.
Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat kehadapan Nagasari.
"Perempuan bejat! hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas.
Yang diiringi pekikan-pekikan histeris.
Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk! Whuk!...
BRRET! Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka dengan keputusan sang ayah.
Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu.
Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat.
Namun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan.
Karena di samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gumintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Nagasari sukar untuk menduga jurus-jurusnya.
Hingga dia berlaku kurang gesit.
Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengannya tersobek.
Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga berdarah.
"Keparat!"
Memaki Nagasari. Kau mau mampus...!"
Bentaknya menggledek. Dan... Menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya itu. Buk! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat gadis ini terhuyung ke belakang.
"Kau...kau manusia kejam! penipu...! kau telah mengelabuiku! mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah membunuh KUNTALI! Kau racuni guru kita hanya karena ketamakanmu pada harta pusaka milik guru! apakah kau masih layak untuk hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa iblismu, keparat...!"
Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini.
Bahkan air matanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengking panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan ganasnya.
Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah lakukan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa.
Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras.
Sesosok bayangan berkelebat.
"Awas, Windarti...!"
Teriakan itu dibarengi dengan mendorong tubuh dara itu.
Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena lurukan jarum-jarum beracun Nagasari.
Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias ANDINI.
Seketika tubuhnya roboh.
Dan berkelojotan ditanah.
Tapi sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...
Windarti melompat memburu diiringi Shidarta.
Sementara Nagasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah mencekal lengan Beguk Reksasana.
"Cepat! kita pergi dari sini...!"
Bisik Nagasari. Akan tetapi...
"Bocah murtad! hentikan langkahmu...!"
Satu bentakan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka hentikan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mereka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar. Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.
"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian serahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman untuk kalian, di Kota Raja!"
Ternganga mulut Nagasari.
Pakaian wanita ini amat mirip den-gan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena serangan senjata rahasia.
Akan tetapi jelas dia bukan si Ular Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata rahasianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Nagasari.
Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.
"He? siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi muridku...!"
Berkata.
"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! bukan aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang menyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama KUNTALI...?"
Bertanya wanita ini.
Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shidarta jadi melengak heran.
Terlebih lagi Windarti.
Karena jelas dia telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di depan matanya.
Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu terdengar jelas.
Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman mati buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhianat.
Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang ketempat itu.
Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit muka dara yang terkapar itu.
Dan...
segera terpampang wajah KUNTALI.
Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...
"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? kiranya kau... kau..."
Tak kuat menahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadarkan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu... *** SEBELAS "MURID MURTAD! segera kau akan merasakan kematianmu...!"
Bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan parau yang memekakkan telinga.
Tubuhnya meluncur bagaikan alapalap.
Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jarijari mengembang.
Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan wanita tua ini.
Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke dadanya.
WHHUUK! DHESS...! Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersidakep.
Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya.
Tahu-tahu sebelah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang.
Terdengar jerit kesakitan.
Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjengkang roboh bergulingan.
Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah tercekal ditangannya.
Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah.
Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.
DHESS...! Darah segar menyemburat keudara.
Memercik ke bumi.
Dan...
menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tubuhnya yang telah tanpa kepala lagi.
Terperangah Nagasari.
Wajahnya seketika berulah menjadi pucat pias.
Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu meluncur pesat mengancam tenggorokannya.
Begitu cepatnya.
Tahu-tahu sudah didepan mata! Akan tetapi pada detik itu...
TRANG! Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas dahan pohon.
Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, tepat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu menembus tenggorokan Nagasari.
Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya setelah yang melemparkan batu, menangkis serangan.
Sekejap si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang.
"Sabar, kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"
Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik.
Lengan jubahnya mengibas.
Di lain kejap.
Nagasari sudah berdiri tak bergeming dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok.
Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Nagasari telah berpindah ke atas pundaknya.
Dan saat berikutnya Ki Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat dari tempat itu.
Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Serentak mereka mencabut senjata masing-masing.
Agaknya mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh Lodaya Seta.
Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Candra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura.
Agaknya mereka bingung mengambil keputusan.
Jelas tujuan mereka adalah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang milik Nagasari yang dirampok wanita itu.
Akan tetapi melihat kematian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar.
Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.
Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung Siung telah melejit dari tempatnya berdiri.
Senjata ditangannya yang berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing berwarna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan ke punggung Nini Candra Gumintang.
Dua orang lagi masih berdiri ditempat.
Seperti belum niat bergerak.
BUK...! Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar biasa.
Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena bisa menyimpan suara.
Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu mata lima itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu Samber Nyawa.
Entail tenaga darimana yang telah membentur tubuhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak.
Sambaran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.
Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki terlebih dulu.
Akan tetapi dengan tubuh terhuyung limbung.
Dan...
tampak darah menetes dari mulutnya.
Untung kedua kawan dengan sigap cepat melompat untuk menyangganya.
Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias.
Sebelah len-gannya memegangi dadanya.
"Oh.! sudah kuduga...!"
Ujarnya, Selesai berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.
Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah nanar pada Si Ular Betina Selat Madura.
Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak heran.
Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang.
Sedangkan si wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak tersenyum-senyum.
Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gunung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan serangan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa suara...
"Bedebah tengil! tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!"
Membentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam. Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Sekejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.
"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan kami juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pesanggrahan Melati!"
Membentak Gantol Mumet.
"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?"
Dara ini menyahut seenaknya.
Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari dengan melangkah pelahan.
Bahkan dengan menggendong tangan ke belakang.
Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu jadi mendongkol.
Bukan main terhinanya kalau harus "keok"
Oleh bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka tampak harus hati-hati.
"Bagus! kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu, nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak halal? Kalau kau kangkangi akan per-cuma saja. Lebih baik kau serahkan pada kami...!"
Bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jangkung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya.
"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mempan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitunghitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah "pajak"
Itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung tikar! Hihihi... hihihi..."
"Kalau begitu kau perlu diringkus...!"
Bentak Gantol Mumet.
Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu serentak menerjang si Ular Betina Selat Madura.
Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk menghunjam ke arah dara ini.
Bahkan dibarengi pula dengan pukulan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya.
Akan tetapi tampak dengan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan melenggang-lenggok genit.
Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.
Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu.
Dalam serangan empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Selat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya.
Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring.
Itulah tanda isyarat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.
Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur.
Sementara sesosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu.
Ternyata si Garpu Samber Nyawa.
Mereka langsung berlompatan untuk bergabung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan senjatanya.
Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi melengak heran.
Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan.
Diiringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.
"Hebat! hebat...! sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka kalau anda adalah Nona Pendekar RORO CENTIL...! Mohon maaf atas kekeliruan kami!"
Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang tak lain dari LODAYA SETA alias Ki Dondoman, yang bergelar si Malaikat Tangan Sebelas.
"He? kau muncul lagi? apakah maumu...?"
Bertanya Ular Betina Selat Madura. Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh pada ketiga kakek tiga berjubah hitam.
"Hai?! mengapa kalian masih berdiri terpaku? hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar kita...!"
Membentak Lodaya Seta.
Tak ayal ketiganya segera menjura pada si Ular Betina Selat Madura.
Dan cepat sekali mereka membuka jubah masing-masing.
Mengkelet juga kulit muka mereka.
Tak lama tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang Perwira Kerajaan.
Sementara Lodaya Setapun segera tanggalkan jubahnya.
Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya.
Siapakah sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih CAKRA BHUANA dari Kerajaan Mataram.
Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang Kerajaan itu.
Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pada beberapa bulan yang lalu.
"Aiiiih! kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...! Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura.!"
Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wajahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi kalau bukan memang RORO CENTIL adanya.
"Kanjeng Gusti Patih...!"
Ujar Roro sambil menjura hormat.
"Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah tercium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!"
Ujar Roro sambil tersenyum.
"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama dilacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya. Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!"
Berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?"
Ujar Roro berseloroh.
"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama sepekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima suguhan kehormatan!"
Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi mengikik tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong mendengarkan percakapan.
Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan dibenaknya.
Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Cakra Bhuana.
"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!"
Berkata wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.
"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...! Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda jalan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari kebenaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!"
Ujar Mahapatih Cakra Bhuana.
Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi mayat, yang perlu kita hormati.
Mari kita memakamkannya...!" *** DUA BELAS Lima hari kemudian...
di Kadipaten LAMONGAN.
Terperangah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu.
Setelah selesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa, Mahapatih Cakra Bhuana.
mengajak mereka semua ke Kadipaten.
Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusannya.
Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu.
Karena tampak dinding kamar tahanan berlubang besar.
Dan Nagasari yang dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...
"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang telah terjadi dengan Lodaya Seta...?"
Teriak Adipati Donggala dengan wajah pucat.
"Hai! pengawal! apakah kalian tak mengetahui tawanan wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?"
Membentak Adipati Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di seki-tar rumah tahanan itu.
"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta runtuhnya tembok kamar tahanan. Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!"
Menyahut salah seorang prajurit seraya menyembah.
"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"
"Rasaya tidak, Gusti...!"
Sahut keduanya serempak. Sementara nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.
"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang melakukan perbuatan ini?"
Bertanya wanita tua ini dengan air mata berkaca-kaca.
"Kau... kakang... mbok...! oh, bahagia sekali kau datang...! aku memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Cakra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam dalam tahanan ini atas permintaan ku sendiri. Karena aku merasa berdosa. Aku telah salah memungut anak! ya, salah yang teramat besar...!"
Ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Walau cuma senyum kekecewaan.
"Ah...!? jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?"
Tanya nini Candra Gumintang. Laki-laki tua itu menggeleng.
"Benar, kakang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membunuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian lakilaki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan menawanku di dalam goa! Untuklah kakang Mahapatih Cakra Bhuana menolongku...!"
Lodaya Seta berikan penjelasan.
Tampak dia kelihatan bersemangat.
Bahkan merasa agak kuat untuk bicara.
Karena diam-diam Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekuatan tubuh Lodaya Seta.
Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki tua itu.
Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih.
Lodaya Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua saudara seperguruannya itu.
Lalu lanjutkan kata-katanya.
Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tanpa daksa, kakang mbok...?"
Berkata Lodaya Seta.
"Sejak ilmuku dilenyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja. Aneh! semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu pukulan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!"
Ujar Lodaya Seta. Nini Candra Gumintang tersentak kaget.
"Jadi selama ini kau tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?"
Bertanya wanita tua ini. Lodaya Seta mengangguk.
"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti Kanjeng Mahapatih sendiri...?"
Tersentak lagi nini Candra Gumintang, seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.
Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengucapkan sepatah kata.
Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening.
Tampak dia sangat berduka sekali dengan musibah itu.
"Adik Lodaya Seta... sebaiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk menggotongmu dengan tandu..."
Berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Tidak usah, kakang Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih. Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera perintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung diperintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya berlari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian. Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak dipadati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu... RORO CENTIL tampak berdiri diantara deretan para undangan. Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan kepala. Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapa-tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihadapan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang dikala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan. Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lodaya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa, diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun membasahi pipinya... Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu. Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahlawan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari menempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna patut dihargai. Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh jalan sesat. Dan saat itu juga... Nagasari diputuskan menjadi orang BURONAN Kerajaan Mataram! Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bahkan langsung menerobos pintu gerbang. Tentu saja membuat para prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak. Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu telah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumintang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan. Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pengawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan satu lagi berisi ribuan keping mas dan perak, juga bermacam perhiasan yang tak ternilai harganya. Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik kertas bertulisan besar-besar.
"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...! TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI. SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA KERAJAAN MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM. DAN... SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI KESEJAHTERAAN RAKYAT!"
Pengirim. RORO CENTIL GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA SELAT MADURA) TELAH DICABUT....! Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti berisi uang dan harta "pajak"
Paksaan kiriman dari Roro Centil, justru sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggalkan wilayah Kota Raja.
Dialah si Ular Betina Selat Madura.
Yang telah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang mempermainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau membayar pajak.
Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.
Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar orang-orang berduit.
Telah menjadi momok yang menakutkan diwilayah perairan Selat Madura.
Terutama dari usaha-usaha tak halal.
Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji pekerjaan semuanya saja.
Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar.
Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak"
Paksaan oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari RORO CENTIL adanya. Yaitu... sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang beradat aneh! "Nona Pendekar Roro...! tunggu...!"
Satu teriakan terdengar. Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.
"Hm, Shidarta...? ada apakah kau menahan langkahku?"
Bertanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.
"Anu... ng..."
"Mau tanya apa?"
"Eh ya, ya...! itu..."
Menyahut Shidarta dengan tergagap.
"Anu... nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"
Roro tersenyum manggut-manggut.
"Hanya itu?"
"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan pertanyaan saya..."
Sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang.
"Ah, kemanakah anak itu?"
Terdengar suara Shidarta menggumam.
"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah, wah...! kau membawa teman mengapa tak aku perkenalkan padaku...?"
"Dia... dia malu, nona Pendekar..."
"Hmm... mengapa malu?"
"Entahlah, dia enggan berhadapan dengan anda..."
"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia"
Yang kau maksudkan itu?"
"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah... WINDARTI..."
"Windarti...? apakah yang mau ditanyakannya?"
Tanya Roro dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat ketika "nguping"
Pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidarta.
Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali.
Ternyata Kuntali yang telah diketahuinya dua kali mati.
Ternyata dua kali hidup lagi.
Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapannya.
Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur.
Dia memikir kalau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu.
Ketika kasak-kusuk dengan Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk membongkar kuburan Kuntali...
Benar saja dugaan Roro.
Ternyata Shidarta memang memperta-nyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.
"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."
"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta."
"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!"
Ucap Shidarta agak kaku.
"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Penjelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan kau mau berjanji takkan menceritakan pada Windarti, tentunya... berkata Roro. Semua ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mungkin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan"
Pada jiwanya.
Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri.
Dan pada Kuntali itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta".
Hal ini amat berbahaya.
Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang salah.
Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orangorang dijalan lurus...!"
Ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengarkan dengan serius.
"Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi kebaikan dia tentunya..."
Tukas Shidarta.
"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kematian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan ilmuku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara seperguruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya adalah suaraku sendiri!"
Jelaskan Roro Centil.
"Ilmu itu namanya ilmu MALIH RAGA! Sedangkan kemunculan arwah KUNTALI dihadapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa dengan dia?"
"Benar! benar...!"
Timpal Shidarta yang telah semakin jelas dengan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta terperangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.
"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di-depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!"
Berkata Shidarta dengan menatap kagum.
"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih ada langit lagi!"
Ujar Roro.
"Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan sudah teramat tinggi, wah, wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh orang! hihihi..."
Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku makin kagum pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..."
Pemuda ini tak teruskan lagi kata-katanya.
"Sudahlah! tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seperti Tali Wangsa. Nah! aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu, Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu memang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"
Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna.
Hilang tanpa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin.
Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga.
Ketika memandang ke atas.
Terlihat dahan-dahan pohon bergoyangan, seperti baru melintas angin keras.
Dan samar-samar hidung Shidarta mencium bau harum semerbak.
"Ah...! sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat. Gumamnya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh mendatangi. Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya berkata-"Windarti...! cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh menceritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."
Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui.
Bahkan Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui.
Karena rahasia ilmu MALIH RAGA telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong Nini Candra Gumintang.
Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang.
Roro telah menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.
Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamongan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki.
Tak diketahui siapa pembunuhnya.
Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak Doro dan Binangun.
TAMAT E-Book by Abu Keisel
https.//www.facebook. com/DuniaAbuKeisel
Pendekar Naga Putih Dedemit Bukit Iblis Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti