Ceritasilat Novel Online

Dewi Karang Samudera 1


Rajawali Emas Dewi Karang Samudera Bagian 1


DEWI KARANG SAMUDERA Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bab l Angin keras berhembus mendadak memenuhi se-buah lembah.

   Beberapa semak tampak tercabut dari akarnya.

   Sementara hari yang sudah memasuki siang, menambah ketegangan dan kegarangan alam.

   Dalam ketegangan, seorang pemuda tampan berba-ju keemasan dengan rajahan burung rajawali keema-san pada lengan kanan kiri menatap tajam seorang le-laki bertampang mengerikan.

   Wajahnya rusak dengan kulit mengelupas, mem-perlihatkan daging-daging busuk.

   Rambutnya yang se-bahu, sebagian telah rontok.

   Kedua matanya meman-carkan sinar dingin.

   Sementara pakaiannya yang ber-warna hitam-hitam telah compang-camping.

   Tatapan pemuda yang tak lain Tirta alias Rajawali Emas itu beralih pada gadis jelita berbaju merah dengan ikat pinggang warna biru yang tergolek pingsan.

   Sekali lihat saja Tirta yakin kalau gadis itu terkena pukulan lelaki aneh bertampang menyeramkan ini.

   Bi-la gadis itu tak segera diobati, bisa dipastikan akan tewas mengerikan.

   "Celaka kalau begini! Rupanya selagi aku memburu ayam dan burung hutan untuk dipanggang, Iblis Kubur muncul dan mencelakakan Andini! Hm.. Mayat yang telah dihidupkan kembali oleh Dewi Karang Sa-mudera ini tak bisa dibuat main-main. Keparat! Seperti yang dikatakan Manusia Pemarah, jalan satu-satunya memang harus mencari Dewi Karang Samudera yang memiliki Kitab Pemanggil Mayat! Dengan demikian, se-pak terjang manusia celaka yang mempunyai dendam pada Ki Sampurno Pamungkas ini bisa segera dihenti-kan!"

   Gumam Rajawali Emas.

   "Orraaangg muudaa.... Kaauu telaaahh laancaang beeraani uumbbar oomonggan paadaa Ibbliss Ku-buur! Beerrarrtiii kaau caarrii maattii!"

   Desis orang aneh berjuluk Iblis Kubur. Suaranya serak, dingin, dan dalam. (Untuk jelasnya tentang Iblis Kubur, baca serial Rajawali Emas dalam episode.

   "Sumpah Iblis Kubur"). Sebelumnya, Tirta alias si Rajawali Emas memang pernah bertemu Iblis Kubur. Manusia yang telah men-jadi mayat ini dibangkitkan kembali oleh Dewi Karang Samudera. Dulu, Iblis Kubur pernah memiliki dendam pada Ki Sampurno Pamungkas atau Manusia Agung Setengah Dewa yang telah membuatnya terkubur selama seratus tahun. Dan ketika dibangkitkan kembali oleh Dewi Ka-rang Samudera, Iblis Kubur pernah dibohongi Tirta kalau Manusia Agung Setengah Dewa berada di Gunung Tengger. Itu dilakukan Tirta semata untuk menyela-matkan Ayu Wulan, gadis manis murid Manusia Pema-rah. Jangankan untuk mengetahui keberadaan Ki Sampurno Pamungkas. Untuk mengenal saja tidak. Pemuda tampan ini banyak tahu nama itu dari Raja Lihai Langit Bumi yang juga termasuk salah seorang gurunya. Dan sekarang, tak disangka akan bertemu kembali dengan Iblis Kubur yang telah membuat Andi-ni pingsan.

   "Aku sudah tabu kehebatan manusia ini,"

   Kata batin si Rajawali Emas dengan wajah tegang.

   "Raja Lihai Langit Bumi guruku memang menyuruh untuk menghentikan sepak terjang manusia sialan ini. Apa yang harus kulakukan? Jalan satu-satunya memang me-nyerang. Yah, Pedang Batu Bintang akan kuperguna-kan sekarang juga!"

   Sepasang mata kelabu mayat hidup ini menatap Tirta tanpa kedip.

   Orang aneh yang berbaju hitam itu mendadak saja menggerakkan tangan kanannya.

   Srang! Kratakkkk! Seketika rantai besar yang mengikat tangan kanan dan kiri Iblis Kubur bergerak.

   Di kedua kakinya yang penuh bulu pun terdapat rantai panjang dan besar.

   "Oraangg muddaa.... Kaauu beeraanni meembo-hoongii Iibliss Kuuburr... beerrartti meencaarrii maa-tii!"

   Geram Iblis Kubur.

   Begitu habis kata-katanya yang serak, Iblis Kubur mengebutkan tangan kirinya.

   Wusss! Rantai panjang langsung menderu ke arah Tirta, diiringi angin deras serta suara menggidikkan.

   Untung saja si Rajawali Emas bertindak sigap, dengan membuang tubuhnya ke samping.

   Sementara itu tak jauh dari tempat pertarungan, sepasang mata penuh kelicikan memperhatikan jalan-nya pertarungan dari balik semak.

   Dengan mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya, kehadiran sosok di balik semak sama sekali tak diketahui.

   "Julukan si Rajawali Emas benar-benar bukan pepesan kosong. Pa-dahal, baru beberapa bulan terdengar. Namun sepak terjangnya sudah menggegerkan. Baiknya, kulihat saja dulu kehebatannya. Hmmm.... Melihat ciri pedang di punggungnya, aku yakin pasti itu Pedang Batu Bin-tang. Meskipun aku tak ingin memilikinya karena den-damku lebih berkarat pada Raja Lihai Langit Bumi. Tetapi tak ada salahnya bila aku merebutnya juga,"

   Guman sosok di balik semak, yang ternyata seorang wani-ta berpakaian hijau lumut.

   Sementara itu Iblis Kubur terus melancarkan se-rangan dahsyat.

   Setiap kali tangannya bergerak selalu muncul angin dahsyat.

   Sedangkan rantai besi pan-jangnya terus mengancam keselamatan si Rajawali Emas.

   Berulang kali Tirta terhenyak mendapat serangan bergelombang dan sangat aneh itu.

   Namun dengan il-mu meringankan tubuh yang dibarengi jurus meng-hindar 'Rajawali Putar Bumi', pemuda dari Gunung Rajawali itu selalu bisa menghindar dari setiap serangan.

   Lembah yang dipenuhi semak belukar dalam waktu singkat berubah menjadi tanah lapang, terpapas habis oleh sambaran pukulan Iblis Kubur yang salah sasaran.

   "Benar-benar celaka! Bila Iblis Kubur terus-menerus menyerang, tentu aku akan celaka. Tetapi, bagaimana bila serangannya dialihkan pada Andini yang pingsan? Bisa berabe urusan!"

   Gumam Tirta, seraya meraba punggungnya.

   Srak! Terdengar suara pedang ditarik dari warangka.

   Me-rasa sulit mengatasi rangkaian serangan Iblis Kubur yang mengerikan, si Rajawali Emas telah mencabut Pedang Batu Bintang.

   Begitu Pedang Batu Bintang berada di luar wa-rangka nya, di ujung tangan Tirta tersaput sinar keemasan yang begitu cemerlang.

   Pedang di hulu bagian bawah terdapat ukiran berbentuk bintang.

   Dan di ka-nan kiri bagian hulu terdapat dua kepala burung rajawali saling berlawanan arah.

   Tapi, ternyata Iblis Kubur tak gentar dengan pe-dang di tangan Tirta.

   Kalau sejak tadi menyerang tan-pa bergeser dari tempatnya kali ini dia bergerak begitu cepat.

   Di tempatnya, Tirta hanya melihat satu bayangan hitam ke arahnya.

   Kemudian menyusul suara berge-mentang ke arahnya yang dikawal angin seperti badai menghantam.

   Namun, si pemuda agaknya sudah siap.

   Segera tangan yang memegang Pedang Batu Bintang digerak-kan.

   Sraaat! Sinar keemasan terang berasal dari Pedang Bate Bintang memendar, masuk dalam gempuran Iblis Ku-bur.

   Menakjubkan sekaligus mengherankan! Hampa-ran angin yang meningkat dahsyat dan mengarah pada si Rajawali Emas langsung pupus begitu sinar keema-san yang melesat tadi masuk.

   Bukan hanya itu.

   Begitu dua buah rantai besi pan-jang bagian kiri menderu kembali siap menghantam, tubuh si Rajawali Emas merendah.

   Sementara Pedang Batu Bintang bergerak ke arah rantai bagian kanan.

   Trang! Plaas! Rantai besi panjang di tangan kiri Iblis Kubur ber-hasil dielakkan.

   Sementara rantai di bagian kanan terpapas Pedang Batu Bintang hingga putus di bagian ujung.

   Pentalannya melesat jauh, entah ke mana.

   Meskipun mampu membuat gebrakan menakjub-kan melalui Pedang Batu Bintang, namun tak urung tubuh Tirta terdorong ke depan.

   Itu diakibatkan tenaga raksasa yang dimiliki si Iblis Kubur.

   Cepat pemuda tampan berambut gondrong dengan ikat kepala berwarna keemasan itu menguasai keseim-bangan.

   Dia memang mampu melakukannya.

   Tetapi saat tubuhnya tegak terlihat agak goyah.

   Seketika tenaga dalamnya dialirkan agar tidak sampai jatuh.

   Kendati demikian napasnya terasa sesak sekali.

   "Luar biasa! Jangankan untuk mengalahkannya. Menandinginya saja aku sudah dibuat pontang-panting,"

   Desis batin Tirta sambil menatap Iblis Kubur yang berdiri berjarak delapan tombak.

   "Apa yang harus kulakukan sekarang? Seharusnya manusia itu bisa mundur begitu serangannya tadi berbenturan dengan Pedang Batu Bintang. Tetapi, dia malah tetap tegak berdiri. Hmm... sudah seharusnya sekarang kupadu-kan Pedang Batu Bintang dengan tenaga surya dalam tubuhku."

   Tirta segera menarik napas.

   Tenaga surya yang berpusat dari pusarnya dikerahkan.

   Tenaga yang tak sengaja dimilikinya akibat menghisap sari rumput sak-ti 'Selaksa Surya'.

   Bila saja Raja Lihai Langit Bumi tak mengajarkan cara mengendalikan tenaga itu.

   niscaya sekujur tubuhnya akan hancur karena betotan tenaga surya yang tak terkendali.

   (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode.

   "Raja Lihai Langit Bumi").

   "Oraaang Muudaaa.... Kauu laancaang beerbbuaat hinnaa paadaa Iibliss Kuubur! Berrarttii maaut siaap jeelaang diirimuu!"

   Di seberang, Iblis Kubur menggereng tinggi, pan-jang, dan serak.

   "Wah! Itu melulu yang kau katakan! Jangan-jangan kau hanya hafal kata-kata itu saja!"

   Seloroh Tirta, pa-dahal hatinya sudah kebat-kebit. Terutama melihat keadaan Andini yang mencemaskannya. Mendadak saja. mulut Iblis Kubur terbuka lebar. Tirta sampai melongo melihatnya.

   "Edan! Aku yakin kodok budukpun akan menyang-ka kalau mulut itu sarangnya! Tetapi... Apa yang akan dilakukannya dengan membuka mulut seperti itu? Apakah...."

   Kata-kata batin Tirta terputus bagai direnggut se-tan.

   ketika asap hitam bergulung dan meluncur ke arahnya.

   Bagai siap mencengkeram dari dua arah.

   Wrrrr! Wusssh! "Setan alas! Aku merasakan panas yang sangat kuat sekali! Hhh! Ingin kulihat, apakah tenaga surya dalam tubuhku mampu menandingi panas sialan itu! Dan..

   asap hitam itu bagai menghalangi pandanganku! Persetan! Aku tak ingin mampus!"

   Segera tubuh pemuda tampan dari Gunung Raja-wali itu mengegos ke samping kanan.

   Lalu dengan ju-rus pedang yang diajarkan Bidadari Hati Kejam melalui pengebutnya, pedangnya segera digerakkan.

   Wuttt...! Sinar keemasan menebar dahsyat, makin mene-rangi lembah yang memang sudah terang.

   Sinar itu membentuk pusaran, langsung menerobos ke dalam asap hitam yang bergulung-gulung.

   Wusss! Asap hitam itu bagai tercacah dan pecah berham-buran saat sinar keemasan yang berasal dari Pedang Batu Bintang menerobos kemudian tenaga surya yang sudah dilepaskan Tirta langsung memukul putus hawa panas yang berasal dari serangan Iblis Kubur! Namun meskipun demikian, mendadak....

   Des! Satu tenaga dahsyat menghantam perut si pemu-da.

   Saat itu juga, Tirta terlempar tiga tombak ke belakang dengan perut mulas bukan main.

   Dalam keadaan seperti itu, tubuhnya dibuang ke kiri, ketika satu sambaran berkilat tertimpa cahaya matahari mengarah ke-padanya.

   Rupanya.

   selagi Tirta berusaha menahan panas oleh gempuran asap yang menutup pandangan ma-tanya, Iblis Kubur telah melepaskan satu tendangan dahsyat yang telak mendarat di perut.

   Dan bila saja saat itu tak mengalirkan tenaga surya tak mustahil isi perutnya akan menyeruak keluar.

   Dan nyawanya pun melayang ke akhirat.

   Kendati begitu, tetap saja si pemuda tampan itu memegangi perutnya yang terasa se-perti diaduk-aduk.

   "Benar-benar edan! Apa yang harus kulakukan se-karang?"

   Makinya tak karuan.

   "Apakah harus kupanggil Bwana untuk membantu? Tidak! Waktunya sangat tipis. Burung rajawali raksasa itu baru saja kusem-buhkan dari luka akibat pertarungannya dengan Iblis Kubur. Bisa berbahaya bila kuminta bantuannya. Hmmm... lebih baik, kuselamatkan Andini dulu karena bisa berbahaya bila tak segera ditolong. Aku yakin, gadis itu telah terkena pukulan maut Iblis Kubur seperti yang dialami Ayu Wulan"

   Namun untuk melakukan maksud itu bukanlah satu hal yang mudah bagi si Rajawali Emas.

   Karena setiap kali Tirta mencoba menerobos untuk menyela-matkan Andini, Iblis Kubur bukan hanya menghalangi niatnya.

   Tetapi, juga mengirim serangan, Makin tegang Tirta sekarang.

   Dengan penuh kete-gangan, pemuda itu nekat menerjang.

   Setiap kali Iblis Kubur melancarkan serangan, si Rajawali Emas meng-hantamnya dengan Pedang Batu Bintang-nya.

   Dan anehnya, ketika ujung pedang itu berhasil menggores tangan kanan Iblis Kubur, yang terdengar hanya jerit tertahan sekilas.

   Dengan tatapan dingin tanpa berkedip, Iblis Kubur mengusap luka di tangan kanannya dengan tangan ki-ri.

   Saat itu juga luka yang menganga lebar namun tak berdarah, mendadak tertutup! "Gila!"

   Rutuk si Rajawali Emas, terkesiap. Matanya lebih melebar.

   "Peduli langit dan bumi! Aku harus nekat! Terus menerjang bila tak mau Andini tewas!"

   Tetapi usaha Tirta benar-benar gagal.

   Iblis Kubur terus menghalangi keinginannya dengan serangan-serangan dahsyat.

   Desir angin berhawa panas dan dingin meluncur bergantian.

   Belum lagi rantai besi panjang yang siap cabut nyawa Tirta.

   Bahkan dalam tiga gebrak berikutnya, kembali perut si pemuda terhantam tendangan Ib-lis Kubur sebanyak dua kali Dess! Desss! Tubuh Tirta benar-benar makin goyah sekarang.

   Kendati demikian, kekeras kepalanya makin terbukti sekarang.

   Tanpa mempedulikan betapa hebatnya serangan lawan dia bertekad untuk menyabung nyawa.

   "Heaaa...!"

   Disertai teriakan membelah angkasa, si Rajawali Emas meluruk deras, menyerang Iblis Kubur.

   Gempu-ran-gempurannya kali ini benar-benar luar biasa men-gerikan.

   Namun, Iblis Kubur tetap berdiri kukuh.

   Bahkan setiap serangan balasannya lebih mengerikan dengan dua buah rantai yang bagai mengurung si Rajawali Emas.

   Sulit bagi Tirta untuk melepaskan diri dari perangkap mengerikan itu.

   Namun mendadak....

   *** Bab Plas! Satu sosok bayangan mendadak berkelebat cepat langsung menyambar si Rajawali Emas yang tengah terkurung serangan Iblis Kubur.

   Blammm! Hantaman rantai bertenaga dalam tinggi dari ma-nusia mayat yang telah dibangkitkan kembali itu, hanya menemui tempat kosong.

   Tanah berumput kon-tan beterbangan.

   Bahkan membentuk kubangan tiga buah.

   Masing-masing sedalam setengah tombak.

   Saat itu, si Rajawali Emas merasakan tubuhnya melayang, lalu hinggap sepuluh tombak ke samping kanan.

   Ketika melihat siapa sosok yang barusan meno-longnya....

   "Guru...."

   Sosok yang baru datang ternyata seorang perem-puan tua berbaju batik dan berkain kusam. Saat itu dia sedang menatap Iblis Kubur tanpa berkedip. Kepa-lanya lalu menoleh dengan mata yang kelabu melotot gusar mendapati seruan Tirta.

   "Jangan banyak omong, Bocah Kebluk! Kau sela-matkan gadis itu! Biar aku menahan manusia keparat ini!"

   Omel si perempuan tua berkain kusam.

   Tirta hanya mengangguk.

   Segera tenaga dalamnya dialirkan lagi guna memulihkan keseimbangannya.

   Sementara si nenek berkonde yang memiliki senjata pengebut itu melompat ke depan.

   Berdiri tiga tombak di hadapan Iblis Kubur yang berdiri tegak dengan ge-rengan liar.

   Tanpa berkedip, si nenek berkonde yang tak lain Bidadari Hati Kejam menatap orang yang berdiri di hadapannya.

   "Setan alas! Apa yang dikatakan Raja Lihai Langit Bumi tentang hadirnya manusia keparat yang sudah mampus ini ternyata benar!"

   Desis si nenek tanpa bersuara. Wajahnya agak tegang.

   "Sejak pertemuanku yang terakhir dengannya di saat mengajari Tirta ilmu pengebut, sudah kucoba untuk mencari manusia keparat ini. Tetapi baru kali ini kutemukan, meskipun sepak terjang sialannya telah kudengar pula. Kalau tak kutemukan sekarang, nasib muridku yang kebluk itu akan jadi tempe bonyok!"

   Sementara itu, Iblis Kubur menatap angker. Ma-tanya tajam menatap si nenek. Tangan kanannya ber-gerak-gerak, hingga rantai besi yang melilit dipergelangan tangannya berbunyi.

   "Peerremmpuaan jeellekk! Maauu aappa kaau menghaallanngi keeiinginnankuu?! Biila kaau tahhuu dii maanna Saammpuurnoo Paamungkasss bereradda, kkau aakaann ammmann!"

   "Keparat! Ki Sampurno Pamungkas. Raja Lihai Langit Bumi brengsek! Mengapa soal ini tak dikatakan kepadaku?"

   Maki Bidadari Hati Kejam dalam hati dengan mulut berbentuk kerucut. Si nenek tak mau kehi-langan nyali. Dengan tangan bertolak pinggang, dia siap mendamprat Iblis Kubur.

   "Manusia laknat! Siapa yang bikin sumpahmu jadi terbukti, hah?! Ingin kuhancurkan manusia keparat itu juga!"

   Sebagai jawaban dari kemarahan nenek berkonde, Iblis Kubur membuka mulutnya lebar-lebar.

   Seperti yang dialami si Rajawali Emas tadi, saat itu pula asap hitam bergulung melesat dahsyat ke arah Bidadari Hati Kejam hingga menghalangi pandangan.

   Bidadari Hati Kejam memaki tak karuan.

   Lalu den-gan cepat menggerakkan kedua tangannya ke depan.

   Wusss! Begitu angin sedahsyat topan di lautan melesat ke depan, gumpalan asap hitam yang dilepaskan Iblis Kubur buyar.

   Biasanya, bila si nenek berkonde mele-paskan jurusnya akan langsung menghantam lawan.

   Namun yang terjadi, justru membuat kedua mata ke-labu Bidadari Hati Kejam melotot lebar.

   Karena, ter-nyata Iblis Kubur masih tegak berdiri tanpa kurang suatu apa.

   Bahkan pakaian hitam compang-camping yang melekat di tubuh Iblis Kubur hanya berkibaran saja.

   Bidadari Hati Kejam terjingkat mendapati kekuatan lawannya.

   "Keparat! Apa yang harus ku...."

   "Errhh...!"

   Kata-kata Bidadari Hati Kejam terputus begitu saja seperti dibetot setan saat Iblis Kubur sudah mengge-rakkan kedua tangannya dan membuka mulutnya le-bar-lebar dengan gerengan menggetarkan.

   Suara dahsyat berkesiur nyaring melesat ke arah Bidadari Hati Kejam disertai meluncurnya dua buah rantai besi panjang.

   Tak sampai di sana serangan Iblis Kubur.

   Pada saat yang sama, asap hitam yang mengerikan tadi pun kembali, bergulung-gulung dan siap untuk menghabisi nyawa perempuan tua itu.

   Bidadari Hati Kejam segera membuang tubuh ber-kali-kali diiringi sumpah serapahnya.

   Dan sebisanya sambil bergulingan tangannya menghentak untuk me-lepas pukulan jarak jauh.

   Namun yang dilakukannya tak menghasilkan apa-apa, karena lawannya mampu menghindari sambil terus mengebutkan rantainya.

   Bahkan dalam satu kesempatan....

   Buk! "Aaakb..!"

   Tubuh Bidadari Hati Kejam kontan terlempar, ter-sambar rantai besi panjang yang mengikat pergelangan tangan Iblis Kubur.

   Si nenek kontan memekik tertahan.

   Dengan segera tenaga dalamnya dialirkan begitu hawa panas merambati tubuhnya.

   Pada saat yang demikian, Iblis Kubur kembali me-lesat dengan rantai siap dikebutkan.

   "Ghrr...!"

   "Heaaa...!"

   Tirta yang melihat keadaan mencemaskan yang di-alami si nenek berkonde segera mengempos tubuhnya.

   Pedang Batu Bintang yang masih di tangannya dige-rakkan ke depan, menerbitkan sinar keemasan yang sangat terang.

   Langsung dipotongnya gerakan rantai besi panjang yang datang beruntun ke arah Bidadari Hati Kejam.

   Trang! Trang! Plas! Rantai besi panjang di tangan kiri Iblis Kubur kon-tan putus terhantam Pedang Batu Bintang.

   Bersamaan dengan itu, Tirta melesat masuk, sambil menggerak-kan Pedang Batu Bintang.

   Tetapi keadaan itu justru menyulitkannya sendiri.

   Karena kaki kanan Iblis Ku-bur sudah lebih cepat bergerak ke arahnya.

   Tak mau terhantam kaki sekeras batu gunung itu, Tirta melenting ke kiri.

   Saat kembali berdiri tegak dan siap melepaskan serangan lagi.

   "Bocah kebluk! Jangan bertindak bodoh! Sela-matkan gadis yang pingsan itu! Dalam pandangan ma-taku, nyawanya sudah siap keluar dari jasadnya!"

   Bentak si nenek, sewot.

   Tirta tersengat begitu mendengar bentakan gu-runya.

   Ingatannya kembali pada Andini.

   Segera niat-nya diurungkan untuk menyerang Iblis Kubur lagi Dengan pencalan satu kaki, Tirta melompat ke de-pan.

   Dan tubuhnya langsung bergulingan ke arah An-dini ketika Iblis Kubur mencoba menghalangi maksud-nya dengan melepaskan serangan.

   Wusss! "Hup!"

   Begitu berdiri, tubuh Andini yang pingsan sudah berada di bopongan si Rajawali Emas.

   Sesaat hawa panas yang menjalari tubuh si gadis begitu menyengat kulit Tirta.

   Segera tenaga surya dialirkan dari pusarnya.

   Sehingga, panas tubuh Andini yang bisa memba-kar tubuhnya terhalang untuk sesaat.

   Kepala Tirta masih sempat menoleh ke belakang.

   Saat itu, Bidadari Hati Kejam sudah melepaskan se-rangan ke arah Iblis Kubur yang akan menghalangi maksud Tirta.

   Dan di saat si pemuda meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang aman guna menyela-matkan nyawa Andini, terdengar seruan bernada ter-kejut dari mulut Bidadari Hati Kejam.

   Tapi Tirta terus berkelebat cepat kalau tak ingin nyawa Andini lenyap.

   *** "Celaka! Penderitaan gadis ini lebih bahaya daripa-da yang dialami Ayu Wulan! Aku harus cepat mengo-batinya."

   Terburu-buru si Rajawali Emas menyarungkan kembali Pedang Batu Bintang yang masih dipegang ke warangka.

   Segera pemuda ini duduk bersila di hada-pan Andini yang terbujur dengan tubuh yang sekali-sekali terjingkat.

   Tirta cepat mengalirkan tenaga surya ke kedua tangannya.

   Kejap kemudian, sekujur tubuhnya seperti dilingkupi asap putih, pertanda tengah mengeluarkan tenaga surya tingkat tinggi.

   Perlahan-lahan si Rajawali Emas meletakkan ke-dua tangannya pada kedua tangan Andini.

   Dan seketi-ka hawa panas menyentak begitu Tirta memegang ke-dua tangan gadis dari Pesanggrahan Mestika itu.

   Se-saat si pemuda melengak karena panas tadi meluncur seperti ribuan jarum yang masuk ke tubuhnya.

   Namun sekuat tenaga ditahannya rasa nyeri yang cukup me-nyiksa itu.

   Dibulatkan tekadnya, kalau Andini harus bisa diselamatkan.

   Setelah beberapa saat berlalu, perlahan-lahan Tirta merasakan panas yang masuk ke tubuhnya semakin melemah.

   Tiga kejapan kemudian, rasa panas itu hi-lang sama sekali Namun keringat sebesar biji jagung masih mengalir di sekujur tubuh gadis itu.

   "Hmmm...... Seharusnya keringatnya sudah ber-henti sekarang. Berarti aku harus menemukan pusat lukanya yang paling berbahaya,"

   Gumam Tirta. Namun sebelum si Rajawali Emas melakukan mak-sudnya, tubuh Andini tampak bergerak mendadak. Bukan berarti si gadis sudah siuman. Melainkan kare-na satu sentakan kuat yang mendadak saja muncul dari dalam tubuhnya.

   "Edan! Jelas, ada sumber lukanya kalau begitu. Apakah...,oh?!"

   Sepasang mata Tirta melebar.

   Tetapi kejap kemu-dian seperti ditarik paksa, kepalanya menoleh ke ka-nan dengan dada bergetar.

   Matanya dipejamkan rapat-rapat saat ini Tirta merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam tubuhnya.

   Sesuatu yang pernah dirasakan saat merangkul gadis itu, ketika memberikan ketenan-gan untuk mengusir kecemasan Andini tentang kedua saudara seperguruannya yang menghilang.

   Tuhan....

   Dada itu...

   oh, tidak...! Aku tidak boleh berpikir kotor.

   Dada itu..., sialan! Kenapa bayangan itu tidak hilang?"

   Maki si pemuda, dalam hati "Tetapi... bi-la tak segera kutolong bisa-bisa gadis ini, celaka. Ah! Mengapa luka itu berada di dadanya? Mengapa harus begini? Dada itu..., gila! Pikiran edan! Aku harus bisa menahan diri!"

   Kebimbangan makin merasuki pemuda dari Gu-nung Rajawali itu. Gejolak darah mudanya mendadak muncul begitu saja. Mengikat dan membuatnya bagai berada dalam ayunan keraguan yang makin melanda. Sesaat Tirta menarik napas dalam-dalam.

   "Biar bagaimanapun juga, aku harus obati gadis ini...."

   Setelah membulatkan hati, masih dengan kedua mata terpejam, Tirta kembali mengalirkan tenaga surya pada kedua telapak tangannya.

   Dan perlahan-lahan dengan agak gemetar, si pemuda menurunkan kedua tangannya.

   Pelan sekali kedua telapak tangan-nya mendarat di payudara empuk yang dimiliki Andini.

   Kalau tadi keringat keluar perasaan tegang dan cemas, maka sekarang justru keringat dingin yang ke-luar disebabkan rasa tak enak dan malu pada dalam diri si pemuda.

   Dikuatkannya seluruh perasaannya.

   Ditindihnya pikiran kotor dalam benaknya.

   Setelah menarik napas berkali-kali, Tirta merasa dirinya mulai tenang.

   Dan mulailah tenaga surya dialirkan pada sepasang payudara si gadis yang masing-masing terda-pat lima buah bintik hitam akibat pukulan Iblis Kubur.

   Cukup lama Tirta melakukannya sampai kemudian mengangkat kedua tangannya dari tempat yang sem-pat menggetarkan sukmanya.

   Masih dengan kedua mata terpejam, ditutupnya kembali pakaian Andini yang terbuka.

   Kemudian barulah dihembuskannya na-pas panjang-panjang.

   Terbuang sebagian gejolak yang tiba-tiba meraja.

   "Busyet! Lebih baik bertarung mati-matian dengan si Iblis Kubur daripada menghadapi yang beginian,"

   Rutuk batinnya setengah gemas. Tetapi kejap kemudian, justru Tirta melengak "Am-puunn! Kalau tidak kulihat hasil pengobatanku baru-san, bagaimana aku tahu gadis ini bisa disembuhkan?! Tetapi..."

   Kembali Tirta melengak dengan kepala menegak Tak ada jalan lain memang selain membuka kembali pakaian si gadis.

   Kali ini, degup jantung si Rajawali Emas lebih bergemuruh dahsyat daripada yang pertama.

   Karena sekarang kedua matanya harus dibuka.

   Begitu dilihat, buru-buru ditutupnya kembali pakaian si gadis di bagian dada.

   Memang hanya sekilas.

   Tetapi sudah cukup bagi Tirta untuk melihat kalau lima buah titik hitam yang terdapat di kedua payudara Andini telah menghilang.

   "Edan! Seperti habis melakukan perjalanan yang sangat jauh,"

   Makinya tak karuan. Tetapi sejurus kemudian bibirnya tersenyum-senyum sendiri.

   "Wah.... Bagaimana kalau gadis ceriwis ini tahu kalau aku su-dah melihat bukit kembarnya? Pasti bisa dikemplang! Untung gadis itu tidak tahu. Hmmmmm... biarlah An-dini kutinggalkan dulu di sini. Tempat ini agak aman nampaknya. Baiknya, kulihat keadaan Guru."

   Ketika Tirta tiba di tempat itu, Bidadari Hati Kejam dengan senjata pengebutnya sedang menyerang habis-habisan Iblis Kubur.

   Setiap kali senjata pengebutnya digerakkan, angin raksasa yang mampu menumbangkan sepuluh buah pohon sekaligus meluruk deras.

   Dan setiap kali pula tanah berhamburan dengan se-mak belukar yang makin banyak terpapas.

   Namun serangan si perempuan tua itu tak banyak gunanya untuk menghadapi kehebatan Iblis Kubur.

   Karena manusia mayat itu terus beranjak dengan langkah kaku dan suara rantai besi panjang yang menggema.

   Begitu Iblis Kubur membuka serangan, maka ju-stru kali ini Bidadari Hati Kejam yang dibuat pontang-pan-ting.

   Kendati demikian, si perempuan tua masih mampu menghindar walau dengan susah payah.

   Tirta yang melihat Bidadari Hati Kejam mulai ter-desak segera melompat siap membantu.

   Tenaga surya telah dialirkan pada kedua tangannya, dan siap dile-paskan ke arah Iblis Kubur.

   Namun....

   "Bocah kebluk! Mau apa kau ke sini, hah?!"

   Seru Bidadari Hati Kejam dengan suara menggelegar sambil berputar cepat, menghindari serangan Iblis Kubur.

   "Biar kita hadapi bersama manusia keparat itu, Guru!"

   Seru Tirta.

   "Bodoh! Tadi saat kau membawa gadis itu, ada bayangan hijau mengikutimu! Aku yakin manusia itu bukan orang baik-baik! Aku yakin dia sudah lama be-rada di sini! Mungkin di saat kau tengah bertarung dengan manusia keparat ini, manusia itu pasti sudah berada di sini!"

   Memang, pada saat Tirta meninggalkan Bidadari Hati Kejam untuk mengobati Andini tadi, si perempuan tua sempat melihat kelebatan bayangan hijau lumut yang bergerak cepat.

   Arahnya, jelas mengikuti Tirta, Rupanya, itulah arti seruan keras Bidadari Hati Kejam yang tadi sempat tertangkap telinga si Rajawali Emas.

   Terkesiap Tirta mendapati peringatan si nenek.

   Se-gera tubuhnya berbalik untuk kembali ke tempat An-dini.

   Tetapi kejap kemudian, tubuhnya diputar kemba-li.

   "Kau sendiri bagaimana, Guru?"

   Tanyanya.

   "Banyak omong! Aku akan pancing manusia sialan ini menjauh dari sini! Cepat tengok keadaan gadis itu!"

   Seru Bidadari Hati Kejam sambil mencelat ke belakang menghindari gempuran Iblis Kubur.

   Mendapati peringatan bernada memerintah itu, Tir-ta segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Begitu cepatnya hingga hanya dalam lima tarikan napas, ja-rak yang sejauh seratus tombak telah dilaluinya.

   Dan dia kini telah tiba di tempat Andini diletakkan tadi.

   Apa yang dikatakan Bidadari Hati Kejam memang benar.

   Karena Tirta melihat seorang wanita muda ber-paras cantik luar biasa.

   Bajunya yang hijau lumut tampak tipis, hingga menunjukkan bentuk tubuhnya yang indah.

   Dia sedang berdiri di hadapan Andini yang terbujur pingsan.

   Rambutnya seolah dihiasi pernik keperakan.

   Agak menyala.

   Sepasang mata gadis berbaju hijau itu tampak jer-nih dengan bulu mata lentik melengkung.

   Dihiasi pula dengan sepasang alis tebal yang indah dan agak ber-tautan.

   Dan sinar mata itu mencorong tajam ke arah Tirta.

   Tetapi bibir yang tipis memerah basah tersungging sebuah senyuman aneh.

   Dengan gerakan gemulai rambutnya yang menyala bagai dihiasi pernik perak diusap.

   "Rajawali Emas.... Sebuah julukan yang benar-benar menggetarkan. Dan sayangnya, kau akan jatuh ke kakiku, Pemuda tampan...,"

   Desah si gadis. *** Bab Tirta sendiri menatap tak berkedip pada perem-puan yang berdiri di hadapannya.

   "Hmmm.... Siapakah perempuan ini? Parasnya be-gitu cantik. Rambutnya aneh bagai menyala seperti perak. Tetapi... sepasang matanya memancarkan kelici-kan menggidikkan. Bila melihat ciri-cirinya, aku jadi teringat cerita Manusia Pemarah tentang perempuan yang memiliki Kitab Pemanggil Mayat. Apakah..., pe-rempuan ini yang dimaksud si Manusia Pemarah den-gan julukan Dewi Karang Samudera? Kalau memang betul berarti sejak kedatangan Iblis Kubur tadi, dia sudah ada. Hmmm.,., aku tak boleh salah langkah. Nya-wa Andini bagai pindah dari mulut buaya ke mulut ha-rimau. Karena, wajah perempuan jelas tak bersaha-bat,"

   Gumam Tirta, nyaris tanpa suara. Si Rajawali Emas menatap tak berkedip pada sosok padat di depannya.

   "Nona.... Aku hendak mengambil tubuh sahabatku itu. Dan kuharap, segera menyingkir,"

   Ujarnya, kalem. Si wanita tersenyum.

   "Hebat. Walaupun masih muda, cara bicaranya begitu tenang dan wibawa,"

   Gumam perempuan baju hijau tipis ini, memuji. Mata wanita ini sejenak melirik Andini yang masih tergeletak di tanah. Lalu tatapannya beralih pada Tirta.

   "Rajawali Emas.... Mengapa aku harus menyingkir dari tempatku ini? Bukankah kau hendak menatap tubuhku lebih jelas? Mengapa tak segera mendekat? De-wi Karang Samudera bersedia memberikan kenikmatan pada pemuda-pemuda tampan macam kau ini,"

   Oceh si wanita yang ternyata memang Dewi Karang Samudera. Tirta cuma menyungging senyum tanpa makna.

   "Benar dugaanku! Perempuan inilah yang berjuluk Dewi Karang Samudera, seperti yang dimaksud Manusia Pemarah. Menurut orang tua yang suka marah-marah itu, Iblis Kubur dibangkitkan oleh Dewi Karang Samudera dengan petunjuk Kitab Pemanggil Mayat Tentunya kitab itu ada padanya. Kesempatan bagiku sebenarnya untuk mendapatkan kitab yang telah me-nebarkan petaka. Tetapi untuk saat ini, nyawa Andini lebih mahal harganya daripada kitab celaka itu. Hmmm.... Perempuan yang tergolong mata lelakian! Baik! Aku akan ikuti permainannya."

   Kalau tadi sikapnya agak berwibawa, kali ini sikap Tirta sedikit santai.

   Dicabutnya sebatang rumput di dekat kaki kanannya.

   Lalu dihisap-hisap rumput yang baru dicabutnya itu.

   Tidak perlu mendekat, aku juga sudah melihat tu-buhmu yang indah itu.

   Tetapi ya...

   menurut pandan-ganku jelas kalau tubuhmu sudah banyak dijamah tangan nakal."

   Mata Dewi Karang Samudera kontan mendelik "Eit! Tidak usah mendelik seperti itu? Bukankah kata-kataku benar? Maka sebaiknya. jangan tawarkan tu-buh bagus berbau busuk itu kepadaku! Hanya satu jawabannya. Pasti akan sia-sia!"

   Wajah Dewi Karang Samudera kontan memerah. Namun dia berusaha menindih rasa gusar. Bibirnya te-tap menyunggingkan senyum aneh.

   "Rajawali Emas.... Aku bukanlah orang rakus yang selalu menginginkan milik orang lain. Tetapi, bila kau menginginkan gadis ini.., aku rela memberikan kepadamu. Asalkan, kau tukar dengan pedang di pung-gungmu,"

   Sahut Dewi Karang Samudera, tegas.

   "Brengsek! Keadaanku terjejal sempit. Aku tahu, dia bukan orang sembarangan. Tetapi urusan sudah ada di depan mata. Dan aku tak akan mundur walau selangkah. Persoalan perempuan itu yang memiliki Ki-tab Pemanggil Mayat untuk sementara biar kutang-guhkan dulu. Aku harus menyelamatkan Andini!"

   Tandas si Rajawali Emas dalam hati. Masih dengan menghisap-hisap rumput di bibir-nya, pemuda tampan dari Gunung Rajawali itu berkata lagi.

   "Kalau itu kau inginkan boleh saja. Sebuah cara yang sangat tepat sebenarnya. Tetapi, apakah kau ta-hu pedang di punggungku ini?"

   "Jelas siapa pun tahu pedang itu. Pedang Batu Bin-tang yang banyak diperebutkan orang!"

   Jawab Dewi Karang Samudera disertai geraman.

   "Tepat!"

   Tirta mengacungkan jempolnya. Padahal, dia sengaja membuang waktu sambil memikirkan cara yang tepat untuk mengakali perempuan di hadapan-nya ini Ternyata di balik otak ngeresmu, kau memiliki otak pintar juga. Nah, bagaimana cara penukarannya?"

   Perkataan demi perkataan Tirta yang diucapkan seenak perutnya saja membuat wajah perempuan ber-baju hijau lumut itu makin membesi.

   "Lemparkan pedang itu ke sini! Maka, kau dengan mudahnya akan mendapatkan gadis ini!"

   Serunya dengan menindih rasa geram yang makin berlipat ganda.

   Tirta nyengir, membuat Dewi Karang Samudera menggeram.

   Wanita ini memang tak mau memutuskan untuk segera menyerang si Rajawali Emas.

   Karena, dia harus mengikuti ke mana perginya Iblis Kubur yang dipancing menjauh oleh Bidadari Hati Kejam.

   Ada se-suatu yang dicemaskannya bila Iblis Kubur makin menjauh.

   "Wah.... Enak banget kasih jalan keluar. Apa kau pikir aku tidak punya otak? Bagaimana bila kau menyingkir dulu dari sini? Setelah aku mendapatkan ga-dis itu, kau sebaiknya meninggalkan tempat ini terlebih dulu. Soal Pedang Batu Bintang yang kau ingin-kan, kapan-kapan aku bisa mengirimkannya ke tem-pat tinggalmu. Usul yang bagus, bukan? Iya, nggak? Iya, nggak?"

   Mengkelap wajah Dewi Karang Samudera menden-gar ejekan si pemuda. Kedua telinganya memerah. Tangan kanannya mendadak diangkat. Maka terlihat cahaya putih bening melingkupinya. Tirta pun sampai terkesiap melihatnya.

   "Keparat! Bisa berabe kalau begini! Nampaknya pe-rempuan celaka itu sudah mempersiapkan sebuah pu-kulan! Dan jelas-jelas tidak bisa dianggap sembaran-gan. Hhh! Bila dia hendak menurunkan tangan pada Andini, aku akan menerjangnya,"

   Desis batin Tirta. Dan dengan sikap santainya si pemuda terus menghi-sap rumput di bibirnya. Yang diduga Tirta nampaknya akan jadi kenyataan.

   "Aku hanya memberi kesempatan dua kejapan mata! Serahkan Pedang Batu Bintang, atau gadis ini akan mati?"

   Ancam Dewi Karang Samudera, menggiriskan.

   "Kesempatan yang hanya kau berikan dua kejapan itu, juga tidak apa-apa. Aku tahan kok tidak berkedip selama satu minggu! Nahh! Jadi kau harus menunggu sampai dua minggu lamanya untuk memutuskan apa-kah aku harus menyerahkan Pedang Batu Bintang ini atau kau hendak membunuh gadis itu? Boleh! Boleh sekali!"

   "Keparaaattt!"

   Usai membentak dengan suara menggelegar, Dewi Karang Samudera segera menggerakkan tangan ka-nannya ke kepala Andini. Tirta yang sudah menduga cepat melompat ke mu-ka. Langsung dilepaskannya satu pukulan.

   "Boleh! Begini juga boleh!"

   Seru si pemuda.

   Wusss! Angin panas meluruk deras, langsung menahan pukulan Dewi Karang Samudera.

   Bbrrr...! Sejenak perempuan berbaju hijau tipis itu terhe-nyak.

   Tubuhnya mundur satu tombak ke belakang ke-tika pukulannya bagai ditahan tangan raksasa.

   Meski-pun demikian, tangannya segera diangkat.

   Dan....

   Wusss! Tadi, si Rajawali Emas memang sengaja melakukan gebrakan yang cukup mengejutkan.

   Rupanya, dia hen-dak mempergunakan kesempatan selagi perempuan baju hijau tipis terkesiap, untuk melesat menyambar tubuh Andini Tetapi Dewi Karang Samudera bukan orang semba-rangan.

   Wanita ini termasuk salah seorang dedengkot persilatan.

   Maka tak heran bila dalam keadaan terke-jut, masih sempat mengirimkan serangan.

   Sehingga, mau tak mau Tirta harus menghindar ke kiri.

   Tubuh-nya segera berputar dua kali sebelum hinggap di ta-nah.

   "Kunyuk! Rupanya dia tahu rencanaku!"

   Maki si pemuda jengkel.

   ,.

   Di seberang, Dewi Karang Samudera sudah mener-jang.

   Gerakannya nampak lambat sekali Namun di ba-lik semua itu, tersimpan sebuah tenaga maha dahsyat Dalam sekejap saja, Tirta sudah bisa menduga ka-lau lawan mencoba mengalihkan perhatiannya.

   Dia tak mau membuang waktu tatkala tangan kanan dan kiri Dewi Karang Samudera mengibas ke muka.

   Wrrr! Wusss! Sinar putih bening menerjang dahsyat didahului angin bergemuruh.

   Sejenak tempat yang sudah mulai diremangi oleh senja jadi terang.

   "Aaakhh...!"

   Tirta memekik tertahan.

   Karena pada jarak dua tombak, dia sudah merasakan panas yang sangat ting-gi.

   Namun si pemuda yang sebenarnya sangat jengkel tak mau bertindak main-main.

   Tenaga surya sudah di-alirkan pada kedua tangannya.

   Lalu....

   Wusss! Tubuh Rajawali Emas pun melesat ke muka.

   Se-pintas gerakannya lebih cepat, karena Dewi Karang Samudera memang seperti sengaja memperlambat ge-rakannya.

   Namun di balik gerakan si wanita, tersim-pan sebuah perangkap yang bisa melengahkan lawan.

   Karena, gerakan itu akan berubah menjadi cepat bila dikehendaki pemiliknya.

   Yang terjadi pun demikian.

   Blaarrr...! Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi yang sa-ma-sama mengandung hawa panas luar biasa terjadi Ledakan dahsyat terdengar.

   Tempat itu bagai digun-cang gempa hebat.

   Tanah di sekitar terjadinya bentu-ran muncrat setinggi dua tombak Dedaunan langsung meranggas.

   Dan rumput serta semak belukar pun ter-cabut paksa dari akarnya.

   Kejadian itu untuk sesaat menghalangi pandangan keduanya.

   Dewi Karang Samudera mengibas-ngibaskan tangannya agar pandangannya lebih terbu-ka.

   Ketika tanah, semak, dan dedaunan luruh kembali ke tanah, sepasang mata wanita ini terbuka lebih lebar dengan mulut menganga membentuk lorong.

   "Setan neraka! Ke mana perginya si Rajawali Emas?! dengusnya dengan mengatupkan gigi rapat-rapat. Sementara kedua tangan mengepal kuat-kuat. Tatkala matanya dialihkan ke arah tempat Andini pingsan, matanya makin melebar.

   "Keparat busuk! Laknat! Gadis itu pun tidak ada?! Hhh! Rupanya si Rajawali Emas telah bertindak licik. Di saat tanah, dedaunan, dan semak menghalangi pandangan, rupanya dia telah menyambar tubuh gadis itu. Baik! Si Rajawali Emas tak akan bisa luput dari kematian yang akan ku-turunkan! Lebih baik kutinggalkan tempat ini untuk mengikuti perginya Iblis Kubur. Dan si Raja Lihai Langit Bumi manusia sialan itu, sampai saat ini belum ju-ga kujumpai! Dendam lamaku akan kulampiaskan dengan merogoh jantungnya!"

   Dengan masih diliputi kegeraman membludak, pe-rempuan berbaju hijau lumut tipis itu memutar tubuh, siap meninggalkan tempat itu.

   Namun, mendadak saja kepalanya justru menoleh ke belakang ketika telin-ganya yang tajam mendengar tiga angin berkesiur.

   Ma-tanya langsung menyipit ketika melihat tiga sosok tubuh berpakaian putih-putih dengan ikat pinggang warna kuning telah berdiri di hadapannya.

   *** Bab "MANUSIA-manusia laknat yang ingin cari mam-pus! Katakan siapa kalian?!"

   Bentak Dewi Karang Samudera.

   Kemarahannya akibat habis diakali si Rajawa-li Emas dilampiaskan pada tiga perempuan jelita yang berusia kira-kira tujuh belas tahun yang justru mena-kupkan tangan di hadapannya.

   Seolah tak menghirau-kan bentakan yang mampu membuat nyali ciut.

   "Maafkan kemunculan kami yang mengagetkan, Dewi. Kami datang atas perintah sang Ratu yang me-minta Dewi untuk memberikan Kitab Pemanggil Mayat,"

   Ucap salah seorang gadis cantik yang berwajah bulat. Kata-katanya penuh rasa hormat.

   "Setan! Siapa yang kalian maksudkan dengan Ra-tu?!"

   Dengus Dewi Karang Samudera dengan kening berkernyit. Matanya dengan tajam menatap ketiga gadis itu satu persatu.

   "Beliau adalah Ratu Harimau Putih junjungan ka-mi. Beliaulah yang memerintahkan kami datang dari Pulau Roti, di seberang tanah Jawa ini. Aku sendiri bernama Marbone. Sedangkan dua adik sepergurua-nku Liliane dan Fatane,"

   Kata gadis berwajah bulat bernama Marbone, memperkenalkan diri.

   Wajah perempuan berbaju hijau lumut tipis itu nampak berubah.

   Sesaat napasnya bagai tertahan.

   Ratu Harimau Putih sebenarnya adalah kakak se-perguruan Dewi Karang Samudera yang melarikan diri karena tak mau dijadikan tumbal ilmu yang sedang di-dalami guru mereka.

   Dia pergi di saat sang Guru membutuhkan dua darah perawan sebagai tumbal il-mu yang tengah diperdalam.

   Dia pula yang membujuk Dewi Karang Samudera agar menolak permintaan gila sang Guru.

   Tetapi, karena sang Guru menjanjikan il-mu yang sangat langka yang berhasil diciptakannya bi-la Dewi Karang Samudera mau dijadikan tumbal, ma-ka selama dua hari dua malam wanita itu rela ditiduri.

   Walaupun, Dewi Karang Samudera harus menahan ke-jijikan.

   Ketika tiba gilirannya, Ratu Harimau Putih justru menghilang dari tempatnya.

   Akibatnya, sang Guru marah besar.

   Dan dia segera menyuruh Dewi Karang Samudera menculik seorang perawan.

   Setelah berhasil mendapatkan dua tumbal, sang Guru berhasil pula menyempurnakan ilmu yang diciptakannya.

   Kemudian ilmu dahsyat itu diajarkannya kepada Dewi Karang Samudera.

   Namun tak lama setelah itu, sang Guru tewas di tangan Eyang Sepuh Mahisa Agni dalam pertarungan sengit selama tujuh hari tujuh malam.

   Bila saja Eyang Sepuh Mahisa Agni tak bisa menemukan kelemahan ilmu dahsyat yang diberi nama 'Pengendali Mata', tentunya sang Guru tak akan terkalahkan.

   Tetapi sebe-lum bertarung dengan Mahisa Agni, sang Guru masih sempat memberikan Kitab Pemanggil Mayat.

   Rupanya Ratu Harimau Putih juga mendengar kalau kitab ini berada pada Dewi Karang Samudera.

   Dan dia segera memintanya.

   "Setan alas! Tak akan pernah kuberikan kepa-danya!"

   Maki Dewi Karang Samudera, membuyarkan ingatannya pada Ratu Harimau Putih.

   "Dewi.... Kami tak bisa lama meninggalkan pulau. Setelah mendapat Kitab Pemanggil Mayat yang diminta Ratu, kami akan segera kembali ke pulau,"

   Sela gadis berwajah bulat bernama Marbone.

   "Bagaimana bila tidak kuberikan?,, tukas Dewi Karang Samudera dengan suara ditekan. Wajahnya me-merah. Jelas dia dengan menindih kemarahannya yang makin menggila.

   "Perintah telah kami terima. Tiga Pengiring Ratu tak akan pernah mundur menghadapi apa pun. Sekali pun batu karang besar menghadang, kami akan tetap menerjang".

   "Dengan kata lain, kalian menantangku?"

   Kontan mengkelap wajah Dewi Karang Samudera mendapati kenekatan tiga gadis yang menamakan diri Tiga Pengiring Ratu. Napasnya seketika memburu.

   "Kami tak bermaksud menantang. Tetapi perintah telah diberikan. Karena, Kitab Pemanggil Mayat akan membuat kacau tanah Jawa. Bahkan, kemunculan Ib-lis Kubur telah terdengar gemanya sampai ke Pulau Roti. Sehingga, sang Ratu memerintahkan kami,"

   Tandas Marbone yang menjadi juru bicara Tiga Pengiring Ratu.

   "Setan! Ingin kulihat sampai di mana, Ratu Harimau Putih mengajarkan kalian ilmu yang dimilikinya!"

   Usai dengan kata-katanya, Dewi Karang Samudera mengusap kedua tangannya. Seketika kedua tangan-nya memancarkan sinar putih bening.

   "Dewi.... Kami tak ingin terjadi pertarungan,"

   Ujar si Marbone dengan tatapan tajam tak berkedip. Kema-rahannya pun mulai naik melihat perempuan di hada-pannya membuka jurus. Tetapi jelas sekali kalau ke-marahannya tengah ditahan-tahan.

   "Kalau begitu, tinggalkan tempat ini!"

   Usir Dewi Karang Samudera, seraya menudingkan telunjuknya ke arah belakang Tiga Pengiring Ratu.

   "

   "Kekacauan di tanah Jawa akibat Kitab Pemanggil Mayat telah terdengar sampai ke Pulau Roti. Ratu memerintahkan kami untuk meminta Kitab Pemanggil Mayat yang ada padamu, Dewi. Berarti, kami akan te-tap... heiittt!"

   Kata-kata gadis berwajah bulat itu putus di tengah jalan tatkala hamparan sinar putih bening yang dile-paskan Dewi Karang Samudera telah melesat ke arah-nya.

   Dewi Karang Samudera yang telah gusar akibat lo-losnya si Rajawali Emas dari tangannya, makin gusar mendapati sikap ketiga gadis muda ini.

   Di samping itu, hatinya pun geram mengingat junjungan ketiga gadis muda ini adalah kakak seperguruannya yang tak sudi menuruti keinginan sang Guru.

   Maka tak ada jalan lain, selain memusnahkan ketiga gadis ini, sekaligus memberi peringatan pada Ratu Harimau Putih untuk tidak campur tangan.

   Marbone yang diserang Dewi Karang Samudera ju-stru melompat maju sambil menghentakkan kedua tangannya diiringi bentakan keras.

   Sementara yang dua orang lagi mundur, seolah ingin melihat sampai di mana kesaktian perempuan berbaju hijau lumut itu yang diketahui adalah adik seperguruan dari junjun-gan mereka.

   Hanya yang membuat mereka terhenyak tadi saat bertemu dengan Dewi Karang Samudera.

   Ka-rena wajah dan bentuk tubuh perempuan itu sama se-kali jauh dari dugaan semula.

   Sebelumnya, Ratu Ha-rimau Putih mengatakan kalau usia adik sepergu-ruannya itu hanya terpaut lima tahun dengannya.

   Te-tapi wajah Dewi Karang Samudera tak ubahnya gadis berusia tujuh belas tahun! Blarr...! AAaakh...! Terdengar ledakan keras ketika pukulan Dewi Ka-rang Samudera bertemu pukulan gadis berwajah bulat.

   Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tertahan yang menyiratkan kesakitan.

   Tampak gadis berwajah bulat itu melompat ke belakang dengan wajah beru-bah.

   Tangannya bergetar hebat dengan napas sesak, bagai ditindih seekor gajah besar.

   Sementara itu Dewi Karang Samudera menyung-gingkan senyum, tanpa kurang suatu apa.

   "Apakah tak salah Ratu Harimau Putih mengutus kalian untuk mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat ini? Lebih baik pulang. Katakan padanya, suatu saat aku akan muncul untuk mencabut nyawanya bila urusan-ku di sini telah tuntas."

   Kata Dewi Karang Samudera dingin, penuh ancaman.

   Dua dari Tiga Pengiring Ratu tak menghiraukan ancaman barusan.

   Mereka1 segera melompat meng-hampiri temannya pertama.

   Mereka tahu, lawan bukan orang sembarangan.

   Namun tekad sudah dipacu.

   Me-reka tak akan mundur meskipun terhalang gunung menjulang dan lautan luas.

   Liliane dan Fatane langsung menghentakkan kedua tangan, melepas pukulan jarak jauh setelah saling mengangguk.

   Gerakan mereka demikian cepat dengan tenaga dalam berlipat ganda.

   Dua serangan beruntun yang dilepaskan kedua da-ra tadi, cukup membuat Dewi Karang Samudera jadi kagok sesaat.

   Namun dengan cepat kedua tangannya menghentak dua kali.

   Pukulan salah satu lawan ber-hasil ditahan.

   Tetapi lawan satunya telah menyusup dari bawah, seraya melepas sodokan bertenaga dalam tinggi.

   Dan....

   Buuukkk! Bergetar tubuh Dewi Karang Samudera begitu pu-kulan Fatane berhasil mendarat di ulu hati.

   Tubuhnya kontan mundur dua tindak.

   Sementara, justru Fatane sendiri terpekik dengan tangan terasa nyeri bukan main sehabis menghantam ulu hati Dewi Karang Samudera.

   Liliane yang melihat gempuran temannya berhasil, segera bergerak cepat lagi.

   Kali ini kepalan kedua tangannya siap dihantamkan ke wajah dan dada Dewi Ka-rang Samudera.

   Tetapi Dewi Karang Samudera lebih cepat lagi ber-tindak.

   Tubuhnya berputar cepat mengegos ke kiri, dan langsung melepas tendangan berputar setengah lingkaran.

   "Uts...!"

   Liliane cepat menahan serangannya.

   Lalu bergerak mundur.

   Di saat itulah Dewi Karang Samudera menerjang ke arah Fatane yang sedang mengalirkan tenaga dalam untuk memulihkan tangan kanannya yang terasa nyeri bukan main.

   Melihat bahaya yang mengancam Fatane, Liliane segera mengempos tubuhnya.

   Dia bermaksud mengha-langi serangan Dewi Karang Samudera.

   Tetapi di luar dugaan, Dewi Karang Samudera membalikkan tubuh nya, langsung berputar.

   Seketika dilepaskannya satu tendangan menggeledek.

   Des! Perut Liliane kontan mual bukan-main terhantam tendangan perempuan baju hijau lumut tipis itu.

   Tu-buhnya langsung tersuruk kebelakang.

   Begitu menya-kitkan, hingga dia harus menekan perutnya kuat-kuat.

   Sementara itu, Dewi Karang Samudera mene-ruskan serangannya pada Fatane.

   Dan sebisanya, si gadis yang jadi sasaran mencoba mengangkat tangan kirinya untuk menghalangi serangan.

   Prak! "Aaakh...!"

   Kalau tadi tangan kanan Fatane merasa mau pa-tah, maka kali ini tangan kirinya yang benar-benar patah.

   Raungan kesakitannya menggema keras.

   Dan De-wi Karang Samudera benar-benar berniat menghabisi gadis yang satu ini.

   Seketika tangan kanan yang masih memancarkan sinar bening dihantamkan ke kepala Fatane.

   Prak! ? "Aaa...! Kepala si gadis pecah seketika.

   Tubuhnya langsung ambruk, tak bergerak sama sekali setelah kelojotan bagai ayam disembelih.

   "

   Melihat kematian Fatane yang mengenaskan, ama-rah dua gadis dari Tiga Pengiring Ratu kian menggelegak.

   Seketika mereka menerjang dahsyat, membabi buta dengan mengerahkan segenap kemampuan.

   Te-naga dalam lebih dilipat gandakan.

   Namun lawan yang dihadapi adalah adik sepergu-ruan guru mereka Maka sudah tentu dengan mudah Dewi Karang Samudera berhasil mendikte keduanya.

   Wusss! Kali ini pukulan tangan kanan Dewi Karang Samu-dera mengarah pada Marbone.

   Namun dengan gerakan memikat, si gadis masih sempat menghindar.

   Tubuh-nya melengos ke kanan.

   Sayang, pada saat yang sama Dewi Karang Samudera telah melompat-Langsung di-lepaskannya tendangan dengan dua kaki ke arah dada.

   Dess...! "Aaakh...!"

   Tubuh Marbone kontan tersungkur disertai pekik kesakitan.

   Dari mulut dan, hidung tampak darah men-galir.

   Sementara, Dewi Karang Samudera tersenyum din-gin.

   Sikapnya siap menghabisi Marbone.

   Namun......

   Tap! "Marbone! Cepat tinggalkan tempat ini! Cepat!"

   Teriak Liliane, tahu-tahu telah memeluk erat-erat Dewi Karang Samudera.

   Sehingga, perempuan berbaju hijau lumut tipis itu sukar menggerakkan tubuhnya.

   Marbone terbelalak.

   Tampak bagaimana keringat mengaliri tubuh Liliane yang berusaha menahan gera-kan Dewi Karang Samudera.

   "Tetapi....";

   "Tidak ada tetapi!"

   Potong Liliane.

   "Salah seorang dari Tiga Pengiring Ratu harus hidup, agar ada yang bisa menyampaikan kegagalan perintahnya dan mem-balas dendam pada perempuan jahanam ini! Tinggal-kan tempat ini, Marbone! Tinggalkan cepaaattt!"

   Marbone nampak masih ragu-ragu. Wajahnya ke-ras dilingkupi kebimbangan. Ketika dilihatnya Dewi Karang Samudera sedang mencoba melepaskan diri, dia bermaksud membantu Liliane.

   "Marbone! Cepat kau pergi dari sini! Aku tak bisa bertahan lama! Cepat!"

   Teriak Liliane, membuat niat Marbone tertahan. Marbone menarik napas masygul. Makin keras ke-bimbangan pada wajahnya. Dihembuskannya napas sesak.

   "Maafkan aku, Liliane...,"

   Desisnya, lirih. Lalu dengan menekan seluruh perasaan di hatinya, Marbone berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Dan baru lima tombak dia berlari..

   "Aaakhnh! Terdengar teriakan bernada kesakitan dari mulut Liliane. Dewi Karang Samudera memang telah berhasil me-lepaskan diri setelah menghantamkan tangan kanan-nya ke kepala Liliane. Kepala si gadis langsung pecah dan tubuhnya ambruk. Cairan merah bercampur cairan putih membasahi bumi. Sebagian menyiprati pa-kaian Dewi Karang Samudera.

   "Mencari mampus!"

   Dengus Dewi Karang Samudera geram. Wanita ini segera menoleh ke arah kanan. Masih sempat matanya menangkap bayangan Marbone di kejauhan.

   "Hhh! Gadis itu pun harus mampus! Tak seorang pun yang akan bisa melaporkan kejadian tolol ini pada Ratu Harimau Putih. Urusanku belum selesai. Aku tak mau ambil risiko dengan kedatangannya! Untuk se-mentara, biar kutinggalkan urusan si Rajawali Emas! Sambil menemukan murid Ratu Harimau Putih itu, aku akan mencari jejak Iblis Kubur. Karena, Iblis Kuburlah yang paling penting bagiku untuk menun-taskan urusan dengan Raja Lihai Langit Bumi. Sampai dunia kiamat, hidupku tetap tak akan pernah tenang bila mendengar manusia itu masih bercokol di muka bumi ini!"

   Usai membatin begitu, Dewi Karang Samudera se-gera melesat ke arah larinya Marbone.

   *** Bab Ketika hari berubah kembali menjadi pagi, Mar-bone masih terus berlari dengan mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya.

   Kali ini tubuhnya semakin lim-bung.

   Napasnya sudah terasa sesak sekali.

   Rasa te-gang, sedih, dan marah bercampur menjadi satu, Yang diinginkannya sebenarnya hanya istirahat sejenak.

   Tetapi dia pun tak ingin seandainya Dewi Karang Samu-dera berhasil menemukannya.

   , Tak mau ambil risiko yang mengerikan, Marbone terus mengayun langkahnya yang terhuyung.

   Padahal, seluruh persendian pada otot dan tulang penyangga tubuhnya terasa mau patah.

   Namun gadis itu terus memaksakan diri untuk berlari.

   Namun, kejap kemudian....

   "Oh...!"

   Marbone benar-benar sudah tak mampu berlari lagi. Tubuhnya tahu-tahu ambruk di atas rumput di sebuah lembah. -"Fatane... Liliane... maafkan aku...,"

   Desahnya pa-rau dengan tubuh benar-benar tak kuasa untuk bang-kit lagi.

   Terbayang bagaimana kematian Fatane yang menyedihkan.

   Dan yang lebih menggiriskan hatinya, Liliane berkorban demi keselamatan hidupnya.

   Tak te-rasa air menggenang di sepasang matanya yang seka-rang agak memerah.

   Terbayang di benak Marbone bagaimana dirinya, Fatane dan Liliane berguru pada Ratu Harimau Pu-tih selama dua belas tahun.

   Saat itu usia mereka masing-masing lima tahun.

   Dalam kehidupan itulah, Tiga Pengiring Ratu yang kesemuanya tak memiliki orang tua lagi saling membaur satu sama lain dalam kebaha-giaan bersama.

   Tanpa sadar bibir Marbone tersenyum mengingat kejadian itu.

   Sampai beberapa bulan lalu, Ratu Hari-mau Putih memberi tugas pada mereka untuk menda-patkan Kitab Pemanggil Mayat yang dimiliki adik seperguruannya yang berjuluk Dewi Karang Samudera.

   Tugas telah diterima.

   Namun kenyataan pahit di-jumpai sekarang.

   Fatane dan Liliane kini telah tewas.

   Air mata semakin banyak mengalir.

   Kepedihan be-nar-benar membuat gadis itu merasa seperti sudah mati.

   "Maafkan aku...,"

   Desisnya lemah. Namun Marbone berusaha menguatkan dirinya menghadapi semua ini. Terutama, keinginannya untuk lebih lama hidup agar mampu menuntut balas atas kematian dua saudaranya.

   "Akan kucoba untuk membalas semua ini. Akan kucoba...,"

   Desis si gadis.

   Tetapi sebuah suara membuat seluruh niat Mar-bone putus seketika.

   Dengan susah payah dia berusa-ha bangkit menegakkan tubuhnya.

   Saat itu pula sepa-sang biji matanya seperti hendak melompat keluar ke-tika di depannya tahu-tahu telah berdiri perempuan berbaju hijau lumut tipis pada jarak dua tombak.

   Wa-jahnya penuh seringai dengan tatapan membunuh! "Tiga Pengiring Ratu tak akan pernah kubiarkan hidup karena hanya akan menjadi duri.

   Biar kukirim pulang namamu ke Pulau Roti! Biar Ratu Harimau Pu-tih sadar kalau ternyata hanya memiliki tiga orang bodoh sebagai murid! Dan entah kenapa dia berdiam di pulau yang sangat jauh itu!"

   Kata perempuan yang tak lain Dewi Karang Samudera.

   Kendati dalam keadaan tak berdaya, Marbone tak mau mati sia-sia.

   Dia yakin, kalau menghadapi Dewi Karang Samudera jelas-jelas tak akan sanggup.

   Ber-sama dua saudaranya saja tak mampu.

   Apalagi bila dia seorang diri.

   Bahkan dalam keadaan yang tak me-mungkinkan seperti ini.

   "Dewi.... Tanpa mengurangi rasa hormatku kepa-damu, kau telah berada dalam jalan yang salah. Tak sepatutnya kau melakukan semua tindakan bodoh semacam ini. Aku yakin, seluruh orang rimba persila-tan di tanah Jawa akan memburumu. Karena, kaulah yang membangkitkan Iblis Kubur. Lebih baik, serah-kan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku untuk kuserah-kan kepada Ratu. Agar semua...,"

   Ujar Marbone, mencoba tenang.

   "Jahanaammm! Kusobek mulutmu yang berani bi-cara lancang begitu!"

   Begitu habis kata-katanya, perempuan baju hijau lumut tipis itu melesat ke muka. Marbone memekik. Jelas, dia tak akan mampu mengatasi serangan itu. Jangankan untuk memapaki, menghindar saja tubuhnya sudah terlalu payah. Namun mendadak....

   "Koaaakkk!"

   Terdengar seruan menggelegar bagai membedah angkasa raya.

   Gemuruh angin mendadak saja terjadi.

   Saat itu pula, gerakan Dewi Karang Samudera bagai tertahan.

   Tanpa sadar kepalanya mendongak ke atas.

   Hal yang sama pun dilakukan Marbone yang terke-jut juga mendengar gemuruh angin dahsyat itu.

   Gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna kuning itu melengak.

   Dipaksakannya untuk mundur tiga tindak, dengan agak terhuyung dan mulut terbuka.

   Mata ba-gusnya melebar dengan kengerian yang berbaur keka-guman.

   "Oh, Tuhan... Burung apakah ini? Seumur hidupku baru kulihat burung raksasa sedemikian besarnya? Berbulu keemasan begitu cemerlang ditimpa sinar ma-tahari,"

   Kata batinnya dengan jantung berdenyut tak menentu. Sementara itu meskipun terkesiap, Dewi Karang Samudera masih bisa menahan diri.

   "Rupanya cerita tentang burung rajawali raksasa bernama Bwana ini memang benar. Sulit diterima akal dalam bentuk yang sedemikian besar. Dari tempatku berdiri, bisa kulihat kuku-kukunya yang melengkung runcing tajam. Celaka! Mau apa dia ke sini? Dan seta-huku, burung rajawali raksasa ini dimiliki si Rajawali Emas. Apakah kedatangannya pun saat ini bersama si Rajawali Emas? Tetapi..., pemuda itu telah melarikan diri dengan cara pengecut untuk menyelamatkan gadis manis yang pingsan itu, Hhh! Persetan dengan semua urusan! Aku harus menyelesaikan gadis di hadapanku ini dulu!"

   Gumam Dewi Karang Samudera.

   Berpikir sampai di sana, Dewi Karang Samudera menolehkan lagi pada Marbone yang masih tercengang melihat burung raksasa tadi masih berputaran di ang-kasa berjarak delapan tombak! Dewi Karang Samudera jelas tak mau buang waktu lagi.

   Apalagi dia harus menemukan jejak Iblis Kubur yang sedang dipancing menjauh oleh Bidadari Hati Ke-jam.

   Maka mendadak saja tubuhnya bergerak kembali ke arah Marbone.

   "Ohh...?!"

   Meskipun tak kuasa untuk melarikan diri, namun Marbone masih bisa menangkap bahaya yang menga-rah padanya.

   Kalau tadi dia terkesiap melihat burung rajawali keemasan yang mendadak muncul dan masih berputaran di angkasa, kali ini jantungnya bagai ber-henti.

   Karena, lesatan Dewi Karang Samudera hanya berjarak dua tombak lagi.

   "Aku gagal melakukan tugasku, Ratu...,"

   Desahnya dengan mata membeliak.

   Wesss...! Namun lagi-lagi Dewi Karang Samudera urung me-lakukan serangan.

   Karena mendadak saja, angin rak-sasa menderu ke arahnya.

   Disertai sumpah serapah, perempuan berbaju hijau lumut tipis itu membuang tubuhnya.

   Setelah tubuhnya tegak kembali, Dewi Karang Sa-mudera makin mengkelap.

   Karena angin berkekuatan raksasa yang siap menghajar tubuhnya tadi dilakukan oleh burung rajawali raksasa tadi.

   "Setan betul! Kau ingin mampus juga, Rajawali?!"

   Dengusnya sambil mengalirkan tenaga dalam.

   Seketika kedua telapak tangannya membersitkan sinar putih bening.

   Bwana yang tadi menggagalkan maksud dari Dewi Karang Samudera, kini telah hinggap di tanah.

   Burung rajawali yang besarnya kurang lebih empat kali gajah dewasa, menegakkan kepala.

   Seolah dia tahu apa yang dikatakan Dewi Karang Samudera.

   Sebenarnya, Bwana tak sengaja terbang di atas lembah itu tadi Burung rajawali keemasan yang du-lunya milik Eyang Sepuh Mahisa Agni dan sekarang dimiliki Rajawali Emas, seolah tahu kalau seorang anak manusia berada dalam ketidak berdayaan.

   Se-mentara, anak manusia lainnya siap menurunkan tan-gan maut.

   Burung yang memiliki naluri tinggi itu tahu kalau keadaan tak memungkinkan bagi gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna kuning untuk me-nyelamatkan diri.

   Sementara itu, Marbone yang terpental akibat ter-bawa derasnya angin sambaran Bwana, jatuh pingsan karena memang keadaannya sangat lemah.

   "Heaaa...!"

   Dewi Karang Samudera yang dibuat mengkelap oleh Bwana, langsung meluruk dahsyat.

   Kedua telapak tangannya yang memancarkan sinar putih bening kian bertambah terang.

   Namun baru saja perempuan ini bergerak lima tombak di depan, Bwana sudah mengibaskan sayap kanan-nya.

   Wusss...! Angin dingin laksana topan mendadak meluruk ke arah Dewi Karang Samudera.

   Perempuan berbaju hijau lumut tipis itu mengeluarkan suara tertahan diiringi caci-maki keras.

   Tubuhnya coba dibuang ke kiri.

   Namun, tak urung sambaran angin yang dilepaskan Bwana sempat menggoyahkan kedudukannya.

   Semen-tara rerumputan yang tumbuh di lembah itu tercabut sampai jarak lima puluh meter.

   "Keparaaatt! Jelas bukan hewan sembarangan bu-rung rajawali raksasa ini!"

   Geram Dewi Karang Samudera dengan mata terbeliak.

   "Peduli setan! Akan kuke-jar burung sialan itu!"

   Dikawal teriakan menggebah, Dewi Karang Samu-dera melipat gandakan tenaga dalamnya.

   Dan seperti tahu yang dilakukan lawannya, Bwana kali ini bukan hanya mengepakkan sayapnya saja.

   Tetapi tubuhnya telah mencelat dengan kedua kuku siap mencengke-ram kepala.

   Suaranya yang keras menggema dahsyat "Koaaak!"

   Dewi Karang Samudera segera mengangkat sebelah tangannya. Seketika melesat sinar putih bening di atas. Namun Bwana cepat mencelat ke samping sambil mengibaskan sayapnya lagi. Wrrr! "Ohh...!"

   Tubuh Dewi Karang Samudera terhuyung dua tombak terhantam angin dahsyat bergemuruh itu. Pa-kaian hijau lumutnya di bagian dada terbuka, menam-pakkan dua gumpalan indah menggiurkan.

   "Burung cabul!"

   Rutuknya sambil bergegas menutupi lagi pakaian di bagian dadanya.

   Dan seketika serangannya diteruskan kembali.

   Bagai memiliki naluri perkelahian tinggi, Bwana menghindar dengan melesat ke atas.

   Begitu menukik, dibalasnya serangan lawan.

   Suara koakannya terden-gar memecahkan telinga.

   Untuk sejenak Dewi Karang Samudera jadi kalang-kabut.

   Tetapi kejap kemudian, Bwanalah yang dibuat pontang-panting.

   Bila saja burung ini tak memiliki ke-pandaian terbang secepat kilat, tak mustahil seluruh bulu keemasan yang ada di tubuhnya akan rontok seketika.

   "Setan alas!"

   Maki Dewi Karang Samudera keras dengan wajah membesi mendapati burung rajawali itu sukar untuk ditaklukkan.

   "Hhh! Akan kuserang lagi burung keparat itu! Sementara dia menghindari, akan kubunuh Marbone!"

   Mendapat keputusan demikian, Dewi Karang Sa-mudera melakukan maksudnya.

   Begitu Bwana terbang menghindari serangan, perempuan sesat ini langsung mencelat untuk menghabisi nyawa Marbone.

   Akan tetapi, Bwana bukan burung sembarangan.

   Begitu menghindari serangan Dewi Karang Samudera, tubuhnya langsung menukik kembali dengan kedua kaki siap mencengkeram rengkah tubuh Dewi Karang Samudera.

   Wuuuttt! Dewi Karang Samudera urung menurunkan tangan kematian pada Marbone.

   Tubuhnya kembali dibuang ke samping bila tak ingin kepalanya dicengkeram pe-can oleh Bwana.

   Dan justru Bwana yang mempergu-nakan kesempatan itu untuk menyambar tubuh Mar-bone.

   Memang, burung bernaluri tinggi itu seperti mengetahui apa yang direncanakan perempuan berba-ju hijau lumut tipis ini.

   Begitu tegak berdiri, Dewi Karang Samudera meng-geram mendapati apa yang terjadi di hadapannya.

   Se-ketika kedua tangannya menghentak melepas pukulan jarak jauh yang mengeluarkan sinar putih bening di-kawal hawa panas tinggi.

   Wesss...

   Akan tetapi, Bwana sudah melesat sambil men-cengkeram tubuh Marbone dengan kedua kakinya.

   Se-hingga, serangan itu hanya menyambar angin kosong saja.

   "Keparaatt!"

   Maki Dewi Karang Samudera melihat serangannya gagal.

   Lalu untuk melampiaskan rasa ke-salnya, dilepaskan pukulannya ke depan.

   Blaaarrr! Tanah yang menjadi sasaran kontan merengkah dan muncrat setinggi satu tombak.

   Rumput yang tum-buh di atasnya beterbangan, lalu luruh menjadi serpihan.

   Wajah perempuan ini begitu membesi.

   Kedua tan-gannya mengepal kuat-kuat.

   "Setan alas! Dua kali aku gagal! Pertama pada gadis yang pingsan yang diselamatkan si Rajawali Emas. Dan sekarang, burung keparat itu yang menyela-matkan Marbone! Hhh! Persetan dengan semua ini! Aku harus mencari jejak Iblis Kubur!"

   Setelah berusaha menguasai seluruh amarah membara yang bergulat di hatinya, perempuan berbaju hijau tipis itu melesat meninggalkan lembah yang kini telah porak-poranda.

   *** Bab Di jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya di-tumbuhi pepohonan yang cukup tinggi, sepasang anak muda menghentikan larinya seraya memandang berke-liling.

   Hening yang terdengar hanya suara dedaunan di usap angin lembut.

   "Kakang Wisnu... sudah hampir lima hari kita me-lacak jejak Siluman Buta. Tetapi, manusia keparat itu seolah lenyap entah ke mana. Yang kukhawatirkan adalah keadaan Andini yang dibawa kabur Siluman Buta. Bila manusia laknat itu memperlakukannya dengan tidak senonoh, aku bersumpah akan menca-bik-cabik tubuhnya!"

   Pemuda yang dipanggil Wisnu menoleh.

   Ditatapnya gadis manis yang barusan membuka suara.

   Pemuda itu berbaju warna putih.

   Bagian dadanya terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat.

   Rambutnya panjang tergerai.

   Di punggung-nya terdapat sebilah pedang.

   Diam-diam si pemuda menarik napas pendek.

   Bisa dimengerti kalau gadis yang berhati lembut dan bersifat santun ini mengeluarkan ancaman demikian.

   Kare-na di dasar hatinya, Wisnu pun mencemaskan nasib Andini yang sampai saat ini tidak diketahui di mana rimbanya.

   "Aku pun begitu, Nandari,"

   Sahutnya.

   "Aku cemas memikirkan nasib Andini. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama bila bertemu manusia keparat ber-juluk Siluman Buta itu."

   Gadis berpita warna biru menatap pemuda yang juga sedang menatapnya.

   Wajah gadis yang dipanggil Nandari bulat jelita dengan sepasang mata indah.

   Pa-kaiannya biru, cocok sekali dengan kulitnya yang kuning mulus.

   Di ikat pinggangnya yang berwarna merah terselip dua buah trisula.

   Dan yang mengherankan, wajahnya mirip Andini! Memang, kedua anak muda ini tak lain adalah mu-rid-murid Pesanggrahan Mestika, kakak seperguruan dari Andini.

   Setelah terjadi pertarungan sengit untuk menumbangkan seorang dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Siluman Buta, murid-murid Pesanggra-han Mestika harus mengalami nasib sial.

   Karena Silu-man Buta berhasil menotok Andini dan disembunyikan di suatu tempat.

   Pertempuran sengit berlangsung sampai munculnya Dewa Bumi, guru mereka.

   Siluman Buta pun meninggalkan tempat itu dengan sejuta den-dam dan amarah karena tak mampu menghadapi De-wa Bumi.

   Setelah terjadi percakapan, Dewa Bumi sa-dar kalau Andini tak ada di tempat.

   Dan sebelum ke-dua anak muda itu memutuskan untuk mencari, Dewa Bumi sudah meninggalkan tempat itu.

   Sementara di lain tempat, Andini sebenarnya telah ditolong si Rajawali Emas.

   Sedangkan Wisnu dan Nandari tetap me-nyangka kalau Andini dibawa Siluman Buta! "Lalu..., apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?"

   Tanya Nandari dengan hati kelu. Pemuda yang diam-diam mencintai Nandari mena-rik napas pendek.

   "Nandari... Sebenarnya masih ada hal lain yang kupikirkan dalam hal ini,"

   Kata Wisnu kemudian. Si gadis menatap penuh perhatian.

   "Soal apakah itu, Kang Wisnu?"

   Tanyanya.

   "Mengenai sikap Guru. Bukankah kau tahu, kalau Guru yang pertama kali melontarkan pertanyaan di mana Andini berada? Namun setelah itu, Guru nam-paknya acuh tak acuh saja. Bahkan dia berlalu me-ninggalkan kita, seolah hilangnya Andini tak merisaukan hatinya."

   "Masalah apa yang membingungkan mu sebenar-nya?"

   Tanya Nandari lagi tak mengerti "Sikap Guru itu. Apakah dia sebenarnya tahu di mana Andini berada. Atau dia memang...."

   "Guru memerintahkan kita untuk mencari Andini. Aku ingat itu,"

   Potong Nandari sambil menatap Wisnu.

   "Yang perlu kita pikirkan adalah Andini, Kakang Wisnu. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

   Wisnu mencoba tersenyum, sedikit membenarkan kata-kata Nandari tentang sikap guru mereka yang berjuluk Dewa Bumi.

   "Biar bagaimanapun sulit dan lamanya pencarian ini, kita harus menemukan Siluman Buta, Nandari..., lebih baik kita mencari sebuah dusun untuk mengisi perut dulu. Selama ini, kita hanya makan buah-buahan hutan dan daging ayam hutan panggang saja."

   Nandari mengangguk.

   Tiba-tiba dirasakan pula pe-rutnya kosong.

   Lalu matanya melirik pemuda di hada-pannya ini "Ah, Kang Wisnu....

   Tahukah kau kalau diam-diam aku mencintaimu? Meskipun si ceriwis itu pernah menduga tentang perasaanmu terhadapku, tetapi aku pun senang mendengarnya.

   Karena aku juga punya perasaan sama."

   Sementara itu Wisnu membatin.

   "Nandari... telah lama aku jatuh hati kepadamu. Tetapi, sampai saat ini aku belum berani mengatakannya. Ini adalah saat yang tepat sebenarnya untuk menyatakan perasaanku kepadamu. Apalagi gadis ceriwis itu tidak bersama ki-ta. Tetapi, sudah tentu ini bukan saat yang tepat pula. Mengingat, nasib Andini belum diketahui sama sekali. Suatu saat..., aku akan mengatakan seluruh isi hatiku ini padamu, Nandari."

   Tiba-tiba saja Wisnu tersentak ketika melihat gadis di hadapannya agak limbung. Dengan gugup dan cepat dipegangnya kedua tangan Nandari.

   "Kau tidak apa-apa, Nandari?"

   Tanyanya cemas.

   "Tidak, Kang.... Aku..., aku hanya tegang memikirkan Andini. Aku rindu padanya, Kakang...,"

   Sahut Nandari lemah. ' "Tenanglah. Kita sama-sama berharap kalau dia bi-sa menjaga diri dari tangan jahat Siluman Buta,"

   Hibur Wisnu sambil tersenyum memberi ketenangan pada gadis yang dicintainya. Desisan Nandari berikutnya membuat darah si pe-muda bagai tersirap naik ke ubun-ubun.

   "Kang Wisnu..... Rangkul aku, Kang.... Rangkul... Aku butuh ketenangan, Kang...,"

   Rintih si gadis.

   Sesaat Wisnu terbelalak tak tahu harus melakukan apa.

   Tetapi dia yakin benar akan pendengarannya ba-rusan itu.

   Rangkul aku, Kakang Wisnu...

   Rangkul aku desis Nandari, makin meyakinkan Wisnu.

   Lalu hati-hati sekali, Wisnu merangkul lembut ga-dis itu.

   Semula perasaannya gugup dengan jantung berdegup keras.

   Dan dia baru bisa bernapas lega keti-ka benar-benar merasakan tubuh lembut Nandari be-rada dalam rangkulannya.

   Dan tanpa disadari, keduanya telah saling men-gungkapkan isi hati masing-masing.

   *** "Dua kali kau menyelamatkanku, Kang Tirta.

   Per-tama dari cengkeraman Siluman Buta.

   Lalu dari ceng-keraman Iblis Kubur.

   Ku ucapkan terima kasih atas pertolonganmu,"

   Ujar Andini pada Tirta di sebuah sun-gai kecil yang dipenuhi pepohonan.

   Sungai yang men-galirkan air jernih dan menimbulkan suara bergemer-cik membuat suasana jadi bagai berada di taman sur-gawi Tirta hanya mengangkat alisnya saja.

   Lalu dica-butnya sebatang rumput yang tumbuh di dekatnya, dan diselipkan di sudut bibirnya.

   "Tak jadi masalah. Yang penting, keadaanmu su-dah pulih kembali, Andini,"

   Sahut Tirta yang dikenal sekarang sebagai si Rajawali Emas sambil menatap wajah jelita di hadapannya.

   Sungguh mengherankan.

   Kini, gadis ceriwis itu ba-gai kehilangan seluruh sifat aslinya.

   Tetapi itu pasti dikarenakan merasa cemas memikirkan keadaan dua kakak seperguruannya yang diduganya telah tewas di tangan Siluman Buta.

   "Kalau kesehatanmu telah pulih benar, sebaiknya kita meneruskan mencari Siluman Buta untuk minta keterangan mengenai kedua kakak seperguruanmu itu."

   Andini mengangguk. Tangannya mengepal.

   "Kalau memang yang kuduga benar, akan kubu-nuh manusia keparat itu, Kang Tirta."

   Tirta cuma tersenyum.

   Dia bisa ikut merasakan kemarahan gadis itu.

   Tetapi saat ini, hatinya pun di-bingungkan oleh tugas yang diberikan Raja Lihai Lan-git Bumi untuk menghentikan sepak terjang Iblis Ku-bur.

   Tirta sudah merasakan kesaktian yang dimiliki Iblis Kubur.

   Dari Manusia Pemarah, dia tahu kalau Iblis Kubur mempunyai dendam pada Ki Sampurno Pa-mungkas atau Manusia Agung Setengah Dewa.

   Ada dua cara untuk menghentikan sepak terjang Iblis Ku-bur.

   Mencari Dewi Karang Samudera untuk mendapat Kitab Pemanggil Mayat, atau menemukan Ki Sampurno Pamungkas berada.

   Untuk mencari Dewi Karang Sa-mudera mungkin bisa ditemukan.

   Tetapi mencari Ki Sampurno Pamungkas? Sama saja mencari jarum di tumpukan jerami! Karena si Manusia Pemarah yang merupakan muridnya sendiri tidak tahu di mana Ki Sampurno Pamungkas berada.

   "Sudahlah, Andini... Kita harus bertindak cepat Aku masih harus menemukan Iblis Kubur. Karena, guruku tengah memancingnya menjauh entah ke mana,"

   Kata Tirta akhirnya. Andini mengangguk.

   "Kesehatanku sudah lumayan membaik, Kang Tir-ta. Kita bisa segera berangkat sekarang."

   Si Rajawali Emas pun berdiri. Dan ketika menatap gadis manis yang berdiri di hadapannya, mendadak sa-ja wajahnya memerah. Walaupun segera dipalingkan ke arah lain, Andini telah melihat perubahan wajah-nya.

   "Mengapa, Kang Tirta?"

   Tanyanya sambil menatap pemuda tampan di hadapannya. Tirta buru-buru menggeleng-geleng.

   "Tidak... tidak apa-apa,"

   Katanya cepat. Lalu dia menyambung dalam hati.

   "Kalau Andini tahu aku sudah melihat bukit kembarnya, bisa konyol! Tapi asyik juga sih buat diingat-ingat"

   Andini sendiri tak mempersoalkan itu lagi.

   "Kita segera berangkat, Kang Tirta,"

   Susulnya.

   Bagi Tirta sendiri hal itu memang lebih baik-Dan si pemuda pun bergerak mendahului.

   Sengaja jalannya tidak terlalu cepat, karena tahu Andini masih belum pulih benar.

   Sementara itu tanpa disadari mereka, sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dari balik semak belukar menarik napas pendek.

   Matanya yang indah seperti kuyu tak bergairah.

   Dia adalah seorang gadis berbaju putih dengan sulaman bunga mawar di dada kanan.

   "Kang Tirta... cukup lama terasa perpisahanku denganmu. Dan selagi aku menemukanmu, kau ber-sama seorang gadis,"

   Desah gadis berwajah telur dengan dagu agak menjuntai Bibirnya tipis yang memerah indah.

   Sepasang alisnya hitam, dihiasi bulu mata lentik.

   Matanya yang sayu terbuka.

   Rambutnya panjang hingga ke bahu dibiarkan tergerai begitu saja.

   Di pinggangnya yang ramping, melilit sebuah cambuk.

   Gadis itu adalah Ayu Wulan, murid Manusia Pema-rah yang mendadak saja hams memerah wajahnya bila teringat akan kata-kata gurunya yang menginginkan agar dirinya berjodoh dengan Tirta.

   Dan sekarang, gadis manis yang diam-diam telah jatuh hati pada si Rajawali Emas itu kembali menarik napas pendek.

   "Siapa gadis yang bernama Andini itu? Bila melihat sikapnya, Kang Tirta nampaknya begitu memperhati-kannya. Apakah gadis itu kekasihnya? Ah.... Kalau memang kenyataannya seperti ini, bagaimana dengan-ku? Apakah..., tidak! Aku tidak boleh jadi cengeng begini! Aku memang mencintai Kang Tirta. Tapi kalau memang gadis itu kekasihnya, biarlah aku mengalah! Lebih baik, kucari Guru saja yang sedang mencari je-jak Dewi Karang Samudera."

   Dan dengan menindih kelaraan dalam hatinya, Ayu Wulan segera memutar tubuhnya.

   Dan dia segera ber-kelebat ke arah berlawanan dari arah yang ditempuh Tirta dan Andini.

   *** Bab Matahari kian tergelincir di bumi sebelah barat.

   Saat ini, si Rajawali Emas dan Andini tiba di sebuah padang rumput yang menghampar bagai permadani.

   Di sebelah barat, yang tersisa hanya rona merah jingga yang kian redup.

   Di ujung sana, tergambar beberapa bayangan-bayangan dari burung yang beterbangan.

   "Andini..., sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik kita cari tempat untuk beristirahat dulu. Di tempat yang terbuka semacam ini, kita akan mudah dili-hat orang yang belum tentu kawan atau lawan,"

   Kata Rajawali Emas, setelah berpaling pada Andini.

   "Begitu juga boleh! Asal, awas...! Nanti kau tidur berjauhan denganku, ya?"

   Oceh Andini, kembali pada sifat ceriwisnya. Tirta tersenyum.

   "Andaikata gadis ini tahu kalau aku sudah.... Ah, sudahlah."

   Si Rajawali Emas cepat menepis pikiran kotor di dalam benaknya. Sejenak matanya memandang ke se-keliling.

   "Tidak ada hutan untuk tempat beristirahat di sekitar tempat ini. Kalau begitu...."

   "Kalau begitu apa, Kang Tirta?"

   Sambar Andini.

   "Sebelum malam datang, baiknya kupanggil saja dia,"

   Kata Tirta bagai berkata pada dirinya sendiri.

   Sementara, kening Andini berkernyit.

   Lebih berkernyit ketika melihat pemuda tampan berbaju keemasan itu menepukkan tangannya tiga kali Dan di sela-sela te-pukan, kedua tangan menyentak ke atas.

   Maka seketi-ka sinar merah menyala melesat ke atas menerangi angkasa yang mulai hitam.

   Belum lagi pupus kehera-nan Andini, mendadak saja....

   "Kraagghrrr....!"

   Telinga gadis itu menangkap suara yang sangat ke-ras diiringi gemuruh angin. Tanpa sadar, kepalanya mendongak. Tampak satu bayangan raksasa berwarna keemasan melayang-layang.

   "Oh, Tuhan.... Makhluk apakah itu?"

   Desisnya.

   Dan tanpa sadar kakinya mundur dua tindak dengan sepasang mata melebar.

   Tirta yang melirik tersenyum.

   Apa yang dilakukan-nya tadi adalah sebuah isyarat untuk memanggil bina-tang tunggangan kesayangannya, Bwana.

   Tepukan pe-lan tadi sebenarnya mengandung tenaga dalam tinggi.

   Dan itu hanya, dimengerti oleh Bwana.

   Sementara percikan sinar merah tadi merupakan tanda di mana si Rajawali Emas berada.

   Kejap kemudian, Tirta pun mendongakkan kepala.

   Tampak kini Bwana terbang di atasnya berjarak dela-pan tombak.

   "Koaakkk! Koaaak! Koaaakkk!"

   Suara keras menggelegar itu hanya dimengerti oleh Tirta. Selama lima tahun hidup bersama Bwana di Gu-nung Rajawali, si Rajawali Emas bisa mengerti setiap suara yang dikeluarkan burung raksasa itu.

   "Bwana mengatakan, di cengkeramannya ada seo-rang gadis yang pingsan. Dan dia sulit untuk turun. Hmmm.... Lebih baik...."

   Tirta tak melanjutkan ka-ta-kata yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Sebentar dia manggut-manggut, lalu kembali menatap ke atas.

   "Bwana! Kau terbang agak merendah. Setelah mendengar isyaratku, lepaskan gadis itu. Dan aku akan menangkapnya. Kau mengerti?!"

   Teriak si Rajawali Emas.

   "Koaakkk!"

   "Bagus! Terbang agak merendah. Yap! Begitu, Bwana! Benar! Sekarang kau putar tubuhmu. Dan..., yak! Lepaskan sekarang!"

   Seketika satu sosok tubuh meluncur deras dari cengkeraman Bwana.

   Saat yang sama, dengan penca-lan satu kaki, Tirta segera melompat ke atas.

   Dan....

   Tap! Tubuh yang dijatuhkan Bwana sudah berada da-lam bopongannya.

   Dan sambil membopong tubuh si gadis, pemuda tampan itu memutar tubuhnya dua kali lalu hinggap di tanah kembali.

   "Kau turun, Bwana!"

   Seru Tirta sambil meletakkan gadis yang pingsan itu di tanah. Sementara, Andini yang sejak tadi hanya memperhatikan buru-buru mendekatinya.

   "Siapa gadis itu, Kang?"

   Tanya si gadis.

   "Aku tidak tahu, Andini. Nampaknya dia pingsan karena kelelahan. Tetapi kulihat ada luka di pung-gungnya. Hmm..., lebih baik segera kuobati sekarang."

   Segera Tirta mengalirkan tenaga dalam ke pung-gung gadis itu.

   Perlahan sekali telapak tangannya yang menempel terasa bergetar, dan membuatnya cukup tersentak Tetapi semua itu ditahannya, dan tenaga dalamnya terus dialirkan.

   Waktu terus berlalu.

   Tirta lantas menoleh pada Andini "Kita dudukkan gadis ini.

   Kau tahan di depannya, Andini,"

   Ujar si pemuda. Andini melakukan perintah itu. Dipegangnya bahu gadis yang pingsan yang tak lain Marbone dengan hati-hati. Sementara Tirta kembali mengalirkan tenaga da-lamnya melalui punggung.

   "Minggir, Andini!"

   Ujar Tirta, setelah beberapa saat. Andini cepat membuang tubuh ke samping. Dan Tirta merangkul ketat Marbone yang terhuyung ke de-pan begitu Andini melepaskan pegangannya. Dan____ "Huaaakkk!"

   Marbone, orang tertua dari Tiga Pengiring Ratu itu memuntahkan darah kental berwarna hitam.

   Berkali-kali hal itu terjadi.

   Ketika muntah Marbone telah ber-henti, Tirta cepat menotok beberapa urat sarafnya.

   La-lu perlahan-lahan dibaringkannya gadis itu di tanah.

   "Siapa dia, Kang Tirta?"

   Tanya Andini lagi, setelah beberapa saat hanya memperhatikan saja.

   "Aku tidak tahu,"

   Sahut si Rajawali Emas sambil memperhatikan gadis yang pingsan di hadapannya.

   "Sepertinya, tenaga yang dimilikinya terkuras karena kelelahan. Biarkan dia dulu, aku akan bertanya pada Bwana."

   Perlahan-lahan Tirta berdiri Dihampirinya Bwana. Andini yang tadi terkejut, menatap tak berkedip pada Bwana yang tengah dibelai-belai Tirta.

   "Gila! Baru kali ini kulihat ada burung rajawali sebesar ini,"

   Desis gadis itu kagum.

   "Dan tadi... oh! Kang Tirta mengatakan dia akan bertanya pada burung itu? Apakah Tirta mengerti kata-kata burung itu?"

   Untuk sejenak Andini hanya memperhatikan den-gan kening berkerut. Beberapa kejap kemudian, gadis itu terkejut ketika Tirta ulapkan tangan padanya. Karena terkejut, tanpa sadar si gadis menunjuk dadanya sendiri "Aku?"

   Tanyanya. Tirta mengangguk. Dengan agak ragu, Andini me-langkah mendekati Tirta. Dia makin kagum menatap burung rajawali keemasan yang rebah di hadapannya dari dekat.

   "Ini Bwana, sahabatku. Ayo berkenalan dengan-nya,"

   Ujar si pemuda.

   Tatapan Andini benar-benar menunjukkan rasa kagum tak terkira.

   Sejenak hatinya ragu-ragu untuk membelai bulu Bwana.

   Ketika Tirta menyuruhnya se-kali lagi barulah gadis itu berani membelai bulu bu-rung rajawali keemasan raksasa itu.

   Beberapa saat berlalu.

   Dan tampaknya Andini su-dah mulai akrab dengan Bwana.

   "Andini..,"

   Panggil Tirta.

   "Kau tunggui gadis yang pingsan itu. Menurut Bwana, dia menolong gadis ini dari maut yang diturunkan oleh seorang perempuan cantik berbaju hijau. Aku yakin, orang yang dimaksud Bwana adalah Dewi Karang Samudera."

   "Maksudmu, kau akan segera melanjutkan perjala-nan?"

   Tanya Andini seperti tersentak.

   Tirta mengangguk Entah mengapa dia menangkap sinar kecewa dari gadis itu.

   Tetapi menurutnya, gerakannya akan lebih bebas bila seorang diri "Kau benar, Andini.

   Gadis itu membutuhkan pertolongan.

   Setelah dia siuman, Bwana akan membawanya terbang bersamamu.

   Soal di mana akan menemukan-ku, aku akan melepaskan isyarat untuk memanggil Bwana.

   Kau mengerti maksudku?"

   Kalau tadi Tirta menangkap sinar kecewa, kali ini melihat sinar terkesiap di mata indah gadis itu.

   "Aku? Naik di punggung Bwana? Oh, Tuhan...! Apakah tak ada tugas lain yang bisa kau berikan pa-daku, Kang?"

   Sentak gadis itu seperti tersedak. Tirta tertawa pelan, tidak bernada mengejek.

   "Percayalah! Bwana akan menjagamu. Masalah Ib-lis Kubur yang dikendalikan Dewi Karang Samudera, harus secepatnya kutemukan biar urusan tidak berla-rut-larut. Kau paham, bukan?"

   Terdengar tarikan napas pelan gadis manis di ha-dapan si Rajawali Emas. Lalu anggukan nya terlihat. Sangat lemah.

   "Bagus! Aku percaya kau bisa menjaga diri. Tolong ceritakan semuanya pada gadis yang masih pingsan itu. Aku yakin, dia adalah orang baik-baik mengingat cerita Bwana kepadaku."

   Andini hendak bertanya bagaimana Tirta bisa men-gerti maksud Bwana, tetapi pemuda berbaju keemasan itu telah berkelebat cepat.

   Tinggal Andini yang diam-diam kembali menarik napas pendek.

   Sementara, Bwana hanya melakukan lirikan kecil.

   Lalu segera se-pasang matanya yang besar memejam.

   *** Bab Malam makin panjang.

   Di langit atas sana awan hi-tam kian membunting.

   Nampaknya, sebentar lagi hu-jan akan turun.

   Di bawahnya, satu sosok tubuh ramping terus ber-kelebat cepat bagai tak kenal lelah membelah kepeka-tan malam.

   Sejauh lima belas tombak di belakangnya, satu sosok tubuh lain terus mengejar dengan sesekali mengeluarkan gerengan keras.

   "Keparat! Manusia sialan itu masih mengikutiku juga! Urusan bisa jadi gawat! Tetapi nampaknya, aku bisa melakukan serangan kembali di tempat ini Hhh! Napasku sudah cukup sesak dengan segala perbuatan konyol ini! Apa boleh buat? Aku harus mencoba untuk menahannya sebelum memutuskan untuk mencari ke-sempatan untuk meloloskan diri Tak ada gunanya menghadapi manusia ini bila belum tahu kelemahan-nya. Bahkan sepertinya dia tak kenal lelah sama seka-li! Setan keparat!"


Raja Naga Tapak Dewa Naga Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan

Cari Blog Ini