Pembalasan Berdarah 1
Raja Petir Pembalasan Berdarah Bagian 1
PEMBALASAN BERDARAH oleh Bondan Pramana Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .
Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit Bondan Pramana Serial Raja Petir Dalam episode 001.
Pembalasan Berdarah 136 hal ; 12 x 18 cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Usia senja nampaknya sudah semakin larut saja.
Bahkan keindahannya makin terganggu oleh ledakan guntur yang terdengar saling bersahutan.
Sebentar kemudian, air mengucur cukup deras, ditumpahkan langsung dari langit.
Sehingga membuat para penduduk Desa Tegalreja sedikit sibuk.
Sementara sebagian penghuni rumah yang terbuat dari papan, tampaknya lebih suka berada di dalamnya.
Memang, rata-rata rumah penduduk di desa itu terbuat dari papan.
"Hujan seperti ini biasanya bertahan lama,"
Kata lelaki di dalam sebuah pondok sambil menempatkan lampu di dinding kayu.
Lelaki berpakaian serba putih itu melangkah perlahan, menghampiri istrinya yang tengah menyusui anaknya yang berusia baru empat puluh lima hari.
Seorang bayi laki-laki yang nampak begitu montok.
Lelaki itu berhenti agak jauh dari sisi tempat tidur.
Matanya yang begitu sarat oleh kegembiraan, diarahkan pada istrinya lamat-lamat.
Tak lama kemudian, lelaki berumur tak lebih dari tiga puluh tahun itu duduk di bibir tempat tidur.
Sebentar tangannya mencekal paha anak lelakinya yang dirasakan begitu kenyal.
"Kulitnya tebal dan berotot,"
Kata lelaki itu lagi seraya mencium bayinya yang nampak begitu sehat.
Sementara di luar sana, hujan semakin deras mengucur diiringi guntur yang bersahut-sahutan.
Udara dingin nampak semakin menusuk kulit.
Tidak ada yang tahu kalau tiba-tiba dari balik kerimbunan pohon sebelah Timur, melenting beberapa sosok bayangan hitam yang jumlahnya sekitar sepuluh orang.
Mereka sudah menjejakkan kakinya dengan indah di atas tanah becek.
Sedikit pun tak terdengar suara saat kaki mereka mendarat bersamaan.
Jelas, kesepuluh bayangan itu bukanlah orang-orang sembarangan! Paling tidak, kepandaian mereka tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu bayangan itu tampak mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian merentangkannya.
Rupanya dia memberi aba-aba agar kesembilan bayangan lainnya berpencar ke empat penjuru rumah yang menjadi sasarannya.
Tak lama setelah kesembilan bayangan tadi menghilang dari hadapannya, lelaki yang nampak berwajah kasar dengan sebaris luka memanjang di pipi sebelah kiri itu melangkah perlahan.
Dia menuju pintu rumah yang dihuni suami istri yang sedang tenggelam dalam kebahagiaan karena telah dikaruniai seorang bayi.
Tiba di depan pintu kayu, kepala lelaki bertampang angker itu menoleh kekanan, kekiri, dan kebelakang.
Entah apa yang dicarinya.
Yang jelas, setelah tak ada sesuatu yang dikhawatirkan, tanpa ragu lagi dia mengetuk pintu di hadapannya.
Sebentar laki-laki itu menunggu, tak lama kemudian terdengar suara ayunan langkah dari balik pintu.
Lalu, terdengar suara berderak pintu yang terbuka.
"Kakang!"
Sebut lelaki berbaju putih yang baru dikaruniai anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu, seperti menahan perasaan.
Tapi sebentar kemudian, dia mampu menguasai keadaan.
Langsung dipersilakannya lelaki yang sudah dikenalnya itu untuk masuk.
Maka, laki-laki berwajah angker itu segera masuk.
"Tak kusangka, Kakang akan datang kemari,"
Ujar lelaki berbaju putih itu sambil menggeser bangku kayu.
"Duduklah, Kakang."
Lelaki berbaju merah menyala yang dipanggil kakang melepas senyum sinisnya sambil mengangkat kaki, dan meletakkannya di atas bangku yang disediakan oleh tuan rumah tadi.
"Sepertinya ada perlu penting, sehingga Kakang datang ke sini,"
Duga si tuan rumah. Lelaki berbaju serba putih itu melipat kedua tangan dan menyilangkan di depan dada. Dia sesungguhnya sudah tahu maksud kedatangan orang di hadapannya ini.
"Sangat penting!"
Sentak lelaki berwajah angker itu.
Suara lelaki berpakaian merah menyala dan berkepala botak itu terdengar menggelegar.
Bahkan kursi yang ada dalam pijakannya langsung dihantam dengan kakinya sambil menyeringai buas.
Tampangnya benar-benar angker.
Sepasang palu bergerigi warna hitam dengan rantai baja, yang dililitkan di pinggang, memberi kesan kuat akan keangkerannya.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin aku bisa membantu,"
Ujar lelaki berbaju putih, tenang. Sedikit pun tak nampak kegugupan pada ucapannya. Wajahnya pun tidak nampak ada ketegangan.
"Aku akan menjemput Purwakanti!"
Keras suara lelaki botak itu.
Purwakanti adalah istri lelaki berbaju putih itu.
Dia yang mendengar ucapan tadi menjadi tersentak.
Tapi, hatinya sedikit pun tak ada rasa takut Purwakanti yakin, suaminya yang bernama Sempani itu akan mampu menandingi kedigdayaan kakak seperguruannya yang saat ini tengah mengadu urat dengan suaminya.
Lelaki berbaju merah menyala yang merupakan kakak seperguruan Sempani memang mempunyai watak telengas.
Sepak terjangnya benar-benar merugikan orang banyak.
"Kau tidak lihat, Kakang Gandewa? Antara aku dan Kakang Sempani sudah terjalin suatu ikatan yang tak mungkin dapat dipisahkan! Bahkan di antara kami telah hadir sosok bayi yang menandakan, betapa kuatnya hubunganku dengan Kakang Sempani. Jadi, untuk apa kau menjemputku?"
Sentak Purwakanti.
Lelaki berkepala botak yang ternyata bernama Gandewa tersenyum nyinyir.
Sebentar kemudian, senyumnya ditukar dengan ledakan tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sempani sangat terkejut mendapat serangan tawa ini.
Cepat-cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi tawa lelaki berkepala botak itu.
Begitu juga yang dilakukan Purwakanti.
Tapi, bagaimana dengan bayi yang berada dalam pelukannya? Tiba-tiba secara berbarengan, Sempani dan Purwakanti mengibaskan tangan kanannya.
Dari gerakan yang cukup kuat itu, terciptalah hembusan angin dahsyat yang mampu mengusir tawa Gandewa.
"Apa maumu, Gandewa?!"
Sentak Sempani, mulai naik pitam. Lelaki berkepala botak yang bernama Gandewa itu kembali terkekeh. Namun, kali ini tak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Sudah kukatakan, kedatanganku ke sini untuk menjemput Purwakanti, kekasihku,"
Jawab Gandewa sambil memandang genit ke arah Purwakanti.
"Kekasihmu?!"
Teriak Purwakanti, meleceh.
"Cih! Tak tahu malu! Siapa yang sudi jadi kekasihmu."
Purwakanti langsung maju menyerang. Tapi, Sempani lebih cepat menahan langkah istrinya. Sehingga, Purwakanti hanya mampu menahan geram saja.
"Jangan gegabah! Dia bukan Kakang Gandewa yang bisa dianggap remeh seperti dulu,"
Ujar Sempani, mengingatkan. Purwakanti kini hanya menatap sinis ke arah lelaki botak yang tak tahu diri itu.
"Kau masih tetap cantik dan galak seperti tiga tahun lalu, Kanti. Namun itulah yang membuatku tak mampu melupakan dirimu. Kecantikanmu, kegalakanmu, dan..., suaramu. Ya, suaramu yang merdu membuatku tak mampu melupakanmu. Itulah sebabnya, aku datang menjemputmu sekarang."
Gandewa menyebar senyumnya. Sedangkan Sempani begitu jijik menyaksikan senyum itu. Namun sejauh ini, amarahnya berusaha dikekang.
"Jangan harap aku sudi menerima ajakanmu!"
"Hm..., Jangan sampai aku bertindak kasar, Kanti!"
Bentak Gandewa.
"Kau pikir, bisa semudah itu?"
Purwakanti mencibir, seraya melirik ke arah Sempani.
"Mestinya kau sadar, dengan siapa sekarang berhadapan, Kanti. Namaku memang tetap seperti yang pernah kau kenal dulu. Gandewa! Tapi, aku bukanlah Gandewa tiga tahun lalu, yang selalu kau lecehkan. Dan sekarang kau harus mematuhi perintah dan keinginanku. Aku sekarang adalah penguasa di daerah ini!"
"Kalau aku tidak mematuhi?"
Pancing Purwakanti kesal.
"Aku akan menurunkan tangan kejam. Dan kalian, kuharap jangan menyesal!"
"Setan gundul!"
Purwakanti langsung bergerak cepat sehingga Sempani sampai terkejut Namun ia tak mampu lagi membendung kemarahan istrinya yang tiba-tiba menyerang Gandewa.
Luar biasa! Apa yang dirasakan Purwakanti betul-betul di luar dugaannya.
Serangannya yang tiba-tiba dilancarkan, mampu dielakkan Gandewa begitu saja dengan memiringkan tubuhnya sedikit Dan begitu serangan pertamanya gagal, Purwakanti kembali mengirim serangan dengan menyodokkan tangan kanan ke arah ulu hati Gandewa.
Sementara, tangan kirinya digunakan untuk menggendong bayinya.
"Akh!"
Pekik Purwakanti. Seketika dia merasakan sengatan yang teramat kuat di pergelangan tangannya, ketika tangan Gandewa berhasil menepis serangannya.
"Sudah kukatakan, Gandewa sekarang lain dengan Gandewa tiga tahun lalu. Turuti sajalah keinginanku, Kanti."
"Keparat!"
Purwakanti kembali menyerang, tapi Sempani lebih cepat meneegah.
"Jangan gegabah, Kanti! Ingat bayi kita,"
Cegah Sempani sedikit keras. Purwakanti kontan mengurungkan niatnya. Didekapnya bayinya kuat-kuat, dan dikecupnya sebentar.
"Kakang Gandewa, bisa kumaklumi apa yang menjadi keinginanmu. Tapi sayang, aku tak bisa mengabulkan keinginan Kakang yang tak masuk akal itu,"
Tukas Sempani. Betapa terkejutnya Gandewa mendengar ucapan adik seperguruannya. Giginya beradu, dan tangannya terkepal kuat. Lalu.... Brakkk...! Seketika meja yang ada di hadapan lelaki berkepala botak itu hancur terhantam kepalannya.
"Rupanya kau sudah punya nyali, Sempani!"
Bentak Gandewa keras. Sempani hanya menimpali dengan senyum.
"Kau masih seperti dulu, Sempani. Masih suka merendahkan orang lain. Padahal kau tahu, siapa aku dan bagaimana aku menyingkirkan Eyang Seleguri dari muka bumi ini. Hm.... Lelaki tua busuk itu memang pantas kulenyapkan. Dialah yang selama ini jadi penghalangku untuk mendapatkan Purwakanti. Dia rupanya pilih kasih, sehingga memilihmu daripada aku. Kau masih ingat itu, Sempani?"
"Tentu ingat, Kakang Gandewa. Aku juga ingat kelicikanmu. Mana mungkin kau mampu menandingi kehebatan Eyang Seleguri kalau tidak menggunakan empat pembokong gelap. Kakang telah keluar sebagai pemenang tapi dengan cara licik. Dan itu tindakan yang tidak ksatria, Kakang."
"Bedebah laknat!"
Gandewa langsung bergerak cepat mengirim serangan bertenaga dalam penuh ke lambung Sempani.
Menyaksikan gelagat yang tidak baik, Sempani secepat kilat memiringkan tubuhnya ke kanan.
Maka pukulan bertenaga dalam penuh yang dikerahkan Gandewa hanya menyambar ruang kosong.
Namun demikian, Sempani merasakan angin keras dari pukulan Gandewa.
Dan belum lagi Sempani membetulkan letak berdirinya, Gandewa kembali menyerang.
Bahkan kali ini menggunakan jurus 'Seribu Topan Membelah Samudera' yang didapat dari Eyang Seleguri.
"Hup!"
Sempani melentingkan tubuhnya ke belakang.
Namun, Gandewa terus mencecar dengan jurus-jurus yang berubah-ubah.
Tidak heran dalam waktu singkat, sepuluh Jurus sudah digelar Gandewa.
Tapi sampai sejauh ini, belum ada satu pun yang bisa untuk mendesak Sempani.
Padahal, Sempani sendiri hanya menghindar, meladeni serangannya.
Tentu saja hal ini membuat geram hati Gandewa.
Padahal, serangan yang dilontarkannya tidak main-main.
"Sempani!"
Bentak Gandewa keras.
"Jangan menyesal bila malaikat maut menjemputmu sekarang, dihadapan anak istrimu!"
"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, Kakang!"
"Bedebah!"
Semakin geram hati Gandewa mendengar ucapan Sempani.
Langkah kakinya yang sudah telanjur maju, ditariknya kembali.
Gandewa kini bermaksud memberi pelajaran terakhir pada Sempani.
Laki-laki berkepala botak dan berwajah angker itu merenggangkan sedikit kakinya.
Sedangkan kedua telapak tangannya ditempelkan satu sama lain, kemudian diangkat tinggi-tinggi hingga melewati ubun-ubun.
Dan kini tangannya diturunkan, lalu berhenti tepat di depan dadanya yang bidang.
Sempani sebenarnya sedikit bingung juga menyaksikan gerakan yang dilakukan bekas saudara seperguruannya.
Betapa tidak? Kini kedua telapak tangan Gandewa nampak dikelilingi cahaya merah yang menyebarkan panas ke seluruh ruangan.
"Seluruh kemampuanmu harus kau kerahkan, Sempani. Itu jika kau masih ingin menikmati matahari esok pagi,"
Ancam Gandewa sambil menatap tajam.
"Ajian ini sangat langka. Rasanya sukar sekali bagi orang yang memiliki ilmu olah kanuragan rendah sepertimu untuk mengelak. Bersiaplah menghadapi aji 'Pembeku Darah'."
Setelah berkata demikian, Gandewa langsung menaikkan tangannya melewati kepala. Sinar merah yang mengelilingi telapak tangannya terlihat berpencar.
"Haaat...!"
Seberkas sinar melesat cepat dari sampokan tangan Gandewa ke arah Sempani.
"Hip!"
Sempani memasang kuda-kuda dengan kedua tangan disilangkan di atas.
"Aku ingin tahu, sampai di mana keampuhan aji 'Pembeku Darah' yang kau miliki, Kakang,"
Tantang Sempani, tak kalah dingin.
Tubuhnya kini sudah terbungkus sinar keperakan.
Dan ketika sinar merah yang dikirim Gandewa itu membentur tubuh Sempani, maka....
Blarrr...! Betapa terkejutnya hati Gandewa menyaksikan keadaan Sempani yang masih seperti sediakala.
"Hebat kau, Sempani,"
Puji Gandewa menutupi keterkejutannya. 'Tiga tahun lamanya kita tak berjumpa. Dan ternyata, kau sudah punya kebolehan yang patut diandalkan. Sungguh tak kusangka."
"Kebolehan yang kumiliki sesungguhnya tidak terlalu hebat. Hanya aji 'Pembeku Darah' milikmu itu terlalu dangkal, karena tak ada kekuatan di dalamnya. Buang saja ajianmu itu, Kakang,"
Ejek Sempani.
"Dan perlu kau ketahui. Aji 'Baja Raga' yang kupamerkan tadi merupakan pemberian Eyang Seleguri. Itu merupakan hadiah untuk muridnya yang berbakti. Tidak seperti Kakang yang selalu membangkang!"
"Persetan dengan Seleguri!"
Pekik Gandewa keras. Sungguh tak disangka kalau seiring pekikan itu, Gandewa menyertakannya dengan sebuah ajian dengan sambaran tangan kanannya. Aji 'Dewa Api' namanya.
"Akh...!"
Sempani menjerit kesakitan ketika bahunya terasa seperti terbakar. Bau sangit dan kulit terbakar seketika tercium hidung Sempani. Tampak bahu sebelah kirinya hangus, setelah tangan kanan Gandewa berhasil mendarat telak.
"Licik kau, Gandewa!"
Maki Sempani sambil mencabut pedang dari balik punggungnya. Gandewa hanya terkekeh melihat pedang wama keemasan yang siap menantangnya.
"Tahanlah, Sempani!"
Sentak Gandewa.
Gandewa kembali mengirim aji 'Dewa Api' ke arah Sempani dengan sambaran tangan kiri.
Namun, kali ini Sempani lebih waspada.
Cepat-cepat dia membuang dirinya ke kanan, lalu berjumpalitan di lantai.
Kemudian, dia bangkit berdiri sambil mengibaskan pedang keemasan di tangannya.
Gandewa terkekeh-kekeh menyaksikan Sempani sibuk menghindari serangan-serangannya.
"Tahan lagi, Sempani!"
Sempani tak bergeming sedikit pun melihat Gandewa kembali melancarkan serangan.
Dia hanya berdiri mantap, dengan meletakkan pedang keemasannya sejajar hidung.
Sementara itu, kedua tangan Gandewa sudah tercipta api yang membentuk seperti bola.
Dan ketika tangannya dihentakkan, maka seketika meluncur bulatan api yang mengarah ke tubuh Sempani.
Namun bulatan api ciptaan Gandewa itu dibiarkan meluruk maju.
Dan ketika sudah semakin dekat, Sempani memajukan sedikit pedang keemasannya.
Baru kerika menyentuh pedang yang berada di tangannya, bara api itu seperti tak berpengaruh apa-apa, seperti tertelan sinar keemasan yang keluar dari bilah pedang Sempani.
Melihat hal ini, Gandewa kembali tercengang.
"Sudah kukatakan, jangan terlalu banyak bermain-main, Gandewa!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara teguran keras yang datangnya entah dari mana.
Dan belum lagi gema suara itu hilang, mendadak muncul empat sosok tubuh yang berlompatan ringan di samping kiri-kanan Gandewa.
Melihat dari gerakan mereka, jelas kalau ilmu meringankan tubuh mereka sudah cukup tinggi.
Sempani terkejut juga menyaksikan keberadaan empat tokoh aliran sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat.
Begitu juga dengan Purwakanti yang sedang menggendong bayinya.
Bagaimanapun juga, suami istri itu sadar, dengan siapa sekarang sedang berhadapan.
Bahkan Eyang Seleguri sendiri tak akan mampu menghadapi Empat Setan Goa Mayat.
Apalagi suami istri itu.
"Kau rupanya terkejut juga, Sempani!"
Ujar salah seorang dari Empat Setan Goa Mayat Dia mempunyai nama asli Regita.
Konon, sepak terjangnya sangat ditakuti.
Julukannya dalam rimba persilatan adalah Telapak Setan.
Walaupun berjenis kelamin perempuan, namun dia betul-betul berhati setan! "Terkejut?"
Ledek Sempani.
"Kalian pikir, aku anak baru kemarin, heh!?"
"Ha ha ha.... Ini tantangan yang menarik, Gandewa! Ayo, jangan buang-buang waktu. Sebentar lagi ayam berkokok. Kita sudahi saja permainan ini."
Dia adalah laki-laki kekar berotot dan berjubah hitam.
Selesai menuntaskan ucapannya, tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Gerakan yang nampak aneh itu segera diikuti rekannya.
Hanya Gandewa yang kelihatan malah melepaskan lilitan rantai baja di pinggangnya.
Sepasang palu bergerigi warna hitam nampak terikat pada ujung rantai.
"Hiaaat...!"
Gandewa meluruk maju mendahului Empat Setan Goa Mayat.
Sepasang palu bergeriginya berputar-putar cepat di atas kepalanya.
Hawa dingin menggigilkan seketika keluar dari putaran palu bergerigi yang tak tampak wujudnya.
Hanya lingkaran kehitaman saja yang nampak di atas kepala Gandewa.
"Alirkan hawa murnimu ke tubuh Jaka Sembada, Kanti!"
Teriak Sempani lantang. Biar bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan keadaan anaknya.
"Tak ada artinya, Sempani!"
Ejek Gandewa.
"Kalian semua harus mati, kecuali Purwakanti."
"Setan!"
Sempani memutar pedang keemasannya untuk mengusir hawa dingin yang semakin menggigit. Blarrr...! Salah satu palu bergerigi milik Gandewa yang diluncurkan membentur dinding, ketika Sempani mengegos ke kiri.
"Satu lagi, Sempani!"
Gandewa kembali melepas Palu bergerigi ke arah Sempani yang seketika juga memutar tubuhnya dan melakukan lompatan dua kali.
"Biar aku saja yang menghabisinya, Gandewa!"
Pinta Telapak Setan.
Perempuan itu kemudian melompat ke hadapan Sempani, diikuti ketiga rekannya.
Sementara, Gandewa mengurungkan niatnya untuk menyerang.
Dibiarkan saja empat orang lawannya menyerang dari empat penjuru.
Beberapa saat kemudian.
Wusss...! Perempuan setan itu segera mengibaskan tangannya.
Begitu juga yang dilakukan ketiga rekannya.
Gerakan mereka begitu serempak, dan sepertinya tak mengeluarkan apa-apa.
Tapi dari bau yang keluar, sudah membuat Sempani sibuk memutar-mutar pedang keemasannya.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Mendapat serangan dari empat penjuru, Sempani benar-benar kelabakan.
Bahkan ketika empat lawannya melepaskan benda lembut berwama keperakan, dia jadi terkesiap.
Cepat-cepat tubuhnya melenting dan bersalto dua kali.
Tapi, tetap saja salah seorang pengeroyoknya telah membaca gerakannya.
Maka, serangan yang rupanya berupa jarum-jarum beracun itu tak bisa dihindari.
Maka....
"Aaakh...!"
Sempani menjerit keras ketika dada sebelah kanannya terkena tusukan puluhan jarum beracun. Pedang keemasannya pun terpental agak jauh.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang sejak tadi. Serahkan saja Purwakanti padaku, habis perkara. Dan kau tak perlu susah-susah merasakan sakit seperti itu. Kau bisa selamat dan mencari perempuan lain. Tapi sekarang..., ha ha ha.... Kau akan mati dengan tubuh membiru."
Sempani bangkit hendak meraih pedangnya, tetapi....
Bug! Tendangan telak mendadak dilancarkan oleh lelaki berbaju biru langit, sehingga membuat Sempani terjengkang mencium tanah.
Laki-laki yang baru saja menendang itu namanya Angkara.
Badannya kurus, tapi wataknya telengas.
Melihat lawannya sudah tak berdaya, tapi tetap saja dia masih memberikan tendangan.
Purwakanti tersedak.
Bayinya segera diletakkan di atas tempat tidur.
Lalu dengan cepat, dia menghambur dan menubruk Sempani.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?"
Tanya Purwakanti khawatir sambil memegangi tubuh suaminya.
"Sebaiknya kau melarikan diri, Kanti. Selamatkan anak kita. Biar aku yang menghadang mereka. Cepat, Kanti!"
Sempani berusaha bangkit, seraya mendorong sedikit tubuh Purwakanti.
"Cepat, Kanti! Selamatkan Jaka Sembada."
"Tak ada gunanya kalian lakukan itu,"
Perempuan yang berjuluk Telapak Setan itu terkekah.
"Anak buahku sudah mengepung bangunan ini. Lagi pula, dengan tubuh yang membiru seperti itu, mana kuat kau menghadang kami."
"Cepat, Kanti!"
Ujar Sempani kembali, agar Purwakanti cepat pergi.
"Tapi, Kakang...."
"Cepat kataku!"
Purwakanti baru hendak melesat pergi, namun tiba-tiba tubuhnya terasa ada yang menahan.
Ternyata segulung sinar kehitaman ciptaan seorang lelaki yang mengenakan topeng berbentuk tak karuan telah berputar-putar di leher dan pergelangan kakinya.
Sehingga, mau tak mau gerakannya jadi tertahan.
Sementara, Sempani tengah sibuk melawan hawa dingin yang sudah merasuk ke tulang sumsum.
Sedangkan Gandewa sudah maju mendekati Purwakanti yang tak berdaya terkurung sinar kehitaman lelaki bertopeng.
Nama sebenarnya lelaki bertopeng itu adalah Barrot.
Tapi karena setiap kemunculannya menggunakan topeng hitam, dia dijuluki si Topeng Hitam.
Tuk! .
"Akh!"
Purwakanti mengeluh terkena totokan Gandewa.
Maka, seketika tubuhnya terasa tanpa daya.
Sempani makin pasrah saja saat si Topeng Hitam mendekatinya dengan golok terhunus.
Mata Sempani hanya mampu terbeliak lebar saat dengan cepat golok Barrot siap menghunjam tubuhnya.
Dan....
Blesss! "Akh...!"
Pekikan tertahan yang keluar dari mulut Sempani, semakin membuat Purwakanti terkejut. Namun dengan keadaan tanpa daya seperti ini, dia tak mampu berbuat apa-apa.
"Kakang...!"
Panggil Purwakanti. Dengan linangan air mata, disaksikannya tubuh Sempani terbujur kaku dengan sebilah golok berbentuk aneh tertanam tepat di jantung.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!"
Ujar Gandewa sambil menggendong tubuh Purwakanti.
"Bagaimana dengan bayi itu?"
Selak Barrot.
"Biar aku yang habisi,"
Kata lelaki yang bersenjatakan cambuk berduri.
Dia bernama Jatianom.
Tubuhnya tinggi besar.
Wajahnya yang kasar dihiasi cambang bauk.
Sehingga menambah keangkeran wajahnya.
Kini dihampirinya ranjang yang terbuat dari jati ukir itu.
Cambuk berdurinya pun sudah diangkat tinggi-tinggi.
Ada sinar kebencian ketika cambuknya diarahkan ke bayi merah anak Sempani dan Purwakanti itu.
"Jangan kau kotori cambukmu dengan darah bayi yang tak berdosa, Jatianom!"
Tahan Regita ketika cambuk berduri Jatianom mulai terayun. Jatianom mengurungkan niatnya. Dipandanginya Regita dengan tatapan aneh.
"Apa maksudmu, Regita?"
Tanyanya tak puas.
"Anak ini akan jadi penghalang kalau tidak dibinasakan sekarang."
Regita tak segera menyahuti pertanyaan Jatianom yang disertai nada kekecewaan. Si Telapak Setan yang berhati setan itu hanya menyunggingkan senyum dingin.
"Aku tak bermaksud membiarkan bayi itu hidup, Jatianom,"
Lanjut Regita setelah sekian saat membalas tatapan tajam Jatianom. Jatianom tersenyum mendengar ucapan Regita.
"Biarkan bayi itu terkubur oleh abu bangunan rumah ini. Ayo..., hup!"
Regita melempar lampu yang menempel di dinding.
Tubuhnya melesat cepat meninggalkan rumah Sempani yang mulai dimakan api.
Sementara, Gandewa yang membopong tubuh Purwakanti, Angkara, Jatianom dan Barrot melesat tak kalah cepat.
*** Ayam mulai berkokok satu-satu dari kejauhan, seiring semakin benderangnya api yang menjilati bangunan rumah Sempani.
Tiang-tiang penyangga yang terlalap api satu-satu berjatuhan ke lantai.
Sementara di atas tempat tidur yang belum terjamah api, seorang bayi tengah bergerak-gerak dengan tangisan yang melengking.
Seolah-olah hendak menandingi suara dinding-dinding papan yang berguguran ke lantai rumah akibat termakan api.
Seiring lengking tangis yang memilukan, selarik bayangan biru meluruk masuk menerobos kobaran api yang berkobar dengan ganas.
Bayangan itu ternyata adalah seorang kakek.
Gerakannya sangat cepat, walaupun usianya sudah lanjut Dia berhenti tepat di depan tempat tidur dari jati ukir.
Kakek berjubah biru itu menatap bayi yang terus menangis! Sementara keadaan di dalam kediaman Sempani layaknya seperti neraka saja.
Begitu panas! Segera kakek beijubah biru itu menggendong bayi yang kepanasan.
Begitu cepatnya kakek berjubah biru itu bergerak, sehingga sebentar saja tubuhnya sudah jauh meninggalkan rumah yang semakin habis dijilart api.
Sulit untuk menerka, setinggi apa ilmu yang dimiliki kakek itu.
*** Hari terus berjalan dari waktu ke waktu.
Bulan berganti bulan.
Tahun berganti tahun.
Tak terasa, sudah sepuluh tahun peristiwa pembantaian di Desa Tegalreja berlalu.
Bahkan telah dilupakan orang.
Sementara itu, di puncak Gunung Kalaban, tampak kabut tebal masih menyelimuti.
Gerakannya perlahan-lahan, mulai turun.
Kemudian, kabut itu mulai tergeser oleh sinar matahari yang keluar dari peraduannya.
Seorang kakek beijubah biru tampak sedang duduk bersila di sebuah ruangan yang lebih mirip lorong.
Tak jauh dari situ, duduk seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun lebih.
Tampaknya, dia sedang melatih diri.
"Sempurnakan jurus yang terakhir, Jaka!"
Perintah kakek berjubah biru, setelah meneguk air yang ada di depannya.
Kakek berjubah biru itu kemudian menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Ditatapinya bocah kecil yang bernama Jaka yang tengah begitu tekun melatih ilmu olah kanuragan.
Sesungguhnya ada yang mengusik hati kakek berjubah biru itu manakala menyaksikan kesungguhan Jaka berlatih.
Lagi pula..., kakek berjubah biru itu kembali menarik napas.
Betapa inginnya seluruh ilmu yang dimilikinya diturunkan.
Tapi, mana mungkin hatinya tega memperkenalkan Jaka di mata orang-orang rimba persilatan sebagai pewaris ilmu golongan hitam? Kembali kakek itu meneguk minuman yang ada di hadapannya.
Kerongkongannya terasa kering mengingat sepak terjangnya pada masa lalu yang sudah merenggut puluhan, bahkan ratusan nyawa orang tak bersalah.
Bukan itu saja.
Akibat perbuatannya juga, nyawa kepala-kepala suatu padepokan telah hilang.
Bahkan tak jarang dia menghancurkan beberapa padepokan, dan membakarnya hingga rata dengan tanah.
Kakek berjubah biru itu juga ingat saat dirinya pernah menyelamatkan nyawa seorang perempuan dari keroyokan tokoh aliran hitam.
Tujuannya sebetulnya bukan karena tak tega melihat kesewenangan.
Tapi justru sebaliknya.
Dia telah tertarik pada kecantikan perempuan yang ditolongnya, yang ternyata bernama Selasih.
*** Selasih memang begitu santun budinya.
Rasa terima kasihnya yang begitu besar, diperlihatkan pada Legar yang telah membebaskannya dari keroyokan tokoh-tokoh aliran hitam.
Dan itu dibuktikan ketika Legar menginginkannya untuk menjadi seorang sahabat.
Selasih tak menolak, meski belakangan ia tahu kalau Legar sesungguhnya seorang lelaki dari golongan hitam yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa! Dan ketika terang-terangan si Hantu Pemburu Nyawa yang dengan jubah birunya, hingga penampilannya begitu angker, mengungkapkan perasaannya.
Waktu itu Selasih tak menolak.
Karena, perempuan itu beranggapan kalau manusia itu pada dasarnya baik.
Begitu juga Legar yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa.
Hanya saja, hatinya sejak dulu tertanam keangkaramurkaan dan nafsu setan yang tak terkendali.
"Kau mau menerima diriku, Selasih?"
Begitu lembut pertanyaan yang keluar melalui bibir Legar waktu itu.
Ucapannya yang tersusun rapi, tak mencerminkan kalau Legar adalah seorang tokoh aliran hitam yang sering berurusan dengan darah dan kematian.
Namun justru hal inilah yang menjadi pertimbangan Selasih.
Ada suatu ketulusan dalam penuturan Legar.
Maka, Selasih perlahan menganggukkan kepala, untuk menerima kehadiran Legar di sampingnya.
Tentu saja ada satu syarat yang menyertai anggukannya.
"Ada syaratnya, Kakang Legar,"
Kata Selasih, lembut.
"Apa syarat itu, Selasih?"
Juga masih begitu lembut suara si Hantu Pemburu Nyawa.
"Kau bersedia meninggalkan kebiasaan burukmu selama ini, Kakang Legar?"
Pinta Selasih, disertai senyumnya yang manis sekali.
Ada keterenyuhan yang menyejukkan, menyelusup rongga dada si Hantu Pemburu Nyawa.
Tak biasanya dia mengalami perasaan itu.
Tapi, kali ini? Perasaan Legar benar-benar terkuasai kata-kata lembut yang diucapkan Selasih sebagai persyaratan.
Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa begitu yakin ketika menganggukkan kepalanya.
Namun, Selasih juga ingin penegasan dari arti anggukan kepala itu.
"Aku bersungguh-sungguh, Selasih. Duniaku yang selama ini tercemar oleh keonaran dan kekejian, akan segera kutinggalkan,"
Tegas Legar.
Manusia memang hanya berusaha, dan Tuhanlah yang menentukan.
Walaupun Legar menunjukkan kesungguhannya, namun tetap saja nasib menentukan lain.
Ternyata tokoh-tokoh aliran putih menentang hubungan mereka habis-habisan.
Bahkan menuduh Legar telah meracuni Selasih dengan janji-janji kosong.
"Manusia keji selamanya akan tetap keji,"
Begitu yang selalu diucapkan mereka terhadap si Hantu Pemburu Nyawa.
Dan pada kenyataannya, Legar tak kuasa membantah.
Apalagi bukti-bukti janjinya itu belum mampu diperlihatkannya.
Begitu pula yang dialami Selasih.
Dirinya tak bisa menentang keinginan orang-orang yang dekat dengannya agar menjauhi Legar.
Dia benar-benar tak mampu berbuat apa-apa.
"Akan kubuktikan tuntutan orang-orang yang dekat denganmu, Selasih. Meski aku yakin antara kita tak dapat bersatu, namun akan tetap kuwujudkan niat baikku. Aku akan mengasingkan diri, meninggalkan keramaian rimba persilatan yang tak pernah selesai ini." *** "Eyang. Sudah tujuh kali aku mengulangi jurus yang terakhir, tapi...."
Kakek berjubah biru yang bernama Legar itu masih pada ketermenungannya. Sungguh tak disadari kalau bocah berusia sepuluh tahun sudah bersila di hadapannya dengan tutur kata lembut.
"Eyang... Eyang Legar,"
Jaka kembali memanggil kakek beijubah biru itu.
"Eyang Le...."
"Heh! Eh, oh.... Sudah berapa kali kau mengulangi jurus terakhir, Jaka?"
Eyang Legar seketika tergagap, lamunannya tentang masa lalu bersama Selasih seketika lenyap.
"Tujuh kali, Eyang."
"Tujuh kali?"
"Benar, Eyang. Apa sudah ada peningkatan?"
Eyang Legar tak segera menjawab pertanyaan bocah kecil di hadapannya.
Hatinya seketika tersentak.
Baru disadari kalau sejak tadi dia tidak memperhatikan latihan cucu angkatnya.
Pikirannya terlalu asyik dengan masa lalunya.
Wajah Eyang Legar sebenarnya memerah, namun segera cepat dapat ditahannya.
"Coba kau ulangi sekali lagi,"
Pintanya. Jaka tak membantah. Ia segera bangkit, dan langsung memainkan jurus terakhir dengan sungguh-sungguh. Plok, plok, plok...! "Bagus! Bagus sekali, peningkatan yang luar biasa. Jurus terakhir yang kau mainkan begitu sempurna, Jaka,"
Puji Eyang Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa, seraya mengelus-elus jenggotnya.
"Apa Eyang akan menurunkan jurus yang lainnya?"
Eyang Legar tak menjawab pertanyaan bocah kecil di hadapannya.
Mata tuanya yang tajam langsung menatap wajah Jaka.
Seolah-olah, kakek berjubah biru itu ingin mengetahui, apa saja yang tersimpan di dalam benak bocah di hadapannya.
Sebentar kemudian, Eyang Legar menarik napas dalam-dalam.
Mungkin inilah saatnya dia menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, sekaligus memberikan alasan kenapa dirinya tak menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya.
"Maafkan Eyang, Jaka. Rasanya seluruh ilmu yang kumiliki tak pantas diwarisi oleh bocah bagus sepertimu,"
Lembut namun pasti ucapan yang keluar dari mulut Eyang Legar.
"Kenapa bisa begitu, Eyang? Apakah karena aku masih terlalu kecil untuk mewarisi seluruh kepandaianmu?"
Eyang Legar menggelengkan kepalanya.
"Kau belum tahu, siapa diri Eyang yang sesungguhnya, Jaka."
"Maksud Eyang?"
Jaka menatap lurus, langsung menusuk ke bola mata Eyang Legar.
"Semasa muda, aku adalah seorang tokoh rimba persilatan yang disegani lawan maupun kawan. Tak satu pun tokoh rimba persilatan yang mampu menandingi kedigdayaanku. Eyang memang bangga akan apa yang telah Eyang miliki. Namun, kebanggaan itu telah membawa diriku pada kesombongan yang akhirnya melahirkan banyak keresahan. Eyang berubah menjadi seorang tokoh persilatan yang kejam. Pemerasan dan pembunuhan sering kulakukan. Hingga pada akhirnya, aku menggelari diri sebagai Hantu Pemburu Nyawa,"
Tutur Eyang Legar. Si Hantu Pemburu Nyawa itu menghentikan ceritanya sebentar. Ditatapnya bocah kecil di hadapannya. Sepertinya, dia ingin menuangkan segala perasaannya. Sementara yang ditatap hanya menunduk, seperti berusaha memahami ucapan gurunya.
"Julukan itu memang begitu angker terdengar di telinga. Namun, aku begitu bangga waktu itu. Pembantaian pun lebih sering lagi kulakukan. Siapa saja yang berani berurusan denganku, maka harus berani pula menyerahkan nyawanya. Berapa banyak tokoh sakti yang telah kutaklukkan dan kukirim ke akhirat. Namun, ketika suatu hari Eyang berjumpa dengan Selasih...,"
Kakek beijubah biru itu menghentikan ceritanya seraya membuang mukanya ke kanan, untuk menghindari agar cucu angkatnya tak melihat kalau matanya mulai merembang. Dia tak ingin tangisnya diketahui Jaka.
"Eyang berhasil ditaklukkan Selasih?"
Tanya Jaka ingin tahu.
"Tidak Jaka,"
Kata Eyang Legar sambil menggelengkan kepala.
"Lalu...."
Hantu Pemburu Nyawa mengarahkan pandangannya pada wajah Jaka, matanya seperti tak berkedip. Sebentar kemudian dari mulutnya mengalir cerita tentang dirinya dan Selasih.
"Karena Selasih, aku rela meninggalkan kebiasaanku yang selalu berurusan dengan darah dan kematian Karena Selasih pula aku rela menghilang dari rimba persilatan dan pergi jauh mengasingkan diri ke gunung ini."
Kembali Jaka tertunduk mendengar cerita Eyang Legar.
"Aku rasa kau mengerti, kenapa aku tak mewarisi ilmu yang kumiliki. Aku tak ingin nantinya kau dikenal sebagai seorang tokoh dari golongan hitam. Mereka yang berkecimpung dalam rimba persilatan, telah mengenal betul jurus-jurus yang kumiliki. Dan mereka juga telah menggolongkanku dalam aliran sesat,"
Jelas Eyang Legar. Kakek berjubah biru ini meletakkan kedua tangannya yang nampak masih kekar pada bahu Jaka. Sementara bocah berusia sepuluh tahun itu tetap duduk terpekur.
"Tapi jangan khawatir, Jaka,"
Lanjut Eyang Legar.
"Aku akan berusaha mempertemukan kau dengan Selasih."
Jaka mengangkat kepalanya. Sinar kegembiraan terpancar jelas dari wajahnya yang putih bersih.
"Eyang akan membawaku menjadi murid...."
"Panggil dia Eyang Putri Selasih." *** Malam merangkak perlahan. Angin kering berhembus cukup kuat. Meskipun begitu, hawa dingin yang menggigit itu seperti tak dipedulikan oleh dua bayangan hitam yang tengah bergerak cepat. Sementara bulan sabit yang menggantung di atas, tak kuasa menerangi orang yang tengah bergerak cepat itu. Sehingga, wajah mereka sulit dimengerti.
"Masih jauhkah kediaman Eyang Putri Selasih, Eyang?"
Tanya salah seorang yang ternyata masih berusia sangat muda. Usianya sekitar sepuluh tahun. Namun, ilmu lari cepatnya patut dibanggakan.
"Kau sudah lelah?"
Yang ditanya malah balik bertanya sambil menatap wajah bocah kecil yang tertimpa sinar bulan sabit.
"Sedikit, Eyang,"
Kata bocah sepuluh tahun itu sambil mengatur napasnya yang agak memburu.
"Masih kuat untuk berlari jauh?"
Tanya kakek beijubah biru ingin tahu.
Bocah kecil yang ditanya tak segera menjawab.
Kembali kakinya bergerak cepat.
Kakek berjubah biru yang memang Eyang Legar dan berjuluk Hantu Pemburu Nyawa itu tersenyum menyaksikan tingkah cucu angkatnya.
Mereka kembali berlari cepat menembus malam yang semakin jauh, disertai hawa dingin yang semakin menusuk ke tulang sumsum.
Di tengah lari cepatnya, Eyang Legar masih sempat mendengar suara napas memburu yang keluar dari hidung cucu angkatnya.
"Kalau sudah tidak kuat, katakan terus terang, Jaka!"
Ujar Eyang Legar sambil memperlambat larinya. Jaka hendak menanggapi ucapan eyangnya, tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, tiba-tiba....
"Hup...! Begini lebih baik untukmu, Jaka,"
Eyang Legar mengangkat tubuh bocah kecil itu ke atas pundaknya.
"Dengan begini kita akan lebih cepat sam-pai. Setelah berkata demikian, Eyang Legar langsung mempercepat larinya. Sementara, malam sudah semakin lanjut umurnya. Dua sosok bayangan hitam kini sudah menjadi satu, berlari dengan kecepatan yang sukar diukur. Dan kini, mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dijejeri pohon-pohon mahoni. Kakek berjubah biru itu melayangkan pandangan ke seluruh bangunan besar berkesan sederhana. Di depan rumah itu terdapat anak tangga beberapa undak untuk menghubungi ke ruang utama. Eyang Legar terus melayangkan pandangan pada rumah yang temaram oleh beberapa lampu yang menempel di dinding. Tiba-tiba....
"Hip! Hip...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tiga sosok tubuh meluruk maju dengan pedang keperakan melintang di depan dada. Mereka ternyata anak-anak muda yang memiliki potongan tubuh cukup bagus. Tinggi dan kekar.
"Siapa kau?!"
Bentak salah seorang yang berkumis tebal, namun berperawakan lebih pendek dari kedua rekannya.
"Dan untuk apa berada di sini malam-malam begini?"
"Aku Legar, dan ini cucuku. Namanya Jaka. Keberadaanku di sini untuk menemui Nyi Selasih,"
Lembut jawaban yang keluar dari bibir Eyang Legar. Ketiga anak muda yang menghadang kakek berjubah biru itu saling berpandangan.
"Apa hubungan Kakek dengan guru kami?"
"Aku sahabat lamanya. Katakan saja, Legar ingin bertemu."
"Malam-malam begini? Pasti kau membawa niat yang tidak baik!"
Selak anak muda yang bertubuh lebih tinggi.
"Mana mungkin seorang sahabat berniat tidak baik, Anak Muda. Tolonglah pertemukan kami dengan gurumu,"
Kata Eyang Legar lembut, disertai senyumnya yang manis.
"Besok pagi saja Kakek kembali lagi!"
"Aku harus bertemu Nyi Selasih sekarang,"
Masih lembut suara kakek berjubah biru itu.
"Kami tidak mungkin membangunkan guru. Kalau itu kami lakukan, berarti telah mengganggu tidurnya. Sedangkan guru kami paling tidak suka jika tidurnya diganggu. Maka lebih baik Kakek datang lagi besok pagi,"
Putus anak muda berparas tampan, namun berahang menonjol. Anak muda itu memang sedikit tenang dibanding kedua temannya.
"Sudah kubilang, aku harus bertemu guru kalian malam ini juga,"
Tegas Eyang Legar pelan, namun tekanan suaranya cukup membangunkan amarah ketiga anak muda yang menghadangnya.
"Tidak bisa! Dan jangan paksa kami mengambil jalan kekerasan!"
"Sabar, Anak Muda,"
Tahan Eyang Legar kerika pedang salah seorang yang menghadangnya terayun ke atas.
"Aku tidak akan memaksa, kalau kalian memang tidak ingin membangunkan guru kalian. Tapi, ijinkanlah aku yang membangunkan guru kalian."
"Kurang ajar!"
Anak muda yang barusan mengurungkan ayunan pedangnya, kini tanpa ragu-ragu lagi mengangkat senjatanya. Dan dengan kuat pedangnya ditebaskan ke pangkal leher Eyang Legar.
"Uts!"
Eyang Legar merundukkan kepalanya sedikit, sehingga sambaran pedang keperakan anak muda itu hanya membentur tempat kosong.
Namun kakek berjubah biru itu menyadari kalau serangan yang dilakukan lawan tadi tidak main-main.
Disertai pengerahan tenaga dalam, tebasan anak muda itu cukup membahayakan juga.
"Keparat!"
Maki anak muda itu, menyaksikan serangannya tidak menemui sasaran. Namun dia tak putus asa. Kembali pedangnya diayunkan dan menebas bagian bawah kakek berjubah biru itu. Wuttt...! "Hip!"
Eyang Legar melentingkan tubuhnya ke atas. Begitu juga dengan bocah kecil yang berada di sebelahnya. Mereka bersamaan melenting ke atas dan mendarat ringan secara berbarengan di tanah.
"Menyingkirlah, Jaka. Biar aku urusi dulu orang-orang ini,"
Ujar Eyang Legar.
"Baik, Eyang,"
Sahut Jaka.
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu segera menyingkir dari arena pertarungan.
Dan memang, orang-orang itu lebih menginginkan Eyang Legar.
Sementara itu, menyaksikan temannya selalu membentur ruang kosong, anak muda yang berperawakan tinggi dan sedikit kurus maju membantu serangan.
Pedang keperakannya yang sejak tadi terhunus, ditusukkan ke arah perut kakek berjubah biru itu.
"Eit!"
Eyang Legar cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan.
Maka serangan anak muda berperawakan tinggi itu melesat beberapa tombak dari, pinggang lawan.
Namun belum lagi Eyang Legar membetulkan letak berdirinya, kembali datang serangan dari anak muda yang berkumis tebal.
Wuttt! "Hup...!"
Eyang Legar menggenjot kakinya ke udara dan melakukan putaran dua kali untuk menghindari serangan selanjutnya. Akan tetapi, belum lagi kakinya menginjak tanah, kelebatan pedang keperakan kembali mengancam kakinya.
"Hip!"
Eyang Legar cepat-cepat mengangkat sedikit kakinya. Dan begitu pedang keperakan tepat berada di bawah kakinya, dengan sedikit pengerahan tenaga dalam, senjata itu dijadikan pijakan untuk kembali melenting ke udara.
"Awas...!"
Teriak Eyang Legar, seraya menyerang balik ke arah tubuh anak muda berkumis lebat Anak muda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, menghindari serangan kakek beijubah biru yang seper-tinya main-main.
Namun dia kembali terperangah menyaksikan kecepatan tendangan Eyang Legar yang tiba-tiba sudah berada di depan wajahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat anak muda berkumis lebat itu menjatuhkan dirinya ke sarnping kiri, lalu bergulingan beberapa kali. Namun Eyang Legar tak mengejar. Sementara itu, sebuah serangan tengah mengancam pinggang Hantu Pemburu Nyawa itu. Dan....
"Hip...!"
Dug! "Akh...!"
Anak muda berperawakan tinggi yang mem-bokong kakek berjubah biru itu memegangi perutnya yang terkena sodokan kaki.
Mulutnya tampak meringis, menahan rasa sakit dan mual yang menyerang perutnya.
Sungguh tak diduga kalau kakek beijubah biru itu menyertai tenaga dalam pada tendangannya.
"Sudah kukatakan, maksudku ke sini tidak disertai niat jahat,"
Tukas Eyang Legar mencoba menahan anak muda berparas tampan yang hendak turut menyerang. Sementara itu, anak muda lainnya hanya saling pandang. Sedangkan anak muda yang tadi tertendang, sudah bangkit berdiri dan menghampiri kawan-kawan-nya.
"Kalau aku bermaksud jahat, sebentar saja nyawa kalian telah kukirim ke akhirat,"
Lanjut Eyang Legar sambil menghampiri bocah kecil yang sejak tadi menjadi penonton.
"Kalau memang bermaksud baik, kenapa tidak kau turuti permintaan kami untuk datang lagi besok pagi?"
Tanya pemuda tampan berahang menonjol.
"Karena aku mempunyai keperluan yang tak bisa ditunda sampai besok, Anak Muda,"
Sahut Eyang Legar sambil melempar senyuman.
"Itu hanya alasanmu! Hiyaaat...!"
Anak muda berkumis lebat yang punya watak keras, kembali menyerang.
Kali ini tusukan pedang keperakannya mengarah ke jantung Eyang Legar.
Namun kembali kakek beijubah biru itu melenting sambil membopong Jaka.
Kemudian, mereka mendarat lunak beberapa tombak dari penyerangnya.
"Hiaaat...!"
"Tahan!"
Bentakan kuat tiba-tiba datang dari arah pintu utama. Sehingga, membuat anak muda berperawakan tinggi dan berkumis lebat itu mengurungkan serangannya.
"Ada tamu tak diundang rupanya,"
Lembut sekali ucapan yang keluar dari bibir wanita yang sudah cukup punya usia.
"Kenapa kalian tak membangunkan aku, kalau yang datang Legar?"
Semua anak muda yang ada di situ hanya diam membisu. Wajah mereka pun langsung tertunduk.
"Dan kau, Kakang Legar. Kenapa datang tak memberi kabar lebih dahulu? Kau telah membuat mereka bertiga terkejut, Kakang. Hei! Sentanu, Raharja, Sudana, kenapa bengong di situ? Kembali ke tempat kalian!"
"Kami kembali, Nyi,"
Tukas Sentanu sambil memberi isyarat pada kedua temannya.
Perempuan tua itu kemudian mengembangkan senyum seraya menganggukkan kepala.
Sementara ketiga lelaki muda itu segera membalikkan badannya, setelah lebih dahulu menganggukkan kepala pada kakek beijubah biru.
Maka, Eyang Legar juga membalas dengan anggukan tanda pamit ketiga anak muda di hadapannya.
"Mereka bertiga muridmu, Selasih?"
Tanya Eyang Legar, setelah ketiga anak muda yang barusan menyerang, menghilang dari hadapannya.
"Seperti yang kau ketahui tentang watak ayahku. Nah, seperti itulah aku, Legar."
"Sampai setua ini kau belum mengangkat seorang murid pun?"
Eyang Legar membelalakkan matanya sedikit.
"Lalu, ketiga anak muda tadi apa bukan muridmu?"
"Nada pertanyaanmu masih seperti belasan tahun lalu, Kakang. Jangan curiga seperti itu. Ketiga anak muda tadi memang mengaku sebagai murid. Tapi, aku sendiri tidak mengaku sebagai gurunya,"
Sahut Selasih, seraya melirik bocah kecil yang berdiri di sarnping Eyang Legar.
"Kau masih seperti dulu, Selasih. Masih suka merendah dan senang bergurau,"
Selak Eyang Legar polos.
"Aku tidak bergurau, Kakang Legar,"
Bantah Nyi Selasih.
"Bisa kau lihat, bagaimana jurus-jurus yang mereka gunakan untuk menyerangmu. Tak ada keistimewaannya sedikit pun, bukan? Kau tahu, Kakang. Itulah jurus yang kuciptakan sambil lalu, atas desakan mereka. Mereka bertiga memang memiliki kemauan keras untuk mempelajari ilmu olah kanuragan."
"Kalau memang begitu, kenapa tidak kau turunkan sedikit kepandaianmu?"
"Entahlah. Sampai saat ini, aku memang belum tertarik."
"Kasihan mereka,"
Desah Eyang Legar, pelan sekali. Nyi Selasih membelalakkan matanya. Telinganya yang memang sudah terlatih, mendengar juga ucapan Eyang Legar.
"Kalau merasa kasihan, Kakang saja yang mengangkat mereka sebagai murid,"
Sahut Nyi Selasih. Eyang Legar mengerutkan dahinya, lalu tersenyum lepas.
"Ilmuku tak baik dituruni pada orang baik-baik, Selasih. Kau paham, bukan?"
"Dan anak kecil di sampingmu itu?"
Nyi Selasih menatap mata Jaka. Nyi Selasih nampak terkejut. Dia merasakan hatinya berdesir aneh ketika tatapannya membentur bola mata hitam pekat milik bocah kecil yang berdiri di sarnping kakek beijubah biru itu.
"Ah! Mari masuk ke dalam, Kang,"
Putus Nyi Selasih mencoba menutupi keterkejutannya sambil meraih tangan bocah kecil di samping Eyang Legar.
Kembali Nyi Selasih terkejut setelah kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Jaka.
Terasa ada hawa lain yang keluar dari kulit bocah kecil yang begitu tebal itu.
Apakah bocah ini yang akan menjadi muridnya, seperti yang pernah diceritakan mendiang ayahnya? Nyi Selasih terus bertanya-tanya dalam hati, sambil terus menuntun tangan Jaka masuk ke ruang utama.
*** "Kau bisa ceritakan, siapa anak kecil itu, Kakang?"
Desak Nyi Selasih setelah kembali mengantar Jaka ke kamar tidur.
"Kau suka padanya?"
Pancing Eyang Legar. Nyi Selasih tak menimpali pertanyaan Eyang Legar, si Hantu Pemburu Nyawa. Seorang tokoh persilatan golongan hitam yang sudah insyaf.
"Aku khawatir, kau tak menyukai dan tak sudi mengangkatnya sebagai murid. Bukankah kau sudah berjanji untuk itu, Selasih?"
"Sampai kutemukan seseorang yang betul-betul pas menjadi muridku, Kakang,"
Tegas Nyi Selasih.
"Itu berarti tak tertutup kemungkinan bagi Jaka Sembada untuk jadi muridmu?"
"Namanya Jaka Sembada, Kakang?"
Eyang Legar menganggukkan kepalanya sambil mengusap jenggotnya yang hampir memutih sebagian.
"Nama yang begitu bagus. Dia pasti anakmu, Kakang,"
Tebak Nyi Selasih. Si Hantu Pemburu Nyawa melepas tawanya perlahan.
"Semenjak kegagalanku dalam mengawinimu, Selasih. Tak pernah sekali pun aku berurusan dengan perempuan,"
Tegas Eyang Legar.
"Kau...,"
Sebut Nyi Selasih, sambil menundukkan kepalanya.
"Tak ada perempuan lain yang kucintai selain kau, Selasih. Itulah suratan dari sang Pencipta yang tak bisa digugat. Ah! Lupakan masa lalu yang hanya membuat kita bersedih, Selasih,"
Ujar Eyang Legar periahan, sambil memegang punggung Nyi Selasih dengan kedua telapak tangannya.
"Sebagai penerus hubungan kita, kuingin kau menuruni seluruh kemampuanmu kepada Jaka. Dia seorang anak kecil yang penuh keistimewaan. Dan kuharap, kau menyukainya."
"Tapi...."
"Tanpa kau minta pun, aku akan menjelaskan asal-usul anak itu, Selasih,"
Potong Eyang Legar yang kemudian mengarahkan pandangannya ke arah jendela yang tak tertutup rapat Mata kakek berjubah biru itu tampak tak berkedip ke arah jendela. Mata tuanya yang masih kelihatan segar seperti hendak menembus kepekatan malam.
"Aku tak tahu, kenapa malam itu perasaanku begitu kuat untuk keluar dari persembunyianku,"
Ungkap Eyang Legar periahan.
"Semula, aku tak menurutinya. Tapi ketika keinginan itu terasa semakin kuat, akhirnya kaki ini melangkah. Aku menggunakan langkah biasa ketika menuruni gunung. Namun lama kelamaan, langkah yang sudah lama tak kugunakan semakin cepat saja, tanpa kuhendaki sama sekali. Setelah kusadari, ternyata aku telah jauh meninggalkan kaki gunung."
Eyang Legar menghentikan ceritanya sejenak. Matanya kini beralih ke wajah Nyi Selasih. Nampak wanita tua itu mengharapkan agar Eyang Legar untuk segera melanjutkan ceritanya.
"Aku baru menghentikan Iangkah kerika samar-samar kudengar suara pertengkaran, yang kemudian berlanjut pertarungan. Hal ini bisa kuduga dari suara senjata yang beradu. Semula, aku tak mau ikut campur. Aku sudah berjanji tak ingin berurusan lagi dengan kekerasan sejak kita berpisah puluhan tahun lalu. Namun, perasaanku yang lain mengajakku untuk menyaksikan pertempuran itu. Aku memang mampu menekan ajakan itu, tapi aku tak mampu beranjak dari situ. Aku tersentak ketika mendengar pekik seorang perempuan. Bahkan aku langsung ingat kau, Selasih. Kuhentakkan kakiku cepat-cepat, namun kembali kuhentikan ketika nama perempuan itu disebut seseorang,"
Lanjut Eyang Legar.
"Siapa nama perempuan itu, Kakang?"
Potong Nyi Selasih.
"Kalau tak salah aku mendengarnya, namanya Purwakanti."
"Purwakanti?"
Ulang Nyi Selasih sedikit terkejut "Kau mengenalnya?"
Selidik Eyang Legar.
"Nama Purwakanti tidak hanya satu di jagat ini, Kakang. Teruskan ceritamu,"
Ujar Nyi Selasih.
"Aku kembali mengayun langkah dengan kecepatan penuh, manakala kudengar tangis seorang bayi. Lalu, aku berhenti di depan rumah yang ternyata sudah dilahap api. Sementara lengking tangis bayi semakin kuat menusuk telinga, seolah-olah menyuruhku untuk menerobos lingkaran api yang sudah membumbung tinggi. Aku melakukannya, Selasih. Lingkaran api itu kuterobos. Dan di dalamnya kutemukan sosok mungil di atas tempat tidur. Sementara di tempat lain, sosok tubuh lelaki kulihat tergeletak. Dan tak jauh darinya, tergeletak sebilah pedang yang berwarna kuning keemasan...."
"Pedang keemasan?! Pasti dia Sempani,"
Gumam Nyi Selasih perlahan.
"Sempani...?"
Ulang Eyang Legar.
"Ya, ya. Nama itu juga disebut-sebut ketika pertarungan itu kudengar dari kejauhan. Sempani. Kau kenal dengan lelaki itu, Selasih?"
"Aku yakin, lelaki itu adalah pemilik pedang keemasan yang kau lihat. Dialah Sempani. Ya, Sempani murid Ki Seleguri dari Perguruan Soka Merah."
"Tentunya kau juga kenal Purwakanti?"
Nyi Selasih mengangguk.
"Dia anak sahabatku. Namanya, Seroja. Dan bocah bagus yang sedang terlelap di kamar pasti anak Purwakanti, cucu Seroja. Dan berarti, bocah bagus itu cucuku juga."
Kakek berjubah biru yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa itu menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam. Seolah-olah, dia mencari kesungguhan dari ucapan perempuan tua di hadapannya. Sementara dari wajah Eyang Legar juga terpancar seberkas sinar kegembiraan.
"Itu berarti juga dia cucuku."
"Aku berjanji akan menjaganya dan menuruni seluruh kemampuanku, Kakang Legar."
"Terima kasih, Selasih.... Ternyata harapanku terkabul,"
Bola mata Eyang Legar tampak berbinar-binar.
"Kau belum menceritakan keadaan Purwakanti waktu itu, Kakang Legar. Kau tidak menceritakan kalau kau melihat mayatnya."
"Ya. Di rumah yang tengah dilalap api itu tak kutemukan sosok lain, selain sosok lelaki yang kau pastikan bernama Sempani."
"Itu berarti membuka kemungkinan kalau Purwakanti masih hidup."
"Kemungkinan itu bisa saja terjadi."
"Kakang! Dalam pertempuran itu, telingamu mampu mendengar nama Purwakanti, Sempani, dan Jaka Sembada disebut-sebut. Apakah ada nama lain yang kau dengar?"
"Ada."
"Siapa?"
Desak Nyi Selasih, tak sabar.
"Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat"
"Gandewa?"
Gumam Nyi Selasih. Dahi perempuan tua berusia lebih dari enam puluh tahun itu berkerut.
"Sepertinya, nama itu pernah kukenal. Hei! Bukankah dia yang pernah dikenalkan Ki Seleguri kerika aku membawa Purwakanti ke Perguruan Soka Merah?"
"Dia kakak seperguruan Purwakanti. Lalu, apa hubungannya dengan Empat Setan Goa Mayat?"
"Aku tak tahu, siapa itu Gandewa. Tapi Empat Setan Goa Mayat pernah kudengar sepak terjangnya,"
Tukas perempuan tua itu seraya pikirannya menerawang jauh.
"Hari semakin larut, Selasih. Keteranganku sudah tidak kau butuhkan lagi. Sekarang aku mohon diri. Aku yakin, di tanganmu Jaka akan hadir sebagai sosok pendekar welas asih, yang selalu membela kebenaran dan memerangi kebathilan."
"Mudah-mudahan, Kakang. Kelak, jika saat yang tepat sudah datang, Pusaka Raja Petir akan kuserahkan padanya."
"Pusaka? Ayahmu meninggalkan pusaka? Pusaka apa?"
"Entahlah. Aku sendiri belum berani membukanya. Tapi menunjt ayah, pusaka itu berupa sebuah kitab, sebuah sabuk, dan dua buah bambu kuning sebesar ibu jari lelaki dewasa, sepanjang jengkalan bocah umur tiga tahun,"
Jelas Nyi Selasih.
"Kalau boleh kuduga, kitab itu berisi pelajaran ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian yang ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Dugaanmu itu tak meleset, Kakang. Menurut ayah, isi kitab itu seperempatnya telah diturunkan padaku."
"Sebuah kitab yang mengagumkan kalau begitu. Aku yakin, Jaka akan mampu menguasai pelajaran yang terkandung di dalamnya. Dia cerdas dan memiliki kemauan keras."
"Mudah-mudahan keyakinanmu menjadi kenyataan, Kakang,"
Timpal Nyi Selasih.
"Aku pamit sekarang."
"Terima kasih, Kakang."
"Hip!"
Sekali hentakan saja, tubuh kakek berjubah biru itu melesat cepat dari hadapan Nyi Selasih.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah menghibng dari pandangan.
Sementara, malam beranjak semakin tua.
Angin dingin pun berhembus semakin kuat.
*** Malam merangkak semakin jauh.
Bahkan tanda-tanda fajar akan menyingsing sudah semakin kuat.
Pada sebuah ruangan yang cukup luas, tampak seorang perempuan yang sudah cukup umur tengah mondar-mandir dari ujung ruangan yang satu ke ujung ruangan yang lain.
Dahi perempuan yang berusia sekitar enam puluh dua tahun itu nampak berkerut.
Kulit dahinya yang memang sudah keriput nampak turun naik.
Itu menandakan kalau dia sedang memikirkan sesuatu yang cukup membutuhkan banyak pertimbangan.
"Diakah bocah yang dimaksud ayah?"
Perempuan tua berpakaian longgar berwarna putih itu memindahkan kerut di dahinya menjadi sebuah pertanyaan yang menggema di sudut hatinya.
Perempuan tua yang memang bernama Selasih itu kini menyunggingkan senyum sekilas, untuk sebuah keyakinan yang tertanam dalam hatinya.
Dia sesungguhnya senang mendapatkan seorang bocah yang kehadirannya memang sudah bertahun-tahun ditunggu.
Namun, bukan hanya itu saja yang membuat nenek berpakaian longgar warna putih ini bersenang hati.
Ada hal lain yang membuatnya bersuka cita.
Yakni, keberadaan bocah yang ditunggu-tunggu ternyata masih ada kaitan dengan kehidupan masa lalunya.
Bocah yang sudah lama ditunggu itu ternyata cucu dari sahabat karibnya, yang memang sudah seperti adik kandung sendiri.
Bahkan Almarhum Raja Petir pernah mengukuhkan Seroja sebagai anak angkatnya.
Dan itu berarti, bocah yang kini tengah terlelap di kamarnya adalah buyutnya.
Sedangkan buat Nyi Selasih, Jaka Sembada adalah cucunya.
Karena, dia sendiri tetap menganggap Purwakanti, ibu si bocah, sebagai anak kandungnya.
Kembali senyum Nyi Selasih berkembang.
Dan kali ini diiringi langkah kakinya menuju kamar Jaka yang tergolek dengan irama napas teratur.
Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu melangkahkan kakinya dengan ringan, hampir tidak menimbulkan suara.
Sinar matanya yang masih tetap tajam, tak lekang menatapi wajah keras namun lembut milik Jaka yang tengah terlelap.
Ada keinginan untuk memeluk tubuh yang selama ini ditunggu-tunggunya.
Namun, Nyi Selasih mengurungkan keinginannya itu.
Dia merasa tak tega untuk mengganggu tidur bocah yang mungkin terlalu lelah, karena telah menempuh perjalanan jauh bersama Eyang Legar.
Mengingat nama Legar, ada perasaan menggiriskan yang tiba-tiba mengisi hati Nyi Selasih.
Nama seorang lelaki yang telah salah jalan, namun telah bertobat karena dirinya semata.
Tapi, tobatnya tak menghadirkan apa yang diharapkan.
Tobat yang tidak pernah diterima orang-orang golongan putih.
"Uhhh...!"
Nyi Selasih mencoba mengusir bayangan masa lalunya bersama Eyang Legar.
Putri tunggal Raja Petir itu kembali menatap ke arah bocah kecil yang tak terusik oleh desah napasnya barusan.
Kembali Nyi Selasih terkejut ketika matanya seolah-olah dapat menembus kelopak mata yang terpejam rapat itu.
Dan bola mata bocah itu nampak seperti menariknya untuk mendekat.
Dan anehnya, hati Nyi Selasih langsung berdesir kuat Ada keterkejutan lain yang melanda hati perempuan tua berpakaian longgar warna putih bersih itu saat tangannya tiba-tiba seperti digerakkan oleh kekuatan lain.
Nyi Selasih mencoba menahan gerakan yang dirasanya aneh.
Namun semakin kuat menahan gerakan aneh itu, semakin kuat pula gerakan aneh itu menariknya.
Nyi Selasih akhirnya memutuskan untuk mengikuti keanehan yang sesungguhnya membuat hatinya bertanya-tanya.
Dibiarkannya saja gerakan aneh itu membawa tangannya menyelusuri setiap lekuk tubuh bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini.
Nyi Selasih merasakan kalau otot-otot bocah kecil yang dirabanya seperti bersembulan keluar, seperti layaknya otot lelaki dewasa yang tengah melakukan pengerahan tenaga dalam penuh.
Malah ketika meraba susunan tulang bocah berusia sepuluh tahun itu, kegembiraan hatinya menjadi berlipat-lipat Dirasakan, susunan tulang itu begitu sempurna.
"Dia cerdas dan memiliki kemauan keras,"
Terngiang kembali ucapan Eyang Legar.
"Hhh...."
Nyi Selasih kembali menarik napas lega.
Ya! Biar bagaimanapun juga, dia berharap agar bocah yang tengah terlelap ini mampu mewarisi ilmu Pusaka Raja Petir.
Dengan begitu, Nyi Selasih akan mendapatkan penghargaan sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tua, dan sekaligus berbakti pada leluhur.
Karena, dia telah berhasil menyampaikan pusaka leluhurnya pada orang yang tepat.
Meskipun Nyi Selasih sendiri sadar, kalau dihubungkan dengan ayahnya, ataupun kakeknya, sesungguhnya Jaka tidak terikat tali keluarga.
Tapi pada leluhur-leluhur sebelumnya, Nyi Selasih tidak bisa menduga.
Mungkin saja leluhur-leluhur Seroja, nenek Jaka Sembada, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengannya.
Suara ayam hutan yang bersahut-sahutan membuat Nyi Selasih sadar dari keterpakuannya di samping tempat tidur Jaka.
Kembali ditatapnya sekujur tubuh bocah yang tengah tertidur pulas itu.
Perempuan tua itu nampak tersenyum puas.
Dan dengan Iangkah ringan, ditinggalkannya kamar bocah cilik yang diharapkan dapat menjadi pendekar yang menggegerkan dunia persilatan.
Pendekar digdaya welas asih dan tanpa tanding.
Pendekar yang selalu berpihak pada kebenaran, dan selalu tampil sebagai penghancur kebathilan.
*** "Habiskan sarapanmu, Jaka.
Biar tenagamu pulih kembali.
Pagi ini, aku akan menyuruhmu mempertontonkan apa-apa yang telah kau terima dari Eyang Legar.
Ayo habisi.
Jangan sungkan-sungkan.
Tak perlu ada yang disungkankan di rumah ini, Jaka.
Rumah Eyang Putri adalah rumahmu juga,"
Ujar Nyi Selasih.
"Baik, Eyang Putri,"
Jawab Jaka sambil meneruskan sarapannya yang memang sudah tinggal beberapa suap saja.
Selesai menyelesaikan tugasnya di meja makan, Jaka digiring perempuan tua berpakaian longgar itu ke halaman luas di belakang rumah.
Halaman belakang yang memang diperuntukkan melatih diri itu begitu memukau mata bening milik Jaka Sembada.
Suasananya seperti sebuah alam bebas, yang sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun lebat.
Letaknya berjajar rapi.
"Kau bisa memperlihatkannya padaku sekarang, Jaka,"
Tukas Nyi Selasih menghentikan keterpakuan Jaka.
Yang diperintah segera menganggukkan kepala, kemudian maju ke tengah-tengah lapangan berumput tebal.
Sebentar Jaka memusatkan pikirannya.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, dan napasnya ditarik kuat-kuat seraya dibawanya ke perut pusat.
Lalu, kekuatan dalam perut itu dialirkan ke seluruh tubuh, setelah terlebih dulu matanya yang terpejam dibuka.
Beberapa lama Jaka mempermainkan napas yang bersumber pada perut pusat, dan memindah-mindahkannya pada bagian-bagian yang diinginkannya.
Dada, punggung, kaki, pangkal paha, betis, dan kepalan tangan.
Seluruh permukaan wajah Jaka berwarna kemerahan saat terus mempermainkan napas dalam perut pusat.
Namun, sebentar kemudian wajahnya kembali seperti sediakala ketika dari sela-sela giginya keluar desahan yang begitu mirip ular mendesis.
Sekitar jarak tujuh tombak nampak Nyi Selasih menyaksikan dengan seksama.
Mata tuanya menyorot begitu tajam, menatap setiap gerakan pernapasan yang dilakukan Jaka tanpa berkedip sedikit pun.
Perempan tua itu semakin membelalakkan matanya, menatap otot-otot yang bersembulan dari kulit Jaka yang tak terbungkus baju.
Dari kulit Jaka Sembada yang putih bersinar, otot-otot itu tertihat bagai lempengan baja.
Sehingga, mulut Nyi Selasih tak sadar berdecak kagum.
Betul-betul sempurna keberadaan bocah kecil ini.
Kembali Jaka Sembada memperagakan ilmu olah kanuragan yang telah didapat dari si Hantu Pemburu Nyawa.
Sepasang tangan yang membentang lurus tengah diperagakannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Kemudian, tangan kanan yang terbentang lurus itu ditekuk sebatas pangkal lengan dengan jari-jari terkepal rapat.
Sementara tangan kirinya yang masih membentang lurus dengan jari-jari terbuka, digerakkannya ke arah dada seperti memberikan dorongan.
Ya! Jaka memang tengah melakukan dorongan melalui telapak tangan kiri yang terbuka, terhadap telapak tangan kanannya yang terkepal.
Setiap dorongan tangan kiri Jaka disertai helaan napas yang teratur, serta liukan pinggang yang begitu gemulai bak seorang penari.
Nyi Selasih kembali terpukau menyaksikan kelenturan tubuh anak didiknya.
"Betul-betul bibit unggul,"
Kata batin Nyi Selasih sambil terus memantau setiap gerakan Jaka Sembada.
Entah sudah berapa jurus yang dimainkan Jaka ketika tiba-tiba saja perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu melemparkan benda bulat kehitaman sebesar kepalan tangan lelaki dewasa.
Lemparan itu demikian cepat Namun desingan benda yang melayang di udara itu sempat tertangkap pendengaran Jaka yang tengah memusatkan pikiran pada jurus-jurus yang didapat dari Eyang Legar.
Singgg...! Benda bulat kehitaman sebesar kepalan lelaki dewasa itu bergerak cepat, mencecar bagian tubuh Jaka yang mematikan.
Namun belum sempat benda itu menemui sasaran, tubuh bocah ini telah melenting lebih dulu ke udara sambil melakukan salto dua putaran.
"Hup...!"
Tubuh Jaka Sembada kembali menjejak tanah dengan ringan.
"Bagus!"
Puji Nyi Selasih berteriak.
Namun berbarengan dengan pujiannya yang tidak main-main, meluncur kembali bulatan kehitaman sebesar kepalan orang dewasa.
Bahkan kali ini bulatan kehitaman itu bertambah satu.
Kembali Jaka melentingkan tubuhnya, menyaksikan serangan beruntun dari perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu.
Agak terkejut juga hati Jaka melihat kedatangan benda bulat kehitaman yang disertai sebuah benda lain berwarna kehitaman yang juga meluncur deras dan mencecar ulu hatinya.
Namun dengan ketenangan yang sempat membuat Nyi Selasih terkagum-kagum, Jaka mampu menghindari dua benda yang hendak melumatkan tubuhnya itu.
"Bagus!"
Puji Nyi Selasih lagi. Maka sekali hentakan saja, tubuh Nyi Selasih yang berada tujuh tombak di depan Jaka, kini sudah beberapa jengkal saja.
"Jaga ini...!"
Teriak Nyi Selasih tiba-tiba.
Mendapati serangan yang begitu mendadak, Jaka menjadi sedikit kikuk.
Serangan mendadak yang seharusnya ditangkis, kini malah dilepaskan.
Karuan saja serangan yang berikutnya membuatnya sukar mengelak.
Apalagi menangkis serangan yang tidak main-main itu.
Namun Jaka bukanlah bocah yang berotak bebal.
Dalam keadaan yang terjepit pun, dia masih memutar otak agar dapat keluar dari bahaya mengancam.
"Hip!"
Takkk! Takkk! Dengan kelebihan melenturkan badannya, Jaka mendoyongkan tubuhnya ke belakang.
Sementara bagian penting yang dicecar Nyi Selasih, dilindunginya dengan gerakan melentur sambil mengangkat pangkal pahanya ke sebelah kiri.
Maka cecaran tangan Nyi Selasih hanya membentur tempat kosong, beberapa rambut dari sasaran awalnya.
Sementara, kedua tangan Jaka yang pada serangan awal berada di tanah, kini telah berada di kepala.
Dia melindungi dirinya dari incaran tangan maut Nyi Selasih yang mengarah ubun-ubunnya.
"Hebat..!"
Sanjung Nyi Selasih.
Kali ini tidak disertai serangan mendadak.
*** "Caramu mengelak dan menangkis cukup sempurna, Jaka.
Namun sayang, kau tak mencoba melancarkan serangan balasan.
Seharusnya, itu bisa kau lakukan, Cucuku.
Agar kau tidak mendapat tekanan terus-menerus,"
Saran Nyi Selasih mantap.
"Setangguh-tangguhnya pertahanan yang kau miliki, satu dua serangan pasti akan menemui sasaran jika terus-menerus mendapatkan tekanan. Jadi, sebaik-baiknya pertahanan, adalah dengan melakukan penyerangan, Cucuku."
Jaka Sembada menundukkan kepala saat mendapat nasihat yang baginya cukup berarti. Nasihat yang akan selalu diingatnya.
"Apakah Eyang Legar tidak memberi jurus menyerang?"
Tanya Nyi Selasih. Jaka tidak menjawab. Namun kepalanya yang menggeleng lemah cukup memberikan jawaban bagi pertanyaan Nyi Selasih.
"Kenapa?"
Tanya Nyi Selasih lagi. Sesungguhnya Nyi Selasih sudah tahu, kenapa Eyang Legar tidak memberi jurus-jurus serang mautnya pada Jaka. Namun dia ingin tahu alasan yang diberikan Eyang Legar pada bocah itu. Jaka tak segera menjawab pertanyaan itu.
"Kenapa, Jaka? Apa Eyang Legar takut tersaingi? Atau mungkin Eyang Legar tidak berniat mengangkat mu sebagai murid, karena dirinya tak merasa menyayangimu?"
Pancing Nyi Selasih memanasi.
Jaka mengangkat wajahnya perlahan.
Ditatapnya mata perempuan tua yang berpakaian longgar warna putih itu.
Mendapat tatapan yang cukup tajam dari bocah cilik di hadapannya, Nyi Selasih merasakan kekikukan sesaat.
Hatinya terasa berdesir aneh, dan jantungnya terasa berdetak tak teratur.
Dia juga merasa heran.
Setiap kali bola matanya beradu pandang dengan bola mata bocah cilik di hadapannya, selalu saja ada keanehan-keanehan yang menyergapnya.
"Eyang Legar begitu menyayangiku, Eyang Putri,"
Agak parau jawaban yang keluar dari bibir Jaka.
"Kalau Eyang Legar betul-betul menyayangimu, kenapa dia tidak menurunkan kepandaiannya kepadamu, Jaka? Padahal, Eyang Legar memiliki banyak jurus pamungkas yang disegani lawan maupun kawan. Jurus-jurusnya sangat mematikan, dan selalu mendebarkan hati pendekar-pendekar rimba persilatan,"
Nyi Selasih masih terus memancing Jaka.
"Eyang Legar adalah tokoh persilatan golongan hitam, Eyang Putri,"
Kilah Jaka dengan kepala tertunduk penuh hormat Nyi Selasih mengembangkan senyumnya sesaat "Apa bedanya kepandaian golongan hitam dan golongan putih? Dalam soal ilmu olah kanuragan, rasanya tak ada perbedaan antara keduanya.
Jadi, Eyang Legar tak punya alasan untuk tidak menurunkan kepandaiannya padamu."
"Menurut Eyang Legar, namanya telah tercemar sebagai seorang tokoh yang terlampau sering membuat kekacauan, kekejaman, dan pembantaian. Jurus-jurus yang dimiliki Eyang Legar telah dikenali tokoh-tokoh rimba persilatan sebagai jurus yang keji,"
Jelas Jaka.
"Itukah alasannya, sehingga dia tak mau menurunkan kepandaiannya padamu?"
"Eyang Legar tak ingin kalau aku terjun ke rimba persilatan dengan cap sebagai pewaris ilmu golongan hitam."
Nyi Selasih tersenyum-senyum mendengar penuturan bocah kecil di hadapanhya.
"Mendekatlah kemari, Jaka,"
Pinta Nyi Selasih. Jaka melangkahkan kakinya dan duduk bersila di hadapan gurunya.
"Kapan Eyang mengajarkan jurus-jurus menyerang?"
Tanya Jaka penuh hormat.
"Kau mulai tak sabar rupanya, Cucuku." *** Sudah tujuh kali fajar menyingsing, dan itu berarti tinggal semalaman lagi Jaka menuntaskan pelajaran terakhirnya yang diberikan Nyi Selasih. Pelajaran yang menurut Nyi Selasih memerlukan kepekaan jasmani dan rohani. Angin dingin dini hari tak lagi mampu mengusik tubuh Jaka yang terbungkus keringat. Sementara itu, kokoh ayam hutan juga tak mampu membangunkan seseorang dari keterlenaannya dalam berlatih ilmu olah kanuragan. Dan sebentar kemudian, sayup-sayup terdengar suara yang lembut namun begitu mantap merasuk gendang telinga Jaka.
"Cukup, Cucuku."
Jaka segera menghentikan jurus-jurusnya, dengan dua telapak tangan disatukan di depan muka, lalu dibawanya turun periahan.
Bocah kecil yang kini sudah berusia dua belas tahun itu duduk bersila dengan dua telapak tangan merapat di depan dada.
Sebentar jalan napasnya diatur, kemudian pandangannya dilepas jauh ke depan.
Tak lama kemudian, selarik bayangan putih tiba-tiba berkelebat dan berhenti persis di depan bocah yang khidmat tengah bersila itu.
"Kau telah berhasil menyerap seluruh ilmu yang kumiliki, Cucuku. Karena kecerdasan dan kegigihanmu, pelajaran yang seharusnya terkuasai dalam waktu lama, dapat dipersingkat menjadi dua puluh empat bulan saja. Aku kagum dengan kecerdasan dan kegigihanmu."
"Terima kasih, Eyang Putri."
"Apakah kau bangga dengan ilmu yang kau miliki sekarang, Jaka?"
Tak terdengar jawaban dari mulut Jaka Sembada.
"Kenapa kau tak menjawab?"
Selidik Nyi Selasih.
"Aku tak tahu harus menjawab apa, Eyang Putri,"
Kilah Jaka, polos.
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tahu, sampai di mana kehebatan ilmu yang kupunyai sekarang. Itulah sebabnya, mengapa aku tak bisa mengatakan apakah aku bangga atau tidak."
"Benar sekali ucapanmu, Cucuku. Sekarang ini, memang bukan saatnya untuk berbangga diri. Kelak, sekalipun kau telah hadir sebagai sosok yang disegani di kalangan dunia persilatan, kau pun tak patut menyandang arti kebanggaan itu. Karena, apa yang telah kau miliki, sebenarnya bukanlah milikmu. Apa yang kau miliki saat ini adalah titipan dari Yang Maha Kuasa."
Jaka terpekur mendengar kebenaran-kebenaran yang diucapkan gurunya.
"Dan kau jangan kaget jika kukatakan kalau ilmu yang kau miliki belum seberapa. Masih terlalu cetek jika dibanding ilmu yang dimiliki tokoh-tokoh golongan hitam yang kini tengah menguasai dunia persilatan."
Tersentak hati Jaka mendengar penuturan gurunya. Kepalanya langsung diangkat. Kini, ditatapnya wajah gunanya sekilas. Maka, Jaka bisa menemukan kesungguhan ucapan yang keluar melalui bibir perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu.
"Kalau begitu, aku masih harus berguru jika ingin menandingi kepandaian tokoh-tokoh golongan hitam itu, Eyang Putri?"
Perempuan berusia sekitar enam puluh dua tahun itu menganggukkan kepala.
"Apakah Eyang Putri tahu, pada siapa lagi aku harus berguru?"
Desak Jaka. Kembali perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu menganggukkan kepala. 'Terima kasih, Eyang Putri." 'Tapi Eyang Putri tak tahu, apakah kau akan mampu menyerap seluruh ilmunya atau tidak."
"Seberat itukah, Eyang Putri?"
"Ya! Warisan Raja Petir yang turun-temurun tidaklah dapat dikuasai dalam waktu setahun atau dua tahun. Mempelajari ilmu peninggalan Raja Petir, paling tidak membutuhkan waktu puluhan tahun,"
Jelas Nyi Selasih, sambil menatap wajah bocah di hadapannya. Tampak ada kesungguhan yang terpancar dari wajah tampan milik Jaka.
"Raja Petir sendiri harus menunggu waktu lima belas tahun untuk menguasai ilmu leluhurnya yang memang jarang dijumpai tandingannya di jagat ini."
"Selama itu, Eyang Putri?"
Selidik Jaka. Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Benar. Namun Raja Petir pernah berkata, hanya orang yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi yang akan mampu menguasai ilmu warisan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Apakah kau sanggup belajar terus-menerus dalam jangka waktu selama itu, Jaka?"
"Sanggup, Eyang Putri!"
Tegas jawaban yang keluar melalui bibir Bpis Jaka.
"Bagus!"
Puji Nyi Selasih.
"Sebelum Raja Petir meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini, dia pernah berkata, kalau kelak akan hadir seseorang yang memiliki kecerdasan luar biasa yang akan mampu menuruni ilmu warisan leluhurnya hanya dalam waktu satu windu."
"Mudah-mudahan, Eyang Putri. Aku akan berusaha sekuat tenaga. O ya, Eyang Putri. Siapakah Raja Petir itu sebenarnya?"
"Ayah kandungku."
"Ayang kandung Eyang Putri?"
Ulang Jaka.
"Kenapa ilmu itu tidak diwarisi pada Eyang Putri?"
Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu mengembangkan senyumnya sesaat "Itulah keanehan ilmu yang ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Keanehan?"
"Ilmu peninggalan Raja Petir tidak untuk diwarisi seorang perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi seorang perempuan keturunannya untuk mempelajari. Hanya saja, tak akan mampu menguasai lebih dari seperempat pelajaran itu."
"Kenapa bisa begitu, Eyang Putri?"
"Menurut orang tuaku, ilmu itu memang khusus diperuntukkan kaum lelaki."
Jaka tak bertanya lagi. Tubuhnya terasa begitu letih setelah delapan malam berturut-turut melatih diri.
"Kau siap mempelajarinya, Cucuku?"
Tanya Nyi Selasih.
Jaka Sembada menganggukkan kepala.
*** Keletihan belum seluruhnya hilang dari dirinya, tapi Jaka harus kembali berhadapan dengan malam yang merangkak semakin tua.
Dan itu menandakan kalau dirinya harus segera berangkat bersama Nyi Selasih.
"Kau dengar suara apa itu, Cucuku?"
Tanya Nyi Selasih sambil berkelebat cepat menuju arah matahari terbenam.
Lari perempuan tua itu begitu cepat.
Jelas, kalau Nyi Selasih tengah mempergunakan ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun, tidak sepenuhnya karena harus mengimbangi lari muridnya yang kini mengenakan pakaian ketat warna kuning keemasan.
"Seperti suara air terjun, Eyang Putri,"
Duga Jaka sambil tak mengurangi kecepatan larinya.
"Sebentar lagi kita akan tiba di tempat tujuan."
"Senang sekali, Eyang Putri,"
Ucap Jaka sambil meningkatkan kecepatan larinya.
Kini mereka tiba di depan sebuah kubangan air yang tak begitu lebar.
Kira-kira telah berada sekitar enam batang tombak, Nyi Selasih berhenti tepat di depan sebuah batu besar yang terletak persis di tengah kubangan air yang nampak begitu jernih.
Jaka hanya mengikuti sambil memandang keheranan pada pemandangan yang berada di hadapannya.
"Sungai apa namanya, Eyang Putri?"
Tanya Jaka ingin tahu.
"Ini bukan sungai, Jaka. Tapi aliran air terjun yang tersasar."
"Aneh."
"Memang aneh. Terlebih, jika kau masuk ke dalamnya,"
Jelas Nyi Selasih.
"Masuk? Ah! Airnya saja tak mencapai sebatas pinggang, Eyang Putri."
"Di situ pula letak keanehannya. Ayo kita turun,"
Ajak Nyi Selasih seraya menurunkan kakinya, menjejak air yang terasa begitu dingin.
Apa yang dilakukan Nyi Selasih, diikuti Jaka.
Sebentar kemudian, mereka sudah berada di batu besar yang berada persis di tengah-tengah aliran air terjun.
Nyi Selasih lalu menempelkan tangannya pada batu hitam yang bagian bawahnya sudah berwarna kehijauan.
Maka tak lama batu yang cukup besar itu bergeser, dan berpindah sedikit dari tempatnya.
Jaka terperangah menatap kenyataan yang ada di hadapannya.
Sebuah lubang berukuran seperempat tombak terlihat setelah batu itu tergeser.
"Masuklah ke dalamnya. Maka kau akan menemukan keanehan lagi di sana,"
Perintah Nyi Selasih.
"Tarik napasmu dalam-dalam, dan simpan di perut pusat. Lalu keluarkan sedikit-sedikit jika kau tak mampu bertahan."
"Eyang Putri?"
"Eyang Putri akan mengikutimu dari belakang."
Tanpa diperintah dua kali, Jaka langsung membawa turun tubuhnya untuk menyelam.
Kemudian dia memasuki lubang yang menganga tak seberapa besar itu.
Suasana gelap segera menyergapnya kerika Jaka masuk ke dalamnya.
Sepanjang lubang yang layaknya disebut lorong itu terisi air yang sanggup membuat tubuh menggigil.
Jaka terus memusatkan perhatian sambil mengatur pernapasannya.
Dia terus menyelusuri lorong berair yang semakin lama semakin membesar.
Di belakangnya, tampak Nyi Selasih, putri tunggal Almarhum Raja Petir mengikuti dari belakang.
Lorong yang semakin lama semakin besar itu kini terbelah menjadi dua jalur.
Jaka tak tahu, harus memilih jalur yang mana.
Namun dengan aba-aba yang diberikan Nyi Selasih, dia tahu kalau harus mengambil jalan sebelah kanan.
Namun belum seberapa jauh Jaka bergerak, sebongkah batu besar menghadang perjalanannya.
Maka kembali kepalanya menoleh ke arah Nyi Selasih.
Setelah mendapat petunjuk, segera didorong batu yang ada di hadapannya.
Seiring terdorongnya batu besar itu, Jaka kembali menjumpai keanehan.
Di hadapannya kini terlihat anak tangga.
Beberapa saat lamanya dia terkesima, namun sesaat kemudian tanpa ragu lagi segera menaiki anak tangga.
Di belakangnya, Nyi Selasih melakukan hal yang sama.
"Aku tak percaya kalau di bawah air yang tak seberapa dalam terdapat ruangan seluas ini,"
Ucap Jaka sambil menatap sekeliling ruangan.
Tampak di setiap sudutnya ditumbuhi pohon-pohon yang tak seberapa tinggi, namun memiliki buah warna kemerahan yang cukup menantang seleranya.
Dari sudut yang dirimbuni pohon, Jaka diajak Nyi Selasih untuk menyaksikan pemandangan lain di sudut sebelah Utara.
Hampir berdecak mulut Jaka menyaksikan pemandangan yang cukup menakjubkan.
Di hadapannya terbentang dinding melingkar dengan garis tengah sekitar lima belas tombak lebih.
Dan yang lebih mengejutkan, adalah sebuah tirai putih yang tak lain air terjun yang menutupi mulut goa tempat Jaka berada.
Sungguh mengagumkan.
Belum berapa lama Jaka menikmati kekagumannya, lengannya sudah ditarik Nyi Selasih untuk menyaksikan apa yang ada di sudut goa sebelah Timur.
Kembali Jaka terpukau menyaksikan pemandangan aneh di hadapannya.
Di situ tampak sebuah kuburan tua yang tertata begitu rapi dan menebarkan aroma yang cukup menyengat Dan pada awalnya, kepala Jaka terasa berdenyut-denyut ketika mencium aroma wangi yang keluar dari kuburan tua yang ada di hadapannya.
Bahkan hatinya pun terasa gelisah seketika.
Pikirannya seperti dibawa terbang jauh.
Dan kakinya....
"Ohhh...."
Rasanya tak kuat lagi Jaka menahan kepalanya yang seketika berputar-putar.
Matanya pun berkunang-kunang dan kedua kakinya seolah-olah tak mampu menahan bobotnya sendiri.
Namun Jaka nampak berusaha menahan sekuat tenaga.
Seluruh inderanya dipusatkan untuk menangkal pengaruh yang cukup kuat itu.
"Hiiip...."
Jaka nampak menarik napasnya dalam-dalam.
Seluruh tenaganya dipusatkan di perut.
Dia lalu mengeluarkan napasnya sedikit demi sedikit.
Kemudian kembali dihirupnya napas dalam-dalam.
Selang beberapa lama, Jaka kembali menghembuskan napasnya.
Nampak dia tengah merangkai sebuah pernapasan segitiga yang dipusatkan pada kepala, hidung, dan mata.
"Hip.... Yeaaa...!"
Dengan membuat kuda-kuda rendah, dengan telapak tangan yang didorong penuh kemuka, Jaka telah berhasil mengusir pengaruh kuat yang ditimbulkan dari kuburan tua yang menebarkan aroma wangi itu.
"Apa yang tengah kau rasakan, Jaka?"
Selidik nenek berpakaian longgar warna putih itu.
"Keadaanku sekarang menjadi lebih enak, Eyang Putri. Tubuhku terasa menjadi begitu ringan sekarang. Pikiranku menjadi lebih jernih, dan mataku menjadi seperti sepuluh kali lipat terangnya. Seolah-olah aku mampu menembus ketebalan dinding goa ini, Eyang Putri,"
Jawab Jaka dengan hati masih diliputi tanda tanya atas keanehan lain yang bam diterimanya.
"Pengaruh apakah itu, Eyang Putri?"
Nenek berpakaian longgar warna putih itu tersenyum bijaksana.
"Aku tak bisa menjelaskan keanehan-keanehan yang kau alami sekarang, Jaka. Namun aku yakin, suatu saat kau akan mendapat jawaban lewat Pusaka Raja Petir yang sebentar lagi akan turun ke tanganmu."
"Pusaka?"
Gumam Jaka dalam hati.
"Pusaka Raja Petir? Oh.... Sebuah keberuntungan yang tak ternilai. Tapi...."
"Kau patut. dan pantas menerimanya, Jaka,"
Tukas Nyi Selasih.
Sepertinya, perempuan tua itu telah mampu membaca arah pikiran Jaka.
Nyi Selasih kemudian menggerakkan langkahnya perlahan, mendekati kuburan tua yang menebar aroma yang begitu wangi.
Tanpa diperintah, Jaka segera melangkah mendekati batu nisan yang bertuliskan nama Raja Petir.
Dia lalu duduk bersila dengan khidmat di samping kanan kuburan tua yang terawat rapi itu.
"Menepilah sedikit, Jaka. Eyang Putri akan menggeser makam ini,"
Perintah Nyi Selasih tiba-tiba. Jaka tanpa banyak cakap segera menuruti. Padahal, ucapan Nyi Selasih barusan sempat pula memancing pertanyaan dalam benaknya.
"Menggeser? Duh! Keanehan apa lagi ini?"
Ucap Jaka dalam hati.
Namun matanya sigap memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan nenek berpakaian longgar wama putih itu.
Suara berderit sesaat terdengar mengisi ruangan goa.
Jaka kembali terkesima menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Ternyata makam Raja Petir tergeser.
Dan sekitar delapan tombak dari dasar makam, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang dinding atapnya terbuat dari lempengan baja.
Jaka terus menyaksikan tanpa mengeluarkan sepatah pertanyaan pun.
Baru ketika Nyi Selasih berhasil membuka atap baja yang membatasi ruang bawah tanah, mata Jaka yang berbinar menyaksikan kotak besi ukir berwarna keemasan.
"Di kotak keemasan itukah tersimpan pusaka Raja Petir, Eyang Putri?"
Tanya Jaka, hati-hati sekali.
Nenek berpakaian longgar berwarna putih itu tidak segera menjawab.
Dia hanya mengangkat kepalanya sedikit, lalu menebarkan seulas senyum kepada murid tunggalnya.
Namun Jaka mengerti maksudnya.
Senyum itu berarti mengiyakan pertanyaannya.
Maka, kini Jaka tak bertanya lagi demi menjaga kekhidmatan Nyi Selasih saat mengangkat kotak Pusaka Raja Petir yang berwarna keemasan itu.
Begitu penuh hormat nenek itu mengangkat kotak pusaka peninggalan mendiang ayahnya.
Kemudian dipondongnya kotak itu penuh hati-hati.
Dan ketika sudah berada di atas, kotak itu belum juga diletakkannya.
Jaka terkesima menyaksikan begitu tinggi rasa hormat gurunya terhadap benda itu.
Maka ketika gurunya menggelar selembar kain beludru warna putih, Jaka segera membantu dengan rasa hormat yang cukup tinggi.
Nyi Selasih segera meletakkan kotak pusaka mendiang ayahnya di atas selembar kain beludru berwarna putih bersih, setelah terlebih dahulu menggeser makam Raja Petir menjadi seperti sediakala.
"Kau tahu, Jaka. Betapa para leluhur Eyang Putri menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap benda pusaka ini. Dan merupakan suatu kehormatan yang besar jika benda pusaka ini dapat terwarisi. Dan kenyataannya memanglah demikian. Para leluhur Eyang Putri mewarisi benda pusaka ini dengan segenap roh dan jasad mereka. Dengan benda pusaka ini, mereka telah lahir sebagai sosok seorang pendekar yang berpijak pada kebenaran, keadilan, dan rasa welas asih. Mereka juga lahir sebagai seorang pendekar yang menentang keangkaramurkaan nomor satu. Di mana ada kekejian dan kebejatan moral, di situlah sosok mereka hadir sebagai penumpasnya."
Jaka tertunduk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir nenek berpakaian putih itu.
"Apakah kau sanggup mewarisinya?"
Jaka mengangkat kepalanya sedikit. Ditatapnya wajah nenek berpakaian longgar warna putih itu dengan seluruh permukaan wajah berwarna kemerahan dan dijalari rasa panas.
"Kau sanggup, Cucuku?"
Tanya Nyi Selasih kemudian. Sebuah anggukan periahan tertangkap bola mata nenek tua berpakaian longgar warna putih itu. Nyi Selasih lalu tersenyum.
"Kau sanggup, Jaka?"
"Sanggup, Guru!" *** Sinar kuning keemasan seketika memendar memenuhi seluruh ruangan goa, kerika kotak pusaka peninggalan Raja Petir dibuka Nyi Selasih dengan hati-hati. Bahkan Jaka merasakan seluruh tubuhnya Jadi menggigil.
"Kerahkan hawa murni yang kau miliki, Jaka,"
Perintah Nyi Selasih. Jaka segera menuruti perintah gurunya. Dengan mengerahkan hawa murni, getaran pada badannya terasa mulai berkurang.
"Sebelum mempelajari atau menggunakan peninggalan mendiang Raja Petir, terlebih dahulu kau harus menyesuaikan diri dengan perbawa peninggalan Raja Petir,"
Jelas Nyi Selasih. Kemudian, diambilnya salah satu dari tiga benda yang berada dalam kotak pusaka berwarna keemasan.
"Terhadap sabuk kuning keemasan ini, kau harus mampu menyesuaikan diri. Sabuk kuning keemasan ini dikenal dengan sebutan Sabuk Petir. Pengaruh dingin yang ditimbulkannya cukup dahsyat Bahkan dapat menimbulkan kelumpuhan total pada setiap orang yang memiliki tingkat olah kanuragan rendah."
Nyi Selasih kemudian mengangkat sepasang bambu warna kuning keemasan sebesar ibu jari lelaki dewasa. Sedangkan panjangnya, sejengkalan bocah berumur tiga tahun.
"Dan terhadap sepasang bambu warna kuning ini, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri, Jaka. Bambu kuning yang di bagian tengahnya berlubang, dapat mengeluarkan seberkas sinar keperakan seperti petir. Bahkan juga dapat menimbulkan ledakan dahsyat, seperti guntur menggelegar sehingga dapat merobek gendang telinga. Dan pada bambu yang tanpa lubang di tengahnya, dapat mengeluarkan secercah sinar kuning keemasan. Bila sinar itu menyentuh tubuh, kulit akan terasa mengelupas dengan sendirinya,"
Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur Pendekar Slebor Dendam Dan Asmara