Ceritasilat Novel Online

Dewi Karang Samudera 2


Rajawali Emas Dewi Karang Samudera Bagian 2



Maki sosok ramping yang berlari di depan.

   Seketika sosok ramping yang ternyata perempuan berbaju dan berkain batik kusam itu segera menghen-tikan larinya.

   Napasnya yang seperti hendak meledak-kan paru-parunya diatur sedemikian rupa.

   Dilihatnya bayangan hitam yang sejak dua hari belakangan ini mengikutinya, semakin mendekat.

   "Setan alas!"

   Maki si nenek sambil mengeluarkan sebuah pengebut dari balik bajunya.

   Dengan kegeraman yang bercampur ketegangan, ditunggunya sampai orang yang mengikutinya itu mendekat.

   Dalam jarak dua tombak, si nenek berkonde yang tak lain Bidadari Hati Kejam segera menggerakkan senjata pengebutnya dengan jurus 'Rangkai Bunga Habisi Kumbang'.

   Wesss...! Angin dahsyat langsung menderu, memecah malam yang dingin ke arah sosok hitam yang tak lain Iblis Kubur yang telah mendekat.

   Angin yang mampu me-mecahkan dinding gunung itu kontan menabrak Iblis Kubur hingga terpental tiga tombak ke belakang.

   Hanya sesaat saja hal itu terjadi.

   Karena kejap ke-mudian, Bidadari Hati Kejam lagi-lagi dibuat melongo melihat Iblis Kubur kembali bangkit dengan amarah meledak-ledak "Jaahaaanam keeppaaarath! Kaau laanncaang tee-lah menyeraang Ibbliss Kuubbuur! Berraartiii caarii matti! Akaan kuaampunii kesaalahannmuu, kaallau kaau menggaataakaan dii maanaaa Saampurnoo Pa-mungkaass beraadaa!"

   "Setan betul! Berkali-kali manusia ini kuserang, tetapi masih saja tetap bangkit. Aku tak percaya kalau dia tak mempunyai kelemahan. Tetapi untuk saat ini sungguh sukar untuk menentukan letak kelemahan-nya. Hanya Ki Sampurno Pamungkas yang tahu kele-mahan manusia setan ini! Tetapi sialnya, aku tidak ta-hu di mana dia berada! Keparat! Urusan jadi ada di tanganku! Padahal aku tahu kalau Manusia Mayat Muka Kuning masih jadi urusan! Manusia itulah yang telah memancing aku keluar! Dan manusia itu harus mendapat ganjarannya!"

   Habis membatin gusar begitu, Bidadari Hati Kejam menatap waspada.

   "Kalau kau mau mencari Ki Sam-purno Pamungkas, mengapa harus bertanya kepada-ku?! Lebih baik kembali ke asalmu. Jangan kau tam-bah pusing rimba persilatan gara-gara manusia kepa-rat macam kau ini!"

   "Laanncaang kaau biicaraa! Kaattaakan, dii maana Saampurrnoo Paamungkaas berradaa!"

   "Dasar manusia sinting! Apa kau tak mengerti ucapanku?!"

   Maki Bidadari Hati Kejam sambil berusaha menemukan letak kelemahan manusia mayat ini.

   Sebagai jawaban atas seruan dongkolnya itu Iblis Kubur menggerakkan kedua tangannya yang terdapat dua rantai besar ke depan.

   Srangngng! Srangngng! Sambaran rantai besar menimbulkan suara meng-gidikkan, didahului hamparan angin dingin menggi-riskan.

   Bidadari Hati Kejam cepat melenting ke belakang.

   Begitu mendarat, melalui pencalan satu kaki, tubuh-nya langsung menerjang.

   Senjata pengebutnya berke-lebat diiringi dua tendangan kaki kanan dan kiri sekaligus.

   Bettt! Sambaran dua rantai besar panjang Iblis Kubur hanya menebas angin.

   Bahkan kedua kaki si nenek berkonde berhasil menghantam telak kepala dan dada Iblis Kubur.

   "Ghear...!"

   Suara serak terdengar dari mulut Iblis Kubur. Bu-kan bernada kesakitan, tapi lebih tepat suara geram tak terkira.

   "Jahanam!"

   Maki Bidadari Hati Kejam sambil mundur dua tindak dengan tatapan tak percaya melihat apa yang terjadi di hadapannya.

   "Kalau begini terus-menerus, tenagaku bisa terkuras! Manusia ini tak ken-al lelah sama sekali. Bahkan bila terhantam serangan, dia tetap dalam keadaan semula tanpa kurang suatu apa. Jadi kapiran urusan ini! Ke mana perginya mu-ridku yang kebluk itu, hah?! Mudah-mudahan dia bisa menyelamatkan si gadis dan bisa mengatasi bayangan hijau yang mengikutinya. Lebih baik aku...."

   Kata-kata hati Bidadari Hati Kejam putus bagai di-betot setan, ketika dua rantai besar yang ada di tangan kanan dan kiri Iblis Kubur menderu ke arahnya.

   Si nenek langsung melompat ke belakang.

   Baru saja si nenek mendarat, kali ini dua rantai besi panjang yang melilit di kedua kaki Iblis Kubur pun melesat dahsyat, mengeluarkan suara beruntun mengerikan.

   Maka sebisanya Bidadari Hati Kejam menghindar sambil sesekali memapaki serangan den-gan senjata pengebutnya.

   Pertarungan sengit antara dua tokoh tingkat tinggi itu, membuat tempat sekitarnya dalam waktu singkat bagai diamuk ratusan gajah liar.

   Banyak pohon ber-tumbangan dan langsung terpental terseret angin yang terjadi.

   Di beberapa tempat terlihat tanah telah membentuk lubang sedalam satu tombak.

   Rerumputan pun tercabut, bercampur dengan debu dan pasir.

   Pandangan Bidadari Hati Kejam yang tertutup oleh debu, pasir, dan rerumputan membuatnya tak menya-dari adanya bahaya.

   Karena pada saat yang sama, Iblis Kubur telah mengebutkan rantai bajanya secepat kelebatan angin.

   Lalu....

   Bukkk...! "Aaakh...!"

   Bidadari Hati Kejam berteriak kesakitan.

   Menyusul, tubuhnya yang mengenakan baju batik kusam melun-cur deras ke belakang dengan dada yang menjadi sasa-ran terasa sesak bukan main.

   Si nenek jatuh terduduk.

   Dadanya terasa remuk.

   Wajahnya cukup pias oleh kejadian cepat barusan.

   Se-gera tenaga dalamnya dialirkan.

   Akan tetapi, karena dadanya seperti remuk dan sesak, membuat aliran te-naga dalamnya bagai ditahan oleh sebuah sekat.

   "Celaka tiga belas!"

   Maki Bidadari Hati Kejam dalam hati.

   "Kalau kupaksakan untuk mengalirkan tenaga dalam ini, aku akan muntah darah. Bahkan ke-mungkinan bisa pingsan. Tapi bila tidak cepat kutang-gulangi, tak mustahil aku akan modar! Setan keparat! Apa sampai di sini saja nyawa tuaku ini menemani ja-sadku?! Hhh! Masa bodo! Muntah darah hanya sakit sebentar. Aku harus berusaha untuk tidak pingsan!"

   Mendapat keputusan begitu, Bidadari Hati Kejam segera mengalirkan tenaga dalamnya.

   Rasa sesak dan sakit tak terkira, membuat wajahnya makin berkerut.

   Keringat sebesar biji kedelai telah bermunculan, membasahi sekujur tubuhnya.

   Napasnya terasa agak sesak.

   Tubuhnya bergetar.

   Dan tiba-tiba....

   "Huaaakkk! Darah kental hitam meluncur bagai terdorong satu kekuatan dari dalam rongga dada. Si nenek berkonde merasakan tenggorokannya sangat sakit sekali.

   "Hoeekkk...!"

   Sekali lagi perempuan tua ini muntah darah.

   Kali ini pandangannya dirasakan agak kabur.

   Matanya berkunang-kunang.

   Getaran tubuhnya telah menjadi-kannya seperti orang limbung.

   Samar dalam pandan-gan mata kelabunya, sosok Iblis Kubur mendekat per-lahan-lahan dengan tatapan menebar kematian.

   "Celaka...! Aku masih bisa bertahan untuk tidak pingsan. Tetapi untuk menghadapi manusia keparat ini jelas sangai mustahil...."

   Kendati merasa tubuhnya tak mampu bertahan, Bidadari Hati Kejam berusaha berdiri.

   Setelah men-gumpulkan semangatnya, tubuhnya berkelebat melan-carkan serangan.

   Tangannya yang memegang senjata pengebut dikibaskan sekuat mungkin.

   Wusss Serangkum angin dahsyat yang ditimbulkan dari senjata pengebut Bidadari Hati Kejam meluruk ganas, siap menggulung lawannya.

   Selagi Iblis Kubur menge-luarkan teriakan mencekam yang sangat keras, si ne-nek berusaha mengalirkan tenaga dalamnya lagi.

   Ka-rena keadaannya belum pulih benar, Bidadari Hati Ke-jam merasa untuk saat ini tak mampu menghadapi Ib-lis Kubur.

   Jalan satu-satunya sekarang adalah segera meninggalkan tempat Itu, memutar tubuhnya.

   "Percuma menghadapi manusia satu ini! Dia tak kenal lelah dan tak merasakan apa-apa dari setiap se-ranganku! Dasar bodoh! Manusia ini adalah mayat yang dibangkitkan kembali. Orang yang membang-kitkannyalah menjadi kunci dari semua ini!"

   Begitu Bidadari Hati Kejam hendak berkelebat.

   mendadak saja dua suara angin dahsyat mengarah ke-padanya.

   Srangngng! Srangngng! Tanah kontan berhamburan terseret besi panjang yang diiringi udara dingin.

   Bidadari Hati Kejam mema-ki panjang pendek sambil memutar tubuhnya untuk menghindari serangan.

   Saat menghindar, tangan ka-nannya dikibaskan.

   Werrr! Asap hitam pekat meluruk dahsyat ke depan dari kibasan tangan Bidadari Hati Kejam.

   Kejap itu pula si nenek berkonde memutar tubuhnya sambil melepas tendangan berputar.

   Mendapati serangan dahsyat itu, Iblis Kubur mengeluarkan bentakan keras.

   "Haaahhh!"

   Angin kuat dari mulut mayat hidup ini meluncur, Maka seketika asap hitam pekat yang dilepaskan Bi-dadari Hati Kejam buyar.

   Saat itu pula kaki kanan Iblis Kubur terangkat tinggi, memapak tendangan Bidadari Hati Kejam.

   Plak! "Aaakh...!H Si nenek terpekik keras begitu tendangannya ter-papak.

   Segera tubuhnya melenting ke belakang, dan hinggap dengan kaki agak pincang.

   Dan belum lagi Bidadari Hati Kejam mengalirkan tenaga dalam guna mengenyahkan rasa sakit pada ka-ki kanannya, tubuh Iblis Kubur sudah mencelat ke muka! "Maampuusslaahh kaauu, Manuusuaa jeleekk!!"

   Bidadari Hati Kejam melengak sampai mundur sa-tu tindak dengan mata terbuka lebar. Tak ada kesem-patan lagi untuk menghindari serangan. Kalau pun memapaki jelas tak mungkin.

   "Celaka! Nasibku jelas harus sampai di sini saja!"

   Makinya.

   Gebrakan Iblis Kubur yang telah mengibaskan ke-dua tangan siap melepaskan pukulan, jelas akan sam-pai pada sasaran.

   Namun mendadak saja....

   Wusss! *** Satu sosok bayangan meluruk menerabas semak belukar.

   Langsung dipapakinya pukulan Iblis Kubur yang mengarah pada Bidadari Hati Kejam.

   Plak! Orang yang baru datang itu memang merasakan kalau tangannya bergetar saat memapaki pukulan Iblis Kubur.

   Namun dengan gerakan aneh sekaligus menak-jubkan tubuhnya berputar, Seketika dikirimkannya sa-tu tendangan ke wajah Iblis Kubur.

   Desss...! Iblis Kubur terhuyung dua tindak ke belakang.

   Namun orang yang baru datang tadi pun terhuyung lima tindak.

   Bila saja tak sigap menguasai keseimbangannya, tak urung orang itu akan ambruk.

   "Gila! Melihat ciri-cirinya, jelas kalau manusia keparat itu adalah yang berjuluk Iblis Kubur! Seharus-nya orang yang terkena pukulanku tadi bisa langsung pingsan! Tetapi, justru aku yang dibuat sempoyongan! Keparat busuk! Laknat sialan! Akan kuhajar lagi si Sontoloyo ini!"

   Maki sosok yang baru datang itu dalam hati.

   Dia adalah seorang lelaki tua berambut panjang dikuncir ekor kuda.

   Wajahnya dihiasi kumis meman-jang.

   Sepasang matanya agak menyipit memperhatikan Iblis Kubur yang tetap berdiri tegak dengan sikap menantang.

   Selagi orang yang baru datang itu memaki-maki dalam hati tak karuan, Bidadari Hati Kejam yang me-rasa dirinya diselamatkan, menatap tajam dengan na-pas memburu "Bila melihat sikapnya yang sok dengan mata yang selalu memerah itu, tak salah lagi, kalau dia pasti si manusia jelek yang suka marah-marah.

   Heran? Bagaimana dia bisa muncul ke sini? Lama tak jumpa, akhirnya bersua juga dengan orang tua sialan berjuluk Manusia Pemarah!"

   Di tempatnya, orang berjuluk Manusia Pemarah yang mengenakan pakaian putih yang sudah sangat kusam dengan celana hitam setinggi lutut, menoleh-kan kepala pada si nenek berkonde.

   "Hei, Kunti! Apakah kau merasa senang aku tolong begitu, sehingga seperti orang bodoh yang menatap tak karuan macam begitu, hah?!"

   "Setan laknat! Dia masih sering saja marah-marah tak karuan begini!"

   Maki batin si nenek berkonde yang bernama asli Nyai Kunti dengan wajah menekuk. Bidadari Hati Kejam melangkah mendekati Manu-sia Pemarah.

   "Manusia Pemarah! Apakah kau pikir aku harus berterima kasih padamu karena kau telah menolong-ku?"

   Bentak Bidadari Hati Kejam, dingin.

   "Sontoloyo! Terima kasih atau tidak, urusan belakangan! Apakah kau sudah bertemu Dewi Karang Sa-mudera?!"

   Balas lelaki berkuncir itu.

   "Urusan apa aku dengan manusia laknat itu, hah?!"

   "Dialah yang telah membangkitkan manusia setua itu ke muka bumi ini!"

   "Jangan ngaco!"

   Bidadari Hati Kejam melotot.

   "Sontoloyo! Nenek jelek! Jangan ngomong semba-rangan! Kutampar mulutmu nanti!"

   "Sialan! Beraninya kau bicara begitu padaku?! Apa kau sudah hebat, hah?!"

   "Keparat jelek! Jangan membuatku marah!"

   Sergah Manusia Pemarah dengan suara menggebah.

   "Setan belang pemarah! Apakah kau bisa bersuara sedikit lembut, hah?!"

   Balas Bidadari Hati Kejam melotot Selagi dua tokoh aneh kelas tinggi rimba persilatan yang sebenarnya bersahabat itu saling umbar kemarahan, mendadak saja Iblis Kubur telah mencelat disertai deru angin keras menggidikkan.

   Srangngng! Srangngng! "Setan, Udik sontoloyo!"

   Maki Manusia Pemarah sambil mencelat mundur. Hal yang sama pun dilakukan Bidadari Hati Kejam. Begitu mendarat di tanah, kedua tokoh tua ini menggebrak ke depan. Bersama-sama mereka melepas serangan dahsyat.

   "Kaaliiaan haannyaa caarrii mattii!!"

   Geram Iblis Kubur, menggidikkan.

   Bersamaan dengan itu, mayat hidup ini membuka mulutnya lebar-lebar.

   Maka seketika asap hitam tebal melesat dahsyat, mengaburkan pandangan kedua tokoh tua ini Manusia Pemarah dan Bidadari Hati Kejam cepat melompat ke samping.

   Mereka terpaksa mengurung-kan serangan, karena menangkap bahaya di balik asap pekat itu, Apa yang diduga keduanya memang terjadi Karena di balik asap pekat itu, Iblis Kubur telah lakukan serangan kedua kakinya.

   Wuusss! Angin dahsyat yang mampu mencabut tanah dan memuncratkannya ke atas meluncur.

   Menyusul, satu gebrakan lain mengarah pada Bidadari Hati Kejam.

   Si nenek yang memang tengah terluka dalam ter-kena sabetan rantai di tangan Iblis Kubur coba mema-pak serangan itu dengan senjata pengebutnya.

   Blarrr! Ledakan keras terdengar, akibat benturan dua te-naga dalam tinggi.

   Saat yang sama si nenek berkonde terhuyung ke belakang.

   Dan sebelum Bidadari Hati Ke-jam menguasai keseimbangan, serangan lain tengah menyusul.

   Manusia Pemarah mengeluarkan teriakan meng-guntur.

   Langsung dipotongnya serangan Iblis Kubur dengan pukulan 'Sejuta Pesona Bunga'.

   Kejap itu pula, aroma harum bunga yang pekat disertai deru angin bergelombang dahsyat meluncur ke arah serangan Ib-lis Kubur.

   Blarrr! Serangan Manusia Pemarah berhasil memutus se-rangan Iblis Kubur pada Bidadari Hati Kejam.

   Tetapi hal itu harus dibayar mahal.

   Karena satu dorongan angin deras menghantam ke arahnya.

   Tubuh Manusia Pemarah sampai terhuyung lima tindak ke belakang.

   Saat keseimbangannya berhasil dikuasainya lagi, lelaki tua pemarah itu langsung mengalirkan tenaga dalamnya.

   "Sontoloyo! Bagaimana caraku untuk menghabisi manusia sesat itu! Jalan satu-satunya memang harus menemukan Dewi Karang Samudera yang memiliki Ki-tab Pemanggil Mayat Atau..., menemukan di mana gu-ruku berada? Huh! Menemukan guruku sama saja mencari jejak setan yang tak tahu juntrungannya. Meskipun rasanya aku bisa menebak di mana beliau berada. Persetan dengan semua itu! Iblis Kubur biar diurus belakangan! Si Kunti, perempuan yang diam-diam kucintai itu harus segera kutolong. Kulihat, dia terluka dalam. Tetapi dasar nenek jelek keparat. Dia masih berlagak kuat saja! Huh!"

   Maki Manusia Pemarah.

   Begitu habis makiannya, Manusia Pemarah lang-sung menyerang Iblis Kubur dengan melipatgandakan tenaga dalam.

   Werrr! Iblis Kubur terdorong dua tindak ke belakang.

   Dan bersamaan dengan itu, Manusia Pemarah langsung menyambar tubuh Bidadari Hati Kejam dan memba-wanya berlalu dari sana.

   Kendati dalam keadaan terluka, Bidadari Hati Ke-jam masih saja mengumbar kemarahan saat tubuhnya dibawa yang secara tidak langsung dirangkul Manusia Pemarah.

   "Orang tua jelek pemarah! Bilang saja mau meme-lukku dengan berpura-pura menolongku! Ayo, turun-kan aku!"

   "Nenek jelek sontoloyo! Apa kau ingin mampus di tangan manusia laknat itu, hah?! Kesaktian Iblis Kubur sukar ditandingi, kecuali oleh guruku Ki Sampur-no Pamungkas! Kalau kau masih bersikap konyol se-perti ini, silakan! Aku bukan hanya bisa menurun-kanmu di sini, tetapi juga membanting tubuh peotmu ini! Kau mau itu kulakukan, hah?!"

   Balas Manusia Pemarah sambil terus membawa tubuh Bidadari Hati Ke-jam.

   "Keparat! Setan tua pemarah!"

   Maki Bidadari Hati Kejam.

   Begitulah yang terjadi.

   Sambil membawa lari tubuh Bidadari Hati Kejam, Manusia Pemarah pun balas memaki.

   Hingga yang terdengar kemudian, suara sal-ing marah tak karuan.

   Namun, keduanya bersahabat.

   Bahkan diam-diam Manusia Pemarah masih mencintai Bidadari Hati Kejam.

   Sepeninggal kedua tokoh aneh itu, menggema te-riakan mengguntur yang sangat dahsyat.

   Menyusul tumbangnya beberapa pohon besar hingga menimbul-kan suara berdebum hebat.

   Rupanya Iblis Kubur tengah mengamuk karena ke-dua orang itu telah berlalu darinya.

   *** Bab Seorang perempuan tua berbaju hitam panjang menghentikan langkahnya di sebuah hutan kecil.

   Pan-dangannya beredar ke sekeliling dengan mulut tak henti-hentinya mengunyah sirih.

   Yang didapatinya hanya keheningan, kendati hari telah memasuki siang.

   "Keparat! Ke mana perginya dua manusia sialan itu! Mengapa jejaknya tahu-tahu tak tampak lagi? Be-nar-benar kurang ajar! Apa yang harus kulakukan se-karang? Apakah aku harus menghentikan mereka yang tengah mencari Dewi Karang Samudera? Atau, meneruskan langkah ke tempat lain? Ke mana lang-kahku harus kutempuh?"

   Perempuan tua berbaju hitam panjang itu terus mengunyah susur, membuat bibir mulutnya yang ke-riput berwarna merah. Lalu kepalanya menoleh ke ka-nan dan ke kiri, hingga rambutnya yang panjang se-pinggang itu bergerak-gerak "Keparat!"

   Umpat si nenek.

   "Lama sudah aku keluar dari tempat asalku untuk mendapatkan seluruh yang kuinginkan. Tetapi semuanya tak pernah kuda-patkan hingga sekarang. Bahkan keinginanku untuk mendapatkan Pedang Batu Bintang milik si Rajawali Emas itu pun tak bisa kudapatkan. Setan alas! Lebih baik kutinggalkan saja tempat ini untuk mencari jejak Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian!"

   Memang, nenek berbaju hitam panjang yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam ini sedang mengikuti per-ginya dua tokoh sesat lain berjuluk Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian.

   Namun mendadak saja, dia kehilangan jejak kedua tokoh sesat yang dike-jarnya.

   (Baca serial Rajawali Emas dalam episode.

   "Sumpah Iblis Kubur"). Tetapi sebenarnya hal itu tak mengherankan. Ka-rena kedua tokoh yang diikutinya memiliki ilmu me-ringankan tubuh yang lebih tinggi. Sebenarnya, Ratu Tengkorak Hitam sudah berhasil mendapatkan Pedang Batu Bintang. Hal itu terjadi saat Manusia Mayat Muka Kuning yang dibantu oleh Dewi Kematian bertarung menghadapi Siluman Buta yang telah mencuri Pedang Batu Bintang di saat Tirta alias si Rajawali Emas sedang memulihkan diri akibat serangan Lima Iblis Puncak Neraka. Namun sayangnya, di saat Ratu Tengkorak Hitam mendapatkan Pedang Batu Bintang, muncul tokoh se-sat lain yang berjuluk si Kaki Gledek. Tokoh itu berhasil merebut Pedang Batu Bintang, setelah berhasil membuat pingsan Ratu Tengkorak Hitam. Namun ak-hirnya si Kaki Gledek tewas di tangan Dewi Kematian dengan cara licik. Sementara Pedang Batu Bintang berhasil direbut kembali oleh si Rajawali Emas. Di lain pihak, Ratu Tengkorak Hitam pun berhasil diselamatkan oleh Dewi Karang Samudera yang berhasil me-nancapkan pengaruhnya pada Ratu Tengkorak Hitam (Silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode.

   "Ra-ja Lihai Langit Bumi"). Si nenek berbaju hitam panjang itu mengedarkan pandangan lagi sambil mengunyah susurnya lebih kuat sehingga, cairan merah yang keluar dari mulut-nya semakin banyak. Tak dihapusnya, tapi malah den-gan seenaknya dijilati dan dikunyah lagi. Setelah beberapa saat dikungkung kebimbangan, Ratu Tengkorak Hitam memutuskan untuk meninggal-kan tempat itu. Namun mendadak saja telinganya me-nangkap satu kelebatan cepat mengarah ke tempatnya. Segera kepalanya menoleh dengan kening berkernyit.

   "Setan keparat! Siapa orang yang datang ini?"

   Dengusnya.

   "Hup!"

   Ratu Tengkorak Hitam langsung melompat ke atas sebuah pohon.

   Dinantikannya sosok yang berlari cepat itu, begitu kakinya hinggap di atas dahan.

   Dua kejap kemudian tampak satu sosok tubuh berbaju keemasan tiba di tempat itu.

   Begitu tiba, sosok yang ternyata seorang pemuda berbaju keemasan dengan rajahan burung rajawali pada kedua lengannya ini memperhatikan sekelilingnya.

   Sebuah pedang berwa-rangka keemasan yang tersampir di punggungnya, membuat penampilannya begitu perkasa.

   Apalagi, den-gan bentuk pedang yang cukup aneh.

   Di pangkal hulu pedang terdapat dua ukiran berbentuk kepala burung rajawali yang saling berlawanan arah.

   Juga terdapat sebuah bintang pada bagian bawah hulu pedangnya.

   "Brengsek! Ke mana lagi harus kucari Iblis Kubur. Aku yakin, meskipun berilmu tinggi, Guru tak akan mampu menandingi Iblis Kubur yang seperti kebal ter-hadap setiap pukulan. Celaka kalau begini! Aku kha-watir akan nasib Guru. Baiknya aku cari kembali Te-tapi...."

   Si pemuda yang tak lain Tirta alias si Rajawali Emas tiba-tiba menghentikan kata-kata hatinya. Bebe-rapa saat dia terdiam, seperti ada sesuatu yang mengganggu benaknya.

   "Hm.... Ada tikus jelek yang mengintipku rupanya. Melihat ciri pakaiannya dan susur yang dikunyah, jelas dia adalah Ratu Tengkorak Hitam. Nenek jelek yang lima tahun lalu hampir merenggut nyawaku. Hmm.... Akan kupermainkan dia!"

   Tirta dengan santainya duduk di bawah pohon tempat Ratu Tengkorak Hitam bersembunyi.

   "Di sini aman untuk tidur rupanya. Tak ada tikus jelek yang menggangguku! Tak ada bau busuk yang membuat perutku mual. Tidur dulu ah...,"

   Kata Tirta, keras-keras.

   Sikapnya tenang sekali, seperti tak mempedulikan adanya bahaya.

   Pendekar Rajawali Emas merebahkan tubuhnya.

   Kedua tangannya ditekuk di bawah kepala dijadikan bantalan.

   Matanya lantas dipejamkan.

   Di atas pohon, si nenek berbaju hitam panjang tak tahu maksud Tirta.

   Namun yang pasti, wajahnya tam-pak cerah.

   "Rajawali Emas. Rupanya Pedang Batu Bintang te-tap akan berjodoh kepadaku. Buktinya pemuda itu da-tang ke sini untuk mengantar Pedang Batu Bintang. Sekaligus, mengantar nyawanya. Biar kutunggu dulu sampai dia tidur. Dengan begitu akan memudahkanku untuk mendapatkan Pedang Batu Bintang."

   Tirta yang berlagak tidur mulai memperdengarkan dengkuran sembernya.

   Sementara di atas, Ratu Teng-korak Hitam makin menampakkan wajah cerah.

   Sete-lah beberapa saat menunggu, wanita tua ini menge-rahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.

   La-lu....

   Wrrr! Selarik sinar hitam yang dipadu gemuruh angin tinggi meluruk ke arah Tirta.

   "Mampuslah kau, Rajawali Emas!"seru Ratu Tengkorak Hitam dalam hati dengan wajah gembira.

   "Heh...?!"

   Betapa terkejutnya Ratu Tengkorak Hitam melihat tubuh pemuda yang diserangnya mendadak berguling.

   Pukulannya ternyata meleset, dan menghantam tanah tempat Tirta tadi berada.

   Seketika terbentuklah lubang sedalam satu tombak! "Gila! Apakah dia berlagak tidur dan tahu seranganku?! Tetapi, dia tak bergerak sama sekali sekarang? Jelas dia tertidur dan berhasil menghindari pukulanku karena tak sengaja berguling.

   Keparat! Akan kuhajar dia sampai mampus!"

   Maki Ratu Tengkorak Hitam. Begitu habis makiannya, si nenek menghentakkan kedua tangannya lagi. Maka seketika meluncur sinar hitam disertai angin berkesiur kencang. Namun....

   "Heh...?!"

   Kembali Ratu Tengkorak Hitam dibuat terkejut me-lihat tubuh Pendekar Rajawali Emas berguling lagi dengan santainya sambil memperdengarkan suara mengorok Blarrr...! Di tempat Tirta menggeletak tadi, terden-gar ledakan keras.

   Dan tanah pun kembali muncrat tinggi dan membentuk lubang besar.

   "Setan! Tak mungkin orang dalam tidur bisa menghindari serangan sebanyak dua kali! Pemuda itu pasti sedang mempermainkanku!"

   Maki Ratu Tengkorak Hitam. Tetapi belum lagi Ratu Tengkorak Hitam menye-rang kembali, mendadak saja si Rajawali Emas telah berdiri sambil cengengesan.

   "Tertipu, ya? Tertipu?"

   Kontan mengkelap wajah Ratu Tengkorak Hitam mengetahui kalau dirinya dipermainkan.

   Tanpa buang waktu lagi, tubuhnya meluruk ke muka dengan jurus 'Jalan Hitam Kematian' yang dipadu jurus 'Angin Den-dam Punah Nyawa'.

   Si Rajawali Emas yang tahu kalau lawannya men-gerahkan jurus-jurus ampuh tak mau tinggal diam.

   Cepat dibukanya jurus menghindar 'Rajawali Putar Bumi'.

   Tubuhnya seketika berkelebatan bagai terbang.

   Begitu menukik, dipergunakannya jurus 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung' untuk melepas serangan.

   Pada saat yang sama, si nenek pun telah menghen-takkan tangannya.

   Dan....

   Blammm! Terdengar ledakan keras memekakkan telinga.

   De-daunan kontan berguguran.

   Hewan yang hidup dihu-tan itu langsung berlarian menjauh.

   Sementara itu, tubuh Ratu Tengkorak Hitam tam-pak terhuyung ke belakang lima tombak.

   Kedua tan-gannya membekap dada kuat-kuat.

   Sedangkan Tirta sendiri terhuyung satu tindak.

   Meskipun terasa ngilu pada tangannya, tetapi bibirnya tersenyum-senyum.

   "Hebat juga si nenek sialan ini!"

   Kata batinnya. Dan dialah yang sebenarnya pangkal dari semua petaka selama ini. Dialah yang pertama kali meributkan soal Pedang Batu Bintang, hingga memancing kemunculan orang-orang persilatan."

   Sementara si nenek telah berdiri tegak setelah mengalirkan tenaga dalamnya. Wajahnya membesi dengan tatapan menajam. Mulutnya makin kuat men-gunyah susurnya, hingga makin banyak cairan merah yang keluar dari mulutnya.

   "Keparat kau, Rajawali Emas! Aku tak punya ba-nyak waktu! Persoalan Pedang Batu Bintang sudah se-lesai! Sekarang, katakan di mana Raja Lihai Langit Bumi?!"

   Sengat si nenek keras.

   Tirta yang tahu kalau selama lima tahun belakan-gan ini Ratu Tengkorak Hitam berusaha mendapatkan Pedang Batu Bintang, hanya tersenyum saja.

   Namun mendapati pertanyaan barusan, cukup mengejutkan-nya juga.

   Hanya sesaat hal itu terjadi, karena dengan santainya Tirta telah mencabut sebatang rumput dan mulai menghisap-hisapnya.

   "Apa pendengaranku tidak salah? Ada urusan apa kau menanyakan Raja lihai Langit Bumi?"

   Tukas Tirta, kalem.

   Ratu Tengkorak Hitam menggeram.

   Kali ini me-mang ada yang lebih penting dari persoalan Pedang Batu Bintang.

   Karena dia tahu Dewi Karang Samudera telah muncul.

   Perempuan berbaju hijau lumut itulah yang mengajarkan ilmu 'Undang Maut Sedot Darah' yang merupakan salah satu ilmu Raja Lihai Langit Bumi.

   Namun karena waktu itu keinginan untuk menda-patkan Pedang Batu Bintang menguasai dirinya, maka dia melupakan perintah dari Dewi Karang Samudera dengan mengumbar jurus 'Undang Maut Sedot Darah' untuk membunuh siapa saja.

   Maksudnya, agar Raja Lihai Langit Bumilah yang akan diburu oleh banyak tokoh persilatan.

   Sekarang si nenek telah menyirap kabar kalau si Rajawali Emas telah berguru pada Raja Lihai Langit Bumi.

   Perlahan-lahan kedua tangannya mengepal, dan lamat sinar warna biru menerangi kedua tangannya.

   "Kau lancang berbuat begitu kepadaku, Rajawali Emas! Jawab pertanyaanku barusan, bila tak ingin mampus dengan jurus gurumu sendiri!"

   "Wah! Kau ini terlalu memaksa, ya? Apakah...."

   Kata-kata Tirta terputus, begitu melihat Ratu Tengkorak Hitam melesat ke muka dengan gerengan keras.

   Kedua tangannya yang membuka bergerak ke depan.

   Saat itu pula, melesat sinar biru menggidikkan ke arah Tirta.

   Itulah jurus 'Undang Maut Sedot Darah', salah satu jurus milik Raja Lihai Langit Bumi yang sempat dipertanyakan Bidadari Hati Kejam mengapa Ratu Tengkorak Hiram sampai memilikinya.

   Tirta yang menangkap bahaya, segera mengempos tenaga dari pusarnya.

   Begitu tangannya menghentak ke depan.....

   Wrrr! Angin panas luar biasa meluruk dahsyat bagai per-cikan cahaya yang menggidikkan.

   Itulah tenaga 'Selaksa Surya' yang berasal dari rumput Selaksa Surya.

   Blammm...! Terdengar ledakan dahsyat yang mengguncangkan tempat itu ketika dua pukulan satu sama lain berte-mu.

   Sinar biru berpendaran ke atas, disusul hawa pa-nas bergulung-gulung mengangkasa.

   Tanah dan rum-put tercabut kuat-kuat dan merengkah membentuk lubang sedalam dua tombak.

   Pemandangan kabur ka-rena terhalang oleh pekatnya debu yang berpentalan.

   Saat penghalang pandangan luruh, nampak pemu-da berajah burung rajawali pada lengan kanan-kirinya terhuyung ke belakang.

   Wajahnya tampak pias dengan ketegangan yang nyata.

   Lengan kanannya sedikit membiru.

   Dia cepat duduk bersemadi dengan menga-tupkan kedua tangan pada dadanya.

   Sementara itu, Ratu Tengkorak Hitam terlempar dua tombak ke tanah.

   Dari mulutnya keluar darah yang bercampur cairan susurnya.

   Wajahnya mengeras, tanda menahan sakit luar biasa.

   Sesaat napasnya ter-dengar mendengus-dengus.

   Begitu melihat si Rajawali Emas tengah duduk bersemadi, keinginan mempergu-nakan kesempatan untuk menghabisi lawannya mem-besar.

   Segera tenaga dalamnya dialirkan kembali.

   Na-mun....

   "Aaakh.,.!"

   "

   Belum lagi Ratu Tengkorak Hitam melakukannya mendadak saja tubuhnya terhuyung ke depan dan ambruk.

   Terdengar raungannya yang tinggi, sekaligus menggidikkan, mengiringi kematiannya.

   Rupanya kekuatan tenaga surya yang dikerahkan Tirta lebih tinggi dari jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang dipergunakan oleh Ratu Tengkorak Hitam.

   Hal itu tidak mengherankan, karena jurus itu memang tidak begitu sempurna dimiliki oleh Ratu Tengkorak Hitam, mengingat Dewi Karang Samudera memilikinya dengan cara mencuri.

   Setelah ambruk dan bergulingan ke sana kemari, mendadak tubuh si nenek membiru.

   Dua tarikan na-pas kemudian, tubuhnya terdiam sama sekali.

   Darah mengalir dari seluruh pori-porinya.

   Tirta menarik napas panjang setelah selesai men-galirkan tenaga dalam pada tubuhnya.

   Kendati demi-kian jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam telah membuat setiap jalan darahnya terasa nyeri.

   "Celaka! Kenapa tubuhku jadi sedikit kaku seperti ini? Hhh! Jurus tadi sangat mengerikan. Bila saja tak kupapaki dengan tenaga surya, tak urung seluruh jalan darahku akan punah tersedot dan pecah beranta-kan. Tetapi sekarang jalan darahku terasa tersendat,"

   Rutuk batin si Rajawali Emas sambil memandang Ratu Tengkorak Hitam yang telah menjadi mayat.

   'Tak ku-sangka kalau tenaga surya ini benar-benar dahsyat.

   Terpaksa hal itu kulakukan, karena bila tidak, justru aku yang mati konyol.

   Meskipun aku tak menghendaki mencabut nyawa si nenek."

   Lalu perlahan-lahan si pemuda dari Gunung Raja-wali itu berdiri.

   Pandangannya diedarkan ke seantero tempat "Hmnm....

   Aku yakin Bwana akan menjaga Andini dan gadis yang ditolongnya.

   Tentu dia sudah siuman sekarang.

   Entah, siapa gadis itu.

   Bwana hanya mence-ritakan kalau dia tengah dihadang kematian oleh pe-rempuan berbaju hijau lumut.

   Perempuan itu pasti Dewi Karang Samudera.

   Keparat busuk! Di mana pe-rempuan itu sekarang? Bila aku bertemu lagi dengan-nya, akan kupaksa untuk menyerahkan Kitab Pe-manggil Mayat.

   Kemunculan Iblis Kubur telah memu-singkan kepala orang-orang rimba persilatan.

   Ini tak boleh dibiarkan terlalu lama.

   Karena menurut pesan Guru, aku harus menuntaskan masalah ini.

   Lalu di manakah Guru yang tiba-tiba dicari Ratu Tengkorak Hitam? Ada urusan apa wanita pengunyah susur itu sebenarnya."

   Si Rajawali Emas menarik napas sekali lagi. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, mendadak jalan da-rah di seluruh tubuhnya terasa makin liar dan kacau. Rasa pusing yang menyengat menyerang kepalanya.

   "Celaka! Kenapa jadi begini? Gila! Apa yang harus kulakukan? Padahal tenaga surya sudah kualirkan untuk menghilangkan getaran di tubuhku! Ohhh!"

   Saat ini Tirta merasakan panas yang mendadak berkobar dalam tubuhnya yang dibuat limbung tak ka-ruan.

   Menyusul, rasa pusing yang melingkari seluruh isi kepalanya.

   Napasnya mendadak sesak tak menentu.

   Isi perutnya bagai teraduk-aduk, hendak keluar secara paksa.

   "Sinting! Kenapa jadi begini? Mengapa tenaga surya seakan tak mampu meredam pukulan yang dilepaskan si nenek tadi? Oh... aku... aku....!"

   Tubuh si Rajawali Emas semakin limbung.

   Dan dua kejap kemudian, dia tak mampu bertahan lagi.

   Tubuhnya pun ambruk begitu saja dan mendadak membiru.

   Tak tahu apa yang terjadi, saat itu pula si Rajawali Emas pun pingsan.

   *** Sepenanakan nasi telah berlalu, melewati segenap sunyi mencekam yang mendera tempat Tirta pingsan.

   Tahu-tahu saja, di tempat itu satu sosok tubuh telah berdiri di samping si Rajawali Emas yang masih pingsan.

   ' Sosok ini sangat aneh.

   Dia adalah seorang lelaki bertubuh begitu bulat.

   Dan bila dia tidak memiliki kepala, kaki, dan tangan, sudah pasti wujudnya tak ubahnya seperti bola.

   Tingginya saja hanya sepundak dari ukuran manusia dewasa.

   Dan dengan kalung be-sar di lehernya yang berayun-ayun membuat penampi-lannya terlihat menggelikan.

   Dari balik pakaian batik yang terbuka di dada, entah karena tak bisa dikancing akibat perutnya yang besar atau memang tak punya pakaian lagi, terlihat bungkahan dada yang tak ubah-nya dada seorang wanita.

   Di tangan kanannya terdapat sebuah cangklong besar.

   Tak mengeluarkan asap.

   Tetapi ketika dihisap dan dihembuskannya, mengepul asap wangi dari mulutnya! Lelaki buntal itu menggeleng-geleng sambil meng-hembuskan asap dari cangklongnya yang aneh, Ma-tanya terus menatap tubuh Tirta yang pingsan dan makin membiru.

   "Rupanya dunia telah berubah arah. Setiap lang-kah berarti petaka. Wujud dari kehidupan ini hanya sengsara belaka, yang tak akan pernah sirna sepan-jang masa. Sekujur tubuh pemuda berbaju keemasan ini membiru. Tentu dia terkena pukulan dahsyat. Dan di sebelah sana, perempuan tua berbaju hitam panjang itu telah jadi mayat. Aku yakin, perempuan itulah yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam bila memperhatikan ciri-cirinya. Apakah dia tewas di tangan si pemuda?"

   Kata batin lelaki buntal yang tak lain tokoh silat aneh berjuluk Dewa Bumi.

   "Dalam pandanganku ketika Andini tak ditemukan, aku merasa pasti kalau pemuda ini yang telah menolong muridku yang ceriwis itu. Wisnu dan Nandari pasti heran, karena aku tak me-nampakkan kecemasan, dikarenakan aku telah meli-hat semuanya."

   Dewa Bumi kembali menggeleng-geleng.

   "Nyawa nampak murah harganya. Manusia hidup hanya jadi petaka. Melihat pukulannya, pemuda ini terkena pu-kulan 'Undang Maut Sedot Darah'. Pukulan yang menggegerkan rimba persilatan puluhan tahun lalu. Yang pasti pukulan itu hanya dimiliki Raja Lihai Langit Bumi. Bila melihat hanya ada dua sosok tubuh di sini, jelas pukulan yang menimpa si pemuda di lakukan Ra-tu Tengkorak Hitam yang telah jadi mayat. Tetapi, mengapa jurus 'Undang Maut Sedot Darah' bisa dikua-sai olehnya? Benar-benar dunia telah berwajah dua dalam kehidupan."

   Dewa Bumi menghisap lagi cangklong yang dipe-gangnya yang tak mengeluarkan asap. Tetapi saat di-hembuskan asap wangi menebar keluar.

   "Tak tahu urusan apa yang terjadi. Aku harus cepat menemukan Iblis Kubur dan Dewi Karang Samu-dera. Kitab Pemanggil Mayat akan jadi sumber malape-taka. Baiknya, kuselamatkan nyawa pemuda ini yang pernah menolong muridku si Andini."

   Habis membatin seperti itu, Dewa Bumi berjong-kok.

   Nampak susah sekali gerakannya.

   Saat kedua ka-ki-nya berjongkok, bila dipandang dari jauh orang akan menyangka ada sebuah bola raksasa.

   Dewa Bumi kembali menghisap dalam-dalam cangklong yang tak mengeluarkan asap.

   Saat dihem-buskan, muncul asap berbentuk menjadi lingkaran menuju ke arah si Rajawali Emas.

   Asap berbentuk bu-latan yang wangi itu melingkari sekujur tubuh Tirta.

   Bersamaan dengan itu, Dewa Bumi memegang da-da Tirta.

   Tampak tubuh lelaki buntal ini bergetar.

   Keringat sebesar biji jagung mendadak muncul.

   Cukup lama Dewa Bumi melakukan hal itu, sampai tubuh membiru di hadapannya berubah memerah.

   Dan kini tubuh Dewa Bumi yang membiru.

   Setelah beberapa saat, lelaki buntal ini mengangkat kedua tangannya.

   Lalu didorongkannya ke depan.

   Seketika menghampar angin dahsyat panas yang luar biasa diiringi deru angin bergemuruh dahsyat, menghantam beberapa batang pohon sekaligus.

   Pohon-pohon itu bukan hanya hangus, melainkan pecah jadi serpihan setelah menimbulkan suara ledakan cukup keras.

   "Nyawamu tertolong, Anak Muda. Bila saja kau tak punya tenaga panas yang kurasa cukup aneh, niscaya kau akan mati secara mengerikan."

   Dewa Bumi berdiri kembali.

   Lalu tanpa meman-dangi lagi tubuh Tirta atau Ratu Tengkorak Hitam, dengan langkah tak acuh ditinggalkannya tempat itu Sesekali dihisapnya cangklong yang tak mengeluarkan asap.

   Namun saat dihembuskan, menguar aroma wan-gi yang menyejukkan.

   Bab 10 Seorang wanita cantik berbaju hijau lumut tipis dengan rambut menyala seolah dihiasi pernik perak menghentikan langkahnya di sebuah pematang.

   Ma-tanya beredar ke sekeliling tempat.

   Namun yang tam-pak hanya padi menguning.

   "Setan! Ke mana aku harus menemukan Iblis Ku-bur! Bila dalam waktu sepuluh hari manusia sialan itu tak bisa kutemukan, bisa-bisa pengaruh ilmu dari Kitab Pemanggil Mayat tak akan ada gunanya lagi. Berar-ti sia-sia saja usahaku untuk berjumpa dengan Raja Lihai Langit Bumi! Urusan dengannya harus tetap ku-jalankan. Tak akan pernah kutinggalkan rimba persilatan sebelum urusan dengan Raja Lihai Langit Bumi tuntas!"

   Lalu wanita yang tak lain Dewi Karang Samudera segera meninggalkan tempat itu.

   Dalam waktu hanya dua puluh tarikan napas, tubuhnya sudah bagaikan sebuah titik yang makin mengecil.

   Saat ini hari sudah memasuki senja.

   Dan angin berhembus semilir, saat perempuan berambut bagai dihiasi pernik perak itu tiba di sebuah ngarai yang indah namun penuh pepohonan tinggi.

   Kembali pandan-gannya beredar namun tersimpan berjuta kelicikan yang dalam.

   "Raja Lihai Langit Bumi.... Ke mana pun kau pergi, aku akan tetap mencarimu! Hingga seluruh dendam dan sakit hati yang selama ini menderaku sirna. Hhh! Baiknya kutinggalkan ngarai ini, sebelum malam da-tang."

   Namun belum lagi Dewi Karang Samudera berge-rak, mendadak sepasang matanya sudah melihat se-suatu yang membuatnya tersentak kaget. Bahkan sampai surut satu tindak ke belakang.

   "Gila! Bagaimana dia bisa berada di sini?! Sama sekali aku tak merasakan kehadirannya? Atau "dia baru datang? Setan baju putih keparat! Rupanya dia memang ditakdirkan untuk mati di tanganku!"

   Desis batin Dewi Karang Samudera dengan tatapan melebar dan mulut agak terbuka.

   Di hadapan Dewi Karang Samudera pada jarak tiga tombak, telah berdiri seorang lelaki tua berbaju putih berselempang kain selendang berwarna putih pula di bahu kanan sampai pinggang kiri.

   Seluruh bulu yang ada di tubuhnya sudah memutih.

   Lelaki tua berwajah bijaksana dengan tatapan teduh itu mengusap jenggot putihnya.

   "Kita bertemu lagi, Cempaka. Bagaimana kabarmu saat ini setelah sekian lama tak berjumpa?"

   Sapa lelaki itu. Suaranya terdengar mendesis dan agak bergetar.

   "Setan tua ini masih menggetarkan hatiku. Tetapi biar bagaimanapun juga, dia pernah menyakiti dan mempermainkan cintaku. Maka aku harus membu-nuhnya."

   Habis membatin begitu, Dewi Karang Samudera tersenyum dingin. Dibalik senyumnya, terbias sifat li-ciknya.

   "Lama kucari kau, Raja Lihai Langit Bumi! Dan kini muncul untuk terima kematian!"

   Sahut Dewi Karang Samudera, penuh tekanan. Lelaki yang tiba-tiba ada di hadapan Dewi Karang Samudera tersenyum. Seolah tak menyadari kelicikan dalam benak Dewi Karang Samudera.

   "Soal mati dan hidup ada di tangan Yang Maha Kuasa, Cempaka. Kalau Dia inginkan aku mati saat ini, pasti mati Bila belum ada tulisan tentang kematianku, sampai kapan pun aku tak akan pernah mati."

   "Orang tua busuk! Jangan jual khotbah di depan-ku!"

   Maki Dewi Karang Samudera yang memiliki nama asli Cempaka dengan wajah garang.

   Wanita tua yang wajah dan tubuhnya masih seperti seorang gadis itu kini benar-benar marah.

   Pandangan-nya dingin, memerah, dan penuh kandungan kemara-han tinggi Namun Raja Lihai Langit Bumi tetap tenang sekali, seperti biasanya.

   "Cempaka.... Mengapa tak bisa kau sudahi urusan yang telah bertahun-tahun ini terjadi? Bukankah semuanya telah jelas?"

   "Tidak! Kau telah menyakiti hatiku, Sirat! Tak akan pernah kubiarkan orang yang telah menyakiti hatiku hidup lebih lama! Orang yang telah membuatku malu menjalani kehidupan ini! Apakah tidak seharusnya sa-kit hati ini kubalaskan padamu, hah?!"

   Suara Dewi Karang Samudera tajam menusuk.

   "Cempaka...... Cinta tak bisa dipaksakan. Bolehlah bila kau katakan kau mencintaiku. Tetapi..., yang ada di dasar hatiku, kau hanya kuanggap sebagai seorang adik. Dulu pun kukatakan seperti itu,"

   Sahut Raja lihai Langit Bumi penuh wibawa.

   "Karena kau mencintai Kunti Pelangi, Sirat!"

   Bentak Dewi Karang Samudera. Raja Lihai Langit Bumi yang bernama asli Sirat Perkasa menggeleng sambil tetap tersenyum.

   "Kau salah menduga, Cempaka. Hubunganku den-gan Kunti hanya sebatas saudara seperguruan saja."

   "Jangan dusta!"

   "Aku berkata apa adanya. Tak pernah kucintai Kunti selain sebagai adik seperguruan. Demikian pula kau, Cempaka. Aku sulit untuk berusaha mencintai-mu. Bukan karena...."

   "Jangan jual lagak di hadapanku, Sirat! Kini, ber-siaplah untuk mampus!"

   Begitu habis kata-katanya, Dewi Karang Samudera mundur satu tindak. Dan mendadak saja di tangannya terlihat sinar putih bening yang menggidikkan.

   "Kau tak ingin tahu mengapa aku...."

   "Diaaammm! Bersiaplah untuk mampus! Jangan jual lagak di hadapanku. Dan jangan harap aku men-gurungkan niat untuk membunuhmu. Raja Lihai Lan-git Bumi! Lama kucari, lama kupendam dendam, tak mungkin niatku kandas begitu saja!"

   Raja Lihai Langit Bumi hanya menggeleng-geleng saja.

   "Kau telah terbawa arus dendammu, Cempaka. Pa-dahal bila mau mempergunakan sedikit akal sehat, kau akan mengerti bahwa yang telah kau lakukan ada-lah sebuah kesalahan besar. Terutama, kau telah membangkitkan Iblis Kubur yang banyak menimbul-kan keonaran. Cempaka.... Lebih baik kau serahkan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku, untuk kumusnah-kan. Agar, semuanya berjalan sebagaimana mestinya,"

   Ujar Raja Lihai Langit Bumi, halus. Perempuan berbaju hijau lumut tipis itu mengge-leng tegas. Pancaran matanya kian tajam menusuk.

   "Jangan coba-coba mengelabuiku dengan kata-kata manismu, Sirat. Aku tahu, kau menginginkan pula kitab ini, bukan? Agar kau bisa mengendalikan setiap manusia yang telah mampus untuk dibangkitkan kembali."

   Raja Lihai Langit Bumi mengeluarkan keluhan pendek.

   Dia tahu, perempuan di hadapannya yang se-benarnya tak jauh berbeda usia dengan dirinya ini sangat keras kepala.

   Dan cinta tak berbalas yang telah puluhan tahun berlalu, nampaknya masih dan makin mengikat Dewi Karang Samudera.

   "Cempaka..... Bukankah kita tahu, kalau kenya-taan semacam ini sebenarnya tak pernah kita ha-rapkan? Lupakan semuanya. Berikan kitab itu kepa-daku. Maka hidupmu akan tenteram,"

   Bujuk Raja Lihai Langit Bumi.

   "Keparat! Rasanya terlalu banyak umbar omong tak guna! Bersiaplah untuk mampus, Sirat! Agar urusan cepat terselesaikan!"

   Raja Lihai Langit Bumi masih bersikap tenang.

   Wa-jahnya pun tak ada perubahan.

   Senyumnya tetap arif dengan tatapan lembut nan bijak "Hidup kita penuh liku yang terkadang mengan-cam, menghadang, dan menggebah.

   Tetapi juga terka-dang hanya merupakan rangkaian bayangan semu sa-ja.

   Cempaka....

   Aku tak bermaksud mempermainkan-mu.

   Aku tak pernah menjual cinta dan lagak.

   Tetapi, tak mungkin aku mengubah anggapan kalau kau ha-nyalah adikku.

   Sekali lagi, bukan karena Kunti Pelan-gi.

   Tak ada hubungannya sama sekali."

   Kata-kata Raja Lihai Langit Bumi nampaknya begi-tu menyentuh hati Dewi Karang Samudera.

   Sesaat, pe-rempuan jelita yang telah menyiapkan salah satu pu-kulan saktinya terdiam.

   Tanpa sadar tubuhnya berge-tar.

   Air mata mendadak menggenang di pelupuk ma-tanya.

   Biar bagaimanapun kerasnya perempuan itu, namun di dasar hatinya masih tersimpan rasa cinta pada Raja Lihai Langit Bumi.

   "Benarkah yang dikatakannya itu? Benarkah dia tak bisa mencintaiku karena telah menganggap aku sebagai adiknya? Dan bukan karena Kunti Pelangi?"

   Sesaat hati Dewi Karang Samudra bergetar. Lalu me-neruskan.

   "Persetan dengan benar atau tidak! Yang ku yakini, semua sakit hatiku bermula dari penolakannya! Hingga aku pun mau mengikuti permintaan Guru un-tuk mempersembahkan keperawananku. Apakah...."

   Dewi Karang Samudera menghentikan kata hatinya sendiri Sesaat dia terdiam tak melakukan apa-apa.

   Dan perlahan-lahan tatapan yang telah memudar kini menjadi garang kembali menusuk ke arah Raja lihai Langit Bumi "Jangan jual segala ucapan di depanku, Sirat! Bersiaplah untuk mampus!"

   Sentak Dewi Karang Samude-ra.

   "Tahan!"

   Seru Raja Lihai Langit Bumi, tegas.

   "Ada satu pertanyaan yang mesti kulontarkan. Aku tahu, kau telah memiliki ilmu 'Pengendali Mata' yang sangat tangguh. Dengan ilmu itu, kau bisa mencuri setiap jurus lawan-lawanmu. Dan aku yakin, kau telah mencuri jurus 'Undang Maut Sedot Darah' milikku. Benarkah itu, Cempaka?"

   Dewi Karang Samudera tersenyum aneh. Dagunya terangkat penuh sinar mata mengejek "Tak salah dugaanmu, Sirat. Segala ilmu apa pun akan dapat kucuri, meskipun tak sehebat pemiliknya. Yang kau katakan itu benar,"

   Sahut Dewi Karang Samudera, penuh kemenangan.

   "Dan kau telah mengajarkan jurus milikku yang kau curi itu pada Ratu Tengkorak Hitam?"

   Terabas Ra-ja Lihai Langit Bumi.

   "Tak salah!"

   "Cempaka.... Dengan maksud apa kau lakukan semua ini?"

   Tanya Raja Lihai Langit Bumi dengan suara sabar dan bijak.

   "Pertanyaan bodoh! Sudah tentu Ratu Tengkorak Hitam akan kusuruh mempergunakan jurus itu untuk membunuhi siapa saja! Sehingga orang-orang rimba persilatan yang tahu jurus itu milikmu, akan menca-rimu, Sirat! Tetapi nenek peot itu bodoh. Dia hanya sekali melakukan itu pada Kunti Pelangi."

   "Pantas kalau Kunti Pelangi seperti menodongku dengan pertanyaan tentang jurus itu."

   Sehabis membatin dengan kepala mengangguk-angguk, Raja Lihai Langit Bumi menatap Dewi Karang Samudera.

   "Jurus 'Pengendali Mata' yang kau miliki sangat berbahaya, Cempaka. Hanya karena sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, membuat rimba persilatan ini jadi kacau."

   Wajah Dewi Karang Samudera kontan membesi mendapati kata-kata lelaki yang dicintainya bernada menekan.

   "Persetan dengan ucapanmu itu, Sirat! Terimalah kematianmu! Heat...!"

   Disertai bentakan garang, tubuh Dewi Karang Sa-mudera melesat dengan kecepatan tinggi.

   Angin deras, panas, kencang laksana topan badai meluruk dahsyat.

   Sinar putih bening yang dilepaskan mendahului lesa-tan tubuhnya.

   Raja Lihai Langit Bumi hanya menarik napas.

   Dia tak bergeser dan tempatnya sedikit juga.

   Namun, begi-tu tubuh Dewi Karang Samudera mendekat, segera ke-dua tangannya diangkat ke muka.

   Wrrr! Seketika melesat gelombang angin dingin penuh tekanan kuat.

   Dewi Karang Samudera tersentak kaget.

   Dan mendadak saja, serangannya bagai tertahan.

   Te-tapi perempuan berbaju hijau lumut tipis yang telah dibakar dendam segera melipat gandakan tenaganya.

   Tubuhnya segera diputar ke kanan.

   Segera ditahannya dorongan angin dengan satu tangan, lalu tangan ki-rinya digerakkan ke atas.

   Srattt! Selarik sinar putih bening melesat tinggi.

   Dan bagai ada satu tenaga tarik yang kuat, tubuh Dewi Karang Samudera pun mencelat ke muka.

   Wusss! Saat mencelat itu langsung dilepaskannya pukulan dengan tangan kanan.

   Wrrr! Raja Lihai Langit Bumi sadar kalau perempuan itu menginginkan nyawanya.

   Maka begitu serangan Dewi Karang Samudera datang, tubuhnya berputar.

   Segera dilepaskannya tendangan dengan kaki kanan.

   Wusss! Blarrr! Angin yang menderu dari tendangan Raja Lihai Langit Bumi menghantam pukulan sinar bening Dewi Karang Samudera, menciptakan ledakan keras.

   Se-mentara tubuh Raja Lihai Langit Bumi terhuyung ke belakang dua tindak Sedangkan Dewi Karang Samude-ra memegang dadanya kuat-kuat.

   Dari bibirnya men-galir darah kental.

   "Keparat! Memang sulit bagiku untuk mengalahkan lelaki yang telah menyakiti hatiku ini Tetapi peduli setan! Biarpun nyawa lepas dari badan, aku tak akan mundur. Di mana saat ini Iblis Kubur berada? Padahal manusia laknat itu kuinginkan untuk membantuku menghabisi Raja Lihai Langit Bumi. Kunti Pelangi keparat! Padahal saat kemunculannya beberapa waktu lalu, aku ingin menghabisi nyawanya pula. Tetapi urusan dengan Kunti Pelangi bisa kuselesaikan belakan-gan, setelah nyawa orang tua sialan ini ku cabut!"

   Di seberang, Raja Lihai Langit Bumi telah berdiri tegak. Sorot matanya tetap jernih.

   "Cempaka.... Apakah tak kita sudahi saja urusan ini? Kita hanya cari penyakit saja. Akankah kau sadar kalau tindakanmu ini salah? Panggil kembali Iblis Kubur. Dan biarkan dia terpendam di tanah sampai du-nia kiamat. Jangan sampai..."

   "Hentikan khotbah busukmu, Raja Lihai Langit Bumi!"

   Potong Cempaka.

   "Iblis Kubur telah kubang-kitkan. Itu urusannya bila ingin membalas dendam dengan Ki Sampurno Pamungkas! Yang terbentang di depan mata sekarang, adalah urusan kita! Kau harus mampus!"

   Namun sebelum Dewi Karang Samudera melaku-kan serangan....

   "Kau benar, Dewi! Manusia berjuluk Raja Lihai Langit Bumi itu memang harus mampus! Mengapa kita tidak saling membahu untuk membunuhnya?!" *** Bab 11 Dewi Karang Samudera dan Raja Lihai Langit Bumi segera menoleh pada orang yang baru saja datang dan langsung berbicara barusan.

   "Hmmm... Siluman. Buta. Rupanya dia pun mun-cul kembali ke dunia ramai. Urusan bisa jadi panjang sekarang. Padahal, aku tahu Iblis Kuburlah yang harus dihentikan,"

   Gumam lelaki berbaju putih berwajah bijaksana itu.

   "Bukan kedua orang ini yang justru cari celaka."

   "Siluman Buta! Usil amat kau mencampuri uru-sanku?! Lebih baik minggat dari sini sebelum nyawa-mu kubuat minggat ke akhirat!"

   Bentak Dewi Karang Samudera..Lelaki yang baru datang memang Siluman Buta. Dia tertawa penuh ejekan sambil berdiri tegak dengan tongkat kusam sebagai penopangnya.

   "Kita sama-sama memiliki dendam pada Raja Lihai Langit Bumi. Bila kau menginginkan nyawanya, aku pun demikian. Tapi bila kau larang aku untuk men-gambil nyawanya, berarti kita pun punya persoalan."

   Dewi Karang Samudera kontan mengkelap men-dengar kata-kata yang meremehkannya.

   Kali ini kegu-sarannya beralih pada lelaki tua berbaju compang-camping dengan rambut putih kusut dan wajah cedok ke dalam yang berdiri lima tombak di hadapannya.

   Tinggalkan tempat ini bila tak ingin mampus, usir perempuan cantik berbaju hijau lumut tipis itu dingin.

   Penuh tekanan sekaligus ancaman.

   "Ucapanmu pantasnya ditujukan untuk anak kecil. Huh! Aku tak akan mundur setelah orang yang kucari dan membuatku malu di Lembah Maut ada di hada-panku! Dan..., apakah kau hanya memandang sebelah mata kepadaku, Dewi? Bila aku tak mampu melaku-kan apa yang kuinginkan, niscaya tak akan kutinggal-kan kediamanku. Satu hal lagi yang ingin kukatakan, aku telah mendengar kabar angin yang sangat menye-jukkan telinga. Yakni, kaulah yang telah membang-kitkan Iblis Kubur dengan mempergunakan Kitab Pe-manggil Mayat. Dewi! Aku akan memberikan nyawa Raja Lihai Langit Bumi kepadamu, bila kau menyerah-kan Kitab Pemanggil Mayat itu kepadaku. Bukankah ini usul yang sangat baik?"

   "Orang buta hina! Sejak dulu kau hanya mencam-puri setiap urusan! Dan kau selalu mempergunakan ke sempatan dalam kesempitan. Tetapi sayangnya, sam-pai saat ini kau belum berhasil mendapatkan apa yang kau inginkan!"

   Desis Dewi Karang Samudera. Siluman Buta mendongakkan kepala. Bukan ke arah Dewi Karang Samudera, melainkan ke arah lain.

   "Apa yang kau katakan itu benar. Tetapi sekarang, apa yang kuinginkan akan kudapatkan. Dendamku pada Raja Lihai Langit Bumi harus terbalas. Dan Kitab Pemanggil Mayat harus kudapatkan. Apakah aku akan berdiam..., heeiittt!"

   Telinga Siluman Buta yang lebih tajam daripada mata seorang tokoh macam Dewi Karang Samudera, menangkap desir angin bergelombang dengan cahaya panas berpendar. Kakinya cepat surut dua tindak, tangan 'Tinggalkan tempat ini bila tak ingin mampus!"

   Usirnya diangkat, dan tongkatnya digerakkan secara melingkar.

   Wrrr! Angin bergulung pun meluncur, menerabas lingka-ran angin yang dilepaskan Dewi Karang Samudera.

   Pada saat yang singkat, tubuh Siluman Buta pun mencelat ke depan.

   Tongkatnya siap menghantam ke-pala Dewi Karang Samudera.

   Perempuan cantik berbaju hijau lumut itu terke-siap mendapati serangan aneh sekaligus mematikan.

   Segera kepalanya merunduk.

   Lalu tubuhnya bergerak memutar dengan kaki mengibas.

   Trak! Tongkat kusam Siluman Buta tertahan kaki Dewi Karang Samudera.

   Lelaki sesat buta itu tergetar mun-dur sejauh tiga tindak ke belakang dengan tangan bergetar.

   Perlahan-lahan rambatan nyeri terasa pada pangkal pahanya.

   Sementara kaki kanan Dewi Karang Samudera yang mulus dan menggiurkan itu membiru.

   Tiga tindak dia mundur ke belakang.

   "Setan laknat! Julukan Siluman Buta ternyata bukan omong kosong! Tetapi, dia telah berani muncul dan membuat urusan berantakan. Nyawanya sudah berada di tanganku!"

   Desis Dewi Karang Samudera.

   "Julukan Dewi Karang Samudera jelas bukan hanya kabar angin belaka. Gebrakannya tadi mengin-gatkan aku akan jurus dasar yang dimiliki oleh Raja Lihai Langit Bumi,"

   Kata Siluman Buta, dalam hati. Yang diduga Siluman Buta agaknya memang be-nar. Karena, saat ini Raja Lihai Langit Bumi pun membuka kedua matanya lebih lebar.

   "Tendangan yang diperlihatkan Dewi Karang Sa-mudera tadi adalah jurus dasar 'Undang Maut Sedot Darah'. Bisa celaka kalau dia telah mempergunakan-nya. Aku harus cepat menyelesaikan segala persoalan ini."

   Usai membatin begitu, Raja Lihai Langit Bumi maju mendekat.

   "Bila kalian berdua menginginkan nyawaku, ten-tunya aku akan mempertahankan. Dan aku bersedia melakukan satu pertarungan, meskipun kurasa uru-san ini bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi dengan nada lembut Dewi Karang Samudera menoleh seraya tersenyum dingin.

   "Jangan menjual lagak di hadapanku, Sirat! Nya-wamu menjadi milikku!"

   Katanya.

   "He he he... ucapanmu jumawa sekali, Dewi? Apa-kah kau hanya memandang sebelah mata pada keingi-nanku?"

   Sambar Siluman Buta dengan tawa mengejek.

   "Setan buta keparat! Kau akan kuurus setelah urusanku selesai!"

   "Kukatakan tadi, aku rela nyawa Raja Lihai Langit Bumi jadi milikmu! Tapi serahkan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku!"

   "Aku sudah tahu arah ucapanmu yang berbisa itu, Keparat Buta! Aku tahu, kau mencoba menutupi rasa takutmu pada orang tua keparat itu dengan keinginan mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat! Permainan bu-suk yang sudah usang!"

   Kata Dewi Karang Samudera, penuh sindiran. Kepala Siluman Buta menegak. Wajahnya membe-si. Tangannya lebih kuat memegang tongkat kusam-nya. Bola matanya yang putih bergerak-gerak liar.

   "Akan kubuktikan ucapanku, Dewi!"

   Begitu habis kata-katanya, tubuh Siluman Buta mencelat ke arah Dewi Karang Samudera.

   Tongkat ku-samnya siap menghajar habis tubuh perempuan cantik itu.

   Dewi Karang Samudera jelas tak mau tubuhnya di-jadikan sasaran.

   Dia segera melompat.

   Langsung dipa-pakinya serangan Siluman Buta.

   Plak! Plak! Tak bisa dicegah lagi, pertarungan tingkat tinggi pun terjadi.

   Hanya dalam waktu singkat saja, tempat itu telah porak-poranda bagai dilanda gempa berkeku-atan tinggi.

   Pepohonan banyak yang tumbang dan ter-pental jauh.

   Tanah terbongkar dan berhamburan ber-kali-kali, membentuk beberapa kubangan lebar.

   Pada jurus ketujuh belas, Dewi Karang Samudera mundur tiga tindak setelah melepaskan serangan pada Siluman Buta.

   Untuk menyelamatkan diri, lelaki tua berbaju compang-camping itu pun melompat ke samp-ing beberapa langkah.

   Kini Dewi Karang Samudera membuat kuda-kuda kokoh.

   Kedua telapak tangannya yang telah berubah membiru membuka di sisi pinggang.

   "Merasakan panas dan cahaya yang berpendar aneh di telapak tangan Dewi Karang Samudera, jelas dia hendak melepaskan jurus 'Undang Maut Sedot Da-rah'. Jurus milik Raja Lihai Langit Bumi yang pernah mengalahkan aku di Lembah Maut. Rupanya mereka tengah bermain sandiwara di hadapanku. Padahal, mereka tengah bersatu untuk mengalahkan aku. Ti-dak! Aku telah menyiapkan satu jurus yang kucipta-kan sebagai penghalau jurus maut itu. Akan kuperli-hatkan sekarang juga agar lebih terbuka mata kedua-nya,"

   Kata Siluman Buta, langsung membuka jurusnya. Sementara itu, sepasang mata Raja Lihai Langit Bumi makin terbuka lebar.

   "Berbahaya jika jurus itu dipakai. Aku tahu, meskipun dia bisa mencuri jurus-jurus orang dengan ilmu 'Pengendali Mata', namun tak akan bisa memili-kinya dengan sempurna. Dan kurasakan udara men-dadak menjadi dingin membeku. Dingin tajam yang be-rasal dari tubuh Siluman Buta. Rupanya, dia telah mempersiapkan diri untuk menangkal jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang pernah kupergunakan untuk mengalahkannya pada pertarungan di Lembah Maut. Celaka...! Keduanya bisa mati! Dan, di tempat ini akan terjadi kematian sia-sia! Meskipun keduanya tokoh sesat, tetapi aku tak ingin ada nyawa lepas di hadapan-ku."

   Usai membatin begitu, Raja Lihai Langit Bumi mengerahkan tenaga dalam yang dipadu hawa murni.

   Sebagai pemilik jurus 'Undang Maut Sedot Darah', su-dah tentu dia tahu kelemahan jurusnya sendiri.

   Na-mun yang dicemaskannya sekarang, Siluman Buta ru-panya sedikit banyaknya sudah bisa menemukan ke-lemahan jurus itu, yang tak akan tahan menghadapi hawa sedingin es.

   Lelaki tua arif bijaksana yang tak menginginkan adanya kematian di depan matanya ini tak sempat berpikir panjang lagi.

   Karena bersamaan tubuh Dewi Karang Samudera melesat disertai teriakan menggun-tur, tubuh Siluman Buta pun sudah menderu dahsyat dengan hawa yang bisa membekukan seluruh pereda-ran darah.

   Tanpa pikir panjang lagi, Raja Lihai Langit Bumi mencelat pula ke depan.

   Siap dipapakinya dua bentu-ran yang akan terjadi tanpa memikirkan akibatnya....

   *** Bab 12

   "HlAAT...!"

   "Heaaa...!"

   "Shaaa...!"

   Tiga sosok yang bagai berubah menjadi bayangan berkelebat cepat, bagai anak panah yang dilepaskan dari busur.

   Suara teriakan mereka menggebah hutan kecil itu.

   Sementara angin panas melesat dari tubuh Dewi Karang Samudera.

   Di lain pihak, udara beku se-dingin gunung es menguar dari tubuh Siluman Buta.

   Di sisi lain, Raja Lihai Langit Bumi yang berusaha menghentikan dua gebrakan dahsyat yang dilakukan dua tokoh sesat itu terus berkelebat dahsyat.

   Bed! Bed! Lelaki tua berbaju putih yang memiliki hati bijak itu menggerakkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri, tepat ketika tenaga panas yang dilepaskan Dewi Karang Samudera hendak berbenturan dengan hawa dingin yang digebah Siluman Buta.

   Wusss! Wusss! Tenaga dahsyat yang dilepaskan Raja Lihai Langit Bumi masuk ke dalam dua tenaga yang dilepaskan Dewi Karang Samudera dan Siluman Buta.

   Blarrr! Blarrr...! Suara ledakan keras terdengar berkali-kali, mem-buat telinga seolah-olah tuli.

   Bahkan dedaunan seketi-ka berguguran.

   Beberapa cabang pohon berderak pa-tah akibat kerasnya tenaga benturan yang terjadi.

   Tanah di tempat itu pun terbongkar setinggi satu tom-bak, dan langsung luruh ke bumi.

   Sesaat perbuatan nekat Raja Lihai Langit Bumi berhasil menghentikan dua tokoh aneh tingkat tinggi yang sebenarnya menginginkan nyawanya.

   Tubuh ke-dua tokoh sesat itu terpental ke belakang, masing-masing sepuluh tombak.

   Dari mulut keduanya menga-lir darah segar dengan dada terasa remuk.

   Sementara yang dialami Raja Lihai Langit Bumi se-benarnya lebih parah lagi.

   Karena dia bukan hanya menahan dua tenaga dahsyat dari kedua tokoh sesat itu hingga tubuhnya terpental lima tombak, melainkan juga seolah membiarkan dirinya menerima serangan! Lelaki berbaju putih dan berselempang selendang putih pula itu segera mengambil sikap semadi.

   Cepat tenaga dalam dan hawa murni dialirkan ke seluruh sendi-sendi di tubuhnya.

   Sesaat tubuhnya agak berge-tar menahan gejolak hawa panas dan dingin yang me-nyergap serta merambat jalan darahnya.

   "Kalau aku tidak memotong gerakan mereka, tak mustahil keduanya akan jatuh pingsan. Tetapi karena aku mencoba menahan gerakan keduanya, inilah aki-batnya,"

   Keluh batin orang tua itu sambil meringis menahan nyeri.

   Terbukti sudah kelembutan dan kebijakan hati le-laki tua berbaju putih itu.

   Tak seharusnya sebenarnya dia menahan dua bentrokan yang terjadi.

   Karena kedua tokoh sesat itu justru menginginkan nyawanya! "Heaaa...!"

   Selagi Raja Lihai Langit Bumi masih berusaha mengusir dua hawa berbeda itu terdengar teriakan Si-luman Buta.

   Menggebah ke seantero tempat dan men-celat ke atas.

   Rupanya, lelaki tua sesat berbaju compang-camping dengan kedua mata buta itu mempergunakan kesempatan untuk meneruskan maksud dalam meng-habisi nyawa Raja Lihai Langit Bumi.

   Sungguh, lelaki tua sesat yang buta ini tak pernah mempunyai welas asih.

   Padahal, orang yang hendak dibunuhnya itu justru secara langsung telah menye-lamatkan nyawanya, sekaligus nyawa Dewi Karang Samudera dari bentrokan maut Tetapi memang tokoh sesat semacam Siluman Buta tak pernah berpikir untuk berterima kasih.

   Dendam harus dibalas.

   Kekalahannya dulu di Lembah Maut da-ri Raja Lihai Langit Bumi, harus dituntaskan sekarang.

   Maka jurus maut yang diciptakan untuk membalas sakit hatinya pada Raja Lihai Langit Bumi pun dile-paskan ke depan.

   Raja Lihai Langit Bumi bukannya tak menyadari.

   Setelah mengalirkan tenaga dalam dan hawa murni, dia cepat berdiri walaupun masih sempoyongan.

   "Manusia-manusia ini sebenarnya tak perlu dikasi-hani. Aku hanya membuang tenaga saja. Dan bisa-bisa, nyawaku yang putus. Tetapi, aku tak ingin melihat orang mati di hadapanku. Dan serangan Siluman Buta, jelas sebuah serangan dahsyat. Rupanya dia te-lah menemukan kelemahan dari jurus 'Undang Maut Sedot Darah' milikku. Hmmm..., terpaksa aku harus turun tangan juga. Padahal, tak ada gairahku untuk bertarung kembali seperti dulu,"

   Berpikir begitu, Raja Lihai Langit Bumi mundur ti-ga tindak ke belakang.

   Bersamaan dengan deru lesatan Siluman Buta yang makin mendekat, dia melompat ke samping.

   Lalu tangan kanannya digerakkan ke bagian pinggang Siluman Buta.

   Wusss! Siluman Buta yang jelas-jelas telah mempersiapkan diri segera mengubah jurusnya menjadi jurus 'Kabut Inti Es' yang selama ini belum pernah dipergunakan.

   Karena dia telah bersumpah, jurus yang diciptakan itu akan dipergunakan untuk merampas nyawa Raja Lihai Langit Bumi.

   Begitu Raja Lihai Langit Bumi melakukan gempu-ran ke bagian pinggang, lelaki buta itu memutar tongkat kusamnya ke atas, sampai menimbulkan deru an-gin menggidikkan.

   Wuuuttt! Saat lelaki tua berbaju putih itu menarik tangan-nya ke belakang, Siluman Buta melepas satu hanta-man tangan.

   Desss...! Raja Lihai Langit Bumi tergetar mundur beberapa tindak.

   Seketika hawa dingin menyergap seluruh jalan darahnya.

   Sementara hawa panas yang selalu mengaliri tubuhnya seolah mati mendadak.

   "Luar biasa. Sangat tangguh jurus baru yang dimiliki manusia buta ini, Sayang, terpaksa aku harus memberi pelajaran lagi kepadanya,"

   Gumam lelaki tua bijaksana itu, seraya membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya.

   Hawa dingin milik Siluman Buta yang menyergap dan mencoba mematikan jalan darah Raja Lihai Langit Bumi hanya sesaat saja bertahan di tubuh lelaki tua bijak itu.

   Karena dengan satu sentakan tenaga yang ditekan melalui bawah pusar, hawa dingin itu lenyap begitu saja.

   Siluman Buta jadi terkesima ketika telinganya tak lagi menangkap detak nadi yang semakin lemah dari Raja Lihai Langit Bumi.

   Bahkan dirasakan detak nadi lawan bergerak seperti biasa.

   "Hhh...!"

   Dengan menindih rasa geram, lelaki tua buta itu mengibaskan lagi tongkat kusamnya. Bahkan lebih dahsyat dari yang pertama. Wuttt...! "Uts...!"

   Raja Lihai Langit Bumi yang memang hendak me-nurunkan tangan pada lelaki buta itu bergerak cepat.

   Begitu cepatnya, hingga perhatian Siluman Buta se-saat dibuat kacau.

   Bahkan tahu-tahu dua gebrakan Raja Lihai Langit Bumi meluruk cepat.

   lalu....

   Buk! Buk! Dua pukulan Raja Lihai Langit Bumi mendarat te-lak di pinggang Siluman Buta.

   Namun lelaki buta itu hanya terjajar saja beberapa langkah.

   "Hebat! Dia sudah banyak kemajuan. Jelas dia mempersiapkan diri menghadapiku,"

   Puji Raja Lihai Langit Bumi melihat Siluman Buta berusaha mengendalikan keseimbangan.

   Kejap kemudian lelaki buta itu sudah berdiri man-tap kembali kendati dari bibirnya mengalir darah se-gar.

   Di seberang kiri, Dewi Karang Samudera hanya memperhatikan dengan wajah mengkelap.

   Dia ber-maksud akan mencabut nyawa Siluman Buta yang be-rani lancang mencampuri urusannya.

   Bahkan dengan pongahnya meminta Kitab Pemanggil Mayat miliknya.

   "Lelaki tua sialan itu benar-benar mencari mam-pus! Urusanku dengan Raja Lihai Langit Bumi harus segera diselesaikan! Dan manusia keparat itu telah mengejek serta membangkitkan kemarahanku! Bagus! Keadaannya kini bertambah payah! Kesempatan bagi-ku untuk mencabut nyawanya!"

   Perempuan yang rambutnya dihiasi pernik perak itu sudah berkelebat ke arah Siluman Buta yang jalan napasnya terasa sesak akibat gempuran Raja Lihai Langit Bumi.

   "Hmh..!"

   Siluman Buta menggeram lirih saat telinganya yang tajam menangkap kelebatan angin dahsyat di bela-kang-nya. Cepat tubuhnya diputar sambil menggerak-kan tongkatnya. Wuuttt! "Heittt!"

   Dewi Karang Samudera berhasil menghindari gem-puran tongkat kusam Siluman Buta dengan cara membuang tubuh ke samping.

   Gebrakan yang diperli-hatkannya memang sangat luar biasa.

   Saat tubuhnya dibuang ke samping, dia masih bisa merunduk ketika tongkat kusam Siluman Buta menderu hendak me-nyambar kepalanya.

   Ketika tongkat kusam Siluman Buta berhasil dihindari, dengan gerakan aneh dikirimkannya satu tendangan ke muka sebagai balasan.

   Merasa ada angin menderu ke arahnya, Siluman Buta cepat menarik kepala ke belakang.

   Tongkatnya diangkat.

   Dan dari bawah, disentuhnya bagian terla-rang milik perempuan itu dengan tongkatnya.

   "Orang buta cabul!"

   Maki Dewi Karang Samudera uring-uringan.

   Kedua kakinya cepat dikatupkan saat tongkat itu hampir menyentuh benda keramatnya.

   La-lu...

   Tap! Kedua kaki Dewi Karang Samudera bergerak men-jepit tongkat.

   Dan masih dengan kedua kaki yang membuat tongkat Siluman Buta tak mampu digerak-kan, tubuh Dewi Karang Samudera berputar ke bawah dengan kepala mendahului.

   Lalu....

   Des! "Aaakh...!"

   Satu pukulan dahsyat menghantam pinggang lelaki tua buta itu.

   Seketika Siluman Buta memekik keras bagai lolongan serigala.

   Bila saja keadaannya tidak parah akibat gempuran Raja Lihai Langit Bumi tadi, tak akan semudah itu Dewi Karang Samudera berhasil membuktikan tekadnya.

   Tubuh Siluman Buta terlem-par tiga tombak ke belakang dengan tulang iga patah dua buah.

   Tubuhnya bergulingan, kelojotan menahan sakit tak terkira.

   Tanah tempat tubuhnya bergulingan berhamburan.

   Dua tarikan napas kemudian, tubuhnya terdiam.

   Rupanya dia jatuh pingsan.

   Melihat hasil perbuatannya, Dewi Karang Samude-ra mengusap wajah cantiknya.

   "Ilmu baru sejengkal sudah coba membuat perhi-tungan pada Dewi Karang Samudera. Cuhhh!"

   Desis Dewi Karang Samudera seraya meludahi tubuh pingsan Siluman Buta. Sungguh suatu penghinaan yang amat menyakitkan. Sementara itu, Raja Lihai Langit Bumi hanya memperhatikan saja.

   "Kau telah berubah menjadi sangat kejam, Cempa-ka. Kau tak ubahnya iblis yang tengah menghancur-kan iman yang dimiliki setiap insan,"

   Gumam lelaki tua bijaksana ini. Kepala Dewi Karang Samudera tiba-tiba menoleh. Pancaran matanya yang tajam, memerah mengerikan.

   "Kini, tinggal kita berdua, Sirat! Tak ada lagi yang akan mengganggu! Bersiaplah untuk menerima ajal!"

   Desis Dewi Karang Samudera, menggidikkan.

   "Dia tetap menyimpan dendam tinggi padaku. Sulit untuk melunakkannya. Bila kulayani perempuan ini, mungkin urusan akan lebih cepat selesai. Tetapi, aku tak ingin menurunkan tangan padanya,"

   Kata batin lelaki tua bijaksana itu sambil mengusap jenggot putihnya.

   Diam-diam, Raja Lihai Langit Bumi memang masih melihat bias rasa cinta dalam sinar mata Dewi Karang Samudera.

   Hanya karena hati perempuan itu dipenuhi dendam tinggi, pancaran cinta itu hanya samar belaka.

   "Jelas, dia masih mencintaiku. Tetapi aku tak bisa mengubah pendirianku. Aku hanya menganggapnya sebagai adik, tak mungkin mengubahnya menjadi seo-rang kekasih. Apalagi kini usia makin menggerogoti tubuhku. Persoalan cinta sudah jauh berada di bela-kang,"

   Lanjut hati Raja lihai Langit Bumi.

   "Apakah kau sudah menjadi tuli, Sirat?! Atau..., kau telah jadi cacing sekarang?!"

   Usik Dewi Karang Samudera. Dia merasa diejek, karena orang di hadapannya belum bersuara. *** Bab 13 Raja Lihai Langit Bumi menyunggingkan senyum. Ditatapnya Dewi Karang Samudera yang meradang memperlihatkan wajah gusar.

   "Cempaka.... Hanya karena cinta yang tak terbalas, kau benar-benar telah menjadi orang keji. Pertama, kau telah membangkitkan Iblis Kubur agar bisa men-jadi pengikutmu. Kedua, dengan munculnya Iblis Ku-bur, keadaan rimba persilatan semakin berantakan. Sejumlah pembunuhan dan kematian telah datang. Ketiga, meskipun kesaktianmu bertambah tinggi, na-mun kau bukannya merunduk seperti ilmu padi. Teta-pi, semakin bertambah pongah,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi dengan suara bijak.

   "Setan keparat!"

   Bentak Dewi Karang Samudera dengan suara menggelegar.

   "Kalau manusia buta itu kubuat pingsan, justru kau akan kubuat mampus! Heaaat...!"

   Begitu habis kata-katanya, Dewi Karang Samudera melesat ke depan.

   Kedua tangannya yang mengembang menghentak ke depan.

   Seketika sinar biru pekat melu-ruk ke arah Raja Lihai langit Bumi.

   Gebrakan yang dilakukan Dewi Karang Samudera membuat lelaki berbaju putih itu terkesiap.

   "Undang Maut Sedot Darah'. Hebat Ilmu Pengendali Mata' yang dimiliki Dewi Karang Samudera sungguh luar biasa. Dengan mudahnya dia bisa mencuri ilmu orang lain yang dikehendakinya. Aku belum bisa me-nemukan, bagaimana cara kerjanya ilmu 'Pengendali Mata' miliknya. Tetapi aku tahu bagaimana hebatnya ilmu 'Pengendali Mata' itu,"

   Kata hati Raja Lihai Langit Bumi sambil melompat ke kanan beberapa langkah.

   Baru saja lelaki tua itu mendarat, jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang dilepaskan Dewi Karang Sa-mudera menggebah kembali.

   Namun bagaimanapun dahsyatnya jurus itu, Raja Lihai Langit Bumi tetaplah sebagai pemiliknya.

   Dan dia sudah tentu tahu, di ma-na letak kelemahan jurus itu.

   Maka begitu gebrakan itu meluncur, dengan mudahnya Raja Lihai Langit Bumi mampu menghindar dengan berlompatan ke sa-na kemari.

   Perempuan berbaju hijau lumut tipis yang mem-perlihatkan lekuk tubuhnya yang padat dan indah itu meradang.

   "Setan keparat! Kau hanya cari penyakit, Sikat!"

   Bentaknya, kian meradang.

   Mendadak wanita cantik itu memutar kedua tan-gannya berkali-kali.

   Napasnya ditahan, lalu dialirkan pada kedua tangannya yang masih diputar.

   Bagai ada suatu sentakan, mendadak sinar biru yang mengalir dari jurus 'Undang Maut Sedot Darah' kini berpadu dengan sinar putih bening.

   Dan tanpa membuang wak-tu lagi, begitu kedua tangannya terbuka, wanita ini menyentakkannya ke depan.

   Wrrr! Raja Lihai Langit Bumi tersentak melihatnya.

   Sege-ra tubuhnya dibuang ke samping.

   Begitu kakinya me-nyentuh tanah, tubuhnya langsung diempos ke bela-kang.

   Berulang kali dengan gerakan yang sukar diikuti mata.

   Blarrr...! Serangan Dewi Karang Samudera hanya menghan-tam tempat Raja Lihai Langit Bumi tadi berdiri.

   "Gila! Sungguh dahsyat jurus miliknya yang digabung dengan jurusku yang dicurinya,"

   Puji Raja Lihai Langit Bumi tetap dengan ketenangan terkendali.

   "Urusan memang makin panjang. Perempuan ini tak mau juga menghentikan seluruh dendam yang terpatri di hatinya. Dan juga tak mau mengerti, betapa pera-saanku padanya tak bisa ku ubah lagi selain cinta seorang kakak pada seorang adik."

   Pertarungan terus berlanjut.

   Setiap kali tubuh De-wi Karang Samudera berkelebat, angin panas dan din-gin menyambar dahsyat.

   Beberapa kali terdengar leda-kan, membuat pepohonan hangus dan tumbang.

   Raja Lihai Langit Bumi yang sejak tadi hanya menghindar dan belum juga membalas, memutuskan untuk bergerak sekarang juga.

   Gaya bertarungnya se-gera diubah.

   Kalau tadi lebih banyak menghindar, kali ini kedua tangannya telah berputar di depan dada begitu kedua kakinya menginjak tanah kembali.

   Gerakan lelaki bijak ini semula perlahan.

   Namun, semakin lama semakin bertambah cepat.

   Bahkan seke-tika bergemuruh angin bagai topan.

   Begitu dahsyat-nya, hingga bagai menghajar langsung ke jantung.

   Dewi Karang Samudera tercekat begitu merasakan gemuruh angin bergulung meluruk ke arahnya.

   Wajah jelitanya tertarik ke dalam.

   Sepasang matanya yang bagus namun memancarkan sinar licik terbuka lebih lebar.

   Dan....

   Prashhh....

   "Aaakh...!"

   Angin dahsyat itu menghantam tubuh wanita can-tik ini.

   Dewi Karang Samudera mengeluarkan seruan tertahan.

   Dan dia berusaha untuk bertahan.

   Baju hi-jau lumutnya yang tipis seolah lengket pada tubuhnya terkena dorongan angin itu.

   Selain tembus pandang, kini lekuk tubuhnya yang indah itu semakin nyata.

   Terutama di bagian dada dan pinggul.

   "Keparat! Jurus apa yang dipergunakannya itu?! Begitu dahsyat. Anehnya lelaki itu sepertinya tadi mengeluarkan tenaga dalam. Namun, bagaimana bisa terjadi pusaran angin yang mengerikan ini? Setan ke-parat! Apakah dia sudah mengetahui ilmu 'Pengendali Mata'? Tetapi ilmu 'Pengendali Mata' hanya bisa dilakukan bila lawan mempergunakan jurus atau ilmu yang mempergunakan tenaga dalam. Lalu apa yang di-lakukan orang tua keparat ini?! Mengapa dia bisa me-lakukan gebrakan dahsyat tanpa mengeluarkan tenaga dalam? Setan busuk!"

   Umpat Dewi Karang Samudera dalam hati dengan hati kebat-kebit.

   Wanita sesat ini segera mengerahkan seluruh tena-ga dalamnya untuk menahan dorongan dahsyat yang ditimbulkan gerakan kedua tangan Raja Lihai Langit Bumi.

   Di belakangnya, pepohonan langsung tercabut dari akarnya dan terlempar.

   Tanah terbongkar, bagai digebah hebat.

   Sementara itu, tubuh Dewi Karang Samudera yang masih mencoba bertahan, semakin lama semakin me-nurun.

   Karena, tanah yang dipijak semakin lama ter-kikis oleh hantaman angin dahsyat itu.

   Dewi Karang Samudera adalah seorang tokoh rim-ba persilatan yang telah banyak menyaksikan jurus-jurus aneh yang ada.

   Tetapi, baru kali ini dia melihat ada sebuah serangan tanpa mempergunakan tenaga dalam, namun menimbulkan gelombang dahsyat men-gerikan.

   Ini benar-benar mengherankannya.

   "Setan keparat! Rasanya aku tak mungkin bisa bertahan di sini! Lama-kelamaan, aku tak akan kuasa lagi menahan gempuran angin dahsyat dari manusia sialan ini! Bodoh bila aku tidak segera meninggalkan tempat ini!"

   Umpat Dewi Karang Samudera seraya mendengus keras.

   Wajah jelitanya bagai dipenuhi kerutan, karena berusaha menahan gempuran angin itu.

   Kulitnya yang putih kini berubah memerah.

   Wanita sesat ini merasakan kedua kakinya makin goyah.

   Kendati demikian, dia masih berusaha berta-han.

   Namun lama-kelamaan, goyahan kedua kakinya makin menguat.

   Hingga tubuhnya bergetar kuat.

   Dadanya sendiri sudah terasa sesak.

   Akibat mena-han napas sekaligus menahan tubuh agar jangan ter-lempar, terlihat darah kental mengucur dari kedua lu-bang hidungnya.

   Mendapati apa yang dialami Dewi Karang Samude-ra, Raja Lihai Langit Bumi menarik napas pendek.

   Biar bagaimanapun juga, dia tak ingin menurunkan tangan telengas.

   Lelaki bijak ini hanya ingin memberi pelajaran, sekaligus peringatan agar Dewi Karang Samudera melupakan seluruh dendam tak bertepi itu.

   "Cukup rasanya pelajaran yang kuberikan pa-danya. Mudah-mudahan dia mau menghilangkan selu-ruh dendam kesumat dalam hatinya dan menyerahkan Kitab Pemanggil Mayat untuk menghentikan sepak ter-jang Iblis Kubur. Paling tidak, bila tak mau menyerahkan kitab itu, dia akan menghentikan Iblis Kubur."

   Lelaki bijaksana itu hampir saja menghentikan gempurannya bila saja tak melihat Dewi Karang Sa-mudera menggerakkan kepalanya.

   Dan....

   Zingngng! Zingngng! Rambut panjang yang seperti dihiasi pernik perak itu mendadak meluncur beberapa helai ke arahnya.

   Luncurannya melebihi kecepatan anak panah yang ba-ru dilepaskan dari busurnya.

   Mata tajam Raja Lihai Langit Bumi bisa menangkap kilatan perak ke arah-nya.

   Tanpa menghentikan gempurannya pada Dewi Karang Samudera, kepalanya segera digerakkan ke ki-ri.

   Trasss! Entah tenaga apa yang keluar, tahu-tahu sepuluh helai rambut bersinar keperakan yang meluncur dah-syat itu disentakkan ke kiri.

   Dan.....

   Clep! Clep Cleppp! Sepuluh helai rambut itu menancap di tiga buah batang pohon, hingga bergetar sejenak dengan meng-gugurkan dedaunan.

   Kejap kemudian, tiga pohon itu mengering! Luar biasa,"

   Desis Raja Lihai Langit Bumi.

   "Rasanya, Cempaka memang terlalu memaksa. Apa boleh buat..."

   "Jelas aku tak bisa menandingi ilmu aneh manusia keparat ini,"

   Kata batin Cempaka.

   "Kalau saja ilmu ini mempergunakan tenaga dalam, aku dengan mudah mencurinya melalui 'Pengendali Mata'. Hmmm... Iblis Kuburlah yang bisa membantuku. Lebih baik kucari dia dulu. Entah ke mana dia dibawa Kunti Pelangi alias Bidadari Hati Kejam."

   Setelah mendapat keputusan demikian, Dewi Ka-rang Samudera mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya.

   Kali ini dipusatkan pada kedua kakinya yang se-makin goyah.

   Dan dikawal teriakan membedah angka-sa, tubuhnya melompat cepat.

   Tetapi lompatan yang dilakukan dengan sedikit memaksa itu justru membuatnya berada dalam lingka-ran angin yang masih dahsyat menderu.

   Akibatnya, kali ini tubuhnya dipermainkan angin.

   Melihat Dewi Karang Samudera berada dalam jalur maut, Raja Lihai Langit Bumi segera menghentikan ilmu anehnya.

   Maka seketika tubuh Dewi Karang Samudera yang masih te-rombang-ambing ambruk ke tanah.

   "Cempaka!"

   Sebut Raja Lihai Langit Bumi.

   Cepat lelaki bijaksana berselempang kain putih da-ri bahu kanan ke pinggang kiri itu berkelebat ke arah jatuhnya Dewi Karang Samudera.

   Tetapi ketika tiba di tempat yang diyakininya.

   Raja Lihai Langit Bumi tak mendapati sosok Dewi Karang Samudera di sana.

   "Celaka! Apakah pandanganku salah menentukan tempat jatuhnya? Tidak mungkin! Aku yakin, tubuh-nya pasti jatuh di sini. Kalau dia tak bisa kutemukan di sini, berarti.... Hmmm. Rupanya dia masih kuat. Luar biasa daya tahan tubuhnya. Entah ke mana dia pergi! Tetapi aku yakin, dia tak akan menghentikan dendam ini sebelum membunuhku. Untuk saat ini, se-baiknya kucari dulu Iblis Kubur yang telah menjadi mayat selama seratus tahun dan telah dibangkitkan Dewi Karang Samudera dengan bantuan Kitab Pe-manggil Mayat. Huh.... Urusan ini jadi panjang!"

   Desah Raja Lihai Langit Bumi Lelaki tua itu mengusap jenggot putihnya yang panjang seraya menghela napas.

   Meskipun perasaan-nya tidak enak diliputi segala bayang-bayang yang mencemaskan, namun wajahnya tetap tenang.

   Pertan-da dia telah berada dalam taraf yang sangat tinggi dalam mengendalikan perasaan dan jiwanya.

   Kejap kemudian, entah ke mana perginya, tahu-tahu tubuh Raja Lihai Langit Bumi tak tampak lagi di mata.....

   SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini Serial Rajawali Emas dalam episode.

   KITAB PEMANGGIL MAYAT Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Rendra

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Putri Bong Mini Rahasia Pengkhianatan Baladewa Pengemis Binal Bidadari Lentera Merah

Cari Blog Ini