Geger Batu Bintang 2
Rajawali Emas Geger Batu Bintang Bagian 2
"Ah.... Apa jadinya bila urusan ini menjalar pada sahabat-sahabatku itu?"
Kata batin Layung Seta resah. Tetapi dia juga bersyukur. Karena bila keempat sahabatnya tidak menghalangi serangan lawan, tak urung tubuhnya akan penuh luka-luka.
"Bukan kau yang kuinginkan! Tetapi, Barok yang membuat onar!"
Kata Sumirat, dingin.
"Setan alas!"
Maki Barok keras, tetapi tak berani unjuk gigi. Lelaki ini tahu, kalau keempat orang itu bukanlah lawannya. Jalan satu-satunya yang paling baik adalah memanas-manasi Cakar Harimau, yang tengah melotot dengan pipi menggembung.
"Hajar dia, Cakar Harimau. Masa kau keder hanya karena hantaman macam itu? Ayo, bunuh dia! Bukankah kau ingin mengabdi pada Juragan Lanang? Akan kubantu omong agar kau diterima olehnya!"
Kata-kata Barok mengena tepat pada sasaran. Seketika kedua tangan Cakar Harimau mengepal keras, hingga menampakkan otot-otot kekarnya. Begitu kedua tangan yang membentuk kepalan itu membuka, seketika terbentuk cakar-cakar kokoh.
"Jangan salahkan aku bila nyawa kalian putus!"
Habis membentak begitu tubuh Cakar Harimau menerjang dahsyat.
Kedua tangannya yang membentuk cakar siap mencabik-cabik sasaran.
Wuuttt! Wuuuttt! Bila Sumirat menghadapi sendiri sudah tentu akan mati konyol.
Tetapi dibantu ketiga temannya, gebrakan Cakar Harimau justru hanya bagai permainan anak kecil belaka.
Diserang dari empat penjuru, membuat lelaki penuh bulu itu kewalahan juga.
Dess! Setelah lima belas gebrakan bcrlalu, Mardi berhasil menyarangkan tendangan ke punggung Cakar Harimau.
Menyusul, dua jotosan sekaligus dari Gondo dan Wajak bersarang di dada lawan.
Terakhir, tendangan keras Sumirat menghantam telak kepala, membuat Cakar Harimau terhuyung pusing.
Bila saja keempatnya menginginkan kematian Cakar Harimau saat ini juga, hanya dalam satu gebrak saja lelaki penuh bulu itu pasti akan bergelimang tanah.
Tetapi mereka adalah orang-orang yang tak menginginkan pertumpahan darah lebih panjang.
"Barok...! Bawa manusia-manusia itu pergi dari sini sebelum kemarahan kami naik!"
Ujar Sumirat keras dengan pancaran mata dingin, penuh bahaya.
Barok tak ubahnya telah menjelma menjadi anak ayam kehilangan induk.
Wajah garangnya lenyap seketika.
Terburu-buru dibangunkannya Cakar Harimau yang juga berusaha bangkit dengan tubuh sakit akibat pukulan empat lawannya.
Kendati demikian, tatapannya justru makin nyalang menyiratkan dendam berkepanjangan.
"Ingat...! Aku tak akan melupakan semua ini...,"
Ancamnya.
"Jangan katakan telengas, bila akhirnya kami akan turun tangan lebih keras!"
Sahut Sumirat.
Terburu-buru, kelima orang yang menderita ke-kalahan itu meninggalkan tempat ini.
Dendam bukan hanya ada di hati Cakar Harimau, namun juga di hati Barok.
Bahkan kekalahannya sekarang ini lebih menyakitkan.
Padahal, dia sudah membawa kawan yang berkepandaian lebih tinggi.
Namun, ternyata dia mampu membalas kekalahan pagi tadi.
Sementara itu, Sumirat tengah membantu Layung Seta berdiri.
Hati ayahnya Tirta itu makin tak tenang sekarang.
Pandangannya beredar pada empat sahabatnya yang berdiri di hadapannya.
"Kalian hanya membuat susah diri sendiri,"
Desahnya.
"Jangan berkata begitu,"
Ujar Sumirat "Sejak kecil kita berlima bersahabat.
Maka, sampai hari ini pun kita tetap bersahabat.
Susah senang selalu ditanggung bersama, meskipun kini kita lebih banyak mengurus keluarga masing-masing.
Layung...
ada satu pertanyaan yang mengganjal hatiku...."
Layung Seta yang sudah agak pulih dari sakitnya mendesah pendek. Lalu ditatapnya Sumirat.
"Katakan...."
"Mengapa kau berhutang pada Juragan Lanang?"
Kali ini Layung Seta terdiam sesaat. Kembali pandangannya menghujam pada keempat sahabatnya yang masih menunggu jawabannya.
"Aku waktu itu sakit, dan tak punya uang berobat,"
Jelas Layung Seta.
"Mengapa kau tidak datang pada kami?"
Tanya Sumirat.
"Aku tak ingin merepotkan kalian."
"Jangan berkata begitu, Layung!"
Sela Gondo.
"Kau tetap tak berubah sejak kita sama-sama belum menikah yang selalu menganggap kalau bantuan kami hanya akan merepotkan. Padahal sebagai sahabat, kami selalu siap membantu bila diperlukan. Meskipun tak jauh beda dengan keadaanmu, tetapi akan kami usahakan untuk membantumu."
Layung Seta tersenyum.
"Sudahlah.... Itu jadi urusanku."
"Berapa uang yang kau pinjam dari Juragan Lanang?"
Tanya Wajak.
"Tidak banyak."
"Layung... katakan! Sebisanya kami akan membantumu agar kau lepas dari rongrongan orang-orang Juragan Lanang"
Lagi Layung Seta memandang satu persatu sahabatnya.
"Bisakah kita bicarakan urusan ini nanti?"
Keempat sahabat Layung Seta saling tatap dan menganggukkan kepala. Mereka sangat hafal akan sifat Layung Seta yang selalu tak mau merepotkan orang lain.
"Terima kasih atas bantuan kalian tadi. Dan... kita semua harus berhati-hati. Karena aku yakin, orang-orang celaka itu pasti akan datang kembali."
"Bagaimana dengan Tirta?"
"Besok pagi, aku akan mencarinya lagi. Mungkin aku harus menembus hutan perbatasan Lembah Permata sampai ke daratan di sebelah timur sana. Bahkan kalau perlu, aku tak akan kembali sebelum menemukannya. Sekarang, kemba-lilah kalian ke rumah masing-masing. Kuucapkan terima kasih atas bantuan kalian."
Tanpa menunggu jawaban keempat sahabatnya, dengan agak terpincang Layung Seta masuk kembali kerumahnya.
Rasa tak tenang makin membiasi seluruh perasaannya.
Pikirannya makin kacau tak menentu.
Pikiran tentang.
perginya Tirta yang sampai saat ini belum ada kabar, sudah benar-benar mengganggu pikiran Layung Seta lagi tentang istrinya yang semakin lama bertambah parah sakitnya.
Dan sekarang, urusan dengan Juragan Lanang bukan lagi urusan biasa.
Juga,.pada Barok yang telah membawa dendam pribadi.
Kepergian Barok membawa kekalahan bersama lelaki berbulu lebat yang berjuluk Cakar Harimau, juga bukan masalah enteng.
"Masalah ini makin berkembang. Dan tak sengaja, aku telah melibatkan empat sahabatku,"
Gumam batin Layung Seta.
* * * Manusia Mayat Muka Kuning meng-hentakkan kakinya sekali lagi ke tanah yang dipijaknya dengan kegeraman membludak.
Seketika tanah itu melesak sedalam batas dengkul.
Lalu kakinya ditarik kembali dengan wajah mengkelap marah, makin memancarkan sinar kuning yang makin kuat.
Butiran tanah dan debu yang menempel pada kakinya, luruh begitu saja seperti menempel pada sebuah benda licin.
"Setan keparat kau, Kaki Gledek! Aku yakin manusia keparat itu telah mengelabuiku tentang Batu Bintang yang telah didapatkan Ratu Tengkorak Hitam. Tetapi, manusia itu tidak ada di Lembah Permata. Bahkan sudah kucari di luar lembah keparat itu pun tidak ada Kutu busuk! Nyawa Kaki Gledek harus benar-benar tanggal saat ini!!"
Pandangan Manusia Mayat Muka Kuning beredar ke seluruh penjuru tempat. Tapi yang nampak hanyalah julangan Gunung Slamet di kejauhan dan hutan-hutan hijau yang menyimpan beribu-ribu teka-teki.
"Di mana aku harus menemukan Ratu Tengkorak Hitam yang menurut Si Kaki Gledek telah mendapatkan Batu Bintang? Bila ucapan orang busuk berbaju merah itu hanya bualan, aku bersumpah akan kucabik-cabik tubuhnya menjadi sayalan daging!"
Geram Manusia Mayat Muka Kuning.
"Hmm.... Apakah saat ini Bidadari Hati Kejam sudah muncul? Aku sengaja memancingnya keluar dari kediamannya agar urusan yang kurencanakan dengan mudah bisa kuselesaikan. Sasaranku tetap Batu Bintang dan melihat Bidadari Hati Kejam terkapar. Puluhan tahun lalu, wanita keparat itu pernah mempermalukan aku di depan para tokoh rimba persilatan saat pertandingan akbar di Lembah Maut. Dan dendam itu kini makin membara di hatiku. Kurencanakan satu permainan menarik untuknya. Dan dia akan terkapar mampus di tangan para tokoh lainnya. Mengenai sahabatnya Raja Lihai Langit Bumi, aku juga telah merencanakan satu permainan untuknya. Akan kubuat kalang kabut seluruh rimba persilatan. Hhh! Batu Bintang! Batu kesaktian itu harus kumiliki. Di mana Ratu Tengkorak Hitam kalau memang benar telah mendapatkan Batu Bintang?"
Selagi lelaki tua berwajah kuning itu mengumbar kemarahannya sendiri, tiba-tiba terdengar kesiur angin pelan.
Perubahan angin itu membuat Manusia Mayat Muka Kuning menyiapkan tenaga dalamnya di kedua tangan.
Hanya manusia semacam dirinyalah yang tahu kalau angin yang mendadak berubah pelan itu justru merupakan sebuah serangan tak nampak.
Karena begitu angin tadi terasa menghembus wajahnya, cepat tangannya disilangkan sambil menghembuskan napas.
Blap! Bersamaan dengan itu, meluncurlah asap tebal semacam kabut berwarna kuning, langsung menghantam angin pelan yang datang tadi.
Bukan main apa yang terjadi kemudian.
Karena begitu kabut kuning menghantam angin pelan itu....
Blaarrr! Seketika terdengar suara bagai ledakan disertai percikan api ke segala arah.
Manusia Mayat Muka Kuning menyurutkan satu langkah dengan paras wajah berubah.
Wajahnya makin bertambah kuning tanda kemarahan telah mengusik perasaannya.
"Gila! Baru kali ini kulihat ada sebuah serangan aneh yang cukup mengerikan. Siapa orang di balik angin pelan yang berhembus tadi?"
Habis membatin begitu, Manusia Mayat Muka Kuning sedikit mengangkat kepalanya. Kedua telapak tangannya diletakkan di sisi kanan dan kiri mulutnya.
"Orang yang ingin mampus! Cepat tampakkan muka sebelum seluruh tempat ini kuobrak-abrik!"
Teriaknya, setinggi langit. Manusia Mayat Muka Kuning menunggu dengan hati tegang bercampur kemarahan berlipat ganda. Akan tetapi, tak ada yang muncul.
"Cepat tampakkan wajah hinamu, sebelum kuputuskan untuk mencabik-cabik tubuhmu!"
Teriaknya lagi. Lagi tak ada suara yang terdengar. Tak ada orang yang datang dan bisa tertangkap oleh matanya.
"Setan keparat! Sudah tentu dia bukan manusia sembarangan. Apakah Bidadari Hati Kejam yang sudah muncul di hadapanku? Bukankah senjata pengebut di tangannya yang pernah mempermalukan aku? Kesaktian pengebut itu sangat tinggi, sehingga mampu menerbangkan lima belas pohon sekali kebut. Apakah nenek hina itu yang tengah pamer kekuatan barusan? Hmm.... Aku mulai bisa menduga kalau nenek itu yang memang melakukan serangan. Setan keparat! Akan kucari dia!"
Setelah membuat keputusan, lelaki berwajah kuning itu berkelebat ke seantero tempat.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga hanya dalam lima tarikan napas, tempat yang luas itu telah dijelajahi.
Namun, tak ada seorang pun yang dilihatnya.
Kembali Manusia Mayat Muka Kuning berdiri tegak dengan tatapan menyipit penuh kemarahan.
"Apakah dia takut karena anca-manku tadi, dan sekarang sudah lenyap dari hadapanku?"
Kata batinnya dingin.
"Bisa jadi dia hanya mencoba mengusikku saja. Dan ternyata, serangannya tak mampu menerobos perta-hananku! Kalau begitu, aku harus cepat menjalankan rencana, di samping mencari Ratu Tengkorak Hitam untuk mendapatkan penjelasan tentang kebe-radaan Batu Bintang."
Lelaki berwajah kuning itu tak mau buang waktu lebih lama.
Cepat tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu.
Beberapa saat setelah kepergian Manusia Mayat Muka Kuning, entah dari mana datangnya muncul satu sosok bertubuh tinggi kurus terbungkiis pakaian putih dengan selempang kain putih dari bahu kanan ke pinggang kiri.
Seluruh bulu yang ada di kepalanya sudah memutih.
"Manusia Mayat Muka Kuning, orang yang berada di belakang serangkaian pernbunuhan. Hmm... Geger Batu Bintang agaknya telah memancing kemunculan para tokoh persilatan. Kini aku tahu, siapa saja yang sudah muncul. Manusia Mayat Muka Kuning, Ratu Tengkorak Hitam, Kaki Gledek, dan Bidadari Hati Kejam. Sebuah kemunculan mcnyolok dari orang-orang tak bersahabat. Bila mereka bergabung, bisa kutaksir Bidadari Hati Kejam tak akan berkutik menghadapi. Tetapi dasar nenek angin-anginan yang kadang-kadang ganjen, memang sukar sebenarnya untuk menjajaki seberapa tinggi kesaktiannya. Baiknya, kucoba untuk menyelidiki persoalan Batu Bintang. Barangkali Batu Bintang bisa diselamatkan dari tangan-tangan nakal."
Lelaki tua ini mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah dia tengah memecahkan satu persoalan yang teramat sulit.
"Hmm.... Di luar masalah Batu Bintang, sebenarnya masih ada sesuatu yang kucari selama ini. Rumput Selaksa Surya. Puluhan tahun aku mencari rumput itu Sampai ke tanah seberang. Namun, belum juga kudapatkan. Hanya ada sebuah Rumput Selaksa Surya di dunia ini. Warnanya kuning, seperti rumput kering. Dan, ada putik bunga di ujungnya. Tak akan pupus sebutir pun bongkahan putih bunga kecil di ujungnya, meskipun badai besar melanda. Bahkan meski terinjak ribuan gajah, rumput itu akan tetap tegar. Tak seorang pun yang tahu tentang rumput itu selain aku. Karena, Sepuh Mahisa Agni mengatakan tentang rumput itu ketika usiaku baru berusia empat puluh tahun. Kini, tiga puluh dua tahun berlalu sudah, namun belum juga kutemukan Rumput Selaksa Surya."
Benak lelaki ini terus menerawang, membayang-kan kisah tiga puluh dua tahun yang lalu. Seolah, bayangan itu tak akan hilang dari ingatannya.
"Hmm.... Barang siapa yang menghisap sari manis dari rumput itu, dia akan memiliki tenaga dalam tinggi. Dan ilmu meringankan tubuhnya pasti tak akan ada duanya. Dan sayangnya, bila tidak tahu bagaimana caranya mengendalikan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang didapati, maka dia akan tewas akibat tekanan tenaga dalamnya sendiri. Bahkan, bisa memecahkan seluruh jalan darahnya. Hmm.... Sambil menyelamatkan Batu Bintang, akan kucari pula Rumput Selaksa Racun."
Lelaki tua berambut dan berkumis putih lebat itu mengusap jenggotnya yang putih pula.
Setelah terdiam beberapa saat, seperti munculnya yang seperti setan, tubuhnya pun lenyap begitu saja.
Senja telah tiba ketika Tirta turun dari pohon manggis hutan.
Di tangannya, kini terdapat sepuluh buah manggis yang masak, Sambil bersandar duduk di bawah pohon manggis hutan yang dinaikinya tadi, perutnya yang terasa lapar diisi dengan buah-buahan itu.? Bocah yang sedang kebingungan akibat hilangnya kambing-kambing yang digembalanya itu memang tak berani pulang.
Itu wajar saja, karena dia khawatir pada ayahnya yang kemungkinan akan menjadi buruh tanpa upah di sawah Juragan Lanang.
Di sisi lain, bocah ini merasa bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu.
Setelah kenyang perutnya, si bocah mengusap-usap rambut panjangnya yang dipermainkan angin dingin.
"Huh! Ke mana lagi harus kucari kambing-kambing itu? Benar-benar brengsek! Ini pasti karena nenek jelek bernama Ratu Tengkorak Hitam dan lelaki jelek si Kaki Gledek. Huh! Kupukul nanti kepala kedua orang itu kalau bertemu!"
Pandangan si bocah menyapu ke sekitar tempat yang benar-benar asing baginya.
Namun, tak ada rasa takut sedikit pun yang muncul.
Kecuali, tentunya takut bila teringat cerita temah-teman sebayanya yang sering mengatakan ada kuntilanak yang suka melarikan anak kecil.
"Uh! Aku ada di tempat terbuka. Luas lagi. Banyak pohon. Bisa ngumpet nanti bila ada kuntilanak yang datang!"
"Koaaakkk!"
Tiba-tiba terdengar suara mengguntur.
Begitu keras, hingga si bocah langsung berdiri.
Kalau saja Tirta tak mengenali teriakan yang mengguntur itu, tentunya sudah lari terbirit-birit.
Tetapi wajahnya hanya nampak pias sesaat.
Selebihnya, kepalanya mendongak menatap ke angkasa.
Dalam remang cuaca yang meredup, dilihatnya lagi rajawali raksasa keemasan yang terbang berputaran di atas kepalanya.
"Lagi-lagi burung itu! Hoooii, Burung Besar! Mau apa sih kau mengikutiku terus? Apa kau ingin membuat telingaku jadi hudek karena mendengar kerasnya suaramu, ya?!"
Sentaknya. Rajawali keemasan itu terus terbang dengan suara keras disertai koakan kerasnya. Dia berputaran bagaikan merencanakan sesuatu di atas kepala Tirta yang masih mendongak.
"Bisa budek kalau begini terus menerus!"
Maki si bocah, sebal.
"Hayo, sana pergi! Aku kan mau istirahat! Ayo, sana! Jangan ganggu aku!"
"Koaaakkk!"
"Ampuuunnn!"
Seru Tirta jengkel.
"Kau ini...."
Seruan Tirta terputus ketika tiba-tiba bola matanya yang kecil cerah menangkap benda jatuh dari ekor tubuh rajawali raksasa.
Meluncurnya benda nampak bagai cahaya keemasan yang jatuh tegak lurus ke bumi.
Plukkk! Seharusnya, benda yang jatuh dari tempat yang tinggi akan melesak masuk ke tanah, Tetapi, benda itu justru bergulingan tepat di kaki Tirta.
Kalau tadi Tirta terus menatap ke atas, kali ini mata bulatnya dialihkan pada benda yang baru jatuh di dekatnya.
Sebuah benda sebesar kepala yang memancarkan warna keemasan.
Begitu indahnya, hingga membuat si bocah terpana beberapa saat.
Tirta tak tahu harus melakukan apa, kecuali menatap bulat-bulat pada batu keemasan itu.
Sementara itu, burung rajawali keemasan di angkasa masih berputar tepat di atas dengan kepakan sayap yang menimbulkan angin keras dan suara dahsyat.
Dari keterpanaan menatap benda mirip batu itu, Tirta menengadah.
"Hoooiii! Burung Emas! Apakah batu emas itu milikmu? Ayo, turun! Aku akan mengembalikannya padamu!"
Teriak si bocah.
Tetapi Rajawali Emas itu tetap terbang di angkasa.
Buru-buru Tirta mengambil batu keemasan itu.
Yang mengherankannya, batu keemasan sebesar kepala itu sangat ringan! Sebelum bocah ini berteriak kembali, matanya menangkap tiga buah bayangan dalam batu keemasan itu.
Dua bayangan kepala rajawali berwarna emas, dan sebuah bintang dengan warna sama.
Kening bocah itu berkernyit.
"Batu apakah ini? Apakah batu ini memang milik burung itu dan meluncur ke bawah? Atau... batu dari langit?"
Gumam si bocah tak mengerti, lalu kembali menengadah.
"Hoooiii, Burung! Ayo turun! Kalau memang batu ini milikmu, aku akan mengembalikannya!"
Burung rajawali itu terus berputaran saja di atas angkasa sambil berkaok-kaok.
Seolah tak dipedulikannya seruan Tirta.
Berulangkali Tirta meneriakkan agar burung itu turun agar mengambil batu keemasan yang kini dipegangnya.
Tetapi, burung itu terus saja berputaran di angkasa.
Tirta jadi mendumal dengan teng-gorokan terasa sakit karena terlalu banyak berteriak.
Dilemparnya batu itu ke tanah dekat kakinya.
Lalu tanpa peduli lagi, kakinya melangkah ke pohon manggis hutan.
Cepat tubuhnya dihenyakkan, duduk bersandar.
"Kalau tidak mau turun juga, ya sudah. Toh, aku juga tidak rugi,"
Ocehnya. Tetapi ketika rajawali itu justru terbang menjauh darinya, Tirta buru-buru berdiri.
"Hoooiii! Kau mau ke mana?! Bagaimana dengan batu ini?!"
Serunya kembali.
"Mengapa harus repot-repot, Bocah? Aku bersedia menerima batu itu." * * * Suara tawa mengikik terdengar di belakang Tirta. Cepat bocah berwajah tampan yang berani itu menoleh. Kini, tampak seorang perempuan tua berbaju hitam yang selalu mengunyah susur berada di belakangnya. Si nenek menatap penuh hasrat pada batu di sisi Tirta.
"Batu Bintang. Sungguh beruntung nasibku ini. Jauh sudah melangkah, yang dicari berada di depan mata,"
Gumam si nenek yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam.
Lalu dengan seringaian lebar kakinya melangkah, hendak mengambil batu keemasan yang disebutnya Batu Bintang.
Tetapi Tirta buru-buru mengam-bilnya.
Didekapnya batu itu begitu erat, seolah takut akan diambil si nenek yang masih dikenalinya.
"Hei?!"
Tersirat darah Ratu Tengkorak Hitam melihat tindakan si bocah.
"Bocah keparat! Berikan batu itu kepadaku!"
"Tidak! Batu ini milik burung rajawali raksasa tadi! Aku tidak boleh mengambilnya, Nek! Dan mana berani aku memberikannya padamu, karena batu ini bukan milikmu?"
Tolak Tirta, tegas. Perempuan tua berbaju hitam itu menggeram.
"Kurang ajar! Kalau sebelumnya gagal menempelengmu, kali ini akan kuhajar kau habis-habisan!"
"Jangan pemarah begitu, Nek. Batu ini bukan milikku. Juga, bukan milikmu. Berarti, kita harus mengembalikannya, bukan? Dan pemiliknya adalah burung rajawali raksasa tadi."
"Setan keparat! Cepat berikan Batu Bintang kepadaku!"
Bentak Ratu Tengkorak Hitam dengan mata melotot. Seolah tak tahu kalau orang sedang berada dalam kemarahan tinggi, Tirta mertdesis.
"Namanya Batu Bintang, ya? Ya sudah kalau begitu. Aku akan mengejar burung rajawali itu dulu, Nek. Batu yang kau sebut Batu Bintang ini harus kukembalikan."
Sebelum Tirta berbalik, tangan kanan Ratu Tengkorak Hitam sudah bergerak. Tap! Cengkeraman tangan kanan si nenek telah mencengkeram lengan Tirta dengan ketat.
"Hei!"
Seru bocah itu tertahan.
Dan tanpa banyak kata lagi tangannya bergerak.
Dan....
Plas! Cengkeraman Ratu Tengkorak Hitam yang sangat keras lolos begitu saja.
Bagi Tirta, halitu bukanlah sebuah keanehan.
Bahkan tak menimbulkan keheranan sedikit pun.
Sementara, si nenek tertegun dengan mulut terbuka.
Tak percaya dia mendapati apa yang dialaminya barusan.
Dan rupanya, bukan hanya si nenek yang keheranan melihat apa yang terjadi barusan.
Satu sosok tubuh yang mengintip dari sebuah batu besar yang ada di tempat itu jadi melotot lebih lebar.
"Gila! Rupanya bukan aku saja yang gagal menangkap bocah itu. Ratu Tengkorak Hitam pun tak mampu sepertinya. Siapa si bocah sebenarnya yang dalam usia sekecil itu memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh hebat? Hmmm.... Seharusnya aku bisa lebih dulu merebut Batu Bintang yang ada pada bocah itu. Tetapi, urusanku bisa berantakan bila harus bertarung dengan Ratu Tengkorak Hitam. Biar kulihat dulu, apa yang terjadi."
Di tempatnya, Ratu Tengkorak Hitam baru sadar dari ketersimaannya ketika Tirta sudah menjauh. Bukan dalam arti hanya lima atau sepuluh tombak, melainkan hampir mencapai lima puluh tombak! "Gila!"
Desis si nenek dengan wajah masih berkerut tak mengerti.
"Mengapa begitu mudah dia lepas dari cengkeraman tanganku ini? Dan sekarang... bocah itu sudah menjauh. Gila! Kenapa jadi begini?"
Lalu dengan sekali kempos, tubuh si nenek melesat cepat dengan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
pan tahu-tahu, dia telah berdiri di hadapan Tirta.
Kontan si bocah menghentikan langkahnya.
Bocah pembe-rani itu mendumal melihat si nenek menghalangi jalannya.
"Nek! Cepat minggir! Kalau malam sudah datang, aku sulit mencari burung rajawali itu dan mengembalikan Batu Bintang ini? Ayo sana! Kau suka sekali mengganggu orang, ya? Huh! Kau membuat urusanku menemukan kambing-kambing yang hilang itu jadi makin panjang saja. Eh! Kau kan, sebelumnya berada bersamaku di Lembah Permata? Apakah kau melihat kambing-kambingku, Nek? Ayolah... jangan-jangan kambing-kambing itu kau sembelih dan kau panggang. Soalnya bukan punyaku. Kalau kau...."
"Bocah keparat!"
Potong si nenek.
"Berikan Batu Bintang itu!"
Selain memiliki sitat pemberani, Tirta juga memiliki sifat keras kepala. Dan rasa takutnya yang sempat muncul, mendadak lenyap melihat sikap si nenek yang akan memaksakan kehendaknya.
"Tidak! Kau sudah kubilang, batu ini bukan punyaku. Dan juga, bukan punyamu! Kau ini senang mengambil benda milik orang lain ya, Nek?"
Kontan mengkelap hati si nenek.
Kali ini tangannya mendadak bergerak dengan kekuatan dahsyat.
Tetapi lagi-lagi cengkeramannya berhasil dihindari Tirta dengan sebuah liukan amat cepat.
Merasa penasaran, si nenek mencoba menangkap lagi.
Tetapi, kembali dia hanya menangkap angin.
Mereka dipermainkan, si nenek mengubah siasat.
Kali ini dia bukan hanya bermaksud menangkap, tetapi juga menghajar si bocah habis-habisan.
Begitu tangan kanannya mencoba kembali menangkap, langsung disusulinya dengan satu tendangan kemuka.
Des! Karena Ratu Tengkorak Hitam mempergunakan ilmunya, maka tak ayal lagi tendangannya menghajar telak dada Tirta.
Dan meskipun tendangannya mempergunakan sepersepuluh dari tenaga dalam yang seharusnya sudah bisa mematahkan sebuah pohon cukup besar, ternyata bocah sekecil Tirta hanya terjajar beberapa langkah.
Sungguh merfgherankan.
Dan mata si nenek pun terbuka lebih lebar.
Mestinya, bocah itu akan tewas dengan dada remuk.
Tapi sekarang? "Enak saja main tendang begitu! Apa mau kau kutendang?"
Ratu Tengkorak Hitam masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya hingga masih berada dalam keterpanaan.
Begitu pula sosok di balik batu yang tak lain si Kaki Gledek.
Lelaki ini memang telah berhasil memulihkan luka-luka akibat serangan tak terduga dari Manusia Mayat Muka Kuning.
Dia sendiri sedikit bersyukur karena yang terkena hanyalah kedua tangannya yang tak terlalu berarti baginya.
Dia lebih sayang kedua kakinya, yang merupakan senjata terdahsyatnya.
"Benar-benar luar biasa!"
Desis Kaki Gledek terkagum-kagum melihat kejadian di depan matanya.
"Tetapi, aku harus tetap mendapatkan Batu Bintang.", Sedangkan si nenek yang tengah keheranan sekaligus kemarahan, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Sesaat kemudian, dia telah lepas kendali. Tanpa banyak cakap lagi, si nenek menendang Tirta tak ubahnya seperti menghadapi musuh.
"Aku pantang membunuh bocah. Tetapi, urusan sudah terjadi. Batu Bintang harus kudapatkan sebelum diketahui banyak orang!"
Dengus batin si nenek sambil terus mencecar.
Tetapi, lagi-lagi Tirta yang jadi bulan-bulanan segera kembali bangkit tanpa kurang suatu apa.
Hanya di tempat yang terkena hajarannya menimbulkan warna merah.
Dalam keheranan tak berkesudahan, Ratu Tengkorak Hitam terus mencecar.
Kali ini seperlima tenaga dalamnya sudah dipergunakan.
Dan anehnya ketika bocah itu melangkah mundur, dalam pandangannya berganti dengan lompatan sejauh tiga tombak ke belakang.
Akibatnya sergapan si nenek luput.
Namun dia segera meneruskan dengan serangan berikutnya.
Tirta yang wajahnya pias sekarang hanya bisa memperhatikan saja.
Tetapi bagai ada sesuatu yang menariknya, tubuhnya dibuang ke kiri, lalu melompat ke depan.
Sebuah gerakan yang sangat luar biasa ringannya! "Wiii!"
Bocah itu berteriak keras ketika tubuhnya seperti terbang belaka, menjauh dari Ratu Tengkorak Hitam.
Lalu buru-buru dia berlari.
Tirta merasa larinya biasa saja, dengan hati ketakutan setengah mati.
Namun dalam penglihatannya Ratu Tengkorak Hitam, larinya Tirta benar-benar menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
"Gila! Anak siapa dia? Dalam waktu empat hari saja, dia hebat sejak aku pertama kali bertemu dengannya,"
Puji batin Ratu Tengkorak Hitam.
"Hhh! Sebelum Batu Bintang jatuh pada orang lain, secepatnya aku harus mendapatkannya."
Tiba-tiba ekor mata si nenek menangkap kelebatan tubuh dari balik sebuah batu besar. Sejenak dia tersentak, tetapi segera tahu siapa bayangan merah yang berkelebat cepat barusan.
"Setan alas! Si Kaki Gledek! Rupanya manusia itu masih mau cari penyakit. Dan rasanya, sejak tadi dia memperhatikan aku dipermainkan bocah sialan itu. Hmm.... Bukan urusan itu yang menjadi pikiranku! Karena, Kaki Gledek tahu juga tentang Batu Bintang yang telah dijatuhkan rajawali peliharaan Sepuh Mahisa Agni, dan berada di tangan bocah bernama Tirta. Aku harus memburu bocah itu sebelum jatuh ke tangan Kaki Gledek."
Berpikir sampai di situ, si nenek siap mengemposkan tubuh.
Namun mendadak saja dia merasakan .
hawa panas meluruk dahsyat ke arahnya.
Cepat tubuhnya dibuang ke samping.
Dan....
Blarrr! Hawa panas yang ditimbulkan dari tiga sinar kuning itu melesat, langsung menghantam pohon manggis hutan hingga hangus mengering.
Cepat si nenek bangkit, seraya menatap ke arah datangnya serangan.
"Setan keparat yang cari mati! Kugebah penjuru tempat ini hingga tubuhmu rencah!"
Begitu habis kata-katanya, Ratu Tengkorak Hitam mengibaskan tangannya berkali-kali keempat penjuru angin. Saat ini pula terdengar ledakan dahsyat bersamaan muncratnya tanah di beberapa tempat.
"Ha ha ha...!"
Justru dari tempat yang berbeda, satu tawa keras telah membedah angkasa, disusul berkelebatnya satu sosok bayangan.
Dan tahu-tahu di hadapan si nenek telah mendarat ringan hingga tak ubahnya bagai sebuah kapas satu sosok tubuh yang sudah sangat dikenalnya.
"Entah berapa puluh kali penanakan nasi kulewatkan percuma untuk mencarimu, Ratu Tengkorak Hitam! Kini ada di hadapan! Serahkan Batu Bintang padaku!"
Kata sosok itu, dingin penuh ancaman. Sungguh, Ratu Tengkorak Hitam tak menyangka akan bertemu sosok berwajah kuning yang beku seperti mayat. Sesaat perasaannya tak tenang. Namun segera ditindihnya dengan menampakkan wajah gusar.
"Manusia Mayat Muka Kuning... Kudengar kau ada urusan dengan Bidadari Hati Kejam. Mengapa hanya buang waktu dengan berada disini?!"
Seru Ratu Tengkorak Hitam. Wajah mayat di hadapan si nenek makin membeku.
"Dari mana kau tahu tentang urusan itu, hah?!"
Kata sosok yang ternyata Manusia Mayat Muka Kuning.
Ratu Tengkorak Hitam menyeringai tak sedap.
Matanya dipicingkan tanda kegusaran makiri melanda.? "Dunia sangat sempit.
Jatuhnya jarum pun akan terdengar.
Apalagi, berita yang berkaitan dengan dirimu.
Bila kau hendak mendapatkan Bidadari Hati Kejam, dia sudah muncul dari tempat kediamannya."
"Dia pasti sudah muncul. Berarti pancinganku telah mengena. Tetapi, nenek peot ini akan jadi duri dalam daging bila tidak diselesaikan sekarang,"
Kata batin Manusia Mayat Muka Kuning. Lalu dengan wajah tak berubah, Manusia Mayat Muka Kuning menatap tajam Ratu Tengkorak Hitam.
"Ratu Tengkorak Hitam.... Kita satu golongan, namun tak pernah sejalan dan bersahabat. Hingga peduli setan bila nyawa busukmu kucabut! Serahkan Batu Bintang kepadaku, hingga aku bisa memaafkan nyawa busukmu!"
Sejenak Ratu Tengkorak Hitam terdiam. Otaknya berpikir keras.
"Apakah manusia yang satu ini juga mengintip seperti si Kaki Gledek? Tetapi kalau mengintip, tentunya dia tahu kalau aku belum mendapatkan Batu Bintang. Dan batu yang bisa ditempa menjadi senjata ampuh itu masih berada di tangan bocah bernama Tirta. Ingin kutahu, apa yang ada di benak manusia mayat ini sebenarnya,"
Gumam Ratu Tengkorak Hitam dalam hati. Lalu dengan tatapan tak kalah tajam, Ratu Tengkorak Hitam memandang Manusia Mayat Muka Kuning.
"Bicara boleh saja. Tetapi, bicara kosong melompong tidak tahu rimba, hanya menebar bibit penyakit. Manusia,Mayat Muka Kuning.... Apa maksud kalimat berbisamu itu?"
"Orang .yang mau mampus memang suka berbicara ngawur! Aku tak ulangi lagi pertanyaanku! Serahkan Batu Bintang kepadaku!"
Makin dingin suara Manusia Mayat Muka Kuning.
Ratu Tengkorak Hitam mulai menangkap satu keyakinan, kalau lelaki berwajah kuning itu menyangka Batu Bintang ada padanya.
Dengan demikian jelaslah kalau orang yang berjarak tiga tombak di hadapannya tidak tahu menahu soal pertemuannya barusan dengan Tirta.
"Hhh! Siapa yang menyebarkan fitnah busuk itu?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam.
"Tak perlu kau ketahui siapa orangnya! Yang pasti, dia berjasa bila memang benar Batu Bitang itu ada padamu!"
"Kau salah menilai orang! Tak ada Batu Bintang padaku! Orang yang menyebar fitnah busuk itu harus mampus karena telah buat badan celaka!"
"Bila kau menolak, aku tak segan-segan untuk menurunkan tangan,"
Desis Manusia Mayat Muka Kuning. Mata yang bersinar kuning menyipit. Mendengar ancaman orang, Ratu Tengkorak Hitam diam-diam segera menyiapkan jurus 'Jalan Hitam Kematian'.
"Hanya satu dugaan terlintas, siapa orang yang berani mempertaruhkan nyawa untuk fitnah busuk ini,"
Dengus Ratu Tengkorak Hitam.
"Tentunya dia adalah orang yang berjuiuk Kaki Gledek. Dan sekarang dia sudah melesat ke arah timur mengejar rajawali keemasan."
"Bosan rasanya mendengar pembicaraan tak guna! Keputusan telah kau ucapkan! Dengan kata lain, kau menolak memberikan Batu Bintang! Agaknya, garis kematianmu ada di tanganku, Ratu Tengkorak Hitam."
Meskipun telah mengukur. kesaktian orang di hadapannya, namun Ratu Tengkorak Hitam tak memasang wajah tegang. Justru hatinya mengkelap mendengarnya.
"Kalau tak bisa diselesaikan, mengapa tidak mencoba?"
"Kita lihat kebenaran ucapanmu itu, Ratu Tengkorak Hitam!"
Habis membentak begitu, masih berdiri agak mencangkung dari tempatnya, lelaki tua berjuluk Manusia Mayat Muka Kuning menggerakkan tangan kanannya ke depan.
Wusss! Seketika asap tebal berwarna kuning menderu ke depan, menutupi pandangan lawan sejenak.
Ratu Tengkorak Hitam tak mau mengalah.
Jurus 'Jalan Hitam Kematian' ditebarkan pula.
Lima larik sinar hitam menderu, menggebah dan menerobos asap tebal kuning yang memancar dari tangan kanan lawan.
Begitu melihat lima larik sinar hitam yang dilepaskan mampu menerobos serangan, Ratu Tengkorak Hitam sudah merasa berada di alas angin.
Namun pada kenyataannya....
"Aaahhh...!"
Justru Ratu Tengkorak Hitam yang memekik tertahan, karena lima larik sinar hitam itu berbalik arah padanya.
Bahkan kemudian asap kuning telah menggulung tubuhnya.
Sebelum semuanya terjadi, Ratu Tengkorak Hitam sudah mencelat ke samping.
Wajahnya sekarang tak bisa lagi menyembunyikan ketegangan yang berlipat ganda.
Salah satu jurus andalannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan.
Penuh kegeraman Ratu Tengkorak Hitam mengendalikan diri agar bisa tenang.
Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' kini siap dilepaskan pula.
"Rupanya kau telah menjadi sekutu Raja Lihai Langit Bumi. Bagus! Orang tua keparat itu pun akan kumusnahkan. Siapa yang berhubungan dengannya, harus menemui ajal di tanganku!"
Desis Manusia Mayat Muka Kuning.
Mendengar kata-kata itu barusan, Ratu Tengkorak Hitam yang merasa yakin tak akan mampu menandingi manusia Mayat Muka Kuning, makin sengaja mempergunakan jurus milik Raja Lihai Langit Bumi.
Karena pada Raja Lihai Langit Bumi.
Satu siasat licik telah terpatri di hatinya.
"Heaaah...!"
Maka dengan gerengan keras, jurus 'Undang Maut Sedot Darah' dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam.
Begitu gempuran aneh sekaligus dahsyat terjadi, Manusia Mayat Muka Kuning menghembuskan angin dari mulutnya.
Angin pelan yang tak terasa menggebah cepat, mengusir serangan si nenek.
Dan....
Blarrr...! Satu ledakan terjadi, akibat benturan barusan.
Ratu Tengkorak Hitam tersungkur dengan napas turun naik.
"Rupanya kau belum menguasai penuh. jurus 'Undang Maut Sedot Darah' milik Raja Lihai Langit Bumi. Berarti, kau tak berguna mempergunakan ilmu itu. Sekarang, katakan! Di mana Batu Bintang berada?!"
"Manusia bodoh!"
Maki Ratu Tengkorak Hitam sambil bangkit menahan sakit.
"Kaki Gledek telah membuat fitnah padaku. Manusia bangsat itulah yang harus diburu. Aku yakin, Batu Bintang sudah berada di tangannya."
"Aku tak punya urusan berarti denganmu, Ratu Tengkorak Hitam. Karena, masih ada anak manusia yang kutunggu untuk kuhabisi nyawanya! Bisa kuterima kata-katamu itu, karena aku belum mendapatkan penjelasan berarti. Kulepas nyawamu sekarang, dan kucari Kaki Gledek. Bila kalian berdua berdusta, tak ada jalan lain kecuali kukirim keneraka!"
Habis berkata begitu, tubuh Manusia Mayat Muka Kuning mencelat meninggalkan Ratu Tengkorak Hitam.
"Bisa putus nyawaku percuma tadi. Manusia aneh itu memang memiliki ilmu tinggi dan sulit untuk dijajaki. Keparat! Satu saat, akan kubuat dia tunduk di hadapanku! Satu saat... setelah Batu Bintang kudapatkan. Baiknya, kukejar bocah yang membawa Batu Bintang sebelum didahului Kaki Gledek." * * * Tirta terus berlari, berusaha mengejar Rajawali raksasa sambil mendekap erat-erat batu keemasan di tangan kirinya yang ditempelkan di dada. Dihantui penasaran ingin mengembalikan Batu Bintang pada burung Rajawali Emas itu, sehingga sama sekali tak disadari ada sesuatu yang sebenarnya berubah dalam dirinya. Kalau biasanya bocah ini berlari seperti orang kebanyakan, kini setiap kali melangkab, iibuhnya bagai terbang saja. Bahkan anehnya, hingga tengah malam tiba Tirta tak merasakan kelelahan sama sekali. Tekadnya Batu Bintang harus dikembalikannya pada Rajawali Emas itu. Tetapi biar bagaimanapun juga, burung yang terbang di angkasa tetap lebih cepat. Dan tepat rembulan agak menyingkir dari ubun-ubun kepala, bayangan raksasa di angkasa sudah tak terlihat lagi.
"Uh! Kenapa sih, burung itu tidak mau mendengar teriakanku tadi? Padahal, aku harus mencari kambing-kambing Juragan Lanang,"
Keluh Tirta.
Suaranya enteng saja, tak menyiratkan kelelahan.
Bahkan tak mengeluarkan keringat sedikit pun.
Bocah ini mendongak kembali pada jutaan bintang yang menghampar di permadani langit.
Rembulan cukup terang, meskipun merupakan potongan cahaya belaka.
Karena tak menemukan apa yang dicarinya, Tirta memperhatikan benda yang dipegangnya.
"Batu Bintang! Nenek jelek yang galak itu menyebutnya demikian. Sepertinya, dia ingin sekah memiliki batu ini. Bila saja aku tidak tahu asalnya batu ini, sudah tentu akan kuberikan padanya. Barangkali saja memang kepunyaannya. Tetapi kan jelas Batu Bintang itu kepunyaan burung rajawali tadi. Uhh...! Mana burung itu sekarang?"
Kembali Tirta memandang ke atas.
Namun, lagi-lagi bayangan raksasa itu tak tampak di matanya.
Akhirnya bocah ini memutuskan untuk tidur saja.
Karena pikirnya, toh tak akan menemukan burung itu lagi.
Maka dengan langkah perlahan, bocah yang masih membawa batu sebesar kepala itu mulai meninggalkan tempat ini.
Dilihatnya pepohonan yang berjarak tiga puluh tombak dari hadapannya.
Tirtapun mengarahkan langkahnya ke sana sambil sesekali masih mendongak ke atas.
Berada dalam rimbunnya pepohonan yang berjarak satu tombak dari pohon yang lain, bocah ini tak mampu lagi melihat ke atas.
Tetapi kekeraskepalaannya benar-benar tampak.
Masih melangkah demikian, dia berusaha mendongak, menembus rimbunnya pepohonan hingga tak memperhatikan apa yang ada di hadapannya.
Buk! "Aduhh...!"
Tubuh si bocah langsung terguling, dan meluncur ke bawah. Mengiring luncuran tubuhnya, gumpalan tanah ikut runtuh ke bawah pula akibat sen-takan kakinya yang terpeleset.."Wuaaa!"
Tirta menjerit ketakutan, keras dan membahana menghantam dinding-dinding tanah.
Saat tubuhnya meluncur deras.
Jelas sekali kalau dia terjatuh ke dalam sebuah jurang yang tersamar oleh tingginya rumput-rumput di sekitar tempat itu Dalam keadaan ngeri yang membias dan membuatnya menggigil, dia hanya mendekap erat-erat Batu Bintang di tangannya.
Sementara, tubuhnya terus meluncur deras ke bawah.
Pada saat yang sama, mendadak sebuah bayangan raksasa menukik dari angkasa.
Diterobosnya jurang besar yang siap menelan tubuh Tirta....
Bidadari Hati Kejam melongo ketika?di hadapannya membentang sebuah jurang sangat lebar.
Sejenak kening nenek berkonde itu berkerut hingga menampakkan kengerian bagi yang melihatnya.
"Edan! Sejauh aku melangkah, yang kudapati hanya jurang sialan ini! Dan pepohonan yang seperti pasukan siap tempur ini benar-benar membuat suasana agak menjengkelkan. Ke mana lagi harus kutemukan bocah itu? Seharusnya si bocah sudah berhasil kulampaui. Tetapi, larinya membuatku sulit,"
Omel nenek yang menginginkan Tirta menjadi muridnya. Mulutnya yang keriput menyang-menyong.
"Bocah kebluk! Ratusan orang susah payah ingin menjadi muridku, eee... dia malah menolak ketika kutawari. Aku benar-benar telah jatuh hati padanya. Hmm.... Bocah itu sedang mencari kambing-kambing gembalanya yang hilang. Apakah bila aku menemukan kambing-kambing itu dia mau menjadi muridku? Tetapi, di mana aku harus menemukannya? Si bocah memang sangat luar biasa. Dia memiliki keberanian dan kekerasan hati mengagumkan."
Tiba-tiba bibir berkerut si nenek tersenyum.
"Hmm...ya, ya.... Siapa tahu semuanya bisa kuda-patkan dengan sempurna. Lebih baik kucari segera saja dia lagi, daripada berada dalam kesunyian dan sikap dungu macam ini...."
Nenek berkonde ini siap mengempos tubuhnya ketika sayup-sayup terdengar suara melolong dari dasar jurang yang sangat dalam dan gelap.
Bahkan penuh pepohonan tumbuh di dinding-dindingnya dan batu-batu besar tajam di bawahnya.
Orang biasa tentu tak akan mampu menangkap suara itu bila tidak memiliki kepandaian seperti Bidadari Hati Kejam.
"Gila! Apakah setan gentayangan sudah mulai berkeliaran menjelang malam begini?! Kutu setan! Bikin aku jadi tegang tadi,"
Maki Bidadari Hati Kejam panjang pendek. Namun si nenek tak segera mengempos tubuhnya, seperti yang hendakdirencanakan. Justru pendenga-rannya dipertajam. Dan mendadak matanya terbelalak, mendengar suara yang mulai dikenalinya.
"Gila! Itu suara bocah yang bernama Tirta! Apa-apaan ini? Mengapa dia bisa masuk ke dalam jurang laknat ini? Gila! Gila!"
Nenek berkonde cepat melongok ke dalam jurang. Tak ada sesuatu yang nampak, kecuali gelap yang menghiasi dua bola mata kelabunya.
"Sinting!"
Makinya tiba-tiba, ketika sampai pada satu pikiran yang membuatnya mendengus.
"Kalau memang bocah itu terjatuh ke dalam jurang laknat ini, sudah tentu tubuhnya akan hancur berantakan. Huh! Kepala atau badannya tentu akan terpisah!"
"Tolooong...!"
Baru saja Bidadari Hati Kejam hehdak meninggalkan tempat itu, sebuah jeritan minta tolong membuatnya mengurungkan niat dengan wajah tertegun.
"Sinting! Benar-benar sinting urusan ini! Apakah telingaku sudah kemasukan kecoa?"
Makinya lagi tak menentu.
"Suara itu jelas suara bocah bernama Tirta. Tetapi...."
Si nenek tertegun sejenak.
Pikirannya dipenuhi hal-hal yang tak masuk akal dan tak bisa terjawab.
Tetapi sejenak kemudian diputuskannya untuk melihat keadaan di dalam jurang.
Seketika tubuhnya melangkah menyusuri atas jurang, mencari sela yang bisa dipergunakan untuk turun.
Karena tak menemukan tempat yang cocok, nenek berkonde ini memutuskan uhtuk melompat turun mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
"Urusan jadi benar-benar sinting! Kalau aku tak menginginkannya untuk menjadikan murid, sudah tentu aku tak akan nekat masuk ke dalam jurang sialan ini!"
Namun sebelum rencana itu ber-jalan, mendadak saja terdengar suara yang luar biasa kerasnya yang disusul suara gemuruh dahsyat.
Kontan nenek berkonde itu tanpa sadar mencelat ke belakang dua tombak.
Belum lagi keheranannya tuntas, mendadak saja muncul bayangan raksasa bersama angin menderu kencang.
"Koooaaakkk!"
"Rajawali Emas!"
Sentak Bidadari Hati Kejam tak berkedip memandang bayangan raksasa yang muncul dari dalam jurang. Samar-samar sepasang mata kelabu si nenek melihat satu sosok tubuh terkulai di cengkeraman kedua kaki burung rajawali raksasa itu.
"Tirta?! Gila! Mengapa jadi begini? Mengapa tahu-tahu muncul Rajawali Emas itu?!"
Seru si nenek, keheranan.
Kalau,bukan nenek berkonde yang berdiri di sana, sudah tentu akan terpental oleh angin dahsyat ditimbulkan kepakansayap rajawali itu.
Namun Bidadari Hati Kejam sendiri tak urung mengerahkan tenaga dalam untuk menahan sambaran angin dahsyat itu.
Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, burung rajawali raksasa itu telah membubung tinggi membawa tubuh Tirta.
Tersentak nenek berkonde ini dalam kekagumannya.
Matanya menangkap sesuatu yang bersinar keemasan yang dicengkeram kaki kiri burung rajawali raksasa itu.
"Batu Bintang! Gila! Ternyata berita itu benar! Lalu, apa hubungan bocah yang kuinginkan menjadi muridku itu dengan burung peliharaan Sepuh Mahisa Agni? Apakah Batu Bintang yang tengah dicari para tokoh kini sudah menjadi milik si bocah? Luar biasa! Baiknya kuikuti saja burung rajawali itu!"
Setelah mengambil keputusan, Bidadari Hati Kejam berkelebat cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi.
Sampai malam berubah siang dan siap memasuki malam kembali, Bidadari Hati Kejam terus berlari mengikuti bayangan raksasa yang mengangkasa.
Melewati sungai-sungai, melewati pematang sawah, ladang, mendaki bukit, dan menuruni gunung.
Semua dilakukannya, karena tetap berkeinginan mendapatkan Tirta sebagai muridnya.
Tetapi lama kelamaan, bayangan rajawali raksasa itu tak lagi nampak di matanya.
Kini nenek berkonde itu menghentikan langkahnya.
"Setan keparat! Dibawa ke mana calon muridku itu, hah?"
Omelnya jengkel. Kakinya menghentak berkali-kali.
"Benar-benar sinting! Mengapa burung rajawali itu membawanya? Apakah dikarenakan si bocah mencuri Batu Bintang miliknya? Sepuh Mahisa Agni... ada apa ini? Aku tak percaya kau telah mati seperti dikatakan banyak orang. Aku yakin, kau masih hidup dan entah berada di mana sekarang. Hanya saja, aku tak mengerti tentang semua ini. Mengapa kau lepaskan Bwana yang... ah! Entahlah, Aku tak bisa menduga, ada apa di balik semua ini? Tetapi sekarang, di mana rajawali itu berada."
Bidadari Hati Kejam sekarang melangkah menuju ke sebatang pohon.
Lalu pantatnya dihenyakkan, dan bersandar di batang pohon.
Sejuta pikiran mengganggu benaknya, dan sangat sulit ditemukan jawabannya.
Tak tahu harus berbuat apa, Bidadari Hati Kejam akhirnya terielap.
Kini baru dirasakan kepenatan yang sangat mendera.
Dengan jalan tidur, tenaga akan terhimpun kembali.
* * * Tirta yang berada dalam ceng-keraman kaki rajawali raksasa masih dalam keadaan pingsan.
Meskipun memiliki keberanian cukup, namun tak urung begitu meluncur deras ke dasar jurang dia pingsan.
Entah, apa jadinya bila bayangan raksasa yang ternyata Rajawali Emas itu tidak menolongnya.
Entah mengapa rajawali raksasa itu tiba-tiba muncul dan menolongnya.
Malam berganti pagi ketika burung rajawali raksasa itu meluncur turun ke sebuah lereng gunung yang cukup aneh bentuknya.
Julangannya sangat tinggi.
Dan dari kejauhan, jelas sekali gunung itu berbentuk kepala rajawali menghadap ke kanan! Tak heran bila gunung yang terpencil itu disebut Gunung Rajawali, tempat Sepuh Mahisa Agni pernah berdiam.
Entah, berada dimana manusia yang juga berjuluk Malaikat Dewa itu kini berada.
Sebelum mendaratkan kakinya di lereng Gunung Rajawali, burung raksasa itu melemparkan tubuh Tirta dalam jarak satu tombak dari tanah.
Bruk! Tubuh kecil yang masih pingsan itu tergolek tak berdaya.
Berarti, hampir satu setengah hari Tirta pingsan.
Dan dia tak tahu perjalananyang telah dilakukan.
Sementara itu, rajawali raksasa mendekam tak jauh dari Tirta.
Batu Bintang yang dicengkeramnya telah diletakkan di sisi bocah itu.
Mata bulat besar kemerahan rajawali keemasan memperhatikan Tirta.
Mata itu nampak memperlihatkan sinar gembira yang luar biasa.
Entah, apa maksudnya.
Ketika matahari sepenggalah, tubuh pingsan Tirta mulai bergerak.
Mata kecilnya mengerjap-ngerjap, karena silau oleh sinar matahari.
Tetapi sesaat kemudian, dia sudah berdiri tegak dengan mata terbuka.
"Wah! Di mana ini?"
Desisnya sambil celingukan. Diingat-ingatnya di mana sebelumnya berada. Tetapi ingatannya lepas begitu saja ketika melihat rajawali keemasan berada di hadapannya.
"Nah! Bagus itu! Hei, Burung Besar! Aku hendak mengembalikan... oh! Kenapa batu itu jatuh? Bukankah berada di dekapan tanganku?"
Tirta memungut batu keemasan itu. Dijulurkannya Batu Bintang pada burung raksasa yang mengkirik lirih, namun cukup keras di telinga Tirta.
"Hei, Burung Besar. Nih, kukembalikan batu ini padamu." . Tetapi Rajawali Emas itu menggeleng-geleng seperti menolak. Tirta membutuhkan waktu beberapa kejap untuk mengerti maksudnya.
"Kenapa? Inikan punyamu? Ayo, terima. Aku harus mencari kambing-kambing Juragan Lanang kembali."
Tetapi burung itu tetap menggeleng.
"Kalau kau tidak mau, ya sudah. Untukku saja, ya?"
Kali ini burung raksasa itu mengangguk-anggukkan kepala sambil mengkirik lirih.
"Jadi... kau setuju batu keemasan ini untukku? Baguslah kalau begitu. Terima kasih banyak. Aku harus mencari kambing-kambingku lagi."
Tirta segera berbalik, namun jadi melongo.
"Lho? Bagaimana aku bisa keluar dari sini kalau di hadapanku hanya hutan belantara?"
Si bocah berbalik lagi ke arah rajawali raksasa keemasan itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? O, ya. Aku ingat sekarang, Kalau tidak salah, tiba-tiba aku terjatuh pada sebuah tempat yang sangat dalam. Dan kau muncul mencengkeram tubuhku. Sehingga, aku bukan hanya ketakutan tapi juga kesakitan. Dan tahu-tahu aku berada di sini. Tentunya kau yang membawaku ke sini, ya? Ayo, kembalikan aku ke tempat semula. Aku harus mencari kambing-kambing Juragan Lanang, tahu?"
Oceh Tirta. Rajawali itu tak bergerak sekarang. Hanya sepasang mata merahnya yang memperhatikan Tirta.
"Hei...? Jangan diam saja! Ayo, antar aku lagi! Biar kau cengkeram tubuh atau leherku sekarang, aku tidak akan marah. Ayo...."
Belum lagi Tirta mendapatkan jawaban dari keinginannya, mendadak saja meluncur angin yang luar biasa deras ke arahnya.
Seketika si bocah tertegun dengan kedua mala membuka lebih lebar.
Lalu....
Buk! Tubuh Tirta terpental ke bela-kang.
Akan tetapi keanehan terjadi.
Karena tubuh yang terhantam angin besar itu telah berdiri tegak, tanpa kurang suatu apa sambil tetap menggenggam erat batu keemasan.
Tirta mendumal, ketika mengetahui deras angin besar itu ditimbulkan oleh kepakan sayap kalian Rajawali Emas.
"Kenapa kau menyerang aku, sin?!"
Bentaknya jengkel.
"Apa kau pikir angin yang kau timbulkan dari kepakan sayapmu itu hanya seperti kentut saja?!"
Tetapi burung raksasa itu kembali mengepakkan sayapnya ke arah Tirta.
Bahkan kali ini sayap kanan dan kiri, menciptakan angin deras lebih dahsyat dari semula.
Bergulung-gulung, siap melontarkan tubuh Tirta.
Tetapi....
Werrr...! Tubuh si bocah tetap berdiri tegar tanpa terhuyung sedikit pun.
Hanya wajahnya saja yang bagai ditampar keras dengan rambut bertebaran.
Padahal, pohon besar di belakang Tirta langsung tumbang sampai terlempar jauh.
"Kooaaakkk!"
Begitu angin dahsyat berhenti, mendadak burung raksasa itu berteriak keras.
Lalu seketika meluruk deras ke arah Tirta.
Paruh tajamnya siap mematuk kedua kakihya melehgkung dengan kuku-kuku tajam mengarah pada Tirta.
Tirta melompat, namun lebih banyak disebabkan oleh satu pikiran untuk menyelamatkan diri.
Lompatannya itu sungguh luar biasa.
Tubuh kecilnya bagai melayang saat menghindari serbuan burung raksasa itu.
Keanehan yang terjadi itu lagi-lagi tak dirasakan Tirta, kecuali mendumal dan bcrharap serangan burung raksasa itu tidak mengenai dirinya.
"Hei! Berhenti, dong! Kenapa kau menyerangku begini? Tadi kan aku sudah mengembalikan batu ini padamu, tetapi kau menolak? Dan sekarang ketika berada di tanganku, kau malah marah!"
Seru Tirta, menyangka burung raksasa itu menyerangnya karena marah Batu Bintang berada di tangannya, Tetapi burung itu terus mengejar si bocah berkali-kali.
Dan berkali-kali pula Tirta menghindari.
Sehingga setelah sekian lamanya, tak satu pun serbuan burung raksasa itu mengenai dirinya.
Kini justru burung raksasa itu yang menghentikan serangannya.
Kini dia terdiam, menatap Tirta yang mengoceh tak karuan.
Mata besar memerah itu seperti bangga, ketika serangannya justru tak mengenai sasaran.
"Menjengkelkan!"
Maki Tirta.
"Jangan main serang begitu dong! Apa kau pikir aku tidak takut? Sebentar lagi kau lakukan itu, aku bisa terkencing-kencing!"
Burung besar itu mengeluarkan suara pelan. Kali ini bernada menyesal.
"Uh! Kau menyesal sekarang, nanti malah menyerangku lagi! Aku kan,.. oohhh!"
Tiba-tiba Tirta mengeluh tertahan.
Dan tubuhnya mendadak ambruk.
Dirasakan hawa panas yang sangat luar biasa menderanya hingga tak sanggup bertahan.
Si bocah melolong kesakitan ketika ada sesuatu yang menyentak-nyentak dari dalam tubuhnya, bagai hendak memutus seluruh anggota tubuhnya.
Penderitaan yang mendadak dialami bocah itu benar-benar mengerikan.
Dalam waktu singkat tubuhnya memerah seperti udang dibakar dengan keringat menganak sungai.
Rajawali raksasa yang sejak tadi memperhatikan, nampak menjadi kalap dan kebingungan.
Sayapnya dikepakkan berkali-kali.
Sementara Tirta terus bergulingan kelojotan.
"Koaaak! Koaaak! Koaaak!"
Tiba-tiba terdengar pekikan burung raksasa ilu tiga kali berturut-turut.
Panjang, menggema keseantero Gunung Rajawali.
Bertalu-talu bagai satu hentakan kuat berkepanjangan.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba meluncur angin bergulung-gulung.
Dan ketika angin itu lenyap, satu sosok tubuh kurus berwajah bijaksana telah berdiri begitu saja bagai datang bersama hembusan angin tadi.
Begitu melihat seorang lelaki tua bertubuh kurus terbungkus baju putih bergambar bunga-bunga api, burung rajawali raksasa mengeluarkan pekikan gem-bira, seperti anak kecil.
"Mengapa kau memanggilku, Bwana?"
Sapa lelaki tua yang baru muncul.
Kepalanya mengenakan sorban putih.
Usianya kira-kira seratus dua puluh tahun.
Wajahnya begitu tenang dengan pancaran mata teduh penuh kearifan.
Ketika burung raksasa yang dipanggil Bwana tadi bergerak-gerak, si lelaki tua mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian lelaki tua bersorban putih itu melangkah mendekati Tirta yang masih kelojotan.
Sikapnya tetap tenang.
Langkahnya begitu ringan, bagai tak memijak bumi.
Masih tegak berdiri, sepasang mata teduh lelaki tua menatap Tirta yang masih bergulingan dengan sekujur tubuh makin memerah.
Sementara, Bwana memekik keras, bernada gelisah.
"Tenanglah, Bwana. Aku akan menolong bocah ini."
Si lelaki tua cukup lama menatap Tirta.
Dan perlahan-lahan, dia berlutut.
Lalu tangannya menepuk.
Seketika, gulingan dan kelojotan tubuh Tirta terhenti.
Namun, tubuhnya yang Sudah bertambah merah justru mengeluarkan asap.
Si lelaki tua menggeleng-gelengkan kepala.
Terkejut bercampur kagum.
"Tenaga yang keluar dari dalam tubuh bocah ini rupanya akibat ribuan tenaga surya yang masuk ke dalamnya. Berarti... bocah ini secara tak sengaja telah menghisap sari Rumput Selaksa Surya. Beruntung sekali dia. Tetapi sayangnya, aku tak bisa mengendalikan tenaga dalam itu. Hanya seorang yang bisa, Bwana,"
Desah lelaki tua itu perlahan. Rajawali itu mengeluarkan suara lagi. Seperti mengerti kata-kata Bwana, si lelaki tua tersenyum tenang.
"Bwana... jangan menganggapku orang yang maha sakti di muka bumi ini. Entahlah.... Mengapa orang-orang menjulukiku Malaikat Dewa. Padahal, menghadapi keadaan seperti ini, aku tidak tahu. Aku hanya bisa membantu si bocah. Tetapi, tak akan bisa mengajarkan cara mengendalikan tenaga surya yang bisa-bisa akan membuat seluruh urat darah di tubuhnya pecah berantakan. Hanya seorang yang bisa melakukannya, Bwana. Ya, ya.... Orang itu berjuluk Raja Lihai Langit Bumi. Dialah yang tahu tentang rahasia Rumput Selaksa Surya. Puluhan tahun lalu, memang pernah kukatakan tentang berita adanya Rumput Selaksa Surya. Dan aku berharap, dia bisa menemukan sekaligus memecahkan rahasianya. Mungkin dia sudah menemukan rahasia itu. Tetapi, bisa pula belum. Dan untuk sementara, biarlah kucoba untuk menenangkannya. Lelaki tua bersorban yang menyebul dirinya Malaikat Dewa tadi mengusap kedua tangannya. Dan mendadak, hawa dingin di lereng Gunung Rajawali semakin dingin. Kedua tangan kurus yang telah beku sedingin es itu ditempelkan pada kening dan perut Tirta. Cukup lama lelaki tua itu melakukannya. Sehingga, lama kelamaan warna merah di tubuh si bocah mulai menghilang. Malaikat Dewa mendesah.
"Hanya ini yang bisa kulakukan, Bwana."
Rajawali raksasa mengeluarkan suara gembira. Malaikat Dewa ter-senyum.
"Aku tahu, kau telah menjatuhkan pilihan pada bocah ini, Bwana. Itu terserahmu. Yang penting, aku telah memberikan Batu Bintang kepadamu. Batu yang memancarkan sinar keemasan ini, kudapatkan ketika sedang bertapa menyempurnakan ilmu penyerahan diri pada Sang Maha Pencipta di Gunung Rajawali puluhan tahun yang lalu. Batu itu tiba-tiba meluncur dari langit, dan jatuh beberapa tombak di hadapanku saat tapaku selesai. Penuh keheranan, kupungut batu yang kemudian kusebut sebagai Batu Bintang. Dan kurasakan, betapa ringan batu itu. Lebih mengherankan lagi, ketika kulihat ada gambar kepala Rajawali Emas. Dan dua puluh tahun kemudian, kau muncul. Lalu, kita menjadi sahabat. Maka sesuai usulku, kau bisa mencari majikan barumu dengan menjatuhkan pilihan pada orang yang kau inginkan. Tentunya, dengan menjatuhkan Batu Bintang pada pilihanmu. Aku merestui ini dengan baik. Ingatkan pada bocah ini, kalau Batu Bintang perlu dijaga. Karena, banyak tokoh persilatan yang kini muncul untuk memperebutkannya."
Malaikat Dewa menatap penuh pengharapan pada rajawali raksasa agar wejangannya dilaksanakan. Lalu perlahan-lahan kepalanya mengangguk-angguk.
"Perlu kau ketahui, bocah itu sebenarnya sangat beruntung. Dengan menghisap sari Rumput Selaksa Surya, dia telah memiliki sebuah tenaga dalam tinggi. Bahkan tubuhnya bisa memancarkan hawa pahas luar biasa. Dan secara tidak langsung, hawa panas dalam tubuhnya yang bila digabung dengan tenaga dalam, bisa membuatnya bergerak selincah kau Bwana. Rajawali mengeluarkan suara kembali.
"Maaf.... Bukan aku tidak ingin menurunkan ilmu kepadanya, Bwana. Ada dua orang muridku yang memiliki sifat berlainan satu Sama lain, kupikir cocok untuk menjadi guru bocah ini. Yang perempuan rada-rada sinting. Hatinya kejam, meskipun ditujukan hanya untuk orang-orang golongan hitam. Yang lelaki justru memiliki sifat sebaliknya. Mereka adalah Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi yang sudah dua puluhan tahun tak pernah kujumpai lagi. Bahkan tak pernah kupantau lagi, karena keduanya sudah menempuh jalan masing-masing."
Rajawali keemasan itu berkoak-koak lagi.
"Tidak..,. Aku sama sekali tidak pernah membedakan kedua muridku yang berlainan Sifat itu,"
Kata si Malaikat Dewa sambil tersenyum.
"Keduanya kuturunkan ilmu berbeda. Namun, masing masing ilmu yang didapat tak akan mampu mengalahkan satu sama lain. Meskipun keduanya saudara seperguruan, namun hanya bersikap laksana sahabat belaka. Bahkan kadang-kadang tak jarang bertengkar. Ini mungkin disebabkan berlainannya sifat yang dimiliki. Raja Lihai Langit Bumi selalu sering mengalah. Dan kebijak-sanaannya dalam mengambil keputusan agaknya mewarisiku, Bwana. Itulah sebabnya kukatakan tentang Rumput Selaksa Surya kepadanya. Ketika dia bertanya bagaimana cara mengendalikan tenaga yang terjadi akibat sari rumput itu, aku tidak tahu sama sekali. Dan kuharap, dia bisa memecahkan rahasia itu sekaligus menemukan Rumput Selaksa Surya."
Rajawali raksasa itu berkoak-koak lagi.
"Boleh. Kau kuizinkan untuk mengajarkan beberapa ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu. Dan kuharap, kau bisa mendidiknya lebih baik, Bwana. Aku akan pergi lagi dari hadapanmu ini. Dan, perlu kau ketahui. Setelah kuberikan sedikit hawa murni, kemungkinan besar bocah itu akan mengalami kejadian yang dialaminya tadi, setiap tiga bulan. Dan selama kau masih mendidiknya, aku akan selalu datang menjenguk. Perlu kau jaga satu hal, Bwana. Aku tak ingin kehadiranku di sini diketahui olehnya. Ya, ya.... Belum saatnya kukatakan sebabnya. Baik-baiklah kau menjaga, melatih,dan membimbingnya, Bwana. Rajawali Emas itu mengangguk-angguk pada lelaki baju putih bergambar percikan api. Malaikat Dewa tersenyum. Dan tiba-tiba, sosoknya lenyap begitu saja. Sepeninggal Malaikat Dewa, Bwana menunggu sampai Tirta siuman. Burung itu benar-benar gembira sekarang. Sungguh luar biasa sebenarnya, kalau burung rajawali itu bisa mengetahui kata-kata orang. Sejak saat itu, tinggallah Tirta di Gunung Rajawali. Bukannya bocah itu menjadi betah dan melupakan soal tanggung jawabnya untuk mencari kambing-kambing milik Juragan Lanang, melainkan karena tak tahu jalan keluar. Apalagi burung Rajawali Emas itu tak mau menunjukkan jalan keluar. * * * Kabut menutupi puncak dan lereng Gunung Rajawali. Udara dingin menusUk, membuat aliran darah bagai terhenti. Namun satu sentakan terdengar membahana, memecah kabut dan mengusir dingin.
"Heaaa...!"
Sungguh sebuah pemandangan menakjubkan.
Karena dalam kabut tebal dan dingin seperti ini, seorang pemuda bertelanjang dada justru sedang melakukan gerakan-gerakan luar biasa cepat dan dahsyat.
Dari mulutnya berkali-kali terdengar bentakan-bentakan kuat penambah semangat.
Sungguh luar biasa.
Karena, ratusan gerakan telah dilakukan pemuda gondrong berwajah tampan.
Otot-otot dadanya nampak menonjol keluar, menandakan susunan tulang dan bentuk tubuhnya amat bagus.
Sampai pada puncaknya, si pemuda mengatupkan kedua tangan di dada.
Saat kedua tangannya mengatup, nampak di bagian lengan kanan dan kirinya rajahan berbentuk burung rajawali.
Sesaat tubuhnya bergetar.
Bukan karena menahan hawa dingin, melainkan ter-tanda siap melepaskan satu pukulan.
"Heaaa...!"
Dikawal satu teriakan keras, si pemuda berjumpalitan laksana seekor rajawali menyambar.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya menggedor kedepan, disusul lima kali gerakan tangan kanan dan kiri.
Wusss...! Dalam kabut tebal yang tak pengaruhi pandangan, si pemuda telah lancarkan satu gerakan dahsyat.
Angin meluruk keras membuat kabut terpecah.
Dan dari sentakan kedua tangannya, menderu asap putih yang bergulung dalam kabut.
Brakkk...! Akibatnya sungguh menakjubkan.
Pepohonan yang berjarak lima belas tombak dari si pemuda mendadak saja berpentalan disertai suara bergemuruh.
Untuk sejenak si pemuda tertegun.
Dan tahu-tahu, dia berloncatan seperti anak kecil yang mendapatkan sesuatu yang lama diinginkannya.
"Bwana! Aku telah berhasil memecahkan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'!"
Seru si pemuda keras sambil terus berloncatan.
Werrr...! Entah dari mana datangnya, mendadak terdengar gemuruh angin luar biasa yang mengusir gumpalan kabut.
Sesekali terdengar suara berkoakan memekakkan telinga.
Lalu tahu-tahu, seekor burung rajawali raksasa telah menukik turun, dan hinggap di sisi si pemuda yang tengah gembira itu.
Rajawali raksasa itu berkoak-koak keras.
Si pemuda agaknya sangat paham dengan maksud si rajawali.
"Ya! Kau sangat baik, Bwana. Kau telah banyak mengajarkan ilmu-ilmu aneh padaku,"
Kata si pemuda seraya berlari.
Langsung dirangkulnya leher rajawali raksasa bernama Bwana ini.
Si pemuda yang tak lain Tirta tertawa-tawa.
Waktu memang telah mengalir bagai derasnya air.
Tak pernah berhenti melibas setiap makhluk hidup di alam semesta ini.
Bahkan tak pernah man menunggu siapa pun, terus melangkah entah sampai kapan.
Tak terasa, lima tahun telah berlalu sejak Tirta diselamatkan Bwana ke Gunung Rajawali.
Tak sengaja memang Tirta bisa mengetahui nama burung itu.
Waktu itu dia sedang berlatih di sisi sebelah kanan Gunung Rajawali.
Di sana, dia melihat sebuah pahatan pada dinding gunung.
Pahatan seekor burung rajawali yang cukup besar.
Dan tentunya, dibuat oleh orang yang sangat ahli.
Di bawah pahatan pada dinding itulah ditemukannya sebaris nama, BWANA.
Otak cerdik Tirta langsung menduga, kalau Bwana adalah nama burung Rajawali Emas yang kini menjadi sahabat, sekaligus gurunya.
Kendati demikian, bocah yang telah menjelma menjadi pemuda perkasa itu tetap merasa heran.
Tak mungkin Bwana bisa memahat bentuknya sendiri pada dinding gunung.
Kalaupun bisa, tak mungkin bisa menuliskan namanya di sana.
Yang mengherankan lagi, setelah dua tahun Tirta bersama Bwana.
Di saat terbangun dari pingsan karena sebuah sentakan tenaga panas dalam tubuhnya, tahu-tahu di lengan kanan kirinya terdapat rajahan berbentuk burung rajawali berwarna emas.
Meskipun coba bertanya, namun Bwana, tak memberikan jawaban apa-apa.
Padahal selama lima tahun bersama Bwana, Tirta banyak paham dengan setiap suara yang dikeluarkan Bwana.
Bahkan dari gerakan burung itu, dia bisa mengerti apa yang dimaksudkan.
Dan Tirta tidak pernah tahu sebenarnya, kalau setiap tiga bulan sekali selalu diobati oleh seorang lelaki tua bersorban putih.
Lama kelamaan, pemuda ini memang tahu kalau ada sesuatu yang aneh telah bergejolak di tubuhnya.
Bahkan menyentak-nyentaknya, seolah hendak menghancurkan seluruh jalan darah dalam tubuhnya.
Hanya saja, setiap kali hal itu terjadi, dia selalu pingsan.
Dan ketika siuman, tubuhnya sudah segar kembali.
Tirta yang telah tumbuh menjadi pemuda tampan berusia tujuh belas tahun, selalu diajarkan oleh Bwana gerakan-gerakan aneh yang sangat sulit dilakukan.
Namun otaknya yang cerdik bisa menangkap kalau Bwana memang bersungguh-sungguh agar setiap gerakannya bisa diikuti.
Puluhan jurus telah dipelajari Tirta secara tidak langsung.
Setiap jurus diberi nama oleh pemuda itu sendiri.
Bahkan terakhir, dia baru saja berhasil memecahkan jurus yang diberi nama 'Lima Kepakan Pemusnah Jiwa'.
Sebuah jurus dahsyat, yang sebenarnya tercipta begitu saja.
Tirta melepaskan rahgkulannya pada burung Rajawali Emas itu.
"Bwana.... Dari mana saja kau? Sudah tiga hari ini aku tidak bertemu denganmu?"
Tanyanya sambil menatap penuh kasih sayang pada Bwana. Bwana mengeluarkan suara pelan. Terlihat kening si pemuda berkerut.
"Kau sedang membuat sesuatu? Apakah itu, Bwana?"
Tanya Tirta. Bwana mengepakkan kedua sayapnya. Mendadak saja, sesuatu terjatuh dari sayap kanannya. Tirta menatap tak berkedip sejenak. Segera dihampiri dan dipungutnya benda yang memancarkan sinar keemasan itu.
"Hei! Sebilah pedang! Bagus sekali sinar keemasan yang memancar dari pedang mi, Bwana. Tetapi nampaknya belum sempurna. Milik siapakah pedang ini, Bwana? Oh, milikku? Bagaimana mungkin? Selama ini, aku tak punya sebilah pedang apa pun. Dan, hei...?"
Tirta tertegun ketika melihat dengan seksama pada bagian atas dan bawah hulu pedang.
"Di kiri kanan hulu pedang ini ada dua kepala rajawali menghadap arah yang berlawanan. Dan di hulu bagian bawah terdapat sebuah bintang keemasan. Apakah... aku ingat! Aku ingat sekarang. Bwana... kau telah menempa Batu Bintang menjadi sebilah pedang, bukan? Di dalam Batu Bintang, aku pernah melihat ada sebuah bayangan bintang dan dua kepala rajawali. Luar biasa kau bisa melakukannya, Bwana."
Bwana berkoak-koak lagi.
"Ya, ya.... Tentunya aku akan menempa pedang ini menjadi lebih sempurna lagi. Oh! Ini akan menjadi sebuah senjata tangguh? Ya, ya.... Terima kasih, Bwana." * * * Tirta mulai menempa pedang pemberian Bwana yang berasal dari tempaan Batu Bintang. Namun setiap kali batu gunung yang cukup besar dikeprukkan pada pedang belum jadi yang diletakkan di atas sebuah batu, batu pengepruk itu selalu pecah. Hal itu terjadi berkali-kali, hingga Tirta selalu terheran-heran.
"Gila?! Pedang ini kuat sekali? Dengan apa aku bisa menempanya lagi?"
Selagi Tirta kebingungan, ter-dengar suara Bwana pelan. Tirta menoleh dengan kening berkernyit.
"Maksudmu... harus kutempa dengan tanganku? Gila! Batu saja pecah, apakah kau ingin tanganku pecah pula?"
Kepala Bwana menggeleng-geleng, membuat Tirta tertegun.
"Baiklah.... Aku akan melakukannya. Meskipun masih heran, mengapa aku seperti memiliki satu kekuatan aneh yang sangat panas dan terkadang sukar dikendalikan."
Perlahan-lahan Tirta memusatkan pikiran pada pedang yang belum sempurna.
Lalu ditariknya napas.
Sekali menarik napas, mendadak gelora panas luar biasa terasa memenuhi dadanya.
Hal ini cukup membuatnya tersentak.
Maka segera dicobanya untuk mengendalikan tenaga panas itu.
Lalu....
Plak! Tangan Tirta menghantam pedang yang masih berada di atas batu.
Apa yang dikatakan Bwana tadi memang benar, Tangannya tak kurang suatu apa.
Sementara, lekukan pedang di bagian atas yang belum sempurna mulai melurus.
Dengan penuh semangat, akhirnya Tirta melakukan apa yang hendak diinginkan.
Setelah lima hari berlalu, barulah Tula melihat hasil yang dicapainya.
Sebilah pedang memancar kan sinar keemasan.
Ditatapnya pedang itu berkali-kali dengan decak penuh kekaguman.
Selagi Tirta menatap hasil kerjanya, tiba-tiba Bwana menukik turun, tetap dengan kepakan sayap yang menimbulkan angin kencang dan suara memekakkan telinga.
Cepat kepala Tirta menoleh pada Bwana yang telah hinggap di bumi.
Si pemuda yang hendak menunjukkan hasil tempaannya jadi urung, ketika melihat sesuatu di paruh Bwana dan telah dijatuhkan ke bumi.
"Apa itu, Bwana?"
Tanya Tirta. Bwana berkoak-koak lagi.
"Kau menyuruhku untuk membukanya? Baik... aku akan membukanya,"
Sahut Tirta. Dihampirinya bungkusan itu, lalu. mulai dibukanya.
"Hei...? Dari mana kau curi pakaian ini, hah?!"
Bukannya menjawab, Bwana justru mengibaskan sayapnya, Bukan buatan sapuan kepakan sayap itu. Bila saja Tirta tidak melompat, tentunya akan terpental ke belakang.
"Maaf.... Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu,"
Ucap si pemuda dengan wajah menyesal.
"Tetapi aku masih heran. Pakaian siapakah yang kau bawa ini."
Bwana keluarkan suara keras, bagai bentakan.
"Baik, baik.... Aku akan memakainya."
Lalu perlahan-lahan, Tirta mulai memakai baju lengan pendek berwarna keemasan.
Sungguh pas dengan tubuhnya.
Diperhatikannya pakaian warna keemasan dengan celana kebiruan.
Tampak sebuah ikat kepala keemasan yang kini telah dikenakannya.
Lalu, diambilnya sebuah kain panjang warna merah mirip selendang, yang diikatkan pada pinggangnya.
Bwana bersuara menunjukkan kepuasan.
"Cocok, ya? Wah.... Gagah juga aku sekarang. Dan aku... hei...?! Kau mau ke mana?"
Tahu-tahu Bwana sudah terbang meninggalkan Tirta.
"Benar-benar suatu kejadian aneh. Sudah lima tahun aku hidup bersama seekor rajawali raksasa, tanpa tahu harus melewati jalan mana bila ingin kembali ke dusunku,"
Desah Tirta. Mendadak di benak pemuda itu terpampang keadaan dusunnya yang telah lima tahun ditinggalkannya. Kerinduan pada kedua orangtuanya kini mulai mendesaknya.
"Ah.... Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah Ayah dan Ibu dalam keadaan baik-baik? Hm... mereka pasti menyatakan aku telah hilang? Entahlah.... Yang pasti, aku akan mcmbujuk Bwana untuk meninggalkan tempat ini dari kembali ke desaku...."
"Koaaakkk...!"
Dari balik julangan Gunung Rajawali terdengar suara Bwana yang keras. Lalu, tubuh besar itu meluruk kembali dan berdiarri di hadapan Tirta. Dari paruhnya, dijatuhkan sebuah benda. Segera Tirta memungutnya.
"Luar biasa! Kau memang burung aneh yang pintar, Bwana. Tidak! Aku tidak akan bertanya, dari mana kau mendapatkan warangka yang bagus beruntai benang emas."
Tirta memungut pedang yang baru saja disempurnakannya. Lalu dimasukkannya ke dalam warangka yang diberikan Bwana.
"Cocok sekali. Ukurannya pun sangat tepat Oh.... Terima kasih, Bwana.... Terima kasih..."
Dirangkulnya leher Bwana yang nampak senang itu. Tetapi sejenak kemudian Tirta yang telah hafal perangainya, terkejut ketika mendengar suara Bwana.
"Hei...?!"
Si pemuda melepaskan rangkulannya pada leher Bwana. Langsung di tatapnya kepala burung raksasa yang sebesar tubuhnya.
"Mengapa kau bersedih, Bwana? Adakah sesuatu yang menggelisahkanmu?"
Tanya Tirta. Bwana mengeluarkan suara pelan.
"Apa maksud dengan saat per-pisahan kita sudah di ambang pintu? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini? Apa ada yang memerintahkanmu untuk mengatakan semua ini kepadaku? Siapa dia, Bwana? Selama ini, aku tidak melihat ada orang lain di sini selain diriku dari kau. Aku juga merasa heran, bagaimana tahu-tahu dilengan kanan dan kiriku ada rajahan burung rajawali warna keemasan ini, Bwana. Katakan, Bwana? Siapakah orang yang telah melakukan semua ini?"
Belum lagi Bwana menyahut, mendadak....
"Tirta.... Lima tahun sudah cukup rasanya kau tinggal bersama Bwana...."
Mendadak terdengar suara lembut penuh bijaksana.
Tirta memutar kepala ke penjuru tempat, mencari orang yang bersuara itu.
Tetapi dia tak menemukan, dari mana asal suara yang berpindah-pindah.
Menyadari orang yang bersuara itu memiliki kesaktian tinggi, terburu-buru Tirta berlutut.
"Siapa kau adanya orang dalam gelap?"
Tanya Tirta.
"Belum saatnya kau mengetahui siapa aku, Tirta. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Eyang...."
"Eyang... terimalah salamku ini."
"Dengar baik-baik apa yang hendak kukatakan ini, Tirta. Bwana adalah burung peliharaanku yang sangat kusayang. Sekian puluh tahun dia kupelihara dan hidup bersamaku. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk mencari majikan yang baru dengan menyelipkan Batu Bintang pada ekornya. Bwana akan menentukan pilihan pada orang yang dijatuhkahnya Batu Bintang itu. Ternyata, pilihannya jatuh kepadamu, Tirta. Siapa pun pilihannya, aku tak bisa membantah. Tetapi terus terang, aku senang Bwana menjatuhkan pilihan kepadamu. Perlu kau ketahui, Tirta.... Baju dan warangka yang kini kau kenakan telah sangat lama kusimpan. Dan benda-benda,itu akan kuberikan pada orang yang dijatuhkan pilihan oleh Bwana. Perlu kau ketahui pula. Akulah yang membuat rajahan burung Rajawali Emas pada lengan kanan dan kiri, selagi kau pingsan akibat dorongan tenaga panas dalam Iubiihmu, Tirta."
"Ya, Eyang...."
"Lima tahun kau telah hidup di Gunung Rajawali. Lima tahun kau telah ditempa Bwana dengan ilmu-ilmu rajawali yang dahsyat. Maka, cukup kira sudahnya kau berada di sini, Tirta."
"Aku mengerti, Eyang."
"Perlu kau ketahui... hidup di dalam dunia ini selalu memiliki bentuk yang rancu meskipun selalu berpasangan. Saat ini, dunia di luar sana sedang dalam keadaan menggemparkan. Beberapa tokoh rimba persilatan tengah mengamuk, dikarenakan men cari Batu Bintang yang kini telah menjadi senjatamu. Berhati-hatilah menjaga Pedang Batu Bintang, Tirta,"
Ingat suara itu.
"Aku mengerti, Eyang"
Sahut Tirta, mantap.
"Hal lain yang perlu kau perhatikan, adalah tenaga ribuan surya yang ada pada tubuhmu. Kau secara tak sengaja telah menghisap sari tumbuhan langka yang bernama Rumput Selaksa Surya. Dan akibatnya, kau secara tak sengaja pula telah memiliki tenaga dalam tinggi dan ilmu peringan tubuh yang dahsyat."
Tirta teringat akan rumput aneh yang pernah dihisapnya lima tahun yang lalu.
"Tirta... Setiap tiga bulan sekali... kau akan mengalami suatu kejadian yang bisa menghancurkan darah dan akan meledakkan tubuhmu menjadi serpihan. Dan setiap tiga bulan pula, sampai saat ini aku selalu mengobatimu agar akibatnya tidak sampai parah. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara mengajarkanmu untuk mengendalikan tenaga surya dalam tubuhmu. Hanya seorang yang kemungkinan besar tahu semua itu. Dia adalah muridku yang kini berjuiuk Raja Lihai Langit Bumi. Carilah dia. Dan mintalah petunjuk darinya."
"Akan kulakukan pesan Eyang."
"Bagus! Di samping beberapa hal yang harus diingat itu, kau juga harus mencari muridku yang seorang lagi. Dia berjuluk Bidadari Hati Kejam."
Saat itu pula, Tirta teringat pada nenek berkonde berpakaian batik kusam. Nenek itu menginginkan Tirta menjadi muridnya.
"Apa yang harus kulakukan padanya, Eyang?"
"Dia memiliki sebuah senjata pengebut yang sukar dicari tandingannya. Mintalah petunjuk darinya, untuk mempelajari ilmu pedang. Meskipun jurus-jurus yang kau pelajari dari Bwana bisa dirangkai, tetapi jurus pengebut yang dimiliki muridku itu akan membuatmu memiliki ilmu pedang yang sangat luar biasa."
"Baik, Eyang."
"Dan yang terakhir... beradalah di golongan lurus. Karena di dunia ini rambut sama hitamnya. Namun, hati tak sama putihnya. Apalagi, saat ini terjadi bentrokan dahsyat dari beberapa rimba persilatan tentang sebuah fitnah yang mengerikan. Kau harus membantu menenteramkan isi dunia ini, Tirta...."
"Baik, Eyang. Semua pesan Eyang akan kulakukan...."
Kini, tak ada lagi suara yang terdengar. Angin pun seperti mati begitu saja. Ketika Tirta berucap memanggil, tak ada sahutan apa-apa. Tirta menarik napas panjang, kini berdiri tegak. Ditatapnya Bwana yang juga sedang menatapnya.
"Bwana.... Kau ternyata peliharaan dari Eyang sebelumnya. Tentunya kau mengenalnya, bukan? Tolong ceritakan tentang Eyang padaku?"
Bwana menegakkan lehernya. Tatapannya tajam pada Tirta. Maka sekali lihat saja, dapat ditebak kalau Bwana tak menghendaki Tirta bertanya seperti itu. Dan berarti, permintaannya tadi tak memerlukan jawabannya.
"Baiklah, Bwana. Maafkan aku. Mungkin suatu saat, aku bisa mendapatkan keterangan tentang Eyang."
Ketika kepala Bwana mengangguk-angguk, Tirta mengangguk pula.
"Ya, aku mengerti apa maksudmu. Baiklah.,.. Sekarang, tunjukkan padaku jalan keluar dari Gunung Rajawali ini. Beberapa kali aku pernah mencoba keluar dari sini. Tapi yang kudapatkan hanya jalan buntu, sehingga aku kembali lagi ke sini."
Sebagai jawaban, Bwana merunduk. Tirta tersenyum.
"Luar biasa! Entah bagaimana Eyang mengajarkannya pada Bwana hingga bisa mengerti maksud orang. Beruntungnya, selama lima tahun bersama Bwana aku juga bisa mengerti apa maksudnya."
Dan sekali loncat, Tirta sudah berada di punggung Bwana. Kedua tangannya memegang leher burung raksasa itu.
"Perpisahan itu hanya sementara bukan?"
Desis si pemuda pelan. Bwana mengangguk-angguk, lalu mengkirik pelan.
"Terima kasih atas petunjukmu padaku, untuk memanggilmu dengan cara yang kau tunjukkan tadi. Sekarang terbanglah, Bwana. Aku ingin mengunjungi kedua orangtuaku dulu."
Semakin lama semakin kencang, angin pun berhembus.
Tubuh rajawali raksasa itu pun terangkat naik semakin membubung tinggi.
Dari angkasa, sepasang mata Tirta dapat membedah seisi alam.
Bibirnya mcnyunggingkan senyum ketika tempatnya selama lima tahun mulai tak nampak di mata lagi.
Kelak, rimba persilatan akan dikejutkan oleh munculnya seorang pemuda berjuluk Rajawali Emas.
SELESAI Segera terbit!!! Serial RAJAWALI EMAS "WASIAT MALAIKAT DEWA"
Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis Putri Bong Mini Rahasia Pengkhianatan Baladewa Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman