Kitab Pemanggil Mayat 1
Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bab l Matahari sudah lama terbenam di bentangan kaki langit sebelah barat.
Menenggelamkan kecerahan dan terangnya alam siang tadi.
Rembulan telah berdiri tegak menggantikan tugasnya.
Langit cerah tanpa awan menggantung yang menghalangi lembutnya sinar rembulan.
Angin berhembus cukup dingin.
Kendati demikian, sinar rembulan hanya sedikit saja yang bisa menembus hutan kecil di sebelah selatan Gunung Siguntang.
Hutan yang cukup banyak ditumbuhi pepohonan.
Meskipun rimbunnya pepohonan menghalangi sinar rembulan, tetapi dua buah pohon yang berdekatan dan bagai membentuk sebuah celah, cukup bagi sinar rembulan itu menembus sampai ke tanah.
Nampaklah di tanah, satu sosok tubuh tergolek tak berdaya.
Dibantu sinar rembulan yang cukup menerangi, sosok berbaju lengan pendek berwarna keemasan itu nampaknya sudah cukup lama tergolek di tanah seperti itu.
Lima belas tarikan napas berlalu dalam kesunyian yang cukup mencekam.
Hembusan angin dingin yang ditingkahi oleh suara hewan malam yang unjuk gigi, cukup membuat tempat itu bagai mengasingkan diri dari keramaian.
Beberapa saat kemudian, sosok berbaju keemasan yang tergeletak di tanah itu perlahan bergerak Sebuah pedang berwarangka keemasan yang terdapat di punggung sosok tubuh itu nampak makin bercahaya saja tertimpa sinar bulan.
"Aaaah...."
Terdengar keluhan pendeknya.
Perlahan-lahan sosok tubuh itu berbalik.
Tak menghiraukan kalau sekarang punggungnya agak tertahan pedang berwarangka keemasannya itu.
Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda tampan itu memejamkan matanya sambil mengeluh lagi, kali ini terdengar lebih ringan dari yang pertama.
"Ah... sekujur tubuhku terasa enak."
Digeliatkan tubuhnya. Ingatannya tiba pada peristiwa yang dialami sebelumnya.
"Aneh, padahal ku rasakan satu hawa panas yang menggerogoti seluruh jalan darahku tadi. Bagai tersedot. Sialan! Dan tahu-tahu sekarang sudah terasa enakan...."
Perlahan-lahan dibuka matanya. Cukup berat. Mendapati sekelilingnya yang gelap, si pemuda mengerutkan keningnya.
"Aku yakin, saat ini telah lewat tengah malam... entah berapa lama aku pingsan. Tetapi, tubuhku sudah benar-benar enak. Apakah...."
Tiba-tiba si pemuda tampan berambut gondrong dan dikeningnya terdapat ikat kepala warna keemasan itu duduk.
Mata tajamnya memperhatikan sekeliling.
Lalu terdengar desahannya lega, begitu dilihatnya satu sosok tubuh berbaju hitam panjang tergeletak tanpa nyawa berjarak lima tombak dari tempatnya.
Cukup terlihat, karena kebetulan tempat di mana mayat berbaju hitam panjang itu diterangi sinar bulan pula.
Siapa pemuda yang tengah mengusap wajahnya dengan kedua tangannya itu? Di lengan kanan dan kirinya terlihat rajahan burung rajawali warna emas.
Pedang di punggung yang hulunya ada dua buah relief kepala burung rajawali berlawanan arah dan di bagian bawah hulunya terdapat sebuah bintang, semakin jelas menandakan siapa pemuda itu.
Dia adalah Tirta atau yang dikenal dengan julukan si Rajawali Emas.
Seperti diceritakan pada serial Rajawali Emas dalam episode "Dewi Karang Samudera", setelah menyelamatkan dan menyembuhkan Andini, bersama gadis murid Dewa Rumi itu, Tirta bermaksud meneruskan perjalanan mencari Iblis Kubur yang telah banyak membuat onar.
Merasa Andini belum pulih benar dari luka dalamnya, Tirta memutuskan untuk memanggil Bwana.
Burung rajawali yang besarnya empat kali gajah dewasa dan menjadi peliharaannya itu muncul bersama seorang gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna kuning.
Merasa harus menolong gadis itu, Tirta pun menolongnya.
Namun, dia tak boleh membuang waktu.
Setelah mengatakan rencananya pada Andini untuk menunggu gadis yang pingsan itu siuman, Tirta pun segera meninggalkan gadis.
itu.
Dia yakin, Bwana akan menjaga Andini dan gadis yang pingsan.
Perjalanan mencari Iblis Kubur dilanjutkan.
Namun belum berhasil si Rajawali Emas menemukan yang dicari, mendadak muncul Ratu Tengkorak Hitam.
Seorang tokoh sesat yang sejak lima tahun lalu menginginkan pedang di punggungnya yang diberi nama Pedang Batu Bintang.
Pertarungan hebat terjadi.
Ratu Tengkorak Hitam bukanlah tandingan si Rajawali Emas.
Tetapi, perempuan yang selalu mengunyah sirih itu, dengan jurus 'Undang Maut Sedot Darah' milik Raja Lihai Langit Bumi yang dicuri oleh Dewi Karang Samudera, berhasil menggempur si Rajawali Emas meskipun dia harus putus nyawa! Sementara si Rajawali Emas jatuh pingsan ketika merasakan darahnya bagai disedot keluar.
Saat pingsan itulah muncul Dewa Bumi, tokoh aneh bertubuh buntal yang menyelamatkannya.
Dan meninggalkannya setelah mengobati.
Tirta menarik napas panjang.
"Keadaan semakin genting sekarang. Waktuku telah banyak terbuang, Entah di mana Iblis Kubur berada. Apakah dia masih dipermainkan oleh Guru, ataukah dia telah berhasil mengalahkan Guru, si Bidadari Hati Kejam?"
Gumamnya dan perlahan-lahan berdiri. Digerak-gerakkan seluruh anggota tubuhnya.
"Bagus! Tak ada yang terasa sakit. Tak percaya aku bisa sembuh begini, karena saat itu ku rasakan kondisi ku sudah begitu lemah. Hmmm.... Siapa pun yang telah menolongku, kuucapkan banyak terima kasih." , Si pemuda tampan berbaju keemasan lengan pendek menoleh ke sekeliling hutan kecil itu. Lalu mendongak, Setelah beberapa saat, terdengar gumamannya "Malam semakin membentang tinggi, jalan semakin panjang. Tak tahu di mana aku bisa menemukan Iblis Kubur sekarang. Masa bodoh, aku harus bergerak cepat ! Hmmm....Dewi Karang Samudera pun harus kutemukan. Menurut Manusia Pemarah, Dewi Karang Samuderalah yang telah membangkitkan Iblis Kubur dengan mempergunakan ilmu dari Kitab Pemanggil Mayat. Di mana pula dia berada? Baiknya, aku berangkat sekarang juga.". Memutuskan demikian, si Rajawali Emas pun segera meninggalkan hutan kecil itu setelah menguburkan mayat Ratu Tengkorak Hitam. *** Ketika sepasang kaki kekar milik si Rajawali Emas menginjak sebuah perdataran luas, matahari sudah sepenggalah. Cukup menyengat. Tak sekali pun si Rajawali Emas menghentikan larinya semalam. Diedarkan pandangan ke seluruh tempat. Yang nampak hanya perdataran agak naik dan menurun. Penuh rerumputan dan beberapa pepohonan.
"Hmm.... Sukar bagiku menentukan di mana Iblis Kubur berada. Begitu pula dengan Dewi Karang Samudera yang memiliki Kitab Pemanggil Mayat,"
Batin si pemuda sambil tetap memandangi tempat itu.
"Baiknya, kuteruskan langkahku ke timur."
Tetapi, pemuda tampan dari Gunung Rajawali itu mendadak mengurungkan niatnya untuk segera meninggalkan tempat itu. Di gerakkannya kepalanya ke arah kiri. Pendengarannya yang tajam menangkap langkah menuju ke arahnya.
"Hmmm... menangkap derap langkah itu, aku yakin, ada dua orang. Jelas menuju ke sini. Tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi untuk melihat dulu siapa yang datang. Dalam keadaan seperti ini, bahaya lebih banyak mengancam. Baiknya, kutunggu saja siapa kedua orang ini."
Memutuskan begitu, Tirta segera membalikkan tubuh.
Berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap di dada.
Rambutnya yang gondrong dengan sebuah ikat kepala yang melingkar di keningnya berwarna seperti pakaian yang dikenakannya, dipermainkan angin semilir.
Wajah tampannya kukuh dengan tatapan tajam ke depan.
Tubuhnya benar-benar sudah pulih kembali seperti sediakala.
Bahkan tak dirasakan lagi bekas-bekas pukulan 'Undang Maut Sedot Darah' yang dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam.
Selang beberapa saat, nampak dua sosok tubuh berkelebat tak ubahnya seperti setan belaka menuju ke arah di mana Tirta berdiri tegak.
Dari kejauhan Tirta melihat kedua orang itu saling pandang dengan masih berlari menuju ke arahnya.
"Hmmm.... siapakah kedua orang ini? Rasanya, aku belum pernah melihat keduanya. Baiknya, biar aku tetap di sini. Aku ingin tahu siapa dan mau apa kedua orang yang nampak mengenakan jubah itu,"
Batin Tirta sementara melihat kedua sosok tubuh itu semakin lama semakin dekat padanya.
Dan menghentikan langkah tepat di hadapannya.
Tirta yang sejak tadi sudah melihat keduanya, tanpa sadar sepasang matanya lebih melebar menatap dua orang yang baru datang itu.
Keningnya dikerutkan.
Di sebelah kanan seorang laki-laki berusia lanjut.
Mukanya hitam cekung dengan kening yang selalu berkerut.
Rambutnya panjang menjulai sampai ke punggung.
Makin tak beraturan dihembusi angin perdataran itu.
Hidungnya besar dengan mulut lebar.
Mengenakan pakaian panjang berupa jubah warna biru pekat.
Orang yang di sebelah kiri, dalam soal usia sebenarnya tak jauh berbeda dengan si rambut panjang.
Wajahnya tirus dipenuhi kerut merut.
Kebalikan dari si rambut panjang, rambutnya pendek.
Mengenakan jubah biru pekat pula.
Sejenak kedua lelaki berwujud menyeramkan itu saling pandang.
Lalu serentak pandangan tajam diarahkan pada Tirta yang masih tegak berdiri berjarak tiga tombak.
Orang yang berambut panjang berkata, suaranya serak dan dalam.
"Orang muda... siapakah kau ini? Dan dari mana kau datang?"
Mendapat pertanyaan yang bernada cukup sopan, Tirta menjura.
"Namaku Tirta. Aku datang dari Gunung Rajawali" . Orang yang bertanya tadi mengalihkan pandangannya pada yang berambut pendek, seperti mengatakan sesuatu dari pancaran matanya. Setelah dilihatnya yang berambut pendek menganggukkan kepalanya, lelaki tua yang berambut panjang meneruskan kata.
"Kau mengatakan datang dari Gunung Rajawali Dan dari ciri-ciri yang nampak di depan mata, jelaslah kalau engkau yang berjuluk Rajawali Emas. Katakan kepadaku kalau yang kukatakan itu salah."
"Hmmm... suaranya yang pertama kali tadi bernada cukup sopan. Tetapi kata-katanya barusan, penuh tekanan. Bahkan ku rasakan sebuah ancaman. Jelas kedua orang ini patut diwaspadai."
Batin Tirta dengan sepasang mata menatap tak berkedip. Perlahan-lahan disunggingkan senyumannya. Masih tersenyum dia teruskan kata.
"Julukan bukanlah menandai siapa orang. Kebetulan saja julukan yang kau sebutkan itu memang melekat pada diriku. Nah, bila kedatangan kalian ke sini hanya untuk bertanya soal itu, semua sudah kulakukan. Persoalan kita Sudah selesai. Dan, aku harus meninggalkan kalian."
Wajah orang berambut panjang mendadak membesi.
"Tak semudah itu untuk meninggalkan tempat ini. Terutama, apa yang kami inginkan ada di depan mata. Lama kami melangkah, akhirnya bersua juga. Kalau memang engkau yang berjuluk si Rajawali Emas, jelas pedang yang ada di punggungmu itu Pedang Batu Bintang."
Lagi Tirta membatin mendapati kata-kata orang.
"Tak salah sekarang kalau keduanya patut diwaspadai. Pertama, nada suaranya berubah, Kedua, dia mengenal Pedang Batu Bintang. Hmmm... aku makin ingin tahu siapa mereka."
Belum lagi Tirta berkata-kata, orang yang berambut pendek berkata, suaranya tajam dan lantang.
"Bagus kalau begitu! Kau beruntung berkenalan dengan kami sebelum mampus. Buka telingamu lebar-lebar! Aku dikenal orang dengan julukan Jubah Mambang, Dan sobatku ini berjuluk Jubah Setan!"
Tirta cuma pamerkan senyum. Lalu dengan gerakan santai dia mencabut sebatang rumput dan mulai menggigit-gigitnya.
"Kalau sudah perkenalkan diri, mengapa masih berada di sini?"
Tanyanya santai. Lalu menyambung sambil cengengesan.
"Apa sebenarnya kalian ingin mengenalku lebih dalam? Bagus kalau begitu. Aku bersedia menjawab setiap pertanyaan. Asal jangan bertanya, aku sudah kawin atau belum ya?"
Mengkelap wajah orang berambut pendek yang berjuluk Jubah Mambang. Tetapi jelas kalau kemudian ditindih rasa kesalnya itu. Kendati begitu, suaranya yang bergetar tak mampu menutupi rasa muaknya.
"Bicaramu seakan mencapai setinggi langit. Tetapi julukanmu akan pupus sampai di sini, Rajawali Emas! Tentunya kau mengenal Mara Hitam Ritrik atau yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. Perempuan jelek pengunyah susur itu adalah kambrat kami. Katakan di mana dia berada! Setelah kau jawab pertanyaan, serahkan Pedang Batu Bintang kepada kami!"
Tirta terdiam sejenak. Matanya lebih tajam menatap kedua orang itu bergantian. Lalu katanya masih tetap bersikap santai.
"O... jadi kalian sahabatnya si nenek peot itu, ya? Kok mau-maunya bersahabat dengan nenek jelek itu? Hei! Tidak usah melotot! Pertanyaan kalian bisa kujawab. Nenek jelek berjuluk Ratu Tengkorak Hitam telah tewas bersama dosa-dosanya. Tetapi permintaan kalian tak akan pernah kukabulkan!"
"Setan keparat! Siapa yang menurunkan tangan telengas pada kambrat kami, hah?"
Makin menusuk suara Jubah Mambang.
"Katakan! Akan ku cabik-cabik tubuh manusia sialan itu!"
"Wah, aku tak bisa menjawabnya. Kalau kalian ingin tahu siapa yang membunuhnya, kalian bisa bertanya padanya. Kalau tidak salah, batu nisannya ada di lembah sebelah barat dari tempat ini Nah, aku kan sudah memberi tahu. Cepat sana kalian pergi? Lama-lama perutku jadi mual nih menatap wajah jelek kalian yang mirip kambing!" *** Bab Mengkelap Jubah Mambang mendengar ejekan itu.
"Kau akan menyesali kata-katamu itu hari ini juga, Rajawali Emas!"
Dengan gerakan yang sangat cepat, Jubah Mambang memutar kedua tangannya di depan dada. Dan siap dihempaskan kepada pemuda berbaju keemasan di hadapannya. Tetapi, suara si Jubah Setan untuk sejenak mengurungkan maksudnya.
"Bila bertindak padanya, jangan terlalu bermurah. Aku yakin, pemuda ini yang menurunkan tangan maut pada Ratu Tengkorak Hitam. Buktinya, dia tahu di mana nisan kambrat kita berada. Aku ingin kau menyelesaikan urusan ini dengan cepat! Pedang Batu Bintang yang diinginkan Mara Hitam Ritrik harus kita miliki! Setelah urusan ini, aku ingin melibatkan diri memperebutkan Kitab Pemanggil Mayat yang banyak dibicarakan orang. Kabar telah ku sirap, kalau kitab itu berada pada perempuan berjuluk Dewi Karang Samudera. Habisi pemuda itu!"
Usul kata-kata Jubah Setan, Jubah Mambang yang memang sudah mempersiapkan pukulannya, langsung berkelebat ke depan.
Tangan kanannya bergerak cepat.
Wuuuttt! Wuuuutt! Seketika serangkum angin dahsyat menderu ke arah Tirta.
Mendapati serangan telah dibuka, Tirta tak tinggal diam.
Dikarenakan dia tahu kalau keduanya jelas bukan orang baik-baik.
Selain itu, Tirta merasa harus mengejar waktu mencari Iblis Kubur dan Dewi Karang Samudera.
Didahului bentakan keras, Rajawali Emas mengangkat kedua tangannya tanpa bergeser dari tempatnya.
Des! Des! Benturan keras dua kali terjadi.
Pertama terjadi karena bentrokan pukulan Jubah Mambang yang ditahan tangan kanan si Rajawali Emas.
Sementara suara yang kedua terjadi karena tangan kiri si Rajawali Emas telah menghantam pangkal lengan kanan orang berambut pendek berjubah biru pekat itu.
Jubah Mambang cepat mundur lima tindak ke belakang.
Tangan kanannya dirasakan bergetar dan sangat nyeri pada pangkal lengannya akibat pukulan yang dilakukan Tirta barusan.
Wajah si Kakek berjubah biru kusam itu mengkelap dengan sepasang mata melotot gusar.
Di seberang, pemuda dari Gunung Rajawali itu segera mengalirkan tenaga dalamnya pada tangannya yang terasa nyeri.
Saat tangan kirinya dipukulkan pada pangkal lengan kanan lawan, dirasakan bagai menghantam sebuah batu cadas! Jubah Setan yang memperhatikan bentrokan barusan itu, mendadak menegak.
Dia heran mendapati si pemuda mampu mengatasi, bahkan mengirimkan satu pukulan pada si Jubah Mambang.
Jubah Setan tahu, serangan yang dilepaskan kawannya tadi adalah jurus lingkar Tangan Setan'.
Sementara itu si Jubah Mambang yang telah mengalirkan tenaga dalamnya guna mengusir rasa nyeri, menerjang kembali dengan satu bentakan keras.
Tenaga dalamnya telah dilipat gandakan, menandakan dia sudah berada dalam puncak kemarahannya.
"Keparat hina! Kau berani jual tampang di depan kami rupanya! Dan kau telah cabut nyawa Ratu Tengkorak Hitam! Berarti, kau harus berikan nyawamu kepadaku!"
Kedua tangannya membuka dan disorongkan ke depan dengan gerakan menyentak.
Tirta terkesiap merasakan angin dingin menderu ke arahnya.
Cepat pemuda yang di lengan kanan dan kirinya ada rajahan burung rajawali keemasan, melompat ke samping.
Tanah di mana dia berdiri tadi muncrat.
Meskipun pandangannya harus terhalang oleh tanah yang muncrat.
Jubah Mambang sudah mencelat ke muka.
Menerobos dan melancarkan serangannya lagi.
Si Rajawali Emas tersentak.
Cepat dia membuang tubuh ke samping.
Begitu hinggap di tanah kembali dengan pencalan satu kaki dia mencelat ke arah Jubah Mambang.
Wuuuttt! Jubah Mambang tersentak.
Dia berusaha memapaki serangan yang datang dengan cepat itu.
Tetapi terlambat....
Buuukkk! Jotosan yang diluncurkan Tirta, telak menghantam pinggang.
Membuatnya surut ke belakang dengan tulang iga yang terasa remuk! "Wah! Makanya kalau mau menyerang lihat-lihat dulu!"
Seloroh Tirta masih dengan menggigit-gigit rumput.
Jubah Mambang hanya bisa melotot gusar dan tak mampu lagi untuk melanjutkan serangan.
Dikarenakan rasa nyeri pada tulang iganya bila dia mencoba untuk bangkit.
Justru si Jubah Setan yang menggebah didahului teriakan mengguntur.
"Aku ingin tahu kehebatanmu, Keparat busuk!"
Kakek berambut panjang itu hantamkan dua pukulan sekaligus.
Menyusul satu tendangan yang siap memecah kepala Tirta.
Tirta sendiri langsung mengangkat kedua tangannya dan dengan pencalan satu kaki dia menderu ke depan.
Prak! Prak! Wuuuttt! Dua benturan terjadi Telak dan keras.
Sementara Tirta sekarang dalam keadaan merunduk karena harus menghindari sambaran kaki si kakek berambut panjang.
Belum lagi dia susulkan serangan, serangkum angin dahsyat mengeluarkan suara laksana gelombang disertai hamparan hawa panas, menderu ke arahnya.
Cepat Tirta tekuk kedua kaki.
Lalu....
Hup! Dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Putar Bumi' si Rajawali Emas berhasil menghindari serangan itu.
Tetapi, gelombang angin disertai sinar hitam pekat telah menderu ke arahnya dari arah Jubah Mambang.
Rupanya kakek berambut pendek itu masih bisa unjuk gigi.
"Berabe kalau begini! Jelas aku harus bertarung sekarang! Padahal saat ini aku harus menemukan Iblis Kubur atau Dewi Karang Samudera!"
Dengus Tirta sambil membuang tubuh kembali.
Dan sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, tangan kanannya mengibas cepat.
Wuuuus! Jurus 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung' menggebrak dahsyat.
Jubah Mambang terpekik menerima serangan cepat yang dilakukan dalam satu gebrakan itu.
Mengandalkan sisa-sisa tenaganya, dia berusaha menggulingkan tubuh.
Byaaarr! Tanah di mana Jubah Mambang berada tadi, terangkat.
Debu beterbangan.
Dan saat luruh, di tempat itu telah terbentuk sebuah kubangan sedalam setengah tombak.
Habis melakukan serangan, Tirta melompat ke belakang.
Lalu berkata dengan suara angker.
"Jangan terlalu memaksakan kehendak! Bila saja aku tak punya urusan, kalian bisa kuselesaikan!"
Dari suara angkernya mendadak saja dia terkekeh-kekeh.
"Bagaimana dengan suaraku tadi? Sudah patut jadi pemain ketoprak belum?"
Tak ada yang menyahuti selorohan Tirta. Jubah Setan sudah menderu kembali.
"Eh, benar-benar nekat ya?"
Seru Tirta dan segera melompat mundur. Bersamaan dengan itu, dia menerjang ke depan. Tetapi mendadak saja terdengar teriakannya keras.
"Gilaaa!"
Bersamaan dengan itu, tubuhnya bergulingan ke belakang.
Di hadapannya, Jubah Setan bergerak membungkuk.
Jubah biru pekatnya digerakkan mengibas.
Lontaran api setajam anak panah menderu ke arah Tirta! "Sinting! Api dari mana ini yang bisa terlontar dari jubah birunya!"
Maki Tirta dan segera dipergunakannya jurus menghindarinya lagi, Jurus 'Rajawali Putar Bumi'.
"Kau tak akan bisa lolos dari tanganku, Rajawali Emas!"
Sentak Jubah Setan menggebah.
Hujan api yang meluncur dahsyat dari balik jubah birunya makin banyak.
Beruntun dan bertubi-tubi.
Seketika pedataran itu terbakar.
Angin yang bertiup makin membuat api itu bertambah cepat menjalar.
Suasana menjadi sangat panas sekali.
Tirta membatin.
"Perdataran ini bisa habis dimakan api. Dan bisa pula merambat ke tempat lainnya. Celaka, aku tak bisa membiarkan api ini habis membakar tempat. Tetapi, bagaimana cara memadamkannya sementara manusia keparat itu terus menyerang."
Hujan api yang dilakukan Jubah Setan makin banyak, diiringi dengan tawa kerasnya penuh ejekan. Jubah Mambang yang telah menyingkir tak mau dimakan api berdesis dengan senyuman aneh.
"Ilmu 'Hujan Api' milik si Jubah Setan memang hebat. Hmm... bila saja keadaanku tidak payah begini, akan kuperlihatkan pula ilmu 'Hujan Panah' ku!"
Jubah Setan yang merasa di atas angin sekarang terus menghujani si Rajawali Emas' dengan api-api panasnya.
Namun detik kemudian dia terkesiap.
Wajahnya tertarik ke dalam hingga kerut di wajahnya makin berlipat.
Cepat dia buang tubuh ke samping ketika pemuda berbaju keemasan itu telah cabut pedang di punggungnya.
Menghampar sinar keemasan yang sangat menyilaukan.
Sekali dikibaskan, api di sekeliling tempat padam seketika.
Lalu menderu sinar keemasan itu ke arah si Jubah Setan yang masih nekat melancarkan ilmu 'Hujan Api' nya.
Si Rajawali Emas yang dalam keadaan terdesak itu cepat mencabut Pedang Batu Bintang dan mempergunakannya, dengan mudahnya menghalau sekaligus memadamkan api-api itu.
Bahkan dikawal teriakan keras, tubuhnya berkelebat ke arah Jubah Setan yang terpekik dan sebisanya menghindari serangan si Rajawali Emas.
Crass! "Aaakhhhh!"
Dada si Jubah Setan tergores sedikit.
Pakaiannya langsung hangus dan memperlihatkan dada yang kurus.
Masih berusaha menyelamatkan diri, kakek berambut panjang itu berusaha membalas dengan ilmu 'Hujan Api' nya.
Tetapi kali ini ilmu itu tak banyak membantu.
Setiap kali Tirta mengibaskan Pedang Batu Bintang, api itu langsung padam.
Bahkan getar anginnya berkali-kali menyambar wajah Jubah Setan yang memekik karena merasa terbakar.
Dan.....
Cras! Rambut panjangnya langsung putus tersambar angin Pedang Batu Bintang.
"Celaka! Jelas aku tak bisa menghadapi pemuda ini. Ilmunya begitu tinggi padahal dia masih muda. Biarlah urusan nyawa Ratu Tengkorak Hitam dan pedang sialan itu ku tuntaskan dulu untuk sementara."
Memikir sampai di sana, Jubah Setan bergulingan ke arah Jubah Mambang dan....
Tap! Tangan kanannya langsung menyambar tubuh si kakek berambut pendek yang hanya menatap pertarungan itu dengan penuh amarah dan dendam.
Kejap kemudian, Jubah Setan lari lintang pukang.
Si Rajawali Emas menghentikan gerakannya dan berteriak.
"Hoooiii! Mau ke mana? Kan belum selesai?!"
Panas hati dua kakek berjubah biru pekat itu.
Tetapi mereka tak peduli lagi.
Yang terpenting sekarang menyelamatkan diri dulu.
Namun yang membuat keduanya begitu marah dan malu, karena kemunculan mereka sejak mengasingkan diri di Sumur Batu, langsung dipecundangi oleh pemuda yang masih muda.
Tirta sendiri sudah memasukkan kembali Pedang Batu Bintang ke warangkanya yang dipenuhi jalinan benang emas itu.
Didongakkan kepala.
"Hmm... siang sudah tiba. Aku harus cepat!"
Kejap kemudian, tubuhnya sudah berkelebat meninggalkan perdataran yang hangus itu.
*** Bab Ketika matahari mulai meluncur ke arah barat, dua sosok tubuh tiba di perdataran yang hangus itu.
Untuk sejenak, sepasang muda-mudi itu saling pandang.
Lalu kembali mengedarkan pandangan ke seantero tempat "Melihat apa yang terjadi di sini, aku yakin belum lama terjadi pertarungan hebat,"
Kata si pemuda berwajah tampan sambil memperhatikan sekelilingnya. Gadis jelita yang berdiri di sisinya menyahut.
"Kau benar, Kang Wisnu. Tetapi, siapa yang baru saja bertarung ini?"
Wisnu tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Dialihkan pandangan pada gadis yang memiliki sepasang mata bagus di sisinya.
"Sulit kujawab pertanyaanmu itu, Nandari. Tetapi, kita tak usah persoalkan masalah ini. Yang terpenting, kita harus tetap mencari Siluman Buta yang membawa Andini."
Nandari yang mengenakan pakaian biru dengan ikat pinggang warna merah yang terselip sepasang trisula mengangguk Rambut panjangnya yang terdapat pita warna biru bergerak indah.
Gadis itu balas menatap pemuda berbaju putih yang terbuka di dada dan perlihatkan dada bidang.
Rambut si pemuda panjang tergerai.
Di punggungnya terdapat sebilah pedang.
"Kau benar, Kang. Sampai saat ini kita belum tahu nasib Andini. Aku cemas memikirkan nasibnya."
Wisnu memegang lengan gadis di sisinya itu. Menekannya, seolah memberikan kepercayaan pada gadis itu. Lalu dengan tersenyum dan menatap penuh kasih, pemuda itu berkata lembut.
"Sudahlah, Nandari. Sebaiknya, kita lanjutkan perjalanan ini." (Untuk mengetahui siapa keduanya dan apa yang tengah mereka cemaskan, silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode.
"Sumpah Iblis Kubur"
Dan "Dewi Karang Samudera"). Nandari balas menatap pemuda di hadapannya. Perlahan dianggukkan kepalanya.
"Belum enak hatiku kalau belum melihat senyum mu,"
Kata Wisnu bagai bisikan. Dan setelah itu, wajahnya jadi memerah karena merasa lancang mengucapkan kata-kata barusan. Wajah Nandari pun bersemu merah.
"Ah, Kang Wisnu ini.... Kok suka menggoda ku juga? Kayak Andini saja."
Wisnu cuma tertawa dengan batin berbisik.
"Ah... untungnya Nandari tidak marah. Kalau dia marah dengan kata-kata barusan, bisa nggak beres urusan."
Lalu muda-mudi murid Dewa Bumi itu berkelebat cepat.
Tepat ketika matahari siap tenggelam di barat, keduanya tiba di sebuah hutan belantara yang lebat "Nandari, kita cari tempat yang cukup aman untuk beristirahat,' kata Wisnu sambil memperhatikan sekelilingnya.
Nandari cuma menganggukkan kepalanya.
Keduanya berkelebat kembali dan tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah gubuk di tengah hutan itu.
Wisnu tersenyum.
"Rasanya, tempat itu cukup aman untuk kita beristirahat."
Nandari mengerling, membuat jantung Wisnu berdegup tak menentu.
"Asal... kau jangan macam-macam ya?"
Wisnu tertawa.
"Kau ini, bicaranya kok ngaco. Mana mungkin aku melakukan hal itu kalau tidak... terpaksa.... Ha ha ha."
Wisnu tertawa mendengar guyonannya sendiri. Dilihatnya gadis di sisinya tersenyum gemas. Lalu dia menyambung.
"Ayolah, kita periksa dulu gubuk itu. Setelah itu, aku akan mencari ayam atau burung hutan untuk pengisi perut."
Tetapi sebelum keduanya bergerak, terdengar suara dingin dari dalam gubuk yang berjarak tiga tombak di depan mereka.
"Kau benar, Dewi. Ada dua anak manusia yang kesasar ke sini."
Kedua murid Pesanggrahan Mestika itu surut satu tindak. Saling pandang mendapati suara itu. Menyusul suara barusan, aroma wangi yang luar biasa menguar. Tanpa sadar Wisnu dan Nandini bersiaga.
"Telingaku tak pernah salah, Orang tua jelek Kau lihatlah siapa mereka. Dan tak perlu banyak tanya, bunuh karena mengganggu keasyikan kita!"
Kata satu suara, lebih dingin dan bernada kejam.
Kalau tadi Wisnu dan Nandini hanya mundur satu tindak, kali ini keduanya mundur lima tindak.
Pandangan lebih terbuka menatap ke depan dengan siaga penuh.
Kejap kemudian, satu sosok tubuh keluar dari gubuk itu.
Seolah tak melihat keduanya, orang yang baru keluar merentangkan tangannya ke atas sambil mengeluarkan suara.
"Aaaahh... sialan betul ada yang mengganggu keasyikan ku ini. Untungnya tadi sudah kulakukan. Tetapi kan aku mau nambah! Dasar monyet-monyet kurang kerjaan yang mengganggu keasyikan orang!"
Kedua muda-mudi itu menatap tak berkedip pada orang tua yang baru keluar dari dalam gubuk.
Tubuhnya kurus mencangkung tanpa baju.
Tubuhnya menonjolkan tulang-tulang di sekitar dada dan perut.
Celana pangsi hitam kusam menutupi tubuh bagian bawah.
Rambut panjang tergerai di punggung.
Yang mengerikan dari wujud anehnya itu, wajahnya berwarna kuning, lain dari warna kulit hitamnya di sekujur tubuhnya.
Wajah kuning yang dingin dan seperti mayat itu menatap tak berkedip pula ke depan.
Sejurus kemudian terdengar tawanya.
"Dewi... rupanya malam ini kita kedatangan tamu yang benar-benar menakjubkan."
"Setan muka kuning! Bunuh kedua orang itu!"
Terdengar bentakan sengit dari dalam gubuk "Aku tidak suka ada yang mengganggu keasyikan kita!"
"Bodoh kalau kau menginginkan hal itu! Cepat keluar! Aku ingin tahu apakah kau akan teruskan maksudmu!"
"Setan tua! Berani-beraninya kau bicara begitu, hah?!"
Bentakan itu belum sirna seluruhnya, satu sosok tubuh telah keluar dari dalam gubuk Berdiri di sisi orang tua bermuka kuning. Sejurus kemudian terdengar tawanya.
"Kau benar, Manusia Mayat Muka Kuning. Jelas ini hidangan empuk bagi kita sebelum teruskan langkah mencari Bidadari Hati Kejam dan merebut Pedang Batu Bintang dari tangan Rajawali Emas. Urusan Iblis Kubur yang telah pecahkan gendang telinga bisa kita tunda. Begitu pula keinginan untuk mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat yang dimiliki perempuan lacur berjuluk Dewi Karang Samudera!"
Wisnu dan Nandari makin bersiaga menyadari ucapan orang.
Kini mereka tahu dari mana asal aroma wangi itu.
Rupanya berasal dari perempuan berbaju sutera dengan belahan dada yang rendah hingga memperlihatkan bungkahan buah dadanya yang besar dan indah.
Mereka juga melihat paha putih yang padat milik perempuan yang wajahnya ditutupi sutera itu.
Rupanya baju bagian bawah hingga ke pangkal pahanya terbelah panjang.
Perempuan berdada besar itu tertawa.
"Bocah-bocah ayu dan tampan. Beruntung kalian berjumpa dengan kami. Orang rimba persilatan menjulukiku Dewi Kematian. Dan sobatku yang sekaligus kekasihku ini berjuluk Manusia Mayat Muka Kuning."
Habis berkata begitu Dewi Kematian membatin.
"Kekasih? Kekasih tai kucing! Bila urusanku selesai, tak akan mau kujumpai lagi Manusia Mayat Muka Kuning sialan ini! Terutama, membiarkan tubuhku digelutinya! Kalaupun aku mau melakukannya sekarang, karena aku juga butuh kehangatan setelah muridku si Lanang tewas di tangan Rajawali Emas."
Sadar kalau kedua orang aneh ini berniat jahat, Wisnu berbisik.
"Nandari.., rasanya kita tak akan bisa menghadapi keduanya. Guru pernah bercerita tentang kedua manusia ini, bukan? Manusia-manusia laknat dari golongan sesat. Terutama Manusia Mayat Muka Kuning yang sepuluh tahun belakangan ini menimbulkan pembunuhan bergelombang. Jelas keduanya tak bermaksud baik pada kita. Bila keadaan tak menguntungkan, cepat kau tinggalkan tempat ini."
Gadis berbaju biru dengan ikat pinggang merah itu hendak membantah ucapan Wisnu, tetapi si pemuda telah meneruskan kata-katanya pada Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian.
"Beruntung memang kami bisa mengenal dua tokoh yang disegani. Sayangnya kami tak punya banyak waktu untuk meneruskan pembicaraan ini. Biarkan kami berlalu dan kami akan mengingat kalian selalu,"
Dewi Kematian tertawa. Cadar sutera yang menutupi wajah bergoyang.
"Bicaramu sedap betul didengar. Usulmu bisa kuterima. Tetapi, hanya gadis itu yang kuperkenankan pergi sementara kau menemaniku di sini."
"Enak betul kau bicara, Dewi! Apakah aku tidak akan mendapat bagian?"
Dewi Kematian tertawa.
"Dasar lelaki cabul. Kupikir nafsumu sudah hilang!"
Manusia Mayat Muka Kuning terkekeh-kekeh "Sejak berjumpa denganmu lagi dan menikmati surga dunia, aku jadi ingin merasakannya pada yang lain. Kau tentunya tidak cemburu, bukan?' Dewi Kematian kembali tertawa.
"Apa yang kau inginkan, tentunya sama dengan yang kuinginkan. Kebetulan, dua bocah bagus ini datang menyodorkan diri pada kita."
Wisnu bertambah waspada. Sepasang matanya tajam tak berkedip ke depan.
"Hmmm... rupanya ini akan jadi urusan. Sulit bagiku untuk melepaskan diri sekarang. Tetapi, Nandari harus bisa meloloskan diri."
Pemuda berbaju putih yang terbuka di bagian dada nampak berpikir keras. Tak menemukan jalan keluar, Wisnu mencoba mengulur waktu. Lalu katanya.
"Kalau tadi Dewi mempersilakan gadis bersamaku ini pergi sementara aku tinggal di sini, lalu bagaimana dengan maksud Manusia Mayat Muka Kuning?"
"Orang muda tolol!"
Membentak Dewi Kematian dengan suara keras. Payudaranya yang montok dan menyembul keluar itu bergoyang.
"Apakah kau tidak mengerti kalau kami berdua menghendaki kalian, hah? Jangan jadi bodoh di hadapan kami bila masih sayang dengan nyawa!"
Wisnu menahan sesuatu yang mendadak bergejolak begitu matanya tertancap pada payudara besar Dewi Kematian yang putih mulus itu.
Hanya sesaat getaran aneh terjadi, karena setelah menenangkan diri, pemuda murid Dewa Bumi itu telah bernapas normal kembali.
Hanya dilihatnya tangan kurus hitam orang tua muka kuning menyusup ke balik pakaian Dewi Kematian di bagian dada.
Nandari membuang muka melihatnya.
"He he he... mengapa Manis? Apakah kau tak suka melihat pemandangan seperti ini?"
Orang tua muka kuning terkekeh-kekeh dan tangannya makin liar 'mengaduk' sesuatu di dada Dewi Kematian. Nandari menekan perasaannya. Gadis yang biasanya tak mudah terbawa emosi, perlahan terpancing karena rasa muak yang dalam.
"Siapa pun kalian, adanya, kami tak pernah takut. Cukup menghormat, tetapi tak perlu menyembah. Bila tak ada lagi urusan, lebih baik kami tinggalkan tempat ini!"
Seru Nandari tegap.
Lalu tanpa menunggu jawaban dari kedua tokoh aneh itu, dia sudah berbalik dan melangkah.
Wisnu bergegas menyusul.
Tetapi langkah sepasang muda-mudi itu tertahan.
Karena, di hadapan mereka tahu-tahu telah berdiri Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian.
Dengan sikap cabul orang tua muka kuning itu yang bukan hanya tangannya saja yang 'mengaduk' bagian dada Dewi Kematian.
Tetapi mulutnya yang rada monyong dan bau itu menyosor di leher dan bibir Dewi Kematian yang hanya tertawa saja.
Nandari mendelik gusar.
"Kami tak pernah punya silang sengketa! Mengapa kalian yang tua-tua bersikap busuk macam begini, hah?!"
Bentaknya keras. Wajah di balik cadar sutera mengkelap. Tangan kanannya menyentak turun tangan Manusia Mayat Muka Kuning dari dadanya.
"Kurang ajar! Kau benar-benar ingin dihajar rupanya!"
Habis kata-katanya, Dewi Kematian mengangkat tangan kanannya dan....
Wuuuuttt! Angin keras menderu ke arah Nandari.
Biar bagaimanapun juga, Nandari adalah murid Dewa Bumi dari Pesanggrahan Mestika.
Dengan sigap digerakkan pula tangan kanannya.
Wuuus! Pyaarrr! Terdengar letupan kecil.
Namun cukup membesi wajah Dewi Kematian melihatnya.
"Hmmm... sejak tadi aku yakin kalau keduanya bukan muda-mudi sembarangan. Aku ingin tahu bisa apa mereka,"
Batinnya jengkel. Tetapi ketika perempuan bercadar sutera itu hendak melakukan satu serangan, Manusia Mayat Muka Kuning menahan.
"Biar jadi urusanku. Dalam dua gebrak mereka masih kuberi napas. Setelah itu, kita akan dapatkan apa yang kita inginkan."
Mendapati kata-kata orang tua muka kuning barusan, Wisnu maju satu tindak ke depan. Kini Nandari berada di belakangnya. Saat melangkah ke depan tadi Wisnu berbisik.
"Persiapkan pukulan 'Sinar Dewa'. Dan ingat pesanku tadi, bila tak menguntungkan, kau cepat tinggalkan tempat ini."
Seperti halnya tadi, Wisnu tak memberi kesempatan gadis itu untuk berkata-kata. Pemuda yang telah persiapkan pukulan 'Sinar Dewa' berkata dengan suara angker.
"Kalian terlalu memaksa kami yang muda untuk bertindak lancang. Jangan salahkan kami kalau...."
"Kurang ajar! Ingin kulihat apa bisa kalian!"
Potong Manusia Mayat Muka Kuning yang sudah menderu ke depan.
Tangan kanannya bergerak bagai menampar.
Wisnu yang sudah persiapkan diri, segera mencelat pula ke depan.
Pukulan 'Sinar Dewa' dilepaskan.
Memercik sinar terang agak kemerahan di tangannya.
Wuuuuss! Tak ada angin yang keluar.
Tak ada sentakan yang terlalu kuat saat pukulan itu dilepaskan.
Tetapi Manusia Mayat Muka Kuning bukan orang baru di rimba persilatan.
Meskipun tak merasakan getaran apa-apa, tetapi dia yakin kalau pemuda itu melepaskan pukulan dahsyat.
Mendadak saja dikibaskan tangan kirinya.
Wusss! Duaaaarrr! Memercik bunga api dari benturan itu.
Manusia Mayat Muka Kuning melompat ke belakang.
Tak meneruskan serangan, justru keningnya berkerut dengan tatapan tajam.
"Melihat pukulanmu barusan, aku yakin itu adalah jurus 'Sinar Dewa'. Jurus yang hanya dimiliki oleh manusia buntal dari Pesanggrahan Mestika. Ada hubungan apa kalian dengan manusia buntal bercangklong itu?!"
Merasa ada yang mengenal gurunya, Wisnu berkata tetap bersiaga.
"Orang tua muka kuning, rasanya tak perlu kujawab kalau kau bisa menebak siapa Dewa Bumi itu."
"Setan alas! Rupanya kalian murid-murid si manusia buntal! Bagus, akan kulumat tubuh kalian! Manusia buntal itulah yang paling lebar tawanya ketika aku dipecundangi oleh Bidadari Hati Kejam di Lembah Maut."
Habis kata-katanya, Manusia Mayat Muka Kuning menggebah.
Didahului angin bergemuruh dahsyat, kedua tangannya memancarkan sinar kuning yang pekat.
Wisnu lipat gandakan tenaga dalam dan mencelat dengan pukulan 'Sinar Dewa'.
Pyaaarr! Sinar kuning berbenturan dengan sinar terang.
Memercik ke angkasa.
Menyilaukan mata.
Dan....
Des! Kaki kiri Manusia Mayat Muka Kuning menghantam perut Wisnu.
Memang, Wisnu bukanlah tandingan Manusia Mayat Muka Kuning.
Saat benturan terjadi, orang tua muka kuning itu menunjukkan kelasnya dengan melancarkan tendangan keras.
Wisnu merasa dadanya bagai remuk.
Masih untung Nandari cepat bertindak menahan kekasihnya.
Bila tidak, tak ampun lagi Wisnu akan menabrak pohon di belakangnya.
"Menyingkir dari sini, Kang!"
Seru Nandari dan dengan cepat berkelebat ke arah Manusia Mayat Muka Kuning.
Pukulan 'Sinar Dewa' telah terangkum pula di tangannya.
Orang tua muka kuning cuma keluarkan dengusan pendek dan mencelat ke muka.
Apa yang dialami oleh Wisnu menimpa Nandari pula.
Malah gadis itu yang justru menabrak pohon dan terpental lagi ke depan satu tombak.
Dadanya keras menghantam tanah.
Darah segar mengalir dari mulutnya.
Membesi wajah Wisnu melihat kejadian yang menimpa gadis yang dicintainya.
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, pemuda itu bangkit ke arah Nandari.
"Bagaimana keadaanmu, Nandari?"
Nandari mengeluh tertahan. Lalu terbata dia berkata.
"Aku... aku tidak apa-apa."
"Nandari... kau segera menyingkir dari sini. Biar aku tahan manusia setan itu."
"Tidak."
Sahut Nandari dan memegang erat tangan Wisnu. Yang dipegang tangannya menarik napas pendek.
"Kalau kita akan mati di sini, kita harus bersama-sama, Kang. Kalau ingin lari, kita harus berdua."
"Sulit untuk melakukan apa yang dimaui Nandari. Mauku, biar kau yang selamat sementara aku mencoba menahan kedua manusia setan ini sekalipun nyawaku akan putus,"
Batin si pemuda resah. Lalu dengan suara agak bergetar karena luka dalamnya dia berkata lagi.
"Jangan pikirkan soal aku. Kau harus menyelamatkan dirimu, Nandari. Biar..."
"Manusia Mayat Muka Kuning... apakah kau tak ingin segera selesaikan keinginan kita?"
Suara perempuan bercadar menyelinap keras. Manusia Mayat Muka Kuning terkekeh-kekeh.
"Jahat betul hatimu, Dewi. Mengapa kau tak memberi kesempatan bagi mereka untuk berkasih-kasihan sebelum melayani keinginan kita, hah? Dasar perempuan kejam... he he he!"
Meskipun kata-kata orang tua muka kuning itu bermaksud mengejek Wisnu dan Nandari, namun wajah Dewi Kematian menekuk.
"Kurang ajar orang tua sialan ini. Enaknya dia bicara begitu."
"Pemuda dan gadis ayu... ayo, kita bersenang-senang,"
Kata Manusia Mayat Muka Kuning dan berkelebat ke depan mempersiapkan dua buah totokan sekaligus.
Wisnu berbalik dan siap hantamkan pukulan Sinar Dewa'.
Tetapi sebelum maksudnya dilakukan, mendadak berkelebat satu sosok tubuh memapaki totokan Manusia Mayat Muka Kuning! *** Bab Praaak! Praaakkk! Totokan Manusia Mayat Muka Kuning melenceng.
Dua buah sinar kuning mencelat dari jari telunjuknya.
Menghantam sebuah pohon yang langsung bolong.
Akibat benturan itu, orang tua muka kuning keluarkan makian keras sambil bersalto ke belakang.
"Orang iseng mana yang mau mampus?!"
Bentakannya menggelegar keras.
Ketika mata celongnya menangkap satu sosok tubuh yang berdiri tegak di hadapan Wisnu dan Nandari, matanya makin lebar terbuka.
Dewi Kematian pun tak luput dari keterkejutan.
Perempuan berbaju sutera yang terbuka di bagian dada membatin.
"Siapa nenek jelek ini? Melihat caranya memapaki totokan Manusia Mayat Muka Kuning jelas dia bukan orang kebanyakan. Totokan yang dilakukan orang tua jelek itu bukan totokan sembarangan. Siapa dia sebenarnya?"
Pendatang yang memupuskan maksud Manusia Mayat Muka Kuning tadi, berdiri tegak dengan kaki agak terpentang.
Wajahnya penuh keriput, tetapi alis dan bulu matanya hitam legam dan lentik.
Mengenakan baju loreng tetapi berwarna putih.
Di kedua pergelangan tangannya terdapat gelang warna putih yang berkilau.
Baju pakaian bawahnya, sebuah kain warna hitam pekat.
Rambut si nenek panjang tak beraturan.
Di lehernya terdapat sebuah kalung seperti taring tajam.
"Tak layak anak manusia perkasa punya maksud busuk pada anak manusia yang tak berdaya. Siapa pun akan menghalangi maksudnya. Karena, cara semacam itu adalah cara yang keji,"
Perempuan berbaju loreng putih itu berkata dengan suara tajam.
Sepasang matanya yang agak turun menatap tak berkedip pada Manusia Mayat Muka Kuning.
Lalu melirik tajam pada perempuan bercadar sutera yang sudah melangkah dan berdiri di sisi Manusia Mayat Muka Kuning.
"Keren betul kau bicara! Tetapi, sikapmu telah pancing kemarahan! Berarti, nyawa bayarannya!"
Seru Dewi Kematian dengan kedua tangan terkepal.
"Sekalipun nyawa taruhannya, aku minta pada kalian untuk menghentikan tindakan busuk ini. Lebih baik minggat sebelum urusan jadi panjang!"
Wisnu yang merasa diselamatkan oleh si nenek berbaju loreng putih itu, menarik napas panjang. Lalu bersama Nandari, dia mengatur napas dan kembali memperhatikan apa yang akan terjadi. Manusia Mayat Muka Kuning merandek tajam.
"Kau telah lancang campuri urusan! Sebutkan julukanmu sebelum mampus!"
Si nenek cuma sunggingkan senyum.
"Mungkin... julukanku tak terlalu dikenal di sini. Bahkan, aku tak tahu siapa kalian. Bila kalian memaksa, baiklah. Julukanku, Ratu Harimau Putih. Nah, tanya sudah kujawab. Lebih baik hentikan segala urusan."
"Ratu Harimau Putin... baru pertama kali ini kudengar julukan itu. Dari mana dia berasal?"
Batin Dewi Kematian. Sejurus kemudian dia membentak keras.
"Julukan yang lumayan! Aku ingin tahu, kemampuan apa yang kau miliki hingga lancang campuri urusan orang!"
"Aku telah berdiri di sini dan campuri urusan kalian. Bila kalian memaksa, terpaksa aku menerima salam 'perkenalan' kalian,"
Sahut si nenek yang berjuluk Ratu Harimau Putin.
Tanpa banyak ucap lagi, Dewi Kematian menggebrak ke depan.
Wuuutt! Wuuut! Dua sinar menghentak keluar dari kedua tangannya.
Dan mendadak sinar yang menderu itu pecah, memuncratkan bunga-bunga api yang membawa hawa panas dan mengeluarkan suara bergemuruh.
Di lain kejap, angin dahsyat menggebah menyusul.
Mendapati serangan ganas, Ratu Harimau Putih yang sudah memperhitungkan hal itu tak bertindak ayal.
Meski belum mengenal siapa dua orang di hadapannya, namun dia yakin kalau keduanya bukan orang sembarangan.
Terbukti dari serangan pertama yang dilakukan perempuan bercadar.
Seberkas sinar keperakan melesat keluar begitu si nenek menggerakkan tangannya.
Menyusul suara gerengan bak seekor harimau terluka.
Puluhan bunga api yang dilepaskan Dewi Kematian meletup terhantam sinar keperakan si nenek.
Dewi Kematian terkesiap dan keluarkan pekikan kaget, ketika si nenek tiba-tiba sudah mencelat dengan kedua tangan membentuk cakar.
Sukar bagi Dewi Kematian hindari serangan itu.
Cepat ditekuk kedua tangannya dan digebah ke depan.
Pyaaarrr! Sambaran cakar Ratu Harimau Putih tertahan gebahan Dewi Kematian.
Tetapi karena dilakukan secara mendadak, tenaga Dewi Kematian agak berkurang.
Akibat benturan itu tubuhnya terasa kesemutan dengan napas sesak.
Di lain kejap, tubuhnya terpental ke belakang.
Menghantam sebuah pohon yang langsung tumbang.
Di seberang, Ratu Harimau Putih hanya terjajar beberapa tindak ke belakang.
Namun paras si nenek yang berusia lanjut itu dan merupakan kakak seperguruan Dewi Karang Samudera langsung berubah.
Dirasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang.
Dadanya berdebar keras.
"Jelas perempuan bercadar itu bukan orang sembarangan. Pukulannya begitu dahsyat sekali,"
Batinnya. Sementara itu, Manusia Mayat Muka Kuning mengerutkan keningnya.
"Gila! Baru kali ini kulihat Dewi Kematian memiliki ilmu yang aneh dan hebat semacam itu. Padahal setahuku dia tak memiliki ilmu semacam itu. Ah, rupanya banyak yang masih dirahasiakannya kepadaku. Seperti wajahnya yang masih kelihatan muda meskipun dia tak jauh beda usianya denganku."
Wisnu dan Nandari yang tadi cepat beringsut ke belakang ketika terjadi benturan hebat, saling pandang. Kejap kemudian keduanya sudah berdiri tegak di samping si nenek. Wisnu berkata.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nek. Tetapi, biar urusan ini kami yang melanjutkan."
Ratu Harimau Putih tersenyum.
"Anak muda... urusan ini memang bukan urusanku. Tetapi, sepasang mata dan hatiku tak akan tenang bila melihat kejahatan semacam ini. Seperti yang dilakukan oleh adik seperguruanku. Dewi Karang Samudera yang kudengar telah membangkitkan Iblis Kubur dan memiliki Kitab Pemanggil Mayat."
Mendapati kata-kata si nenek, Wisnu berpandangan lagi dengan Nandari.
Ketika Wisnu hendak berkata, menghampar sinar kuning yang menyilaukan.
Ratu Harimau Putih langsung dorong tubuh muda-mudi di belakangnya.
Kejap lain, dia telah melompat ke muka.
Memapaki serangan yang dilancarkan oleh Manusia Mayat Muka Kuning.
Gelombang sinar keperakan menderu dahsyat.
Tanah, pohon, dan semak belukar di sekitar tempat itu bergetar.
Sebagian langsung tumbang menimbulkan suara berdebam.
Daun dan tanah berhamburan menutupi pandangan.
Kejap kemudian, terdengar suara dentuman keras saat dua pukulan mengandung tenaga dalam tinggi itu bertemu di udara.
Blaaarrr! Saat keadaan normal kembali, Manusia Mayat Muka Kuning telah terduduk tiga tombak dari tempat semula.
Nafasnya turun naik dengan dada sesak.
Detik lain, dia muntah darah.
Namun sepasang matanya makin terbuka lebar.
Kegeramannya makin tinggi saat merasakan kedua tangannya seperti patah.
Sementara itu, Ratu Harimau Putih terkapar lima tombak dari seberang.
Dadanya bergerak kencang.
Sekujur tubuhnya dirasakan linu dan kaku.
Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar.
Melihat keadaan si nenek, Wisnu dan Nandari yang tadi menyingkir segera memburu.
Sementara Nandari berusaha membangunkan si nenek, Wisnu bersiap dengan pukulan 'Sinar Dewa' pada kedua tangannya.
Detik kemudian, ketiga orang itu merasakan dengung tajam yang keras sekali menghantam telinga.
Wisnu melengak.
Nandari mengeluh tertahan.
Ratu Harimau Putih menggeliat dengan darah yang makin banyak keluar.
Berjarak empat tombak di hadapan mereka, Dewi Kematian telah lancarkan serangan anehnya yang sekaligus keji.
Ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'.
Sebuah ilmu langka yang bisa menyakitkan lawan pada alat pendengaran dan lama kelamaan bisa menyebabkan tewas.
Anehnya, tepukan yang dirasakan Wisnu, Nandari dan Ratu Harimau Putih itu tak dirasakan oleh Manusia Mayat Muka Kuning.
Itulah hebatnya ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'.
Tepukan dahsyat yang mematikan itu hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang dituju saja.
Saat kelojotan dengan darah makin banyak keluar dari mulut dan hidung, Ratu Harimau Putih keluarkan suara tertahan.
"Aku tahu... aku tahu siapa perempuan itu... 'Tepukan Cabut Sukma' hanya dimiliki oleh Dewi Kematian...."
Wisnu yang memekik keras itu mencoba menahan dahsyatnya suara tepukan yang dilakukan Dewi Kematian sambil tertawa-tawa. Kejap kemudian, pemuda berbaju putih itu berteriak keras.
"Nandari... menyingkir dari sini!"
Habis kata-katanya, dia menyambar tubuh Ratu Harimau Putih.
Tetapi laki-laki itu pun memekik tertahan dan jatuh ke tanah.
Nandari yang saat itu juga kelojotan keras, tak mampu menolong.
Tetapi, Wisnu memiliki ketabahan yang tinggi.
Dia bangkit kembali.
Tak menghiraukan kalau telinganya telah mengeluarkan darah, dia berlari sambil membopong tubuh Ratu Harimau Putih.
Dewi Kematian menggeram.
"Susul manusia-manusia keparat itu! Mereka sudah mau mampus terkena ilmuku ini!"
Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian siap bergerak, tetapi mendadak saja langkah mereka tertahan. Karena terdengar suara keras dan angin dahsyat dari angkasa.
"Koaaaakkkk!"
Seketika kedua orang itu mendongakkan kepala.
Ilmu 'Tepukan Cabut Sukma' si perempuan bercadar terhenti seketika.
Rupanya dia lebih tertarik pada teriakan membedah angkasa tadi.
Samar kedua orang itu melihat sebuah bayangan keemasan besar di angkasa.
Dewi Kematian lebih dulu tersadar.
"Bwana! Burung rajawali keemasan! Lagi-lagi burung keparat itu muncul tak diundang! Dan... oh! Apakah mataku tak salah lihat, kalau ada dua sosok tubuh di pungggung. burung besar itu?"
Manusia Mayat Muka Kuning mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau tak salah, Dewi. Mataku pun menangkap dua sosok tubuh itu. Siapa mereka?"
"Orang tua bodoh! Pertanyaan dungu yang kau ucapkan barusan! Mana ku tahu siapa kedua orang itu!"
"Bila mengingat ciri-ciri dari si Rajawali Emas, jelas keduanya bukanlah pendekar keparat itu. Dua orang di punggung burung rajawali raksasa itu mengenakan pakaian berwarna merah dan putih."
Dewi Kematian membenarkan kata-kata orang tua muka kuning. Lalu katanya.
"Kita susul burung sialan itu! Kalau memang di punggungnya bukan si Rajawali Emas, pasti dia sedang menuju pada tuannya. Paling tidak, dia bisa membawa kita pada Pendekar Rajawali Emas."
Manusia Mayat Muka Kuning menyentak.
"Bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Untuk saat ini, kita biarkan saja! Mereka toh tak akan mampu bertahan lama! Mereka telah luka parah, ditambah lagi akibat ilmuku tadi. Kalau tak ada yang menolong, mereka bisa mampus!"
"Tetapi... gadis itu...."
Dewi Kematian menoleh. Sepasang mata di balik cadar melotot tajam. Suaranya dingin, penuh tekanan.
"Orang tua sialan! Apakah kau sudah tak berselera lagi denganku, hah?"
Manusia Mayat Muka Kuning mendengus gusar.
"Tadi pun kau menginginkan pemuda itu!"
"Urusan sudah selesai! Aku yakin, tak lama kemudian orang-orang sialan itu pasti akan mampus! Terutama nenek jelek berbaju dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu!"
Manusia Mayat Muka Kuning melirik tajam. Lalu berkata dengan suara ditekan.
"Aku menuruti perintahmu!"
"Bagus kalau begitu! Kau susul mereka dan bunuh! Sementara aku akan mencari burung rajawali raksasa itu! Biar bagaimanapun juga, aku masih menghendaki Pedang Batu Bintang pada si Rajawali Emas! Dan perlu kau ingat, satu langkah kau berpindah dari tempat ini, kau tak akan mendapatkan lagi tubuhku!"
Mendapati ancaman yang tak mengenakan itu, Manusia Mayat Muka Kuning cuma mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu dengan manja dan bernafsu dia merangkul Dewi Kematian.
Kedua tangannya yang kurus dan hitam itu langsung meraba bagian tubuh Dewi Kematian.
"Sudah tentu aku lebih memilihmu, Dewi...."
"Orang tua sialan. Terpaksa aku harus berbuat seperti ini. Biar bagaimanapun, ilmunya masih kubutuhkan,"
Batin Dewi Kematian dan untuk beberapa saat dibiarkan saja apa yang dilakukan Manusia Mayat Muka Kuning. Tetapi ketika tangan kanan orang tua muka kuning itu siap menyelinap pada bagian pangkal pahanya, dia segera menepiskan.
"Kita masih punya banyak waktu. Lebih baik kita cari burung keemasan itu."
Manusia Mayat Muka Kuning menggerutu panjang pendek Wajahnya nampak makin bertambah kuning! Menyilaukan! *** Bab "Sialan! Ngomong sembarangan seperti itu! Mau kutampar mulutmu, hah?"
Bentakan itu terdengar keras dari sebuah tempat di tepi sebuah danau yang bening dan jernih. Menggebah tempat. Menerbangkan burung-burung yang hinggap di dahan dan membuat kelinci yang tadi keluar segera masuk kembali ke sarangnya.
"Jangan melotot seperti itu! Apakah kau pikir wajahmu lebih cakep dari setan belang, hah? Kau benar-benar ingin kuhajar rupanya!"
"Nenek berkonde jelek dan peot! Sembarangan bicara lagi, kau yang akan kuhajar!"
Satu bentakan lain pun terdengar keras. Menggugurkan dedaunan. Nenek berkonde yang mengenakan baju batik kusam dengan sebuah pengebut di selipkan pada angkin di pinggangnya melotot.
"Kurang ajar! Kau yang bicara sembarangan, hah? Apa kau pikir aku harus ucapkan terima kasih atas pengobatan mu barusan itu? Setan keparat! Tanpa kau tolong, aku masih bisa tandingi Iblis Kubur tahu! Dan masih bisa menyembuhkan luka akibat hajaran manusia iblis itu!"
Lelaki tua yang duduk di hadapan si nenek berkonde menggeram.
"Sontoloyo! Ucapanmu keren amat! Dasar perempuan tak tahu diuntung! Bukan maksudku untuk melihat dadamu yang peot itu tadi, hah? Tetapi, lukamu berada di sana! Kau bisa mampus kalau tidak segera kutolong!"
"Tetapi kau lancang memegang dadaku!"
"Dada tipis macam begitu, mana enak dipegang! Lebih enak memegang dada sapi daripada dadamu, Kunti!"
"Orang tua jelek! Kau harus kutampar akibat kelancanganmu itu!"
"Urusan tampar atau tidak urusan belakangan! Yang penting kau sudah ku sembuhkan! Setan! Melotot lagi! Aku tak butuh ucapan terima kasih sialan mu itu! Kalau kau sudah kuat, ayo kita tinggalkan tempat ini untuk mencari Dewi Karang Samudera yang memiliki Kitab Pemanggil Mayat!"
"Jangan pancing kemarahanku agar berhenti! Urusan Kitab Pemanggil Mayat yang tadi kau ceritakan pun aku akan merebutnya! Kitab celaka itu telah membangkitkan malapetaka besar di rimba persilatan ini! Tetapi kelancanganmu yang memegang dadaku tadi, harus kuhajar!"
Orang tua berwajah tirus memanjang dengan dilapisi kerut merut dan kulit yang amat tipis itu mendengus.
Sepasang matanya yang lebar dan terus menerus melotot lebih membuka menampakkan kegusaran.
Rambut orang tua itu putih panjang dikuncir ekor kuda.
Tak memiliki jenggot namun kumisnya putih panjang menjuntai melewati dagunya.
Mengenakan pakaian warna putih yang sudah sangat kusam sekali.
Celananya hitam setinggi lutut.
Dari ciri-cirinya jelas dia adalah si Manusia Pemarah.
Dan nenek berkonde yang mengenakan baju batik itu siapa lagi kalau bukan Bidadari Hati Kejam salah seorang guru dari Pendekar Rajawali Emas.
Apa yang terjadi barusan itu sebenarnya tak terlalu mengherankan.
Karena kedua orang tua itu memang memiliki sifat aneh yang keras.
Manusia Pemarah yang menyelamatkan Bidadari Hati Kejam dari kejaran maut yang dilepaskan Iblis Kubur, tadi bermaksud mengobati si nenek berkonde itu.
Setelah diperiksanya, ternyata luka yang membuat si nenek hampir kehabisan napas rupanya terletak di bagian dada.
Dia pun bermaksud menyembuhkannya.
Tetapi Bidadari Hati Kejam menolak dan marah-marah.
Justru si Manusia Pemarah yang lebih marah lagi.
Dia memaksa untuk mengobati si nenek yang sejak muda dan sampai berusia lanjut ini masih dicintainya.
Si nenek masih menolak dan mengatakan dia bisa mengobati dirinya sendiri.
Tetapi Manusia Pemarah tetap memaksa dengan mengatakan kalau dalam waktu sepenanakan nasi tak segera diobati nyawa si nenek akan putus.
Si nenek akhirnya setuju dengan syarat agar Manusia Pemarah jangan menyentuh 'benda antik' di dadanya.
Tetapi mengobati luka dalam di bagian dada itu sangat sulit bila tidak menyentuh 'benda antik' si nenek Mau tak mau tangan Manusia Pemarah pun menyentuhnya.
Wajah si nenek berkonde berubah.
Kegusaran melanda dan langsung keluar sumpah serapahnya.
Tetapi, orang tua yang berjuluk si Manusia Pemarah yang tak pernah tersenyum dan berkata lembut itu, lebih gila lagi marahnya.
"Urusan kau mau hajar aku atau tidak urusan belakangan! Lebih baik kita cari Dewi Karang Samudera!"
Kata si Manusia Pemarah menjawab perkataan Bidadari Hati Kejam. Saat berbicara, kedua matanya yang masuk ke dalam bagai hendak loncat keluar.
"Orang tua sialan! Rupanya kau mau alihkan keinginanku itu dengan mengatakan tentang Dewi Karang Samudera! Lancang mulut, lelaki tua jelek! Ayo, berdiri! Sinikan kepalamu biar kuhajar sampai pecah!"
Sentak Bidadari Hati Kejam.
"Sontoloyo! Bicara seenak udel mu saja! Kau nanti yang akan kuhajar!"
"Setan! Aku ingin tahu kehebatanmu!"
Bentak Bidadari Hati Kejam sambil berdiri dengan wajah mengkelap.
"Kau menantangku, hah? Boleh! Kau akan kulumat dalam lima jurus!"
Balas Manusia Pemarah sambil berdiri pula. Mengambil jarak dua tombak dari hadapan Bidadari Hati Kejam. Mementangkan kedua kaki dan menyatukan tangan di dada, bertanda siap untuk melakukan satu serangan. Si nenek berkonde tidak mau kalah.
"Kau akan menjadi mayat dalam tiga jurus!"
Sentaknya dengan suara lebih keras, membedah tempat dan memapas semak belukar.
"Nyawamu akan putus dalam dua jurus!"
"Keparat! Lancang kau bicara seperti itu, hah? Kau tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan! Tubuh peotmu itu akan...."
"Ku peluk dalam satu jurus!"
Kata-kata Bidadari Hati Kejam terpotong oleh satu suara yang diucapkan dengan nada geli.
Seketika dua orang tua yang saling bentak dan marah-marah itu mendongakkan kepala.
Kedua mata mereka melihat seorang pemuda sedang asyik duduk beruncang-uncang kaki di atas sebuah pohon.
Di bibir si pemuda itu terdapat sebatang rumput yang lagi dihisap-hisapnya.
"Bocah kebluk!"
Maki Bidadari Hati Kejam kemudian, setelah mengenali siapa pemuda yang lancang memotong kalimatnya tadi.
"Apa-apaan kau bicara, hah? Kau nanti yang akan kuhajar!"
"Kenapa marah-marah tak karuan sih, Guru?"
Balas si pemuda berbaju keemasan yang tak lain Tirta adanya.
Setelah bertarung dengan si Jubah Mambang dan Jubah Setan, Tirta meneruskan langkah mencari Iblis Kubur dan Dewi Karang Samudera.
Dan ketika dia tiba di tepi danau yang di sekitarnya ditumbuhi pepohohan itu, didengarnya suara orang marah-marah tak karuan.
Ketika dia mengintip, dilihatnya Bidadari Hati Kejam yang tak lain gurunya sedang bertengkar dengan Iblis Pemarah, guru dari Ayu Wulan.
Keisengan Tirta pun timbul.
Mempergunakan ilmu peringan tubuhnya, dia duduk di sebatang dahan pohon sambil memperhatikan kedua orang tua itu yang sedang berebut ucap.
Lalu dengan sikap makin tak acuh, dilanjutkan kata-katanya.
"Kalau kau marah-marah begitu, kebetulan seorang temanku sedang butuh seorang pemain ketoprak yang bisa marah-marah. Atau... bagaimana denganmu, Orang tua pemarah?"
Manusia Pemarah mendengus. Tangannya mengacung.
"Bocah sialan! Mengapa kau berada di sini, hah? Apakah kau sudah bertemu dengan muridku?"
"Wah... mana aku tahu di mana Ayu Wulan berada. Gadis itu bukannya bersamamu, Kek?"
"Sontoloyo! Kau telah bertindak pengecut, pemuda brengsek! Kau meninggalkannya begitu saja padahal aku ingin menjodohkan mu dengan muridku!"
Bentak Manusia Pemarah melotot.
"Mana bisa kau bilang aku pengecut? Kan semuanya memang belum kuterima atau kutolak!"
Bukannya menyahuti kata-kata si Rajawali Emas, si orang tua pemarah menoleh pada Bidadari Hati Kejam.
"Kunti... aku menginginkan murid brengsek mu itu berjodoh dengan muridku? Bagaimana? Kau setuju, bukan?"
Bidadari Hati Kejam mengerutkan keningnya mendapati pertanyaan orang.
Namun sedikit banyaknya dia bisa menduga kalau sebelumnya telah terjadi perjumpaan antara muridnya itu dengan si Manusia Pemarah.
Lalu terdengar pertanyaannya yang tetap bernada membentak.
"Apakah muridmu itu cantik?!"
"Jelas cantik!"
Sambar Manusia Pemarah cepat. Lalu disambung dengan nada sarat ejekan.
"Tidak seperti kau! Sudah peot, jelek, banyak omong lagi!"
"Setan! Tidak, aku tidak menyetujui perjodohan itu!"
"Sontoloyo! Kau berani menolak pinangan ku yang menginginkan muridku berjodoh dengan murid sontoloyo mu itu, hah?"
Geram Manusia Pemarah dengan mata melotot.
"Orang tua jelek yang pemarah, apakah kau pikir aku tega membiarkan muridmu yang cantik itu jadi jodoh muridku yang kebluk macam begitu, hah! Keenakan dia!"
Habis berseru begitu, Bidadari Hati Kejam mendongak dan membentak pada Tirta yang tertawa mendengar kata-katanya barusan.
"Bocah kebluk! Hentikan tawamu yang jelek itu! Pasti pantatmu jadi merah sekarang mendengar perjodohan ini?!"
Menyusul kata-katanya pada Manusia Pemarah.
"Rupanya kau sudah sinting hendak menjodohkan muridmu yang cantik itu dengan muridku yang rada gendeng!"
Tirta menyambar cepat masih diiringi tawa berderainya.
"Kau benar, Guru. Aku memang kurang pantas buat si Ayu Wulan. Dia sangat cantik, tetapi aku juga terlalu ganteng. Cuma saja... kau sangat pantas buat si orang tua pemarah itu!"
"Setan betul!"
Geram Bidadari Hati Kejam dengan wajah menekuk keras.
Lalu dikibaskan tangan kanannya ke arah Tirta.
Wrrrrr! Praaakkk! Dahan yang diduduki Tirta tadi pecah berantakan terhantam gelombang angin yang dilepaskan si nenek berkonde.
Bahkan dedaunan pohon itu rontok sebagian.
Sementara si Rajawali Emas sudah berdiri berjarak empat tombak di depan kedua orang tua aneh yang sama-sama keras kepala.
Rupanya, gerakannya lebih cepat dari hempasan tangan kanan si nenek berkonde.
"Heran...yang kukatakan ini kan baik, Guru. Ma-a' sih kau tidak mau dengan si Manusia Pemarah yang ganteng, lembut, baik hati, tutur katanya sopan, penuh romantis, suka menolong, ringan tangan, cerdas dan...."
"Kurang ajar kau!"
Potong Bidadari Hati Kejam sewot, sementara Manusia Pemarah cuma keluarkan dengusan.
Kendati demikian, lelaki berkuncir itu suka sekali mendengar kata-kata Tirta.
Karena pada dasarnya, dia memang mencintai Bidadari Hati Kejam sejak masih muda.
Mungkin karena keduanya punya sifat keras kepala dan suka marah-marah, jadinya sulit membina hubungan satu sama lain.
"Jangan gusar begitu, Guru. Aku yakin, Guru suka mendengar lakon picisan macam begini,"
Kata Tirta lagi, tak peduli wajah Bidadari Hati Kejam sudah mengkelap. Tetapi ketika dilihatnya gurunya itu hendak mengibaskan tangan kembali, buru-buru dia berkata.
"Sudahlah, Guru. Urusan kau mau atau tidak pada kakek itu urusan belakangan. Pokoknya...."
"Sontoloyo!"
Potong Manusia Pemarah keras.
"Kalimat itu adalah kalimat kesukaan ku!"
Tirta tertawa terbahak-bahak Apa yang barusan dikatakannya itu memang bermaksud mengejek si Manusia Pemarah yang kerap kali segala sesuatunya dibilang urusan belakangan.
Setelah tawanya sirna sementara sepasang mata kelabu si Manusia Pemarah masih melotot, si Rajawali Emas berkata.
"Guru... di mana Iblis Kubur berada? Bukankah kau memancing dia untuk menjauh saat aku menolong murid Dewi Bumi itu?"
"Aku tidak tahu di mana manusia iblis itu berada saat ini. Kalau tidak ada orang tua jelek ini, nyawaku bisa merat dari badan. Apakah kau sudah bertemu dengan Raja Lihai Langit Bumi?"
Tanya Bidadari Hati Kejam.
"Belum. Entah di mana Guru berada."
"Dia yang mengabarkan tentang akan bangkitnya Iblis Kubur. Pasti dia tahu kelemahannya. Tetapi manusia jelek ini sudah mengatakan kepadaku, kalau semua ini karena ulah Dewi Karang Samudera."
"Sontoloyo!"
Sambar Manusia Pemarah.
"Sejak tadi kau selalu bilang aku ini jelek apa kau tidak jelek hah?"
"Urusan jelek atau tidak urusan belakangan,"
Kata Tirta memotong makian yang akan dilontarkan Bidadari Hati Kejam. Lalu tak mempedulikan pelototan Manusia Pemarah, yang lagi-lagi merasa kalimat kesayangannya diambil oleh si Rajawali Emas, dilanjutkan kata-katanya.
"Kalau begitu, yang kita cari memang Dewi Karang Samudera, Guru! Apakah kau belum bisa menemukan di mana Eyang Sampurno Pamungkas berada?"
Manusia Pemarah mendumal jengkel.
"Muridmu ini ternyata manusia lancang yang kurang ajar! Begitu enaknya dia lontarkan pertanyaan kebluk macam begitu!"
Katanya pada Bidadari Hati Kejam yang justru melotot.
"Jangan banyak omong! Kalau kau tahu, segera jawab! Kalau tidak tahu, tidak usah pamer kemarahan!"
"Perempuan jelek berkonde!"
Gerutu Manusia Pemarah sengit. Lalu mengalihkan pandangan pada Tirta yang hanya tersenyum-senyum.
"Terus terang, aku tidak bisa menduga, menebak atau menjawab secara pasti di mana Ki Sampurno Pamungkas berada. Beliau bisa datang dan pergi semacam angin, tak diketahui di mana rimbanya. Seperti si Malaikat Dewa. Keduanya adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi yang hanya bisa ditandingi oleh segelintir orang saja. Tetapi, bila kau bertanya seperti itu, hanya satu yang bisa kujawab, meskipun rasanya hanya bayangan belaka. Beliau... mungkin berada di Gunung Siguntang."
"Gunung Siguntang?"
Ulang Tirta dengan kening dikernyitkan.
"Di manakah gunung itu berada, Kek?"
Bukannya menjawab, Manusia Pemarah justru membentak.
"Diberi jawab rupanya keenakan! Sontoloyo! Kunti! Kau rupanya tak pernah ajar adat pada muridmu ini, ya?"
"Setan tua pemarah! Kalau kau ingin memarahinya silakan, tidak usah membawa-bawa aku!"
Tirta yang merasa memang tak perlu terlalu lama berada di sini, segera berkata.
"Ya, sudah! Aku akan segera meninggalkan tempat ini, kok! Silakan kalian teruskan lagi pacarannya! Dan... kalian tidak usah berpura-pura segala pakai membentak-bentak seperti itu, padahal hati kalian sebenarnya ser-seran!"
Habis kata-katanya, diiringi tawanya yang keras, si Rajawali Emas berkelebat. Dalam tempo sekejap mata, sosoknya sudah tidak nampak Padahal saat itu Bidadari Hati Kejam sudah siap memaki. Sebagai pelampiasannya justru dia membentak Manusia Pemarah.
"Kau pasti senang mendengar kata-kata si bocah kebluk itu, hah?"
"Sontoloyo! Jangan-jangan, malah kau yang senang!"
Balas Manusia Pemarah. Lalu dia bersungut-sungut.
"Dasar perempuan! Biasanya cuma marah-marah untuk menyembunyikan perasaan senangnya!"
"Brengsek!"
Bidadari Hati Kejam melayangkan tangan kanannya. Wussss! Manusia Pemarah melengak, menghindar dan memaki.
"Kurang ajar! Kau keterlaluan, Kunti!"
Bidadari Hati Kejam tak peduli kata-kata orang. Dia mencecar terus Manusia Pemarah yang jadi jengkel dan mulai membalas. Dalam tempo dua gebrakan saja, tempat itu jadi porak-poranda. Bahkan air danau yang tenang bergerak bagai gelombang di lautan.
"Sudah, sudah!"
Seru Manusia Pemarah kemudian sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Urusan kau senang atau tidak dengan kata-kata pemuda tadi, itu urusan belakangan. Yang penting sekarang, kita harus cari Dewi Karang Samudera?"
Sepasang mata Bidadari Hati Kejam melotot.
"Kita? Setan tua pemarah! Jangan mencoba mengambil keuntungan dari pertolonganmu tadi, hah? Kalau kau ingin pergi, silakan pergi!"
"Kau sendiri bagaimana?"
"Itu urusanku!"
"Baik! Aku akan pergi sekarang!"
Hardik Manusia Pemarah keras. Lalu dengan gaya angkuh ditinggalkannya Bidadari Hati Kejam yang merengut. Sepeninggal Manusia Pemarah, Bidadari Hati Kejam bergumam dengan suara mendengus.
"Dasar lelaki tua kapiran! Dipikirnya aku senang mendengar kata-kata si bocah kebluk tadi? Memang kurang ajar bocah kebluk itu! Enak-enakan dia ngomong kurang ajar seperti tadi! Heran, kenapa aku mau menurunkan ilmu pengebut ku kepadanya, ya? Dan lebih heran lagi kalau dulu pertama kali bertemu dengannya aku begitu menginginkan dia menjadi muridku! Dasar dunia sudah edan! Tetapi... apakah aku benar-benar tidak suka dengan kata-kata murid kebluk itu? Padahal aku... ah, kalau saja semuanya ini beres, mungkin aku akan menjadi pendamping manusia jelek itu. Biar bagaimanapun, sebenarnya... aku mencintainya...."
Si nenek terdiam dengan wajah bimbang. Tetapi detik kemudian, dia sudah bersungut-sungut.
"Sialan! Kenapa aku jadi memikirkan kata-kata si murid kebluk itu! Kalau dia mendengar bisa habis aku diejeknya! Lebih baik kuteruskan perjalanan mencari Iblis kubur dan Dewi Karang Samudera!"
Memutuskan sampai di situ, si nenek berkonde berkelebat cepat ke arah barat. Dan tanpa sepengetahuannya, sepasang kuping tua bergetar mendengar kata-kata si nenek berkonde tadi.
"Kunti... benarkah apa yang kau katakan tadi? Apakah kau memang mencintai ku seperti aku mencintaimu?"
Orang yang mencuri dengar gumaman Bidadari Hati Kejam menarik napas pendek. Detik kemudian dia sudah marah-marah.
"Dasar perempuan! Selalu suka berpura-pura! Keparat jelek! Nenek peot berkonde! Kau membohongi dirimu sendiri!"
Habis memaki begitu, orang yang mencuri dengar dan tak lain si Manusia Pemarah, keluar dari balik gerumbulan semak Rupanya tadi dia tidak benar-benar meninggalkan Bidadari Hati Kejam. Kini dia berdiri dengan kening berkerut.
"Sontoloyo! Memang rasa sukaku padanya semakin membesar! Keparat betul! Sebaiknya, kuikuti saja ke mana dia!"
Lalu, orang tua dengan rambut dikuncir itu pun menyusul ke mana Bidadari Hati Kejam berkelebat tadi *** Bab Titik-titik embun masih menggenang di dedaunan.
Sinar surya mulai merambah persada.
Langit cerah tanpa timbunan awan.
Satu sosok tubuh berbaju keemasan bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain.
Dan berhenti di sebuah ladang yang dipenuhi dengan bunga-bunga.
Tempat itu dikenal dengan nama Ladang Ribuan Bunga.
Si pemuda yang tak lain si Rajawali Emas adanya, memandang ke seantero tempat "Tempat yang sangat indah.
Ditumbuhi bunga liar yang seperti terawat.
Ingin rasanya aku berlama-lama di tempat ini.
Tetapi sayangnya, aku harus meneruskan langkah.
Sialan betul! Ke mana aku harus mencari jejak Iblis Kubur atau Dewi Karang Samudera? Guru tidak tahu di mana Iblis Kubur berada.
Manusia Pemarah pun tidak tahu di mana Dewi Karang Samudera berada.
Manusia-manusia berhati mulia meskipun keduanya bersikap kejam dan pemarah.
Apakah tidak sebaiknya ku jajaki saja Gunung Siguntang, di mana menurut Manusia Pemarah, meskipun kecil kepastiannya, Manusia Agung Setengah Dewa alias Eyang Sampurno Pamungkas berada? Bukankah selain petunjuk dari Kitab Pemanggil Mayat, Eyang Sampurno Pamungkas telah berhasil mengalahkan Iblis Kubur? Apakah...."
Tas! Tak ada angin yang menderu mencurigakan, tak ada bayangan yang aneh, mendadak saja tubuh si pemuda meregang kaku. Detik kemudian, tubuhnya jatuh berlutut.
"Gila! Mengapa aku jadi bersikap seperti ini? Aneh! Padahal tak ada angin tak ada hujan. Lebih aneh lagi kalau tubuhku tidak bisa digerakkan. Siapa yang melakukan totokan sialan seperti ini?"
Batin Tirta dengan wajah geram. Segera dialirkan tenaga surya yang mengalir dalam tubuhnya, faedah dari Rumput Selaksa Surya yang dihisapnya secara tak sengaja.
"Sinting! Mengapa tubuhku masih terasa kaku? lebih sinting lagi, aku sukar menentukan di mana letak totokan ini. Keparat betul! Siapa orang yang lancang melakukan seperti ini? Tetapi, siapa pun dia adanya, jelas dia bukan orang sembarangan. Karena, aku tak mengetahui datangnya totokan ini. Dan yang ku rasakan, tubuhku tahu-tahu sudah berlutut dalam keadaan tertotok seperti ini."
Selagi si pemuda dibuat kalang-kabut oleh totokan aneh yang mendadak. itu, tiba-tiba terdengar suara seperti sayup-sayup, dibawa angin, namun sangat jelas di telinganya.
"Pemuda berbaju emas dan berajah burung rajawali keemasan di kedua lengan, aku yakin kau adalah orang pilihan dari Bwana. Burung rajawali kesayangan si Malaikat Dewa. Dan aku tahu saat ini kau mengemban tugas yang berat Mencari Iblis Kubur sekaligus menghentikan sepak terjangnya."
Tirta mengerutkan kening mendapati suara itu. Dia berusaha menebak dari mana asalnya.
"Aneh, suaranya bergetar seperti diseret angin, tetapi jelas di telingaku. Siapa dia? Dan orang yang bersuara itu tahu kalau aku adalah...."
Tirta memutuskan kata-kata hatinya itu, lalu berseru.
"Orang di balik angin! Apa yang kau katakan itu benar! Namaku Tirta! Aku datang dari Gunung Rajawali. Dan Bwana adalah sahabatku. Tetapi, apakah kau patut melakukan tindakan seperti ini?"
"Aku bukan sedang menguji, bukan pula sedang pamer ilmu! Yang kulakukan hanya sebuah gambaran kecil, kalau yang akan kau hadapi bukanlah tandingan mu."
Terdengar lagi suara yang sangat jelas di telinga Tirta tetapi sangat sulit ditentukan dari mana asalnya.
Karena terkadang berpindah, terkadang seperti diseret angin dan terkadang bagai ada di hadapannya.
Namun semuanya, sangat jelas di telinga si pemuda.
Tirta makin mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu?"
"Iblis Kubur adalah manusia sesat berilmu tinggi. Selagi dia masih hidup, sulit untuk mengalahkannya. Apalagi setelah mati dia dibangkitkan kembali, akan semakin sulit. Karena manusia itu tak akan merasa sakit akibat serangan sakti sekalipun."
"Siapa orang ini? Selain tahu siapa aku, juga tahu kalau aku sedang melacak jejak Iblis Kubur. Dari kata-katanya itu, aku bisa menangkap orang di balik angin ini tahu banyak tentang Iblis Kubur. Jangan-jangan...."
Kembali Tirta memutuskan kata-kata hatinya dan berseru.
"Orang di balik angin... siapa pun kau adanya, tentunya kau tahu bagaimana cara menaklukkan Iblis Kubur!" .
"Yang kau katakan itu benar, Anakku Tirta. Aku memang pernah mengalahkan Iblis Kubur. Ku coba pula membuatnya agar dia insyaf. Tetapi, usahaku nampak sia-sia."
"Kalau kau memang pernah, katakan bagaimana cara menaklukkannya?"
"Seperti yang kukatakan tadi, sangat sulit mengalahkannya. Kau hanya bisa mengalahkannya dengan petunjuk dari Kitab Pemanggil Mayat yang kini berada di tangan Dewi Karang Samudera. Kau harus mendapatkan kitab itu. Perlu kau ketahui, Anakku. Perempuan berjuluk Dewi Karang Samudera itu memiliki satu ilmu dahsyat yang bernama 'Pengendali Mata'. Seluruh kepandaian yang dimiliki oleh lawannya atau orang yang dikehendakinya dapat dicuri dengan ilmu itu."
"Hebat! Apakah dia bisa mencuri kentut ku?"
Balas Tirta jengkel karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Terdengar tawa yang sangat keras sekali, membuat tubuh Tirta bergetar.
"Kau tak jauh berbeda sepertiku ketika aku masih muda, Anakku. Baiklah, kukatakan kepadamu bagaimana cara mengalahkan ilmu 'Pengendali Mata'. Pertama, bila kau bertemu dan bertarung dengan Dewi Karang Samudera, janganlah mempergunakan tenaga dalam. Karena, setiap kali kau mempergunakan tenaga dalammu, berarti kau sudah kalah satu langkah. Kedua, berusahalah menyerang kedua matanya...."
"Bagaimana aku bisa menyerang bila tak kupergunakan tenaga dalamku?"
"Untuk kalahkan ilmu 'Pengendali Mata', tenaga luar lebih bermanfaat. Tetapi, yang harus kau tuju adalah mata bagian kiri. Di situlah letak ilmu Pengendali Mata' yang dimilikinya. Ketiga, jangan sekali-sekali menggunakan senjata apa pun juga. Karena senjata sakti macam apa pun, tak akan mampu menembus mata kiri Dewi Karang Samudera. Kulihat di punggungmu ada sebuah pedang. Dari cirinya aku tahu pedang itu berasal dari Batu Bintang. Mungkin, pedangmu bisa membabat seluruh bagian tubuh Dewi Karang Samudera. Tetapi mata kirinya tidak."
"Lho... bila sudah ku babat tubuhnya, apa gunanya lagi membabat matanya?"
Seru Tirta bingung.
"Pertanyaan bagus menandakan kau memiliki otak yang cerdik. Perlu kau ketahui, meskipun tubuhnya sudah kau cacah, kau tak akan bisa mencabut nyawanya."
"Aneh! Ilmu apa itu? Baru kali ini kuketahui ada ilmu yang sedemikian aneh,"
Batin Tirta makin bingung.
"Orang di balik angin... aku masih bingung dengan penjelasan mu."
"Bisa kupahami soal itu. Karena, dengan kekuatan ilmu 'Pengendali Mata' dia akan bisa menyambung tubuhnya kembali yang putus."
"Gila!"
"Pernahkah kau mendengar sebuah ilmu yang disebut ajian 'Rawa Rontek'?"
"Ilmu apa itu?"
"Ada sebuah kabar angin yang mengerikan tentang seorang pendekar yang disebut Ki Rawe Rontek. Ilmu yang dimilikinya sangat dahsyat. Tak seorang pun yang bisa menghentikan sepak terjangnya. Bahkan, setiap kali anggota tubuhnya putus, maka akan menyambung kembali. Semua dikarenakan, bagian tubuhnya masih bersentuhan dengan tanah. Hampir sama dengan ilmu 'Pengendali Mata'. Karena kekuatan mata kiri si pemilik ilmu 'Pengendali Mata' hampir sama dengan ilmu 'Rawe Rontek. Kau paham maksudku?"
"Ya. Aku bisa memahaminya. Ilmu itu jelas sebuah ilmu yang sangat mengerikan. Tetapi, apakah aku akan kau biarkan terus menerus berlutut tanpa bisa ku gerakkan tubuhku ini, hah?!"
Teriak Tirta. Entah bagaimana mulanya, belum habis kata-kata Tirta, tubuhnya sudah bisa digerakkan! "Luar biasa. Aku makin yakin siapa orang di balik angin ini,"
Batin si pemuda dan tiba-tiba dia bersujud. Kepalanya lekat menempel pada bumi. Selekat rasa hormatnya yang sangat dalam.
"Eyang Sampurno Pamungkas... terimalah sembah sujud ku ini.... Semoga kau berkenan menerimanya."
Menyusul sikap Tina itu, satu suara terdengar renyah.
"Ha ha ha... kau memang cerdik, Tirta. Tidak sia-sia Bwana memilihmu sebagai majikannya. Dan aku yakin, Mahisa Agni sangat menyukaimu."
Masih bersujud Tirta berkata.
"Terima kasih atas petunjukmu, Eyang. Bila sudah kulakukan semua ini, apa yang akan kulakukan terhadap Kitab Pemanggil Mayat?"
"Terus terang, selama ini aku belum pernah membaca kitab itu. Tetapi aku yakin, di dalamnya ada petunjuk untuk hentikan sepak terjang Iblis Kubur."
"Manusia sesat itu tengah mencarimu, Eyang. Mengapa kau tidak turun tangan?"
"Aku sudah terlalu tua untuk muncul kembali ke rimba persilatan Aku juga yakin, Mahisa Agni tak akan muncul pula. Di samping itu, aku merasa beruntung bertemu denganmu, Tirta. Di pundakmulah semuanya teremban. Sekarang, berdirilah. Tak seharusnya kau melakukan sembah semacam itu. Karena, ada yang lebih patut kita sembah. Yang Maha Agung, Mana Kuasa dan Maha Esa."
Perlahan-lahan si Rajawali Emas berdiri.
"Terima kasih atas petunjukmu itu, Eyang. Akan ku coba melaksanakan semuanya. Permintaanku terakhir, aku ingin sekali melihatmu. Bolehkah aku...."
"Belum saatnya, Anakku. Tetapi bila kau ingin mengetahui siapa aku, pergilah ke Gunung Siguntang yang berdiri tegak berjarak ratusan tombak di belakangmu. Karena menurut perasaanku, Iblis Kubur telah menemukan jejak di mana aku berada."
Tanpa sadar, Tirta menoleh ke belakang.
Dilihatnya gunung yang dimaksudkan oleh Ki Sampurno Pamungkas.
Tirta memperkirakan, jaraknya sekarang dengan Gunung Siguntang mencapai ratusan tombak.
Dan sungguh luar biasa, Manusia Agung Setengah Dewa yang sedang bercakap-cakap dengannya ini.
Karena, jelas-jelas dia berada di Gunung Siguntang tetapi suaranya sudah nyata terdengar di telinga Tirta.
"Aku begitu penasaran sekali ingin berjumpa dengan Manusia Agung Setengah Dewa ini,"
Batin Tirta sambil menarik napas pendek.
"Anakku... tak perlu kau persoalkan apakah keinginanmu akan tercapai atau tidak untuk bertemu denganku. Terus terang, aku juga ingin bertatap muka denganmu, meskipun aku sudah melihat wujud, sikap dan tutur katamu yang terkadang rada-rada miring."
Tirta tersenyum kecut.
"Kau membuatku malu, Eyang."
"Lupakan soal itu. Sekarang, berjalanlah ke arah barat. Karena, ada seseorang yang membutuhkan pertolonganmu."
"Siapakah orang itu, Eyang?"
"Kau bisa menemukannya, Anakku."
"Baiklah, Eyang. Aku akan menuruti semua perintahmu. Tetapi, aku... Eyang! Eyang!"
Tak ada suara merambat bagai angin tadi. Tirta cepat berdiri. Berteriak "Eyang! Tunggu! Jangan hentikan percakapan ini!"
Tak ada sahutan apa-apa kecuali desir angin yang cukup dingin. Tirta menarik napas pendek setelah sadar kalau orang di balik angin yang memang adalah Ki Sampurno Pamungkas sudah tak berbicara lagi. Perlahan-lahan Tirta bergumam.
"Ah, dua orang yang masih menjadi teka-teki hidupku. Pertama, Eyang Guru Mahisa Agni. Kedua Eyang Sampurno Pamungkas yang berjuluk Manusia Agung Setengah Dewa. Entah kapan aku bisa berjumpa dengan mereka, meskipun rasa penasaran telah mencelat keluar. Kembali si Rajawali Emas mengedarkan pandangan. Lalu segera berkelebat mengikuti petunjuk orang di balik angin. *** Bab Ratu Harimau Putih yang dibawa lari dan kini diletakkan di atas rumput sebuah lembah yang berjarak ratusan tombak dari Ladang Ribuan Bunga oleh Nandari dan Wisnu keadaannya makin bertambah parah. Nenek berbaju dari kulit harimau namun berwarna putih itu berkali-kali terbatuk. Dan setiap kali terbatuk selalu mengeluarkan darah. Suaranya semakin lama bertambah melemah. Dengan penuh kecemasan, Nandari menatap Wisnu yang sudah berusaha mengobati Ratu Harimau Putih tetapi gagal.
"Apa yang harus kita lakukan, Kang?"
Tanyanya pelan. Wisnu menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu lagi. Segala usaha sudah kulakukan, tetapi tak membawa hasil yang bagus. Keadaan Ratu Harimau Putih lebih parah dari kita. Pertama dia sudah terkena hajaran Manusia Mayat Muka Kuning. Kedua, ia tergempur ilmu 'Tepukan Cabut Sukma' Dewi Kematian. Kita masih beruntung bisa hentikan rasa sakit di telinga yang menggetarkan seluruh urat darah. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan lagi, Nandari."
Sebelum Nandari menyahut, Ratu Harimau Putih bersuara lemah.
"Kalian... tak perlu memikirkan aku. Mungkin, takdir ku sudah sampai di sini. Bila memang ajal tiba, dengarlah pesanku ini... huk-huk-huk."
"Kau jangan banyak bicara dulu, Nek. Kondisi mu akan makin melemah,"
Kata Nandari sambil mengusap keringat di kening Ratu Harimau Putih. Meski samar, masih jelas senyuman bertengger di bibir si nenek.
"Kalian adalah muda-mudi yang baik. Aku, beruntung bisa mengenal kalian. Sekarang dengar baik-baik. Aku datang dari Pulau Roti, pulau yang jauh dari tanah Jawa ini. Kedatanganku ke sini, untuk mencari adik seperguruanku yang berhati sesat dan berjuluk Dewi Karang Samudera. Dia telah membangkitkan manusia sesat berjuluk Iblis Kubur dengan bantuan petunjuk dari Kitab Pemanggil Mayat. Tiga muridku sudah kukirim lebih dulu ke tanah Jawa dan sampai sekarang aku belum berjumpa dengan mereka. Bila kalian berjumpa dengan ketiga muridku yang ku juluki Tiga Pengiring Ratu, sampaikan salamku pada mereka. Dan satu hal lagi, rebutlah Kitab Pemanggil Mayat dari Dewi Karang Samudera. Karena...."
Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian