Hilangnya Seorang Pendekar 2
Putri Bong Mini Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 2
"Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Giwang. Baru kali ini aku melihat perempuan-perempuan cantik se-perti ini. Benar-benar mengundang gairah semangat-ku!"
Kidarga kembali tertawa terbahak. Lalu panda-ngannya beralih pada Yang Seng.
"Inikah Ketua Partai Persatuan Ular Hitam yang kamu maksudkan itu?"
Tanyanya kepada pemimpin pasukan yang bernama Giwang.
"Benar, Guru. Dia mempunyai kepandaian silat yang dapat diandalkan untuk membantu cita-cita Per-guruan Topeng Hitam!"
Sahut Giwang, menjelaskan tentang kepandaian silat yang dimiliki Yang Seng.
"Ya, ya. Aku telah membaca kepandaiannya dari si-nar matanya!"
Kata Kidarga. Ditatapnya mata Yang Seng dengan tajam, tepat pada manik-maniknya.
"Kau bersedia mengabdi dan mematuhi segala pe-rintah dan peraturanku?"
Tanya Kidarga dengan suara berat dan serak.
"Peraturan apa pun yang ada di perguruan ini, saya bersedia menerima dan melakukannya, Guru!"
Sahut Yang Seng dengan hormat. Kidarga kembali tertawa terbahak. Bukan saja gem-bira pada jawaban Yang Seng yang spontan, tetapi juga gembira karena Yang Seng langsung memanggilnya dengan sebutan guru.
"Nah, sekarang, masuklah kalian ke dalam dan amankan perempuan-perempuan itu ke kamarku!"
Pe-rintah Kidarga kepada anak buahnya. Mendapat perintah itu, serentak anak buahnya ma-suk ke dalam dengan membawa ke sepuluh wanita menuju kamar khusus.
"Giwang!"
Panggil Kidarga ketika Giwang hendak masuk ke dalam. Giwang menghentikan langkah, lalu berbalik ke arah Kidarga.
"Besok pagi carilah wanita muda untukku!"
Perin-tah Kidarga.
"Bukankah Guru telah memerintahkan si gendut dan dua orang temannya serta enam orang yang me-nyusul mereka?"
Tanya Giwang.
"Memang aku telah menyuruh muridku yang lain. Tapi si gendut dan dua orang temannya telah mati di tangan Nyi Genit. Sedangkan enam orang lainnya entah pergi ke mana. Mungkin mereka pun sudah pada mampus!"
Kilah Kidarga dengan suara yang amat ge-ram.
"Baiklah, Guru. Kalau begitu besok saya akan men-carinya!"
Kata Giwang menyetujui.
Setelah itu, keduanya melangkah masuk ke dalam goa.
*** Dengan dikalahkannya Partai Persatuan Ular Hitam dan bergabungnya Yang Seng bersama beberapa anak buahnya pada Perguruan Topeng Hitam, membuat orang-orang Perguruan Topeng Hitam bertambah se-mena-mena.
Setiap hari orang-orang dari perguruan itu berkeliaran ke kampung-kampung.
Di sana mereka merampas harta penduduk, terutama anak-anak mu-da.
Penduduk yang tadinya tak pernah kenal minuman keras atau berjudi, kini sudah mulai dibuai ayunan kenikmatannya.
Bagi mereka yang tetap bertahan, ti-dak mau mengikuti jejak Perguruan Topeng Hitam, orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak segan-segan melakukan pembunuhan di tempat.
Membuat semua orang ngeri melihatnya.
Selain merampas harta penduduk dan menyebar-kan segala macam perbuatan maksiat, orang-orang Perguruan Topeng Hitam pun melakukan penculikan terhadap kaum wanita.
Bukan saja yang masih terbi-lang perawan, wanita yang sudah bersuami pun mere-ka culik.
Malah tidak segan-segan mereka memperkosa kaum istri di hadapan suaminya.
Kalau suami itu membangkang, tak mau melihat istrinya yang sedang diperkosa, maka orang-orang Perguruan Topeng Hitam akan melakukan penganiayaan terhadapnya.
Mau ti-dak mau sang Suami menyaksikan bagaimana istrinya menderita, melayani nafsu setan beberapa lelaki dari Perguruan Topeng Hitam dengan hati teriris tanpa daya.
Begitulah sepak-terjang orang-orang Perguruan To-peng Hitam.
Kebejatan moral yang menguasai diri orang-orang Perguruan Topeng Hitam, disebarkan pa-da kalangan penduduk, terutama kepada para rema-janya.
Ini membuat Yang Seng semakin senang berga-bung dengan mereka.
Karena memang itu yang sebe-narnya ia inginkan.
Keresahan akibat sepak-terjang orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam tidak saja dirasakan oleh masyarakat kelas bawah yang tidak berdaya, tetapi juga terasa oleh orang-orang perguruan yang beraliran putih.
Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebab selain jumlah mereka sangat banyak, ada pula orang-orang dari aliran putih yang masuk ke Perguruan Topeng Hitam karena tergiur oleh kenikmatan semu.
Berjudi, mabuk, dan perempuan.
Apa yang dirasakan oleh rakyat dan tokoh-tokoh aliran putih, juga dirasakan oleh Bongkap dan Prabu Jalatunda.
Kini mereka berdua sedang bercakap-cakap, ditemani oleh Bong Mini dan Ningrum, istri Prabu Jalatunda.
Mereka memperbincangkan sepak-terjang orang-orang Perguruan Topeng Hitam "Apa yang harus kita perbuat untuk menghentikan sepak-terjang orang-orang Perguruan Topeng Hitam, Bongkap?"
Tanya Prabu Jalatunda dengan sikap penuh persahabatan.
Mereka duduk melingkar menghadap meja makan yang tersedia bermacam buah-buahan, sebagai makanan selingan di saat mereka beristirahat.
Bongkap yang mendapat julukan Singa Perang ter-diam beberapa saat.
Keningnya berkerut karena berpikir untuk mencari jalan terbaik yang harus mereka lakukan untuk menghentikan kebrutalan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau kita membiarkan sepak-terjang mereka terla-lu lama, khawatir seluruh kampung di negeri ini menjadi tempat maksiat,"
Tambah Prabu Jalatunda lagi dengan wajah yang menampakkan kemurungan.
"Aku pun berpikir begitu, Prabu,"
Sahut Bongkap dengan suara lemah tapi tetap mengandung wibawa.
"Untuk menumpas kejahatan mereka, kita harus ber-pikir masak-masak. Mereka bukan orang-orang sem-barangan. Terutama gurunya,"
Lanjut Bongkap penuh pertimbangan.
"Ya, dua guru mereka merupakan tokoh sakti bera-liran hitam yang tidak bisa dilawan oleh orang berilmu tanggung,"
Balas Prabu Jalatunda.
"Itulah kesesatan yang diyakini!"
Sahut Bongkap.
"Maksudmu?"
Tanya Prabu Jalatunda.
"Sebuah ilmu sesat yang kalau kita yakini akan menjadikan kekuatan yang luar biasa,"
Jelas Bongkap. Prabu Jalatunda mengangguk-angguk mengerti.
"Itu baru kesesatan yang diyakini, lalu bagaimana kalau kebenaran yang diyakini, sulit dibayangkan,"
Ucap Prabu Jalatunda seperti berkata pada diri sendiri.
"Tapi sayangnya, manusia cenderung meyakini ke-sesatan ketimbang kebenaran. Karena persyaratan un-tuk mendapatkan ilmu semacam itu sesuai dengan keinginan-keinginan nafsunya. Berbeda dengan ilmu putih, ilmu kebenaran. Mereka justru harus menge-kang nafsu liarnya dan mengganti dengan keinginan yang menjurus pada perbuatan-perbuatan baik. Jadi mereka harus bersih jiwa raga,"
Timpal Bongkap yang sudah mempelajari berbagai macam ilmu walau tanpa pendalaman yang cukup.
Prabu Jalatunda diam-diam mengagumi isi pikiran Bongkap.
Sungguh suatu keuntungan aku bisa berke-nalan dengan orang bijak seperti Bongkap, pikirnya.
Beberapa saat suasana hening.
Bongkap dan Prabu Jalatunda masing-masing ber-pikir mengenai cara untuk mengikis habis orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Itu harus benar-benar dilaksanakan.
Selain untuk menyelamatkan orang banyak, juga untuk menyelamatkan tiga orang dayangnya dan perempuan-perempuan yang berada dalam cengkera-man Perguruan Topeng Hitam.
Bongkap sungguh tidak dapat membayangkan ba-gaimana nasib ketiga dayang dan perempuan-perem-puan yang diculik oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Tentu mereka sangat menderita fisik dan mental menghadapi kebuasan mereka.
Dalam keheningan suasana di kamar tengah itu, di-am-diam Ningrum, istri Prabu Jalatunda mengajak Bong Mini meninggalkan ruangan menuju kamarnya.
Biarlah masalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam diselesaikan oleh orang-orang lelaki, pikirnya.
Sebenarnya Bong Mini masih ingin duduk berlama-lama di situ, mendengarkan pendapat-pendapat dari dua lelaki yang ia kagumi, Bongkap dan Prabu Jala-tunda.
Namun untuk menghormati istri Prabu Jala-tunda, akhirnya ajakan itu diikuti juga.
"Untuk menumpas orang-orang Perguruan Topeng Hitam, jalan satu-satunya kita harus mempersatukan para pesilat dari golongan putih. Sebab hanya dengan persatuan yang kokoh kita baru bisa mengalahkan mereka!"
Simpul Bongkap setelah putrinya masuk ke ka-mar bersama istri Prabu Jalatunda.
"Betul juga. Kita harus bertindak sesuai kata sepa-kat dan persatuan,"
Kata Prabu Jalatunda membenar-kan pendapat Bongkap.
"Kalau begitu kita harus sege-ra mengumpulkan mereka, bagaimana?"
Lanjut Prabu Jalatunda, meminta pendapat Bongkap.
"Itu pun ada baiknya,"
Sahut Bongkap tanpa kebe-ratan. Setelah mendengar persetujuan Bongkap, Prabu Ja-latunda segera memerintahkan para pengawalnya un-tuk menghubungi tokoh-tokoh perguruan aliran putih untuk berkumpul di rumahnya.
"Nanti siang aku pun akan menghubungi Kanjeng Rahmat Suci dari Gunung Muda,"
Ucap Prabu Jala-tunda setelah memerintahkan para pengawalnya.
"Siapa dia?"
Tanya Bongkap.
"Beliau seorang tokoh sakti yang mempunyai ilmu putih. Di tempatnya pula anakku, Baladewa, menuntut ilmu,"
Jawab Prabu Jalatunda menjelaskan. Bongkap mengangguk-angguk.
"Dan, aku berharap sekali agar kau juga bersedia berkunjung ke sana!"
Lanjut Prabu Jalatunda menga-jak Bongkap.
"Saya sangat senang menerimanya, Prabu!"
Sahut Bongkap seraya tersenyum. Lalu keduanya pun saling menepuk bahu penuh persahabatan.
"Sekarang kita makan siang dulu sebelum berang-kat ke sana!"
Ajak Prabu Jalatunda. Lalu ia melangkah menuju kamar, di mana istrinya dan Bong Mini berada.
"Rayi,"
Panggil Prabu Jalatunda saat berdiri di am-bang pintu.
"Ya, Kakang!"
Ningrum yang sedang duduk berca-kap-cakap di ranjang segera bangkit menatap sua-minya.
"Tolong Rayi siapkan hidangan makan siang. Kita makan sama-sama,"
Kata Prabu Jalatunda.
"Baik, Kakang!"
Ucap Ningrum.
Lalu ia segera keluar untuk menyediakan hidangan makan siang.
Dibantu oleh Bong Mini.
Selesai makan siang, Prabu Jalatunda, Bongkap, Ningrum dan Bong Mini segera bersiap-siap untuk be-rangkat menuju Gunung Muda.
Sebenarnya Prabu Jalatunda tidak mengizinkan is-trinya ikut mengingat situasi yang demikian rawan akibat ulah orang-orang Perguruan Topeng Hitam, namun karena istrinya tetap merengek hendak ikut untuk melihat anaknya yang sudah lama tak bertemu, akhirnya Prabu Jalatunda mengizinkan juga.
Prabu Jalatunda dan Bongkap duduk di depan ke-reta kuda, sedangkan Bong Mini bersama istri Prabu Jalatunda duduk di bagian belakang.
Disertai oleh empat anak buah Bongkap dan sepuluh anak buah Prabu Jalatunda yang mengawal mereka.
*** Perjalanan menuju Gunung Muda memang berjalan lancar.
Tidak ada hambatan-hambatan mencurigakan yang datang dari orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam.
Hingga hari mulai merayap menuju kegelapan.
Namun, saat mereka melewati sebuah bukit, tiba-tiba mereka melihat segerombolan orang bertopeng berdiri di tengah jalan yang hendak dilewati.
Ashiong yang menjadi pimpinan pengawal perjala-nan segera memberi isyarat.
"Berhenti!"
Serentak para pengawal lain berhenti. Sedang Ashi-ong membalikkan kudanya menuju kereta kuda, di mana Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum dan Bong Mini berada.
"Ada apa?"
Tanya Bongkap melihat kehadiran Ashi-ong yang demikian terburu-buru.
"Jalan kita terhenti, Tuanku!"
Sahut Ashiong mem-beri laporan.
"Maksudmu?"
"Ada sekelompok orang bertopeng berada di ujung jalan sana. Mereka berdiri membuat barisan untuk menghadang kita!"
Ashiong menjelaskan.
"Hm..., rupanya sejak tadi mereka membuntuti kita dan baru menghadangnya di jalan ini,"
Gumam Bong-kap agak geram.
"Lalu bagaimana dengan perjalanan kita?"
Tanya Ashiong menunggu keputusan Bongkap.
"Bagaimana, Prabu Jalatunda?"
Bongkap bertanya kepada Prabu Jalatunda karena beliaulah yang mem-punyai rencana kepergian itu.
"Kita sudah telanjur menempuh perjalanan jauh. Sedangkan menuju Gunung Muda tidak lama lagi akan sampai,"
Jawab Prabu Jalatunda.
Bongkap mengerti ucapan Prabu Jalatunda.
Kemu-dian ia segera memerintah Ashiong untuk terus melanjutkan perjalanan.
Ashiong segera menunggang kudanya kembali un-tuk bergabung dengan para pengawal lain yang ada di depan.
Tapi sebelum mereka memacu kuda, tiba-tiba dari arah semak-semak dan dari atas pohon bermun-culan orang-orang bertopeng yang langsung mengelilingi mereka.
Ketika orang-orang bertopeng itu menge-pung, pasukan bertopeng yang ada di ujung jalan se-gera menarik tali kekang kuda untuk mendekati rom-bongan kereta kuda.
"Ha ha ha..., akhirnya kita bertemu di sini, Bong Kian Fu!"
Seru seorang lelaki bertopeng yang menjadi pemimpinnya. Bongkap terkejut mendengar orang itu mengenal namanya.
"Siapa kau dan dari mana kau tahu namaku?!"
Ben-tak Bongkap dengan suara yang memecah keheningan malam.
"Siapa pun aku, kau tidak perlu tahu. Kau pasti sudah dapat menebak asalku!"
Jawab pemimpin pasu-kan bertopeng itu.
"Hm..., dia berasal dari negeri Manchuria,"
Gumam Bongkap membuat Bong Mini terkejut. Hampir saja ia ingin membuka tirai kereta kuda untuk melihat para pengepung. Tapi untung segera dicegah Prabu Jala-tunda. Khawatir keselamatan kedua perempuan itu te-rancam.
"Lalu apa maksudmu menghadang kami?"
Teriak Bongkap lagi.
"Aku ingin membawa kepalamu untuk kupersem-bahkan kepada seorang raja yang dulu memimpinmu!"
Sahut pemimpin pasukan bertopeng.
Bongkap mendengus.
Ia semakin yakin kalau orang bertopeng itu adalah seorang kepercayaan Raja Man-churia.
Namun yang masih ia herankan kenapa sam-pai masuk ke Perguruan Topeng Hitam? Apakah orang-orang bertopeng itu prajurit-prajurit Kerajaan Manchuria yang sengaja membuat huru-hara sambil mencari dirinya? "Kenapa tidak kepalamu saja yang kau persembah-kan kepada raja lalim itu?"
Teriak Bongkap geram.
"Bangsat! Rupanya kau masih sombong, Kapten Kang?"
Bentak lelaki bertopeng penuh nafsu.
"Sombong lawan sombong jadi impas, bukan?"
"Bedebah! Serang mereka!"
Teriak pemimpin pasu-kan bertopeng, memberi aba-aba pada orang-orangnya.
Mendapat aba-aba itu, orang-orang bertopeng yang jumlahnya mencapai dua puluh lima orang segera me-nyerang para pengawal kereta kuda yang berjumlah empat belas orang.
Melihat jumlah yang tidak seimbang itu, Bongkap segera bersiap-siap hendak mengadakan perlawanan.
"Kau tetap di sini untuk menjaga Bibi Ningrum. Dan kalau ada apa-apa segeralah berteriak!"
Pesan Bong-kap kepada putrinya yang duduk di dalam kereta ku-da. Kemudian tubuhnya langsung melesat menuju arena pertempuran.
"Hiaaat!"
Jurus-jurus kungfu Bongkap yang terkenal ganas dalam menggebrak lawan langsung dikeluarkan.
O-rang-orang bertopeng harus dilawan dengan kekerasan tanpa ampun, pikirnya.
Ia bertekad untuk memusnah-kan mereka dari muka bumi.
Ketika melihat bagaimana ganasnya Bongkap me-nyerang lawan, Prabu Jalatunda segera turun dari kereta kuda untuk membantu pasukannya.
"Mau ke mana, Kakang?"
Tanya Ningrum, penuh khawatir.
"Aku akan turut membantu!"
Jawab Prabu Jalatun-da.
"Hati-hati, Kang!"
Ningrum memperingatkan.
Prabu Jalatunda mengangguk.
Kemudian ia segera melompat ke ajang pertempuran.
Sebenarnya Bong Mini sudah begitu gemas ingin tu-run ke medan pertempuran untuk melawan pasukan bertopeng.
Namun karena di sebelahnya duduk seo-rang perempuan yang tak memiliki ilmu bela diri, terpaksa ia duduk terpaku di dalam sambil mendengar teriakan-teriakan kematian.
Atau sesekali membuka tirai jendela untuk melihat pertempuran itu.
Sret! Sret! Sret! Sambaran tiga bilah pedang lawan berkelebat ganas untuk mencincang tubuh Bongkap.
Namun dengan ge-rakan yang manis, Bongkap mengelakkan serangan-serangan itu.
"Hiyaaa...!"
Bongkap meloncat sambil terus bersalto di atas ta-nah.
Kemudian ia kembali berdiri tegak menantang.
Sreset! Pedang yang terselip di punggungnya segera ditarik.
Kemudian dengan jurus pedang 'Samber Nyawa' yang digabung dengan jurus 'Tanpa Bayangan', Bongkap se-gera membalas serangan orang-orang bertopeng.
"Hiaaat!"
Bug! Sret! Tendangan dan pedang yang diarahkan Bongkap ke tubuh lawan sangat tepat mengenai sasaran.
Dua la-wan tersungkur sekaligus di tanah.
Yang satu mati mengeluarkan darah kental dari mulutnya akibat ten-dangan Bongkap yang begitu keras di dadanya.
Sedang yang lain mati dengan leher tergorok pedang Bongkap.
"Heh, Setan Congek! Jangan bengong di situ! Maju-lah kalau memang menginginkan kepalaku!"
Tantang Bongkap kepada pemimpin Perguruan Topeng Hitam yang sejak tadi hanya duduk di punggung kuda me-nyaksikan pertempuran.
"Monyet buduk! Rasakan pukulanku!"
Teriak Ketua Perguruan Topeng Hitam berang sambil melancarkan jurus 'Angin Setan Mencekik Leher'.
Sejurus kemudian angin kencang berhembus ke arah Bongkap lalu cepat melilit lehernya.
Bongkap yang tidak menyangka kehebatan jurus yang dikeluarkan lawan menjadi kewalahan.
Tubuhnya meronta-ronta untuk menghindari serangan angin yang melilit lehernya.
Tapi usahanya sia-sia karena matanya tidak dapat menangkap wujud angin itu.
Ketua Perguruan Topeng Hitam tertawa terbahak-bahak melihat Bongkap yang kewalahan menghindari jurus 'Angin Setan Mencekik Leher' yang dikeluarkan kedua tangannya.
"Malam ini nyawamu akan berakhir, Bong Kian Fu!"
Teriak orang bertopeng itu disertai tawa terbahak-ba-hak, memecah keheningan malam. Mendengar nama papanya disebut oleh pemimpin pasukan bertopeng itu, Bong Mini segera mendongak-kan kepala keluar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan papanya.
"Papa!"
Jerit Bong Mini ketika melihat tubuh pa-panya berguling-guling seperti berjuang melepaskan sesuatu yang melilit tubuhnya. Lalu ia melompat hendak memburu papanya.
"Bong Mini. Jangan, Nak!"
Cegah Ningrum, istri Pra-bu Jalatunda.
Namun Bong Mini sudah melesat ke arah papanya.
Istri Prabu Jalatunda menjadi cemas terhadap kese-lamatan Bong Mini.
Ia hendak turun mencoba me-manggil Bong Mini.
Tapi niatnya itu ia urungkan kembali mengingat keselamatan jiwanya.
Karena ia tidak memiliki ilmu bela diri apa-apa.
Akhirnya ia hanya bisa melihat Bong Mini yang berdiri terpaku di dekat tubuh papanya yang bergelinjang-gelinjang liar.
Bong Mini memang hanya dapat berdiri di dekat pa-panya.
Ia ingin menolong tapi tidak bisa karena ma-tanya tidak melihat musuh papanya.
Ia hanya dapat melihat keadaan papanya yang seperti seekor ikan ter-dampar.
"He he he..., ada perempuan juga rupanya!"
Ucap pemimpin pasukan ketika melihat kehadiran Bong Mini. Bong Mini tidak mengacuhkan ucapannya. Ia masih terpaku melihat papanya yang mulai lemah karena te-naganya terkuras habis.
"Pengawal! Tangkap perempuan itu dan bawa ke si-ni!"
Seru Ketua Perguruan Topeng Hitam itu.
Dua orang di antara Perguruan Topeng Hitam yang sedang melakukan serangan segera memburu ke arah Bong Mini untuk menangkapnya.
Namun sebelum tangan kedua orang bertopeng itu menyentuh tubuh Bong Mini, tiba-tiba tubuh kedua orang itu terpental.
Mereka terjatuh berdebum.
Sebelum keduanya sempat menyadari apa yang terjadi, tu-buh mereka diserang rasa panas luar biasa.
Mereka menggelepar-gelepar dan pelan-pelan tubuh kedua orang itu hangus lalu tidak berkutik lagi.
Melihat kedua anak buahnya jatuh mendadak de-ngan tubuh hangus, ketua pasukan bertopeng itu ter-belalak kaget.
"Bangsat! Siapa yang melakukan ini!"
Geramnya dengan mata menyebar ke sekelilingnya. Tapi yang terlihat hanya kegelapan malam yang menyeluruh.
"Hei, siapa pun dirimu, perlihatkanlah! Jangan ber-sembunyi seperti keong!"
Maki orang bertopeng itu.
Namun tak ada tanda-tanda ada orang di kegelapan malam.
Sementara itu pertempuran antara para pengawal dengan pasukan bertopeng praktis terhenti ketika melihat dua orang bertopeng mati mendadak dengan tu-buh hangus terbakar.
Mereka sama-sama ingin menge-tahui siapa orang yang melakukan serangan menda-dak itu.
Mereka yakin kalau orang itu bukan orang sembarangan.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul se-seorang berpakaian putih-putih dengan wajah tertutup kain putih pula.
Hanya pada bagian matanya saja yang terbuka.
"Bangsat! Rupanya kau yang ikut campur dalam pertempuran ini!"
Bentak pemimpin pasukan berto-peng.
"Aku tidak sengaja,"
Jawab lelaki itu dari balik kain yang menutupi.
"Setan roban! Rasakan pukulanku ini!"
Teriak pe-mimpin pasukan bertopeng seraya mengirim serangan 'Angin Setan Mencekik Leher' kembali.
"Kembalilah kau kepada orang yang telah memeli-hara dan memerintahmu!"
Seru lelaki yang wajahnya tertutup kain putih tanpa bergerak sedikit pun.
Setelah dia berkata begitu, mendadak lawannya ter-pelanting dari punggung kuda sambil mengerang-ngerang.
Tak berapa lama kemudian pemimpin pasu-kan bertopeng tak berkutik dengan leher membiru se-perti dicekik.
Bersamaan dengan kematian Ketua Perguruan To-peng Hitam itu, tubuh Bongkap perlahan-lahan pulih kembali.
Rasa sakit pada lehernya hilang seketika.
Melihat pemimpinnya mati dengan tubuh yang mengerikan, orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam itu segera mengambil langkah seribu.
Mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama.
"Terima kasih. Kau telah menolongku dari kema-tian!"
Ucap Bongkap ketika orang-orang bertopeng itu sudah tidak terlihat lagi.
"Bukan aku. Tapi Yang Menguasai dirimu!"
Ujar le-laki yang menutupi wajahnya dengan kain putih itu. Sebelum sempat orang-orang di sekitarnya bertanya, lelaki itu telah berkata kembali.
"Batalkan rencana kepergian kalian!"
Setelah berkata begitu, tubuhnya segera melesat pergi lalu hilang ditelan kegelapan. Orang-orang yang menyaksikan kehebatan lelaki itu menghela napas kagum.
"Saya yakin, dialah yang dulu pernah menyela-matkan saya dari pemerkosaan beberapa hari lalu. Hanya penutup mukanya saja yang diganti,"
Ucap Bong Mini kepada papanya.
"Bagaimana kau bisa memastikan itu, Putriku?"
Tanya Bongkap.
"Dari jawabannya, bukan aku, tapi yang menguasai dirimu!"
Ujar Bong Mini, mengulang ucapan lelaki tadi. Bongkap menghela napas. Ia memang pernah men-dengar jawaban itu dari putrinya ketika memenangkan pertempuran dengan orang-orang Ular Hitam. Setelah diam sejenak, Bongkap menoleh pada Prabu Jalatunda.
"Bagaimana dengan perjalanan kita ini, Prabu?"
"Lebih baik tetap kita lanjutkan. Sebab pada waktu subuh nanti, kita sudah sampai di tujuan. Sedang kalau kita kembali lagi seperti yang dikatakan orang tadi, maka kita harus menempuh perjalanan seharian lagi,"
Sahut Prabu Jalatunda mempertimbangkan.
"Aku pikir juga begitu, Prabu. Kita sudah terlanjur menempuh jarak yang jauh, bahkan bertempur pula,"
Kata Bongkap sependapat.
Setelah mendapatkan kata sepakat, akhirnya me-reka kembali melanjutkan perjalanan dengan penga-walan yang berkurang empat orang karena terbunuh dalam pertempuran tadi.
*** Perjalanan menuju Gunung Muda kali ini berjalan aman.
Bongkap dan Prabu Jalatunda merasa bahwa perjalanan mereka sudah tidak mendapatkan gang-guan lagi.
Apalagi hari sudah mulai merayap ke waktu subuh.
Berarti tidak lama lagi mereka akan sampai di tempat tujuan.
Tapi ketika sekitar lima kilo lagi mereka tiba ke Desa Gunung Muda, tiba-tiba mata mereka me-lihat serombongan kuda menembus kegelapan dari arah yang berlawanan.
Belum sempat mereka berpikir lebih jauh, rombo-ngan orang berkuda itu telah berpapasan dengan me-reka.
Orang-orang bertopeng lagi, gumam Bongkap ketika melihat orang-orang yang menunggang kuda itu me-ngenakan topeng hitam.
Ternyata dugaan Bongkap memang benar.
Mereka merupakan orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam yang ditugaskan untuk mengadakan perampokan di Desa Gunung Muda yang dipimpin oleh Giwang orang kepercayaan guru mereka, yang berhasil mengalahkan Yang Seng.
Sebenarnya mereka baru saja hendak pulang ke Perguruan Topeng Hitam setelah mendapatkan hasil rampokan dari para penduduk Tetapi berpapasan de-ngan kereta kuda yang ditunggangi oleh Bongkap dan Prabu Jalatunda, maka mereka pun menghentikan perjalanan dan menghadang pasukan Bongkap.
Siapa tahu ada barang-barang berharga di dalam kereta ku-da itu untuk dibawa, pikir mereka.
Karena biasanya orang yang menempuh perjalanan dengan mengguna-kan kereta kuda pasti membawa barang-barang ber-harga.
"Periksa isi kereta kuda itu!"
Perintah Giwang dari punggung kudanya. Empat orang yang merasa mendapat perintah itu segera bergerak menuju kereta kuda. Tapi sebelum mereka sempat membuka tirai penutupnya, Bongkap segera menghadangnya.
"Kembali ke tempat! Kami tidak membawa barang yang kalian cari!"
Bentak Bongkap tanpa rasa takut.
Keempat orang bertopeng itu tidak mau peduli de-ngan ucapan Bongkap.
Mereka terus merangsek hen-dak menyingkirkan penghalangnya.
Tapi Bongkap bu-kan orang yang suka membiarkan kejahatan merajale-la.
Apalagi kejahatan itu berlangsung di depan ma-tanya.
Ketika keempat orang itu bergerak hendak me-mukulnya, Bongkap segera menyambutnya dengan se-buah pukulan yang tidak begitu keras tapi cukup membuat orang itu terjatuh.
"Maaf, tidak sengaja!"
Ujar Bongkap tenang, sete-ngah meledek.
"Bedebah! Baru kali ini ada orang yang berani me-nentang kehendak orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam!"
Hardik Giwang di balik topeng hitamnya. Nada-nya begitu geram, menunjukkan kemarahannya.
"Aku cuma mempertahankan hak!"
Sahut Bongkap masih kalem. Namun badannya siap untuk mengha-dapi serangan dari orang-orang bertopeng di hadapannya. Giwang tidak mempedulikan ucapan Bongkap. Diri-nya telah dibakar oleh nafsu amarah.
"Seraaang...!"
Serentak orang-orang bertopeng bergerak menye-rang Bongkap dan para pengawalnya.
Namun Bongkap dan para pengawalnya adalah orang-orang yang tang-guh.
Serangan-serangan itu dengan mudah mereka elakkan.
Sesaat kemudian tempat itu menjadi ramai oleh pe-kikan-pekikan kematian.
Ditingkahi oleh ringkikan-ringkikan kuda yang menghentak-hentakkan kaki de-pannya, sehingga debu-debu berterbangan memadati udara.
Giwang yang hanya menyaksikan pertempuran itu dari punggung kuda tertawa terbahak-bahak ketika pasukan Bongkap kewalahan menghadapi pasukannya yang demikian banyak.
Sehingga ada seorang anak buah Bongkap yang melawan tiga lawan bahkan ada pula yang melawan empat lawan sekaligus.
Prabu Jalatunda yang tadi duduk di belakang kuda juga tidak ketinggalan.
Ia melompat ke arena pertempuran sambil membabat-babatkan goloknya ke tengah pertempuran.
Sebagai orang yang berpengalaman dalam bertem-pur, Bongkap dengan tangkas menghadapi serangan keempat lawannya lewat jurus-jurus kungfu.
Teriakan-teriakan keras yang tercipta dari mulut Bongkap dalam mengadakan serangan benar-benar memecahkan keheningan malam.
Jurus-jurus ilmu 'Tanpa Bayangan' langsung dikeluarkan agar pertempuran tidak mema-kan waktu lama.
"Hiaaat!"
Tubuh Bongkap melompat ke arah empat lawannya seraya memutar badannya mencari sasaran.
Bug! Bug! Bug! Tendangan Bongkap tepat bersarang di dada dua lawannya, membuat kedua orang itu terjungkal ke be-lakang dengan menyemburkan darah kental dari mu-lutnya.
Sesaat mereka menggelepar-gelepar di tanah lalu kehilangan nyawa.
Dua orang bertopeng yang tersungkur mati oleh tendangan Bongkap tadi membuat Giwang geram.
Na-mun ia tetap berada di punggung kuda tanpa melaku-kan serangan.
Karena jumlah pasukannya masih ba-nyak dibanding jumlah pasukan Bongkap yang hanya tinggal delapan orang karena dua orang dari mereka ada yang mati.
Pertempuran terus berlangsung dengan sengit.
Kor-ban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Pekikan kematian bersahutan, mengiringi bau amis darah yang me-nyebar, menembus udara malam.
Bong Mini yang selalu ikut bertempur di samping papanya menjadi kesal karena harus terus duduk di dalam kereta kuda menemani Ningrum, istrinya Prabu Jalatunda.
"Bibi,"
Ucap Bong Mini kepada Ningrum yang se-dang menyusutkan tubuhnya karena tidak kuasa me-lihat pertempuran yang banyak menelan korban.
"Ada apa, Nak Mini?"
Tanya Ningrum dengan wajah agak pucat.
"Maukah Bibi tinggal di sini sendiri?"
"Nak Mini mau ke mana?"
Ningrum balik bertanya. Wajahnya menunjukkan ketakutan.
"Saya akan membantu papa, Bi."
"Ha? Jangan, Nak Mini!"
Cegah Ningrum terperanjat.
"Saya tidak bisa tinggal diam melihat pertempuran yang tidak seimbang itu, Bi. Saya tidak mau korban di pihak kita bertambah banyak!"
Sergah Bong Mini, mengemukakan perasaannya. Ningrum menghela napas berat. Ia ingin tetap mela-rang. Tapi karena ingat ucapan Bong Mini yang tidak menghendaki korban di pihaknya, maka ia pun mengizinkan juga.
"Tapi kamu harus hati-hati!"
Ningrum memperi-ngatkan.
"Ya, Bibi!"
Sahut Bong Mini. Lalu dengan sikap seo-rang pendekar, ia melompat ke arena pertempuran.
"Hiaaat!"
Bret! Bret! Bles! Pedang di sepasang tangan Bong Mini langsung me-ngenai tiga orang bertopeng yang sedang mengeroyok Sang Piao.
Ketiga orang bertopeng itu langsung terjatuh akibat jurus 'Samber Nyawa' Bong Mini.
Giwang yang sejak tadi memperhatikan pertempu-ran di punggung kuda terperanjat ketika melihat Bong Mini berada di tengah pertempuran dan membunuh tiga orangnya.
Dengan cepat ia mengadakan serangan ke arah Bong Mini.
Tujuannya bukan hendak memba-las kematian tiga orangnya di tangan Bong Mini, tetapi justru hendak membawanya untuk dipersembahkan kepada pemimpin yang membutuhkan darah seorang perawan sebagai ramuan obat.
"Hati-hati. Jangan kalian lukai tubuh gadis cantik ini!"
Teriak Giwang, memberikan peringatan kepada dua anak buahnya yang tengah mengarahkan golok pada tubuh Bong Mini.
Teriakan Giwang tentu saja membuat Bong Mini ka-lap.
Karena sudah yakin bahwa ia akan dijadikan pe-muas nafsu orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang terkenal liar dan jalang.
Maka dengan beringas Bong Mini melepas serangan kepada lawannya.
Wet! Wet! Pedang lawan berkelebatan mengancam tubuhnya.
Tapi dengan gesit Bong Mini dapat menghindar.
Tu-buhnya berguling-guling di atas tanah.
Kemudian berdiri kembali dengan kuda-kuda yang kokoh, siap me-nahan dan melakukan serangan.
Sementara itu, Bongkap yang pernah mendapat ju-lukan 'Singa Perang' berhasil membabat habis bebe-rapa lawannya dengan pedangnya yang terkenal ganas.
Trang! Trang! Dua pedang beradu dengan keras.
Mereka saling menahan dan berusaha untuk bisa menembuskan ujung pedang masing-masing ke tubuh lawan.
Pada kesempatan saling menahan itu Bongkap menjungkir-balikkan badannya lantas berdiri di belakang lawan, disertai sabetan pedang yang begitu cepat Bret! Bret! Bret! Gerakan pedang Bongkap berhasil menyabet tubuh lawan dan mencincangnya beberapa kali.
Ketika la-wannya ambruk, tampak tubuhnya yang tidak berdaya itu berantakan bagai dicabik-cabik binatang buas.
Apa yang dilakukan Bongkap tidak berbeda dengan apa yang dilakukan Prabu Jalatunda.
Lewat jurus 'Golok Membelah Bumi', Prabu Jalatunda berhasil meron-tokkan beberapa tubuh lawan.
Sebenarnya tebasan golok Prabu Jalatunda tidak begitu parah bagi lawannya.
Kalau hanya mengandal-kan ketajaman goloknya, lawan masih bisa bertahan dalam beberapa jurus lagi.
Tapi yang membuat lawan-nya mati itu justru getaran goloknya ketika mengenai sasaran.
Getaran golok itu begitu dahsyat hingga bisa merontokkan seluruh isi perut.
Akibatnya lawan yang terkena sabetan golok Prabu Jalatunda mengerang-ngerang karena merasa isi perutnya yang demikian nyeri.
Di lain pihak Bong Mini dapat bertahan menghadapi serangan-serangan gencar yang dilakukan Giwang.
Namun pertahanannya kali ini tidak begitu tangguh bila dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran sebelumnya.
Selain orang yang dihadapinya begitu tangguh dengan kepandaian ilmu yang setingkat mele-bihi kemampuan Bong Mini, juga karena tenaganya sudah habis terkuras menghadapi orang-orang berto-peng sebelumnya.
Sedangkan Giwang baru saja bebe-rapa menit turun ke medan pertempuran.
Itu pun hanya berhadapan dengan Bong Mini yang tenaganya mulai menurun.
Tubuh Bong Mini berguling-guling di tanah.
Namun ketika ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba sebuah totokan bersarang di lehernya, membuat ia jatuh lemas tanpa tenaga sama sekali.
Melihat Bong Mini terkulai, Giwang segera mema-sukkan pedangnya kembali.
Kemudian tubuh Bong Mini yang mungil itu dengan ringan dipapahnya.
De-ngan gerakan yang ringan pula Giwang melompat ke atas kudanya dan menghelanya sambil membawa tu-buh Bong Mini.
"Bong Mini! Bong Mini dibawa kabur!"
Tiba-tiba ter-dengar teriakan Ningrum dari dalam kereta kuda.
Ia mengetahui jelas peristiwa itu karena sejak Bong Mini turun dari kereta kuda, Ningrum selalu mengawasinya dari tirai jendela.
Mendengar teriakan itu, Bongkap semakin kalap.
Dia mencoba menoleh ke arah Giwang yang membawa kabur Bong Mini.
Namun usahanya sia-sia, yang ia lihat hanya kegelapan yang menyelimuti alam.
"Setan roban! Demi yang Maha Kuasa akan kuhan-curkan orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Geram Bongkap.
Dicabutnya pedangnya yang lain dari balik punggung.
Sreset! Bongkap berdiri tegak dengan kedua tangan meme-gang pedang.
Baru kali ini ia bertempur memperguna-kan dua bilah pedang sekaligus.
Padahal biasanya, bagaimanapun banyaknya musuh yang menyerang, ia tak pernah mempergunakan kedua pedangnya.
Tapi sekarang, karena yang terancam adalah jiwa putrinya, yang dalam bayangannya sudah pasti menjadi santa-pan orang-orang budak nafsu, maka kedua pedang itu dikeluarkan.
Dengan jurus 'Tanpa Bayangan' yang di-padukan dengan jurus 'Pedang Samber Nyawa', tubuh Bongkap melesat cepat ke arah pasukan bertopeng.
Dia berkelebat ke sana kemari dengan ganas.
Mirip seekor singa lapar yang mencari mangsa.
Bret! Bret! Bret! Tiga orang bertopeng langsung mati di mata kedua pedangnya.
Ketika melihat ketiga lawannya tersungkur dan ti-dak bisa bangun lagi, Bongkap segera meloncat ke arah orang-orang bertopeng lain yang sedang bertem-pur dengan para pengawalnya.
Dengan gerakan tubuh-nya yang cepat dan sulit dijangkau oleh pandangan lawan.
Sementara kancah pertempuran di kedua belah pi-hak mulai agak sepi.
Seluruh anak buah Prabu Jala-tunda sudah menemui ajalnya melawan orang-orang bertopeng karena jumlah yang tidak seimbang.
Se-dangkan Prabu Jalatunda sendiri tampak kewalahan menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang la-wannya.
Sejak turun ke ajang pertempuran tidak ha-bis-habisnya ia mendapat serangan.
Mati yang satu muncul penyerang lain.
Sehingga tenaganya yang per-kasa terkuras habis.
"Hiaaat!"
Trang! Trang! Trang! Golok yang dipegang Prabu Jalatunda bergerak kian kemari untuk menangkis serangan lawan.
Lalu tubuh-nya berguling-guling di tanah menghindari serangan lawan.
Belum sempat ia berdiri lagi, sabetan-sabetan pedang dari tiga lawan kembali mengarah ke tubuhnya.
Trang! Tubuh Prabu Jalatunda berguling cepat.
Benturan tiga pedang sekaligus dengan goloknya membuat diri-nya semakin tersudut.
Dalam keadaan seperti itu, Pra-bu Jalatunda hanya mampu berkelit di tanah tanpa memberikan serangan balasan.
Dug! Tanpa disadari sebelumnya, bibir Prabu Jalatunda terantuk sebuah batu besar saat ia berguling-guling menghindari serangan.
Seketika itu juga darah mengucur dari mulut Prabu Jalatunda.
Melihat darah mengucur dengan rasa sakit yang tak terkira di mulutnya, Prabu Jalatunda segera berdiri sebelum ketiga orang bertopeng itu menyerang lagi.
"Hiah!"
Tubuh Prabu Jalatunda yang baru bisa berdiri be-berapa saat melenting ke atas dengan deras.
"Aaa...!"
Prabu Jalatunda mengerang kesakitan karena tu-buhnya membentur sebuah batu besar dengan keras.
Matanya terpejam menahan sakit, tanpa mampu ber-gerak menghindari serangan lawan.
Ia merasa ajalnya malam ini akan tiba.
Tubuhnya terkulai pasrah ketika ketiga lawannya dengan penuh nafsu berlari memburunya.
Tetapi saat ketiga lawannya hendak menginjak-in-jak tubuh Prabu Jalatunda, tiba-tiba dua buah pedang berkelebat menebas leher ketiga orang bertopeng itu.
Sehingga dalam waktu singkat tubuh mereka roboh berlumur darah dengan kepala terlepas dari badan.
Bongkap yang menyabetkan pedang ke arah ketiga orang bertopeng itu segera membawa tubuh Prabu Ja-latunda menuju kereta kuda.
"Kakang, Kakang Prabu! Kau tidak apa-apa?"
Ning-rum terpekik kaget ketika melihat tubuh suaminya di-gotong Bongkap.
"Kau tetaplah di sini, Prabu. Biar aku sendiri yang akan menumpas orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu!"
Usai berkata begitu, Bongkap kembali mencelat ke tengah pertempuran.
"Hiaaat!"
Dua pedang di tangan Bongkap berkeliaran mencari sasaran. Sehingga dalam waktu yang tidak begitu la-ma, ia berhasil merobohkan semua lawannya. Hanya dua orang yang dibiarkan hidup.
"Katakan! Siapa nama Ketua Perguruan Topeng Hi-tam!"
Bentak Bongkap kepada kedua orang Perguruan Topeng Hitam yang tak berdaya karena berada dalam ancaman dua pedang Bongkap.
"Mereka, mereka suami istri!"
Gugup terdengar sua-ra seorang bertopeng itu.
"Jelaskan namanya!"
Bentak Bongkap lagi dengan kedua mata yang melotot mereka.
"Kidarga dan Nyi Genit!"
Bongkap mendengus geram mendengar nama itu, walau ia baru mendengarnya.
"Sampaikan salamku pada kedua pemimpinmu yang cabul itu. Aku, Singa Liar akan menghancurkan Perguruan Topeng Hitam. Demi Yang Kuasa! Tak akan kubiarkan anak cicit Perguruan Topeng Hitam untuk tetap hidup!"
Geram Bongkap kepada kedua anak buah Perguruan Topeng Hitam.
Dan selesai berkata begitu, pedang Bongkap membabat tangan kanan mereka.
Kedua orang Perguruan Topeng Hitam yang menda-pat 'hadiah' itu, meraung kesakitan sambil melihat tangan kanannya yang buntung.
*** Giwang telah membawa pergi tubuh Bong Mini jauh dari arena pertempuran.
Namun di tengah perjalanan ia menghentikan langkah kudanya karena tubuh Bong Mini yang tadi terkulai lemas berangsur-angsur pulih kembali.
Totokan yang dilakukannya tadi memang hanya totokan sementara untuk melemahkan persen-dian.
"Lepaskan! Lepaskan aku, Biadab!"
Teriak Bong Mini seraya meronta-ronta dalam rangkulan Giwang.
"Hanya orang bodoh yang mau melepaskan buruan yang telah di tangan!"
Setelah berkata begitu, Giwang langsung menotokkan dua jarinya ke leher Bong Mini.
Pada detik itu juga tubuh Bong Mini terkulai lemas, tak sadarkan diri.
Merasa telah aman, Giwang kembali bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanannya menuju Perguruan Topeng Hitam.
Tapi tanpa diduga, kuda yang ditung-ganginya mendadak mengamuk, meronta-ronta se-hingga tubuhnya terpental ke tanah.
"Kuda sialan!"
Maki Giwang sambil menahan sakit di bagian pantat yang terbentur.
Kemudian diletakkan tubuh Bong Mini yang pingsan di tanah.
Lalu ia bangkit mendekati kudanya yang mendadak ngamuk itu dan berusaha menjinakkannya.
Di saat Giwang sedang sibuk menjinakkan kuda-nya, tanpa sepengetahuannya, melesat sesosok tubuh dan langsung meraih tubuh Bong Mini dan cepat membawanya menembus kegelapan.
Bersamaan dengan menghilangnya bayangan ma-nusia yang membawa tubuh Bong Mini dalam kegela-pan, saat itu pula kuda Giwang yang tadi binal ber-ubah jinak kembali.
Giwang menghela napas panjang.
Nafasnya turun naik kecapaian.
Ketika pandangan matanya tertuju ke tempat Bong Mini dibaringkan, wajahnya berubah terkejut.
Di sana, ia tidak melihat tubuh Bong Mini lagi.
Giwang penasaran.
Kakinya melangkah mendekati tempat itu untuk meyakinkan penglihatannya.
Tapi di sana ia tidak melihat apa-apa, kecuali rerumputan yang terlihat samar-samar karena berselimut kegela-pan.
"Bangsat! Pasti ada seseorang yang mengambil ga-dis itu. Dan orang itu pula yang telah berbuat jahil kepada kudaku!"
Geram Giwang dengan gigi-gigi gemeru-tuk menahan marah.
"Siapa orang yang telah berani mempermainkan aku!"
Geram Giwang seraya menyebarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tapi yang terlihat hanya bayang-bayang dedaunan di hamparan kegelapan.
Kemudian dengan menahan marah.
Giwang kembali lagi ke arena pertempuran disertai pandangannya yang tak henti-hentinya menyebar, mencari-cari siapa tahu dapat bertemu dengan orang-orang membawa Bong Mini.
*** Dua murid Perguruan Topeng Hitam yang tangan-nya dibuat buntung oleh Bongkap telah sampai di Goa Setan.
Beberapa murid Perguruan Topeng Hitam yang bertugas jaga di luar goa menjadi terkejut ketika melihat tangan kanan kedua temannya buntung dengan darah yang masih menetes.
Ketika beberapa langkah lagi sampai di mulut goa, tubuh kedua orang itu terhuyung jatuh dan tak sadarkan diri karena terlalu banyak mengeluarkan darah hingga wajah mereka tam-pak pucat-pasi.
Melihat kedua temannya ambruk, para pengawal yang sedang berjaga itu segera menghampiri dan mem-bawa mereka ke dalam.
Di sana kedua orang itu diba-ringkan di atas dipan untuk segera mendapat pengobatan.
Sedangkan dua orang lain bergegas menuju ruang tengah di mana Kidarga dan Nyi Genit sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Ampun, Guru!"
Kedua murid Perguruan Topeng Hi-tam itu segera berlutut hormat.
"Ada apa?"
Tanya Kidarga, masih duduk tenang di atas kursi kebesarannya.
"Hamba ingin melapor bahwa dua orang murid Guru terluka bacok dengan tangan kanan buntung,"
Salah seorang dari muridnya berkata.
Mendengar laporan itu kedua tokoh Perguruan To-peng Hitam menjadi terkejut.
Mereka saling bertatapan dengan wajah gusar.
Tanpa banyak bertanya lagi, Kidarga dan Nyi Genit segera menuju ruangan di mana kedua orang muridnya dirawat oleh murid-murid lain.
Kidarga dan Nyi Genit tertegun beberapa saat meli-hat kedua muridnya yang mendapat luka parah itu.
Wajah mereka berubah tegang dengan kedua mata yang merah menyala menahan marah.
"Ke mana yang lain?"
Tanya Kidarga sambil memen-dam rasa marahnya.
"Mereka belum kelihatan, Guru,"
Sahut salah seo-rang muridnya. Kidarga berdiri angkuh.
"Ini suatu penghinaan buat Perguruan Topeng Hi-tam!"
Dengus Kidarga dengan pandangan buas.
Murid-murid Kidarga yang jumlahnya sudah tak terbilang itu hanya berdiri terpaku, seolah menunggu keputusan Kidarga selanjutnya.
Sementara, kedua muridnya yang tadi tak sadarkan diri sudah mulai siuman.
Dengan keadaan tubuh yang masih lemah, keduanya berusaha untuk duduk di atas dipan.
Kidarga menoleh ke arah kedua muridnya yang ter-luka dengan tatapan mata tajam.
"Apa yang terjadi dengan kalian?"
Tanya Kidarga. Suaranya tenang namun tajam.
"Ampun, Guru. Kami gagal melakukan perampo-kan!"
Ucap salah seorang dari mereka yang terluka.
"Maksudmu?"
Tanya Kidarga tak mengerti.
"Ketika kami pulang dari Kampung Gunung Muda dengan membawa hasil rampokan, tiba-tiba kami ber-papasan dengan sebuah kereta kuda yang dikawal oleh beberapa prajurit. Kemudian kami mencegatnya untuk melihat apa yang ada di dalam kereta kuda itu. Tapi salah seorang dari mereka melakukan pemberontakan sehingga terjadilah pertempuran. Semula kami merasa menang karena jumlah mereka sedikit dibanding dengan kami. Tapi pimpinan mereka ternyata orang yang mempunyai jurus-jurus tangguh. Sehingga banyak pihak kita yang mati di tangannya,"
Cerita anak buahnya.
"Hm..., siapa dia?!"
"Kami kurang tahu, Guru. Namun dia pernah bilang kepada kami bahwa dia menyebut dirinya dengan ju-lukan Singa Liar."
"Singa Liar?"
Kidarga berkernyit seperti mengingat-ingat nama itu.
"Benar, Guru. Dia bilang; dia akan menghancurkan perguruan ini sampai ke anak cucu!"
Tambah murid-nya itu seolah sengaja hendak membakar kemarahan Kidarga. Kidarga tertawa terbahak-bahak mendengar penje-lasan muridnya itu.
"Perguruan Topeng Hitam tidak akan lenyap. Kare-na Kidarga dan Nyi Genit tidak akan mati!"
Ujar Kidarga dengan angkuh. Murid-muridnya tertawa senang memuji-muji gu-runya.
"Bagaimana dengan Giwang?"
Tanya Kidarga dengan merubah wajahnya menjadi serius.
Tapi belum sempat ia mendapat jawaban, empat orang murid yang diutus untuk melakukan perampokan datang dan bersujud di hadapan Kidarga dan Nyi Genit.
Mereka adalah seba-gian anak buah Kidarga yang menyelamatkan diri keti-ka melakukan perampokan pertama.
Mereka kabur ka-rena tidak ingin mengalami nasib seperti pemimpinnya yang hangus terbakar oleh orang bertopeng putih.
"Ada apa lagi dengan kalian?"
Tanya Kidarga yang sudah mempunyai firasat tidak enak.
"Lapor, Guru. Pimpinan kami Pho Pho telah mati terbakar melawan seorang bertopeng putih!"
Mendengar laporan muridnya itu, Kidarga dan Nyi Genit menjadi terkejut.
Baru saja ia mendapat laporan tentang kekalahan murid-muridnya yang dipimpin Giwang, sekarang empat orang murid lain melaporkan bahwa pemimpin pasukan mereka terbunuh oleh orang bertopeng putih.
"Siapa orang bertopeng putih itu?"
Tanya Kidarga geram.
"Kami tidak tahu, Guru. Sebab ketika kami sedang bertempur melawan para pengawal kereta barang, tiba-tiba orang bertopeng itu sudah berada di arena. Dan entah dengan pukulan apa, tiba-tiba Pho Pho mengerang-ngerang. Lalu mati dengan tubuh hangus terba-kar!"
Jawab seorang dari keempat muridnya yang baru datang itu.
"Apakah kereta kuda itu dipimpin oleh seorang lela-ki keturunan Tiongkok yang berambut panjang dan se-lalu diikat?"
Tanya anak buah Kidarga yang mendapat luka di tangan kanannya.
"Benar."
"Ada seorang gadis cantik yang rambut depannya diponi?"
"Benar,"
Jawab temannya cepat.
"Kalau begitu tidak salah, Guru. Dialah yang men-juluki dirinya Singa Liar. Dan gadis cantik itu mungkin anaknya yang sudah berhasil dibawa Giwang terlebih dahulu,"
Sela murid yang terpotong tangan kanannya menjelaskan.
"Tapi kenapa Giwang sampai saat ini belum muncul juga?"
Keluh Kidarga setengah curiga. Belum lama ia berkata, tiba-tiba Giwang datang menghadap.
"Ampun, Guru!"
Ucap Giwang menyembah.
"Mana gadis yang kau culik itu?"
Kidarga langsung bertanya mengenai gadis yang menurut keterangan muridnya telah dibawa Giwang.
"Ampun, Guru. Di tengah perjalanan menuju kema-ri, tiba-tiba kudaku mengamuk. Lalu aku menaruh ga-dis yang pingsan itu di rerumputan. Sedangkan saya berusaha menjinakkan kuda yang mendadak liar itu. Tapi setelah kuda itu jinak, tiba-tiba gadis yang kuba-wa tidak ada lagi di tempat. Saya mencoba menca-rinya, tapi tidak berhasil. Pasti ini pekerjaan seseorang yang mempunyai kepandaian sangat tinggi. Sebab ku-da itu pun berubah liar tak wajar!"
Jawab Giwang, memberikan pendapat.
"Bedebah! Jadi kau gagal membawa darah perawan untuk ramuan obatku?!"
Bentak Kidarga dengan kedua mata merah menyala seperti ingin menerkam.
"Ampun, Guru. Saya akan berusaha lagi menda-patkannya!"
Ucap Giwang berjanji.
"Sekarang kalian pergi dan cari orang-orang yang telah mencoreng mukaku itu. Bunuh mereka semua-nya dan bawa kepala orang yang menamakan dirinya Singa Liar itu kemari!"
Perintah Kidarga dengan suara yang membludak karena marah.
"Siap, Guru. Kami akan melaksanakan!"
Ucap mu-rid-muridnya. Kemudian dengan langkah gagah mere-ka bergegas keluar termasuk Giwang.
"Baru kali ini ada orang yang berani mencoreng mukaku!"
Geram Kidarga saat memandang kepergian murid-muridnya.
"Mereka harus merasakan akibatnya dariku,"
Lanjut Kidarga lagi.
"Sudahlah, Kakang. Biar orang-orang kita yang me-nangani persoalan itu!"
Bujuk Nyi Genit sambil meng-gayutkan kedua tangannya di pundak Kidarga.
Kidarga mengalihkan pandangan ke wajah Nyi Ge-nit.
Dan saat itu pula kemarahannya mereda melihat pesona yang dipancarkan wajah istrinya.
*** Setelah menghadapi perlawanan orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam, Bongkap dan Prabu Jalatunda membatalkan perjalanan mereka menuju Gunung Mu-da.
Padahal tempat yang mereka tuju itu sudah terlihat, karena mereka sudah berada di sekitar wilayah Desa Gunung Muda.
Batalnya perjalanan mereka bukan karena letih se-habis bertempur atau karena Prabu Jalatunda yang masih merasakan nyeri di tubuhnya yang membentur batu.
Tetapi penculikan Bong Mini oleh orang Pergu-ruan Topeng Hitam justru yang membuat mereka re-sah, terutama Bongkap.
Karena selama ini putrinya selalu berada di sampingnya, baik di rumah maupun da-lam bertempur.
"Apakah kau masih ingin tetap mencari putrimu, Bongkap?"
Tanya Prabu Jalatunda.
"Benar, Prabu. Sampai kapan pun aku harus dapat merebut kembali putriku dari orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu,"
Sahut Bongkap dengan nada geram menahan marah.
"Tapi menurutku, lebih baik kau istirahat dulu di sini sejenak untuk memulihkan kembali tenagamu. Sebab menurutku, putrimu sudah ada di dalam mar-kas mereka. Sedangkan untuk mendapatkan putrimu kembali kita harus berhadapan dahulu dengan murid-muridnya yang jumlahnya tidak terhitung itu. Belum lagi guru mereka yang merupakan tokoh-tokoh sakti dari aliran sesat,"
Tutur Prabu Jalatunda mencoba memberikan saran.
"Tidak, Prabu. Bagaimanapun kekuatan mereka, aku akan menghadapinya demi anakku. Aku tidak in-gin putriku menderita terlalu lama di sarang orang-orang biadab itu!"
Tegas Bongkap, bersikeras hendak mengadakan perhitungan dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Dia berjanji dalam hatinya; demi ketenteraman rakyat dan putrinya, akan ia hancurkan semua murid-murid Perguruan Topeng Hitam bersama dua gurunya, Kidarga dan Nyi Genit.
Prabu Jalatunda tidak bisa lagi mencegah kehendak Bongkap.
Dia mengerti bagaimana galaunya perasaan sahabatnya itu mengingat nasib putrinya yang berada dalam kekuasaan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Ia sendiri bersama istrinya Ningrum, selalu mengingat putranya Baladewa.
Memikirkan kebutuhannya.
Padahal putranya itu berada di tengah seorang guru yang bijak.
Setelah beberapa saat suasana hening, Bongkap melirik keempat anak buahnya.
"Kalian masih ingin menyertaiku?"
"Tuanku yang bijak. Sejak masih berada di negeri Manchuria kami selalu setia mendampingi Tuanku, kenapa sekarang tidak?"
Sahut Ashiong yang dipercaya memimpin pasukan pengawal.
"Tapi sekarang lain, Ashiong. Orang-orang yang akan kita hadapi merupakan orang-orang tangguh yang tak berperikemanusiaan,"
Pancing Bongkap. Ia ingin tahu sampai di mana kesetiaan keempat pengaw-al kepercayaannya itu.
"Tuanku. Dulu kita sama-sama datang ke sini kare-na satu tekad hendak membebaskan rakyat dari kera-kusan kaisar. Sekarang kita juga bertekad hendak memberantas orang-orang Perguruan Topeng Hitam demi ketenteraman rakyat. Tidak ada bedanya, kan?"
Kata Ashiong.
Bongkap terharu mendengar jawaban Ashiong.
Tan-pa memikirkan kedudukan antara raja dan pengawal, lalu Bongkap mendekati Ashiong dan memeluknya, penuh persahabatan.
Begitu pula dengan Ashiong yang membalas dengan pelukan erat.
Prabu Jalatunda yang menyaksikan adegan itu, di-am-diam menjadi terharu.
Betapa dekat hubungan an-tara Bongkap dengan pengawalnya, pikirnya.
Dan hal itu sangat jarang ia jumpai di kerajaan mana pun.
"Saya ada saran, Tuanku!"
Ucap Ashiong ketika Bongkap telah melepaskan pelukannya. Bongkap diam beberapa saat. Matanya mengamati wajah Ashiong.
"Coba jelaskan saranmu itu!"
Kata Bongkap akhir-nya.
"Menurut hemat saya, bagaimana kalau pencarian Putri Bong Mini kita bagi menjadi dua arah. Satu kelompok menuju selatan dan satu kelompok lagi menu-ju utara!"
Kata Ashiong mengemukakan sarannya. Bongkap mengangguk-angguk.
"Karena menurut pertimbangan saya, kita bukan saja mencari Putri Bong Mini, tetapi juga menghancurkan para pengacau negeri ini!"
Lanjut Ashiong. Bongkap kembali mengangguk-angguk.
"Sungguh baik saranmu itu. Aku terima!"
Putus Bongkap, langsung menyetujui.
"Terima kasih, Tuanku!"
Ucap Ashiong dengan wa-jah berseri karena sarannya diterima.
"Sekarang, kalian bertiga pergi ke arah selatan. Sedangkan aku dan Sang Piao berangkat menuju utara!"
Kata Bongkap, membagi tugas.
"Baik, Tuanku!"
Sahut para pengawal setianya. Setelah berunding dengan empat orang pengawal-nya, pandangan Bongkap beralih pada Prabu Jalatun-da.
"Prabu, dengan sangat menyesal kita berpisah untuk sementara waktu. Aku harus benar-benar pergi hari ini juga untuk mendapatkan kembali putriku,"
Ucap Bongkap dengan sikap sopan dan berwibawa.
"Kalau memang itu menjadi tekadmu, aku tidak akan memaksa. Tapi izinkanlah pula agar aku turut menyertaimu!"
Sahut Prabu Jalatunda yang juga ingin turut membantu.
"Sebaiknya Prabu tetap saja di sini. Pulihkanlah kembali kesehatan Prabu!"
Kata Bongkap menyaran-kan.
"Tidak, sahabatku. Kita sama-sama mengemban tu-gas yang mulia, mengembalikan kembali kesejahteraan rakyat dengan memerangi orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Prabu Jalatunda. Ia benar-benar merasa terpanggil untuk turut berjuang bersama Bongkap. Bongkap terdiam sambil menimbang-nimbang ke-inginan Prabu Jalatunda.
"Tapi bagaimana dengan istrimu, Rayi Ningrum?"
Tanya Bongkap setelah beberapa saat terdiam.
"Pada suasana tegang seperti ini, Rayi Ningrum sangat membutuhkan perlindungan!"
Sebelum Prabu Jalatunda menjawab, tiba-tiba mun-cul Rayi Ningrum dari dalam kamar. Ia keluar karena telah mendengarkan semua percakapan antara Bongkap dengan suaminya.
"Kakang Prabu!"
Desah istrinya sambil terus me-langkah mendekati mereka yang sedang berkumpul. Prabu Jalatunda menoleh ke arah istrinya. Begitu pula dengan Bongkap dan para pengawal.
"Kalau memang Kakang hendak turut berjuang, be-rangkatlah. Saya rela melepaskan. Tapi harapan saya temuilah dulu Putri Bong Mini. Dan bawalah ke sini. Saya sangat kehilangan dia!"
Tuturnya, hampir kehilangan tenaga suaranya.
Air mata Ningrum perlahan menggenangi dua bola matanya yang redup.
Perlahan air mata itu bergulir membasahi kedua pipinya yang masih kelihatan segar.
Melihat kesedihan Ningrum, bukan cuma Prabu Ja-latunda yang terharu.
Semua yang hadir di situ juga merasakan keharuan.
Terlebih lagi Bongkap.
Walaupun dirinya adalah Singa Perang, namun kalau ingat nasib putrinya, hatinya akan terenyuh dan sedih.
"Saya sangat menyayangi dia, Kakang,"
Ucap Ning-rum lagi.
Kali ini punggungnya berguncang-guncang menahan isak tangis.
Prabu Jalatunda sangat maklum dengan kesedihan istrinya.
Apalagi dia tahu betul bahwa istrinya sangat mencintai dan menyayangi Putri Bong Mini.
Bukan karena dia sebagai putri raja.
Tetapi karena sejak dulu istrinya sangat mendambakan seorang anak perempuan.
Kehadiran Bong Mini di tengah mereka tentu sa-ja sangat menyenangkan hati Ningrum.
Sehingga Nin-grum langsung menganggap Putri Bong Mini sebagai anaknya sendiri.
Walaupun tak pernah diungkapkan langsung, tapi gerak dan sikap yang diberikannya pada Bong Mini telah menunjukkan hal itu.
Ketika istrinya menangis sedih seperti itu, Prabu Jalatunda segera mendekati istrinya dan memeluknya dengan lembut agar dapat meredakan kesedihannya.
"Sudahlah, Rayi. Putri Bong Mini tidak bisa kita temukan kembali dengan hanya menangis dan bersedih hati. Berdoalah kepada Yang Kuasa agar kakang, Bongkap, dan para pengawal bisa mendapatkannya kembali!"
Bujuk Prabu Jalatunda dengan tetap meme-luk istrinya.
"Saya senantiasa berdoa untuk keselamatan Putri Bong Mini, Kakang!"
Lirih Ningrum di sela-sela isaknya.
Mendengar ucapan istri Prabu yang tulus itu, diam-diam hati Bongkap tersentuh.
Ia tidak mengira sama sekali kalau istri Prabu Jalatunda benar-benar sangat mencintai dan menyayangi putrinya.
Padahal mereka baru dua kali bertemu, tetapi hatinya begitu melekat pada putrinya.
Tidak jauh berbeda dengan perhatian Sinyin, istrinya, ketika masih hidup.
Setelah istrinya sudah dapat tenang kembali, Prabu Jalatunda melepaskan pelukannya.
"Kami akan berangkat sekarang juga, Rayi!"
Ucap Prabu Jalatunda. Disentuhnya kedua bahu perempuan itu.
"Berangkatlah, Kakang. Doaku selalu menyertaimu. Juga untuk keselamatan Putri Bong Mini!"
Sahut Ningrum mencoba bersikap tegas.
Walaupun hatinya ingin kembali menangis.
Ia berusaha menahannya agar ti-dak memberatkan kepergian suaminya.
Termasuk Bongkap dan para pengawal.
Setelah mendapat izin dari Ningrum, keenam orang gagah itu segera keluar dan memacu kudanya masing-masing untuk mencari jejak Putri Bong Mini.
*** Siang itu matahari bersinar garang.
Panasnya tera-sa seperti mematangkan kulit, memaksa para pejalan kaki berlindung di bawah payung.
Di tengah siraman sinar matahari yang membakar bumi itu, tiga lelaki tampak memacu kudanya dengan cepat.
Membuat jalan di sekitarnya dipenuhi kepulan debu yang ditinggalkan oleh tapak-tapak sepatu kuda.
Ketika sampai di kota Girik, tiga penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya.
Sedangkan mata mereka menyebar pada hiruk-pikuk orang yang berlalu-lalang di sekitar situ.
"Bagaimana kalau kita isi perut dulu. Biar bisa kuat sampai di tujuan,"
Usul seorang penunggang kuda yang mengenakan baju lurik berlengan panjang de-ngan kain dililit sebatas lutut. Sedangkan pada pinggangnya melilit ikat pinggang yang lebarnya kurang lebih sejengkal. Dialah Prabu Jalatunda.
"Sebaiknya memang begitu,"
Sahut lelaki berjubah merah dan berambut panjang diikat.
Dialah Bongkap.
Sedangkan seorang lagi tidak lain Sang Piao.
Dia mengenakan pakaian pangsi warna putih dengan ujung celana yang dililit oleh tali sepatu sampai sebatas lutut.
Sama seperti Bongkap.
Setelah Bongkap menyetujui usul Prabu Jalatunda, mereka memacu kuda perlahan untuk mencari warung nasi.
Kebetulan tak jauh dari situ ada sebuah rumah makan merangkap penginapan yang bernama Rumah Makan Tan Lok.
Nama itu diambil dari nama pemilik-nya yang berkebangsaan Cina.
Tidak heran jika rumah makan itu banyak menyediakan masakan-masakan khas Cina.
Para pengunjungnya pun memang keba-nyakan orang-orang bermata sipit.
Seorang pelayan segera menyambut ramah ketika Bongkap, Prabu Jalatunda dan Sang Piao memasuki rumah makan itu, lalu mengantar mereka ke sebuah meja makan yang masih kosong.
"Tolong sediakan nasi putih tiga, lengkap dengan ikan dan cap-cay-nya. Juga teh dan anggur!"
Pinta Bongkap kepada pelayan tadi.
Pelayan tadi membungkuk sopan.
Lalu segera mengambilkan pesanan tamunya.
Sambil menunggu datangnya pesanan, Bongkap menyebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Di sana ia melihat banyak sekali orang-orang Cina.
Mere-ka asyik menikmati hidangan sambil sesekali ngobrol dengan orang yang duduk semeja.
Sedang asyiknya Bongkap menikmati suasana ruangan rumah makan yang ramai oleh pengunjung, tiba-tiba muncul seorang pemuda dari luar.
Umurnya kurang lebih sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya biasa saja.
Bercelana panjang warna putih dengan baju berlengan panjang yang juga berwarna putih.
Jika dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, pe-muda itu seperti seorang bangsawan atau seorang kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya.
Pemuda itu langsung melangkah ke barisan meja di mana Bong-kap, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao berada.
Aduh, lapar sekali perutku ini.
Tapi tempat ini su-dah penuh! Gumam pemuda itu dengan mata bergerak ke sana kemari mencari-cari meja yang kosong.
Dan tanpa disengaja pemuda itu melihat satu bangku ko-song di dekat Bongkap.
"Maaf saudara-saudara gagah perkasa. Saya meng-ganggu sebentar!"
Ucap pemuda itu dengan sikap so-pan memandang ke arah Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao yang tengah duduk menanti hidangan. Belum sempat ketiganya membuka mulut, pemuda itu sudah kembali melanjutkan ucapannya.
"Seandainya saudara-saudara tidak keberatan, bolehkah saya me-numpang di meja ini untuk makan? Tapi seandainya keberatan tidak mengapa...."
Melihat pemuda berpakaian rapi dengan sikap yang sopan seperti itu, ketiga orang itu menyambutnya dengan ramah pula.
Mereka berdiri untuk membalas penghormatan pemuda itu.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao memandang Bong-kap, sebagai isyarat agar Bongkap yang mengambil ke-putusannya.
"Kita sama-sama tamu di restoran ini. Kalau me-mang saudara suka, kita bisa sama-sama duduk di meja ini. Silakan!"
"Terima kasih, terima kasih...! Saudara-saudara sungguh baik sekali!"
Ucap pemuda itu sambil ter-senyum senang. Kemudian pandangannya menoleh pada seorang pelayan yang tak jauh dari tempat itu.
"Pelayan. Tolong hidangkan nasi putih semangkok dengan ikan serta tiga macam sayuran dan air teh!"
Sambungnya kepada pelayan itu yang segera meng-angguk dan berlalu ke ruang masakan. Bersamaan dengan itu Bongkap dan tiga orang yang mengelilingi meja itu segera duduk kembali.
"Kalau boleh saya tahu, siapakah nama Saudara?"
Tanya Bongkap sambil menatap tajam pada pemuda yang duduk di hadapannya.
"Nama saya Kian Liong. Seorang pendatang yang baru dua hari di sini,"
Sahut pemuda itu menyebut namanya. Karena pemuda itu telah memperkenalkan na-manya, maka Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao pun menyebutkan nama pula.
"Terima kasih Saudara Bongkap dan Saudara ber-dua. Saya sangat senang sekali bisa duduk di sini dan berkenalan dengan saudara bertiga!"
Ucap Kian Liong.
Wajahnya benar-benar girang karena ia merasa disam-but hangat oleh ketiga lelaki yang baru dikenalnya.
Pada saat itu, dua orang pelayan datang dengan membawa makanan yang dipesan oleh Bongkap dan Kian Liong.
Kemudian makanan itu dihidangkan di atas meja.
Tiga nasi putih dengan ikan bersama cap-cay dihidangkan pada Bongkap dan dua orang pengi-kutnya, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao.
Sedangkan nasi putih, ikan bersama tiga macam sayuran dihi-dangkan di dekat Kian Liong.
"Mari kita makan sama-sama!"
Ajak Bongkap kepa-da Kian Liong.
Sedangkan pemuda itu menyambut dengan anggukan dan senyuman ramah.
Lalu keem-patnya sudah terlihat menikmati makanannya masing-masing dengan lahap.
Tidak lama kemudian, Bongkap, Prabu Jalatunda, Sang Piao dan Kian Liong telah selesai makan.
"Saya punya urusan penting, Saudara Kian Liong. Jadi maaf kalau kami bertiga keluar lebih dulu!"
Pamit Bongkap.
"Ah, tidak apa. Kesediaan kalian bertiga yang telah memberikan tempat untukku itu pun sudah cukup!"
Sahut Kian Liong.
Setelah menyampaikan perkataan maafnya, ketiga orang gagah perkasa itu keluar ruangan kedai setelah terlebih dulu membayar makanan yang dipesan mereka tadi.
Ketika sampai di luar, ketiganya segera naik ke punggung kuda.
Tapi sebelum menarik tali kekang, seorang pemuda menyerukan nama Bongkap di depan pintu rumah makan.
"Bongkap tunggu!"
Ternyata orang yang berseru itu Kian Liong. Ia nam-pak melompat dengan ringannya ke arah Bongkap.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepada Anda!"
"Apa itu?"
Tanya Bongkap dengan kening berkerut.
"Apa Anda mengenal Bong Kian Fu?"
Tanya Kian Liong. Bongkap dan Sang Piao sama terkejutnya. Mereka saling berpandangan heran. Karena nama yang dis-ebutkan pemuda itu adalah namanya sendiri. Nama asli ketika ia tinggal di negeri Manchuria.
"Apa ada sesuatu yang penting dengan orang itu?"
Bongkap balik bertanya.
"Begitulah, Saudara Bongkap. Saya ingin menemui dia karena hendak meminta bantuannya,"
Sahut Kian Liong. Bongkap tampak mengangguk lamat.
"Kalau begitu mari kita pergi sama-sama untuk mencari tempat yang lebih baik. Aku ingin mendengar ceritamu,"
Ajak Bongkap.
"Apakah Anda kenal dengan Bong Kian Fu?"
"Walau tidak kenal, tapi bila sudah mendengar maksudnya, saya bisa turut menolongmu untuk men-carinya,"
Sahut Bongkap, menyembunyikan dirinya.
Kian Liong mengangguk.
Lalu ia segera menghampi-ri kudanya dan melompat ke punggungnya.
Secepat itu pula mereka berempat telah memacu kuda masing-masing.
Selang sepeminum teh, mereka berhenti di sebuah hutan.
Lalu keempatnya turun dari punggung kuda dan duduk pada tempat yang terlindung oleh daun pe-pohonan yang rindang.
"Kalau boleh saya tahu, dari mana asalmu?"
Tanya Bongkap langsung pada pembicaraan pokok.
"Saya berasal dari negeri Tiongkok. Tepatnya dari negeri Manchuria,"
Kata Kian Liong, menjelaskan asal usulnya.
Lagi-lagi Bongkap dan Sang Piao terkejut mende-ngar penjelasan Kian Liong.
Dan yang membuatnya heran, kenapa pemuda itu tidak mengenali dirinya sebagai Bong Kian Fu? Padahal nama itu telah banyak dikenal oleh orang-orang penduduk negeri Manchuria.
Bukan saja oleh kalangan atas, tetapi juga oleh kaum rakyat jelata.
Tapi kini, pemuda di hadapannya, yang mengaku berasal dari negeri Manchuria tidak mengenal dirinya.
"Apakah Saudara Kian Liong mengenali wajah Bong Kian Fu?"
Tanya Bongkap dengan pandangan mata pe-nuh selidik.
"Saya tidak begitu mengenalnya, Saudara Bongkap. Kebetulan saya dulunya tinggal di negeri Yunan dan belum berapa lama ini pindah ke negeri Manchuria,"
Jawab Kian Liong. Bongkap mengangguk-angguk. Dia mulai mengerti kenapa pemuda itu tidak mengenal dia sebagai Bong Kian Fu yang dicarinya.
"Keperluanmu sekarang dengan Bong Kian Fu?"
"Saya ingin minta bantuan beliau untuk dapat me-nolong rakyat Manchuria. Karena pada saat ini rakyat tengah dicekam oleh rasa takut dan kemiskinan. Raja Manchuria semakin bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Melakukan pemerasan dan kekerasan lewat upeti-upeti yang dimintanya,"
Jelas pemuda itu.
"Terus?"
Tanya Bongkap ingin mengetahui sedalam-dalamnya.
"Menurut penduduk yang sudah lama tinggal di sa-na, dulu pernah ada yang menentang kehendak raja itu. Orang itu bernama Bong Kian Fu yang lebih di-kenal dengan nama Kapten Kang karena dia seorang Panglima Perang Kerajaan Manchuria. Dialah yang kemudian melakukan perlawanan terhadap raja dan membawa sebagian pengikutnya ke negeri ini ketika berhasil mengalahkan pasukan raja. Oleh karena itu saya datang ke sini untuk mencarinya agar bisa mem-bantu rakyat yang sedang menderita kembali. Sekali-gus ingin menyampaikan kabar lain kepadanya,"
Urai Kian Liong panjang lebar.
"Kabar apa itu?"
Tanya Bongkap lagi semakin ingin tahu.
"Raja Manchuria akan menuntut balas terhadap Bong Kian Fu yang telah berhasil mengalahkan pasu-kannya. Lalu secara bertahap dia mengirimkan orang-orang pilihan ke negeri ini untuk menangkapnya, baik hidup atau mati!"
Bongkap kembali mengangguk-angguk.
Pantas ada orang perampok bertopeng yang mengetahui namaku ketika terjadi pertempuran saat melakukan perjalanan menuju Bukit Gunung Muda, pikirnya.
Mungkin mereka orang-orang yang dikirim Raja Manchuria untuk melakukan penyergapan terhadapnya.
Dan di sini me-reka bergabung dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
"Saudara Bongkap. Kalau boleh saya tahu, kenapa Anda begitu bersikeras untuk mengetahui tujuanku mencari Bong Kian Fu?"
Kini Kian Liong yang balik bertanya. Bongkap menghela napas sambil memandang Kian Liong dengan tajam.
"Ketahuilah Saudara Kian Liong. Orang yang kamu cari itu sekarang berada di sini,"
Ujar Bongkap dengan sikap tenang. Kian Liong bukan main terperanjatnya mendengar penjelasan Bongkap. Lalu sepasang matanya menatap pada Bongkap dan Sang Piao bergantian, mencoba menebak-nebak yang bernama Bong Kian Fu.
"Akulah yang bernama Bong Kian Fu!"
Akhirnya Bongkap memperkenalkan diri.
"Apa Anda tidak main-main, Saudara Bongkap?"
Tanya Kian Liong dengan wajah yang masih menun-jukkan keterkejutan. Bongkap menggeleng sambil tersenyum.
"Dan Sang Piao ini adalah pengikut setiaku yang tu-rut bertempur melawan kelaliman Raja Manchuria!"
Kembali Bongkap menjelaskan, meyakinkan orang di hadapannya. Kian Liong mengangguk-angguk dalam keterpana-annya.
"Di negeri ini kuubah namaku dengan sebutan Bongkap agar orang-orang Manchuria tidak mengeta-hui siapa sebenarnya Bongkap itu,"
Ungkap Bongkap lagi. Kian Liong kembali mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana dengan keputusan Anda dengan maksud saya tadi?"
Tanya Kian Liong ingin segera mengetahui.
Sebab bagaimana pun juga ia sangat ber-harap kalau Bongkap mau membantunya.
Karena wa-lau ia sudah berada di negeri ini, tentu Bongkap pun tidak akan melupakan negeri asalnya.
Negeri yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Apa yang kau sampaikan tadi mengenai nasib rak-yat negeri Manchuria, tentu menjadi pemikiranku pu-la. Tapi aku tidak bisa segera meluluskan permoho-nanmu dan berangkat ke sana. Sebab pada saat ini aku pun sedang dalam urusan penting. Mencari putri-ku yang diculik orang-orang bertopeng,"
Sahut Bong-kap menjelaskan. Kian Liong terdiam. Hatinya sedikit menyimpan ke-kecewaan terhadap Bongkap yang tidak bisa segera berangkat bersama ke negeri Manchuria.
"Bukan berarti aku mendahulukan kepentingan pri-badiku, tetapi karena putriku itu satu-satunya yang dapat memberikan semangat perjuanganku. Jika sekarang aku berangkat ke sana akan sia-sia jadinya. Sebab pikiranku selalu terganggu oleh bayangan putriku yang nasibnya belum kuketahui,"
Tutur Bongkap lagi seperti dapat menangkap kekecewaan Kiang Liong. Kian Liong menghela napas. Ia mulai maklum de-ngan keadaan Bongkap.
"Tidak apa jika Saudara Bongkap tidak bisa segera ke sana. Tapi saya berharap, jika putri Anda telah berhasil diketemukan kembali, segeralah ke sana. Kami benar-benar sangat mengharapkan!"
Pinta Kian Liong penuh harap.
"Bila Yang Kuasa memberiku umur dan putriku bi-sa diketemukan kembali, aku akan segera ke sana. Karena bagaimanapun juga, Manchuria negeri kelahiran-ku sendiri!"
Janji Bongkap.
"Terima kasih Saudara Bongkap. Tapi izinkanlah saya untuk menyertai Anda di sini. Kita sama-sama mencari putri Anda!"
Ucap Kian Liong.
"Terima kasih atas kesediaanmu yang ingin turut serta dengan kami. Tapi dengan berat hati saya tidak dapat menerimanya!"
Tolak Bongkap hati-hati agar tidak menyinggung perasaan pemuda di hadapannya.
"Kenapa? Apakah Saudara Bongkap meragukan ke-mampuanku?"
Tanya Kian Liong agak tersinggung de-ngan penolakan Bongkap. Bongkap menggeleng sambil tersenyum.
"Bukan begitu Saudara Kiang Liong. Justru dengan kemampuanmu itu aku berharap kau bisa kembali ke negeri Manchuria. Sebab di sana, orang-orang lebih membutuhkanmu. Ajarilah mereka ilmu-ilmu yang kamu miliki agar pada waktunya nanti pasukan kita sudah terhimpun dan siap melakukan pemberonta-kan!"
Kata Bongkap mengemukakan alasannya. Kian Liong mengangguk paham. Perasaan tersing-gungnya telah berubah menjadi kegembiraan setelah mendengar alasan Bongkap. Saran Bongkap itu pun diterimanya dengan senang hati.
"Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan kita ma-sing-masing!"
Ajak Bongkap lagi sambil berdiri.
Se-sungguhnya ia tak ingin membuang-buang waktu lagi.
Ia ingin segera kembali merebut putrinya dari tangan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Prabu Jalatunda, Sang Piao, dan Kian Liong turut bangkit dari duduknya.
Mereka berjalan menuju kuda masing-masing.
"Selamat jalan, Kian Liong. Dan ingat! Jangan bica-rakan pertemuanmu denganku kepada siapa pun, se-belum aku datang ke sana!"
Pesan Bongkap sebelum menarik tali kekang kudanya.
"Jangan khawatir, Saudara Bongkap. Itu sudah jadi pertimbanganku!"
Sahut Kian Liong sambil tersenyum.
Lalu ia segera menarik tali kekang kudanya dengan penuh rasa gembira.
Disaksikan oleh tiga pasang mata yang memandang kepergiannya sampai pemuda itu menghilang ditelan rimbun pepohonan Hutan Roban.
Setelah itu, barulah mereka bertiga memacu kudanya menuju utara.
Belum jauh kuda yang ditunggangi mereka berjalan, tiba-tiba sekelompok pasukan orang berkuda datang menghadang dari arah yang berlawanan.
Jumlah me-reka cukup banyak.
Kurang lebih mencapai dua puluh orang.
Tubuh mereka sedang-sedang saja, namun ga-gah.
Mereka rata-rata bercelana pangsi warna hitam dengan baju rompi yang juga berwarna hitam.
Seperti halnya wajah mereka yang juga berwarna hitam meng-kilat karena terkena sinar matahari.
"Mereka pasti orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam!"
Cetus Bongkap dengan mata tak berkedip me-mandang dua puluh orang yang menghadang mereka. Dan ketika jarak mereka telah berada sekitar sepuluh meter, Bongkap segera menghentikan kudanya. Begitu pula dengan Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
"Siapakah kalian ini. Dan kenapa menghalangi per-jalanan kami?"
Tanya Bongkap lembut namun penuh waspada. Salah seorang di antara mereka yang menjadi pe-mimpin pasukan menarik tali kekang kudanya untuk maju selangkah.
"Kami adalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Kalian sendiri siapa?"
Tanya pemimpin pasukan ber-kuda itu dengan wajah bengis.
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kedatanganku ke sini justru untuk berjumpa dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam, terutama pemimpinnya,"
Sahut Bongkap dengan geram setelah mendengar kata-kata lelaki tadi. Ia yakin, merekalah yang telah melakukan perampokan di Desa Gunung Muda dan menculik putrinya. Hanya saja sekarang ini mereka berhadapan tanpa menggunakan topeng.
"Apa maksud kalian hendak menghubungi pemim-pin kami?"
Tanya pemimpin pasukan berkuda itu.
"Kau sebagai budak Perguruan Topeng Hitam tak perlu tahu. Nah, menyingkirlah!"
Halau Bongkap. Se-ngaja ia mengejek untuk memancing kemarahan la-wannya.
"Bangsat. Beraninya kau menghinaku!"
Geram pe-mimpin pasukan berkuda itu.
Kemudian tangannya segera memberi aba-aba kepada teman-temannya.
Ma-ka serentak pasukan berkuda itu maju dengan golok-golok terhunus.
Sedangkan pihak Bongkap sendiri su-dah siap untuk melakukan perlawanan.
Pada detik itu pula, terjadi pertempuran sengit yang tidak seimbang.
Tiga lawan sembilan belas orang.
Tringngng! Trangngng! Senjata yang saling berbentur keras itu menimbul-kan suara dentingan yang amat nyaring.
Malah pijar-pijar api yang ditimbulkannya terlihat berkerjap.
Walaupun cahaya percikan api itu pucat karena tertimpa cahaya matahari yang bersinar kuat.
Menghadapi empat orang pengeroyok, Bongkap sa-ma sekali tidak gentar.
Malah dengan lincah dan gigih dia menangkis, meloncat dan bersalto.
Bahkan sesekali ia membabatkan pedangnya dengan cepat ke arah lawan.
Wettt! Wettt! Angin keras yang ditimbulkan oleh sabetan golok lawan terasa berseliwer di sekitar tubuh Bongkap.
Serangan golok pertama menyambar ke arah leher, se-dangkan golok lawan lainnya menyambar ke kaki Bongkap.
Tapi dengan kemampuan jurus-jurus kung-funya, Bongkap menghindari serangan-serangan yang amat gencar itu.
Bahkan pada kesempatan yang ada, ia dapat menjulurkan tangannya untuk mencengkeram leher lawan yang paling dekat.
"Aaakh!"
Salah seorang lawannya terpekik tertahan.
Lalu tu-buhnya berkelojotan berputar bagai ayam disembelih sampai akhirnya tak berkutik lagi dengan leher mem-biru akibat cengkeraman Bongkap yang demikian ke-ras karena mengandung tenaga dalam.
Kemudian, se-telah berhasil membunuh seorang lawannya, Bongkap menarik tubuhnya kembali ke belakang seraya me-nangkis serangan-serangan ketiga golok lawannya.
Senjata lawan menyambar-nyambar dengan kecepa-tan deras, tanpa memberikan kesempatan sedikit pun kepada Bongkap untuk melakukan perlawanan, kecua-li menangkis, bersalto dan berguling-gulingan di atas tanah.
Dalam keadaan bergulingan itu, diam-diam Bongkap mengambil segenggam tanah yang bercampur pasir.
Campuran tanah dan pasir dilemparkan ke mata ketiga lawannya, sehingga ketiga lawannya yang lengah itu langsung menghentikan serangan karena ma-ta mereka terkena siraman pasir.
Pada kesempatan yang baik itu, Bongkap segera bangun dan mengayun-kan pedangnya ke tubuh ketiga lawannya yang masih sibuk mengucek-ucekkan mata.
Bret! Bret! Bles! Dengan tenang pedang Bongkap merobek dan me-nusuk perut lawannya.
Dalam sekejap ketiga lawannya roboh bersimbah darah.
Setelah ketiga pengeroyoknya mati, Bongkap tidak membuang-buang waktu lagi.
Dia segera melompat dan menyambar tubuh orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang sedang menyerang Prabu Jalatunda.
Singngng...! Sinar pedang Bongkap menyambar leher seorang pengeroyok Prabu Jalatunda.
Orang yang terkena sa-betan pedang itu terhuyung berputar, dan akhirnya ambruk dengan kepala yang hampir putus dari badan-nya.
Tanpa melihat bagaimana nasib lawannya yang ter-kena sabetan pedangnya, Bongkap melanjutkan sera-ngan ke arah orang-orang Perguruan Topeng Hitam lain.
Crokkk! Pedang Bongkap yang mengarah pada leher lawan-nya yang lain dapat ditahan lawannya.
Akibatnya, tangan lawan yang digunakan untuk menangkis pedang Bongkap terbabat putus sampai sebatas siku.
Namun demikian lawannya yang terkena sabetan pedang itu tetap memberikan perlawanan, tanpa menghiraukan tangan kirinya banyak mengucurkan darah segar.
Dengan mudah Bongkap menangkis lalu menyerang kembali lawannya yang buntung itu dengan memba-batkan pedangnya ke tangan kanan lawan hingga bun-tung pula.
Melihat lawannya tidak berdaya, Bongkap tidak membuang-buang waktu lagi.
Ditinggalkan lawannya yang buntung itu.
Lalu beralih pada lawan lain yang sedang mengeroyok Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
Di saat Bongkap membantu Prabu Jalatunda dan Sang Piao, sepintas matanya mampu menangkap pe-mimpin pasukan orang bertopeng menarik tali kekang kudanya untuk lari meninggalkan kancah pertempu-ran.
Bergegas Bongkap melompat dengan mengguna-kan ilmu peringan tubuhnya untuk menghadang.
"Mau lari ke mana kau, Cacing Kremi!"
Bentak Bongkap seraya menuding ke arah pemimpin pasukan itu dengan pedangnya yang berlumur darah.
Orang itu terkejut bukan main dihadang tiba-tiba seperti itu.
Namun ia mencoba bersikap tenang kemba-li.
Lalu sambil menarik tali kekang kudanya, pemimpin pasukan itu langsung menyerang Bongkap dengan pedangnya.
Trangngng! Trangngng! Dua sinar berkelebat ketika kedua pedang itu dige-rakkan ke arah lawan masing-masing.
Cringngng! Trangngng! Tangan pemimpin pasukan berkuda itu bergetar hebat ketika pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawan.
Sehingga tubuhnya terlompat dari punggung kuda.
Bongkap tidak ingin memberikan kesempatan kepa-da lawannya itu.
Ia segera menyerang dengan pedang-nya yang berkelebat di sekitar tubuh lawan.
"Kamu harus mati di tanganku, Pengecut!"
Teriak Bongkap sembari menyambarkan pedangnya ke arah lawan.
Tapi dengan mudah serangan itu dielakkan oleh lawan.
Sehingga terkaman pedang Bongkap luput dari sasaran.
Walaupun lawannya mempunyai kepandaian ilmu silat masih di bawahnya, Bongkap diam-diam memuji.
Ketangguhan pemimpin pasukan ini lebih gigih diban-dingkan dengan temannya yang lain.
Sedangkan la-wannya pun sangat terkesan dengan kehebatan Bong-kap.
Dia mengakui sendiri bahwa kepandaiannya ma-sih jauh di bawah lawan.
Namun demikian ia tetap berusaha bertahan sedapat mungkin.
Trangngng! Dua pedang yang berlainan arah kembali bertemu dengan keras, hingga tubuh keduanya terdorong mun-dur dua tindak.
Mereka mengakui kehebatan tenaga dalam masing-masing yang disalurkan lewat pedang mereka.
Pemimpin pasukan ingin segera menyelesaikan per-tarungan dengan cara melarikan diri.
Tapi sayangnya dia tidak mempunyai kesempatan untuk itu.
Sebab Bongkap sendiri berniat hendak menyelesaikan perke-lahian itu dengan menghabisi lawannya.
Oleh karena itu ia tidak henti-hentinya menerjang dan mencecar.
Pedang pemimpin pasukan segera berkelebat dari samping untuk menangkis senjata lawan, disertai de-ngan pengerahan tenaga dalam yang mempunyai daya tempel yang sangat kuat.
Sehingga ketika kedua pe-dang itu kembali bertemu, maka pedang itu terus me-lekat dan hal ini sangat terasa oleh Bongkap.
Lalu bersamaan dengan itu pula tangan kiri musuh sudah menghantam ke arah dada Bongkap dengan telapak tangan terbuka.
Sehingga bila telapak tangannya itu dihentakkan ke dada Bongkap, maka ia akan terkejut dan dengan mudah pedangnya menusuk bagian tubuh lawan.
Tapi orang yang dihadapinya itu bukan orang yang baru terjun ke dunia persilatan.
Malah boleh dikatakan dia lebih banyak hidup di tengah dentingan suara pedang dan baunya amis darah.
Oleh karena itu, di saat lawannya hendak memukulkan ilmu tenaga dalam lewat tangan kirinya, Bongkap pun segera mena-hannya lewat tangan kiri pula dengan jari-jari tangan terbuka dan mendorongnya dengan cepat.
Plak! Dua telapak tangan itu saling bertemu dan saling menempel hingga sukar untuk dilepaskan kembali.
Begitu pula dengan kedua pedang mereka yang tetap masih menempel, hingga jalan satu-satunya yang ha-rus mereka lakukan adalah mengerahkan ilmu tenaga sakti untuk merobohkan lawan.
Dan untuk terakhir ini keduanya harus mengerahkan ilmu tenaga dalam yang amat kuat.
Siapa yang kalah tentulah dia yang akan putus nyawanya.
Dan kebetulan dalam hal adu tenaga ini, Bongkap lebih banyak menguasai ketimbang la-wannya.
Sehingga dalam beberapa saat saja, lawannya merasakan betapa kuat dorongan tenaga Bongkap, membuat tubuhnya gemetaran.
Keringat dingin pun mulai bercucuran di sekitar wajahnya.
Sedangkan uap putih mengepul dari kepalanya.
Aku benar-benar akan mati hari ini..., pikir pimpi-nan pasukan itu.
Dan untuk mengelaknya tidak lain ia harus tetap mempertahankan diri sampai akhir hayat-nya.
"Aaakh!"
Tiba-tiba pimpinan pasukan itu terpekik tertahan.
Dia merasakan tubuhnya panas seperti terbakar.
Wa-jahnya yang hitam semakin gersang.
Begitu pula de-ngan kedua matanya yang berubah merah bagai darah mendelik mengerikan.
Sedangkan dari mulutnya ke-luar darah kental kehitam-hitaman seperti habis digo-dok.
Dan bersamaan itu pula tubuhnya langsung ro-boh disertai pekikan yang sangat mengerikan.
Lalu telapak tangannya yang tadi menempel pada telapak tangan Bongkap terlepas dan berubah hangus.
Se-dangkan Bongkap sendiri tubuhnya terasa lemas kare-na tenaganya yang hampir terkuras.
Sedangkan keri-ngatnya membasahi sekujur tubuhnya.
Namun demi-kian dengan perasaan lega dan puas, ia menatap pim-pinan pasukan orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu.
Lalu ia melangkah menuju tempat di mana Prabu Jalatunda dan Sang Piao sedang bertempur.
Di sana ia melihat pertempuran menjadi seimbang.
Empat dari pihak Perguruan Topeng Hitam berhadapan dengan Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
Sedangkan lima belas orang-orang Perguruan Topeng Hitam semuanya sudah tergeletak di tanah disertai lumuran darahnya sendiri.
Melihat pertempuran yang mulai seimbang itu, Bongkap hanya duduk santai menyaksikan.
Sekaligus memulihkan kembali tenaganya yang sudah terkuras habis.
Singngng! Singngng! Wuttt! Wuttt! Pedang Sang Piao menyambar dengan kecepatan penuh serta terisi kekuatan yang amat dahsyat sehing-ga tampak berkilauan diiringi suara bersuitan ketika pedangnya membelah udara.
Kejadian itu tak lepas da-ri pengamatan Bongkap yang memperhatikannya den-gan terkagum-kagum.
Ia benar-benar memuji keheba-tan dan keindahan gerakan ilmu pedang yang dimiliki Sang Piao.
Kemudian mata yang terkagum-kagum itu berubah terbelalak terkejut.
Karena dalam waktu yang begitu cepat, pedang Sang Piao telah menebas perut dan leher kedua lawannya.
Hingga dalam detik itu pula kedua lawannya roboh dengan badan berlumur darah.
Di pihak lain, Prabu Jalatunda pun telah berhasil membunuh seorang lawannya.
Tinggallah kini ia ber-hadapan dengan seorang lawannya lagi.
Tapi ketika melihat teman-temannya sudah tergeletak semuanya dengan bermandikan darah, orang itu segera mundur untuk mengambil langkah seribu.
Namun baru bebe-rapa langkah, tubuhnya jadi terpental hebat dan membentur sebuah batang pohon yang tumbuh di se-kitar situ.
Ternyata Bongkap yang melakukan itu.
Ia memukul orang Perguruan Topeng Hitam itu dengan menggunakan pukulan jarak jauh.
Bongkap segera menghampiri lawan yang meringis-ringis menahan sakit itu.
Dan dengan sikap tubuh yang gagah, ia berdiri di hadapan lawannya yang ma-sih duduk menahan sakit di punggung dan pantatnya.
"Sebelum aku membebaskanmu, cepat kau kata-kan, di mana putriku kalian sembunyikan!"
Bentak Bongkap sembari menuding muka orang itu dengan ujung pedangnya.
"Aku..., aku tidak tahu mengenai putrimu!"
Sahut orang itu terbata karena menahan sakit dan rasa ta-kut.
"Bohong!"
Bentak Bongkap dengan suara meninggi. Sepasang matanya memancar penuh kemarahan.
"Sa-lah seorang pemimpin pasukan kalian telah membawa lari putriku dan tentunya kamu sebagai orang Pergu-ruan Topeng Hitam mengetahui, di mana sekarang pu-triku berada!"
Lelaki dari Perguruan Topeng Hitam itu diam bebe-rapa saat.
Dia sudah menduga bahwa pimpinan pasu-kan yang dimaksud itu adalah Giwang, yang melaku-kan perampokan kemarin malam dan berhasil mem-bawa seorang gadis.
Namun dalam laporannya, Giwang menyatakan bahwa gadis itu raib saat ia menjinakkan kudanya yang mendadak mengamuk.
Apakah laporannya benar atau tidak, ia sendiri tidak tahu.
Sebab ia tidak ikut dalam pasukan yang dipimpin Giwang.
Ia bersama teman-temannya yang lain ditugaskan untuk memata-matai orang yang dianggap mencurigakan.
"Aku..., aku benar-benar tidak tahu mengenai pu-trimu!"
Gemetaran tubuh lelaki itu ketika menjawab.
"Bedebah!"
Geram Bongkap.
Kemudian pedang yang sejak tadi diarahkan ke muka lelaki itu segera menebas perutnya.
Hingga dalam detik itu juga lelaki tadi mengerang-ngerang dan akhirnya diam selama-lama-nya.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao sangat terkejut me-lihat kebuasan Bongkap dalam menghabisi lawannya.
Tetapi mereka sendiri maklum.
Karena kekalapan Bongkap disebabkan oleh perbuatan orang-orang Per-guruan Topeng Hitam yang menculik putri kesaya-ngannya, Putri Bong Mini.
Bongkap memandang puas mayat-mayat yang ber-gelimpangan di hadapannya.
Kemudian dengan sikap tenang dan berwibawa ia memasukkan pedangnya ke dalam sangkur yang terbuat dari perak.
Lalu ia duduk seperti orang beristirahat.
Begitu pula dengan Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
"Apakah kita harus melanjutkan perjalanan untuk mencari Putri Bong Mini, Tuan?"
Tanya Sang Piao.
"Ya. Bagaimanapun kita harus mencarinya,"
Sahut Bongkap cepat.
"Apakah sebaiknya tidak ditunda dulu, Bongkap?"
Tanya Prabu Jalatunda mencoba menyampaikan saran.
"Bagaimana mungkin, Prabu? Menunda waktu be-rarti kita telah membiarkan nasib putriku semakin tak karuan. Apalagi sekarang ini putriku berada di tangan orang-orang kotor. Orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang sudah kita kenal kebiadabannya!"
Kilah Bongkap tidak menyetujui usul sahabatnya.
"Tapi, walaupun kita terus mencarinya, tak akan mungkin kita segera mendapatkannya. Orang-orang Perguruan Topeng Hitam berjumlah tak terbilang. Dan mereka pun mempunyai pemimpin pasukan yang tidak bisa dianggap remeh. Diperkuat lagi dengan berga-bungnya Yang Seng dengan mereka. Karena bagaima-napun juga kehadiran Yang Seng di perguruan itu ha-rus kita perhitungkan!"
Kata Prabu Jalatunda membe-rikan alasan. Bongkap terdiam. Ia membenarkan alasan yang di-kemukakan sahabatnya.
"Kita tak mungkin dapat menembus ke markas Per-guruan Topeng Hitam berada. Karena hampir di setiap tempat mereka mengirim antek-anteknya!"
Tambah Prabu Jalatunda lagi.
Bongkap terangguk-angguk.
Ia memang menyadari sepenuhnya betapa banyak jumlah orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam yang tersebar di seluruh pelosok.
Bukan saja di perkampungan, tetapi juga di setiap bukit dan hutan-hutan.
Penjagaan mereka benar-benar ketat seperti lapis baja yang sulit ditembus.
"Baiklah, saran Prabu saya terima. Tentang putriku, kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Aku yakin Dia selalu berpihak pada orang-orang yang benar dan sela-lu memberikan pertolongan-Nya!"
Kata Bongkap, pe-nuh kepasrahan terhadap nasib putrinya, Bong Mini.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao tersenyum.
Lalu ke-tiganya naik ke punggung kuda dan memacunya.
Tu-juan mereka adalah mencari para pendekar untuk ber-gabung memerangi kebiadaban orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Gabungan kekuatan yang terbentuk nanti diharapkan mampu menumpas Perguruan To-peng Hitam yang telah menjadi wabah kejahatan.
Nah, di manakah sebenarnya Putri Bong Mini bera-da? Berhasilkah Bongkap dan Prabu Jalatunda mene-mukannya? Lalu, bagaimana dengan permintaan Kian Liong, yang mengharapkan Bongkap untuk me-nyelamatkan negeri Manchuria dari tekanan seorang raja yang lalim? Apakah Bongkap sanggup mengabul-kan permohonan Kian Liong tersebut? Nah, untuk jawabannya silakan Anda ikuti serial Putri Bong Mini dalam episode.
'Pedang Teratai Merah'.
SELESAI Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline 1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** *** *** *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** 9 SELESAI
Sengketa Cupu Naga Karya Batara Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung