Ceritasilat Novel Online

Misteri Menara Berkabut 2


Raja Naga Misteri Menara Berkabut Bagian 2



Lagi si kakek gemuk terdiam sebelum memandang lagi ke tempat berlalunya Raja Naga.

   "Mungkin hanya dia yang akan tahu kelak! Sebaiknya... aku menemui Dewa Segala Obat di Gunung Menjangan! Mudah-mudahan Pendekar Harum tak mengalami nasib sial seperti yang dialami oleh Pen-dekar Lontar dan Bandung Sulang!"

   Saat lain kakek gemuk berpakaian biru yang nampak sesak karena lemak pada tubuhnya sangat banyak, sudah meninggalkan tempat itu, menempuh arah yang berlainan dengan yang ditempuh Raja Naga.

   Kendati tubuhnya sangat gemuk, tetapi gerakannya sangat lincah sekali.

   Sepuluh tarikan napas berikutnya, satu sosok tubuh melompat turun dari atas sebuah pohon yang tak jauh dari tempat Raja Naga dan Dewa Tombak berdiri tadi.

   Sosok tubuh kontet berkulit hitam legam itu hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan suara.

   Untuk beberapa saat perempuan tua bertubuh kontet ini terdiam, matanya nyalang menatap ke arah perginya Dewa Tombak.

   "Apa yang menjadi kecemasanku selama ini memang terbukti! Putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar masih hidup! Bahkan dia telah menjadi murid Dewa Naga! Terkutuk!"

   Maki si perempuan tua berpakaian hitam dan berkulit hitam legam. Kembali perempuan tua kontet yang bukan lain Ratu Sejuta Setan ini menggeram.

   "Aku lebih dulu berada di sini sebelum pemuda bersisik coklat itu datang! Dan aku lebih cepat melompat ke balik pohon itu! Sebenarnya aku hendak menanyakan sesuatu pada pemuda itu, tetapi keburu muncul Dewa Tombak! Keparat! Kakek gemuk itu pernah mengalahkanku dua belas tahun yang lalu! Dan beruntung aku bersembunyi hingga mengetahui apa yang terjadi! Terutama siapakah pemuda bersisik coklat itu! Dia adalah Boma Paksi! Murid Dewa Naga! Ini berita besar untuk Dadung Bongkok dan Hantu Menara Berkabut! Hemm... biar kuikuti ke mana perginya pemuda bersisik itu!"

   Kejap berikutnya, Ratu Sejuta Setan sudah berkelebat ke arah perginya Raja Naga.

   * * * PAGI kembali menghampar dengan keindahan alam tiada banding.

   Bila pagi hari datang diiringi dengan sinar indah matahari, akan jarang orang yang akan melewatkan kesempatan untuk menikmati keindahan itu.

   Sama seperti halnya dengan kakek berambut jarang yang mengenakan pakaian compang-camping.

   Si kakek yang pada pinggang kurusnya tercantel sebuah pundi, sedang asyik memandang keindahan pagi.

   Tak jauh darinya, Gunung Menjangan menjulang tinggi.

   Bila dilihat dari kejauhan puncak gunung itu berbentuk seperti kepala menjangan.

   Kakek berambut jarang ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Terkadang aku suka tak habis mengerti, mengapa manusia selalu dipenuhi ambisi dan dendam berkepanjangan? Padahal alam yang begitu indah dapat dijadikan sebagai tempat menghirup kehidupan baru ketimbang dipenuhi ambisi kotor dan dendam...."

   Kakek berpakaian compang-camping ini kembali memandangi Gunung Menjangan. Hijau seperti meronai tempat itu. Kabut-kabut tipis yang perlahan-lahan akan menghilang seiring dengan pagi beranjak siang, masih nampak menyelimuti puncak Gunung Menjangan.

   "Huh!! Aku terlalu cepat satu hari berada di sini. Jadi terpaksa nanti aku akan bermalam di sini. Apa yang dialami Dewa Tombak sekarang? Apakah dia menemukan pemandangan mengerikan terhadap Bandung Sulang? Seperti pemandangan mengerikan yang kulihat pada Pendekar Harum?"

   Kakek yang bukan lain Dewa Segala Obat ini terdiam.

   Terbayang bagaimana ketika dia tiba di tempat kediaman Pendekar Harum.

   Sejak muncul di sana Dewa Segala Obat sudah merasa heran, karena melihat pepohonan tumbang dan tanah yang merengkah.

   Rasa herannya itu berubah menjadi ketegangan tatkala dia tiba pada satu pikiran.

   Penuh kehati-hatian Dewa Segala Obat melangkah untuk mencari Pendekar Harum.

   Dan seperti yang telah diduganya, dia menemukan Pendekar Harum dalam keadaan tewas dengan seluruh tubuh penuh luka.

   Perasaan gundah merasuki hati Dewa Segala Obat sesaat begitu melihat keadaan Pendekar Harum.

   Lalu dengan keahliannya dia memeriksa tubuh Pendekar Harum.

   Pertama keningnya berkerut.

   Lalu diedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang diduga keras sebagai penyebab kematian Pendekar Harum.

   Tatkala melihat tiga ekor lebah yang telah mati berada di sana, kakek berambut jarang ini menarik napas dalam-dalam.

   "Hantu Menara Berkabut...,"

   Desisnya. Kemudian dikuburkannya mayat Pendekar Harum dan dia segera melakukan perjalanan ke Gunung Menjangan sesuai janjinya dengan Dewa Tombak. Dan sekarang Dewa Segala Obat telah berada di Gunung Menjangan, lebih awal dari waktu yang ditentukan.

   "Pendekar Lontar dan Pendekar Harum telah tewas di tangan Hantu Menara Berkabut. Kemungkinannya, Bandung Sulang pun akan mengalami nasib yang sama. Tetapi mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan pula Dewa Tombak muncul dengan membawa berita baik."

   Dewa Segala Obat menggeleng gelengkan kepalanya, agak resah.

   "Sampai hari ini aku masih dibingungkan dengan hilangnya putra Pendekar Lontar. Dewi Lontar telah tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan kalau putranya dibunuh oleh orang yang belum diketahui itu, kemungkinan mayatnya berada di sisi atau tak jauh dari Dewi Lontar. Kendati begitu, tak mengurungkan pikiranku kalau si pembunuh membunuhnya di sebuah tempat yang sukar dicapai. Ah... urusan ini makin berkembang panjang! Aku merasa pasti, bukan Hantu Menara Berkabut yang telah lakukan pembunuhan terhadap Dewi Lontar! Karena tak kutemukan lebah-lebah beracun di sekeliling sana!"

   Kembali Dewa Segala Obat menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak dipalingkan kepalanya ke kanan.

   "Hemmm... kutangkap satu gerakan tetapi sosok yang bergerak itu belum nampak. Apakah si gemuk yang sudah datang ke sini?"

   Desisnya dengan kening dikernyitkan. Beberapa saat kemudian dia menyambung.

   "Aku tak perlu bersembunyi. Biar kulihat siapa yang muncul."

   Kakek berambut jarang ini segera memutar tubuhnya menghadap ke kanan.

   Sepasang matanya yang agak menyipit memandang tak berkedip pada jalan setapak yang dilihatnya.

   Dua kejapan mata berikut nampak satu sosok tubuh berpakaian kain batik telah muncul di sana.

   Masih berada dalam jarak dua puluh langkah, perempuan setengah baya itu melompat, berputar dan berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara sejarak sepuluh langkah dari hadapan Dewa Segala Obat.

   Dewa Segala Obat langsung mendengus begitu mengenali siapa yang datang.

   "Siapa yang ditunggu, siapa yang datang!"

   Gerutunya. Perempuan setengah baya berkonde mencuat itu juga mendengus.

   "Aku memang tak merasa sedang ditunggu seseorang! Kalau aku tiba di sini, karena memang sebuah kebetulan!"

   "Kebetulan ya kebetulan! Lebih baik kau segera pergi saja dari sini?!"

   "Keparat peot! Bicaramu masih sinis seperti dulu?!"

   Bentak si pendatang. Dewa Segala Obat mendengus.

   "Ya, ya! Kalau kau tersinggung, aku minta maaf! Sekarang, mau apa kau berada di sini, Nenek Konde Satu?!"

   Nenek Konde Satu menggeram.

   "Aku sedang lakukan satu perjalanan! Kalau berada di sini karena kebetulan!"

   "Kalau begitu, teruskan saja perjalananmu!"

   "Sejak dulu Dewa Segala Obat selalu sinis padaku, semenjak diketahui kalau aku mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang. Dia adalah sahabat Bandung Sulang! Dan aku merasa menjadi orang yang paling malang karena selalu disinisi oleh para sahabat Bandung Sulang! Okh! Apakah mereka tidak tahu kalau aku telah menyesali tindakanku selama ini?! Bahkan aku tak sempat meminta maaf pada Bandung Sulang karena orang itu sudah mati!"

   "Hei! Kenapa kau terdiam? Sudah pergi sana! Atau... kau sedang melakukan perjalanan untuk mencari Bandung Sulang?! Kau ingin menyakiti hatinya lagi dengan pengkhianatan cintamu itu?!"

   Makin sinis suara Dewa Segala Obat. Sepasang mata Nenek Konde Satu membuka. Melotot gusar.

   "Jaga mulutmu kalau bicara!"

   "Bandung Sulang adalah sahabatku! Aku kecewa bila dia dikhianati cinta kasihnya! Kau tahu, betapa tulus dia mencintaimu! Tetapi nyatanya kau justru melakukan satu pengkhianatan yang membuatnya menyembunyikan diri di Bukit Gulungan!"

   "Aku datang untuk meminta maaf padanya!"

   "Mengapa baru sekarang kau melakukannya, hah?! Setelah sekian lama berlalu?!"

   "Karena aku tidak tahu dia berdiam di Bukit Gulungan!"

   Sahut Nenek Konde Satu keras, tetapi serak.

   "Sejak dulu kau pandai memutar omongan! Kau bahkan terlalu pandai menyakiti hatinya!"

   "Dewa Segala Obat! Apakah kau tak bisa menahan mulutmu dulu barang sejenak sebelum kutampar?!"

   "Kau hendak menamparku?"

   Sinis suara Dewa Segala Obat.

   "Sebaiknya kau menjumpai dulu Bandung Sulang, minta maaf padanya, baru kau menamparku!"

   Nenek Konde Satu terdiam. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap. Lalu katanya parau.

   "Aku telah menjumpainya!"

   "Bagus, kalau kau sudah menjumpainya! Seperti kataku tadi, ayo, tampar aku!!"

   "Tapi... niatku tak pernah kesampaian...."

   Dewa Segala Obat mengangkat kepalanya. Kesinisannya menghilang. Dipandanginya lekat-lekat perempuan berkonde di hadapannya. Dadanya bergemuruh. Lalu didengarnya kata-kata Nenek Konde Satu.

   "Ketika aku datang... dia telah tewas...."

   Kepala Dewa Segala Obat menegak. Lalu katanya dalam hati.

   "Berarti... Hantu Menara Berkabut telah menuntaskan seluruh dendamnya." * * * Nenek Konde Satu mengangkat kepalanya.

   "Dewa Segala Obat... apakah kau masih memandang sinis kepadaku? Aku telah lama melakukan perjalanan untuk menjumpainya, untuk meminta maaf padanya, tetapi setelah aku menemukannya dia telah tewas! Apakah kau masih menganggapku sebagai seorang pengkhianat?"

   Dewa Segala Obat tak menjawab. Dia justru memalingkan kepalanya.

   "Bila besok Dewa Tombak datang, berarti aku telah tahu jawabannya...."

   Katanya dalam hati.

   "Selama ini aku memang telah mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang! Aku telah dibutakan oleh cinta kotor manusia keparat yang ternyata justru memperalatku! Baru kuketahui kalau manusia itu pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang! Dia sengaja mengencaniku dengan tujuan menyakiti hatinya! Dan aku terlalu bodoh! Terlalu dibutakan oleh cinta palsu hingga aku tega mengkhianati cinta Bandung Sulang!"

   Dewa Segala Obat berkata tanpa memalingkan kepala.

   "Kau telah melakukan kesalahan dalam hidupmu dengan pengkhianatan cinta yang telah kau lakukan! Kau telah membuat Bandung Sulang merana berkepanjangan! Padahal kau tahu akan sifat Bandung Sulang! Dia termasuk salah seorang yang tak banyak bicara! Sudah berulang kali kukatakan tak perlu menyembunyikan diri! Kukatakan dia harus tabah menghadapi semua ini! Karena masih banyak perempuan lain yang lebih baik dari kau, Nenek Konde Satu! Tapi dasar dia yang memiliki sifat perasa, tak dihiraukannya saran saranku!"

   "Kuakui kesalahan sekaligus kebodohan ku! Manusia keparat itu memperalatku! Dia mendendam pada Bandung Sulang! Dan hendak membunuhnya dengan jalan menyiksa perasaannya!"

   "Hingga saat ini tak seorang pun, termasuk Bandung Sulang, yang mengetahui pada siapa kau arahkan wajah! Apakah kau tidak mau mengatakannya saat ini?"

   Nenek Konde Satu terdiam. Matanya yang tadi mengerjap-ngerjap menahan gejolak di dada, perlahan-lahan membuka lebar. Mulutnya menggembung menyusul kata-katanya.

   "Manusia keparat itu akan kubunuh! Aku sedang melakukan perjalanan untuk membunuhnya! Dia adalah... Hantu Menara Berkabut!!"

   Seketika kepala Dewa Segala Obat berpaling. Mulutnya menganga lebar.

   "Astaganaga! Kau melakukan pengkhianatan pada musuh Bandung Sulang?!"

   "Aku tidak tahu kalau dia pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang!"

   "Terkutuk!"

   Maki Dewa Segala Obat keras.

   "Kau telah menyiksa perasaannya sementara Hantu Menara Berkabut tertawa keras! Mentertawakan ketololanmu dan kesedihan Bandung Sulang! Astaganaga! Nenek Konde Satu! Apa yang telah membutakan matamu hingga kau tidak tahu kalau Hantu Menara Berkabut adalah musuh Bandung Sulang?"

   Nenek Konde Satu menekan kesedihannya. Diangkat kepalanya sedikit dan berkata.

   "Aku memang bodoh tidak tahu semua itu...."

   "Bodoh atau tidak, kenyataannya kau telah melakukan kesalahan fatal! Dan kau tahu siapa yang telah membunuh Bandung Sulang?"

   Nenek Konde Satu terdiam. Lalu katanya.

   "Sebelum aku menjumpai mayat Bandung Sulang, di sana ada seorang pemuda berompi ungu. Aku menduga dialah yang telah membunuh Bandung Sulang hingga kulakukan gebrakan padanya. Tetapi di luar dugaan, pemuda itu dapat mematahkan seranganku dengan mudah. Lalu dia berkata, kalau dia menemukan Bandung Sulang dalam keadaan sekarat. Pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat sebatas siku itulah satu-satunya orang yang terakhir melihat Bandung Sulang masih hidup."

   "Pemuda bersisik coklat?"

   Kening Dewa Segala Obat berkerut.

   "Siapakah pemuda itu?"

   "Dia menyebut namanya, tetapi tidak mengatakan julukannya...."

   "Siapakah namanya?"

   "Boma Paksi!"

   "Boma Paksi?"

   Kerutan di kening Dewa Segala Obat semakin banyak. Kakek itu menggerak-gerakkan telunjuknya.

   "Boma Paksi... Boma Paksi... rasanya aku pernah mendengar nama itu. Tapi di mana ya? Di ma... astaga! Boma Paksi!"

   Nenek Konde Satu ganti mengerutkan keningnya melihat kepala si kakek menegak. Dia tak berkata apa-apa, hanya memandang penuh tanya.

   "Boma Paksi!"

   Seru si kakek lagi.

   "Ya, ya! Tidak salah! Tidak salah lagi! Pasti dia! Pasti! Dulu di kedua tangannya sebatas siku juga terdapat sisik-sisik coklat! Dan ciri itu pun masih melekat sampai sekarang! Namanya juga sama! Ah, tak salah lagi! Pasti dia!"

   "Siapa orang yang kau maksudkan?"

   Tanya Nenek Konde Satu. Dewa Segala Obat menengadah sedikit, tatapannya tajam.

   "Kalau memang dia masih hidup, pemuda itu adalah putra Pendekar Lontar!"

   "Putra Pendekar Lontar?"

   "Ya! Dia... tapi... kau tadi mengatakan kalau seranganmu dipatahkannya dengan mudah?"

   "Begitulah adanya!"

   "Dia mengatakan siapa gurunya?"

   Nenek Konde Satu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak!"

   Dewa Segala Obat mengangguk anggukkan kepalanya kembali.

   "Pasti... pasti dia telah berguru pada seseorang,"

   Desisnya dalam hati. Lalu dipandanginya lagi Nenek Konde Satu.

   "Kau mengatakan kalau pemuda itu menjelaskan keadaan Bandung Sulang! Kau juga meragukan kalau dia yang telah membunuhnya! Lantas, siapakah yang kau duga sebagai pelaku pembunuhan itu?"

   Nenek Konde Satu menahan napas sejenak. Pancaran matanya menjadi berang. Lalu katanya dengan suara ditekan.

   "Hantu Menara Berkabut!"

   "Hantu Menara Berkabut?!"

   Nenek Konde Satu mengangguk.

   "Brengsek! Manusia itu memang telah menjalankan aksi balas dendamnya pada tiga tokoh kenamaan rimba persilatan! Pembantaian yang dilakukannya tak akan bisa dimaafkan!"

   "Dan aku datang untuk menuntut balas! Untuk melampiaskan perbuatannya padaku dulu!"

   "Tak guna! Tak guna!"

   "Dewa Segala Obat! Aku tahu kesaktian Hantu Menara Berkabut! Tetapi aku tak peduli! Aku tak akan pernah tenang bila mendengar atau melihatnya masih hidup! Aku telah bulatkan tekad untuk berjibaku menghadapinya!"

   Kata-kata bernada tandas dari Nenek Konde Satu membuat Dewa Segala Obat memandang si perempuan lekat-lekat. Yang dipandang agak risih kendati dia tak lagi melihat tatapan sinis di bola mata tua itu.

   "Bagus kalau kau punya pendirian seperti itu!"

   "Terima kasih akhirnya kau mau mengerti...,"

   Sahut Nenek Konde Satu.

   "Dan kuharap sahabat Bandung Sulang lainnya mau mengerti keadaanku! Dewa Segala Obat! Aku telah bertekad untuk membunuh Hantu Menara Berkabut! Rasanya lebih baik kita berpisah sekarang!"

   Dewa Segala Obat memandang dalam-dalam perempuan berkebaya itu. Lalu katanya seraya mengangguk.

   "Aku masih harus menunggu Dewa Tombak di sini. Berhati-hatilah..."

   Mengembang senyuman di bibir keriput itu.

   Lalu dengan membawa ketenangannya, Nenek Konde Satu segera meninggalkan tempat itu.

   Dia merasa sebagian bebannya telah menghilang, karena akhirnya ada juga orang yang mau menerima penjelasan-nya.

   Selama ini Nenek Konde Satu selalu dicemaskan oleh keadaan itu, terutama sikap Bandung Sulang bila ditemuinya.

   Dan penyesalannya kini semakin dalam karena dia tak sempat meminta maaf pada Bandung Sulang.

   Sepeninggalnya, Dewa Segala Obat menghembuskan napas panjang.

   "Tak kusangka kalau cinta telah membutakan mata seseorang, telah membalikkan hati seseorang yang semula bersih menjadi kotor. Yang tak kusangka sama sekali, kalau Nenek Konde Satu melakukan pengkhianatan bersama Hantu Menara Berkabut! Ah! Cinta memang sukar sekali ditebak! Sekali orang terjerat cinta, akan sulit untuk melepaskan diri!"

   Untuk beberapa saat kakek yang di pinggang kurusnya mencantel sebuah pundi itu terdiam. Lalu diangkat kepalanya. Diperhatikan sekelilingnya. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Kabut-kabut tipis telah lenyap dari puncak Gunung Menjangan.

   "Aku telah berjanji pada Dewa Tombak untuk bertemu dengannya di sini. Berarti... aku harus menunggunya,"

   Katanya kemudian setelah menghela napas.

   "Sebaiknya... aku cari makanan dulu sebagai pengganjal perut..."

   Di lain saat kakek berambut jarang ini sudah melangkah mencari apa saja yang bisa dimakan.

   * * * NENEK Konde Satu terus berlari seiring matahari yang semakin menurun.

   Dari gerakannya dia sama sekali tak bermaksud untuk menghentikan larinya sekali pun, terus menuju ke arah timur.

   Perjumpaannya dengan Dewa Segala Obat yang secara tidak langsung akhirnya memaklumi apa yang selama ini pernah dilakukannya terhadap Bandung Sulang, menambah semangatnya untuk membalas semuanya pada Hantu Merana Berkabut! Kegagalannya untuk meminta maaf pada Bandung Sulang atas semua kesalahan yang pernah dilakukannya, semakin menambah gejolak amarah di dadanya.

   Dia merasa begitu bodoh karena tak sadar kalau sedang diperalat oleh Hantu Menara Berkabut.

   Namun di balik semua itu, dia menyalahi dirinya sendiri karena begitu mudah terpengaruh hingga ditinggalkannya Bandung Sulang yang tulus mencintainya.

   Nenek Konde Satu bertekad untuk menghapus semua kesalahan yang telah dilakukannya.

   Dan jalan satu-satunya adalah melihat Hantu Menara Berkabut mampus di tangannya! Sebelum matahari hilang di balik sebuah bukit, dihentikan langkahnya di sebuah jalan setapak.

   Sepasang matanya memandang tak berkedip ke depan.

   "Hmmm... ada gumpalan kabut tebal di ujung sana! Kabut itu menjulang tinggi, menutupi bagian bawah hingga ke atas! Aneh! Nampak seperti ada sesuatu yang ditutupi kabut itu!"

   Untuk beberapa saat Nenek Konde Satu tak beranjak dari tempatnya.

   Matanya terus memandang pada gumpalan kabut hitam tebal itu.

   Hatinya dipenuhi banyak tanya.

   Setelah beberapa saat terdiam diputuskan untuk kembali berlari.

   Tepat matahari sudah lenyap di balik bukit, Nenek Konde Satu kembali menghentikan larinya.

   Dipandanginya keadaan di hadapannya.

   Dari jarak yang lebih dekat dari semula, Nenek Konde Satu dapat melihat lebih jelas lagi gumpalan kabut hitam tebal yang nampak menyelimuti sesuatu yang menjulang tinggi.

   Dari gumpalan kabut tebal itu, dibawa pandangannya agak ke bawah.

   Seluas mata memandang, yang nampak adalah ranggasan semak dan lumpur-lumpur hitam.

   Dari sorot matanya yang tak berkedip, perlahan-lahan terlihat keningnya berkerut.

   "Astaga!"

   Desisnya cukup keras hingga kepalanya menegak.

   Lalu diambilnya sebatang dahan pohon yang kebetulan ada di sisi kanannya.

   Dilemparnya dahan pohon itu ke ranggasan semak belukar.

   Wlessss! Dilihatnya tiga ekor ular langsung keluar begitu dahan tadi mengenai salah satu ranggasan semak yang banyak terdapat di sana, bergerak cepat dan menyelinap ke semak lain.

   Tak puas sampai di sana, kembali Nenek Konde Satu mengambil dahan pohon yang ada di sisinya lagi.

   Kali ini dilemparkannya ke arah lumpur yang tak jauh darinya.

   Pluss! Sejenak dahan itu mengambang, sebelum kemudian perlahan-lahan lenyap tertelan lumpur.

   "Gila! Gila!"

   Seru si nenek berkebaya ini kemudian.

   "Bukankah... bukankah... apa yang kulihat ini adalah ciri dari Menara Berkabut?!"

   Tiba pada pikirannya sendiri Nenek Konde Satu terdiam. Tanpa sadar dadanya bergerak turun naik. Dia menjadi agak tegang sekarang.

   "Menara Berkabut! Berarti... aku telah tiba di tempat manusia keparat itu!"

   Desisnya dengan kedua tangan mengepal. Mendadak dia berteriak keras.

   "Manusia dajal! Keluar kau!! Aku datang untuk mencabut nyawamu!!"

   Suaranya menggema di malam yang terus beranjak.

   Burung-burung malam bersuara yang tak enak didengar.

   Membuat bulu roma berdiri dan seperti mengisyaratkan kematian pada orang yang mendengarnya.

   Nenek Konde Satu bersuara lagi yang kali ini dikirimkan melalui tenaga dalamnya.

   Suaranya menggema, menyusul letupan dua kali terdengar.

   Tetapi tak satu sosok tubuh pun yang muncul di sana.

   Si nenek terdiam dengan mata menyipit.

   "Jangan-jangan... aku salah menduga, kalau apa yang kulihat ini hanya kebetulan sama seperti ciri Menara Berkabut?"

   Desisnya agak meragu sekarang. Mendadak dia meradang.

   "Terkutuk! Mengapa dulu aku begitu bodoh?! Terlalu bodoh bahkan! Seharusnya aku menanyakan bagaimana caranya menuju ke Menara Berkabut pada manusia keparat itu?! Kurang ajar!"

   Untuk beberapa lama Nenek Konde Satu merapatkan mulut. Dada tipisnya naik turun. Gelora amarahnya pada Hantu Menara Berkabut semakin membesar.

   "Tetapi...."

   Desisnya dengan pandangan tegang.

   "Sebelum aku mendapatkan jawaban yang pasti, aku tak akan berhenti sebelum mengetahuinya! Hanya saja... bagaimana caranya aku untuk tiba di tempat itu? Ranggasan semak belukar itu dihuni oleh ular-ular yang tentunya banyak jumlahnya. Kalau aku bisa menanggulangi ular-ular itu, lumpur-lumpur hidup akan menelanku bulat-bulat...."

   Nenek Konde Satu terdiam lagi.

   Otaknya diperas memikirkan cara untuk tiba di balik kabut hitam itu.

   Malam terus beranjak.

   Udara dingin mulai terasa menyengat.

   Burung-burung malam yang beterbangan dan memperdengarkan suara tak enaknya terus melayang-layang.

   "Rasanya... dalam keadaan gelap seperti ini, aku tak akan mungkin bisa menemukan jalan teraman menuju ke balik kabut tebal itu. Sebaiknya... kutunggu saja sampai besok pagi. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap aku dapat menentukan jalan yang aman untuk tiba di sana...."

   Kembali kepalanya dipalingkan ke belakang. Kegelapan semata yang dilihatnya karena saat ini sinar rembulan tak mampu menembus gumpalan awan-awan hitam yang menghalanginya.

   "Brengsek!"

   Maki si nenek sambil memutar kepala lagi ke depan.

   Saat itulah dia melengak kaget, bahkan tanpa sadar telah surut satu tindak ke belakang.

   Lalu dengan kegusaran tinggi dibuka matanya lebar-lebar memandang ke depan.

   Kejap berikutnya, terdengar bentakan-nya keras.

   "Manusia keparat! Ternyata kau punya nyali juga akhirnya berani muncul di hadapanku!!"

   Orang yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya menyeringai lebar. Lalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berkata.

   "Ayuni Laksmi... mengapa kau harus gusar melihatku? Bukankah seharusnya kau merasa gembira?" * * * Sepasang rahang Nenek Konde Satu menggembung. Lalu terdengar kertakannya keras-keras. Kepalanya diangkat penuh keangkuhan dan kemarahan.

   "Bagus kau berani muncul! Sekarang sudah tiba saatnya untuk membalas semua perlakuan busukmu kepadaku!!"

   Kakek berjubah jingga itu hanya tersenyum, yang semakin membuat muak Nenek Konde Satu.

   "Lama kita tak berjumpa... dan baru kali ini kita bertemu lagi. Lantas... mengapa kau menjadi marah-marah seperti itu? Bukankah seharusnya kau senang berjumpa denganku? Keberadaanmu di sini sudah menunjukkan kalau kau merindukanku, bukan?"

   "Keparat! Aku datang untuk menuntut balas atas semua perbuatanmu dulu!"

   Bentak Nenek Konde Satu. Lalu diam-diam membatin.

   "Aneh... bagaimana caranya tahu-tahu dia bisa berada di hadapanku? Aku sama sekali tak mendengar kehadirannya?"

   Hantu Menara Berkabut menyeringai. Masih menyeringai dia berkata.

   "Ayuni Laksmi... kau masih tetap saja jelita seperti dulu. Ayolah... datanglah ke dekapanku, kita bersenang-senang seperti yang dulu kita lakukan setiap hari...."

   "Tutup mulutmu! Hantu Menara Berkabut, kau tentunya tahu maksud kedatanganku ke sini!"

   Bentak Nenek Konde Satu gusar. Tatapannya tajam meradang.

   "Sudah tentu kau akan melepaskan kerinduanmu kepadaku, bukan?"

   Mendengar kata-kata itu semakin mengkelap wajah Nenek Konde Satu yang bernama asli Ayuni Laksmi. Dada tipisnya bergerak-gerak pertanda kemarahan sudah menjulang tinggi. Tangan kanannya terangkat menuding.

   "Kau telah memperalatku untuk menyakiti Bandung Sulang! Manusia keparat! Tak pernah kuketahui sebelumnya kalau kau adalah musuh besar Bandung Sulang sebelumnya! Hingga..."

   "Mengapa baru kau persoalkan sekarang? Apakah kau marah karena kutinggalkan begitu saja?"

   "Kau meninggalkanku karena merasa semua yang kau lakukan sudah cukup! Bandung Sulang sudah mengundurkan diri dan menyembunyikan diri dalam siksaan batin yang tinggi!"

   "Itu bukan urusanku! itu adalah urusannya!"

   "Tetapi semua gara-gara kau! Kau sengaja memperalatku, membujuk dan merayuku untuk meninggalkan Bandung Sulang, karena kau ingin melihat Bandung Sulang menderita batin!"

   Sepasang mata Hantu Menara Berkabut mendadak menajam.

   "Itu dikarenakan kebodohanmu sendiri! Pada dasarnya kau memang memiliki sifat pengkhianat! Kau sendiri yang terlena dan jatuh ke pelukanku! Apakah selama ini aku pernah memaksamu?!"

   Nenek Konde Satu terdiam. Dadanya makin digemuruhi amarah tinggi.

   "Keparat!!"

   "Dan sungguh mengherankan, kalau kau yang selama bertahun-tahun juga mendapatkan kenikmatan yang sama, karena kita selalu saling members, kini muncul dengan amarah membludak! Apakah ini bukan tindakan yang lebih memperlihatkan kebodohanmu, Ayuni Laksmi?!"

   "Setaaannn"

   Nenek Konde Satu sudah tak dapat menahan amarahnya lagi, Tangan kanannya didorong ke depan.

   Wussss!! Serta merta menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi ke arah Hantu Menara Berkabut yang menyipitkan matanya.

   Lalu dengan sekali kibasan tangan, gelombang angin itu dapat diputuskan di tengah jalan.

   Blaaaamm!! "Terkutuk! Aku tak akan pernah tenang sebelum melihat kau mampus, Manusia keparat!!"

   Dengan kemarahan menjadi-jadi Nenek Konde Satu melesat ke depan. Kaki kanannya melepaskan tendangan dahsyat. Ditempatnya Hantu Menara Berkabut menggeram.

   "Jahanam! Perempuan satu ini seharusnya sudah dari dulu kubunuh! Tetapi bila dulu kulakukan sudah tentu aku tak akan merasakan kepuasan seperti sekarang! Hemm... biar dia bermain-main dulu melampiaskan kemarahannya!"

   Bersamaan kata-kata terakhirnya, Hantu Menara Berkabut cepat mengangkat tangan kanannya, menghadang tendangan dahsyat itu.

   Bukkk!! Sosok Nenek Konde Satu kontan terpental balik dan terjajar tiga langkah.

   Namun kejap itu pula dengan wajah yang semakin mengkelap, dia sudah menghentakkan kakinya di atas tanah.

   Bersamaan tanah yang menghambur cukup tinggi, sosoknya sudah melompat kembali dan membuat gerakan berputar dua kali di udara.

   Kejap lain tiba-tiba dia sudah meluruk dengan kaki kanan kiri melepaskan tendangan dahsyat sekaligus! Dua gelombang angin sudah mendahului tenda-ngannya, pertanda tendangan kaki kanan kirinya itu sarat dengan tenaga dalam tinggi! Hantu Menara Berkabut kertakkan rahangnya, karena sadar kalau Nenek Konde Satu tak bertindak ayal.

   Dia cepat melesat ke udara.

   Kaki kanan kirinya disentakkan berkali-kali.

   Blaam! Blaaamm! Blaaammm!! Tempat itu beberapa saat dibuncah dengan terdengarnya benturan keras beberapa kali.

   Bersamaan letupan yang terakhir terdengar, Nenek Konde Satu berseru tertahan.

   Sosoknya terpental di udara lalu melayang dan jatuh terduduk dengan mata terpejam terbuka.

   Sementara itu kedua kakinya bergetar keras.

   Di pihak lain Hantu Menara Berkabut sudah berdiri tegak di atas tanah.

   Kendati nampak tak kurang suatu apa, kedua kakinya jelas kelihatan sedikit bergetar.

   Nenek Konde Satu cepat mengatur napas dan mengerahkan tenaga dalamnya.

   Lalu dengan pandangan sengit melirik pada Hantu Menara Berkabut yang sedang menyeringai.

   "Jahanam itu memang bukan tandingan ku! Tetapi aku tak peduli! Malam ini, mati pun aku rela, agar berhasil melampiaskan kemarahanku dan dendam Bandung Sulang!"

   Habis memaki demikian, Nenek Konde Satu tiba-tiba sudah melompat ke depan.

   Kedua kakinya kembali digerakkan.

   Wuutt! Wuuttt!! Dari sepasang kakinya melesat dua gelombang dahsyat yang keluarkan deruan keras.

   Hantu Menara Berkabut kembali mengertakkan rahangnya.

   "Dia terlalu keras kepala! Dan bisa menjadi duri bila tidak kuselesaikan sekarang! Kutukan Bandung Sulang masih menjadi pikiranku!"

   Bersamaan dia membatin demikian, kali ini didorong tangan kanan kirinya.

   Kembali benturan dahsyat beberapa saat terjadi.

   Tempat itu seperti diguncang kiamat kecil.

   Bahkan lumpur-lumpur yang agak jauh dari sana bermuncratan ke udara.

   Sosok Nenek Konde Satu terbanting deras di atas tanah, bergulingan dan akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah pohon yang kemudian bergetar.

   Dari mulutnya tampak rembesan darah.

   Walaupun sudah terluka dalam, Nenek Konde Satu masih berusaha berdiri.

   Kekeras kepalaannya yang didasari karena penyesalan dan dendamnya telah membuatnya menjadi seliar dan seganas harimau betina.

   "Aku tak akan pernah tenang sebelum melihat kau mampus!"

   Di pihak lain Hantu Menara Berkabut sudah dirundung kemarahan tinggi. Apa yang diperlihatkan Nenek Konde Satu membuatnya meradang.

   "Perempuan keparat! Kau tak tahu diuntung rupanya!"

   Bentaknya gusar. Lalu berseru semata untuk menyiksa batin Nenek Konde Satu.

   "Seharusnya kau tak perlu gusar karena secara tak langsung aku telah menolong Bandung Sulang! Bila dia akhirnya berhasil memperistrimu berarti dia telah memasukkan sebelah kakinya ke dalam neraka! Hidup bersama perempuan berjiwa pengkhianat, hanya orang bodoh yang mau melakukannya!"

   Meledak kemarahan Nenek Konde Satu. Mulutnya meracau hingga percikan-percikan ludah yang bercampur darah keluar.

   "Mampuslah kau, Manusia jahanam!!"

   Dengan keganasan yang sama Nenek Konde Satu melesat ke depan. Masih berada di udara, dia langsung menyentakkan kedua tangan dan kakinya secara bersamaan. Hingga gelombang angin dahsyat menderu-deru ke arah Hantu Menara Berkabut.

   "Pukulan 'Inti Langit'!"

   Serunya tertahan.

   Segera kakek berjubah jingga ini mundur dua tindak.

   Lalu ditarik napas kuat-kuat.

   Bersamaan dihembuskan napasnya dengan cara disentak, kedua tangannya didorong pula.

   Terdengar deruan keras memburu ke arah Nenek Konde Satu.

   Benturan yang sangat dahsyat yang membuat tanah muncrat dan membubung tinggi terjadi.

   Dari gumpalan tanah yang menghalangi pandangan itu, mencelat sosok Nenek Konde Satu dan untuk kedua kalinya terbanting di atas tanah! Dadanya terasa mau pecah.

   Kedua tangan dan kakinya seperti tak kuasa untuk digerakkan! Di pihak lain, Hantu Menara Berkabut terseret ke belakang.

   Masih terseret ke belakang digerakkan tangan kanan kirinya ke atas.

   Lalu....

   "Heeeh!!"

   Diarahkan kedua telapak tangannya itu ke atas tanah tepat di depan kedua kakinya. Bersamaan tanah yang muncrat, tubuhnya yang terseret tiba-tiba berhenti.

   "Keparat sial!!"

   Makinya dengan wajah memerah padam. Nenek Konde Satu mengangkat wajahnya. Tatapannya angkuh dan tajam. Lalu dia menyeringai.

   "Kau harus mampus di tanganku! Harus!"

   "Setan perempuan! Kau yang akan kukirim ke neraka sekarang juga!"

   Belum habis bentakan itu terdengar, Hantu Menara Berkabut sudah melompat sembari mendorong tangan kanan kirinya.

   Nenek Konde Satu menggeram.

   Dia masih berusaha untuk menahan kedua pukulan itu.

   Tetapi karena tenaganya telah terkuras, apa yang dilakukannya hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.

   Des! Des!! Nenek Konde Satu terlempar ke belakang dan melolong panjang laksana hendak merobek langit.

   Namun laksana dibetot setan, lolongannya itu putus seketika.

   Tubuhnya masih tetap terlempar ke belakang sebelum akhirnya terhempas jatuh di atas tanah.

   Tubuhnya mengejang-ngejang beberapa saat dan di saat lain diam tak bergerak.

   Nyawa nenek yang pernah diperalat oleh Hantu Menara Berkabut ini telah putus! Hantu Menara Berkabut menggeram pendek.

   "Itulah akibatnya berani menantangku! Kau seharusnya menyadari siapa dan mengapa aku mendekatimu dulu! Dasar bodoh! Dasar pengkhianat! Kau justru melibatkan diri dalam asmara palsu yang kuberikan!!"

   Kemudian Hantu Menara Berkabut merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

   Dalam keadaan berdiri diatur napas dan dikerahkannya tenaga dalamnya.

   Beberapa saat berlalu dalam keheningan.

   Bersamaan terdengar suara burung malam yang serak, Hantu Menara Berkabut telah menurunkan kedua tangannya.

   "Satu lagi orang yang berani menantangku telah mampus! Huh! Kini tinggal menunggu kabar dari Dadung Bongkok dan Ratu Sejuta Setan tentang putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!"

   Desisnya sambil memandang mayat Nenek Konde Satu.

   Mendadak dia melangkah mendekati mayat itu.

   Lalu disertai dengusan tinggi, disepaknya.

   Wusss!! Mayat Nenek Konde Satu melayang deras dan jatuh di atas lumpur.

   Untuk beberapa saat mayat itu mengambang namun lama kelamaan lenyap tertelan lumpur hidup itu.

   Hantu Menara Berkabut terdiam dengan mata menyipit.

   "Kutukan Bandung Sulang tak bisa kupandang remeh! Sebelum aku mengetahui secara pasti apakah putra Pendekar Lontar masih hidup atau sudah mampus, aku tetap tak akan tinggal diam! Tak akan kujalankan rencanaku sebelum berhasil mengetahui keadaannya!"

   Dibawanya pandangannya ke sekeliling, ke tempat yang sangat dikenalinya.

   "Sebaiknya... aku menunggu di Menara Berkabut...."

   Lalu dengan setengah berlari Hantu Menara Berkabut menuju ke arah kanannya.

   Di sebuah balik ranggasan semak, dia berhenti melangkah.

   Dipandanginya ke sekeliling dengan seksama.

   Kemudian di sibakkannya semak belukar itu.

   Ditemukannya sebuah pengait terbuat dari baja.

   Diangkatnya baja itu yang seketika ter-pampang sebuah lubang yang cukup besar.

   Setelah memperhatikan sekelilingnya dia segera masuk ke sana.

   Melalui jalan itulah Hantu Menara Berkabut tahu-tahu muncul di hadapan Nenek Konde Satu! * * * RAJA Naga yang tiba di sebuah jalan setapak menghentikan langkahnya tatkala melihat dua sosok tubuh yang sedang berlari.

   Dalam sekali lihat saja dia sudah mengenali keduanya.

   "Dewi Bunga Mawar! Dan kakek berjubah hitam itu.... Astaga! Bukankah dia Iblis Telapak Darah?!"

   Desisnya kemudian.

   "Hemm... rupanya mereka bersahabat!"

   Pikiran yang singgah di benak murid Dewa Naga ini membuatnya mengerutkan kening. Otaknya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari apa yang dipikirkannya barusan.

   "Kalau begitu... apakah aku salah menduga tentang Dewi Bunga Mawar? Semula aku berpikir kalau gadis itu hanya terkena pengaruh gurunya belaka, hingga dia bersikap seperti yang kulihat beberapa hari lalu. Tindakannya yang mendadak menjadi berang tatkala kukatakan kalau dia terkena pengaruh gurunya, bisa jadi hanyalah kebohongan belaka."

   Boma Paksi tak meneruskan ucapannya. Keningnya berkerut, terus memikirkan apa yang ada di otaknya.

   "Yang kutahu sekarang kalau Dewi Bunga Mawar sedang mencari Lembah Naga. Di sanalah guruku tinggal. Dan satu hal lagi, bisa jadi kalau dia juga diperintahkan untuk melacak keberadaanku. Guru telah melontarkan ancaman pada Dadung Bongkok dua belas tahun silam kalau akulah yang akan membalas segala perbuatannya. Dan sekarang... gadis itu bersama-sama dengan Iblis Telapak Darah!"

   Tatapan angker dari pemilik mata yang kedua lengannya sebatas siku bersisik coklat ini menyalang dalam. Seperti hendak menelan siapa saja yang dilihatnya. Kejap kemudian digeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tidak! Aku tak boleh mengambil kesimpulan seperti itu! Bisa jadi kalau Dewi Bunga Mawar memang sebenarnya tak tahu urusan! Iblis Telapak Darah tentunya sama keji dan liciknya seperti Dadung Bongkok! Tentunya dia telah menceritakan apa yang dialaminya, dan akan membuat Dewi Bunga Mawar semakin murka terhadapku! Ah, urusan ini justru menjadi runyam..."

   Sesaat Raja Naga terdiam dengan tatapan tak berkedip ke depan, sebelum meneruskan kata-katanya pada dirinya sendiri.

   "Aku tak boleh mengambil kesimpulan sebelum kuketahui apa yang terjadi. Sebaiknya... kususul saja keduanya. Barangkali mereka membawaku ke tempat yang kutuju. Dan sungguh kebetulan keduanya berlari ke arah timur...."

   Memutuskan demikian, pemuda dari Lembah Naga ini sudah mengempos tubuhnya untuk menyusul kedua orang yang dilihatnya. Sementara itu jauh di depan, sambil berlari gadis berpakaian putih bersih itu berseru.

   "Mengapa kau mengajakku ke Menara Berkabut, Iblis Telapak Darah?"

   "Dewi... keadaan sudah semakin kacau balau! Kita sama-sama tahu kalau putra Pendekar Lontar masih hidup! Aku yakin gurumu tentunya juga ingin mengetahui tentangnya!"

   "Tapi aku harus ke Lembah Naga! Guru bisa murka bila aku tak segera menjalankan perintahnya!"

   Iblis Telapak Darah yang di tengah perjalanan mengusulkan untuk ke Menara Berkabut segera menjawab.

   "Kau tak perlu khawatir! Percayalah, gurumu tak akan marah!"

   "Tetapi mengapa kita harus ke Menara Berkabut?!"

   "Hantu Menara Berkabut adalah junjunganku! Sebenarnya aku dan Iblis Penghancur Raga hendak menuju ke sana! Tetapi karena kemunculan Dua Serangkai Jubah Hijau dan pemuda berompi ungu itu, banyak waktuku yang terbuang!"

   Diah Harum tak menjawab, dia terus berlari, seperti menyongsong matahari yang semakin meninggi. Lalu serunya.

   "Iblis Telapak Darah! Kau adalah sahabat guruku, tetapi aku merasa tak pasti kalau kau lebih mengenal guruku daripada aku sendiri!"

   "Gadis ini masih ketakutan kalau gurunya marah karena dia tidak menuju ke Lembah Naga! Hemm... aku harus berusaha meyakinkannya. Karena biar bagaimanapun juga, aku berharap Dadung Bongkok akan membantuku untuk membunuh Raja Naga. Di samping itu, Hantu Menara Berkabut akan kujadikan sebagai tumpuan yang terakhir mengingat kesaktian pemuda bersisik coklat itu begitu tinggi!"

   Kata Iblis Telapak Darah dalam hati. Sadar kalau Dewi Bunga Mawar sedang menunggu jawabannya dia segera berkata.

   "Dewi Bunga Mawar! Mungkin aku tak lebih mengenal Dadung Bongkok ketimbang kau sendiri! Tetapi percayalah dia tidak akan gusar dengan apa yang kau lakukan! Bahkan dia akan gembira setelah mendengar ceritamu nanti!"

   "Lantas... mengapa kita harus ke Menara Berkabut?"

   "Karena aku yakin gurumu berada di sana! Paling tidak, dia baru dari sana!"

   "Hei! Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"

   Iblis Telapak Darah sesat terdiam sebelum kemudian berkata.

   "Percayalah! Aku mengandalkan naluriku!!"

   Kali ini Dewi Bunga Mawar tak menjawab.

   Hati si gadis masih kebat-kebit mengingat dia tak segera menjalankan perintah gurunya.

   Bahkan sebelum ditemukannya Lembah Naga, dia justru mau mengikuti usulan dari lelaki berjubah hitam ini untuk menuju ke Menara Berkabut.

   "Ah... bagaimana dia bisa berkesimpulan Guru baru saja dari Menara Berkabut atau berada di sana? Apakah sebenarnya Iblis Telapak Darah diperintah oleh Guru untuk mencariku? Dan membawaku ke Menara Berkabut?"

   Hati Dewi Bunga Mawar semakin diliputi banyak pertanyaan.

   Tetapi segera ditindihnya berbagai pertanyaan itu.

   Lalu terus disejajarkan larinya di samping kiri Iblis Telapak Darah.

   Di pihak lain, Iblis Telapak Darah diam-diam menarik napas lega karena tak lagi banyak mendengar berondongan pertanyaan dari murid Dadung Bongkok.

   Keduanya terus berlari ke arah timur.

   Setengah penanakan nasi kemudian, masing-masing orang menghentikan lari mereka di sebuah tempat yang agak lapang dan dipenuhi ranggasan semak belukar.

   Bukan karena tempat itu yang membuat keduanya hentikan langkah, tetapi sosok perempuan tua kontet berkulit hitam legam yang telah berdiri sejarak dua belas langkah di hadapan mereka itulah yang menyebabkannya.

   "Ratu Sejuta Setan...,"

   Desis Iblis Telapak Darah dalam hati. Wajahnya tiba-tiba dihiasi butiran keringat. Di pihak lain Dewi Bunga Mawar memicingkan matanya dalam-dalam.

   "Rasa-rasanya... Guru pernah bercerita kalau dia memiliki seorang sahabat persis seperti ciri yang ada pada perempuan kontet itu...."

   Perempuan tua itu sendiri, menger-takkan rahangnya. Matanya memandang tak berkedip pada masing-masing orang. Lalu ditujukan pada Iblis Telapak Darah yang diam-diam menahan napas.

   "Orang busuk berjubah hitam! Tak kusangka kalau kita akan berjumpa lagi di sini! Kendati kita tak punya silang urusan, tetapi melihat gadis itu berada di sampingmu, aku yakin kalau kau punya maksud busuk padanya!"

   Ditembak seperti itu iblis Telapak Darah sejenak gelagapan sebelum dia menindih rasa tegangnya. Buru-buru dia tersenyum.

   "Ratu Sejuta Setan... apakah kau tidak tahu ke mana arah yang kutuju saat ini, hingga kau berani melontarkan ucapan lancang seperti itu?"

   Sementara Ratu Sejuta Setan mendengus, Dewi Bunga Mawar membatin.

   "Ratu Sejuta Setan... ya, ya... aku ingat kalau perempuan tua kontet inilah yang memang pernah diceritakan Guru sebagai salah seorang sahabatnya."

   "Menuju ke arah timur berarti sedang menuju ke Menara Berkabut! Orang licik seperti kau tentunya punya maksud tertentu untuk tiba di sana!"

   Sahut Ratu Sejuta Setan.

   "Kata-kata perempuan tua keparat ini dapat menggagalkan seluruh rencanaku. Dewi Bunga Mawar bukanlah gadis bodoh. Kalau begitu aku harus berusaha untuk memutar balikkan omongan...."

   Lalu berhati-hati Iblis Telapak Darah berkata.

   "Ratu Sejuta Setan... apakah kau tidak tahu siapa gadis yang berdiri di sebelah ku ini?! Dia adalah murid sahabat ku yang tentunya juga sahabat mu...."

   "Jangan berbelit-belit!"

   Iblis Telapak Darah tersenyum.

   "Dia adalah murid Dadung Bongkok!"

   Sahutnya tenang. Begitu dilihatnya sesaat kedua mata Ratu Sejuta Setan membuka, segera disambungnya dengan ucapan lebih tenang.

   "Apakah kau berpikir aku akan melakukan tindakan lancang seperti yang kau tuduhkan?"

   Untuk sesaat Ratu Sejuta Setan tak bersuara. Dipandanginya Dewi Bunga Mawar yang tersenyum karena merasa senang berjumpa dengan salah seorang sahabat gurunya yang lain.

   "Kalau memang apa yang dikatakan orang berjubah itu benar, berarti gadis itulah yang dimaksud oleh Dadung Bongkok saat mendatangi Menara Berkabut. Aku tak tahu bagaimana Iblis Telapak Darah bisa bersama-sama dengannya. Tentunya orang itu punya pikiran licik yang memang selalu ada di kepalanya. Tapi...."

   Memutus jalan pikirannya sendiri, Ratu Sejuta Setan berseru.

   "Bagus kalau kau memang murid Dadung Bongkok! Lantas... apa yang kau lakukan bersama dengan manusia keparat Ini?!"

   Dewi Bunga Mawar sesaat melirik Iblis Telapak Darah yang sedang menindih kegeramannya, lalu katanya pada Ratu Sejuta Setan.

   "Sebelumnya Guru memerintah ku untuk mendatangi Lembah Naga! Kendati aku tahu apa yang diperintahkan Guru, tetapi aku tak mengerti...."

   "Jangan berbelit-belit!"

   Dewi Bunga Mawar sesaat merapatkan mulutnya mendengar bentakan orang. Gadis yang panasan ini tak segera buka mulut. Dipandanginya perempuan tua kontet itu dengan seksama. Lalu sambil menindih gusarnya dia berkata.

   "Aku bersamanya karena hendak menjumpai guruku!"

   "Iblis Telapak Darah... kudengar kau juga hadir di rumah duka dua belas tahun yang lalu?"

   "Aku hadir di sana bersama sahabatku Iblis Penghancur Raga...."

   "Sejak tadi aku ingin menanyakan di manakah sahabatmu itu berada!"

   Iblis Telapak Darah mendadak menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat.

   "Sahabatku telah mampus dibunuh oleh putra Pendekar Lontar!"

   Mendengar jawaban itu Ratu Sejuta Setan hanya memperdengarkan dengusan.

   "Dan kau sekarang justru membawa pemuda bersisik coklat itu ke tempat yang ditujunya?! Keparat betul! Kau bukannya dapat mempengaruhi Hantu Menara Berkabut seperti yang kau niatkan! Tetapi kau akan dihancurkan oleh Hantu Menara Berkabut!"

   Mendengar kata-kata itu, Iblis Telapak Darah segera memperhatikan sekelilingnya dengan paras tegang. Di pihak lain Dewi Bunga Mawar hanya memandangi perempuan tua kontet di hadapannya.

   "Mengapa tahu-tahu dia berkata begitu?"

   Desisnya dalam hati.

   "Ucapannya selalu tajam menyelekit, tetapi Iblis Telapak Darah tidak berani memperlihatkan ketersinggungannya!"

   Ratu Sejuta Setan berseru gusar.

   "Lelaki berjubah! Kau terlalu tolol melakukan tindakan seperti ini hingga kau tidak tahu kalau ada seseorang yang mengikutimu!"

   Kalau sebelumnya Iblis Telapak Darah memandangi sekitarnya dengan tegang, kali ini dia nampak bersiaga. Justru Dewi Bunga Mawar yang mengerutkan keningnya lagi.

   "Ada orang yang mengikuti?"

   Desisnya pelan.

   Sebelum disambungnya lagi kata-katanya, terdengar suara dengungan keras dari sisi kanannya! Wussss!! Gelombang angin dahsyat sudah menggebrak ke arah salah satu ranggasan semak belukar yang tak jauh dari tempatnya! Seiring letupan terdengar dan muncratnya ranggasan semak itu ke udara, satu sosok tubuh telah melenting lebih dulu dan hinggap di atas tanah dengan kedua kaki tegak! Tatapan sosok tubuh ini angker, nyalang dan tajam.


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo

Cari Blog Ini