Ceritasilat Novel Online

Sumpah Iblis Kubur 2


Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Bagian 2



Meskipun lega mendapati ucapan orang, tetapi hati Tirta jengkel juga dibentak seperti itu. Didengarnya lagi suara bernada marah dan penuh bentakan itu.

   "Di mana dua orang tua jelek sahabatku itu, hah?"

   "Aku tidak tahu di mana kedua guruku berada. Yang pasti, tugas dari Raja Lihai Langit Bumi harus kujalankan!"

   "Hebat! Setahuku Eyang Sepuh Mahisa Agni tak pernah mengatakan soal Iblis Kubur pada kedua mu-ridnya karena dia sudah berjanji pada guruku soal itu. Kurang ajar! Sontoloyo! Bodohnya aku ini! Raja Lihai Langit Bumi memiliki ilmu 'Peraba Sukma', sudah ten-tu orang tua yang kalau bicara kayak perempuan ka-rena lembutnya itu bisa tahu soal Iblis Kubur! Bagus! Kau harus jalani tugas itu sebaik-baiknya, Bocah! Te-tapi... apa yang kau bisa, hah?!"

   Tirta hanya tersenyum.

   "Kepandaianku tak sebetapa dibandingkan den-gan yang lain. Tetapi tugas telah kuterima, berarti aku harus mengembannya sampai tuntas."

   "Luar biasa! Hebat sekali kata-katamu itu! Dan rasanya... kau pantas berjodoh dengan muridku yang pemarah ini! Sontoloyo! Kenapa aku harus jodohkan muridku yang pemarah tapi cantik ini padamu yang gemblung, ha?!"

   Bukannya Tirta yang menyahut, Ayu Wulan yang berteriak keras.

   "Guru! Apa-apaan Guru bicara barusan?"

   Meskipun sepasang mata bagusnya melotot, tetapi jantungnya berpacu lebih cepat, Apalagi ketika matanya melirik Tirta yang cuma senyam-senyum saja.

   "Apakah pemuda itu senang juga mendengar ka-ta-kata Guru?"

   Batinnya ragu. Manusia Pemarah justru lebih melotot lagi.

   "Eh, kau mau membantah ucapanku, hah? Ku-rang ajar! Pokoknya, aku mau melihat kalian berjodoh! Biar nanti kukatakan semua ini pada Bidadari Hati Ke-jam dan Raja Lihai Langit Bumi, kalau aku berkenan menjodohkan muridku dengan muridnya itu! Tetapi keenakan pemuda itu kalau langsung kau kuberikan begitu saja padanya! Hhh!"

   Tak! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu kepala Tir-ta di jitak oleh Manusia Pemarah. Kejap kemudian, le-laki tua pemarah itu meneruskan kata, tetap dengan nada membentak.

   "Itu tandanya aku merestui mu jadi menantuku!"

   Tirta mengusap-usap kepalanya yang barusan di jitak. Bila saja tak segera dialirkan tenaga dalamnya, tak mustahil kepalanya akan dihiasi dua buah benjol.

   "Enak banget! Main jitak begitu saja!"

   Sungutnya.

   "Kurang ajar!"

   Bentak Manusia Pemarah lalu menoleh pada muridnya.

   "Apa?! Teriak lagi? Dasar centil! Sudah, sudah! Kalian cepat tinggalkan tempat ini! Aku restui hubun-gan kalian dan tidak mau mengganggu orang pacaran! Membantah lagi, kutampar pipimu yang mulus "Itu bi-ar jadi bengkak dan pemuda itu tidak mau denganmu! Ayo, sana pergi! Aku juga akan cari manusia keparat yang berjuluk Iblis Kubur! Hei, sana pergi!!"

   Sebelum Ayu Wulan menyahut, Tirta lebih dulu berkata.

   "Terima kasih atas perjumpaan dan keteran-ganmu, Orang Tua. Memang kita harus berpisah seka-rang. Karena masing-masing punya tugas dan kepen-tingan yang berlainan. Dan..."

   Wussss! Dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh yang dibantu oleh tenaga surya yang dimilikinya, Tirta sudah melesat.

   Kelebatannya sangat luar biasa sekali.

   Sulit ditangkap oleh mata.

   Tetapi meskipun demikian, Manusia Pemarah berucap penuh dengan nada keter-kejutan.

   "Hei!"

   Lalu dia terbengong dengan mulut terbuka lebar sementara Ayu Wulan melompat dua tindak seperti menyusul Tirta. Tetapi urung karena pemuda tampan dari Gunung Rajawali itu sudah tak nampak di depan mata. Sesaat perasaan gadis itu menjadi tak menentu.

   "Mengapa Kang Tirta meninggalkan ku begitu saja? Bahkan... dia tak berpamitan lagi padaku?"

   Sedangkan saat ini Manusia Pemarah sedang me-longo melihat gerakan si pemuda yang mengingatkan-nya pada sesuatu.

   "Melihat gerakannya, aku yakin dia bukan hanya memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, tetapi juga dia dibantu oleh sebuah tenaga panas luar biasa. Aku juga pernah mendengar tentang Rumput Selaksa Surya dari Guru. Bila ada orang yang berhasil menghi-sap sari rumput itu, maka dia akan memiliki tenaga dalam yang tinggi! Dengan panas luar biasa dan ilmu peringan tubuh yang tinggi pula. Pantas tadi saat ter-jadi bentrokan tubuhku terasa panas. Meskipun aku bisa hentikan hawa panas. itu, tetapi si pemuda tadi bisa membuang hawa panas itu. Jelas dia telah meng-hisap sari Rumput Selaksa Surya!"

   Ketika Manusia Pemarah menolehkan kepala ke kiri dan melihat mu-ridnya sedang terbengong, segera dia membentak sen-git.

   "Kenapa kau jadi murung seperti itu, hah? Ayo sa-na! Kalau kau suka pada pemuda itu, susul dia!"

   Ayu Wulan gelagapan. Untuk sejenak dia men-jelma menjadi orang dungu. Bahkan seperti tidak tahu harus berbuat apa.

   "Guru...."

   "Aku tahu kau menyukainya! Tadi saja kau membelanya saat pemuda itu kumarahi! Kurang ajar! Di depan gurunya masih tidak tahu malu juga bersi-kap sialan seperti itu. Nah, mau apa lagi kau di sini? Sudah pergi!"

   Bentak Manusia Pemarah dengan tangan mengulap-ngulap cepat.

   "Tetapi...."

   "Urusan tetapi urusan belakangan! Minggat dari sini"

   Seru Manusia Pemarah dengan bentakan-bentakan yang kasar dan bisa menyakitkan hati.

   Teta-pi meskipun demikian, Ayu Wulan tahu sebenarnya gurunya memiliki hati yang penuh kasih sayang.

   Kare-na sifatnya yang pemarah itulah dia jadi suka mem-bentak.

   Setelah menangkupkan kedua tangan di dada, Ayu Wulan segera berkelebat meninggalkan tempat itu tanpa berucap sepatah kata juga.

   Sepeninggal muridnya, Manusia Pemarah ber-sungut-sungut.

   "Cinta! Taik kucing dengan cinta! Bikin kepala pusing dan badan kurus kering! Aku jadi teringat dengan Kunti Pelangi, si Bidadari Hati Kejam., Ah, sebenarnya aku mencintainya bahkan sampai sekarang aku mencintainya. Tetapi dia keras kepala dan suka membentak. Begitu pula denganku! Hubungan akhirnya putus begitu saja! Meskipun demikian, kami masih berteman! Ah, Kunti sialan! Kenapa bukan hanya aku saja yang suka marah-marah? Brengsek! Sontoloyo! Keparat! Tetapi... aku merindukanmu juga, Kunti brengsek! Hhh! Soal cinta juga pernah meng-ganggu Raja Lihai Langit Bumi! Memang sampai seka-rang aku tak pernah tahu perempuan mana yang di-cintainya hingga dia menolak cinta Cempaka! Padahal gadis itu dulu sangat cantik luar biasa! Dasar cinta tak ubahnya taik kucing!"

   Habis bersungut-sungut sendiri, orang tua pema-rah itu celingukan.

   Lalu segera empos tubuh mening-galkan tempat itu yang kembali didera sepi.

   *** Bab Sepak terjang Iblis Kubur yang sedang mencari Sampurno Pamungkas, benar-benar mengerikan.

   Se-panjang perjalanannya dia selalu menanyakan seseo-rang yang dicarinya.

   Dan bila orang yang ditanya men-jawab apa yang ingin diketahuinya, orang itu akan se-gera menemui ajal dengan cara mengerikan.

   Kepala terpecah, atau seluruh tubuh mengeluarkan darah.

   Begitu pula bila dia bertanya di mana Gunung Tengger berada.

   Kemunculan Iblis Kubur yang selalu dipantau oleh Dewi Karang Samudera pun makin menyeruak santer.

   Sampai pula ke telinga dua anak manusia yang berbeda jenis yang baru saja selesai memacu birahi di sebuah gubuk kecil yang mereka temukan di sebuah padang rumput.

   "Iblis Kubur. baru kali ini kudengar julukan aneh itu. Apa maksudnya mencari Ki Sampurno Pamungkas? Orang tua muka kuning, tahukah kau siapa g itu?"

   Pertanyaan itu keluar dari mulut indah seorang perempuan. Tubuhnya yang polos terbuka lebar saat di duduk di balai-balai usang gubuk reyot itu.

   "Masa bodoh dengan Iblis Kubur! Yang kuingin-kan adalah kau, Dewi. Ayo, kita berpacu lagi dalam bi-rahi! . Perempuan yang berwajah jelita itu mengelua-rkan dengusan sebal.

   "Seharusnya aku tidak pernah bertemu lagi dengan manusia jelek yang menjijikkan ini. Meskipun dulu dia bekas kekasihku. Hhh! Aku minta bantuannya untuk mendapatkan Pedang Batu Bintang dari tangan si Rajawali Emas rupanya tak ba-nyak membawa hasil. Justru ku korbankan lagi tu-buhku untuk manusia keparat ini."

   Lalu sambil mengenakan pakaiannya yang terbuat dari sutera perem-puan bertubuh indah itu berkata.

   "Jangan buang wak-tu. Urusan masih panjang. Iblis Kubur telah datang. Aku ingin tahu siapa orang itu."

   Lelaki tua yang mukanya berwarna kuning itu pun bangkit. Mengenakan celana hitamnya lagi, se-mentara tubuhnya yang berkulit hitam tak mengena-kan pakaian apa-apa hingga tonjolan tulang belulang-nya sangat nampak.

   "Kalau kau sudah bertemu dengan orang yang berjuluk Iblis Kubur itu, kau mau apa?"

   Usiknya pada si perempuan.

   "Aku tidak tahu. Tetapi aku penasaran. Siapa Ki Sampurno Pamungkas yang dicarinya dan mengapa dia selalu menanyakan di mana Gunung Tengger bera-da."

   Perempuan yang telah mengenakan kembali baju sutera yang indah sekali, dengan belahan dada yang rendah hingga memperlihatkan bongkahan buah dada nya yang besar dan indah mendengus sebal.

   Dia turun dari balai-balai itu, memperlihatkan belahan baju ba-gian bawah hingga ke pangkal paha dan menampak-kan kedua paha yang mulus menggiurkan.

   Wajahnya yang jelita dan pertama kali sempat bikin kaget orang muka kuning yang tadi berpacu birahi dengannya, di-tutupi cadar dari sutera pula.

   Bila melihat ciri perempuan itu, dia tak lain perempuan keji berjuluk Dewi Kematian.

   Dan hanya seorang manusia yang berwajah Se-mentara sekujur tubuhnya berkulit hitam.

   Siapa lagi kalau bukan Manusia Mayat Muka Kuning.

   Orang tua muka kuning itu pun turun menyusul Dewi Kematian keluar dari gubuk.

   Malam menyergap wajahnya yang seolah bersinar pucat tertimpa cahaya bulan.

   Dia terkekeh-kekeh sambil meraba dada perem-puan bercadar sutera di sisinya.

   "Mengapa kau mau tau soal Iblis Kubur. Lebih baik kita pergunakan waktu untuk berpacu terus dalam birahi yang panjang, Dewi.

   "Keparat! Aku memang harus segera meninggal-kan manusia busuk ini."

   Habis mengumbar kata-kata jengkel di hatinya, Dewi Kematian menatap lelaki yang berdiri agak mencangkung di sampingnya seraya ber-kata.

   "Aku penasaran, ada apa di balik semua ini. Ki Sampurno Pamungkas yang dicari oleh Iblis Kubur. Tetapi, bukankah orang itu dikabarkan sudah mampus karena usia lanjut?. Namun sekarang, kalau orang yang berjuluk Iblis Kubu mencarinya, tentunya orang itu masih hidup. Ah, untuk membuktikan semua ini aku akan mencari tahu mau ikut terserah, tidak pun tidak jadi masalah."

   Manusia Mayat Muka Kuning makin liar meraba tubuh perempuan montok di sisinya.

   "Jangan ucap kata yang tak enak didengar. Se-lama tubuh masih berdiri dan birahi masih memacu, tak akan kutinggalkan apa yang bisa kudapat. Aku ikut bersamamu, Dewi. Lalu bagaimana dengan Pe-dang Batu Bintang?" _ "Sampai hari ini, kita belum bertemu dengan si Rajawali Emas. Mungkin untuk sementara, kita lupa-kan soal Pedang Batu Bintang,"

   Sahut Dewi Kematian dan menepiskan tangan Manusia Mayat Muka Kuning dari dadanya. Tetapi orang tua muka kuning itu lagi-lagi merabanya. Membuat Dewi Kematian menggeram jengkel tetapi mendiamkan saja tangan kurus liar itu.

   "Urusan Pedang Batu Bintang boleh ditinggalkan. Aku juga harus cari dan membunuh Bidadari Hati Ke-jam yang pernah mengalahkan sekaligus membikin ku malu dalam pertarungan di Lembah Maut dulu."

   "Bagus kalau begitu! Kita tinggalkan tempat ini!"

   "Malam makin membentang, siap jelang sang fa-jar. Apakah kita tidak kembali ke gubuk dulu?"

   "Setan alas! Kalau tidak kubutuhkan tenaganya, mana sudi aku melakukan semua ini."

   Perempuan bercadar sutera yang memiliki dada besar dan montok itu berkata setengah menggeram.

   "Keputusan cepat kau ambil.

   "

   Biar tak banyak waktu terbuang."

   Manusia Mayat Muka Kuning bukannya menja-wab, Justru menyusupkan kepala pada dada Dewi Kematian yang menguarkan aroma harum merang-sang.

   'Tak akan lagi kutinggalkan tubuhmu ini.

   Dewi...

   apakah kau belum juga memberitahuku tentang raha-sia yang membuat wajah dan tubuhmu masih tetap segar seperti dulu?"

   Kata lelaki muka kuning itu dengan suara serak.

   "Tidak!"

   Sahut Dewi Kematian sambil mendorong kepala Manusia Mayat Muka Kuning dari dadanya.

   Ki-ni si perempuan bercadar sutera tak mau banyak ca-kap.

   Segera dikelebatkan tubuhnya mendahului Ma-nusia Mayat Muka Kuning, yang terkekeh-kekeh hing-ga wajahnya yang kurus berkulit tipis itu bagai masuk keluar.

   Lalu dia pun segera menyusul perempuan ber-cadar yang telah mendahuluinya, yang meninggalkan aroma harum yang menyengat.

   Yang mengherankan orang tua muka kuning itu, di saat dia menggeluti tu-buh si perempuan bercadar yang tercium hanya bau lembut tubuh perempuan itu saja.

   Tetapi bila dia su-dah berpakaian, aroma harum yang menyengat, terasa sampai jarak tiga puluh tombak.

   Sepeninggal kedua tokoh aneh dari golongan se-sat itu, satu sosok tubuh yang sejak tadi mencuri den-gar sambil menahan napas dan mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuhnya, menarik napas lega begitu menyadari keduanya telah berlalu.

   "Iblis Kubur... manusia itukah yang diceritakan oleh Dewi Karang Samudera kepadaku? Keparat! Uru-san apa lagi ini? Hmm... kedua manusia sialan itu kini seakan tak lagi menghiraukan soal Pedang Batu Bintang yang dimiliki oleh Tirta alias si Rajawali Emas. Ini kesempatanku untuk merebut pedang itu. Tetapi, aku juga penasaran untuk tahu soal Iblis. Kubur. Sepak terjang telengasnya akhir-akhir ini memang masuk ke gendang telingaku. Bahkan aku mendengar kalau dia telah melakukan satu pembantaian pada penduduk yang tinggal di lereng bukit Hatur Gawung. Gila! Siapakah orang itu?"

   Dewi Karang Samudera memang tak mencerita-kannya padaku.

   Hanya katakan soal Iblis Kubur.

   Baiknya, kuikuti saja kedua manusia keparat itu! Pa-dahal sebelumnya, aku bermaksud untuk membokong keduanya tadi yang pernah pecundangi aku saat me-reka berada dalam pacu birahi yang tinggi.

   Keterlenaan akan memudahkan untuk menjatuhkan kedua manusia sialan itu.

   Terutama Dewi Kematian yang pernah menginjak-injak harga diriku.

   Dan tak akan kule-paskan nyawanya dari tanganku meskipun aku tahu kesaktian yang dimiliki wanita jalang itu!"

   Perempuan yang kini berdiri tegak, menarik na-pas lagi.

   Mulutnya yang sejak tadi mendumal tak ka-ruan nampak mengeluarkan cairan merah.

   Rupanya perempuan itu sedang mengunyah susur.

   Dari sinar mata kelabu yang masuk ke dalam itu dan wajah penuh keriput dengan bibir warna merah akibat susur yang masih dikunyah si perempuan tua, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ngeri.

   Bajunya hitam dengan rambut panjang sampai ke pinggang.

   "Hhhh! Ratu Tengkorak Hitam tak akan mundur diri sebelum membalas seluruh dendam dan menda-patkan Pedang Batu Bintang!"

   Serunya dingin.

   Perempuan tua mengenakan baju hitam panjang yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam, menoleh ke sana kemari seolah khawatir ada yang melihatnya.

   Setelah beberapa saat berlalu dalam sunyi, Ratu Tengkorak Hitam segera bekelebat ke arah Dewi Kema-tian dan Manusia Mayat Muka Kuning pergi tadi.

   Tempat itu benar-benar disergap kesunyian yang dalam dan mencekam.

   *** Tirta melotot ketika melihat pemandangan di ha-dapannya.

   Cepat ditekap hidungnya karena bau busuk yang menguap bisa membuatnya muntah.

   Tetapi sete-lah dialirkan hawa murninya yang dipadu dengan se-dikit tenaga surya dalam tubuhnya pada jalan perna-fasannya, bau busuk itu menghilang begitu saja.

   Na-mun pemandangan mengerikan di depan matanya tak bisa disembunyikannya lagi, telah masuk dalam relung ingatannya sekalipun dia berada di liang lahat.

   "Setan keparat! Siapa yang melakukan pemban-taian mengerikan ini?"

   Desisnya mendapati puluhan mayat bergelimpangan dan beberapa rumah yang ru-buh.

   Suasana sunyi mencekam.

   Desa Hatur Gawung bagaikan mati.

   Dengan menahan geram di hatinya, Tirta meneliti beberapa mayat yang ada di sana.

   Lagi-lagi terdengar ucapannya.

   Sambil menindih kegeraman.

   "Gila! Kurasakan tubuh mereka masih hangat. Apa kah baru saja terjadi pembantaian? Dari seluruh pori-pori di tubuh mereka, mengeluarkan darah. Ku-rang ajar! Aku bisa menebak sekarang, semua ini pasti dilakukan oleh Iblis Kubur! Karena, yang kulihat ini pernah menimpa Ayu Wulan. Berarti, pembantaian ini bisa satu, tiga atau empat hari yang lalu. Mengenai tubuh mereka yang masih hangat, tentunya karena tena-ga hawa panas yang dilepaskan Iblis Kubur masih te-rasa. Apa salah mereka hingga diperlakukan seperti ini?"

   Si Rajawali Emas menggeleng-geleng kepala dan rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan Iblis Kubur kembali dan menghentikan seluruh sepak ter-jang manusia iblis itu "Kalau memang yang dikatakan Manusia Pema-rah tentang manusia setan itu mencari Ki Sampurno Pamungkas benar, di manakah aku harus menemui manusia setengah dewa yang ternyata sahabat dari Eyang Sepuh Mahisa Agni itu? Mungkin Ki Sampurno Pamungkas lah satu-satunya yang tahu tentang kele-mahan Iblis Kubur karena dia pernah mengalahkan-nya.

   Tetapi, aku pun tak peduli meskipun nyawaku putus dari badan.

   Dan mengenai Kitab Pemanggil Mayat yang dikatakan Manusia Pemarah, kitab apakah itu? Siapa pula orang yang berjuluk Dewi Karang Sa-mudera yang dikatakan memiliki kitab itu.

   Bikin kepa-la pusing! Baiknya, ku kuburkan saja mayat-mayat ini dulu sebelum dijadikan sasaran burung pemakan bangkai.

   Tetapi...

   ini akan memakan waktu! Baiknya kupanggil...

   oh, Tuhan! Bwana! Ya, bagaimana dengan Bwana? Kalau memang semua ini perbuatan Iblis Ku-bur, apakah Bwana selamat?"

   Dengan rasa tegang Tirta menepukkan tangannya liga kali.

   Dan di sela-sela tepukannya diangkat tan-gannya ke atas.

   Cahaya merah berpendar di angkasa tanda di mana dia berada hingga Bwana bisa mene-mukannya.

   Cukup lama dia menunggu kedatangan Bwana.

   Namun tak nampak burung raksasa keemasan yang disayanginya itu.

   "Ada apakah ini? Apakah dia terluka?"

   Desisnya tegang. Namun dua tarikan napas kemudian, terdengar gemuruh angin dahsyat membedah angkasa, disusul dengan koakan yang sangat keras sekali.

   "Bwana...,"

   Desis Tirta yang sudah mendengar suara itu dari kejauhan.

   Tak lama kemudian, burung rajawali yang besar-nya empat kali gajah dewasa itu meluruk turun dan hingga berjarak sepuluh tombak dari hadapannya.

   Ta-nah beterbangan dan daun-daun berguguran saat Bwana meluncur tadi.

   Tanpa membuang waktu, Tirta cepat berkelebat mendekati burung kesayangannya.

   "Apa kabarmu, Bwana?"

   Dilihatnya sinar mata Bwana sangat lemah sekali dan si Rajawali Emas terperanjat ketika mendengar suara lirih Bwana.

   "Oh, Tuhan! Kau...."

   Bergegas Tirta memeriksa kaki kiri Bwana. Bwa-na mengeluarkan suara pelan.

   "Koaak..."

   Tirta yang mengerti arti setiap ucapan Bwana dan sepertinya Bwana pun mengerti setiap ucapannya, se-gera mengusap bulu halus yang besar di bagian sayap kiri Bwana.

   "Tenanglah, Bwana... tenang.... Ya, ya... aku tahu tubuhmu sedang panas sekarang. Itu akibat pukulan Iblis Kubur tentunya."

   Bwana bersuara lagi.

   Tirta melengak "Apa? Dari mulut Iblis Kubur ke-luar asap seperti mata anak panah? Hmm...

   rupanya kesaktian manusia iblis itu memang tinggi.

   Bwana, se-karang kau tenanglah.

   Aku akan segera mengobati ka-kimu yang melepuh ini.

   Kalau bukan kau, mungkin dalam Waktu tiga hari kau sudah menemui ajal."

   Dengan penuh kasih sayang Tirta mengusap ke-dua tangannya yang telah dialirkan tenaga surya yang berpusat dari pusarnya.

   Setelah itu, perlahan-lahan di-tempelkannya kedua tangannya pada kaki kiri Bwana yang agak menghitam.

   Bwana mengeluarkan suara lengkingan tinggi dan mengepakkan sayapnya yang seketika timbul an-gin bergemuruh dahsyat.

   "Tahan, Bwana! Tahan! Rasa sakit yang kau ra-sakan karena pengaruh tingginya tenaga panas dalam tubuhmu akibat perbuatan Iblis Kubur yang bertemu dengan tenaga surya yang kupancarkan. Bwana... jan-gan bergerak-gerak aku sulit melakukannya!"

   Meskipun masih mengeluarkan koakan yang ke-ras dan menerbangkan debu-debu, Bwana bertahan.

   Nampak tubuhnya bergetar.

   Sementara sekujur tubuh Tirta perlahan-lahan mengeluarkan keringat yang langsung mengering seketika dan tak keluar lagi.

   Dira-sakan pula satu desakan panas yang berusaha masuk ke tubuhnya yang segera ditahannya sekuat tenaga.

   Cukup lama juga dia berusaha mengobati Bwana.

   Sampai kemudian dirasakan desakan hawa panas mencoba masuk ke tubuhnya perlahan-lahan melemah dan hilang sama sekali.

   Dirasakan pula tubuh Bwana sudah tidak setegang tadi, dan koakan yang keluar da-ri mulutnya sangat dihafal oleh Tirta.

   "Bagus kalau begitu... sekarang tinggal taraf pe-nyembuhan, Bwana... Tak seberapa sakit, aku yakin kau mampu mengatasinya."

   Pekerjaan mengobati Bwana pun akhirnya sele-sai.

   "Bagaimana, Bwana? Sudah sehatkah kau seka-rang?"

   Bwana mengangguk-angguk dengan mata mem-bulat cerah.

   "Bagus! Coba kau gerakkan kaki kirimu dan ra-sakan.". Bwana melakukan perintah Tirta. Dan kembali mengeluarkan suara.

   "Bagus! Sekarang, bantu aku mengumpulkan mayat-mayat ini, Bwana... sementara aku akan meng-gali lubang!"

   Pekerjaan menguburkan mayat yang berserakan pun tak memakan waktu terlalu lama.

   Dalam lima be-las tarikan napas saja, Bwana sudah selesai mengum-pulkan mayat-mayat itu.

   Begitu pula Tirta yang meng-gali lubang besar dengan bantuan Pedang Batu Bin-tang.

   "Baru kali ini kulihat sebuah makam yang sangat besar dan tinggi. Kebiadaban Iblis Kubur harus dihentikan Bwana, bawa aku untuk mencari manusia kepa-rat itu. Bila mencari dari angkasa, mungkin akan lebih mudah menemukannya,"

   Kata Tirta sambil menatap gundukan besar itu.

   Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Tirta menepuk sayap Bwana dan bersiap melompat naik ke punggung Bwana.

   Tetapi pemuda berajah burung rajawali berwarna keemasan pada lengan kanan dan kirinya, justru ber-seru.

   "Cepat tinggalkan tempat ini, Bwana! Ada yang datang!"

   Apa yang didengar Tirta itu pun didengar pula oleh Bwana.

   Seketika terdengar gemuruh angin yang dahsyat dan tubuh Bwana pun mengangkasa kembali.

   Sementara itu Tirta melesat ke batang sebuah pohon.

   *** Bab Sepuluh tarikan napas telah terlewati sejak Tirta lompat ke balik pohon yang rimbun.

   Tak lama kemu-dian dilihatnya tiga sosok tubuh yang berhenti di tem-patnya tadi.

   Dua gadis jelita dan seorang pemuda tampan.

   Si pemuda berucap.

   "Aneh! Mengapa tadi kudengar suara yang sangat keras sekali dan tahu-tahu sekarang tidak ada apa-apa di sini?"

   "Kakang Wisnu... sudah kukatakan kalau aku dan Nandari tak mendengar apa-apa. Mengapa kau masih bersikeras juga, hah?"

   Seru gadis yang mengenakan pita merah dengan sikap mengejek.

   Wajahnya bulat jelita dengan sepasang mata yang bagus.

   Menge-nakan pakai merah yang sangat kontras dengan kulit-nya yang kuning mulus.

   Di ikat pinggangnya yang berwarna biru, terselip dua buah trisula.

   Dia melirik perempuan yang mengenakan baju dan pita biru serta ikat pinggang berwarna merah.

   Keduanya bukan sau-dara kembar, tetapi wajah keduanya demikian mirip.

   "Bagaimana denganmu, Nandari?"

   Gadis yang wajahnya mirip dengan orang yang bertanya menganggukkan kepala.

   "Kau benar, Andini. Aku tidak mendengar apa-apa Tetapi soal pendengaran, Kakang Wisnu lebih tinggi dari kita,"

   Katanya dengan suara lembut. Lelaki muda yang dipanggil Wisnu mendengus. Dia berbaju putih yang terbuka di dada dan perli-hatkan dada bidang. Rambutnya panjang tergerai. Di punggungnya terdapat sebilah pedang.

   "Tak mungkin aku salah mendengar. Teriakan itu seperti teriakan seekor rajawali!"

   Serunya ngotot. Andini yang mempunyai sifat riang, berlainan dengan Nandari yang memiliki sifat lembut tertawa re-nyah.

   "Jangan mengigau kau, Kang Wisnu. Kalau me-mang yang kau katakan itu burung rajawali, mana ada burung rajawali yang suaranya bisa kau dengar dari jarak tiga puluh tombak. Kalau Guru, aku tak me-nyangsikan lagi."

   Wajah tampan Wisnu mendengus.

   "Sudah, su-dah! Mulutmu memang keterlaluan, Andini! Lebih baik kita teruskan perjalanan. Sudah cukup lama kita men-cari jejak Dewi Karang Samudera yang memiliki Kitab Pemanggil Mayat. Sesuai dengan pesan Guru, setelah enam bulan kita pergi, kita harus kembali ke tempat asal dengan atau tanpa membawa Kitab Pemanggil Mayat."

   "Hei, Kang! Apakah kau tidak dengar kalau Iblis Kubur sudah muncul?"

   Suara Andini bertanya dengan nada mengejek.

   "Jangan-jangan berita santer itu kau tidak dengar, tetapi suara burung rajawali yang kau maksudkan itu sampai ke telingamu. Benar-benar aneh."

   Tahu kalau sedang diledek, Wisnu mendengus.

   Dia Juga sudah mendengar kabar tentang munculnya Iblis Kubur.

   Manusia sesat yang pernah diceritakan oleh guru mereka.

   Kedua gadis jelita yang berbeda sifat itu adalah adik-adik seperguruannya.

   Nandari yang menjawab.

   "Sudahlah, Andini. tak usah mengejek Kang Wisnu terus menerus. Mungkin saja dia memang mendengar tentang burung rajawali itu."

   "Dan dia tak mendengar tentang Iblis Kubur, bukan?"

   Kata Andini sambil melirik Wisnu dengan se-nyuman di bibir.

   "Dia juga sudah tahu soal itu. Tetapi kita juga harus ingat pesan Guru. Setelah enam bulan kita me-ninggalkannya, kita harus kembali ke Pesanggrahan Mestika."

   Kali ini wajah riang Andini tertekuk Lalu dengan bersungut-sungut dia berkata.

   "Iya, iya! Kau selalu membelanya terus! Aku mengerti, kok. Mengerti sekali!"

   Wajah Nandari memerah.

   "Apa maksudmu, Andini?"

   "Nah, pura-pura lagi! Sudahlah, sekarang apa yang bisa kalian katakan tentang gundukan tanah di hadapan kita itu? Apakah ada sesuatu di dalamnya, ataukah memang sudah ada tanah seperti itu? Tetapi nampaknya tidak mungkin kalau tanah itu ada di sana begitu saja. Meskipun tempat ini sepi, tetapi melihat rumah-rumah yang ada di sini, nampaknya dulu ber-penduduk. Jadi apa yang bisa kita katakan tentang ini. Waduh! Pantas kalian diam saja, rupanya asyik saling pandang, ya?"

   Wajah kedua muda-mudi itu memerah mendapati ucapan Andini.

   Lalu keduanya terburu-buru menatap gundukan tanah yang dikatakan gadis berbaju merah itu tadi "Nah, coba kalian katakan....

   Tanah apa itu? Ka-lau dugaanku, melihat tanah itu masih baru, rasanya seperti kuburan.

   Tetapi mayat apa yang dikubur di sa-na kalau sebesar itu kuburannya?"

   Ketiganya berjalan mendekati gundukan tanah yang tadi dibuat oleh Tirta untuk menguburkan mayat-mayat para penduduk akibat pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Kubur.

   "Kau benar, Andini. Sepertinya... sebuah kubu-ran,"

   Kata Wisnu sambil memegang tanah di hadapannya. 'Tetapi, kuburan siapa? Atau kuburan apa? Apa-kah ada raksasa yang mati dan dikuburkan di sini? Lalu... ke mana orang-orang di sini?"

   Tak ada yang bersuara. Angin berhembus dingin. Menerbangkan beberapa dedaunan. Kesunyian itu dipecahkan oleh suara renyah An-dini.

   "Sudahlah! Ayo kita segera menuju Pesanggrahan Mestika! Buat apa sih pikir-pikir soal itu? Cuma bikin pusing kepala saja!"

   Andini berjalan mendahului, sementara Nandari melirik Wisnu yang sedang menatapnya sambil terse-nyum. Gadis lembut berbaju biru itu segera tertunduk dengan kedua pipi yang tiba-tiba merona. Wisnu berkata lembut.

   "Apakah kita masih akan berada di sini, Nandari?"

   Nandari berusaha menahan gemuruh hatinya. Lalu katanya tanpa mengangkat kepalanya pada Wis-nu.

   "Tidak. Kita harus mentaati pesan Guru."

   "Dan aku juga tidak mau kalau gadis ceriwis itu menggodaku lagi. Meskipun... sebenarnya aku sangat senang mendengar kata-katanya tadi."

   Makin merona wajah Nandari mendengar kata-kata Wisnu. Terutama, kata-kata terakhir pemuda yang diam-diam telah merenggut cintanya.

   "Ah, Kang Wisnu ini...."

   Wajah Wisnu berubah. Lalu katanya bagai terda-pat duri di tenggorokan.

   "Apakah kau... tidak suka mendengar kata-kata Andini tadi?"

   Nandari tak menjawab. Bahkan dia justru keliha-tan lebih gelisah. Mana mungkin dia menjawab perta-nyaan Wisnu barusan? Wisnu menarik napas pendek mendapati gadis itu hanya terdiam.

   "Lupakan pertanyaan konyolku itu. Sebaiknya, kita susul si ceriwis itu."

   Belum lagi keduanya bergerak menyusul Andini, tiba-tiba terdengar teriakan gadis nakal itu.

   "Orang keparat! Mau apa kau halangi langkahku, hah?!"

   Wisnu dan Nandari saling berpandangan sesaat Lalu seperti disepakati, keduanya segera berkelebat ke arah Andini.

   Sementara itu, di balik batang pohon, Tirta men-gerutkan keningnya.

   'Apa yang terjadi? Teriakan gadis itu menandakan tidak main-main? Hmmm...

   sebaiknya aku segera melihat apa yang terjadi!" *** Berjarak lima belas tombak dari tempat semula.

   Wisnu dan Nandari melihat Andini sedang berhadap dengan seorang lelaki tua yang sepertinya memang sengaja menghalangi langkahnya.

   "Hei, orang jelek! Minggir! Mau apa kau mengha-langi langkahku ini, hah?!"seruan Andini terdengar lantang. Orangnya bertolak pinggang dengan mata melotot. Orang yang berdiri di hadapan ketiga murid dari Pesanggrahan Mestika itu tersenyum aneh. Berpakaian compang-camping dengan sebuah tongkat kusam di tangannya. Rambutnya putih kusut dan wajah cedok ke dalam. Saat berbicara, orang itu tak menatap ke arah Wisnu, Andini dan Nandari.

   "Kalau aku mau berdiri di sini, ada urusan apa dengan kalian? Bila kalian ingin meneruskan langkah, silakan lewat jalan lain."

   "Setan alas!"

   Maki Andini geram. Dia hampir saja tak bisa menahan marahnya bila saja tak segera didengar seruan Wisnu yang tahu situasi yang tidak enak. Selain bersifat ceriwis, Andini juga penasaran. Bisa berabe kalau gadis itu dibiarkan berbicara.

   "Orang tua... maafkan sikap adikku barusan. Dia tak bermaksud membentakmu seperti itu. Bila kau tak mau menyingkir dari sana, biarlah kami mengalah un-tuk mengambil jalan lain,"

   Kata Wisnu yang memang tak mau cari urusan. Orang tua compang-camping itu mengeluarkan suara tawa yang tak enak didengar. Lalu masih tanpa menoleh ke arah ketiganya, dia berkata.

   "Hmm... bila ku cium bau yang menguap, aku yakin ada dua orang gadis di sini. Ah, telah lama diri ini tak nikmati kehan-gatan tubuh seorang wanita. Aku akan menyingkir dari sini, bila salah seorang wanita yang ada bersamamu bersedia menemaniku. Siluman Buta."

   Mendidih darah di tubuh Wisnu mendapati uca-pan orang.

   Dan diam-diam matanya menatap tak ber-kedip pada lelaki tua berpakaian compang-camping yang pernah didengarnya julukan itu.

   Tirta yang sudah bersembunyi di atas sebuah pohon di balik rimbunnya semak mendumal.

   "Siluman But! Kurang ajar juga manusia jelek satu-ini! Apa dia tidak tahu kalau wajahnya lebih mengerikan dari kun-tilan telat buang hajat? Tetapi... he he he... manusia jelek itu kan buta. Mana dia tahu? Pikirnya wajahnya mirip seorang pangeran barangkali. Pangeran kentut!"

   "Siluman Buta... urusan tak perlu diperpanjang karena kami tak ingin mencari masalah. Lebih baik kami berputar arah,"

   Kata Wisnu masih berusaha ber-sabar.

   Kekehan yang sejak tadi terdengar dari mulut ke-riput Siluman Buta mendadak terputus bagai direng-gut paksa.

   Kepalanya mengarah pada ketiga murid Pe-sanggrahan Mestika.

   Mata celongnya yang seluruhnya berwarna putih pucat bergerak liar.

   "Aku menginginkan salah seorang gadis dari ka-lian!"

   Usai kata-katanya, tubuh Siluman Buta berkelebat laksana kilat.

   Wusss! Tongkatnya bergerak ke arah Andini, yang den-gan cepat membuang tubuh ke samping dan siap me-lancarkan satu jotosan.

   Namun....

   Tuk! Tuk! Tongkat kusam yang dipegangnya, tiba-tiba saja sudah menotok urat darah di bawah ketiak kiri Andini dan urat jalan suaranya.

   Andini mengeluarkan kelu-han tertahan.

   Dan dalam keadaan lemah dirasakan tubuhnya dibopong dan berputar dua kali.

   Rupanya Siluman Buta telah membopong tubuh Andini, dan membawanya berputar.

   Wisnu terkesiap melihatnya.

   "Astaga! Tak mung-kin Andini bisa ditaklukkan begitu mudah. Kepan-daiannya tak jauh berbeda denganku. Jelas kalau ma-nusia buta ini ilmunya sangat tinggi. Aku harus berha-ti-hati. Tetapi kalau sampai Andini diperlakukan ma-cam-macam, aku akan mengadu jiwa dengannya!"

   Sementara itu Nandari yang biasanya selalu sa-bar, untuk bisa menahan sabarnya lagi melihat sauda-ranya itu ditaklukkan oleh orang tua yang berdiri di hadapannya.

   Dia langsung meloloskan sepasang trisu-lanya, mengeluarkan gerengan keras dia menerjang ke arah Siluman Buta.

   Wuuut! Wuuutt! Siluman Buta menelengkan kepala sedikit.

   Ber-samaan dengan sepasang trisula Nandari mencari sa-saran, digerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat.

   Wuuut! Trak! Trak! Gedoran Nandari tertahan.

   Bahkan tubuhnya ter-jajar tiga tombak ke belakang.

   Wisnu terkesiap melihat apa yang terjadi.

   Dia ta-hu yang dilakukan oleh Nandari barusan bukan jurus sembarangan.

   Namun hanya satu gebrak saja Nandari sudah dibuat terhuyung.

   Tak mau buang waktu, apalagi melihat gadis yang diam-diam dicintainya itu dihajar, Wisnu segera berkelebat sambil meloloskan pedangnya.

   Bukan buatan jurus pedang yang dilakukannya.

   Setiap kali diki-baskan pedangnya, angin setajam sembilu menyam-bar.

   Belum lagi tajamnya pedang bila mengenai sasa-ran.

   Masih dengan membopong Andini yang lunglai, Siluman Buta mengeluarkan dengusan kemarahan dan melompat sambil menggerakkan tongkatnya.

   Bila saja Wisnu tak sigap, tak pelak lagi lehernya akan jadi sasaran tongkat yang mengeluarkan gebahan angin dahsyat itu.

   Nandari pun turun membantu.

   Serangan keduanya benar-benar mematikan.

   Ge-rakan keduanya tak ubahnya angin belaka diiringi dengan kibasan senjata di tangan.

   Dan senjata di tan-gan muda-mudi itu tak ubahnya hanya dua bayangan belaka yang berkelebat.

   Akan tetapi....

   Wuttt! Dalam dua jurus berikutnya, tubuh Wisnu ter-sungkur ke belakang terkena gedoran tongkat Siluman Buta yang keras.

   Sementara Nandari bergulingan keti-ka kaki kurus manusia itu menghantam punggungnya.

   Orang tua buta itu tak meneruskan serangannya Justru dia berkata dingin.

   "Bila merasakan gerakan kalian, aku seperti mengenai gerakan dasar itu. Apa salah bila kukatakan kalian adalah murid-murid ma-nusia buntal yang berjuluk Dewa Bumi?"

   Wisnu yang berlutut sambil memegangi dadanya menggeram.

   "Orang yang kau maksudkan adalah Guru kami! Bagusnya, kau bisa mengenali jurus yang kami lakukan tadi. Dan tentunya kau tahu, kalau itu hanya-lah Jurus dasar belaka!"

   Siluman Buta terkekeh-kekeh, masih dengan membopong tubuh lunglai Andini yang hanya bisa me-lotot saja. Sungguh, gadis itu tak menyangka sama se-kali, kalau Siluman Buta melakukan gerakan demikian cepat ke arahnya.

   "Hhmmm... bagus! Ingin kulihat apakah kalian telah menyerap seluruh ilmu Dewa Bumi?!"

   "Tutup mulut kurang ajarmu itu!"

   Bentak Wisnu dengan kemarahan yang makin naik ke ubun-ubun.

   Pemuda yang mulai kalap langsung menerjang tanpa memperdulikan rasa sakit pada dadanya.

   Pedangnya kali ini berputar dahsyat, menimbul-kan gemuruh angin yang luar biasa.

   Di tangan kirinya mendadak nampak cahaya warna merah yang sangat terang.

   Dan lagi-lagi, Siluman Buta seolah tahu apa yang dilakukan oleh Wisnu.

   "Pukulan 'Sinar Dewa'! Hhh! Kudengar manusia buntal itu juga sangat hebat dalam pukulannya yang satu ini! Aku ingin merasakannya!"

   Lalu dengan gerakan yang sangat aneh, orang tua buta yang masih membopong tubuh Andini itu bergerak cepat.

   Tongkatnya diputar berkali-kali hingga menimbulkan angin yang tak kalah dahsyatnya dari yang dilakukan oleh Wisnu.

   *** Bab TRAK! TRAK! Dua kali benturan terjadi.

   Rupanya kali ini Wisnu sudah melipat gandakan tenaga dalamnya, dia hanya terhuyung sesaat lalu susulkan serangan dengan tan-gan kirinya.

   Angin lembut dari tangan kirinya mende-ru.

   Seperti tak terasa apa-apa.

   Keinginannya untuk membalas perlakukan Silu-man Buta sangat nampak pada wajahnya yang mem-besi.

   Tetapi detik kemudian, justru dia yang mem-buang tubuhnya ke kanan! Duaaarrr! Angin lembut yang berasal dari pukulan 'Sinar Dewa' sungguh mengerikan akibatnya, melabrak ru-mah kosong yang ada di sana.

   Rumah itu berantakan seketika.

   Beberapa bagian terpental jauh.

   Rupanya manusia buta itu dengan liciknya membelokkan gera-kannya, lalu memutar tubuh hingga yang kini ada di hadapan Wisnu adalah tubuh Andini! Itulah sebabnya Wisnu urung melakukan puku-lan karena tak ingin gadis ceriwis yang kini dalam keadaan tak berdaya yang justru terhantam.

   "He he he... mengapa harus kau hentikan puku-lan mu itu, hah? Apakah kau sudah tidak punya nyali lagi untuk menghadapiku? Sungguh aneh! Kupikir be-gitu dahsyat pukulan 'Sinar Dewa' tetapi rupanya hanya pukulan seorang pengecut yang tak berani me-lancarkan pukulan!"

   Makin mengkelap Wisnu mendengar ejekan yang ingat menyakitkan hatinya.

   "Manusia buta licik! Turunkan saudaraku itu! Ki-ta bertarung sampai mampus!"

   "Mengapa harus repot-repot menuruti perintah sialanmu itu, hah? Bukankah ini sebuah permainan yang mengasyikkan? Tetapi... sayang bila waktuku ku-buang sekarang. Lebih baik kunikmati saja gadis yang montok ini!"

   Habis kata-katanya, Siluman Buta melesat ke be-lakang dan siap meninggalkan tempat itu. Namun de-sir angin yang lembut mendadak tertangkap telin-ganya, mengarah kebagian punggung dan membuat-nya berputar dua kali ke belakang.

   "Keparat!"

   Rupanya Nandari juga sudah mempergunakan pukulan 'Sinar Dewa' yang lembut namun mengerikan itu.

   Kembali terdengar suara ledakan yang keras dan sebuah rumah kosong jadi sasaran pukulan yang kali ini dilepaskan oleh gadis berbaju biru dengan ikat pinggang warna merah itu.

   "Lepaskan saudaraku itu!"

   Menggelegar suara Nandari sambil pentangkan kedua kakinya.

   Matanya menatap Siluman Buta tanpa berkedip sekali pun.

   Wa-jahnya agak memerah karena marah yang menggigit.

   Biar bagaimana sabarnya gadis jelita itu namun melihat nasib saudaranya yang seperti telur diujung tanduk, kegarangan yang selama ini tersimpan bisa tersulut bangkit.

   Merayap naik dan menggumpal jadi satu kemarahan tinggi.

   "Rupanya kalian tak melihat gelagat! Baik! ingin kurasakan kehebatan pukulan 'Sinar Dewa'!"

   Bentak Siluman Buta. Lalu dengan sikap geram, dilemparnya tubuh Andini yang terguling seperti nangka busuk "Silahkan!"

   Nandari melirik Wisnu yang sudah memasukkan pedangnya ke warangkanya.

   Wisnu menganggukkan kepala.

   Kedua murid dari Pesanggrahan Mestika itu pun segera menarik napas, lalu mengalirkan pukulan 'Sinar Dewa' yang dahsyat itu.

   Sinar merah menyala menggidikkan terpancar dari kedua telapak tangan mereka.

   Dan bagai disepa-kati, keduanya langsung menerjang dengan teriakan yang sangat keras.

   Dan anehnya, angin yang keluar begitu lembut.

   Seolah tak terasa.

   "Heaaaa!"

   Bersamaan.

   dengan dua tubuh yang meluncur dan siap menghantamkan pukulan 'Sinar Dewa', orang tua buta itu segera memutar tongkatnya..

   Angin seperti topan menghantam pantai terjadi Menderu-deru dengan dahsyat.

   Bukan hanya daun-daun dan tanah yang beterbangan, beberapa rumah pun berderak dan terbang dibawa pusaran angin dah-syat itu.

   Tubuh Wisnu dan Nandari pun terbawa sebelum keduanya sempat menurunkan pukulan maut mereka.

   Brak! Brak! Tubuh keduanya menghantam dinding sebuah rumah dan terpental lagi ke depan.

   Darah mengalir da-ri mulut keduanya.

   Namun mereka sudah siap untuk menyabung nyawa.

   Tanpa menghiraukan keadaan yang mulai terasa menyiksa, keduanya mengalirkan tenaga dalam untuk menahan pusaran angin dahsyat tadi.

   Lalu meluncur kembali meskipun agak tertahan.

   Keempat buah pukulan langsung dikirimkan kedua-nya.

   Cahaya terang menghampar, gelombang angin lembut masuk dalam pusaran angin yang semakin la-ma bertambah dingin.

   Dan terdengar suara dentuman dahsyat.

   Blaaaarr! Tanah di hadapan mereka rengkah, membuyar-kan tanah sedalam setengah depa ke udara yang seke-tika menghalangi pandangan.

   Ketika kepulan debu itu luruh, nampak tubuh keduanya terhuyung ke bela-kang dengan seluruh tulang terasa linu.

   Sementara Si-luman Buta memegangi dadanya dengan tangan kiri.

   Darah mengalir dari mulutnya.

   "Luar biasa! Pukulan 'Sinar Dewa' ternyata begitu hebat. Dipergunakan oleh kedua muda-mudi ini saja sudah sedemikian tangguh. Apa lagi bila Dewa Bumi yang melakukan. Urusan memang harus diselesaikan. Keduanya harus kukirim ke neraka biar tak jadi uru-san!"

   Habis membatin seperti itu, dengan gerengan yang luar biasa dahsyat, Siluman Buta melesat ke depan.

   Tongkat kusamnya siap dihantamkan pada Wisnu dan Nandari yang tak kuasa lagi untuk bangkit.

   Kare-na dirasakan seluruh tulang penyangga tubuh mereka seperti patah.

   Tetapi mendadak...

   | Des! Des..! Satu bayangan melesat dari arah kiri dan mema-pas tongkat kusam Siluman Buta.

   Bahkan, orang itu masih sempat menghantamkan pukulannya ke dada lelaki buta yang mengeluarkan pekikan tertahan seke-tika tubuhnya terhuyung ke belakang.

   "Setan alas! Siapa kau, hah?"

   Bentak Siluman Buta sambil menahan dadanya yang bertambah nyeri. Di sela bentakan Siluman Buta, dua pekikan ter-dengar.

   "Guru!"

   Orang yang memapaki sekaligus mengirim puku-lan pada Siluman Buta, berputar di udara dua kali.

   Lalu hinggap di tanah dan berdiri dengan tegak.

   Agak lucu saat dia berdiri.

   Manusia itu seperti tak memiliki kepala kaki dan tangan.

   Tak ubahnya mirip bola bela-ka.

   Dan tingginya, hanya sepundak Nandari! "Dunia rupanya sudah mau kiamat! Orang ba-nyak bertindak murtad! Apakah Siluman Buta akan turunkan tangan keparat?"

   Suara sosok buntal yang mengenakan kalung sangat besar di lehernya itu terdengar berayun-ayun.

   Pakaian batik yang terbuka di dadanya, entah karena tak bisa dikancing akibat kebe-saran perut atau memang karena tak punya pakaian lagi, menampakkan bongkahan dadanya tak ubahnya dada seorang wanita.

   Di tangan kanannya terdapat sebuah cangklong yang sangat besar.

   Tak mengelua-rkan asap apa-apa.

   Tetapi ke-tika dihisapnya, menge-pul asap yang wangi dari mulutnya! Siluman Buta berdiri tegak perlahan setelah mengalirkan tenaga dalam dan mengusapkan tangan-nya pada mulutnya yang mengeluarkan darah.

   Kepa-lanya ditelengkan.

   Cuping hidung dan telinganya ber-gerak-gerak mirip tikus mendapat makanan.

   "Hmmm... bau wangi asap dari pipa tak berasap dan gerakan meluncur seperti bola itu siapa lagi yang memilikinya kalau bukan Dewa Bumi?!"

   Orang buntal yang berjuluk Dewa Bumi mengisap cangklong nya yang tak ada apinya. Namun ketika di-hembuskan, lagi-lagi ada asap yang keluar dari mulut-nya.

   "Kau sudah kenal siapa yang ada di hadapanmu. Lebih baik minggat. Sebelum nyawa merat ke akhirat!"

   "Enteng bacotmu bicara, Manusia buntal!"

   "Pandang langit setinggi mata memandang. Tatap dasar bumi dengan nurani. Kalau tak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi, silakan tegak berdiri dan siap untuk mati!"

   "Setan! Aku akan tinggalkan tempat ini bila mu-rid-murid keparatmu menunjukkan di mana Kitab Pe-manggil Mayat!"

   Maki Siluman Buta meradang. Wisnu dan Nandari yang kini duduk bersila sete-lah bersemadi sejenak tadi, baru menyadari apa yang diinginkan oleh orang tua buta itu sebenarnya. Wisnu mendesis dalam hati.

   "Kitab Pemanggil Mayat. Aneh! Dari mana manusia itu tahu soal Kitab Pemanggil Mayat. Dan mengapa dia seperti yakin kalau kitab itu berada di tangan kami? Padahal tidak sama sekali."

   Dewa Bumi mengangguk-anggukkan kepalanya, yang seolah tak memiliki leher saking tebalnya.

   "Hanya gara-gara Kitab Pemanggil Mayat, hamper saja nyawa merat. Dasar manusia keparat! Kalau ingin tahu, silakan tanya pada muridku."

   Sebelum Siluman Buta mengeluarkan suara, Wisnu yang kini telah berdiri tegak berkata.

   "Soal Kitab Pemanggil Mayat bukan urusan kami! Tugas dari Guru memang harus kami emban! Tetapi jangankan menda-patkan Kitab Pemanggil Mayat, pemiliknya saja tidak pernah kami temui!"

   "Jangan dusta!"

   Maki Siluman Buta keras.

   Dewa Bumi mengangkat tangan kirinya tanda agar Wisnu jangan bersuara lagi.

   Lalu sambil menghi-sap cangklong nya yang tak dibakar, namun ketika di-hembuskan melalui mulut nampak asap putih dan wangi, dia berkata dengan suara yang terayun-ayun.

   "Muridku telah jawab pertanyaan, silakan tinggalkan tempat!" ,| "Aku memang hanya mendengar kehebatan ma-nusia buntal ini. Tetapi, serangan dari dua muridnya tadi sudah menunjukkan siapa diri orang buntal berju-luk Dewa Bumi ini. Tubuhku belum pulih sekarang, apalagi aku baru saja sembuh akibat serangan Manu-sia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian. Urusan bisa jadi kapir bila aku tak segera tinggalkan tempat!"

   Habis membatin begitu, dengan suara keras Siluman Buta berkata.

   "Untuk saat ini aku mengalah tak mendapatkan petunjuk siapa yang memiliki Kitab Pemang-gil Mayat! Tetapi, jangan harap urusan sudah selesai. Lain kali, kita bertemu lagi!"

   Lalu dengan gerakan yang masih menunjukkan kelasnya, Siluman Buta meninggalkan tempat itu. De-wa Bumi hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, lalu menoleh pada kedua muridnya.

   "Bagaimana keadaan kalian?" 'Kami... tidak apa-apa, Guru,"

   Sahut Wisnu.

   "Kau, Nandari?"

   "Aku juga tidak apa-apa, Guru,"

   Sahut Nandari dengan suara yang kembali lembut.

   Kegarangannya hilang sama sekali.."Bagus! Aku yakin, kalian belum menemukan di mana Dewi Karang Samudera berada.

   bukan? Tetapi rasa nya, tak perlu lagi kalian cari manusia itu, karena Iblis Kubur telah bangkit.

   Dan perempuan berbaju hijau tipis itu yang telah membangkitkan, tentunya telah menguasai Iblis Kubur.

   Rimba persilatan akan makin kacau setelah terjadi kegegeran tentang Batu Bintang."

   "Maafkan kami, Guru. Tadi kami bermaksud un-tuk. kembali ke Pesanggrahan Mestika,"

   Kata Wisnu.

   "Tak usah dipikirkan, karena akan jadi masalah. Lebih baik didiamkan, biar semuanya lenyap begitu sa-ja. Tetapi sekarang, kalian tak perlu kembali ke Pe-sanggrahan Mestika. Kalian harus mencari Dewi Ka-rang Samudera. Karena teror Iblis Kubur berada di bawah tangannya."

   "Guru hendak ke mana sekarang?"

   "Kutinggalkan Pesanggrahan Mestika karena aku tahu kalian tak menemukan orang yang ku maksud. Sekarang aku ingin mencari sahabat jelekku yang suka marah-marah dan berjuluk Manusia Pemarah. Dialah yang tahu teka-teki tentang Iblis Kubur. Hhmmm... di mana Andini berada?"

   Bagai disentak setan, kedua muda-mudi itu me-lengak.

   Baru mereka ingat di mana Andini.

   Keduanya berkelebat ke sana-sini mencari gadis manis namun ceriwis itu.

   Wajah keduanya sama-sama tegang.

   Mereka kembali lagi menghadap Dewa Bumi tan-pa hasil.

   Tanpa diucapkan kata, Dewa Bumi tahu apa yang terjadi.

   "Urusan Andini, ku embankan pada kalian. Cari saudara kalian itu. Sekarang aku akan meninggalkan tempat untuk cari Manusia Pemarah,"

   Kata Dewa Bumi dengan nada berayun tanpa rasa cemas akan hilangnya Andini.

   Setelah itu, dengan tangan kiri berada di bela-kang dan mulut menghisap cangklong besar tanpa api itu namun mengeluarkan asap dari mulutnya, dia me-langkah pelan.

   Gerakannya sangat lucu, karena ping-gulnya bagai melenggak-lenggok.

   Nandari menatap Wisnu.

   "Kakang... ke mana kita hams cari Andini?"

   Wisnu usap wajahnya, lalu menggelengkan kepa-lanya perlahan. Wajahnya agak tegang pula.

   "Aku tidak tahu. Tetapi..."

   "Kenapa, Kakang?"

   Potong Nandari tak sabar. Pa-da saat-saat mencemaskan seperti ini, seluruh kelem-butan yang dimiliki Nandari seolah menguap.

   "Apakah Siluman Buta telah membawanya? Bu-kankah dia tadi melempar Andini saat kita serang?"

   Nandari terdiam begitu saja. Lalu katanya men-gutarakan apa yang dipikirkannya.

   "Kalau memang Siluman Buta membawa Andini, mengapa Guru diam saja?"

   Sulit menjawab pertanyaan Nandari barusan hingga Wisnu hanya menggelengkan kepala.

   Tetap.

   ke-jap kemudian, keduanya segera berkelebat ke arah Si-luman Buta berlalu.

   Keduanya yakin, saat berlalu tadi Siluman Buta masih sempat menyambar Andini dan membawanya pergi.

   *** Bab 10 Ke mana andini pergi? Selagi terjadi bentrokan hebat antara Siluman Buta dengan Wisnu dan Nandari, si Rajawali Emas me-lihat keadaan justru tidak menguntungkan bagi Andini yang dilempar begitu saja oleh manusia buta yang ber-baju compang-camping itu.

   karena, setiap kali orang-orang itu melepaskan pukulan, nyawa gadis berbaju merah dengan ikat pinggang biru yang tak bisa berge-rak dan mengeluarkan suara itu bisa terancam.

   Dengan kecepatan luar biasa, Tirta melesat dan segera menyambar tubuh Andini.

   oleh mata yang memperhatikan, sudah tentu hanya bisa melihat bayangan keemasan saja.

   apalagi saat itu Siluman Bu-ta sedang bertarung dengan Wisnu dan Nandari, hing-ga mereka tak sadar kalau satu sosok tubuh yang se-jak tadi memperhatikan orang-orang itu berkelebat dan menyambar Andini.

   Dengan gerakan sangat terlatih dalam waktu singkat Tirta sudah berada di sebuah hutan kecil yang terdapat tak jauh dari tempat di mana dua murid pe-sanggrahan mestika sedang bertarung dengan Siluman Buta.

   Andini yang merasa tubuhnya disambar tadi, se-gera melihat siapa orang yang menolongnya.

   seorang pemuda tampan berbaju keemasan dengan ikat kepala berwarna sama.

   sempat pula dilihatnya sebilah pedang berwarangka keemasan dan rajahan burung rajawali di lengan kanan dan kiri si pemuda.

   "kalau pemuda ini bermaksud jahat, aku bisa ce-laka!"

   Pikir si gadis.

   "pokoknya, sebisanya aku akan menyerangnya!"

   Meskipun dia cukup terkejut mendapati ternyata si pemuda membebaskan totokannya.

   namun karena berpikir kalau pemuda itu adalah orang jahat, Andini yang tubuhnya terjingkat tadi, segera melepaskan satu pukulan.

   Wuuuttt!! Dalam jarak yang pendek, sebenarnya sulit bagi orang yang diserang secara mendadak seperti itu.

   begi-tu pula halnya dengan Tirta.

   namun kesigapan yang ada pada dirinya, segera menekuk tangan kanan, me-nahan pukulan Andini.

   Bukkk! Tirta surut dua tindak.

   sementara Andini merasa tangannya bagai menghantam batu gunung! tangan-nya yang ngilu segera dialirkan tenaga dalam.

   Sesaat kemudian dia sudah berdiri dengan tatapan nyalang.

   "siapa kau?!"

   Serunya keras. Tirta hanya tersenyum sa-ja.

   "aku bisa mengerti mengapa gadis ini makin beran-gasan saja? kejadian yang dialaminya sebelum ini ten-tunya membuat hatinya tidak tenang dan sulit percaya pada siapa saja."

   Lalu katanya.

   "maafkan aku, nona. aku hanya bermaksud menolongmu."

   Sekalipun mendapati jawaban seperti itu, andini tidak mau percaya begitu saja.

   "Banyak orang jahat yang bermulut manis. Apa aku harus percaya begitu saja?"

   Geramnya dengan tatapan tajam. Tirta mendumal dalam hati mendengar kata-ka pedas itu.

   "Wah, kalau ku tahu begini, ku diamkan sa-ja tadi. Tetapi... mana tega sih melihat gadis cantik ini tadi tidak berdaya?"

   Lalu katanya.

   "Kalau mau marah boleh saja. Tetapi jangan main bentak dan pukul begitu saja dong!"

   Andini menatap tajam. Diam-diam dia berkata dalam hati.

   "Meskipun untuk saat ini aku belum bisa percaya padanya, tetapi melihat caranya menangkis pukulanku jelas dia bukan pemuda sembarangan."

   Selagi gadis itu membatin, Tirta berkata.

   "Andini kita jangan banyak membuang waktu untuk urusan konyol macam ini. Lebih baik, kita melihat pertarun-gan antara kedua saudaramu dengan Siluman Buta. Aku tahu kehebatan orang tua buta itu. Bukan ber-maksud untuk mengecilkan kedua saudaramu, tetapi aku yakin mereka bukanlah tandingan Siluman Buta, yang termasuk salah satu tokoh sesat tingkat tinggi."

   Wajah jelita gadis ceriwis itu mengerut ketika mendapati pemuda di hadapannya mengetahui na-manya "Hmmm... bisa jadi sebenarnya pemuda ini telah mengikuti ku bersama Kang Wisnu dan Nandari. Entah dari mana."

   Lalu katanya setelah menimbang kata-kata Tirta "Usulmu boleh juga. Aku pun tak sabar untuk membalas perlakuan busuk Siluman Buta. Tetapi ingat, aku belum percaya begitu saja dengan orang yang baru kukenal meskipun orang itu telah menolongku."

   Untuk saat ini, Tirta mengiyakan saja dari pada terlambat membantu Wisnu dan Nandari yang diyaki-ninya tak akan mampu menghadapi Siluman Buta.

   Tetapi sebelum mereka menggerakkan langkah mendadak saja, lima sosok tubuh telah bermunculan dari balik pohon yang ada di sana.

   Mengurung kedua-nya yang segera bersiaga dengan tatapan angker.

   "Lima Iblis Puncak Neraka dan si Tangan Sakti,"

   Desis Tirta perlahan.

   "Ah, sulit bagiku untuk mengetahui bagaimana pertarungan yang terjadi antara Wisnu dan Nandari menghadapi Siluman Buta sekarang. Ma-nusia-manusia keparat ini tak akan begitu saja mem-biarkan aku lolos. Orang-orang yang baru muncul itu memang Lima Iblis Puncak Neraka yang kini tinggal empat orang ber-sama kambrat mereka yang berjuluk si Tangan Sakti.

   "Lama dicari untuk bayar hutang, kini bertemu juga akhirnya,"

   Kata Iblis Angin dengan wajah membesi.

   "Rajawali Emas, kali ini kau tak akan bisa mengalahkan kami lagi!"

   "O ya?"

   Sahut Tirta ringan.

   Seolah tak ada masalah yang mengganggu, dia mencabut sebatang rumput dan mulai dihisap-hisap sarinya.

   Iblis Angin...

   apa kau pikir dengan membawa ondel-ondel itu kau bisa unjuk gigi sekarang? Sayang...

   kenapa tidak sekali kau bawa orang-orangan sawah, sih?"

   Makin membesi Iblis Angin yang penuh sejuta dendam. Sementara diam-diam Andini melirik Tirta.

   "Pemuda inikah yang akhir-akhir ini diributkan oleh orang-orang rimba persilatan dan berjuluk si Ra-jawali Emas? Brengsek! Aku jadi malu sendiri sekarang. Kutahu si Rajawali Emas berada dalam jalan lu-rus. Memang tak tahu malu kau, Andini! Main serang saja tadi tak tahu siapa orang di hadapan!"

   Batin gadis itu mengomeli dirinya sendiri. Terdengar bentakan si Tangan Sakti begitu men-dengar ejekan Tirta.

   "Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan si Rajawali Emas yang digembar-gemborkan itu!"

   "Wah, bagus sekali itu! Ayo, maju sini! Biar wajah mu makin kubikin jelek!"

   Seru Tirta sambil tertawa.

   Bukannya si Tangan Sakti yang menderu, me-lainkan Iblis Tanah yang tak mau buang waktu lagi.

   Kematian saudara mereka si Iblis Air di tangan si Ra-jawali Emas, masih tergambar jelas dalam benaknya.

   Gerengan keras terdengar, dikawal angin dahsyat menghampar ke arah Tirta.

   Wussss! Pemuda tampan dari Gunung Rajawali itu terke-siap sejenak, lalu buang tubuh ke kiri.

   Sambaran an-gin itu hantam dua buah pohon yang langsung tum-bang.

   Makin geram Iblis Tanah mendapati serangannya mudah dihindari orang.

   Menindih rasa amarah yang tinggi, mendadak saja dia bergulingan dan bagai see-kor ular melata di tanah dengan gerakan cepat.

   "Edan!"

   Maki Tirta sambil mengangkat kedua ka-ki, lalu berputar.

   Jurus yang diperlihatkan Iblis Tanah memang aneh.

   Dia selalu menyongsor tanah saat melakukan serangan.

   Bahkan saat tangannya ditepukkan pada tanah, tanah itu bergetar hebat.

   Muncrat setinggi se-tengah tombak.

   Bukan hanya Tirta saja yang mengalami soal itu, yang hadir di sana pun merasakan getarannya.

   Tirta mendengus mendapati serangan orang ce-pat dia mundur bila tak ingin matanya terkena hampa-ran tanah.

   Dengan menindih rasa geramnya, dia men-desis.

   "Tak bisa aku untuk segera melihat pertarungan antara Siluman Buta melawan dua murid Pesanggra-han Mestika itu. Aku harus bergerak cepat bila tak in-gin terlambat."

   Memikir sampai di sana, Tirta langsung mem-buang tubuh ketika Iblis Tanah melancarkan gebrakan lagi.

   Sebatang pohon yang terhantam pukulan lelaki berjubah hitam dengan selempang kain warna merah itu, patah dan tumbang dengan menimbulkan suara bergemuruh.

   Bertambah garang Iblis Tanah melihat serangan-nya lagi-lagi bisa dihindari lawan.

   Tangannya yang bergerak makin dahsyat.

   Tiga saudaranya dan si Tan-gan Sakti menyunggingkan senyum melihat si Rajawali Emas dibuat kalang kabut oleh Iblis Tanah.

   Sementara itu Andini bersiaga dan matanya tak berkesip mem-perhatikan bagaimana cara pemuda tampan yang di punggungnya terdapat sebuah pedang berhulukan se-buah bintang dan di atas hulunya terdapat dua buah kepala rajawali berlawanan arah.

   Tirta sendiri lama kelamaan menjadi jengkel me-lihat Iblis Tanah terus memburunya dengan jurus-jurus anehnya.

   Apalagi saat ini dia harus memburu waktu.

   Maka, pemuda dari Gunung Rajawali yang diju-luki si Rajawali Emas itu tak mau bertindak tanggung.

   Tubuhnya menghindar ke sana kemari dengan lincahnya.

   Begitu dia melihat kesempatan, langsung dihajarnya Iblis Tanah dengan salah satu jurus rajawa-li yang diajarkan Bwana.

   "Sentakan Ekor Pecahkan Gunung". Desss! Iblis Tanah terpekik. Seketika tubuhnya terjajar ke belakang. Dia sama sekali tak menyangka kalau ba-gian tubuh yang menurutnya telah rapat terlindungi, masih bisa dihantam. Dan dirasakan tulang iganya se-perti patah. Mendapati saudaranya dihajar seperti itu, Iblis Angin memberi aba-aba tinggi Bersamaan dengan Iblis Matahari dan Iblis Bulan, mereka menerjang berulang kali ke arah Tirta. Sadar kalau lawan bukan orang sembarangan, masing-masing segera mengeluarkan segenap kemampuan. Begitu pula si Tangan Sakti yang sudah sejak tadi gatal tangannya tetapi didahului oleh Iblis Tanah..Tirta menggeram.

   "Kutu busuk-kutu busuk ini je-las akan membuang waktuku! Lebih baik kusuruh An-dini saja untuk melihat keadaan pertarungan dua sau-dara seperguruannya dengan Siluman Buta, karena manusia-manusia ini sepertinya tak menghiraukan dia!"

   Memikir seperti itu sambil mempergunakan jurus menghindar 'Rajawali Putar Bumi' Tirta bergerak cepat, melompat, berputar, meliuk ke arah Andini dan berseru "Kau lihat keadaan saudara-saudaramu, Andini!"

   Andini yang kini sadar siapa pemuda yang telah menolongnya namun sempat diserangnya tadi berseru.

   "Bagaimana dengan kau, Kang Tirta?"

   "Tidak usah kau pikir! Cepat pergi ke sana! Aku bisa mengurus manusia-manusia ini!"

   Lalu dengan sengaja Tirta bergerak di hadapan Andini, semata memberikan kesempatan pada gadis itu untuk menjalankan perintahnya dan mengurung-kan niat orang-orang yang menyerangnya untuk me-nahan langkah Andini.

   Menghadapi gempuran empat orang beringas itu memang membutuhkan kecerdikan.

   Apalagi ketika Ib-lis Tanah yang sudah pulih dadanya akibat gedoran Tirta tadi, turun membantu pula.

   Keadaan itu makin menyulitkan Tirta untuk menghindar.

   Bahkan untuk mengirimkan serangan balasan dia tak melihat ada ce-lah yang bisa dipergunakan.

   Meskipun demikian, Tirta tetap bermaksud untuk menghajar orang-orang itu.

   Segera dikerahkan tenaga surya dari pusar yang dialirkan ke seluruh tubuhnya.

   Begitu tubuh Iblis Ma-tahari yang saat menyerang mengeluarkan panas ting-gi menderu ke arahnya, Tirta melesat pula.

   Meliukkan tubuh menghindari jotosan Iblis Matahari dan mengi-rimkan satu jotosan balasan.

   Bukk! "Aaakhhh!"

   Tenaga surya yang dilepaskan Tirta membuat Ib-lis Matahari kelojotan hebat.

   Dirasakan panas yang luar biasa pada sekujur tubuhnya.

   Dan sialnya, tu-buhnya pun mengandung hawa panas pula.

   Maka tan-pa ampun lagi, tubuh manusia satu ini pun seolah ter-bakar dengan lolongan yang semakin menggetarkan hutan kecil itu.

   Detik kemudian tubuhnya tak bergerak dengan keluarkan bau sangit! Melihat Iblis Matahari tewas secara mengerikan, Iblis Angin dan yang lainnya menggeram.

   Mereka me-nyerang semakin membabi buta.

   Kekalapan mereka nampaknya justru mencelakakan mereka sendiri.

   Ka-rena serangan yang dilancarkan jadi tak terangkai dan kacau-balau.

   Tirta dengan mudah akhirnya bisa mendikte la-wan.

   Pukulan mengandung tenaga surya pun meng-hantam Iblis Bulan dan Iblis Tanah.

   Kedua manusia itu pun kelonjotan dan mendapatkan giliran merasa-kan panas bak api neraka.

   Iblis Tanah yang memang dalam keadaan terluka lebih dulu putus nyawa dengan tubuh hangus, menyusul Iblis Bulan dalam keadaan yang sama.

   Meskipun rasa tegang sudah melanda Iblis Angin namun manusia itu tak mau mengalah juga.

   Dia terus menyerbu dengan dahsyat sambil berteriak-teriak ke-ras.

   "Heran!.. apakah kalian ingin menyusul saudara saudara kalian itu? Yah.... Kalau begitu boleh saja kalian beli tiketnya kepadaku."

   Iblis Angin benar-benar tak mempedulikan soal dirinya.

   Dia terus menghantam ke arah Tirta.

   Tirta menghindar sambil menggeleng-gelengkan kepala.

   Si Tangan Sakti rupanya lebih mengerti gelagat yang tak menguntungkan.

   Semula dia sesumbar untuk menga-lahkan si Rajawali Emas, namun sekarang, kedua ma-ta besarnya benar-benar terbuka menyadari siapa pe-muda yang berjuluk si Rajawali Emas ini.

   Dengan gerakan yang cepat, si Tangan Sakti me-nyambar tangan Iblis Angin yang meronta-ronta minta dilepaskan.

   Tirta tertawa geli sambil mencabut seba-tang rumput dan menghisap-hisapnya.

   "Heran! Kok kalian jadi main tarik-tarikan begi-tu? Iiih, kalau orang tidak mau jangan dipaksa kena-pa? Nanti sakit!"

   "Biar kubunuh pemuda keparat itu! Biarkan aku!"

   Sentak Iblis Angin dengan kegusaran tinggi.

   "Jangan bodoh!"

   Maki si Tangan Sakti.

   "Kita berlima saja bukan tandingannya, apalagi bila sekarang kita berdua. Kita hanya cari mampus!"

   "Peduli setan! Manusia laknat itu harus menebus nyawa saudara-saudaraku!!"

   "Memangnya jahitan main tebus!"

   Balas Tirta sambil tertawa. Lalu dia menyambung dalam hati.

   "Hmmm... mereka pernah menyerangku dengan se-buah pukulan dahsyat waktu itu. Pukulan yang telah mereka persiapkan untuk membalas dendam pada Guru. Kalaupun mereka tak mempergunakannya seka-rang, mungkin karena Iblis Air sudah mampus. Atau... mereka tak punya kesempatan? Itu barangkali, lho?"

   Si Tangan Sakti yang berpikir lebih jernih lagi benar-benar tahu kalau gelagat benar-benar tak men-guntungkan.

   Dia muak melihat sikap Iblis Angin yang dungu seperti itu.

   Lalu tanpa banyak cakap, dipukul-nya leher Iblis Angin hingga lelaki kalap itu jatuh pingsan yang segera dibopongnya.

   Wajah angker dengan sepasang mata besar dingin itu menatap Tirta.

   Sepa-sang matanya terbuka lebar.

   Menahan gejolak hebat dalam dadanya, lelaki berparas serba besar itu bersua-ra parau, dingin dan penuh ancaman.

   "Rajawali Emas.... Jangan kau pikir urusan ku berhenti sampai di sini. Suatu saat, kami akan kembali lagi untuk membuat perhitungan?"

   Tirta cuma mengangkat bahunya saja.

   "Terserah! Kapan kalian mau boleh saja!"

   Dengan membawa sakit hati yang dalam dan tub Iblis Angin dalam bopongannya, si Tangan Sakti berke-lebat meninggalkan tempat itu, meninggalkan Tirta yang mendesah.

   "Ah, manusia-manusia yang cari penyakit. Den-dam Lima Iblis Puncak Neraka pada Guru mungkin sudah saatnya kutuntaskan saat ini. Tetapi ancaman si Tangan Sakti tak bisa dianggap enteng. Hmmm... baiknya kususul dini sekarang!"

   Begitu tiba kembali di tempat di mana dua murid Pesanggrahan Mestika bertarung dengan Siluman Buta Tirta hanya melihat Andini yang tengah berlutut den-gan wajah menunduk.

   Tanpa bertanya lagi Tirta tahu apa yang terjadi, karena tak dilihatnya Wisnu dan Nandari disana.

   "Andini..... Jangan cemas. Belum tentu dua sau-daramu itu tewas di tangan Siluman Buta...."

   Kata Tirta pelan. Andini tak segera menjawab. Setelah beberapa saat barulah keluar suaranya bersamaan gejolak da-lam dada yang sangat kental terasa.

   "Kalau memang begitu, ke mana mereka seka-rang. Mengapa mereka meninggalkan ku?"

   Tirta sejenak tertegun mendengar suara Andini yang terdengar lembut "Gadis ini bisa bersikap lembut juga rupanya. Mungkin karena perasaannya saat ini agak kacau. Atau.... Dia memang pada dasarnya memiliki hati yang lembut?"

   Habis membatin begitu Tirta berkata.

   "Pertanyaannya bukan itu. Melainkan kalau mereka tewas di tangan Siluman Buta, tentunya mayat keduanya bera-da di sini. Tetapi...."

   "Aku sudah mencarinya, tetapi tidak ada,"

   Potong Andini dengan suara ditekan.

   "Berarti mereka tidak tewas."

   "Bagaimana bila Siluman Buta membawa mayat keduanya, Kang Tirta?"

   Tirta terdiam memikirkan kemungkinan itu. Lalu katanya sambil menggelengkan kepala.

   "Tidak.. aku tak melihat untuk apa Siluman Buta membawa mayat kedua saudaramu bila mereka benar-benar terbunuh."

   "Tetapi... ke mana mereka?"

   Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gat-al. Hampir saja dia menjawab.

   "Mana aku tahu? Kan aku bersamamu?"

   Tetapi urung dilakukannya. Dia malah berkata.

   "Sebaiknya, kita tinggalkan tempat ini, Andini. Kita cari kedua saudara seperguruanmu itu."

   Lalu untuk mengenakan Andini, Tirta berkata lagi.

   "Aku yakin... mereka masih hidup...."

   Perlahan-lahan Tirta melihat Andini-mengangkat kepalanya dan dia terkejut ketika melihat air mata menggenang di sepasang mata yang bagus itu.

   "Aneh, benar-benar aneh. Ah... perempuan tetap saja perempuan yang selalu mengalirkan air mata se-kalipun dia sudah berbekal ilmu silat cukup tinggi,"

   Batin Tirta. Lalu katanya.

   "Baiknya... kita tinggalkan tempat ini sekarang, Andini...."

   Andini cuma menganggukkan kepalanya saja.

   *** Bab 11 Perdataran rendah itu dipenuhi dengan rerumpu-tan setinggi betis.

   Angin berhembus sejuk dan udara temaram.

   Sisa sinar matahari masih melekat di kaki barat.

   Membentuk pusaran merah di kejauhan.

   Seorang gadis berwajah bulat telur dengan dagu agak menjuntai tiba di sana.

   Gadis yang mengenakan pakaian berwarna putih dan di bagian dada sebelah kanan terdapat sulaman setangkai mawar, memperha-tikan sekelilingnya.

   Kejap kemudian, terdengar desahannya.

   "Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap Guru kali ini. Lama kucari dan setelah ku bertemu dengannya, justru kena marah. Selalu kena marah meskipun ku akui kalau Guru sebenarnya baik hati."

   Gadis berhidung mancung dengan bibir tipis yang memerah indah yang tak lain Ayu Wulan mendesah la-gi.

   Setelah menjalankan perintah 'paksaan' dari gu-runya, si Manusia Pemarah untuk mencari Tirta alias si Rajawali Emas, mau tak mau Ayu Wulan menjalan-kannya juga.

   Kendati sebenarnya dia menyukai Tirta, tetapi untuk mencari pemuda itu sudah tentu sangat tabu buatnya.

   Hanya karena tak ingin kena marah gurunya sa-ja, gadis itu melaksanakan perintah gurunya.

   Matanya diedarkan kembali ke tempat yang indah dengan angin semilir itu.

   Dan entah apa yang tersirat dalam benak dan hai nya, mendadak kedua pipi gadis itu merah dadu.

   Me-nyusul dia tersipu-sipu seperti ada seorang jejaka yang menggoda dan godaan itu sedikit banyak mengena dan disukainya.

   "Iih! Kok aku jadi mikirin Kang Tirta, sih? Menye-balkan! Lagi pula... ah, heran! Kok bayang-bayang pe-muda itu justru makin lekat di hatiku? Apakah aku...."

   Gadis itu memutus kata-katanya sendiri dan tertegun.

   "Apakah aku memang telah jatuh hati padanya?"

   Lanjut nya terbata.

   Perlahan-lahan gadis yang rambutnya panjang dan, dibiarkan tergerai itu duduk di atas rumput.

   Me-nekuk kakinya.

   Sepasang mata bagusnya diedarkan ke seantero tempat.

   Lalu terpaku pada satu titik.

   Entah apa yang sedang menjadi perhatiannya.

   Tetapi jelas kalau sepertinya tak ada yang menarik untuk dilihat kedua matanya selain rumput yang luas.

   "Ah... baru kusadari pula kalau hatiku sedih ke-tika Kang Tirta seperti mengacuhkan keinginan Guru. Sementara aku, sebenarnya senang bukan main. Men-gapa jadi begini? Mengapa aku sedih melihat sikap Kang Tirta yang seolah menganggap kata-kata Guru seperti angin lalu? Dan mengapa aku menjadi gugup? Meskipun kulontarkan kata-kata tak suka pada Guru, padahal, aku suka mendengarnya. Lalu, apa yang ha-rus kulakukan sekarang? Apakah aku akan terus mencari Kang Tirta seperti perintah Guru? Ih! Mema-lukan sekali!"

   Lalu dikenang pertemuannya pertama kali den-gan si Rajawali Emas. Dan sebuah senyum cerah ber-tengger di bibir si gadis ketika ingatannya tiba saat perkenalan tak sengaja dilakukan.

   "Ih, kenapa aku terus menerus mengingatnya? Tetapi... apakah aku harus memungkiri kata-kata ha-tiku sendiri?"

   Gumam Ayu Wulan dengan perasaan galau.

   Sesuatu yang dirasakan sangat mendesak menda-dak mengganggu perasaannya.

   Perasaan ingin bertemu dengan Tirta! Perlahan-lahan gadis manis itu berdiri.

   Menepuk-nepuk celana di bagian pantat hingga debu yang me-nempel beterbangan.

   Lalu diingatnya gurunya.

   "Biar bagaimanapun sikap Guru yang selalu ma-rah-marah tak karuan, aku tetap mencintai dan menghormatinya. Dia sebenarnya seorang lelaki tua yang baik. Tak ubahnya seperti seorang Guru, Ayah dan Kakek untukku. Bahkan kami bisa pula bersikap sebagai seorang teman atau pun musuh."

   Ayu Wulan tertawa pelan mengingat hal itu. Lalu meneruskan gumamannya lagi.

   "Guru, Guru... kau membuatku jadi merasa sedih, gembira, senang, marah dan semuanya. Semua-muanya. Lalu bagaimana dengan Iblis Kubur? Bagaimana pula dengan perempuan laknat yang berju-luk Dewi Karang Samudera yang menurut Guru memi-liki Kitab Pemanggil Mayat? Dan satu hal yang tak pernah kusangka, kalau Guru adalah murid tunggal Eyang Sampurno Pamungkas atau si Manusia Agung Setengah Dewa. Aku merasa beruntung menjadi mu-ridnya. Karena... Eyang Sampurno Pamungkas menja-di eyangku juga. Lalu, apa yang harus kulakukan se-karang?"

   Gadis itu kembali terdiam. Lalu terlihat sebuah senyuman menyungging di bibirnya.

   "Biar kucari Kang Tirta dulu. Karena... ah, aku... aku ingin hidup bersamanya...."

   Ayu Wulan menghela napas pendek Dengan mengibaskan rambutnya yang dimainkan angin dan menutupi sebagian wajahnya.

   Setelah itu, segera di-tinggalkan perdataran rendah itu.

   Gerumbul semak di tengah sebuah lembah men-guak bersamaan dua sosok tubuh muncul.

   Yang satu seorang pemuda gagah berbaju keemasan dengan ra-jahan burung rajawali berwarna yang sama.

   Yang seo-rang lagi, dara jelita berbaju merah dengan ikat ping-gang warna biru.

   Di pinggangnya terselip dua buah tri-sula.

   Lembah yang banyak ditumbuhi semak dan pe-pohonan besar itu begitu luas sekali.

   Sinar matahari yang sudah berada dii atas ubun-ubun, tak mampu menembus tempat itu hingga terasa temaram namun terang benderang di luar sana.

   "Kang Tirta... sudah dua hari kita mencari jejak kedua saudaraku, tetapi sampai siang ini pun belum ditemukan juga,"

   Kata si gadis yang tak lain adalah Andini.

   Keriangan yang biasanya mewarnai sifatnya seolah menguap begitu saja.

   Biar bagaimanapun juga, rasa cemas di hati Andini akan nasib kedua saudara seperguruannya yang sampai sekarang belum diketa-hui di mana rimbanya, cukup kuat mengikat.

   Lalu sambil menatap pemuda di hadapannya, Andini me-lanjutkan.

   "Sekarang aku lebih khawatir, mengingat kemungkinan kalau Kang Wisnu dan Nandari memang telah tewas di tangan Siluman Buta. Kang Tirta... ka-takan kepadaku kalau keadaan keduanya baik-baik saja?"

   Tirta hanya menarik napas pendek.

   Bisa dirasakan kecemasan yang melanda gadis di sisinya.

   Seluas mata memandang, yang nampak hanya gerumbul se-mak dan pepohonan.

   Dan jalan setapak yang nampak-nya cukup sulit dilalui.

   Tetapi bila melihat adanya jalan setapak itu, jelas kalau hutan ini pernah dilewati, atau bahkan disinggahi orang.

   "Tenanglah, Andini. Kita masih belum bisa me-nyimpulkan seperti itu kalau belum menemukan me-reka."

   "Aku yakin mereka telah tewas, Kang Tirta..."

   "Jangan berkata begitu. Justru perasaan kece-masanmu akan bertambah parah bila kau tak bisa mencoba membuang pikiran semacam itu..."

   Bagai tak mendengar kata-kata Tirta, Andini me-nyambung kalimatnya yang diputus Tirta tadi.

   "... dan manusia buta itu membawa mayat mereka hingga kita tak bisa menemukan jejak-jejak yang berarti."

   "Andini...."

   Tirta menggenggam tangan gadis itu. Sedikit menekannya, seakan memberi semangat pada gadis itu.

   "Jangan berpikir macam-macam. Sekali lagi kukatakan kita belum bisa menyimpulkan seperti itu. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah tetap mencari mereka. Persoalan mereka sudah mati atau masih hi-dup bisa kita temukan jawabannya."

   "Akan kubunuh manusia buta itu."

   "Andini...,"

   Suara Tirta menekan di telinga gadis itu sehingga Andini menoleh.

   Tirta bisa melihat panca-ran kecemasan yang sangat dalam di sepasang mata bagus milik Andini.

   Mata yang biasanya berbinar jena-ka disertai dengan kata-kata yang menggemaskan, menggelikan dan terkadang menjengkelkan.

   "Aku bisa merasakan kecemasan yang mendalam di hati Andini...,"

   Batin Tirta.

   "Aku mengkhawatirkan keadaan mereka, Kang...."

   Tirta menganggukkan kepalanya.

   "Begitu pula denganku. Bila saja tidak muncul Lima Iblis Puncak Neraka dan si Tangan Sakti, mung-kin kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Te-tapi perlu kita ketahui, Andini. Segala sesuatunya sangat sulit kita tebak."

   Andini menggeleng-gelengkan kepala lalu me-nunduk.

   "Aku yang salah, Kang."

   "Apa maksudmu, Andini?"

   Tanya Tirta lembut dan lagi-lagi bingung melihat sikap gadis yang agak beran-gasan ini sangat berubah.

   "Bila saja saat kau melepaskan totokan yang di-lakukan oleh Siluman Buta padaku, aku tidak banyak omong dan melakukan serangan padamu, tentunya ki-ta masih sempat mengetahui keadaan kedua saudara-ku itu. Dan ketika manusia-manusia laknat itu mun-cul, mungkin kita sudah berada di dekat kedua sauda-raku."

   "Bukan itu penyebabnya, Andini. Tak ada yang salah dalam hal ini,"

   Kata Tirta pelan.

   "Jangan menya-lahkan segala sesuatu yang sebenarnya terkadang ti-dak kita pahami bagaimana terjadinya, bagaimana mu-lanya, dan bagaimana akhirnya. Semuanya seperti runtutan jalan kehidupan, Andini. Kau tak perlu me-nyalahkan diri. Se-kali lagi kukatakan, tak ada yang salah dalam hal ini."

   Andini terdiam. Sepasang matanya dalam mena-tap Tirta. Lalu terlontar pertanyaan yang seperti me-nyesali.

   "Kang Tirta... mengapa kau justru menolongku? Mengapa kau tidak membantu kedua saudaraku menghadapi manusia buta itu? Bila saja kau menolong mereka, mungkin keadaan tidak akan separah seperti ini."

   Tirta tersenyum, mencoba memberikan ketenan-gan pada gadis yang dilanda kecemasan.

   "Saat itu, aku memikirkan keselamatanmu dulu, Andini. Mereka masih bisa bertahan dan menghindar sementara keadaanmu terjepit sama sekali. Dalam keadaan tertotok semacam itu, bisa-bisa kau yang akan terkena sasaran yang mungkin disengaja mau-pun tak disengaja. Bila kau sudah aman, aku bermak-sud untuk kembali ke tempat semula untuk memban-tu. Tetapi sayangnya, manusia-manusia keparat yang berjuluk Lima Iblis Puncak Neraka itu muncul dan membuatku tak bisa segera membantu kedua sauda-ramu. Sudahlah, Andini... yang penting sekarang kita tetap mencari kedua saudaramu itu."

   Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu me-nunduk pilu.

   "Bila saja kau menolong mereka, Kang...."

   Merasa Andini membutuhkan ketenangan, perla-han-lahan Tirta merangkulnya dan gadis yang tengah dirundung kecemasan itu mandah saja. Bahkan dis-usupkan kepalanya ke dada bidang Tirta.

   "Jangan menyesali hal itu, Andini...."

   Semula, Tirta bermaksud hanya memberikan ke-tenangan yang dibutuhkan si gadis.

   Tetapi kejap ke-mudian, dia jadi melengak sendiri.

   Tubuhnya menda-dak tegang.

   Bagaimana tidak, rambut indah Andini yang menguarkan aroma harum menerpa wajahnya.

   Apalagi ketika dada si gadis sempat menyentuh da-danya tadi.

   Dalam rangkulannya ada tubuh lembut seorang dara manis yang nampak pasrah.

   Bagaimana tidak panas dingin Tirta jadinya? Gemetaran tubuh si Rajawali Emas.

   Buru-buru di pejamkan mata karena godaan di hadapannya begini besar.

   Ditariknya napas berulangkali dan dihem-buskan perlahan.

   Namun perasaan aneh yang menja-larinya justru makin membesar.

   "Edan! Bisa berabe kalau begini! Lagi pula, kena-pa sih aku tahu-tahu jadi kayak orang kagok?"

   Ma-kinya tak karuan.

   Untuk melepaskan rangkulannya bi-sa membuat Andini tersinggung, begitu pikirnya.

   Lagi pula, gadis itu memang seperti membutuhkan seseo-rang yang dijadikannya tempat membagi perasaan.

   Tetapi kalau dibiarkan begini terus, bisa berabe urusan.

   Sekuat tenaga Tirta menindih segala dorongan yang mendadak menjalar dan semakin lama bagai me-rata di seluruh jalan darahnya.

   Napasnya terdengar sedikit mendengus-dengus.

   Sementara itu Andini yang juga merasakan geta-ran tubuh Tirta, pun perlahan-lahan merasa tubuhnya bergelar pula.

   Entah mengapa dirasakan sangat nya-man sekali.

   Hatinya yang diliputi kecemasan begitu damai.

   Dipejamkan sepasang mata indahnya seolah re-sapi rangkulan Tirta.

   Dibenamkan dalam-dalam kepa-lanya pada dada yang bidang itu.

   "Aneh! Baru kali ini kurasakan sebuah dorongan yang begitu hebat sekali. Dorongan yang seakan me-maksaku untuk melakukan sesuatu. Dan baru kusa-dari kalau tubuh perempuan itu bagai magnit yang sangat mengikat. Sesuatu yang begitu lembut namun sangat menakutkan. Getaran aneh di tubuhku ini ba-gai kepalaku dihujam sembilu bermata tiga. Begitu menakutkan sebenarnya."

   Tirta yang benar-benar merasa harus lepaskan diri dari belenggu aneh yang men-gikatnya, perlahan-lahan berkata, lembut, menahan agar jangan sampai terdengar bergetar.

   "Andini... Sebaiknya, kita beristirahat dulu. Aku akan mencari ayam hutan atau burung yang bisa kita panggang un-tuk pengisi perut."

   Meskipun sebenarnya tak ingin melepaskan rangkulannya, Andini menganggukkan kepala dengan menunduk. Tirta masih sempat melihat wajah gadis itu yang merona.

   "Ah, lebih baik aku mencari ayam atau burung yang bisa kupanggang sambil menghindar dulu dari Andini,"

   Batin Tirta dengan dada bergemuruh. Lalu katanya sambil menatap Andini lekat-lekat.

   "Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Tak lama aku pasti kembali."

   Gadis yang ceriwis itu hanya menganggukkan kepalanya.

   Tirta menangkap satu kilatan kecewa di matanya.

   Tidak, bukan kilatan mata yang dilihatnya semula.

   Kilatan yang menampakkan kecemasan akan nasib dua saudaranya yang sampai saat ini belum di-ketahui rimbanya, Sedangkan kilatan barusan itu, sebuah kilatan mata yang justru mampu menikam perasaan Tirta ter-dalam.

   Perasaan asing yang buru-buru ditepiskannya.

   Diliriknya Andini yang melangkah murung ke bawah sebatang pohon rindang.

   Kalau sudah bersikap seperti itu, dia tak ubahnya seperti Nandari.

   Lalu dia duduk di bawah itu.

   Tirta segera meninggalkan tempat itu daripada dadanya terus gedebak-gedebuk dan wajahnya bisa makin memerah.

   Terlebih-lebih, ada dorongan yang membuatnya ingin lebih lama dan lebih erat memeluk Andini.

   "Ah, kenapa sih aku ini?"

   Dengusnya sebal tak mengerti. Lalu dicobanya untuk menghilangkan bayangan tubuh sekal Andini yang dirangkulnya tadi. Tetapi makin dicoba justru bayangan tubuh Andini makin melingkar dalam benaknya.

   "Keparat betul! Tak seharusnya aku memeluknya tadi. Tetapi... he he he... kalau tidak memeluknya, mana aku tahu kalau tubuh perempuan itu begitu lembut. Tetapi, ah... kupikir yang kulakukan sesuatu yang wajar. Sebuah cara un-tuk menenangkan Andini. Hanya yang tak kumengerti, sesuatu nampak bergolak di tubuhku. Apakah aku... ah, sudahlah! Mungkin ini tanda-tanda aku sudah de-wasa. Kalau memang iya, aku harus berusaha mem-bunuh perasaan atau dorongan aneh yang mendadak muncul tadi."

   Dengan cekatan Tirta menangkap dua ekor ayam hutan dan tiga ekor burung. Dia tertawa-tawa sambil mengangkat buruannya.

   "Hmmm... perutku jadi makin lapar. Hidungku sudah bisa mencium bau sedap dari ayam dan burung panggang ini."

   Lalu pada hasil buruannya dia berkata.

   "Maaf ya, bukan maksudku untuk mengakhiri hidup kalian. Tetapi apa boleh buat, terpaksa nih aku harus memakan kalian."

   Lalu bergegas Tirta kembali ke tempat semula, di mana ditinggalkannya Andini tadi.

   "Andini!"

   Serunya dari kejauhan. Wajah cerah Tirta bagai menguap mendadak, karena dia tak melihat Andini berada di tempatnya.

   "Andini! Andini!"

   Serunya keras.

   Sesuatu yang menakutkan bergayut di benaknya.

   Apakah Andini nekat untuk mencari kedua sauda-ranya itu seorang diri? Di saat keadaan gawat seperti ini, sungguh, bukan karena telah merangkul gadis itu, Tirta menjadi cemas.

   Tetapi perasaan bingung itu telah datang bertubi-tubi.

   Andini....

   Suara Tirta mendadak terputus bagai direnggut setan.

   Keriangannya lenyap begitu saja.

   Bahkan tanpa sadar kakinya surut satu langkah.

   Di hadapannya, sa-tu sosok tubuh keluar dari balik gerumbulan semak.

   Menjatuhkan sesuatu dari punggungnya yang ternyata tubuh Andini yang pingsan.

   Orang yang berdiri di ha-dapan tubuh pingsan Andini itu, menyeringai lebar.

   Tatapannya dingin.

   Dan suaranya terdengar bergetar.

   "Peeemuudaa sseeettaan! Aakkku sssudaah peer-gii kee Guunungg Teenggerr! Taak kuuteemuii Saammpuurnnoo Paamungkaas dii saanaa! Kaau haa-russ maammpusss!"

   Ayam dan burung yang tadi diburunya dan diikat di satu, lepas begitu saja. Mulut si Rajawali Emas terbuka dan mengeluarkan suara tertahan.

   "Iblis Ku-bur..."

   SELESAI Ikuti kelanjutan cerita ini!!! Serial Pendekar Rajawali Emas dalam episode. DEWI KARANG SAMUDERA Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Rendra

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Taji Iblis Pendekar Pulau Neraka Pembalasan Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa

Cari Blog Ini