Wasiat Malaikat Dewa 1
Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Bagian 1
WASIAT MALAIKAT DEWA Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Rajawali Emas Dalam Episode .
Wasiat Malaikat Dewa 128 Hal.; 12 x 18 Cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com "Kkraaaghkk!"
Sebuah suara keras bagaikan hendak membedah alam sepi terdengar memekakkan telinga, disusul gemuruh angin raksasa yang menderu dahsyat.
Seolah, langit yang cerah ini hendak diberangus oleh suara itu.
Seekor burung rajawali raksasa berwarna keemasan terbang berputaran di atas sebuah lembah.
Kepakan sayapnya membuat rerumputan di bawah yang berjarak seratus tombak rebah berdiri.
Beberapa ekor burung kecil kontan beterbangan, seolah digebah oleh suara teriakan burung rajawali itu.
Di leher burung rajawali keemasan itu, duduk seorang pemuda berpakaian keemasan dengan sebilah pedang berwarangka penuh benang emas.
Kepalanya yang diikat kain berwarna keemasan melongok ke bawah.
Di lengan kanan kiri nampak rajahan berbentuk burung rajawali berwarna keemasan.
"Lembah Permata...,"
Desis si pemuda.
Dari suaranya yang tercekat tampak jelas, kalau dia tak sanggup menutupi kerinduan yang meluap dalam dadanya.
Tak banyak berubah sejak lima tahun lalu kutinggalkan.
Ya...
gara-gara kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang dan sekarang entah ke kemana.
Terpaksa aku meninggalkan lembah nyaman semasa kecilku."
Lalu pemuda berwajah tampan dan berambut gondrong yang lak lain Tirta, menepuk leher burung Rajawali itu. Penuh kasih sayang dan kelembutan.
"Terima kasih, Bwana. Disinilah tempatku dulu saat menggembalakan kambing. Berarti, jarak dusun tempat tinggalku tidak begitu jauh. Bukan maksudku tak mau mengajakmu ke dusunku. Kau tahu sendiri, apa akibatnya nanti. Orang-orang pasti akan kalang kabut melihat wujudmu yang besar ini. Nah, sekarang aku akan melompat turun."
Burung rajawali raksasa bernama Bwana ini mengangguk-angguk sambil mengeluarkan suara berkoak-koak. Seketika, tubuhnya menukik turun.
"Hup!"
Tepat pada jarak lima belas tombak dari tanah, Tirta melompat turun.
Langsung digunakannya ilmu meringankan tubuh yang didapat dari Rumput Selaksa Surya, serta hasil gemblengan Bwana selama lima tahun di Gunung Rajawali.
Maka tak heran ketika hinggap di tanah, gerakannya tak ubahnya sehelai kapas belaka.
Sejenak pemuda dari Gunung Rajawali itu mendongak seraya melam-baikan tangan pada Bwana yang masih terbang di angkasa raya.
"Suatu waktu, kau akan kupanggil Bwana!"
Teriak Tirta, dengan tangan dijadikan satu di sisi kanan kiri mulutnya.
Bagai mengerti, burung rajawali keemasan itu Mengangguk angguk masih mengepak-kan sayap disertai suara berkoak-koak keras.
Bwana mulai terbang menjauh.
Kian menjauh dengan koakan keras dan gemuruh angin yang ditimbulkan dari kepakan dua sayap lebarnya.
Semakin lama, lenyaplah rajawali raksasa itu dari pandangan si pemuda.
Kini, pemuda tampan berbaju ke-emasan itu mengedarkan pandangan ke seantero lembah.
Rumput yang banyak tumbuh di sana kini sudah setinggi pahanya.
"Tempat yang banyak menimbulkan kenangan indah. Penuh kenyamanan,"
Desah Tirta mengingat masa kecilnya. Lalu kepalanya menoleh ke kanan.
"Meskipun rumput di sini sudah banyak tumbuh, tetapi aku masih ingat jalan menuju dusunku. Sebaiknya, aku segera ke sana. Tak sabar rasanya menjumpai kedua orangtuaku sekarang. Ah.... Pertemuan yang sangat menggembirakan"
Saat itu juga Tirta melesat ke arah barat.
Gerakannya begitu cepat, laksana angin.
* * * Di perbatasan Dusun Bojong Pupuk, Tirta menghentikan langkah.
Sejenak keningnya berkernyit.
Setelah lima tahun meninggalkan kampung halamannya, kini matanya sudah menangkap banyak perubahan.
Jalan menuju ke tengah desa rupanya sudah berubah.
Namun anehnya, tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di perbatasan desa.
"Banyak sudah perubahan yang terjadi. Tetapi aku ingat, ini adalah kampungku. Pohon trembesi itu masih merupakan tanda jalan masuk ke Dusun Bojong Pupuk. Hmm.... Sebaiknya aku cepat menuju rumah,"
Gumam si pemuda.
Dengan langkah mantap dan gagah, Tirta melanjutkan perjalanannya.
Dico-banya kembali menikmati hembusan angin dusunnya yang sejuk.
Tetapi semakin lama melangkah menuju rumahnya, semakin banyak perubahan yang terjadi.
Dan Tirta semakin keheranan.
Karena beberapa orang yang berada di depan rumah segera masuk dan menutup pintu serta jendela dengan wajah penuh ketakutan, begitu melihat dirinya.
"Ada apa ini?"
Kata batin si pemuda sambil terus melangkah.
"Apa mereka terkejut karena wajahku ganteng begini? Ah, aku jadi besar kepala. Hmm.... Aku yakin yang masuk tadi adalah Kang Somad. Mungkin dia memang tak mengenaliku. Tetapi, kan tidak harus masuk ketakutan seperti itu?"
Pemuda berajah burung rajawali keemasan pada kedua tangannya itu terdiam beberapa saat.
Otak cerdiknya masih mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang mulai membiaskan keheranan dibenaknya.
Lalu diputuskannya untuk meneruskan langkah.
Dan suasana tak berubah.
Selain sepi mencekam dengan dedaunan yang berguguran dihembus angin, Tirta melihat beberapa orang yang keluar dari rumah langsung masuk kembali.
"Busyet! Jangan-jangan wajahku memang terlalu tampan?"
Desahnya.
Dan mendadak, pendengaran si pemuda menangkap derap langkah lain di kejauhan.
Menyusul, terlihat lima orang lelaki penunggang kuda hitam datang ke arahnya.
Terpaksa si pemuda agak menyingkir bila tak ingin diterjang.
Tirta berpikir, kelima penunggang kuda itu akan segera berlalu.
Tetapi begitu dekat, justru mereka menghentikan lari kudanya.
Bahkan langsung menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Siapakah kau, Anak Muda?! Ada urusan apa kau masuk ke Desa Bojong Pupuk yang telah dikuasai Juragan Lanang?!"
Bentak salah seorang penunggang kuda yang berwajah kasar.
Tirta terkejut mendapati kata-kata orang.
Tentu saja pemuda ini ingat tentang Juragan Lanang.
Lima tahun lalu, dia meninggalkan dusun ini karena mencari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang.
Tetapi, apa maksud orang kasar itu mengatakan dusun ini telah dikuasai Juragan Lanang? Tetapi dasar memiliki sifat agak gendeng, pemuda itu tampak kalem saja.
"Urusanku sih tidak ada. Aku hanya sedang kelaparan saja. Eh, apakah kalian bisa tunjukkan, di mana kedai makan untuk mengisi perut?"
Sahut Tirta, santai. Sepasang mata orang kasar itu melebar mendapati jawaban orang. Telinganya memerah.
"Mengisi perut tak dilarang di dusun ini, asal mampu membayar!"
Kata lelaki itu.
"Di mana-mana juga begitu, kan?"
Tukas Tirta.
"Dan izin akan kau dapatkan bila kau mau membayar pajak terlebih dulu pada kami,"
Kata orang kasar itu dengan seringai lebar. Kening Tirta berkernyit.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi? Sejak kapan ada pajak semacam itu? Apakah dusun ini telah berubah menjadi kacau, tidak tenteram lagi seperti bayanganku dulu? Aku tahu, Juragan Lanang memang sangat dibenci karena seorang lintah darat. Tetapi persoalan dusun ini dikuasai olehnya, bahkan setiap orang yang mau mengisi perut harus kena pajak, pasti ada sesuatu yang tak beres."
Sehabis membatin begitu, Tirta cengar-cengir sendiri. Sikapnya tenang sekali.
"Urusan apa aku harus membayar pajak bila ingin mengisi perut? Bagaimana bila uangku pas-pasan, dan harus membayar pajak dulu sebelum perutku terisi?"
"Itu urusanmu!"
Bentak orang kasar baju hitam itu lebih keras dengan mata melotot.
"Bila kau menolak, silakan angkat kaki dari sini. Dan, jangan coba-coba lagi menginjak tempat ini! Mengerti?!"
"Aku jadi makin penasaran ingin tahu, apa yang terjadi. Lebih baik berlagak menuruti kemauan orang kasar ini saja, sebelum urusan jadi berantakan,"
Gumam si pemuda dalam hati. Kembali Tirta cengar-cengir.
"Karena uangku sedikit, kuputuskan untuk keluar dari dusun ini,"
Katanya.
"Bagus! Berarti kau mengerti gelagat!"
"Tetapi sayangnya..., perutku sudah sangat kelaparan."
Tirta tiba-tiba mencoba mencari tahu, apa yang akan dilakukan orang-orang itu bila ancaman itu ditolaknya. Ternyata, perubahan wajah lima orang baju hitam yang bertampang kasar itu jelas-jelas nampak.
"Berarti kau cari penyakit, Orang Muda,"
Geram orang yang membentak pertama tadi.
"Kurang ajar.... Kalau aku tidak ingin segera tahu apa yang terjadi di dusun ini, dan bagaimana keadaan kedua orangtuaku, sudah kutampar mencong mulut kasar itu,"
Gerutu Tirta dalam hati. Ditatapnya orang yang membentak tadi dengan tajam. Namun kejap kemudian bibirnya melepas senyum.
"Aku tak suka cari penyakit. Baiknya, aku menyingkir sekarang."
Tirta berbalik, lalu melangkah.
Kepergiannya diiringi lima pasang mata tajam yang terbahak-bahak penuh ejekan, membuat hati Tirta jadi panas.
Tetapi perasaan jengkelnya berusaha di tahan karena ada kejadian lain yang menurutnya harus mencari jawaban.
Ketika tak lagi melihat tubuh Tirta, kelima orang berbaju hitam yang merasa berhasil dengan ancamannya, mereka mengalihkan kuda ke kiri.
"Benar-benar aneh! Apa yang telah terjadi sesungguhnya...?"
Kata hati Tirta. Rupanya, pemuda ini telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mencelat ke sebuah atap rumah saat ekor matanya menangkap gerakan kuda-kuda yang ditunggangi lima lelaki berbaju hitam.
"Aku ingin mengikuti, siapa mereka sebenarnya. Dan, mengapa dusun ini dinyatakan milik Juragan Lanang? Tetapi, biarlah. Untuk sementara, aku harus tahu keadaan ayah dan ibuku dulu."
Karena tak menghendaki keha-dirannya kembali ke dusun ini diketahui lima lelaki berbaju hitam tadi, Tirta mencelat dari satu atap rumah ke rumah lain.
Gerakannya benar-benar tak menimbulkan suara karena disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.
Ketika tiba pada satu tempat yang agak jauh dari tempatnya bertemu dengan kelima orang baju hitam tadi, rumahnya kini sudah terlihat.
"Rumah itu masih tetap seperti lima tahun yang lalu,"
Desahnya memandang rumah terbuat dari kayu yang agak terpencil.
"Tetapi sekarang agak terhalang semak belukar yang tumbuh lebat. Biasanya aku yang selalu memapas semak itu. Tetapi, apakah sepeninggalku kedua orangtuaku tak punya niatan untuk memapas semak itu dan dibiarkan tumbuh?"
Belum lagi mendapat jawaban atas keheranannya, sepasang mata tajam Tirta yang terlatih melihat seorang lelaki tertawa-tawa sambil bersikap tak senonoh, menciumi pipi dua perempuan bahenol yang direndeng dikanan kirinya.
Mereka keluar dan pintu sebuah rumah.
Tirta melengak sesaat.
"Astaga! Apakah aku salah melihat? Apakah rumah itu bukan rumahku?"
Kata batinnya tak mengerti.
Mata si pemuda tak berkedip memandang lelaki yang melangkah agak sempoyongan dan sesekali mencium pipi kedua perempuan genit yang direndeng-nya.
Ketiga orang itu berjalan sambil tertawa-tawa, meninggalkan rumah tempat mereka keluar tadi.
Menuju ke arah kanan.
Dibalut keheranan mendalam, Tirta segera mengempos tubuhnya.
Dan kini dia hinggap ringan di balik semak, di depan rumah yang diyakini rumahnya.
Sejenak matanya beredar ke sekitarnya, lalu tubuhnya berkelebat menerobos masuk ke dalam rumah.
"Gila! Ini jelas-jelas rumahku! Biar bagaimana-pun juga, aku masih hafal bentuk ruang dalam yang tak berubah dari rumah ini. Tetapi mengapa orang-orang itu keluar dari rumahku?"
Desisnya begitu berada di dalam.
Mulai pemuda itu menjelajahi rumahnya.
Tetapi selesai seluruh ruangan dalam rumah diperiksa, Tirta tak menemukan dua orang yang sangat dirindukannya.
Dan kini, dia jadi tak tenang.
Cepat si pemuda keluar dari rumah.
Langsung disusurinya sekitar rumah.
Namun tak ada tanda-tanda kedua orangtuanya ditemukan.
"Apa yang telah terjadi? Ke mana mereka?"
Gumam Tirta, makin penasaran dan tak mengerti "Heh? Apa itu...?"
Sepasang mata tajam si pemuda menangkap satu sosok tubuh berkelebat dibelakang rumah. Yang langsung memasuki rumah itu.
"Hup!"
Seketika Tirta mencelat ke sebuah pohon. Ditunggunya sampai orang itu keluar. Tak lama dia menunggu, karena orang yang baru masuk itu sudah keluar lagi.
"Paman Sumirat! Apa yang dilakukannya? Hm... dia nampak begitu tua serta menderita? Ah, baiknya kuikuti saja dia. Nampaknya ada sesuatu yang ditakuti. Kelihatan jelas, dia nampak begitu berhati-hati."
Dengan mempergunakan ilmu meri-ngankan tubuhnya, Tirta berkelebat mengikuti lelaki yang dikenali sebagai Sumirat.
Lelaki itu melangkah ke arah tenggara, menyusuri jalan setapak dan masuk ke sebuah hutan kecil.
Di hutan yang lumayan jauh dari Dusun Bojong Pupuk, Tirta melihat beberapa orang pemuda sebayanya menyambut Sumirat dan mengiringinya masuk ke bagian dalam hutan dengan sikap waspada dan berhati-hati.
"Hei itu kan Langlang dan Bowo. Ada apa ini? Di tangan mereka ada sebilah golok? Benar-benar membuatku makin penasaran?"
Tanya pemuda dalam hati, dari balik sebatang pohon sambil terus mengikuti.
Tak lama kemudian, ketiga orang itu telah memasuki sebuah tempat yang terhalang oleh rimbunnya semak.
Dari tempatnya bersembunyi, Tirta tak bisa melihat tempat apa di balik semak itu.
Yang jelas itu adalah sebuah tempat yang baik untuk persembunyian.
Karena, semak belukar yang tinggi itu sepertinya sulit diterobos.
"Bagaimana, Paman?"
Terdengar sebuah suara bernada bertanya.
"Mengapa selama ini baru datang?"
"Aku gagal menemukan senjata-senjata yang kusimpan setahun yang lalu di rumah Layung Seta. Dan aku terpaksa harus menunggu, karena rumah kosong itu kini dijadikan tempat mesum oleh seorang anak buah Juragan Lanang...."
"Paman Sumirat.... Tak seharusnya Paman yang melakukan semua ini. Mengapa Paman tak memperbolehkan kami mencari senjata-senjata itu?"
"Aku bukannya tak percaya pada kalian. Jiwa kalian masih muda, masih panasan, dan selalu siap menerjang apa saja yang menghalangi. Yang ku khawatirkan, bila dipergoki orang-orang Juragan Lanang, kalian pasti segera mencabut senjata. Dengan begitu, persembunyian kita bisa diketahui mereka. Akibatnya kita tak bisa lagi menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan, merebut kembali tempat kelahiran kita. Kuharap kalian mengerti. Sebaiknya...."
"Siapa kau?!"
Sebuah bentakan keras memutus kata-kata Sumirat.
Segera disambarnya golok yang tadi ditanah.
Kepalanya lantas mengangguk pada tiga pemuda yang duduk di dekatnya.
Bersama tiga pemuda itu, Sumirat segera menerobos keluar.
Begitu tiba di luar, Sumirat melihat Langlang dan Bowo sedang menghunuskan golok pada seorang pemuda berbaju keemasan.
Sumirat memicingkan mata, menegasi pemuda yang nampak tenang.
Namun dari pancaran mata rasa herannya tak bisa disembunyikan.
Maka segera dia mengambil alih dengan mengangkat sebelah tangannya.
Seketika Langlang dan Bowo mundur dua tindak, namun tetap dengan kesiagaan tinggi.
"Orang muda.... Siapakah kau?"
Tanya Sumirat.
Lelaki ini sadar betul kalau orang muda di hadapannya ini bukanlah anak buah Juragan Lanang.
Karena, setiap anak buah Juragan Lanang selalu berbaju hitam.
Pemuda berbaju keemasan yang memang Tirta malah tersenyum.
Karena tak tahan ingin segera menjumpai orang-orang yang dikenalnya dan untuk mengetahui apa yang terjadi, pemuda ini sengaja menampakkan diri di hadapan Langlang dan Bowo.
Pikirnya, kedua temannya sejak kecil itu mengenalinya.
Namun, mereka justru membentak dan memperlihatkan wajah garang tak bersahabat.
Tirta bermaksud segera menerangkan siapa dirinya, tetapi Sumirat telah muncul bersama beberapa pemuda lainnya.
"Paman Sumirat.... Apakah Paman lupa padaku?"
Tanya Tirta ramah. Mendapati jawaban Orang yang justru balik bertanya, kening Sumirat berkerut. Sejenak ditatapnya anak muda itu dengan mata tajam. Dan tak lama wajahnya berubah cerah.
"Oh, Gusti! Kau... kau Tirta, bukan? Tirta putra Layung Seta dan Mentari?"
Desah Sumirat. Tirta mendesah dalam hati, bersyukur Sumirat mengenalinya. Segera kepalanya mengangguk.
"Benar, Paman. Aku Tirta."
"Gusti Maha Agung.... Kau... kau...."
Sumirat tak kuasa lagi meneruskan kata-katanya.
Begitu mendekat, langsung dirangkulnya Tirta dengan suka cita.
Baru disadarinya, bagaimana pemuda ini bisa tahu tentang diri dan tempat persembunyian ini.
Tentunya, Tirta telah melihat dan mengikutinya.
Menurut dugaan, Sumirat sudah merasa berhati-hati sekali tanpa ada orang yang mengikuti.
Kalaupun kemudian si pemuda bisa mengikuti ke mana dia pergi, tentunya dengan mempergunakan ilmu yang cukup tinggi.
Dari situ baru disadari kalau si pemuda tentunya tidak kosong seperti dulu.
"Luarbiasa! Rupanya kau belum meninggal! Sekian tahun kami membantu kedua orangtuamu mencarimu, justru kau tiba-tiba muncul. Menakjubkan! Kau telah berubah menjadi pemuda gagah, Tirta! Bahkan... kau dapat mengikuti aku tanpa kuketahui sama sekali. Luar biasa!"
Kelima pemuda yang bersama Sumirat pun segera mengenali pula siapa pemuda di hadapannya.
Bergantian mereka merangkul Tirta sambil tertawa-tawa.
Sikap tegang pun sudah meluntur.
Sumirat mengajak Tirta masuk ke dalam semak belukar setinggi dua tombak yang di baliknya ternyata terdapat sebuah perkampungan darurat yang cukup luas.
Jadi, semak itu agaknya sebagai pagar untuk menyamarkan keberadaan kampung itu.
Ada beberapa orang lain di sana yang terdiri dari wanita dan anak-anak.
Juga beberapa pemuda penjaga yang bersiaga penuh bila orang-orang yang kehadirannya tak diinginkan muncul di sana.
Orang-orang itu pun menyambut kehadiran Tirta dengan suka cita.
Kini, mereka duduk di tanah.
Sumirat meminta Tirta menceritakan apa yang terjadi.
Dan sudah tentu Tirta tak menceritakan tentang rajawali emas yang bernama Bwana.
Pemuda itu tetap bicara merendah.
Setelah itu, Tirta menatap Sumirat dengan sinar mata menuntut.
Dia tak mampu menahan rasa penasaran dengan apa yang dilihatnya ketika pertama kali menginjak dusun ini kembali.
"Paman Sumirat... apa yang telah terjadi di dusun ini? Ketika pertama kali menginjakkan kaki kembali ke dusun ini, suasana nampak sepi. Beberapa orang yang tadi berada di luar rumah, langsung masuk seolah melihat setan datang. Yang membuatku lebih heran lagi, lima lelaki berbaju hitam menghadang dan mengusirku dari sini bila aku tidak membayar pajak. Pajak apa, Paman? Yang terpenting lagi, aku tak menemukan kedua orang-tuaku di rumah. Di mana mereka, Paman? Adakah Paman tahu?"
Sumirat mendesah pendek sebelum bicara.
Jelas, hatinya agak ragu mengatakannya.
Tetapi pertanyaan si pemuda jelas meminta jawaban.
* * * Setelah berbulan-bulan tak mampu menemukan Tirta, Layung Seta putus asa.
Dan dia menyatakan kalau putranya telah hilang.
Di sisi lain, keadaan Mentari juga sangat memprihatinkan.
Tubuhnya semakin kurus, hingga akhirnya jatuh sakit.
Ingatannya terus tertuju pada Tirta, membuatnya tak mau menyentuh makanan.
Kalaupun mau, itu pun harus setengah dipaksa oleh Layung Seta yang selalu telaten menyuapi.
Dalam penderitaan yang berkepan-jangan, sahabat-sahabat Layung Seta banyak membantu.
Terutama, berusaha membantu melunasi hutang pada Juragan Lanang.
Suatu ketika ada berita yang cukup menggemparkan.
Keluarga Mardi ditemukan mati terbunuh dengan tubuh penuh luka benda tajam.
Menyusul, keluarga Wajak dan Gondo.
Semuanya mati secara mengenaskan dengan leher tergorok hampir putus.
Belum selesai kejadian menggem-parkan itu, menyusul satu kejadian lebih mengenaskan.
Di suatu malam buta, datang serbuan dari orang-orang bertopeng yang menyerang keluarga Layung Seta.
Layung Seta berusaha mempertahankan diri, namun tak mampu menyelamatkan istrinya.
Mentari tewas oleh golok tajam salah seorang penyerang bertopeng yang menghujam di dadanya.
Kendati begitu, Layung Seta terus membalas orang yang telah membunuh istrinya.
Tak dipedulikan lagi keadaan dirinya yang penuh luka.
Sehingga dia berhasil membunuh dua dari sepuluh orang bertopeng yang menyerangnya.
Perbuatan nekat Layung Seta tak lagi memperhitungkan soal nyawa.
Kematian istrinya harus ditebus.
Namun, akhirnya justru dia yang jadi bulan-bulanan.
Untung saja saat Sumirat cepat datang membantu.
Walaupun mengalami luka, akhirnya Sumirat berhasil melarikan Layung Seta yang terus bersikeras menghadapi orang bertopeng itu.
Tetapi Sumirat terus menahan gerakannya agar tidak nekat meneruskan pertarungan yang tak seimbang.
Setelah kejadian itu, sikap Layung Seta jadi berubah.
Di tempat persembunyian lelaki itu selalu terlihat murung bagai orang dungu.
Namun Sumirat tahu kalau sahabatnya itu menangis dalam hati.
Belum lenyap kesedihan itu, kini giliran istri dan anak Sumirat yang ditemukan terbunuh.
Sumirat benar-benar murka.
Namun dia masih mampu menahan perasaannya.
Seolah, bencana memang tak hendak enyah dari Dusun Bojong Pupuk.
Dengan dikawal puluhan tukang pukul yang rata-rata berbaju hitam, Juragan Lanang menyatakan kalau Dusun Bojong Pupuk men-adi miliknya.
Dan setiap orang yang menghuni setiap jengkal tanah dusun itu, diharuskan membayar pajak.
Yang membantah, tak segan-segan kaki tangan Juragan Lanang meng-hajarnya.
Kesewenang-wenangan Juragan La-nang beserta anak buahnya sebenarnya sudah jelas.
Meskipun sulit ditebak, siapa orang-orang di balik topeng hitam, tetapi bisa diyakini, kalau mereka adalah anak buah Juragan Lanang.
Layung Seta dan Sumirat berusaha menyelidiki setiap tindakan pembunuhan yang terjadi.
Mereka mengumpulkan segala macam senjata yang didapati dari orang-orang yang telah tewas terbunuh.
Layung Seta merasa rumahnya tak akan disatroni lagi oleh orang-orang bertopeng, karena telah dianggap menghilang.
Dengan dasar itulah Layung Seta lantas menyembunyikan senjata-senjata di satu tempat yang tersembunyi di salah sebuah bagian rumahnya.
Sementara Sumirat bertugas menjaga keamanan.
Bila ada yang datang, dia akan segera memberi tahu Layung Seta.
Belum reda dengan peristiwa serangan orang bertopeng, Dusun Bojong Pupuk pun diwarnai perampokan yang diakhiri pemerkosaan dan pembunuhan pada setiap malam.
Hal ini membuat para penduduk semakin ketakutan saja.
Terutama kaum wanitanya.
Banyak yang memutuskan untuk meninggalkan dusun itu.
Namun sayang akhirnya mereka tewas di tangan para pembunuh gelap yang selalu mengenakan topeng hitam.
Di lain pihak, orang-orang Juragan Lanang berkoar-koar untuk menyelamatkan para penduduk.
Mereka seolah bertekad untuk menangkap orang-orang bertopeng dan para perampok.
Namun pada kenyataannya? Dan para penduduk pun semakin tak percaya akan tekad baik Juragan Lanang yang mengatakan kalau anak buahnya adalah para penyelamat.
Mereka bertambah yakin kalau semua ini didalangi oleh Juragan Lanang.
Layung Seta dan Sumirat semakin geram saja.
Pada suatu saat, mereka berniat menyelidiki orang-orang ber-topeng, namun kepergok.
Dalam peristiwa ini, Layung Seta tewas.
Sementara, Sumirat masih berhasil melarikan diri dengan tubuh penuh luka.
Selama beberapa tahun akhirnya Sumirat mencoba mengumpulkan kekuatan.
Dibujuknya beberapa orang penduduk untuk meninggalkan dusun, dan bergabung di tempat persembunyian.
Namun karena ketakutan yang dalam, membuat Sumirat agak kesulitan mem-bujuk dan meminta bantuan para penduduk lainnya.
Hingga sampai hari ini, tak banyak yang jadi pengikutnya.
Kalaupun banyak, hanya terdiri dari perempuan dan anak-anak belaka yang berhasil meloloskan diri dari ancaman anak buah Juragan Lanang.
Dalam keadaan jumlah pengikut yang sedikit, Sumirat tak berani memutuskan untuk melakukan tindakan pembalasan.
Dan kalaupun sampai hari ini masih aman, itu karena sangat berhati-hati.
Di samping itu, beberapa orang Juragan Lanang yang tiba disini terpaksa dibunuh.
Karena bila membiarkan hidup, berarti mengorbankan nyawa orang-orang yang bergabung dengannya sekarang ini.
*** Tirta menarik napas masygul setelah mendengar cerita Sumirat.
Rupanya, gemblengan Bwana selama lima tahun dan berada dalam kesunyian tempat, tak membuatnya terlalu hanyut dalam rasa sedih yang mengikat.
Meskipun diakui, dia tak mampu mengeluarkan suara beberapa saat, mendengar berita dua orang yang dirindukan dan dikasihinya telah meninggal secara mengerikan.
"Tirta... apakah kau baik-baik saja?"
Tanya Sumirat dengan suara bijaksana. Tirta memamerkan senyumnya, berusaha menindih segala persoalan. Segera kepalanya mengangguk, ketika Sumirat menunggu jawabannya.
"Aku tidak apa-apa, Paman."
"Syukurlah kalau begitu."
"Paman tadi mengatakan, kita perlu senjata yang didapat dari orang-orang terbunuh. Di manakah senjata-senjata itu disembunyikan?"
Tanya Tirta kemudian. Kesabarannya mendengar berita yang menyakitkan hati mampu membuatnya mengendalikan diri. Sehingga Tirta tak larut dalam kese-dihan dan kemarahan yang sebenarnya sudah membludak. Sumirat mendesah.
"Itulah penyebabnya, Tirta. Aku tak mengetahuinya. Karena, ayahmu yang bertugas menyembunyikan senjata-senjata itu. Sementara, aku menunggu di luar berjaga-jaga agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan."
Tirta terdiam sesaat. Gumpalan kenangan membias di benaknya. Cukup menikam hatinya. Tetapi lagi-lagi jiwa kependekarannya tak membuatnya jadi cengeng.
"Kalau begitu, biar aku yang mencari sekaligus menyelidiki semua ini."
"Tirta... kita baru bertemu. Beristirahatlah dulu. Mungkin kau masih lelah."
Sebagai jawaban dari permintaan Sumirat, Tirta justru berdiri dan tersenyum.
"Kita akan bertemu lagi, Paman."
Wuuuttt! Tiba-tiba saja laksana tiupan angin, tubuh Tirta telah hilang dari pandangan.
Kontan orang-orang yang berada ditempat itu tertegun dibuatnya.
Sehingga, tak satu suara pun yang terdengar.
Seolah mereka baru menyadari kalau pemuda berbaju keemasan dengan rajahan bergambar burung rajawali emas di lengan kanan dan kirinya sudah tak tampak di hadapan.
"Luar biasa.... Entah, apa yang akan dilakukan Layung Seta dan istrinya bila masih hidup dan mengetahui bocah yang dirindukan telah kembali pulang dan menjadi pemuda gagah,"
Desah Sumirat tak mampu menahan kekagumannya.
Lalu kepalanya menoleh pada dua orang yang ada di tempat ini "Langlang! dan kau, Bowo.
Seperti biasa, kalian berjaga-jaga di tempat masing-masing.
Jangan sampai persembunyian kita diketahui orang-orang Juragan Lanang." *** Untuk mendapatkan keterangan lain, Tirta sengaja berjalan di tengah-tengah desa dengan sikap tenang, seolah tak tahu kejadian apa yang telah menimpa Dusun Bojong Pupuk.
Meskipun hatinya sangat marah mengetahui semua ini, namun berusaha bersabar.
Pemuda ini berharap bisa bertemu kelima orang berbaju hitam lagi.
Dan belum lagi dia tiba di dekat sebuah pohon trembesi yang ada di tengah dusun, mendadak....
"Auuuw...!"
Terdengar teriakan keras bernada ketakutan dari salah satu rumah di dusun ini.
Cepat si pemuda tampan yang mencoba mencari tahu tentang kematian kedua orangtuanya itu melesat masuk ke dalam rumah sumber suara tadi.
Begitu tiba, tampak lima orang berbaju hitam sedang terbahak-bahak lebar sambil mendekati seorang perempuan yang ketakutan di sudut kamar.
Sementara seorang lelaki yang dikenal Tirta bernama Randung dalam keadaan babak belur dan terikat tak berdaya.
Lelaki itu, adalah suami dari perempuan yang tengah ketakutan.
Kemarahan Tirta tak bisa dibendung lagi melihat tindakan sewenang-wenang itu.
"Belum juga perintah Eyang bisa kujalankan untuk mencari Raja Lihai Langit Bumi dan Bidadari Hati Kejam, sudah ada urusan di depan mata. Sebaiknya kuurus dulu masalah ini sampai tuntas, sebelum kutemukan dua murid Eyang itu."
Habis membatin seperti itu, Tirta menatap tajam pada lima orang baju hitam yang menjengkelkan hatinya.
"Wah, wah! Dasar kucing! Beraninya hanya melawan cecurut? Ayo, lepaskan! Apa kepala kalian ingin kujitak?!"
Semprot Tirta.
Seketika suara tawa penuh ejekan sekaligus ancaman terhenti.
Bersamaan dengan itu, lima orang berbaju hitam memutar tubuh.
Mendapati bentakan seperti itu saja, mereka sudah berubah garang.
Dan mereka makin garang ketika tahu, siapa yang mengeluarkan ben-takan.
Seorang pemuda tampan yang mereka usir tadi pagi ketika memasuki dusun ini.
Orang yang tadi pagi mengusir Tirta melangkah tiga tindak.
Sikapnya terlihat tengik dan penuh ancaman.
"Pemuda keparat! Rupanya kau hanya cari penyakit berani datang ke sini lagi!"
Bentaknya garang. Tirta mencoba menahan kemarahan yang bertambah naik.
"Waduh.... Kalian masih marah padaku? Maaf, ya. Aku tidak meninggalkan dusun ini. O, ya. Aku tak menyukai tindakan keji macam beginian. Lebih baik kalian angkat kaki, sebelum aku benar-benar akan menjitak kepala berotak udang kalian!"
Mendengar kata-kata Tirta, lelaki itu terbahak-bahak, disusul empat kawannya. Hingga rumah yang sudah agak doyong itu dipenuhi tawa meriah.
"Bicaramu terlalu sembrono, Orang Muda! Apakah harus diperkenalkan lagi, siapa kami?"
Sera lelaki berwajah kasar yang membentak tadi. Dan rasanya, Tirta ingin menampar mulut orang itu.
"Tak jadi soal kalian mau perkenalkan diri atau tidak. Aku tahu, kalian orang-orang Juragan Lanang seperti yang kalian katakan padaku tadi pagi! Hanya kuminta, menyingkirlah dari sini dengan damai bila tak ingin celaka!"
Mendapati jawaban yang menying-gung perasaan, lelaki berwajah kasar itu menggeram.
"Setan keparat! Rupanya kau belum kenal siapa kami, Orang Muda?! Ketahuilah...! Kami para tukang pukul Juragan Lanang! Harap segera angkat kaki bila masih sayang nyawa!"
"Sekalipun sebagai penghuni neraka, aku tak akan diam melihat tindakan keji di depan mata!"
Sahut Tirta gagah.
"Apalagi kalian cuma kucing kurap yang sok mau jadi harimau!"
"Setan alas! Kau hanya cari penyakit! Terima kematianmu!"
Lelaki berwajah kasar itu sudah melompat dengan satu jotosan.
Namun Tirta cepat mengangkat tangan kanannya, dan menurunkan dengan cepat Plak! Bersamaan dengan itu, Tirta mengempos tubuhnya kebelakang.
Dan tahu-tahu, si pemuda sudah ada di halaman rumah yang cukup lebar itu.
Sementara lelaki berwajah kasar yang serangannya mentah kembali, merasa ngilu sekali pada tangannya.
Sejenak dia tak mampu mengumbar kata-kata.
Mulutnya bagai terkunci begitu saja.
Namun....
"Bunuh pemuda itu!"
Bentaknya, berang. Serang! Serentak keempat lelaki lain meloloskan golok Dan seketika mereka bergerak menerjang ke arah Tirta. Tirta yang sudah dikurung kelima orang baju hitam bertampang bengis itu hanya tersenyum dengan sikap tenang.
"Waduh! Beraninya main kero-yok.... Jangan salahkan bila kalian hanya akan jadi kambing congek di hadapanku, ya?!"
Tanpa mempedulikan ocehan Tirta, empat lelaki itu telah menebaskan golok hampir bersamaan. Sementara, si pemuda tahu-tahu telah bergerak lincah sambil mengibaskan tangannya. Tahu-tahu.... Tak! Tak! "Aaakh...!"
Mendadak terdengar pekikan ter-tahan.
Empat orang yang menyerang Tirta tampak mundur dengan wajah terkejut.
Dan lebih terkejut lagi ketika golok di tangan sudah lenyap.
Justru ketika mereka menatap ke depan, golok golok itu sudah berpindah ke tangan pemuda berbaju keemasan itu.
Yang mencengangkan lagi, dengan sekali tekan saja keempat golok itu patah sekaligus.
"Nih kukembalikan!"
Kata si pemuda enteng.
Lalu golok itu dilemparkan ke depan seperti asal lempar saja.
Secepatnya keempat orang itu menye-lamatkan diri, kalau tak mau tertancap patahan golok yang bagai meluruk secepat angin.
Dan patahan golok itu menancap dalam pada pohon di belakang mereka, berurutan dari atas ke bawah.
"Ha... ha... ha.... Kalian seperti kucing kurap kurang makan! Ayo bangun!"
Ejek Tirta. Keberanian keempat orang itu kontan enyah dari dada, berubah menjadi ciut. Wajah mereka tegang, pias, dan ketakutan. Sementara lelaki berwajah kasar yang membentak pertama tadi pun tercengang.
"Hei?! Mau ke mana kalian?!"
Dan lelaki itu berseru-seru ketakutan ketika keempat temannya tahu-tahu bangkit dan melarikan diri tanpa ada kata sepakat.
"Hei! Hei! Tunggu!"
Lelaki berwajah kasar itu berlari pula.
Tetapi langkahnya terhenti karena tahu-tahu Tirta sudah berada di hadapannya.
Seperti melihat setan di siang bolong, si lelaki kasar membelalak lebar.
Dan tanpa disentuh, dia menggelosor terkencing-kencing.
Bahkan langsung pingsan! "Bah! Yang ini malah ngompol lagi!"
Umpat si pemuda. Sekali kelebat, Tirta masuk ke dalam rumah. Terlihat perempuan yang ketakutan tadi sudah melepaskan ikatan pada suaminya.
"Kalian aman sekarang...,"
Kata Tirta.
"Terima kasih, Tuan... terima kasih."
Kedua suami istri yang baru saja mengalami kejadian menakutkan itu mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Paman Randung.... Jangan panggil aku Tuan. Apakah Paman tak mengenaliku lagi?"
Lelaki yang babak belur itu mengangkat kepala. Ditatapnya si pemuda yang sedang tersenyum.
"Oh, Tuhan...! Kau..., Tirta?"
"Ya. Paman. Aku Tirta. Bocah yang hilang lima tahun lalu. Untuk saat ini, kita tak punya banyak waktu untuk menjelaskan keberadaanku kembali di dusun ini. Aku yakin orang-orang itu akan kembali. Lebih baik, Paman kubawa ketempat Paman Sumirat dan yang lainnya. Aku sudah bertemu mereka sebelumnya."
Randung menarik napas panjang.
Dia teringat ketika Sumirat mengajaknya untuk bergabung.
Namun ancaman dari orang-orang Juragan Lanang tak membuatnya berani menyetujui ajakan itu.
Nyatanya sekarang ini, justru nyawanya dan keselamatan istrinya terancam.
Perlahan-lahan Randung menganggukkan kepala.
*** Begitulah apa yang dilakukan Tirta kemudian.
Dengan mencoba menjelaskan pada penduduk tentang dirinya dan tentang ancaman yang dilakukan orang-orang Juragan Lanang, dalam waktu lima hari Tirta sudah berhasil mengungsikan orang-orang disana ke tempat Sumirat.
Memang bukan pekerjaan mudah.
Karena, masih ada orang-orang yang menolak dan ketakutan meski sudah dibujuk.
Di samping itu, Tirta juga harus melumpuhkan orang-orang Juragan Lanang yang menghadangnya.
Namun untungnya itu bukanlah persoalan sulit.
Kesabaran Tirta diuji pada saat-saat itu.
Dan kesabarannya memang membuahkan hasil.
Menurut dugaannya keamanan para penduduk harus dinomor satukan.
Tirta juga yang mengatur penja-gaan di sekitar tempat persembunyian.
Sudah tentu yang sangat senang dalam hal ini adalah Sumirat.
Begitu lama dia coba bujuk para penduduk untuk bergabung, namun mengalami kesulitan.
Justru Tirta hanya dalam waktu kurang satu Minggu telah berhasil mengungsikan mereka.
Untuk bergabung bersama yang lainnya.
Maka sudah tentu dengan hilangnya para penduduk dari rumah masing-masing, membuat heran orang-orang Juragan Lanang.
Karena, di ladang, di sungai, di sawah, makin sepi dari orang yang kerja untuknya.
Di rumahnya, Juragan Lanang yang sudah mendengar hal itu jadi berang.
Wajahnya tegang dengan sinar mata berapi-api.
"Periksa setiap rumah! Mereka rupanya mulai membangkang! Bunuh siapa saja yang menolak!"
Ucapnya pada lima belas anak buahnya.
Serentak lima belas orang lelaki berwajah kasar bergerak.
Mereka tak mau lebih lama tinggal di sana, sebelum kemarahan sang majikan akan terlampiaskan.
Dan kini lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan wajah licik itu melangkah ke sebuah ruangan yang terdapat ditengah-tengah bangunan besar ini.
Dia mengetuk pintu lalu masuk dengan langkah perlahan.
Kemudian ditutupnya pintu itu rapat-rapat.
"Guru...,"
Panggil Juragan Lanang penuh hormat. Lalu dia duduk bersila di lantai.
"Aku telah mendengarnya, Lanang. Dan aku yakin, ada orang yang telah berhasil membujuk para penduduk untuk melarikan diri,"
Shut suara merdu namun bernada dingin dari salah satu ruangan yang remang-remang dan berbau harum "Guru...."
"Biarlah hal itu diurus anak buahmu. Kupikir, urusan macam begini tak terlalu memprihatinkan. Karena, ada urusan lebih besar, yang selama lima tahun kunanti untuk kusele-saikan."
"Apa itu, Guru?"
"Lanang.... Sudahkah kau men-dengar berita tentang Batu Bintang?"
"Maafkan aku, Guru.... Sampai saat ini, aku belum mendengar tentang berita itu lagi...."
Sosok ramping yang berbicara dengan Juragan Lanang menyipitkan kedua matanya yang dingin.
Aroma harum yang tercium ternyata bukan berasal dari ruangan itu, melainkan dari tubuh ramping yang duduk bersila di hadapan Juragan Lanang.
Sosok ramping yang ternyata seorang wanita itu berbaju sutera yang indah sekali.
Belahan baju bagian dadanya tampak rendah, hingga memperlihatkan bungkahan dua bukit kembar yang besar dan indah.
Sementara belahan baju bagian bawah hingga ke pangkal paha memperlihatkan kedua paha yang mulus menggiurkan.
Di balik wajahnya, ditutupi cadar dari sutera pula.
Sukar dinilai, bagaimana rupanya.
"Lima tahun lamanya aku menunggu tentang Batu Bintang. Bukan berarti aku duduk berdiam dirinya di sini. Berita itu telah kudengar cukup lama, namun belum seorang pun yang mendapatkannya. Aku justru mengatur sebuah rencana agar dusun ini dijadikan sebagai tempat tinggal. Kau telah berhasil melakukannya, Lanang. Dengan demikian, tak seorang pun yang tahu kehadiranku kembali ke rimba persilatan ini,"
Kata perempuan itu, halus suaranya.
"Ya, Guru."
"Sengaja aku berdiam di sini dan menunggu, semata untuk memastikan siapa yang telah memiliki Batu Bin-tang. Sebuah batu yang bisa dijadikan senjata ampuh tak terkalahkan. Namun, berita tentang Batu Bintang itu tiba-tiba menguap. Dan aku tak tahu, siapa yang telah memiliki."
"Ya, Guru,"
Sahut Lanang sambil tetap menunduk .
Selama sepuluh tahun, Juragan Lanang mengenal wanita bercadar sutera ini.
Namun sampai saat ini, dia belum sekali pun melihat wajahnya.
Lelaki ini hanya tahu kalau gurunya berjuluk Dewi Kematian.
Sebuah julukan angker dan mengerikan.
Dan dia pun tahu kalau gurunya telah tiga puluh tahun mengundurkan diri dari rimba persilatan.
Memang, semua yang dila-kukan Juragan Lanang adalah rencana gurunya yang lima tahun lalu mengajak dirinya untuk keluar dari kediaman di Pesisir Laut Barat.
"Lanang.... Kau urus keadaan di sini. Aku sudah bosan duduk berdiam di sini, menunggu Batu Bintang. Sudah tiba saatnya aku untuk keluar untuk mencari tahu tentang Batu Bintang."
"Baik, Guru."
"Keluarlah kau sekarang. Dan lakukan apa yang menurutmu baik. Ingat! Jangan sampai ada yang tahu tentang kehadiranku kembali ke rimba persilatan. Karena ini sangat penting, Lanang. Aku ingin mendapatkan Batu Bintang tanpa banyak kesulitan. Siapa pun yang telah memilikinya, aku akan merebutnya."
"Baik, Guru.... Semua perintah Guru akan kujunjung tinggi di atas nyawa."
Lalu perlahan-lahan lelaki licik itu meninggalkan tempat ini.
Memang, bila berhadapan dengan anak buahnya, dia selalu menunjukkan kekejaman tinggi.
Namun bila berhadapan dengan gurunya, Juragan Lanang tak lebih hanyalah tikus cecurut belaka.
Sepeninggal muridnya, perempuan bercadar sutera menarik napas panjang.
"Batu Bintang.... Sebuah benda langka yang aku tahu kini diperebutkan orang-orang rimba persilatan. Siapakah yang telah memilikinya? Hm.... Sampai saat aku ini tak mendengar kabar lagi tentang Batu Bintang?"
Sejenak perempuan bercadar yang berjuluk Dewi Kematian itu terdiam.
Di balik cadar suteranya, keningnya berkerut.
Agaknya, dia berusaha menentukan, di manakah Batu Bintang itu berada.
Lima tahun dia menunggu dan merencanakan semua ini.
Terutama, mendapatkan dusun ini sebagai tempat tinggalnya.
Selama ini, kemunculannya kembali ke dunia ramai memang tak diketahui siapa pun juga.
Kecuali, muridnya sendiri yang tak lain Juragan Lanang.
"Sebelum tiba di dusun ini, dengan ajian Tutup Sukma' aku telah melihat empat tokoh rimba persilatan telah keluar. Ratu Tengkorak Hitam, Kaki Gledek, Bidadari Hati Kejam, dan Manusia Mayat Muka Kuning. Tetapi dari sekian orang, tak ada satu pun yang kuduga telah memiliki Batu Bintang. Hmm.... Mengenai Manusia Mayat Muka Kuning, apakah masih mengenalku sebagai bekas kekasihnya dulu? Tak ada lagi cinta di hatiku padanya, kecuali hanya jadi sahabat belaka. Tentang benda yang kucari itu, mengapa perasaanku mengatakan sangat dekat dengan Batu Bintang? Hanya saja, pijaran kerasnya tak terlalu kutangkap ajian 'Tutup Sukma'. Lain dengan sebelumnya. Apakah ada yang telah mendapatkan, dan telah mengubah bentuk Batu Bintang menjadi sebuah senjata? Pertanda apakah itu?"
Kembali orang bercadar sutera itu terdiam.
"Hmmm.... Akan kuselidiki tentang hal ini, sebelum melangkah keluar dari dusun ini. Batu Bintang...! Apa pun sekarang bentuknya... harus menjadi milikku."
Dan tak lama, perempuan bercadar sutera itu terdiam, mendadak muncul kepulan asap tebal menyelubungi tubuhnya.
Begitu tebalnya, hingga tubuh yang duduk bersila tadi tak nampak oleh mata.
Dan ketika asap putih itu perlahan-lahan menghilang, yang nampak di depan mata hanya sebuah ruang kosong.
Sosok perempuan bercadar sutera dan mengeluarkan aroma harum dari tubuhnya itu tak lagi nampak di depan mata.
Lenyap entah ke mana.
*** Sebuah semak bergerumbul di pinggir sungai menguak Dari dalamnya, muncul satu sosok tubuh ramping berkonde berbaju batik.
Sosok yang ternyata perempuan tua itu menggerutu panjang pendek.
Dia baru saja selesai mandi, dan berpakaian kembali.
Nenek berkonde itu mendongak ke atas.
Matahari saat ini tepat berada di atas kepala.
Namun, sengatannya tak mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Sejenak dia terdiam, lalu menarik napas panjang.
"Lima tahun berlalu tanpa terasa. Tak kudengar lagi tentang Batu Bintang. Juga, bocah bernama Tirta yang kuinginkan menjadi muridku. Kabar Manusia Mayat Muka Kuning pun tak kudengar lagi. Setan keparat! Kenapa semuanya menguap begitu saja? Keluarnya aku dari tempat kediamanku ini karena isyarat terselubung yang dilakukan Manusia Mayat Muka Kuning. Setan alas! Mau cari mampus manusia itu rupanya. Hmmm.... Baiknya aku datangi Raja Lihai Langit Bumi. Masih ada pertanyaanku untuknya, mengapa mengajarkan jurus 'Undang Maut Sedot Darah' pada Ratu Tengkorak Hitam. Kalau dia benar-benar menurunkan jurus itu, tak segan-segan aku akan meng-hajarnya. Peduli nyawaku akan putus atau tidak. Meskipun dia saudara seperguruanku, tetapi tak pernah tahu seberapa tinggi ilmunya. Karena, Guru mengajarkan kami ilmu yang berbeda. Tetapi, dia telah berubah dan membelokkan ajaran Sepuh Mahisa Agni. Ada apa di balik semua ini? Lima tahun telah berlalu, dan banyak peristiwa terjadi. Darah tumpah seperti sungai. Mayat bertimbunan menjadi bukit. Rimba persilatan memang sedang kacau balau."
Nenek berkonde yang tak lain Bidadari Hati Kejam terdiam lagi. Diperhatikannya seluruh tempat yang dipenuhi semak dan pepohonan tinggi. Tiba-tiba kepalanya menoleh ke satu tempat.
"Ada bangsat busuk yang mengintip aku rupanya!"
Omel si nenek sambil menyentakkan tangan kanannya.
Wusss! Semak belukar yang berjarak lima tombak terpapas pecah beterbangan terhantam angin deras pukulan yang dilepaskan nenek berkonde itu.
Dan dari pecahan semak, meloncat satu sosok tubuh.
Begitu mendarat, tampaklah seorang lelaki berpakaian compang-camping dengan sebuah tongkat kusam di tangannya.
"Menyerang membabi buta adalah tindakan sembrono. Padahal, aku tak bermaksud mengintip,"
Kata lelaki tua sambil menatap tajam Bidadari Hati Kejam yang tengah jengkel.
"Siluman Buta!"
Sebut Bidadari Hati Kejam, begitu mengenali orang yang baru muncul.
"Pekerjaanmu seperti remaja saja. Suka mengintip! Apakah tak ada pekerjaan lain yang bisa membuatmu lebih melek!"
Lelaki tua berpakaian compang-camping dengan rambut putih kusut dan wajah celong ke dalam itu mengeluarkan suara geli.
"Kalaupun mengintip, sudah tentu aku tak lihat apa-apa. Kalau mataku melek, yang tampak cuma buah pepaya busuk dan kue berambut gersang! Apa enaknya bagiku, hah?! Hanya membuat kedua mataku jadi tertutup saja,"
Sahut lelaki tua yang dipanggil Siluman Buta seraya tertawa keras.
Bidadari Hati Kejam mendengus berkali-kali.
Dia memang mengenal tokoh berjuluk Siluman Buta itu.
Seorang tokoh buta dari golongan sesat berhati kejam.
Selama ini, Bidadari Hati Kejam memang tak pernah bentrok dengan tokoh berbaju compang-camping itu.
Sehingga dia menemui kesulitan untuk mengukur ketinggian ilmu Siluman Buta.
Namun dia tahu, Siluman Buta pernah dipecundangi saudara seperguruannya yang berjuluk Raja Lihai Langit Bumi saat adu kesaktian di Lembah Maut.
Setelah pertarungan itu, masing-masing tokoh menghilang begitu saja.
Termasuk Siluman Buta.
Kalaupun lelaki tua itu kembali muncul kedunia ramai, tentunya ada urusan yang tidak gampang.
"Bicara busukmu itu tak bisa kuampuni sebenarnya! Katakan, urusan apa yang memaksamu keluar dari pengasingan?!"
Bentak Bidadari Hati Kejam.
"Justru aku yang bertanya padamu, Bidadari Hati Kejam. Urusan apa yang memaksamu keluar?"
Tukas Siluman Buta, enteng.
"Masing-masing punya urusan. Lebih baik saling menjauh sekarang."
"Usul yang bagus. Tetapi, di manakah Raja Lihai Langit Bumi berada sekarang?"
Mendengar pertanyaan itu, Bidadari Hati Kejam bisa menangkap urusan apa yang memaksa Siluman Buta muncul. Tentunya, manusia compang-camping dengan kedua biji mata putih itu masih mendendam atas kekalahannya dulu dari Raja Lihai Langit Bumi.
"Dia hanya saudara seperguruanku. Bukan suami atau kekasihku. Mana kutahu dia berada dimana?"
Sahut Bidadari Hati Kejam.
"Jawaban yang mengesankan."
"Ganti jawab pertanyaanku. Tahukah kau, dimana Manusia Mayat Muka Kuning?"
Siluman Buta tersenyum.
"Rupanya kau masih memiliki urusan lama dengan Manusia Mayat Muka Kuning. Mengapa?"
"Dialah yang memaksaku keluar dari kediamanku! Dan nama busuk Manusia Mayat Muka Kuning akan lenyap dari permukaan bila berurusan denganku lagi!"
Siluman Buta terbahak-bahak.
"Sungguh besar nyali Manusia Mayat Muka Kuning yang tak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi Tetapi sayangnya, siapa pun akan berani menghadapimu, Bidadari Hati Kejam."
Wajah nenek berkonde itu tertarik ke dalam, lebih menampakkan kerut merut pada wajahnya. Kedua matanya bersinar tajam pada lelaki tua di hadapannya.
"Ucapan manusia buta ini telah mencongkel amarah dalam dadaku. Rasanya aku tak bisa menghindari urusan dengannya. Hm.... Aku jadi ingin merasakan kehebatannya. Urusannya keluar dari pengasingan sudah tentu akan membalas dendam pada Raja Lihai Langit Bumi. Meski saudara seperguruanku, tetapi setiap urusan Raja Lihai Langit Bumi bukanlah urusanku,"
Kata batin nenek berkonde. Mata si nenek tak berkedip ke arah Siluman Buta yang berdiri sambil memegang tongkat dengan kedua lengan-nya.
"Bicaramu sudah keterlaluan! Urusan ini jadi makin lebar! Bila kau memaksa, aku terima dengan tangan terbuka!"
Ujar Bidadari Hati Kejam dengan suara ditekan. Siluman Buta tertawa keras, mengumandang ke seantero tempat. Tantanganmu kusambut hangat, Bidadari Hati Kejam. Apakah aku akan diam saja?"
"Banyak omong!"
"Tetapi, bukan kau sasaran sebenarnya. Lebih baik, tunda dulu urusan kita!"
"Ngomong berbelit-belit, ternyata hanya menunjukkan jiwa sakit! Bila tak mau dikatakan pengecut, ayo cepat enyah dari sini!"
Siluman Buta menatap tajam. Bibirnya yang penuh keriput menyeringai dingin.
"Bidadari Hati Kejam.... Kau akan tercengang bila melihat siapa aku sebenarnya! Lain dulu lain sekarang! Aku tahu kesaktianmu hanya bisa ditandingi oleh Raja Lihai Langit Bumi, saudara seperguruanmu yang telah mempecundangiku di Lembah Maut. Tetapi, apakah aku bertindak bodoh untuk mencarinya bila kemampuanku masih seperti dulu?"
Begitu habis kata-katanya, Siluman Buta meluruk deras sambil menggerakkan tongkat kusam yang dipegangnya.
Bagai sebuah baling-baling raksasa, tongkat kusam itu berputaran menimbulkan angin dahsyat yang menggu-gurkan dedaunan ke arah Bidadari Hati Kejam.
Bidadari Hati Kejam terkesiap menangkap gebrakan pertama dari Siluman Buta.
Tetapi, tanpa bergeser dari tempatnya, sebelah tangannya digerakkan.
Wuusss! Serangkum angin meluruk, sekali-gus mendorong tongkat yang siap menghantam pecah kepala Bidadari Hati Kejam.
Trak! Tongkat yang terhantam itu berputar kembali ke belakang.
Namun anehnya, mampu kembali menderu ke depan.
"Makin hebat tenaga dalam manusia buta ini! Akan kuberi pelajaran dia!"
Rutuk nenek berkonde itu.
Kalau tadi Bidadari Hati Kejam hanya mengangkat sebelah tangannya, kali ini kedua tangannya mendorong ke depan.
Angin yang keluar lebih dahsyat daripada yang pertama.
Tak! Papakan Bidadari Hati Kejam menghantam kuat tongkat kusam itu.
Hingga tongkat kusam itu berbalik hendak menghantam pemiliknya.
Namun sambil terkekeh-kekeh Silu-man Buta menggerakkan tangannya.
Tap! Tongkat kusam yang menderu cepat itu berhasil ditangkap Siluman Buta dengan enaknya.
"Luar biasa! Hebat sekali!"
Puji Siluman Buta.
"Menyingkir dari sini sebelum urusan ini berubah jadi pertumpahan darah!"
Desis Bidadari Hati Kejam.
"Urusan ini memang harus diselesaikan, Bidadari Hati Kejam. Tapi jawab dulu satu pertanyaanku!"
"Jangan berbelit-belit!"
"Tahukah kau, di mana Batu Bintang berada?"
Sesaat Bidadari Hati Kejam terdiam. Kedua matanya makin tak berkedip menatap orang yang berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapannya.
"Hm.... Selain menyelesaikan urusan lama dengan Raja Lihai Langit Bumi, rupanya manusia buta ini mencari Batu Bintang pula. Ah.... Masih tak kumengerti, apa maunya Guru melepaskan Bwana peliharaannya dan menyelipkan Batu Bintang pada ekornya,"
Desah batin nenek berkonde. Si nenek diam sebentar. Matanya nyalang kearah Siluman Buta.
"Soal Batu Bintang bukan urusanku! Kalau kau ingin lari, kenapa tak segera berlalu?"
Usir Bidadari Hati Kejam, dingin.
"Ha ha ha.... Baik, baik! Bila kau bertemu Raja lihai Langit Bumi, katakan satu pesanku padanya. Nyawanya sudah ada di tanganku!"
Sahut Siluman Buta.
"Ancaman kosong yang hanya membuat bocah kecil terkencing-kencing! Kalau dulu Raja Lihai Langit Bumi masih mengasihanimu, tapi kali ini dia tak akan mengampuni lagi! Kau hanya muncul untuk membuang nyawa!"
Wajah Siluman Buta tiba-tiba menegak.
"Kau hanya melihat permulaan dari yang kulakukan, Bidadari Hati Kejam. Bila urusan dengan Raja Lihai Langit Bumi selesai, kau tak akan bisa lari dari kenyataan."
Sehabis berkata begitu, Siluman Buta melangkah meninggalkan Bidadari Hati Kejam. Sementara si nenek hanya memperhatikan saja.
"Nama Siluman Buta membuat nyali orang takut. Sebenarnya ingin kucabut nyawanya. Tetapi, aku harus mempersiapkan tenaga untuk menghadapi Manusia Mayat Muka Kuning. Sebaiknya kutinggalkan tempat ini."
Tubuh nenek berkonde itu berkelebat cepat.
Dan sebentar saja, tubuhnya lenyap dalam sekejap.
*** Sepeninggal Bidadari Hati Kejam satu sosok tubuh yang sejak tadi mengintip dari kejauhan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar tidak ketahuan keberadaannya, menarik napas panjang.
"Siluman Buta rupanya telah muncul ke dunia ramai. Di samping untuk membalas dendam pada Raja Lihai Langit Bumi, dia juga bermaksud mencari Batu Bintang pula. Tak ku-sangka kalau sainganku kian bertambah. Tetapi, mengapa sampai sejauh ini tak terdengar lagi berita tentang Batu Bintang yang dibawa burung rajawali keemasan? Cerita tentang rajawali raksasa itu pun bagai menguap begitu saja. Seperti hilang dari peredaran."
Orang tinggi besar berbaju merah itu tegak berdiri dengan otak berpikir keras. Lalu kepalanya mengangguk-angguk.
"Hm.... Biar bagaimanapun sulitnya, Kaki Gledek tak akan mundur untuk mendapatkan Batu Bintang. Hanya saja, aku mesti berhati-hati sekarang. Karena lengah sedikit saja nyawa akan melayang,"
Gumam lelaki tinggi besar yang ternyata Kaki Gledek.
"Ucapan itu boleh juga. Seolah menunjukkan keberanian tinggi, padahal untuk menutupi segala ketakutan. Siapapun tahu, macam apa orang yang berjuluk Kaki Gledek yang cuma bermodalkan tubuh tinggi besar tanpa kehebatan apa-apa. Tak perlu terlalu lama menunggu nyawa melayang, karena saat ini juga nyawamu akan putus!"
Tiba-tiba terdengar suara angker dari belakang Kaki Gledek.
Cepat lelaki tinggi besar itu memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang berbicara dingin tadi.
Seketika wajahnya menjadi pias.
Kedua matanya bagai terbetot keluar seperti melihat setan gentayangan.
"Manusia Mayat Muka Kuning!"
Sebutnya. Orang yang baru muncul dan berdiri tegak mencangkung di hadapan Kaki Gledek tersenyum dingin.
"Lima tahun berlalu sungguh tak terasa. Hanya seperti angin belaka. Namun apa yang telah dikerjakan masih terasa. Kau telah membuat satu kesalahan besar padaku, Kaki Gledek!"
Makin pias Kaki Gledek mendapati ancaman orang.
Dia berusaha menindih rasa ketakutannya, namun tak mampu dilakukan.
Masih diingatnya betul kalau lima tahun yang lalu, Manusia Mayat Muka Kuning berhasil diboho-nginya agar bisa meloloskan diri dari kematian.
Tetapi sekarang, orang muka kuning yang dingin seperti mayat itu telah berdiri di hadapannya.
"Celaka! Kenapa harus dia yang muncul?! Bisa berabe urusan ini!"
Rutuk batin Kaki Gledek dengan perasaan tak menentu. Perlahan-lahan lelaki tinggi besar itu menarik napas panjang.
"Manusia Mayat Muka Kuning! Tak mungkin aku bersikap lancang menuruti kata hati untuk membohongi. Apa yang kukatakan tak perlu diragukan lagi."
Ucapan ini terdengar halus, namun diam-diam Kaki Gledek mengerahkan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi' bila keadaan tak bisa dikendalikan lagi.
Meskipun tahu tak akan mampu mengatasi Manusia Mayat Muka Kuning, namun dia ingin memberikan perlawanan sebisanya sebelum mati.
"Huh! Pancinganmu tak mengena, Kaki Gledek! Sudah kujumpai Ratu Tengkorak Hitam untuk mendapat keterangan tentang Batu Bintang. Wanita peot itu mengatakan kalau dia tak memiliki. Berarti, kau berbohong!" (Tentang kebohongan Kaki Gledek, baca episode .
"Geger Batu Bintang"). Mendengar ucapan itu, Kaki Gledek bagai menemukan jalan keluar dari ketakutan oleh ancaman Manusia Mayat Muka Kuning.
"Tak kusangka.... Ilmumu yang setinggi langit ternyata bisa dike-labui nenek peot berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. Sudah tentu dia akan menyangkal setiap omongan. Sebelum kau datang ke sini, Bidadari Hati Kejam telah bertemu Siluman Buta. Keduanya telah sama-sama sepakat mengatakan kalau Batu Bintang berada di tangan Ratu Tengkorak Hitam. Apakah aku berani lancang di hadapanmu?"
Manusia Mayat Muka Kuning mengancingkan mulutnya rapat-rapat.
Muka kuningnya yang sedingin mayat makin menyiutkan nyali Kaki Gledek yang tengah berusaha menenangkan diri.
Jalan keluar dari masalah ini telah didapat secara tak sengaja.
Dan dia yakin, urusan bisa selesai dengan mudah.
"Aku tak mau banyak omong. Ikut aku sekarang juga untuk cari Ratu Tengkorak Hitam!"
Ujar Mayat Muka Kuning. Kembali wajah Kaki Gledek pucat pasi mendengar ancaman itu. Tetapi lagi-lagi dia berusaha tenang.
"Tanpa diminta pun, aku menurut. Tetapi, masing-masing orang punya jalan. Aku pun punya urusan lain dengan Ratu Tengkorak Hitam, selain Batu Bintang. Tetapi tentunya, tak akan kudapatkan Batu Bintang untukku. Bila Batu Bintang berhasil pindah tangan, akan kuserahkan padamu."
Manusia Mayat Muka Kuning menarik kedua bibirnya membentuk senyuman.
"Kau memang tahu gelagat, Kaki Gledek. Kuampuni nyawamu sekarang. Aku akan mencari kebenaran dari ucapanmu ini. Tetapi, ingat! Kemana kau pergi... kau tak akan mampu melepaskan diri dari tanganku."
Habis berkata begitu, Manusia Mayat Muka Kuning berlalu.
Sementara, Kaki Gledek tak mau melakukan tindakan bodoh.
Karena khawatir Manusia Mayat Muka Kuning berubah pikiran, tubuhnya cepat berkelebat ke arah yang berlawanan sambil mengusap dada dengan kelegaan luar biasa.
*** MBNGHILANGNYA sisa para penduduk dari Dusun Bojong Pupuk, membuat Juragan Lanang segera memerintahkan anak buahnya untuk melakukan pember-sihan besar-besaran.
Kali ini tindakannya tak tanggung-tanggung lagi.
Bunuh siapa saja yang dijumpai, begitu perintahnya dengan kemarahan meluap.
Namun, Juragan Lanang tak menemu-kan seorang pun sisa penduduk yang lenyap begitu saja.
Maka makin besar saja kemarahannya.
Karena, kekayaannya yang berasal dari pajak setiap penduduk dan hasil kerja paksa jadi terbengkalai.
Sejak itu, Juragan Lanang memerintahkan anak buahnya untuk merampas harta benda yang ditinggalkan penduduk.
Bahkan juga menyuruh untuk menelusuri penduduk yang telah bergabung dengan Sumirat.
Penjarahan besar-besaran pun dilakukan di setiap rumah penduduk.
Para anak buah Juragan Lanang yang rata-rata mengenakan baju hitam melakukan pembersihan habis-habisan.
Meskipun demikian, tak seorang pun yang berani menyembunyikan barang jarahan itu.
Karena, mereka tahu akibat apa yang akan didapat bila perbuatan itu diketahui Juragan Lanang.
Setelah lepas setengah hari pen-jarahan besar-besaran itu dilakukan, sepasang mata tajam dari balik kerimbunan dedaunan pohon menjadi gusar.
"Benar-benar manusia keparat!"
Maki sosok itu geram.
"Ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka harus menerima pelajaran!"
Dengan ringannya, orang yang mengintip dari atas pohon meloncat ke pohon lain. Lalu mantap sekali kakinya hinggap di atas sebuah rumah yang di dalamnya terdapat tiga orang sedang terbahak-bahak menjarah barang-barang penduduk.
"Hmm.... Aku mengenali salah seorang dari mereka. Barok! Lelaki yang dulu pernah memarahi ayahku karena kambing yang kugembalakan milik Juragan Lanang lecet. Rupanya, manusia itu masih menjadi orang suruhan Juragan Lanang! Wah.... Bisa kujitak lebih benjol kepalanya!"
Sambil menggerutu, si pemuda yang ternyata Tirta melompat turun. Tepat pada saat itu tiga orang penjarah keluar dari rumah kosong yang dijarah dengan membawa tiga buah buntalan besar.
"Siapa kau?!"
Bentak lelaki bertampang kasar yang tak lain Barok. Matanya tak berkedip menatap sosok gagah di hadapannya.
"Enaknya main tanya begitu! Kalau mau kenal yang baik-baik! Kirim surat, kek!"
Sahut Tirta tertawa.
"Tetapi, aku ingin sekali menjitak kepala jelekmu itu!"
"Keparat!"
Kegusaran langsung melanda orang bertampang kasar mendengar suara penuh ejekan itu.
Lebih marah lagi melihat dari orang yang mengejek masih sedemikian muda.
Barok menjatuhkan buntalan yang dibawanya.
Lalu goloknya dicabut.
Srang! "Menyingkir dari sini sebelum lehermu putus!"
Ancamnya, sengit.
"Busyet! Galak amat? Biar begini, leherku bukan tali, tahu?"
Sahut Tirta masih tertawa.
"Setan keparat! Mampuslah kau!"
Penuh gerengan keras dan wajah garang, Barok menerjang sambil mengayunkan golok di tangan.
Sementara Tirta tertawa seraya memiringkan tubuh.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya mengayun ke perut, dan tangan kanannya menjitak kepala.
Duk! Tak! Tak banyak tenaga yang dikeluarkan, namun akibatnya cukup membuat Barok tersungkur dengan perut mulas.
Dan di kepalanya langsung tumbuh sebuah benjol.
"Heaaa...!"
Melihat Barok dibuat tak berdaya dengan sekali gebrak, dua temannya segera menerjang dengan golok bergerak menebas.
Namun lagi-lagi mudah sekali Tirta menghindari dengan meliukkan tubuhnya.
Bahkan begitu keluar tangannya bergerak....
Dess! Desss! "Aaakh...!"
Kedua lelaki bertampang kasar itu memekik begitu terhantam pukulan Tirta.
Bahkan seketika mereka jatuh pingsan.
Barok yang tak berdaya dengan perut dan kepala sakit menjadi pias.
Dia tak menyangka kalau dengan mudahnya pemuda berbaju keemasan dengan lengan kanan dan kiri terdapat rajahan burung rajawali berwarna emas itu mampu mengalahkannya, Tanpa sadar, dia beringsut mundur saat Tirta melangkah mendekat.
"Aku tak suka kekerasan. Maaf, ya. Kepalamu jadi benjol. Tetapi aku sudah niat, sih! Tinggalkan tempat ini dengan damai. Katakan pada Juragan Lanang, kalau aku yang bernama Tirta akan menghalangi setiap keinginan busuknya. Bahkan aku meminta agar dia segera angkat kaki dari dusun ini, sebelum kemarahanku meluap!"
Mendapat kesempatan macam itu dengan setengah terhuyung menahan sakit, buru-buru Barok melarikan diri.
Tak dihiraukan lagi kedua temannya yang pingsan.
Sementara Tirta hanya mendesah panjang.
Buru-buru dimasukkannya kembali tiga buntalan yang akan dijarah orang-orang itu tadi ke dalam rumah di hadapannya.
*** Kegemparan terjadi dikediaman Juragan Lanang, mendengar sepak terjang seorang pemuda tampan yang mengacaukan rencananya.
Dengan kebe-ngisan yang tinggi, diperintahkannya untuk menangkap pemuda yang berani lancang menghalangi setiap keinginannya.
Sementara itu, Tirta yang sudah menduga kemungkinan yang bakal terjadi terus saja melaksanakan sepak terjang-nya.
Namun, dia selalu luput dari pencarian orang-orang Juragan Lanang.
Bahkan dengan enaknya membuat pingsan para pencarinya.
Juragan Lanang makin kalap mendengar berita yang didapat kemudian.
Tangannya menepak meja di hadapannya.
Bukan main akibatnya.
Hanya sekali tepak saja, meja yang terbuat dari kayu jati itu pecah menjadi lima buah.
Akibatnya, hidangan yang ada di atas meja tadi berhamburan tumpah.
Lelaki licik ini bertepuk tangan berkali-kali.
Maka dari balik sebuah pintu muncul sepuluh lelaki berpakaian hitam-hitam dengan topeng hitam pula.
Mereka langsung saja duduk di kursi yang telah disediakan.
"Kehadiran kalian sebagai pem-bunuh bayaran yang kusewa, cukup membuatku senang. Karena setiap kerja kalian, selalu membawa hasil. Kali ini, kalian kuperintahkan untuk men-cari dan membunuh pemuda bernama Tirta. Dia mengenakan baju dan ikat kepala keemasan. Celananya berwarna kebiruan. Di lengan kanan dan kirinya terdapat rajahan bergambar burung rajawali. Pedangnya berwarangka lima dengan yang menjadi cirinya. Cari manusia itu! Bunuh dan bawa kepalanya kepadaku!"
"Soal itu mudah, Juragan. Tetapi, kami butuh imbalan dari kerja kami ini,"
Kata salah satu orang bertopeng.
"Setan! Bila saja tak kuhiraukan perintah Guru, sudah kuhajar mampus kesepuluh orang ini!"
Maki batin Juragan Lanang. Lelaki ini geram bukan main. Matanya tak berkedip memandang ke arah orang-orang bertopeng itu. Dia menduga, wajah di balik topeng hitam itu sedang menyeringai bernada mengejek.
"Jangan takut mengenai hal itu. Bahkan kalau kalian berhasil, akan mendapat lebih!"
Kata Juragan Lanang, akhirnya. *** "Aku membutuhkanmu, Lanang!"
Cepat-cepat Juragan Lanang memasuki sebuah ruangan begitu men-dengar panggilan. Begitu pintu terbuka, aroma wangi menguap menerpa hidungnya.
"Guru memanggilku?"
Tanya Juragan Lanang seraya menjura hormat. Suaranya sopan, bahkan terkesan agak takut. Dan dengan takut-takut pula dia duduk bersila.
"Ya. Duduklah,"
Ujar perempuan bercadar sutera yang duduk bersila di hadapannya. Dia tak lain dari Dewi Kematian.
"Ada apa, Guru?"
"Ceritakan tentang pemuda yang membuat onar itu, Lanang. Ada satu pikiran yang mengganggu otakku."
Juragan Lanang segera menceri-takan apa yang terjadi pada Dewi Kematian. Usai mendengar cerita, perempuan bercadar sutera mengangguk-anggukkan kepala, seolah ada yang dipikirkan.
"Ikat kepala dan pakaiannya terbuat dari warna keemasan. Begitu pula rajahan pada kedua tangannya yang bergambar burung rajawali. Aku curiga kalau dia ada hubungannya dengan burung rajawali keemasan itu. Kalau memang benar, apakah Batu Bintang sudah dimiliki pemuda itu? Tetapi, aku harus membuktikannya lebih dulu."
"Guru.... Aku telah memerintahkan sepuluh pembunuh bayaran yang kusewa untuk menangkapnya. Kalau perlu, aku akan turun tangan untuk menangkapnya pula,"
Tandas Juragan Lanang. Dewi Kematian mengangguk-angguk.
"Bagus. Kupuji cara kerjamu. Sekarang, tinggalkan tempat ini. Ada yang harus kupikirkan."
Juragan Lanang segera bangkit. Dia menjura hormat, lalu meninggalkan tempat ini. Sementara itu perempuan bercadar sutera terdiam.
"Hmm.... Tiga hari yang lalu aku sudah keluar untuk menyelidiki tentang Batu Bintang. Namun usahaku tak membawa hasil apa-apa. Waktu yang lalu pun perasaanku kuat mengatakan kalau Batu Bintang ada di sekitar sini. Apakah si pemuda yang dimaksudkan Lanang yang memiliki Batu Bintang?"
Dewi Kematian mencoba merangkai jalan pikirannya. Lalu mendadak saja kedua matanya dipejamkan di balik cadar sutera yang menutupi wajahnya. Tak berapa lama kemudian, wanita ini kembali membuka kedua matanya.
"Aneh.... Ajian Tutup Sukma'-ku tak bisa mengetahui siapa pemuda itu. Seolah ada kabut tipis yang menghalangi keberadaan pemuda itu. Tetapi, naluriku makin kuat mengatakan kalau Batu Bintang berada di sekitar sini. Baiknya, aku akan menyelidiki semua ini." *** Setelah mengitari seluruh bagian Dusun Bojong Pupuk dan tak menemukan orang yang dicari, sepuluh orang bertopeng hitam suruhan Juragan Lanang menghentikan langkah kuda-kuda di tengah-tengah dusun.
"Kita ulangi kembali pencarian ini dengan berpencar ke lima penjuru. Setiap penjuru dijelajahi dua orang. Jangan lengan sedikit juga. Bila kita berhasil menangkap pemuda yang dimaksud Juragan Lanang, bisa dibayangkan apa yang akan kalian dapatkan. Harta yang banyak dan tentunya... perempuan-perempuan montok menggiurkan,"
Kata salah seorang, menyemangati.
Tanpa banyak cakap, mereka segera berpencar ke lima penjuru.
Saat ini senja mulai menurun, membuat suasana Dusun Bojong Pupuk sudah seperti malam saja.
Karena, tak sebuah lampu sentir pun menerangi.
Padahal dulu, setiap menjelang malam selalu menghiasi setiap rumah.
Dusun itu benar-benar bagai dusun mati.
Tanpa mereka ketahui, sepasang mata tajam milik Tirta terus memperhatikan orang-orang bertopeng itu.
Seketika dengan ilmu meringankan tubuhnya, pemuda itu segera bergerak.
Dia memilih acak Dan pililhannya jatuh pada dua orang bertopeng yang menunggang kuda ke arah timur.
Sebenarnya, Tirta ingin segera menampakkan diri ketika sepuluh orang itu masih berkumpul.
Namun, dia harus bertindak penuh perhitungan.
Karena sedikit saja kelengahan akan memancing orang-orang yang mencarinya pula.
Dua orang bertopeng itu kini tiba di sebuah jalan setapak di perbatasan dusun bagian timur.
Setiap kali bergerak sejauh lima puluh tombak, setiap kali mereka menghentikan kuda.
Dan mereka segera turun memasuki setiap rumah yang terlihat, memeriksa seluruhnya lalu keluar lagi tanpa hasil yang diinginkan.
"Keparat pemuda berbaju keemasan itu! Hanya buang waktu kita saja,"
Maki salah seorang sambil menghentikan kudanya di jalan setapak.
Sukar sekali untuk membedakan wajah kedua orang itu.
Karena, wajah mereka tertutup topeng.
Tetapi Tirta bisa membedakan dari nada suaranya.
Orang yang barusan berucap, bersuara berat dan dingin.
"Jangan mundur hanya urusan sepele. Ingat kata kawan yang lain. Kalau kita berhasil membekuk manusia keparat itu, harta dan perempuan akan berdatangan,"
Kata orang yang bersuara agak nyaring.
"Akan kubelah kepala keparat itu bila kujumpai!"
"Itu urusan mudah! Tapi sulitnya, di mana dia berada?"
"Keparat! Benar-benar bikin jengkel macam begini! Lebih baik menghajar manusia yang lebih hebat daripada kita, tetapi dapat ditemui dengan mudah! Atau juga... seperti orang-orang yang kita bunuh itu. Keluarga Mardi, keluarga Wajak, Gondo, dan terakhir keluarga Layung Seta. Juga, memapas habis keluarga Sumirat. Huh, sayang setan keparat yang bernama Sumirat itu tak ditemukan batang hidungnya."
"Tetapi, dia tak akan bisa lari dari kematian!"
"Mungkin, pemuda yang bernama Tirta itu juga telah bergabung dengan Sumirat. Sialnya, seluruh bagian terdekat dari Dusun Bojong Pupuk ini sudah dijelajahi, tetapi tak ditemukan pula pemberontak-pemberontak itu."
Mendengar percakapan orang dari atas sebuah pohon, rahang Tirta mengeras. Wajahnya kontan membesi.
"Jadi benar dugaan Ayah dan Paman Sumirat kalau orang di balik semua ini adalah Juragan Lanang. Hhh! Keparat busuk! Manusia tak beradab yang mengambil keuntungan dari setiap kesempatan. Padahal, kehadirannya dulu disambut dengan tangan terbuka oleh para penduduk di sini. Tidak tahunya, dia hanya jadi sumber penyakit dari kekisruhan ini. Hm... awas! Dia akan segera mendapat ganjaran! Lebih baik, kuberi pelajaran dulu pada kedua manusia bertopeng ini dan yang lainnya!"
Desis batin Tirta.
Hatinya benar-benar murka begitu tahu siapa pembunuh ayah dan ibunya.
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda itu segera keluar dan hinggap di hadapan dua orang bertopeng, Kehadiran yang tiba-tiba laksana angin, membuat kedua orang bertopeng melengak dan mundur setapak.
"Pemuda edan yang mau cari mampus! Tingkahmu membuatku mau muntah!"
Dengus salah seorang.
"Siapa kau, Orang Muda?!"
Bentak yang satu lagi, Tirta menatap dingin. Bayangan kematian kedua orangtuanya makin tergambar di benaknya.
"Mata kalian yang belo itu, tatap diriku dalam-dalam!"
Ujar Tirta. Suaranya penuh wibawa, penuh keang-keran. Dua pasang mata di balik topeng hitam mendelik. Dan seketika hampir berbarengan, mereka meloloskan golok.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan keras, keduanya melompat dari kuda kearah Tirta.
Dua golok diayunkan, siap merancah tubuh pemuda dari Gunung Rajawali itu, Wuuutt! Wuuutt! Tetapi dengan gerakan terlatih dan kecepatan sukar diikuti mata, Tirta sudah berkelit.
Tubuhnya meliuk indah dengan kedua tangan berkelebat cepat.
Tap! Tap! Dua pergelangan tangan kanan yang memegang golok ditangkap tangan kanan dan kiri Tirta.
Ketika dipuntir terdengar teriakan dari dua orang penyerangnya.
"Aaakh...!"
Tak mau tangannya patah akibat dipuntir, keduanya melepaskan golok.
Cepat mereka menarik tangan kesamping, lalu kebelakang.
Memang, itu cara yang mudah untuk melepaskan tangan dari cengkeraman.
Dan mereka segera memasang kuda-kuda dengan tatapan tajam.
Dalam sangkaan mereka, pemuda berbaju keemasan itu hanya orang kebanyakan.
Karena dengan mudah tangan mereka yang dipuntir tadi bisa dilepaskan.
Namun, sebenarnya mereka adalah orang-orang dungu yang mengandalkan sedikit ilmu.
Kalau saja mereka lebih berpikir dalam, akan sadar kalau sebenarnya Tirta memang sengaja melepaskan cengkeraman.
Karena yang diinginkan adalah golok itu.
"Sebenarnya, aku tak ingin bertindak lebih kasar,"
Katanya dingin. Tatapannya tajam tak berkedip.
"Tetapi, kalian telah membunuh orang-orang yang kuhormati di desa ini. Terutama, kedua orangtuaku!"
"Jangan sesumbar omong! Kau akan menyesal karena berani-beraninya bertingkah menghalangi keinginan majikan kami!"
Bentak yang bersuara berat.
"Ha... Kalian terlalu silau dengan kekayaan, hingga rela menu-runkan tangan telengas pada sesama. Rasanya, aku tak mungkin memaafkan kalian."
"Banyak cincong!"
Lelaki bertopeng yang bersuara berat bergerak membawa satu jotosan ke muka.
Sementara temannya melepas satu tendangan ke arah dada Tirta.
Si pemuda bergerak cepat, me-nyongsong dua gebrakan yang dilakukan dua lawannya.
Kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri, menangkis.
"Hup!"
Seperti seekor rajawali mengepakkan sayap, kedua tangan kanan dan kiri si pemuda menekuk. Sementara permukaan telapak tangannya mengarah ke depan. Dan.... Plak! Plak! "Aaakh...!"
Semacam tamparan namun dengan gerak tangan berlawanan, Tirta meng-hajar wajah dua lawannya.
Dua orang bertopeng itu menjerit tertahan, langsung mundur dengan mulut bengkak.
Dan dengan gusar keduanya membuka topeng.
Apa yang dilihat Tirta cukup membuat terkejut.
Dua wajah di hadapannya masing-masing ternyata penuh bopeng dan jerawat merah.
Tetapi tak lama Tirta bisa menerusi keheranannya, karena dua lawannya sudah menerjang kembali.
"Uts!"
Plak! Plak! Hanya sekali menggerakkan tubuh-nya. Tirta mampu menghindar. Bahkan begitu kedua tangannya mengibas, kedua lawannya jatuh pingsan.
"Gila! Wajah keduanya begitu mengerikan. Siapa sebenarnya mereka ini?"
Kata batin si pemuda. Segera Tirta mengangkat tubuh kedua lawannya yang pingsan. Diikatnya mereka di sebatang pohon. Kemudian wajah menakutkan itu diselubungi lagi dengan topeng hitam yang dilepaskan pemiliknya tadi.
"Aku harus segera menyelesaikan yang lainnya,"
Kata Tirta.
* * * Sumirat menarik napas panjang sekaligus senang mendengar cerita Tirta.
Karena ternyata, dalam waktu singkat pemuda itu tak hanya melumpuhkan dua orang bertopeng, tapi sepuluh orang! Setelah melumpuhkan dan mengumpulkan mereka, Tirta menyembunyikannya di sebuah tempat dengan ditutupi dedaunan kering.
Sementara kuda-kuda mereka ditambatkan di balik semak-semak belukar yang cukup tinggi.
Setelah itu dia menemui Sumirat.
"Tanpamu, kami mungkin tak bisa jadi apa-apa, Tirta."
Tirta cuma tersenyum. Tak nampak bangga sedikit juga.
"Paman... Kurasa tak banyak lagi yang bisa merisaukan kita. Sudah saatnya kita menuntut hak kembali, Paman,"
Kata si pemuda.
"Maksudmu... kita segera melakukan penyerangan?"
Tanya Sumirat. Tirta mengangguk.
"
Ya! dengan cara seperti ini, semangat persatuan kita akan tumbuh. Bila aku melakukannya sendiri, mungkin tak akan mampu menembus semua ini."
Kabut Di Lereng Tidar Karya Danang HS Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Pendekar Mabuk Murka Sang Nyai