Wasiat Malaikat Dewa 2
Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Bagian 2
Sumirat tersenyum.
Hanya dia seorang yang bisa menangkap maksud Tirta.
Dengan mengatakan seperti itu, justru Sumirat yakin kalau pemuda putra mendiang Layung Seta dan Mentari ini sanggup menembus rintangan guna mendapatkan dusun itu kembali dari tangan Juragan Lanang.
Karena, memang bisa ditebak kedigdayaan Tirta sekarang.
Tetapi pemuda itu tetap bersikap rendah hati.
Dengan keinginan untuk melibatkan orang lain, justru yang diinginkan Tirta adalah membangkitkan semangat yang telah hilang dari para penduduk.
Bergerak maju dan siap mengambil kembali apa yang dimiliki setelah hilang dirampas Juragan Lanang.
Sumirat tersenyum.
Dalam hati dia berkata, kalau saja anaknya masih hidup, akan dijodohkannya dengan Tirta.
"Yah... kini saatnya kita berani mengambil lagi milik kita, Tirta,"
Desah Sumirat.
"Maaf.... Sebaiknya tunggu isyarat dariku, Paman. Aku tak ingin kita terjebak oleh rasa nafsu sendiri. Dan akhirnya, justru musnah sebelum mendapatkan apa yang diinginkan kembali!"
Lagi pula, aku bermaksud untuk mencari senjata-senjata yang disembunyikan mendiang ayahku dulu,"
Sumirat mengangguk-angguk lagi. Semakin lama dia semakin kagum saja pada pemuda di hadapannya. Dapat dibayangkan seperti apa bangganya Layung Seta dan istrinya memiliki putra setampan dan segagah Tirta.
"Kau benar, Tirta."
"Dan untuk sementara, seperti yang telah kita sepakati sebelumnya, biar aku yang muncul di Dusun Bojong Pupuk. Sehingga orang-orang itu hanya tetap mencariku saja, tanpa menghiraukan kalian lagi,"
Urai Tirta.
"Kau sungguh membuat kami yang berada di sini bangga, Tirta."
Tirta tersenyum.
"Karena, aku lahir di dusun ini, Paman. Sekarang, aku akan kembali tinggalkan tempat ini."
Lalu Tirta mengalihkan pandangan pada teman-teman sebayanya.
"Kuminta, kalian menjaga kese-lamatan orang-orang di sini dengan sepenuh jiwa dan raga,"
Ujarnya. Para pemuda yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu mengangguk serentak. Tirta menakupkan kedua tangan pada dada.
"Kalau begitu, aku mohon pamit dulu. Tunggulah isyarat dariku. Baru kita bisa mulai bergerak."
Orang-orang itu berdiri pula. Sumirat menepuk bahu kanan Tirta.
"Terima kasih atas bantuamu."
Tirta tersenyum.
"Dusun ini tempat kelahiranku. Tentu saja aku tak akan berpangku tangan, Paman."
Sumirat mengangguk lagi.
"Terima kasih.... Rajawali Emas."
Tirta terdiam sesaat, mendengar panggilan Sumirat. Lalu bibirnya melepas senyum.
"Ada-ada saja Paman menjulukiku. Aku tetaplah Tirta...."
"Tiba-tiba saja aku ingin menyebutmu demikian, Tirta. Lebih pantas dijuluki Rajawali Emas,"
Potong Sumirat sambil tersenyum. Tirta tersenyum pula.
"Aku pamit dulu!"
Dan dengan diantar puluhan pasang mata yang memandang kagum, Tirta melangkah meninggalkan persembunyian itu.
Tepat berjarak dua puluh tombak dari tempat persembunyian, segera ilmu meringankan tubuhnya dipergunakan.
Tirta yang digelari oleh Sumirat sebagai Rajawali Emas kembali ke tempat orang-orang bertopeng yang disembunyikannya.
Setelah meletakkan mereka yang pingsan itu ke masing-masing punggung kuda, satu pikiran singgah di otaknya yang cerdik.
*** "Goblok! Manusia-manusia yang bisanya hanya menangkap cecurut! Letakkan tubuh mereka yang pingsan itu dikebun bagian belakang! Tunggu sampai mereka terbangun! Dan, hajar sampai pingsan kembali! Begitu seterusnya, sampai mereka mampus! Huh! Orang-orang bodoh hanya besar mulut saja!"
Maki Juragan Lanang ketika menerima laporan kalau sepuluh orang bertopeng suruhannya telah dalam keadaan pingsan di atas kuda masing-masing.
Serentak sepuluh orang yang memberi laporan bangkit, dan mengangkat sepuluh tubuh pingsan yang tadi diletakkan di lantai sebelum Juragan Lanang keluar kamarnya.
Semua itu dilakukan tanpa sepatah kata yang terucap.
Hanya terdengar dengusan Juragan Lanang berkali-kali.
Dikawal lima belas orang baju hitam lainnya, mereka membawa sepuluh tubuh bertopeng hitam yang pingsan ke kebun belakang.
Begitu sampai mereka melempar Orang-orang bertopeng yang masih pingsan itu seperti nangka busuk.
Dan mereka cepat membentuk lingkaran dengan kedua tangan ber-sedekap di dada dan tubuh tegak.
Se-mentara yang lainnya kembali berjaga-jaga.
*** Sepuluh orang yang diperintah Juragan Lanang langsung menghajar orang-orang bertopeng satu persatu hingga darah mulai menggenangi tempat itu.
Entah, apakah mereka masih hidup atau sudah tewas.
Yang jelas, salah satu orang bertopeng masih tampak bergerak-gerak.
"Gila! Keparat itu benar-benar kuat! Dia masih berusaha bergerak-gerak!"
Teriak salah seorang yang menghajar orang-orang bertopeng itu.
"Jangan-jangan, dia berlagak pingsan. Kurang ajar kalau memang benar!"
Duga yang lainnya.
"Keparat! Dia hanya cari penyakit saja kalau begitu! Hajar saja manusia itu!"
"Ya! Hajar saja biar mampus!"
"Bunuh! Biar nyawa busuknya terbang keneraka!"
Setelah mendapat kata sepakat, mereka segera bergerak mendekati orang bertopeng yang masih bergerak-gerak. Langkah mereka lebar dan agak terburu-buru bagai ketakutan tak mendapatkan jatah. Tetapi satu keanehan terjadi. Karena...
"Aaah...!"
Begitu tiga orang dari mereka siap menghujamkan injakan ke kepala, dada, dan perut, mendadak saja terpental.
Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi orang bertopeng yang tadi menggeliat-geliat telah berdiri laksana kilat, langsung melepas serangan.
Plak! Plak! Setiap kali tangan orang bertopeng itu bergerak laksana kepakan sayap rajawali, orang yang terkena kepretannya langsung pingsan.
Hingga dalam waktu hanya tiga kali kerjapan mata, kesepuluh orang itu telah pingsan.
"Cari penyakit!"
Maki orang di balik topeng hitam.
Lalu dibukanya topeng yang selubungi wajahnya.
Dan yang terlihat adalah wajah Tirta! Itulah otak cerdik Tirta.
Dia berhasil menyusup ke kediaman Juragan Lanang setelah menyamar dengan melucuti pakaian salah satu orang bertopeng yang pingsan.
Dengan pura-pura pingsan setelah mendekati pintu gerbang tempat tinggal Juragan Lanang, Tirta berhasil melaksanakan akal bulusnya.
Sebelumnya, dia telah melemparkan Pedang Batu Bintang ke sebatang pohon, agar penyamarannya sempurna.
Sambil menatap orang-orang yang pingsan dan kesembilan orang bertopeng hitam yang diyakini telah tewas, Tirta berkelebat ke balik dinding.
Lalu dengan sekali mengempos tubuhnya, dia telah meloncat ke atap.
Diperhitungkan setiap jengkal jarak yang akan dilalui oleh orang-orang Dusun Bojong Pupuk yang siap melakukan serangan.
"Tak perlu sulit sebenarnya. Tetapi, masih ada masalah yang sebenarnya kupikirkan. Soal Juragan Lanang. Sulit kutebak, apakah memiliki kesaktian atau tidak. Hm.... Sebaiknya, masalah Juragan Lanang jadi urusanku."
Dari atap itu, dengan mudah Tirta bisa menghitung jumlah pengawal Juragan Lanang.
"Hanya sekitar delapan orang yang menjaga di depan. Bagian belakang tak perlu dijaga, karena tembok begitu tinggi dan sulit menaikinya. Entah, berapa orang di dalam. Sebaiknya, kusampaikan saja semua ini pada Paman Sumirat, selagi banyak yang masih pingsan. Untungnya pula, aku sudah menemukan senjata-senjata yang disimpan mendiang ayahku. Rupanya, dia telah menggali tanah di bawah sebuah lemari dan ditutupi kembali. Pantas bila Paman Sumirat tak bisa menemukannya. Hmm... aku harus mengambil senjata-senjata yang kusembunyikan di balik sebuah batu besar dan kututupi rimbunnya semak."
Setelah membuat keputusan seperti itu, Tirta melesat cepat meninggalkan tempat ini.
Pemuda itu melompati tembok bagian belakang yang tinggi, lalu menyambar kembali Pedang Batu Bintang.
Sambil berlari dibukanya pakaian hitam-hitam yang dikenakannya.
Kini yang nampak sekarang adalah pakaian keemasan dengan celana berwarna kebiruan.
Pemuda itu terus berkelebat, tanpa menyadari kalau satu sosok tubuh ramping yang mengeluarkan aroma harum tengah mengikutinya.
"Pasti pemuda itu yang telah membuat kacau. Hebat sekali kepan-daiannya. Meskipun demikian, ada hal lain yang membuatku tertarik dan mataku tak mungkin salah menangkap. Aku tahu tentang batu itu. Batu yang di dalamnya tergambar dua kepala rajawali dan sebuah bintang. Setelah ditempa batu itu akan menjadi sebilah pedang sakti dengan n dua kepala burung rajawali di tangkainya saling berlawanan arah, dan sebuah bintang pada hulunya. Melihat ciri pedang yang disambar pemuda tadi, meskipun tertutup warangka berbenang keemasan, jelas kalau pedang itu terbuat dari Batu Bintang. Rupanya pemuda itu yang telah mendapatkan Batu Bintang dan menempanya menjadi pedang. Berarti, dia akrab dengan burung rajawali emas. Kini, kesempatanku untuk mendapatkan Batu Bintang yang telah dibuat sebilah pedang. Hm... sebuah senjata yang sangat tangguh...."
Sosok ramping yang mengeluarkan aroma harum dari tubuhnya terus berkelebat mengikuti Tirta.
Dia berusaha menjaga jarak agar tidak ketahuan.
Baju panjangnya yang terbuka rendah di bagian dada dan terbelah dari bawah hingga pangkal paha, berkibar saat berkelebat.
Bisa diduga, kalau orang itu tak lain adalah Dewi Kematian.
Dan perempuan itu terus mengikuti Tirta, menembus kegelapan malam dan jalan berliku.
Cukup lama juga Dewi Kematian mengikuti Tirta.
Hingga kemudian, tampak si pemuda menghentikan langkah di sebuah sungai di daerah selatan dari Dusun Bojong Pupuk.
"Mau apa pemuda itu berhenti di sini?"
Tanya batin Dewi Kematian dari atas pohon. Sepasang mata yang tajam dari balik cadar sutera itu menatap tak berkedip pada gagang pedang yang bersampir dipunggung si pemuda.
"Pedang Batu Bintang. Tak sabar aku untuk merebutnya...." *** Namun mendadak saja sepasang mata Dewi Kematian membuka lebar.
"Keparat! Kemana pemuda itu pergi? Gila! Aku sama sekali tak melihatnya!"
Maki perempuan bertubuh indah ini.
Dewi Kematian segera meloncat ringan.
Dan mantap sekali kakinya hinggap di tanah.
Matanya beredar, memandangi tempat yang agak terbuka.
Tak ada seorang yang dicarinya.
Telinganya hanya menangkap gemuruh air sungai belaka.
"Setan keparat! Ke mana dia? Pedang Batu Bintang harus kumiliki!"
"Mengapa harus bersedih hati? Orang yang dicari ada didepan mata. Kalau memang buta, mengapa tidak meraba?"
Mendadak terdengar suara dari samping kanan Dewi Kematian. Seketika perempuan itu menoleh dan melotot gusar. Dilihatnya pemuda berbaju keemasan itu sedang duduk di sebatang ranting pohon tempat dia bersembunyi tadi.
"Setan! Rupanya dia tahu kalau aku mengikutinya. Hebat sekali kalau begitu. Dalam usia yang masih muda, dia telah membuatku tercengang,"
Sentak batin Dewi Kematian terkejut.
"Hm.... Bocah ini akan kubunuh bila tak mau menyerahkan pedangnya!"
"Apakah kau hanya orang iseng sehingga tak ada kerjaan lain kecuali mengikutiku?"
Kata Tirta, mengejek. Sepasang mata Dewi Kematian di balik, cadar sutera menyipit.
"Pemuda tampan.... Kulihat di punggungmu ada sebilah pedang. Bila kau tak ingin berurusan denganku, lebih baik jawab pertanyaanku. Pedang Batu Bintangkah yang ada di punggungmu?"
Tirta melengak sesaat, mendengar pertanyaan Dewi Kematian.
Urusan ini memang bisa jadi gawat.
Padahal, saat inilah yang paling tepat untuk menyerang Juragan Lanang.
Sebenarnya, saat melompati tembok tinggi bangunan rumah Juragan Lanang, Tirta sama sekali tak menduga kalau diikuti orang.
Namun lama kelamaan kecurigaannya muncul ketika indera penciumannya menangkap aroma harum yang cukup menyengat.
Larinya segera diperlambat setelah memasang kedua telinganya.
Memang tak tertangkap suara orang mengejar.
Itu menandakan kalau orang yang mengikutinya memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi.
Namun, Tirta begitu yakin kalau ada yang mengikuti.
Maka keputusannya untuk segera menuju persembunyian Sumirat pun diurungkan.
Langkah dibelokkan.
Dan dia bermaksud menjebak orang yang mengikutinya.
Karena, orang yang membuntuti seperti itu jelas bermaksud tidak baik Dan semuanya terbukti sekarang kalau perempuan bercadar yang beraroma harum itu menghendaki Pedang Batu Bintang.
"Rupanya lima tahun geger Batu Bintang masih berlanjut hingga sekarang. Melihat tongkrongannya jelas kalau perempuan di balik cadar sutera ini bukan orang sembarangan. Aku harus sebisanya menghindari bentrokan,"
Gumam pemuda tampan dari Gunung Rajawali dalam hati. Tirta lantas membuka senyum kecut. Matanya cerah menatap Dewi Kematian.
"Apa maksudmu dengan Pedang Batu Bintang itu, Nisanak? Pedangku ini hanya sebilah pedang biasa. Lagi pula, kau bernafsu amat sih?"
"Ucapanmu bisa kupercaya, tetapi aku perlu membuktikan. Bila melihat rajahan burung rajawali keemasan di lengan kanan dan kirimu, rasanya aku ingin memberi julukan si Rajawali Emas!"
"Dua orang yang sudah menjulukiku seperti itu. Paman Sumirat dan orang bercadar ini. Hm.... Rajawali Emas,"
Gumam Tirta dalam hati. Si pemuda berusaha melihat wajah di balik cadar sutera, tetapi gagal.
"Apalah artinya sebuah julukan? Tetapi, terima kasih kau menjulukiku seperti itu. Hmm.... Pedangku ini memang bernama Pedang Batu Bintang yang berasal dari Batu Bintang. Rasa ingin tahumu sudah terpuaskan. Nah, biar aku pergi sekarang. Atau, kau masih ingin menatap wajahku yang tampan ini? Boleh saja kalau begitu! Lihatlah sepuasmu!"
"Jangan harap kau bisa pergi begitu mudah, Anak Muda'"
Desis Dewi Kematian dingin.
"Serahkan Pedang Batu Bintang kepadaku bila sayang nyawa!"
"Benar dugaanku, manusia ini memang menginginkannya. Sebelum meninggalkan Gunung Rajawali Eyang telah berwasiat kalau aku harus menjaga Pedang Batu Bintang dari orang-orang serakah yang menginginkannya. Dan sekarang, pekerjaan itu telah dimulai. Hanya sayangnya, waktunya tidak tepat. Karena aku keburu bertemu wanita bercadar ini. Padahal, inilah kesempatan terbaik untuk segera menyerang Juragan Lanang dan merebut kembali Dusun Bojong Pupuk,"
Kenang Tirta dalam-dalam seraya manggut-manggut. Lalu pandangan si pemuda kembali diarahkan pada Dewi Kematian.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak akan menyerahkan Pedang Batu Bintang ini. Memangnya dodol main kuberi begitu saja,"
Sahut Tirta, enteng.
"Berarti, kau harus berurusan dengan Dewi Kematian!"
"O... jadi dia berjuluk Dewi Kematian? Sayang, aku belum pernah mendengar julukannya. Tetapi yang jelas, wanita ini tak bisa dipandang remeh,"
Gumam Tirta dalam hati. Lalu si pemuda memasang senyum kocak. Kepalanya mengangguk-angguk. Entah, apa maksudnya.
"Aku tak suka cara paksaan. Karena itu berarti justru membuatku semakin mempertahankan Pedang Batu Bintang. Lagi pula, Pedang Batu Bintang ini kepunyaanku, kok. Coba, bagaimana kalau cadarmu kuminta?"
Tukas Tirta.
"Kurang ajar! Ucapanmu sudah harus berhenti sekarang!"
Bentak perempuan bercadar seraya menggerakkan tangannya ke arah Tirta.
Wuusss! *** Tirta yang dijuluki Rajawali Emas terkesiap merasakan satu gempuran angin ganas siap menghantamnya.
Cepat dia melompat ke depan, sambil menghentakkan kedua tangannya.
Dan....
Blaaarrr! Suara dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
Gelapnya malam menjadi agak terang, ketika sinar merah memercik dari kedua tangan Dewi Kematian.
Sementara tubuh Tirta terjajar ke belakang dengan kedua tangan terasa nyeri.
Cepat tenaga dalamnya dialirkan ke kedua tangan untuk menghilangkan rasa nyeri.
"Bukan main tenaga dalam Dewi Kematian. Aku harus berhati-hati. Karena bukan hanya Pedang Batu Bintang yang pindah tangan. Tetapi, nyawaku pun akan lenyap pula."
Namun baru setengah Tirta mengalirkan tenaga dalam pada kedua tangannya, Dewi Kematian yang ingin segera memiliki Pedang Batu Bintang menghentakkan tangannya lagi.
Sratt! Seberkas sinar merah menyala langsung meluruk, membuat suasana jadi agak terang.
Terkesiap kembali Rajawali Emas dibuatnya.
Kali ini dia tak ingin mengadu tenaga lagi.
Maka dengan gerak lincah dari jurus 'Rajawali Putar Bumi' yang diajarkan Bwana, tubuhnya meliuk seraya berputaran menghindari serangan.
Brak! Brak! Byuuurrr! Dua pohon langsung tumbang terkena hantaman pukulan Dewi Kematian.
Bahkan langsung terhempas ke sungai yang cukup deras alirannya, membuat pemuda itu tertegun.
"Luar biasa! Gerakan yang diperlihatkan pemuda itu benar-benar sebuah gerakan menghindar seekor burung rajawali. Jelas dia telah menguasai jurus-jurus 'Rajawali',"
Desis Dewi Kematian terkagum-kagum. Namun kekagumannya cepat ditutupi perempuan itu dengan memasang wajah garang.
"Hm... Tak salah bila kau kujuluki si Rajawali Emas. Serahkan Pedang Bintang sebelum nyawamu terbuang sia-sia!"
Ancam Dewi Kematian.
"Sudan kukatakan, aku tak akan pernah menyerahkannya kepadamu!"
"Kau hanya cari mampus!"
Begitu habis membentak, Dewi Kematian menepukkan kedua tangannya di depan dada.
"Ahh...!"
Yang terjadi kemudian, tubuh Tirta terhuyung sambil mengeluh tertahan. Kedua tangannya seketika menekap kuat-kuat sambil mengalirkan tenaga dalam pada kedua telinganya. Tetapi, dia terperanjat karena aliran tenaga dalamnya bagai terhenti.
"Ha ha ha...! Plok! Plok! Sambil terbahak-bahak Dewi Kematian menepuk tangannya berulang kali. Akibatnya, gema tepukan yang sangat dahsyat pun menjalar ke segala arah. Tetapi, anehhya burung-burung yang beterbangan dan kelinci yang berloncatan hanya memandang sesaat, lalu pergi tanpa gangguan apa-apa. Memang, itulah salah satu kesaktian yang dimiliki Dewi Kematian. Ajian 'Tepukan Cabut Sukma' memang sebuah ajian yang diarahkan pemiliknya pada sasaran yang dikehendaki. Sasa-rannya kali ini adalah Tirta. Sehingga si pemudalah yang merasakan betapa dahsyat suara yang keluar dari setiap tepukan tangan Dewi Kematian. Pemuda itu melolong-lolong dengan tubuh jatuh bangun. Kedua tangan tak lepas dari telinga. Bukannya tenaga dalamnya tak mampu dialirkan. Tapi ajian Tepukan Cabut Sukma' memang seolah menutup aliran tenaga dalamnya.
"Dewi Kematian tak akan melepaskan lawannya sebelum menemui ajal mengenaskan! Kau telah memaksaku bertindak seperti ini, Rajawali Emas. Dan sayangnya, julukan yang barusan kuberikan padamu hanya aku yang mendengar seorang! Karena, kini nyawamu siap lepas dari badan!"
Seru Dewi Kematian, pongah. Di saat yang mencekam bagi Tirta, tiba-tiba saja....
"Kraaagghhh...!"
Terdengar suara keras bagai hentakan guntur menggelegar, menyusul gemuruh angin dahsyat dari angkasa.
Dedaunan seketika berguguran dan beterbangan.
Bahkan aliran sungai yang deras itu bagai muncrat.
Tanpa menghentikan tepukan tangannya, Dewi Kematian mendongakkan kepala.
Samar dalam kegelapan malam, kedua matanya di balik cadar sutera, menangkap bayangan raksasa meluncur ke arahnya.
"Aahh...!"
Seketika wanita ini memekik tertahan ketika merasakan angin deras menyambar wajahnya. Wuuusss! "Heiiitt!"
Perempuan bercadar sutera itu melompat kebelakang lima tombak. Bayangan raksasa yang menimbulkan angin keras itu segera menyambar tubuh Tirta yang masih kelojotan. Dalam waktu sekejapan, burung itu telah membawa terbang si pemuda.
"Koaaakkk!"
Suara teriakan burung menggema. Dewi Kematian yang terkesiap tadi seolah baru sadar dari keterke-jutannya.
"Burung rajawali emas milik Sepuh Mahisa Agni!"
Desisnya.
"Sungguh tepat dugaanku, siapa pemuda itu sebenarnya. Dia jelas telah miliki Pedang Batu Bintang. Dan burung rajawali keemasan itu jelas sudah menjadi peliharaannya. Keparat! Tak akan kulepaskan burung rajawali itu! Persetan dengan segala urusan yang sudah kususun! Huh! Pedang Batu Bintang harus kudapatkan!"
Mendadak saja perempuan bercadar sutera itu berkelebat, mengikuti gerak terbang Bwana yang telah menyelamatkan majikan barunya dari intaian maut.
*** Betapapun tingginya kesaktian yang dimiliki Dewi Kematian, namun tetap tak mampu mengikuti kecepatan terbang Bwana.
Dalam waktu singkat saja, perempuan bertubuh montok itu sudah kehilangan jejak.
"Keparat!"
Makinya sambil hentikan lari. Kepalanya masih mendongak ke atas. Namun bayangan keemasan yang diikutinya telah lenyap entah ke mana.
"Setan alas! Ke mana burung rajawali sialan itu berada?!"
Selagi perempuan bercadar umbar kekesalan, mendadak matanya yang tajam menangkap satu kelebatan bayangan hitam tak jauh dari hadapannya.
"Gila! Rupanya ada orang yang mengikutiku. Huh! Mengganggu keinginan Dewi Kematian, berarti tak akan luput dari kematian."
Kini pada jarak tiga puluh tombak di hadapan Dewi Kematian, sosok bayangan hitam itu terus berkelebat seolah tak menyadari kalau sedang diawasi.
"Lima tahun kucari burung rajawali keemasan itu. Dan sekarang, mendadak muncul begitu saja. Untung pandanganku sempat menangkap bayangannya. Tetapi, ke mana burung sialan itu sekarang? Apakah Batu Bintang masih melekat di ekornya?"
Sambil berkelebat sosok ramping berbaju hitam-hitam dengan rambut panjang tergerai mirip kuntilanak itu terus saja mengoceh.
Mulutnya nampak bergerak-gerak, memperlihatkan cairan merah.
Rupanya sosok yang ternyata seorang perempuan tua itu tengah mengunyah susur.
Dan, siapa lagi tokoh rimba persilatan yang mempunyai kebiasaan mengunyah susur kalau bukan Ratu Tengkorak Hitam? Dialah orang pertama yang menghembuskan berita tentang munculnya rajawali keemasan milik Sepuh Mahisa Agni yang membawa Batu Bintang.
"Meskipun entah terbang ke mana, burung rajawali itu tak akan kulepaskan! Batu Bintang harus menjadi milikku!"
Wesss...! "Heh...?!"
Ratu Tengkorak Hitam tersentak kaget ketika serangkum angin menderu ke arahnya disusul aroma harum masuk ke dalam hidungnya.
"Heaaatt!"
Cepat Ratu Tengkorak Hitam melempar tubuhnya ke samping. Dan begitu berdiri tegak, di hadapannya tahu-tahu telah berdiri seorang perempuan bercadar sutera yang menguarkan aroma harum.
"Dewi Kematian!"
Desisnya begitu mengenali orang yang berdiri di hadapannya. Tanpa sadar tubuhnya menggigil karena hawa amarah. Dewi Kematian yang tadi mengirimkan serangan pada Ratu Teng-korak Hitam memandang tak berkedip ke depan.
"Aku paling tak suka kesenanganku terganggu. Lebih baik menyingkir sebelum tangan telengasku ini ber-tindak...!"
Ancam Dewi Kematian.
"Aku juga tak suka kesenanganku diganggu siapa pun! Bila kita sama-sama menginginkan Batu Bintang, mengapa tidak segera diselesaikan sekarang?"
Tukas Ratu Tengkorak Hitam, langsung menyadari kalau Dewi Kematian juga mengikuti arah terbangnya burung rajawali keemasan itu. Namun, niatnya tak surut sedikit pun. Apalagi, dia belum pernah bentrok dengan wanita bertubuh indah itu.
"Ratu Tengkorak Hitam.... Kau hanya buang nyawa percuma di hadapanku,"
Ancam Dewi Kematian lagi.
"Lima tahun waktuku kubuang percuma untuk mendapatkan Batu Bintang. Halangan kecil semacam ini tak akan membuatku mundur selangkah pun,"
Balas Ratu Tengkorak Hitam sambil terus mengunyah susur. Wajah di balik cadar sutera itu membesi mendapati kata-kata Ratu Tengkorak Hitam.
"Hm... mau cari mati kau rupanya. Bersiaplah untuk kukirim ke neraka! Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Dewi Kematian menepuk kedua tangannya ke arah lawan.
Ratu Tengkorak Hitam terkesiap ketika merasakan suara menggema keras di kedua gendang telinganya.
Tanpa sadar kakinya mundur tiga langkah seraya menekap kedua telinganya dengan telapak tangan.
Namun semakin kuat menekan, semakin keras suara yang menggema di telinganya.
"Keparat ini rupanya mencoba memutuskan alat pendengaranku. Bisa-bisa seluruh jalan darahku pecah! Setan! Ini tak boleh kubiarkan!"
"Heaaa...!"
Untuk menahan gempuran suara tepukan berisi tenaga dalam tinggi, Ratu Tengkorak Hitam langsung mengibaskan tangannya.
Dilepaskannya jurus 'Jalan Hitam Kematian', Namun hanya sesaat serangan itu dilakukan Ratu Tengkorak Hitam.
Karena begitu tangan kanannya terlepas dari telinga kanan....
"Aaakh...!". Ratu Tengkorak Hitam menjerit tertahan ketika telinganya bukan hanya dihantam suara yang menyakitkan, tetapi juga bagai ditusuk besi panas sangat tajam.
"Uts...!"
Sementara tanpa menghentikan tepukan tangannya, Dewi Kematian sedikit menggeser tubuhnya ke kanan. Sehingga serangan yang dilepaskan lawan dapat dihindari dengan mudah.
"Aku tahu siapa kau gerangan, Ratu Tengkorak Hitam. Kita sama-sama orang golongan sesat. Kuampuni nyawamu bila kau mau mengabdi kepadaku!"
Mendapat tawaran ini Ratu Tengkorak Hitam tersenyum penuh arti.
"Kalau memang itu yang kau inginkan, mengapa tak menghentikan serangan?"
"Bagus! Ternyata kau mau berpikir panjang."
Lalu Dewi Kematian menghentikan tepukan pada kedua tangannya.
Dan saat itu pula, tubuh Ratu Tengkorak Hitam ambruk dengan kedua telinga mengalirkan darah.
Cepat tenaga dalamnya dialirkan untuk mengunci rasa sakit yang tak tertahankan.
Anehnya, begitu tepukan dari Dewi Kematian tak terdengar lagi, Ratu Tengkorak Hitam mampu mengalirkan tenaga dalamnya.
Kini perlahan-lahan dia berdiri.
Ditatapnya perempuan bercadar yang berdiri pada jarak tiga tombak di hadapannya dengan sinar tajam.
"Rasanya aku tak akan mampu menandingi kesaktian perempuan bercadar sutera ini. Tetapi, tunggu pembalasanku,"
Desis hati Ratu Tengkorak Hitam. Perempuan tua ini lalu merubah raut wajahnya seramah mungkin. Terima kasih atas kemurahan hatimu, Dewi Kematian,"
Ucapnya. Tak ada kata kemurahan hati dalam hidupku. Aku tak membunuhmu, karena tenagamu kubutuhkan."
"Apa yang bisa kulakukan?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam sambil menekan kejengkelan dalam-dalam.
"Sama seperti yang sedang kau inginkan."
"Batu Bintangkah?"
Perempuan bercadar sutera mengangguk.
"Ya! Batu Bintang kini telah menjadi sebuah senjata sakti yang disebut Pedang Batu Bintang."
"Dari mana kau tahu?"
"Setan baju hitam! Kurobek mulutmu bila kau potong lagi pembicaraanku!"
Bentak Dewi Kematian. Wajah Ratu Tengkorak Hitam kontan membesi. Namun lagi-lagi dia harus menahan diri untuk tidak bertindak ceroboh. Karena bisa-bisa nyawanya yang terbang ke neraka.
"Seorang pemuda yang bernama Tirta telah berjodoh dengan Batu Bintang atau kini disebut Pedang Batu Bintang. Dia pula yang telah menjadi majikan baru dari burung rajawali keemasan. Dan dia kujuluki si Rajawali Emas!"
Samar ingatan Ratu Tengkorak Hitam kembali pada kejadian lima tahun lalu.
Saat dia pertama kali bertemu bocah bernama Tirta.
Dan wanita tua ini mengalami keanehan, karena bocah itu bisa menghindari sergapannya dengan mudah.
Bocah itukah yang dimaksud Dewi Kematian? "Lantas apa yang harus kulakukan?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam, hati-hati.
"Kejar burung rajawali keemasan itu. Jangan sampai ada orang lain yang mendahuluinya,"
Ujar Dewi Kematian.
"Akan kulakukan semua perintahmu."
Dari balik cadar sutera, Dewi Kematian tersenyum dingin.
"Dan jangan sekali-kali melakukan tindak bodoh"
Tandasnya. Ratu Tengkorak Hitam tersenyum licik.
"Sudah tentu kau tak akan melepaskanku, bukan? Dengan ajian 'Tutup Sukma', tentunya kau tahu di mana aku berada, bukan?"
Tukas Ratu Tengkorak Hitam. Mendengar pujian Ratu Tengkorak Hitam, Dewi Kematian malah menggeram.
"Ucapanmu menunjukkan betapa liciknya otakmu, Ratu Tengkorak Hitam. Dan bagusnya, kau mengerti gelagat,"
Kata Dewi Kematian.
"Katakan! Jalan mana yang harus kutempuh untuk mencari burung keemasan itu?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam, tak mempedulikan sindiran Dewi Kematian.
"Kita akan mengambil jalan yang berbeda tapi satu tujuan. Siapa pun yang merintangi semua ini, bunuh!"
"Dan bila ada kesempatan, akan kubunuh kau, Perempuan Keparat!"
Desis hati Ratu Tengkorak Hitam sebelum mengangguk. Sejenak Ratu Tengkorak Hitam menatap Dewi Kematian yang duduk bersila sambil menangkupkan kedua tangan di dada. Agaknya, dia bersemadi untuk mencari keberadaan burung rajawali keemasan itu.
"Hmm.... Sebenarnya, ini kesempatan yang terbaik bagiku untuk membunuh perempuan cabul itu. Tetapi, percuma juga. Karena itu berarti menghilangkan kesempatanku untuk mengetahui rajawali keemasan itu berada sekaligus mendapatkan Pedang Batu Bintang. Yang terpenting lagi, bila ada yang mencoba mendapatkan Pedang Batu Bintang, nama busuk Dewi Kematian bisa kupakai sebagai tumbal. Biar aku harus menunggu semua ini sampai terselesaikan."
Dengan penuh kesabaran, Ratu Tengkorak Hitam tetap menunggu. Dan dia menarik napas lega ketika Dewi Kematian menghentikan semadinya seraya berdiri.
"Burung itu tak jauh dari sini. Hanya berjarak sekitar lima ratus tombak. Berdiam di sebuah lembah yang cukup tandus,"
Papar Dewi Kematian.
"Bagaimana dengan pemuda yang kau juluki si Rajawali Emas itu?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam. Perempuan bercadar sutera itu terdiam beberapa saat.
"Entahlah.... Aku tak menemukan di mana pemuda itu berada,"
Desahnya.
"Gila! Bagaimana bisa begitu?"
Tuntut Ratu Tengkorak Hitam. Sepasang mata di balik cadar sutera milik Dewi Kematian menyipit.
"Ucapanmu menunjukkan kalau kau sudah memiliki ilmu tinggi!"
Sindir Dewi Kematian dingin. Ratu Tengkorak Hitam segera menyadari kalau hampir membuat kesalahan.
"Maafkan aku,"
Ucapnya.
"Hanya satu dugaanku. Pemuda itu berada diantara sayap kanan kiri rajawali raksasa itu. Mungkin pingsan, dan rajawali itu tengah memberinya kehangatan. Berjalanlah ke arah barat. Sementara, aku ke arah timur. Bunuh siapa saja yang menghalangi keinginan kita ini! Dan perlu kau camkan sekali lagi. Jangan coba-coba mengangkangi Pedang Batu Bintang kalau tak mau mati mengenaskan,"
Ancam Dewi Kematian. Ratu Tengkorak Hitam hanya mengangguk sambil menggumam dalam hati.
"Setelah Pedang Batu Bintang kudapatkan sudah tentu kau akan kubunuh, Dewi Kematian."
"Setelah Pedang Batu Bintang kudapatkan akan kuhembuskan berita keseantero jagat. Akan kukatakan kalau Pedang Batu Bintang kau yang milikinya. Dan kau akan menjadi sasaran empuk orang-orang rimba persilatan. Sebuah rencana manis sekali,"
Kata hati Dewi Kematian.
*** Di manakah Tirta sekarang berada? Setelah sadar dari pingsannya, Rajawali Emas yang ditolong Bwana telah kembali berada di punggung rajawali raksasa berwarna keemasan itu.
Dari atas, pemuda sakti dari Gunung Rajawali ini melihat Dewi Kematian tengah mengejarnya.
Pada saat yang sama, dia pun melihat bayangan hitam lain yang mengejarnya pula.
Sampai pada suatu saat, tampak Dewi Kematian tampak tengah bentrok dengan Ratu Tengkorak Hitam.
Si Rajawali Emas yang masih mempunyai niatan untuk melakukan penyerangan terhadap Juragan Lanang malam ini, segera berbisik pada Bwana.
Dia meminta agar burung rajawali itu memutar arah, kembali ke tempat semula.
Dalam waktu tak berapa lama, Tirta sudah kembali berada di tepi sungai tempatnya bertarung melawan Dewi Kematian tadi.
Diperintahkannya Bwana untuk terbang kembali ke arah yang dilalui tadi.
Dan rupanya burung rajawali yang cerdik itu tahu maksud majikannya! Di sebuah lembah yang kalau siang begitu tandus, dia mendarat.
Burung itu langsung mendekam, seolah menunggu.
Sementara itu saat ini si Rajawali Emas telah tiba di tempat persembunyian Sumirat dan yang lainnya setelah mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Begitu tiba, pemuda ini langsung mengutarakan gagasannya untuk menyerang tempat tinggal Juragan Lanang.
*** "Serbu...!"
Sepinya malam yang tengah merangkak menuju pagi, mendadak pecah oleh teriakan membahana.
Rupanya Tirta dan Sumirat telah menjalankan rencana dibantu yang lain-lainnya.
Didahului gebrakan Tirta, mereka menerobos masuk ke halaman bangunan rumah Juragan Lanang yang semula sepi mencekam itu.
Kini suasana berubah menjadi hiruk pikuk tak terkendali.
Suara senjata beradu pun seketika terdengar hebat.
Juragan Lanang yang tertidur setelah berbuat mesum dengan seorang wanita penghiburnya segera bangkit.
Dia menggeram dingin ketika menyadari apa yang terjadi.
"Setan keparat!"
Makinya sambil mengenakan pakaiannya kembali. Lelaki ini cepat bergerak ke tempat gurunya biasa berada. Tetapi dia tak menemukan siapa-siapa.
"Hhh! Sulit kudukung keinginan Guru sekarang. Terpaksa aku harus turun tangan mengatasi semua ini!"
Dengan sekali mengempos tubuhnya, Juragan Lanang telah berada di dalam kancah pertarungan.
Tubuhnya cepat berkelebat dengan kegeraman membludak.
Dihantamnya para penduduk yang gagah berani berusaha merebut kembali dusun tanah kelahiran mereka.
Tetapi sudah tentu mereka bukanlah tandingan Juragan Lanang.
Dalam waktu singkat, tiga orang terkapar dengan dada hangus.
Sumirat menjadi geram setengah mati melihat kejadian ini.
Maka segera dia melompat, menghadapi Juragan Lanang.
"Lima tahun aku mencarimu, Sumirat. Ternyata kau malah datang untuk mengantarkan nyawa. Ha ha ha...!"
Sambut Juragan Lanang.
"Manusia keparat! Malam ini penindasanmu akan tuntas selamanya bersama nyawa busukmu!"
Balas Sumirat seraya menerjang dengan golok di tangan.
Wuuutt! Dengan sekali memiringkan tubuh sambaran golok yang bisa membelah kepala mampu dihindari Juragan Lanang.
Bahkan mendadak dilepaskannya satu tendangan yang begitu cepat.
Dess...! "Aaah...!"
Lelaki gagah itu terjajar ke belakang.
Juragan Lanang tak mau membuang kesempatan ketika Sumirat belum bersiap.
Dikawal teriakan keras, tubuhnya cepat meluruk dengan tangan penuh tenaga dalam.
Pada saat yang gawat bagi Sumirat, tiba-tiba bergerak satu sosok bayangan keemasan, langsung menahan jotosan Juragan Lanang.
Plak! "Setan!"
Sambil memaki geram, Juragan Lanang bersalto dua kali ke belakang. Tangannya seketika terasa ngilu.
"Wah! Galak banget? Apa tidak tahu kalau semua kebusukanmu itu akan segera berakhir?"
Kata sosok keemasan yang telah menyelamatkan Sumirat.
"Setan keparat!"
Maki Juragan Lanang menatap tak berkedip pada pemuda berbaju keemasan yang tak lain Tirta.
"Kedatanganmu ke dusun ini mencari mati rupanya?!"
"Kematian? Apa tidak terbalik ucapanmu itu? Memangnya, kalau orang mau mati suka ngaco begitu, ya? Hmm.... Kata-katamu beberapa tahun lalu terdengar manis sekali. Tetapi kau justru menghancurkan kehidupan para penduduk!"
Sahut si Rajawali Emas.
"Siapa kau sebenarnya?!"
Sentak Juragan Lanang. Tirta tersenyum sambil mengangkat alis hitamnya.
"Apakah kau lupa dengan penggembala kambingmu yang bernama Tirta? Nan! Akulah si penggembala kambing itu. Dan tentunya, kau yang jadi kambingnya, kan?"
Juragan Lanang makin tak berkedip menatap pemuda tampan berambut gondrong yang berdiri tiga tombak di depannya. Ingatannya kembali pada bocah kecil bernama Tirta yang menggembalakan kambing-kambingnya.
"Setan! Benarkah dia bocah penggembala kambing-kambingku yang telah tumbuh menjadi remaja dan mengacaukan seluruh rencanaku?"
Rutuk batin Juragan Lanang, geram.
"Tak mungkin. Bocah itu telah menghilang lima tahun yang lalu."
"Wah.... Kok diam nih? Apa nyalimu sekarang kendor?"
Ejek Tirta lagi, lebih menyentak. Tiba-tiba suara si pemuda terdengar dingin. Sepasang matanya bagai mengeluarkan bara saat menatap Juragan Lanang.
"Bukan hanya nyawa ayah dan ibuku yang telah kau cabut dengan paksa, melalui para tangan kotor anak buahmu. Tetapi, puluhan penduduk pun harus menemui ajal secara mengenaskan. Tak ada jalan lain, kecuali menghabisimu!"
Wajah Juragan Lanang langsung membesi dengan gigi bergemeletuk.
"Ucapanmu hebat juga, Tirta! Tetapi, kau telah menjadi besar kepala karena berhasil mengecohku selama ini! Kau tak tahu tingginya langit dan dalamnya dasar bumi!"
Leceh Juragan Lanang.
"Kalau soal itu tidak perlu diajarkan! Ucapan busuk itu akan kau makan sendiri hingga perutmu buncit!"
"Setan keparat! Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu, hah?!"
Begitu habis kata-katanya, Jura-gan Lanang mengusap kedua tangannya berkali-kali. *** Plok!! Plok!! "Heh...?!"
Terkesiap Tirta melihat apa yang akan dilakukan Juragan Lanang.
Sebuah serangan tenaga dalam yang dahsyat pada kedua gendang telinganya melalui tepukan.
Sekarang baru disadari, siapa Juragan Lanang sebenarnya.
Dari jurus yang diterapkan, tak bisa disangkal lagi kalau lelaki itu adalah murid Dewi Kematian yang pernah mengacaukan jalan darah di tubuh Tirta dengan ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'.
Tidak mau mengalami nasib konyol seperti yang dialaminya saat berhadapan dengan Dewi Kematian, si Rajawali Emas langsung melompat melancarkan satu serangan lewat jurus 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung', yang diambil dari salah satu jurus 'Rajawali'.
Seketika angin dahsyat bergerak berputar, mengarah pada Juragan Lanang yang siap menepuk kedua tangannya kembali.
Dalam hal ilmu 'Tepukan Cabut Sukma', sebenarnya ketinggian ilmu yang dimiliki Juragan Lanang tak jauh berbeda dengan Dewi Kematian.
Namun, sebelum lelaki itu melakukan tepukan, Tirta sudah mengenali dan segera melepaskan serangannya.
Hingga tepukan itu terlambat beberapa saat.
Akibatnya, Juragan Lanang urung mempergunakan ilmu itu.
Dan dia malah terkesiap menghindari serangan yang dilancarkan Tirta.
Sebisanya dibuang nya tubuh ke kanan.
"Heaaah...!"
Namun Tirta sudah lebih cepat menyergap dengan totokan 'Sentakan Kaki Rajawali'.
Sehingga....
Tuk! Tuk! Juragan Lanang kontan menggelosor tak berdaya setelah seluruh tubuhnya terasa lemas bukan main.
Hanya matanya yang melotot dengan sumpah serapah terlontar dari mulutnya.
"Lepaskan totokan ini! Kita bertarung sampai mampus!"
Serunya, kalap.
"Soal bertarung sampai mati bisa saja kita lakukan. Hanya saja, aku ada keinginan lain!"
Lalu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Tirta berkelebat Cepat. Dilumpuhkannya orang-orang Juragan Lanang dengan totokan. Maka sebentar saja, mereka dengan mudah dibuat tak berdaya.
"Horeee...! Hidup Tirta...! Hidup Rajawali Emas!"
Terdengar sorakan bergembira dari Sumirat dan yang lainnya.
Mereka semua mengelu-elukan pemuda dari Gunung Rajawali itu.
Tirta tak mempedulikan, Tubuhnya telah melesat membawa tubuh Juragan Lanang yang hanya mampu berteriak-teriak keras.
Si Rajawali Emas meletakkan tubuh yang dalam keadaan tertotok itu di hadapan Sumirat dan yang lainnya.
Ketika beberapa pemuda yang dengan geram siap mengayunkan golok, cepat Tirta bertindak.
"Tahan! Hukum memang akan kita lakukan terhadapnya. Tetapi, semua keputusan kukembalikan pada Paman Sumirat, sebagai orang yang kita hormati!"
Cegah Tirta.
Sungguh terharu Sumirat mendengar kata-kata Tirta.
Padahal, semua penyerangan ini dilakukan karena pemuda itu.
Tirtalah yang menyelidiki semua ini seorang diri.
Dan di saat seperti ini, justru pemuda itu yang memintanya untuk membuat keputusan.
"Hukuman memang sudah sepatutnya dijalankan. Juragan Lanang telah berbuat jauh dari hak-hak kita sebagai manusia. Dia telah mengubah dusun yang permai menjadi neraka. Tetapi, apakah di saat dia berada dalam keadaan seperti ini, kita harus menghukumnya? Barangkali saja dia menyesali semua tindakannya ini. Tuhan Maha Pengampun bagi ciptaannya. Mengapa kita tidak mengampuni nyawa manusia ini bila dia mau meminta maaf dan menyesali semua perbuatannya?"
Sumirat membuka suara. Hening. Semuanya bagai berusaha mempertimbangkan kata-kata Sumirat. Ada yang setuju, namun tak sedikit yang menolak.
"Jalan terbaik adalah, mengusir Juragan Lanang dari dusun ini selama-lamanya!"
Selama ini, belum ada orang yang mau bersikap lembut pada Juragan Lanang. Begitu pula Juragan Lanang yang tak mau bersikap lunak pada siapa pun, kecuali gurunya. Maka tak heran bila kata-kata Sumirat malah membungkukkan kemuakan dalam dadanya.
"Persetan kau akan membebaskanku atau tidak, Sumirat! Biar kupilih hukuman yang akan kuterima!"
Teriak lelaki itu. Juragan Lanang lantas berpaling pada Tirta.
"Bocah penggembala kambing!"
Ejeknya penuh tekanan.
"Kau telah merasa dirimu menjadi pahlawan, bukan? Hhh! Aku ingin melihat kehebatanmu sebagai pahlawan! Lepaskan totokanku! Kita bertarung sampai mampus!"
Tirta menarik napas panjang. Tanpa peduli, kepalanya menoleh pada Sumirat.
"Bagaimana, Paman? Sebuah usul yang menarik sebenarnya,"
Kata si Rajawali Emas.
"Terserah kau, Tirta!"
Sahut Sumirat.
Begitu Tirta mengangguk, segera terbentuk lingkaran dari Sumirat dan yang lainnya.
Lalu dengan langkah tenang, pemuda itu menghampiri Juragan.
Lanang yang dalam keadaan tertotok.
Dibebaskan totokannya pada tubuh lelaki itu.
Tubuh Juragan Lanang mengejut sebentar, lalu berdiri dengan angkuhnya.
"Kita buat keputusan! Bila kau berhasil kukalahkan, dusun ini tetap menjadi milikku?"
Tantang Juragan Lanang, jumawa.
"Bagaimana bila kau yang kalah?"
Tukas si Rajawali Emas.
"Aku akan bunuh diri di hadapan-mu!"
"Tawaran yang menarik! Kita bisa memulainya sekarang!"
Kata Tirta sambil membuka tangan kanannya.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan keras Juragan Lanang langsung menerjang dengan jurus milik Dewi Kematian yang keras dan mengerikan.
Bahkan mengandung tenaga dalam tinggi.
Setiap kali jotosan maupun tendangannya selalu diiringi desir angin deras ke arah Tirta.
Namun sampai sejauh itu Tirta selalu mampu menghindari setiap serangan lawan.
Lima belas jurus telah berlangsung Juragan Lanang masih berusaha menyerang, sementara si Rajawali Emas tetap menghindar.
Tetapi pada jurus kedua puluh, pemuda berbaju keemasan itu tak mau lagi bertindak tanggung.
Kini dia akan memberi pelajaran pada orang dungu yang masih mengandalkan kekuatan tak seberapa itu.
Sebenarnya sebagai murid Dewi Kematian, Juragan Lanang memiliki ilmu yang hampir setingkat dengan gurunya.
Tetapi dikarenakan benaknya dipenuhi nafsu untuk menang dan rasa kemarahan tinggi, maka setiap serangannya jadi tak terarah.
Sementara Tirta yang menghadapinya dengan ketenangan bisa dengan mudah menebak ke mana arah setiap serangan yang datang.
"Chaaa...!"
Kini untuk pertama kalinya, Tirta melakukan serangan dengan jurus 'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung'.
Kedua kakinya bergerak memutar penuh tenaga, bagai ekor burung rajawali yang sedang marah ke dada Juragan Lanang.
Begitu cepat, sehingga...
Des! Des! Dada Juragan Lanang terjajar beberapa langkah ketika terhantam telak pada dadanya.
Dan sebelum dia memperbaiki keseimbangan, Tirta telah berkelebat dengan sebuah kibasan tangan tak ubahnya kibasan sayap burung rajawali.
Prak! "Aaakh...!"
Tepat sekali tangan si Rajawali Emas menghantam wajah Juragan Lanang.
Seketika lelaki itu ambruk dengan mulut dan bibir berdarah.
Gusar bukan main lelaki itu.
Dia mencoba bangkit, tapi tak mampu.
Yang tinggal sekarang, hanyalah sisa-sisa kebengisannya belaka dengan pancaran kedua mata yang memerah tajam.
"Kau telah membuat keputusan sendiri. Kau telah kalah, Juragan Lanang,"
Kata Tirta tanpa berkesan bangga sedikit juga.
"Kau memang bisa mengalahkan aku, Rajawali Emas! Kau juga bisa menghancurkan seluruh rencanaku! Tetapi... jangan dikira kau akan mendapatkan nyawaku!"
Desis Juragan Lanang.
Dan mendadak, terlihat lelaki itu seperti menggeremetukkan giginya.
Kepalanya bergerak ke bawah sejenak.
Tak lama kemudian..,.
Brukkk! Tubuh itu menggelosor tak berdaya.
Mati.
Tirta tersentak, tetapi tak bisa menyelamatkan nyawa Juragan Lanang dari tindakan bunuh diri yang barusan dilakukan.
Hanya dipandanginya saja tubuh yang sudah tak bernyawa.
Dari mulut lebar itu mengalirkan darah.
Rupanya, Juragan Lanang membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri! Sementara dari beberapa orang yang berdiri melingkar terdengar desahan puas, melihat kematian lelaki yang telah banyak menimbulkan keonaran itu.
Sumirat menghampiri Tirta yang masih berdiri menatap mayat Juragan Lanang.
"Dia telah memilih jalannya sendiri,"
Kata Sumirat.
"Yah.... Semua dikarenakan kesom-bongan yang ada pada dirinya. Paman... dusun ini telah kita miliki kembali. Paman dan yang lainnya bisa membangunnya kembali. Orang-orang Juragan Lanang yang ada juga orang dusun ini pasti tak akan berani melakukan tindakan serupa, karena sang pemimpin telah mati,"
Kata Tirta.
"Bagaimana dengan sepuluh orang bertopeng itu?"
"Mereka telah mati di tangan sesama sendiri. Paman, ada yang masih kupikirkan tentang Dewi Kematian. Dia pasti guru dari Juragan Lanang, mengingat jurus yang dipergunakannya mirip dengan jurus Dewi Kematian. Aku tak ingin menyeret kalian dalam bahaya. Perem-puan bercadar sutera itu harus kupancing menjauh dari dusun ini."
"Maksudmu... kau hendak meninggalkan kami?"
Tukas Sumirat, meminta penjelasan.
"Begitulah yang akan terjadi, Paman. Ada beberapa wasiat yang harus kujalankan, Paman."
"Wasiat apakah itu, Tirta?"
Tirta tersenyum.
"Bukan maksudku untuk tidak mengatakan apa yang sedang kuemban ini, Paman. Tetapi, biarlah ini menjadi urusanku sendiri,"
Kilah si Rajawali Emas. Sumirat mengangguk-angguk menger-ti.
"Aku paham,"
Katanya.
"Pagi sudah datang. Kuburkanlah mayat-mayat ini, Paman. Bentuklah persatuan dan kesatuan yang kokoh di dusun kita ini. Jangan sampai orang semacam Juragan Lanang muncul kembali,"
Ingat Tirta, bijaksana.
Kembali Sumirat menganggukkan kepalanya.
Setelah mengedarkan pandangan pada beberapa orang di sana, Tirta segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Sementara Sumirat dan yang lainnya menguangi dengan tatapan haru.
Di perjalanan, pemuda gagah berbaju keemasan itu menarik napas pendek.
"Hmm.... Di mana harus kutemui Raja Lihai Langit Bumi? Melihat orangnya saja belum pernah. Gawat kalau lewat dari waktu yang ditentukan aku belum bisa menemukannya. Bisa-bisa tenaga surya yang mengalir dalam tubuhku akan mencacah hancur seluruh tubuhku. Hmm.... Aku harus berlomba dengan waktu!"
Desis Tirta.
Maka dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, si Rajawali Emas segera berkelebat.
Tak tahu, arah mana yang harus dituju.
Yang pasti, Raja Lihai Langit Bumi harus ditemukan, di samping menemukan Dewi Kematian yang pernah mempecundanginya.
*** Tepat matahari sepenggalah, Dewi Kematian tiba dilembah tandus tempat Bwana mendekam.
Seharusnya di pagi yang masih cukup muda ini, panas tak terlalu menyengat.
Namun, di tempat yang tak ditumbuhi satu pohon pun itu seolah matahari sudah berada tepat di atas kepala.
Perempuan bercadar sutera itu menghentikan langkahnya.
Matanya menatap takjub pada Bwana yang sedang mendekam.
"Hmm.... Pedang Batu Bintang akan menjadi milikku. Paling tidak, burung ini akan menjadi tumbal untuk memancing keluarnya si Rajawali Emas. Aku harus berhati-hati. Tentunya burung rajawali ini bukan burung sembarangan...."
Belum lagi Dewi Kematian ber-tindak, sepasang mata tajamnya menangkap satu kelebatan bayangan hitam yang kemudian berhenti pada jarak lima puluh tombak dari tempatnya berdiri.
Segera tangannya dilambaikan pada bayangan hitam yang ternyata Ratu Tengkorak Hitam.
Seketika Ratu Tengkorak Hitam cepat berkelebat kembali ke arah Dewi Kematian.
"Mengapa kita tidak segera menangkapnya, Dewi?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam dengan suara sopan, begitu tiba di hadapan Dewi Kematian.
"Hmm... Burung ini tak bisa dianggap sembarangan. Kita harus berhati-hati. Pikirkan cara yang tepat untuk menangkapnya,"
Gumam Dewi Kematian.
"Di mana si Rajawali Emas?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam.
"Persetan dengan pemuda itu. Yang terpenting sekarang, tangkap burung itu. Dan kita bisa menjadikannya tumbal. Ingin kutahu kehebatan burung ini!"
Begitu habis kata-katanya, Dewi Kematian melesat laksana kilat ke arah Bwana yang masih mendekam seolah tak menyadari apa yang akan terjadi.
Namun ketika perempuan bercadar sutera itu berada dalam jarak lima belas tombak, mendadak saja Bwana mengeluarkan suara bagai menggereng.
Bersamaan dengan itu tiba-tiba saja, sebelah sayap kanannya dikepakkan.
Wuusss! Seketika gelombang angin dahsyat menderu, menerbangkan debu dan kerikil panas yang mengarah pada Dewi Kematian.
Perempuan itu memekik tertahan.
Bila saja tidak cepat membuang tubuh ke samping, bisa dipastikan akan terbawa derasnya angin dahsyat barusan.
"Gila! Di luar dugaanku kehebatan burung ini!"
Dengus Dewi Kematian seraya bangkit berdiri.
Sementara itu, Ratu Tengkorak Hitam yang berdiri pada jarak lima puluh tombak bagai merasakan tamparan keras angin.
Untung dia siap sebelumnya dengan mengerahkan tenaga dalam.
Namun tak urung wajahnya setengah pias.
"Luar biasa! Memiliki burung itu sebagai peliharaan, sudah menjadi pembantu yang sangat tangguh,"
Desahnya. Mendapati Dewi Kematian masih berdiri tegak, Bwana kembali mengepakkan sayapnya. Itu dilakukan tanpa bergeser sedikit juga. Wuuut! "Hup!"
Dewi Kematian yang masih tertegun menyaksikan kehebatan burung rajawali keemasan itu segera melompat ke belakang, lalu hinggap di sisi Ratu Tengkorak Hitam.
"Burung itu tak bisa dilawan dengan tenaga kasar. Tenaga yang dimilikinya sulit diukur. Hm... Aku ingin tahu, apakah dia mampu mengatasi 'Tepukan Cabut Sukma',"
Desis Dewi Kematian. Maka segera dipersiapkannya jurus 'Tepukan Cabut Sukma'. Namun begitu kedua tangannya hendak menepuk mendadak....
"Tahan!"
Cegah Ratu Tengkorak Hitam. Dewi Kematian tak perlu menunggu terlalu lama, apa penyebab lancangnya Ratu Tengkorak Hitam menahan keinginannya. Dalam jarak seratus tombak, tampak telah berdiri seorang lelaki tua berpakaian compang-camping.
"Siluman Buta,"
Sebut Ratu Tengkorak Hitam, mendesis.
"Daripada mencoba menangkap burung rajawali Itu, dan Siluman Buta akan menikmati hasil-nya lebih baik kita bunuh dulu, Dewi."
Tangan Dewi Kematian yang siap ditepukkan, diturunkan kembali.
"Aku pernah mendengar julukan Siluman Buta yang cukup menggetarkan. Ilmunya sangat tinggi,"
Kata Dewi Kematian, setengah menggumam.
"Benar, Dewi. Kita bisa mengeroyoknya kalau begitu. Meskipun aku yakin, Dewi sendiri mampu mengatasinya,"
Sahut Ratu Tengkorak Hitam. Dewi Kematian tersenyum dingin di balik cadar suteranya. Dia tahu, apa yang dimaksud Ratu Tengkorak Hitam barusan. Hanya menjilat belaka.
"Hm.... Tapi urusan kita bisa lebih mudah dilakukan,"
Kata Dewi Kematian sambil tersenyum Matanya memandang ke arah lain.
Ratu Tengkorak Hitam pun melihat ke arah yang sama.
Tampak satu sosok tubuh agak mencangkung tiba pula di tempat itu.
Begitu melihat orang yang baru datang, segera disiapkannya jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'.
"Manusia Mayat Muka Kuning.... Keparat si Kaki Gledek itu pasti telah mengirimkan fitnah padaku tentang Batu Bintang. Dan urusan bisa jadi berabe,"
Keluh batin nenek baju hitam itu.
Susur yang selalu di mulutnya tanpa disadari makin dikunyah lebih cepat.
Air warna merah dari susur makin banyak bercampur dengan ludahnya.
Hati Ratu Tengkorak Hitam berkebit-kebit tak menentu ketika Manusia Mayat Muka Kuning berkelebat ke arahnya.
Namun dia bisa menarik napas sedikit lega ketika lelaki itu mengarahkan pandangan pada Dewi Kematian.
Sedikit pun tak menoleh kepadanya.
"Sayangku.... Sekian lama aku tak jumpa denganmu, Dewi. Nyatanya kau berada di sini,"
Kata Manusia Mayat Muka Kuning.
"Aku pun merindukanmu, Sayangku,"
Sambut Dewi Kematian.
Manusia Mayat Muka Kuning merangkul Dewi Kematian.
Mulutnya yang cekung ke dalam menciumi leher jenjang Dewi Kematian.
Sementara Ratu Tengkorak Hitam membuang muka ke samping sambil mengunyah terus susurnya.
Agaknya dia jengah melihat pemandangan di hadapannya tadi.
"Tunggu. Tahan dulu nafsumu, Sayang,"
Ujar Dewi Kematian, begitu teringat tentang keinginannya mendapat Pedang Batu Bintang. Manusia Mayat Muka Kuning terkekeh-kekeh.
"Baiklah, Hm.... Kau masih menggiurkan saja, Dewi. Meskipun, aku tak tahu siapa saja yang telah mencoba dirimu ini,"
Oceh Manusia Mayat Muka Kuning. Memerah wajah Dewi Kematian di balik cadar sutera mendapati kata-kata lelaki ini.
"Meskipun demikian, aku masih mampu membuatmu melambung,"
Kilah perempuan bercadar itu.
"Tentu, tentu sekali,"
Sahut lelaki tua bermuka kuning itu seraya menoleh pada Ratu Tengkorak Hitam.
"Nenek peot jelek! Katakan, di mana Batu Bintang berada?"
Ratu Tengkorak Hitam memutar tubuhnya. Dan kini dia berhadapan dengan Manusia Mayat Muka Kuning yang tengah menatap tajam. Nenek baju hitam itu sesaat terkesiap melihat tatapan dingin bagai membetot sukmanya.
"Jangan sembarangan omong! Tanyakan pada kekasihmu itu!"
Ujar Ratu Tengkorak Hitam disertai semburan merah dari mulutnya. Wajah Manusia Mayat Muka Kuning kontan membesi mendengar bentakan barusan. Tangan kanannya terangkat, siap menjentikkan jari telunjuk dan ibu jari.
"Ouw... ouwww.... Tahan dulu, Sayang...."
Dewi Kematian yang memang mempunyai niat tertentu pada Ratu Tengkorak Hitam, cepat mencegah dengan suara mendayu-dayu sambil menggelendoti tubuh kurus kekasihnya.
"Hmm.... Rupanya kau datang untuk mencari Batu Bintang itu juga, Sayangku?"
Lanjutnya. Lalu dengan suara masih mendayu-dayu, Dewi Kematian menceritakan apa yang terjadi. Menggeram Manusia Mayat Muka Kuning.
"Kaki Gledek keparat! Dia berani unjuk gigi membohongiku! Akan kulumat tubuhnya nanti!"
Merasa terbebas dari masalah yang mengganggu, Ratu Tengkorak Hitam mengambil sikap tenang sambil memalingkan kepala. Karena tangan kurus lelaki tua muka kuning dengan liarnya menjelajah dada Dewi Kematian.
"Hei, hei...! Sudah kukatakan, kau harus bersabar, Sayang. Lebih baik, tangkap burung rajawali itu. O, ya. Siluman Buta tentunya akan mengganggu keinginanku. Bisakah kau membunuh manusia keparat itu, Sayangku?"
"Membunuh Siluman Buta? Hanya semudah membalikkan telapak tanganku,"
Sahut Manusia Mayat Muka Kuning seraya menjentikkan jari telunjuk dan ibujari.
Sraaat! Seketika selarik sinar kuning setajam jarum meluncur dahsyat ke arah Siluman Buta yang masih berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada tongkat kusamnya.
Orang tua buta berpakaian compang-camping itu memang memiliki pendengaran lebih tajam daripada mata manusia melek.
Maka dengan santainya, tongkat kusamnya diputar.
Wusss! Pyar! Serangan Manusia Mayat Muka Kuning buyar seketika.
Sementara Bwana masih mendekam di tempatnya.
Meskipun nampak tenang, namun burung itu tengah bersiap dan siap terbang bila melihat gelagat yang tak menguntungkan.
Memang begitulah perintah dari Tirta atau si Rajawali Emas.
"Hebat! Hebat! Menangkap sera-ngannya... jelas Manusia Mayat Muka Kuning. Mencium aroma wangi yang menguap... tak salah bila kukatakan perempuan mesum bercadar sutera yang berjuluk Dewi Kematian ada pula di sini. Dan mencium bau susur yang memuakkan, tentunya Ratu Tengkorak Hitam pun hadir pula di sini. Wah.... Ini akan jadi sangat ramai tentunya!"
Diam-diam ketiga orang itu terkejut mendengar kata-kata lelaki buta itu. Diam-diam pula mereka kagum dengan kehebatan Siluman Buta. Dan sebelum mereka berkata apa-apa....
"Hi hi hi...!"
Mendadak satu suara tawa dingin terdengar ke seantero tempat.
"Busyet! Rupanya kalian sudah ngumpul di sini? Meskipun aku tak diundang, rasanya tak salah bila aku ikut bergabung."
Yang muncul adalah satu sosok berkonde dengan baju dan kain batik kusam. Pandangannya mengedar pada orang-orang yang telah berada di sana.
"Hmm.... Jelas yang datang adalah Bidadari Hati Kejam. Apakah dia sudah menyampaikan pesanku untuk memancing keluar Raja Lihai Langit Bumi?"
Oceh Siluman Buta.
Kendati buta, nyatanya dialah yang pertama mengetahui kehadiran nenek berkonde itu.
Sementara itu, Manusia Mayat Muka Kuning langsung melesat ke muka.
Dan dia mendarat lima tombak di depan Bidadari Hati Kejam.
Wajahnya yang pucat seperti mayat tampak menegang mendapati orang yang selama ini membangkitkan dendam.
"Manusia Mayat Muka Kuning! Kau berani lancang memancingku keluar. Apakah kau sudah tak sayang nyawa, hah?!"
Kata Bidadari Hati Kejam, mendahului.
"Nenek peot! Bukan nyawaku yang akan melayang, tetapi nyawa busukmu yang akan lepas dari badan,"
Balas Manusia Mayat Muka Kuning.
"Kalau dulu di Lembah Maut kau masih kuampuni, kali ini jangan salahkan aku bila menurunkan tangan telengas!"
"Setan keparat! Kita lihat!"
Manusia Mayat Muka Kuning sudah menggempur lebih dulu dengan serangan mautnya. Gemuruh angin terdengar mengiringi serangannya.
"Hup!"
Bidadari Hati Kejam membuang tubuhnya ke kanan. Dan baru saja dia bangkit, Manusia Mayat Muka Kuning kembali melancarkan serangan gencar.
"Manusia mayat ini kelihatan makin hebat. Setiap serangannya bagai angin yang merontokkan jantung,"
Dengus nenek berkonde itu dalam hati.
"Tak akan kubiarkan manusia laknat ini menimbulkan malapetaka. Aku tahu, dialah orang yang berada di balik pembunuhan berantai yang berkepan-jangan."
Berpikir demikian, Bidadari Hati Kejam membanting tubuh ke belakang.
Lalu kedua tangannya mengibas ke muka.
Seketika asap tebal beriring hawa dingin meluruk ke arah Manusia Mayat Muka Kuning.
Pada saat yang sama, lelaki berwajah kuning itu mengirimkan serangan pula.
Byaaarr! Benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi bertemu.
Suasana di tempat itu bagai bergetar.
Sementara, Bwana langsung terbang, namun masih berputaran di tempat itu.
"Chaaatt...!"
Dewi Kematian segera turun membantu kekasihnya. Bahkan kemudian Ratu Tengkorak Hitam pun tak keting-galan. Sementara Siluman Buta hanya berdiri di tempatnya sambil terkekeh-kekeh.
"Suatu pertarungan yang sangat menyenangkan. Aku tidak akan turun tangan, sebelum menemukan Raja Lihai Langit Bumi. Baiknya, kutunggu saja siapa yang akan segera terkapar."
"Gila! Bisa-bisa aku mati di sini!"
Rutuk Bidadari Hati Kejam sambil menghindar.
Sulit bagi wanita ini untuk membalas gempuran ketiga lawannya yang dilakukan serentak.
Dan tiba-tiba saja dia melompat mundur seraya mencabut senjata pengebutnya.
Bed! Bed! Bidadari Hati Kejam langsung mengibaskan senjatanya dalam rangkaian jurus 'Rangkaian Bunga Habisi Kumbang' yang langsung menimbulkan kilatan sinar putih dan asap tebal dahsyat.
"Hebat! Kesaktian nenek berkonde ini terayata makin tinggi. Senjatanya memang merupakan senjata dahsyat,"
Puji Manusia Mayat Muka Kuning.
"Meskipun tenaga dalam sudah kulipatgandakan pada jurus 'Tepuk Cabut Sukma', ternyata nenek peot itu seolah tak merasakan apa-apa,"
Kata batin Dewi Kematian heran.
"Seharusnya nenek berkonde itu bisa dilumpuhkan dalam tiga gebrak berikutnya. Tetapi dia sudah lebih cepat mencabut senjata pengebutnya. 'Undang Maut Sedot Darah' pun tak berarti banyak menghadapi senjata itu,"
Rutuk Ratu Tengkorak Hitam, gusar.
Meskipun demikian, sebenarnya tenaga nenek berkonde itu sudah payah.
Tenaganya sudah banyak terkuras akibat terlalu sering menghindar.
Serangan senjata pengebutnya pun hanya merupakan gerakan sisa-sisa tenaganya saja.
"Benar-benar celaka kalau begini! Hmmm.... Bwana sudah terbang kembali. Manusia-manusia yang menginginkannya tak akan mungkin bisa menangkapnya lagi. Karena, dia akan bisa menjauh. Tetapi melihat sikapnya tadi, Bwana seperti menunggu kedatangan seseorang. Siapakah yang ditunggunya? Manusia-manusia keparat ini ataukah ada orang lain?"
Masih dengan berjuta pikiran yang membutuhkan jawaban, Bidadari Hati Kejam terus menghindar sekaligus membalas setiap serangan gencar ketiga lawannya. Namun mendadak saja.... Pak! "Ohh?!"
Entah bagaimana mulanya, tangan kanan Bidadari Hati Kejam yang memegang pengebut telah terpukul jatuh oleh Manusia Mayat Muka Kuning.
Bersamaan dengan itu, kedua telinganya terasa bagai hendak pecah mendengar tepukan tangan yang dilakukan Dewi Kematian.
Menyusul serangan 'Undang Maut Sedot Darah' yang dilepaskan Ratu Tengkorak Hitam.
"Aaakh...!"
Nenek berkonde itu mencoba menyelamatkan diri.
Tetapi sentakan pada kedua telinganya yang sangat menyakitkan, membuatnya terguling disertai pekikan tertahan.
Bersamaan dengan itu, Manusia Mayat Muka Kuning meluncur deras, siap menggeprak hancur kepala Bidadari Hati Kejam.
Namun agaknya, nasib nenek berkonde itu masih bagus.
Karena mendadak saja, berkelebat satu bayangan dengan kecepatan luar biasa.
Langsung dipapakinya serangan Manusia Mayat Muka Kuning.
Plak! Selagi Manusia Mayat Muka Kuning terjajar, bayangan keemasan itu telah menyambar tubuh Bidadari Hati Kejam dan berkelebat dengan kecepatan luar biasa! *** Manusia Mayat Muka Kuning terperangah.
Meskipun tangannya yang dipapaki bayangan keemasan tadi tidak terlalu menyakitkan, namun cukup mengagetkan.
Karena seharusnya, orang yang memapaki serangannya tadi akan langsung terkapar.
"Setan keparat! Siapa dia?!"
"Si Rajawali Emas! Dialah pemuda yang memiliki Pedang Batu Bintang! Kejar sampai dapat! Jangan biarkan dia menolong Bidadari Hati Kejam yang sudah mau mampus!"
Serentak mereka berkelebat menyusul. Sementara Siluman Buta hanya tertegun.
"Si Rajawali Emas? Hm.... Baru kali ini julukan itu kudengar. Tetapi merasakan kehebatannya tadi, jelas kalau pemuda itu tak bisa dianggap sembarangan. Rajawali Emas.... Rajawali Emas.... Ada hubungan apa ini? Dan Pedang Batu Bintang? Keparat! Rupanya pemuda yang berjuluk Rajawali Emas itu? Ia telah menempa Batu Bintang menjadi Pedang Batu Bintang! Aku harus turun tangan mendapatkan Pedang Batu Bintang. Urusan dengan Raja Lihai Langit Bumi akan lebih mudah bila mempergunakan Pedang Batu Bintang."
Saat itu pula lelaki tua buta berpakaian compang-camping itu segera berkelebat cepat.
*** Kini keadaan Bidadari Hati Kejam sudah seperti sedia kala kembali.
Hal itu karena hawa murni yang dimilikinya telah mencapai tingkat tinggi.
Dan begitu melihat seorang pemuda berbaju keemasan yang berdiri tak jauh darinya, nenek berkonde itu mengerutkan kening.
"Apakah Nenek lupa padaku?"
Tanya pemuda yang tak lain Tirta, tersenyum.
"Aku Tirta, Nek. Si penggembala kambing yang bingung karena kehilangan kambing-kambingnya."
Kening Bidadari Hati Kejam yang berkernyit tadi perlahan-lahan menghilang. Sejenak kemudian dia tertawa mengikik.
"Hebat, hebat! Bocah kebluk yang lima tahun hanya sibuk mengurusi kambing-kambingnya yang hilang, kini telah tumbuh gagah. Hebat sekali kau ini ya? Dan... hei?!"
Kembali nenek berkonde berbaju dan kain batik kusam itu tertegun.
"Kalau mataku yang tua ini tak salah, pedang di punggungmu itu terbuat dari Batu Bintang, bukan?"
Tebaknya. Tirta mengangguk.
"Benar-benar luar biasa Nenek ini. Padahal pedangku belum kucabut, namun sudah bisa menebaknya, Kalau saja Eyang tak mengatakan tentang Bidadari Hati Kejam, sudah tentu aku harus bersiaga,"
Kata batin Tirta.
"Kau telah memiliki Batu Bintang yang telah ditempa menjadi Pedang Batu Bintang. Dan tentunya, Bwana juga sudah menjadi milikmu. Aku mengerti sekarang, mengapa Guru membiarkan Bwana pergi. Rupanya, dia diharuskan mencari majikan baru. Dengan menyelip-kan Batu Bintang pada ekornya, dan menjatuhkannya pada siapa saja yang menjadi pilihan Bwana. Berarti dia... ah! Luar biasa! Kau beruntung, Bocah Kebluk!"
Kata nenek berkonde sambil tertawa-tawa, lalu menepuk punggung Tirta.
"Luar biasa sekali! Kau patut mendapat julukan si Rajawali Emas, Tirta! Dan tentunya, sekarang aku tak lagi bisa menginginkanmu menjadi muridku."
Tirta segera menggeleng.
"Tidak, Nek. Justru aku ingin berguru padamu,"
Sergah si pemuda. Mata kelabu si nenek berkonde membesar.
"Apakah telingaku tak salah dengar?"
Tukasnya.
"Begitu yang diwasiatkan Eyang padaku, Nek, O, ya. Siapakah Eyang itu sebenarnya, Nek?"
"Kau belum tahu?"
"Bahkan nama atau julukannya saja aku tidak tahu."
Bidadari Hati Kejam manggut-manggut.
"Kalau Guru tak mau menyebutkan nama atau julukannya, berarti memang tak ingin dikenal bocah kebluk ini. Tetapi tak salah bila kukatakan tentang julukan Guru,"
Kata batin Bidadari Hati Kejam. Perempuan ini lantas menatap Tirta.
"Julukan Guru adalah Malaikat Dewa. Dan dia bernama Sepuh Mahisa Agni."
Tolong ceritakan tentang Eyang, Nek. Sungguh aku penasaran."
Bidadari Hati Kejam menggeleng-geleng.
"Kau harus mencari tahu sendiri."
Bukannya berkata lagi, Tirta justru menjatuhkan kepala di tanah.
"Terimalah sembah sujudku, Guru."
Kebalikan dari sikap Tirta, Bidadari Hati Kejam justru mencak-mencak.
"Enaknya memanggilku Guru! Kau kan belum kuterima menjadi muridku?"
Tolaknya, kasar. Tirta mengangkat kepalanya lagi dengan wajah tegang. Tak disangka kalau nenek berkonde ini menolaknya menjadi muridnya.
"Jadi?"
"Kau harus lebih tandas memanggilku Guru!"
Ujar nenek itu sambil melipat kedua tangannya di dada dengan sikap angkuh. Wajah tegang Tirta tadi menghi-lang. Sebagai gantinya dia tertawa-tawa.
"Terima kasih, Guru."
"Kurang tandes!"
Terima kasih Guru!"
Tirta menekan suaranya.
"Eh! Kau sepertinya kurang yakin!"
Tuntut Bidadari Hati Kejam.
"TERIMA KASIH, GURU!"
Teriak Tirta.
"Nah! Itu baru namanya murid yang baik. Hmmm.... Apa wasiat Malaikat Dewa, Tirta?"
"Aku diharuskan mempelajari ilmu pengebut dari Guru yang akan kupergunakan sebagai jurus pedangku."
Bidadari Hati Kejam mengangguk-angguk.
"Tirta.... Urusanku sebenarnya masih banyak. Terutama urusanku dengan Manusia Mayat Muka Kuning. Juga, dengan Raja Lihai Langit Bumi."
"Urusan apakah gerangan, Guru?"
"Nanti kau bisa tahu."
"Baiklah, Guru."
"Sekarang... aku ingin menyak-sikan dulu Pedang Batu Bintang itu, Tirta."
Kalau orang yang lain meminta, belum tentu pemuda tampan dari Gunung Rajawali ini mengabulkannya.
Namun dia yakin sekali kalau nenek berkonde ini tidak bermaksud jahat.
Lalu perlahan-lahan, Pedang Batu Bintang diloloskan dari warangkanya.
Wrrr! Tangan si pemuda mendadak saja bergetar begitu pedang berada di tangannya dengan aliran hawa panas.
Tenaga dalamnya cepat dialirkan.
Sementara pancaran sinar keemasan dari Pedang Batu Bintang sangat cemerlang.
Bidadari Hati Kejam sampai tertegun melihatnya.
"Gila! Baru melihatnya saja mataku sudah sedemikian silau,"
Desah si nenek.
"Boleh aku memegangnya?"
"Silakan, Guru."
Getaran yang mengandung hawa panas pun dirasakan si nenek berkonde yang kembali berdecak sambil menggeleng-geleng.
"Luar biasa!"
Desisnya.
Lalu tangannya digerakkan.
Wusss! Serangkum sinar keemasan diiringi angin panas melesat begitu saja begitu pedang digerakkan.
Si nenek cukup terkejut, karena lesatan pedang itu bagai mendorongnya ke belakang.
Sementara lesatan sinar keemasan yang diiringi hawa panas itu melesat ke depan.
Plaaasss! Semak belukar yang ada di hadapan Bidadari Hati Kejam langsung terpapas luruh.
Sementara dua buah pohon yang berada di sana langsung tumbang dalam keadaan hangus jadi serpihan.
Masih tak puas dengan apa yang dilakukannya, si nenek berkelebat ke arah sebuah batu besar yang tak jauh di sana.
Pedang itu diayunkannya ke arah batu.
Wuuuttt...! Belum lagi pedang itu menghantam, batu itu sudah bergeser tiga tombak terkena angin yang mendahului gerakan pedang bersinar keemasan.
Dan....
Trak! Angin panas yang ditimbulkan Pedang Batu Bintang telah merengkah batu besar itu.
Dan....
Byaaarr! Begitu si nenek menghantamkan Pedang Batu Bintang pada batu yang telah rengkah, mendadak saja terdengar ledakan.
Batu itu berhamburan menjadi krikil, sementara tanah tempat batu itu berada tadi muncrat setengah tombak, membentuk lobang di bawahnya.
"Luar biasa! Tak heran bila banyak yang menginginkan Pedang Batu Bintang ini!"
Seru Bidadari Hati Kejam. Tirta yang sudah merasakan kehe-batan itu ketika meneruskan tempaan Batu Bintang menjadi pedang pun menatap takjub dengan pedangnya.
"Guru.... Kasihan bila semak belukar dan pohon-pohon dijadikan sasaran percobaan."
Bidadari Hati Kejam terkekeh sambil melangkah menghampiri. Lalu diserahkannya kembali Pedang Batu Bintang pada Tirta. Segera pemuda ini memasukkan pedang ke warangkanya.
"Kau beruntung mendapatkan pedang itu, Tirta,"
Kata si nenek. Tirta menjura.
"Terima kasih, Guru. Aku akan... oh!"
Mendadak saja tubuh Tirta mengejang.
Kejap kemudian, pemuda ini sudah terbanting dahsyat ketanah.
Wajah tampannya mendadak menjadi pucat pasi.
Dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya memerah disertai asap mengepul dari tubuh Tirta.
Bidadari Hati Kejam tertegun melihat si Rajawali Emas kelojotan seperti itu.
"Gila! Tak ada angin dan tak ada hujan, mengapa tahu-tahu tubuh pemuda ini berguling dan bagai terserang kutukan setan? Sinting! Ada apa ini?!"
Terburu-buru Bidadari Hati Kejam segera memegang tubuh Tirta. Dan dia tersentak langsung menarik pulang tangannya.
"Gila! Mengapa tubuhnya menjadi sedemikian panas? Dan tenaga apa yang menyerangnya ini?"
Dengan keheranan si nenek memperhatikan sekelilingnya.
Nalurinya mengatakan tak ada seorang pun di sekitar sana, kecuali mereka berdua.
Diperhatikan lagi tubuh Tirta yang bertambah kelojotan.
Erangan yang keluar dari mulutnya begitu mencekam.
Tanpa sadar si nenek menjadi tegang.
"Celaka! Belum lagi aku menurunkan ilmu pengebut padanya, dia sudah menderita seperti itu. Tetapi... tubuhnya menjadi demikian panas. Dan, aliran darahnya bagai menggumpal dahsyat di setiap urat darahnya. Bagaimana ini?"
Bidadari Hati Kejam segera mengerahkan hawa murni yang mampu mengusir panas. Dipegangnya tubuh Tirta yang masih kelojotan dengan erangan bertambah keras. Begitu jelas penderitaan yang dialami si Rajawali Emas.
"Heh?!"
Kembali nenek berkonde ini tersentak, Segera kedua tangannya ditarik ketika memegang tubuh Tirta.
"Gila! Hawa murniku yang mesti menahan panas, justru tak berarti apa-apa. Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Tanyanya bingung. Selagi Bidadari Hati Kejam kebingungan....
"Kau tak akan mampu mengatasi aliran darah menggelombang dari tubuhnya, Bidadari Hati Kejam. Pemuda itu telah menghisap sari rumput dahsyat yang bernama Rumput Selaksa Surya...."
Mendadak terdengar suara lembut dari belakang si nenek. Bidadari Hati Kejam langsung menoleh.
"Raja Lihai Langit Bumi...!"
Serunya. SELESAI Segera terbit Serial Rajawali Emas Dalam episode selanjutnya.
"RAJA LIHAI LANGIT BUMI"
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. mybenomybeyes
Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah Pertentangan Kaum Persilatan Yoe hiap eng hiong 1 Karya OKT Mencari Busur Kumala Karya Batara