Darah Para Tumbal 2
Putri Bong Mini Darah Para Tumbal Bagian 2
Wajahnya yang dipenuhi berewok terlihat begitu angker ketika menatap lawan.
Tubuhnya melompat ke kiri dan kanan.
Tangan kanannya diangkat ke atas kepala sambil memegangi tombak yang panjangnya tiga meter.
Kemudian tombak itu diayun-ayunkan dengan gerakan menusuk.
Pemuda yang terkepung itu berdiri tegak menatap lawannya satu persatu.
Senyum yang selalu mengem-bang kini sirna sama sekali.
Karena pikiran dan pandangannya terpusat pada tiga pengeroyok.
Pikirnya, ia harus sungguh-sungguh menghadapi tiga dari Empat Iblis Pencabut Nyawa.
Apalagi senjata mereka merupakan senjata berbahaya dibanding sebilah pedang.
Apalagi rantai berujung bola berduri itu.
Lengah sedikit, kepala akan remuk berkeping-keping.
"Sikaaat!"
Tiba-tiba terdengar lengkingan lelaki botak berkucir, membuat kedua temannya saat itu juga bergerak menyabet-nyabetkan senjata masing-masing dengan ke-cepatan lebih dahsyat Tongkat dan tombak mengarah dari sisi kiri dan kanan Ong Lie.
Sedangkan rantai bergandul bola ber-duri berputar di atas kepalanya dengan kecepatan tinggi, menyulitkan pemuda itu untuk melakukan ge-rakan mengelak.
Bila dia melakukan lompatan sedikit saja, maka kepalanya pasti membentur senjata itu.
Sedangkan untuk mengelak ke depan, tongkat dan ujung tombak dua lawannya menyambar-nyambar pu-la dengan ganas.
Julukan Iblis Pencabut Nyawa bagi mereka benar-benar tepat sesuai dengan serangan mematikan mereka seperti saat itu.
Di negeri Kuraci yang berada di wilayah Tiongkok, nama San Hong, Cao Hui, Tek Chiang dan Gak Bun Ben yang bersatu dalam Iblis Pencabut Nyawa memang terkenal sadis.
Hampir semua pendekar dan tokoh sakti di negeri Kuraci dapat dikalahkan.
Bahkan me-reka menjadi pembunuh bayaran bagi para bangsawan di negeri tersebut.
Dan sekarang, Gak Bun Ben mati di tangan seorang pemuda ingusan.
Tentu saja tiga ka-wannya yang lain menjadi terkejut dan kalap.
Sehingga senjata yang sudah lama tak dipakai itu, kini dipergunakan kembali untuk menghabisi nyawa lawan.
"Hiaaat!"
Buggg! Tiba-tiba Ong Lie membuat gerakan yang tak terdu-ga.
Tubuhnya digulingkan ke arah Cao Hui, pemilik rantai bergandul bola berduri.
Kemudian ia melompat setinggi setengah meter dengan gerakan menerkam ke arah Cao Hui yang sedang memutar-mutar senjatanya.
"Huggg!"
Napas Cao Hui terhenti sejenak saat kepala Ong Lie tepat menubruk ulu hati lawan.
Akibatnya, rantai besi di tangan Cao Hui terlepas, melayang di udara dan akhirnya menancap di sebatang pohon.
Werrr ...
Creb! Tubuh Cao Hui jatuh telentang.
Sedangkan Ong Lie langsung bangkit kembali dan segera menjauhi dua lawannya yang lain.
Melihat mangsa yang diburunya lepas, lelaki yang memegang tombak bernama Tek Chiang, langsung me-lempar tombaknya ke arah lawan.
Singngng...! Sret! "Uhhh!"
Ujung tombak itu berhasil menggores bahu kiri la-wan.
Rupanya Tek Chiang berhasil mengelabui perhi-tungan lawan.
Pada saat tombak itu meluncur, Ong Lie mengira kalau ujung tombak itu meluncur ke arah kanan.
Namun ketika ia memiringkan tubuhnya ke samping, ternyata tombak itu meluncur ke sebelah ki-ri.
Ujung tombak itu pun menyabet bahu kirinya, wa-lau tidak parah.
Ong Lie berusaha memperbaiki posisi.
Namun tiba-tiba tubuhnya terasa seperti terbakar, panas, dan tidak bertenaga.
Akhirnya ia jatuh tanpa dapat menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
Rupanya ujung tombak yang melukai bahunya telah dilumuri racun yang amat dahsyat.
Sedikit saja menggores tubuh lawan, racun tersebut langsung bereaksi dan meresap ke seluruh peredaran darah.
Tubuh Ong Lie bergetar hebat, panas, dan lemah.
Hanya dua biji matanya yang bergerak-gerak menatap tiga lawan yang sedang berjalan mendekatinya.
Ong Lie segera memejamkan kedua matanya dalam kepasrahan ketika ujung tombak yang tadi menggores bahunya diarahkan Tek Chiang ke tubuhnya.
Dan....
Dukkk! Wuttt! Tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat di wa-jah Tek Chiang, hingga tubuhnya terhuyung lalu jatuh ke belakang.
Sedangkan tubuh Ong Lie langsung di-sambar oleh orang yang tadi memukul.
Menerima serangan yang tiba-tiba, tentu saja me-reka tersentak kaget, terlebih Tek Chiang.
Ketika mereka membalikkan tubuh, seorang wanita bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini tampak berdiri gagah menghadap mereka.
Sedangkan di belakang gadis itu, tubuh Ong Lie terbaring lunglai.
"Siapa kau, Kelinci Kecil?! Beraninya kau mencam-puri urusan orang lain!"
Geram Tek Chiang. Kedua matanya mencorong tajam ke arah gadis bertubuh mungil dengan perasaan dongkol.
"Hanya lelaki pengecut yang menganiaya orang yang tidak berdaya!"
Sindir Bong Mini dengan sikap tenang. Ditatapnya ketiga lelaki bertubuh tinggi besar dengan tampang beringas itu.
"Bedebah! Akan kukirim nyawamu ke nereka!"
Ge-ram Tek Chiang karena merasa ditantang oleh seorang anak kecil.
"Wah, hebat sekali kalau kau mampu melakukan-nya. Tapi aku memilih dikirim ke surga saja biar enak!"
Seru Bong Mini dengan wajah berseri-seri, mirip seorang anak yang mendapat kabar gembira.
Mendengar kata-kata Bong Mini yang mengandung ejekan barusan, ketiga lelaki tadi bertambah geram.
Mereka serentak mengepung Bong Mini.
Mereka sadar kalau gadis kecil itu bukanlah seorang gadis semba-rangan.
Buktinya, ia mampu menyelamatkan tubuh pemuda tadi dalam waktu sekejap, tanpa sepengeta-huan mereka.
Di saat ketiga lawan dengan beringas maju untuk melakukan serangan, Bong Mini segera memutar tu-buhnya cepat seperti baling-baling kapal.
Tubuhnya yang berputar itu mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat, sehingga menimbulkan angin yang ber-tiup sangat keras.
Dedaunan di sekitarnya berguguran.
Inilah jurus 'Ilmu Tanpa Bayangan' yang pertama kali didapat dari papanya.
Melihat jurus yang dikerahkan Bong Mini demikian dahsyat, ketiga lelaki tadi langsung menyerangnya sebelum didahului.
"Hiaaat!"
Wut wut wuttt! Tongkat, tombak, dan pedang lawan menyambar-nyambar tubuhnya dari berbagai arah.
Namun Bong Mini yang telah memadukan jurus 'Tanpa Bayangan' dengan ilmu 'Halimun Sakti' tampak tak mengalami kesulitan.
Malah tubuhnya kini bergerak perlahan seperti kabut yang turun ke bumi.
Kemudian tubuh mungil itu menyelinap di antara ketiga lelaki yang menyerangnya.
"Ssst...!"
Tek Chiang menoleh ke arah desisan di samping ki-rinya. Tapi belum sempat dia mengetahui siapa yang berdesis, sebuah pukulan keras dari Bong Mini meng-hantam mukanya. Dukkk! "Aaakh!"
Tubuh Tek Chiang terlempar sejauh dua meter di-sertai erangan kesakitan.
Melihat lawan yang dipukulnya jatuh tersungkur, tanpa menunggu lebih lama, Bong Mini melakukan ge-rakan menendang ke tubuh seorang lawan lagi.
Dukkk! Tendangan kaki kanan Bong Mini mengenai dada lawan, hingga tubuh Cao Hui terjengkang ke belakang.
"Aaakh!"
Jeritan kematian keluar dari mulut Cao Hui.
Ketika tubuhnya ambruk di tanah, ia tak dapat berkutik lagi.
Tek Chiang yang masih terhuyung-huyung serta San Hong, tampak tersentak melihat temannya dapat dirobohkan oleh gadis bertubuh mungil itu dalam wak-tu sekejap.
Padahal selama ini, Iblis Pencabut Nyawa tak pernah tertandingi oleh pendekar mana pun, termasuk pemuda yang hampir mati tadi.
Tapi sekarang mereka menghadapi kenyataan lain.
"Kelinci kecil, siapa kau sebenarnya!"
Dengus San Hong penuh kemarahan. Bong Mini tersenyum.
"Kenapa itu yang kau tanyakan? Apakah untuk mengirim seseorang ke neraka kau harus mengetahui namanya dulu?"
Sindir Bong Mini dengan suara kalem.
"Bocah sombong! Kau jangan bermimpi untuk me-menangkan pertempuran ini!"
Dengus San Hong de-ngan biji mata melotot merah.
Kemudian dia segera bertindak dengan tongkat mautnya.
Ia merasa harus mencabut nyawa gadis bertubuh mungil itu.
Maka de-ngan tongkat hitamnya ia menyerang Bong Mini de-ngan dahsyat.
Begitu pula dengan Tek Chiang yang menyerang dengan ujung tombak yang meruncing.
Me-reka bersama-sama mengepung Bong Mini dengan pandangan mata penuh nafsu, bagai seekor kucing yang siap menerkam mangsa.
Wut wut wuttt! Tongkat hitam di tangan San Hong berkelebat ke sana kemari, menyambar tubuh lawan.
Tapi dengan tangkas gadis bertubuh mungil itu menghindari sera-ngan maut San Hong.
Dalam kesempatan berikutnya ia sudah menggunakan ilmu 'Halimun Sakti', bagian dari ilmu 'Pancaran Sinar Sakti' warisan Putri Teratai Merah.
Bong Mini terus melangkah pelan dan ringan di an-tara kedua musuhnya yang tampak jelalatan, mencari-cari dirinya.
Sedangkan orang yang dicari justru tengah senyum-senyum di belakang punggung keduanya.
Sifat jahil Bong Mini timbul.
Dia mencolek kedua bahu lawannya.
Begitu menoleh, kedua tangannya yang lembut itu menampar wajah mereka.
Plakkk, plakkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua lelaki itu langsung terjengkang ke belakang seraya meraba wajahnya yang terasa panas akibat tamparan tangan Bong Mini, tanpa menyadari kalau tamparan jari Bong Mini tadi membekas di pipi kedua lelaki itu dengan warna hitam gesang.
Bentuknya mirip bunga teratai yang baru tumbuh.
"Heh, Iblis Pencabut Nyawa!"
Hardik Bong Mini sam-bil menatap kedua musuhnya yang mulai bangkit kem-bali.
"Jika kalian ingin selamat, gagalkan niatmu untuk bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam! Tapi kalau kau terus membangkang, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Aku tidak akan mengubah niat semula hanya kare-na gertakan bocah kecil sepertimu!"
Dengus San Hong.
Siap untuk melakukan pertempuran kembali.
Begitu pula dengan temannya.
Begitulah salah satu sifat Iblis Pencabut Nyawa.
Mereka tidak akan mundur setapak walau sudah terde-sak.
Mereka harus menuntut balas hari itu juga atas kematian dua temannya.
Lebih baik mati sama-sama daripada melarikan diri atau takluk di hadapan mu-suh.
Sehidup semati! Semboyan itu yang mereka pe-gang kuat-kuat.
Maka ketika Bong Mini mengajukan pilihan, mereka lebih baik memilih mati seperti kedua temannya, daripada kembali ke negerinya dengan membawa kekalahan.
San Hong telah menggenggam kembali tongkatnya.
Begitu pula dengan Tek Chiang yang sudah sejak tadi siap dengan tombak runcingnya.
Kemudian dengan senjata yang sudah siap di tangan masing-masing, tubuh mereka langsung melesat ke arah Bong Mini disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat!"
Deggg! Bong Mini cepat menangkap tongkat hitam San Hong yang mengarah padanya.
Ditariknya sedikit, di-sertai tendangan kaki ke dada lawan.
Sehingga tubuh yang terkena tendangan itu terjengkang ke belakang sejauh lima meter, disertai erangan kematian yang memilukan.
Lalu tubuh lawan pun ambruk dengan biji mata mendelik.
Sedangkan dari mulutnya keluar da-rah kehitam-hitaman.
"Jahanam! Kubunuh kau!"
Gertak Tek Chiang ketika melihat kematian temannya.
Ia langsung menyerang Bong Mini membabi-buta dengan tombaknya.
Tapi se-rangan tombak itu dapat ditangkis tangan kanan Bong Mini yang sekeras baja.
Kemudian tombak itu pun di-rebut dan dihentakkan ke dada musuhnya.
Creb! "Aaakh!"
Ujung tombak yang runcing itu langsung menem-bus dada Tek Chiang.
Saat itu juga tubuhnya mengge-lepar-gelepar dan roboh dengan lidah menjulur keluar.
Bong Mini menghela napas panjang sambil menatap keempat mayat yang terkapar di tanah.
Kemudian ka-kinya melangkah mendekati pemuda tampan yang se-jak tadi hanya mampu menyaksikan pertempuran tan-pa dapat bergerak sedikit pun.
Tanpa banyak cakap lagi, Bong Mini langsung mengerahkan ilmu 'Pelebur Racun' yang disalurkannya melalui ilmu 'Batin Raga Sakti' warisan Kanjeng Rahmat Suci dengan cara me-narik, menahan, lalu menyentakkan napas lewat tela-pak tangannya yang terkembang dan mengarah ke da-da Ong Lie.
Karena kalau telapak tangannya me-nyentuh dada yang diobati, akan meninggalkan bekas berwarna hitam.
"Oekkk!"
Pemuda itu memuntahkan gumpalan darah hitam dari mulutnya.
Disusul dengan cairan kuning.
Itulah racun yang ditebarkan lewat ujung tombak lawan.
Setelah semua gumpalan darah hitam dan cairan kuning habis, Ong Lie memejamkan matanya seperti tertidur.
Bong Mini memandang wajah pemuda tampan itu sekilas.
Setelah itu, ia bangkit dan melesat ke arah pantai Malaka.
*** Di Kampung Dukuh, pagi itu terasa cerah.
Matahari memancar hangat dari sebelah timur, kembali mene-rangi bumi yang selama semalaman diselimuti kegela-pan.
Daun-daun pohon yang menderita kedinginan ka-rena kabut menyelimuti sejak senja kemarin, kini terlihat segar berseri, menari-nari, mengikuti nyanyian burung yang tiada hentinya di pagi itu.
Dalam suasana pagi yang indah itu, seorang gadis cantik tampak duduk seorang diri di pinggir Sungai Bokor yang mengalir di Kampung Dukuh.
Tubuh gadis itu amat bagus, berpinggang ramping.
Wajahnya bulat telur, berhidung mancung dengan sepasang mata sipit.
Rambutnya yang panjang sebatas punggung tampak tersisir rapi.
Di bagian kiri-kanan rambut itu diikat, sedangkan bagian rambut belakang dibiarkan bebas tergerai.
Sementara bagian atasnya ditata menyerupai bunga yang baru berkembang.
Dia terlihat masih mu-da sekali.
Usianya sekitar enam belas tahun.
Gadis yang mengenakan baju dan celana kuning muda dengan hiasan ikat pinggang warna hitam itu tampak duduk termenung sambil menyaksikan gemer-cik air pegunungan yang terjun ke sungai.
Nasib perjalanan anak manusia mungkin seperti air sungai itu.
Setelah jatuh dari pegunungan, air itu terus melaju, berkelok-kelok menghindari batu-batu terjal! Gumam gadis itu dalam hati dengan bibir tersenyum-senyum menyaksikan kejernihan air sungai yang mengalir bebas.
Siapakah gadis remaja yang cantik itu? Dia seorang gadis yang hilang ingatan, yang ditolong oleh Sang Piao beberapa waktu lalu.
Dan sekarang gadis itu sudah sembuh benar karena perawatan Sang Piao yang begi-tu telaten.
Gadis yang asyik menikmati gemerciknya suara air sungai itu tiba-tiba terhenyak ketika telinganya mendengar gerakan semak-semak.
Dia langsung berdiri dan memalingkan wajahnya ke belakang.
Di sana, ma-tanya melihat seorang pemuda gagah berjubah putih.
Dia adalah Sang Piao yang sengaja menyusul gadis itu.
Selama ini, Sang Piao yang terus merawatnya hingga sembuh.
Melihat pemuda tampan itu tersenyum padanya, ga-dis itu membalas dengan penuh keheranan.
"Siapakah kau?"
Pertanyaan itu diajukan karena memang selama ini dia tidak mengenal Sang Piao sama sekali.
Dia tidak tahu bahwa ia dirawat oleh pemuda itu selama mengalami sakit jiwa.
Sehingga ketika ia sembuh, kesadaran pada sekitarnya pun kembali, termasuk pada pemuda yang berdiri di hadapannya sam-bil mengembangkan senyum.
Mendapati tanggapan yang diberikan gadis cantik itu, hati Sang Piao menjadi lega.
Karena dari sikap dan ucapannya telah menunjukkan kalau ia benar-benar telah sembuh dari tekanan batin yang selama ini me-nyiksanya.
Dan Sang Piao tahu, kenapa gadis itu tidak mengenalnya.
"Aku sangat gembira kau telah sembuh!"
Kata Sang Piao sambil terus melangkah mendekati, hingga akhirnya dia tegak di hadapan gadis itu.
"Sakit?"
"Begitulah! Kau dalam keadaan hilang ingatan saat kutemukan di Bukit Lodan."
"Hilang ingatan? Jadi penyakit itu yang membuat aku tidak mengenal kau selama ini?"
Tanya gadis itu.
"Begitulah! Dan sekarang kau telah sembuh dari pe-nyakit yang menekan batinmu selama ini!"
Kata Sang Piao ramah dengan bibir yang tak henti-hentinya me-nyunggingkan senyum.
Dalam ketermanguan itu, wajah gadis yang putih bersih tiba-tiba bersemu merah.
Tapi kemudian wajah cantik itu berubah menjadi sangat pias.
Dia ingat peristiwa naas sebelum mengalami tekanan batin yang sangat hebat itu.
Terbayang oleh gadis itu, bagaimana neneknya mati dibantai empat orang dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, ketika berusaha menyelamatkan dirinya yang hendak diperkosa.
Pada saat itu dua orang dari me-reka menyeret lengan neneknya lalu membantai pe-rempuan tua itu dengan sebilah pedang hingga tewas.
Setelah melihat perempuan tua yang tidak berdaya itu tewas, keempat orang itu segera memaksanya untuk melayani nafsu birahi hingga ia tak sadarkan diri.
"Nenek! Oh, nenekku!"
Keluh gadis itu seraya menu-tup wajahnya yang mulai dibasahi telaga bening yang mengalir lewat celah-celah bulu matanya.
"Tenanglah!"
Ucap Sang Piao menenangkan.
"Tidak, nenekku telah mati oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka!"
Sahutnya dalam isak tangis.
"Aku ha-rus membalas dendam pada iblis-iblis terkutuk itu!"
Lanjut gadis tadi dengan suara yang bernada geram. Sang Piao tersenyum sambil menyentuh kedua ba-hu gadis itu dengan lembut.
"Tenanglah, orang-orang Iblis Pulau Neraka telah kami serang. Dan sekarang mereka sudah tidak lagi berkeliaran di negeri ini. Mereka sudah tewas semu-anya!"
Kata Sang Piao.
Dia tidak tahu kalau sebelas orang dari pasukan Iblis Pulau Neraka masih ada yang hidup.
Karena sejak penyerangan itu, tidak ada lagi kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka.
Bahkan ia sendiri tak pernah melihatnya lagi.
"Kau...! Kau telah membunuh orang-orang jahat itu?"
Tanya gadis itu termangu-mangu.
"Bukan aku. Tapi seluruh keluarga Bongkap!"
"Bongkap?"
Samar-samar gadis itu mengetahui na-ma yang baru saja disebutkan oleh Sang Piao.
Menurut neneknya ketika masih hidup, di negeri Selat Malaka telah berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang lelaki gagah berani dari keturunan Tionghoa yang bernama Bongkap.
"Jadi, sekarang aku berada dalam lingkungan raja?"
Tanya gadis itu lagi. Sang Piao mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, terima kasih atas pertolonganmu!"
Ucap gadis itu. Lalu dia menjatuhkan diri dan berlutut di depan Sang Piao.
"Siapa namamu?"
Tanya Sang Piao yang sejak mem-bawa gadis itu ia belum mengenal namanya.
"Namaku Thong Mey. Almarhum orang-tuaku ber-asal dari negeri Tiongkok. Sedangkan aku sendiri dila-hirkan di sini!"
Sahut gadis itu sambil menjelaskan as-al keturunannya.
"Nah, Thong Mey, bangkitlah! Janganlah kau ber-simpuh begitu di depanku. Aku bukan pembesar yang patut kau hormati. Aku hanya seorang pengawal kera-jaan!"
Kata Sang Piao merendah, tidak dibuat-buat. Ia memang merasa risih mendapat penghormatan yang berlebihan seperti itu.
"Tapi kau telah berjasa. Kau telah menyelamatkan aku dari penderitaan yang menyuramkan masa depan-ku. Jika saja kau tidak menemukan diriku, entah ba-gaimana nasibku selanjutnya. Mungkin aku telah mati dengan keadaan tubuh menyedihkan!"
Sahut gadis itu dengan menengadahkan wajahnya untuk menatap pe-muda tampan yang masih berdiri di hadapannya.
Melihat wajah gadis yang menengadah itu, disertai mata sendu serta sisa-sisa air mata yang meleleh di pi-pinya, darah Sang Piao mendadak bergelora.
Tubuhnya panas.
Oh, alangkah cantiknya gadis menengadah seperti itu! Bisik hati Sang Piao.
Kemudian dia membungkuk seraya mengulurkan tangannya ke arah sang gadis.
Dan gadis itu pun menyambut dengan uluran tangan-nya pula.
Sehingga tangan lembut dan halus serta jari-jemarinya yang lentik itu berpegangan erat dengan tangan kasar Sang Piao.
Saat berpegangan, Thong Mey perlahan-lahan bangkit dan berdiri tepat di hadapan Sang Piao dengan jarak yang cukup dekat.
Ada sesuatu kehangatan yang menyelusup ke selu-ruh tubuh Sang Piao manakala tangannya memegang tangan lembut gadis itu.
Sehingga dalam gejolak dadanya yang tidak menentu itu, ia berkata dengan suara bergetar.
"Thong Mey!"
Thong Mey itu mendongakkan kepalanya sedikit dan menatap wajah pemuda di depannya dengan tata-pan sendu.
Sedangkan bibirnya yang mungil dan me-rah asli itu terbuka sedikit, membuat jantung Sang Piao berdetak-detak hebat.
Baru kali ini ia merasakan detak jantung yang demikian kuat.
Menggoncangkan seluruh perasaan dan saraf-sarafnya.
"Maukah kau mendengar kata hatiku yang selama ini kupendam?"
Tanya Sang Piao dengan jantung yang masih berdetak-detak.
"Katakanlah kalau memang hal itu penting dan berhak untuk kuketahui!"
Desah Thong Mey. Sang Piao diam sejenak. Lidahnya menjilat bibirnya yang mengering.
"Ketahuilah Thong Mey, semenjak pertama kali aku melihatmu dan melihat penderitaan yang kau alami, timbul rasa iba dan sayang dalam hatiku!"
Kata Sang Piao. Kemudian dia terhenti untuk menenangkan detak jantungnya sambil menelan ludah.
"Oleh karena itu,"
Sang Piao melanjutkan kata-katanya yang terputus.
"jika kau tidak keberatan, aku hendak mengam-bilmu sebagai istriku!"
Thong Mey terkejut sekali mendengarnya.
Dia me-rasa berhutang budi pada pemuda tampan yang telah menyelamatkan jiwanya dari penganiayaan dan teka-nan batin yang cukup hebat.
Dan sekarang, pemuda itu menyatakan secara berterus-terang rasa cintanya yang tulus dan hendak menjadikannya sebagai istri.
Sebenarnya hati Thong Mey sangat gembira men-dengar keterus-terangan pemuda itu.
Sejak ia melihat pemuda itu hatinya memang langsung terkesan.
Apa-lagi ketika mendengar tutur katanya yang lemah-lembut.
Namun ketika menyadari dirinya telah kotor, tidak suci lagi akibat perbuatan empat orang Iblis Pulau Neraka yang memperkosanya beramai-ramai, ia menjadi sedih.
Dan dengan wajah serta suara sendu, gadis itu berkata.
"Ja..., jangan, Koko! Jangan mencintai aku!"
Ucap gadis itu tersendat. Sedangkan kepalanya tampak tertunduk.
"Mengapa? Apakah karena aku seorang pengawal raja?"
Tanya Sang Piao agak tersentak.
"Bukan. Bukan itu!"
Sahut Thong Mey cepat.
"Lalu?"
Desak Sang Piao.
"Aku bukanlah gadis yang patut dicintai. Aku tak mempunyai kehormatan yang dapat dibanggakan lagi!"
Jawab Thong Mey dengan butir-butir air mata yang kembali merembesi celah-celah bulu matanya. Lalu meliuk-liuk ke pipi seperti air sungai yang mengalir di dekatnya.
"Aku tahu. Aku tahu semua itu,"
Sahut Sang Piao cepat.
"Tapi apakah lantaran kau telah ternoda, kau tidak berhak menerima cinta serta kasih sayang dari lelaki yang benar-benar ingin menjadikanmu sebagai istri?"
Thong Mey diam. Ia masih sibuk dengan isak ta-ngisnya.
"Tidak, Thong Mey. Semua orang berhak menerima cinta dan kasih sayang, walau bagaimanapun rusak dan hinanya orang tersebut. Sebab cinta dan kasih sayang merupakan anugerah Tuhan yang diberikan ke-pada setiap orang. Walaupun kadar cinta dan kasih sayang yang dimiliki berbeda-beda!"
Lanjut Sang Piao dengan semangat yang menyala-nyala.
Betapa terenyuhnya hati Thong Mey mendengar tu-tur kata lembut dan puitis yang diucapkan oleh pemu-da itu.
Baru kali ini ia berjumpa dengan seorang pemuda.
Dan sekali berjumpa, langsung berhadapan dengan lelaki tampan yang mempunyai perasaan halus serta menghargai kehormatan wanita.
Oleh karena itu, ia semakin terharu mendengar kata-kata yang diungkapkan dengan penuh perasaan oleh Sang Piao.
"Apa kata orang nanti jika Koko yang memiliki wa-jah tampan dan berjiwa ksatria memiliki istri yang sudah ternoda? Apa itu tak akan merusak nama Koko yang harum?"
Desah Thong Mey setelah dapat mena-han tangis dan getaran hatinya.
"Kewibawaan dan keharuman nama seseorang bu-kan dari pengaruh kekasih atau istri yang mendam-pinginya. Tapi dari perbuatan orang tersebut. Kalau tingkah laku kita buruk maka akan buruk pula nama yang kita sandang. Tapi kalau perangai dan budi pe-kerti kita baik, maka harum pula nama yang kita sandang itu!"
Kata Sang Piao penuh pemikiran matang.
Ini wajar! Karena usianya jauh lebih tua dibanding dengan usia gadis di hadapannya.
Tiga puluh lima dan enam belas tahun.
Sungguh perbedaan yang mencolok.
Lagi-lagi Thong Mey terkesan dengan kalimat-kali-mat yang meluncur dari bibir pemuda yang berdiri di depannya itu.
Sehingga ia hanya dapat diam dan mendengar dengan penuh kekaguman.
"Aku tidak menerima alasanmu seperti itu. Tapi ka-lau kau menolak cintaku dengan alasan lain, aku tidak memaksa. Cinta bukan paksaan. Cinta lahir dari na-runi yang murni!"
Kata Sang Piao akhirnya. Hening. Hanya desauan angin yang mengusik tubuh kedua orang itu. Sehingga rambut mereka tampak meriap-riap. Seolah-olah turut menyejukkan hati keduanya.
"Koko...!"
"Sang Piao namaku!"
"Apakah Koko Sang tidak menyesal?"
Tanya Thong Mey dengan sepasang matanya yang redup. Sang Piao menggeleng.
"Sungguh?"
"Kau bisa buktikan."
Thong Mey melenguh.
"Tapi aku punya satu permintaan!"
"Apa itu?"
Tanya Sang Piao cepat.
"Ajari aku ilmu silat agar tidak selalu ditindas oleh orang-orang yang gemar mengumbar nafsu iblis!"
"Tentu. Tentu! Aku akan mengajarkan apa yang ku-miliki padamu. Malah seluruh orang yang bergabung dengan keluarga Bongkap!"
Sahut Sang Piao cepat. Disertai wajahnya yang berseri-seri.
"Sungguh?"
Tanya Thong Mey dengan sendu.
"Aku bukan orang yang suka mengumbar keboho-ngan dan kepalsuan-kepalsuan untuk kepentingan pribadi!"
Tegas Sang Piao meyakinkan. Wajah Thong Mey tampak segar berseri-seri men-dengar ucapan pemuda yang mencintainya itu. Mata-nya pun tampak berkerjap-kerjap ketika memandang Sang Piao.
"Perkenalkan aku dengan Bongkap!"
Ucap Thong Mey mengalihkan pembicaraan. Sejak pemuda tadi me-nyebut nama Bongkap keinginan itu menggayuti ha-tinya.
"Tentu. Sekarang juga aku akan mengajakmu menghadapnya!"
Sahut Sang Piao dengan wajah gembi-ra.
Senang karena telah mendapatkan calon istri yang selama ini diidamkan.
Dan calon istri itu seorang gadis cantik yang masih muda belia.
*** Waktu terus berjalan.
Matahari bergeser, tepat di atas kepala.
Membuat panasnya seakan hendak membakar seluruh penghuni bumi.
Dalam keadaan panas seperti itu, dua belas pe-nunggang kuda tampak di atas Bukit Tengkorak, se-buah bukit yang berdekatan dengan Bukit Setan.
Se-hingga bila orang-orang Perguruan Topeng Hitam hen-dak keluar, mereka harus melewati bukit itu.
Dua belas penunggang kuda bercelana hitam model pangsi serta berbaju hitam model koko adalah orang-orang Iblis Pulau Neraka dan Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang masing-masing bemama Gombreh, Resmolo, dan Sentanu.
Mereka bergabung dengan Iblis Pulau Neraka setelah mendapat persetujuan dari Ong Lie, pengganti Gonggo Gung yang telah tewas akibat gempuran Bong Mini, Bongkap, dan pengikutnya.
Dan sekarang, sisa pengikut Iblis Pulau Neraka tengah melakukan penyergapan terhadap orang orang Perguruan Topeng Hitam yang dituduh telah menggempur Pulau Neraka dan membunuh pemimpinnya.
Dari arah yang berlawanan, dua puluh penunggang kuda lain tampak memacu kuda tempat di mana ke-dua belas orang tadi berada, adalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang hendak terjun ke perkam-pungan-perkampungan untuk melaksanakan aksi.
Me-rampok, memeras rakyat, dan menculik wanita-wanita cantik.
Di antara dua puluh orang Pasukan Perguruan To-peng Hitam yang dipimpin oleh Giwang itu, tampak seorang pemuda gagah dan tampan yang memiliki lu-kisan naga emas di bagian dada kanan bajunya yang berwarna kuning.
Pemuda itu tidak lain Khian Liong.
Dia tampak bercakap-cakap sebentar dengan Giwang, pemimpin pasukan, kemudian bersama empat orang lain dia memacu kuda lebih cepat lagi, meninggalkan Giwang dan pasukan.
"Hm..., ternyata orang yang memiliki baju berlukis naga emas adalah seorang sekutu Perguruan Topeng Hitam!"
Gumam seorang dari kawasan Iblis Pulau Ne-raka yang terus mengamati gerak-gerik mereka. Dia bernama Jurik yang dipercaya Ong Lie untuk memim-pin pasukan.
"Lalu, siapa gadis bertubuh mungil yang dulu ikut menyerang pasukan kita bersama pemuda itu?"
Tanya Seyton yang menunggang kuda di sebelahnya (lihat episode 4. 'Iblis Pulau Neraka').
"Itulah yang menjadi tanda tanya bagi kita,"
Sahut Jurik.
"Apakah gadis itu juga pengikut Perguruan Topeng Hitam?"
"Entahlah! Tapi aku sendiri tidak yakin bila gadis semuda dan secantik itu mau bersekutu dengan o-rang-orang semacam mereka!"
Sahut Jurik yang sem-pat melihat Bong Mini pada pertempuran beberapa waktu lalu.
"Aku pun berpendapat demikian. Nyatanya, gadis itu tak terlihat di antara pasukan itu!"
Sambut Seyton pula sependapat. Iring-iringan pasukan berkuda mulai mendekati le-reng bukit. Dan ketika mereka sudah benar-benar hampir dekat dengan pasukan Iblis Pulau Neraka, tiba-tiba Jurik yang menjadi pemimpin pasukan memberi aba-aba.
"Seraaang...!"
Saat itu juga, sebelas orang lainnya langsung meng-hambur ke arah pasukan Perguruan Topeng Hitam, di-sertai lengkingan-lengkingan tinggi, membelah kehe-ningan di sekitar Bukit Tengkorak.
Trek trek trekkk! Trang trang trangngng! Suara derap langkah kuda dan denting pedang-pedang terhunus dari sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang diarahkan ke pasukan Perguruan Topeng Hitam terdengar susul-menyusul.
Pasukan Perguruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Giwang dan Khian Liong tampak terkejut menda-pat serangan mendadak itu.
Sehingga pasukan berku-da yang tadi bergerak rapi, kini menjadi kacau-balau.
Bahkan lima di antara mereka ada yang langsung tum-bang dan mati terkena tebasan pedang lawan.
"Lawan...! Mereka orang-orang Iblis Pulau Neraka!"
Teriak Khian Liong.
Dia mengenal orang-orang Iblis Pulau Neraka dari pakaian yang dikenakannya.
Enam belas penunggang kuda dari Perguruan To-peng Hitam langsung menyambut lawan.
Apalagi keti-ka melihat empat temannya mati terkena senjata la-wan, mereka semakin geram.
Tidak begitu lama, Bukit Tengkorak yang biasanya sepi dan jarang dilalui orang, kini ramai oleh pekikan dari kedua pasukan serta denting senjata yang beradu.
Trang trang trangngng! Benturan senjata dari masing-masing lawan serta kilatan-kilatan sinarnya, menambah ramai suasana.
Suasana penuh darah.
Pasukan Perguruan Topeng Hitam berhasil mene-waskan enam lawan.
Tetapi pasukan Iblis Pulau Nera-ka pun tidak sedikit membunuh lawannya.
Bahkan ada pula di antara mereka yang terluka dan tak mam-pu melakukan serangan lagi.
Pasukan Iblis Pulau Neraka terus mendesak dan mengepung lawan dengan dahsyat, hingga tidak heran kalau lawannya banyak yang berjatuhan tanpa dapat bernapas lagi.
Sehingga dalam waktu singkat, keme-nangan berada di tangan mereka.
Hanya Giwang dan Khian Liong saja yang berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke markas mereka di Bukit Setan, me-ninggalkan enam lawan yang masih duduk gagah di atas punggung kuda.
"Apa yang harus kita perbuat selanjutnya?"
Tanya Seyton ketika Giwang dan Khian Liong menghilang dari pandangan matanya.
"Kita tidak mungkin terus ke Bukit Setan dalam jumlah yang seperti ini. Oleh karena itu, sebaiknya ki-ta mencari Ong Lie untuk melaporkan pemuda yang memiliki lukisan naga emas itu!"
Sahut Jurik berpendapat.
"Aku pikir juga begitu!"
Timpal Seyton sependapat.
Kemudian mereka berenam menghela kudanya cepat, meninggalkan Bukit Tengkorak.
*** Siang yang terik.
Matahari bersinar garang, seperti memuntahkan cahayanya di atas kepala manusia.
Memaksa orang-orang yang terkena sengatannya un-tuk berlindung di bawah pepohonan rimbun atau di bawah payung-payung terkembang.
Di atas bukit Hutan Roban, seorang pemuda yang mengenakan baju bertapis jubah kuning tampak se-dang menggeliatkan tubuhnya.
Ia baru saja terjaga saat matahari siang yang terik membakar tubuhnya.
Kemudian ia bangkit perlahan dan berlindung di ba-wah pohon rindang.
Sedangkan sepasang matanya yang sipit menyebar ke sekeliling, seperti mencari sesuatu.
Pandangannya tiba-tiba menangkap sesosok baya-ngan mungil ke arahnya.
Dan sebelum ia menyadari siapa sosok bayangan itu, tiba-tiba seorang gadis mungil berwajah cantik dengan baju merah ketat berdiri di depannya.
Wajahnya cerah dengan bibir yang selalu terse-nyum.
Sedangkan rambut bagian belakangnya yang dibiarkan tergerai bebas tampak berayun-ayun, tersi-bak angin panas yang berlalu.
Pemuda tampan yang semula duduk bersandar di bawah rimbunnya pohon tampak tersentak kaget.
Du-duknya yang tadi santai, kini tegak menegang, me-mandang gadis mungil berwajah cantik di depannya.
Lekuk-lekuk tubuh gadis itu jelas membayang lewat pakaian ketat yang membungkusnya.
Sepasang mata yang hitam jernih terlihat berpijar-pijar ke arahnya.
Sehingga pemuda itu benar-benar terpesona.
"Bagaimana? Sudah sembuh sakitnya?"
Tanya gadis bertubuh mungil yang tidak lain Bong Mini sambil mengumbar senyumnya.
"Sudah. Sudah sembuh! Tubuhku sudah dapat ber-gerak seperti biasa!"
Sahut pemuda tampan yang tidak lain Ong Lie dengan sikap gugup.
"Racun pada tongkat itu memang amat berbisa. Le-wat satu hari saja, orang yang terkena racun itu akan mati jika tidak segera ditolong!"
Tutur Bong Mini seraya mengambil tempat duduk di sebelah kiri depan pemuda itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau saja tidak ada kau, tentu aku sudah mati sejak kemarin!"
Ucap Ong Lie yang baru ingat kalau gadis itulah yang telah menyelamatkan nyawanya dari ujung tombak Iblis Pencabut Nyawa.
Dia menyadari benar, betapa tinggi ilmu yang dimiliki gadis bertubuh mungil itu.
Ia merasa kalau ilmunya pun jauh di bawah gadis itu.
Se-hingga Ong Lie bersikap hormat dan penuh kekagu-man pada Bong Mini, walaupun usianya jauh lebih tua dari gadis itu.
Bong Mini tersenyum mendengar ucapan Ong Lie tadi.
Dan dengan gerakan bola matanya yang indah, ia menoleh ke wajah tampan lawan bicaranya.
"Sebagai manusia sudah selayaknya kita tolong-me-nolong, bahu-membahu dalam segala kesulitan!"
Ujar Bong Mini merendah. Ong Lie terdiam. Hatinya benar-benar mengagumi gadis di hadapannya. Bukan saja karena kecantikan-nya, akan tetapi juga karena kebersihan hati dan keramah-tamahannya.
"Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa bisa sampai di tempat ini?"
Tanya Ong Lie ingin tahu.
"Namaku Bong Mini. Ada pun keberadaanku di tem-pat ini hanya kebetulan saja!"
Sahut Bong Mini.
Ong Lie terdiam.
Ia sudah mulai punya firasat kalau gadis yang berada di hadapannya pasti orang yang dicari selama ini.
Gadis yang akan diajaknya untuk bersekutu melawan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Namun demikian ia tetap diam, ingin mengetahui pri-badi gadis itu lebih dalam lagi.
"Nama kau sendiri siapa?"
Bong Mini balik berta-nya.
"Namaku Ong Lie!"
Sahut pemuda tampan itu cepat. Sengaja ia tidak menyebutkan asal-usulnya, khawatir rahasianya yang menjadi pengikut Iblis Pulau Neraka akan terbongkar.
"Lalu, kenapa kau bisa bentrok dengan empat lelaki itu?"
Tanya Bong Mini pura-pura tidak tahu.
"Aku memang sengaja menghadang mereka!"
"Alasannya?"
Pancing Bong Mini lagi.
"Mereka orang-orang yang hendak bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Ong Lie. Bong Mini mengangguk-angguk. Sesungguhnya ia sendiri sudah tahu semua itu, dari awal penyergapan sampai pertempuran antara Ong Lie dengan Iblis Pen-cabut Nyawa. Namun demikian ia ingin mengetahui le-bih jauh lagi maksud pemuda itu.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Pergu-ruan Topeng Hitam?"
Lagi-lagi Bong Mini memancing.
Ong Lie terdiam beberapa saat mendengar pertanya-an Bong Mini.
Pikirannya menimbang-nimbang, apa-kah harus berterus terang atau tetap menyembunyi-kan siapa dirinya yang sebenarnya.
Bila dia membuka kedoknya, tentu hal itu akan mengejutkan si gadis.
Dan mungkin akan mengundang kemarahannya.
Ka-rena gadis itu sendiri pernah menjadi korban perbuatan empat temannya.
Tapi kalau tetap memperta-hankan niatnya semula, ia tidak sampai hati.
Meng-ingat gadis itu telah berbuat baik kepadanya.
Menyelamatkan jiwanya saat nyaris mati di ujung tombak lawan.
"Aku memang punya persoalan yang harus disele-saikan secepatnya dengan Perguruan Topeng Hitam,"
Sahut Ong Lie datar.
"Persoalan lama?"
Ong Lie menggeleng pelan.
"Orang-orang Perguruan Topeng Hitam telah mela-kukan pembantaian terhadap perguruanku. Bahkan pemimpinku tewas di tangan mereka!"
Sahut Ong Lie.
"Apa nama perguruanmu?"
Tanya Bong Mini sung-guh-sungguh. Matanya mencorong tajam menatap wa-jah pemuda itu.
"Iblis Pulau Neraka!"
Sahut pemuda itu tenang.
Se-dangkan matanya tetap memandang Bong Mini, ingin mengetahui reaksi gadis itu setelah ia membuka rahasia dirinya.
Bong Mini tersentak bukan main mendengar nama Iblis Pulau Neraka.
Ia tidak mengira sama sekali kalau pemuda berwajah tampan dan pernah ditolongnya merupakan salah satu anggota perkumpulan Iblis Pulau Neraka.
Perkumpulan yang telah menghancurkan ru-mah dan para prajurit papanya.
Bahkan sempat mem-buatnya pingsan selama satu hari satu malam ketika terkena jarum hitam beracun.
"Aku tahu, kau akan terkejut setelah mendengar pe-ngakuanku ini. Karena selama ini sepak-terjang per-kumpulanku sangat merugikan rakyat negeri ini. Oleh karena itu, aku siap menerima hukuman apa saja yang akan kau lakukan terhadap diriku sekarang ini!"
Kata Ong Lie mengandung nada pasrah.
Bong Mini menghela napas panjang.
Jelas ia tak mungkin memberikan hukuman kepada orang yang te-lah berterus terang padanya.
Namun yang ia heran-kan, kenapa pemuda itu tiba-tiba berubah sikap ke-padanya dengan mengatakan siapa dirinya yang sebe-narnya? "Apa yang mendorongmu bersikap terus terang ke-padaku kalau kau seorang pengikut perkumpulan Iblis Pulau Neraka?"
Tanya Bong Mini.
"Semula aku berniat hendak membujukmu untuk bergabung dengan perkumpulanku dalam memberan-tas orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Hal ini didorong oleh keinginanku untuk menguasai negeri ini. Ta-pi setelah aku bertemu denganmu, tiba-tiba niat itu berubah. Tidak layak bagiku mengelabui orang yang telah berhutang budi padaku. Apalagi orang itu mem-punyai sifat welas asih sepertimu!"
Sahut Ong Lie. Bong Mini tercenung mendengar pengakuan pemu-da itu.
"Tahukah kau, siapa yang melakukan penyerangan terhadap perkumpulanmu?"
Tanya Bong Mini.
"Secara pasti tidak. Tapi aku yakin kalau orang-o-rang Perguruan Topeng Hitam yang telah melakukan-nya!"
Sahut Ong Lie. Bong Mini menggeleng tenang.
"Aku dan papaku yang telah melakukan itu semua!"
Sahut Bong Mini mantap. Matanya memandang tajam pada pemuda itu. Ong Lie tersentak kaget mendengar pengakuan ga-dis di hadapannya. Ia tidak mengira kalau gadis itu mampu menaklukkan pemimpinnya yang terkenal beringas dan berkepandaian tinggi.
"Kau ingin tahu, kenapa aku melakukan itu?"
Ong Lie diam. Ia masih terpana terhadap pengaku-an Bong Mini tadi.
"Karena orang-orang Iblis Pulau Neraka telah mela-kukan kesalahan terhadapku. Mereka membantai o-rang-orangku, merusak rumah dan merampok seluruh hartaku!"
"Jadi, kau putri Bongkap?"
Tanya Ong Lie, langsung menebak.
"Ya!"
Lagi-lagi pemuda itu terkejut mendengar pengakuan Bong Mini. Pikirnya, pantas kalau teman-temannya dulu melihat Bong Mini menunggang kuda bersama-sama Bongkap.
"Aku makin kalap setelah melihat seorang gadis ke-hilangan ingatan akibat perbuatan biadab orang-orangmu. Atau mungkin kau sendiri yang melakukan-nya?!"
Tuduh Bong Mini (lihat episode 4. 'Iblis Pulau Neraka').
"Sungguh! Aku tak pernah melakukan itu. Selama aku masuk perkumpulan Iblis Pulau Neraka, aku tak pernah keluar bersama-sama pasukan. Pemimpinku memperbolehkanku keluar bila memberikan tugas-tugas khusus yang lebih penting seperti membujukmu untuk bergabung!"
Sahut Ong Lie.
Bong Mini menatap sorot mata Ong Lie dalam-da-lam.
Dia melihat tidak ada kebohongan dalam sorotan mata pemuda itu.
Sehingga ia percaya kalau pemuda itu sungguh mempunyai sifat jujur dan ksatria.
Hanya lingkungan perkumpulan Iblis Pulau Neraka yang membuatnya liar.
Apa yang menjadi penilaian Bong Mini itu memang benar.
Sesungguhnya keberadaan Ong Lie di Perkum-pulan Iblis Pulau Neraka bukan atas kehendaknya sendiri.
Ia berada di sana karena diajak oleh Gonggo Gung, Ketua Iblis Pulau Neraka sejak berumur enam belas tahun.
Waktu itu ia hidup sebatang kara.
Kedua orang-tuanya tewas ketika terjadi huru-hara di negerinya sendiri, negeri Lanoa.
Dalam kehidupannya yang ham-pa, tiba-tiba datang Gonggo Gung dan menawarkannya ilmu bela diri.
Sebagai anak remaja tentu saja Ong Lie senang mendapat tawaran itu.
Sehingga ia pun ber-sedia menjadi pengikut Gonggo Gung dan belajar kungfu padanya.
Ketika ia sudah cukup pandai dalam bermain silat, Gonggo Gung mengajaknya untuk berlayar ke Selat Malaka.
Saat itu ia tidak tahu apa tujuan Gonggo Gung berangkat ke Selat Malaka bersama para pengi-kutnya.
Dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui kalau tujuan Gonggo Gung berlayar tidak lain hendak melakukan pembajakan terhadap kapal-kapal sauda-gar kaya atau pun nelayan.
Dalam pembajakan itulah ia pertama kali diperintah untuk terjun memimpin pasukan.
Karena merasa dirinya berhutang budi pada Gonggo Gung, maka perintah itu terpaksa ia jalankan walau-pun dengan hati berat.
Apa yang diperintahkan Gonggo Gung itu ternyata hanya sebuah ujian.
Sampai di mana kesetiaannya terhadap Gonggo Gung yang telah banyak menurun-kan ilmu kepadanya.
Setelah tiga kali ia memimpin teman-temannya dalam membajak, Gonggo Gung tak pernah lagi menyuruhnya atau mengikutsertakan diri-nya dalam setiap aksi pembajakan ataupun perampo-kan.
Dia diberi tugas khusus sebagai penyelidik atau membujuk orang-orang tertentu sesuai dengan perintah Gonggo Gung.
Seperti juga perintah membujuk Bong Mini untuk bersekutu dengan orang-orang Iblis Pulau Neraka.
Itulah sekilas kisah tentang pemuda yang bernama Ong Lie.
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?"
Tanya Bong Mini setelah beberapa saat hening.
"Aku minta maaf atas kesalahan orang-orang Iblis Pulau Neraka yang selama ini membuat kesalahan ke-padamu dan rakyat banyak. Selanjutnya, aku ingin menyertaimu dalam memperjuangkan rakyat negeri ini!"
Betapa gembiranya hati Bong Mini mendengar jawa-ban itu.
Ini menunjukkan kalau pemuda itu benar-benar telah menyadari kekeliruannya selama ini.
Di saat mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba muncul enam orang berkuda ke arah mereka.
Mereka tidak lain Jurik dan teman-temannya.
"Sungguh letih aku mencarimu. Rupanya kau di si-ni bersama seorang gadis!"
Kata Jurik sambil melom-pat dari atas punggung kuda. Ketika melihat Bong Mini, wajahnya tampak terkejut. Sebab gadis itulah yang direncanakan Gonggo Gung untuk dibujuk agar bersekutu dengan pasukannya.
"Mana yang lain?"
Tanya Ong Lie sebelum Jurik mengajukan pertanyaan lebih jauh lagi.
"Teman-teman yang lain tewas ketika terjadi per-tempuran dengan orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam, termasuk Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang bersekutu dengan kita!"
Sahut Jurik menje-laskan. Sedangkan matanya sesekali melirik ke arah Bong Mini. Begitu pula dengan yang lain.
"Jadi kalian sempat menyerbu mereka?"
"Ya. Semua pasukan Perguruan Topeng Hitam te-was. Hanya dua pemimpin pasukannya saja yang ber-hasil meloloskan diri!"
Cerita Jurik sambil beralih memandang pada Bong Mini.
"Nona, apakah Nona kenal dengan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas?"
Bong Mini diam, mengingat-ingat pemuda yang di-sebutkan Jurik tadi.
"Hm... ya, aku kenal!"
Sahut Bong Mini setelah ingat kalau pemuda yang dimaksud orang itu Khian Liong.
"Ada hubungan apa antara Nona dengan pemuda itu?"
Tanya Jurik lagi ingin tahu.
"Aku sendiri baru mengenalnya. Tapi menurut pengakuannya, dia utusan rakyat negeri Manchuria untuk mencari papaku dan meminta bantuan menye-lamatkan rakyat dari penindasan rajanya!"
Sahut Bong Mini.
"Apa hubungan pemuda itu dengan Perguruan To-peng Hitam?"
Tanya Jurik lagi setengah mendesak. Membuat Ong Lie dan Bong Mini keheranan.
"Tidak ada. Malah dia akan membantu papaku un-tuk menumpas perguruan itu!"
"Dusta!"
Potong Jurik membuat Bong Mini dan Ong Lie terkejut.
"Maksudmu?"
Kini Bong Mini yang balik bertanya.
"Dia bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam. Dan dalam pertempuran yang kami lakukan, dialah yang memimpin pasukan bersama seorang temannya!"
Kata Jurik menjelaskan. Bong Mini tersentak. Hampir-hampir ia tidak per-caya dengan penjelasan lelaki tadi. Karena pemuda yang dituduh itu tidak mempunyai tampang jahat, apalagi bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Benarkah apa yang kau ucapkan itu?"
Tanya Bong Mini ragu.
"Nona bisa buktikan sendiri nanti!"
Sahut Jurik mantap. Bong Mini mengangguk-angguk. Tapi bukan berarti percaya terhadap laporan itu. Paling tidak, ia harus membuktikannya sendiri.
"Sudahlah! Persoalan mengenai pemuda itu ditunda dulu. Yang harus kalian ketahui, bahwa perlawanan kita sekarang terhadap Perguruan Topeng Hitam bu-kan atas nama Iblis Pulau Neraka, tetapi atas nama rakyat negeri Selat Malaka!"
Kata Ong Lie mengubah suasana percakapan.
"Heh, apa pula maksudmu?"
Tanya Jurik dengan wajah terkejut.
"Iblis Pulau Neraka telah mati. Dan sekarang kita berjuang untuk kepentingan rakyat!"
Sahut Ong Lie. Perubahan sikap Ong Lie tentu saja membuat te-man-temannya terkejut. Kecuali Seyton yang tampak bersikap tenang.
"Aku tidak menyangka kalau tekadmu cepat pupus hanya karena seorang wanita!"
Ejek Jurik dengan wa-jah geram.
"Terserah pendapatmu. Tapi sekarang aku menya-takan diri untuk bersatu dengan rakyat!"
Sahut Ong Lie.
"Baik kalau begitu. Mulai hari ini kita berpisah. Aku tetap akan membangun kembali Perkumpulan Iblis Pulau Neraka! Dan siapa di antara kalian yang berpihak padaku, silakan ikut!"
Tegas Jurik. Empat orang lainnya yang sejak tadi hanya berdiri langsung mengikuti langkah Jurik. Hanya Seyton saja yang berpihak pada Ong Lie. Karena sesungguhnya, dia sendiri sudah bosan hidup di tengah kejahatan yang selama ini dilakukannya.
"Seyton! Beresi mereka. Aku tidak ingin nantinya ia mengganggu ketenteraman negeri ini!"
Kata Ong Lie memberi perintah. Tanpa mengucapkan kata sepatah pun, Seyton yang memiliki tubuh pendek kekar, berkalung taring singa dengan baju koko terbuka segera melesat menghadang lima temannya yang belum jauh dari tempat itu.
"Jurik, hadapilah aku jika kau ingin membangun Perkumpulan Iblis Pulau Neraka kembali!"
Dengus Seyton dengan sorot mata mencorong.
"Rupanya kau pun telah ketularan si Ong Lie!"
Ejek Jurik.
"Tapi baik. Aku akan layani tantanganmu itu!"
Usai berkata begitu, ia langsung melompat setinggi sa-tu meter ke arah lawannya disertai pekikan yang amat nyaring.
Sedangkan golok di tangannya diangkat tinggi, siap dihujamkan ke leher Seyton Wut! Jurik mengarahkan golok ke leher Seyton dengan gerakan membacok.
Namun dengan cepat Seyton men-gelak dengan sedikit memiringkan tubuhnya ke bela-kang.
Sedangkan golok di tangannya pun siap memba-las serangan lawan.
Wut...! Bret! "Uhhh!"
Tangan Seyton yang memegang golok begitu cepat bergerak.
Tanpa disangka lawan, golok yang diayun-kannya itu berhasil membabat paha kiri lawannya hingga terhuyung jatuh.
Disusul dengan lemparan go-lok ke tubuh Jurik yang belum sempat bangkit Creb! "Aaakh!"
Ujung golok yang dilemparkan Seyton tepat menan-cap di perut lawan.
Seketika itu juga, tubuh Jurik langsung roboh kembali di atas tanah dan tak dapat berkutik lagi.
Melihat lawannya tewas, Seyton segera menghampi-ri dan mencabut golok yang menancap di perut Jurik sedalam dua puluh senti.
Kemudian ia berdiri tegak memandang empat orang temannya yang lain.
"Siapa lagi di antara kalian yang ingin menyusul kematiannya?!"
Tantang Seyton dengan sikap gagah.
"Cecunguk! Jangan dulu berlagak!"
Ujar satu dari keempat orang itu.
Kemudian tanpa komando, keem-patnya langsung menyerang Seyton dengan golok di tangan masing-masing.
Trang trang trangngng! Golok yang digenggam Seyton berusaha menangkis serangan empat buah golok yang menyambar-nyambar ke arahnya.
Sedangkan matanya terus mengamati kel-engahan lawan agar dapat melakukan serangan balik.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba tubuh Seyton melompat setinggi dua me-ter ke arah seorang lawan yang lengah. Kemudian ka-kinya menjejak punggung lawan dengan keras. Bug! "Aaakh!"
Lawan yang terkena hentakan kaki Seyton ter-huyung ke depan dengan wajah membentur sebuah batu besar hingga mengucurkan darah dan tak dapat bergerak lagi.
Melihat seorang temannya mati lagi, tiga orang lainnya segera memburu Seyton dengan golok terhunus dan bergerak lebih cepat lagi.
Dalam kepungan itu, tiba-tiba Seyton membuat ge-rakan yang tak terduga.
Tubuhnya mencelat setinggi dua meter dengan keadaan berputar seperti gangsing.
Dan dalam keadaan berputar itu, ia menghujamkan goloknya yang terhunus dengan sadis.
Wuttt! Crokkk...! Brettt! Pedang yang digenggam Seyton berhasil membacok kepala seorang lawan.
Sedangkan leher seorang lawan yang lain nyaris putus.
Tubuh keduanya hanya dapat berdiri limbung sebentar.
Selanjutnya roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Hiaaat!"
Sebuah teriakan melengking tiba-tiba terdengar dari mulut lawan yang masih hidup.
Bersama teriakan itu, tubuhnya langsung melesat cepat ke arah Seyton seraya menyabet-nyabetkan goloknya dengan buas hing-ga tak dapat lagi mengontrol posisi serangan.
Akibatnya, serangan jadi tak menentu, sehingga memberikan kesempatan baik bagi lawannya untuk melakukan serangan balasan.
Trang! Crokkk! Di saat goloknya menangkis, Seyton menyusulkan serangan balasan, tepat menggurat wajahnya.
Lawan yang terkena sabetan golok itu langsung me-lepaskan senjatanya untuk menutupi wajahnya yang sudah dialiri darah.
Seyton yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan ke-sempatan itu.
Dia langsung menghujamkan senjata bertubi-tubi ke tubuh lawan dengan penuh nafsu.
Da-lam waktu singkat lawannya tewas tanpa ampun lagi.
Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu-ran itu agak bergidik dan ngeri.
Walaupun ia seorang pendekar dan sering pula membunuh lawan dalam menumpas kejahatan, namun kalau menonton pertem-puran yang sadis begitu, perasaan ngeri menyusup pu-la ke hatinya.
"Aku kagum terhadap kepandaian dan perjuangan-mu yang akan membantuku!"
Ucap Bong Mini kepada Seyton yang kini telah berdiri tegak menghadapnya.
"Semua itu belum ada artinya, Nona. Aku masih menjadi seorang penjahat. Aku belum membuktikan kesetianku terhadap rakyat!"
Sahut Seyton tegas.
"Seharusnya kau tidak memiliki perasaan itu. Keta-huilah, Seyton! Aku amat kagum terhadapmu yang se-mula menjadi pemeras rakyat, kini berbuat sebaliknya. Dan itu telah kau tunjukkan dengan memberesi lima temanmu yang tak sejalan!"
Ucap Bong Mini. Seyton terdiam.
"Sudahlah, sekarang kita lanjutkan perjalanan!"
Ka-ta Bong Mini lagi.
"Ke mana tujuan kita?"
Tanya Ong Lie.
"Sebaiknya kita menemui papaku. Kita sampaikan laporan orang-orangmu mengenai pemuda yang me-ngenakan baju berlukis naga emas itu, agar papaku bisa bersikap lebih hati-hati lagi,"
Jawab Bong Mini.
Ong Lie dan Seyton mengangguk-angguk, menyetu-jui pendapat Bong Mini.
Setelah itu, mereka melan-jutkan perjalanan menuju Kampung Dukuh, di mana Bongkap dan pengikutnya tinggal.
*** Sebenarnya Kidarga geram melihat kedatangan Khian Liong dan Giwang yang membawa berita tentang kekalahan pasukannya dalam menghadapi serangan mendadak Iblis Pulau Neraka.
Tapi karena saat itu banyak para pendekar yang ingin bersekutu dengannya, maka kemarahannya bisa teredam.
Ditambah lagi de-ngan kabar kedatangan prajurit Kerajaan Manchuria yang akan tiba beberapa hari lagi untuk membantu pergerakannya, maka nyawa-nyawa anak buahnya yang tewas itu pun sudah tidak lagi diperhitungkan.
Pikirnya, masih banyak pengganti yang lebih tangguh untuk membalas kekalahan itu.
Sekaligus mewujud-kan cita-citanya menguasai negeri ini secara mutlak.
Tanpa ada gangguan dan pemberontakan, baik yang dilakukan Bongkap dan pengikutnya maupun yang di-lakukan Iblis Pulau Neraka.
Siang itu, Kidarga tampak duduk gagah menghada-pi tiga pendekar gagah yang menamakan perkumpu-lannya Siluman Ular Belang.
Tiga pendekar itu berjubah merah dengan kepala botak.
Umur ketiganya rata-rata sekitar lima puluh tahun dengan tinggi badan sekitar 1,63 meter.
Mereka besar dan berotot.
Wajahnya tenang, penuh simpatik.
Namun di balik ketenangannya itu, mereka memiliki sifat sadis yang tiada ban-dingnya.
Apalagi bila berhadapan dengan musuh.
Me-reka pantang melarikan diri walau terdesak.
Mati lebih baik daripada selamat jadi pecundang! Demikian sem-boyan dalam diri para pendekar tersebut.
Tiga Siluman Ular Belang mempunyai nama ma-sing-masing Chiang Su Kiat, Ji Sun Bi, dan Sim Lie King.
Ketiganya berasal dari kota Weining, Tiongkok.
"Bagaimana, Ketua. Apakah kami bisa diterima un-tuk membantu Perguruan Topeng Hitam yang Ketua pimpin? Tentu saja dengan perjanjian kalau kelak gerakan ini berhasil, kami dapat bagian atau kedudukan tinggi dan terhormat, sesuai dengan jasa-jasa kami!"
Ujar Chiang Su Kiat yang memimpin kedua temannya.
Wajah Kidarga yang hitam gesang itu tampak ber-seri mendengar pernyataan Chiang Su Kiat.
Pikirnya, bila ada orang yang ingin membantu dengan pamrih, tentu akan lebih bisa dipercaya.
Dengan wajah berseri ia berkata kepada ketiga Siluman Ular Belang.
"Jangan khawatir, jabatan panglima akan kuberi-kan jika kalian berhasil!"
"Terima kasih! Terima kasih, Ketua Perguruan!"
Ucap Chiang Su Kiat tersenyum senang.
Lalu dengan wajah masih gembira, dia bersama dua temannya sal-ing berpandangan dan tersenyum.
Di dalam menerima anggota baru, Kidarga telah me-netapkan persyaratan khusus bagi calonnya.
Di anta-ranya, menguji setiap pendekar yang akan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
Ini dilakukan karena musuh yang akan dihadapi bukanlah orang-orang sembarangan.
Di antaranya, Bongkap dan Bong Mini.
Dua orang ini yang menjadi musuh alot orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul dua pelayan muda yang cantik-cantik dengan membawa arak dan buah-buahan.
Kemudian setelah menyuguh-kan hidangan di atas meja, kedua wanita itu segera pergi lagi dengan langkah genit, membuat pinggul mereka yang padat berisi bergoyang-goyang.
Mengundang perhatian tiga pendekar Siluman Ular Belang.
"Raja Manchuria yang mengirimkan dua pelayan itu. Katanya, untuk membangkitkan semangat orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Kidarga ketika melihat tamunya terpesona terhadap kegenitan dua pelayan wanita tadi. Siluman Ular Belang sadar kalau sikapnya tadi di-perhatikan Kidarga, maka dengan cepat mereka mem-perbaiki sikapnya kembali.
"Ayo, nikmati hidangan segar ini!"
Kata Kidarga sambil menuangkan arak pada gelas tamu masing-masing.
Setelah itu mereka menikmatinya dengan pe-nuh kegembiraan.
Termasuk Khian Liong dan Giwang yang sejak tadi duduk mendengar percakapan antara Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang.
*** Sementara itu, seorang pemuda tampan berjalan gagah di sekitar Bukit Setan.
Pakaian yang dikenakan-nya setengah jubah warna putih.
Diteruskan dengan celana panjang yang juga berwarna putih dengan tali sepatu melilit sampai pertengahan betis.
Pemuda itu tidak lain bernama Baladewa.
Dia adalah saudara se-perguruan Bong Mini ketika berada di Gunung Muda, tempat Kanjeng Rahmat Suci, gurunya.
Walaupun sudah lama berpisah dengan Bong Mini dan sudah sampai di Bukit Setan, tapi ia belum juga dapat menyingkirkan wajah Bong Mini yang selama di Gunung Muda telah menjerat hatinya.
Pada setiap langkah dan pandangannya selalu terbayang wajah Bong Mini yang cantik, mungil dan menggemaskan.
Tanpa disadari, langkahnya terus diawasi oleh lima pasang mata pengikut Perguruan Topeng Hitam yang sengaja ditugaskan untuk menjaga ketat keadaan se-keliling bukit itu.
Kemudian lima orang berompi dan bercelana pangsi warna hitam itu segera melompat menghadang Baladewa dengan senjata pedang yang te-lah tergenggam di tangan masing-masing.
"Heh, Kecoa Buduk! Kau mau jadi pemberontak, ya!"
Bentak satu di antara kelima orang itu sambil menudingkan ujung pedang ke arah Baladewa. Baladewa yang sejak tadi pikirannya tertuju pada Bong Mini menjadi gelagapan. Sehingga ia tersentak kaget memandang lima penghadangnya.
"Tangkap dia! Hidup atau mati!"
Perintah lelaki tadi kepada empat temannya.
Mendapat aba-aba itu, keempat temannya segera memutar-mutar pedang yang digenggamnya dengan sangat mahir.
Sehingga sinar yang ditimbulkan oleh pedang-pedang itu tampak bergulung-gulung.
Setelah itu, barulah mereka menyerang Baladewa disertai lengkingan-lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Trang trang! Walaupun Baladewa terkejut dengan serangan men-dadak itu, tapi sempat pula ia mencabut pedang yang terselip di pinggang kirinya untuk menangkis serangan lima orang tersebut.
Kemudian ia membuat gerakan memutar sambil menyerang kelima lawannya.
"Hiaaat...! Huhhh!"
Tiba-tiba Baladewa menghentakkan kedua tangan dan perutnya setelah beberapa saat menarik dan me-nahan napas.
Ketika napasnya dihentakkan, kelima pengeroyoknya terhuyung beberapa langkah ke bela-kang.
Itulah ilmu 'Batin Raga Sakti' yang dipelajarinya dari Kanjeng Rahmat Suci ketika berada di Gunung Muda.
Sebuah ilmu yang berkekuatan dahsyat, namun tidak mematikan.
Cukup memberikan kesempatan un-tuk mengambil posisi lebih baik lagi.
Lima pengeroyoknya telah berdiri tegak kembali.
Mereka langsung melakukan serangan ke arah lawan-nya.
Namun pada saat itu pula, Baladewa mengelua-rkan suara lengkingan tinggi disertai lentingan tubuhnya yang melewati kepala para pengeroyoknya.
Dan ketika kelima orang itu mencoba menghalangi, Baladewa mendorong tangan kirinya yang sudah mengandung tenaga sakti Dewa Matahari yang sangat panas, se-hingga lima orang yang berusaha menghalanginya itu langsung terdorong mundur dan berteriak kepanasan.
"Monyet bego! Aku tidak punya urusan dengan ka-lian! Aku cuma ingin berjumpa dengan Ketua Pergu-ruan Topeng Hitam!"
Bentak Baladewa sambil mema-sukkan pedangnya kembali.
Sengaja ia tidak membu-nuh kelima orang itu agar tidak berkepanjangan.
Sebelum kelima orang itu kembali menyerang, Bala-dewa segera melesat menuju pintu gerbang yang dijaga oleh empat murid Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa kau dan hendak apa datang ke sini!"
Bentak seorang dari mereka dengan tatapan tajam, penuh se-lidik.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin ber-temu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Baladewa, memancing kemarahan empat penjaga ter-sebut. Karena kalau mereka marah dan melakukan penyerangan berarti akan memancing Kidarga untuk keluar.
"Tidak bisa! Ketua kami tidak bisa menerima tamu sembarangan jika tidak diketahui maksud tujuannya!"
Kata lelaki penjaga pintu gerbang itu sambil mencabut goloknya. Dan bersamaan dengan itu pula, lima orang lain yang tadi melakukan penghadangan segera mendekati pintu gerbang.
"Tahan orang itu. Dia pengacau!"
Teriak mereka de-ngan suara lantang. Baladewa memandang kelima orang itu dengan si-kap mengejek. Kemudian dengan suara yang sengaja dikeraskan ia berkata.
"Eh, apa sih sebenarnya mau kalian! Sudah kubilang, aku datang ke sini hendak bertemu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam. Bu-kankah sekarang ini dia sedang mengumpulkan para pendekar? Sekarang aku datang ke sini hendak me-nemuinya langsung. Tapi kenapa kalian menyambutku dengan kasar begitu? Beginikah cara orang-orang perguruan yang mempunyai nama besar dalam menyam-but tamunya?"
"Heh! Anak muda, dengar! Kau datang ke sini hen-dak menemui ketua kami, tapi kenapa tidak mau se-butkan nama? Ini jelas sangat mencurigakan dan aku harus menghadapimu seperti musuh!"
Bentak lelaki yang tadi bertanya di pintu gerbang. 'Tidak patut kalian mengenal namaku, kecuali pe-mimpin perguruan ini!"
Berang Baladewa.
"Tidak bisa!"
Bantah lelaki itu pula.
"Kalau aku memaksa, kalian mau apa?"
Tantang Ba-ladewa sengit.
"Aku terpaksa mengusirmu dengan kekerasan!"
Ka-ta lelaki tadi. Selanjutnya sembilan orang Perguruan Topeng Hitam itu segera mengurung Baladewa dengan senjata-senjata terhunus. Tapi sebelum senjata mereka melayang ke arah Baladewa, tiba-tiba terdengar suara lantang dan berat.
"Tahan!"
Mendengar bentakan itu, sembilan orang Perguruan Topeng Hitam yang mengurung Baladewa segera mem-batalkan niatnya.
Kemudian sambil memasukkan sen-jata kembali, mereka mengalihkan pandangannya ke arah mulut goa.
Di sana, mereka melihat Kidarga bersama tiga lelaki gagah yang tidak lain tiga pendekar Siluman Ular Belang.
Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang se-gera melangkah mendekati sembilan anak buahnya.
"Ada apa ribut-ribut?"
Tanya Kidarga seraya mena-tap tajam pada seorang anak buahnya. Lalu matanya melirik pada Baladewa yang juga tengah berdiri di antara mereka.
"Maaf, Ketua! Orang ini hendak menerobos begitu saja ke ruangan, Ketua!"
Lapor seorang muridnya.
Padahal pertanyaan Kidarga tadi hanya basa-basi saja.
Karena sesungguhnya dia sudah tahu apa yang me-nyebabkan keributan itu.
Sejak tadi dia berdiri di mulut goa menyaksikan tingkah laku pemuda asing ter-hadap anak buahnya.
Ketika seorang penjaga pintu itu menyebut ketua, Baladewa segera memberi hormat pada Kidarga.
"Bila tidak salah duga, Anda pasti Ketua Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Baladewa.
Sesungguhnya dia ti-dak mengenal sama sekali bagaimana sosok Ketua Per-guruan Topeng Hitam.
Apalagi selama terjun ke dunia keramaian, ia belum pernah berhadapan dengan o-rang-orang tersebut Sepasang mata Kidarga yang karam dan merah tampak begitu tajam menatap pemuda di hadapannya.
"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda. Aku yang bernama Kidarga, pemimpin perguruan ini! Lalu siapa kau sesungguhnya dan mengapa hendak berjumpa denganku?"
Baladewa sangat girang mendengar pertanyaan Ki-darga yang nampak lembut, penuh keramah-tamahan.
"Namaku Baladewa!"
Sahutnya singkat. Kidarga mengangguk-angguk.
"Aku baru mengenal namamu itu!"
"Tentu saja, Ketua! Selama ini aku hidup menga-singkan diri di pegunungan-pegunungan. Dan ketika mendengar kalau di sini membutuhkan orang-orang gagah, maka aku segera turun dan langsung ke tempat ini!"
Sahut Baladewa.
"Asalmu dari mana?"
Tanya Kidarga lagi ingin tahu.
"Aku berasal dari Kampung Padomorang. Tapi se-perti penjelasanku tadi kalau aku lama hidup di pegunungan. Jadi tidak tahu bagaimana warna kehidupan di desa itu. Apalagi desa-desa lain di negeri ini!"
Sahut Baladewa. Kidarga mengangguk-angguk kembali sambil mene-liti seluruh perawakan pemuda di depannya itu. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Bagaimana, Ketua?! Apakah keinginanku tadi da-pat diterima?"
Tanya Baladewa lagi. Bibir Kidarga tersenyum. Sepasang matanya menco-rong ke arah Baladewa. Hatinya sangat kagum terha-dap kesungguhan pemuda itu.
"Untuk mengetahui diterima atau tidaknya, kau ha-rus diuji terlebih dahulu!"
Kata Kidarga menjelaskan.
"Hal itu sudah aku ketahui, Ketua. Dan alangkah baiknya jika langsung dilaksanakan uji tanding itu!"
Kata Baladewa. Bibir Kidarga kembali mengembangkan senyum me-lihat ketidaksabaran pemuda itu.
"Baiklah! Mari menuju ruang berlatih!"
Ajak Kidar-ga.
Mereka bersama-sama menuju ruang latihan yang letaknya bersebelahan dengan goa kediamannya.
Di-ikuti pula oleh tiga pendekar Siluman Ular Belang.
Ruang berlatih silat itu cukup luas.
Dikelilingi oleh pagar tembok yang tingginya sekitar sepuluh meter.
Sedangkan lantainya berlapis semen.
Semua itu di-bangun atas biaya Raja Manchuria.
Dengan maksud agar tempat itu bisa pula dijadikan tempat tinggal para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
Baladewa melangkah tenang memasuki ruang lati-han itu.
Matanya tertuju pada beberapa anak buah Kidarga yang sedang berlatih silat.
Di saat Baladewa, Kidarga, dan tiga Siluman Ular Belang melangkah tenang, tiba-tiba seorang pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas menghampiri mereka dan memberi hormat kepada Kidarga.
"Saudara Baladewa, inilah Khian Liong. Dialah nan-ti yang akan menguji tingkat kepandaianmu. Dialah satu-satunya orang kepercayaanku selama ini. Ter-utama tugas-tugas khusus seperti penyelidikan!"
Kata Kidarga memperkenalkan. Baladewa dan Khian Liong saling berjabat tangan hangat. Wajah mereka tampak berseri.
"Sudah siap?"
Tanya Khian Liong.
"Siap!"
Sahut Baladewa sambil menganggukkan ke-palanya.
"Kalau begitu, mari kita segera mulai!"
Ajak Khian Liong.
Kemudian kakinya melangkah ke tengah ruang latihan.
Diikuti oleh Baladewa yang berjalan tenang dengan pandangan mengedari sekeliling ruangan yang luas itu.
Khian Liong dan Baladewa telah berada di tengah ruangan.
Sedangkan Kidarga dan beberapa puluh pengikut Perguruan Topeng Hitam siap menyaksikan pertandingan yang akan dimulai itu dengan sikap te-gang, menunggu siapa yang unggul dalam pertandi-ngan itu.
"Bersiaplah! Aku akan menyerangmu!"
Kata Khian Liong setelah keduanya saling berhadapan dengan si-kap gagah.
Selanjutnya, Khian Liong mengeluarkan seruan nyaring.
Tubuhnya berkelebat cepat hingga tak dapat diikuti pandangan mata.
Dengan gerakan cepat itu, ia melancarkan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke tubuh Baladewa.
"Hiaaat...! Hiyyy!"
Baladewa terkejut mendapat serangan yang begitu cepat.
Namun ia segera menyambut serangan itu de-ngan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Burung Ca-mar Terbang di Awan'.
Sebuah jurus yang membuat tubuhnya melenting ringan seperti seekor burung yang melayang-layang di udara.
Khian Liong yang membuka serangan pertama ber-balik kaget.
Begitu pula dengan penonton lainnya, termasuk Kidarga.
Mereka berkali-kali menyerukan rasa kagum karena pertandingan kali ini benar-benar me-narik.
Bahkan beberapa pendekar lainnya yang me-nyaksikan itu memberikan penilaian kepada Baladewa, kalau pemuda itu memiliki banyak macam ilmu.
Ter-bukti dari bermacam jurus yang ditampilkannya.
Ada silat dari Tiongkok, Pulau Jawa, dan dari negeri timur lainnya yang semua itu ia dapatkan saat bertapa.
Karena lewat bertapa itu, banyak tokoh-tokoh gagah yang telah mati ratusan tahun silam mengunjungi Baladewa dan memberikan ilmu yang mereka miliki kepada Bala-dewa.
Orang-orang tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat kepandaian Baladewa, termasuk Khian Liong sendiri.
Begitu pula dengan Kidarga yang selalu me-nunjukkan wajah gembira setiap melihat ketangkasan Baladewa.
Ia membayangkan bila nanti Perguruan To-peng Hitam berkuasa mutlak di negeri Selat Malaka ini lewat kehebatan pemuda yang sedang bertanding itu.
Ditambah lagi dengan pendekar-pendekar gagah lain.
"Hiyaaat!"
Dep! Khian Liong menyerang dada Baladewa lewat tela-pak tangan yang sudah dialiri ilmu tenaga dalam 'Lahar Panas Bergolak'.
Tapi dengan cepat Baladewa me-nyambut serangan itu dengan telapak tangannya pula, hingga kedua tangan itu berbenturan lalu melekat erat.
Baladewa pun telah mengerahkan ilmu tenaga dalam 'Angin Pendingin'.
Setelah agak lama telapak tangan keduanya me-nempel, tiba-tiba Baladewa melakukan gerakan yang tidak diduga oleh lawannya.
"Hiyaaat..!"
Dug! Heggg! Baladewa melompat sedikit sambil memutarkan ba-dannya mengelilingi tubuh lawan.
Dan dalam putaran itu kakinya menendang punggung Khian Liong dengan keras.
Membuat tubuh lawan terhuyung ke depan mencium lantai.
Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu terbelalak ketika melihat tubuh Khian Liong tersungkur dengan mulut mengucurkan darah yang cukup banyak.
Benar-benar sebuah pertandingan yang dah-syat.
Apalagi melihat Khian Liong belum dapat bangun, menahan rasa nyeri yang teramat sangat.
Kidarga melonjak kaget dari kursinya melihat orang yang selama ini dibanggakan tersungkur tak berdaya.
Namun ia juga senang mendapat tenaga pembantu yang lebih pandai dan muda seperti Baladewa yang ba-ru berumur delapan belas tahun.
"Cukup. Cukup! Aku sudah puas melihat kepandai-an silatmu!"
Ujar Kidarga dengan wajah berseri-seri menyambut Baladewa yang sekarang tengah membungkuk hormat di hadapannya.
"Hari ini, aku langsung menyatakan kepadamu bah-wa kau sudah sah menjadi pembantuku di Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Kidarga lagi dengan wajah berseri-seri.
Segala persoalan yang menggayuti pikirannya selama ini sirna setelah kedatangan Baladewa yang telah menjadi pengikutnya.
Kemenangan Baladewa dalam uji coba dengan Khi-an Liong bukan saja menyenangkan hati Kidarga, teta-pi juga para pendekar lain.
Hal ini disebabkan usianya yang masih muda.
Khian Liong sendiri merasa jengkel karena tersaingi.
*** Senja itu, kota Girik terlihat ramai oleh orang-orang gagah yang hilir-mudik.
Mereka tidak lain para pendekar yang datang dari berbagai pelosok negeri dengan tujuan yang tidak bisa diketahui secara pasti.
Sebab wajah beringas, lembut, atau simpatik tidak bisa jadi ukuran kalau mereka orang jahat atau sebaliknya.
Selain itu, di antara para pendekar saling menutupi diri.
Hanya sorot mata mereka saja yang menatap penuh kecurigaan antara satu dengan lain.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton memasuki rumah ma-kan dan penginapan yang agak mewah.
Dan di Rumah Makan Hin-Hin ini banyak tersedia makanan asli Tiongkok yang cukup lezat.
Ini sengaja disediakan agar orang-orang asli Tiongkok yang sudah lama tinggal di negeri Selat Malaka dapat mengenang kembali kampung halamannya lewat masakan yang disediakan.
Setiap hari Rumah Makan Hin-Hin selalu banyak dikunjungi orang-orang Cina, khususnya yang berasal dari negeri Tiongkok.
Hingga tidak heran jika Bong Mini dan kedua pengikutnya memasuki rumah makan itu.
Ruangan sudah banyak terisi.
Pengunjungnya ti-dak lain para pendekar yang baru menjejakkan kaki di negeri itu.
Sehingga antara satu dengan yang lain tidak saling mengenal.
Bong Mini menyebarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Di sana ada empat bangku kosong.
Mereka segera mengisi satu meja kosong.
Tidak berapa lama mereka duduk, makanan yang mereka pesan pun segera diantar oleh seorang pelayan yang juga masih keturunan Tionghoa.
Kemudian pesanan itu diletakkan di atas meja.
Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton segera menyantap hidangan yang sudah tersedia di atas meja dengan la-hap.
Maklumlah sejak pagi tadi perut mereka belum terisi makanan sedikit pun.
Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat hidangan yang disantap telah habis tanpa sisa.
Di saat Bong Mini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tiba-tiba matanya tertuju pada dua pemuda yang sedang duduk berhadapan, tak jauh dari tempat duduk Bong Mini.
Dia melihat kedua pemuda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun itu sedang mengadu kesaktian tanpa sepengetahuan para pendekar lain yang memenuhi ruangan itu.
Bong Mini mengalihkan pandangan pada pemuda berkumis yang tengah menunjukkan kebolehannya dengan menyalurkan hawa panas pada air anggur di segelas cawan.
Sehingga secawan anggur itu menda-dak panas dan mengeluarkan asap yang begitu tebal.
Andai saja orang yang menerima tidak memiliki kesaktian yang cukup tinggi, air anggur yang panas itu tidak akan berubah keadaannya sehingga yang menerima akan merasa kepanasan.
Pemuda berambut panjang yang bergelung di ba-gian atas kepalanya tampak melebarkan senyum, keti-ka melihat pemuda berkumis di hadapannya itu me-ngeluarkan hawa panas pada anggur yang kini di-sodorkan kepadanya.
Pemuda itu menerimanya sambil mengerahkan hawa dingin yang lebih sakti lagi agar dapat meredakan air panas itu.
Sehingga ketika cawan itu beralih ke tangannya, pemuda berambut panjang itu langsung mereguknya sampai habis, membuat la-wannya melongo tak berkedip.
Bukan dia saja, Bong Mini dan para pendekar lainnya yang kini menyaksi-kan atraksi itu pun terkejut dan kagum.
Mereka sama-sama mengagumi tenaga sakti yang dimiliki oleh kedua pemuda itu.
"Huh, kesaktian semacam itu saja dipamerkan!"
Ti-ba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita.
Dan ketika semua orang menoleh, terlihat seorang perem-puan muda berparas cantik tengah berdiri di sudut ruangan sambil mengumbar senyum.
Sedangkan pa-kaiannya yang berwarna kuning dan terbuat dari ba-han sutera halus terlihat begitu ketat, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal.
Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba wanita tadi mengacungkan dua jarinya ke arah dua pelayan yang sedang berdiri dengan termangu-mangu ke arah-nya.
Cuat cuat! Dari dua jari yang diarahkan pada pelayan itu me-luncur dua jarum berwarna hitam secara berbarengan, sehingga dua pelayan itu menjerit dan roboh tak bergerak lagi.
Mereka mati akibat dua jarum hitam yang menembus ulu hati keduanya.
Bong Mini yang menyaksikan perbuatan itu menjadi terkejut.
Karena wanita yang melakukan perbuatan ke-ji itu pernah dilihatnya.
Bahkan bertarung ketika berada di Desa Buncit.
Dialah wanita yang mengaku bernama Tinting.
"Hm..., perempuan itu ternyata tidak jera-jera juga. Kini dia membuat keonaran di desa ini,"
Gumam Bong Mini dalam hati.
"Kalian semua boleh bangga jika sudah memiliki il-mu seperti tadi!"
Desah wanita cantik yang memiliki bibir merah, tebal, dan agak lebar itu dengan genit.
Kemudian ia melangkah gemulai, sehingga pinggulnya yang berbentuk itu melenggok-lenggok.
Orang-orang di ruangan itu tampak terpaku.
Seo-lah-olah terkena hipnotis oleh keindahan pinggul wanita tadi.
"Heh, tunggu!"
Tiba-tiba tiga pemuda yang duduk di sudut ruangan tersadar dari keterpakuannya.
Mereka melompat mengejar wanita yang mempunyai daya pe-sona tadi.
Diikuti pula oleh para pendekar lain, termasuk Bong Mini dan dua pengikutnya.
Wanita cantik yang memiliki tubuh sintal tadi se-gera menghentikan lenggak-lenggoknya ketika mende-ngar seruan tiga pemuda tadi.
Dia membalikkan tu-buhnya dengan lembut dan wajahnya menatap tiga pemuda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun itu.
"Aiiih...! Kukira siapa orang yang memanggil tadi. Ternyata tiga pemuda tampan dan gagah!"
Desah wani-ta cantik itu sambil memainkan kedua tangannya den-gan lemah-gemulai, layaknya seorang penari.
Sedang-kan sepasang matanya yang bundar dan bening tam-pak berkerjap-kerjap, menggoda tiga pemuda yang berdiri di depannya.
Tiga pemuda yang berdiri di depan wanita cantik itu memang mempunyai wajah yang cukup tampan.
Kulit mereka putih kemerah-merahan.
Di atas matanya yang sipit, terukir alis mata yang cukup tebal.
Berambut pendek serta berpakaian kemeja tangan panjang warna putih yang dikenakan bersama celana yang juga berwarna putih, membuat mereka lebih simpatik.
Mereka adalah Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Siapa kalian bertiga?"
Tanya wanita cantik itu se-raya tersenyum genit.
"Kami Tiga Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri Manchuria! Dan siapa namamu?!"
Tanya seorang dari Tiga Pendekar Mata Dewa. Suaranya tenang dan berat, hingga memberikan kesan berwibawa.
"Namaku Nyi Genit dari Perguruan Topeng Hitam!"
Ucap wanita cantik itu.
Semua pendekar di tempat itu tampak terkejut keti-ka mendengar nama Perguruan Topeng Hitam.
Karena kedatangan mereka ke negeri itu pun ada hubungan-nya dengan Perguruan Topeng Hitam.
Hanya tujuan-nya saja yang mereka rahasiakan.
Bong Mini pun tersentak kaget.
Karena saat ia ber-hadapan di Bukit Buncit beberapa waktu yang lalu, wanita itu menyebut namanya Tinting.
Tapi sekarang, ketika berhadapan dengan Tiga Pendekar Mata Dewa, wanita tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama Nyi Genit.
Mana yang benar? Pikir Bong Mini.
"Kebetulan sekali kalau kau dari Perguruan Topeng Hitam. Sebab kedatangan kami ke sini ada hubu-ngannya dengan perguruanmu!"
Kata pemuda tadi me-wakili kedua temannya yang berdiri di kiri kanannya.
"Ada maksud apa gerangan?"
Tanya Nyi Genit.
"Maksudku hendak menghancurkanmu bersama-sama Perguruan Topeng Hitam!"
Cetus pemuda tadi. Walau kata-kata tadi cukup pedas terdengar di teli-nga Nyi Genit, wanita tersebut tetap bersikap ramah. Dan dengan bibir tersenyum ia berkata.
"Aiiih..., sungguh tidak pantas lelaki gagah seperti kalian marah-marah pada seorang wanita!"
"Seharusnya memang begitu. Tapi yang kuhadapi sekarang bukanlah wanita lembut yang patut dihorma-ti dan dilindungi. Melainkan wanita iblis yang harus dihadapi dengan kekerasan!"
Kata pemuda yang berdiri di antara kedua temannya itu.
Suaranya sudah tidak lagi terdengar lembut.
Melainkan penuh caci-maki yang menyakitkan! Tapi karena wanita yang dihadapi-nya bukanlah wanita biasa, maka kata-kata yang me-manaskan telinganya itu justru disambutnya dengan senyum menggoda.
"Aiiih, galak amat! Bukankah kita bisa bicara secara baik-baik?"
"Maksudmu?"
Mata bulat gemerlap itu terlihat mengerling. Bibir-nya tersenyum penuh makna.
"Maksudku dengan cara yang lebih tenang dan pe-nuh kehangatan!"
"Perempuan lacur!"
"Iblis jalang!"
"Perusak!"
Tiga Pendekar Mata Dewa yang masing-masing ber-nama Kao Cin Liong, Sin Hong, dan Kui Lok memaki penuh emosi. Kemudian mereka membuat kurungan segitiga. Sedangkan wanita yang dikurung tampak te-nang saja.
"Kalian memang orang-orang gagah. Majulah! Siapa yang ingin menikmati tubuhku terlebih dahulu!"
Tiga Pendekar Mata Dewa yang sudah marah sema-kin geram mendengar kata-kata wanita itu, kata-kata rendah yang menjijikkan bagi telinga-telinga sopan.
Sedangkan bagi mereka yang gemar mengumbar nafsu iblis, tentu ucapan itu merupakan satu tantangan yang menyenangkan.
"Kau memang wanita yang perlu diberikan pelajaran agar tahu bagaimana cara menghormati kehormatan-mu sendiri!"
Geram Kao Cin Liong yang sejak tadi menjadi juru bicara kedua temannya.
Atas ajakannya pula mereka datang ke negeri Selat Malaka dengan tujuan menolong rakyat dari kebiadaban orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam.
Hal itu diketahui ketika mende-ngar Raja Manchuria mengirim para pendekar untuk membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.
Kao Cin Liong yang sudah naik pitam segera mener-jang ke arah Nyi Genit dengan totokan jari-jari ta-ngannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tu-juh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh wanita itu.
Plak plak! Desss! Sungguh di luar dugaan.
Nyi Genit yang sejak tadi hanya diam saja, tiba-tiba menyambut serangan itu secara berbarengan, hingga tubuh penyerangnya ter-lempar ke belakang, lalu terbanting dan pingsan mencium tanah.
Debu mengepul dari tempat yang tertimpa tubuhnya.
Melihat temannya begitu mudah dirobohkan, pemu-da yang kedua menjadi geram.
Dia berseru keras me-nerjang Nyi Genit sambil menyambar-nyambarkan pu-kulannya.
Melihat serangan susulan itu, Nyi Genit segera bergerak mengelakkan tendangan dan pukulan lawan dengan lincah disertai tendangan balasan.
Na-mun dengan cepat pula pemuda kedua itu mengelak-kannya.
Sementara itu, di antara para pendekar yang me-nyaksikan pertempuran, Bong Mini tampak memper-hatikan sungguh-sungguh.
Sepasang matanya begitu lincah mengikuti gerakan-gerakan tubuh dua orang yang bertarung.
Pemuda kedua dari Tiga Pendekar Bermata Dewa kembali berdiri gagah menghadapi wanita genit dari jarak lima meter.
Dia bersiap-siap untuk menerjang lawannya kembali dengan pukulan 'Tapak Tangan Dewa' yang dipelajarinya selama lima tahun di negeri Pano-rama Biru.
Pukulan 'Tapak Tangan Dewa' yang dilancarkan pemuda kedua ini amat berbahaya.
Sebab dari puku-lan yang dilayangkan akan menyebar hawa racun yang sulit disembuhkan! Namun besar kecilnya bahaya yang diderita lawan tergantung dari besar kecilnya tenaga dalam yang dikeluarkan saat memukul.
Sedangkan pemuda itu mengerahkan pukulannya hanya setengah tenaga.
Dia hanya ingin memberikan pelajaran kepada wanita genit itu tanpa membunuhnya.
Tapi apa yang dia kehendaki bertolak belakang dari kenyataan.
Karena pada saat pemuda itu menyerang, Nyi Genit telah mendahului serangannya dengan 'Pu-kulan Angin Sakti'.
Duk! "Aaakh...!"
Tubuh pemuda itu terpental dan membentur tanah dengan keras. Beberapa saat, dia hanya dapat menggeliatkan tubuhnya, menahan rasa nyeri yang teramat sangat.
"Bedebah! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!"
Geram pemuda ketiga yang sejak tadi hanya melihat pertem-puran.
Kini ia menerjang ke arah lawan penuh nafsu setelah melihat dua temannya berhasil dirobohkan.
Wanita genit itu kembali berdiri tenang sambil terus mengumbar senyum meremehkan! Karena dia telah berhasil merobohkan dua lawannya dengan mudah, berarti pemuda yang ketiga pun tidak jauh berbeda dengan kedua orang tadi.
Dugaan Nyi Genit meleset.
Sebab pada saat tangan-nya mencengkeram tubuh pemuda itu, lawannya se-gera menghindar dan lolos.
Dan wanita ini semakin kaget ketika melihat kaki lawannya menggeser ke samping disertai tangan kiri yang menotok ke arah lambungnya dengan cepat.
Wanita itu cepat-cepat me-narik tangannya kembali dan menangkis sambil men-coba mencengkeram lengan lawan.
Duk! Sebuah tangkisan telah membuat tubuh wanita tadi tergetar, hingga ia membatalkan niatnya untuk men-cengkeram.
Tangannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya.
Dia menyadari, betapa lawannya yang beru-sia muda itu memiliki tenaga yang luar biasa! Dari pertemuan lengan itu ia dapat menilai kalau pemuda yang satu ini jauh lebih pandai dari kedua temannya.
Dia bukan lawan yang bisa dianggap remeh.
Namun demikian, bukan berarti dia harus menguras tenaga untuk menghadapinya.
Sebab bagaimanapun juga ilmu yang dimilikinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda itu.
Yang diperlukan dalam menghadapi pemuda ketiga ini adalah kewaspadaan! Sebenarnya bisa saja Nyi Genit menjatuhkan ketiga lawannya sekaligus tanpa harus buang-buang waktu dan tenaga.
Namun hal itu sengaja tak dilakukan, karena dia punya rencana tertentu sebelum mengakhiri-nya, yaitu mengencani dan mengisap darahnya satu persatu.
Pemuda ketiga dari Pendekar Bermata Dewa telah memasang jurus-jurusnya kembali.
Sebentar kemu-dian tubuh pemuda itu pun telah berkelebat ke depan dengan kecepatan seperti kilat secepat gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga cukup, hingga menimbulkan angin yang cukup besar pula.
Lawannya terkejut dan membalikkan tubuhnya.
Tapi ...
Bresss! Dukkk! Wanita genit yang mempunyai tubuh sintal itu ke-colongan.
Brukkk! Tubuhnya terlempar ke belakang dan menabrak se-batang pohon.
Untunglah Nyi Genit memiliki kepan-daian yang amat tinggi.
Kalau tidak, tentu tulang-tulangnya akan remuk.
Nyi Genit telah selamat dari bahaya yang mengan-camnya.
Kini tubuhnya bangkit kembali dengan gagah.
Namun wajahnya sangat berbeda dari sebelumnya.
Bi-bir merahnya yang menantang yang selalu banyak mengumbar senyum kini berubah dengan seringai yang amat mengerikan, seketika itu juga, pesona wa-jahnya lenyap.
Matanya berkilat-kilat, diiringi suara kaku dan ketus, penuh kemarahan! "Anak muda tidak tahu diri! Dikasih hati malah ku-rang ajar! Sekarang, rasakanlah pembalasanku!"
Ge-ramnya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah lawan.
Cuat cuat cuat! Ujung jari itu tampak bersinar merah.
Sekejap ke-mudian memuntahkan tiga buah jarum hitam beracun ke arah lawan.
Tapi pemuda ketiga itu langsung me-nyadari perbuatan wanita yang di hadapannya.
Saat lawannya menudingkan jari telunjuk ke arahnya tadi, ia melompat cepat dan bersalto disertai pengerahan te-naga peringan tubuh.
Tiga jarum beracun yang dike-rahkan wanita itu pun luput dari sasaran.
Perempuan genit itu marah bukan main melihat se-rangannya tidak mengenai sasaran.
Darahnya berdesir panas ke seluruh tubuh.
Malah bola mata bundar yang sebelumnya memikat hati, berubah menjadi merah menyala, seolah menyimpan bara api.
Sepasang mata yang merah menyala itu tampak menyorot tajam pada lawan.
Melihat perubahan sikap wanita itu, dua pemuda lain yang sempat dirobohkan segera membantu.
Me-reka mengambil posisi segi tiga mengurung.
Mereka sadar, bagaimanapun gigih temannya melawan wanita itu, dia tetap akan kalah.
Karena kepandaian mereka masing-masing masih jauh di bawah lawan.
Dalam soal jurus mereka memang unggul.
Tapi dalam hal ke-saktian, lawannya lebih hebat.
Untuk menghadapi wanita itu mereka memperguna-kan pedang masing-masing.
"Bagus! Rupanya kalian tetap siap untuk mati!"
Se-ringai wanita yang berubah menakutkan itu. Tiga pemuda itu tidak memberikan tanggapan. Ke-cuali serentak melakukan serangan ke arah lawan di-sertai lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Sing sing singngng! Tiga pedang berdesing-desing dan menyambar la-wan dengan cepat.
Namun bagaimanapun baiknya per-mainan pedang mereka, tak satu pun di antara tiga pedang itu yang berhasil menggores tubuh lawan.
Tu-buh Nyi Genit rupanya bergerak mengelak dengan ke-cepatan dua kali lipat dari kecepatan Tiga Pendekar Mata Dewa.
Sehingga pertempuran itu memberikan kesan seperti tiga lelaki yang sedang memburu baya-ngan.
"Aaakh!"
Tiba-tiba satu di antara tiga pemuda itu mengeluh.
Disusul dengan robohnya tubuh lelaki tadi dan tak dapat bergerak lagi.
Tanpa diduga oleh mereka, lawan telah melakukan serangan menotok, membuat seluruh persendian tulang-tulangnya tak dapat digerakkan.
Hanya mata dan telinganya saja yang masih dapat ber-fungsi.
Melihat temannya roboh dengan tubuh lumpuh, dua temannya semakin gencar melakukan serangan-serangan ke arah lawan.
Namun kepandaian wanita itu sangat sulit tertandingi.
Setiap kali pedang dua pemuda itu berkelebat, setiap kali pula lawan lenyap seperti angin.
Sambil melakukan gerakan mengelak, diam-diam Nyi Genit membuka selendang panjang berwarna hi-tam yang selalu membelit pinggangnya.
Kemudian se-lendang panjang itu diulur ke arah dua lawannya se-kaligus.
Sungguh menakjubkan! Selendang hitam yang di-ulurkan wanita itu seperti mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa, bergerak ke sana kemari mencari sasaran.
Begitu sasarannya telah didapat, selendang itu bergerak menggulung tubuh dua lawannya.
Dua pemuda yang terkena lilitan selendang hitam berusaha bergerak, melepaskan lilitan selendang sakti itu.
Tapi jangankan bergerak, membuka mulut saja mereka tidak mampu.
Karena selendang hitam itu te-lah melilit tubuh keduanya sampai sebatas leher, hingga sulit untuk bernapas.
Kemudian tubuh mereka yang sudah terjerat selendang sakti bergerak mende-kati Nyi Genit.
Setelah dekat, wanita itu memberikan dua totokan pada punggung keduanya.
Dalam sekejap, kedua pemuda itu kehilangan tenaga, sama seperti temannya yang sudah lebih dulu terbaring di tanah tan-pa dapat berbuat apa-apa.
Kemudian tubuh kedua pemuda yang tidak berdaya itu diletakkan di dekat temannya yang lain hingga berjejer.
"Kalian tiga orang pemuda yang gagah dan tampan,"
Kata Nyi Genit, kembali berubah lembut dan menarik.
"Dan sebelum aku mengirimmu ke neraka, aku akan memberikan kehangatan yang luar biasa. Biar kalian bertiga tidak menyesal meninggalkan kehidupan dunia ini!"
Sambung wanita itu seraya tersenyum-senyum.
"Rupanya kau belum jera juga, Perempuan Iblis!"
Ti-ba-tiba terdengar suara lantang di antara para pen-dekar yang sejak tadi hanya melongo menyaksikan pertempuran antara Tiga Pendekar Mata Dewa dengan wanita genit itu.
Nyi Genit yang akan melakukan aksinya terhadap ketiga pemuda yang siap menjadi mangsanya itu lang-sung terkejut melihat gadis mungil yang melangkah tenang ke tengah arena pertempuran.
Dia lebih terkejut lagi ketika melihat dan meneliti penampilan gadis itu.
Gadis berbaju merah yang berdiri angkuh di depannya itu pernah dia kenal beberapa waktu yang lalu.
Siapakah wanita yang tiba-tiba menghentikan aksi Nyi Genit? Mengapa wanita iblis itu terkejut? Bagaimana kelanjutan kisah Baladewa yang bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam? Apa tujuannya? Apa-kah pemuda itu telah berubah jahat? Ikutilah kisah seru Putri Bong Mini selanjutnya da-lam episode selanjutnya.
'Rahasia Pengkhianatan Ba-ladewa'.
SELESAI Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline 1 *** *** *** *** *** *** *** 4 *** *** *** 6 *** *** *** 8 *** *** 9 SELESAI
Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo