Iblis Pulau Neraka 2
Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Bagian 2
Sebab mata me-reka sendiri tidak melihat sesuatu yang menyerang Bong Mini.
Selain itu mereka juga tidak tahu, jurus apa yang dipergunakan Yang Seng dalam menyerang lawannya.
Karena mereka baru enam bulan mengikuti gerakan Perguruan Topeng Hitam.
Dalam keadaan kritis itu, Bong Mini tiba-tiba ter-ingat pada ilmu batin dan 'Pukulan Tapak Hangus' yang diberikan oleh Kanjeng Rahmat Suci.
Maka de-ngan sisa kekuatan yang masih ada, kedua jurus itu digabungkan menjadi satu.
Dipejamkannya kedua ma-tanya seraya menarik napas, menahannya sejenak, ke-mudian dihempaskannya kuat-kuat.
"Hah!"
Hasilnya, angin setan yang mencekik lehernya tadi berangsur-angsur mengendur dan hilang entah ke ma-na.
Yang Seng menghentikan tawanya.
Dipandangnya lawan dengan wajah terkejut.
Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis itu dapat mementahkan se-rangan angin setannya yang demikian dahsyat dan mematikan.
Setelah lepas dari bahaya yang mengancamnya, Bong Mini segera melancarkan serangan ke arah lawan dengan kedua telapak tangan dihentakkan ke depan.
Wesss! "Aaakh...!"
Yang Seng yang belum sempat mengelak langsung terpental dalam jarak sepuluh meter.
Kemudian tu-buhnya menggelepar-gelepar di tanah hingga akhirnya mati dengan tubuh hangus bagai terbakar.
Bong Mini menghela napas lega melihat lawannya tewas.
Kemudian ia melangkah ke arah empat wanita yang tadi bersama pasukan Yang Seng dan empat lela-ki yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu de-ngan takjub.
"Kembalilah kalian ke rumah masing-masing bila ti-dak ingin menjadi mangsa orang-orang liar seperti mereka."
Beberapa tarikan napas, Bong Mini hanya me-mandang mereka. Lalu dia melanjutkan.
"Dan kalian berempat, antarkan mereka ke rumah masing-masing. Setelah itu berangkatlah ke Kampung Dukuh, sebelah barat kampung ini. Karena di sana papaku tinggal. Bergabunglah dengan papaku jika ingin membantu perjuanganku!"
Kata Bong Mini kepada keempat lelaki yang telah sadar itu.
"Segala perintahmu akan kulaksanakan!"
Sahut se-orang dari mereka.
"Kalau begitu kami juga akan ke sana dan belajar pada orang-tuamu!"
Sela seorang wanita, mewakili ketiga temannya. Bong Mini diam beberapa saat seraya memandangi wajah keempat wanita itu.
"Kalian ingin membantuku?"
Tanya Bong Mini sung-guh-sungguh.
"Ya!"
Sahut keempat wanita itu serempak. Hati Bong Mini gembira mendengar jawaban yang penuh semangat. Karena sesungguhnya ia bercita-cita hendak memajukan kaum wanita agar tidak menjadi bulan-bulanan kaum lelaki.
"Baiklah kalau begitu. Berangkatlah kalian sekarang juga. Pergunakanlah kuda-kuda milik Perguruan Topeng Hitam agar perjalanan lebih cepat,"
Ucap Bong Mini.
"Kau sendiri hendak ke mana?"
Tanya seorang lelaki di antara mereka.
"Aku ingin ke Pulau Neraka!"
Keempat lelaki itu tercengang mendengar Pulau Ne-raka yang menjadi tujuan Bong Mini.
Sebab Pulau Ne-raka adalah tempat bersarangnya para iblis durjana yang sekarang ini mulai merajalela dan menjadi perhitungan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Bong Mini dapat membaca keterkejutan orang-o-rang di sekelilingnya itu.
Sehingga dia cepat berkata.
"Berangkatlah kalian. Jangan buang-buang waktu!"
Empat lelaki dan empat perempuan yang menyatakan diri menjadi pengikut Bong Mini segera mengikuti perin-tahnya.
Mereka melangkah menuju kandang kuda yang tak jauh dari tempat itu.
Tidak lama kemudian, mereka pun berangkat meninggalkan markas Perguruan Topeng Hitam yang berada di Kampung Pamanukan.
Setelah kedelapan orang itu pergi dengan menung-gang kuda, Bong Mini segera meninggalkan tempat itu menuju Pulau Neraka sebagaimana tujuannya semula.
*** Waktu mulai merayap ke pagi.
Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduannya.
Sedetik pun dia tak pernah terlambat dalam menjalankan tugas rutin di garis edarnya.
Ayam jantan melantunkan kokoknya, seakan hendak membanggakan kelantangan suaranya pada satwa lain.
Dalam suasana pagi seperti itu, tiba-tiba terdengar rombongan orang berkuda menuju Pulau Neraka.
Derap langkah kuda itu terdengar bergemuruh riuh.
Pertanda bahwa iring-iringan kuda itu berjumlah banyak.
Pasukan berkuda tersebut terdiri dari para pesilat tangguh dari Perguruan Topeng Hitam.
Tujuan mereka tidak lain hendak melakukan penyerbuan terhadap Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, di bawah pimpinan seorang ketua pasukan bernama Giwang.
Mereka da-tang ke tempat itu setelah mendengar kalau Perkum-pulan Iblis Pulau Neraka akan melakukan penyera-ngan terhadap Perguruan Topeng Hitam dengan tujuan hendak menguasai negeri Selat Malaka.
Karena selama ini yang menguasai negeri itu adalah Perguruan To-peng Hitam yang dipimpin oleh Kidarga dan Nyi Genit.
Dan kekuasaan itu diraih oleh Perguruan Topeng Hi-tam setelah mereka berhasil membabat pasukan Bong-kap yang hingga sekarang tidak terdengar lagi sepak-terjangnya.
Mendengar ada satu perkumpulan di Pulau Neraka yang terdiri dari orang-orang tangguh dan akan merebut kekuasaan di negeri Selat Malaka, maka Kidarga segera memerintahkan Giwang untuk menyiapkan pa-sukan untuk melakukan penyerangan ke pulau itu se-belum orang-orang Iblis Pulau Neraka mendahuluinya.
Penampilan orang-orang Perguruan Topeng Hitam kali ini memang berbeda.
Kalau biasanya mereka sela-lu menggunakan topeng hitam sebagai penutup wajah, maka sekarang mereka melepaskan atribut semacam itu.
Bahkan pakaian yang biasanya selalu bermodel pangsi warna hitam, sekarang berubah menjadi ber-macam-ragam.
Sehingga tak seorang pun dapat me-ngenali kalau mereka orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Ketika tinggal beberapa kilo lagi iring-iringan berkuda itu akan sampai di tempat tujuan, dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berkuda pula yang memacu ke arah mereka.
Jumlahnya pun hampir se-imbang dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Karena dua pasukan berkuda yang bergerak dalam arah berlawanan ini saling memacu, maka dalam wak-tu singkat kedua pasukan ini sudah saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh meter.
Kedua pasukan yang tidak saling mengenal ini tam-pak berhenti dengan mata beradu pandang.
Begitu ta-jam pandangan mereka, seakan saling menyelidiki.
"Siapakah kalian? Kenapa menghalangi perjalanan kami?"
Tanya Giwang dengan sorot mata yang menco-rong tajam ke arah lelaki berjubah merah.
"Seharusnya kami yang bertanya, mengapa kalian menghalangi perjalanan kami?"
Sergah lelaki berjubah merah tidak mau kalah.
"Kami tidak menghalangi perjalanan kalian. Kalian-lah yang sengaja menghalangi perjalanan kami!"
Ujar Giwang, juga tidak mau kalah.
"Baik kalau itu tuduhanmu, aku terima!"
Kata lelaki berjubah merah, agak mengalah.
"Tapi cobalah kau sebutkan hendak ke mana tujuanmu! Sebab dari tempat ini tidak ada lagi perkampungan kecuali Pulau Nera-ka!"
Lanjut lelaki berjubah merah lagi.
"Aku memang hendak ke Pulau Neraka!"
Sahut Gi-wang.
"Untuk apa ke sana?"
Tanya lelaki berjubah merah penuh selidik.
"Aku ingin bertemu dengan tokoh-tokoh Iblis Pulau Neraka!"
Sahut Giwang terus terang.
"Kebetulan kalau begitu. Aku adalah salah satu ke-tua pasukan dari Iblis Pulau Neraka!"
Ucap lelaki berjubah merah pula.
Giwang dan pasukannya terkejut mendengar penga-kuan lelaki berjubah merah.
Mata mereka mencorong tajam pada pasukan berkuda di hadapan mereka.
Memang benar kalau pasukan yang sedang berha-dapan dengan Giwang adalah Pasukan Iblis Pulau Ne-raka.
Sedangkan lelaki berjubah merah itu bernama Jarot.
Dialah orang kepercayaan Iblis Pulau Neraka untuk menjadi pimpinan pasukan.
Jarot seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan berotot.
Matanya merah dan besar.
Sedangkan di ba-gian wajahnya terhias kumis yang demikian lebat dan jenggot pendek.
Dan pada pinggang bagian kirinya ter-selip sebuah pedang panjang serta sebuah golok di pinggang kanan.
Sebenarnya Jarot bersama pasukannya di pagi itu juga mempunyai tujuan yang sama dengan pasukan Giwang.
Mereka diperintahkan oleh Gonggo Gung, Ke-tua Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, untuk melaku-kan penyerangan terhadap orang-orang Perguruan To-peng Hitam.
"Suatu keberuntungan yang tak terduga rupanya, sehingga kita bisa bertemu di tempat yang menye-nangkan ini!"
Kata Giwang, segera menutupi keterkeju-tannya.
"Apa maksudmu sebenarnya ingin mendatangi Pu-lau Neraka?"
Tanya Jarot yang tidak menginginkan pembicaraan jadi bertele-tele. Giwang tertawa sejenak. Kemudian memandang la-wannya lurus-lurus.
"Kalau aku menyebutkan nama Perguruan Topeng Hitam, tentu kau akan menebak maksud tujuanku!"
Ucap Giwang dengan sikap pongah. Kini Jarot dan pasukannya yang berbalik kaget mendengar nama perguruan itu. Mereka memang hen-dak mencari orang-orang Perguruan Topeng Hitam dan melakukan penyerangan.
"Sekarang, apa yang kau inginkan?"
Tanya Jarot pu-ra-pura tidak tahu. Pikirnya, siapa tahu mereka hendak melakukan persekutuan dengan Perkumpulan Ib-lis Pulau Neraka. Giwang kembali tertawa mendengar pertanyaan Ja-rot.
"Sungguh terlalu bodoh mengajukan pertanyaan itu!"
Kata Giwang dengan sikapnya yang tetap pongah.
"Aku ingin menebas orang-orang yang akan merong-rong kekuasaan Perguruan Topeng Hitam di negeri ini!"
Wajah Jarot merah padam mendengar ucapan yang mengandung ejekan itu. Kemudian dengan geram dan tak kalah angkuhnya ia berkata.
"Cobalah kalau kau mampu melakukannya. Orang-orang Iblis Pulau Ne-raka tak pernah gentar dengan omongan kosong se-perti itu!"
"Bangsat! Kalian benar-benar ingin mati rupanya!"
Dengus Giwang. Darahnya panas.
"Sudah aku bilang, jangan omongan melulu yang dibesarkan. Buktikan!"
Tantang Jarot.
"Setan roban! Serbu...!"
Geram Giwang seraya mem-beri aba-aba kepada pasukannya.
Dua puluh orang berkuda yang dipimpin oleh Gi-wang bergerak menyerang pasukan Iblis Pulau Neraka yang berjumlah lima belas orang.
Mereka menyerbu buas dengan mengacung-acungkan golok dan pedang ke arah lawan yang kemudian disambut pula dengan acungan pedang oleh pasukan Iblis Pulau Neraka.
"Hiaaat!"
Trang trang trangngng! Tidak lama kemudian, tempat itu pecah menjadi sa-tu keriuhan yang amat dahsyat.
Ringkik kuda, denting senjata, debu yang mengepul.
Semuanya menciptakan sebuah suasana yang menggidikkan hati, penuh den-gan genangan dan bau amis darah.
Giwang terbelalak melihat ketangkasan pasukan yang dipimpinnya.
Dua orang dari pasukan Iblis Pulau Neraka sudah tumbang bersimbah darah, terhantam sabetan pedang dan golok pasukannya, tetapi dari pi-haknya pun banyak yang terluka.
Giwang tampak ge-ram melihat seorang dari pasukan Iblis Pulau Neraka yang begitu tangkas memainkan pedang.
Orang itu tidak lain Jarot yang sudah mengamuk sejadi-jadinya.
Dia memang orang yang paling bengis di antara selu-ruh pasukan Iblis Pulau Neraka.
Karena itu ia mendapat julukan si Raja Tega.
Pedang di tangan Jarot telah menebas lima penge-royoknya.
Belum lagi yang terluka parah.
Sehingga memancing Giwang untuk menggebah kudanya untuk melakukan penyerangan pada Ketua Pasukan Iblis Pu-lau Neraka itu.
*** Tidak jauh dari tempat pertempuran, seorang gadis bertubuh mungil dan berwajah cantik dengan pakaian merah ketat membungkus tubuhnya tengah berjalan dengan tenang.
Wajahnya tampak berseri-seri ketika sepasang matanya yang jernih dan sipit itu menatap pemandangan alam di bukit tempatnya berpijak.
Kare-na selain banyak ditumbuhi oleh pepohonan segar dengan udaranya yang sejuk, dari bukit itu ia juga dapat melihat gunung-gunung di kejauhan yang menju-lang tinggi.
Di matanya gunung-gunung yang menju-lang tinggi itu hanya terlihat seperti permadani hijau yang menghampar indah.
Wanita bertubuh mungil serta berwajah cantik de-ngan umur kurang lebih delapan belas tahun itu tidak lain Putri Bong Mini yang sudah sampai di Bukit Birnam, sebuah bukit yang letaknya berdekatan dengan Pulau Neraka.
Tidak jauh dari tempat Bong Mini berjalan, kira-kira sekitar lima belas meter, seorang pemuda berpakaian terpelajar dengan lukisan naga emas di bagian kanan dada bajunya yang berwarna kuning tampak sedang membayangi langkahnya.
Sepasang matanya yang sipit tak lepas-lepasnya memandang Bong Mini.
Dialah pe-muda yang lari ketika diserang oleh Pasukan Iblis Pulau Neraka ketika berada di dekat reruntuhan rumah Bong Mini.
Setelah agak jauh melangkah, telinga Bong Mini menangkap teriakan-teriakan lantang dari arah sela-tan.
Ia tahu betul bahwa teriakan-teriakan itu merupakan pekik pertempuran yang amat ganas.
Hatinya langsung terpancing untuk berjalan lebih cepat ke arah pertempuran itu.
Melihat gadis cantik bertubuh mungil berjalan de-ngan cepat, pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas segera mempercepat langkahnya pula, menyusul arah langkah Bong Mini.
Di sana, mata Bong Mini melihat dua pasukan yang sedang bertempur dengan ganas.
Dari dua pasukan itu, Bong Mini melihat pasukan yang satu itu menga-lami kekalahan yang begitu berat.
Terbukti dari ba-nyaknya korban yang berjatuhan, termasuk yang me-ngalami luka berat hingga tak dapat melakukan penyerangan.
Hanya tiga orang saja yang masih bertahan dalam gempuran lawan yang beringas bagai badai.
Pasukan yang menderita kekalahan itu adalah pa-sukan Perguruan Topeng Hitam.
Sedangkan tiga orang yang mencoba bertahan menghadapi Pasukan Iblis Pu-lau Neraka tidak lain Giwang dan dua temannya.
Siut siut! Tiba-tiba dua batang jarum hitam meluncur deras ke arah dua teman Giwang.
Akibatnya? Dua orang yang tidak memiliki kekebalan tubuh langsung ter-sungkur di atas tanah dan tak dapat berkutik lagi.
Bong Mini yang menyaksikan pertempuran itu ter-kejut bukan main ketika melihat jarum hitam yang menusuk dua orang itu.
Dia sadar sekarang kalau pa-sukan yang masih kuat dengan sisa pasukan sepuluh orang itu adalah orang-orang Iblis Pulau Neraka yang sedang dicari-carinya.
Maka tanpa berpikir siapa pa-sukan yang mengalami kekalahan itu, Bong Mini lang-sung meloncat ke ajang pertempuran dan langsung menghadang pasukan Iblis Pulau Neraka.
"Hiaaat !"
Bret bret! Pedang Teratai Merah yang digenggam Bong Mini langsung menebas leher dua orang pasukan Iblis Pu-lau Neraka tanpa ampun.
Sehingga kepala mereka ter-lepas dari tubuhnya.
Ketika mengetahui gadis mungil yang dibayanginya terjun ke medan pertempuran dan membantu pasukan yang mengalami kekalahan, pemuda yang memiliki lu-kisan naga emas di bajunya, alias Khian Liong, segera melompat ke tengah pertempuran dan membantu Bong Mini yang sudah mengamuk menyabet-nyabetkan pe-dangnya ke arah pasukan Iblis Pulau Neraka.
Jarot dan pasukan yang dipimpinnya benar-benar terkejut ketika melihat kedatangan dua anak muda yang melakukan penyerangan terhadap mereka.
Apa-lagi ketika melihat Bong Mini telah dapat menewaskan dua temannya.
Ketika mata Jarot mengamati pakaian yang dikenakan Bong Mini, pikirannya tiba-tiba ter-ingat pada cerita Danu dan Jaim tentang gadis yang ikut serta dengan Bongkap ketika Danu dan ketiga temannya diserang oleh dua pengawal setia Bongkap.
Sedangkan ciri gadis yang disebutkan oleh Danu dan Jaim waktu itu mirip dengan gadis yang sedang diha-dapinya sekarang.
"Siapa kau, gadis kecil?! Beraninya mencampuri urusanku?!"
Dengus Jarot dengan sorot mata berkilat-kilat diburu amarahnya.
"Sebagai orang yang berpijak di negeri ini, apa yang terjadi di sini tentu merupakan kewajibanku untuk melibatkan diri. Apalagi terhadap kebiadaban orang-orang Iblis Pulau Neraka!"
Ketus Bong Mini sambil berusaha menangkis dan mengelak serangan Jarot dan ti-ga pembantunya.
Mendengar ucapan gadis bertubuh mungil itu, Jarot menjadi geram.
Begitu pula dengan tiga temannya yang sejak tadi mengepung dan menyerang Bong Mini.
Mereka semakin beringas.
"Terlalu sedikit bila aku menghadapi empat cecu-nguk!"
Seru Bong Mini, sengaja memancing kemarahan lawannya.
Walaupun ia tahu kalau empat orang yang menyerangnya itu merupakan orang-orang yang ke-mampuannya tidak dapat dianggap remeh.
Dengan berkata begitu, Bong Mini berharap agar lawannya terpancing dan menyerangnya dengan penuh nafsu.
De-ngan begitu ia dengan mudah akan dapat menakluk-kan mereka.
Karena biasanya, orang yang sudah kalap akan menyerang lawannya dengan membabi buta, tanpa perhitungan yang matang.
Pancingan Bong Mini itu ternyata mengena.
Terbuk-ti dari serangan keempat lawannya yang semakin liar, seolah-olah hendak menerkamnya.
Sementara itu, Giwang yang mempunyai sifat licik, diam-diam pergi meninggalkan kancah pertempuran ketika mengetahui ada dua orang yang membantunya.
Sehingga Bong Mini dan Khian Liong masing-masing harus menghadapi empat orang lawan.
Untunglah ke-duanya mempunyai kepandaian yang sangat tangguh.
Sehingga pertempuran yang tidak seimbang itu menja-di seru.
Bahkan dengan tangkas mereka dapat meng-imbangi para pengeroyoknya.
Siut siut! Tiba-tiba Jarot melancarkan jarum-jarum hitam be-racunnya ke arah Bong Mini.
Tetapi Bong Mini yang matanya sudah diasah tajam lewat puasa mutih sela-ma empat puluh hari empat puluh malam dapat me-nangkap kelebatan jarum-jarum beracun yang keluar dari tangan pemimpin pasukan itu.
Dengan cepat tu-buhnya bergerak, menghindari jarum-jarum hitam yang mengandung racun mematikan itu.
Melihat lawan dapat mengelak dari serangan jarum hitam beracunnya, Jarot jadi semakin bernafsu.
De-ngan rasa penasaran membludak, ia kembali melan-carkan jarum-jarum hitam beracunnya ke arah Bong Mini dengan gencar.
Lagi-lagi Bong Mini dapat mengelakkan senjata ra-hasia itu.
Bahkan sambil mengelak ia masih sempat melancarkan serangan ke arah tiga pengeroyoknya yang lain.
Brettt! Pedang yang digenggam Bong Mini menyambar pe-rut lawan, membuat luka dalam yang menggidikkan.
"Aaakh...!"
Lawan yang terkena sabetan pedang itu mengerang dengan kedua tangan memegangi perutnya yang sudah robek dan mengeluarkan darah segar.
Tubuhnya ber-putar limbung sebentar, kemudian mati.
Setelah seorang lawannya mati di ujung pedangnya, Bong Mini kembali melancarkan serangan lewat ten-dangan dan pukulan tangan yang sudah dialiri Ilmu 'Tapak Hangus' yang didapat ketika berguru pada Kanjeng Rahmat Suci.
Dukkk...! Plak plak! Tendangan kaki dan pukulan tangan yang dilaku-kan Bong Mini langsung mengenai sasaran.
"Aaakh!"
Dua orang yang terkena tendangan dan pukulan tangan Bong Mini langsung menjerit dan roboh.
Kemu-dian tubuh kedua orang itu berubah hangus seperti terbakar.
Itulah kedahsyatan ilmu 'Tapak Hangus'.
Jarot yang menjadi Ketua Pasukan Iblis Pulau Ne-raka tersentak kaget melihat tiga orang teman yang membantunya itu terkapar kaku di atas tanah.
Se-hingga dengan mata kalap dan nafsu yang tak terken-dalikan, ia menyerang Bong Mini tanpa perhitungan yang matang.
Bong Mini yang menyadari kelemahan serangan la-wannya itu segera menyambutnya dengan Pedang Te-ratai Merah yang terkenal sakti.
Bret! Cleb! Sabetan dan tusukan ujung pedang Bong Mini mengakhiri nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka.
Di lain tempat, Khian Liong pun sudah dapat me-newaskan dua lawannya.
Tinggal dua orang lagi yang masih bertahan dan melakukan serangan gencar ter-hadap pemuda itu.
Namun serangan itu pun tidak ber-langsung lama.
Karena setelah Bong Mini dapat meng-habisi nyawa Ketua Pasukan Iblis Pulau Neraka, Khian Liong dapat pula menewaskan seorang pengeroyoknya.
Kini ia tinggal melawan seorang lawan lagi.
Seorang dari Pasukan Iblis Pulau Neraka yang ma-sih hidup itu tampak mulai digerayangi rasa takut menghadapi Khian Liong.
Apalagi ketika menyadari kalau di sekelilingnya sudah tidak ada lagi teman-te-mannya yang hidup, termasuk pemimpinnya.
Sampai akhirnya dia segera melompat tinggi dan mengambil langkah seribu, meninggalkan dua anak muda yang masih berdiri gagah di kancah pertempuran itu.
Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu menoleh ke arah Bong Mini.
Begitu pula dengan Bong Mini.
Sehingga antara keduanya terjadi adu pandang yang cukup lama.
"Siapakah Koko? Dan mengapa berada di tempat ini serta turut bertempur dengan Pasukan Iblis Pulau Neraka?"
Tanya Bong Mini agar ia bisa terlepas dari pandangan lelaki muda yang mempunyai pesona luar bi-asa itu.
"Namaku Khian Liong. Aku ke sini hanya kebetulan saja. Dan ketika melihat kau bertempur dengan orang-orang itu, aku segera turut terjun membasmi orang-orang Iblis Pulau Neraka tadi!"
Jawab Khian Liong.
Apa yang dikatakan oleh pemuda itu memang be-nar.
Dia adalah Khian Liong yang dua tahun lalu sempat bertemu dengan Bongkap dan pengawal setianya.
Dia bertemu dengan Bongkap karena ingin meminta bantuan agar dapat menolong rakyat negeri Manchuria yang tertindas oleh kesewenangan rajanya (baca episode sebelumnya.
'Hilangnya Seorang Pendekar').
Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela-san pemuda yang bernama Khian Liong itu.
"Kalau begitu, kita sama-sama kebetulan di tempat ini dan bertempur dengan pasukan Iblis Pulau Nera-ka!"
Cetus Bong Mini seraya mengembangkan senyum-nya yang amat lembut.
"Siapa nama, Nona?"
Tanya Khian Liong bersama se-nyuman simpatik.
"Namaku Bong Mini,"
Sahut Bong Mini, memperke-nalkan namanya. Khian Liong tercenung mendengar nama itu. Ke-ningnya berkerut seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Koko seperti heran mendengar namaku?"
Tanya Bong Mini saat mengetahui perubahan wajah pemuda di hadapannya.
"Ah, tidak!"
Sahut Khian Liong cepat, sambil ter-senyum.
"Aku cuma mengingat nama seseorang mirip dengan namamu!"
"Siapa dia?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Bongkap."
Bong Mini tersentak. Karena nama yang disebutkan pemuda itu tidak lain papanya sendiri.
"Heh, kenapa kau terkejut? Apa kau kenal nama itu?"
Tanya Khian Liong melihat keterkejutan pada wajah gadis mungil di hadapannya.
"Tentu saja aku mengenalnya. Karena orang yang kau sebutkan itu tidak lain papaku sendiri?"
"Hah?"
Kini Khian Liong yang balik terkejut "Jadi, kau putri Bongkap yang dikabarkan hilang dua tahun yang lalu itu?"
Tanya Khian Liong dengan wajah yang masih menunjukkan keterkejutan.
"Ya. Dan sekarang aku telah berkumpul kembali de-ngan papa!"
Sahut Bong Mini.
"Sekarang, di mana papamu?"
Tanya Khian Liong penuh semangat.
"Dia berada di Kampung Dukuh bersama dua pe-ngawal!"
Sahut Bong Mini memberitahu.
"Apakah aku bisa ke sana menemuinya?"
"Tentu saja. Tapi aku tak dapat mengantarkanmu!"
"Tak mengapa. Aku sudah lama mencari-cari papa-mu karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan pa-danya!"
Ucap Khian Liong.
"Kalau begitu segeralah ke sana. Mumpung hari masih pagi!"
Saran Bong Mini cepat.
"Ya. Aku memang akan segera ke sana!"
Usai berka-ta begitu, pemuda itu pun segera meninggalkan Bong Mini yang memandanginya sampai tubuh Khian Liong menghilang dari pelupuk matanya.
Setelah itu ia pun melanjutkan perjalanannya.
Namun baru beberapa meter kakinya melangkah, tiba-tiba ia terhenti.
Pikirannya teringat pada kata-kata Khian Liong yang menyatakan ada hal penting yang akan dibicarakan den-gan papanya.
Pembicaraan penting apa, ya? Pikir Bong Mini ter-cenung.
Sedangkan hatinya ragu untuk melanjutkan langkahnya ke Pulau Neraka.
Karena diliputi oleh rasa ingin tahu mengenai pembicaraan penting yang dikatakan pemuda yang baru dikenalnya tadi, dia akhirnya memutar untuk kembali ke Kampung Dukuh menemui papanya.
*** Gonggo Gung benar-benar tak dapat menahan ma-rah saat Jurik, orang yang selamat dari tangan Khian Liong, melapor bahwa seluruh pasukan yang dipimpin oleh Jarot telah tewas.
"Kalau menghadapi orang-orang Perguruan Topeng Hitam kami telah menang, Ketua! Tapi saat itu muncul sepasang anak muda yang melakukan pembelaan terhadap Perguruan Topeng Hitam dan membabat habis pasukan kita!"
Lapor Jurik menjelaskan kekalahan yang dialami oleh pasukannya. Gonggo Gung mengerutkan keningnya dengan sorot mata mencorong ke arah anak buahnya.
"Siapa sepasang anak muda itu?"
Tanya Gonggo Gung.
"Mereka tidak menyebutkan namanya, Ketua. Tapi kalau dilihat dari penampilannya, kedua orang itu mirip dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Jaim dan Da-nu!"
Sahut Jurik.
"Hm..., mungkinkah mereka sepasang kekasih?"
"Bisa jadi, Ketua. Apalagi kedua orang itu sama-sama orang Tionghoa!"
Sambut Jurik, membenarkan dugaan pemimpinnya.
Gonggo Gung terdiam.
Keningnya berkerut dalam.
Pertanda kalau dia sedang memutar pikirannya.
Bu-kan memikirkan Perguruan Topeng Hitam, melainkan memikirkan sepasang anak muda yang telah membuat seluruh pasukan yang diutus untuk melakukan pe-nyerangan terhadap Perguruan Topeng Hitam tewas semua.
Gadis itu tidak mempan oleh serangan jarum hitam beracun.
Sekarang dia melakukan pembantaian terha-dap orang-orangku yang demikian banyak jumlahnya.
Bahkan Jarot yang kupercaya untuk memimpin pasu-kannya telah tewas pula di tangan gadis itu.
Ini menunjukkan bahwa gadis itu bukan orang sembara-ngan! Demikian pikiran yang ada di benak Gonggo Gung.
"Kita harus punya cara lain untuk menaklukkan se-pasang anak muda itu!"
Kata Gonggo Gung setelah be-berapa saat terdiam.
"Bagaimana caranya, Ketua?"
Tanya Jaim yang me-mang sejak tadi berada di ruangan itu bersama-sama pengikut Perkumpulan Iblis Pulau Neraka lain. Mereka terdiri dari para jago bermain senjata. Jumlahnya kurang lebih dua puluh orang.
"Bujuk kedua orang itu agar mau bersekutu dengan kita!"
Ujar Gonggo Gung mengemukakan hasil pikiran-nya.
"Bagaimana mungkin mereka mau, Ketua?"
Kata Ja-im.
"Kalau hanya sekadar membujuk begitu, jelas me-reka tidak mau. Oleh karena itu janjikan sesuatu yang memikat!"
Kata Gonggo Gung. Beberapa orang anak buahnya yang berada di rua-ngan itu tampak mengangguk-angguk.
"Berikan kedudukan sesuai dengan permintaan me-reka. Dengan perjanjian, mereka turut kita dalam melakukan penyerangan terhadap orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Lanjut Gonggo Gung menjelaskan gaga-san yang dimaksud. Beberapa orang anak buahnya kembali mengang-guk.
"Ketahuilah oleh kalian bahwa kita sangat membu-tuhkan orang-orang tangguh seperti mereka untuk da-pat memperkuat gerakan kita!"
Lanjut Gonggo Gung dengan wajah yang mulai cerah. Pikirnya, dengan cara seperti ini kedua anak muda itu pasti dapat ditaklukkan dan dijadikan sebagai kaki tangannya.
"Namun untuk membujuk mereka, kita memerlukan seorang yang berpenampilan menarik dengan tutur kata penuh simpatik!"
Kembali anak buahnya mengangguk-angguk.
Kare-na hanya itu yang dapat mereka lakukan saat itu.
Lagi pula setiap rencana selalu datang dari pemimpin mereka sendiri, Gonggo Gung.
Termasuk rencana penye-rangan ke Perguruan Topeng Hitam yang kandas di te-ngah jalan karena terhalang oleh sepasang anak muda, Bong Mini dan Khian Liong.
"Ong Lie, kau lebih tepat untuk melakukan tugas ini!"
Seru Gonggo Gung kepada salah seorang anak buahnya yang sejak tadi duduk tenang di sebelah kirinya.
Ong Lie adalah seorang pemuda keturunan Tiong-hoa berumur kurang lebih tiga puluh tahun.
Sedang-kan tinggi badannya sekitar 1,75 senti meter.
Sebuah ukuran yang paling tinggi di antara teman-temannya yang berada di Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.
Seu-kuran dengan tinggi Gonggo Gung.
Berkulit langsat dengan ukuran tubuh sedang, namun berotot.
Alisnya agak tipis dan pendek.
Hidungnya berukuran sedang dengan bibir tipis.
Di atas bibirnya tumbuh kumis yang tercukur rapi.
Dagunya hijau, bertanda bahwa jenggotnya baru saja dicukur.
Rambutnya panjang mengkilat dan terkucir rapi.
Sedangkan pakaiannya bermodel baju koko warna biru muda, dengan hiasan sepasang burung dara yang tengah terbang berwarna kuning dengan lingkaran coklat pada lehernya.
Indah sekali lukisan itu! Ditambah pula dengan model ce-lananya yang lebar di paha dan mengecil di bagian ujung kakinya.
Membuat penampilannya semakin me-narik bagi siapa saja yang melihatnya.
Pemuda yang bernama Ong Lie itu mengangguk hormat ketika mendapat tugas dari Gonggo Gung.
"Aku akan menjalankan tugas itu sebaik mungkin!"
Kata Ong Lie.
"Bagus! Persiapkanlah rencana-rencana selanjut-nya!"
Perintah Gonggo Gung.
"Baik, Ketua!"
Sahut Ong Lie. Kemudian ia melang-kah ke luar untuk melaksanakan tugasnya mencari Putri Bong Mini.
"Lima belas orang di antara kalian tetap bergerak ke kampung-kampung untuk mencari orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Sedangkan kalian berempat tetap di sini bersamaku!"
Lanjut Gonggo Gung kepada anak buahnya yang masih berada di ruangan itu.
"Baik, Ketua!"
Sahut seluruh anak buahnya serem-pak.
Kemudian lima belas orang di antara mereka me-langkah ke luar untuk menjalankan tugasnya ke kam-pung-kampung, sedangkan empat orang lagi tetap di ruangan itu bersamanya.
*** Sementara itu di Bukit Setan, Ketua Perguruan To-peng Hitam tampak marah-marah.
Meja yang di hada-pannya digebrak keras, hingga patah berantakan.
Se-pasang biji matanya yang besar kelihatan merah me-nyala seperti lidah api yang siap membakar.
Giwang yang baru saja tiba di tempat itu tampak menggigil ketakutan.
Begitu pula dengan dua puluh lima murid-murid lain yang sejak tadi menemani Ki-darga di ruangan itu.
Mereka mundur beberapa lang-kah dengan tubuh mengkeret.
Kemarahan Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hi-tam memang sangat beralasan.
Anak buahnya yang se-lama ini dibanggakan karena ketelengasannya terha-dap rakyat, justru harus mati dengan tubuh koyak-moyak.
Ditambah lagi dengan kabar kematian Yang Seng yang ditugaskan memimpin pasukan di Kampung Pamanukan serta Giwang yang mengambil langkah se-ribu.
"Kalian semuanya tidak becus! Goblok! Tak bisa kerja apa-apa!"
Murka Kidarga dengan sepasang ma-tanya yang menyala-nyala.
Rambutnya yang panjang ikal tak terurus bergerak-gerak ke depan, menutupi wajahnya yang hitam gersang.
Giwang dan dua puluh lima murid Perguruan To-peng Hitam dalam ruangan itu tampak terdiam dengan kepala tertunduk.
Malah tubuhnya semakin menciut ngeri.
"Kalian hanya mampu membantai dan merampok penduduk yang tidak mempunyai kepandaian dan ke-kuatan apa-apa. Kenapa hanya berhadapan dengan seorang gadis kecil, nyali kalian menciut? Malah si Yang Seng sendiri mati bersimbah darah. Di mana kemampuan kalian? Di mana kekuatan tenaga iblis kali-an!"
Geram Kidarga lagi dengan nafsu yang meluap-luap.
Sehingga bentakannya terdengar menggema la-pat-lapat.
Dua puluh enam muridnya masih bungkam, tak be-rani bersuara.
Kecuali menunduk sambil sesekali melirik ke arah pemimpinnya yang berdiri angker di hadapan mereka.
Gadis itu pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi sehingga mampu menandingi Yang Seng dan pa-sukannya.
Ini berarti, aku harus melakukan penggoj-lokan lebih keras lagi terhadap pengikutku, gumam Kidarga dalam hati.
Kidarga menghela napas berat.
Kedua matanya yang merah dan tajam itu diarahkan kepada murid-muridnya satu persatu.
Tegang dan penuh wibawa.
"Aku tidak mungkin berhadapan langsung dengan gadis itu!"
Sambung Kidarga dengan suara berat dan datar. Kemarahannya mulai menurun. Sehingga mu-rid-muridnya yang menunduk ketakutan tampak me-narik napas lega. Seolah-olah baru terlepas dari bahaya yang mencekam.
"Walaupun begitu aku tidak tinggal diam. Aku akan ajari kalian ilmu silat yang lebih tangguh lagi agar dapat meringkus gadis itu!"
Lanjut Kidarga lagi.
Semua murid-muridnya yang ada dalam ruangan itu tampak senang mendengar janji Kidarga.
Itulah yang mereka harapkan.
Karena selama ini mereka tak pernah mendapatkan ilmu dari Kidarga.
Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada beberapa muridnya saja, seperti Giwang dan Yang Seng yang telah memiliki ilmu 'Angin Setan Mencekik Leher'.
Selebihnya cukup de-ngan kepandaiannya masing-masing.
"Ada yang mau bicara?"
Tanya Kidarga dengan sua-ra tenang. Giwang yang sejak tadi hendak mengatakan sesu-atu segera mengangkat jarinya.
"Katakan!"
Singkat Kidarga.
"Sejak tadi aku mendengar tentang gadis kecil yang membunuh Yang Seng. Kalau boleh tahu, bagaimana ciri-ciri gadis itu, Ketua?"
Tanya Giwang yang memang baru tahu mengenai pembunuhan terhadap Yang Seng.
Kidarga langsung menceritakan ciri-ciri gadis itu sesuai dengan laporan anak buahnya yang diutus meng-hubungi Yang Seng malam kemarin.
Namun karena malam itu terjadi pertempuran antara Yang Seng de-ngan seorang gadis kecil, utusannya tidak jadi meng-hubungi Yang Seng, kecuali mengendap-endap sambil mengamati ciri-ciri gadis itu.
Setelah didapatnya ciri-ciri orang yang diintai, utusan Kidarga pun kembali ke perguruan untuk melaporkan kejadian itu kepada Kidarga.
Mendengar laporannya, Kidarga langsung memerin-tahkan sepuluh anak buahnya untuk membantu Yang Seng.
Tapi ketika sampai di sana mereka melihat Yang Seng telah tewas.
Sedangkan gadis yang melakukan pembunuhan telah lama lenyap dan tanpa diketahui ke mana jejaknya.
"Kalau memang gadis itu yang Ketua maksudkan, tidak salah lagi. Dialah orang yang telah membantu pasukanku dalam melawan orang-orang Iblis Pulau Neraka!"
Sergah Giwang.
"Maksudmu?"
Tanya Kidarga bingung. Giwang langsung menceritakan mengenai kehadiran Bong Mini saat pasukan yang dipimpinnya itu mende-rita kekalahan.
"Begitulah, Ketua. Karena kehadiran gadis itu aku bisa meloloskan diri dan melaporkan hal ini kepada Ketua!"
Ucap Giwang mengakhiri ceritanya.
Kidarga diam.
Pikirannya ruwet karena terganggu oleh masalah gadis yang membingungkan itu.
Kalau kemarin malam gadis itu melakukan pembunuhan ter-hadap Yang Seng dan pasukannya, sekarang justru membantu pasukan Giwang dengan melakukan penye-rangan terhadap Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.
"Ada yang lebih mengejutkan lagi, Ketua!"
Tambah Giwang.
"Apa itu?"
Tanya Kidarga cepat.
"Khian Liong. Dia hadir bersama-sama gadis itu dan turut membantu melawan orang-orang Iblis Pulau Ne-raka!"
Ujar Giwang menjelaskan.
"Khian Liong?"
Gumam Kidarga dengan kening ber-kernyit, mengingat-ingat nama orang yang disebutkan Giwang tadi. Dan ketika ia ingat, ia pun berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Khian Liong. Sudah lama dia tak terdengar lagi kabar beritanya. Sekarang dia hadir dengan sebuah kejutan!"
Kidarga menoleh pada Giwang.
"Seharusnya kau menunggu dia dan mengajak-nya ke sini!"
"Itulah yang aku sesalkan, Ketua. Saat itu piki-ranku tidak sampai ke situ!"
Sahut Giwang.
"Karena kau memikirkan keselamatan nyawamu sendiri!"
Geram Kidarga dengan mata mencorong.
Giwang menunduk diam.
Ia tidak berani memban-tah tuduhan pemimpinnya.
Dalam hati ia membenar-kan tuduhan Kidarga itu.
Di saat suasana hening seperti itu, tiba-tiba datang seorang anak buahnya yang bertugas menjaga pintu mulut goa.
Dia melangkah dengan tubuh yang ter-bungkuk-bungkuk.
"Maaf, Ketua!"
Sela muridnya itu.
"Ada apa?"
Sahut Kidarga tanpa reaksi.
"Di luar ada seorang pemuda yang ingin bertemu dengan Ketua!"
Kata muridnya itu memberitahukan.
"Siapa dia?"
Tanya Kidarga dengan kening berker-nyit.
"Entahlah, Ketua. Tapi pemuda itu memiliki lukisan naga emas di baju bagian dadanya!"
"Tidak salah, Ketua. Dialah Khian Liong!"
Celetuk Giwang dengan wajah berseri.
Kidarga yang memang mengharapkan kedatangan Khian Liong segera memerintahkan muridnya itu un-tuk membawa Khian Liong ke ruangan.
Setelah mendapat perintah itu, murid yang melapor tadi segera keluar kembali untuk menyambut tamu-nya.
Tidak berapa lama kemudian, muridnya tadi telah kembali bersama pemuda tampan yang tiada lain Khian Liong.
Kidarga yang melihat kehadiran pemuda itu lang-sung menjabat tangan Khian Liong dengan penuh ke-hangatan.
Suasana yang tadi suram, mendadak ber-ubah gembira.
"Maafkan aku Ketua, jika baru kali ini sempat da-tang!"
Ucap Khian Liong dengan gaya seperti seorang terpelajar.
"Ah, tidak mengapa. Yang penting sekarang kau te-lah datang berhadapan denganku!"
Sahut Kidarga ra-mah. Wajahnya begitu berseri. Berbeda dengan sebe-lumnya.
"O, ya. Mana Rayi Nyi Genit?"
Tanya Khian Liong sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
"Dia sudah dua hari ini pergi ke Desa Larangan!"
Sahut Kidarga.
"Ooo...!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Khian Liong.
Seperti yang dikatakan Kidarga, memang sudah dua hari Nyi Genit pergi ke Desa Larangan, tempat asal me-reka.
Kunjungannya ke desa itu tidak lain ingin melakukan tindakan balas dendam terhadap orang-orang yang telah menelanjanginya dan mengaraknya saat ia dan Kidarga berbuat mesum sekian puluh tahun yang lalu.
Kunjungan itu sekaligus dia manfaatkan untuk mencari darah perawan dan darah perjaka untuk me-nambah kesaktian dirinya dan Kidarga.
Kidarga mengajak Khian Liong ke ruang khusus yang terletak di ruangan tengah disertai Giwang yang mengikuti dari belakang.
"Apa yang telah kau kerjakan selama ini, Khian Liong?"
Tanya Kidarga setelah mereka bertiga duduk di sebuah kursi batu yang telah diukir, hingga menyeru-pai kursi biasa.
"Sungguh banyak, Ketua. Dan kedatanganku ke sini pun untuk menceritakan hal itu kepada Ketua!"
Sahut Khian Liong.
"Kalau begitu segeralah ceritakan!"
Kata Kidarga tidak sabar.
"Begini, Ketua!"
Kata Khian Liong sambil membe-narkan letak duduknya.
"Aku memang sengaja tidak datang ke sini selama dua tahun ini. Hal ini aku lakukan tidak lain untuk menutupi mata Bongkap agar ti-dak tahu mengenai persekutuanku dengan Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Khian Liong melanjutkan.
"Jadi kau sudah bertemu dengan Bongkap?"
Potong Kidarga dengan wajah sungguh-sungguh.
"Begitulah!"
Sahut Khian Liong. Kemudian dia men-ceritakan hasil penyelidikannya selama ini. Mulai dari pertemuannya dengan Bongkap sampai pertemuannya dengan Bong Mini.
"Bahkan aku telah mengetahui tempat Bongkap se-karang!"
Tutur Khian Liong mengakhiri ceritanya. Hening. Khian Liong meneguk air di gelas yang tersedia. Se-dangkan Kidarga tampak tercenung.
"Apakah putri Bongkap tahu mengenai pasukan yang dibantunya ketika berhadapan dengan Iblis Pulau Neraka?"
Tanya Kidarga.
"Aku rasa dia tidak sempat berpikir begitu. Dia membantu karena tidak tega melihat Giwang yang ma-ti-matian melawan sepuluh orang pasukan Iblis Pulau Neraka!"
Sahut Khian Liong berpendapat.
"Siapa nama gadis itu?"
Sela Giwang ingin tahu.
"Bong Mini!"
Pendek Khian Liong. Kidarga dan Giwang tampak mengangguk-angguk kembali. Hati keduanya puas mendengar cerita yang dituturkan Khian Liong. Tinggal mengatur siasat ba-gaimana caranya agar mereka dapat menangkap Bongkap dan putrinya.
"Kalau kau sudah mengenal baik Bongkap dan pu-trinya, aturlah siasat agar kita berhasil meringkus mereka!"
Kata Kidarga setelah beberapa saat hening.
"Itu masalah yang mudah, Ketua. Tapi Ketua sendiri harus ingat terhadap janji yang telah diberikan ke-padaku!"
Jawab Khian Liong.
"Maksudmu?"
Kidarga mengerutkan keningnya.
"Memberikan kedudukan tertinggi buatku jika ber-hasil menangkap mereka berdua!"
Ujar Khian Liong mengingatkan.
"O, tentu. Setiap pekerjaan pasti ada upahnya. Begi-tu pula dengan perjuanganmu pasti ada balasannya!"
Kata Kidarga senang.
Begitu pula dengan Khian Liong.
Kehidupan indah dan menyenangkan terbayang di pe-lupuk matanya.
Itulah Khian Liong.
Sikapnya yang begitu ramah dan penuh simpatik, ternyata hanya merupakan kedok belaka.
Karena di balik semua itu ternyata ia salah seorang yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hi-tam.
Ucapannya yang manis untuk mengajak Bongkap membebaskan rakyat negeri Manchuria hanya tipu daya saja.
Untung saja ketika dia mengajak Bongkap pergi ke negeri Manchuria, Bongkap menolaknya kare-na masih mencari Putri Bong Mini yang hilang.
Kalau tidak, tentu di tengah perjalanan menuju negeri Manchuria dia dikepung, ditangkap dan dipersembahkan kepada kaisar negeri Manchuria yang telah lama mem-burunya.
*** Siang itu udara terasa panas.
Matahari yang berdiri tegak lurus di cakrawala gencar memancarkan sinar-nya yang membakar.
Saat itu, seorang gadis berpakaian merah ketat de-ngan selendang kuning tersampir di pundak kanannya tampak melangkah tenang.
Seolah tidak mempeduli-kan terik matahari yang hendak memanggang tubuh-nya.
Gadis berpakaian merah ketat yang sedang berjalan tenang itu tidak lain Putri Bong Mini.
Ia baru saja sampai di Kampung Dukuh setelah menempuh perjalanan seharian dari Bukit Birnam.
Sebenarnya bisa saja ia berjalan cepat agar bisa sampai di Kampung Dukuh dalam waktu setengah hari, tapi sengaja hal itu tidak dilakukan.
Sebab tidak ada sesuatu yang diburu.
Dia kembali ke Kampung Dukuh hanya ingin mengetahui kabar yang diceritakan Khian Liong kepada Bongkap.
Setelah sampai di Kampung Dukuh, Bong Mini langsung masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal Bongkap dan pengikutnya.
Namun sampai di dalam hatinya kecewa.
Di dalam rumah itu ia tidak menda-patkan orang-orang yang dimaksud.
Kecuali Ratih Purbasari yang ditemani Gagap dan Ontohod, dua dari empat orang pengikut pasukan Yang Seng yang telah tunduk dan mengikuti perjuangan Bong Mini.
Sedang-kan yang seorang lagi adalah gadis yang mengalami gangguan jiwa.
Melihat kedatangan Bong Mini, Ratih Purbasari dan dua orang mantan Perguruan Topeng Hitam itu lang-sung berdiri dengan sikap hormat.
"Papa dan yang lainnya ke mana?"
Tanya Bong Mini.
"Paman baru saja keluar bersama empat orang pe-ngikutnya!"
Sahut Ratih Purbasari.
"Ke mana?"
Tanya Bong Mini dengan kening berker-nyit.
"Katanya ke Pulau Neraka. Menyusulmu!"
"Hah?!"
Bong Mini terbelalak kaget.
Ia terkejut kare-na Bongkap terlalu memaksakan diri untuk menindak orang-orang Iblis Pulau Neraka.
Padahal kesehatannya belum pulih benar.
Maka ketika mendengar Bongkap menyusulnya, tubuhnya segera melesat ke luar dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh.
Sehingga dalam waktu sekejap, Bong Mini sudah lenyap di balik rimbu-nan pohon.
*** Di lain tempat, di Pulau Neraka, lima orang berkuda sedang bergerak menuju sebuah bangunan yang cu-kup besar, rumah yang dikelilingi oleh dinding yang amat tinggi dan kokoh.
Sepi.
Sementara pepohonan yang lebat dan tinggi mengepung rumah itu.
Lima orang yang menunggang kuda di Pulau Neraka itu tidak lain, Bongkap, Ashiong, Sang Piao, bersama Geblek dan Gunala, dua dari empat orang mantan pengikut pasukan Yang Seng yang telah takluk dan turut berjuang bersama pasukan Bong Mini.
Kini, me-reka datang ke Pulau Neraka untuk melakukan penye-rangan bersama-sama Bongkap.
Setelah mencapai jarak kurang lebih sepuluh meter, Bongkap mengangkat tangannya.
Pertanda bahwa pe-ngikutnya harus menghentikan langkah kuda.
Bongkap dan empat orang pengikutnya menghenti-kan langkah kuda masing-masing.
Mereka duduk te-gak di punggung kuda.
Sedangkan mata mereka terus tertuju ke arah pintu gerbang rumah yang dikelilingi benteng kokoh itu.
Tak seorang pun yang terlihat di sekitar benteng atau di pintu gerbangnya.
Siut siut! Tiba-tiba dua buah jarum hitam berkelebat ke arah mereka dan menembus tubuh dua ekor kuda yang di-tunggangi Geblek dan Gunala.
Dua ekor kuda yang terkena jarum hitam beracun itu langsung roboh tak berkutik lagi.
Bongkap dan pengikutnya kaget melihat kematian kuda yang ditunggangi Geblek dan Gunala.
Kemudian Bongkap mengangkat kepalanya, sehingga tampak o-lehnya empat orang tinggi gagah berdiri di atas benteng dengan pedang di tangan masing-masing.
Siut siut siut! Empat orang gagah yang berdiri di atas tembok ben-teng itu tiba-tiba melepaskan jarum-jarum hitam beracunnya ke arah pasukan Bongkap lewat tangan-tangan mereka yang merentang lurus ke depan.
Jarum-jarum hitam beracun itu terus meluncur seperti titik-titik hujan yang mengancam tubuh kelima penunggang kuda itu.
Namun dengan lincah mereka menghindari serbu-an senjata rahasia itu.
Dengan tangkas, mereka me-lompat dari atas punggung kuda lalu bergulingan di atas tanah sampai tubuh mereka lenyap di balik pepohonan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba sesosok tubuh mungil dengan pakaian merah ketat melesat ke arah benteng yang tinggi dan kokoh itu.
Begitu cepat, sehingga empat orang di atas tembok benteng itu tidak sempat berbuat apa-apa.
Bagai kilat, wanita mungil berbaju merah itu meng-hajar keempat lelaki tadi dengan pedang yang selalu memancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai.
Sehingga dalam sekejap terdengar pekikan melengking yang susul-menyusul, disertai ambruknya empat sosok tubuh dari atas benteng dengan tubuh bersimbah darah.
Setelah keempat orang itu ambruk, wanita berbaju merah yang tidak lain Bong Mini segera melompat dan hinggap di atas tanah di dekat dua ekor kuda yang ma-ti mengejang.
"Putriku!"
Tiba-tiba Bongkap keluar dari balik pepohonan dan menghampiri Bong Mini. Begitu pula de-ngan empat orang lainnya. Kemudian mereka sama-sama berdiri tegak, memandang ke arah pintu gerbang rumah yang cukup besar itu.
"Hey, Iblis Penghuni Pulau Neraka! Keluar kau!"
Terdengar suara Bong Mini yang lantang.
"Kalian jangan hanya bisa bersembunyi di balik tembok!"
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergema di sekitar tempat itu.
Cukup lantang! Dan kalau di pulau itu ada rumah selain rumah yang dihada-pi gadis itu, tentu penghuninya akan mendengar teriakan Bong Mini yang demikian nyaring.
Krekkk...! Bukkk! Pintu gerbang yang terbuat dari papan-papan kokoh itu terbuka berderit.
Disusul kemudian dengan mun-culnya sepuluh orang bersenjata tombak dan pedang dari dalam rumah besar itu.
Mereka serentak berlom-patan ke luar sambil memamerkan kepandaiannya da-lam memainkan pedang dan tombak panjang.
Sehing-ga senjata mereka berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari yang demikian terik.
Dan dalam waktu yang cepat kesepuluh orang bersenjata itu telah mengepung ke-enam orang tersebut.
"Hm...,"
Terdengar suara seorang di antara mereka yang bernama Jaim bergumam ketika melihat gadis bertubuh mungil itu.
"Rupanya kau belum mampus, Tikus Kecil!"
Lanjut Jaim geram.
Dia masih mengenal gadis berbaju merah yang diserangnya lewat jarum hitam beracun ketika sampai di rumah Bongkap yang te-lah menjadi reruntuhan waktu itu.
Mendengar ucapan seorang lelaki yang mengelili-nginya, Bong Mini menjadi sadar, serangan gelap yang membuatnya pingsan waktu itu dilakukan oleh lelaki tadi lewat jarum-jarum hitam beracun.
"Dugaanmu memang meleset, Setan Buduk! Aku datang ke sini tidak lain ingin menghabiskan seluruh Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, sebagaimana kalian telah menghabiskan para korban kebiadaban kalian!"
Geram Bong Mini. Matanya mulai berapi-api.
"Sombong sekali ucapanmu itu, Cecurut!"
Bentak Jaim ketika telinganya merasa panas oleh kata-kata gadis yang berdiri di hadapannya.
Namun ia sendiri tidak berani bertindak gegabah.
Karena dia tahu bahwa gadis itu pasti orang yang telah membantai teman-temannya ketika akan melakukan penyerangan ke Per-guruan Topeng Hitam.
"Wah, ada tamu cantik rupanya. Kenapa tidak se-gera masuk!"
Tiba-tiba terdengar suara dari pintu gerbang.
Ketika mereka menoleh, ternyata telah berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang berjubah merah berjumbai-jumbai sebatas lutut.
Lelaki itu berdiri tegak dengan wajah berhias senyuman cerah ke arah Bong Mini.
Dialah Gonggo Gung.
Dia keluar setelah mendengar suara ribut antara anak buahnya dengan seorang gadis.
Semula Gonggo Gung marah ketika keluar dari ka-marnya.
Apalagi saat melihat anak buahnya yang ditugaskan menjaga pintu gerbang tewas dengan tubuh bermandi darah.
Namun ketika melihat gadis cantik bertubuh mungil di antara kepungan sepuluh anak buahnya, sikapnya menjadi tenang.
Malah dengan ke-ramah-tamahan yang dibuat-buat ia menyambut keda-tangan Bong Mini dengan mengulum senyum.
Pikir-nya, biar bagaimanapun, gadis itu lebih berharga di-bandingkan dengan nyawa keempat anak buahnya yang sudah tewas.
Ia merasa yakin bahwa gadis itu yang dimaksud oleh Jaim dan Danu.
Gadis yang memi-liki kepandaian luar biasa.
Terlihat dari ciri-cirinya yang mirip dengan penuturan kedua anak buahnya itu.
Ditambah lagi dengan keberanian gadis itu, hingga makin kuatlah dugaannya.
Walaupun ia sudah bersikap tenang dalam me-nyambut Bong Mini, namun hatinya terkejut pula keti-ka matanya tertumbuk pada seorang lelaki bermata sipit dengan jubah putih menutupi tangan kirinya yang buntung.
Dia kenal betul dengan lelaki setengah baya itu.
Sebab dialah yang langsung memimpin Pasukan Perkumpulan Iblis Pulau Neraka ketika melakukan pe-nyerangan dan perampokan ke rumah Bongkap.
"Punya nyali juga rupanya kau, sehingga mau ke-luar dari sarangmu!"
Dengus Bongkap ketika melihat Gonggo Gung berdiri di pintu gerbang. Dia pun sudah sejak tadi mengenali lelaki itu.
"Wah, umurmu masih panjang rupanya, Bongkap!"
Ucap Gonggo Gung setengah mengejek.
Keramah-ta-mahan yang dibuat-buatnya tadi terhadap Bong Mini berubah seketika.
Pikirnya, kalau gadis itu sudah bersekutu dengan Bongkap, pasti ia tidak akan dapat membujuknya agar mau bersekutu dengan Perkumpu-lan Iblis Pulau Neraka yang akan melancarkan sera-ngan ke Perguruan Topeng Hitam.
"Para iblis lebih menyukai nyawa dan tubuhmu se-bagai budaknya selama ini. Oleh karena itu aku da-tang ke sini untuk mengirimkan nyawamu kepada ib-lis-iblis yang selama ini kau sembah!"
Timpal Bongkap tidak kalah sengit. Matanya liar dan tajam memandang Gonggo Gung yang perawakannya lebih tinggi darinya. Mendengar ucapan itu, Gonggo Gung tertawa terba-hak-bahak. Begitu keras, hingga menggema ke seki-tarnya.
"Terlalu sombong kau berbicara, Monyet Buntung!"
Ejek Gonggo Gung di sela tawanya yang meledak-ledak.
"Aku memang pantas berlaku sombong pada orang yang lebih berani menyerang dari belakang seperti kau!"
Timpal Bongkap lagi.
"Setan congek! Kau mau cari mati rupanya. Serang dan bunuh mereka!"
Gonggo Gung yang merasa terhi-na dengan ucapan Bongkap itu segera memerintahkan kesepuluh anak buahnya yang sejak tadi sudah men-gepung Bongkap, Bong Mini, dan empat orang pengi-kutnya.
Ketika mendapat perintah itu, kesepuluh anak buahnya segera bergerak menyerang Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya dengan pedang dan tombak yang tergenggam di tangan masing-masing.
Trang trang! Serangan pedang dan tombak yang dilancarkan orang-orang Iblis Pulau Neraka itu tertangkis oleh pedang-pedang lawannya.
Malah setelah menangkis, me-reka dapat melakukan serangan balik ke arah para penyerang.
Sehingga orang-orang yang mengepung Bongkap dan pengikutnya menjadi berantakan "Hiaaat!"
Bongkap melenting ke udara sambil kakinya me-nendang muka salah satu pengeroyoknya. Begitu cepat dan keras! Sehingga orang yang terkena tendangan kakinya itu terjungkal ke belakang dan membentur sebuah batu besar Dug! "Aaakh!"
Jeritan pendek dari mulut orang itu terdengar.
Di-susul dengan pecahnya kepala orang itu ketika mem-bentur batu besar.
Dalam waktu singkat tubuhnya tergeletak mengerikan! Sementara itu, Bong Mini pun tampak lincah meng-hadapi tiga orang Iblis Pulau Neraka yang menge-royoknya dengan pedang dan tombak.
Namun karena ia telah berpengalaman menghadapi keroyokan, bah-kan sering menghadapi keroyokan lebih dari lima o-rang, ia tampak masih tenang menghadapinya.
Bah-kan dengan gerakan yang cepat dan tiba-tiba, dihu-jamkan ujung pedangnya ke salah seorang pengero-yoknya dengan gerakan menusuk.
Creb! Seorang lawan yang terkena tusukan pedangnya itu langsung menggeliat dan roboh di tanah tanpa ampun lagi.
Dia mati dengan mata mendelik mengerikan.
Bersamaan dengan tewasnya musuh yang terkena tusukan pedang Bong Mini, Sang Piao, Ashiong, Geblek dan Gunala telah pula menyelesaikan lawan dengan kematian yang mengerikan.
Kini tinggal Bong Mini dan Bongkap yang masih bertarung melawan dua orang lawan masing-masing.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan teriakan pan-jang.
Disusul dengan gerakan tubuh yang berputar cepat seperti baling-baling kapal.
Itulah jurus 'Tanpa Bayangan' dan jurus 'Pedang Samber Nyawa' yang terkenal hebat dan sadis.
Sehingga Pedang Teratai Merah berputar kencang tanpa memperlihatkan bentuknya.
Tanpa diketahui oleh mata lawan, tiba-tiba pedang itu merobek perut kedua lawannya sekaligus.
Bret bret! Dua lawan yang terkena sabetan pedangnya yang dahsyat itu langsung roboh tanpa mengeluarkan peki-kan sedikit pun.
Di pihak lain, Bongkap yang pernah terkenal seba-gai Singa Perang, telah pula menghabisi kedua lawannya.
Sehingga lawan yang sekarang masih ada tinggal Gonggo Gung sendiri, karena memang sejak tadi dia hanya menyaksikan pertempuran itu dari arah pintu gerbang.
Takkk! Tongkat yang sudah dikeluarkan dari balik jubah merahnya dihentakkan keras oleh Gonggo Gung.
Mem-buat batu besar yang terkena hentakan ujung tongkat itu langsung berantakan.
Bayangkan! Bagaimana kalau tongkat itu mengenai kepala manusia? Tentu tidak ada ampun lagi.
Itulah jurus 'Tongkat Hitam Penyebar Racun'.
"Kalian memang orang-orang yang perlu diberi pela-jaran!"
Geram Gonggo Gung dengan sorot mata yang merah menyala.
Kemudian dilanjutkan dengan sebuah loncatan ke depan sambil melintangkan tongkat hi-tamnya di depan dada.
Kemudian dengan gebrakan menusuk, Gonggo Gung mengarahkan tongkatnya pa-da tubuh Bongkap.
Tak! Jurus 'Tongkat Hitam Penyebar Racun' terhalang oleh pedang Bong Mini yang dipakai untuk menangkis, memaksa Gonggo Gung cepat menarik kembali tongkat hitamnya.
Karena pada saat beradu dengan pedang Bong Mini tangannya terasa begitu panas dan perih.
"Biarkan aku yang menghadapi iblis jelek ini, Papa!"
Seru Bong Mini dengan sikap gagah dan mata yang memandang tajam pada lawannya.
Bongkap yang sejak berkumpul dengan Bong Mini belum sempat melihat perkembangan kepandaian silat putrinya, langsung menyetujui kehendak Bong Mini, walaupun ia tetap waspada dan berjaga-jaga bila pu-trinya nanti kewalahan menghadapi Ketua Perkumpu-lan Iblis Pulau Neraka.
Gonggo Gung kembali menyerang, bukan pada Bongkap tetapi pada Bong Mini dengan memutar tong-katnya ke atas untuk menghantam kepala Bong Mini.
Wuttt! Serangan tongkat Gonggo Gung itu kandas dan hanya menghantam udara kosong.
Pada saat tongkat hitam itu mengarah pada kepala lawannya, Bong Mini segera menggabungkan ilmu peringan tubuh dengan 'Halimun Sakti'.
Dia mengelak dengan cara menunduk, lalu langsung dilanjutkan dengan gerakan melompat ke atas dengan kecepatan seperti kilat.
Membuat tu-buhnya yang mungil itu raib dari pandangan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, akibat ilmu 'Halimun Sakti' yang digunakannya.
Sebuah ilmu kesak-tian yang membuat tubuhnya menghilang dari pan-dangan, seolah-olah terhalang kabut hingga samar.
Gonggo Gung terkejut bukan main ketika matanya tidak melihat tubuh lawan yang diserangnya.
Dan be-lum sempat ia mencari-cari ke mana perginya orang yang diserang, tiba-tiba tubuh Bong Mini melayang turun kembali.
Melihat kehadiran musuhnya yang tiba-tiba itu, Gonggo Gung kembali melancarkan serangan tongkat hitamnya.
Trakkk! Tongkat hitam yang tertangkis tangan Bong Mini itu menimbulkan suara yang amat keras.
Disusul kemu-dian dengan tongkat hitam Gonggo Gung yang terpo-tong dua.
Sedangkan tubuh pemiliknya sendiri terpe-lanting dengan wajah pucat melihat tangan kanan Bong Mini yang meluncur deras ke dahinya.
"Hiyyy!"
Gonggo Gung terpaksa bergulingan di tanah.
Pada saat bergulingan itu tangannya mengambil sebuah tombak yang kebetulan tergeletak di dekatnya.
Dan ketika bangkit, tangan kanannya sudah menggenggam tombak yang panjangnya dua meter itu.
Sedangkan tangan kirinya yang sudah disalurkan ilmu 'Tenaga Besi' dikepalkan kuat-kuat untuk menangkis sera-ngan.
Kehebatan ilmu 'Tenaga Besi' yang dikerahkan oleh Gonggo Gung dapat menghalau serangan lawan dan bisa tahan terhadap benturan keras, sebagaimana yang dilakukan Bong Mini tadi ketika menangkis tongkat hitam dengan tangan kirinya.
"Hiyaaat!"
Gonggo Gung melengking tinggi dengan tubuh ber-lari ke arah lawan yang berdiri di hadapannya.
Se-dangkan tombak yang digenggamnya bergerak cepat, membuat ujung tombak di tangannya terlihat banyak.
Ujung tombak yang tampak banyak itu bergerak amat dahsyat, menyambar-nyambar bagian-bagian tertentu tubuh lawannya.
Wut wut wuttt! Angin yang diciptakan oleh tombak itu terasa seper-ti bergulung-gulung di sekitar tempat itu.
Rambut Bong Mini dan orang-orang yang berada di tempat itu tampak menggelepar tertiup angin yang ditimbulkan oleh putaran tombak Gonggo Gung.
Menghadapi serangan seperti itu, Bong Mini pun melakukan gerakan serangan yang sama.
Dia meng-ambil ranting kayu pohon dan mematahkannya seuku-ran tombak yang digunakan lawannya.
Kemudian rant-ing pohon yang dijadikan tombak itu diputar demikian cepat sehingga seperti berjumlah dua puluh lebih, membentuk bayangan ujung tongkat yang amat meng-getarkan dada.
Seketika itu juga terjadilah pertandingan tombak yang sangat seru dan aneh! Karena jurus serangan tombak yang dilakukan oleh keduanya itu bergerak sama.
Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala kelihatan terkagum-kagum menyaksikan pertandingan itu.
Terutama kepada Bong Mini.
Selain karena ilmu peringan tubuh yang membuatnya dapat melesat de-ngan kecepatan luar biasa setiap kali menggenjot kedua kakinya, juga karena jurus tombak yang diguna-kan oleh Bong Mini sama dengan jurus tombak lawan tandingnya.
"Hm..., putriku benar-benar telah memiliki kepan-daian yang sangat tinggi!"
Gumam Bongkap dengan wa-jah terkagum-kagum dan mata tak berkedip menyaksi-kan kehebatan putrinya sendiri.
Gonggo Gung yang melihat gadis itu menggunakan jurus tombak ciptaannya menjadi marah bukan main.
Selama ini, jurus tombak yang diciptakannya itu be-lum ia turunkan kepada siapa pun.
Sekarang ia meli-hat seorang gadis cantik menggunakan jurus ilmu tombaknya dengan kecepatan yang lebih tinggi lagi, maka marahlah ia.
Sehingga dengan cepat ia merubah serangan tombaknya dengan cara membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar di atas kepala.
Inilah yang disebut dengan jurus 'Tombak Hulahup'.
Dan kehebatan jurus 'Tombak Hulahup' ini, bila ujung tongkatnya yang sedang berputar itu mengenai kepala lawan, ma-ka tidak ada ampun lagi! Tubuh lawan akan roboh dengan kepala yang hancur berkeping-keping seperti batu kerikil.
Dengan tangan kanan yang terus memutarkan tongkat hitamnya di atas kepala, Gonggo Gung mela-kukan pukulan maut ke arah lawan lewat tangan kiri-nya yang sudah dialiri ilmu 'Tenaga Besi'.
Trakkk! Trak tak takkk! Tombak hitam yang digunakan Gonggo Gung dan tongkat kayu yang dipegang Bong Mini beradu dengan keras.
Dalam sekejap mata, kedua senjata yang digu-nakan mereka patah menjadi dua bagian.
Disusul de-ngan bertemunya dua lengan mereka.
Dep! Gonggo Gung yang menjadi Ketua Iblis Pulau Nera-ka ini mengaduh kesakitan dan melemparkan tombak-nya yang patah.
Sedangkan tangan kanannya mengu-rut-urut lengan kirinya.
Hatinya heran, tangan kirinya yang selama ini ampuh, dapat menahan senjata lawan bagaimanapun kerasnya, kini berubah seperti bambu yang bertemu besi.
Tulang-belulangnya retak dan sakit bukan main.
Tapi demi menjaga nama baiknya, Gonggo Gung kembali berhadapan dengan Bong Mini.
Ke-dua matanya telah benar-benar merah membara.
Per-tanda tubuhnya telah sepenuhnya dirasuki nafsu iblis yang selama ini dipujanya.
"Bersiaplah sekarang, Tikus Kecil! Aku benar-benar akan mengantar nyawamu ke neraka!"
Geram Gonggo Gung.
"Silakan kalau kau mampu!"
Tantang Bong Mini de-ngan bibir tersenyum tipis.
Gonggo Gung tidak menanggapi ucapan lawannya.
Kecuali segera mencabut dua batang pedang yang se-jak tadi terselip di pinggangnya dan tertutup oleh jubah merahnya yang panjang berjumbai-jumbai.
Sreset! Sepasang pedang berukuran panjang telah tergeng-gam di kedua tangannya.
Kemudian tanpa memberi kesempatan yang lebih panjang, tubuhnya segera me-lesat menyerang Bong Mini lewat jurus 'Pedang Mem-belah Langit'.
"Hiyaaat!"
Trang! Trang! Sepasang pedang yang berkelebat cepat ke arahnya segera disambut oleh Bong Mini dengan gerakan me-nangkis serta menyerang Gonggo Gung menggunakan Pedang Teratai Merah-nya.
Cuarrr! Cuarrr! Cahaya merah berbentuk bunga terarai bergulung-gulung cepat ketika Bong Mini melakukan gerakan me-nangkis dan menyerang.
Bongkap dan pengikutnya yang lain kembali terka-gum-kagum.
Kali ini kekaguman mereka bukan pada Bong Mini tetapi justru pada pedangnya yang dianggap ajaib dan sakti.
Terbukti dari setiap gerakan pedang yang selalu menimbulkan cahaya merah menyala dengan bentuk bunga teratai.
Pertandingan pedang yang dilakukan Gonggo Gung dan Bong Mini berlangsung seru.
Gonggo Gung lewat kedua pedangnya ternyata mampu membuat lawannya tersudut kewalahan.
Trang! "Aaakh!"
Benturan dua pedang Gonggo Gung dengan pedang-nya membuat tangan Bong Mini terasa pedas.
Belum lagi rasa nyeri di tangannya memupus, sebuah sera-ngan berupa tendangan kaki ke dadanya menyusul, membuat ia terhuyung jatuh ke belakang.
Sedangkan Pedang Teratai Merah terlepas dari genggamannya dan terpental ke udara.
Semula Gonggo Gung gembira melihat lawannya terjatuh, ia akan segera menghabisi lawannya.
Namun ketika melihat pedang Bong Mini yang menukik deras ke arahnya, Gonggo Gung segera melakukan tangkisan dengan kedua pedangnya.
Trang! Trang! Pedang Teratai Merah terjatuh ke atas tanah dengan keras.
Namun pedang itu hanya tergeletak sebentar, lalu kembali bergerak ke arah Gonggo Gung dengan gerakan seperti hendak menyerang.
Melihat pedang yang bergerak secara ajaib itu, mata Gonggo Gung terbelalak bukan main.
Tapi dia segera tersadar ketika pedang itu telah mendekat ke arahnya segera tangannya melakukan tangkisan-tangkisan se-kuatnya.
Trang! Trang! Berulang-ulang benturan senjata yang berlainan arah itu terjadi, namun begitu, Pedang Teratai Merah milik Bong Mini terus melakukan serangan.
Bahkan pedang itu bergerak demikian cepat, membuat Gonggo Gung kewalahan menghadapinya.
Sampai suatu saat....
Trang! Creb! Pedang Teratai Merah milik Bong Mini itu menancap di dada Gonggo Gung.
Kemudian pedang yang menan-cap dalam itu bergerak-gerak sendiri, seolah-olah hendak merobek-robek dan mengeluarkan isi dada lawan-nya.
Gonggo Gung yang sudah tersungkur di tanah, mengerang-erang dengan tubuh menggelepar-gelepar seperti ikan yang terdampar di pinggir sungai.
Setelah itu, tubuh tinggi besar itu pun tidak bergerak-gerak la-gi.
Gonggo Gung tewas dengan mata dan mulut terbu-ka lebar.
Melihat Gonggo Gung tewas, Pedang Teratai Merah mencabut diri dari perut lawan.
Lalu bergerak meluncur ke arah Bong Mini yang tampak memandang tak-jub ke arahnya.
Setelah dekat dengan Bong Mini, pedang itu mem-perlambat gerakannya.
Lalu rebah dalam pelukan Bong Mini.
Bong Mini menyambut kedatangan Pedang Teratai Merah itu dengan wajah gembira.
Dipeluk dan dicium-nya gagang pedang itu bertubi-tubi.
"Terima kasih, 'sahabat'ku. Terima kasih! Engkau telah turut berjuang menegakkan kebenaran!"
Ucap Bong Mini, bersama dua butir air mata yang menitik di kedua pipinya.
Dia menangis terharu.
Pikirnya, pedang saja mau berbuat kebajikan dan tahu mana perbuatan salah dan yang benar, kenapa manusia yang sudah di-bekali akal pikiran dan perasaan justru berbuat seperti iblis yang selalu ingin berbuat kejahatan di muka bu-mi? Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala yang sejak tadi terpaku melihat kesaktian pedang Bong Mini, segera melangkah mendekati gadis mungil itu.
"Papa!"
Desah Bong Mini seolah-olah baru menya-dari kalau di dekatnya ada lelaki setengah baya yang selama ini membimbingnya.
Kemudian dengan butiran air mata yang masih melekat di kedua pipinya, ia langsung memburu Bongkap dan merebahkan kepalanya di dada Bongkap.
"Kau benar-benar putriku yang hebat!"
Puji Bong-kap bergetar, terharu melihat perkembangan Bong Mi-ni yang demikian cepat.
"Bukan aku, Pa. Tapi ini!"
Sahut Bong Mini sembari mengangkat Pedang Teratai Merah yang masih digeng-gamnya. Bongkap tersenyum sambil mengamati Pedang Te-ratai Merah yang sejak tadi membuatnya terkagum-kagum.
"Bagaimana kau bisa memiliki pedang sakti ini?"
Ta-nya Bongkap sambil mencoba memegang gagang pe-dang itu.
"Aku mendapatkannya dari Putri Teratai Merah!"
Sahut Bong Mini, cepat.
"Putri Teratai Merah?"
Bongkap mengerutkan ke-ningnya.
"Benar, Pa. Apakah Papa mengenalnya?"
Bong Mini balik bertanya.
"Tidak, Sayang. Mendengarnya pun Papa baru kali ini!"
Sahut Bongkap.
"Dia seorang pendekar wanita yang sulit dicari tan-dingannya saat ia masih hidup beberapa ratus tahun yang lalu!"
Jawab Bong Mini menjelaskan.
"Ratusan tahun yang lalu?"
Tanya Bongkap terbela-lak.
"Ya, Papa!"
"Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengannya?"
Ta-nya Bongkap lagi, keheranan.
"Aku sendiri tidak tahu. Sebab pertemuanku de-ngan Putri Teratai Merah tanpa kurencanakan sebe-lumnya. Saat itu, ketika aku melakukan tapa sampai hari yang keempat puluh, tiba-tiba tubuhku seperti melayang di udara. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba aku sampai di Istana Putri, tempat kediaman Putri Teratai Merah. Di situlah aku mendapatkan warisan pedang ini!"
Tutur Bong Mini menceritakan dengan singkat mengenai Pedang Teratai Me-rah yang didapatnya.
Bongkap mengangguk-angguk.
Dan saat itu pula ia mulai yakin bahwa putrinya sekarang ini benar-benar telah memiliki kepandaian yang telah mengungguli kepandaiannya sendiri.
Kalau dia hanya memiliki jurus-jurus ilmu kungfu, maka putrinya, selain pandai main kungfu juga telah memiliki ilmu kesaktian yang amat ampuh, termasuk Pedang Teratai Merah.
*** Matahari telah berdiri sepenggalan.
Sinarnya yang kekuning-kuningan terasa menghangatkan tubuh.
Membuat seluruh makhluk di permukaan bumi ini bersemangat di dalam menjalankan tugas rutinnya se-hari-hari.
Pagi itu, Bong Mini tampak duduk di Telaga Ungu yang letaknya sekitar empat puluh kilo dari pesisir Selat Malaka.
Dia duduk di tempat yang terlindung oleh semak-semak dengan tangan memegang kail.
Ketika tadi ia melewati danau itu, matanya melihat banyak ikan yang berkeliaran, terutama di tempat ia duduk.
Sehingga timbul keinginannya untuk memancing ikan sebagai pengisi perutnya yang lapar.
Pikirnya, mengisi perut dari hasil memancing akan lebih terasa nikmat walaupun harus menunggu terlebih dahulu sampai berjam-jam.
Yang lebih menarik keinginannya justru karena memancing menyimpan keindahan tersendiri.
Karena itu ketika pertama kali melihat banyak ikan di Telaga Ungu, cepat-cepat ia mencari warung untuk membeli kail.
Sedangkan mata kailnya ia beli dari seseorang yang turut memancing di Telaga Ungu.
Dengan tenang dan sabar, Bong Mini menunggu umpannya digigit ikan.
Namun sampai dua jam lebih tak satu ikan pun yang menyambar umpannya.
Pa-dahal di sekitar tempat itu tidak ada lagi orang yang memancing.
Tidak seperti tempat lain yang agak jauh dari tempatnya duduk.
Karena sudah dua jam lebih belum ada ikan yang memakan umpannya, hati Bong Mini yang tadinya sa-bar berubah menjadi kesal.
Huh, ikan sialan! Apakah kalian tidak merasakan lapar? Atau kalian masih pada tidur? Kalau memang benar masih tidur berarti kalian pemalas.
Tidak mengindahkan peringatan matahari yang menyuruh kalian bangun dan bekerja.
Atau kalian pergi rekreasi sekeluarga, sebagai hiburan akhir pekan? Bong Mini meng-umpat dalam hati panjang lebar dengan kesal.
Tapi tidak lama kemudian, bibirnya yang merah merekah ter-senyum geli seperti menertawakan dirinya sendiri.
Heh, apa benar ada ikan yang tidur? Tanyanya bi-ngung sendiri.
Lalu ia termenung dengan bertopang dagu di atas lututnya.
Bukankah dia juga makhluk hidup yang membutuhkan makan, tidur, dan istirahat sebagaimana manusia? Dan, apakah benar ikan itu ju-ga suka rekreasi bersama istri, anak, dan cucu-cucu-nya? Membayangkan gambaran yang menggelitik ha-tinya itu Bong Mini menjadi tertawa terkikik.
Apalagi di sekitarnya tidak ada orang lain, membuat ia semakin bebas tertawa.
Membayangkan keadaan hidup ikan itu, ternyata membuat Bong Mini lupa terhadap perutnya yang la-par.
Malah ia semakin asyik duduk di sana sambil memegangi kail.
Tak peduli dengan terik matahari yang mulai menghujam di atas kepala.
Bersamaan dengan bergeraknya matahari di atas kepala, saat itu pula kailnya mulai terasa bergerak.
Seperti ada seekor ikan yang menyentuh umpannya.
Ia tersentak senang.
Perhatiannya pun tercurah sepenuhnya ke ujung kail.
Namun kegembiraannya itu tiba-tiba berubah men-jadi rasa dongkol.
Karena pada saat ia hendak mendapatkan ikan, perahu kecil melintas di tempat ia me-ngail.
Kedatangan perahu itu tentu saja membuat air di sekitarnya bergoyang bagai ombak kecil, sehingga ikan yang tadi hendak menyantap umpannya menjadi kabur.
Bong Mini mengangkat wajahnya dan menatap ke arah orang yang mendayung perahu itu dengan marah.
"Apakah kamu tidak tahu kalau di sini ada orang yang sedang memancing ikan?"
Ketus Bong Mini de-ngan mata yang mendelik indah.
Penumpang perahu yang sudah berada beberapa meter di hadapan Bong Mini segera bangkit berdiri.
Namun demikian, mata Bong Mini sedikit pun tak dapat melihat wajah menumpang perahu kecil itu, karena penumpang perahu itu mengenakan caping yang ter-buat dari tikar sebagai pelindung wajah dari terik sinar matahari.
Hanya pakaiannya saja yang bisa dilihat oleh Bong Mini, berwarna putih lembut dengan tangan dan celana panjang yang agak melebar.
"Maaf, Nona. Aku tidak tahu kalau perahu ini meng-ganggu keasyikanmu!"
Hatur penumpang perahu itu dengan sikap sopan. Sedangkan dari bibirnya tampak sekilas senyum yang amat lembut.
"Hm...! Kau minta maaf setelah ikan-ikan itu pergi jauh?!"
Hardik Bong Mini lagi dengan kedongkolan yang menjadi-jadi.
"Kau tahu, umpanku baru saja di-sentuh seekor ikan besar. Tapi begitu perahumu da-tang, ikan itu segera kabur. Padahal sejak tadi perutku sudah lapar, hendak menyantap ikan hasil pancingan-ku!"
Lanjut Bong Mini, tetap bernada sewot. Wajahnya bersemu merah karena sejak berjam-jam terkena cahaya matahari.
"Sayang sekali!"
Gumam penumpang perahu kecil itu yang juga menunjukkan sikap menyesalnya.
"Kalau begitu biar aku mengganti ikanmu yang hilang itu!"
Dalam keadaan masih berdiri di atas perahu kecil-nya, pemuda itu segera memegang dayungnya dengan tangan kanan.
Kepalanya yang tertutup caping lebar tampak menunduk.
Menunjukkan bahwa lelaki itu se-dang mengamati permukaan air telaga yang sudah ke-lihatan tenang.
Setelah beberapa saat pemuda itu terpaku menga-mati air telaga, tiba-tiba dayung yang dipegangnya diangkat lalu secepat kilat digerakkan ke permukaan air.
Kemudian ia berjongkok dengan tangan kiri me-nyentuh air telaga.
Dan ketika tangan kirinya itu te-rangkat, terlihatlah seekor ikan sebesar paha.
Ikan itu mati karena terpukul dayung pemuda tadi.
"Terimalah, Nona. Sebagai pengganti ikan tangka-panmu yang kabur itu!"
Kata lelaki itu sambil melempar ikan ke samping Bong Mini.
Melihat itu Bong Mini terbelalak.
Ia merasa yakin bahwa lelaki yang naik perahu kecil itu bukan lelaki sembarangan.
Paling tidak ia memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dianggap remeh.
Terbukti dari dayungnya yang begitu mudah membunuh seekor ikan besar.
Secara tidak langsung, lelaki itu memamerkan kepandaian di hadapannya.
"Aku ingin mendapatkan ikan lewat seni mengail. Kalau hanya seperti yang kau lakukan, sudah sejak tadi aku mendapatkannya!"
Kilah Bong Mini.
Dan de-ngan keadaan tubuh yang masih duduk tenang, Bong Mini memperhatikan permukaan air telaga.
Lewat per-mukaan air yang tenang dan jernih itu, mata Bong Mini dapat melihat dengan jelas beberapa ekor ikan besar berenang-renang di dekatnya.
Lalu dihujamkan-nya tangkai kail ikan yang terbuat dari bambu.
Kemudian tangkai kail itu segera diangkat kembali.
Di ujung kailnya, seekor ikan tengah menggelepar-gelepar.
Bong Mini meletakkan ikan buruannya itu di darat.
Kemudian tangkai kail itu dihujamkan kembali ke da-lam air.
Tidak lama kemudian ia mengangkat kembali tangkai kailnya.
Kini dua ekor ikan yang cukup gemuk tertancap di ujungnya.
"Ckckck..., bukan main Nona ini. Rupanya Anda seorang gadis yang mempunyai kepandaian yang sa-ngat tinggi!"
Puji pemuda yang mengendarai perahu kecil, terkagum.
"Maafkan aku kalau tadi mengganggu kail Anda yang sudah hendak mendapatkan ikan!"
Lanjut lelaki itu dengan suara lembut dan sopan.
Kemu-dian ia kembali duduk dan perlahan mendayung pera-hunya dengan tenang.
Bong Mini memperhatikan laju perahu itu sambil berdiri sampai hilang dari pandangan matanya karena terhalang oleh semak-semak yang rimbun.
Kemudian ia menghela napas ringan.
Matanya beralih meman-dang empat ekor ikan gemuk yang mati akibat tusukan ujung pancingnya dan pukulan dayung lelaki tadi.
"Maafkan aku, sobat. Sebenarnya aku hendak me-makan dagingmu dengan cara memancing. Tapi kare-na lelaki tadi telah memamerkan kepandaian ilmunya maka aku pun terpaksa melakukan ini!"
Ucap Bong Mini sambil menatap keempat ikan yang berada di ta-ngannya itu dengan wajah yang berbinar penuh canda.
Bong Mini membawa empat ekor ikan itu ke tepi te-laga.
Di sana ia membersihkan sisik ikan dengan ku-kunya yang agak panjang dan meruncing.
Sungguh menakjubkan! Dalam sekejap sisik-sisik ikan itu telah bersih dari badannya.
Setelah sisik ikan itu dibersih-kan, ia pun menggores perut ikan dengan kuku kecil-nya yang tumbuh di jari kelingking.
Kemudian isi perut ikan itu dibuang dan dicucinya dengan air telaga.
Setelah ikan itu benar-benar bersih, ia pun segera melumuri empat ekor ikan itu dengan bumbu yang sudah disiapkan.
Selanjutnya, keempat ikan itu pun dima-sukkan ke tusukan bambu dan memanggangnya di atas api yang membara.
"Hm..., sedapnya!"
Gumam Bong Mini ketika hidung-nya yang mungil dan mancung mencium aroma yang disebarkan ikan panggang itu.
Untuk beberapa saat, hidungnya yang mungil dan bangir itu berkembang kempis sangat lucu.
Tidak begitu lama ikan itu berada di atas bara api, Bong Mini segera mengangkatnya dan meletakkannya di atas daun beberapa saat, agar pada waktu dimakan ikan itu tidak terlalu panas.
Setelah ikan panggang itu mulai menghangat, baru-lah Bong Mini menyantapnya dengan penuh nikmat.
Rasa gurih dan manis yang ditebaskan oleh bumbu ikan membuat ia semakin berselera menyantapnya.
"Alangkah gembiranya jika aku diminta membantu untuk menghabiskan ikan panggang yang beraroma sedap itu!"
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari balik semak-semak.
Bong Mini yang sedang asyik menyantap ikan men-jadi terkejut.
Ia segera menghentikan makannya dan menoleh ke arah suara tadi.
Di sana matanya melihat lelaki yang mengenakan caping tengah duduk berpeluk lutut, memperhatikan Bong Mini yang sedang memegang seekor ikan panggang.
"Kamu sengaja tidak pergi rupanya,"
Kata Bong Mini dengan pandangan mata setengah curiga kepada lelaki yang bercaping itu. Dan ia tahu kalau lelaki bercaping itu tidak lain orang yang di perahu kecil tadi.
"Maaf, Nona. Tadi aku memang sudah berniat hen-dak pergi. Tapi ketika baru beberapa meter dari sini, hidungku mencium aroma sedap dari ikan yang Nona bakar, membuat saya membatalkan niat dan berbalik haluan!"
Ucap lelaki itu mengemukakan alasan kenapa ia berada di tempat itu lagi.
"Hm...! Terus kamu mau apa setelah berada di si-ni?"
Tanya Bong Mini dengan pandangan tajam meneli-ti. Bibir pemuda itu tersenyum kecil.
"Aku hanya ingin mencium bau ikan sedap itu lebih dekat lagi. Tapi kalau ditawari untuk turut menikmatinya, aku akan menerimanya dengan senang hati!"
Sahut pemuda itu dengan suara yang tetap ramah.
Bong Mini diam sejenak.
Sesungguhnya ia sendiri tidak mungkin dapat menghabiskan empat ekor ikan panggang besar itu sekaligus.
Terbukti, baru dua ekor saja yang disantap, perutnya sudah terasa kenyang.
Melihat gerak-gerik pemuda itu tidak mencurigakan, malah bersikap sopan kepadanya, maka Bong Mini pun mengajak pemuda itu untuk makan sama-sama.
Mendapat tawaran yang tak disangka-sangka itu, pemuda tadi melonjak girang.
Malah berkali-kali tu-buhnya membungkuk di hadapan Bong Mini sambil mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Nona. Terima kasih.... Nona benar-benar berhati baik!"
Puji pemuda itu dengan wajah berseri.
"Sudahlah. Langsung saja nikmati ikan panggang itu. Bukankah kau pun ikut menangkapnya?"
Kata Bong Mini seakan tidak peduli dengan ucapan terima kasih pemuda itu.
Pemuda itu menurut.
Lalu ia duduk di hadapan Bong Mini.
Sedangkan tangannya mengambil seekor ikan panggang yang tergeletak di atas daun lalu me-nyantapnya.
Diam-diam ekor mata Bong Mini melirik pada pe-muda yang sedang menyantap ikan bakar dengan la-hap.
Walau ia berkali-kali mencuri pandangan ke arah lelaki itu, matanya tetap tak dapat menangkap wajah itu dengan jelas karena terhalang oleh capingnya yang lebar.
Selain itu tampaknya dia sengaja hendak me-nyembunyikan wajah.
Terlihat dari sikapnya yang sela-lu menunduk.
Ikan panggang di tangan Bong Mini hanya tinggal tulang saja.
Kini matanya jelalatan mencari air minum.
Padahal ia tahu kalau sejak tadi tidak membawa tem-pat air minum.
Tanpa disadari, tingkah Bong Mini tidak luput dari perhatian lelaki di depannya.
Sambil terus mengunyah ikan di tangannya, pemuda itu menyodorkan botol minuman ke arah Bong Mini.
"Apa ini?"
Tanya Bong Mini dengan mata meneliti ke arah minuman.
"Pengganti air minum!"
"Aku tidak bisa meneguk minuman keras,"
Kata Bong Mini setelah mencium mulut botol yang menye-barkan bau arak.
"Itu bukan arak. Hanya sebotol anggur yang manis dan segar. Juga tidak memabukkan!"
Lelaki itu menjelaskan tentang minuman yang dibawanya.
Bong Mini menatap lelaki itu sekilas.
Kemudian tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia menung-gingkan mulut botol yang digenggamnya.
Sehingga air anggur itu turun ke mulutnya tanpa menyentuh permukaan botol.
Hal itu ia lakukan untuk menghindari bau amis mulutnya agar tidak menempel pada mulut botol.
Lelaki yang kini sudah menghabiskan dua ekor ikan panggang tampak tersenyum melihat cara Bong Mini minum.
Dia tahu maksud Bong Mini meneguk botol minuman seperti itu.
Sehingga timbul rasa kagum di hatinya.
"Anggur yang kau bawa ini memang enak!"
Ucap Bong Mini sembari memberikan botol minuman itu ke-pada lelaki tadi. Lelaki yang mengenakan caping itu segera menyam-but botol yang diberikan Bong Mini. Kemudian ia pun segera menuangkan anggur itu langsung dari botolnya.
"Ah..., hari ini aku benar-benar lega. Bisa bertemu wanita cantik sekaligus menikmati hasil masakannya!"
Ucap lelaki itu sambil meletakkan botol anggurnya.
"Cantik?"
Tanya Bong Mini dengan wajah ragu-ragu memandang wajah lelaki yang tersembunyi di balik capingnya.
"Ya. Bukan saja cantik tetapi juga lincah dan me-narik!"
Sambung lelaki itu menambahkan pujiannya pada perempuan berbaju merah yang baru dilihatnya itu.
"Hm..., baru kali ini aku mendapat pujian langsung dari seorang lelaki!"
Kata Bong Mini tanpa memperlihatkan perubahan sikapnya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya kalau kau me-mang seorang gadis yang menarik!"
"Apanya yang menarik?"
Pancing Bong Mini. Senga-ja pertanyaan itu ia ajukan. Ia ingin mengetahui jawaban lelaki itu. Karena dari jawaban itu ia akan dapat menilai pribadi lelaki di hadapannya.
"Entahlah, sukar untuk menentukan yang pasti. Tapi ada beberapa daya tarik yang kau miliki berda-sarkan penilaianku sendiri. Matamu, hidungmu, bibir-mu yang selalu basah dan memerah. Dan yang lebih penting adalah kesederhanaan serta kelembutan hati-mu!"
Tukas lelaki bercaping itu, memberikan penilaian.
Sebagai gadis yang baru menginjak remaja, tentu saja Bong Mini senang mendapat pujian itu.
Selama ini ia belum pernah mendapatkan pujian langsung dari seorang lelaki kecuali papanya sendiri.
Memang lelaki yang ada di hadapannya kali ini ber-beda dengan lelaki lain yang seringkali mempunyai niat buruk.
Yang selalu memandangnya dengan soro-tan mata penuh nafsu birahi, bercampur kata-kata rayuan yang mengandung kekurangajaran.
Pemuda yang bercaping itu jelas berbeda dengan mereka.
Ia mengatakan apa adanya, polos dan sama sekali tidak memberikan kesan kurang ajar.
Sehingga ketika men-dengar pujian pemuda yang baru dilihatnya itu, Bong Mini langsung tersenyum senang.
Setelah memberikan pujian, lelaki itu mendadak berdiri.
"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak mengambil sesuatu!"
Katanya, dan tanpa menunggu sahutan dari Bong Mini lelaki itu segera melesat pergi.
Bong Mini memandang bayangannya dengan terhe-ran-heran.
Ia masih bertanya-tanya dalam hati me-ngenai lelaki misterius yang tak pernah memperli-hatkan wajahnya sehingga menimbulkan rasa penasa-ran di hati Bong Mini.
Sebenarnya Bong Mini ingin sekali mengetahui na-manya dan melihat wajahnya.
Tapi niatnya itu segera ia kubur.
Menurutnya, kurang baik bila ia yang me-nanyakannya terlebih dahulu.
Karena secara tidak langsung akan menurunkan harga dirinya sebagai wa-nita.
Mungkin hal itu dianggap wajar bagi wanita lain, tapi bagi dirinya sendiri hal itu sangat tabu.
Biarlah lelaki itu yang lebih dulu memperkenalkan diri, pikir Bong Mini.
Saat tercenung seperti itu, tiba-tiba muncul lelaki tadi membawa buah nangka yang sudah masak.
"Untuk cuci mulut kita yang bau amis!"
Ucap lelaki itu sebelum Bong Mini mengajukan pertanyaan.
Tanpa menunggu lagi, lelaki tadi segera berlutut dan membelah buah nangka itu dengan kedua tangannya yang sudah disalurkan tenaga dalam.
Dalam sekejap mata buah nangka yang kuning masak itu terbuka.
Memper-lihatkan isinya yang kuning ranum, mengundang se-lera.
"Ayo!"
Ajak lelaki itu sambil memberikan sebelah nangka kepada Bong Mini. Sedangkan sebelah lagi un-tuk dirinya sendiri.
"Kau pandai pula membaca seleraku!"
Kata Bong Mini saat menggigit sebutir isi nangka dan mengu-nyahnya penuh nikmat. Nangka memang salah satu buah yang menjadi kegemarannya.
"Cuma kebetulan!"
Lelaki itu merendah sambil terus menyantap daging nangka.
"Dari mana kau dapatkan ini?"
"Dari sini juga. Di sebelah timur telaga ini!"
Keduanya terdiam.
Sama-sama asyik menikmati buah nangka.
Sehingga dalam waktu sekejap buah nangka yang besar itu telah habis disantap mereka berdua.
Kemudian keduanya memandang belahan buah nangka yang hanya tinggal kulit luarnya itu.
Mendadak keduanya saling berpandangan dibarengi tawa renyah bersama-sama.
"Heh, kenapa kau tertawa?"
Tanya lelaki itu heran.
"Kamu sendiri kenapa tertawa?"
Balik Bong Mini.
"Aku cuma heran dengan perutku sendiri. Tadi wak-tu menyantap dua ekor ikan, perutku sudah terasa kenyang. Tapi begitu dapat buah nangka ini dengan cepat kita menghabiskannya!"
Sahut lelaki itu.
"Wah, kalau begitu sama. Aku juga berpikir begitu!"
Celetuk Bong Mini seraya melepaskan senyum.
"Kalau begitu kita punya perasaan dan selera yang sama!"
Seloroh lelaki itu.
"Maksudmu?"
Tanya Bong Mini. Ditatapnya wajah lelaki itu sungguh-sungguh.
"Kita sudah menangkap ikan sama-sama. Menikma-tinya bersama pula, termasuk memakan buah nangka. Sehingga memberi kesan kalau kita sudah saling ber-kenalan cukup lama,"
Tutur lelaki itu.
Membuat Bong Mini lagi-lagi terkejut.
Sebab pikiran itu pun sedang bergeliat di benaknya.
Jadi benar apa yang dikatakan oleh pemuda itu kalau mereka berdua punya selera dan perasaan yang sama.
Bong Mini tersenyum sambil memandang tubuh le-laki itu dengan mata berpijar.
"Namaku Bong Mini!"
Ucap Bong Mini menyebutkan namanya tanpa ragu lagi.
"Kau sendiri siapa? Dan kenapa selalu bersembunyi di balik capingmu yang lebar itu?"
Lanjutnya.
"Apakah kau ingin mengetahui rupaku?"
"Sepantasnya memang begitu. Tak baik kan, kalau kita bicara berhadapan tanpa saling menatap muka?"
Sahut Bong Mini dengan senyum tersembul.
Sekilas bibir lelaki itu tersenyum.
Kemudian kedua tangannya bergerak menuju caping yang selama ini menutupi kepala dan wajahnya.
Ketika caping itu telah turun dari kepala dan bersandar di punggungnya, Bong Mini menjadi tertegun.
Mulutnya terkunci de-ngan kedua mata terbelalak! Berhasilkah perjuangan Khian Liong, salah seorang sekutu Perguruan Topeng Hitam yang akan membujuk Bong Mini untuk bersekutu dengan Iblis Pulau Neraka, setelah mengetahui Gonggo Gung, pemimpinnya, tewas di tangan Bong Mini? Dan siapakah pemuda yang ada di hadapan Bong Mini? Bagaimana rupa pemuda itu sehingga Bong Mini terbelalak saat pemuda itu mem-perlihatkan wajahnya? Untuk mengetahuinya, ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode.
'Darah Para Tumbal'.
SELESAI Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu keisel Document Outline 1 *** *** *** 3 *** *** *** *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** 9 SELESAI Scan/Edit.
Clickers
Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman