Ceritasilat Novel Online

Kemelut Kadipaten Bumiraksa 1


Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Bagian 1


KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA Serial Pengemis Binal Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Penyunting.

   Puji S, Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal dalam episode.

   Kemelut Kadipaten Bumiraksa 128 hal.

   Tubuh Suropati terbujur di samping jenazah gurunya.

   Setelah menggeliat kecil, tubuh murid Pe-riang Bertangan Lembut itu tak bergerak-gerak lagi.

   Banjaranpati yang bergelar Bayangan Putih Da-ri Selatan memandang penuh rasa iba.

   Pengalamannya selama puluhan tahun berkecimpung di rimba persila-tan, mengisyaratkan bahwa di dalam tubuh murid si Periang Bertangan Lembut telah bersarang racun ga-nas yang akan menjalar bila tersentuh.

   Sambil menghembuskan napas panjang, Bayangan Putih Dari Selatan mengeluarkan sebutir obat pulung dari balik bajunya.

   Kemudian dilontar-kannya obat itu ke mulut Suropati yang sedikit terbu-ka.

   Remaja berpakaian penuh tambalan itu meng-geliat merasakan jalan napasnya tersedak.

   "Uuuhhh.... Apa yang terjadi?"

   Keluh Suropati seraya membuka matanya.

   "Kenapa tubuhku terasa sangat panas...?"

   "Tenanglah, Suro...,"

   Ujar Bayangan Putih Dari Selatan, lembut.

   "Obat pemunah racun yang kau telan sedang bekerja."

   Tiba-tiba Suropati yang oleh teman-temannya dijuluki Pengemis Binal mengerang. Dia mencoba me-rangkak bangkit.

   "Di mana Kakek Periang Bertangan Lembut...?"

   Tanya Pengemis Binal "Dia berada di sampingmu, Suro...,"

   Jawab Bayangan Putih Dari Selatan.

   Suropati langsung menajamkan penglihatan-nya.

   Ketika tatapan matanya tertuju pada tubuh gu-runya yang terbujur kaku, dia jatuh terjengkang.

   Sementara Anjarweni dan Ingkanputri yang dari tadi hanya diam, mencoba memberi pertolongan.

   Tapi tindakan mereka cepat dicegah oleh Bayangan Putih Dari Selatan "Jangan sentuh tubuhnya...,"

   Ujar kakek berpakaian serba putih itu. Lalu, tatapan matanya tertuju pada Suropati.

   "Kau belum terbebas dari pengaruh racun, Suro. Cobalah duduk bersila. Dan, kumpulkan seluruh hawa murnimu...."

   Suropati segera menuruti nasihat Bayangan Putih Dari Selatan.

   Dengan susah payah dia berusaha bangkit, tapi gagal.

   Tubuhnya terjungkal dibarengi erangan kesakitan.

   Mendadak Ingkanputri meloncat, berusaha membantu Suropati.

   Namun Bayangan Putih Dari Se-latan cepat menggerakkan tangannya.

   Wuuusss...! Serangkaian angin pukulan mendorong tubuh gadis belia itu, hingga mundur beberapa tindak.

   "Sudah kubilang, jangan sentuh tubuhnya! Ra-cun itu sangat ganas dan mudah menjalar...,"

   Tegas Bayangan Putih Dari Selatan, memberi peringatan.

   Ingkanputri pun terdiam.

   Kemudian tubuhnya bergeser, mendekati kakak seperguruannya.

   Pengemis Binal terus berusaha untuk dapat duduk bersila.

   Karena kemauannya keras, akhirnya dia pun dapat menuruti nasihat Bayangan Putih Dari Selatan.

   Mata murid si Periang Bertangan Lembut terpe-jam rapat.

   Tubuhnya bergetar hebat.

   Perlahan-lahan dari kepalanya mengepul asap tipis.

   Dan tak lama ke-mudian....

   "Uoookkk...!"

   Darah berwarna kehitam-hitaman langsung menyembur dari mulut Suropati, membasahi rumput.

   Sungguh dahsyat! Tiba-tiba rumput itu layu dan men-gering! Itulah keganasan racun timbul dari kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang dimiliki Brajadenta alias si Dewa Maut.

   Ketika Suropati melancarkan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' saat bertempur melawan tokoh sesat sakti itu, mau tak mau ujung jarinya me-nyentuh tubuh si Dewa Maut.

   Dan tanpa disadari, ra-cun yang timbul dari kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hi-tam' mengalir ke dalam tubuhnya.

   "Uuuhhh...!"

   Sambil mengerang, Suropati membuka ma-tanya. Kini jenazah si Periang Bertangan Lembut ter-pampang dl hadapannya.

   "Maafkan aku, Guru...,"

   Desah remaja berusia tujuh belas tahun itu perlahan sambil mendekati jenazah gurunya.

   Setelah mengumpulkan semangatnya, Penge-mis Binal memanggul jenazah Periang Bertangan Lem-but.

   Seketika tubuhnya berkelebat, menuruni lereng Bukit Parahyangan.

   Sama sekali tak dihiraukannya ke-tiga orang yang terus memperhatikan gerak-geriknya.

   Ketika Anjarweni dan Ingkanputri berjalan hendak mengikuti, langkah kaki mereka ditahan oleh suara Bayangan Putih Dari Selatan.

   "Biarkan Suropati dalam kesendiriannya. Wa-laupun sikapnya tampak konyol, tapi sesungguhnya dia sedang berduka. Kematian gurunya sangat memu-kul jiwanya...,"

   Ujar Bayangan Putih Dari Selatan.

   Setelah mengucapkan kalimat itu, Bayangan Putih Dari Selatan berkelebat lenyap.

   Anjarweni dan Ingkanputri saling berpandan-gan.

   Kemudian mereka juga berkelebat menghilang da-ri tempat ini.

   Namun sesungguhnya, Ingkanputri berlari den-gan perasaan tak karuan.

   Terus terang, dia sangat ingin berlama-lama dekat dengan remaja yang telah ber-hasil membalaskan dendam kesumatnya, yakni mele-nyapkan Brajadenta atau si Dewa Maut dari muka bumi.

   Gadis belia ini merasakan ada suatu kekuatan yang menguasai segenap perasaannya untuk terus mengingat sosok yang berjuluk Pengemis Binal.

   Ada debar-debar aneh yang berkecamuk dalam hatinya se-tiap menatap wajah remaja yang berperilaku konyol itu.

   Dan, kekonyolan Suropati sama sekali tak mem-buatnya marah.

   Bahkan malah membuatnya senang.

   Ingkanputri tak tahu, apa yang sedang terjadi dalam dirinya.

   Dia hanya dapat menerka-nerka.

   Jatuh cintakah dia? Ingkanputri tak sanggup menjawabnya.

   Tapi kalau tak benar apa yang dirasakan memang cin-ta, Ingkanputri pun akan memelihara perasaannya itu.

   Sebab dia menganggap Pengemis Binal patut mendapat perasaan cintanya.

   Selain tampan, remaja itu juga berkepandaian tinggi.

   Dia merupakan sosok yang di-dambakan gadis belia murid Dewi Tangan Api.

   *** Sementara itu setelah mendapatkan tempat yang cocok, yakni di sebuah tanah datar agak luas, Suropati segera menurunkan jenazah gurunya.

   Untuk sesaat remaja ini bingung, dengan apa akan membuat lubang untuk makam gurunya.

   Tapi ketika matanya menatap lempengan batu selebar tela-pak tangan, bibirnya tersenyum tipis.

   Segera dipun-gutnya batu itu.

   Dan mulailah remaja itu menggali.

   Sengatan sinar matahari sore sama sekali tak dihiraukan Suropati.

   Peluh terus bergulir dari keningnya.

   Sebentar saja tubuhnya segera basah bermandi-kan keringat.

   Ketika malam hampir rebah, selesailah tugas Suropati menggali lubang untuk makam gurunya.

   Se-jenak ditatapnya lubang yang telah dibuat, kemudian perlahan-lahan diturunkannya jenazah si Periang Ber-tangan Lembut ke dalam persemayaman nya.

   Perlahan sekali Suropati mengucapkan kata perpisahan kepada gurunya diiringi sejuta keharuan.

   Setelah hening sejenak, dikeluarkannya Kitab Delapan Belas Tapak Dewa dari balik bajunya.

   Kemudian kitab itu diremasnya hingga menjadi abu yang menaburi je-nazah si Periang Bertangan Lembut.

   Lubang segera ditutup kembali.

   Dan Suropati segera mendorongkan sebongkah batu sebesar kerbau yang kemudian ditempatkan di atas makam gurunya.

   Lalu, ujung jarinya yang dilambari tenaga dalam me-noreh tulisan.

   Di sini disemayamkan si Periang Bertangan Lembut yang meninggal sebagai ksatria pengemban tugas menegakkan keadilan.

   *** Pagi hari, di Kuil Saloka di kota Kadipaten Bu-miraksa, para pengemis yang masih terlena dalam im-piannya dikejutkan suara derap langkah kaki prajurit.

   Sebentar kemudian langkah-langkah itu berhenti.

   Seorang berpangkat punggawa maju beberapa tindak sambil berkacak pinggang.

   "He, para pengemis hina! Segera bangun! Dan keluar kalian dengan tangan di atas kepala...!"

   Teriak punggawa yang dikenal bernama Anggaraksa. Seorang pengemis setengah baya berjalan ke-luar dari kuil sambil mengucak-ucak matanya.

   "Oaaahhh...!"

   Pengemis itu menguap lebar.

   "Ada apa, Tuan?"

   "Segera bangunkan teman-temanmu semua!"

   Ujar Anggaraksa, keras.

   "Ah! Aku saja cukup. Kasihan mereka. Sema-lam mereka tidak tidur karena asyik memancing ikan di sungai...."

   "Pengemis Bandel! Apa kau sudah tuli?! Cepat bangunkan teman-temanmu...!"

   Bentak Anggaraksa, menampakkan kemarahannya.

   "Ah! Kenapa Tuan membentak-bentak seperti itu...? Ada urusan apa, sih...?"

   Tanya pengemis setengah baya ini sambil mengulet, melemaskan otot-ototnya.

   Melihat sikap yang tak menghormat itu Angga-raksa mengumpat sejadi-jadinya.

   Kemudian tangan kanannya terayun, menampar wajah lelaki setengah baya itu.

   Pengemis itu segera menyadari keadaan itu.

   La-lu badannya cepat merunduk.

   Wuuuttt...! "Heh?!"

   Anggaraksa terkejut melihat tamparannya hanya mengenai angin kosong.

   "Bedebah! Punya kepandaian juga kau ru-panya, Orang Tua busuk?!"

   Bentak Anggaraksa lagi.

   Kemudian kepala prajurit itu memberi isyarat kepada empat orang bawahannya untuk segera menge-rubut pengemis itu.

   Perkelahian pun tak bisa dihindarkan lagi.

   Si pengemis yang sudah mengerti dasar-dasar ilmu silat, tentu saja tak mudah untuk dirobohkan.

   Jurus-jurus yang diajarkan mendiang si Periang Bertangan Lembut segera dikeluarkan.

   (Untuk jelasnya baca serial Pen-gemis Binal dalam episode perdana .

   Pengkhianatan Dewa Maut).

   Buuukkk...! "Augkh...!"

   Salah seorang bawahan Anggaraksa mengerang kesakitan terkena tendangan pengemis itu.

   Terdorong luapan amarah, rasa sakitnya tak dipedulikan.

   Dan dia segera kembali menerjang.

   Dengan gerakan ringan, si pengemis coba menghindar ke samping.

   Namun rupanya salah seo-rang prajurit sudah menunggu dengan satu ayunan kaki.

   Dan...

   Buuukkk...! Ganti si pengemis yang mendekap perutnya akibat terkena tendangan seorang prajurit kadipaten yang mengeroyoknya.

   Tubuhnya terjajar ke samping pintu kuil.

   Namun dia cepat mengambil sebuah tongkat yang tersandar di samping pintu.

   Wuuuttt...! Wuuuttt...! Tongkat dari dahan jambu batu itu bergerak cepat, menyerang keempat orang pengeroyoknya.

   Ge-rakan tongkat meliuk, kemudian menghunjam ke dada salah seorang prajurit kadipaten hingga jatuh menggelosor ke tanah.

   Namun dia segera bangkit, dan lang-sung mencabut pedang.

   Dukkk...! "Matilah kau, Gembel Busuk!"

   Umpat pengemis ini seraya menerjang. Tiba-tiba....

   "Tahan...!"

   Disertai seruan keras, seorang pengemis muda keluar dari kuil.

   Dia tak lain Wirogundi yang dipercaya Pengemis Binal untuk sementara memimpin teman-temannya.

   (Baca episode perdana serial ini).

   Pengemis setengah baya yang melihat kedatan-gan Wirogundi segera melompat ke samping, langsung di hampirinya pengemis muda itu.

   "Apa yang sedang terjadi, Paman Bareksi?"

   Tanya Wirogundi kepada pengemis setengah baya ber-nama Bareksi. Sebelum pengemis setengah baya itu memberi-kan jawaban, Anggaraksa berjalan mendekati.

   "Siapa yang menjadi pemimpin para pengemis di sini?"

   Tanya kepala prajurit itu. Wirogundi menatap wajah Anggaraksa. Dan, dia pun ingat peristiwa di kedai nasi, ketika kepala prajurit itu dipermainkan Suropati.

   "Kau yang menjadi pemimpin...?"

   Tunjuk Anggaraksa, pada Wirogundi. Wirogundi tersenyum.

   "Sebenarnya ada urusan apa sehingga Tuan sudi berkunjung ke tempat kotor ini?"

   Tanya pengemis muda ini.

   "Aku diperintah Gusti Adipati untuk mengusir kalian ke luar dari Kota Kadipaten Bumiraksa...,"

   Tegas Anggaraksa dengan keras, agar didengar para pengemis yang masih belum mau keluar dari kuil.

   "Kenapa kami harus diusir, Tuan?"

   Tanya Wirogundi heran.

   "Gusti Adipati mencium gelagat yang tak baik dari perkumpulan pengemis,"

   Jelas Anggaraksa.

   "Gelagat tak baik bagaimana, Tuan?"

   Susul Wirogundi. Anggaraksa menatap tajam wajah Wirogundi.

   "Untuk apa kalian tiap hari berlatih ilmu silat?"

   Tanya kepala prajurit itu, curiga.

   "Oh, rupanya hal itu yang menjadi persoalan,"

   Desah Wirogundi tenang.

   "Kami berlatih ilmu silat hanya untuk melindungi diri, Tuan."

   "Bohong!"

   Bentak Anggaraksa.

   "Kami tidak bohong, Tuan. Sudah lama kami kaum pengemis selalu ditindas orang-orang yang me-rasa dirinya berkuasa. Untuk dapat makan kenyang saja, kami sudah merasa kesulitan. Apalagi bila dipak-sa tiap hari harus membayar upeti...,"

   Jelas Wirogundi.

   "Oleh sebab itulah, kami merasa perlu untuk sedikit belajar ilmu bela diri, supaya tidak mudah diperas orang...."

   "Ah! Itu hanya dalihmu saja! Akui saja bila ka-lian ingin memberontak...!"

   Sentak Anggaraksa sambil mengulapkan tangannya. Wirogundi menggelengkan kepalanya.

   "Tak sedikit pun kami mempunyai maksud se-perti yang Tuan katakan...."

   "Jadi, kalian tidak mau mengaku?"

   Tanya Anggaraksa penuh tekanan. Kembali Wirogundi menggeleng. Melihat itu, Anggaraksa segera memberikan aba-aba kepada dua puluh orang prajurit bawahannya.

   "Seret mereka keluar dari Kadipaten Bumirak-sa...!"

   Teriak Anggaraksa, lantang. Sebelum para prajurit dari kadipaten itu me-laksanakan perintah atasannya, tiba-tiba dari dalam kuil bermunculan puluhan orang pengemis bersenja-takan tongkat "O.... Rupanya kalian ingin melawan...?!"

   Cibir Anggaraksa dengan gusar. Lalu dengan lantang kembali kepala prajurit itu memberi perintah kepada seluruh prajurit bawahan-nya untuk menyerang. Srettt...! Kedua puluh orang prajurit kadipaten itu melo-loskan pedang dari warangka masing-masing.

   "Serbu...!"

   Sambil berteriak, mereka menggempur para pengemis yang tampak sudah siap menanti datangnya serangan.

   Maka, pertempuran sengit pun tak bisa dihin-dari lagi.

   Para prajurit kadipaten yang bersenjatakan pedang, walaupun kalah jumlah, tapi terus menggempur dengan semangat berapi-api.

   Sementara para pengemis pun tak mau menga-lah.

   Mereka memutar tongkat laksana baling-baling.

   Dari sebentar saja, terdengar suara teriakan kesakitan.

   Anggaraksa ikut merangsek, membantu anak buahnya.

   Tapi serangannya segera dihadang Wirogun-di "Pengemis hina! Kalian semua memang mencari mampus!"

   Dengus Anggaraksa, penuh luapan amarah.

   "Kami hanya membela hak, Tuan,"

   Kilah Wirogundi.

   "Kami tidak mau terus ditindas...."

   "Baiklah, kalau memang itu maumu. Lihat se-rangan...!"

   Desis Anggaraksa, seraya melompat dengan pedang dikebutkan.

   Wirogundi pun segera memutar tongkatnya.

   Trang...! Anggaraksa terkejut melihat tongkat di tangan pengemis itu tidak patah terbabat pedangnya.

   Lalu dengan kemarahan semakin meluap, dia merangsek dengan ganas.

   Wuuuttt..! Wuuuttt..! Wirogundi berusaha menghindar dari sambaran pedang dengan melompat ke samping.

   Dan secepat ki-lat dibalasnya serangan itu.

   Tongkat di tangannya berputar-putar membentuk perisai.

   Kemudian tubuhnya meluncur deras ke arah Anggaraksa! Wuuuttt...! Dengan sigap kepala prajurit itu menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke kiri.

   Untuk semen-tara dia pun luput dari serangan jurus 'Tongkat Me-mukul Anjing'.

   Tapi, tiba-tiba tubuh Wirogundi melenting ke atas, setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya menghunjam ke arah Anggaraksa dengan tongkat mengibas.

   Dan...

   Dheeesss...! "Uhh...!"

   Anggaraksa meringis merasakan sakit pada pundak kanannya yang terkena sasaran tongkat Wiro-gundi.

   Dan, pedangnya pun jatuh ke tanah.

   Sementara itu, kedua puluh orang prajurit ka-dipaten tampak keteter menghadapi para pengemis yang bertempur bahu-membahu.

   Tampak tiga orang prajurit kadipaten telah ke-luar dari arena pertempuran dengan tulang lengan pa-tah.

   Kemudian segera disusul dua orang lagi dengan tulang kaki hampir remuk tergempur tongkat di tangan para pengemis.

   "Mundurrr...!"

   Melihat pihaknya terdesak, Anggaraksa yang sempat melirik ke arah prajuritnya segera memberi aba-aba untuk mundur.

   Saat itu juga para prajurit kadipaten berserabutan lari pontang-panting meninggal-kan tempat ini.

   Para pengemis Kota Kadipaten Bumiraksa yang tinggal di Kuil Saloka yang bobrok itu bersorak-sorai merayakan kemenangan.

   Tapi, wajah Wirogundi tam-pak kusut.

   Dan berulang kali keluar desah dari mu-lutnya.

   Entah apa yang dipikirkannya....

   *** "Ampun, Gusti Adipati Danubraja..,"

   Ucap An-gyaraksa memelas ketika telah menghadap Adipati Bumiraksa untuk melaporkan kegagalannya dalam menindak kaum pengemis di Kuil Saloka.

   "Para pengemis itu jumlahnya sangat banyak. Sehingga, kami tak mampu menghadapinya.."

   Adipati Bumiraksa yang bernama Danubraja menggeram gusar.

   "Kalian semua sudah sekian tahun belajar ilmu kawiraan dan olah kanuragan, kenapa menghadapi pa-ra pengemis saja kalian tidak mampu...?!"

   Bentak lelaki gagah berusia empat puluh tahun itu.

   "Ampun, Gusti Adipati."

   Anggaraksa berlutut di hadapan Adipati Danu-braja. Sementara adipati itu memandang utusannya tanpa berkedip, menyiratkan kegeraman.

   "Kalian semua memang bodoh!"

   Dengus Adipati Danubraja menumpahkan kekesalannya, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang balairung ini.

   Adipati ini melangkah menuju tempat peristira-hatannya.

   Begitu sampai di depan kamarnya, dia membuka pintu dengan kasar.

   Sebentar saja terdengar bantingan pintu yang cukup keras, hingga terdengar sampai ke ruang balairung.

   Adipati Danubraja berkali-kali mengepalkan tinjunya sambil berjalan hilir-mudik tak menentu di ruang kamar pribadinya.

   Seorang wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang sudah berada di kamar ini segera mendekati.

   "Ada apa, Kangmas?"

   Tanya wanita cantik yang tak lain istri Adipati Danubraja. Karena tak mendapat jawaban, wanita ini me-megang lengan suaminya. Adipati Danubraja memandang sejenak wajah istrinya.

   "Para pengemis di Kota Kadipaten Bumiraksa ini, Rara Anggi. Mereka sudah gila...!"

   Desis adipati itu dengan gigi gemeretuk.

   "Ada apa dengan para pengemis itu, Kangmas?"

   Tanya wanita cantik berpakaian indah yang dipanggil Rara Anggi.

   "Pengemis-pengemis itu mau memberontak!"

   "Ah! Masa' iya, Kangmas...?"

   Tukas Rara Anggi, tak mempercayai ucapan suaminya.

   "Apa buktinya?"

   "Mereka berani melawan utusanku, Rara. Ang-garaksa dan dua puluh orang prajuritnya dihajar ha-bis-habisan...,"

   Jelas Adipati Danubraja.

   "Apa...?"

   Rara Anggi terkejut.

   "Tapi, Kangmas tak perlu tergesa-gesa men-gambil kesimpulan. Belum tentu mereka bermaksud memberontak. Mungkin hal itu disebabkan perlakuan Anggaraksa dan prajuritnya yang terlalu kasar...,"

   Lanjut Rara Anggi, buru-buru menukasi ucapannya sendi-ri.

   "Ah! Kau tak perlu membela orang-orang kotor itu, Rara.... Mereka sudah jelas akan memberontak!"

   Rara Anggi pun tak bisa mencairkan amarah suaminya. Ketika Adipati Danubraja berjalan ke arah pintu, dia hanya memandang tanpa mampu berbuat apa-apa.

   "Patih Wiraksa...,"

   Teriak Adipati Danubraja sambil melongokkan kepala ke luar.

   Seorang lelaki setengah baya muncul dari arah balairung menuju kamar Adipati Danubraja dengan langkah tergopoh-gopoh.

   Lelaki bertubuh tegap yang dipanggil Patih Wiraksa ini segera menyembah membe-ri hormat dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung.

   Lalu dia ikut masuk ke kamar itu, begi-tu Adipati Danubraja mempersilakannya masuk.

   "Ada apa, Gusti Adipati...?"

   Tanya Patih Wiraksa.

   "Ada tugas yang harus segera kau laksanakan. Usir seluruh pengemis yang tinggal di kota kadipaten ini. Bila mereka membangkang, hajar saja. Dan bila perlu, kau dapat memenggal kepala mereka satu per-satu,"

   Perintah adipati ini.

   "Sendika, Gusti Adipati...."

   "Bawa lima puluh orang prajurit, Patih Wirak-sa!"

   Setelah kembali memberi hormat, Patih Wirak-sa segera mohon diri untuk melaksanakan tugasnya.

   *** Seorang pengemis kecil dari kejauhan melihat barisan prajurit bersenjata lengkap tengah menuju Kuil Saloka.

   Segera dia berlari menuju tempat tinggal para pengemis itu.

   Langsung ditemuinya sang pemimpin pengemis di Kuil Saloka.

   Wirogundi yang menerima laporan dari penge-mis kecil itu mendesah beberapa kali.

   Dia sudah men-duga akan adanya buntut dari peristiwa yang baru sa-ja terjadi.

   Dan karena tak mau melihat harkat dan martabat para pengemis diinjak-injak, segera teman-temannya disebar untuk mengumpulkan semua pen-gemis di Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Maka sebentar kemudian, di depan kuil telah berjajar seratus orang lebih para pengemis bersenjata tongkat.

   Tepat ketika para prajurit yang dipimpin Patih Wiraksa sampai di depan kuil, kontan terkejut me-nyaksikan jumlah pengemis yang begitu banyak.

   Sege-ra Patih Wiraksa berbisik kepada salah seorang prajuritnya.

   Dan prajurit itu segera berbalik dan pergi dari tempat ini.

   Kemudian patih itu sendiri segera maju beberapa tindak.

   "Siapa yang menjadi pemimpin kalian?"

   Tanya Patih Wiraksa kepada para pengemis yang agaknya tampak sudah siap tempur. Wirogundi maju mendekati patih kadipaten itu.

   "Ada apa, Tuan?"

   Tanya Wirogundi tanpa rasa takut "Kaukah yang menjadi pemimpin para pengemis itu?"

   Tanya Patih Wiraksa, tanpa tekanan. Wirogundi tak menjawab. Patih Wiraksa menggeram gusar.

   "Gusti Adipati memerintahkan agar para pengemis di kota kadipaten segera enyah!"

   "Tak semudah itu, Tuan...,"

   Sahut Wirogundi tenang. Mata Patih Wiraksa mendelik.

   "Apa katamu, Gembel Busuk?!"

   Sentak patih itu.

   "Kau ingin menentang kehendak Gusti Adipati...?!"

   "Kami merasa tidak pernah berbuat salah ter-hadap Gusti Adipati. Lantas, kenapa harus diusir...?"

   Tukas Wirogundi.

   "Persetan dengan itu semua! Kalau kalian tidak mau pergi, terpaksa jalan kekerasan akan ditempuh."

   "Terserah apa kata Tuan..."

   Mendengar ucapan Wirogundi, Patih Wiraksa segera memberi aba-aba pada prajuritnya untuk me-nyerang.

   Maka lima puluh orang prajurit langsung menerjang.

   Namun para pengemis yang berjumlah dua kali lipat tampaknya sama sekali tak gentar.

   Terjangan prajurit kadipaten dibalas dengan gempuran.

   Maka di siang yang panas ini, makin bertambah panas oleh pertempuran sengit.

   Sambaran pedang dan tusukan tombak prajurit kadipaten dibalas gebukan tongkat para pengemis.

   Je-rit kesakitan segera membahana di angkasa.

   Wirogundi kini bertemu lawan tangguh.

   Patih Wiraksa.

   Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terli-hat kalau kedua orang itu bertempur bagai banteng ketaton.

   Yang seorang bertempur dengan alasan mem-bela diri.

   Sedang yang satunya bertempur karena men-jalankan tugas.

   Pada suatu kesempatan, Patih Wiraksa coba membabatkan pedangnya ke perut.

   Namun dengan tangkas Wirogundi menangkis.

   Tak terjadi apa-apa, kecuali masing-masing terjajar beberapa langkah ke belakang.

   Melihat tongkat pengemis muda ini tak pa-tah, Patih Wiraksa segera menyalurkan tenaga dalam-nya.

   Dan kembali pedangnya bergerak membabat.

   Wirogundi pun tak tinggal diam.

   Cepat tong-katnya mengebut, memapak serangan.

   Tasss...! Teeesss...! Tongkat di tangan Wirogundi kontan patah jadi dua.

   Pengemis muda yang masih buta pengalaman bertempur itu menjadi terkejut bagai disambar petir.

   Namun, belum sempat berpikir sesuatu, pedang Patih Wiraksa sudah datang menghunjam! Wuuuttt..! Wirogundi berkelit ke samping, membuat se-rangan patih ini gagal.

   Namun baru saja pengemis ini menarik napas lega, pedang di tangan Patih Wiraksa kembali bergulung-gulung cepat ke arah jantung! Sejengkal lagi pedang itu menghunjam, menda-dak berkelebat satu bayangan hitam yang langsung membentur pedang Path Wiraksa.

   Trang...! Pedang di tangan Patih Wiraksa terlepas dari pegangan.

   Patih kadipaten itu pun terperangah, tak tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi.

   Melihat lawan yang dalam keadaan bengong, Wirogundi tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.

   Kakinya segera bergerak cepat! Dan....

   Dheeesss...! Patih Wiraksa terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang terasa sesak.

   Lalu, sambil menggeram keras dia menerjang ganas dengan tangan kosong.

   Wirogundi yang sesungguhnya bukan lawan seimbang bagi Patih Wiraksa langsung kewalahan.

   Berkali-kali tubuhnya terserempet pukulan Patih Wi-raksa.

   Tapi, ketika Wirogundi benar-benar dalam kea-daan kepepet...

   "Perhatikan gerakan kakinya! Terus bergerak ke kanan!"

   Sebentar Wirogundi terkejut ketika mendengar suara halus di telinganya.

   Namun dia cepat menyadari kalau suara itu ditujukan padanya.

   Buktinya, pada wajah Patih Wiraksa tidak ada perubahan.

   Tanpa pikir panjang lagi pengemis muda ini se-gera menuruti suara yang didengarnya.

   Dan kini Wiro-gundi pun bisa sedikit bernapas lega.

   Pukulan dan tendangan Patih Wiraksa dapat dengan mudah dielak-kan.

   Patih Wiraksa mendengus keras.

   Dan segera ju-rus serangannya diganti.

   Saat itu juga tangan dan kakinya bergerak semakin cepat Wirogundi kembali terdesak oleh serangan ce-pat dan beruntun.

   "Terus perhatikan gerak kakinya! Jatuhkan di-ri. Dan, tendang sekuat tenaga!"

   Kembali suara halus itu terdengar lagi.

   Tanpa mau membuang waktu lagi, Wirogundi menuruti suara yang didengarnya.

   Cepat dia menjatuhkan diri seraya melepaskan tendangan keras.

   Dan....

   Bruuukkk...! Tubuh Patih Wiraksa langsung terguling di ta-nah menerima tendangan Wirogundi.

   Namun dia sege-ra bangkit dan menerjang! Tapi setiap Patih Wiraksa menyerang, suara ha-lus itu sampai di telinga Wirogundi.

   Dan dengan me-nuruti semua petunjuk yang didengarnya, Wirogundi jadi berada di atas angin.

   Berkali-kali dia dapat me-nyarangkan pukulan di tubuh Patih Wiraksa yang kini benar-benar kewalahan Sementara itu di bagian lain, para pengemis ju-ga berhasil mendesak prajurit kadipaten.

   Satu persatu prajurit-prajurit itu terjungkal terkena gebukan tongkat.

   Keadaan mereka kini jadi kocar-kacir.

   Apalagi, entah dari mana tahu-tahu sebuah bayangan berkelebat cepat memberi bantuan pada para pengemis.

   Jerit kesakitan segera membahana.

   Prajurit-prajurit itu pun terjungkal tak bangun-bangun lagi.

   Dalam keadaan demikian, mendadak saja da-tang bala bantuan puluhan prajurit kadipaten.

   Para prajurit yang baru datang ini segera terjun dalam kancah pertarungan.

   Namun kedatangan mereka segera disambut para pengemis dan bayangan yang terus berkelebat dengan serangan gencar dan ganas.

   Sebentar saja, puluhan prajurit yang baru da-tang kembali kocar-kacir.

   Satu persatu prajurit berja-tuhan, seperti daun kering yang rontok dari ranting.

   Sebagian yang masih selamat, segera berlari tunggang langgang "Mundur semua....!"

   Teriak Patih Wiraksa, seraya melompat menjauh, meninggalkan Wirogundi yang menjadi lawannya.

   *** Ketika prajurit-prajurit kadipaten telah mening-galkan kancah pertempuran, tampak seorang kakek kurus berpakaian lusuh penuh tambalan berdiri ter-bongkok dengan sebatang tongkat di tangan.

   Melihat kedatangan kakek itu, Wirogundi sege-ra menjura memberi hormat Pemuda pengemis ini ya-kin bahwa yang membantunya mengalahkan Patih Wi-raksa tentulah kakek bongkok itu.

   "Terima kasih atas bantuannya, Kek..,"

   Ucap Wirogundi menghormat Kakek bongkok ini tersenyum tipis, sambil mengangguk ramah.

   "Sudilah kiranya Kakek mampir di tempat kami yang kotor ini.... Yah... sekadar beramah-tamah den-gan kami para pengemis yang tak punya apa-apa..., kata Wirogundi, ramah. Kakek bongkok ini menatap wajah Wirogundi lekat-lekat. Kemudian kakinya melangkah menuju badhuk di depan kuil. Sementara Wirogundi segera mengikuti sambil bercakap-cakap.

   "Siapakah Kakek sebenarnya?"

   Tanya Wirogun-di.

   "Aku Gede Panjalu, yang berjuluk Pengemis Tongkat Sakti.... Dan kau siapa?"

   Sahut kakek bongkok yang mengaku bernama Gede Panjalu alias Pengemis Tongkat Sakti.

   "Wirogundi, Kek,"

   Jawab pemuda pengemis ini.

   "Umurmu?"

   Kening Wirogundi berkerut. Dia tak bisa men-jawab pertanyaan itu.

   "Dua puluh tahun, Kek,"

   Kata Wirogundi kemudian, untuk menyenangkan hati Gede Panjalu. Kakek bongkok itu tersenyum, lalu duduk di sebuah batu sebesar anak kambing. Sementara Wiro-gundi duduk di depannya di atas sebuah batu pula.

   "Kaukah pemimpin dari para pengemis di sini?"

   Tanya Gede Panjalu. Wirogundi menggeleng.

   "Pemimpin kami bernama Suropati. Tapi, kami tak tahu di mana dia sekarang berada...."

   Gede Panjalu mengangguk-anggukkan kepa-lanya.

   "Perkumpulan pengemis...,"

   Gumam kakek bongkok ini. Wirogundi memandang wajah Pengemis Tong-kat Sakti yang keriputan itu.

   "Dari dulu perkumpulan pengemis selalu men-dapat tantangan dari para penguasa. Mereka selalu takut jika pada suatu saat nanti para pengemis yang sengsara hidupnya akan melakukan pemberonta-kan...,"

   Tutur Pengemis Tongkat Sakti, bergumam lagi. Wirogundi diam mendengarkan cerita Gede Panjalu.

   "Puluhan tahun yang lalu, berdiri perkumpulan pengemis besar yang anggotanya ribuan orang. Per-kumpulan pengemis itu dipimpin seorang datuk yang sangat sakti, dan selalu melindungi anggota perkum-pulannya. Sehingga pada waktu itu, tak seorang pun yang berani memandang sebelah mata kepada para pengemis. Tak terkecuali, tokoh-tokoh rimba persila-tan. Mereka semua menaruh rasa hormat kepada para pengemis."

   Gede Panjalu menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.

   "Namun, pihak kerajaan meman-dang curiga. Baginda Prabu Anggara Sanca, kakek dari Baginda Prabu yang sekarang, merasa kedudukannya terancam dengan adanya perkumpulan pengemis. Dan melalui pertempuran dahsyat, perkumpulan pengemis akhirnya dapat dibubarkan...."

   "Lalu, datuk sakti pemimpin perkumpulan pen-gemis itu bagaimana, Kek?"

   Tanya Wirogundi.

   "Tak seorang pun yang tahu, di mana dia bera-da setelah perkumpulan pengemis dibubarkan."

   "Kakek dapat menceritakan semua itu. Siapa-kah Kakek sebenarnya?"

   Tanya Wirogundi tiba-tiba.

   "Aku adalah putra tunggal datuk sakti itu,"

   Jawab Gede Panjalu. Mendengar itu, Wirogundi segera bangkit dari tempat duduknya, lalu bersujud beberapa kali.

   "Tak perlu berlebihan, Wirogundi. Aku yang su-dah tua renta dan bodoh ini hanya seorang pengemis biasa,"

   Ujar Gede Panjalu merendah. Dengan agak ragu-ragu, Wirogundi menegak-kan tubuhnya, bersimpuh di depan Pengemis Tongkat Sakti.

   "Siapa yang mengajarkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' kepada para pengemis di sini?"

   Tanya Gede Panjalu kemudian. Wirogundi lalu menceritakan perihal si Periang Bertangan Lembut.

   "Si Periang Bertangan Lembut?"

   Gede Panjalu terkejut "Di manakah dia sekarang?"

   Wirogundi menggeleng.

   "Dia adalah sahabatku yang paling baik. Kabar terakhir, kudengar dia mengundurkan diri dari segala urusan kerajaan. Sebelumnya, dia menjadi penasihat kerajaan...."

   Gede Panjalu kemudian tampak melamun, tapi tiba-tiba dia berdiri.

   "Aku akan menyempurnakan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' kalian...,"

   Cetus kakek bongkok itu kepada seluruh pengemis yang sudah duduk berkelil-ing mengitari Wirogundi dan Pengemis Tongkat Sakti.

   Sorak-sorai segera terdengar, menyambut kein-ginan Gede Panjalu atau Pengemis Tongkat Sakti yang ingin menjadi guru bagi para pengemis Kota Kadipaten Bumiraksa.

   *** Pagi ini, Dusun Paldaplang tampak damai dan tenang.

   Para gembala kecil duduk santai di bawah po-hon rindang menunggui binatang ternaknya yang se-dang merumput.

   Para petani sibuk mengerjakan sawab ladangnya.

   Diiringi lenguh lembu, burung-burung ber-kicau menampakkan suasana hati yang riang.

   Seorang lelaki tua berusia sekitar satu abad dengan pakaian compang-camping berjalan ke arah sebuah kedai sambil mengeluarkan gerutu kecil tak menentu.

   Sesekali tangannya menggaruk bagian-bagian tubuh yang terasa gatal.

   Bunyi garukannya terdengar keras, menimbulkan guratan berwarna putih membekas di kulit.

   Ketika kakek tua renta itu telah memasuki ke-dai minuman, segera memesan arak yang paling baik.

   Pemilik kedai yang berusia sekitar lima puluh lima tahun tentu saja memandang heran.

   Dia tak ya-kin akan kesanggupan kakek itu untuk dapat mem-bayar pesanannya.

   "Cepat suguhkan arak yang paling baik!"

   Pinta lelaki tua ini membentak. Lelaki setengah baya hanya diam membisu mendengar bentakan.

   "Kenapa kau diam saja?! Tulikah telingamu?!"

   Bentak lelaki tua ini lagi.

   "Maaf, persediaan arak yang paling baik di ke-dai ini tinggal sedikit...,"

   Ucap pemilik kedai pelan. Tiba-tiba lelaki tua ini menggebrak meja hingga hancur berantakan.

   "Bangsat! Beraninya kau menolak permintaan si Mayat Hidup?!"

   Melihat sinar mata dan mendengar nama si Mayat Hidup, pemilik kedai dengan tergopoh-gopoh se-gera meninggalkan tempat itu.

   Sebentar kemudian, lelaki setengah baya pemi-lik kedai sudah kembali membawa pesanan lelaki tua berpakaian compang-camping yang mengaku berjuluk Mayat Hidup.

   Siapakah si Mayat Hidup? Puluhan tahu lalu, tokoh ini memang malang melintang dalam rimba per-silatan.

   Tidak jelas, berasal dari golongan mana dia berada.

   Kadang, tindakannya sering bagai seorang pen-dekar dengan memerangi golongan hitam.

   Namun tak jarang dia juga bertarung dengan tokoh golongan pu-tih.

   Selama ini, tokoh yang bernama asli Aki Baron-dang sudah tak terdengar lagi namanya.

   Kabarnya, dia mengasingkan diri dari dunia persilatan yang penuh dengan darah.

   Namun kali ini si Mayat Hidup muncul lagi.

   Apa yang menyebabkan kemunculannya? "Lagi!"

   Pinta kakek tua renta itu, ketika telah menandaskan arak dalam secangkir bambu. Mata pemilik kedai mendelik.

   "Arak yang paling baik sudah habis...."

   "Dusta! Kau mau membohongiku, Ki...?!"

   Tiba-tiba tangan Aki Barondeng bergerak cepat! Lalu...

   Prak...! Cangkir bambu yang dipegang si Mayat Hidup hancur berantakan menjadi serpihan kecil, ketika di-remas dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Begitu tangan itu terbuka, serpihannya jatuh menancap di lantai yang terbuat dari tanah keras.

   "Segera turuti permintaanku, kalau kau tidak ingin kepalamu pecah...!"

   Ancam Aki Barondeng.

   Pemilik kedai kembali tergopoh-gopoh mening-galkan tempat untuk memenuhi pesanan si Mayat Hi-dup.

   Sikap Aki Barondeng yang tampak seenaknya segera menjadi perhatian seluruh pengunjung kedai.

   Tak terkecuali, dua orang laki-laki dewasa yang me-nyelipkan pedang di punggung.

   Aki Barondeng sama sekali tak mempedulikan tatapan mata orang-orang yang tertuju ke arahnya.

   Dengan rakus, dia menenggak arak pesanannya.

   Setelah puas, si Mayat Hidup segera mengang-kat pantatnya untuk berlalu dari tempat itu.

   Namun, buru-buru si pemilik kedai menghampirinya.

   "Maaf, Tuan. Araknya belum dibayar...,"

   Tegur si pemilik kedai.

   "Apa? Aku harus membayar?!"

   Aki Barondeng mendengus.

   "Kurang ajar!"

   Tiba-tiba saja, Aki Barondeng mengayunkan tangannya, menghantam pilar penyangga atap kedai.

   Kroookkk...! Pilar itu patah.

   Dan kedai terancam roboh.

   Orang-orang yang berada di dalamnya segera berlonca-tan ke luar, menyelamatkan diri dari reruntuhan.

   Se-mentara si pemilik kedai jadi mengkeret keberanian-nya.

   Braaakkk...! Kedai itu benar-benar roboh, sedangkan tubuh Aki Barondeng telah berkelebat cepat, menghilang dari tempat itu.

   *** Aki Barondeng bersiul-siul kecil, melangkah mengikuti jalan setapak di luar Dusun Paldaplang.

   "Tunggu dulu, Orang Tua...!"

   Sebuah teguran terdengar, diikuti dua bayangan yang berkelebat mengha-dang langkah Aki Barondeng.

   Kakek tua renta itu segera menghentikan lang-kahnya.

   Matanya menatap tajam dua orang yang telah berdiri di hadapannya.

   Usia dua orang yang menghadang tampak se-baya.

   Sekitar tiga puluh tahun.

   Pakaian kuning sederhana, membungkus tubuh mereka yang kekar, padat dan berisi.

   Dengan sebilah pedang di punggung, mere-ka berdua tampak gagah berwibawa.

   "Siapa kalian. Dan, mau apa menghadangku?"

   Tanya Aki Barondeng langsung dengan sorot mata ta-jam.

   "Kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Kilat. Dan aku sendiri bernama Pramudya. Sedangkan ka-kakku Aditya,"

   Sahut pemuda yang berkumis tipis.

   "Dan kau tentu tahu akibat dari perbuatan yang baru saja kau lakukan. Pemilik kedai itu tentu tak bisa lagi mencari nafkah selama kedainya belum diperbaiki. Dia punya anak-istri yang harus diberi makan...,"

   Timpal pemuda yang bernama Aditya "Lalu, kau mau apa?!"

   Jawab Aki Barondeng, bernada menantang. Mendengar kalimat Aki Barondeng itu Aditya mengangkat alisnya.

   "Tidakkah kau merasa bersalah, Orang Tua...?"

   Aki Barondeng tertawa keras. Tubuhnya ber-guncang-guncang membuat tulang-belulangnya seperti hendak rontok. Menilik tubuhnya yang kurus laksana tulang terbungkus kulit, kakek itu memang pantas di-juluki si Mayat Hidup.

   "Kalau aku sudah merasa bersalah, terus ka-lian mau apa?"

   Tantang Aki Barondeng kemudian.

   "Kau harus bertanggung jawab, Orang Tua!"

   Desis Aditya.

   "Tanggung jawab? Tanggung jawab yang bagai mana?"

   Mendengar ucapan Aki Barondeng, Pramudya jadi naik pitam.

   "Tak perlu banyak basa-basi. Segera kita beri pelajaran kakek yang tak beradab ini,"

   Ujar Pramudya.

   "Mulutmu terlalu lancang, Anak Muda...!"

   Bentak si Mayat Hidup.

   Saat itu juga orang tua ini meluruk deras ke arah Pramudya sambil menghantamkan tangan ka-nannya.

   Pemuda itu segera memiringkan tubuhnya se-dikit membuat serangan Aki Barondeng tak menemui sasaran.

   Tapi, tiba-tiba tangan si Mayat Hidup itu bergerak menyamping Dengan sebisa-bisanya, Pramudya meloncat ke belakang.

   Namun, mendadak dia jadi terkejut setengah mati.

   Ternyata tangan lelaki tua itu molor, dan terus mengejarnya! Siiing...! Wuuuttt...! Pramudya mencabut pedangnya.

   Dan segera dibabatnya tangan si Mayat Hidup.

   Sayang, Aki Barondeng cepat menarik tangan-nya, sehingga babatan pedang Pramudya luput.

   Lelaki tua ini tersenyum sinis.

   "Kalian hanya kroco....'"

   Ejek si Mayat Hidup sambil menjejakkan kaki, berusaha meninggalkan tempat itu. Namun, dengan gerakan cepat Aditya segera melenting dan mendarat di depan si Mayat Hidup.

   "Kau belum menyelesaikan urusanmu, Orang Tua!"

   Desis Aditya. Aki Barondeng mendengus semakin gusar.

   "Rupanya kalian mencari mampus...!"

   Tiba-tiba tangan kiri lelaki tua ini bergerak menghentak.

   Wuuusss...! Aditya cepat melompat tinggi menghindari pu-kulan jarak jauh si Mayat Hidup.

   Blarrr...! Dan pukulan yang luput itu menghunjam ke tanah, membuat lubang sedalam setengah badan ma-nusia dewasa.

   Melihat kehebatan lawan, dua pemuda berjuluk Sepasang Pedang Kilat segera menerjang bersama.

   "Heaaa...!"

   Pedang di tangan Aditya dan Pramudya berke-lebat cepat memperagakan jurus 'Pedang Menghantam Gunung'.

   Aki Barondeng hanya tersenyum mengejek me-lihat gulungan sinar pedang yang menderu-deru.

   Na-mun begitu serangan mendekat, kakek tua renta itu segera menghindari dengan meliuk-liukkan tubuhnya.

   "Hup...!"

   Tiba-tiba tubuh si Mayat Hidup melayang ke atas, menghindari sambaran pedang Aditya dan Pra-mudya sekaligus melepas serangan dengan menghen-takkan kedua tangannya.

   Maka dua berkas sinar kepe-rakan segera meluncur deras ke arah Sepasang Pedang Kilat! Masih untung Aditya dan Pramudya melompat ke kiri dan ke kanan, sehingga terhindar dari serangan yang mematikan.

   Blaaarrr...! Pukulan jarak jauh Aki Barondeng yang tak menemui sasaran menghantam tanah menciptakan dua lubang menganga lebar.

   Debu pun mengepul tebal mengaburkan pandangan.

   Dan dalam keadaan demikian, si Mayat Hidup berkelebat sambil menyambarkan tangannya ke mas-ing-masing pedang Sepasang Pedang Kilat Trak...! Trak...! Sepasang Pedang Kilat terkejut bagai disambar petir, begitu pedang mereka tiba-tiba lepas dari pegangan.

   "Masihkah kalian ingin melanjutkan permainan, Kroco-kroco... ?"

   Tanya si Mayat Hidup bernada menghina.

   Sepasang Pedang Kilat menggerendeng marah, lalu menerjang dengan tangan kosong.

   Aditya melan-carkan tendangan mengarah kepala, sedangkan Pra-mudya menghantam dada! Melihat serangan itu, Aki Barondeng sama se-kali tak bergeming dari tempatnya berdiri.

   Tapi ketika tangannya bergerak mengibas sambil bergerak ke kanan, tiba-tiba....

   Praaakkk....! "Aughhh...!"

   Aditya menjerit panjang sambil mendekap ke-palanya yang pecah bersimbah darah, terkena tampa-ran telapak tangan si Mayat Hidup.

   Sementara, tangan Pramudya terus meluncur.

   Namun arahnya berubah ke perut Bluuusss...! Pukulan Pramudya menghantam perut Aki Ba-rondeng.

   Tapi, tiba-tiba tangan pemuda itu menancap dan tak bisa ditarik lagi! Pramudya terkejut.

   Segera sebelah tangannya yang masih bebas diayunkan! Bluuusss....! Kembali tangan Pramudya yang satu lagi me-nancap ke perut si Mayat Hidup! Dengan mengerahkan seluruh tenaga, pemuda ini berusaha melepaskan ke-dua tangannya.

   Tapi sampai tenaganya hampir habis, kedua tangannya tak juga lepas.

   Aki Barondeng tertawa keras, kemudian meng-geram.

   Dan...

   "Aaa...!"

   Diiringi jeritan panjang, tubuh Pramudya men-dadak bagaikan tersedot sari patinya.

   Perlahan-lahan, tubuh itu berubah kering kerontang bagai selembar daun yang habis terpanggang api.

   Brukkk...! Tubuh Pramudya menggelosor ke tanah tanpa nyawa.

   Si Mayat Hidup tertawa gelak, lalu berkelebat meninggalkan tempat ini.

   *** Puluhan Penduduk Paldaplang mengerumuni mayat Sepasang Pedang Kilat yang tergeletak di tanah dalam keadaan sangat mengerikan.

   Mereka tak habis pikir, siapakah yang melakukan pembunuhan kejam seperti ini? Di antara kerumunan penduduk, tampak me-nyeruak seorang remaja belasan tahun.

   "Apa yang terjadi, Pak?"

   Tanya remaja belasan tahun itu yang tak lain Suropati alias Pengemis Binal.

   Lelaki bercaping yang ditanya menatap wajah Suropati sejenak, kemudian menceritakan apa yang di-lihatnya.

   Suropati mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda yang diju-luki Pengemis Binal ini segera berlalu.

   "Orang yang melakukan pembunuhan itu pasti sangat sakti. Siapakah dia? Menilik dari ilmu yang di-gunakan, dia tentu berasal dari golongan hitam. Aku jadi ingin tahu tampangnya...,"

   Gumam Suropati dalam hati, sambil melangkah.

   Remaja belasan tahun itu mengemposkan tu-buhnya, menggunakan ilmu lari cepat ke arah Kadipa-ten Bumiraksa.

   *** Memasuki Kota Kadipaten Bumiraksa, berkali-kali kening Suropati berkerut.

   Di tempat-tempat yang biasa dibuat mangkal para pengemis, hari ini telah menjadi sepi.

   Tak satu pengemis pun yang menam-pakkan batang hidungnya.

   Seakan-akan mereka le-nyap ditelan bumi.

   "Apakah mereka masih berada di kuil? Tapi, mengapa di hari sesiang ini mereka belum melakukan sesuatu untuk menyambung hidup? Apakah mereka telah begitu malas? Atau...?"

   Mendadak bibir Suropati mengulum senyum mengikuti suara hatinya yang bertanya-tanya.

   "Apakah mereka sudah hidup layak, sehingga tak perlu lagi mengemis? Tapi, mengapa perbuatan itu begitu cepat terjadi? Atau mungkin mereka telah mengungsi untuk mencari tempat yang lebih bisa menja-min kelangsungan hidup mereka?"

   Hati Suropati terus diliputi tanda tanya.

   Dan, kakinya segera melangkah menuju Kuil Saloka tempat dulu dia pernah tinggal bersama para pengemis Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Ketika sampai di halaman kuil bobrok itu, ke-dua alis Suropati bertaut.

   Kerut di keningnya semakin jelas terlihat Di tempat ini, tak terlihat seorang pengemis pun "Di manakah mereka?"

   Tanya hati Suropati kembali "Apakah mereka benar-benar mengungsi? Atau barangkali telah terjadi sesuatu di antara mere-ka?"

   Belum sempat Suropati memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, mendadak telinganya menangkap desir angin menuju ke arahnya.

   Dengan cepat kepalanya menoleh.

   Siiing...! Murid si Periang Bertangan Lembut itu segera berkelit ke samping, begitu melihat satu batang tom-bak meluncur ke arahnya.

   Dan baru saja Pengemis Binal ini tegak kembali dua orang berpakaian serba hitam tiba-tiba mendarat di hadapannya.

   Padahal, Suropati tampak masih berdiri terlongong-longong.

   Tubuh dua orang yang baru menampakkan diri itu tampak berbeda jauh satu sama lain.

   Yang seorang bertubuh tinggi kurus.

   Tulang rahangnya menonjol.

   Hidungnya panjang terjuntai ke bawah, mirip paruh burung betet.

   Bajunya kedodoran, berkibar-kibar ter-tiup angin.

   Bila ditaksir, umurnya sekitar lima puluh tahun.

   Yang seorang lagi juga berumur sekitar lima puluh tahun.

   Tapi tubuhnya sangat pendek, hanya se-batas pinggang sosok di sampingnya.

   Walaupun sudah tua namun wajahnya tampak kekanak-kanakan.

   "Siapa kalian? Dan, mengapa menyerangku?"

   Tanya Pengemis Binal, kalem.

   "Aku Balagundi,"

   Sahut lelaki bertubuh tinggi kurus.

   "Dan temanku Balangangsil! Kami yang dikenal sebagai Sepasang Iblis Penyebar Petaka, datang ini membunuhmu!"

   Memang, Sepasang Iblis Penyebar Petaka be-rasal dari golongan hitam.

   Dari julukan mereka yang berkesan seram tersirat kebengisan mereka.

   Semua orang persilatan tahu kalau sepak terjang mereka berdua terkenal kejam dan menggiriskan.

   Suropati mengernyitkan kening melihat pe-nampilan dua orang yang berdiri di hadapannya.

   "Apakah kalian berdua punya urusan denganku sehingga ingin membunuhku?"

   Tanya Suropati sambil menggaruk-garuk kulit kepalanya.

   "Gembel Busuk! Kau akan kami bunuh, karena belum juga mengikuti teman-temanmu pergi dari kota kadipaten ini?!"

   Kata Balagundi keras.

   Mendengar ucapan Balagundi itu, Suropati di-am sejenak.

   Dia segera mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang sedang berkecamuk dalam benaknya "Jadi, para pengemis di sini benar-benar telah meninggalkan Kota Kadipaten Bumiraksa...?"

   Bisik Suropati kepada diri sendiri.

   "Kenapa diam saja?! Segera enyah dari tempat ini, Gembel Busuk!"

   Bentak Balagundi. Suropati tersenyum-senyum "Lho? Kenapa jadi sewot...?"

   Tukas Pengemis Binal tanpa mempedulikan tatapan beringas Balagundi.

   "Siapakah kau punya hak untuk mengusir setiap pengemis yang tinggal di kota kadipaten ini?"

   "Punya nyali juga kau rupanya...,"

   Desis lelaki pendek yang bernama Balangangsil. Mendadak Suropati tertawa mendengar suara Balangangsil yang mirip suara anak-anak.

   "Kau ini lucu.... Wajahmu mirip anak-anak. Ta-pi tingkah lakumu persis kakek-kakek? Tapi aku ya-kin, usiamu sudah bau tanah...."

   Mendengar ucapan Pengemis Binal yang ko-nyol, Balangangsil menggeram marah.

   Seketika ka-kinya melangkah mendekati murid si Periang Bertan-gan Lembut sambil mengayunkan tangannya ke wajah Suropati.

   Wuuuttt...! Tapi dengan menggeser tubuhnya sedikit, Pen-gemis Binal mampu menghindarinya.

   "Kenapa kau marah-marah? Kalau mau main petak umpet, aku bisa menemani...,"

   Ledek Suropati menjadi-jadi. Raut muka Balangangsil merah padam. Giginya berkerut menahan geram. Rahangnya menggelembung. Hawa amarahnya meluap karena merasa dipermain-kan pemuda di depannya.

   "Gembel Busuk! Segera kau kukirim ke nera-ka!"

   Bentak Balangangsil seraya menendang dada Pengemis Binal. Dengan gerakan cepat Suropati menangkis. Plak! Balangangsil terjajar beberapa langkah, ketika tendangannya tertangkis. Sementara Pengemis Binal tak bergeser barang sejengkal pun.

   "Untuk mengawali permainan, bukan begitu ca-ranya, Orang Tua? Kita undi dulu. Yang menang jadi kucing, yang kalah jadi anjing. Tapi, tampaknya kau pantas jadi anjing...,"

   Kata Suropati, semakin bertambah kekonyolannya. Mata Balangangsil pun memerah seperti darah. Amarahnya sudah tak mampu dibendung lagi. Dan tu-buhnya bergerak cepat, menerjang Pengemis Binal "Oaaahhh...!"

   Suropati menguap.

   "Aku ingin tidur, Orang Tua! Main-mainlah dulu dengan teman-mu...."

   Brukkk...! Tubuh Suropati tiba-tiba menggelosor ke tanah. Melihat kesempatan itu, Balangangsil segera mengemposkan tubuhnya ke atas, lalu meluruk den-gan kaki terarah ke dada Suropati.

   "Oaaahhh...!"

   Remaja berjuluk Pengemis Binal itu menguap lebar.

   Dan tahu-tahu tubuhnya menggeliat ke samp-ing.

   Sehingga....

   Dhuuukkk...! Ujung kaki Balangangsil tak menemui sasaran, hanya mendarat di tanah datar.

   Kakek cebol itu terperangah.

   Matanya bersinar tajam, menatap Suropati yang tampak asyik tertidur lelap.

   Segera kaki kanan-nya didekatkan ke leher Suropati.

   Karena tak ada tanggapan kaki kanannya segera diayunkan dengan deras! Wuuuttt...! Tendangan itu luput, ketika Pengemis Binal kembali menggeliat sambil menguap.

   Balangangsil kembali terperangah.

   "Dedemit Busuk! Ilmu apa yang sedang dipa-merkannya?!"

   Tanya Balangangsil dalam hati. Melihat Balangangsil bengong, Balagundi berja-lan mendekat "Tebarkan jarum hitam, Goblok!"

   Bentak Balagundi, sengit. Seperti habis bangun dari tidur, kakek cebol itu menekuk pinggangnya ke belakang. Seketika berham-buran jarum-jarum berwarna hitam dari perutnya yang bagaikan hujan lebat ke tubuh Pengemis Binal.

   "Oaaahhh...!"

   Suropati menggeliat.

   Dan tiba-tiba tubuhnya berputar di tanah, laksana sebuah kitiran.

   Wuuussss...! Putaran itu membuat suatu rangkaian angin yang bertiup dahsyat.

   Sehingga jarum-jarum yang menghunjam ke arah Pengemis Binal terpental.

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka terkejut.

   Mere-ka tidak menduga bila remaja yang tampak konyol itu mampu menepis serangan jarum hitam sedemikian mudahnya.

   Tiba-tiba Balagundi menghentakkan tangan-nya.

   Maka, angin pukulan berwarna kehitam-hitaman segera meluncur ke arah Suropati yang masih tampak seperti tertidur lelap.

   Bluuummm....! Tanah tempat pukulan jarak jauh itu mendarat langsung berlubang dalam.

   Debu bercampur bongka-ran tanah terbang ke angkasa mengaburkan pandan-gan.

   Namun ketika perlahan-lahan mulai jelas....

   "Hei?!"

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka kontan terpe-rangah. Mereka memutar tubuh, mencari sosok Suro-pati. Tapi, remaja belasan tahun itu sama sekali terlihat.

   "Ke mana dia?"

   Tanya Balagundi.

   "Aku tak tahu,"

   Jawab Balangangsil.

   "Mungkinkah dia terkena pukulanku, sampai-sampai tubuhnya hancur bercampur debu dan tanah itu?"

   "Mungkin juga."

   Dua orang kakek itu berbisik-bisik.

   Lalu, kepa-la mereka celingukan ke kiri dan kanan.

   Dan untuk kedua kali mereka terperangah ketika tiba-tiba terdengar dengkuran keras.

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka mendongak ke-pala.

   Dan lagi-lagi mereka terperanjat! Tubuh Suropati tampak menggelantung di da-han pohon seperti seekor kelelawar.

   Bahu murid si Periang Bertangan Lembut itu bergerak perlahan seirama bunyi dengkuran yang keluar dari mulutnya.

   "Bocah Edan! Bedhes Jelek! Setan Alas!"

   Umpat Balagundi sejadi-jadinya.

   "Ilmu apa yang sedang diperagakan, Kakang Balangundi?"

   Tanya Balangangsil disertai kegeraman memuncak. Balagundi menggelengkan kepalanya.

   "Entah-lah. Tapi yang jelas, bukan ilmu setan. Kita gempur dia dengan jurus 'Iblis Menerjang Arwah'...!"

   Saat itu juga, tubuh Sepasang Iblis Penyebar Petaka berkelebat cepat ke arah Suropati.

   Gerakan dua orang kakek itu menimbulkan deru angin yang dahsyat, membuat rontok daun-daun di pohon.

   Dan seke-tika berbarengan mereka menghentakkan tangannya.

   Blaaarrr...! Pukulan jarak jauh Sepasang Iblis Penyebar Pe-taka yang dilancarkan sambil menerjang, meledak di udara.

   Namun tanpa mereka sadari, Pengemis Binal te-lah lebih dulu berkelebat.

   Dua batang pohon ambruk bersamaan.

   Debu tebal pun kembali mengepul untuk beberapa lama.

   Sementara Sepasang Iblis Penyebar Petaka kembali ce-lingukan.

   "Di mana dia?"

   Tanya Balagundi dan Balan-gangsil bersamaan. Dua tokoh hitam itu pun jadi saling berpan-dangan.

   "Matikah dia?"

   Tanya Balagundi.

   "Aku tak tahu,"

   Sahut Balangangsil. Bola mata Sepasang Iblis Penyebar Petaka ber-putar-putar mencari sosok Suropati. Dan mereka menggerendeng penuh kemarahan ketika menyaksikan tubuh Pengemis Binal yang tergeletak di depan pintu kuil.

   "Gembel busuk itu punya ilmu setan!"

   Dengus Balangangsil.

   "Tidak!"

   Sahut Balagundi. Tiba-tiba Suropati yang tampak tidur terlelap membuka matanya. Setelah menggeliat kecil, dia bangkit "Aku memang punya ilmu setan, Kek,"

   Kata murid si Periang Bertangan Lembut ini.

   "Ilmu itu aku beri nama ilmu 'Arhat Tidur'."

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka menatap wajah Suropati yang tampak kebodoh-bodohan.

   "He, kenapa kalian berdua tidak segera pergi? kata Suropati lagi.

   "Bukankah sudah kukatakan, aku punya ilmu setan. Kenapa kalian tidak takut...?!"

   "Takut gundulmu itu, Gembel Busuk!"

   Umpat Balagundi, seraya menerjang. Dengan asal-asalan tangan Suropati meraih se-batang tongkat butut yang tersandar di samping pintu kuil. Dan seketika tongkat itu berputar cepat, memapak serangan. Wuuuttt...! Wuuuttt...! "Kurang ajar!"

   Umpat Balagundi seraya menghentikan gerakan tubuhnya. Dan seketika dia melent-ing ke belakang, menghindari hajaran tongkat Suropa-ti. Sementara, Pengemis Binal tampak tersenyum simpul.

   "Akan kutunjukkan ilmu setanku yang lain, jurus 'Tongkat Memukul Anjing'...!"

   Pengemis Binal segera memutar tongkatnya membentuk sebuah perisai lebar.

   Saat itu juga terdengar bunyi bersiutan yang memekakkan telinga.

   Seseka-li, ujung tongkat itu menghunjam ke tubuh Balangun-di dari berbagai penjuru.

   Wuuuttt..! Kakek kurus tinggi itu melenting ke atas.

   Tapi ujung tongkat Suropati terus memburu.

   Breeet..! Baju Balagundi robek lebar terserempet ujung tongkat Pengemis Binal.

   "He, Balangangsil! Kenapa kau hanya menonton saja?!"

   Bentak Balagundi, geram kepada saudara seperguruannya. Seperti tersengat kala, Balangangsil menyadari keadaan. Dia baru tahu bila Balagundi telah terdesak hebat.

   "Gembel Busuk! Kini, aku benar-benar akan mencabut nyawamu!"

   Umpat Balangangsil. Tubuh Balangangsil seketika melayang ke arah Suropati. Namun, dia jadi terkejut setengah mati kare-na tiba-tiba tubuhnya telah terkurung sambaran tong-kat Suropati.

   "Bangsat!"

   Umpat Balangangsil sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan.

   Kehadiran Balangangsil ternyata tak banyak membantu.

   Kini Sepasang Iblis Penyebar Petaka terde-sak hebat.

   Mereka terus bermain mundur menghindari serangan tanpa mampu membalas.

   Untungnya sebe-lum terjadi sesuatu, entah dari mana datangnya berkelebat lima sosok bayangan yang langsung menggempur Suropati! "Dua Iblis Bodoh! Kenapa menghadapi seorang gembel saja kalian tak mampu...?!"

   Leceh salah satu dari lima sosok bayangan itu.

   Balagundi dan Balangangsil tak sempat menja-wab karena sibuk menghindari serangan Suropati.

   Namun melihat kehadiran lima sosok itu, mereka ber-dua jadi bisa bernapas lagi.

   Kini, Suropati telah dikeroyok tujuh orang.

   Tongkatnya segera diayun semakin cepat, memperta-jam jurus 'Tongkat Memukul Anjing'nya.

   Agaknya, lima orang yang baru datang bukan-lah tokoh sembarangan.

   Buktinya, baru jurus pembu-ka saja sudah terasa kalau kesaktian mereka rata-rata setingkat dengan Sepasang Iblis Penyebar Petaka.

   Ma-ka tak ayal lagi, Pengemis Binal menjadi kelelahan.

   Serangan-serangan mereka sangat berbahaya, penuh nafsu membunuh.

   Apalagi serangan seorang kakek berjubah pendeta yang memegang tasbih dan tongkat pendek.

   Dua senjata di tangan kakek itu bergerak san-gat cepat, sulit diikuti pandangan mata.

   Setiap dua senjata itu menerjang, deru angin terdengar, sehingga menyesakkan pernapasan Suropati.

   Bruuukkk...! Suropati menjatuhkan diri, menghindari seran-gan yang datang secara beruntun.

   Keringat segera membanjir di tubuh murid Periang Bertangan Lembut itu.

   Sama sekali tak diduga bila di Kota Kadipaten Bumiraksa telah bercokol banyak tokoh beraliran hi-tam.

   Dalam keadaan gawat, mendadak berkelebat sebuah bayangan memapak serangan yang mengan-cam Pengemis Binal.

   "Wirogundi...!"

   Pekik Suropati.

   "Segera lari ke utara....!"

   Ujar Wirogundi. Melihat keadaan yang benar-benar tak menguntungkan, Suropati segera melenting tinggi, lalu berkelebat ke utara kemudian menyusul Wirogundi. Sepasang Iblis Penyebar Petaka menggeram pe-nuh kemarahan. Mereka berniat hendak mengejar.

   "Biarkan mereka pergi...,"

   Cegah kakek yang mengenakan jubah pendeta. Balagundi dan Balangangsil hanya bisa me-nyumpah-nyumpah dalam hati. *** "Apa yang telah terjadi di Kadipaten Bumirak-sa?"

   Tanya Suropati kepada Wirogundi, setelah sampai di hutan kecil di kaki Bukit Pangalasan.

   "Panjang ceritanya, Suro,"

   Kata pengemis muda bertubuh kurus itu kepada Suropati.

   "Oh, ya. Di mana Eyang Guru? Kenapa kedatanganmu tidak bersa-manya?"

   Pengemis Binal menghentikan langkahnya. La-lu, ditatapnya wajah Wirogundi.

   "Eyang Guru sudah meninggal..,"

   Desah Suropati sambil berusaha menyembunyikan gejolak ha-tinya.

   Wirogundi terkejut, seperti tidak mempercayai ucapan Suropati.

   Melihat tatapan mata Wirogundi yang dipenuhi tanda tanya, Suropati lalu menceritakan perihal si Periang Bertangan Lembut yang gugur dalam mengem-ban titah Baginda Prabu, untuk menghukum Braja-denta atau si Dewa Maut.

   "Jadi, Eyang Guru meninggal ketika bertempur melawan si Dewa Maut di Bukit Parahyangan?"

   Tanya Wirogundi ingin menegaskan.

   Suropati mengangguk.

   Wirogundi tertunduk lesu.

   Kemudian bibirnya komat-kamit, mengucapkan doa bagi kepergian si Pe-riang Bertangan Lembut.

   Walaupun Wirogundi hanya belajar beberapa jurus ilmu silat darinya, tapi sangat mencintai dan menghormati sosok kakek yang bijaksana itu.

   "Sudahlah, Wirogundi...,"

   Ujar Suropati lirih.

   "Aku telah mengikhlaskan kepergian Eyang Guru. Ku-harap kau pun demikian."

   Mereka berdua kini tak berkata-kata lagi. Mas-ing-masing larut dalam pikiran di benaknya sambil berjalan perlahan menaiki Bukit Pangalasan.

   "Kau telah mendapat kemajuan pesat, Wiro-gundi. Ilmu silatmu kelihatan telah meningkat...,"

   Cetus si Pengemis Binal ketika ingat sepak terjang Wirogundi menolongnya menghadapi tujuh tokoh hitam di Kota Kadipaten Bumiraksa yang baru saja terjadi.

   "Ah.... Kau terlalu memuji, Suro,"

   Sergah Wirogundi merendah.

   "Aku belajar sedikit kepada Kakek Gede Panjalu yang bergelar Pengemis Tongkat Sakti"

   "Pengemis Tongkat Sakti? Siapa dia?"

   Tanya Pengemis Binal dengan kening berkerut.

   Kini, ganti Wirogundi bercerita panjang lebar tentang Gede Panjalu yang telah menolongnya saat menghadapi Patih Wiraksa yang diutus Adipati Danu-braja untuk mengusir seluruh pengemis dari Kota Ka-dipaten Bumiraksa.

   "Kalau prajurit kadipaten dapat dihadapi, ke-napa semua pengemis harus pergi mengungsi?"

   Tanya Suropati kemudian.

   "Kami hanya menuruti nasihat Kakek Gede Panjalu. Kota Kadipaten Bumiraksa bukan lagi tempat aman bagi para pengemis. Gusti Adipati telah menyewa tokoh-tokoh sesat untuk menghadapi para pengemis yang dianggap mau memberontak..."

   "Tapi, benarkah para pengemis itu berkeinginan untuk melakukan pemberontakan?"

   Tanya Pengemis Binal lagi. Wirogundi menggeleng.

   "Tidak, Suro. Kami se-mua sebenarnya tidak tahu-menahu soal itu. Permu-suhan ini terjadi hanya karena prasangka buruk Gusti Adipati yang sama sekali tak beralasan."

   "Kenapa kau tak menjelaskannya, Wirogundi?"

   "Tentu saja sudah, Suro. Tapi yang namanya penguasa, kadang-kadang bisa berbuat sewenang-wenang...." *** Suropati hanya diam ketika matanya menatap pemukiman sederhana milik para pengemis yang telah mengungsi dari Kota Kadipaten Bumiraksa.

   "Kami semua telah pindah di Bukit Pangalasan ini, Suro. Sebagian hidup dengan bercocok tanam, dan sebagian lagi tetap melakukan pekerjaan mengemis di Kota Kadipaten Tanah Loh yang tidak begitu jauh dari bukit ini,"

   Jelas Wirogundi, ketika mereka lelah tiba di daerah pengungsian para pengemis. Tiba-tiba seorang pengemis yang sedang mene-bang pohon menghentikan pekerjaannya. Kemudian dia berlari ke arah Suropati.

   "Hei?! Coba lihat, siapa yang datang...?!"

   Teriak pengemis itu kepada teman-temannya. Puluhan pengemis segera berhamburan.

   "Suropati datang...! Suropati datang,..!"

   Suara teriakan kegembiraan berkumandang, menyambut kedatangan Pengemis Binal yang dianggap sebagai pemimpin mereka. Dan Suropati pun diarak beramai-ramai. Mereka mengekor langkah remaja be-lasan tahun ini. Tapi, tiba-tiba....

   "Jangan dekati dia...!"

   Terdengar teriakan keras menggelegar, mem-buat semua orang menoleh ke arah asal suara.

   Tam-pak Gede Panjalu muncul seperti menyimpan hawa amarah.

   Melihat kehadiran kakek bongkok yang sakti para pengemis yang sedang mengarak Suropati segera pergi menjauh.

   "Kaukah yang bernama Suropati?"

   Tanya Gede Panjalu menyelidik sambil melangkah maju ke hadapan Pengemis Binal. Kening Suropati berkerut menatap kakek bong-kok yang tampak tak bersahabat itu.

   "Kaukah yang bernama Suropati?"

   Ulang Gede Panjalu.

   "Ya,"

   Jawab Suropati singkat.

   "Kau tak pantas menjadi pemimpin para pen-gemis, Suropati!"

   Tandas Gede Panjalu, langsung.

   "Kenapa begitu, Kek?"

   "Ketika anak buahmu terancam bahaya, kau sama sekali tak memberi perlindungan. Pemimpin ma-cam apa kau ini?!"

   "Aku tak mengerti maksudmu, Kek...,"

   "Aku meragukan kemampuanmu...!"

   Selesai mengucapkan kalimatnya, Gede Panjalu memasang kuda-kuda.

   "Maaf, Kek. Aku tak mau tarung tanpa alasan,"

   Cegah Suropati, tenang.

   "Aku ingin melihat, sampai di mana tingkat ke-pandaianmu,"

   Tantang Gede Panjalu langsung.

   "Tahan sebentar, Kek...,"

   Timpal Wirogundi seraya mendekati Gede Panjalu yang sudah siap menye-rang "Kau tak perlu ikut campur, Wiro!"

   Bentak Gede Panjalu, seraya menyentakkan tangannya ke arah Wirogundi Wuuusss...! Serangkai angin pukulan menerpa tubuh Wiro-gundi. Sehingga, tubuh pengemis muda bertubuh ku-rus itu bergeser menyamping beberapa tindak.

   "Lihat serangan, Bocah Sok Pintar!"

   Teriak Gede Panjalu, keras. Tubuh Pengemis Tongkat Sakti langsung me-nerjang Pengemis Binal. Tongkatnya terayun cepat. Wuuuttt..! Suropati berkelit dengan melompat ke bela-kang.

   "Sudah kubilang, aku tak mau bertarung tanpa alasan,"

   Kata Pengemis Binal.

   "Jangan sok!"

   Pengemis Tongkat Sakti kembali menyerang dengan gencar.

   Kakek bongkok itu melihat Suropati seperti musuh yang harus dienyahkan.

   Tanpa ragu, tongkatnya dihunjamkan ke bagian-bagian tubuh Su-ropati yang paling berbahaya.

   Pengemis Binal yang tak mau membalas seran-gan tentu saja menjadi kerepotan.

   Dia hanya mengan-dalkan kecepatan gerak tubuhnya untuk menghindari gempuran tongkat Gede Panjalu.

   Namun ketika Gede Panjalu menambah kecepa-tannya....

   Breeet...! Bahu Suropati terserempet ujung tongkat Pen-gemis Tongkat Sakti.

   Begitu cepat gerakan kakek ini, padahal Pengemis Binal sudah berusaha menjatuhkan diri untuk menghindar.

   Pengemis Tongkat Sakti segera menghentikan serangannya.

   Matanya memandang penuh ejekan pada Suropati yang tengah bergulingan di tanah.

   "Hanya sebegitukah kepandaian murid si Pe-riang Bertangan Lembut...?!"

   Ejek Pengemis Tongkat Sakti. Suropati mendengus gusar mendengar nama gurunya disebut. Namun, tiba-tiba bibirnya mengulum senyum.

   "Buang tongkat pengorek sampahmu itu, Kek...!"

   Ujar Pengemis Binal, langsung mengerahkan daya sihirnya yang dimiliki sejak lahir.

   Gede Panjalu terkejut ketika merasakan kekua-tan yang mendorongnya untuk melepas tongkat yang sedang dipegangnya.

   Tangannya bergetar hebat.

   Dan tongkatnya terasa sangat berat Mendadak Pengemis Tongkat Sakti mendengus.

   Kemudian segenap kekuatan batinnya dikumpulkan untuk melawan kekuatan yang kasat mata itu.

   "Bocah Gendheng! Jangan memamerkan ilmu sihir di hadapanku!"

   Sambil berkata demikian, tubuh Gede Panjalu melayang ke arah Suropati.

   Ujung tongkatnya melun-cur deras, mengarah tepat ke ulu hati! Namun sambil membalikkan tubuhnya, Penge-mis Binal menendang ujung tongkat Gede Panjalu.

   Tak! "Rupanya kau tidak main-main, Kek...,"

   Kata Suropati seraya meraih sebatang tongkat yang tergeletak di depan seorang pengemis yang sedang menyaksi-kan pertempuran. Gede Panjalu menyeringai.

   "Ingin kulihat, sam-pai di mana kelihaianmu memainkan tongkat. Lihat serangan!"

   Pengemis Tongkat Sakti segera memutar cepat tongkatnya hingga seperti mengelilingi tubuhnya.

   Tiap putarannya membentuk perisai yang tak terlihat Wuuuttt..! Tiba-tiba Gede Panjalu meluruk seraya meng-geprak kepala Pengemis Binal.

   Suropati menangkis.

   Traaakkk...! Pengemis Binal terkejut merasakan telapak tangannya jadi kesemutan.

   Namun, belum sempat mengambil napas, ujung tongkat Gede Panjalu telah meluncur mengarah jantung! Wuuuttt...! Cepat murid si Periang Bertangan Lembut ini berkelit dengan mengegos ke samping.

   Dan, segera di-mainkannya jurus yang diajarkan gurunya.

   "Jurus 'Tongkat Memukul Anjing'...,"

   Kata Gede panjalu.

   "Lihat jurus 'Tongkat Menghajar Mating' yang kumainkan...!"

   Pengemis Tongkat Sakti merubah gerakannya.

   Tongkatnya dipegang pada bagian tengah.

   Dan dua ujungnya segera menghunjam ke arah Suropati secara bergantian.

   Wuuuttt...! Wuuuttt...! Pertempuran sengit segera terjadi.

   Pengemis Binal berusaha mengimbangi gempuran tongkat Gede Panjalu yang tampak aneh di matanya.

   Dua ujung tongkat Pengemis Tongkat Sakti me-liuk-liuk bagai kepala ular yang sedang menerkam mangsa.

   Gerakannya sangat cepat, tak heran bila Pen-gemis Binal seringkali dibuat bingung, karena seran-gan tongkat Gede Panjalu kadang-kadang berubah arah secara mendadak.

   Sementara Gede Panjalu tampak mudah meng-hindari serangan Suropati.

   Jurus 'Tongkat Memukul Anjing' sama sekali tak berarti baginya.

   Setiap gerakan remaja berusia tujuh belas tahun itu selalu dapat di-baca oleh kakek bongkok yang bergelar Pengemis Tongkat Sakti itu.

   Sesungguhnya setiap gerakan dari jurus 'Tongkat Memukul Anjing' telah mendarah daging bagi Gede Panjalu.

   Sebab, pencipta jurus itu tak lain adalah ayah dari Gede Panjalu sendiri, semasa masih memimpin perkumpulan pengemis puluhan tahun silam.

   Se-bagai putra tunggal, tentu saja Pengemis Tongkat Sakti mewarisi kepandaian ayahnya.

   Traaakkk...! Terdengar suara benturan dua tongkat dengan keras.

   Pengemis Binal terkejut setengah mati, merasakan tongkatnya telah lepas dari pegangan dan me-layang jauh.

   "Kiranya hanya sampai di situ kemampuanmu, Bocah Sok Pintar...,"

   Cemooh Gede Panjalu. Tiba-tiba kakek bongkok itu membuang tong-katnya.

   "Aku ingin lihat jurus tangan kosongmu. Lihat jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'...!"

   Pengemis Tongkat Sakti segera mengembang-kan tangannya lebar-lebar, lalu bergerak ke depan dengan telapak terbuka. Mendadak telapak tangan itu meluncur dengan kecepatan tinggi.

   "Oaaahhh...."

   Suropati menguap. Lalu dia menjatuhkan diri ke tanah, membuat serangan Gede Panjalu luput Kakek bongkok itu menatap tubuh Pengemis Binal yang tergeletak di tanah dengan mata terpejam.

   "Ilmu 'Arhat Tidur'...,"

   Gumam Pengemis Tongkat Sakti.

   "Bocah Gendheng! Jangan kau kira ilmumu itu akan dapat menghadapi jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'...."

   Gede Panjalu menutup kelopak matanya.

   Tu-buhnya berdiri tegak di atas tanah tanpa bergeming.

   Pikirannya dipusatkan.

   Sikapnya seperti pasrah pada kekuasaan Tuhan.

   Tak lama kemudian, Pengemis Tongkat Sakti membuka matanya.

   Dan, kembali kedua tangannya dibentangkan lebar-lebar.

   Seketika telapak tangannya meluncur deras! Begitu derasnya, membuat Suropati tak sempat menggeliatkan tubuhnya yang sedang tidu-ran.

   Sehingga....

   Buuukkk...! Tubuh Suropati terpental sejauh dua tombak.

   Jerit ngeri terdengar dari para pengemis yang menyaksikan pertempuran itu.

   Perlahan-lahan Pengemis Binal membuka ma-tanya.

   Kedua telapak tangannya mendekap dada kiri yang nyaris amblong terkena pukulan Gede Panjalu.

   Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

   "Kenapa jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dan Ilmu 'Arhat Tidur' sama sekali tak berdaya menghadapi kakek bongkok itu...?"

   Tanya Suropati dalam hati. Sambil berdiri terhuyung-huyung, remaja bela-san tahun itu menatap Gede Panjalu yang masih me-mandang dengan tatapan penuh hinaan.

   "Adakah kau punya ilmu simpanan, Bocah Sok Pintar...?!"

   Leceh Gede Panjalu.

   Suropati menyeringai gusar mendengar hinaan Gede Panjalu.

   Sesaat hatinya diliputi keraguan.

   Ha-ruskah ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' di-pergunakan? Bila ilmu totokan itu dipergunakan, hanya kematianlah akibatnya.

   Sedang dia tak tega membunuh kakek bongkok yang selalu menatap sinis itu.

   Suropati tahu, walaupun bibir Pengemis Tongkat Sakti selalu mengeluarkan kata ejekan, tapi di balik semua itu, raut wajahnya mencerminkan kelembutan dan kehalusan budi.

   "Aku tidak mau bertempur tanpa alasan, Kek...,"

   Kilah Suropati yang masih diliputi keraguan. Gede Panjalu menaikkan ujung bibirnya.

   "Kau tak perlu ragu-ragu. Segera keluarkan il-mu simpananmu. Ingin kulihat, apakah kau pantas memimpin perkumpulan pengemis,"

   Tandas Pengemis Tongkat Sakti. Melihat kesungguhan kakek bongkok itu, Suro-pati mengambil ancang-ancang.

   "Jangan salahkan aku bila terjadi sesuatu yang tak kau inginkan, Kek...,"

   Ujar Pengemis Binal. Kening Gede Panjalu berkerut melihat gerakan tangan dan kaki Suropati.

   "Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'...,"

   Gumam kakek ini.

   "Rupanya kau sudah mengenal ilmu simpanan-ku...,"

   Kata Suropati pelan.

   "Dari mana kau belajar ilmu totokan itu...?"

   "Guruku mewariskannya"

   "Jadi si Periang Bertangan Lembut telah memi-liki jurus itu, dan memberikannya padamu?"

   "Tepat,"

   Jawab Suropati pendek.

   "Di mana dia sekarang?"

   Cecar Pengemis Tongkat Sakti.

   "Kenapa kau tanyakan itu...? Dia telah berada tempat yang tenang di sisi Tuhan."

   "Oh..."

   Gede Panjalu mendesah panjang. Tampak sinar kedukaan terlintas di matanya.

   "Kenapa kau meninggalkanku, Pragolawu-lung...?"

   Kata Pengemis Tongkat Sakti menyebut nama kecil si Periang Bertangan Lembut.

   "Kenapa Tuhan tak memanggilku terlebih dahulu...."

   Sebutir mutiara bening bergulir dari mata Gede Panjalu.

   Kakek bongkok itu berkali-kali menarik napas panjang.

   Mau tak mau, Suropati ikut terbawa keadaan.

   Hatinya merasa terharu menyaksikan Gede Panjalu yang tampak terpukul jiwanya itu.

   Perlahan-lahan Pengemis Tongkat Sakti me-langkah memasuki sebuah rumah yang dibangun den-gan darurat.

   *** Gede Panjalu duduk bersimpuh di atas tikar daun pandan.

   Sorot matanya bersinar kelabu.

   Sesuatu yang tak pernah diinginkan telah datang menghunjam membuat luka di hatinya.

   Luka itu tak akan pernah dapat disembuhkan lagi, akibat kepergian seseorang yang sangat dicintainya.

   Sesungguhnya Pragolawulung atau si Periang Bertangan Lembut telah menjadi bagian dari hidup Gede Panjalu alias Pengemis Tongkat Sakti.

   Keper-giannya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa, mem-buat jiwanya kering kerontang.

   Rasa kehilangan yang dalam menjadikan hidupnya seperti dalam mimpi.

   Dia seakan-akan tak percaya kepada apa yang telah terja-di.

   Gede Panjalu dan Pragolawulung sejak masih anak-anak selalu hidup bersama.

   Gede Panjalu adalah putra tunggal Datuk Risanwari, seorang tokoh sakti rimba persilatan yang mendirikan perkumpulan pen-gemis puluhan tahun silam.

   Tubuh Gede Panjalu yang cacat bongkok, membuat Datuk Risanwari berkeingi-nan untuk mengambil putra angkat.

   Maka yang dipi-lihnya adalah Pragolawulung, seorang pengemis kecil yang berbudi halus, serta sangat berbakat untuk men-dalami ilmu silat.

   Kehadiran Pragolawulung yang telah mendapat bagian cinta ayahnya, tak membuat Gede Panjalu me-rasa iri dan sakit hati.

   Kehadiran Pragolawulung justru membuat senang.

   Usia mereka yang sebaya, membuat kedua anak manusia itu cepat akrab satu sama lain.

   Pribadi Pragolawulung penuh rasa persahabatan dan selalu menampilkan sinar kegembiraan.

   Hal itulah yang membuat Gede Panjalu merasa sangat dekat.

   Di masa itu, di mana ada Gede Panjalu, di situ pasti ada Pragolawulung.

   Demikian juga sebaliknya.

   Datuk Risanwari pun merasa sangat gembira melihat keakraban mereka.

   Kasih sayangnya tertumpah tanpa pernah membeda-bedakan satu sama lain.

   Bahkan se-luruh kepandaiannya diwariskan kepada dua putranya dengan sepenuh hati.

   Namun, Gede Panjalu dan Pragolawulung mempunyai minat yang berlainan dalam menerima wa-risan ilmu kepandaian dari ayah mereka.

   Gede Panjalu yang cacat bongkok, amat senang mempelajari ilmu silat yang menggunakan senjata tongkat, disertai jurus-jurus tangan kosong.

   Maka tak heran kalau dia sangat mahir memainkan senjata tongkat.

   Memang, tongkatnya tak dapat dipisahkan dari dirinya.

   Tubuhnya yang bongkok membutuhkan sebuah alat penyangga untuk dapat berdiri tegak.

   Dan alat itu adalah sebatang tongkat.

   Sedangkan Pragolawulung yang berotak cerdas lebih suka mempelajari kesusastraan dan filsafat.

   Tapi karena dididik seorang tokoh sakti, tentu saja diha-ruskan untuk mempelajari ilmu silat juga.

   Pragolawu-lung pun menyadari akan hal itu.

   Dia juga mempelajari ilmu silat.

   Tetapi yang lebih diutamakannya ilmu silat yang mengandalkan kekuatan batin.

   Maka, tak heran kalau dia pun mahir memainkan ilmu 'Arhat Tidur' wa-risan ayah angkatnya.

   Malah, Datuk Risanwari berkenan mewariskan Kitab Delapan Belas Tapak Dewa kepada Pragolawu-lung yang dianggap lebih cocok mempelajari ilmu yang mengandalkan kekuatan batin.

   Untuk dapat menguasai ilmu yang tercantum dalam Kitab Delapan Belas Tapak Dewa, seseorang harus menguasai ilmu sihir terlebih dahulu.

   Dan, Pragolawulung orang yang tepat.

   Gede Panjalu pada dasarnya memang sangat mencintai Pragolawulung.

   Sehingga keputusan ayah-nya dapat diterima dengan ikhlas.

   Dia menyadari ke-kurangannya.

   Walaupun Kitab Delapan Belas Tapak Dewa tak diwariskan kepadanya, hal itu tak akan per-nah berarti apa-apa.

   Karena Gede Panjalu sama sekali tak berbakat dalam mempelajari ilmu sihir yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sakti itu.

   Ketika perkumpulan pengemis yang didirikan Datuk Risanwari dibubarkan pihak kerajaan, nasib baik menyertai Pragolawulung yang telah menginjak dewasa.

   Dia yang sangat paham akan filsafah kehidu-pan tak pernah mendendam terhadap tindakan pihak kerajaan.

   Saat tampuk kepemimpinan berganti, Prago-lawulung mengabdikan diri untuk kepentingan kera-jaan.

   Dan karena kehalusan budi serta kecerdasan otaknya dia diangkat menjadi penasihat kerajaan Sedangkan Gede Panjalu hidup terlunta-lunta mencari ayahnya yang telah menghilang sejak per-kumpulan pengemisnya dibubarkan.

   Namun hingga usia menggerogoti, Gede Panjalu tak pernah menjum-pai orang yang sangat dihormatinya.

   Hidup Gede Panjalu dan Pragolawulung akhir-nya terpisah.

   Mereka hidup dengan cara sendiri-sendiri mengikuti panggilan jiwa masing-masing.

   Namun, cin-ta di dalam hati mereka sama sekali tak pernah pa-dam.

   Jadi, wajar apabila Gede Panjalu sangat sedih mendengar berita kematian Pragolawulung.

   Setelah bertahun-tahun dia mencari jejak ayahnya yang tak pernah ditemuinya, kini ditambah berita kepergian Pragolawulung yang tak akan pernah kembali.

   Jelas, hal ini menjadikan Gede Panjalu larut dalam kesedi-han mendalam.

   *** Beberapa hari lamanya Gede Panjalu mengu-rung diri.

   Tepat hari ketujuh, kakek bongkok itu me-nyuruh salah seorang pengemis untuk memanggil Su-ropati.

   Kening Pengemis Binal berkerut.

   "Kenapa kakek bongkok itu memanggilku? Apakah aku hendak dijadikan barang mainan lagi? Atau mungkin ada sesuatu yang penting, menyangkut diriku? Ah, persetan...! Luka dalam di dada kiriku masih terasa sakit. Kenapa aku susah-susah memikir-kannya...?"

   Gumam Suropati. Remaja belasan tahun ini menggeleng-geleng seperti memberi penolakan atas panggilan Gede Panja-lu.

   "Mungkin Kakek Gede ingin mengatakan sesua-tu yang sangat penting untuk dibicarakan denganmu, Suro...,"

   Tambah seorang pengemis tua.

   "Aku tak sudi! Katakan pada kakek itu bahwa Suropati menolak panggilannya...,"

   Jawab Pengemis Binal, ketus.

   "Kau memang keras kepala, Suro...!"

   Terdengar suara setengah membentak dari pin-tu gubuk darurat. Begitu Suropati menoleh, ternyata yang muncul Gede Panjalu. Suropati tersenyum simpul.

   "Aku keras kepala? Apa benar katamu itu, Kek...?"

   Tukas Suropati mulai kumat lagi kekonyolannya. Suropati memijat-mijat batok kepalanya sendi-ri.

   "Oh, ya. Benar! Kepalaku memang keras...!"

   Lanjut remaja belasan tahun itu, sambil menggerak-gerakkan bola matanya.

   "Bocah Gendheng!"

   Santap Gede Panjalu. Lalu kakinya melangkah tegak mendekati Suropati.

   "Hari ini aku hendak menjadikanmu sebagai tangan kanan untuk memimpin perkumpulan pengemis di sini...."

   Mata Suropati terbeliak.

   "O.... Jadi, kau sudah mengakui kemampuanku Kek?!"

   Cetus Pengemis Binal kekonyol-konyolan.

   "Tapi, aku tidak mau hanya sekadar menjadi tangan kanan!"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Gede Panjalu, berkernyit alisnya.

   "Aku ingin kau mengakuiku sebagai pemimpin. Pemimpin dari para pengemis...!"

   Tandas Suropati, terang-terangan. Gede Panjalu membersitkan senyum.

   "Baiklah.... Aku mengakuimu sebagai pemimpin para pengemis. Tapi, kau harus mendapat persetujuan dari orang-orang yang hendak kau pimpin..."

   Mendadak Gede Panjalu bertepuk tiga kali. Tak lama puluhan orang pengemis telah berkumpul menge-lilingi Pengemis Binal dan Pengemis Tongkat Sakti "Kau tanya mereka, Suro...,"

   Ujar Gede Panjalu Suropati tersenyum lebar.

   "Tanpa kutanya, mereka sudah mengakuiku sebagai pemimpin!"

   Sahut Pengemis Binal, enteng.

   "Aku belum mendengar pernyataan mereka!"

   Sentak Pengemis Tongkat Sakti. Suropati memandang wajah Gede Panjalu se-saat. Lalu tatapan matanya beralih kepada para pen-gemis yang telah berkumpul di hadapannya.

   "Saudara-saudara! Untuk meyakinkan Kakek Gede, coba tunjukkan persetujuan kalian untuk men-gangkatku sebagai seorang pemimpin...,"

   Kata Suropati lantang. Para pengemis yang berada di tempat itu pun jadi kasak-kusuk, karena tidak tahu bagaimana cara menyatakan rasa persetujuannya.

   "Setujukah kalian mengangkatku menjadi pe-mimpin pengemis...?!"

   Teriak Pengemis Binal, lantang.

   "Setujuuu...!"

   Sorak-sorai para pengemis segera terdengar. Suaranya membahana di angkasa untuk beberapa saat "Kau telah mendengar sendiri pernyataan me-reka, Kek...,"

   Kata Suropati kepada Gede Panjalu Kakek bongkok itu tersenyum.

   "Baik! Aku akan menobatkanmu menjadi pe-mimpin pengemis...,"

   Jawab Gede Panjalu sambil mengeluarkan selembar kain dari kantong bajunya.

   "Untuk apa kain kumal itu, Kek? Untuk me-nyeka ingus? Ah! Aku bukan bocah ingusan lagi...,"

   Se-loroh Suropati.

   "Husss...! Ini kain wasiat, Goblok!"

   Dengus Pengemis Tongkat Sakti. Mendengar ucapan Gede Panjalu, Suropati ter-tawa terbahak-bahak.

   "Ah! Kau sedang melucu rupanya, Kek. Masa' kain kumal dan bau seperti itu disebut kain wasiat..."

   Tiba-tiba Gede Panjalu mengebutkan kain yang dipegangnya. Wuuuttt...! Saat itu juga bau apek menebar menusuk hi-dung. Mau tak mau Suropati dan para pengemis yang sedang berkumpul di tempat itu segera menutup lu-bang hidung.

   "Ha ha ha...!"

   Gede Panjalu tertawa terpingkal-pingkal, lupa akan kesedihannya.

   "Sudah kubilang, kain ini adalah kain wasiat! Kalau kalian tidak sema-put mencium baunya, masih untung. Kemarin, seekor tergeletak mati waktu hendak menggerogoti kain ini...."

   Semua yang mendengar perkataan Gede Panja-lu tak dapat menahan tawa. Mereka terpingkal-pingkal dengan perut bagai diaduk-aduk.

   "Diaaammm...!"

   Teriak Gede Panjalu nyaring. Kemudian kakinya melangkah ke belakang Pengemis Binal.

   "Kalian semua yang hadir di tempat ini menjadi saksi. Aku Gede Panjalu yang bergelar Pengemis Tongkat Sakti, hendak menobatkan Suropati sebagai pe-mimpin pengemis...."

   Sret...! Sret....! Tangan Gede Panjalu bergerak cepat Pengemis Binal cepat meraba kepalanya yang tiba-tiba telah teri-kat kain kumal milik Pengemis Tongkat Sakti.

   "Itu mahkota kebesaranmu, Suro. Karena kau Pemimpin Pengemis, pemimpin dari orang-orang miskin yang hidupnya sengsara, kau tidak membutuh-kan mahkota yang terbuat dari emas berlian. Kain kumal ini saja cukup...,"

   Jelas Gede Panjalu berwibawa, setelah mengikatkan kain kumal di kepala Suropati. Mendadak hidung Suropati kembang-kempis.

   "Ah! Aku mencium bau tak enak.... Seperti bau terasi busuk,"

   Kata remaja belasan tahun itu, seraya melepas mahkotanya. Langsung diciumnya kain itu "Uhhh...! Bau busuk itu berasal dari kain kum-al ini. Aku tidak mau memakainya lama-lama, Kek...."

   Gede Panjalu tertawa keras.

   "Ha ha ha.... Kain itu memang lap keringat di ketiakku, Suro...,"

   Kata kakek bongkok itu sambil mengulum senyum.

   Seketika Suropati melemparkan kain kumal itu ke arah para pengemis yang berkumpul di hadapan-nya.

   Tentu saja mereka berusaha mengelak.

   Tapi, seorang pengemis kecil menjadi merah padam wajah-nya, karena tersambar kain kumal milik Gede Panjalu.

   Pengemis kecil itu kemudian melempar kain kumal yang dipegangnya ke arah pengemis lainnya.

   Wuuusss...! Kain kumal itu menimpa salah seorang penge-mis setengah baya.

   Dan, kemudian dilemparkan kepa-da pengemis lainnya.

   Begitu seterusnya, sehingga para pengemis sibuk melempar-lemparkan kain kumal milik Gede Panjalu.

   Bau apek pun segera menebar.

   "Diaaammm...!"

   Bentak Gede Panjalu, keras.

   Pada saat itu, Wirogundilah orang terakhir yang memegang kain kumal milik Pengemis Tongkat Sakti.

   Karena sudah kepalang basah, dan tak tahu ke mana kain kumal itu hendak dilemparkan, tiba-tiba tangan-nya bergerak! Weeerrr...! Pluk! Mata Gede Panjalu mendelik, setelah mengam-bil kain kumalnya sendiri yang menimpa wajahnya.

   Sementara, Wirogundi terkejut setengah mati menya-dari kesalahannya.

   Kreeesss...! Gede Panjalu meremas kain kumalnya sendiri hingga menjadi abu yang mengeluarkan bau menusuk hidung.

   "Ha ha ha...!"

   Pengemis Tongkat Sakti tertawa keras.

   "Pemimpin Pengemis tidak perlu mahkota...."

   Mendengar tawa Gede Panjalu, hati Wirogundi jadi tenang kembali. Rasa takutnya hilang tanpa be-kas.

   "Tapi sebagai raja, tentu saja Suropati memer-lukan sebuah lambang kekuasaan. Dan lambang ke-kuasaan yang tepat bagi seorang pengemis adalah tongkat...,"

   Lanjut Pengemis Tongkat Sakti. Gede Panjalu menimang-nimang tongkatnya sebentar, lalu mengangsurkannya kepada Suropati. Pengemis Binal menggeleng-geleng, tak mene-rima tongkat yang diserahkan padanya.

   "Tadi kain kumal. Sekarang tongkat butut. Apakah kau menghinaku, Kek...?"

   Kata Suropati pelan. Mata Gede Panjalu kembali mendelik.

   "Kau ka-takan tongkat butut? Coba, apakah kau mampu me-matahkannya...?"

   Sahut Gede Panjalu seraya menyerahkan tongkat di tangannya.

   Suropati pun menerima.

   Dan segera dibukti-kannya ucapan Gede Panjalu.

   Seluruh tenaganya sege-ra dikeluarkan untuk mematahkan tongkat Gede Pan-jalu.

   Namun mulutnya jadi meringis kecut karena usa-hanya tak membuahkan hasil.

   Tiba-tiba telinga Pengemis Binal menangkap so-rak-sorai para pengemis yang menyaksikan adegan itu.

   Karena merasa malu, Suropati segera mengerahkan tenaga dalamnya.

   Kretek....! Kretek...! Tongkat di tangan Pengemis Binal hanya men-geluarkan suara gemeretakkan, tapi tak terpatahkan juga.

   Dan keringat dingin pun mengucur dari seluruh pori-pori di tubuhnya.

   Sorak-sorai dari para pengemis yang berada di dekatnya, semakin keras terdengar.

   Mendadak Suropati mendengus keras.

   Lalu ka-kinya melangkah mendekati batu sebesar anak ker-bau.

   Begitu mencapai jarak satu tombak, tongkat itu langsung dikebutkan ke batu.

   Wussss...! Buuummm...! Batu yang tertimpa hantaman tongkat langsung pecah berkeping-keping, menimbulkan asap tebal mengaburkan pandangan.

   Sementara Pengemis Binal jadi bergidik ngeri menyaksikan kekuatan tongkat yang masih dipegangnya.

   Sedangkan tongkat itu masih tetap utuh tanpa cacat.

   "Uhhh...! Tongkat macam apa ini? Kenapa kuat betul...?"

   Bisik Suropati dalam hati.

   "Tongkat itu kuberikan kepadamu, Suro...,"

   Cetus Gede Panjalu kemudian.

   "Ah! Aku tidak bisa menerimanya, Kek. Tongkat ini terlalu berharga untuk diberikan kepadaku...,"

   Tolak Pengemis Binal, halus.

   "Tidak. Kau pantas menerimanya, Suro. Aku yang tua dan mulai pikun ini sudah tak begitu memer-lukannya lagi...,"

   Sergah Pengemis Tongkat Sakti.

   Suropati meraba-raba tongkat pemberian Gede panjalu yang permukaannya licin itu.

   Pangkalnya be-rukir kepala naga.

   Sedangkan pada bagian ujung tam-pak seperti dipelintir sepanjang dua jengkal.

   Saat tertimpa sinar mentari, tongkat itu memendarkan cahaya kehijau-hijauan.

   "Kekuatan tongkat itu melebihi kekuatan seba-tang baja, Suro. Tak sebilah pedang pun di dunia ini yang sanggup mematahkannya. Aku membuat tongkat itu dari sebatang kayu pilihan yang telah kurendam ke dalam ramuan khusus selama bertahun-tahun...,"

   Jelas Gede Panjalu. Pengemis Binal kemudian membongkokkan ba-dannya seraya menjura beberapa kali di hadapan Gede Panjalu.

   "Terima kasih atas pemberianmu, Kek.... Mu-dah-mudahan aku dapat merawat sebaik-baiknya,"

   Ucap Suropati, penuh harap. Gede Panjalu tersenyum.

   "O ya. Kau belum memberi nama perkumpulan pengemismu ini, Suro...,"

   Tukas Pengemis Tongkat Sakti. Dahi Suropati berkerut "Nama...,"

   Gumam Pengemis Binal.

   "Nama apa yang cocok...?"

   "Terserah kau, Suro."

   Mendadak Suropati meloncat girang seperti te-lah menemukan sebuah gagasan cemerlang.

   "Bagaimana kalau aku pinjam gelarmu, Kek."

   Usul Pengemis Binal dengan mata berbinar.

   "Aku beri nama perkumpulan pengemis ini dengan nama Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...."

   Seketika sorak-sorai kembali terdengar, me-nyambut ucapan Suropati itu "Bagaimana? Apakah kalian semua menyetujui nama yang kuberikan?"

   Tanya Suropati kepada para pengemis yang sedang diliputi kegembiraan.

   "Setuju....!"

   Sebuah jawaban serempak terdengar keras. Ta-pi Pengemis Binal tampak bersungut-sungut, kemu-dian kakinya melangkah mendekati dua orang penge-mis perempuan yang duduk berdampingan.

   "Kenapa kalian hanya menunduk saja?"

   Tegur Suropati.

   "Apa kalian tidak setuju bila aku jadi pe-mimpin...?!"

   "Eh, tidak...,"

   Jawab salah seorang pengemis perempuan yang masih muda.

   "Maksudmu, 'tidak setuju'?!"

   Desak Suropati.

   "Tidak...."

   "Apa? Tidak setuju?!"

   "Ak..., aku setuju...,"

   Sahut si pengemis perempuan tergagap karena dibentak Suropati. Mendadak remaja konyol itu memencet hidung pengemis perempuan.

   "Aduhhh...!"

   Tentu saja perempuan itu menjerit seraya me-lompat "He he he...,"

   Suropati tertawa terkekeh.

   "Kalau berkata yang jelas!"

   Pengemis Binal lalu menggelitik pinggang si pengemis perempuan. Yang digelitik pun menjerit-jerit seraya berlari pontang-panting. Sambil menatap ke-pergiannya, remaja konyol ini tertawa terbahak-bahak.

   "Dasar Pengemis Binal...!"

   Kata seorang pengemis, sambil memperhatikan tingkah laku Suropati. Saat itu juga pengemis-pengemis lain ikut ber-gumam tak karuan, sehingga mirip sekawanan lebah.

   "Senangnya menggoda perempuan...,"

   Timpal yang lain.

   "Yah.... Namanya saja Pengemis Binal...!"

   Mendengar dirinya yang dibicarakan, Suropati masih tertawa terbahak-bahak.

   Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang.

   Seketika semua mata menatap tajam ke arah asal suara.


Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini