Ceritasilat Novel Online

Kemelut Kadipaten Bumiraksa 2


Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Bagian 2



Tampak dua ekor kuda muncul, di-tunggangi dua orang lelaki setengah baya berpakaian pembesar kerajaan.

   Sekitar lima tombak di depan para pengemis, dua lelaki setengah baya ini turun dari ku-danya.

   Para pengemis seketika diliputi ketegangan.

   Mereka mengira, dua orang lelaki yang baru hadir itu adalah utusan Adipati Danubraja yang memusuhi perkumpulan pengemis.

   "Siapa di antara kalian yang bernama Suropa-ti?"

   Tanya salah seorang lelaki berpakaian pembesar kerajaan. Karena tidak melihat sinar permusuhan, Suro-pati segera berjalan mendekat.

   "Ada apakah Tuan mencariku?"

   Tanya Pengemis Binal sambil membungkukkan badan.

   "Kau yang bernama Suropati?"

   Pembesar kerajaan ini malah balik bertanya lagi. Suropati membungkukkan badan lebih dalam. Kemudian matanya menatap si penanya sambil nyen-gir "Aku Bramasta, utusan Baginda Prabu Arya Diwantara,"

   Kata penunggang kuda itu, memperkenalkan diri.

   "Aku mengemban titah beliau untuk me-nyampaikan sesuatu kepadamu, Suropati!"

   Suropati hanya diam mendengarkan ucapan utusan Baginda Prabu yang mengaku bernama Bra-masta. Matanya menatap gerakan tangan pembesar ini.

   "Baginda Prabu berkenan memberikan lambing kepercayaan kepadamu, Suropati. Karena, kau telah berhasil menumpas pengkhianat kerajaan yang nama Brajadenta atau si Dewa Maut."

   Bramasta kemudian menyerahkan sebuah ben-da yang terbuat dari emas murni sebesar telapak tan-gan orang dewasa.

   Pengemis Binal pun menerimanya dengan senang hati.

   Untuk beberapa lama ditimang-timangnya benda dari emas murni yang berukir gam-bar burung rajawali di dalam genggamannya.

   "Terima kasih, Tuan...,"

   Ucap Suropati seraya menjura beberapa kali.

   Bramasta menganggukkan kepalanya lalu ber-balik diikuti temannya.

   Begitu mereka berada di atas kuda masing-masing, segera mohon diri dan mengge-bah kudanya.

   Sebentar kemudian, kedua penunggang kuda itu telah lenyap dari pandangan.

   Sorak-sorai kegembiraan kembali terdengar, saat dua pembesar kerajaan itu telah lenyap sama se-kali "Suropati pahlawan kerajaan...! Suropati pah-lawan kerajaan...!"

   Kalimat itu berkali-kali terdengar. Sementara Suropati tertawa terbahak-bahak, larut dalam kegem-biraan.

   "Rasa gembira ada batasnya, Suro,"

   Kata Gede Panjalu mengingatkan, sambil melangkah mendekat.

   "Kau tidak boleh berlarut-larut mengikuti perasaan ha-timu itu. Sebagai seorang pemimpin, kau harus dapat mengendalikan diri...."

   Suropati mengangguk, tanda menyadari kekeli-ruannya.

   "Ilmu kepandaianmu masih belum seberapa. Kau harus lebih banyak belajar, Suro,"

   Lanjut Gede Panjalu.

   "Bersediakah kau belajar sedikit dariku,..?"

   Suropati menatap wajah Gede Panjalu, seakan tak percaya mendengar tawaran ini.

   "Terima kasih, Kek. Aku bersedia...,"

   Sahut Suropati mantap, namun penuh penghormatan.

   *** Sejak saat itu Pengemis Binal bersama-sama pengemis lain menjadi murid Gede Panjalu atau Pen-gemis Tongkat Sakti.

   Tetapi, ajaran yang diberikan Gede Panjalu kepada Suropati hanya bersifat penyem-purnaan saja.

   Yang lebih khusus, Suropati kini berlatih ilmu tongkat secara lebih mendalam.

   Menurut Gede Panjalu, jurus 'Tongkat Memu-kul Anjing' yang diajarkan si Periang Bertangan Lem-but hanyalah sebagian dari jurus 'Tongkat Sakti' warisan Datuk Risanwari, ayah kandung kakek bongkok itu.

   Jurus 'Tongkat Sakti' terdiri dari tiga buah ju-rus yang satu sama lainnya saling berkaitan.

   Hanya karena kurang berminat, maka si Periang Bertangan Lembut hanya menguasai salah satu dari rangkaian jurus 'Tongkat Sakti' itu.

   Selain jurus 'Tongkat Memukul Anjing', juga terdapat jurus 'Tongkat Menghajar Maling', dan jurus 'Tongkat Mengejar Kucing'.

   Untuk jurus tangan kosong, Suropati menerima tiga jurus dari Gede Panjalu yang juga saling berkaitan.

   Yakni, jurus 'Pengemis Meminta Sedekah', jurus 'Pengemis Menebah Dada', dan jurus 'Pengemis Meng-hiba Rembulan'.

   *** Pagi ini kelihatan cerah.

   Matahari baru saja bangun dari tidurnya.

   Gede Panjalu tampak duduk berhadapan dengan Suropati.

   "Apa yang sedang kau pelajari, hendaknya di-pergunakan untuk membela kaum lemah, kaum ter-tindas yang terbiasa hidup sengsara, Suro. Kau harus berpegang teguh kepada kebenaran. Karena, kebenaran mengajarkan manusia untuk dapat melihat sesua-tu dunia ini secara lebih jelas dan gamblang. Kebena-ran pun berperan sebagai cahaya yang menerangi mayapada, guna mengusir kegelapan yang menyelimu-ti pikiran manusia. Kebenaran juga menampakkan si-kap dan perilaku manusia, bagaimana harus berbuat dan bertindak. Kebenaran adalah sebuah benteng yang kokoh kuat, untuk menepis datangnya nafsu manusia yang sering kali bersifat memperbudak...."

   Suropati tetap diam membisu, mendengarkan nasihat Gede Panjalu.

   Otaknya mencatat nasihat Pen-gemis Tongkat Sakti yang berinti kepada tindakan ma-nusia yang harus tetap berpegang teguh pada jalan kebenaran.

   *** Waktu terus berlalu mengikuti garis yang telah diciptakan Sang Penguasa Tunggal.

   Waktu terus berge-rak seorang pun mampu mencegahnya Tanpa terasa dua tahun telah berlalu.

   Perkum-pulan Pengemis Tongkat Sakti yang dipimpin Suropati telah berkembang pesat.

   Perkumpulan pengemis itu memberi naungan bagi para pengemis yang membu-tuhkan perlindungan dari tindakan orang-orang yang merasa dirinya lebih kuat dan lebih berkuasa.

   Seiring bergesernya waktu pula, Suropati telah menjadi sosok manusia yang lebih dewasa.

   Dengan mendapat bimbingan dari Gede Panjalu, langkah Su-ropati dalam bersikap dan bertindak menjadi lebih matang.

   Jiwa kepemimpinannya semakin terlihat.

   Dia tak pernah segan untuk lebur dalam penderitaan yang dirasakan anak buahnya.

   Dia tak pernah segan turun tangan dalam mengatasi segala kesulitan.

   Karena jiwa kepemimpinannya itulah, Suropati menjadi panutan.

   Hal itu membuat anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti semakin hari semakin bertambah jum-lahnya.

   Anggota perkumpulan pengemis itu hingga kini telah mendekati jumlah seribu orang.

   Mereka tersebar di beberapa kota kadipaten, yang masih termasuk wi-layah Kerajaan Anggarapura.

   *** Malam yang biasanya sepi, kini nampak seru.

   Terutama di Pendapa Kadipaten Bumiraksa yang dili-puti kegembiraan.

   Petinggi-petinggi kerajaan dengan pakaian kebesarannya tampak duduk berderet di kursi jati berukir.

   Di hadapan mereka terhidang aneka ma-sakan lezat yang mengundang selera.

   Buah-buahan matang ranum tergolek di meja seperti menggoda ha-srat untuk segera menikmati.

   Poci-poci indah dari perak gemerlap berisi arak kelas satu.

   Suara tawa menggema, mencerminkan rasa gembira meluap-luap.

   Pada barisan kursi lain, tampak hadir para un-dangan yang terdiri dari para punggawa tinggi dari Kadipaten tetangga dan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan, terutama dari golongan hitam.

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka tampak duduk berdampingan dengan Rabanga, seorang tokoh aliran hitam berjuluk Setan Pencabut Nyawa.

   Di sampingnya terlihat Brajamusti lelaki berwajah dingin, mengena-kan ikat kepala berwarna hitam.

   Nama aslinya Braja-musti sedang julukannya Dewa Sesat.

   Di sampingnya lagi, duduk Empu Barangas yang sudah berusia lan-jut.

   Kakek itu duduk tenang.

   Matanya sedikit terpejam.

   Empu Barangas adalah seorang ahli pembuat keris.

   Tak heran kalau julukannya Empu Keris Hitam.

   Kelima tokoh sakti itu duduk berhadapan den-gan Kaligundi dan Pradesta.

   Kaligundi yang bertubuh gemuk tampak menenggak arak yang disuguhkan sambil mengeluarkan suara omelan tak berpangkal-ujung.

   Umurnya sekitar lima puluh lima tahun.

   Dia terkenal dengan julukan Pegulat Tangan Maut.

   Selain ilmu silatnya telah mencapai tingkatan tinggi, dia juga mahir bergulat.

   Ilmu itu hasil berguru kepada seorang tokoh di daratan Mongolia.

   Di sebelah Kaligundi, Pradesta duduk tenang sambil menghitung biji tasbihnya tiada henti.

   Jubah-nya berwarna kuning keemasan.

   Wajahnya halus, ber-hias kumis dan janggut panjang yang telah memutih.

   Sorot matanya sangat tajam, mencerminkan keberin-gasan dan kekejaman.

   Walaupun Pradesta seorang pendeta, tetapi jalan hidupnya telah melenceng dari garis kebenaran.

   Julukannya Pendeta Murtad.

   Di barisan kursi lain tak jauh dari tempat du-duk tokoh-tokoh sakti beraliran hitam itu, tampak pa-ra perwakilan dari kadipaten sahabat.

   Mereka duduk tenang, menikmati pesta secara wajar.

   Di sebelah utara para undangan, Adipati Danu-braja duduk berdampingan dengan istrinya yang ber-nama Rara Anggi.

   Wanita cantik berumur sekitar tiga puluh lima tahun itu tampak bercakap-cakap dengan seorang gadis belia yang berwajah cantik.

   Hidungnya mancung.

   Bibirnya merah merekah laksana biji delima yang telah ranum.

   Matanya berkedip indah, dengan bulu lentik, mengundang hasrat.

   Rambutnya yang hi-tam panjang dijepit ke atas dengan sebuah penjepit emas bermata berlian.

   Pakaiannya gemerlap, semakin menambah sinar kecantikannya.

   Dia adalah Dewi Ika-ta, putri tunggal Adipati Danubraja.

   "Berbahagiakah kau hari ini, Ikata?"

   Tanya Rara Anggi kepada putrinya.

   "Ah! Aku rasa biasa-biasa saja, Bu,"

   Jawab Dewi Ikata.

   "Kenapa kau katakan biasa-biasa saja? Bukankah ini hari ulang tahunmu yang ketujuh belas? Mes-tinya kau harus merasa bahagia, karena ayahandamu berkenan mengadakan pesta meriah di hari ulang ta-hunmu ini...,"

   Tukas Rara Anggi.

   "Kukira ayahanda terlalu berlebihan dengan mengadakan pesta meriah seperti ini."

   Sahut Ikata lembut.

   Rara Anggi tak melanjutkan pembicaraannya.

   Pandangan matanya kini tertuju pada kehadiran seo-rang penari cantik yang sedang menunjukkan kebole-hannya.

   Diiringi suara gamelan yang mengalun merdu, lima penari itu bergerak lemah gemulai.

   Melenggak-lenggok begitu elok.

   Pergelangan tangan mereka yang halus indah terlihat laksana busur terpentang.

   Semua mata memandang penuh takjub.

   Seper-tinya, mereka tak bosan mengikuti setiap gerak kelima penari cantik itu.

   Pesta ini benar-benar meriah.

   Adipati Danubra-ja tersenyum puas menyaksikan para undangan yang tampak sangat menikmati suasana.

   Di saat orang terlena dalam kemeriahan, seo-rang pengawal Kadipaten Bumiraksa tampak mende-kati Adipati Danubraja.

   "Mohon ampun, Gusti Adipati. Hamba mengha-dap untuk menyampaikan sesuatu hal...,"

   Ucap pengawal kadipaten ini.

   "Segera katakan, Pengawal!"

   Ujar Adipati Danubraja menampakkan keterkejutannya.

   "Di luar pendapa kadipaten berkumpul sepuluh orang pengemis, Gusti Adipati...,"

   Lapor pengawal ini "Segera usir mereka. Kadipaten Bumiraksa tak boleh dijamah pengemis...!"

   Perintah Adipati Danubraja, keras.

   "Ampun, Gusti Adipati. Kami sudah berusaha mengusirnya. Tapi, para pengemis itu tetap ngotot tak mau pergi...."

   "Bangsat...!"

   Umpat Adipati Danubraja. Pengawal kadipaten yang berlutut di depan Adipati Danu-braja menjadi pucat wajahnya.

   "Kalau mereka keras kepala, seret! Bila perlu, penggal leher mereka...! Kenapa kau menjadi goblok, pengawal...?!"

   Melihat kemarahan junjungannya, pengawal itu segera menjura, lalu berbalik meninggalkan tempat ini.

   Bersamaan dengan itu....

   Braaakkk..! Mendadak saja, melayang satu sosok tubuh yang menabrak pintu, dan langsung jatuh menimpa meja para undangan.

   Suara barang-barang pecah be-lah yang hancur berantakan terdengar, diiringi jerit ngeri para wanita yang hadir.

   Adipati Danubraja bangkit dari tempat duduk-nya.

   Matanya mendelik ke arah sosok tak bernyawa la-gi, yang ternyata prajurit penjaga pintu.

   Sementara Ra-ra Anggi dan Dewi Ikata segera masuk ke ruang dalam.

   Seorang prajurit penjaga pintu pendapa kadipa-ten lainnya segera berlari ke arah Adipati Danubraja.

   "Pengemis-pengemis itu mengamuk, Gusti Adi-pati...,"

   Lapor prajurit ini di sela-sela napasnya yang ngos-ngosan. Adipati Danubraja menggerendeng penuh ke-marahan.

   "Pengemis hina-dina! Beraninya membuat onar di pestaku...!"

   Gumam adipati itu.

   Lelaki setengah baya yang bertubuh tegap ini segera melompat ke luar pendapa, mendekati pusat ke-ributan.

   Tampak sepuluh orang pengemis bersenjata golok yang tengah mengamuk, membunuhi prajurit-prajurit kadipaten.

   Di bawah sinar lampu yang temaram, pertem-puran sengit berlangsung seru.

   Trang...! Trang...! Suara benturan senjata tajam membahana di angkasa.

   Suasana pesta menjadi semakin kacau.

   Para penari dan pengrawit berserabutan mencari tempat perlindungan.

   Sedangkan para undangan diam-diam meninggalkan tempat, karena tak mau mencampuri urusan dalam Kadipaten Bumiraksa.

   "Akhhh....!"

   Seorang pengawal kadipaten mulai terjungkal dengan perut terkoyak.

   Tak lama kemudian, teman-temannya segera menyusul ke akhirat.

   Adipati Danubraja menggerendeng keras meli-hat sepuluh orang pengemis bersenjatakan golok ten-gah bertempur dengan membabi buta.

   Lalu, matanya menatap tujuh orang tokoh sakti beraliran hitam yang sedang duduk tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa "Kenapa Tuan-tuan diam saja...?"

   Tanya Adipati Danubraja, gusar.

   "Kalau tidak diam, kami mau berbuat apa...?!"

   Balagundi, salah seorang dari Sepasang Iblis Penyebar Petaka malah balik bertanya. Menjengkelkan! Kening Adipati Danubraja berkerut.

   "Pengemis-pengemis busuk itu harus diberi pe-lajaran, Tuan,"

   Ujar Adipati Danubraja.

   "He he he...,"

   Balagundi malah tertawa.

   "Kalau mau memberi pelajaran, kenapa tidak kau sendiri yang turun tangan, Danubraja?!"

   Mendengar ucapan Balagundi itu, Adipati Da-nubraja terkejut "Apa maksud, Tuan?"

   "Kami tidak lagi berpihak kepadamu, Danubra-ja!"

   Keterkejutan Adipati Danubraja semakin ber-tambah. Mulutnya meringis gusar. Lalu matanya me-natap tokoh sakti lainnya. Ternyata teman-teman golongan Balagundi pun menatap sinis kepada adipati itu.

   "Ah! Kenapa Tuan-tuan jadi bersikap seperti ini...?"

   Tanya Adipati Danubraja.

   "Sudah kubilang, kami tidak lagi berpihak ke-padamu, Danubraja!"

   Kata Balagundi setengah membentak, lalu bangkit dari tempat duduknya. Melihat kesungguhan dari tokoh sakti itu, adi-pati ini segera memanggil para prajuritnya. Seketika, belasan orang prajurit kadipaten bermunculan dengan senjata pedang terhunus.

   "Katakan, apa maksud Tuan-tuan sebenar-nya...?!"

   Bentak Adipati Danubraja. Tujuh orang tokoh sakti beraliran hitam itu ter-tawa lebar.

   "Kau sudah tak pantas untuk memegang tam-puk pimpinan di Kadipaten Bumiraksa!"

   Tegas Brajamusti atau si Dewa Sesat, langsung.

   "Jadi, kalian mau memberontak?!"

   Tanya Adipati Danubraja, seperti ingin menegaskan pendengaran-nya.

   Tujuh orang tokoh sakti itu kembali tertawa lebar.

   Adipati Danubraja segera menyadari keadaan.

   Belasan orang prajurit kadipaten yang telah berdiri di sampingnya seketika diperintah untuk menyerang.

   Maka, belasan prajurit menerjang cepat.

   Tapi, tujuh orang tokoh sakti itu melayaninya sambil terta-wa-tawa.

   Maka Adipati Danubraja terbeliak ketika tahu dirinya telah terkepung sepuluh orang pengemis ber-senjata golok.

   "Pengemis-pengemis busuk! Mau apa kalian?!"

   Pengemis-pengemis itu tidak menjawab.

   Mereka mendengus, kemudian mengayunkan golok ke arah Adipati Danubraja yang masih diliputi keterkejutan Wuuuttt...! Wuuuttt..! Adipati Danubraja berkelit, menghindari sam-baran golok yang datang beruntun.

   Sementara kesepu-luh orang pengemis itu tak mau memberi kesempatan berpikir panjang kepada Adipati Danubraja.

   Mereka kembali menerjang secara serempak! Mata adipati bertubuh tegap itu makin melotot.

   Dan segera dicabutnya sebilah pedang pendek dari ba-lik bajunya.

   Lalu tangannya yang memegang pedang segera bergerak menangkis.

   Trang...! Trang...! Tangkisan pedang Adipati Danubraja membuat tapak tangan para pengemis menjadi kesemutan.

   Menyaksikan lawannya terperangah, adipati itu segera berteriak, memanggil prajurit-prajurit kadipaten Sebentar saja, puluhan prajurit bersenjata peda segera menerjang para pengemis yang sudah siap mengayunkan golok.

   Kini pertempuran sengit segera berlangsung semakin seru.

   Tiba-tiba Adipati Danubraja berkelebat masuk ke ruang dalam.

   Tapi ketika langkah kakinya baru sampai di ruang utama kadipaten, Patih Wiraksa sudah datang menghadang.

   "Kenapa kau berada di sini, Patih?! Tidakkah kau melihat di luar sedang berlangsung pertempuran hebat..?!"

   Bentak Adipati Danubraja, setengah terkejut "He he he...,"

   Patih Wiraksa tertawa mengejek.

   "Tentu saja aku tahu, Danubraja!"

   Mendengar kata-kata Patih Wiraksa yang tidak menunjukkan sikap hormat, Adipati Danubraja meng-geram gusar.

   "Rupanya kau biang dari peristiwa ini, Patih Wiraksa...!"

   Duga Adipati Danubraja, langsung mengerti.

   "Tepat!"

   Sahut Patih Wiraksa pendek.

   "Bangsat! Segera kukirim kau ke neraka...!"

   Adipati Danubraja segera menerjang dengan pedang pendeknya.

   Namun Patih Wiraksa tak kalah si-gap.

   Cepat dipapaknya serangan itu dengan pedangnya yang telah tercabut Trang...! Baru saja terjadi benturan senjata, ujung pe-dang Patih Wiraksa kembali menghunjam ke dada Adi-pati Danubraja! "Pengkhianat Busuk!"

   Geram adipati itu sambil berkelit.

   Patih Wiraksa terus merangsek.

   Pedangnya berkelebat cepat, membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata Sedangkan Adipati Danubraja menghadapi se-rangan sambil terus menggerendeng penuh kemara-han.

   *** Sementara itu, tujuh orang tokoh yang berali-ran hitam yang dikeroyok belasan prajurit kadipaten tampaknya berada di atas angin.

   Mereka mudah sekali merobohkan lawan-lawannya.

   Sambil tertawa, mereka menyebar kematian.

   Prajurit-prajurit kadipaten jelas sekali tak ber-daya.

   Mereka seperti sedang memasrahkan nyawa.

   Mendadak lima puluh orang prajurit yang di-pimpin Anggaraksa menerjang dengan pedang berkele-batan.

   Wuuuttt..! Wuuuttt...! Namun tujuh orang tokoh sakti itu hanya me-nyeringai dingin.

   Dan ketika tubuh mereka bergerak cepat sambil melepaskan serangan....

   Desss....

   Desss....

   "Akhhh...!"

   Tujuh orang prajurit kadipaten menjerit bersa-ma sambil mendekap dadanya yang telah amblong! "Jangan gentar....! Terjang terus....!"

   Teriak Anggaraksa, memberi semangat kepada para bawahannya "Kroco-kroco bodoh! Kalian hanya mengantar nyawa!"

   Desis Brajamusti sambil memutar tubuhnya.

   Jerit, kematian kembali membahana.

   Suaranya me-mantul ke dinding pendapa kadipaten.

   Tujuh orang prajurit bawahan Anggaraksa mendekap kepala mas-ing-masing yang telah remuk, lalu jatuh berdebum di lantai.

   Darah membanjir, menebarkan aroma amis Anggaraksa menggeram laksana harimau terlu-ka.

   Kemudian menerjang Brajamusti! Namun, Anggaraksa bukanlah lawan yang seimbang bagi tokoh aliran hitam yang berjuluk Dewa Sesat itu.

   Sebentar saja, tubuhnya melayang jauh me-nimpa meja pesta.

   Prajurit kadipaten yang setia itu meregang tubuhnya, kemudian tewas....

   *** Di ruang utama kadipaten, pedang di tangan Patih Wiraksa berkelebatan, mencari jalan kematian di tubuh Adipati Danubraja.

   "Aaww...!"

   Tiba-tiba terdengar jerit dua orang wanita.

   Adi-pati Danubraja menoleh ke arah sumber suara.

   Tam-pak Rara Anggi bersama Dewi Ikata sedang digiring dua orang prajurit yang telah berkhianat, dengan sebilah pedang tajam menempel di leher.

   Adipati Danubraja tertegun.

   Dan, kesempatan itu tak disia-siakan Patih Wiraksa.

   Saat itu juga, pedangnya bergerak cepat! Breeet...! "Aughhh...!"

   Diiringi pekik kesakitan, Adipati Danubraja menekap dadanya yang robek sepanjang telapak tan-gan ketika tersambar pedang Patih Wiraksa.

   Darah mengalir dari lukanya, membasahi baju kebesarannya.

   Untunglah dia masih sempat berkelit.

   Kalau tidak, pas-tilah tubuhnya telah terpotong menjadi dua bagian.

   "Bangsat kau Wiraksa!"

   Rutuk Adipati Danubraja dengan sinar mata nyalang.

   "Istri dan putriku itu tak tahu apa-apa! Segera lepaskan mereka!"

   Patih Wiraksa tertawa nyaring. Bibirnya me-nyungging senyum penuh ejekan.

   "Kalau kau mampu, kenapa tidak lakukan sen-diri...?!"

   Leceh patih itu.

   "Bangsat! Tak kusangka kau tega melakukan semua ini, Wiraksa. Selama aku memimpin Kadipaten Bumiraksa, aku selalu berbuat baik kepadamu. Aku mengangkatmu menjadi Patih Kadipaten, karena men-ganggapmu sebagai orang yang berbudi luhur dan da-pat bertindak bijaksana. Tapi, ternyata kau tak lebih baik dari seorang begundal busuk! Perbuatanmu seperti iblis yang haus kekuasaan...!"

   Maki Adipati Danubraja. Patih Wiraksa kembali tertawa nyaring.

   "Aku memang iblis yang haus kekuasaan, Da-nubraja! Maka dari itu, segera serahkan tampuk ke-pemimpinan kepadaku. Dan, berlututlah di hadapan-ku. Mungkin aku bisa bermurah hati untuk mengam-puni nyawamu...!"

   Balas Patih Wiraksa, enteng.

   "Bangsat!"

   Adipati Danubraja menggeram keras.

   "Seujung rumput pun, aku tak akan berlutut di hada-panmu...!"

   Selesai mengucapkan kalimatnya, mata Adipati Danubraja menatap kehadiran sepuluh orang penge-mis yang telah berdiri mengepung.

   "Pikir baik-baik tawaranku, Danubraja! Kau berlutut di hadapanku atau mati di tangan orang-orang itu...?!"

   Ujar Patih Wiraksa.

   "Kau memang keparat, Wiraksa...!"

   Teriak Adipati Danubraja, keras.

   Dan segera dia menerjang sepuluh orang pengemis yang sedang mengepung.

   Wuuuttt..! Pedang pendek di tangan adipati itu berkelebat cepat! Namun para pengemis telah bergerak cepat me-mapak.

   Trang...! Benturan senjata tajam terdengar memekakkan telinga.

   Tubuh Adipati Danubraja bergerak lincah, mengeluarkan jurus-jurus andalan.

   Luka goresan pe-dang di dadanya sama sekali tak dihiraukan.

   Penguasa Kadipaten Bumiraksa ini bertempur sambil menyim-pan hawa amarah tak terbendung lagi.

   Namun, kesepuluh orang pengemis yang ber-senjata golok bukanlah orang sembarangan.

   Mereka mudah sekali dapat mengikuti kecepatan gerak Adipati Danubraja.

   Golok di tangan mereka menyambar-nyambar bagai air bah yang tak kunjung berhenti Sebentar saja, Adipati Danubraja segera terde-sak hebat.

   Sambil menggigit bibir, dia bertempur mati-matian untuk membela kehormatannya.

   Hingga pada suatu kesempatan....

   Breeet...! "Aughhh...!"

   Tubuh Adipati Danubraja bergulingan di lantai.

   Bahunya tersambar golok salah seorang pen-gemis yang tajam bukan main.

   Darah kembali me-nyembur.

   Baju kebesarannya semakin belepotan da-rah.

   Sementara itu, Patih Wiraksa hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan peristiwa ini.

   Suara ta-wanya menggema berkepanjangan, mengisyaratkan ke-licikannya.

   "Begundal-begundal busuk! Kaki tangan Patih Wiraksa yang tak tahu balas budi! Lihat serangan-ku...!"

   Bentak Adipati Danubraja sambil menggeram gusar.

   Tubuh adipati yang telah terluka ini cepat menerjang dengan brutal.

   Pedang pendek di tangannya bergulung-gulung, mengeluarkan deru angin dahsyat.

   Tiba-tiba Patih Wiraksa yang tak mau mem-buang waktu segera ikut menggempur Adipati Danu-braja yang tampak kalap.

   "Hiaaattt...!"

   Dengan teriakan panjang, Patih Wiraksa meng-hunjamkan ujung pedangnya, mengarah tepat ke jan-tung! Namun dengan sebisanya, Adipati Danubraja menangkis. Trang...! "Wiraksa keparat! Kucincang tubuhmu menjadi serpihan daging tak berguna...!"

   Desis Adipati Danubraja penuh hawa marah.

   "Jangan banyak bacot! Segera lakukan kalau mampu...!"

   Tantang Patih Wiraksa sambil memutar cepat pedangnya.

   Menghadapi sebelas orang yang tak berilmu rendah, Adipati Danubraja semakin keteter.

   Maka tak heran kalau dia hanya bisa bertahan, tanpa mampu memberi serangan balasan.

   Sementara itu, menyaksikan orang yang dicin-tainya tengah berjuang melawan maut, Rara Anggi dan Dewi Ikata segera memejamkan mata.

   Mereka tak sanggup melihat lebih lama peristiwa yang sangat menggiriskan hati itu.

   Leher yang diancam sebilah pedang tajam dua orang prajurit, membuat Rara Anggi dan Dewi Ikata tak mampu berbuat apa-apa, kecuali memanjatkan doa.

   Dan, tak lama kemudian....

   Breeet..! "Arkh...!"

   Pergelangan tangan kanan Adipati Danubraja tersambar pedang Patih Wiraksa.

   Mata Adipati Danubraja bersinar nyalang, me-nahan rasa sakit.

   Dia menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat.

   Namun tiba-tiba tubuhnya yang telah terluka parah melayang ke atas.

   Dan....

   Tes...! Pyaaarrr...! Mendadak saja, lampu gantung yang menerangi ruang utama kadipaten itu jatuh ke lantai, dan hancur berkeping-keping terkena sambaran pedang Adipati Danubraja.

   Gelap seketika menyelimuti.

   Pada saat itu, tu-buh Adipati Danubraja melayang ke luar.

   Dia berlari cepat meninggalkan pendapa kadipaten.

   Dan, segera lenyap ditelan kegelapan malam.

   Sementara, Patih Wiraksa mendengus penuh kemarahan.

   Dia yang tak bisa melihat apa-apa karena gelap masih menyelimuti, segera memberi perintah un-tuk mengejar.

   Kesepuluh orang pengemis bersenjata golok berlompatan ke luar pendapa kadipaten.

   Namun, lang-kah kaki mereka hanya asal-asalan, karena tak tahu ke mana harus mengejar....

   *** Pagi ini cukup cerah di Bukit Pangalasan.

   Men-tari tersenyum di ufuk timur.

   Sinarnya menerpa de-daunan, membentuk bayang-bayang di atas tanah.

   Ranting-ranting pohon meliuk-liuk bagai sedang mena-ri tatkala angin berhembus.

   Kabut membubung, sema-kin hilang dari pandangan.

   Hawa dingin perlahan-lahan lenyap, berganti kehangatan yang mengelus sukma.

   Dua orang berpakaian penuh tambalan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, tampak berja-lan menuruni bukit.

   Langkah kaki mereka terhenyak ketika di hadapan mereka terpampang sesosok tubuh tergeletak di tanah bermandikan darah.

   "Siapa dia, Adi Katabang?"

   Tanya pengemis yang lebih tua umurnya.

   "Entahlah, Kakang Carang Gati,"

   Jawab pengemis satunya, yang dipanggil Katabang sambil menatap sesosok tubuh yang tergeletak di tanah.

   "Ayo, kita dekati dia...,"

   Ajak pengemis bernama Carang Gati.

   "Oh! Dia masih hidup...,"

   Desah Katabang yang telah meraba denyut nadi orang yang tergeletak bermandikan darah.

   "Banyak benar luka di tubuhnya. Dia seperti habis bertempur mati-matian...."

   Tiba-tiba Katabang meloncat, karena dihantam keterkejutan.

   "Dia..., dia Gusti Adipati Danubraja...,"

   Tunjuk pengemis itu terbata-bata. Carang Gati menaikkan kedua alisnya. Matanya bersinar tajam.

   "Benar katamu, Adi Katabang. Dia memang Gusti Adipati Danubraja...."

   "Sebaiknya kita segera berlalu dari tempat ini Kakang...,"

   Ajak Katabang seperti menyimpan ketaku-tan.

   "Ah! Lebih baik kita menolongnya,"

   Tolak Carang Gati.

   "Apakah kau sudah lupa tindakan adipati itu yang telah mengusir kita dengan paksa dari Kota Kadipaten Bumiraksa...?"

   "Tidak, Adi Katabang. Menurut nasihat Kakek Gede, kita tidak boleh menyimpan dendam."

   Katabang diam, mendengarkan kalimat Carang Gati yang ada benarnya.

   "Bagaimanapun juga, Gusti Adipati Danubraja adalah bekas junjungan kita. Dan, kini dia sedang membutuhkan pertolongan. Kita berdosa kalau tidak menolongnya,"

   Tandas Carang Gati.

   "Tapi, bagaimana kalau musuh Adipati Danu-braja itu mengejar...?"

   Tanya Katabang.

   "Kau takut...?"

   Carang Gati menatap wajah Katabang. Yang di-tatapnya menundukkan kepalanya.

   "Terserah kau, Kakang...,"

   Kata Katabang kemudian. Tak lama kemudian, dua pengemis itu segera membopong tubuh Adipati Danubraja menaiki Bukit Pangalasan.

   "Biar Kakek Gede yang mengurusnya. Kita tak mengerti ilmu pengobatan...,"

   Kata Carang Gati. Katabang mengangguk lemah. *** Setiba di tanah datar tempat anggota Perkum-pulan Pengemis Tongkat Sakti bermukim, puluhan mata menyaksikan Carang Gati dan Katabang sedang membopong tubuh Adipati Danubraja.

   "Kenapa orang itu, Carang Gati?"

   Tanya Gede Panjalu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua.

   "Dia terluka parah, Kakek Gede. Tubuhnya ku-temukan tergeletak di lereng bukit,"

   Jelas Carang Gati. Gede Panjalu menatap tubuh Adipati Danubra-ja yang berlumuran darah. Pakaiannya sudah tak ka-ru-karuan lagi, bercampur darah dan debu tebal.

   "Segera bawa ke bilikku...,"

   Ujar Gede Panjalu memberi perintah.

   Carang Gati dan Katabang segera mengerjakan perintah Gede Panjalu.

   Mereka meletakkan tubuh Adi-pati Danubraja di dipan bambu.

   Sebentar kemudian, kakek bongkok itu telah sibuk melakukan pengobatan.

   Bagian-bagian tubuh Adipati Danubraja yang terluka akibat sayatan pedang dibalut dengan kain bersih.

   Sedangkan pada bagian yang memar, diborekan ramuan daun-daunan.

   "Untung hanya luka luar. Jadi, tak begitu membahayakan jiwanya...,"

   Gumam Gede Panjalu.

   Suropati yang telah hadir di tempat ini mende-kati Pengemis Tongkat Sakti.

   Remaja yang sudah ge-nap berumur sembilan belas tahun itu tampak sema-kin gagah.

   Matanya bersinar tajam, menyorotkan ilmu kepandaian yang dimilikinya.

   Rambutnya yang hitam panjang masih tetap dibiarkan terurai di punggung.

   Pakaiannya walaupun penuh tambalan, tapi tampak bersih.

   "Bukankah dia Gusti Adipati Danubraja...?"

   Tanya Suropati kepada Gede Panjalu, seperti ingin menegaskan dugaannya.

   "Benar,"

   Jawab Gede Panjalu pendek.

   "Kenapa dia berada di sini dengan tubuh terlu-ka parah seperti itu?"

   "Carang Gati dan Katabang yang menemukan-nya. Katanya tubuhnya ditemukan tergeletak di lereng bukit"

   Sementara itu, perlahan-lahan Adipati Danubraja sadar dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat ke-cil "Uhhh...! Di mana aku...?"

   Tanya Adipati Danubraja sambil mencoba bangun.

   "Tenanglah, Gusti Adipati. Luka-lukamu belum sembuh...,"

   Ujar Pengemis Binal perlahan. Adipati Danubraja membuka mata lebar-lebar. Ketika menatap Suropati dan Gede Panjalu yang ber-pakaian penuh tambalan, dia beringsut menjauh.

   "Kalian menculikku...?!"

   Kening Suropati berkerut.

   "Tidak ada yang menculik Gusti Adipati. Justru kakekku yang bernama Gede Panjalu ini, yang meno-long Gusti Adipati...,"

   Kata Pengemis Binal memberi penjelasan. Adipati Danubraja diam tepekur di atas dipan.

   "Apakah pengemis-pengemis yang mengeroyok-ku itu bukan teman kalian?"

   Tanya Adipati Danubraja diliputi rasa heran.

   "Gusti Adipati dikeroyok pengemis...?"

   Gede Panjalu malah balik bertanya. Sementara itu, kening Suropati kembali berke-rut.

   "Cobalah Gusti Adipati menceritakan peristi-wanya...,"

   Ujar Pengemis Binal. Adipati Danubraja menatap wajah Suropati dan Gede Panjalu bergantian. Karena tidak melihat sinar permusuhan dari mata mereka, segera diceritakannya peristiwa di pendapa kadipaten yang baru saja terjadi.

   "Bagaimana ciri-ciri kesepuluh pengemis itu?"

   Tanya Suropati kemudian.

   "Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi, pa-kaian mereka jelas seperti pakaian pengemis layaknya. Yakni, penuh tambalan. Dan mereka bersenjata golok,"

   Jelas Adipati Danubraja.

   "Golok...?!"

   Kata Suropati dan Gede Panjalu hampir bersamaan.

   "Anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tidak ada yang bersenjata golok. Jelas, mereka sengaja membuat fitnah...!"

   Sentak Suropati bersemangat Tiba-tiba di luar terjadi keributan seperti terjadi pertengkaran mulut.

   Saat itu juga, Suropati dan Gede Panjalu segera melompat.

   Tampak sekitar lima puluh orang prajurit Kadi-paten Bumiraksa tengah berhadapan dengan para pengemis bersenjata tongkat.

   "Kami sedang mencari junjungan kami! Kenapa kalian menghalangi...?!"

   Tandas salah seorang dari prajurit kadipaten. Suropati berjalan mendekati.

   "Siapa yang kau cari, Prajurit?"

   Tanya Pengemis Binal.

   "Gusti Adipati Danubraja."

   Mendadak Adipati Danubraja muncul di tempat itu. Dia berdiri tegak. Tubuhnya yang terluka masih bisa menunjukkan kegagahannya.

   "Aku di sini, Prajurit,"

   Kata Adipati Danubraja menampakkan kewibawaannya. Melihat kehadiran adipati itu, seluruh prajurit kadipaten yang baru saja datang segera berlutut. Adipati Danubraja tersenyum sinis.

   "Jangan bermain sandiwara di hadapanku! Bu-kankah kalian antek-antek Patih Wiraksa yang diperintah untuk membunuhku...?!"

   Dengus adipati ini.

   "Ampun, Gusti Adipati. Junjungan kami hanya Gusti Adipati. Kalau kami berdusta, nyawa kami taru-hannya...,"

   Ucap seorang prajurit kadipaten yang berlutut di dekat Suropati.

   "Kami semua adalah pengikut setia Gusti Adipati."

   Mendengar kalimat itu, Adipati Danubraja ber-jalan beberapa langkah seraya mencabut pedang pen-deknya.

   Dan....

   Siiing..! Pedang di tangan adipati itu berkelebat cepat.

   Seorang prajurit yang berada di dekat Adipati Danu-braja bergidik ngeri.

   Matanya segera dipejamkan waktu melihat kelebatan pedang tertuju ke arahnya! Prajurit yang sudah pasrah menerima kematian itu merasakan hembusan angin di atas kepalanya.

   Dia pun bernapas lega setelah menyadari Adipati Danubra-ja tak berniat membunuhnya.

   "Baik! Aku percaya kepada kalian. Dan seka-rang juga, kalian ikut aku kembali ke pendapa kadipaten. Gusti Ayu Rara Anggi dan Dewi Ikata harus segera diselamatkan...!"

   Tegas Adipati Danubraja.

   *** Sementara itu, suasana di Pendapa Kadipaten Bumiraksa telah kembali tenang.

   Para pengikut Patih Wiraksa dapat bekerja cepat membersihkan sisa-sisa pertempuran.

   Prajurit-prajurit kadipaten yang berpi-hak kepada Patih Wiraksa tampak berjaga-jaga di pos masing-masing seperti biasa.

   Di dalam sebuah kamar, Rara Anggi bersama putrinya, Dewi Ikata, tak henti-hentinya menghambur-kan air mata.

   Kesedihan menghantam, membuat luka menganga di lubuk hati.

   Mereka seperti sedang hidup dalam mimpi buruk.

   Mereka belum bisa menerima ke-nyataan yang baru saja terjadi.

   "Di mana ayahanda, Bu...?"

   Tanya Dewi Ikata di sela-sela tangisnya. Rara Anggi hanya diam terpuruk di sudut ruangan, tak mampu menjawab pertanyaan putrinya.

   "Apakah ayahanda telah berpulang, Bu...?"

   Desak Dewi Ikata. Rara Anggi menatap wajah putrinya tanpa ber-kedip. Mata Dewi Ikata terlihat memerah dan bengkak, karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

   "Oh..., Ikata anakku...."

   Tiba-tiba Rara Anggi berhambur, memeluk tu-buh putrinya.

   Maka suara tangis mereka meledak.

   Dengan saling berpelukan, mereka menumpahkan pe-rasaan masing-masing.

   Di tengah suasana seperti itu tiba-tiba pintu terbuka.

   Ternyata yang muncul adalah seorang lelaki setengah baya berwajah bersih dan halus.

   Bibirnya mengulum senyum dingin ke arah Rara Anggi yang kontan menoleh saat pintu terbuka.

   Dan yang datang memang Patih Wiraksa.

   "Pergi kau, Wiraksa...!"

   Teriak Rara Anggi, melihat kehadiran patih itu. Patih Wiraksa menyeringai. Matanya menatap tajam ke tubuh wanita cantik yang sedang memeluk putrinya.

   "Kau jangan berkata kasar seperti itu, Anggi. Akulah yang memegang tampuk kepemimpinan di Ka-dipaten Bumiraksa sekarang ini...,"

   Ujar Patih Wiraksa tandas.

   "Cihhh...!"

   Rara Anggi meludah di lantai.

   "Kau hanyalah seekor binatang yang tak tahu membalas budi...!"

   Patih Wiraksa menggeram gusar. Sinar mata berkilat nyalang. Tapi, segera meredup. Dan bibirnya pun menampakkan senyum manis.

   "Aku mencintaimu, Anggi...,"

   Kata Patih kadipaten itu perlahan.

   "Tua bangka tak tahu malu! Beraninya kau mengatakan itu kepadaku...!"

   "Benar, Anggi. Aku mencintaimu. Sejak kau di-peristri Danubraja, hatiku sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Bertahun-tahun aku menunggu ke-sempatan untuk dapat merebut dirimu. Dan, baru se-karanglah keinginanku bakal terwujud adanya...."

   "Tua bangka! Lihat dirimu yang sudah mende-kati liang kubur! Apakah kau tak merasa malu mengu-capkan kata itu...?!"

   "Demi cintaku padamu, aku rela melakukan apa saja, Anggi. Termasuk menepiskan rasa malu da-lam diriku. Sekarang, aku mohon agar kau sudi men-jadi istriku...,"

   Ratap Patih Wiraksa, berusaha berkata lembut.

   "Tidak! Aku tak sudi diperistri seekor binatang macam kau, Wiraksa...!"

   Teriak Rara Anggi. Patih Wiraksa kembali menggeram gusar, se-raya melangkah mendekati Rara Anggi.

   "Aku katakan sekali lagi, sudikah kau menjadi istriku?"

   Desak lelaki itu.

   "Aku tak sudi, Keparat!"

   Dengus Rara Anggi.

   Mendengar ucapan Rara Anggi yang memerahkan te-linga, kesabaran Patih Wiraksa sampai pada batasnya.

   Tiba-tiba tangannya bergerak, menjambak rambut Ra-ra Anggi.

   Seketika ditariknya ke belakang, sehingga wajah wanita cantik itu tengadah.

   "Kau menolak cintaku, Anggi...,"

   Desis Patih Wiraksa dengan gigi gemeretuk.

   "Kau tahu, apa akibatnya...?!"

   "Kalau kau mau membunuhku, segera laku-kan...!"

   Sentak Rara Anggi dengan beraninya.

   Dewi Ikata yang menyaksikan kejadian ini me-meluk tubuh ibunya dari belakang, tanpa mampu ber-buat apa-apa.

   Tiba-tiba....

   Sreeet..! Patih Wiraksa segera menghunus pedangnya.

   Matanya menatap ketajaman pedangnya sebentar, ke-mudian beralih ke tubuh Rara Anggi yang terpuruk di lantai.

   "Baik, kalau memang itu maumu. Segeralah bersiap-siap menemui malaikat kematian...!"

   Selesai mengucapkan kalimatnya, pedang di tangan Patih Wiraksa berkelebat cepat! Jerit Rara Anggi dan Dewi Ikata membahana.

   Suaranya menggema terpantul di dinding.

   Namun, yang terdengar justru tawa berderai dari mulut patih.

   Ternyata niat membunuhnya diurungkan.

   "Ha ha ha.... Aku masih merasa sayang nya-wamu, Anggi,"

   Kata Patih Kadipaten itu sambil mema-sukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Rara Anggi menatap Patih Wiraksa penuh ke-bencian.

   "Kenapa kau tidak segera membunuhku, Kepa-rat?!"

   Desis Rara Anggi.

   "Hari ini aku merindukan kehangatan tubuhmu Anggi...,"

   Kata Patih Wiraksa dengan dada bergolak. Hasrat kelelakian patih ini tiba-tiba muncul. Setelah menatap wajah Rara Anggi dalam-dalam, tangannya bergerak cepat! Breeet...! "Auuuwww...!"

   Rara Anggi menjerit gusar.

   Bajunya terkoyak lebar, menampakkan dua gunung kembar yang tiba-tiba menyembul.

   Dan ini membuat Patih Wiraksa ter-beliak.

   Jakunnya turun-naik.

   Mendadak napasnya menjadi ngos-ngosan.

   Rara Anggi segera menutupi bagian tubuhnya yang terlarang dengan kedua telapak tangannya.

   "Ha ha ha...!"

   Patih Wiraksa tertawa gelak.

   "Aku berharap kau bersedia melayani keinginanku dengan penuh kepasrahan...."

   "Binatang! Bunuh saja aku!"

   Jerit Rara Anggi dengan luapan amarah.

   "Itu mudah, Anggi. Tanpa kau minta, aku pun akan membunuhmu. Tapi hari ini, aku benar-benar merindukan kehangatan tubuhmu...."

   Patih Wiraksa kemudian bersiap-siap memeluk tubuh Rara Anggi.

   "Jangan...!"

   Teriak Dewi Ikata keras, langsung kembali menutupi tubuh ibunya.

   Mata Patih Wiraksa melotot.

   Dan seketika tan-gannya mencekal punggung Dewi Ikata.

   Tapi, gadis itu tak mau lepas dari tubuh ibunya.

   Breeet...! Baju Dewi Ikata bagian belakang robek lebar te-renggut tangan Patih Wiraksa.

   "Ho ho ho...!"

   Lelaki setengah baya itu tertawa lebar menyaksikan punggung Dewi Ikata yang telan-jang.

   "Rupanya kulitmu lebih mulus dari kulit ibumu, Ikata Gadis Manis...."

   Tiba-tiba Patih Wiraksa yang sudah dikuasai nafsu setan itu memeluk tubuh Dewi Ikata dari bela-kang.

   Segera diciuminya leher gadis ini.

   Dewi Ikata terkejut, kemudian melompat men-jauh.

   Patih Wiraksa menggeram.

   Dan ketika matanya beralih ke Rara Anggi kembali terbeliak.

   Kini tubuh Rara Anggi terpampang dekat di hadapannya.

   Saat itu juga lelaki yang sudah hilang sifat kemanusiaannya ini menerkam! Rara Anggi berusaha meronta-ronta sekuat te-naga melepaskan diri dari terkaman binatang jalang ini.

   Namun, Patih Wiraksa malah merasa senang.

   Ron-taan Rara Anggi dianggap sebagai geliatan manja.

   Ma-ka dengan napas menderu-deru, dia berusaha melam-piaskan nafsu setannya.

   Namun....

   Braaakkk...! Tiba-tiba saja daun pintu jebol.

   Seketika Patih Wiraksa menghentikan tindakannya, dan menoleh ke arah pintu.

   Ternyata, yang muncul adalah Adipati Da-nubraja, Penguasa Kadipaten Bumiraksa ini telah ber-diri dengan pedang terhunus.

   "Jahanam busuk! Kau sungguh biadab, Wirak-sa...!"

   Bentak adipati ini, seraya bergerak menerjang sambil membabatkan pedangnya. Wuuuttt...! Patih Wiraksa melompat, menghindari samba-ran pedang.

   "Kau datang lagi, Danubraja! Rupanya kau hendak mengantarkan nyawa...!"

   Dengus Patih Wiraksa dengan dada menggelegak.

   "Justru aku yang akan mencabut nyawamu, Wiraksa...!"

   Jawab Adipati Danubraja tak kalah sengit-nya Patih Wiraksa menatap tubuh bekas junjun-gannya yang penuh balutan luka. Mendadak mulutnya menyeringai gusar, berusaha menajamkan telinganya.

   "Rupanya kau tidak datang sendirian, Danu-braja...!"

   Kata Patih Wiraksa dengan gigi terpaut rapat "Benar katamu, Wiraksa. Aku datang bersama prajurit-prajurit setiaku. Sebentar lagi, mereka akan mencercahmu...!"

   "Ha ha ha...!"

   Patih Wiraksa tertawa.

   "Tidak semudah yang kau kira. Para pengikutku terlalu tangguh untuk ditaklukkan."

   "Keparat! Aku ingin bukti dari ucapanmu itu...!"

   Dengus Adipati Danubraja seraya bergerak menerjang kembali. Namun Patih Wiraksa tak kalah sigap. Pedang-nya pun bergerak memapak. Trang...! Dua senjata tajam berbenturan di udara.

   "Kita cari tempat yang longgar, Danubraja...!"

   Ujar Patih Wiraksa seraya menghemposkan tubuhnya, menuju ruang utama kadipaten. Adipati Danubraja menatap istri dan putrinya sejenak.

   "Aku minta doa kalian...,"

   Bisik adipati itu, segera tubuhnya bergerak, mengejar Patih Wiraksa.

   Sebentar saja, pertempuran sengit antara dua tokoh utama Kadipaten Bumiraksa segera terjadi! Adi-pati Danubraja yang belum sembuh dari lukanya, menggempur bagai banteng ketaton.

   Luka yang dideri-tanya justru menambah semangatnya untuk segera menghabisi lawannya.

   Patih Wiraksa yang memandang rendah, sering kali dibuat terperangah akibat ketidakwaspadaannya.

   Namun, segera seluruh kepandaiannya dikerahkan un-tuk menghadapi gempuran Adipati Danubraja.

   Trang...! Trang...! Benturan pedang terdengar beruntun.

   Pertem-puran demi mempertahankan kehormatan itu segera berlangsung semakin seru.

   Di luar pendapa kadipaten, pertempuran seru juga sedang berlangsung.

   Para prajurit yang masih setia kepada Adipati Danubraja bertempur melawan pra-jurit-prajurit pengikut Patih Wiraksa.

   Sementara itu, dari pendapa kadipaten ber-munculan sepuluh orang berpakaian penuh tambalan yang segera menggempur para prajurit yang masih se-tia kepada Adipati Danubraja.

   Dengan senjata golok, mereka berusaha menyebar kematian.

   Namun, sebelum mereka menyebar maut lebih banyak lagi, mendadak dua bayangan berkelebat menghadang! "Siapa kalian? Kenapa berpakaian seperti pen-gemis?!"

   Bentak seorang penghadang yang tak lain Pengemis Binal. Sementara, di sebelahnya tampak Gede Panjalu. Masing-masing memegang tongkat. Kesepuluh orang itu menatap Suropati dan Gede Panjalu bergantian.

   "Gembel busuk! Buka matamu lebar-lebar! Aku adalah Respati, pemimpin Gerombolan Golok Maut!"

   Dengus salah seorang yang berpakaian mirip pengemis. Agaknya dia bertindak sebagai pemimpin.

   "He he he...,"

   Suropati tertawa mengejek.

   "Melihat tampang kalian yang kasar-kasar, kalian tentu rampok yang sering nyolong ayam milik tetangga. Ka-rena sering ketahuan, jadinya kalian berubah jadi pengemis...."

   "Bangsat!"

   Umpat Pemimpin Gerombolan Golok Maut yang bernama Respati.

   "Kami bukan pengemis. Gembel Busuk!"

   "He he he...,"

   Suropati tertawa lagi.

   "Kalau bukan pengemis, mengapa berpakaian seperti penge-mis...?"

   "Kami hanya menjalankan tugas, Goblok!"

   Tiba-tiba seorang anak buah Respati mendekat.

   "Sudahlah.... Kita tak punya waktu banyak. Un-tuk apa melayani bocah gendheng itu...?!"

   Respati mengangguk pelan, kemudian matanya mengerling.

   Maka seketika seluruh anak buahnya se-gera menerjang Suropati dan Gede Panjalu dengan sambaran golok yang mematikan.

   Wuuuttt...! Wuuuttt...! Sambaran golok yang datang bertubi-tubi den-gan mudah dihindari Pengemis Binal dan Gede Panja-lu.

   Bahkan dengan suatu gerakan ringan, kedua tokoh pengemis itu dapat menghunjamkan tongkatnya! Dhesss...! Dhesss...! Dua orang anggota Gerombolan Golok Maut yang disewa Patih Wiraksa kontan menggelosor ke ta-nah sambil mendekap dadanya.

   Mereka hanya menga-duh-aduh, tanpa mampu bangkit lagi.

   Melihat kepandaian lawan, Respati segera membagi anak buahnya menjadi dua kelompok, yang masing-masing terdiri dari empat orang.

   Dan, dua ke-lompok itu kemudian mengerubut Pengemis Binal dan Gede Panjalu.

   Namun, sampai di mana pun mereka mengelu-arkan seluruh kepandaian, Pengemis Binal dan Gede Panjalu tidaklah mudah dirobohkan.

   Malah kemu-dian...

   Dhesss...! Dhesss...! Dua anak buah Respati kembali terjungkal.

   Tu-buh mereka ambruk ke tanah terkena sambaran tong-kat Dan, tak sampai sepuluh tarikan napas kemu-dian, seluruh Gerombolan Golok Maut telah tergeletak pingsan.

   "Rasakan, Pengemis Palsu! Jangan coba-coba memfitnah, kalau belum punya nyawa rangkap...!"

   Ejek Suropati kekonyol-konyolan. Tapi, tiba-tiba....

   "Awas, Suropati...!"

   Teriak Gede Panjalu memberi peringatan ketika melihat ribuan jarum hitam me-luncur deras ke arah mereka.

   Saat itu juga, dua tokoh Perkumpulan Penge-mis Tongkat Sakti ini memutar tongkatnya, membuat ribuan jarum hitam itu pun rontok di tanah.

   Dan begi-tu tak satu jarum pun menemui sasaran, mendadak tujuh bayangan berkelebat.

   Tahu-tahu di depan Suro-pati dan Gede Panjalu telah berdiri tujuh sosok yang tampaknya dari golongan hitam.

   "Kita bertemu lagi, Bocah Gendheng...!"

   Bentak Balagundi yang berdiri di tengah-tengah tujuh tokoh beraliran hitam.

   "He he he...,"

   Mulut Suropati mengeluarkan suara tawa renyah.

   "Betul katamu, Kek. Kita memang ada jodoh."

   Balagundi tak berkata lagi. Bersama Balangan saudara seperguruannya, dia menerjang Pengemis Bi-nal. Serangan mereka pun diikuti oleh Rabanga Setan Pencabut Nyawa.

   "Wuihhh...! Sabar dikit dong, Kek. Kalau mau minta jatah, antri dulu. Masa' main kerubut, begi-tu...?!"

   Ejek Suropati.

   Tiga tokoh beraliran hitam itu mendengus ka-sar.

   Dan mereka segera mengeluarkan jurus andalan.

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka menggebrak dengan jurus "Iblis Menerjang Arwah'.

   Sedangkan kedua tangan Rabanga bergerak cepat, berlambarkan jurus mautnya Sementara itu, keempat orang sewaan Patih Wi-raksa lainnya segera menggempur Gede Panjalu.

   Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka mengeru-but Pengemis Tongkat Sakti dari segala arah penjuru angin.

   Kedua tangan Brajamusti atau si Dewa Sesat tampak menghitam akibat pengerahan tenaga dalam.

   Empu Barangas atau Empu Keris Hitam telah melo-loskan keris berkeluk tujuhnya.

   Demikian pula, Kali-gundi yang berjuluk Pegulat Tangan Maut.

   Sikapnya seakan berusaha untuk dapat meremukkan tulang-tulang Gede Panjalu.

   Sedangkan Pradesta, si Pendeta Murtad, menyerang dengan tenang.

   Tasbih dan tong-kat pendek di tangannya terus meluncur, mencari ja-lan kematian.

   *** Sementara itu, pertempuran antara Adipati Da-nubraja dan Patih Wiraksa tampak berjalan seimbang Luka di tubuh Adipati Danubraja yang tidak begitu mengganggu gerakannya justru menambah se-mangat bertarungnya.

   Pedang pendek di tangannya te-rus mencecar tubuh Patih Wiraksa.

   Namun, lelaki se-tengah baya yang hendak merebut tahta kadipaten itu tentu saja tidak mau kalah.

   Pedangnya juga berkelebat tak kalah cepat.

   Trang...! Pedang mereka bertemu di udara, menimbul-kan bunga api yang menyilaukan pandangan.

   "Kerahkan seluruh kepandaianmu, Danubra-ja...!"

   Teriak Patih Wiraksa di sela-sela sambaran pedang Sebagai jawaban, Adipati Danubraja segera mempercepat gerakan pedangnya. Wuuuttt...! Patih Wiraksa menghindari sambaran pedang. Tiba-tiba Adipati Danubraja melompat, men-jauhi arena pertempuran.

   "Bersiap-siaplah, Wiraksa! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"

   Desis adipati itu di antara desahan napasnya yang memburu.

   "Ho ho ho...,"

   Patih Wiraksa tertawa penuh ejekan.

   "Aku masih sayang pada nyawaku. Nyawamu saja yang kau serahkan padaku, sebagai tumbal penoba-tanku menjadi adipati!"

   "Baik, terimalah ini...!"

   Dengan mata berkilat karena hawa amarah, Adipati Danubraja menerjang Patih Wiraksa.

   Pedang pendek di tangan kanannya meluncur lurus, tepat mengarah ke jantung! Patih Wiraksa menyeringai bengis.

   Tubuhnya tak bergeming dari tempatnya berdiri.

   Dengan penuh keberanian, dipapaknya serangan.

   Batang pedangnya yang lebih panjang sejengkal, mengarah ke ulu hati Adipati Danubraja! Tokoh puncak di Kadipaten Bumiraksa itu ter-kejut.

   Namun, karena sudah kenyang pengalaman tempur, segera dibuatnya tipu muslihat.

   Ketika jarak ujung pedang Patih Wiraksa tinggal seusap dengan tubuhnya, dia menjatuhkan diri ke lantai.

   Lalu, pedangnya menyambar deras! Bret..! "Aughhh...!"

   Mata Patih Wiraksa mendelik begitu pedang pa-ri Danubraja menyambar perutnya.

   Bola mata bak ke-lereng yang mau melompat ke luar.

   Dengan tangan ki-rinya luka lebar di perutnya didekap.

   Darah kontan muncrat! Perlahan-lahan usus Patih Kadipaten itu menyembul dari sela-sela jari tangannya.

   "Kau... kau keparat... Dan..., Danubraja...!"

   Ka-ta Patih Wiraksa sambil menahan rasa sakitnya. Pe-dang yang masih digenggam erat, diacungkan ke arah Adipati Danubraja yang telah berdiri di hadapannya.

   "Sekarang aku akan mengirimmu ke neraka, Wiraksa!"

   Desis Adipati Danubraja menggeram, lalu pedangnya berkelebat cepat! Tesss...! "Aaa...!!"

   Diiringi jeritan panjang yang mendirikan bulu roma, leher Patih Wiraksa terbabat putus.

   Kepalanya langsung menggelinding.

   Darah menyembur bak mata air yang baru dibuka.

   Perlahan-lahan tubuh tanpa ke-pala itu melorot ke lantai, dan segera terbaring tanpa nyawa.

   Tiba-tiba Rara Anggi dan Dewi Ikata berhambur memeluk tubuh orang yang dicintai.

   Air mata sudah tak bisa dibendung lagi, mengalir deras terbawa perasaan haru.

   "Sudahlah, Anggi dan Ikata...,"

   Ujar Adipati Danubraja sambil melepas pelukan.

   "Di luar masih terjadi pertempuran. Aku harus segera turun tangan. Semoga kemelut di Kadipaten Bumiraksa ini dapat kuatasi tanpa menimbulkan lebih banyak korban lagi...."

   Adipati Danubraja kemudian melangkah. Di-ambilnya kepala Patih Wiraksa, dan ditentengnya ke luar pendapa kadipaten.

   "Antek-antek Wiraksa! Jatuhkan senjata. Lihat, apa yang kubawa...?!"

   Teriak Adipati Danubraja, lantang.

   Dia berdiri di tangga pendapa, sehingga bisa dili-hat semua orang yang sedang bertempur.

   Seperti kena sihir, pertempuran berhenti men-dadak.

   Semua mata menatap benda yang ditenteng Adipati Danubraja.

   Melihat junjungannya telah menemui ajal, pra-jurit-prajurit pengikut Patih Wiraksa segera menjatuhkan senjata yang dibawa, dan menyerah bulat-bulat.

   *** Tujuh tokoh beraliran hitam yang tengah men-geroyok Suropati dan Gede Panjalu juga menghentikan gempuran.

   Mereka menatap nanar kepala Patih Wirak-sa yang menggantung di tangan Adipati Danubraja "Bagaimana, Kakek-kakek yang budiman? Ma-sihkah kalian ingin meneruskan permainan ini...?"

   Tanya Pengemis Binal sambil mengulum senyum.

   Sepasang Iblis Penyebar Petaka dan Setan Pen-cabut Nyawa menyeringai gusar.

   Namun karena sudah kepalang basah, mereka kembali menerjang! "Kakek-kakek Bandel! Tuan kalian sudah me-nemui ajal, kenapa masih nekat?! Untuk siapa kalian, mempertaruhkan nyawa...?!"

   Ejek Pengemis Binal.

   "Untuk dedemit yang menunggui pendapa ka-dipaten ini, Bocah Gendheng!"

   Jawab Balangangsil sambil melayangkan pukulan jarak jauhnya.

   Wuuussss....! Serangkum angin meluncur dahsyat, namun Pengemis Binal cepat melenting ke atas.

   Blaaarrr....! Serangan kakek cebol itu tak mengenai sasa-ran.

   Sebagai gantinya, tanah tempat Suropati tadi berdiri amblong dalam.

   Balagundi tak mau ketinggalan.

   Segera dice-carnya Pengemis Binal dengan serangan beruntun.

   Kini, Sepasang Iblis Penyebar Petaka yang su-dah mengetahui kehebatan lawan, terus menggempur tanpa mau memberi kesempatan bernapas.

   Namun, mereka berulang kali dibuat terkejut.

   Karena, selalu saja Suropati mudah sekali dapat menghindari serangannya.

   Tahulah mereka bahwa waktu yang telah ber-jalan dua tahun, membawa kemajuan pesat terhadap kepandaian remaja berpakaian putih penuh tambalan yang berjuluk Pengemis Binal ini.

   Rabanga atau Setan Pencabut Nyawa pun tak kalah terkejutnya.

   Belum pernah seumur hidupnya dia menyaksikan seorang remaja belasan tahun yang se-demikian hebatnya.

   Serangannya saja selalu mengenai angin kosong, sehingga membuatnya jadi putus asa.

   Gerak kaki dan tangannya pun jadi ngawur.

   Dan hal itu membuatnya lengah.

   Sehingga....

   Dheeesss...! Tubuh kakek berpakaian serba merah ini ter-lempar dua tombak dengan tulang iga patah terkena sodokan tongkat Pengemis Binal.

   Darah segar sembu-rat, membasahi bibirnya.

   Dan dia pun segera rebah, tak sadarkan diri.

   Melihat seorang temannya sudah tak berdaya, nyali Sepasang Iblis Penyebar Petaka jadi kecut.

   Gem-purannya mendadak jadi kendor.

   Dan, hal itu tak dis-ia-siakan Suropati.

   Tubuhnya berkelebat menggerak-kan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.

   Tongkatnya seke-tika melayang deras! Dan....

   Dheeesss...! Dheeesss...! Balagundi dan Balangangsil terjungkal menyu-sul Rabanga ketika tongkat Pengemis Binal mendarat di dada.

   Tubuh mereka kontan terpuruk di tanah den-gan luka dalam yang parah.

   Kini Pengemis Binal berdiri tegak dengan ga-gahnya.

   Pakaian serta rambutnya yang hitam panjang berkibar tertiup angin.

   Tapi, matanya segera membelalak lebar ketika mengetahui Gede Panjalu tengah ter-desak hebat! Trak...! Weeer...! Tongkat Gede Panjalu tampak terbelit tasbih di tangan Pendeta Murtad.

   Bersamaan dengan itu, Empu Barangas meluncur mengarah ke jantung! Wuuusss...! Tiba-tiba Gede Panjalu menghemposkan tu-buhnya ke atas.

   Karena tak menemukan jalan lain, tongkatnya dilepas.

   Namun, belum sampai mendarat tanah, Brajamusti dan Kaligundi telah menerjang ber-samaan.

   Gede Panjalu terkejut setengah mati.

   Tapi tiba-tiba Pengemis Binal melesat sambil melemparkan tongkatnya.

   "Terima tongkatku, Kek...!"

   Teriak Suropati.

   Dengan sigap, Gede Panjalu menyambut.

   Dan ketika tongkatnya diputar dengan cepat Wuuuttt...! Wuuuttt...! Walaupun tubuh Pengemis Tongkat Sakti ma-sih melayang di udara, tapi dapat cepat memutar tongkatnya membentuk perisai lebar.

   Brajamusti dan Kaligundi terperangah.

   Karena tak mau terhantam tongkat di tangan Gede Panjalu, mereka segera melenting, menjauhi arena pertempuran Teppp....! Gede Panjalu berhasil mendaratkan kakinya dengan mulus.

   "Terima kasih, Suro....'"

   Ucap Pengemis Tongkat Sakti sambil menatap keempat pengeroyoknya.

   "Masing-masing dapat dua bagian, Kek...!"

   Teriak Suropati seraya menerjang Pendekar Murtad dan Empu Barangas.

   Kini dengan tangan kosong, Suropati mencoba menggempur dua tokoh tua beraliran hitam itu.

   Kedua tangan remaja yang telah memakai julukan Pengemis Binal itu mengembang lebar di udara, lalu menangkub.

   Dan...

   Wuuusss...! Dua rangkaian angin pukulan meluncur ber-samaan ke arah Pendeta Murtad dan Empu Barangas.

   Dua tokoh sakti itu mendengus gusar, kemu-dian segera meloncat ke samping.

   Blaaarrr...! Tanah tempat pukulan Suropati mendarat ber-lubang sedalam tinggi badan manusia dewasa.

   Sambil tersenyum simpul karena melihat dua lawannya terpe-rangah, Pengemis Binal segera melanjutkan jurus 'Pengemis Meminta Sedekah'nya.

   Dalam waktu yang hampir bersamaan, Gede Panjalu pun telah menggeprak Brajamusti dan Kali-gundi kembali.

   Tongkat di tangannya berkelebat cepat berlambarkan jurus ketiga dari rangkaian jurus 'Tongkat Sakti'.

   Namanya jurus 'Tongkat Mengejar Kucing'! *** Sementara itu, di sekitar arena pertempuran, keadaan telah kembali tenang.

   Adipati Danubraja ber-sama beberapa orang prajuritnya berdiri di ambang pintu pendapa kadipaten, menyaksikan pertempuran seru yang sedang berlangsung.

   Berkali-kali mata adipati yang berusia sekitar empat puluh dua tahun itu terbelalak, terbawa rasa kagum akan kehebatan Suropati dan Gede Panjalu.

   Dan tiba-tiba, dada Adipati Danubraja dihan-tam rasa sesak.

   Dia teringat sikap tak terpujinya yang terjadi dua tahun silam.

   Waktu itu dia dengan sewenang-wenang telah mengusir seluruh pengemis dari Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Terbayang pula di matanya menyewa tujuh tokoh tua beraliran hitam untuk me-wujudkan keinginannya.

   Dan, sekarang di saat ketu-juh orang sewaannya telah menunjukkan pengkhiana-tan, hantaman rasa sesal di dadanya sudah tak terkira lagi.

   Seketika jalan pernapasannya jadi sesak Sebentar kemudian, mata adipati itu tampak berkaca-kaca.

   Dia teringat keadaan dirinya yang tak berdaya di lereng Bukit Pangalasan.

   Dengan keadaan terluka, tubuhnya tergeletak di tanah berdebu, tak sadarkan diri.

   Dan ketika sadar, adipati itu mendapati dirinya telah mendapat pertolongan dari para pengemis.

   Rasa haru ganti menghantam dada Adipati Da-nubraja.

   Ketika air matanya hendak bergulir, segera diambilnya napas panjang untuk memberi kekuatan dalam hatinya.

   Bagaimanapun juga, dia adalah seo-rang adipati.

   Tabu baginya menampakkan air mata di hadapan para bawahannya.

   Mendadak Rara Anggi dan Dewi Ikata muncul dari ruang dalam, segera didekatinya Adipati Danubra-ja.

   "Siapa yang sedang bertempur, Ayah...?"

   Tanya Dewi Ikata.

   "Mereka berdua dewa penolong Ayah, Ikata"

   Jawab Adipati Danubraja perlahan.

   "Apakah mereka berdua seorang pengemis?"

   Tanya Dewi Ikata lagi, yang melihat pakaian Suropati dan Gede Panjalu penuh tambalan.

   "Tampaknya memang begitu. Tapi Ayah yakin mereka bukan orang-orang sembarangan. Mereka ten-tu dua tokoh penting dari perkumpulan pengemis."

   Tepat dengan terhentinya ucapan Adipati Da-nubraja, tongkat di tangan Gede Panjalu tampak me-luncur dengan kecepatan tinggi ke arah Kaligundi! Dan....

   Dhuk...! Tubuh kakek yang berjuluk Pegulat Tangan Maut terdorong ke belakang sejauh sepuluh tindak, terkena sodokan ujung tongkat Gede Panjalu.

   Dia langsung mendekap erat dadanya.

   Dan ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh Kaligundi terjeng-kang ke tanah tanpa mampu bangkit lagi.

   Brajamusti mengumpat tak karuan.

   Matanya mengerling ke kiri-kanan.

   Melihat keadaan yang tak menguntungkan, tubuhnya segera dikempos guna me-larikan diri....

   "Pengecut! Hendak lari ke mana kau...?!"

   Kata Gede Panjalu seraya melempar tongkatnya.

   Brajamusti yang tidak menduga akan datang-nya serangan, tak mampu berkelit lagi.

   Sehingga....

   Tlaaakkk...! Tepat sekali tongkat Gede Panjalu melabrak ke-pala Brajamusti.

   Dan, tubuh kakek yang berjuluk si Dewa Sesat itu jatuh berdebum di tanah diiringi jeritan yang mendirikan bulu roma.

   Gede Panjalu mengambil napas panjang.

   Segera dipungutnya tongkat yang ter-geletak tak jauh dari tubuh Brajamusti.

   *** Babak terakhir dari pertempuran seru di depan Pendapa Kadipaten Bumiraksa adalah antara Suropati melawan Pendeta Murtad dan Empu Barangas.

   "He he he...,"

   Suropati masih sempat mengeluarkan tawa di sela-sela serangan lawannya.

   "Napas kalian sudah ngos-ngosan, Kek.... Aku takut kalian nanti mati bukan karena seranganku. Tapi karena kehabi-san napas yang berhenti mendadak...."

   "Bocah Gendheng! Tak perlu banyak bacot! Bersiap-siaplah masuk ke neraka...!"

   Desis Pendeta Murtad sambil mengibaskan kebutannya. Wuuusss...! Saat itu juga, melesat serangkum angin yang menderu-deru. Suropati hanya berkelit dengan mengegos ke samping.

   "Wuih! Nikmat, Kek...,"

   Kata Pengemis Binal "Dari tadi aku memang merasa kegerahan."

   Pendeta Murtad menggerendeng dengan mata berkilat.

   Tubuhnya seketika meluruk dengan tasbih tangan kanan menghantam kepala.

   Wuuuttt...! Serangan itu hanya mengenai angin kosong, ke-tika Suropati dengan lincahnya melompat ke kanan.

   Dan baru saja mendarat, keris di tangan Empu Baran-gas meluncur, menghunjam dada! Dengan cepat Suropati memiringkan tubuhnya.

   Namun mendadak ujung keris itu berbelok arah, me-nyambar leher! Wuuusss...! Suropati meloncat ke belakang.

   Tapi, ujung ke-ris Empu Barangas terus mengejar! Bersamaan dengan itu, tasbih Pendeta Murtad juga segera menggeprak! Mata Suropati mendelik.

   Kemudian....

   "Berhenti...!"

   Bentak si Pengemis Binal langsung menerapkan kekuatan sihirnya.

   Mendadak Empu Barangas dan Pendeta Murtad merasakan otot-ototnya mengejang.

   Dan serangan me-reka pun berhenti mendadak.

   Walaupun hanya seke-jap, tapi Suropati tak mau menyia-nyiakan kesempa-tan itu.

   Seketika, kaki kanannya bergerak cepat! Dhes...! Dhes...! Tanpa ampun lagi, tubuh Empu Barangas dan Pendeta Murtad terpelanting ke tanah.

   Suropati tertawa lebar menyaksikan dua tubuh lawannya bergulingan di tanah..

   Tapi, tiba-tiba....

   Werrr...! Ternyata, biji-biji tasbih Pendeta Murtad beter-bangan, menghujani Pengemis Binal.

   Suropati terkejut setengah mati, tak menduga akan datangnya serangan mendadak ini.

   Segera selu-ruh tenaga dalamnya dikerahkan.

   Lalu, dengan cepat tangannya bergerak menangkis.

   Thak...! Thak...! Biji-biji tasbih Pendeta Murtad itu buyar.

   Na-mun, tak urung ada sebutir yang lolos dari tangkisannya....

   Dhuk...! "Aaahhh...!"

   Suropati meringis kesakitan.

   Tubuhnya mun-dur beberapa tindak.

   Dadanya terasa hendak amblong! Tapi, untunglah tenaga dalamnya sudah sedemikian kuatnya semenjak memperoleh saluran hawa murni dari mendiang Periang Bertangan Lembut di Bukit Pa-rahyangan.

   Sehingga, tubuhnya tak sampai mengalami cidera berarti.

   Namun, kejadian yang berlangsung sekejap itu sanggup membuat orang-orang yang menyaksikan per-tempuran merasa khawatir.

   Gede Panjalu tampak terperangah, dan meng-geram gusar.

   Adipati Danubraja bergidik ngeri.

   Se-dangkan Rata Anggi dan Dewi Ikata mengeluarkan jerit tertahan.

   "Ha ha ha...,"

   Pendeta Murtad tertawa sambil memegang pundak kirinya yang terkena tendangan.

   "Sekarang kau baru tahu kehebatanku, Bocah Gendheng...!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, tokoh tua bera-liran hitam itu segera menerjang kembali.

   Demikian pula Empu Barangas.

   Pengemis Binal segera merubah jurusnya.

   Ke-dua telapak tangannya bersilang di depan dada, lalu mengembang.

   Segera disambutnya gempuran Pendeta Murtad dan Empu Barangas! Blaaarrr...! Pengerahan tenaga dalam si Pengemis Binal yang didasari jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan' menimbulkan ledakan dahsyat di udara.

   Tubuh Pen-dekar Murtad dan Empu Barangas terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.

   Mata mereka berdua meme-rah dan melotot! "Ke..., parat...!"

   Umpat Pendeta Murtad dan Empu Barangas.

   Namun yang terdengar hanya berupa bisikan pelan.

   Belum tuntas umpatan mereka, tiba-tiba se-buah bayangan berkelebat dari atap pendapa kadipa-ten ke arah Pendeta Murtad dan Empu Barangas.

   Langsung ditendangnya kedua tokoh tua beraliran se-sat itu dengan sekuat tenaga.

   Desss...! Desss...! Tanpa dapat dihindari lagi, tubuh Pendeta Mur-tad, dan Empu Barangas yang sudah terluka dalam terlempar jauh.

   Begitu menghantam tanah, mereka berkelojotan.

   Sebentar kemudian mereka diam untuk selama-lamanya.

   "Monyet-monyet buduk tak berguna...!"

   Bentak seorang kakek tua renta sambil menatap tubuh Pendeta Murtad dan Empu Barangas dengan sinis.

   Kening Suropati berkerut, menatap kehadiran kakek tua renta itu.

   Tokoh tua yang baru datang itu berpakaian asal-asalan.

   Bagian dadanya terbuka lebar, memperlihatkan tulang-tulang iganya yang bertonjo-lan.

   Pergelangan tangan dan kakinya tampak melebihi panjang ukuran manusia biasa.

   "Aku Aki Barondeng atau si Mayat Hidup,"

   Kata kakek tua renta itu, memperkenalkan diri. Matanya berkilat, membalas tatapan mata si Pengemis Binal.

   "Aku ada perlu denganmu sedikit, Bocah...."

   Lelaki tua yang memang si Mayat Hidup ini menggerak-gerakkan ujung jari telunjuknya.

   Maka se-ketika sinar keputih-putihan berkelebatan, menghuja-ni tubuh Suropati.

   Dengan tangkas Pengemis Binal segera melon-cat ke samping.

   Sret! Sret! Sret! Sinar keputih-putihan yang timbul dari ujung jari Aki Barondeng menerpa ke tanah kosong.

   Mata si Pengemis Binal terbeliak, melihat gura-tan-guratan di tanah yang membentuk tulisan.

   Datanglah Ke Bukit Hantu Pada Malam Bulan Purnama Ketujuh, Ada Urusan Yang Harus Diselesaikan! Ketika pandangan Suropati beralih, tubuh si Mayat Hidup yang habis menuliskan pesan itu telah lenyap bagai ditelan bumi.

   Gede Panjalu berjalan mendekat.

   "Siapa dia, Suro?"

   Tanya Pengemis Tongkat Sakti. Suropati menatap wajah Gede Panjalu sejenak.

   "Dia menyebut dirinya Aki Barondeng atau si Mayat Hidup,"

   Jawab Pengemis Binal dengan kedua alis bertaut "Si Mayat Hidup...?!"

   Gede Panjalu tampak terkejut "Kenapa, Kek?"

   Tanya Suropati.

   "Kau harus berhati-hati, Suro. Tokoh tua itu telah lama mengasingkan diri. Kalau kini dia tiba-tiba muncul, tentu mempunyai urusan yang tidak boleh dianggap enteng."

   "Kau mengenalnya, Kek?"

   "Semua tokoh tua di rimba persilatan tentu mengenalnya. Dia sangat sakti. Sepak terjangnya tak pernah dapat ditebak. Kadang sikapnya budiman, tapi kadang pula sangat kejam."

   Setelah melihat dengan seksama tulisan yang terpampang di atas tanah, Gede Panjalu menatap wa-jah Pengemis Binal dalam-dalam.

   "Kau punya urusan dengannya, Suro?"

   Tanya Pengemis Tongkat Sakti kemudian.

   "Ah! Melihat tampang kakek tua renta itu saja baru kali ini. Kenapa aku punya urusan dengan-nya...?"

   Jawab Suropati.

   "Kau harus hati-hati...,"

   Ingat Pengemis Tongkat Sakti.

   "Kenapa, Kek?"

   "Pesan Aki Barondeng mengandung makna tan-tangan."

   "He he he...,"

   Suropati tertawa.

   "Aku tidak takut. Paling kusentil sedikit saja, tubuhnya yang kurus sudah mrothok...."

   Gede Panjalu tersenyum mendengar kekonyo-lan Pengemis Binal itu. Tapi, senyum itu hanya sekilas saja.

   "Kau jangan memandang rendah padanya, Su-ro. Dia terkenal dengan ilmu 'Pengisap Sukma'-nya. Dan semua tokoh tua persilatan tentu mengakui kalau Aki Barondeng kebal terhadap serangan ilmu apa pun."

   "He he he...,"

   Suropati kembali tertawa.

   "Aku kan sudah bilang, bila kusentil sedikit saja, tubuhnya akan mrothol...."

   "Sombong kau, Suro...."

   Tiba-tiba angin berhembus, menimbulkan hawa sejuk.

   Bersamaan dengan itu, sinar kebiru-biruan berkelebatan menghunjam tanah di hadapan Suropati dan Gede Panjalu.

   Dan, tertorehlah sebuah tulisan.

   Sebelum Malam Bulan Purnama Ketujuh Datan-glah Ke Kuil Saloka Di Pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Kalau Nyawa Tidak Ingin Melayang.

   Suropati dan Gede Panjalu mendongakkan ke-pala ke atas.

   Dan, tampaklah Bayangan Putih Dari Se-latan tengah duduk santai di pinggir atap pendapa kadipaten.

   Pakaiannya yang serba putih berkibar-kibar tertiup angin.

   "Betul kata kakekmu itu, Suro...,"

   Kata Bayangan Putih Dari Selatan.

   "Turuti saja pesanku itu...."

   Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Bayan-gan Putih Dari Selatan melayang. Dan sebentar saja telah hilang dari pandangan. Gede Panjalu menatap wajah Suropati. Tapi, Pengemis Binal hanya tersenyum simpul. *** "Tunggu dulu, Anak Muda...."

   Adipati Danubraja berjalan mendekat, mence-gat langkah Suropati. Pengemis Binal pun menghentikan langkahnya.

   "Ada apa, Gusti Adipati?"

   Tanya Pengemis Binal "Tidakkah kau berkenan meninggalkan nama serta tempat tinggal..,?"

   Suropati mengulum senyum. Bola matanya bergerak-gerak.

   "Nama hamba Suropati, Gusti Adipati. Tempat tinggal hamba sementara ini di Bukit Pangalasan. Na-mun, hamba hanyalah seorang pengemis hina,"

   Sahut Pengemis Binal, merendah. Mendengar ucapan Suropati yang merendah dan sekaligus menampakkan kekonyolannya, Adipati Danubraja menaikkan ujung bibirnya sedikit "Lalu kau sendiri siapa, Ki?"

   Tanya Adipati Danubraja kemudian kepada Gede Panjalu.

   "Hamba bernama Gede Panjalu, Gusti Adipati,"

   Jawab kakek bongkok itu sambil merundukkan tubuh-nya.

   "Tak perlu bersikap seperti itu, Ki. Kau telah berjasa kepada Kadipaten Bumiraksa. Kiranya tak perlu merendah seperti itu. Justru aku yang harus me-nyampaikan rasa hormatku kepadamu...,"

   Ujar Adipati Danubraja seraya menjura kepada Gede Panjalu. Kakek bongkok itu jadi salah tingkah. Seumur hidup belum pernah dia mendapat penghormatan dari seorang pembesar seperti ini.

   "Sudilah kiranya kalian berdua mampir ke pen-dapa kadipaten untuk sekadar menikmati jamuan...?"

   Tawar Adipati Danubraja. Mendadak mata Suropati jadi berbinar-binar.

   "Wah! Kebetulan sekali kalau begitu. Pagi tadi aku belum sarapan...,"

   Desah Suropati seraya menggamit lengan Gede Panjalu.

   Matahari sudah condong ke barat ketika mere-ka memasuki ruang utama kadipaten.

   Bekas-bekas pertempuran di tempat itu sudah tak tampak lagi.

   Be-gitu tiba di dalam, mereka duduk di kursi kayu jati berukir yang berjajar rapi menghadap sebuah meja be-sar.

   Adipati Danubraja menepuk telapak tangannya.

   Dan tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa suguhan arak wangi.

   "Silakan.... Kalian berdua adalah tamu kehor-matanku,"

   Ucap Adipati Danubraja. Tanpa menaruh rasa sungkan, Suropati lang-sung mengangkat gelas perak di hadapannya. Isinya pun ditenggaknya sampai tandas.

   "Wuih...! Arak apa ini? Nikmatnya seperti arak dari sorga,"

   Puji Pengemis Binal. Mendengar perkataan Suropati itu, Gede Panja-lu menyodok lengannya. Sementara Pengemis Binal hanya melirik sambil sedikit mencibir.

   "Dasar bocah gendheng...!"

   Umpat Gede Panjalu dalam hati.

   "Kau mau lagi, Anak Muda...?"

   Tanya Adipati Danubraja sambil tersenyum melihat kerakusan Suropati.

   "Oh! Tentu..., tentu, Gusti Adipati. Siapa yang mau menolak tawaran sebagus ini...?"

   Jawab si Pengemis Binal. Ketika tiga orang pelayan datang membawa aneka masakan lezat, salah seorang dari mereka mem-bawa sepoci besar berisi arak wangi. Harumnya me-nerpa hidung. Dan ini membuat Pengemis Binal terse-nyum-senyum.

   "Oh! Betapa senangnya jadi seorang tamu ke-hormatan...,"

   Bisik Suropati dalam hati.

   Mereka bertiga kemudian menyantap suguhan yang dihidangkan.

   Gede Panjalu tampak malu-malu dan canggung, karena tidak biasa makan bersama seo-rang pembesar.

   Sedangkan Adipati Danubraja beru-lang kali mengulum senyum di bibir, melihat keraku-san Suropati.

   Si Pengemis Binal itu makan seperti habis ber-puasa genap satu bulan.

   Maklum, belum pernah dia merasakan hidangan yang sedemikian lezat.

   "Sudilah kalian berdua menginap di sini barang satu-dua hari...,"

   Tawar Adipati Danubraja lagi usai bersantap. Suropati menganggukkan kepala tanpa memin-ta persetujuan Gede Panjalu.

   "Tentu kami bersedia, Gusti Adipati,"

   Sambut Suropati. Gede Panjalu menyodok lengan si Pengemis Bi-nal.

   "Kakek bodoh! Ditawari rezeki, kenapa mesti di-tolak...?"

   Kata Suropati dalam hati. Adipati Danubraja mengeplokkan telapak tan-gannya kembali. Tak lama, datanglah dua orang pe-layan menghampiri.

   "Antarkan kedua tamu kehormatanku ini me-nuju ke tempat peristirahatannya...."

   Perintah Adipati Danubraja.

   Dua pelayan yang baru datang itu menghormat kepada Gede Panjalu dan Suropati.

   Dan mereka pun segera beranjak dari tempat duduknya, untuk mengi-kuti langkah kaki dua pelayan suruhan Adipati Danu-braja.

   Sambil berjalan, Gede Panjalu dan Suropati berdecak kagum melihat keindahan suasana di penda-pa kadipaten.

   Namun, tiba-tiba Gede Panjalu menepuk bahu Suropati.

   "Kau jangan keburu senang, Bocah Gendheng!"

   Ujar Pengemis Tongkat Sakti, sengit.

   "Kenapa, Kek?"

   Tanya Suropati terkejut.

   "Ingat tantangan Aki Barondeng atau si Mayat Hidup!"

   Suropati mengerutkan kening.

   "Malam bulan purnama ketujuh, tepat dua pu-luh lima hari lagi."

   Alis si Pengemis Binal saling bertaut.

   "Apakah aku pernah berbuat salah kepada ka-kek tua renta itu? Ah, kurasa tidak. Tapi, kenapa dia menantangku?"

   Hati Suropati bertanya-tanya.

   "Kalau Kakek Bayangan Putih Dari Selatan memperingatkan-ku, berarti kakek tua renta yang bernama Aki Baron-deng memang tidak main-main. Dan tampaknya, dia sangat berbahaya...."

   "Silakan, Tuan...."

   Suropati tersentak ketika pelayan menunjuk-kan tempat peristirahatannya.

   Namun, sebelum me-langkah ke ambang pintu, mata Suropati melihat sosok Dewi Ikata yang tengah duduk di taman keputren.

   Sedangkan Gede Panjalu sudah tak tampak batang hi-dungnya.

   "Rezeki memang tak pantas untuk ditolak,"

   Bisik hati Suropati. Bibir Pengemis Binal mengembangkan senyum. Dan, kakinya pun melangkah menuju ke taman kepu-tren. Sedangkan pelayan yang berdiri di sampingnya hanya bisa menggeleng-geleng melihat remaja yang tak tahu sopan santun itu.

   "Suasana sore yang indah. Hembusan angin ra-sa segar. Membuat si Pengemis Binal ingin duduk-duduk di taman sambil menikmati pemandangan me-nakjubkan..,"

   Kata Suropati yang telah berada tak jauh dari Dewi Ikata. Putri tunggal Adipati Danubraja itu menoleh. Dan dia pun terkejut setengah mati, melihat kedatan-gan Suropati.

   "Mau apa kau, Tu..., eh...,"

   Dewi Ikata gelaga-pan. Pipi gadis berumur tujuh betas tahun itu merona merah. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan perasaan malu.

   "Di suasana sore yang indah ini, bolehkah Su-ropati yang miskin ini berkenalan dengan Tuan Putri yang cantik rupawan...?"

   Kata si Pengemis Binal nakal. Perlahan-lahan Dewi Ikata mendongak. Pan-dangan matanya tertumbuk dengan tatapan Suropati. Pipi gadis itu pun semakin merona merah.

   "Jangan panggil aku 'Tuan Putri'. Namaku Dewi Ikata,"

   Ujar putri tunggal Adipati Danubraja.

   "Dewi Ikata? Sebuah nama yang bagus. Tapi, aku apa harus panggil 'Dewi' atau apa?"

   Sahut Suropati makin berani.

   "Aku biasa dipanggil 'Ika'."

   Senyum di Pengemis Binal mengembang lebar.

   "Boleh aku duduk di sampingmu, Ika...?"

   Dewi Ikata tak menjawab.

   Tapi, hal itu diang-gap sebagai persetujuan oleh Suropati.

   Dan pantatnya pun diletakkan di sisi Dewi Ikata.

   *** Sementara itu, di pintu gerbang pendapa kadi-paten, seorang nenek berbaju ungu tengah berhadapan dengan penjaga.

   Rambutnya yang masih berwarna hi-tam tergerai panjang ke punggung.

   Wajahnya walau-pun telah menunjukkan kerutan, tapi masih mem-biaskan kecantikannya.

   Dia adalah Arumsari, yang bergelar Dewi Tangan Api.

   "Aku hendak bertemu Gustimu...,"

   Kata Dewi Tangan Api.

   "Hari ini Gusti Adipati tidak menerima tamu,"

   Jawab penjaga pintu gerbang.

   "Heh, apa katamu?!"

   Sentak Dewi Tangan Api.

   "Gusti Adipati berpesan, hari ini tak seorang pun diperbolehkan bertamu ke pendapa kadipaten."

   Dewi Tangan Api menyeringai dingin.

   "Katakan pada ratu gustimu itu, Arumsari atau Dewi Tangan Api yang datang...!"

   Ujar nenek ini seperti menyimpan amarah. Si penjaga pintu menatap wajah Dewi Tangan Api.

   "Kenapa kau ngotot amat...?!"

   Usik penjaga ini.

   "Bangsat..!"

   Umpat Dewi Tangan Api seraya mendorong tubuh si penjaga pintu gerbang.

   Bruk...! Tubuh laki-laki itu terjengkang, jatuh ke tanah.

   Sementara Dewi Tangan Api dengan enaknya melang-kah.

   Tapi, seorang penjaga pintu gerbang yang lainnya menghadang dengan senjata tombak.

   "Mau ke mana kau, Nenek Bandel?!"

   Bentak penjaga ini.

   "Kau jangan coba-coba menghalangiku...!"

   Tiba-tiba Dewi Tangan Api menggerakkan tan-gannya.

   Maka seketika tubuh penjaga pintu gerbang bersenjata tombak itu jatuh telentang di atas tanah.

   Kembali dengan enaknya, Dewi Tangan Api segera me-lanjutkan langkahnya.

   Tapi, baru dapat beberapa langkah dari am-bang pintu gerbang, lima orang prajurit bersenjata pedang datang menghadang.

   Dewi Tangan Api mendengus gusar.

   "Kalian mau apa...?.'"

   Bentak Dewi Tangan Api "Kami hanya menjalankan tugas. Segera enyah dari tempat ini, Nenek Nekat....!"

   Bentak salah seorang prajurit "He he he...,"

   Dewi Tangan Api tertawa menampakkan giginya yang masih berjajar rapi.

   "Rupanya kau tidak takut mati....!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, tangan nenek sakti ini bergerak dilambari tenaga dalam.

   Wuuusss....! Seketika serangkaian angin pukulan menerpa tubuh kelima prajurit bersenjata pedang itu.

   Dan...

   Bruuukkk...! Tubuh mereka jatuh ke tanah, tergeletak ping-san.

   "Cecurut-cecurut tak tahu diuntung! Tidak ta-hu sedang berhadapan dengan siapa...?!"

   Gerutu Dewi Tangan Api.

   Tapi, sebelum nenek sakti itu sempat melang-kahkan kakinya kembali belasan orang prajurit kadi-paten telah menghadang.

   Dan mereka langsung me-nerjang.

   Wuuuttt...! Wuuuttt....! Sambaran pedang datang bertubi-tubi, meng-hunjam tubuh Dewi Tangan Api.

   Tapi, nenek sakti itu mudah sekali mengelak-kan serangan.

   Dan tiba-tiba kembali tangannya berge-rak dilambari tenaga dalam.

   Wuuusss....! Tujuh orang prajurit kadipaten kontan terje-rembab ke tanah, membuat prajurit lain menjadi terkejut setengah mati.

   Seketika mereka mundur beberapa tindak.

   "He he he...,"

   Dewi Tangan Api tertawa.

   "Nah, itu bagus. Berarti kalian masih bisa berpikir waras...."

   "Ada apa, Arumsari...?"

   Tanya Adipati Danubraja yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Dewi Tangan Api menoleh. Matanya menatap tubuh Adipati Danubraja yang menampakkan balutan luka.

   "Rupanya kau baru saja tertimpa musibah, Danubraja...,"

   Kata nenek sakti itu, tanpa penghormatan. Untuk beberapa lama, Adipati Danubraja tak memberi tanggapan. Tapi, senyumnya segera mengem-bang tanpa sedikit pun menampakkan ketersinggun-gannya atas panggilan Dewi Tangan Api yang kurang menghormat.

   "Kau tampak awet muda, Arumsari...,"

   Puji adipati ini seraya melangkah ke dalam pendapa kadipa-ten. Dewi Tangan Api mengikuti.

   "Kedatanganku ini hendak menagih janjimu Danubraja,"

   Kata nenek sakti itu kemudian.

   Adipati Danubraja tampak tercenung.

   Pikirannya melayang ke masa silam.

   Waktu itu, Adipati Danubraja masih berusia ti-ga puluh tahun.

   Dia bermaksud mengadakan kunjun-gan ke Kadipaten Tanah Loh, yang dipimpin Barasang-ga.

   Dia adalah ayahanda Rara Anggi, istri Adipati Danubraja.

   Dan, kunjungan itu bertujuan untuk meme-nuhi keinginan Adipati Barasangga, untuk melihat cu-cunya, Dewi Ikata.

   Ketika perjalanan Adipati Danubraja bersama rombongannya melewati sebuah lereng bukit terjal, gerombolan perampok datang mencegat.

   Maka, terjadilah pertempuran seru.

   Para pengawal Adipati Danubraja tak sanggup menghadapi keganasan perampok-perampok itu.

   Pada saat keadaan sudah gawat, mun-cul Arumsari atau Dewi Tangan Api memberi pertolon-gan.

   Gerombolan perampok itu akhirnya dapat diha-lau.

   Kebaikan Dewi Tangan Api tidak sampai di situ.

   Dia bahkan bersedia mengawal perjalanan Adipati Da-nubraja sampai ke tempat tujuannya.

   Dan dalam perjalanan itulah, Dewi Tangan Api melihat sosok bocah perempuan sehat, putri Adipa Danubraja.

   Dewi Tangan Api bermaksud mengambil-nya sebagai murid.

   Tentu saja Adipati Danubraja me-rasa keberatan.

   Karena bila putrinya diambil murid oleh Dewi Tangan Api, tentu akan dibawa mengemba-ra.

   Tapi melihat dewi penolongnya, Adipati Danu-braja tidak tega untuk menolak secara terang-terangan.

   Maka dia berjanji untuk menerima permin-taan Dewi Tangan Api, bila umur putrinya sudah men-capai tujuh belas tahun.

   Dengan harapan, Dewi Tan-gan Api akan lupa pada putrinya karena termakan waktu.

   Tapi kini, Dewi Tangan Api datang untuk me-nagih janji.

   Dan Adipati Danubraja sebenarnya merasa terkejut juga.

   Karena sebagai seorang pemimpin, dia harus menepati janji yang telah diucapkan.

   "Di mana Dewi Ikata sekarang?"

   Tanya Dewi Tangan Api kemudian.

   "Dia berada di taman keputren,"

   Jawab Adipati Danubraja.

   "Kita ke sana, Danubraja...."

   Adipati Danubraja kemudian berjalan menuju ke taman keputren, diikuti Dewi Tangan Api. Sesampai di tempat yang dituju, mereka jadi terkejut melihat sosok pengemis muda yang tampak asyik bercanda dengan Dewi Ikata.

   "Siapa dia?"

   Tanya Dewi Tangan Api.

   "Dia tamu kehormatanku. Namanya, Suropati,"

   Jelas Adipati Danubraja.

   "Suropati...?"

   Dewi Tangan Api mendengus gusar, lalu berjalan mendekat.

   "Bocah Gendheng! Kenapa kau berada di si-ni...?!"

   Dengus Dewi Tangan Api. Suropati dan Dewi Ikata terkejut "Eh, kau siapa, Nek?"

   Tanya Suropati.

   "Aku calon guru Dewi Ikata. Pergi kau dari tempat ini!"

   "Eh! Aku merasa sudah mengenalmu, Nek. Bu-kankah kau yang bertempur dengan Kakek Bayangan Putih Dari Selatan di Bukit Argapala, yang bermaksud mengambilku sebagai murid...?"

   Tanya Pengemis Binal.

   "Jangan banyak bacot! Pergi dari sini, Gembel Busuk!"

   "Apa hakmu untuk mengusirku, Nenek Ba-wel?!"

   Balas Suropati kekonyol-konyolan. Tiba-tiba Dewi Tangan Api menggerakkan tan-gannya dengan cepat Seketika serangkaian angin pu-kulan berhawa panas menerpa tubuh si Pengemis Bi-nal.

   "Wadouw...! Kau kok gampang marah gitu, sih. Makanya kau tak laku kawin...,"

   Ejek Suropati sambil melompat, menghindari serangan Dewi Tangan Api.

   "Gembel busuk tak tahu aturan! Dewi Ikata itu putri Adipati Danubraja. Beraninya kau mendekati...?!"

   "Apa salahnya? Bukankah aku tamu kehorma-tan Gusti Adipati?"

   Timpal Pengemis Binal sambil melirik Adipati Danubraja yang berdiri tak jauh darinya. Tapi, muka Suropati jadi kusam melihat mata Adipati Danubraja yang mendelik ke arahnya.

   "Eh...,"

   Pengemis Binal jadi salah tingkah.

   "Sepertinya aku memang harus pergi dari si-ni...,"

   Kata Pengemis Binal Suropati segera melangkah, meninggalkan ta-man keputren. Tapi, matanya masih sempat mengerl-ing sesaat Dewi Ikata.

   "Ika, Nenek ini calon gurumu,"

   Kata Adipati Danubraja kemudian.

   "Guru apa, Ayah?"

   Tanya Dewi Ikata, tak mengerti.

   "Guru ilmu silat."

   "Jadi, aku nanti belajar berkelahi, Ayah?"

   Adipati Danubraja mengangguk pelan. Semen-tara mata Dewi Ikata berbinar.

   "Mulai besok kau sudah resmi jadi muridku,"

   Kata Dewi Tangan Api.

   "Tapi, kau mesti tahu, Ika. Kau bukan muridku satu-satunya. Kakak seperguruanmu ada dua. Dan sekarang, mereka sedang mengembara. Namanya, Anjarweni dan Ingkanputri."

   Dewi Ikata tak begitu memperhatikan ucapan calon gurunya. Dia sedang asyik membayangkan di-rinya yang akan jadi sakti dan pandai berkelahi.

   "Haiiittt...!"

   Tiba-tiba gadis itu meloncat kegirangan.

   Adipati Danubraja dan Dewi Tangan Api terse-nyum senang.

   Bagaimana dengan tantangan Aki Barondeng pada Suropati? Lalu, apakah maksud Bayangan Putih Dari Selatan yang tiba-tiba menyampaikan sebuah pe-san? SELESAI Ikuti serial Pengemis Binal dalam episode BIDADARI LENTERA MERAH Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Fujidenkikagawa

   

   

   

Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pendekar Rajawali Sakti Huru Hara Di Watu Kambang Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat

Cari Blog Ini