Ceritasilat Novel Online

Kitab Sukma Gelap 1


Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap Bagian 1


Seri Pengemis Binal Episode .

   Kitab Sukma Gelap KITAB SUKMA GELAP Serial Pengemis Binal Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Penyunting.

   Tuti S.

   Hak cipta pada Penerbit Serial Pengemis Binal dalam episode.

   Kitab Sukma Gelap 128 hal.

   Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert & Editor .

   Dewi KZ Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusi.info/

   
http.//ebook-dewikz.com/ Bau anyir terasa menusuk hidung.

   Sejauh mata memandang di tempat itu yang terlihat hanya tonjolan batu-batu runcing.

   Dinding cadas retak-retak.

   Di sela-sela retakan penuh ditumbuhi jamur beracun.

   Beberapa pohon yang ada tinggal berupa batang dan ranting yang hampir tiada berdaun.

   Di sana-sini tulang-belulang berserakan, baik tulang hewan maupun manusia.

   Yang paling banyak adalah tempurung kepala manusia.

   Oleh sebab itulah, lembah tandus ini dinamakan Lembah Tengkorak.

   Ketika terik mentari menyengat, jamur-jamur beracun mengeluarkan asap tipis kehitaman.

   Siapa pun yang masuk ke Lembah Tengkorak pada siang hari, jangan harap dapat keluar dengan selamat.

   Udara beracun di sekitar situ sanggup menghentikan detak jantung begitu terhirup masuk ke dalam paru-paru.

   Tapi anehnya, seorang wanita cantik tampak berjalan dengan tenang menyibak siraman cahaya baskara yang panas.

   Pakaian wanita itu serba hitam.

   Mengenakan kerudung yang juga berwarna hitam, Lengan baju sebelah kanan melambai-lambai tertiup angin"

   Agaknya, lengan wanita itu buntung.

   Dia adalah Sekar Mayang.

   Wanita cantik itu mengalami kekecewaan berat karena usahanya untuk menggulingkan tahta kerajaan menemui kegagalan.

   Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang dipimpinnya pun hancur.

   Karena rasa kecewa dan dendam Sekar Mayang melepas pakaian merahnya.

   Menurutnya, itu hanya akan mengingatkan pada peristiwa pahit tersebut.

   Setelah menggantinya dengan pakaian serba hitam Sekar Mayang berkeinginan untuk menerapkan ilmu barunya.

   Ilmu hitam dalam Kitab Sukma Gelap warisan Dewa Sesat.

   Wanita buntung itu melangkah dengan pasti.

   Di sebuah tebing yang bagian atasnya menjorok keluar, dia berhenti lalu duduk bersila.

   Sekar Mayang memejamkan mata.

   Bibirnya komat-kamit merapal mantera sesaat Kemudian, tubuhnya tampak bergetar di ringi ucapan lirih dari mulutnya.

   "Setan menguasai jagat geiap, jagat hitam yang dipenuhi nafsu angkara, nafsu sesat yang menghimpun kekuatan marah dan dendam. Roh-roh bangkit dan menyatu dalam penghancuran. Mayapada porak-poranda. Manusia berhati iblis, berjiwa pera-yangan, menghimpun kekuatan setan. Dengan kuasa alam semesta yang berpendar bersama kegelapan, setan tertawa dalam kemenangaa Hadirkan Iblis Darah dan Setan Racun! Dengan kuasa jagad gelap, mereka akan menyatu dalam kekuatan hitam yang maha dahsyat..."

   Sekar Mayang membentangkan tangannya ke atas.

   Kemudian, digerak-gerakkan di depan dada.

   Slashhh...! Dua kepulan asap muncul di hadapan wanita buntung itu.

   Dia membuka matanya dan mempercepat gerakan tangan.

   Dua kepulan asap pun bergulung semakin tebal.

   Sampai akhirnya..., tiba-tiba asap itu lenyap.

   Digantikan dengan hadirnya dua sosok manusia berwujud mengerikan.

   Mereka sama-sama berkulit sangat hitam dan hanya mengenakan cawat.

   Yang seorang memakai penutup dada, pertanda dia adalah wanita.

   Wajah mereka sangat kasar, ditumbuhi bisul yang menyebar rata.

   Mata memerah dan terbeliak besar.

   Hidung terjuntai ke depan serta bengkok ke bawah.

   Dari bibir yang tebal hitam menyembul dua taring runcing.

   Taring si lelaki selalu meneteskan cairan kental berwarna merah.

   Dia adalah Iblis Darah.

   Sedangkan yang wanita kepalanya bertanduk, mencuat dari sela-sela rambutnya yang gimbal.

   Dia adalah Setan Racun.

   Ketika menatap Sekar Mayang yang sedang duduk bersimpuh di hadapan mereka, Iblis Darah dan Setan Racun mendengus.

   "Kau siapa?!"

   Tanya Iblis Darah.

   Suara yang keluar dari mulutnya sekeras ledakan halilintar.

   Sekar Mayang merasakan gendang telinganya bergetar keras.

   Tubuhnya bergoyang seperti hendak terlontar.

   Namun, dengan pengerahan tenaga dalam dia pun dapat menyunggingkan senyum.

   "Aku Sekar Mayang. Mulai saat ini, aku adalah tuanmu."

   "Ha-ha-ha...!"

   Tawa keras membahana.

   Lembah Tengkorak bergetar.

   Tiba-tiba Iblis Darah melancarkan serangan.

   Tendangan kakinya meluncur cepat Sekar Mayang memapaki dengan telapak tangannya.

   Iblis Darah melenting ke udara dan bersalto beberapa kali, sebelum mengirimkan tendangan beruntun ke arah Sekar Mayang! Wanita buntung itu mengangkat tangan tunggalnya.

   Suatu kekuatan kasat mata menghentikan gerakan Iblis Darah.

   Tubuh manusia yang baru dibangkitkan dari alam kubur itu melayang di udara dalam keadaan telentang.

   "Sudah kubilang, mulai saat ini kau harus ber-tekuk-lutut di hadapanku. Kenapa berbuat yang macam-macam?!"

   Sentak Sekar Mayang keras telapak tangannya didorong ke depan sambil mengeluarkan gertakan pendek.

   Blaaarrr...! Tubuh Iblis Darah terlontar dengan kecepatan kilat, lalu membentur dinding cadas hingga menimbulkan ledakan dahsyat! Permukaan tanah guncang.

   Debu mengepul tebal Batu-batu pun berhamburan.

   Bersamaan dengan itu, tubuh Iblis Darah Lenyap meninggalkan asap bergulung-gulung.

   Sekar Mayang menggerak-gerakkan telapak tangannya.

   Dan....

   Tubuh Iblis Darah muncul kembali dalam keadaan berlutut "Ha-ha-ha...!"

   Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak. Tapi, tawa itu berhenti dengan mendadak lalu menatap Setan Racun.

   "Kenapa kau tak segera berlutut di hadapanku?!"

   Setan Racun menggeram. Mulutnya di buka lebar-lebar memperlihatkan taringnya yang runcing bagal habis diasah.

   "Swooosss...! Mulut manusia yang juga baru dibangkitkan dari alam kubur itu menyemburkan uap yang mengandung racun ganas! Namun Sekar Mayang hanya mengeluarkan dengusan, uap beracun itu pun buyar. Setan Racun memutar tubuhnya dan amblas ke dalam tanah. Lalu, di ringi suara gemeretakan bumi bergoncang hebat. Tubuh Sekar Mayang bergeser dari kedudukannya. Wanita buntung itu segera memukulkan lututnya ke tanah. Guncangan itu pun berhenti. Tubuh Setan Racun menyembul dan terlontar ke udara bagai lesatan anak panah lepas dari busurnya. Sekar Mayang menatap tajam. Lalu, dari kedua matanya meluncur sinar kehitam-hitaman! Blaaarrr...! Tubuh Setan Racun lenyap meninggalkan asap bergulung-gulung. Sekar Mayang menggerak-gerakkan telapak tangannya. Sesaat kemudian, tubuh Setan Racun muncul kembali dalam keadaan berlutut di samping Iblis Darah. Tawa Sekar Mayang membahana berkepanjangan.

   "Kalian berdua adalah simbol dari kekuatan hitam. Kekuatan yang akan menjadi raja dari segala kekuatan. Dari nafsu jahat dan keangkaramurkaan yang tertanam dalam diriku, kekuatan hitam akan terhimpun. Dan, kalian berdua adalah abdi yang akan selalu menuruti perintahku!"

   Mata Sekar Mayang bersinar tajam. Kemudian, tangan tunggalnya dihentakkan ke depan. Di sekitar tubuh Iblis Darah dan Setan Racun mengepul asap hitam yang tersembur dari dalam tanah.

   "Dengan izin setan yang menguasai jagat gelap, kalian berdua bisa memanggilku dengan sebutan 'Penghimpun Angkara'!"

   "Baik, Penghimpun Angkara...,"

   Kata Iblis Darah.

   "Karena kau yang telah membangkitkan kami dari alam kubur, maka sudah sepantasnya bila kami mengabdi kepadamu. Kami pun akan memakai sebutan 'Sepasang Abdi Penghimpun Angkara'...."

   Setan Racun mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekar Mayang tersenyum puas. Tiba-tiba, terdengar suara tawa tergelak. Kening Sekar Mayang langsung berkerut "Dewa Sesat..!"

   Gumam wanita itu.

   Sebuah bayangan berkelebat dan berdiri tepat di tengah-tengah batu cadas yang menjulang tinggi.

   Tampaklah seorang lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu lebat.

   Wajahnya hampir tak bisa dikenali karena bulu-bulu yang tumbuh subur di tempat itu.

   Dia tidak mengenakan pakaian, hanya bercawat hitam.

   Berdiri terbongkok-bongkok menatap Sekar Mayang.

   "Rupanya kau telah membangkitkan Iblis Darah dan Setan Racun, Mayang...,"

   Kata lelaki berbulu lebat yang berjuluk Dewa Sesat itu. Sekar Mayang hanya diam, tak memberikan tanggapan apa-apa.

   "Kau memang pintar, Mayang. Dua makhluk Itu pernah berjaya pada masanya. Mendengar sepak-terjangnya saja, orang-orang akan berlari ketakutan. Bila kini dua makhluk itu telah mengabdi kepadamu, berarti kau telah sempurna mewarisi ilmu 'Leluhur Sesat' Dengan begitu, kau bisa dianggap sebagai keturunan kedelapan...."

   "Yang ketujuh siapa?"

   Tanya Sekar Mayang dengan suara berat. Dewa Sesat tertawa menanggapi pertanyaan itu. Mata Sekar Mayang menyipit "Kaukah keturunan ketujuh itu?"

   "Ya!"

   "Aku tidak ingin menjadi keturunan kedelapan. Angka delapan bagiku tidak mengandung arti apa-apa. Aku inginkan yang nomor tujuh!"

   Sentak Sekar mayang tiba-tiba.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Dewa Sesat penuh selidik.

   "Kau harus keluar dari garis keturunan Leluhur Sesat!"

   "Bangsat!"

   Umpat Dewa Sesat "Akulah yang mewariskan Kitab Sukma Gelap kepadamu. Kenapa kau berani berucap seperti itu kepadaku?!"

   "Semakin berani orang berbuat jahat dan memuja nafsu angkara, semakin kuatlah ilmu 'Leluhur Sesaf yang ada dalam diri orang itu. Tentu kau sudah tahu hal itu, Dewa Sesat! Nah, untuk itulah sekarang aku akan membunuhmu!"

   Mendengar ucapan Sekar Mayang, Dewa Sesat terkejut setengah mati. Tapi, dia segera menutupi keterkejutannya dengan mengeluarkan tawa.

   "Aku menyadarinya, Mayang...,"

   Ujar Dewa Sesat kemudian dengan suara mirip rintihan orang sakit.

   "Kaum hitam memang tidak mengenal ukuran yang memilah-milah harkat dan martabat. Antara guru dan murid, orang tua dan anak, hanya merupakan sebutan sementara. Untuk memuaskan nafsu setan, guru harus di njak, orang tua mesti ditendang. Tapi itu bisa dilakukan apabila ia mempunyai kemampuan Bila tidak, namanya bunuh diri...."

   Sekar Mayang tertawa terbahak-bahak.

   "Kau meremehkan kemampuanku, Dewa Sesat!"

   Kata wanita buntung itu. Sinar matanya tampak berapi-api.

   "Iblis Darah dan kau Setan Racun, bunuh Monyet Busuk itu!"

   Dengan serta-merta, Sepasang Abdi Penghimpun Angkara menerjang Dewa Sesat Lelaki berbulu lebat itu menghemposkan tubuhnya, mendahului menerjang Sekar Mayang! Splash...! Penghimpun Angkara julukan baru Sekar Mayang, mengibaskan telapak tangan tunggalnya.

   Tubuh Dewa Sesat terdorong kesamping.

   Namun, secepat kilat dia melenting ke udara dan meluncur dengan tendangan ke arah dada Sekar Mayang.

   Kibasan tangan tunggal Penghimpun Angkara kembali sanggup menghempaskan tubuh Dewa Sesat.

   Sebelum mendarat di tanah, lelaki berbulu lebat itu telah digempur oleh Iblis Darah dan Setan Racun Mereka benar-benar menunjukkan keganasannya.

   Iblis Darah membuka mulutnya lebar-lebar bagai hendak mencaplok tubuh Dewa Sesat.

   Sedangkan mulut Setan Racun selalu menyemburkan uap beracun! Tapi, Dewa Sesat bukanlah lawan yang enteng.

   Tokoh tua itu telah puluhan tahun malang-melintang di rimba persilatan, sebagai tokoh golongan hitam yang selalu ditakuti kawan maupun lawan.

   Uap beracun yang menyembur dari mulut Setan Racun sama sekali tak berarti baginya.

   Bahkan, pada suatu ketika tubuh Dewa Sesat di selubungi asap hitam.

   Lalu tubuh lelaki berbulu lebat itu lenyap, berganti dengan asap hitam bergulung-gulung yang selalu mengejar Iblis Darah dan Setan Racun.

   Sepasang Abdi Penghimpun Angkara itu jadi kerepotan.

   Mereka memukul dan menendang tak karuan.

   Namun perlawanan mereka sia-sia.

   Iblis Darah dan Setan Racun bahkan jatuh bergulingan di tanah, terkena gempuran asap hitam yang tiba-tiba mengirimkan tendangan beruntun.

   Sepasang Abdi Penghimpun Angkara kemudian melompat jauh.

   Mereka sama-sama menggeram keras.

   Perlahan sekali terjadi keanehan di hadapan Dewa Sesat.

   Tubuh Iblis Darah lumer dan mencair, membentuk cairan kental berwarna merah yang membasahi tanah.

   Tubuh Setan Racun sendiri menjadi cairan kental berwarna hijau gelap.

   Dua cairan berbeda warna itu kemudian melayang, menyiram asap hitam yang masih bergulung-gulung di udara! "Arghhh...!"

   Jerit kesakitan membahana.

   Tubuh Dewa Sesat muncul dalam keadaan yang mengerikan.

   Bulu Lebat di tubuh tokoh golongan hitam itu musnah terbakar.

   Kulitnya pun mengelupas, memperlihatkan daging berwarna putih kemerahan.

   Wajah Dewa Sesat sudah tak karuan lagi wujudnya.

   Mirip gumpalan daging busuk yang telah dimakan ulat! "Ke...

   parat..!"

   Umpat Dewa Sesat, menyerupai rintihan orang yang hampir dijemput ajal.

   Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang terluka parah, dia menerjang Iblis Darah dan Setan Racun dengan membabi-buta.

   Tapi, Sepasang Abdi Penghimpun Angkara dengan mudah dapat menghindari setiap serangannya.

   Bahkan, menjadikan Dewa Sesat sebagai bulan-bulanan.

   Sekar Mayang yang menyaksikan adegan itu mengeluarkan tawa keras.

   Ketika dada Dewa Sesat berhasil digedor oleh Iblis Darah, tawa Sekar Mayang semakin membahana ke Seantero Lembah Tengkorak.

   Blaaarrr...! Dengan di ringi ledakan dahsyat, dada dan punggung Dewa Sesat berhasil digedor Sepasang Abdi Penghimpun Angkara.

   Akibatnya, tubuh Dewa Sesat terbanting ditanah tanpa nyawa.

   Sekar Mayan tertawa tergelak-gelak.

   "Kalian berdua benar-benar Sepasang Abdi Penghimpun Angkara yang akan segera menggegerkan rimba persilatan!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, wanita buntung itu menggerak-gerakkan tangan tunggalnya.

   Tubuh Iblis Darah dan Setan Racun pun tertarik mendekati, lalu berlutut di hadapan Sekar Mayang.

   *** Malam begitu pekat.

   Suara burung hantu, kerik jengkerik, dan hewan lainnya terdengar tak berirama.

   Hanya kodok mengorek yang terdengar berirama.

   Di dalam sebuah ruangan cukup luas yang diterangi cahaya damar Gede Penjalu duduk berdampingan dengan Suropati.

   Kemudian dalam kedudukan melingkar tampak Wirogundi, Anjarweni, Carang Gati, dan Katabang.

   "Tugas yang diembankan Baginda Prabu kepada kita merupakan kebanggaan, tapi sekaligus juga beban...,"

   Kata Gede Panjalu.

   "Dikatakan sebagai kebanggaan, karena dengan pemberian tugas ini Baginda Prabu percaya kalau kita mempunyai kemampuan. Sedangkan dikatakan sebagai beban karena tugas yang harus kita emban tidaklah mudah."

   "Benar, Kek...,"

   Sambut Wirogundi.

   "Rimba persilatan sangat luas. Tidak dibatasi oleh gunung, jurang, atau pun lautan. Untuk mencari seseorang akan banyak memakan waktu. Apalagi orang yang kita cari sedang diliputi rasa dendam. Dia tentu akan mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu guna membalaskan dendamnya itu."

   Gede Panjalu menganggukkan kepala. Carang Gati segera unjuk bicara.

   "Kalau begjtu, kita tidak usah mencarinya. Suatu saat dia pasti akan muncul kembal"

   "Masalahnya bukan cuma itu,"

   Anjarweni menyela.

   "Adik seperguruanku, Ingkanputri, berada dalam pengaruh kekuatan sihir pemberontak itu."

   Carang Gari terdiam.

   "Dia tidak tahu apa-apa, tapi harus menanggung akibatnya,"

   Lanjut Anjarweni.

   "Kalau terjadi sesuatu yang di nginkan, aku tidak bisa tinggal diam. Sampai ke kolong langit pun wanita iblis itu akan kucari!"

   "Tenanglah, Weni...,"

   Ujar Gede Panjalu yang sudah mengetahui hubungan murid Dewi Tangan Api itu dengan Wirogundi.

   "Kita tidak boleh keburu nafsu. Kita harus berpi...,"

   Kakek bongkok itu tidak melanjutkan kalimatnya. Mendadak saja muncul seekor ular sendok di hadapan mereka yang tengah duduk melingkar. Terdengar jerit keterkejutan. Anjarweni yang merasa jijik dan ngeri langsung melompat jauh.

   "Tenang, tidak usah panik...,"

   Kata Gede Panjalu seraya menatap tajam ular berbisa yang sudah mengembangkan lehernya Itu, siap untuk menyerang.

   "Ular jadi-jadiankah itu, Kek?"

   Tanya Suropati.

   "Tidak. Ular ini sungguhan. Dia dikirim seseorang dari jarak jauh."

   Ular yang tampak ganas itu tiba-tiba mencelat menyerang Suropati! "Eit...!"

   Pengemis Binal berkelit. Ketika ular yang menyerangnya masih melayang di udara, tangan remaja konyol itu bergerak untuk menyampok "Jangan...!"

   Teriak Gede Panjalu.

   Suropati pun menguningkan niatnya.

   Tubuh ular jatuh di lantai tanah.

   Dengan separo badan tegak ke atas, lidahnya terjulur, matanya yang berkilat menatap tajam pada Suropati.

   Wooosss...! Ular itu menyemburkan cairan bisanya.

   Pengemis Binal mengibaskan telapak tangan untuk menepis bisa itu.

   Gede Panjalu melangkah mundur beberapa tindak.

   Dalam keadaan berdiri, kakek bongkok itu menyilangkan tangannya di dada dan memejamkan mata.

   Suatu keanehan terjadi.

   Ular sendok yang ganas mendadak tubuhnya jadi kaku.

   Diam tak bergerak-gerak lagi.

   Semua orang di ruangan itu menatap dengan kening berkerut.

   Sementara rubuh Gede Panjalu bergetar.

   Dari kepalanya mengepul asap tipis.

   "Dia sedang berusaha mengusir ular itu...,"

   Gumam Suropati dalam hati. Mata remaja tampan itu bersinar nyalang menatap tubuh Gede Panjalu yang bergetar semakin keras. Perlahan-lahan dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Bersamaan dengan itu, tubuh ular yang telah kaku bergerak lemah.

   "Oh, Kakek Gede dalam kesulitan. Aku harus membantunya...,"

   Bisik Pengemis Binal.

   Remaja tampan itu menyedekapkan tangannya.

   Dengan mata terpejam dia berusaha menembus kekuatan kasat mata di mana Gede Panjalu tengah bertarung.

   Tubuh Suropati bergetar.

   Ketika asap tipis telah menyelubungi kepalanya, ular sendok yang berada di pojok ruangan lenyap tanpa bekas Pengemis Binal lalu membuka matanya segera ditariknya napas leqa Tapi, tubuh Gede Panjalu terhuyung-huyung.

   Wirogundi berusaha menahan tubuh kakek bongkok itu agar tidak jatuh terjengkang.

   "Aku tidak apa-apa, Wiro...,"

   Kata Gede Panjalu sambil ngibas-ngibaskan telapak tangannya di depan mata.

   "Kau terluka dalam, Kek"

   Suropati mendekati. Semua yang berada di tempat itu merubung Gede Panjalu yang telah bersila dengan mata terpejam.

   "Kekuatan batin Kakek Gede membentur suatu kekuatan dahsyat Entah kekuatan batin siapa. Yang pasti, orang itu sangat tangguh...,"

   Beritahu Suropati pada kawan-kawannya.

   "Pucat di wajahnya berangsur-angsur lenyap, berarti luka dalam Kakek Gede tidak begitu parah,"

   Lanjutnya. Kaki remaja tampan itu lalu melangkah ke luar ruangan. Ditatapnya rembulan sabit yang bercahaya redup. Kemudian, dia menuju ke suatu tanah lapang.

   "Hawa di dalam sangat gerah, aku butuh udara segar...,"

   Gumam pemuda itu.

   Beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang berpapasan dengannya berkata menyapa.

   Suropati membalasnya dengan anggukan kepala.

   Malam semakin larut Suara binatang malam terdengar melemah.

   Tiba-tiba angin berhembus keras.

   Suropati terkejut ketika menatap di kejauhan terlihat seberkas cahaya merah meluncur cepat ke arahnya! Remaja tampan itu meloncat Dan...

   tanah tempat bekasnya berdiri tadi langsung berkubang dalam.

   Seberkas cahaya merah kembali meluncur ke arahnya, Suropati mendorongkan telapak tangannya ke depaa Sinar merah itu pun berhenti di udara.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, pemuda itu menahan luncuran sinar merah.

   Bunyi desisan terdengar ketika telapak kaki remaja tampan itu bergeser ke belakang.

   Keringat membasahi sekujur tubuh.

   Matanya melotot, merasakan jalan napasnya yang sesak.

   Perlahan-lahan seberkas cahaya merah mendekati tubuh Suropati.

   Malaikat Kematian agaknya tengah mengintai nyawanya.

   Tubuh remaja tampan itu bergetar keras.

   Keringat di tubuhnya semakin membanjir Ketika cahaya merah tinggal beberapa jengkal mencapai tubuhnya, Pengemis Binal membeliak lebar.

   Napasnya memburu.

   Malaikat Kematian pun semakin dekat mengintai....

   Pada saat yang genting itulah Suropati teringat pada ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang didapatnya dari Bayangan Putih Dari Selatan Suropati segera memejamkan mata.

   Seluruh kekuatan batinnya dipusatkan.

   Sebentar kemudian, dari sekujur tubuh remaja tampan itu berpencar cahaya kebiruan.

   Blammm !! Sebuah ledakan dahsyat membahana.

   Tanah berguncang.

   Angin kencang menyampok pepohonan, hingga ranting-ranting bergoyang keras.

   Pengemis Binal tetap berdiri tegak di tempatnya.

   Cahaya merah yang hampir merenggut jiwanya pun lenyap.

   "Uh! Hampir saja...,"

   Gerutu remaja tampan itu.

   "Aku sama sekali tak menyangka cahaya merah itu dapat dikendalikan sedemikian rupa."

   Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di suatu gua di Lembah Tengkorak, Sekar Mayang atau Penghimpun Angkara menggeram gusar. Bergegas dia bangkit dari duduknya.

   "Ada yang kurang dari ilmu 'Cahaya Sesatku. Ilmu itu belum sempurna kukuasai...,"

   Gumam Sekar Mayang.

   Wanita buntung itu berjalan ke sebuah ruangan sempit yang berada di dalam gua.

   Diambilnya sebuah kitab bersampul hitam dari sela-sela dinding tonjolan batu.

   Dibantu cahaya obor, Sekar Mayang membuka halaman terakhir Kitab Sukma Gelap yang ditaruh di atas pangkuannya.

   "Halaman ini kosong. Apakah terhapus?"

   Tanya wanita buntung itu.

   "Ah, aku rasa tidak. Walaupun kitab ini sudah hampir hancur, tapi halaman lainnya masih terbaca jelas. Mungkin saja halaman terakhir ini mengandung rahasia, sehingga si pembuatnya berusaha menyamarkan."

   Lama Sekar Mayang duduk tercenung.

   Otaknya terus diperas untuk memecahkan teka-teki ini.

   Kening Wanita buntung itu berkerut-kerut menandakan kerja keras pikirannya.

   Ketika dia mengangkat halaman terakhir dari Kitab Sukma Gelap yang terus dipeganginya, mata Penghimpun Angkara bersinar aneh.

   Melalui cahaya obor yang menerpa kertas, dia melihat bercak-bercak putih berderet membentuk tulisan.

   Sekar Mayang bangkit berdiri lalu mendekat nyala obor yang menempel di dinding gua.

   Halaman terkahir dari Kitab Sukma Gelap diangkatnya sejajar dengan pandangan mata.

   Terpampanglah tulisan.

   Ilmu 'Cahaya Sesat' adalah ilmu yang berasal dari pancaran nafsu angkara, yang bersumber dari marah dan dendam membara.

   Kesempurnaan dapat diperoleh bila manusia yang menerima ajaran telah lebur jiwa dan raganya dalam kekuatan gelap.

   Mata lahir maupun batin hanya memandang satu tujuan pasti, mengabdi kepada Sang Jahat yang menguasai jagat kelam.

   Selama manusia yang menerima ajaran masih dibayangi rasa kemanusiaan, Ilmu 'Cahaya Sesat' tak akan dapat mencapai kesempurnaan.

   Setelah membaca kalimat itu, kerut di kerung Sekar Mayang semakin terlihat jelas.

   "Apa maksudnya?"

   Tanya wanita buntung itu. Beberapa lama Penghimpun Angkara membara berulang-ulang tulisan dalam halaman terakhir Kllab Sukma Gelap. Hingga akhirnya, dia mengulum senyum di bibir.

   "Aku tahu sekarang...,"

   Ucap Sekar Mayang.

   "Untuk mencapai kesempurnaan ilmu 'Cahaya Sesat', aku harus menghilangkan rasa kemanusiaan yang ada dalam diriku. Tapi, rasa kemanusiaan yang bagaimana?"

   Kening wanita buntung itu kembali berkerut, sambil berjalan mondar mandir, dia menimang-nimang kitab dalam genggamannya.

   "Ilmu 'Cahaya Sesat'...,"

   Gumam Penghimpun Angkara.

   "Jelas ilmu hitam. Ah, aku sudah menemukan jawabannya!"

   Sekar Mayang melonjak girang.

   Dia tertawa tergelak-gelak Tanpa sadar kakinya dihentakkan ke lantai gua.

   Seluruh ruangan terguncang.

   Bebatuan yang menempel di bagian atas rontok, hingga menimbulkan debu yang mengepul tebal.

   Cahaya obor lenyap karena apinya padam di tiup angin yang timbul dari guncangan.

   Dalam kegelapan, tawa Penghimpun Angkara semakin terdengar membahana ke seluruh bagian Lembah Tengkorak "Sebentar lagi seluruh tokoh rimba persilatan akan berlutut di hadapanku.

   Dengan kekuatan ilmu 'Cahaya Sesat,' semua tokoh putih maupun hitam akan dapat kutaklukkan.

   Mereka akan memandangku sebagai Raja Kegelapan.

   Karena, aku sudah tak punya lagi rasa kemanusiaan yang tercermin dalam tingkah-laku.

   Aku adalah tokoh jahat yang paling jahat, tokoh hitam yang paling hitam!"

   Sekar Mayang mengibaskan telapak tangan tunggalnya. Dan.... Blaaammm...! Dinding gua jebol, menganga lebar dengan meninggalkan debu tebal dan bebatuan yang berpentalan.

   "Aku tidak boleh mempunyai perasaan cinta, belas kasihan, dan seluruh rasa kemanusiaan lainnya...,"

   Kata Penghimpun Angkara dengan dengusan napas berat.

   "Dendam dalam hatiku harus kupupuk dan kupertajam. Akan kumusnahkan tiga manusia yang pernah membuatku sengsara!"

   Dengan mengepal tinju, wanita buntung itu menggigit bibirnya keras-keras.

   "Pertama, akan kubunuh Raka Maruta yang telah membuntungi tangan kananku. Lalu menyusui Kapi Anggara yang telah memberikan cinta palsu kepadaku. Terakhir, giliran Suropati yang menjadi biang keladi dari gagalnya cita-cita yang telah kususun sejak lama...." *** Dua orang wanita tampak berjalan santai memasuki Kotapraja Kerajaan Anggapura. Yang seorang berpakaian hijau-hijau, bentuknya khas petualang rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai di punggung. Tapi, walaupun begitu tidak bisa menutupi usianya yang telah mencapai enam puluh lebih. Dia adalah Arumsari atau Dewi Tangan Api Meski sudah tua, wajah nenek itu masih menunjukkan garis-garis kecantikan. Yang berjalan di sisi kirinya adalah Dewi Ikata, putri tunggal Adipati Danubraja yang beberapa waktu lalu telah diangkat sebagai murid nenek itu. Pakaian yang dikenakan Dewi Ikata terbuat dari bahan sederhana, warnanya putih-kuning. Rambutnya di kat selembar kain merah. Tak satu pun perhiasan menempel di tubuh gadis tujuh belas tahun itu. Meski berpenampilan sederhana, tapi hal itu tak dapat menyembunyikan kecantikannya. Ketika dua wanita guru-murid itu sampai di depan pintu gerbang kotapraja, dua orang penjaga yang memegang perisai dan tombak berjalan mendekati.

   "Tampaknya Nisanak berdua adalah orang asing...,"

   Kata salah seorang penjaga yang berwajah penuh bulu.

   "Kalau boleh saya tahu, ada perlu apakah Nisanak berdua hendak memasuki kota-praja?"

   Lelaki brewokan itu kemudian mengerling ke arah Dewi lkata. Kerlingan itu ditangkap oleh mata ArumsarL Nenek itu pun mengeluarkan dengusan pendek.

   "Kau hendak bertanya atau mau berbuat usil?"

   Kata Arumsari dengan suara berat "Kami penjaga di sini. Sudah selayaknya bila kami bertanya kepada orang asing seperti kalian,"

   Jawab lelaki brewokan dengan suara tak kalah berat, Sengaja untuk menunjukkan kewibawaannya. Bibir Dewi Tangan Api menyunggingkan senyum mengejek.

   "Kau hendak bertanya apa?"

   "He-he-he...,"

   Lelaki berewokan itu tertawa.

   "Rupanya telingamu mengalami sedikit gangguan, Nenek Cantik."

   Arumsari mendengus gusar.

   "Kau jangan mengajak bercanda. Aku tak biasa melayani orang macam kalian!"

   "Uh! Kenapa kau gampang marah, Nek. Bukankah aku telah bertanya, apa tujuan kalian hendak memasuki kotapraja? Kau saja yang tidak mendengar...,"

   Lelaki brewokan tersenyum seraya melirik Dewi lkata. Kemudian, menatap kembali wajah Dewi Tangan Api.

   "Eh, apa katamu tadi, Nek? Kau tidak biasa melayani orang macam kami? Lalu, yang biasa kau layani orang macam apa?"

   Temannya yang berkulit gelap menyenggol lengan lelaki brewokan.

   "Kau jangan cari gara-gara,"

   Bisiknya. Lelaki brewokan cuma menatap sebentar, lalu kembali menyungging senyum menggoda.

   "Kau belum menjawab pertanyaanku, Nek,"

   Katanya pada Arumsari. Mata Dewi Tangan Api bersinar tajam.

   "Mulutmu terlalu ceriwis! Kau hanya mengundang nafsu amarahku saja!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, nenek itu menggandeng lengan Dewi Ikata.

   "Eh, kalian hendak ke mana?!"

   Lelaki brewokan menghalangi langkah kaki mereka. Arumsari pun mendengus marah.

   "Aku datang ke kotapraja bukan dengan maksud buruk, kenapa kau menghalangiku?!"ucap nenek Itu setengah membentak.

   "Kau belum mengatakan tujuanmu yang sebenarnya.

   "

   "Aku seorang petualang. Aku hanya ingin melancong.

   "

   "Bagus. Kalau begitu kau boleh lewat, Nenek Bawel. Tapi, alangkah baiknya bila nona cantik ini"

   Tinggal beberapa saat di sini untuk menemaniku. He-he-he...."

   Sambil tertawa, penjaga usil itu melirik ke arah Dewi Ikata. Melihat hal demikian, sampailah Arumsari pada batas kesabarannya.

   "Siapa kepala regu kalian?!"

   Tanya nenek itu.

   "Apa perlumu menanyakan itu?"

   "Eh, kenapa kau suka cari gara-gara, Kakang?"

   Penjaga yang berkulit gelap memperingatkan temannya.

   "Kau jangan ikut campur, Dhi. Kalau ada enaknya pasti kau akan kubagi. Jangan khawatir!"

   Dewi Tangan Api mendengus keras mendengar ucapan yang bernada kurang ajar itu.

   "Monyet Busuk! Rupanya kalian minta diberi pelajaran!"

   Tangan kanan nenek itu pun melayang.

   Plak...! Penjaga usil mendekap pipinya yang terkena tamparan.

   Kalau saja Dewi Tangan Api mengerahkan tenaga dalam, kepala lelaki brewokan itu tentu sudah pecah.

   Tapi, manusia tak tahu diri ini tak mau menyadari kesalahannya.

   Matanya mendelik lebar menatap Arumsari.

   "Keparat! Beraninya kau menamparku!"

   Lelaki brewokan melayangkan tangan.

   Namun tamparannya hanya mengenai angin kosong.

   Sekali lagi dia mencoba melancarkan tendangan ke arah dada Dewi Tangan Api.

   Nenek itu cuma menggerakkan sedikit tubuhnya, tendangan itu pun luput dari sasaran.

   Lalu, dengan sentilan pelan dia membuat roboh lelaki brewokan.

   Sambil berkelojotan di tanah, manusia tak tahu diri itu melolong-lolong kesakitan.

   Dewi Tangan Api hanya menatap sebentar.

   Lalu digandengnya tangan muridnya.

   Mereka melangkahkan kaki melewati pintu gerbang kotapraja.

   Tanpa setahu mereka, dua orang lelaki tua berwajah seram mengikuti agak jauh di belakang.

   "Kau lapar, Ika?"

   Tanya Arumsari ketika mereka sampai di depan sebuah kedai nasi. Dewi lkata tak memberikan jawaban.

   "Aku tahu kau lapar, tapi tak berani mengatakannya. Atau, barangkali kau tidak doyan makanan kedai? Kau harus belajar hidup sederhana, lka...,"

   Lanjut Arumsari. Diliriknya sejenak gadis cantik di sampingnya.

   "Aku diam bukan karena itu, Eyang,"

   Sambut Dewi lkata sambil menatap wajah gurunya.

   "Lalu karena apa?"

   "Sudah beberapa candra aku ikut berkelana bersama eyang. Selama itu, banyak kujumpai orang orang jahat. Tidak hanya orang-orang kasar yang kata Eyang beraliran hitam, tapi juga orang terhormat pun seringkali berbuat jahat."

   Dewi Tangan Api tersenyum mendengar perkataan muridnya.

   "Itulah manusia, Ika. Manusia jahat tidak selamanya bertampang jahat. Seseorang yang kelihatannya baik dan berbudi kadang-kadang bisa berbuat lebih kejam. Demikian pula sebaliknya, orang yang tampak kasar dan berangasan terkadang justru orang yang sangat berbudi. Dunia ini luas. Orang-orang seperti itu tidak sedikit jumlahnya. Kau harus hati-hati agar tidak salah menilai."

   "Ya, Eyang. Aku mengerti. Tapi...."

   "Tapi apa?"

   "Apakah kita tidak jadi makan?"

   Arumsari mengembangkan senyum lebar.

   Digandengnya lengan Dewi Ikata untuk memasuki kedai makanan.

   Kedai itu tampak ramal Suasana pagi membuat orang-orang berkeinginan mencari sarapan.

   Tidak hanya para petualang yang kebetulan singgah, para kepala rumah tangga yang malas sarapan di rumah pun memadati ruangan kedai.

   "Uh! Ramai benar...,"

   Gerutu Dewi Ikata ketika sampai di ambang pintu. Belum sempat Arumsari berkata, seorang pelayan yang bertugas menyambut pengunjung datang mendekati.

   "Kedai ini memang selalu ramai. Tapi, jangan khawatir. Di dalam masih banyak kursi kosong,"

   Kata pelayan itu seraya mempersilakan Arumsari dan Dewi Ikata.

   Guru dan murid itu pun berjalan masuk.

   Ketika baru melangkah beberapa tindak dari pintu kedai, mereka berdua segera jadi bahan perhatian Terutama Dewi Ikata.

   Kecantikannya benar-benar mem-pesonakan semua lelaki yang berada di situ.

   "Berlakulah biasa saja, Ika. Jangan tatap pandangan mereka,"

   Bisik Arumsari kepada muridnya.

   Mereka segera mengambil tempat duduk yang telah ditunjukkan oleh pelayan.

   Dengan duduk berhadapan, mereka menantikan hidangan.

   Tempat duduk guru dan murid itu berada di tengah-tengah ruangan.

   Jadi, semua orang yang berada disitu dapat dengan leluasa memandang mereka.

   Arumsari menggerutu kecil.

   Dia merasa ditipu oleh pelayan tadi Katanya masih banyak kursi kosong, ternyata tidak.

   Karena rasa laparlah, nenek itu tak mempedulikan tatapan mata orang-orang.

   Berbeda dengan Dewi lkata, gadis cantik berumur tujuh belas tahun itu tak berani mengangkat wajah.

   Dia hanya menunduk sambil sesekali menatap wajah gurunya.

   "Kenapa pesanannya tidak datang-datang? Aku hampir tak tahan,"

   Kata gadis cantik itu pelan.

   "Bersabarlah, Ika. Sebentar lagi pasti datang. Kau sudah sangat lapar, ya?"

   "Bukan begitu, Eyang. Aku tak tahan dengan lalapan orang-orang yang ditujukan kepada diriku. Mereka menatapku seperti seekor harimau kelaparan.

   "

   "Tenanglah, Ika. Mereka tidak akan berani mengganggumu."

   Begitu kalimat Arumsari selesai, seorang pelayan datang dan segera meletakkan pesanan di atas meja.

   "Silakan...,"

   Kata pelayan itu.

   "Bila perlu sesuatu, .panggilah saya."

   Arumsari hanya mengangguk kecil melihat keramahan si pelayan.

   Dia memberi isyarat kepada muridnya untuk segera menikmati hidangan.

   Selagi mereka makan, seorang lelaki setengah baya yang duduk di pojok ruangan memperhatikan dengan kening berkerut.

   Rambut orang itu digelung ke atas, dan dijepit dengan gelang emas.

   Pakaiannya terbuat dari bahan mahal, tampak indah menempel di tubuhnya.

   Wajahnya halus.

   Pada bagian atas bibir dan dagu terlihat bekas cukuran yang membiru.

   "Melihat cara makan gadis itu, dia tentu seorang putri pejabat tinggi. Paling tidak dia pernah tinggal lama di istana. Tapi melihat kecantikan dan gerak-geriknya, kemungkinan pertamalah yang paling tepat..,"

   Gumam laki-laki itu dalam hati. Tatapannya kemudian dialihkan pada seorang pemuda tinggi tegap yang duduk di depan meja lain tak jauh darinya.

   "Branjang...,"

   Panggilnya dengan suara pelan. Yang dipanggil menoleh, dan segera menghampiri.

   "Ada apa, Tuan?"

   "Kau tahu gadis yang berpakaian putih-kuning itu?"

   "Yang duduk bersama nenek cantik itu?"

   "Ya,"

   Angguk lelaki setengah baya.

   "Ajak dia kemari. Katakan kalau seorang pembesar kerajaan mengundangnya."

   Mendengar perintah tuannya, pemuda yang dipanggil Branjang itu segera menghampiri Dewi Ikata.

   Disampaikannya pesan tersebut.

   Dewi Ikata tak mengeluarkan kata-kata.

   Gadis itu diam membisu.

   Sedangkan Arumsari yang turut mendengar perkataan Branjang segera menyambutj.

   "Untuk apa tuanmu mengundang muridku?"

   Tanya nenek itu.

   "Entahlah,"

   Jawab Branjang.

   "Mungkin hanya ingin bercakap-cakap."

   "Katakan kepadanya, muridku tidak biasa melayani orang usil macam tuanmu itu!"

   Ujar Dewi Tangan Api ketus. Mendengar perkataan itu, Branjang kembali menghadap tuannya dengan muka kusut.

   "Rupanya tempat ini tak baik untuk kita, Ika,"

   Kata Arumsari kepada muridnya.

   "Sebaiknya kita segera pergi."

   Setelah membayar makanan, mereka berdua hendak berlalu dari kedai. Tapi baru melangkah beberapa tindak dari ambang pintu, lelaki setengah baya yang undangannya ditolak mentah-mentah datang menghalangi.

   "Biarkan kami lewat...,"

   Kata Arumsari dengan suara berat.

   "Kalian telah menghinaku. Sebagai seorang pembesar kerajaan, aku mempunyai wewenang untuk menangkap kalian."

   "Huh! Melihat tampangmu, kau tentu pembesar yang biasa bertindak sewenang-wenang. Tapi, jangan harap kau dapat berbuat semaumu terhadap kami!"

   "Rupanya kau belum kenal siapa aku. Semua orang di kotapraja akan lari ketakutan bila melihatku sedang marah. Namaku Banaspati. Aku bergelar si Kepalan Baja."

   "Cih! Aku tak butuh tahu siapa dirimu!"

   Sentak Arumsari kasar sekali.

   "Keparat!"

   Umpat lelaki setengah baya yang mengenalkan dirinya sebagai Kepalan Baja.

   "Kau harus diajari sedikit sopan-santun, Nenek Bawel!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, Banaspati memberi isyarat kepada Branjang yang telah berdiri di sampingnya.

   Pemuda bertubuh tinggi tegap itu pun segera menerjang Arumsari.

   Wuuuttt...! Bogem mentah Branjang hanya mengenai angin kosong.

   Dewi Tangan Api menangkap perge-langan tangan pemuda bertubuh tinggi tegap itu Lalu, memelunCmya ke belakang.

   Branjang menjerit kesakitan.

   Kaki kanannya menyaruk-nyaruk tanah, berusaha melepaskan diri.

   Tapi, pegangan tangan Arumsari sekuat jepitan dua batang besi.

   "Justru aku yang akan mengajari sopan-santun kepada anak buahmu ini, Pembesar Edan!"

   Sambut nenek itu dengan suara lantang. Buuukkk...! Dewi Tangan Api menendang pantat Branjang, hingga tubuh pemuda itu mencelat sejauh dua tombak.

   "Apakah aku juga perlu mengajarimu sopan-santun?!"

   Tanya Arumsari kepada Banaspati.

   Pembesar kerajaan yang merasa dilecehkan itu pun menggeram gusar.

   Dengan sigap dia melayangkan kaki kanannya! Tangan kiri Arumsari bergerak menangkis.

   Banaspati merasakan tubuhnya bergetar dan berdiri sempoyongan.

   Kalau saja pembesar kerajaan itu mau tahu diri, pada gebrakan pertama ini seharusnya dia dapat mengukur kepandaian lawan yang berada jauh di atasnya.

   Tapi, manusia yang sudah terbiasa mengumbar hawa nafsu itu malah menggeram penuh kemarahan.

   "Sebelum aku menimpakan kepalan bajaku di kepalamu, katakan siapa namamu!"

   Ancam Kepalan Baja. Dewi Tangan Api tak memberikan jawaban. Dia menggandeng tangan muridnya untuk diajak pergi.

   "Bangsat!"

   Umpat Banaspati.

   "Kau terlalu memandang rendah kepadaku. Makan kesombonganmu!"

   Tubuh Kepalan Baja melayang lalu melancarkan tendangan ke punggung Dewi Tangan Api.

   Nenek itu hanya dengan memiringkan tubuhnya, serangan itu pun gagal.

   Tangan kanannya disentakkan untuk menggedor.

   Dhes...! Banaspati merasakan punggungnya bagai digedor palu godam.

   Tubuh pembesar kerajaan itu terhempas ke tanah.

   Umpatan kasar keluar dari mulutnya.

   "Aku tak berurusan denganmu! Kenapa kau mencari gara-gara?!"

   Kata Arumsari dengan mata mendelik.

   "Di antara kita memang tak ada urusan. Tapi, kau telah menghinaku. Aku masih bisa mengampunimu dan memperbolehkan kau pergi, asal gadismu itu kau tinggalkan!"

   Sahut Banaspati sambil mengibaskan bajunya yang kotor oleh debu.

   "Cih! Lelaki hidung belang sepertimu tak pantas menjadi pembesar kerajaan!"

   Maki Arumsari.

   Kepalan Baja menggeram gusar.

   Dengan penuh luapan kemarahan, diterjangnya Arumsari.

   Gerakannya cepat hingga sambaran tangannya menimbulkan deru angin, pertanda pukulan itu ber-lambarkan tenaga dalam.

   Jurus yang dimainkannya pun sangat berbahaya.

   Mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

   Tapi, yang sedang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan Arumsari telah kenyang makan asam-garam rimba persilatan.

   Tanpa sedikit pun merasa kesulitan, diladeninya serangan Banaspati.

   Bahkan, belum selesai satu jurus nenek itu dapat mendaratkan pukulan telak di dada lawan.

   Dhes...! Tubuh Kepalan Baja jatuh terjengkang.

   Dia mendekap dadanya yang terasa sesak.

   Matanya mendelik karena jalan napasnya hampir terhenti.

   Dewi Tangan Api melambati pukulannya dengan sepersepuluh dari tenaga dalamnya.

   Dia tak mau menjatuhkan tangan maut yang hanya akan menyulitkan diri sendiri.

   Membunuh seorang pembesar kerajaan sama saja dengan menciptakan suatu masalah.

   Arumsari dan Dewi lkata kemudian segera berlalu dari tempat itu.

   Langkah mereka menuju ke sebuah penginapan.

   "Kita belum puas berjalan-jalan, kenapa mesti pesan kamar?"

   Tanya Dewi lkata.

   "Baginda Prabu akan mengadakan pesta syukuran. Tentu banyak tamu yang diundang. Aku takut apabila tidak segera memesan kamar, kita tak bisa bermalam di sini,"

   Jawab Arumsari.

   "Kata Eyang, Baginda Prabu akan mengadakan pesta syukuran?"

   "Ya. Kerajaan Anggarapura berhasil memadamkan api pemberontakan. Untuk itu, Baginda Prabu merasa perlu mengadakan pesta syukuran. Intinya adalah untuk memanjatkan rasa terima kasih yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Kuasa."

   "Kapan itu, Eyang?"

   "Yang kau tanyakan pemadaman pemberontakan atau pesta syukurannya?"

   "Pestanya."

   "Besok malam. Biasanya di depan istana akan digelar tari-tarian dan berbagai pertunjukan lainnya. Kau bisa menonton sepuasmu, Ika...,"

   Ujar Arumsari lembut dan tampak memanjakan muridnya.

   "Aku tidak tertarik,"

   Gumam Dewi lkata perlahan.

   "Lho, kenapa? Kau takut akan berjumpa dengan lelaki kurang ajar?"

   "Tidak Pertunjukan seperti itu aku sudah sering menontonnya."

   "Oh, ya...,"

   Arumsari seperti baru sadar akan sesuatu.

   "Aku lupa kalau kau adalah putri seorang adipati.

   "

   "Itu dulu. Sekarang aku murid Eyang,"

   Mendengar perkataan muridnya, Dewi Tangan Api mengembangkan senyum lebar. Mereka berhasil mendapatkan sebuah kamar dengan tempat tidur yang empuk.

   "Pakaian bisa kita tinggal di sini, Ika. Kita akan segera jalan-jalan mengelilingi kota praja,"

   Ucap Arumsari. Tak lama kemudian mereka melanjutkan pelancongan. Ketika malam menjelang, guru dan murid itu telah kembali ke penginapan untuk melepas lelah.

   "Kau tidak tidur, Ika?"

   Tanya Arumsari melihat muridnya hanya duduk termenung di kursi. Dewi Ikata mendongakkan kepalanya. Gadis itu mendesah perlahan.

   "Kau rindu ayah-bundamu, Ika?"

   "Tidak"

   "Lalu kenapa?"

   "Aku hanya memikirkan kejadian tadi pagi."

   "Ah, hal seperti itu sudah biasa terjadi. Kau tak perlu memikirkannya."

   "Aku takut prajurit kerajaan akan mencari kita. Bukankah lelaki yang bernama Banaspati itu seorang pembesar kerajaan?"

   Arumsari hanya diam mendengar perkataan muridnya.

   *** Penginapan yang ditempati Arumsari dan Dewi lkata adalah salah satu dari tiga penginapan terbesar di kotapraja.

   Bangunannya bertingkat.

   Tersedia tidak kurang dari seratus kamar.

   Tentu saja tarifnya mahal untuk mengimbangi pelayanan yang memuaskan.

   Tapi, bagi guru dan murid itu tidak menjadi soal.

   Adipati Danubraja, ayah Dewi lkata, berkenan memberi bekal sekantong uang emas.

   Malam itu suasana penginapan tampak ramai.

   Banyak orang berlalu-alang di ruang depan yang luas.

   Seorang penerima tamu duduk santai menyelonjorkan kaki.

   Tugasnya menjadi ringan karena kamar telah habis.

   Berar dugaan Arumsari, bila tak memesan kamar lebih awal tentu tak akan dapat.

   Penginapan-penginiapan lainnya di kotapraja pun sama halnya.

   Rata-rata kamar telah habis terpesan.

   Rupanya, pesta syukuran yang akan digelar Baginda Prabu benar-benar menarik perhatian orang.

   Bukan hanya para undangan yang membanjiri kotapraja, para pelancong pun banyak yang datang.

   Ketika petang baru saja lewat, seorang penerima tamu yang berdiri di ambang pintu dikejutkan oleh kedatangan sepuluh orang prajurit.

   Mereka dipimpin oleh Banaspati.

   "Tuan Besar hendak melakukan pemeriksaan?"

   Tanya si penerima tamu setelah memberi hormat.

   "Tidak. Aku sedang mencari dua orang wanita,"

   Jawab Banaspati dengan suara angker.

   "Siapa nama mereka?"

   "Aku tidak tahu."

   Mendengar jawaban pembesar kerajaan itu, kening si penerima tamu berkerut.

   "Tamu yang menginap di sini banyak, Tuan Besar. Kalau tidak tahu nama dua wanita yang Tuan Besar cari, bagaimana mesti mencarinya?"

   "Aku akan menggeledah setiap kamar!"

   Banaspati langsung menerobos masuk Kening si penerima tamu semakin berkerut. Dia segera berlari untuk menemui tuannya. Seorang lelaki gemuk yang bagian perutnya tampak menggantung menyapa Kepalan Baja dengan ramah.

   "Tuan Banaspati rupanya...,"

   Ujar laki-laki itu seraya membungkukkan badan.

   "Ada yang bisa saya bantu?"

   "Aku tidak butuh bantuanmu. Aku bisa mengerjakannya sendiri!"

   Alis lelaki gemuk yang adalah pemilik penginapan itu terangkat Ditatapnya wajah Banaspati dengan pandangan tak mengerti.

   "Ah, Tuan Banaspati tak perlu report-repot turun tangan. Pekerjaku banyak. Mereka bisa membantu,"

   Ujar laki-laki itu lagi untuk mengambil hati Kepala Baja.

   "Sudah kubilang, aku bisa mengerjakannya sendiri!"

   Bentak Banaspali. Matanya melotot lebar. Dia segera memberi isyarat kepada kesepuluh prajuritnya agar menggeledah setiap kamar di penginapan itu.

   "Tunggu sebentar, Tuan...,"

   Cegah si pemilik penginapan.

   "Tidakkah lebih baik yang melakukan itu para pekerjaku? Saya takut para tamu terkejut dan merasa terganggu. Bila hal demikian terjadi, akan mengurangi citra penginapan ini"

   "Persetan dengan semua itu!"

   "Tapi, Tuan...."

   Banaspati mendengus.

   "Rupanya kau hendak menentangku. Apakah kau ingin penginapan ini ditutup?!"

   "Bukan begitu, Tuan. Tapi...."

   Kepalan Baja tak mempedulikan ucapan lelaki gemuk pemilik penginapan.

   Dia bersama para prajurit yang menyertainya segera melakukan penggeledahan.

   Tatap mata mereka yang bengis dan sikap yang kasar benar-benar mengejutkan para tamu.

   Bahkan, ada yang berlari ketakutan karena mengira sedang terjadi sesuatu yang gawat.

   Arumsari dan Dewi lkata yang kebetulan mendapat kamar di tingkat atas terkejut juga mendengar suara-suara gaduh.

   "Prajurit kerajaan sedang melakukan penggeledahan,"

   Beri tahu Dewi lkata kepada gurunya setelah menengok dari atas tangga.

   "Kau lihat pembesar kerajaan yang kita temui tadi pagi?"

   Tanya Arumsari.

   "Ya. Dia tampak marah-marah."

   "Uh! Jelas mereka mencari kita. Sebaiknya kita segera pergi. Berurusan dengan orang yang sering menyalahgunakan kekuasaan hanya akan menimbulkan kesusahan."

   Tanpa bertanya apa-apa, Dewi Ikata langsung mengemasi barang-barangnya yang tak seberapa banyak. Hanya beberapa helai pakaian dan perlengkapan perjalanan.

   "Jika kita lewat depan apakah memungkinkan, Ika?"

   Tanya Arumsari usai mengemasi barangnya sendiri.

   "Aku rasa tidak, Eyang. Seorang prajurit menjaga di bawah tangga."

   "Kalau begitu, kita keluar lewat jendela."

   "Jendela?"

   "Ya. Kenapa?"

   "Eyang lupa bila kita berada di tingkat atas?"

   "Tidak,"

   Jawab Dewi Tangan Api seraya membuka daun jendela. Nenek itu menatap wajah muridnya sejenak.

   "Aku akan melompat turun terlebih dahulu. Kau menyusul kemudian."

   Tanpa mengambil ancang-ancang, Arumsari meluncurkan tubuhnya ke tanah dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

   Hup...! Kaki nenek itu dengan sigap mendarat di tanah, tanpa menimbulkan suara apa pun.

   Padahal ketinggian jendela dengan permukaan tanah tidak kurang dari empat tombak Dewi lkata berdiri ragu di ambang jendela.

   Matanya nanar memandang ke bawah.

   "Cepatlah, Ika...,"

   Dewi Tangan Api mengerahkan ilmu mengirim suara jarak jauh yang membuat ucapannya tak dapat di dengar orang lain.

   Dewi lkata walaupun baru beberapa candra berguru kepada Arumsari, tapi sebagian ilmu kepandaian nenek Itu telah dia warisi.

   Yang membuatnya ragu adalah karena belum terbiasa melakukan sesuatu yang kadang-kadang dirasanya tidak masuk akal.

   "Cepatlah, Ika...,"

   Kata Dewi Tangan Api lagi.

   Mendengar perkataan gurunya yang tampak yakin akan kemampuannya.

   Dewi ikata langsung melompat.

   Gadis cantik itu mendarat dengan mulus, walau masih terdengar suara ketika kakinya mendarat di tanah.

   Guru dan murid itu kemudian berlari melompati pagar yang tak begitu tinggi.

   Langkah kaki mereka menuju ke utara.

   Dua lelaki tua berwajah seram yang duduk termenung di depan sebuah toko, tak jauh dari penginapan, tampak saling berbisik Mereka yang sejak pagi menguntit Arumsari dan muridnya bergegas berlari mengejar.

   Ketika sampai di perbatasan kotapraja yang sepi, di mana terdapat sebuah sungai kecil, Dewi Tangan Api menghentikan larinya.

   "Ada apa, Eyang?"

   Tanya Dewi Ikata heran. Arumsari tidak segera menjawab pertanyaan muridnya. Matanya bersinar aneh ketika tertimpa cahaya rembulan. Kepala nenek itu bergerak pelan untuk mempertajam pendengarannya.

   "Dua orang yang mengikutiku segera keluar dari tempat persembunyian kalian!"

   Tiba-tiba Dewi Tangan Api berteriak keras.

   Dua lelaki tua yang sedang bersembunyi di balik semak-semak tentu saja terkejut.

   Bukan saja langkah kaki mereka dapat didengar Arumsari.

   Tapi, nenek itu bahkan dapat menebak jumlah orang yang sedang mengikutinya.

   "Hei, kenapa kalian hanya bengong saja seperti maling takut dikejar anjing?!"

   Kata Arumsari lagi dengan suara lantang. Sekejap kemudian, dua sosok bayangan melayang di udara. Setelah bersalto, kedua sosok bayangan itu mendarat ringan di tanah.

   "Rupanya kalian ingin memamerkan kepandaian di hadapanku,"

   Ejek Dewi Tangan Api tak senang.

   Nenek itu menatap wajah dua orang yang telah berdiri tiga tombak dari hadapannya.

   Dibantu cahaya rembulan yang temaram, Arumsari dapat melihat wajah lelaki-lelaki tua yang penuh benjolan bisul-bisul.

   Hidung mereka tersamar oleh bisul-bisul.

   Cekungan matanya tertutup oleh daging yang menggelambir.

   Tubuh mereka pun sama kurus.

   Tapi, sikap berdiri mereka tegap dan tampak kuat mencengkeramkan kaki-kakinya di bumi "Yang hadir rupanya si Kembar Budukan,"

   Dewi tangan Api mengulum senyum.

   "Daya ingatmu ternyata masih tajam, Arumsari.

   "

   Ujar salah seorang dari dua lelaki tua berwajah seram.

   "Apa perlumu menguntitku?"

   Tanya Arumsari yang merasa heran melihat perbuatan Kembar Budukan. Tiba-tiba si Kembar Budukan tertawa terbahak-bahak.

   "Jangan main-main di hadapanku!"

   Bentak Arumsari. Salah seorang dari lelaki tua berwajah seram, yang mengenakan baju kuning, maju selangkah.

   "Tentunya kau tidak lupa peristiwa sepuluh tahun yang lalu di tepi sungai kecil di Lembah Tengkorak!"' katanya. Dewi Tangan Api menyeringai dingin.

   "Lalu, apa hubungannya kedatanganmu dengan peristiwa itu. Balas dendam? Ha-ha-ha...!"

   Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal. Dewi lkata yang berada di sampingnya buru-buru memegang lengan gurunya. Gadis cantik itu merasa khawatir sekali melihat keadaan Arumsari.

   "Jangan takut, Ika...,"bisik Arumsari kepada muridnya.

   "Wajah mereka memang seram, tapi kepandaian yang mereka miliki tidak seberapa,"

   Tambahnya penuh keyakinan.

   "Rupanya sifat sombongmu dari dulu tidak Juga hilang, Arumsari!"

   Sentak Kembar Budukan yang berbaju putih. Dewi Tangan Api hanya mendengus. Tapi, dia jadi terkejut ketika melihat lelaki budukan itu menggerak-gerakkan tubuhnya seperti belut menggeliat.

   "Kali ini jangan harap kau dapat lolos dari lubang kematian!"

   Lelaki berbaju putih kemudian menggeram keras dan menerjang Dewi Tangan Api.

   "Aku sudah bosan memberi ampunan kepada kalian. Kali ini justru aku yang akan membunuhmu!"

   Teriak Dewi Tangan Api seraya berkelit ke samping.

   Melihat serangan pertama gagal, si baju putih menggerak-gerakkan tubuhnya semakin aneh.

   Meliuk-liuk seperti tak punya tulang.

   Walaupun tampak ngawur, tapi Arumsari dapat merasakan sebuah serangan dahsyat ditujukan kepada dirinya.

   Zebs...! Dewi Tangan Api menangkis tendangan si baju putih.

   Tapi, lengan nenek itu terasa seperti membentur gedebong pisang.

   Yang lebih mengejutkan adalah ketika kaki lawannya menekuk dan berusaha menjepit lengan.

   Arumsari menarik lengannya.

   Gerakannya seperti orang yang merasa sangat jijik.

   "Ha-ha-ha...!"

   Si baju putih tertawa terbahak-bahak "Ilmu baruku kini akan segera mengirim nyawamu ke neraka, Arumsari!"

   "Kau Jangan terlalu yakin!"

   Bantah Dewi Tangan Api.

   Lalu, dilancarkannya serangan balasan dengan tak kalah dahsyat.

   Sementara itu, si baju kuning hanya berdiri terpaku di tempatnya.

   Matanya menatap tak berkedip.

   Bukan menyaksikan pertempuran seru yang sedang berlangsung, melainkan melihat Dewi lkata yang berdiri sambil mendekap mulutnya.

   Gadis berumur tujuh belas tahun yang belum lama terjun dalam rimba persilatan itu merasa ngeri melihat sepak terjang si baju putih dan gurunya.

   "Kenapa kau diam saja, Manis?"

   Tanya si baju kuning sambil berjalan mendekati. Dewi Ikata hanya menatap dengan sinar mata ngeri.

   "He-he-he...,"

   Si baju kuning terkekeh.

   "Kau cantik sekali, apakah kau murid Arumsari? Kalau memang begitu, kita bisa bermain-main sebentar."

   Si baju kuning tersenyum-senyum.

   Matanya mengedip penuh arti, membuat gelambir yang mencuat dari atas alisnya bergerak-gerak Tersiram cahaya rembulan, wajah lelaki budukan itu persis wajah iblis yang baru bangkit dari kubur.

   Ketika langkah kaki manusia berwajah seram ini telah dekat, Dewi Ikata bergerak mundur.

   Kengerian terbayang Jelas di matanya.

   Si baju kuning tertawa senang.

   Mendadak dia menerkam murid Dewi Tangan Api.

   Dewi Ikata berkelit ke samping.

   Kemudian, meloncat jauh.

   "Hei, Manusia Busuk! Hadapi saja diriku!"

   Teriak Arumsari di sela-sela pertempuran.

   "Uh! Nenek Cerewet! Aku saja sudah cukup. Biarkan saudaraku bersenang-senang,"

   Sambut si baju putih sambil melancarkan pukulan ke dada.

   Tangkisan yang dilakukan Dewi Tangan Api seperti membentur gedebong pisang.

   Mau tak mau nenek itu terperangah untuk kesekian kalinya.

   Dan ketika dia melihat Dewi Ikata sedang digempur telaki budukan berbaju kuning, geram kemarahan segera terdengar dari mulutnya.

   Serta-merta Arumsari mengerahkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'-nya Kedua tangan nenek itu merah membawa.

   Di-cecarnya lawan dengan hebatnya.

   Dalam keremangan malam, gerakan tangan Arumsari seperti dua batang tongkat mainan bercahaya merah yang meliuk dengan Indahnya.

   *** Siapakah sesungguhnya dua orang lelaki berwajah seram yang dipanggil Arumsari dengan sebutan si Kembar Budukan? Yang berbaju putih adalah Gisalimang.

   Sedang adiknya yang mengenakan baju kuning bernama Genthalimang.

   Ketika mereka masih muda wajah keduanya tidak seburuk itu.

   Bahkan, dapat dikatakan tampan.

   Tubuh mereka pun tinggi tegap.

   Mereka kemudian mengenal Arumsari muda yang cantik jelita.

   Ketiganya lalu bersahabat.

   Setelah waktu berlalu, rupanya kecantikan Arumsari sangat menarik simpati Gisalimang dan Genthalimang.

   Anehnya, mereka tidak bersaing untuk mendapatkan cinta Arumsari.

   Malah menyatakan perasaan mereka secara bersamaan.

   Arumsari yang menganggap mereka berdua tak lebih dari sekadar sahabat, menolak keinginan Gisalimang dan Genthalimang untuk menyuntingnya.

   Dua pemuda kembar itu jadi kecewa.

   Mereka tidak menganggap tolakan cinta Arumsari sebagai hal yang wajar.

   Bahkan sebaliknya, timbul amarah dan dendam karena dorongan rasa malu dan patah hari.

   Akhirnya, Gisalimang dan Genthalimang berusaha memaksakan kehendaknya.

   Namun, kepandaian Arumsari melebihi mereka berdua.

   Gisalimang dan Genthalimang -pun menelan pil pahit.

   Dalam suatu pertempuran mereka kalah lalu melarikan diri.

   Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu kembali.

   Karena sebuah tipu daya yang jitu, Arumsari terperangkap dalam jebakan di Lembah Tengkorak.

   Tapi Gisalimang dan Genthalimang tak menyangka kepandaian Arumsari telah berkembang pesat.

   Arumsari dapat meloloskan diri.

   Dalam keadaan tak berdaya, wajah Gisalimang dan Genthalimang dilumuri cairan Jamur beracun yang banyak tumbuh di Lembah Tengkorak.

   Hal itu sengaja dilakukan Arumsari.

   Ia jengkel dan sakit hati karena merasa dipermainkan.

   Wajah saudara kembar ltupun rusak.

   Selama bertahun-tahun mereka berusaha memperdalam ilmu untuk membalas dendam.

   Dan, di kotapraja itulah akhirnya mereka bertemu dengan Arumsari.

   *** Pertempuran antara Dewi Ikata dengan Genthalimang berjalan tak seimbang.

   Gadis cantik itu yang baru beberapa candra mengenal ilmu silat tentu saja kurang pengalaman.

   Kenyataan ini membuat Dewi Ikata terdesak hebat.

   Apalagi, kepandaian Genthalimang jauh di atas kepandaiannya.

   Genthalimang terus berusaha mempermainkan lawannya.

   "Kau sangat cantik, Manis. Tak baik memukul-mukul begitu. Menari saja di hadapanku. Aku akan senang. He-he-he...."

   Dewi Ikata tak memperhatikan ucapan lelaki berwajah seram itu. Dia berusaha keras dapat menyarangkan pukulan di tubuh lawan. Wuuuttt...! Tendangan Dewi Ikata yang luput segera disambut dengan tawa Genthalimang.

   "Ayo, menarilah, Manis. Nah, begitu baru bagus. Sekarang aku akan mengimbangi tarianmu...."

   Lelaki berwajah seram itu menggerakkan tangannya dengan cepat.

   Dewi Ikata pun tak mampu berkelit.

   Akibatnya....

   Bret...! Sengaja Genthalimang tak melukai gadis cantik itu.

   Dia hanya menjambret baju Dewi Ikata di bagian pundak hingga robek dua jengkal.

   Antara ngeri dan marah, gadis berumur tujuh belas tahun itu menggeram.

   Serangannya diperhebat, tanpa mempedulikan sebagian kulit putih mulusnya yang sudah terpampang.

   Tep...! Ketika Dewi Ikata melancarkan pukulan ke dada, Genthalimang menangkap pergelangan tangan gadis cantik itu.

   "He-he-he.... Kenapa meronta-ronta, Manis? Bukankah lebih enak bila menari sambil berperlukan?"

   Kata lelaki berwajah seram Hu. Arumsari yang melihat adegan tersebut segera melentingkan tubuhnya ke arah Genthalimang.

   "Lepaskan dia, Bangsat!"

   Teriaknya.

   Tapi, sebuah tendangan Gisalimang yang ber-lambarkan tenaga dalam penuh memapak gerakan Arumsari.

   Nenek itu menangkis dengan pukulan tangan kanan.

   Gisalimang terkejut bukan main.

   Tubuhnya terasa dialiri hawa panas yang luar biasa.

   Dia pun mundur beberapa tindak Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Arumsari.

   Diterjangnya Genthalimang yang sedang berusaha berbuat kurang ajar terhadap muridnya.

   "Hentikan...!"

   Teriak Genthalimang tiba-tiba. Arumsari yang sedang melancarkan pukulan mautnya ke kepala terpaksa menghentikan serangan. Jemari tangan Genthalimang menempel erat di leher Dewi Ikata.

   "Lepaskan dia!"

   Ujar Dewi Tangan Api dengan kemarahan meluap-luap.

   "He-he-he...,"

   Genthalimang tertawa terkekeh.

   "Rupanya kau sangat sayang kepada muridmu ini, Arumsari. Tapi, sebentar lagi dia tentu akan kubunuh!"

   "Bangsat! Kalau kau melakukan itu, akan ku-cincang tubuhmu menjadi serpihan daging untuk santapan cacing!"

   "Jangan banyak bacot kau, Nenek Cerewet! Kalau memang tidak ingin terjadi sesuatu pada muridmu itu, kau menyerahlah...,"

   Ujar Gisalimang yang sudah bisa menguasai keadaan dirinya.

   "Licik!"

   Umpat Arumsari seraya mendengus bagai seekor banteng terluka.

   "Baik, aku menyerah. Tapi, lepaskan muridku terlebih dahulu!"

   "Ha-ha-ha...!"

   Si Kembar Budukan tertawa bersamaan.

   Dewi Tangan Api bisa sedikit bernapas lega ketika melihat cengkeraman tangan Genthalimang di leher muridnya dilepaskan.

   Namun, secara tak diduga-duga Gisalimang melayang cepat dan melancarkan totokan ke punggung Arumsari! Nenek itu langsung lemas seketika dan jatuh terduduk di tanak "Ha-ha-ha...!"

   Tawa si Kembar Budukan membahana berkepanjangan.

   Dewi Ikata yang sudah terlepas dari cengkeraman Genthalimang menghambur ke arah gurunya.

   Mendadak Genthalimang bergerak cepat.

   Ditotoknya jalan darah di punggung gadis cantik itu.

   Dewi Ikata tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika tubuhnya terhuyung, dan jatuh ke dalam pondong-an Genthalimang.

   "Bangsat! Manusia Culas!"

   Umpat Arumsari melihat Genthalimang melarikan muridnya.

   Nenek itu menghentakkan kakinya ke tanah.

   Tubuh yang tadi tertotok pun mencelat dan berusaha mengejar Genthalimang.

   Tentu saja Gisalimang terkejut setengah mati melihat tindakan Dewi Tangan Api.

   Rasa heran timbul dalam hatinya.

   Totokan di tubuh Arumsari tiba-tiba telah bebas.

   Tapi, tanpa mau berpikir panjang lagi lelaki berwajah seram itu segera melancarkan pukulan jarak jauh! Terpaksa Arumsari menghentikan gerakannya ketika melihat sinar kekuningan memapaknya.

   Pukulan jarak jauh Gisalimang pun tak mengenai sasaran, dan menumbangkan sebatang pohon besar.

   Dewi Tangan Api menggeram.

   Tubuhnya kemudian di hemposkan kembali untuk mengejar Genthalimang yang menculik Dewi Ikata.

   Tapi, Gisalimang telah menghadang! "Iblis Keparat!"

   Umpat Arumsari seraya menerjang.

   Wuuuttt...! Ketika pukulan nenek itu tak mengenai sasaran, dia segera menyusuli serangannya dengan tendangan ke arah lambung.

   Tangkisan Gisalimang menimbulkan suara seperti gedebong pisang tersiram air panas.

   Pertempuran seru segera berlangsung kembali.

   Bagaimanakah Dewi Tangan Api bisa terbebas dari totokan Gisalimang? Hal itu sebenarnya tak pernah diduga oleh Gisalimang sendiri.

   Nenek itu memiliki ilmu aneh yang dinamakan ilmu 'Pemencar Jalan Darah.' Jadi, jalan darah di mana pusat kekuatan di tubuh Arumsari berada dapat dipindah-pindahkan.

   Dengan Ilmu aneh itu, dia menjadi tak mempan ditotok.

   Waktu nenek itu jatuh terduduk saat totokan Gisalimang dilancarkan, dia hanya pura-pura untuk mengecoh lawan.

   Tapi, Arumsari tak menyangka bila Genthalimang mau berbuat culas dengan menculik muridnya.

   Karena kemarahan yang meluap-luap, Dewi Tangan Api mencecar tubuh Gisalimang dengan serangan-serangan mematikan.

   Nenek itu memutar tubuhnya sambil melancarkan tendangan beruntun.

   Tendangan ketiga tak dapat ditangkis oteh Gisalimang.

   Kepalanya tertendang dengan telak! Tubuh lelaki berwajah seram itu berputar di tempatnya kemudian terlontar jauh.

   Tapi, dia segera bangkit seperti tak mengalami kejadian apa pun.

   "Lihat Malaikat Kematian yang akan menjemputmu!"

   Kata Dewi Tangan Api seraya melancarkan 'Pukulan Tangan Api'-nya.

   Blaaarrr...! Sinar kekuningan memapak serangan nenek itu.

   Ledakan dahsyat yang menimbulkan bola api besar menerangi gelap yang temaram.

   Tubuh Arumsari terdorong dua tindak ke belakang.

   Sedangkan Gisalimang terhempas dan jatuh bergulingan di atas tanah.

   Rupanya, tenaga dalam Dewi Tangan Api lebih unggul dua tingkat di atas lelaki berwajah seram itu.

   "Kini Malaikat Kematian benar-benar akan menjemputmu!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Arumsari melayang ke arah Gisalimang yang masih tergeletak di tanah! Telapak kaki kanan nenek itu mendarat tepat di dada lawan.

   Mata Gisalimang mendelik, merasakan dadanya yang blong.

   Kepalanya terangkat.

   Setelah itu, terkulai di tanah tanpa sempat mengeluarkan suara jeritan.

   Arumsari mengambil napas panjang.

   Tapi, bola matanya bergerak nanar.

   "Genthalimang Keparat! Kembalikan muridku!"

   Teriak nenek itu tiba-tiba.

   Tubuhnya dilesatkan ke arah larinya Genthalimang.

   Hanya dibantu cahaya rembulan yang temaram, Dewi Tangan Api berlari tanpa mengenal lelah.

   Berkali-kali dari mulutnya keluar teriakan kemarahan.

   Hingga sepeminum teh kemudian Arumsari rianya berlari tanpa tahu ke mana harus mencari.

   Tapi dia tak mau putus asa.

   Setelah kotapraja di-kitarinya, nenek itu menyusuri tepian sungai.

   Sementara itu, Genthalimang sebenarnya masih berada tak begitu jauh dari arena pertempuran.

   Dia hendak menunggu kedatangan saudara kembarnya, yang dia kira akan segera dapat menghabisi riwayat Arumsari.

   Namun ketika lelaki berwajah seram itu mendengar teriakan Arumsari yang sedang mencarinya, sadarlah dia kalau saudara kembarnya telah mati di tangan nenek itu.

   Maka, Genthalimang segera menyelinap di semak-semak gelap.

   Dia sadar sepenuhnya kalau kepandaiannya belum dapat menandingi kepandaian Dewi Tangan Api.

   Setelah menunggu beberapa lama dan melihat Arumsari menyusuri tepian sungai, Genthalimang bergegas menggendong tubuh Dewi Ikata kembali.

   Dibawanya menuju ke sebuah rumah tak berpeng-huni di pinggir kotapraja.

   Bruk...! Genthalimang melemparkan tubuh Dewi Ikata ke lantai.

   Gadis itu cuma dapat mendelik marah.

   Tubuhnya tiada berdaya apa-apa akibat pengaruh totokan.

   Mulutnya pun disumpal dengan kain.

   "Kau berbaringlah di situ terlebih dahulu, Manis. Aku akan membuat perapian,"

   Kata Genthalimang sambil tersenyum-senyum.

   Laki-laki itu mengambil batu api dari balik bajunya.

   Tak lama kemudian, ruangan rumah tak berpenghuril itu pun tak gelap lagi.

   Dengan tertawa terkekeh, Genthalimang menatap tubuh Dewi Ikata yang tergeletak di lantai.

   Gadis cantik itu bergidik ngeri melihat keseraman wajah Genthalimang.

   "He-he-he.... Kau takut kepadaku, Manis?"

   Kata Genthalimang sambil berjalan mendekati.

   "Ketahuilah, wajahku bisa berupa seperti ini akibat perbuatan gurumu, si Arumsari keparat itu!"

   Bola mata Dewi Ikata bergerak nanar ketika Genthalimang membongkokkan badan di dekatnya. Lelaki berwajah seram itu memegang dagu Dewi Ikata. Matanya yang sebagian tertutup gelambir daging, menatap wajah gadis cantik itu.

   "Aku tidak bisa membalaskan dendam kesumatku kepada gurumu. Tapi, tak jadi apa. Kau akan menjadi gantinya, Manis. He-he-he...."

   Dewi Ikata berusaha menggerakkan tubuhnya karena desakan rasa ngeri. Namun usahanya sia-sia belaka. Hanya kepalanya yang menggeleng lemah.

   "Aku bukan hanya akan mencabik-cabik wajahmu, tapi juga sekujur tubuhmu!"

   Genthalimang memperlihatkan kuku-kuku jari tangannya yang panjang kehitam-hitaman.

   Mendadak, jari tangan itu bergerak ke bawah.

   Dan...

   Bret...! Baju Dewi Ikata yang telah robek semakin robek lebar.

   Genthalimang mendengus, melihat sebagian kulit dada Dewi Ikata yang masih tertutup kain putih berenda.

   Lelaki berwajah seram itu lalu tertawa senang.

   "Rupanya kau sangat memperhatikan kerapian, Manis. Tapi, boleh kan bila aku melihat keindahan kulitmu sebelum aku menghancurkannya?"

   Bret...! Jemari tangan Genthalimang bergerak. Dan, terpampanglah sebuah pemandangan menakjubkan yang sanggup menaikturunkan jakun lelaki berwajah seram itu.

   "Uh...! Uh...!"

   Hanya suara keluhan yang keluar dari mulut Dewi Ikata. Rasa ngeri semakin membayang di mata gadis cantik itu. Napas Genthalimang terdengar memburu. Matanya memandang tubuh bagian atas Dewi Ikata yang telah telanjang dengan tanpa berkedip.

   "Kau sangat menarik, Manis...."

   Jemari tangan lelaki berwajah seram itu bergerak lincah, menggerayang ke setiap lekuk liku keindahan tubuh Dewi Ikata.

   Semakin lama gerakan Genthalimang semakin kasar.

   Seiring dengus napasnya yang semakin memburu akibat nafsu yang menggelora.

   Dewi Ikata hanya dapat memejamkan mata.

   Perlahan-lahan mutiara bening bergulir ke pipinya.

   Mendadak Genthalimang mendekap tubuh gadis cantik itu.

   Diciumnya bibir Dewi Ikata....

   *** Kapi Anggara bersama lima prajurit kerajaan mendapat tugas dari Baginda Prabu untuk memeriksa setiap pelosok kotapraja.

   Raja yang arif bijaksana itu mengkhawatirkan adanya gerakan dari orang-orang yang simpati kepada Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dan Pengemis Baju Hitam.

   Pemuda tampan yang biasa disebut si Pendekar Asmara itu berusaha melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik mungkin.

   Dengan menunggang kuda bersama para prajurit, mereka mengelilingi kotapraja.

   "Pesta syukuran akan diadakan besok malam. Sebenarnya tugas kita sangat berat Kita tak mengetahui ciri-ciri orang yang harus kita curigai,"

   Kata Kapi Anggara kepada seorang prajurit yang berkuda di sebelahnya.

   "Yah, semoga saja tak terjadi suatu apa,"

   Sahut prajurit itu.

   "Malam ini langit tampak eerah. Aku harap besok demikian pula,"

   Gumam Kapi Anggara seraya mendongakkan kepalanya menatap kekelaman langit di atas sana.

   Sambil berkata-kata, enam orang penunggang kuda itu terus bergerak pelan.

   Ketika sampai diseberang jalan kecil yang terdapat pohon trembesi tua, rombongan itu menghentikan langkah kuda.

   Kapi Anggara melihat sebuah rumah tua yang hampir roboh.

   Ada sorot cahaya perapian keluar dari jendela yang sudah tak berdaun.

   "Coba kalian periksa rumah itu!"

   Perintah Kapi Anggara kepada dua orang prajurit kerajaan.

   Dengan sigap, dua pemuda bertubuh kekar itu menghentak tali kendali kuda.

   Ketika mereka sampai di tempat yang dituju, lewat pintu yang Juga sudah tiada berdaun, mereka terkejut menyaksikan sebuah pemandangan yang menjijikan.

   Di dalam rumah yang sudah tak berpenghuni itu terlihat manusia berwajah seram sedang menciumi seorang gadis yang tergeletak lemah di lantai.

   "Hai, apa yang kau lakukan?!"

   Teriak salah seorang prajurit yang berada di depan.

   Tentu saja lelaki yang sedang berusaha melampiaskan nafsunya itu terkejut.

   Dia segera meloncat dan menggeram berkepanjangan.

   Ketika melihat jelas wajah lelaki itu, dua perajurit kerajaan bergidik ngeri.

   "Kau... kau siapa?"

   Tanya salah seorang prajurit. Lelaki berwajah seram yang tak lain Genthalimang itu menggeram semakin keras.

   "Pergi kau!"

   Teriaknya sambil menudingkan jari telunjuk.

   Genthalimang menendang batu sebesar kepalan tangan yang berada di depan kakinya! Prajurit yang berada di depan, karena tak menduga akan datangnya serangan, tak sempat menghindar lagi.

   Tapi, sebuah bayangan berkelebat dan menyampok luncuran batu.

   Kapi Anggara berdiri dengan gagah menatap tajam wajah Genthalimang.

   "Manusia Busuk! Rupanya kau hendak berbuat biadab!"

   Hardik pemuda tampan itu.

   Genthalimang cuma mendengus.

   Tanpa berkata-kata diterjangnya si pengacau yang telah menggagalkan niatnya pada Dewi Ikata.

   Kapi Anggara menggerakkan tubuhnya ke samping, menghindari pukulan.

   Lalu dilancarkan tendangan berputar.

   Sayang, tendangan itu hanya mengenai angin kosong.

   "Katakan siapa dirimu, Manusia Busuk!"

   Bentak si Pendekar Asmara.

   "Apa perlunya kau menanyakan itu?!"

   Sahut Genthalimang tak kalah sengit.

   "Bangsat! Kau memang pantas disekap dalam ruang bawah tanah sebagai santapan tikus!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, Kapi Anggara melancarkan pukulan ke dada.

   Zebs...! Pemuda tampan itu terkejut bukan main.

   Ketika tangan Genthalimang menangkis, pukulannya seperti membentur gedebong pisang.

   Tapi, pendekar yang sudah cukup matang pengalaman itu tak terpaku dalam keterkejutannya.

   Dia segera melancarkan serangan lanjutan.

   Lima orang prajurit kerajaan ikut membantu.

   "Huh! Apa perlunya kalian mengeroyokku?!"

   Kata Genthalimang sambil menghindari serangan.

   "Tidakkah kau lihat bahwa kami prajurit kerajaan yang bertugas menangkap orang-orang semacammu!"

   Ucap salah seorang prajurit dengan beraninya.

   Genthalimang segera memutar tubuhnya.

   Dia berusaha menyarangkan tendangan ke tubuh Kapi Anggara.

   Tapi, pada saat itu Kapi Anggara telah mempersiapkan sebuah serangan mendadak Ketika kaki kanan Genthalimang meluncur ke dadanya, pemuda tampan itu tak bergerak menghindar.

   Lalu, secara tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya! Bunga kenanga yang merupakan senjata andalannya menancap di pangkal paha Genthalimang.

   Lelaki berwajah seram itu tentu saja menjerit kesakitan.

   Bola matanya bergerak nanar.

   Ketika melihat tidak ada kemungkinan untuknya memenangkan pertempuran, Genthalimang menghem-poskan tubuhnya berusaha melarikan diri.

   "Hei, mau lari ke mana kau?!"

   Teriak Kapi Anggara seraya melontarkan bunga-kenanga mautnya. Zebs...! "Argh...!"

   Punggung Genthalimang yang menjadi sasaran. Tapi, manusia buruk rupa itu tak mempedulikan luka yang dideritanya. Dia lari terbirit-birit bagai orang dikejar setan. Lima orang prajurit kerajaan berusaha untuk mengejar.

   "Biarkan dia pergi...,"

   Cegah Kap Anggara.

   "Lebih baik kita segera menolong gadis yang tak berdaya itu."

   "Tapi, lelaki tadi jelas orang jahat,"

   Bantah salah seorang prajurit.

   "Tak perlu kau risaukan. Dia hanya penjahat biasa. Pesta syukuran tak akan diganggu oleh orang semacam dia,"

   Sahut si Pendekar Asmara meyakinkan. Pemuda tampan itu lalu berjalan mendekat Dewi Ikata yang sedang mengucurkan air mata sebagai pelampiasan rasa syukur.

   "Tak perlu takut, aku berniat menolongmu,"

   Kata Kapi Anggara seraya melepas kain yang menyumpal mulut Dewi Ikata.

   Setelah tatokan di punggungnya dibebaskan, gadis cantik yang hampir saja kehilangan kehormatannya itu menangis tersedu-sedu sambil menutupi bagian rubuhnya yang terbuka.

   Kapi Anggara melepas mantel yang dikenakannya.

   Lalu, disodorkannya kepada Dewi Ikata.

   "Pakailah...,"

   Kata pemuda tampan itu. Mau tak mau Dewi Ikata menerima kebaikan Kapi Anggara.

   "Te... terima kasih...,"

   Ucapnya di sela-sela tangisnya.

   "Sudahlah,"

   Si Pendekar Asmara menenangkan.

   "Bahaya sudah lewat. Aku akan mengantarmu pulang."

   "Terima kasih...."

   "Di mana tempat tinggalmu? Aku akan mengantarmu sekarang juga."

   Dewi Ikata menggelengkan kepalanya.

   "Kau tidak punya tempat tinggal?"

   Tanya Kapi Anggara seraya menatap wajah Dewi Ikata dalam-dalam.

   "Tidak,"

   Jawab gadis berumur tujuh belas tahun itu. Dia sedang menuruti nasihat gurunya, agar tak membeberkan siapa jati dirinya kepada sembarang orang. Kening si Pendekar Asmara berkerut.

   "Gadis secantik dan seanggun ini paling tidak pastilah putri seorang demang atau adipati. Tapi, kenapa dia bilang tak bertempat tinggal?"

   Kata pemuda tampan itu dalam hati.

   "Ah, hal ini malah kebetulan. Aku bisa mengajaknya ke istana..."

   Kapi Anggara tersenyum-senyum sendiri.

   "Namamu siapa?"

   Tanya pemuda tampan itu kemudian.

   "Dewi Ikata."

   "Ehm... sebuah nama yang bagus. Kalau kau tidak punya tempat tinggal, kau bisa ikut aku ke istana." 'Tidak!"

   Mendengar jawaban Dewi Ikata yang tegas, Kapi Anggara mengangkat kedua alisnya.

   "Kenapa?"

   Tanya pemuda tampan itu.

   "Aku harus mencari guruku,"

   Jawab Dewi Ikata pelan.

   "Siapa nama gurumu?"

   "Arumsari."

   "Dewi Tangan Api?"

   "Ya."

   Kapi Anggara menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tak menyangka kalau gadis yang tampak lemah ini ternyata murid seorang tokoh yang sudah cukup ternama di rimba persilatan.

   "Kalau kau memang benar mund Arumsari, kenapa bisa orang buruk rupa tadi berbuat tak senonoh kepadamu?"

   Tanya si Pendekar Asmara heran. Bahkan, setengah tak percaya. Karena merasa telah berhutang budi kepada pemuda tampan itu, Dewi Ikata lalu menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya.

   "Jadi, saat ini gurumu kemungkinan besar sedang mencarimu?"

   Tanya Kapi Anggara. Dewi Ikata menganggukkan kepalanya.

   "Aku akan membantumu untuk mencari gurumu itu besok,"

   Kapi Anggara menawarkan jasa baiknya.

   "Tidak. Aku akan mencarinya sekarang."

   Dewi Ikata bangkit dari duduknya. Tapi, tubuhnya terhuyung-huyung.

   "Tubuhmu masih lemah. Kau lihat juga, hari masih malam."

   Dewi Ikata tak mempedulikan ucapan si Pendekar Asmara. Dia berjalan keluar dari rumah tak ber-penghuni itu. Lima prajurit kerajaan menatapnya tak mengerti. Tiba-tiba si Pendekar Asmara meloncat. Dihalanginya langkah Dewi lkata.

   "Aku akan membantu mencari gurumu sekarang,"

   Katanya sambil mengulum senyum.

   "Tuan tidak perlu bersusah-susah-Terima kasih atas segala kebaikan Tuan."

   "Jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan' Namaku Kapi Anggara. Aku akan membantumu. Berbahaya seorang gadis berjalan seorang diri di malam gelap seperti ini "

   Pemuda tampan itu lalu meloncat ke punggung kuda, setelah melepas tali kendali yang di katkan ke balok kayu bekas tiang pagar.

   "Segeralah kau naik di belakangku,"


Pendekar Rajawali Sakti Teror Topeng Merah Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat

Cari Blog Ini