Ceritasilat Novel Online

Malaikat Bangau Sakti 1


Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti Bagian 1


MALAIKAT BANGAU SAKTI Serial Pengemis Binal Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Penyunting.

   Tuti S, Ide cerita oleh S.

   Pranowo Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal dalam episode.

   Malaikat Bangau Sakti 128 hal.

   Ketika sang bayu berhembus kencang, de-bur ombak bergulung membentuk julangan tinggi bagai mulut raksasa.

   Suara yang ditimbulkan le-bih menggiriskan dari auman seribu harimau.

   Ge-lombang besar bergulung-gulung menghantam karang terjal yang menjorok ke dalam laut.

   Dewi Ikata duduk di hamparan pasir pan-tai.

   Mata gadis cantik itu tampak sembab dan memerah.

   Rambut serta pakaiannya telah basah oleh siraman air laut yang terbawa hembusan an-gin.

   "Maafkan aku, Suro...,"

   Desis Dewi Ikata lirih.

   "Aku dan Kapi Anggara tak mempunyai hubungan apa-apa. Aku berhutang budi kepadanya. Karena itulah aku tak bisa menolak persahabatan yang dia ulurkan. Tapi, hubunganku dengan dia tak lebih dari itu...."

   Putri Adipati Danubraja itu berkata-kata seorang diri. Sinar mentari menyengat kulitnya yang halus. Tapi, tampaknya dia tak peduli.

   "Aku tak pernah lupa pada janji kita, Suro. Kau tak perlu meragukan cintaku. Aku akan me-rasa sangat bahagia bila dapat hidup bersamamu. Kau baik, perkasa, tampan, dan lucu. He-he-he...."

   Dewi Ikata tertawa seperti sedang menyak-sikan sebuah adegan lucu.

   Kedua kakinya yang berselonjor dihentak-hentakkan, hingga butiran pasir berhamburan Kemudian, dia bangkit dan berjalan me-naiki sebongkah batu karang besar.

   Ketika angin berhembus lebih kencang, tubuh gadis itu terhuyung-huyung.

   Tak ada rasa giris membayang di matanya.

   Padahal di kiri-kanannya laut mengan-ga lebar, menjanjikan kematian bagi siapa saja yang jatuh ke dalamnya.

   "Oh, Dewata Yang Agung..., adakah kekua-tan yang melebihi kedahsyatan cinta sepenuh ha-ti?!"

   Teriak Dewi Ikata dengan suara lantang. Kedua tangannya dibentangkan ke atas seperti se-dang mengiba.

   "Cinta menggelora yang menghentak dalam hati melebihi tiupan angin topan. Pa-nas membakar, membuat jiwa laksana tenggelam dalam magma. Kekuatan cinta merubah wajah Dewa Maut jadi lembut dan penuh welas-asih. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bi-la cinta telah terhempas rasa kecewa..."

   Gadis cantik itu menurunkan kedua tan-gannya, lalu berjalan tiga tindak. Dia berhenti persis di tepi karang. Ditatapnya deburan ombak yang memukul-mukul kaki karang jauh di ba-wahnya.

   "Bila cinta telah terhempas rasa kecewa, kematian memang patut untuk dirindukan...."

   Dewi Ikata memejamkan mata.

   Jiwanya melayang dalam keheningan.

   Seiring dengan anak-anak rambutnya dipermainkan sang bayu, ingatan gadis cantik itu terbang ke masa-masa indah yang pernah dirasakan bersama kekasih-nya.

   Bibir Dewi Ikata menyunggingkan senyum, kemudian berubah menjadi tawa keras.

   Tubuh-nya sampai berguncang-guncang.

   Tiba-tiba dia meloncatkan tubuhnya meluncur deras menuju gulungan ombak ganas.

   Malaikat Kematian pun membentangkan kedua tangannya! Tak ada jerit yang terlontar dari mulut ga-dis cantik itu.

   Luncuran tubuhnya begitu cepat hingga membuatnya jatuh pingsan.

   Weeesss...! Mendadak sesosok bayangan hitam me-nyambar tubuh Dewi Ikata.

   Bayangan hitam yang adalah seorang tokoh bernama Perangai Gila itu meluncur turun ke atas permukaan air, lalu me-lompat-lompat di atas lidah ombak.

   Sambil me-manggul tubuh Dewi Ikata, dia melesat menuju Pulau Hitam.

   Walaupun kaki Perangai Gila hanya bera-laskan sebatang kayu tipis selebar telapak ka-kinya, tapi dia sanggup bertahan untuk tak tenggelam.

   Padahal gulungan-gulungan ombak begitu besar.

   Dengan gerakan ringan dia meloncat tinggi, dan mendarat di atas air tanpa mengalami kesulitan.

   Tubuh Perangai Gila meluncur semakin cepat.

   Ketika kakinya telah menginjak hamparan pasir pantai, dia melonjak-lonjak seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan.

   "Eaaa...! Eaaa...! Kini aku tak sendiri lagi. Ada kelinci manis yang akan menemani. Oh, Pen-guasa Alam Semesta, baru sekarang aku merasa bahagia!"

   Sambil berteriak-teriak macam orang kesu-rupan, Perangai Gila melonjak-lonjak semakin cepat. Tanpa terasa tubuhnya terlontar tinggi se-tinggi pohon kelapa.

   "Uh...!"

   Dewi Ikata yang berada dalam pondongan manusia kurang waras itu tersadar dari pingsan-nya. Ketika merasakan tubuhnya melayang-layang, dia pun terkejut dan menjerit keras-keras.

   "Hei...! Rupanya kau telah bangun dari ti-durmu, Manis...,"

   Kata Perangai Gila.

   Diturun-kannya tubuh Dewi Ikata di atas hamparan pasir.

   Selagi gadis cantik itu duduk bersimpuh memikirkan apa yang baru saja dialaminya, Pe-rangai Gila berlari-lari kecil mengitari.

   Mendadak, Dewi Ikata tertawa keras.

   Perangai Gila terperangah, ditatapnya wajah Dewi Ikata dalam-dalam.

   "Kenapa kau tertawa?"

   Tanya Perangai Gila keheranan. Dewi Ikata tak menjawab. Dia balas mena-tap. Diperhatikannya wajah wanita keriput yang berdiri terbongkok di hadapannya.

   "Ha-ha-ha...!"

   Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak.

   "Wajah Malaikat Kematian ternyata sangat lucu! Pipinya kasar macam parutan kelapa. Giginya ompong. Dan, matanya itu.... Hiii... Seperti mata ikan. Ha-ha-ha...."

   Mendengar itu, Perangai Gila mendengus. Lalu, telapak tangan kanannya digerak-gerakkan di depan mata Dewi Ikata.

   "Kau sinting?"

   Tanya Perangai Gila kemudian.

   "Kau yang sinting!"

   Tuding Dewi Ikata.

   "Ha-ha-ha...!"

   Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.

   "Kau jangan ingkar. Akui saja kalau kau sinting!"

   "Ya. Aku sinting!"

   Entah mengapa, Dewi Ikata mengakui tuduhan Perangai Gila.

   "Sama!"

   Dewi Ikata dan Perangai Gila tertawa ber-samaan. Dua wanita itu saling tuding. Mereka terus tertawa sampai meneteskan air mata.

   "Sekaranglah aku bisa merasakan kebaha-giaan yang sesungguhnya...,"

   Kata Perangai Gila seraya memegang kedua bahu Dewi Ikata.

   Tiba-tiba....

   Tubuh gadis cantik itu dilon-tarkan ke atas hingga melebihi ketinggian dua pohon kelapa! Tapi bukan rasa ngeri yang mem-bayang di mata Dewi Ikata, melainkan rasa gem-bira yang meluap-luap.

   Bahkan gadis cantik itu tertawa semakin keras! Ketika tubuh Dewi Ikata meluncur jatuh ke hamparan pasir, Perangai Gila dengan sigap me-nyambutnya.

   Dipegangnya kedua kaki gadis can-tik itu lalu diayunkan hingga menyerupai kitiran.

   Jerit kecil keluar dari mulut Dewi Ikata.

   Dia segera memejamkan mata merasakan putaran bumi bergerak semakin cepat.

   Napas gadis cantik itu hampir berhenti mendadak ketika ayunan tangan Perangai Gila bertambah liar.

   Kalau saja Dewi Ikata pernah tidak berlatih untuk menya-lurkan hawa murni, darahnya tentu akan bergo-lak dan muncrat dari mulut, lubang hidung, dan telinga! Mendadak, tubuh Dewi Ikata dilemparkan ke tengah laut! Gadis cantik itu dalam sekejap lenyap tertelan gulungan ombak.

   Perangai Gila me-natap sejenak.

   Lalu wanita kurang waras itu me-lesat bagai anak panah lepas dari busur.

   Byuuurrr...! Ombak besar menenggelamkan tubuh Pe-rangai Gila.

   Dalam genangan air laut yang begitu luas, wanita kurang waras itu membuka mata lebar-lebar berusaha mencari tubuh Dewi Ikata.

   Ketika didapatinya gadis cantik itu sedang menggapai-gapai hendak mencapai permukaan air, Perangai Gila memegang kedua kaki Dewi Ika-ta.

   Gadis cantik itu meronta merasakan paru-parunya hendak meledak karena kehabisan uda-ra.

   Tapi, Perangai Gila malah berusaha meneng-gelamkan tubuh Dewi Ikata! Air laut mulai terminum gadis yang sudah tak berdaya itu.

   Perlahan-lahan rontaan tubuh-nya melemah.

   Maut pun telah menanti Pada saat Dewi Ikata berada pada titik ak-hir kemampuannya untuk mempertahankan nyawa, mendadak tubuhnya mencelat.

   Terlihatlah Perangai Gila mendorong tubuh Dewi Ikata.

   Bruuukkk...! Gadis cantik itu terbanting keras di atas hamparan pasir dalam keadaan telentang.

   Napas-nya megap-megap seperti seekor ikan terlalu lama di darat.

   Perangai Gila menatap tanpa rasa belas kasihan.

   Bahkan, dia tertawa terbahak-bahak memperlihatkan giginya yang ompong.

   Kemudian, wanita kurang waras itu berja-lan mendekati tubuh Dewi Ikata.

   Diinjaknya perut gadis itu! Hoeeekkk...! Air asin menyembur dari mulut Dewi Ikata.

   Perangai Gila memonyongkan bibirnya.

   Kembali diinjaknya perut Dewi Ikata semakin keras.

   Ber-samaan air asin yang menyembur semakin ba-nyak dari mulutnya, Dewi Ikata meronta merasa-kan sakit yang luar biasa! "Ha-ha-ha...!"

   Tawa Perangai Gila terbawa hembusan an-gin laut.

   Disambarnya bahu Dewi Ikata, lalu me-loncat tinggi-tinggi.

   Bluuusss...! Dari atas tubuh Dewi Ikata dilemparkan hingga amblas ke dalam pasir.

   Dengan satu kiba-san tangan kiri, kubangan pasir yang terbentuk dari luncuran tubuh Dewi Ikata tertutup dan memadat.

   Tinggal kepala Dewi Ikata yang me-nyembul di permukaan pasir.

   Dan kemudian, sambil tertawa keras Pe-rangai Gila berlalu dari tempat itu.

   "Kau... jangan pergi...!"

   Dengan susah payah Dewi Ikata mencoba mencegah kepergian wanita kurang waras itu.

   Ta-pi Perangai Gila tak peduli.

   Dia terus berjalan me-lenggang-kangkung.

   Mata Dewi Ikata pun mendelik.

   Dia hendak mengumpat, namun suaranya tersekat di tenggo-rokan.

   Gadis cantik itu lalu mengerahkan sisa tenaganya untuk melepaskan diri dari kubangan pasir.

   Tapi usahanya tidak berhasil.

   Dewi Ikata menjerit seraya menggelengkan kepala melihat beberapa ekor ke piring kecil merayap mendekatinya! Dengan gelengan kepalanya, coba diusir binatang laut yang terlihat sangat mengerikan itu.

   Dewi Ikata terkejut setengah mati.

   Leher-nya pedih seperti tertancapi sebatang jarum.

   Dia pun menggerakkan kepalanya semakin keras.

   Seekor kepiting kecil tak mau berhenti menan-capkan ujung kakinya yang runcing.

   Bersamaan dengan itu, kepiting-kepiting kecil lainnya mulai merayap ke wajah Dewi Ikata.

   Gadis cantik itu pun menjerit-jerit ngeri.

   Tapi, suaranya hilang tersapu desau angin laut Di langit yang biru cahaya sang baskara menyengat semakin panas.

   Angin berhembus kencang.

   Debur ombak pun semakin ganas.

   Ber-gerak bagai kibasan tangan raksasa.

   Dilihat dari kejauhan, pulau kecil yang ter-letak di tengah lautan itu membiaskan warna hi-tam.

   Butiran-butiran pasir yang menghampar berwarna gelap.

   Karang terjal yang menjulang tinggi pun ditumbuhi lumut hijau tua.

   Karena itu-lah pulau tersebut dinamakan Pulau Hitam.

   Daratannya sangat tandus.

   Hanya lumut dan bermacam-macam jamur yang tumbuh.

   Teb-ing karang bertonjolan tajam seperti mata pedang.

   Tak ada manusia yang mau tinggal di tempat itu, selain Perangai Gila.

   Seorang tokoh tua nomor wahid yang telah bosan malang-melintang di rim-ba persilatan.

   Walaupun tindak-tanduknya mirip orang kehilangan ingatan, tapi ketinggian ilmunya sangat sulit untuk diukur.

   Bertahun-tahun sudah tokoh itu tinggal di Pulau Hitam.

   Ketika dia sedang berburu ikan, dilihatnya tubuh Dewi Ikata meluncur deras dari tebing karang.

   Hati Perangai Gila tergerak untuk menolong.

   Dibawanya gadis itu ke Pulau Hitam di mana dia tinggal Perangai Gila melihat sikap gadis cantik yang ditolongnya tampak aneh, mirip orang sinting.

   Dia pun merasa senang.

   Timbul keinginan dalam hatinya untuk mengangkat Dewi Ikata se-bagai murid.

   Jadi, apa yang dilakukan Perangai Gila terhadap Dewi Ikata dengan seperti mencelaka-kan dirinya, adalah tak lain untuk menguji calon muridnya itu.

   *** Cahaya mentari mulai redup.

   Air laut ber-gerak naik, lidahnya merayap ke pantai Pulau Hitam.

   Buih ombak keputihan membasahi leher Dewi Ikata.

   "Oh, Dewata Yang Agung..., aku memang merindukan kematian. Tapi bukan begini ca-ranya. Siksaan ini terlalu kejam...,"

   Kata gadis cantik itu dengan mata berkaca-kaca.

   "Aku tahu Malaikat Kematian telah menanti kedatanganku. Namun, kenapa nyawa ini tak juga lepas dari ra-ga?"

   Usai berucap, Dewi Ikata membuka mulut lebar-lebar ketika gulungan air laut bergerak ke arahnya.

   Kepala gadis cantik itu pun tersapu hempasan gelombang.

   Beberapa ke piring kecil yang menempel di wajahnya terlempar.

   Setelah air laut kembali turun, rambut De-wi Ikata menempel menutupi wajah.

   Kedua pi-pinya tampak menggembung.

   Mulut gadis cantik itu menyemburkan air asin secara perlahan-lahan.

   "Ha-ha-ha...!"

   Tawa Dewi Ikata tiba-tiba terdengar.

   Wa-laupun sekujur tubuhnya terasa sakit, tak henti-hentinya dia mengeluarkan tawa.

   Dadanya sam-pai terasa sesak.

   Bersama cahaya mentari yang semakin pu-dar, air laut pasang menenggelamkan kepala Dewi Ikata.

   Tapi dalam genangan air yang begitu luas dia dapat bertahan.

   Keanehan itu dirasakan sendiri oleh Dewi Ikata.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanya gadis itu dalam hati.

   "Kenapa aku tak juga mati?"

   Dewi Ikata tak lagi menghiraukan keadaan dirinya ketika suatu pemandangan indah terpam-pang di matanya.

   Beraneka-macam ikan kecil berwarna_-warni berenang melenggak-lenggokkan tubuhnya.

   Waktu ikan-ikan itu berpusing di sekitar kepala, Dewi Ikata meniup.

   Timbullah gelembung air.

   Gadis cantik itu tersenyum senang melihat ikan-ikan berpencar karena terkejut.

   Tak ada rasa pedih ketika Dewi Ikata membuka matanya lebar-lebar.

   Dilihatnya seekor ikan kecil sedang berusaha meloloskan diri dari kejaran ikan besar.

   Ikan kecil berenang berputaran seperti hendak membuat pusing ikan besar.

   Tapi, tak lama kemudian ekor ikan kecil tergigit.

   Dia pun meronta-ronta hendak melepaskan diri.

   Karena rontaan yang keras, ekor ikan kecil robek.

   Lepaslah gigitan si ikan besar.

   Namun dia tak mau melepaskan mangsanya begitu saja.

   Ikan besar berenang cepat, mengejar.

   Dia segera menghentikan laju tubuhnya waktu melihat calon mangsanya bersembunyi di sela-sela batu karang.

   Si ikan besar tak kurang akal.

   Ekornya dihempaskan hingga batu karang runtuh.

   Ikan kecil pun terperangkap di dalamnya.

   Cepat dia berusaha menerobos sebuah rongga sempit.

   Tapi, si ikan besar telah menghadang! Ikan kecil berusaha berkutat dengan maut.

   Sebentar kemudian, tubuhnya telah koyak-koyak terkena gigitan ikan besar.

   Namun, semangat untuk mempertahankan nyawa tak pernah pupus.

   Sekuat tenaga dia terus melawan.

   Ketika ombak besar menghempas, tubuh ikan kecil lenyap.

   Tinggallah ikan besar terpaku di tempatnya.

   Menyaksikan adegan itu, timbul penyesa-lan dalam hati Dewi Ikata.

   "Seekor ikan yang sudah di ambang maut masih berusaha menyelamatkan nyawanya. Tapi, kenapa aku sebagai manusia yang dikaruniai akal budi malah ingin mati?"

   Kata gadis cantik itu dalam hati.

   Perlahan-lahan mata Dewi Ikata terpejam.

   Dipanjatkannya doa supaya diberi kekuatan da-lam menghadapi cobaan Sang Penguasa Tunggal.

   Tanpa terasa, waktu berlalu demikian ce-pat.

   Gelap yang menyelubungi langit telah lenyap.

   Cahaya mentari kembali menerpa permukaan laut.

   Air pun mulai surut.

   Kepala Dewi Ikata muncul dari permukaan air.

   Tampaklah Perangai Gila berdiri di atas sebuah batu karang meman-dang ke arahnya.

   "Dia memang cocok untuk menjadi murid-ku...,"

   Gumam nenek itu penuh kagum.

   "Kini aku tak sendiri lagi. Terima kasih, Dewata. Anugerah ini sangat membuatku bahagia."

   Wanita kurang waras itu tertawa tergelak-gelak.

   Tubuhnya lalu melayang di udara dan mendarat di depan kepala Dewi Ikata.

   Dijambak-nya rambut gadis cantik itu, kemudian dengan kekuatan tenaga dalam ditariknya! Butiran pasir ambyar.

   Tubuh Dewi Ikata terlontar ke atas.

   Perangai Gila menyambutnya.

   Didapatinya gadis cantik itu telah pingsan.

   "Kau baru saja mengalami penderitaan he-bat, Manis...,"

   Bisik wanita kurang waras itu.

   "Ta-pi jangan khawatir. Semua itu akan berguna bagi kekuatan jiwa dan ragamu."

   Setelah menimang-nimbang tubuh Dewi Ikata yang berada dalam pondongannya, Perangai Gila berjalan perlahan sambil tertawa-tawa menu-ju ke sebuah gua. Wanita itu lalu menotok beberapa jalan da-rah di tubuh Dewi Ikata.

   "Uh...!"

   Dewi Ikata menggeliat.

   Ketika didapatinya dia telah terbaring di lantai gua, gadis cantik itu tertawa.

   Namun segera berhenti saat merasakan sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan.

   Kulit tubuhnya yang semula berwarna kuning langsat ti-ba-tiba telah membiru.

   Dia terkejut bukan main ketika telinganya menangkap suara tawa keras.

   "Kau manusia atau iblis? Tunjukkan diri-mu!"

   Teriak Dewi Ikata.

   "Aku berada di belakangmu, Manis...."

   Dewi Ikata menolehkan kepala. Tampak Pe-rangai Gila sedang duduk bersandar pada dinding gua.

   "Kau yang tertawa tadi?"

   Tanya dewi Ikata.

   "Kenapa?"

   Balas Perangai Gila dengan tersenyum.

   "Suara tawa itu kudengar dari luar. Adakah orang lain selain kita berdua?"

   "Ha-ha-ha...!"

   Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.

   "Rupanya kau masih sangat hijau, Manis. Tapi tak apa. Aku malah senang. Ilmu yang akan kuturunkan tak akan bercampur-baur dengan ilmu lain."

   "Apa maksudmu?"

   Perangai Gila tak menjawab pertanyaan Dewi Ikata. Tangan kanannya bergerak cepat me-notok beberapa jalan darah di tubuh gadis itu.

   "Ah...!"

   Dewi Ikata tak mampu mengelak.

   Kembali dia terkejut.

   Rasa dingin yang melanda tubuhnya mendadak lenyap, berganti dengan rasa hangat menyegarkan.

   Rasa kaku yang membelenggu tu-buhnya pun telah lenyap.

   Ditatapnya tajam-tajam wajah Perangai Gi-la.

   Ingatan Dewi Ikata melayang pada kejadian yang baru saja dialaminya.

   "Hei, kenapa bengong?!"

   Bentak Perangai Gila.

   "Kau heran mendapati dirimu tiba-tiba saja bisa bernapas di dalam air?"

   Tanyanya kemudian. Dewi Ikata menganggukkan kepala. Me-mang, hal itu yang mengusik pikirannya. Perangai Gila menyambut dengan tawa le-bar. Ditudingnya dahi Dewi Ikata.

   "Aku telah menotok beberapa sinus di da-damu. Itulah yang membuatmu dapat bertahan hidup di dalam air!"

   "Kenapa kau melakukannya?"

   "Aku sedang melatihmu. Selanjutnya, kau harus dapat bertahan hidup seperti itu tanpa bantuan siapa pun."

   "Bagaimana caranya?"

   Tanya Dewi Ikata ingin tahu.

   "Aku akan mengajarimu!"

   "Ha-ha-ha...!"

   Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak. Kemu-dian, dia bangkit dari duduknya dan melonjak-lonjak kegirangan. Butiran pasir yang menempel di sekujur tubuhnya berjatuhan.

   "Diam!"

   Bentak Perangai Gila.

   Dewi Ikata memonyongkan bibirnya.

   Meli-hat itu, Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.

   Tapi, tiba-tiba saja dia melancarkan sebuah tendangan! Weeesss...! Dewi Ikata merundukkan kepala.

   Namun Perangai Gila telah menyiapkan serangan susu-lan.

   Dewi Ikata bergegas meloncat mundur.

   Dia berdiri kokoh memasang kuda-kuda.

   Perangai Gi-la hanya menatapnya dengan pandangan sinis.

   Sesaat kemudian, tendangan dan pukulan Perangai Gila menghujani tubuh Dewi Ikata.

   Den-gan mengandalkan jurus-jurus yang diajarkan gurunya, Dewi Ikata mampu menepis serangan itu.

   "Dari mana kau belajar jurus-jurus itu?"

   Tanya Perangai Gila terheran-heran.

   "Tentu saja dari guruku,"

   Jawab Dewi Ikata sambil menyunggingkan senyum.

   "Arumsari?"

   "Ya. Guruku bergelar Dewi Tangan Api!"

   "Ha-ha-ha...!"

   Perangai Gila tertawa senang.

   "Rupanya aku telah berjumpa dengan orang sendiri."

   Kening Dewi Ikata berkerut.

   "Kau mengenal guruku?"

   "Bukan hanya mengenal. Aku adalah ka-kak kandungnya!"

   Sejenak Dewi Ikata tercengang.

   "Eyang...,"

   Gumam gadis itu seraya berlutut.

   Mendadak, Perangai Gila mendorong tela-pak tangan kanannya ke depan! Serangkaian an-gin pukulan menerpa.

   Tubuh Dewi Ikata terlontar dan membentur dinding gua.

   Gadis cantik itu bangkit sambil meringis kesakitan.

   Tuang-belulangnya terasa hampir re-muk.

   "Kau jangan berlutut di hadapanku!"

   Kata Perangai Gila dengan suara menyimpan kemarahan.

   "Sekali lagi kau melakukan itu, aku akan membunuhmu!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, wanita ku-rang waras itu tertawa terbahak-bahak. Bagai melihat sebuah lelucon, Dewi Ikata ikut tertawa.

   "Hush...!"

   Hardik Perangai Gila.

   "Kau belum menyebutkan namamu."

   "Dewi Ikata. Eyang bisa memanggilku den-gan sebutan 'Ika'."

   Perangai Gila mendehem.

   Dia lalu berjalan masuk ke bagian gua yang lebih gelap.

   Dewi Ikata cuma memperhatikan.

   Wanita kurang waras itu mencabuti jamur kuning yang tumbuh di sela-sela rembesan air.

   Ketika kedua telapak tangan-nya telah penuh, jamur kuning disodorkannya kepada Dewi Ikata.

   "Makanlah...,"

   Kata Perangai Gila setengah memaksa. Kening Dewi Ikata berkerut. Tiba-tiba perutnya dirasakan melilit-lilit karena lapar. Tapi melihat jamur di tangan Pe-rangai Gila, rasa laparnya lenyap kembali.

   "Kau jijik?"

   Tanya Perangai Gila. Dewi Ikata diam saja. Kepalanya mengge-leng lemah.

   "Bagus! Segera kau makan jamur ini!"

   "Ehm... aku...."

   Perangai Gila tersenyum. Dipandanginya sejenak kumpulan jamur yang berada di tangan kiri.

   "Jamur ini sangat bermanfaat bagi keseha-tan, Ika. Selain menambah kekuatan dan mence-gah beberapa penyakit, juga dapat memperpan-jang napas."

   Wanita kurang waras itu lalu melahap ja-mur yang berada di tangan kirinya. Melihat tin-dakan Perangai Gila, mendadak rasa lapar di pe-rut Dewi Ikata muncul kembali. Dia pun meneri-ma tawaran wanita kurang waras itu.

   "Puah...!"

   Dewi Ikata meludahkan kembali jamur yang telah dikunyahnya.

   "Pahit?"

   Tanya Perangai Gila.

   "Ya."

   "Bodoh!"

   Perangai Gila marah.

   "Di dunia ini sesuatu yang manis adalah berawal dari kepahi-tan. Orang tidak akan pernah merasa bahagia tanpa terlebih dahulu mengalami penderitaan. Rasa pahit penderitaan itulah tebusan bagi ma-nisnya kebahagiaan...,"

   Perangai Gila menatap wajah Dewi Ikata dalam-dalam.

   "Jamur yang berada dalam genggamanmu sangat bermanfaat. Sudah selayaknya bila terasa pahit."

   Dewi Ikata langsung memakan habis jamur pemberian Perangai Gila. Sekejap kemudian, dia merasakan kepalanya pening. Matanya berku-nang-kunang.

   "Tak usah khawatir...,"

   Kata Perangai Gila.

   "Semua itu akan hilang dengan sendirinya. Sebentar lagi kau akan merasakan manfaat jamur yang telah kau makan."

   Bersamaan dengan usainya ucapan wanita kurang waras itu, Dewi Ikata merasakan kehan-gatan menjalar di sekujur tubuhnya. Rasa pening di kepalanya berangsur-angsur lenyap.

   "Kita keluar, Ika...,"

   Ajak Perangai Gila kemudian. Mereka berjalan berdampingan. Setibanya di hamparan pasir luas, Perangai Gila menghentikan langkah.

   "Aku akan menyempurnakan jurus-jurus yang telah kau dapatkan dari Arumsari. Setelah itu, kau akan menerima warisan ilmuku. Jurus-jurus yang dimiliki Arumsari sangat hebat. Sudah patut untuk berdampingan dengan ilmuku...,"

   "Terima kasih, Eyang...,"

   Dewi Ikata menjatuhkan diri Perangai Gila mendengus keras.

   Cepat, ka-ki kanannya diayunkan.

   Dees...! Telapak kaki wanita kurang waras itu ber-sarang tepat di dada Dewi Ikata.

   Tubuh gadis cantik itu pun melayang jauh, lalu terhempas di hamparan pasir dalam keadaan pingsan.

   Dari sudut bibirnya meleleh darah segar.

   "Monyet geblek! Kadal dungu!"

   Umpat Perangai Gila sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.

   Wanita kurang waras itu berlari ke arah pantai.

   Digalinya pasir hingga membentuk ku-bangan lebar yang cukup untuk menguburkan seekor gajah.

   Bahu si Perangai Gila tampak ber-gerak naik-turun.

   Kedua matanya berkaca-kaca.

   Rupanya, dia sedang menangis.

   Tiba-tiba dia menggeram.

   Kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.

   Blaaammm...! Air laut berkubang dalam, membentuk ge-lombang besar bagai ditepuk tangan raksasa.

   "Monyet geblek! Kadal dungu! Kenapa aku menyakiti muridku sendiri?!"

   Teriak Perangai Gila seraya berlari menghampiri tubuh Dewi Ikata. Wanita kurang waras itu lalu menotok beberapa aliran darah di tubuh Dewi Ikata sebelum menya-lurkan hawa murni "Uh...!"

   Dewi Ikata bangkit duduk. Diusap dadanya yang terasa panas dan sesak.

   "Eyang hendak mencelakakan aku?"

   Tanya gadis itu lirih. Perangai Gila tak memberi jawaban. Dia hanya menatap wajah Dewi Ikata dengan penuh perasaan sesal. Air matanya menetes semakin de-ras.

   "Kenapa Eyang menangis?"

   Tanya Dewi Ikata heran "Aku bukan hendak mencelakakanmu, Ika. Ketika kau berlutut, aku teringat seseorang yang sangat jahat terhadapku...,"

   Kata Perangai Gila sambil mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya.

   "Orang itu pada mulanya baik. Aku sangat mencintainya. Tapi dia kemudian mengkhia-nati cintaku."

   Perangai Gila tak melanjutkan kalimatnya. Suara tangisnya terdengar semakin keras.

   "Sudahlah, Eyang...,"

   Ujar Dewi Ikata yang merasa terharu.

   "Tak perlu mengungkit-ungkit masa lalu."

   Perangai Gila mengambil napas panjang. Perlahan air matanya diseka dengan jemari tan-gannya yang keriput.

   "Ketika aku memutuskan untuk berpisah dengannya, dia menyatakan penyesalannya. Aku pun memberinya maaf. Tapi luka hatiku sudah telanjur dalam. Aku tak mungkin menerima ke-hadirannya kembali. Dia menangis memohon be-las kasihan sambil berlutut di hadapanku. Na-mun apa yang dia lakukan, Ika?"

   Dewi Ikata memandang wajah Perangai Gi-la tanpa berkedip. Rasa kasihan semakin bergulat di hatinya.

   "Orang Jahat itu memperdayai aku...,"

   Lanjut Perangai Gila.

   "Lihatlah, Ika. Apa yang diper-buatnya kepadaku?"

   Perlahan-lahan wanita kurang waras itu meraba rambutnya yang hitam kemerah-merahan. Srat...! Dewi Ikata bergidik ngeri. Rambut Perangai Gila tercabut meninggalkan kepala gundul tanpa kulit. Terlihatlah tempurung kepalanya yang berwarna putih.

   "Orang jahat itu membeset kulit kepalaku, Ika...."

   Tangis Perangai Gila langsung meledak. Dia bangkit dari duduknya dan berlari-lari mirip orang kesurupan.

   "Aku akan membunuhmu! Aku akan mem-bunuhmu!"

   Teriak Perangai Gila dengan suara lantang.

   Dewi Ikata memandang tanpa berkedip.

   Rasa haru semakin mendesak dada.

   Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya.

   Gadis cantik itu pun menangis....

   *** Dewi Ikata menatap gulungan ombak yang terus bergerak susul-menyusul pantai.

   Suara de-bur yang ditimbulkan seperti mengandung irama nyanyian alam.

   Bibir gadis cantik itu menyunggingkan se-nyum.

   Perlahan-lahan bayangan Suropati atau si Pengemis Binal terpampang jelas di matanya.

   Saat pertama mereka berjumpa adalah ketika Su-ropati dan Gede Panjalu membantu ayahanda Dewi Ikata, Adipati Danubraja, untuk menumpas pemberontakan Patih Wiraksa.

   Setelah berhasil memadamkan kemelut di Kadipaten Bumiraksa, Suropati dan Gede Panjalu menjadi tamu kehor-matan Adipati Danubraja.

   Sejak Itulah wajah Su-ropati yang tampan dan keperkasaan sepak ter-jangnya tak pernah lepas dari benak Dewi Ikata.

   Waktu dia sedang duduk di bangku taman seo-rang diri.

   Tiba-tiba muncul seorang remaja me-nyapanya.

   "Suasana sore yang indah. Hembusan an-gin terasa segar. Membuat Pengemis Binal ingin duduk-duduk di taman sambil menikmati pe-mandangan yang menakjubkan...."

   Dewi Ikata menoleh. Terkejutlah dia meli-hat kehadiran Suropati yang tak disangka-sangka.

   "Mau apa kau, Tu..., eh...,"

   Kata gadis cantik itu gelagapan. Pengemis Binal jadi ingin tertawa melihat pipi Dewi Ikata merona merah. Gadis berumur tu-juh belas tahun itu lalu menunduk menyembu-nyikan perasaan malu.

   "Di suasana sore yang indah ini bolehkan Suropati yang miskin berkenalan dengan Tuan Putri yang cantik rupawan?"

   Tanya Suropati Mendengar ucapan itu, hati Dewi Ikata jadi berdebar tak karuan.

   Rasa malu, takut, dan se-nang bercampur jadi satu, membuat dia tak tahu harus bersikap bagaimana.

   Tapi karena desakan perasaan aneh yang menggelora di relung kalbu, Dewi Ikata mendongakkan kepala.

   Dicobanya menatap wajah remaja tampan yang berdiri tak jauh darinya.

   Mereka pun bersirobok pandangan.

   Pipi Dewi Ikata semakin merona merah.

   "Jangan panggil aku 'Tuan Putri'. Namaku Dewi Ikata,"

   Kata gadis cantik itu seraya menundukkan kepalanya kembali "Dewi Ikata? Sebuah nama yang bagus. Aku harus panggil 'Dewi' atau apa?"

   "Aku biasa dipanggil 'Ika'....."

   Senyum Suropati mengembang lebar.

   "Bo-leh aku duduk di sampingmu, Ika?"

   Seperti sedang melayang-layang di angka-sa, begitulah gambaran perasaan Dewi Ikata wak-tu itu.

   Beberapa saat dia tak mampu membuka suara.

   Sikap diamnya dianggap sebagai tanda persetujuan oleh Suropati.

   Maka, remaja tampan itu segera meletakkan pantatnya di sisi Dewi Ika-ta.

   "Kau suka bunga, Ika?"

   Tanya Suropati berbasa-basi Tak ada suara yang keluar dari mulut Dewi Ikata.

   Pengemis Binal menyambung ucapannya "Setiap gadis tentu suka bunga.

   Kenapa aku mesti bertanya.

   He-he-he...

   Ehm, kau cantik sekali, Ika.

   Kau suka bunga warna merah, kuning, biru, atau putih? Kalau aku sangat suka bunga berwarna merah.

   Akan kupetikkan untuk-mu.

   Mudah-mudahan kau suka...."

   Remaja konyol itu langsung bangkit dari duduknya.

   Tanpa meminta persetujuan Dewi Ika-ta, dia berjalan menuju rimbunan bunga mawar.

   Dipetiknya setangkai yang paling bagus menurut-nya.

   Ketika itulah Dewi Ikata mendengar jerit kecil yang keluar dari mulut Suropati.

   "Eh, kau kenapa?"

   Tanya Dewi Ikata seraya berjalan menghampiri.

   "Ah, tidak. Tidak apa-apa...,"

   Suropati ber-dusta.

   "Kau tertusuk duri?"

   "Tidak"

   "Lalu kenapa kau menjerit?"

   "Aku ikut merasakan betapa sakitnya saat tangkai bunga mawar ini kupetik tadi."

   Mendengar itu kepala Dewi Ikata tertunduk malu. Ia telah menunjukkan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu.

   "Ika...,"

   Ucap Suropati penuh kelembutan.

   "Seandainya kau bunga mawar, apakah kau juga akan merasakan sakit apabila dipetik oleh seseo-rang?"

   "Aku tak tahu."

   "Kenapa? "

   "Aku bukan bunga mawar"

   Sahut Dewi Ika-ta pelan.

   "Ah, aku tadi kan sudah bilang 'seandainya'. Bagaimana, Ika? Apakah kau juga akan merasa sakit?"

   "Tentu saja sakit. Tapi, aku berharap agar orang yang memetikku itu adalah orang yang baik budi dan tidak akan menyia-nyiakan diriku."

   "Ika, apabila seseorang yang akan meme-tikmu itu adalah orang yang sangat mencintaimu dan rela melakukan apa saja untukmu, apakah kau akan bahagia bila dipetik olehnya? Masihkah kau merasa sakit?"

   "Aku kira, orang yang seperti kau katakan itu tidak ada,"

   Sahut Dewi Ikata dengan kepala tertunduk.

   "Seandainya ada?"

   "Aku akan menyerahkan hidupku kepa-danya."

   Perlahan-lahan Suropati memegang dagu Dewi Ikata. Lalu didongakkannya seraya menatap wajah gadis cantik itu dalam-dalam.

   "Ika...,"

   Ucap Pengemis Binal dengan penuh kesungguhan.

   "Apabila orang yang rela berkorban itu sekarang berada di dekatmu, apakah kau juga akan menyerahkan hidupmu?"

   Dewi Ikata tak menjawab.

   Kepalanya ter-tunduk kembali.

   Tak ada kata-kata yang sanggup melukiskan perasaannya saat itu.

   Ucapan Suro-pati bagai angin yang berhembus nikmat, bisa dirasakan sampai ke dasar hati.

   Melihat Dewi Ikata hanya tertunduk, Pen-gemis Binal menyelipkan setangkai bunga mawar yang baru dipetiknya ke sela-sela rambut gadis cantik itu.

   "Ika...,"

   Bisik Suropati seraya meraih kedua tangan Dewi Ikata, lalu didekapnya erat-erat.

   "Kau cantik sekali...,"

   Gumamnya lirih. Dewi Ikata menurut saja ketika dirinya di-bimbing oleh Pengemis Binal untuk duduk kem-bali di bangku taman.

   "Ika, apakah kau pernah bermimpi dida-tangi seorang pangeran tampan yang sangat per-kasa, kemudian dia menyatakan perasaan ha-tinya?"

   Tanya Suropati lagi.

   "Pernah."

   "Kau menerima?"

   "Ya."

   "Dalam kenyataan, apabila pangeran tam-pan yang sangat perkasa itu berubah menjadi orang miskin yang tidak punya apa-apa kecuali cinta, apakah kau masih akan menerimanya?"

   Ujar Suropati.

   Belum sempat Dewi Ikata memberi jawa-ban, mereka telah dikejutkan oleh kedatangan Adipati Danubraja bersama Arumsari atau Dewi Tangan Api.

   Nenek itu hendak mengambil Dewi Ikata sebagai murid.

   Suropati berlalu dari tempat itu sambil bersungut-sungut karena merasa ter-ganggu.

   Keesokan harinya ketika Dewi Tangan Api sedang memperagakan beberapa jurus ilmu silat, Pengemis Binal mengintip.

   Sayang tindakannya diketahui nenek itu.

   "Hei, Bocah Gendeng! Kenapa kau berada di sini?!"

   Bentak Dewi Tangan Api. Suropati tidak menjawab. Dia hanya me-nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.

   "Jawab pertanyaanku! Kenapa kau berada di sini!"

   "Aku tamu kehormatan Gusti Adipati Da-nubraja. Tentu saja aku berada di sini."

   "Bocah Gendeng! Kalau itu aku sudah ta-hu! Yang kutanyakan, apakah kau di sini sedang mengintipku?!"

   "Huh! Siapa sudi melakukan itu, Nenek Bawel! Aku bukan sedang mengintipmu!"

   Sungut Suropati dengan muka cemberut "Lalu mengintip siapa?!"

   "Muridmu."

   Mendengar ucapan itu, Dewi Ikata yang berdiri tak jauh dari Dewi Tangan Api tampak tersenyum-senyum.

   "Untuk apa kau mengintip Dewi Ikata?!"

   Bentak Dewi Tangan Api kemudian.

   "Aku mau bicara"

   "Tidak"

   "Kenapa?"

   "Ia harus berlatih."

   "Ah, sebentar saja. Masa' tidak boleh?"

   Su-ropati mencoba merayu.

   "Kau nekat rupanya?!"

   Tantang Dewi Tangan Api.

   "Tidak! Aku sedang berusaha."

   Dewi Tangan Api tiba-tiba menampar wajah Suropati. Tapi, tamparannya hanya mengenai an-gin kosong, Pengemis Binal telah meloncat ke belakang.

   "Pergi, Kau!"

   Usir Dewi Tangan Api marah bukan main. Rupanya dia merasa dipermainkan.

   "Kau yang harus pergi, Nenek Bawel!"

   "Keparat!"

   Umpat Dewi Tangan Api seraya menerjang. Suropati berkelit ke samping. Melihat se-rangannya luput, Dewi Tangan Api semakin naik pitam. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi.

   "Eit! Rupanya kau gampang naik darah, Nenek Bawel! Nanti wajahmu yang keriput itu jadi bertambah keriput seperti wewe gombel. Hiii..!"

   Goda Pengemis Binal diantara cecaran pukulan dan tendangan Dewi Tangan Api.

   "Bocah Gemblung! Aku akan melumat tu-buhmu menjadi serpihan daging!"

   "Kebetulan. Kalau kau suka, bisa dibikin soto. He he he...."

   "Keparat! Aku benar-benar akan melumat tubuhmu!"

   Kemarahan Dewi Tangan Api tak dapat dibendung lagi. Melihat kesungguhan Dewi Tangan Api da-lam menyerang Suropati, Dewi Ikata berteriak.

   "Sudahlah, Eyang! Kasihan dia!"

   Dewi Tangan Api bergegas menghentikan serangan dan berdiri di hadapan Dewi Ikata.

   "Apa katamu?! Kau kasihan pada bocah gendeng itu?"

   Ucap Dewi Tangan Api "Dia buaya, Ika..."

   "Buaya baik hati yang sering menolong orang. He-he-he...,"

   Sahut Pengemis Binal.

   "Huh! Mana ada buaya baik hati?!"

   Hardik Dewi Tangan Api "Ada! Buaya dalam dongeng kancil. He-he-he...."

   Dewi Tangan Api mendengus. Diterjangnya Suropati kembali sambil berkata.

   "Akan kuron-tokkan gigimu!"

   "Aduh! Kau terlalu kejam, Nek! Gimana aku mesti makan? Apakah kau akan menyuapi aku bubur setiap hari?"

   "Sekarang juga aku akan menyuapimu dengan telapak kakiku!"

   Sahut Dewi Tangan Api.

   Sambil berkata demikian, Dewi Tangan Api melancarkan tendangan lurus terarah ke mulut Suropati.

   Remaja konyol itu berkelit ke samping.

   Tangannya menyodok perut Dewi Tangan Api.

   Duuk...! Pergelangan tangan Pengemis Binal mem-bentur telapak kaki Dewi Tangan Api.

   Remaja ko-nyol itu mengeluarkan keluhan kecil karena me-rasakan tubuhnya seperti dijalari api.

   "Makanlah ini!"

   Ucap Dewi Tangan Api seraya melancarkan tendangannya kembali.

   Tentu saja Suropati tak mau giginya ron-tok.

   Dia segera membuat tangkisan.

   Namun, ten-dangan memutar Dewi Tangan Api telah menyu-sul! Deees...! Dengan telapak tangan menempel di dada, Pengemis Binal menadahi tendangan Dewi Tan-gan Api.

   Lalu, dia pura-pura menjatuhkan diri.

   "Aduh!"

   Keluh remaja konyol itu sambil mendekap dadanya.

   "Suro!"

   Jerit Dewi Ikata berlari berhambur.

   "Ak... aku... tidak bisa... bernapas...."

   Mendengar ucapan Suropati yang gagap, sinar mata Dewi Ikata mendadak berubah nyalang. Hatinya diliputi rasa khawatir.

   "Ak... aku mau ma... ti...,"

   Ucap Pengemis Binal sambil mendekap erat jemari tangan Dewi Ikata. Gadis cantik yang masih buta ilmu silat itu termakan sandiwara Suropati. Perlahan-lahan mutiara bening bergulir dari matanya.

   "Kau jangan mati, Suro...,"

   Isak gadis itu dengan suara gemetar.

   "Ak... aku sudah me... lihat Malaikat Kematian. Katakan kau... kau suka padaku, Ika...."

   "Ya, Suro. Aku menyukaimu. Tapi kau jan-gan mati."

   "Kalau aku mati ba... gaimana...?"

   "Aku ikut..."

   "Ha-ha-ha...!"

   Mendadak saja, Suropati tertawa terbahak-bahak. Dia meloncat tinggi sambil membopong tubuh Dewi Ikata.

   "Aku tidak jadi mati, Ika...,"

   Kata remaja konyol itu, kemudian mencium pipi Dewi Ikata. Dewi Tangan Api jadi gemas melihatnya. Kakinya dihentakkan keras-keras ke tanah kare-na jengkel.

   "Rupanya gurumu benar-benar marah, Ika...,"

   Ucap Pengemis Binal.

   "Sebaiknya aku pergi saja. Kau berlatihlah dengan tekun...,"

   Pesannya.

   Suropati berjalan pergi sambil menggaruk-garuk kepala.

   Dewi Ikata menatap kepergiannya dengan sinar mata tak mengerti.

   Tapi, tiba-tiba dia merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah dia alami.

   Ciuman Pengemis Binal tadi membuat jiwa gadis cantik itu seperti melayang di angkasa.

   Sejak saat itu, setiap pagi Suropati selalu menunggui Dewi Ikata berlatih silat dengan gu-runya.

   Dewi Tangan Api yang semula tidak suka melihat sikap Pengemis Binal yang nekad, konyol, dan tampak ugal-ugalan, jadi luluh hatinya.

   Nenek itu pun membiarkan saja ketika Suropati ikut memberi petunjuk kepada muridnya.

   Kepandaian Pengemis Binal memang tak kalah bila diban-dingkan dengan Dewi Tangan Api sendiri.

   Suropati semakin kerasan tinggal di Kadi-paten Bumiraksa.

   Ketika Gede Panjalu yang juga menjadi tamu kehormatan Adipati Danubraja mengajak remaja konyol itu kembali ke Bukit Pangalasan, dia menolak.

   Alasannya Adipati Da-nubraja masih membutuhkan tenaganya untuk berjaga-jaga.

   Barangkali saja ada kaki-tangan Patih Wiraksa yang hendak menggempur kadipaten kembali.

   Pada suatu sore yang cerah, Dewi Ikata menghadap ayahandanya.

   "Suropati hendak mengajakku berlatih me-nunggang kuda, Ayah...,"

   Lapor gadis cantik itu sekaligus memohon ijin.

   "Kau harus minta ijin gurumu,"

   Jawab Adipati Danubraja.

   "Eyang Arumsari sedang ada keperluan, Ayah. Mungkin menjelang malam Eyang baru kembali."

   Mengetahui bila Suropati telah berjasa ke-pada tampuk pimpinan di Kadipaten Bumiraksa dan remaja tampan itu pun bukanlah tokoh sem-barangan, akhirnya Adipati Danubraja melu-luskan permohonan Dewi Ikata untuk berlatih bersama pemuda itu.

   Suropati mengajak Dewi Ikata pergi ke tepi hutan kecil.

   Malang, di sana langkah kaki kuda mereka dihadang sekawanan perampok bersenja-ta.

   Lewat sebuah pertempuran sengit, Pengemis Binal dapat mengusir perampok-perampok itu.

   Namun, Dewi Ikata terkejut mendapati tubuh Su-ropati tergeletak di tanah dan berlumuran darah.

   "Ak... aku terluka, Ika...,"

   Ucap Pengemis Binal sambil mendekap perutnya.

   "Tidak. Kau mau membohongiku lagi!"

   Kata Dewi Ikata setengah membentak. Dia teringat ketika Suropati pura-pura terkena tendangan Dewi Tangan Api beberapa hari yang lalu.

   "Tidakkah kau lihat darahku yang menga-lir, Ika? Perutku terkena sabetan golok..."

   "Kau tidak bohong, Suro?"

   Suara Dewi Ikata mulai menunjukkan kecemasan.

   "Kali ini aku akan mati sungguhan..."

   Dewi Ikata berjongkok hendak memeriksa luka Pengemis Binal. Tapi, remaja konyol itu mencegah. Dia tidak mau tangan Dewi Ikata kotor oleh lumuran darah.

   "Kalau aku mati, kuburkan jasadku di puncak Bukit Pa... nga... lasan...."

   "Tidak, Suro! Kau tidak boleh mati!"

   Teriak Dewi Ikata pasrah.

   "Aku tidak bisa melawan takdir, Ika. Cium-lah aku sebagai tanda perpisahan...."

   "Suro...,"

   Desis Dewi Ikata dengan air mata berlinang, Dia merunduk untuk mencium kening Suropati.

   "Cium bibirku, Ika...,"

   Ucap Pengemis Binal sambil meringis kesakitan. Air mata Dewi Ikata pun semakin deras mengalir. Perlahan diciumnya bibir Suropati. Setelah itu, dengan susah payah Pengemis Binal naik ke punggung kuda.

   "Aku tidak mau melihat kau... menangis saat aku menutup mata...."

   Dengan hati hancur Dewi Ikata menatap tubuh remaja tampan itu yang terduduk lemah di punggung kuda.

   Suropati pergi meninggalkan Dewi Ikata.

   Rupanya dia hendak menyendiri.

   Akhirnya, Dewi Ikata kembali ke Kadipaten seorang diri.

   Tentu saja Adipati Danubraja keheranan melihat putri tunggalnya pulang dengan li-nangan air mata.

   Waktu ditanya, Dewi Ikata hanya membungkam dan langsung menuju ka-mar.

   Di sana dia menumpahkan semua kesedi-hannya.

   Tak lama kemudian, samar-samar telinga Dewi Ikata menangkap suara syair yang melantun merdu....

   Tak ada kebahagiaan yang melebihi keba-hagiaan cinta terbalaskan Tak ada kesedihan yang melebihi kesedi-han bila kekasih telah meninggalkan Putri pujaan hati, kematian tak perlu disesa-li Kekasih pergi, apalah arti Yang telah kembali, tak perlu ditangisi Begitu syair usai dilantunkan, Dewi Ikata meloncat dan berlari menuju taman.

   Dari sanalah suara itu berasal.

   Dia pun terkejut bukan main melihat Suropati telah duduk di bangku sambil tersenyum-senyum.

   Dewi Ikata langsung meng-hambur.

   Bukan memeluk, tapi menghujani dada Pengemis Binal dengan pukulan.

   Namun yang di-pukuli malah tertawa senang.

   Untuk kedua kalinya Dewi Ikata jadi kor-ban kekonyolan Suropati.

   Tapi gadis, cantik itu tak pernah sakit hati.

   Perasaan cinta dalam ha-tinya telah tumbuh subur, membuat harapannya kian melambung tinggi.

   Pada suatu malam, disaksikan oleh rembu-lan dan bintang, Suropati mengungkapkan pera-saan hatinya.

   Kebahagiaan Dewi Ikata semakin memuncak karenanya.

   "Aku pun mencintaimu, Suro...,"

   Kata Dewi Ikata dengan malu-malu.

   "Tapi aku hanya orang miskin yang tak punya apa-apa,"

   Ujar Suropati merendah.

   "Di mataku kau sangat sempurna, Suro. Kau tampan dan perkasa."

   "Ah, kau hanya ingin membuatku merasa senang.

   "

   "Tidak. Itu kukatakan dari ketulusan hati-ku,"

   Dewi Ikata menatap Suropati lekat-lekat.

   "Sungguh?"

   "Demi Tuhan, aku mencintaimu, Suro...."

   Mereka lalu berpelukan, dan saling mengu-cap janji untuk hidup bersama.

   Tapi kenyataan mengatakan lain.

   Dewi Ikata harus mengikuti pengembaraan gurunya, Arumsari atau Dewi Tangan Api.

   Dalam pengembaraannya itu Dewi Ikata di-culik oleh salah seorang dari si Kembar Budukan.

   Kemudian, muncul Kapi Anggara menolongnya.

   Pemuda tampan berambut pirang itu mengajak Dewi Ikata ke istana Kerajaan Anggarapura.

   Kapi Anggara adalah salah seorang kepercayaan Baginda Prabu Arya Dewantara.

   Saat Sang Prabu mengadakan pesta syuku-ran, Dewi Ikata menurut saja ketika Kapi Anggara mengajaknya ke taman di belakang istana.

   Kapi Anggara mencoba merayu Dewi Ikata sambil me-remas jemari tangannya.

   Saat itulah, tanpa dis-angka-sangka Dewi Ikata melihat kehadiran Su-ropati.

   Tentu saja Pengemis Binal kecewa bukan main.

   Kekasihnya tampak bermesraan dengan Kapi Anggara.

   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Suropati berlalu dari hadapan Dewi Ikata.

   Perasaan Dewi Ikata terpukul.

   Diam-diam dia meninggalkan istana kerajaan, kemudian mencoba bunuh diri.

   Perbuatan nekat itu berhasil diselamatkan oleh Perangai Gila.

   Sampai di situ, lamunan Dewi Ikata buyar.

   Gadis itu lalu melangkah menuju gua di mana Pe-rangai Gila telah menunggu.

   Nenek itu telah mengambil Dewi Ikata sebagai murid.

   Diajarkannya seluruh ilmu kepandaiannya kepada gadis cantik tersebut.

   Enam candra kemudian Perangai Gila mengajak Dewi Ikata pergi mengembara.

   Sebuah kedai makanan yang cukup besar di Kademangan Masopati tampak seorang gadis cantik berpakaian serba merah tengah duduk mematung.

   Hidangan yang tersedia di hadapan-nya sama sekali tak tersentuh.

   Rambut gadis cantik itu digelung ke atas dengan ikatan kain sutera merah.

   Raut wajahnya terlihat suram.

   Sinar matanya kosong seperti tan-pa gairah hidup.

   Kedua kakinya diselonjorkan.

   Sedangkan tangan kanan mengetuk-ngetuk meja dan tangan kiri tergeletak lemah.

   Sudah beberapa lama dia berada di tempat itu, hingga waktu sarapan telah lewat dan kedai telah sepi.

   Dua orang pelayan yang berdiri di ambang pintu dapur memperhatikan dengan kening berkerut.

   "Gadis aneh...,"

   Bisik pelayan yang bertubuh jangkung.

   "Siapa dia?"

   Tanya temannya. Tak ada jawaban. Si pelayan yang bercambang bauk mena-tap gadis aneh itu tanpa berkedip.

   "Kau ingat peristiwa besar beberapa candra yang lalu, Dhi?"

   "Peristiwa apa?"

   Tanya temannya yang bertubuh jangkung.

   "Pemberontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah."

   "Kenapa?"

   "Jangan-jangan gadis itu sisa anggota per-kumpulan tersebut. Kau lihat pakaiannya, Dhi. Bukankah itu ciri dari perkumpulan yang telah ditumpas pihak kerajaan?"

   "Lalu, kita harus berbuat apa?"

   "Lapor kepada Demang,"

   Usul pelayan bercambang bauk "Ah, kenapa kita harus mencampuri uru-san yang bukan tanggung jawab kita?"

   Kata pe-layan bertubuh jangkung sambil berjalan mema-suki dapur.

   "Tunggu dulu!"

   Cegah temannya.

   "Aku dengar pihak kerajaan berupaya menumpas Perkum-pulan Bidadari Lentera Merah sampai ke akar-akarnya. Dengan melaporkan gadis itu kepada Demang, siapa tahu kita akan mendapat hadiah."

   "Betul katamu. Tapi, kau sajalah yang me-lapor. Tugasku masih banyak,"

   Mendengar akan mendapat hadiah, pelayan bertubuh jangkung langsung mendukung.

   "Uh! Enak saja! Tapi tak apa, mumpung ju-ragan sedang pergi. Kalau kutinggal sebentar dia tak akan tahu."

   Pelayan bercambang bauk lalu melangkah-kan kakinya keluar kedai. Ketika berada di am-bang pintu depan, dia berpapasan dengan seo-rang Resi yang berpakaian serba putih.

   "Silakan, Pak Tua...,"

   Kata pelayan itu, masih sempat memberi sambutan. Sang Resi pun mengambil tempat duduk di pojok ruangan, berhadapan dengan si gadis aneh.

   "Kasihan...,"

   Kata sang Resi dalam hati. Matanya menatap tajam wajah si gadis. Kedua alisnya yang telah memutih naik bersama ke-ningnya yang berkerut. Pelayan bertubuh jang-kung menghampiri Resi itu. Sang Resi menye-butkan pesanannya tanpa menoleh.

   "Dua manusia aneh telah hadir di kedai ini...,"

   Kata pelayan itu dalam hati. Sambil bersungut-sungut dia melayani pesanan tamunya. Belum sempat sang Resi menyantap hidan-gan yang tersedia, lima orang prajurit kademan-gan hadir di tempat itu bersama pelayan kedai bercambang bauk.

   "Gadis itukah yang kau maksud?"

   Tanya salah seorang prajurit. Si pelayan menganggukkan kepalanya.

   "Kita menunggu Ki Demang."

   "Ah, kenapa tidak langsung ditangkap sa-ja?"

   Sahut pelayan bercambang bauk.

   "Goblok! Semua anggota Perkumpulan Bi-dadari Lentera Merah berkepandaian tinggi,"

   Prajurit kademangan jengkel. Tak lama kemudian Demang Sosrobahu muncul. Lelaki bertubuh tegap itu langsung menghampiri si gadis aneh.

   "Siapa namamu?"

   Tanya lelaki tua berikat kepala itu. Si gadis hanya mendengus, tanpa men-gangkat wajahnya.

   "Kau anggota Perkumpulan Bidadari Lente-ra Merah?"

   Tanya Demang Sosrobahu lagi. Mendadak si gadis menggebrak meja. Lalu, bangkit dari duduknya seraya hendak berlalu dari tempat itu.

   "Hei! Hendak ke mana kau?!"

   Bentak salah seorang prajurit sambil melompat menghadang.

   Tanpa menjawab si gadis aneh mendorong telapak tangan kanannya ke depan.

   Dees...! Tubuh prajurit itu terhempas ke lantai.

   Se-telah menyemburkan darah segar, dia tak mampu bergerak lagi.

   Semua mata memandang kejadian itu den-gan penuh keterkejutan.

   Demang Sosrobahu yang sudah matang pengalaman pun tampak mundur beberapa tindak "Tangkap dia!"

   Teriak Ki Demang kepada empat prajurit yang berdiri di ambang pintu "Tahan...!"

   Tiba-tiba sang Resi yang sedari tadi cuma memperhatikan, meloncat menghalangi gerakan keempat prajurit.

   "Siapa kau?!"

   Tanya Demang Sosrobahu dengan suara lantang.

   "Aku hanyalah manusia biasa. Aku hanya ingin mencegah pertumpahan darah di tempat ini...."

   "Jangan hiraukan kata-kata manusia usil itu!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, Demang Sosrobahu memberi isyarat kepada empat praju-ritnya untuk segera menangkap si gadis aneh.

   Sang Resi mengibaskan ujung lengan ju-bahnya.

   Weeesss...! Serangkum angin pukulan menerpa.

   Keempat prajurit kademangan terlempar dan ja-tuh bergulingan di lantai kedai.

   Demang Sosrobahu tercengang.

   Matanya mendelik dengan mulut terbuka lebar.

   Si gadis aneh tersenyum tipis, kemudian menghemposkan tubuhnya ke luar kedai.

   Sang Resi pun melemparkan beberapa uang logam di atas meja, lalu melesat mengejar.

   "Empat prajurit itu hanya pingsan...,"

   Katanya sebelum meninggalkan kedai Si gadis aneh berpakaian serba merah ber-lari sangat cepat.

   Tampaknya dia memperguna-kan ilmu meringankan tubuh.

   Sekeluar dari wi-layah Kademangan Masopati, dia mendengus ke-ras seraya menghentikan gerak kakinya.

   "Aku bermaksud baik kepadamu, Anak Manis...,"

   Kata sang Resi yang telah berdiri di hadapan si gadis sejak keluar dari kedai dia me-mang terus menuruti gadis itu.

   "Kekuatan sihir jahat sedang mempengaruhimu. Aku akan berusaha melenyapkannya,"

   Lanjutnya.

   Si gadis hanya mendengus seraya melan-carkan tendangan.

   Sang Resi berkelit sambil me-lancarkan totokan ke sinus dada kiri.

   Mendadak, gadis berpakaian merah mengibaskan telapak tangan kanannya.

   Angin pukulan berhawa panas pun menerpa! "Uts...!"

   Sang Resi menarik pergelangan tangannya kembali. Bersamaan dengan itu, si gadis meloncat ke samping dan menggeram keras. Sang Resi pun terkejut melihat kedua pergelangan gadis aneh itu berubah merah membara! "Diam di tempatmu!"

   Perintah sang Resi.

   Ucapannya dilancari kekuatan ilmu sihir.

   Mata si gadis mendelik tanpa mampu ber-buat apa-apa.

   Kesempatan itu tak disia-siakan oleh sang Resi.

   Segera dilancarkannya totokan beruntun.

   Tubuh gadis berpakaian merah terkulai lemah seperti selembar kain basah.

   Sang Resi bu-ru-buru menyambarnya supaya tak terjerembab ke tanah.

   "Kasihan...,"

   Desis sang Resi. Dia berjalan menuju sebuah tempat di bawah naungan pohon berdaun rindang. Setelah menatap sejenak wajah si gadis, dia lalu memeriksa denyut nadinya.

   "Kekuatan sihir jahat itu benar-benar telah menyatu. Aliran darahnya sangat kacau...,"

   Gumam sang Resi.

   "Kalau aku tidak segera menolongnya, dia akan menjadi gila."

   Kakek itu menyandarkan tubuh si gadis ke batang pohon.

   Sementara dia sendiri duduk bersi-la di hadapannya.

   Kedua matanya dipejamkan.

   Kakek Resi itu berusaha menembus kekuatan gaib yang memperbudak gadis berpakaian merah.

   Sebentar kemudian, wajah lembut sang Resi mengeluarkan cahaya kedamaian.

   Hembusan na-pasnya terdengar sangat teratur.

   Tapi, di balik semua itu.

   Kekuatan batinnya sedang bekerja keras memusnahkan pengaruh sihir jahat Argh...! Mendadak kakek itu mengeluarkan jerit tertahan.

   Dari sudut bibirnya meleleh darah se-gar.

   Lalu, tubuh sang Resi bergetar hebat bagai terserang demam.

   Bruk....

   Diiringi pekikan tertahan tubuh sang Resi terjengkang ke belakang.

   Ketika dia berusaha bangkit, rasa panas menerjang tubuhnya.

   Kedua matanya berubah nyalang.

   Jalan pikirannya pun mendadak jadi kacau.

   Dia tak dapat lagi memu-satkan pikiran, meskipun telah dicobanya.

   "Heaaa...!"

   Sang Resi tak dapat mengendalikan gerak tubuhnya untuk melakukan loncatan.

   Kemudian menghantam sebatang pohon besar hingga tum-bang.

   Kakek itu berkelebatan ke sana-ke mari seperti sedang berkutat dengan maut Berkali-kali mulutnya mengeluarkan erangan.

   Bahkan, menjerit keras seperti sedang melihat kejadian yang menggiriskan.

   Buuummm...! Sebatang pohon jatuh berdebum terkena tendangan sang Resi yang kalap.

   Mendadak, tu-buhnya melenting ke atas bagai seekor udang me-loncat Waktu tubuh kakek itu masih melayang di udara, ditekannya kedua sisi kening dengan jari telunjuk.

   Wajah sang Resi mengeluarkan cahaya kebiru-biruan.

   Splash...! Ketika cahaya itu lenyap, tubuh sang Resi melayang turun dan mendarat di permukaan ta-nah dalam keadaan bersila.

   "Oh, Dewata Yang Agung!"

   Bibir kakek itu bergetar menyebut Asma Penguasa Jagat. Sambil mengatur napasnya yang membu-ru, diperhatikannya dengan seksama wajah gadis yang duduk bersandar jauh darinya.

   "Kekuatan sihir yang mempengaruhinya sangat jahat. Tak dapat aku memusnahkannya. Seperti sebuah benteng yang berlapis-lapis...,"

   Gumam sang Resi.

   "Jiwaku pun hampir terbawa hanyut"

   Beberapa lama kakek itu terpuruk dalam kebingungan. Sinar mentari yang semakin me-nyorot panas membuat peluh ditubuhnya terus bergulir.

   "Kekuatan sihir biasa akan bersifat semen-tara dalam mempengaruhi jalan pikiran. Tapi yang ini lain. Kekuatan itu sangat kuat dan mempunyai kemampuan untuk memutar balik daya batin yang hendak memusnahkannya. Aku men-gira, ada benda beryoni yang menyatu dalam tu-buh gadis itu..."

   Sang Resi lalu mendorong kedua telapak tangannya ke depan. Digerakkannya berputar se-cara perlahan-lahan. Beberapa saat lamanya, bi-bir sang Resi telah mengembangkan senyum.

   "Tujuh batang jarum berkekuatan sihir ja-hat telah mempengaruhi syarafnya...,"

   Desis kakek itu seraya bergerak mendekati si gadis.

   Kemudian, tangan kanan kakek itu men-dekap kepala gadis berpakaian merah.

   Menda-dak....

   Slash...! Tujuh batang jarum hitam melesat dan menembus telapak tangan sang Resi.

   Tubuh si gadis tersentak bersama keluhan kecil yang dikeluarkan sang Resi.

   Ketika kakek itu menarik tangannya, darah merembes keluar.

   Tapi, dia tak begitu mempedulikan.

   Langsung tangannya bersedekap dengan kedua mata terpejam.

   Melalui pengerahan seluruh kekuatan ba-tinnya, sang Resi berusaha menghalau sisa keku-atan sihir yang mencengkeram jiwa gadis berpa-kaian merah.

   Sebentar kemudian, tubuh kedua orang itu bergetar.

   Dengan perlahan sekali getaran itu akhirnya mereda.

   Khrog...! Dari mulut si gadis keluar suara seperti ayam disembelih.

   Lalu, tubuhnya mengejang dan menghentak.

   Sesaat kemudian asap hitam men-gepul dari kedua lubang telinganya.

   Bersamaan dengan itu tubuh gadis berpakaian merah melorot ke tanah dan jatuh pingsan! "Puji syukur ke hadirat Hyang Widhi...,"

   Bisik sang Resi. Dibebaskannya totokan di tubuh si gadis, lalu mengusap wajahnya. Gadis berpakaian me-rah menggeliat lemah. Dia membuka matanya dan bergerak bangkit.

   "Apa yang terjadi?"

   Tanya gadis itu mirip gumaman.

   "Tenanglah...,"

   Ucap sang Resi.

   "Tetap du-duklah di tempatmu. Kau baru saja terbebas dari pengaruh sihir jahat."

   Bersamaan dengan usainya kalimat sang Resi, gadis berpakaian merah merasakan aliran darahnya terasa kacau bagai diaduk-aduk. Hal itu membuat kepalanya pening dan pandangan matanya mengabur.

   "Bersemadilah!"

   Perintah sang Resi. Si gadis mengikuti petunjuk Kakek Resi. Ternyata petunjuknya cukup berhasil. Rasa sakit yang mendera tubuhnya berhasil dihilangkan.

   "Siapa namamu, Gadis Manis?"

   Tanya sang Resi kemudian.

   "Ingkanputri...,"

   Jawab si gadis.

   "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa perasaanku seperti sedang mengalami suatu kelahiran kembali?"

   Gadis bernama Ingkanputri itu tampak kebingun-gan.

   Sang Resi lalu menceritakan apa yang telah menimpa diri gadis itu.

   Setelah mendengar kisah tersebut, Ingkanputri segera berlutut di hadapan sang Resi.

   Dinyatakannya rasa terima kasih sambil menangis terharu.

   Ingkanputri baru teringat kembali apa yang menyebabkan dia sampai bisa berada di kedai dan bertemu sang Resi.

   Dia bersama Suropati terjerumus dalam lo-rong jebakan di Lembah Tengkorak.

   Ingkanputri hendak menjatuhkan tangan maut kepada Suro-pati yang bermaksud menolongnya.

   Karena tak melihat cara lain untuk menyelamatkan diri, dengan terpaksa Suropati melepas dekapannya pada tubuh Ingkanputri.

   Gadis itu pun meluncur jatuh ke dasar lorong.

   Dalam keadaan gawat Ingkanputri masih sempat menghunjamkan ujung selendangnya ke dinding lorong.

   Tubuh Ingkanputri tertahan hing-ga tak terhempas ke dalam lorong.

   Apa yang dilakukan gadis itu adalah hasil ajaran Sekar Mayang, selama Perkumpulan Bida-dari Lentera Merah masih berjaya.

   Sebagai anak buah yang sangat diandalkan, Sekar Mayang me-rasa perlu untuk mengajarkan pada Ingkanputri mengenai ilmu memainkan selendang.

   Dengan menghunjam-hunjamkan ujung se-lendang ke dinding lorong, Ingkanputri merayap naik.

   Gadis itu berhasil keluar dengan selamat.

   Ketika dia berjalan hendak keluar dari Lembah Tengkorak, Ingkanputri melihat sinar kehijauan memancar dari sebuah benda bergulung terbuat dari kulit harimau.

   Ingkanputri memungut benda yang tergele-tak tanah itu.

   Dibawanya ke mana pun dia pergi.

   Tanpa disadarinya, benda itulah yang menyela-matkannya dari pengaruh sihir jahat Sekar Mayang hingga tak menjadikannya benar-benar hilang ingatan.

   "Sudahlah...,"

   Kata sang Resi.

   "Kau tak perlu larut dalam kesedihan. Seharusnya kau ber-gembira. Dirimu telah kembali seperti sediakala."

   "Bagaimana aku harus membalas budi Eyang?"

   Ujar Ingkanputri dengan kepala tertunduk.

   "Manusia diwajibkan untuk saling tolong-menolong. Balas budi memang baik, tapi tidak di-haruskan Hyang Widhi mengetahui kebaikan se-seorang. Dia-lah yang akan membalas sega-lanya...."

   "Terima kasih, Eyang...,"

   Desis Ingkanputri. Sang Resi menepuk bahu gadis itu. Lalu di-tariknya pelan agar Ingkanputri berdiri.

   "Kau ikutlah ke mana aku pergi. Jiwamu perlu di sirami kasih Sang Penguasa Jagat,"

   Ajak Kakek Resi.

   Ingkanputri tidak membantah.

   Dia me-mang tidak memiliki siapa pun untuk tempatnya bergantung.

   Gurunya, Dewi Tangan Api, tidak di-ketahui di mana rimba.

   Ketika Ingkanputri baru berjalan beberapa tindak, gadis itu merasakan sesuatu mengganjal di balik pakaian.

   Buru-buru Ingkanputri mera-banya.

   "Apa ini?"

   Desis Ingkanputri setelah mengeluarkan benda yang tidak pernah diambilnya se-belum meninggalkan Lembah Tengkorak.

   Ru-panya dia sudah lupa pada benda itu.

   Dahi sang Resi yang memang sudah penuh kerutan semakin berkerut menatap gulungan ku-lit harimau yang dipegang Ingkanputri.

   "Ada getaran aneh muncul dari dalam ben-da itu...,"

   Gumam kakek tersebut.

   "Seperti sebuah benda wasiat dari seorang tokoh sakti yang telah menyucikan diri."

   Sang Resi lalu meminta gulungan kulit ha-rimau, dan mengamatinya. Dia tidak tahu kalau benda itu adalah wasiat Datuk Risanwari yang harus disampaikan Suropati kepada Gede Panja-lu.

   "Apakah kau bisa mengingat-ingat dari mana benda ini berasal, Putri?"

   Tanya sang Resi.

   Ingkanputri berusaha memenuhi permin-taan penolongnya.

   Tapi hanya kegelapanlah yang dia temui.

   Selama enam candra lebih gadis itu telah lupa segala-galanya Melihat Ingkanputri hanya berdiam diri, sang Resi lalu mendongakkan kepalanya.

   "Semoga Hyang Widhi memberi petunjuk untuk mengetahui isi gulungan kulit harimau ini,"

   Gumam kakek itu memanjatkan doa.

   Perlahan-lahan tangannya membuka ika-tan tali penjalin.

   Gulungan kulit harimau itu pun terkuak.

   Peluh segera membasahi kening sang Resi.

   Kedua tangannya gemetar ketika membaca barisan huruf-huruf yang tertera....

   Seiring bertambahnya usia jagat yang se-makin tua, manusia semakin lupa akan kodratnya.

   Nafsu jahat merajalela.

   Sifat-sifat tak terpuji semakin tertanam dalam jiwa.

   Manusia terus mengikuti hasrat hati tanpa dapat membedakan salah dan benarnya.

   Keluhuran budi yang hakiki menjadi bayangan semu yang akan memudar.

   Terlindas oleh cerminan perilaku angkara.

   Ketika rimba persilatan dikuasai oleh tokoh-tokoh beraliran sesat, bumi berguncang laksana kiamat.

   Manusia saling membunuh.

   Darah dijadi-kan pelepas dahaga.

   Tiada arti sanak kerabat.

   Semua adalah musuh yang harus dienyahkan.

   Langit seakan-akan telah runtuh.

   Jerit kematian berubah jadi irama merdu yang mengelus gendang telinga.

   Manusia semakin terpuruk ke dalam lem-bah dosa.

   Adalah Dewata Agung Yang Maha Adil.

   Dia telah menurunkan seorang anak ajaib yang sanggup menyibak kegelapan.

   Dalam tubuhnya tersimpan kebangkitan dari kebenaran dan keadilan.

   Usai membaca untaian kalimat itu, sang Resi menarik napas panjang.

   Jiwanya seakan ter-bang melayang.

   Alam pikiran pun mendadak ko-song.

   Beberapa lama kakek itu diam terpaku di tempatnya.

   Namun, dengan menyebut Asma Sang Tunggal akhirnya dia menyadari keadaan dirinya.

   Perlahan-lahan tangan sang Resi menutup kem-bali gulungan kulit harimau.

   Saat itulah dua bayangan berkelebat, dan mendarat tepat tiga tombak di hadapan sang Resi.

   Kakek itu menatap dengan penuh keterkejutan! "Keparat kau, Agaswara...!"

   Hardik sosok nenek yang baru datang.

   "Kebetulan aku berjumpa denganmu di sini. Sakit hatiku hanya dapat diobati dengan nyawamu!"

   Sang Resi yang dipanggil Agaswara mun-dur beberapa tindak. Tiba-tiba sinar matanya meredup. Tubuhnya menggigil seperti orang ke-dinginan.

   "Sekar Arum....,"

   Gumam Agaswara dengan suara gemetar.

   "Ha-ha-ha...!"

   Sekar Arum alias si Perangai Gila tertawa keras.

   "Ketika nyawa sudah di ambang pintu neraka, kau masih mau menyebut nama kecilku. Tapi, jangan harap peristiwa puluhan tahun lalu akan terulang lagi!"

   "Maafkan aku, Arum...."

   "Cih! Perbuatanmu melebihi kebiadaban binatang! Apakah hanya dengan kata maaf semua dapat pulih kembali?!"

   Ujar Perangai Gila dengan berapi-api "Telah sekian lama aku hidup dalam penderitaan akibat rasa malu yang mendera. Hanya kematianlah tebusannya!"

   Wanita kurang waras itu merenggut ram-but palsunya.

   Kemudian dilemparkan ke arah Re-si Agaswara! Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu membuat tubuh sang Resi ter-lempar, dan jatuh bergulingan di atas tanah.

   Melihat itu, Ingkanputri buru-buru melon-cat untuk membantu sang Resi bangkit berdiri.

   "Kau menjauhlah, Putri...,"

   Perintah Agaswa sambil mendekap dadanya.

   "Aku memang manusia biadab. Aku akan menebus dosa...."

   Resi Agaswara menyodorkan gulungan ku-lit harimau yang digenggamnya kepada Ingkanpu-tri.

   Dia kemudian berdiam diri, siap menghadapi segala tindakan Perangai Gila.

   Ketika matanya menatap kepala Perangai Gila yang gundul tanpa kulit, dia menunduk tak sanggup menatap lebih lama.

   Perangai Gila melirik ke arah Dewi Ikata yang berdiri di sampingnya.

   "Dialah manusia licik yang telah memper-dayaiku, Ika...,"

   Beritahu wanita kurang waras itu dengan suara bergetar.

   "Dia memang pandai ber-tipu muslihat. Kau lihat pakaiannya yang mirip seorang pertapa, semua itu hanya untuk me-nyembunyikan kebobrokan moralnya!"

   "Jangan sebut itu, Arum...,"

   Sergah Resi Agaswara.

   "Jauh hari setelah aku melakukan perbuatan terkutuk itu, timbul keinginanku untuk menebusnya dengan mendekatkan diri kepa-da Yang di Atas. Aku belajar tentang kebenaran dan kesesatan. Dan, semua itu menimbulkan ra-sa sesal yang tak pernah ada habis-habisnya...."

   Perangai Gila tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Agaswara. Lalu, kepalanya di-palingkan menatap wajah muridnya.

   "Kau lihat sendiri, Ika. Manusia keparat itu masih berusaha untuk memperdayai. Tapi, siapa yang tak tahu kedok manusia penutup jiwa busuk!"

   Kata wanita kurang waras itu setengah berteriak "Hei, Agaswara! Hubungan di antara kita telah lama putus. Kata-kata merdu tak layak untuk mengiringi ke-matianmu! Bersiap-siaplah kau!"

   Perangai Gila menggeram keras. Kedua tangannya ditarik ke belakang dengan hembusan napas berat. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya telah tersalurkan! Resi Agaswara cuma menatap sebentar. La-lu, kakek itu berdiri tegak seraya memejamkan mata.

   "Tak ada kekuatan yang melebihi kekuatan yang Widhi. Tak ada kekuasaan yang melebihi kekuasaan Sang Penguasa Alam. Dengan kasih-Nya, semoga dosa-dosaku kepada Sekar Arum te-rampuni...."

   Resi Agaswara tampak pasrah menyambut datangnya Malaikat Kematian. Melihat kedua tangan Perangai Gila berge-tar oleh kuatnya aliran tenaga dalam, Ingkanputri melompat ke hadapan Resi Agaswara.

   "Pergi kau!"

   Bentak Perangai Gila. Ingkanputri diam di tempatnya. Matanya memandang wanita tak berambut itu tanpa ber-kedip.

   "Kau jangan mencari kesulitan, Putri...,"

   Ujar Resi Agaswara. Dia tahu gadis itu berkeinginan hendak menolongnya.

   "Biarkanlah aku menyambut kematian tanpa seorang pun ikut men-jadi korban."

   "Tidak!"

   Teriak Ingkanputri seraya memba-likkan badan.

   "Eyang telah menyelamatkan diriku dari tempat kelam yang menyakitkan dari segala siksaan. Haruskah aku berdiam diri melihat Eyang terancam bahaya?"

   Gadis itu lalu menghambur dan memeluk tubuh Resi Agaswara.

   Ingkanputri menangis da-lam keharuan.

   Walaupun dia tak tahu siapa se-benarnya Resi Agaswara dan apa yang telah dila-kukannya terhadap Perangai Gila, tapi Ingkanpu-tri dapat menilai kalau kebaikan sang Resi tidak dibuat-buat.

   Kepasrahan kakek itu untuk mene-rima kematian sanggup meluluhkan hati Ingkan-putri.

   Gadis itu tenggelam dalam rasa haru yang sangat.

   "Kau tak perlu mengalirkan air mata untuk manusia kotor sepertiku, Putri. Segeralah pergi. Dunia luas menanti uluran tanganmu!"

   Ujar Resi Agaswara mantap.

   Usai mengucapkan kalimatnya, kakek itu menyentakkan lengannya dengan berlambarkan tenaga dalam.

   Akibatnya tubuh Ingkanputri ter-dorong jatuh Bersamaan dengan itu Perangai Gila me-lancarkan pukulan jarak jauhnya! Sinar perak meluncur deras ke arah Resi Agaswara.

   Tapi, kakek itu tetap diam di tempat-nya tanpa sedikit pun bergerak menghindar.

   Deeesss...! Resi Agaswara terlempar beberapa tombak, dan jatuh bergulingan di atas tanah dalam kea-daan pingsan.

   Perangai Gila segera berpaling menatap ta-jam wajah muridnya.

   "Kenapa kau menghalangi-ku untuk melenyapkan manusia busuk itu?!"

   Bentaknya dengan penuh geram.

   Dewi Ikata yang baru saja melancarkan pukulan jarak jauh untuk mencegah gurunya menjatuhkan tangan maut, hanya tertunduk di-am.

   Serangan Perangai Gila meleset karena puku-lan jarak jauh Dewi Ikata telah menjatuhkan tu-buh Resi Agaswara.

   Perangai Gila menggeram semakin keras.

   "Cepat katakan! Apakah kau hendak mela-wanku?!"

   Dewi Ikata langsung menjatuhkan diri, kemudian memeluk kaki Perangai Gila. Dia ingin meredakan kemarahan gurunya.

   "Aku mencintaimu, Eyang. Aku menyayan-gimu. Tapi aku tak ingin melihat Eyang membu-nuh orang yang telah mengakui kesalahannya,"

   Ucap Dewi Ikata. Air matanya membanjir. Perangai Gila tertawa terbahak-bahak. Sambil menengadahkan wajah menanggapi uca-pan muridnya. Kakinya menepis pelukan Dewi Ikata. Wa-nita kurang waras itu lalu berlari pergi sambil terus tertawa.

   "Eyang...!"

   Dewi Ikata berlari mengejar.

   *** Langit tampak bersih.

   Sinar mentari mem-biaskan warna perak.

   Angin berhembus pelan be-rusaha mengusir gerah.

   Ranting pepohonan me-liuk-liuk bagai tarian bidadari.

   Kicau burung yang tak pernah bosan menghibur siang.

   Ingkanputri duduk bersimpuh di hadapan Resi Agaswara yang sedang bersemadi untuk mengobati luka dalamnya.

   Baju yang dikenakan kakek tua itu sebagian telah hancur memperli-hatkan bahu kirinya yang hangus.

   Ketika mentari telah condong ke barat, Resi Agaswara membuka matanya.

   "Kau tidak apa-apa, Eyang?"

   Tanya Ingkanputri cemas.

   "Hyang Widhi masih berkenan melindungi nyawaku,"

   Kata sang Resi.

   "Tapi, sebagian uratku telah hancur. Tangan kiriku tak mungkin dapat digerakkan lagi."

   Ingkanputri menarik napas panjang. Dita-tapnya wajah Resi Agaswara dengan penuh belas kasihan. Tiba-tiba air mata gadis itu meleleh. Dia teringat ayahnya yang telah tiada.

   "Orang yang terjun dalam rimba persilatan harus mempunyai hati baja. Kenapa hanya meli-hat peristiwa kecil saja, air mata mesti diperlihatkan...,"

   Kata Resi Agaswara dengan penuh kelembutan.

   Kakek itu mengira Ingkanputri menan-gisi dirinya yang terluka.

   Resi Agaswara lalu bangkit berdiri.

   Ada se-dikit keluhan keluar dari mulutnya.

   Ingkanputri mendekat.

   Dibimbingnya kakek itu.

   Mereka berjalan menyusuri siang tanpa tujuan yang pasti.

   Ketika malam hampir menjelang, beberapa dusun telah terlewati.

   Ingkanputri pun sadar pakaiannya yang serba merah selalu mengundang perhatian orang.

   Maka, dengan uang pemberian Resi Agaswara, dia membeli sepotong baju ber-warna kuning.

   "Kau sangat cantik, Putri...."

   Puji sang Resi sambil menatap baju baru Ingkanputri.

   "Ah, Eyang...;"

   Pipi gadis itu merona merah.

   "Kita harus mencari tempat untuk berma-lam. Mudah-mudahan ada orang baik yang mau menyediakan rumahnya untuk kita."

   "Aku sudah terbiasa tidur di alam bebas,"

   Sahut Ingkanputri.

   "Maksudmu?"

   "Di atas pohon, di hamparan tanah luas, atau di tempat lainnya. Bagiku sama saja...."

   "Kau tidak takut?"

   Tanya Resi Agaswara sedikit heran. Bagaimana pun Ingkanputri adalah seorang gadis muda yang cantik. Rasanya kurang aman jika dia pergi ke mana-mana seorang diri. Ingkanputri tersenyum tipis.

   "Eyang lupa kalau aku adalah seorang petualang,"

   Katanya.

   "Tapi, kau tetap seorang wanita yang tidak bisa lepas dari kodrat. Ada banyak aturan yang membuat seorang wanita tidak bisa berbuat se-maunya."

   "Ah, Eyang terlalu berlebihan,"

   Sungut Ingkan putri.

   "Hus!"

   Ingkanputri tertawa, Resi Agaswara pun tersenyum.

   Mereka berjalan kembali sambil terus bercakap-cakap dengan akrabnya.

   Walaupun ba-ru saling mengenal, tapi keakraban mereka sudah seperti ayah dan putrinya.

   Di tepi sebuah hutan akhirnya Resi Agas-wara menuruti ajakan Ingkanputri untuk berma-lam di atas pohon besar.

   Kakek itu merasa lelah juga terus berjalan karena tidak mendapat tempat penginapan atau rumah penduduk untuk berma-lam.

   Padahal malam telah menjelang.

   Ketika pagi baru saja tiba, mereka dike-jutkan oleh teriakan dua orang lelaki tua bertampang angker.

   "Agaswara! Malaikat Bangau Sakti telah menyusun kekuatan. Ribuan pendekar telah men-jadi bangkai. Yang mempunyai akal sehat memilih jalan sebagai pengikut. Hari ini Sang Ketua berkenan mengundangmu ke Bukit Bangau!"

   "Katakan kepada ketuamu, aku belum mempunyai waktu untuk memenuhi undangan-nya...,"

   Sahut Resi Agaswara dengan tenang. Dua lelaki tua yang dikenal dengan sebu-tan Bayangan Hitam dan Penyedot Arwah itu menggeram.

   "Menojak undangan Sang Ketua berarti menantang maut!"

   Kata Bayangan Hitam yang bertubuh jangkung.

   "Aku mencium maksud buruk. Kenapa aku mesti pergi ke Bukit Bangau?!"

   "Ha-ha-ha...,"

   Tawa Bayangan Hitam membuat janggutnya yang putih panjang bergerak ba-gai kibasan ekor sapi.

   "Katakan saja kalau kau takut, Agaswara!"

   Ejeknya kemudian. Sang Resi tersenyum tipis. Ingkanputri ber-jalan mendekat.

   "Siapa dia?"

   Tanya gadis itu dengan berbisik.

   "Yang berpakaian serba hitam adalah tokoh sesat yang merajai wilayah barat. Sedangkan yang berdiri di belakangnya penguasa wilayah timur,"

   Beritahu Resi Agaswara.

   "Hei, Agaswara!"

   Hardik Penyedot Arwah.

   "Tak perlu kau berbisik-bisik macam perempuan kurang kerjaan! Segera kau penuhi perintah Sang Ketua. Atau aku akan menyeretmu!"

   Tak ada kata yang keluar dari mulut Resi Agaswara.

   Kakek itu malah membenarkan letak selempang di bahu kirinya untuk menutupi kain jubah yang robek.

   Gerakan kakek itu sangat te-nang tanpa sedikit pun menunjukkan kegentaran, padahal dua orang tokoh hitam yang berdiri dihadapannya bukanlah manusia sembarangan.

   Se-pak terjang mereka sangat ganas.

   Tak pernah memberi ampunan terhadap lawan.

   Duuuk...

   Tiba-tiba, Penyedot Arwah menggedrukkan kaki kanannya ke tanah.

   Bumi seketika bergun-cang.

   Beberapa buah batu besar bergeser dari tempatnya.

   Tubuh Ingkanputri pun tampak lim-bung.

   Tapi, Resi Agaswara malah tersenyum tipis, heran kakek itu tak merasakan apa-apa.

   Tubuhnya tetap berdiri tegak.

   Melihat itu, Penyedot Arwah menggeram, telapak kakinya lalu kembali menghentak.

   Swooosss...! Permukaan tanah di depannya berkubang.

   Gumpalan padas bercampur bebatuan berpinda-han menghujani tubuh sang Resi! Kakek itu bu-ru-buru mengibaskan ujung lengan jubahnya.

   Se-rangkum angin pukulan berputar membuat se-rangan Penyedot Arwah tiada berarti.

   "Kau memang hebat, Agaswara...,"

   Puji lelaki bertubuh kekar itu.

   "Tapi, aku ingin tahu da-patkah kau bertahan dari ilmu 'Penghisap Darah'-ku!"

   Penyedot Arwah langsung membuka kedua kakinya dengan badan sedikit terbungkuk.

   Kedua tangan ditekuk menghadap ke depan.

   Bersamaan dengan itu, wajah Penyedot Arwah berubah te-gang.

   Matanya melotot merah Hhhh...! Tak ada angin pukulan yang muncul.

   Tapi, Resi Agaswara terperangah merasakan aliran da-rahnya mendadak jadi kacau.

   Detak jantung menghentak-hentak bagai dipukuli palu godam! Tokoh tua yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan itu segera menge-rahkan hawa murni.

   Tubuhnya tampak bergetar hebat.

   Penyedot Arwah menarik kaki kirinya ke belakang bersamaan dengan kedua tangannya yang menyentak.

   Kworshhh....

   Suatu pemandangan mengerikan pun ter-jadi.

   Mulut Resi Agaswara menyemburkan darah segar.

   Tersedot oleh telapak tangan Penyedot Arwah! Wajah sang Resi langsung memucat, tata-pan matanya terlihat nyalang.

   Agaknya dia tahu maut telah mengancam.

   Tentu saja Ingkanputri tidak tinggal diam.

   Gadis itu segera melancarkan pukulan jarak jauh dengan berlambarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.

   Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema.

   Tubuh gadis itu terlempar beberapa tombak.

   Rupanya, Bayan-gan Hitam telah memapaki serangan Ingkanputri.

   Resi Agaswara yang sedang berkutat mela-wan maut menyorongkan telapak tangan kanan-nya.

   Darah segar yang menyembur dari mulutnya terhenti.

   Tapi, mendadak tubuh tokoh tua itu jatuh terjengkang.

   "Ha-ha-ha...."

   Tawa Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam membahana bersamaan. Mereka menatap tubuh Resi Agaswara dan Ingkanputri yang tergeletak di tanah.

   "Sang Ketua menunggumu di Bukit Bangau, Agaswara!"

   Teriak Bayangan Hitam. Sang Resi bangkit seraya mendekap dada kirinya. Saat itulah, Bayangan Hitam melihat tangan kiri Resi Agaswara menggantung lemah.

   "Huh! Rupanya kau telah cacat, Agaswara! Semoga saja Sang Ketua masih mau memberimu muka,"

   Kata lelaki berjanggut panjang itu.

   "Kau kira ketuamu seorang malaikat, se-hingga semua orang dipaksa bertekuk-lutut!"

   Hardik Ingkanputri yang telah berdiri di samping Resi Agaswara "Hanya kalianlah yang patut dija-dikan budak. Wajah kalian berdua sangat mirip kerbau congek yang tak mampu berpikir pan-jang!"

   Ejek gadis itu.

   "Bangsat!"

   Umpat Bayangan Hitam seraya menerjang.

   Ingkanputri telah mempersiapkan diri.

   Tu-buhnya melayang lalu mengirimkan tendangan.

   Sayang, tendangan itu tak mengenai sasaran.

   Ju-stru punggung Ingkanputri berhasil digedor la-wan.

   Gadis itu jatuh terjerembab.

   Kalau saja dia tidak melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam, punggungnya pasti sudah hancur.

   "Gadis ingusan mau coba-coba melawan-ku!"

   Dengus Bayangan Hitam. Ketika Ingkanputri bangkit berdiri, ada se-suatu yang jatuh dari balik bajunya. Bayangan Hitam menatap benda itu dengan mata terbelalak.

   "Wasiat datuk Risanwari,"

   Desisnya. Secepat kilat disambarnya gulungan kulit harimau yang tergeletak di tanah tak jauh darinya.

   "Pencuri busuk!"

   Hardik Ingkanputri.

   Serta-merta gadis itu mengibaskan telapak tangannya! Angin pukulan berhawa panas me-nerpa.

   Bayangan Hitam pun menarik tangannya.

   Tapi, dia segera melancarkan tendangan ke arah Ingkanputri.

   Dengan berkelit ke samping, gadis itu ber-hasil menghindari serangan.

   Kemudian disam-barnya gulungan kulit harimau yang tergeletak di sisi kanan tubuhnya.

   Blab...! Tiba-tiba, gadis itu menjerit tertahan.

   Tan-gannya membentur kekuatan kasat mata yang di-ciptakan Bayangan Hitam.

   "Kau tak berhak memiliki benda wasiat itu, Gadis kecil!"

   Kata Bayangan Hitam sambil meng-gerakkan telapak tangannya ke depan. Dan, gu-lungan kulit harimau melayang ke arahnya.

   "Jangan sentuh!"

   Cegah Resi Agaswara.

   Dilancarkannya pukulan jarak jauh.

   Blaaarrr...! Bayangan Hitam yang berdiri di samping Penyedot Arwah memapaki serangan itu.

   Akibat-nya, tubuh sang Resi terlontar.

   Sadarlah dia kalau lawan mempunyai tenaga dalam yang lebih tinggi di atasnya.

   Pukulan jarak jauhnya seperti membentur tembok baja setebal satu depa.

   Penyedot Arwah tertawa terbahak-bahak "Jayalah Sang Ketua dengan Perkumpulan Bangau Sakti-nya!"

   Teriak tokoh sesat itu dengan suara lantang.

   Tanpa ada yang mengusik, lelaki bertubuh kekar itu memungut gulungan kulit harimau.

   Namun, keterkejutan menghantam dadanya.

   Benda yang hampir tersentuh tangan itu tiba-tiba memancarkan sinar kehijauan.

   Tubuh Penyedot Arwah terasa bagai dijalari hawa panas api nera-ka.

   "Hih! Dengan kehendak Penguasa Gelap, tak ada kekuatan yang mampu menghalangi naf-su angkara!"

   Dengan mengerahkan tenaga da-lamnya, lelaki bertubuh kekar itu pun berhasil menyambar gulungan kulit harimau. Kemudian, dibawanya lari sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Sang ketua menunggu kedatanganmu, Agaswara!"

   Bayangan Hitam seraya menghem-paskan tubuhnya, menyusul kepergian Penyedot Arwah.

   Puluhan bangau terbang rendah.

   Sayapnya mengepak perlahan, kemudian terpentang dengan gagahnya.

   Ketika hinggap di hamparan tanah luas, paruhnya bergerak menotok mencari ma-kan.

   Dilihat dari kejauhan bangau-bangau itu bagai biasan warna putih yang bergerak mengikuti irama.

   Selagi mereka asyik mencari makanan di kubangan-kubangan air, seekor bangau besar berbulu hitam datang melesat dan membuat ke-terkejutan dengan suaranya yang serak.

   Bangau-bangau putih pun buyar.

   Cepat mereka terbang dikejar oleh rasa takut.

   Sebentar kemudian, tempat itu telah dikuasai oleh puluhan bangau hi-tam.

   Mereka menotol-notol tanah dengan suara riuh-rendah.

   Di puncak bukit yang bertanah datar suatu benteng setebal satu depa tampak melingkar.

   Benteng itu, berkesan angker karena di pintu gerbang terdapat puluhan lelaki berdiri dengan sinar mata bengis.

   Sementara di dalam benteng, di sebuah bangunan megah, seorang lelaki berwajah pucat duduk di singgasana perak bertaburkan emas permata.

   Rambut lelaki itu telah memutih semua.

   Dikuncir menjadi satu dalam jalinan pan-jang.

   Tubuhnya yang kurus berkulit putih bersih dibungkus pakaian sutera serba hitam dengan ikat pinggang berwarna merah darah.

   Dia adalah Malaikat Bangau Sakti, pemim-pin Perkumpulan Bangau Sakti yang telah berha-sil menaklukkan empat tokoh hitam penguasa penjuru mata angin.

   Di hadapannya duduk dua orang lelaki tua yang juga berpakaian serba hitam.

   Mereka bersila di lantai marmer.

   Yang berambut riap-riapan adalah Dewa Laknat, penguasa wilayah selatan.

   Se-dangkan yang bermata sipit adalah Pencabik Sukma, penguasa wilayah utara.

   Mereka mendongakkan kepala ketika Ma-laikat Bangau Sakti mendengus, lalu berdiri dari singgasananya.

   "Bukit Bangau telah menjulang dengan ga-gah bertumbalkan ribuan nyawa...,"

   Kata lelaki berwajah pucat itu.

   "Namun, sebagian besar adalah kaum kita sendiri yang tak mau bertekuk-lutut di hadapanku. Tokoh-tokoh jajaran atas beraliran putih masih banyak yang berkeliaran dengan bebas. Kalian harus membuatku puas."

   Kepala Dewa Laknat dan Pencabik Sukma kembali tertunduk. Suara Malaikat Bangau Sakti bergetar seperti menyimpan kemarahan.

   "Seluruh tokoh rimba persilatan harus bernaung di bawah bendera perkumpulan Bangau Sakti. Tugas kalian adalah membuat mereka tak-luk!"

   "Hamba akan melaksanakan perintah...,"

   Kata Dewa Laknat dan Pencabik Sukma hampir bersamaan.

   Ketika Malaikat Bangau Sakti menggerak-kan kepalanya, dua orang tokoh sesat itu pun segera berlalu dari tempat itu.

   Tak lama kemudian, seorang wanita cantik berumur tiga puluh tahun hadir dengan gerak tu-buhnya yang lemah gemulai.


Dewa Arak Pedang Bintang Pendekar Rajawali Sakti Teror Si Raja Api Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini