Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1
Putri Bong Mini Rahasia Pengkhianatan Baladewa Bagian 1
RAHASIA PENGKHIANATAN BALADEWA Oleh D.
Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Matahari telah bergeser ke arah barat.
Sinarnya yang siang tadi terasa menyengat, kini berubah redup dan hangat.
Pertanda malam akan segera turun.
Halaman Rumah Makan Hin-Hin, satu-satunya ru-mah makan di Kota Girik, tampak banyak dikunjungi para pendekar yang datang dari berbagai negeri.
Mere-ka datang ke rumah makan itu bukan hendak menik-mati hidangan, melainkan menyaksikan pertempuran seorang wanita cantik dengan gadis bertubuh mungil.
Wanita cantik yang mengaku bernama Nyi Genit itu tampak terkejut ketika mengetahui siapa gadis mungil yang berdiri di hadapannya.
Gadis itulah yang meng-gagalkan niatnya untuk mengisap darah enam pemuda itu di Bukit Buncit (untuk jelasnya, baca serial Putri Bong Mini dalam episode.
'Sengketa Darah Para Tumbal').
Dan sekarang, gadis itu pula yang kembali menghalangi niatnya untuk mengisap darah Tiga Pendekar Mata Dewa yang berhasil dilumpuhkan.
Kegemaran Nyi Genit mengisap darah pemuda dan bayi merupakan satu syarat untuk menambah kesak-tiannya.
Apalagi jika ia berhasil mengisap darah, sumsum, dan otak bayi yang baru lahir, maka dalam sekejap penampilannya akan berubah muda seperti seka-rang.
Saat ini, ketika ia hendak mencengkeram tiga pe-muda, niatnya terhalang oleh kehadiran gadis bertu-buh mungil.
Nyi Genit menjadi lebih marah lagi mana-kala teringat kalau gadis itu pula yang telah memotong rambut kesayangannya ketika bertanding di Bukit Buncit.
"Kalau aku tahu kau bernama Nyi Genit, kau sudah kubikin mampus ketika bertanding di Bukit Buncit!"
Geram Bong Mini. Matanya berkilat-kilat ketika menatap tajam pada lawannya.
"Phuih! Kau pikir akan menang berhadapan de-nganku?"
Dengus Nyi Genit pula, tak kalah geram.
"Kalau kau merasa menang, kenapa lari ketika ber-tanding di Bukit Buncit?"
Kilah Bong Mini.
"Aku lari karena tidak ingin menyakitimu!"
Nyi Ge-nit berdalih.
"Kalau begitu, sekarang saja kita adu nyawa, Nenek Peot!"
Tantang Bong Mini dengan darah mendidih di sekujur tubuhnya. Mendengar sebutan nenek peot, Nyi Genit tertawa cekikikan.
"Sayang sekali. Usiamu masih muda dan cantik tapi ternyata matamu rabun. Tubuh muda, indah, dan can-tik seperti ini dibilang nenek peot!"
Kata Nyi Genit sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya.
"Phuih! Nenek peot tidak tahu diri!"
Ketus Bong Mi-ni. Kemudian matanya menyebar pada dua puluh pen-dekar yang hadir di situ. Di antaranya Lima Pendekar Teluk Naga dan lima belas orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti.
"Tahukah para pendekar sekalian bahwa kecanti-kan yang dimiliki wanita ini hanyalah tipu daya belaka. Sebenarnya dia seorang nenek yang umurnya menca-pai enam puluh tahun. Tapi karena dia sering minum darah pemuda, sumsum, dan otak bayi maka ia men-jelma menjadi muda seperti ini. Oleh karena itu dia sangat bernafsu terhadap tiga pemuda yang tidak berdaya ini untuk diisap darahnya agar dapat menambah kecantikan dan kesaktian ilmu 'Hitam Pesona Darah' yang dimilikinya!"
Celoteh Bong Mini tanpa rasa gentar sedikit pun.
Dua puluh pendekar yang terdiri dua perkumpulan yang hadir di tempat ini tampak terkejut mendengar penuturan lantang Bong Mini.
Terutama Lima Pende-kar Teluk Naga.
Mereka geram atas kelakuan Nyi Genit yang dipaparkan Bong Mini tadi.
Nyi Genit sangat murka mendengar ucapan Bong Mini yang dianggapnya kurang ajar telah membongkar rahasia kecantikannya, termasuk perbuatan mengisap darah lelaki muda.
"Bocah sundal! Kali ini mulutmu harus kurobek agar tidak nyinyir lagi!"
Geram Nyi Genit disertai terjangan setinggi satu meter ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Desss! Kaki kanan Nyi Genit yang melakukan tendangan ke wajah Bong Mini disambut oleh Kok Thai Ki yang cepat menghadang di depan Bong Mini dan memukul telapak kaki Nyi Genit dengan tangan kanannya.
Nyi Genit tersentak sambil menarik kakinya kemba-li.
"Perempuan jalang yang tak tahu diri! Beraninya hanya pada seorang anak kecil!"
Ejek Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga sambil mencabut pedangnya.
"Bedebah! Majulah kalian berlima jika ingin meng-antarkan nyawa padaku!"
Geram Nyi Genit. Nafsunya sudah tak dapat dibendung lagi. Sehingga sepasang matanya yang tadi bekerjap-kerjap mengandung bira-hi, berubah merah menyala.
"Serbuuu...!"
Kok Thai Ki memberi aba-aba pada empat temannya yang masing-masing bernama Hong Tan Tosu, Tang Hu, Cu Han Bu, dan Cu Seng Bu.
Mereka bergerak se-rempak menyerang lawan.
Pedang para pendekar dari daerah di sebelah barat Tiongkok itu tampak me-mancarkan sinar berkilau ketika bergerak menyambar-nyambar tubuh Nyi Genit.
Jurus 'Pedang Seratus De-wa' yang dilancarkan Lima Pendekar Teluk Naga berge-rak sangat cepat dan dahsyat.
Membuat para pendekar lain yang menyaksikan pertempuran itu berdiri tegang.
Siuuut...! Trakkk...! Crattt! Crattt! Crattt! Gulungan sinar pedang dari Lima Pendekar Teluk Naga dapat ditangkis dengan gulungan sinar tongkat hitam, hingga menimbulkan rasa panas dan nyeri di tangan Lima Pendekar Teluk Naga.
Karena pedang me-reka selalu bergetar keras setiap menyentuh tongkat hitam milik Nyi Genit yang diputar dengan kecepatan tinggi, hingga menimbulkan bayang-bayang tongkat-nya saja.
Betapa terkejutnya mereka ketika mengetahui kalau tongkat Nyi Genit ternyata terbuat dari selendang hitam yang digunakan untuk membelit Tiga Pendekar Mata Dewa (baca episode 5.
'Sengketa Darah Para Tumbal').
Selendang itu dibelit-belit hingga panjangnya mencapai dua meter.
Melihat kenyataan itu, sadarlah Lima Pendekar Te-luk Naga kalau wanita yang mereka hadapi benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa.
Sehingga selendang yang ukurannya mencapai dua meter itu da-pat menegang kuat bagai tongkat kayu.
Malah tongkat dari selendang hitam itu lebih berbahaya lagi.
Karena pada kesempatan tertentu ujungnya dapat membeng-kok seperti lengkungan gagang payung, hingga bisa menjerat leher lawan.
Lima Pendekar Teluk Naga melompat ke belakang, lalu berdiri gagah mengepung Nyi Genit.
Benak mereka terus berpikir untuk mencari serangan lain setelah serangan pertama gagal.
"Bentuk serangan 'Pedang Berantai'!"
Kok Thai Ki memberi aba-aba.Seketika itu juga keempat temannya bergerak mengepung lawan lebih dekat lagi.
Namun kepungan kali ini tidak tetap di tempat, melainkan ber-lari-lari kecil mengelilingi lawan.
Sedangkan pedang di genggaman tangan mereka terus menyambar-nyambar tubuh Nyi Genit.
Nyi Genit terkejut melihat serangan aneh itu.
Piki-rannya bingung melihat serangan berantai yang datang susul-menyusul dari berbagai arah.
Apalagi gerak lari mereka yang semakin cepat, membuat kepala Nyi Genit agak pusing.
Namun dalam keadaan begitu, mulut Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan tawa aneh.
Tawa yang membuat orang ketakutan.
"Hi hi hi...!"
Tawa Nyi Genit bagai orang digelitik, keras dan me-nyeramkan! Menimbulkan gema susul-menyusul, se-akan semua iblis dan setan yang selama ini dipujanya berdatangan membantu Nyi Genit.
Begitu tawanya berhenti, berhenti pula gerak tubuh Lima Pendekar Teluk Naga.
Mereka diam mematung seperti terkena si-hir.
Dan pada saat itu Nyi Genit melompat keluar dari kurungan lawan sambil melakukan serangan menotok.
"Sadarkan diri kalian! Jangan terpengaruh oleh ira-ma tawa iblis jalang itu!"
Tiba-tiba Bong Mini berteriak keras menyadarkan Lima Pendekar Teluk Naga.
Dia tahu kalau tawa yang keluar dari mulut Nyi Genit merupakan tawa yang disertai kekuatan tenaga iblis.
Itulah salah satu kehebatan dari ilmu 'Hitam Pesona Darah' yang dimiliki Nyi Genit Teriakan Bong Mini berhasil menyadarkan Lima Pendekar Teluk Naga.
Namun sebelum mereka sempat membentuk posisi kembali, Nyi Genit telah menda-ratkan totokan pada dua orang pengepungnya.
Tuk! Tuk! Dua orang yang terkena totokan 'Lampah Lumpuh' langsung roboh dalam keadaan lumpuh.
Hanya dua matanya saja yang berkedip-kedip seperti meminta pertolongan.
"Mundurlah kalian! Bebaskan dua temanmu dan Tiga Pendekar Mata Dewa itu dari pengaruh totokan. Biar kulayani nenek peot ini!"
Cetus Bong Mini seraya melompat ke tengah pertempuran.
Tiga orang Pendekar Teluk Naga terkejut dan hen-dak menahan Bong Mini agar tidak turut bertempur.
Tapi terlambat.
Bong Mini telah menerjang Nyi Genit, sehingga mereka hanya dapat berdiri tertegun menyaksikan pertempuran antara Nyi Genit dengan gadis bertubuh mungil itu.
"Iblis hina! Hari ini akan kutamatkan riwayatmu!"
Geram Bong Mini sambil menerjang Nyi Genit dengan tendangan di udara setinggi dua meter.
"Uts!"
Tendangan kaki kanan Bong Mini yang lurus ke muka Nyi Genit segera dielakkan oleh lawannya de-ngan memiringkan tubuh sedikit ke belakang.
Sedang-kan tangan kirinya menyilang di depan dada dan ta-ngan kanannya bergerak ke atas untuk menangkap kaki kanan Bong Mini.
"Hup!"
Bong Mini menarik kaki kanannya kembali ketika mengetahui tangan kanan lawan mencoba menyambar.
"Tikus kecil! Rasakan pukulanku!"
Geram Nyi Genit.
Dengan telapak terkembang ia menghentakkan kedua tangannya ke arah Bong Mini, disertai pengerahan il-mu 'Pukulan Tangan Iblis'.
Wuttt! Angin keras yang bergulung-gulung dari telapak ta-ngan Nyi Genit bergerak menghantam Bong Mini.
Na-mun dengan lincah Bong Mini menghindari serangan itu dengan cara melompat setinggi dua meter.
"Hiaaat!"
Brakkk! Bummm! Angin dahsyat yang dikerahkan Nyi Genit menghan-tam sebuah pohon besar hingga tumbang.
Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu tampak tercengang melihat pengerahan ilmu Nyi Genit.
Mereka membayangkan kalau pukulan itu mengenai sasarannya, tentu tubuh gadis itu akan terpental keras.
Sedangkan mereka yang menonton saja dapat me-rasakan desiran angin yang cepat dan keras ketika Nyi Genit mengerahkan ilmu 'Pukulan Tangan Iblis'.
Bong Mini yang tadi melompat menghindari sera-ngan, kini telah kembali berdiri gagah menghadap Nyi Genit.
Ia benar-benar waspada dan bersikap hati-hati menghadapi musuh yang satu ini.
Pertempuran beberapa waktu lalu di Bukit Buncit belum bisa dijadikan pegangan untuk mengukur kesaktian Nyi Genit.
Ia merasa yakin bahwa saat itu Nyi Genit tidak sepenuhnya mengeluarkan ilmu andalannya.
Terbukti dari serangan-serangannya tadi.
Begitu dahsyat dan memati-kan! Kini keduanya sudah saling berhadapan.
Sepasang mata mereka saling mencorong, penuh ledakan kema-rahan.
Tiba-tiba saja Nyi Genit melompat menerjang Bong Mini disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat...!"
Plekkk! Telapak tangan Nyi Genit yang hendak mencengke-ram kepala Bong Mini berhasil dielakkannya dengan cara menggeserkan tubuh ke samping.
Sedangkan ta-ngan kanannya menyambut tangan Nyi Genit.
Terlihat-lah dua telapak tangan yang halus mulus bertemu di-sertai pengerahan ilmu kebatinan masing-masing.
Nyi Genit mengerahkan ilmu kebatinan 'Sinar Mata Iblis' yang diperolehnya ketika bertapa di Bukit Setan.
Sedangkan Bong Mini mengerahkan ilmu 'Sinar Mata Ha-lilintar' yang didapat ketika bertapa di Gunung Muda.
Setelah beberapa saat telapak tangan mereka me-nempel, tiba-tiba mulut keduanya mengeluarkan leng-kingan tinggi disertai tarikan tangan yang cukup keras.
"Hiyaaa...!"
Dukkk! Kedua tubuh itu melompat dengan ketinggian men-capai lima meter.
Kemudian tubuh mereka berputar cukup deras ke belakang, lalu meluncur turun dengan posisi duduk.
Kini kedua wanita itu duduk bersila di atas tanah dengan jarak sekitar enam meter.
Mereka saling me-mandang tajam dengan pemusatan pikiran.
Cuat cuat cuat! Tiba-tiba sepasang mata mereka mengeluarkan ca-haya berbentuk bulat sebesar telur ayam.
Kemudian kedua cahaya itu bergerak ke arah lawan masing-ma-sing.
Tepat pada pertengahan jarak antara Bong Mini dan Nyi Genit, kedua cahaya itu bertemu.
Cahaya hi-jau yang keluar dari mata Bong Mini mendorong ca-haya merah yang keluar dari mata Nyi Genit.
Begitu pula sebaliknya.
Sehingga kedua cahaya itu bergerak saling mendorong.
Sedangkan Bong Mini dan Nyi Genit memandang cahaya milik mereka masing-masing, se-akan memberi kekuatan pada masing-masing cahaya yang dikerahkannya.
Inilah puncak ilmu kekuatan ba-tin 'Sinar Mata Iblis' dan 'Sinar Mata Halilintar'.
Para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertem-puran tampak tercengang dan takjub melihat dua wa-nita sakti yang sedang mengadu kekuatan itu.
Dan kekaguman mereka lebih ditonjolkan kepada Putri Bong Mini.
Karena meski masih berusia muda dan bertubuh mungil, namun dia mampu menandingi kekuatan la-wan.
Dari peristiwa tersebut mereka sadar kalau wa-nita bertubuh mungil itu tidak bisa dianggap remeh dalam hal ilmu kesaktian atau jurus-jurus silat.
Lima Pendekar Teluk Naga yang semula mengkha-watirkan keselamatan Bong Mini, kini berubah kagum pada kedigdayaan gadis itu.
Duarrr! Dua cahaya berbeda yang sedang mengadu kekua-tan, tiba-tiba menimbulkan ledakan yang demikian keras.
Kemudian dua cahaya berbentuk bulat telur itu pecah berhamburan bagai manik-manik.
Sebelum me-nyentuh tanah, manik-manik cahaya itu lenyap entah ke mana.
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, tubuh Bong Mini dan Nyi Genit terhentak keras ke belakang.
Duk! Duk! Tubuh mereka membentur tanah cukup keras.
Na-mun tidak lama kemudian keduanya kembali berdiri dan saling berhadapan, tanpa memberikan kesan luka atau sakit sedikit pun juga.
Beberapa saat keduanya hanya berdiri tegak diser-tai tatapan tajam.
Mereka mengagumi kekuatan lawan masing-masing.
Karena kalau bukan pendekar sakti, tentu satu di antara mereka sudah tewas akibat ledakan tadi.
"Kepandaian dan kehebatanmu memang sangat me-ngagumkan! Tapi jangan dulu merasa bangga. Kau be-lum tahu ilmu-ilmuku yang lain!"
Dengus Nyi Genit.
Kemudian kedua tangannya membuka selendang yang membelit pinggangnya.
Kemudian selendang berwarna hitam itu dilipat dan diputar-putar.
Dalam waktu sekejap, selendang tersebut berubah menjadi sebuah tongkat sepanjang dua meter.
Dengan tongkat buatan itu, Nyi Genit langsung me-nyerang Bong Mini disertai ilmu 'Tangan Iblis Samber Nyawa'.
Sebuah ilmu kesaktian yang luar biasa.
Karena dengan ilmu tersebut, tongkat dari selendang Nyi Genit dapat menjulur lurus dan dapat pula membelok seperti lengan manusia yang hendak melakukan gera-kan menotok.
Menyadari tongkat buatan itu mengandung tenaga sakti yang luar biasa, Bong Mini pun segera mencabut Pedang Teratai Merah yang sejak tadi tersandang di punggungnya.
Sreset! Cuat cuat cuat! Sinar merah berbentuk bunga teratai berkelip-kelip ketika Bong Mini menarik pedang dari sarungnya.
"Pedang Teratai Merah!"
Cetus para pendekar yang menyaksikan pertempuran itu dengan wajah kagum dan tak henti-hentinya memandangi Pedang Teratai Merah yang masih memancarkan sinar.
Mereka me-ngetahui nama pedang itu lewat sinar yang dipancar-kannya.
Nyi Genit yang sejak tadi sudah siap dengan tongkat buatannya tampak tercengang melihat pedang di tangan Bong Mini.
Baru kali ini matanya melihat pedang yang memancarkan sinar menakjubkan! Tapi segera ia tersadar dan langsung menyerang Bong Mini ke arah kepala dan kakinya.
Wut wut wut! Bong Mini mengelak dan melompat ke belakang ke-tika tongkat buatan itu menyambar tubuhnya.
Sambil meloncat, tangannya memutar Pedang Teratai Merah, sehingga terdengar desingan melengking.
Wing wing wing! Trakkk! Pedang yang diputar Bong Mini menyambar ke leher lawan.
Tapi dengan cepat, Nyi Genit menangkis dengan tongkat buatannya.
Akibatnya pedang dan tongkat buatan itu bertumbukan hebat.
"Hup!"
Kedua lawan tadi melompat dua langkah ke bela-kang sambil mengagumi kesaktian dan ketangguhan lawan masing-masing.
Beberapa detik mereka terdiam dan menghela na-pas.
Kemudian Nyi Genit kembali menerjang ke depan.
Tongkat buatannya berubah menjadi selendang hitam kembali.
Lalu selendang itu disampirkan di kedua ba-hunya.
Menakjubkan! Selendang yang disampirkan itu berubah menjadi cahaya merah yang menyelimuti tu-buhnya.
Itulah ilmu 'Tipuan Mata Iblis'.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu menjadi berdebar.
Mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan Bong Mini.
"Bagaimanapun hebatnya gadis itu, tidak mungkin mengungguli Nyi Genit,"
Pikir mereka.
Karena Nyi Genit telah berusia matang dan penuh pengalaman.
Me-reka lupa kalau umur tidak jadi ukuran kekuatan ilmu bela diri seseorang.
Sambil memberikan penilaian terhadap dua wanita sakti yang bertempur itu, para pendekar tadi melangkah mundur sejauh sepuluh meter.
Maksudnya untuk menjaga keselamatan jiwa masing-masing agar terhin-dar dari serangan nyasar yang ditimbulkan oleh pertarungan dua orang sakti itu.
Para pendekar kembali terkejut melihat pertarungan dahsyat tersebut.
Apalagi ketika menyadari hawa pa-nas yang datang dari kancah pertempuran menyambar pula ke arah mereka.
Mereka mundur kembali dua tin-dak dengan perasaan was-was, khawatir terhadap ke-selamatan Bong Mini.
"Hiyaaa!"
Cuat cuat cuat! Tubuh Nyi Genit yang bermandikan cahaya mener-jang lawan sambil menghujamkan tendangan dan pu-kulan ke dada dan wajah Bong Mini.
Wut wut wut! Pukulan dan tendangan Nyi Genit hanya menim-bulkan angin saja.
Sebab ketika ia menerjang, Bong Mini telah menggunakan ilmu 'Halimun Sakti'.
Sehing-ga pada saat Nyi Genit menendang dan memukul, tu-buh Bong Mini hanya berupa bayangan.
Dengan ilmu 'Halimun Sakti', Bong Mini dapat melakukan serangan balik berupa totokan dua jarinya yang diberi nama jurus 'Totok Besi'.
Tuk! Tuk! Jurus 'Totok Besi' yang dilancarkan Bong Mini tepat mengenai pundak lawan.
Namun totokan itu tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap tubuh Nyi Genit.
Malah dianggapnya sebagai colekan belaka.
Dan ketika Nyi Genit membalikkan tubuhnya, ia langsung melancarkan serangan gencar dengan 'Pukulan Tangan Iblis'.
Wes wes wes! Gulungan angin menyerang tubuh Bong Mini susul-menyusul.
Gadis mungil itu terus mengelak, meloncat, dan bersalto.
Membuat pasir dan tanah halus di sekitar pertempuran mengepul bagai asap.
Termasuk daun-daun pepohonan yang jatuh berguguran akibat hembusan angin pukulan Nyi Genit.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan se-ngit itu terpaksa mundur beberapa langkah, menghin-dari kepulan debu.
*** Pertarungan antara Bong Mini dengan Nyi Genit te-rus berlangsung.
Setiap serangan yang mereka lancarkan menciptakan perkelahian yang amat seru dan dahsyat, tanpa ada tanda-tanda kekalahan di antara mereka.
Para pendekar, termasuk Ong Lie dan Seyton, yang menyaksikan pertarungan itu tidak sedikit pun me-nunjukkan rasa jenuh.
Mereka malah terlihat berse-mangat setiap melihat jurus yang dikeluarkan oleh Bong Mini atau Nyi Genit.
Nyi Genit dan Bong Mini kini sama-sama berdiri te-gak.
Dan tiba-tiba Nyi Genit melakukan serangan dengan melecutkan selendang yang masih memancarkan sinar merah ke arah Bong Mini.
Wuttt! Trak trak trakkk! Lecutan selendang lawan segera disambut pedang Bong Mini.
Pertemuan antara selendang yang meman-carkan sinar merah dengan Pedang Teratai Merah menjadikan pertarungan semakin tampak mempesona.
Karena pertemuan kedua senjata yang masing-masing mengandung tenaga sakti itu menciptakan pijaran api tiada henti, serta menimbulkan hawa panas di sekitar mereka berdua, hingga tubuh keduanya bermandikan peluh.
"Hup!"
"Hait!"
Nyi Genit dan Bong Mini menarik senjata saktinya masing-masing.
Crat crat crat! Pijaran api terlihat berlompatan ketika mereka me-narik senjata masing-masing.
Kemudian tubuh kedua wanita yang sedang mengadu kesaktian itu terpental keras ke belakang.
Buk buk bukkk! "Oekkk!"
Nyi Genit langsung memuntahkan darah segar keti-ka tubuhnya yang padat berisi itu membentur sebuah batu besar.
Begitu pula dengan Bong Mini.
Namun ka-rena ia hanya membentur tanah, maka lukanya tidak separah Nyi Genit.
Dengan mulut bersimbah darah serta tenaga yang mulai berkurang, kedua wanita tangguh itu kembali bangkit terhuyung-huyung.
Namun begitu, sinar mata keduanya tetap memancarkan kemarahan yang ter-amat sangat.
Nyi Genit yang tadinya merasa yakin akan menang dalam pertarungan itu menjadi kecewa dan murka bu-kan main ketika melihat lawan bau kencurnya masih sanggup meneruskan pertarungan.
Ketika melihat da-rah mengucur dari mulut Bong Mini, ia semakin ber-nafsu untuk menghabiskan nyawa gadis bertubuh mu-ngil itu.
Sehingga pada saat tubuhnya dapat berdiri tegak, Nyi Genit langsung mengeluarkan lengkingan tinggi yang amat panjang.
"Hiaaat...!"
Wuttt! Nyi Genit menyabetkan selendang hitam yang su-dah tidak memancarkan cahaya ke arah lawan.
Mendapat serangan selendang hitam itu, Bong Mini tampak tetap tenang.
Karena ia telah tahu cara me-nangkis dan membalikkan serangan lawan.
Wut wut wut! Bong Mini membiarkan ujung selendang Nyi Genit membelit dan menarik tubuhnya mendekati pemilik-nya.
Namun ketika sampai pertengahan selendang, ia langsung merobeknya dengan pedang yang masih ter-genggam di tangan.
Bret! Selendang hitam yang membelit tubuh Bong Mini terputus menjadi dua.
Nyi Genit terkejut bukan main melihat selendang kesayangannya putus.
Sebelum sadar dari keterkeju-tannya, Bong Mini menyusulkan serangannya.
Plakkk! "Hegh!"
Tubuh Nyi Genit terhenyak dan langsung jatuh te-lentang ketika telapak tangan kanan Bong Mini men-darat di dada kiri Nyi Genit yang membusung.
Bagian baju yang terkena pukulan robek seketika, memperlihatkan buah dadanya yang besar.
Menyadari pakaian di bagian dadanya terkoyak, Nyi Genit langsung melesat meninggalkan kancah perta-rungan.
"Heh, Iblis! Hendak lari ke mana kau!"
Bentak Bong Mini seraya bergerak hendak mengejarnya. Namun be-lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba lima belas pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertempuran segera menghadang.
"Siapa kalian!"
Bentak Bong Mini. Napasnya masih turun naik karena begitu bernafsu hendak menghabisi nyawa Nyi Genit "Kami dari Perkumpulan Pengemis Sakti!"
Sahut Siangkoan Kun Hok yang menjadi pemimpin perkum-pulan itu.
Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian com-pang-camping dan kumal hingga menimbulkan bau yang kurang sedap.
Sedangkan rambutnya yang pan-jang tak terurus digelung kecil.
Mereka berasal dari negeri Manchuria.
Datang ke negeri Selat Malaka karena diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.
"Apa tujuanmu menghalangiku!"
Ketus Bong Mini lagi. Siangkoan Kun Hok tersenyum.
"Menangkapmu dan mempersembahkan kepada Ke-tua Perguruan Topeng Hitam. Baik hidup maupun ma-ti!"
Tegas Siangkoan Kun Hok. Bong Mini tersentak. Ia tidak mengira kalau lima belas orang berpakaian pengemis yang sejak tadi me-nyaksikan pertarungannya dengan Nyi Genit justru ingin bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Aku memang belum bertemu dengan Ketua Pergu-ruan Topeng Hitam kecuali dari pertempuran tadi. Tapi sebagai orang yang hendak bersekutu dengan mereka, aku harus memperlihatkan bakti dan kesetiaan. Nah, bersiaplah!"
Usai berkata begitu, lima belas orang tadi langsung mengepung Bong Mini dengan mempergunakan pedang dan tongkat masing-masing. Menyadari Bong Mini masih letih karena pertaru-ngan dengan Nyi Genit, Ong Lie dan Seyton segera menjura pada Bong Mini.
"Kejarlah wanita yang bernama Nyi Genit tadi. Biar kunyuk-kunyuk ini kami yang hadapi!"
Kata Ong Lie.
Bong Mini setuju.
Lalu ia segera melompat setinggi dua meter dan melesat meninggalkan arena pertaru-ngan dengan melampaui kepala para pengepungnya.
Sedangkan Ong Lie dan Seyton segera melancarkan se-rangan ke arah lima belas pengemis.
Dibantu pula oleh Lima Pendekar Teluk Naga dan Tiga Pendekar Mata Dewa.
*** Bong Mini sudah jauh meninggalkan tempat per-tempuran tadi, namun wanita sesat yang dikejarnya tidak berhasil ditemukan.
Padahal dia sudah menge-rahkan ilmu 'Halimun Sakti', sebuah ilmu yang mem-buat larinya secepat angin.
Dengan perasaan jengkel, Bong Mini kembali ke tempat semula.
Di sana para pendekar tengah berta-rung melawan lima belas orang Pengemis Sakti.
Ketika Bong Mini hendak kembali ke tempat semu-la, tiba-tiba sepasang matanya melihat seorang wanita berpakaian kuning tengah tersuruk-suruk di sebuah bukit.
"Hm..., itu dia!"
Gumam Bong Mini ketika yakin ka-lau wanita yang berjalan tersuruk-suruk itu orang yang sedang dicarinya, Nyi Genit. Tanpa membuang waktu lagi, Bong Mini segera melesat ke atas Bukit Me-rapi untuk menghadangnya.
"Heh, Nenek Peot! Mau ke mana kau!"
Bentak Bong Mini.
Dia berdiri dalam jarak lima meter dari wanita tadi.
Wanita yang dibentak terkejut bukan main men-dengar suara Bong Mini yang demikian keras.
Apalagi ketika mengetahui kalau orang yang memanggil ternyata gadis lawan bertarungnya tadi.
"Kau tak akan dapat menyelamatkan diri, Iblis Peot! Hari ini juga aku akan mengirim nyawamu untuk san-tapan para iblis yang selama ini kau puja!"
Geram Bong Mini lagi.
"Bocah tengik! Akan kupotong lidahmu yang lan-cang itu!"
Geram Nyi Genit.
"Hup!"
Nyi Genit menghentakkan selendang hitamnya yang tinggal satu meter.
Dalam waktu sekejap, selendang itu berubah menjadi sebilah pedang berwarna hitam.
Rupanya pada saat menghentakkan selendang tadi, ia telah mengerahkan ajian 'Tipu Daya Setan'.
Sebuah ilmu sesat yang mengandung kekuatan sihir.
Melihat pedang hitam yang mengeluarkan sinar me-nyeramkan itu, Bong Mini terkejut sekali.
Namun dia tetap berusaha tenang.
Bahkan bibirnya tersenyum mengejek, memancing kemarahan Nyi Genit.
"Huh! Pedang warna jelek begitu dibanggakan!"
"Tikus jelek, makanlah pedangku ini!"
Bentak Nyi Genit setelah mendengar penghinaan itu.
Kemudian ia membacok ke bahu Bong Mini dengan gerakan menyilang.
Wut! Bong Mini mengelak serangan pedang itu dengan memiringkan tubuh ke belakang.
Kemudian tangan kanannya yang sudah memegang Pedang Teratai Me-rah bergerak, menangkis pedang hitam milik Nyi Genit.
Cringngng...! Trangngng...! Nyi Genit terkejut bukan main ketika kedua ta-ngannya terasa tergetar keras saat pedangnya bertemu dengan pedang Bong Mini.
Ia segera menarik pedangnya dan kembali menyerang Bong Mini dengan jurus 'Ekor Naga Membelit Mangsa'.
Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat ke seluruh bagian tubuh Bong Mini.
Mirip gerakan ekor naga yang ganas menyerang lawan.
Wut wut wut! Sing sing singngng...! Sambaran-sambaran pedang Nyi Genit tak sekali-pun dapat menyentuh bagian tubuh Bong Mini.
Karena setiap serangan gencar yang mematikan itu selalu berhasil dielakkan Bong Mini begitu cepat dengan ilmu peringan tubuh yang sudah hampir mencapai kesem-purnaan.
Tubuhnya yang mungil itu dengan lincah bergerak ke sana kemari, menghindari serangan.
Sam-bil menghindar, Bong Mini segera mengerahkan ilmu 'Pedang Samber Nyawa' dan jurus 'Walet Terbang Ren-dah' pemberian papanya ketika ia berumur sebelas tahun.
Tubuhnya yang mungil dan ringan berkelebat di seputar lawan mencari pertahanan lawan yang lowong.
Nyi Genit agak terkejut melihat serangan lawan yang demikian cepat dan lincah berputar-putar di atas kepalanya.
Membuatnya sulit untuk mengawasi gerakan lawan secara cermat.
"Hiyaaat..!"
Mulut Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan lengkingan panjang.
Kemudian pedangnya diputar sedemikian ru-pa, hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri.
Kemudian dari gulungan sinar itu mencuat sa-tu sinar menyambar ke dada Bong Mini yang sudah menginjakkan kakinya di tanah.
"Uts!"
Dengan tenang Bong Mini meloncat ke belakang.
Ketika Nyi Genit mengejar, Bong Mini segera memba-bat pedangnya.
Wut! Trangngng! Selarik sinar pedang menyambar leher lawan.
Nyi Genit yang tadi meloncat ke depan mengejar Bong Mini terpaksa menangkis dengan pedangnya.
Sing sing singngng...! Bong Mini yang mengetahui pedangnya akan di-tangkis, segera menarik kembali.
Kemudian dilancar-kannya serangan pedang kembali ke atas dan kiri tu-buh lawan.
Nyi Genit kaget.
Terpaksa ia memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang untuk menangkis.
Trangngng! Trangngng! Dentang nyaring terdengar dua kali.
Kemudian pe-dang Nyi Genit terlepas dan terlempar sejauh tiga meter.
Sedangkan tangannya terasa panas dan perih saat menangkis pedang Bong Mini.
Tanpa banyak cakap lagi tubuhnya meloncat ke be-lakang dan melarikan diri.
Nyi Genit sadar kalau bocah perempuan yang menjadi lawannya itu mempunyai kepandaian yang melebihi kemampuannya.
Kalau ia me-lanjutkan pertarungan, tentu ia akan kalah dan tewas di tangan lawan yang amat tangguh! "Hei, Iblis Betina Pengecut! Hendak lari ke mana kau!"
Maki Bong Mini sambil mengejar. Karena saat mengejar Bong Mini mengerahkan ilmu peringan tu-buh, maka dalam waktu singkat ia dapat menyusul Nyi Genit yang tengah berlari ketakutan.
"Hep!"
Nyi Genit menghentikan gerakan kakinya, ketika di depannya menganga sebuah jurang terjal dan amat da-lam. Kemudian kepalanya menengok ke belakang, ter-nyata Bong Mini makin dekat ke arahnya, membuat wanita itu bingung.
"Hi hi hi, Nyi Genit, Nyi Genit! Mau lari ke mana lagi kau?"
Ejek Bong Mini saat melihat wajah Nyi Genit di-cekam ketakutan.
Nyi Genit sadar kalau dirinya kini tidak bisa lolos dari kejaran lawan yang siap menghabisi nyawanya.
Dalam ketakutannya, ia menjadi nekat dan meloncat ke depan.
Siuttt...! Tubuh Nyi Genit meluncur deras ke jurang.
"Eh, jangan nekat!"
Seru Bong Mini, sambil melon-cat ke bibir jurang. Di sana matanya sempat melihat tubuh Nyi Genit yang meluncur deras ke bawah. Bong Mini menarik napas panjang sambil menya-rungkan kembali pedangnya.
"Iblis setan itu tak mungkin hidup. Tubuhnya pasti hancur terbentur batu-batu terjal!"
Gumam Bong Mini.
Kemudian tubuhnya melesat pergi menuju tempat di mana kedua temannya, Ong Lie dan Seyton serta pen-dekar dari dua perkumpulan tengah bertempur mela-wan lima belas orang dari Perkumpulan Pengemis Sak-ti.
*** Sampai di tempat, Bong Mini melihat gejolak per-tempuran sudah mulai menurun.
Dari masing-masing pihak sudah ada yang mati atau terluka.
Dua pemuda dari Lima Pendekar Teluk Naga terlihat tergeletak dengan tubuh berlubang akibat tusukan pedang lawan.
Sedangkan dari pihak Pengemis Sakti sudah terkapar tujuh orang dengan tubuh bersimbah darah.
"Hiyaaat!"
Trang trang trang! Senjata kedua belah pihak kembali beradu keras, hingga menimbulkan denting nyaring disertai pijaran api yang cukup terang.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tiga di antara delapan orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti mengerang panjang saat pedang Hong Tan Tosu dan Kok Thai Ki dari Lima Pendekar Teluk Naga menebas perut dan lehernya. Mereka terhuyung sebentar, lalu roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Haiiit..!"
Kao Cin Liong dan Kui Lok memekik tinggi sambil menghujamkan pedang ke arah lawan masing-masing dengan gerakan menusuk. Creb! Creb! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti roboh ketika ujung pedang Kao Cin Liong dan Kui Lok dari Pendekar Mata Dewa menusuk perut mereka.
Siangkoan Kun Hok terkejut ketika menyadari te-mannya banyak yang tewas dan hanya tersisa dua orang yang masih gigih menghadapi lawan-lawannya.
Dengan licik, ia segera melompat dan melesat meninggalkan tempat pertempuran itu.
Dua temannya yang sedang gigih menghadapi Ong Lie dan Seyton terperanjat kaget melihat temannya lari dari pertempuran.
Keterkejutan mereka segera dimanfaatkan oleh Seyton dan Ong Lie untuk membabatkan pedangnya ke arah lawan.
Crokkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dengan sadis pedang Ong Lie dan Seyton membabat leher lawan, hingga kepala dua lawan mereka terlepas dari badan masing-masing.
Keduanya terhuyung sebentar, lalu roboh.
Tiga Pendekar Mata Dewa, Tiga Pendekar Teluk Na-ga serta Ong Lie dan Seyton menghela napas ketika mata mereka menatap mayat-mayat lawan.
Kemudian mereka memasukkan pedang ke sarungnya masing-masing sambil melangkah menghampiri Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka.
"Terima kasih atas bantuan kalian yang telah mem-bantuku dalam membasmi orang-orang sesat itu!"
U-cap Bong Mini, menyambut kedatangan para pendekar gagah yang umurnya rata-rata sekitar tiga puluh ta-hun.
"Seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih kepada Nona, karena telah menghindari kami dari ke-kejaman wanita sesat tadi!"
Kata Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga. Dia bertubuh sedang dengan jubah kuning tua. Rambut panjangnya digelung di atas kepala. Begitu pula dengan dua temannya.
"Apa yang dikatakan Saudara...!"
"Kok Thai Ki!"
Kata Ketua Pendekar Teluk Naga itu, memperkenalkan diri.
"Ya. Bila tidak ada Nona, tentu darah kami sudah habis diisap wanita iblis itu!"
Sela Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.
Lelaki itu berpakaian putih setengah jubah dengan lukisan sepasang merpati memba-wa tiga butir padi di bagian dadanya.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Bong Mini tersenyum ramah menyambut ucapan Kao Cin Liong.
"Tak ada kelebihan yang kuperbuat. Apa yang kula-kukan tadi hanya satu kewajiban kita sebagai manusia yang harus hidup tolong-menolong!"
Kata Bong Mini merendah. Sepasang matanya berpijar-pijar meman-dang enam pemuda gagah yang berdiri di hadapannya.
"Aku sangat kagum melihat pertempuran tadi!"
Puji Kok Thai Ki.
"Sebagai gadis muda belia, kau sanggup menghadapi dan mengimbangi kesaktian wanita iblis itu!"
Bong Mini tersipu-sipu mendapat pujian barusan. Tak ada yang bisa diucapkannya untuk menanggapi pujian Kok Thai Ki, kecuali tersenyum seraya menun-duk.
"Kalau boleh aku tahu, dari mana sebenarnya Sau-dara-saudara ini?"
Tanya Bong Mini, mengalihkan percakapan.
"Kami Pendekar Teluk Naga. Berasal dari negeri Jenghoa, sebelah barat Tiongkok!"
Ujar Kok Thai Ki.
"Kedua temanku ini bernama Hong Tan Tosu dan Cu Han Bu!"
Dua teman Kok Thai Ki membungkuk hormat sam-bil tersenyum pada Bong Mini.
Bong Mini mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Kemudian dia memalingkan pandangannya pada tiga pendekar lain.
Sebelum ia bertanya, salah seorang dari mereka telah mendahului dengan menyebutkan nama perkumpulannya.
"Kami Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri Manchuria. Namaku Kao Cin Liong dan kedua teman-ku ini bernama Sin Hong dan Kui Lok!"
Mendengar nama negeri Manchuria, Bong Mini jadi tertegun. Ingatannya langsung terlempar pada negeri kelahirannya.
"Nama Nona sendiri siapa dan kenapa tiba-tiba ter-cenung?"
Kao Cin Liong balik bertanya. Bong Mini terhenyak dari ketertegunannya. Kemu-dian ia merubah sikap dengan mengembangkan se-nyum terpaksa.
"Namaku Bong Mini!"
Sahut Bong Mini memperke-nalkan namanya.
"Aku tertegun karena teringat negeri kelahiranku, Manchuria."
"Nona Mini berasal dari negeri Manchuria?"
Tanya Kao Cin Liong ganti terkejut.
"Begitulah. Bagaimana keadaan rakyat di sana? Apakah mereka masih hidup menderita?"
Tanya Bong Mini.
"Nona Mini tahu juga penderitaan rakyat di sana?"
Kao Cin Liong balik bertanya.
"Aku mengetahuinya dari seorang pendekar berna-ma Khian Liong!"
"Khian Liong?"
Tanya Tiga Pendekar Mata Dewa se-rentak. Sedangkan wajah mereka menunjukkan keter-kejutan.
"Hei, kenapa kalian terkejut seperti itu?"
Bong Mini tak mengerti melihat perubahan wajah Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Ketahuilah, Non Mini. Kedatangan kami ke sini ju-stru hendak mencari dia dan membunuhnya!"
Kata Kao Cin Liong, penuh tekanan.
"Apa salahnya?"
Tanya Bong Mini masih dalam ke-heranan.
"Dia orang kepercayaan Raja Liang Tok yang ditu-gaskan untuk memungut upeti rakyat Manchuria. Dua tahun yang lalu dia ditugaskan Raja Liang Tok untuk menangkap bekas panglimanya yang melarikan diri ke negeri ini dengan menjalankan siasat yang terencana. Dia berpura-pura meminta bantuan Kapten Kang un-tuk menyelamatkan penderitaan rakyat negeri Man-churia. Dengan demikian, pihak kerajaan akan mela-kukan penangkapan terhadap Kapten Kang. Karena sebagian prajurit kerajaan telah dikirim ke sini untuk melakukan penangkapan bila berhasil membawa Kapten Kang ke dalam kapal yang dibawa Khian Liong. Se-karang para prajurit kerajaan itu berada di markas Perguruan Topeng Hitam. Karena perguruan tersebut mempunyai hubungan dekat dengan Kerajaan Man-churia,"
Tutur Kao Cin Liong menjelaskan.
"Bangsat! Aku tidak menyangka kalau dia utusan dari pihak kerajaan!"
Geram Bong Mini. Matanya berkilat-kilat menahan marah. Kemudian ia berpaling pada Seyton.
"Rupanya benar apa yang kau laporkan tempo hari kalau Khian Liong bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!"
Seyton membalas ucapan itu dengan mengangguk-kan kepala. Begitu pula dengan Ong Lie.
"Tahukah kalian, siapa Kapten Kang itu sebenar-nya?"
Tanya Bong Mini kepada Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Dia adalah papaku sendiri yang sekarang me-rubah namanya dengan sebutan Bongkap!"
Tiga Pendekar Mata Dewa terkejut mendengar pen-jelasan Bong Mini. Ketiganya tidak mengira kalau gadis di hadapan mereka adalah putri seorang mantan Panglima Kerajaan Manchuria yang terkenal dengan julu-kan 'Singa Perang' itu.
"Pantas kalau tadi ia begitu gagah berhadapan dengan Nyi Genit,"
Begitu pikir Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Jika memang tahu kalau Khian Liong mata-mata Raja Manchuria dan bersekutu dengan Perguruan To-peng Hitam, kenapa baru sekarang kalian datang men-carinya?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Kami baru mengetahuinya saat Raja Manchuria mencari para pendekar untuk dikirim ke Perguruan Topeng Hitam dan membantu gerakannya di negeri ini. Oleh karena itu kami pura-pura bersedia bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam agar bisa memper-oleh biaya untuk menginjak negeri ini!"
Kata Kao Cin Liong menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Begitu pula dengan kami. Tatkala mendengar Raja Manchuria mencari para pendekar, kami langsung menyatakan diri untuk bersekutu dengan pihaknya. Lalu aku dikirim ke sini!"
Celetuk Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.
"Lalu sebenarnya apa tujuanmu datang ke negeri ini?"
Tanya Bong Mini.
"Sama dengan Tiga Pendekar Mata Dewa. Aku ingin membantu rakyat negeri ini dari kebiadaban orang-orang sesat seperti yang dilakukan Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Kok Thai Ki. Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, sekarang kita berangkat menemui papaku. Kita bicarakan persoalan ini dengannya!"
Kata Bong Mini, mengajak para pendekar yang berpihak kepadanya itu.
Dua perkumpulan tersebut langsung menyetujui.
Dan tidak lama kemudian mereka pun berangkat me-nuju Kampung Dukuh, tempat tinggal Bongkap dan pengikutnya.
*** Waktu telah merangkak dalam denyut malam.
Bu-lan tampak bagai di atas dahan, menampakkan dirinya setengah badan.
Disemarakkan oleh kumpulan bintang di sekelilingnya, membuat alam tampak remang.
Bentuk pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang biasanya tak terlihat saat malam turun, kini tampak walau hanya samar-samar.
Meskipun malam itu terasa indah, para penduduk Kampung Dukuh tampaknya malas untuk keluar.
Su-asana malam itu di Kampung Dukuh terasa sunyi dan mencekam.
Terlihat dari jalan-jalan yang lengang.
Dalam suasana yang remang itu, dua puluh lima penunggang kuda memasuki Kampung Dukuh dari arah utara.
Mereka adalah pasukan Perguruan Topeng Hitam yang mendapat perintah dari Kidarga untuk me-lakukan pembakaran rumah-rumah penduduk di seki-tar tempat tinggal Bongkap, sekaligus menangkap lela-ki itu baik hidup atau mati.
Sebelumnya Kidarga memang telah menyerahkan persoalan penangkapan Bongkap kepada Khian Liong.
Berhubung cara kerja Khian Liong memakan waktu lama karena harus melakukan pendekatan secara baik-baik, maka ia pun memutuskan untuk menye-rang dan menangkap Bongkap secara terang-terangan.
Dia sudah tidak ingin membiarkan Bongkap dan peng-ikutnya hidup lebih lama.
Apalagi ambisinya untuk menguasai negeri Selat Malaka secara mutlak terus berkobar-kobar.
Sehingga menghilangkan pikiran jer-nihnya untuk melakukan taktik jitu dalam upaya me-lakukan penangkapan terhadap Bongkap.
"Berhenti!"
Ucap Khian Liong tiba-tiba dengan suara setengah berbisik. Mendengar aba-aba itu, teman-temannya serentak menghentikan langkah kuda mereka.
"Giwang,"
Ujar Khian Liong kepada pemimpin pasu-kan berkuda yang berada di sebelahnya.
"Aku mengan-tarmu bersama pasukan sampai di sini. Selanjutnya, kau bersama pasukanmu yang akan melakukan pe-nyerangan terhadap Bongkap dan pengikutnya. Letak-nya seratus meter dari sini,"
Lanjut Khian Liong.
"Kau sendiri hendak ke mana?"
Tanya Giwang.
"Aku akan melakukan penangkapan terhadap Putri Bong Mini dengan caraku sendiri,"
Sahut Khian Liong menjelaskan. Giwang mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Semoga berhasil!"
Ucap Gi-wang.
"Selamat berjuang!"
Balas Khian Liong. Lalu ia me-macu kuda melewati jalan yang tadi dilaluinya.
"Lanjutkan perjalanan!"
Perintah Giwang kepada pasukan yang dipimpinnya. Seketika itu juga, derap kaki kuda mereka terdengar memecah kesunyian ma-lam. Namun baru lima puluh meter mereka memacu kuda, Giwang kembali memberi aba-aba kepada pasu-kannya untuk berhenti.
"Lima orang di antara kalian bergerak ke sana!"
Pe-rintah Giwang seraya menunjuk ke arah jajaran ru-mah-rumah penduduk.
"Lakukan apa yang telah di-rencanakan!"
Lanjut Giwang.
Lima orang bertopeng hitam segera turun dari kuda.
Tubuh mereka melesat ke arah rumah-rumah pendu-duk dengan membawa kaleng minyak yang sejak tadi dipersiapkan di atas punggung kuda.
Sedangkan dua puluh orang lain tetap duduk di atas punggung kuda, menunggu perintah selanjutnya.
Malam semakin hening.
Suara jangkrik ramai ber-sahutan, seolah bernyanyi tiada henti.
Kelima orang bertopeng hitam yang menuju rumah-rumah penduduk tadi telah selesai menyiramkan mi-nyak ke sekeliling rumah di sekitar tempat itu.
Selanjutnya, mereka menyalakan api pada tempat yang te-lah diberi minyak.
Dalam sekejap, terlihatlah kobaran api yang menjilat-jilat rumah penduduk.
Kemudian kelima orang tadi segera kembali ke tempat di mana Giwang dan teman-temannya menyaksikan kobaran api dari jarak lima puluh meter.
"Api! Api! Kebakaran!"
Teriakan nyaring penduduk terdengar.
Mereka ba-ngun dari tidurnya ketika merasakan udara panas di sekitar tempat mereka.
Ketika melihat api, mereka pun segera berteriak-teriak sambil menyelamatkan diri masing-masing.
Ada pula yang berlari keluar sambil menggendong anak mereka yang masih kecil.
Sedang-kan sebagian penduduk lain ada yang mati tertimpa reruntuhan rumah dan terbakar api saat berusaha menyelamatkan hartanya.
Bongkap dan pengikutnya terbangun pula dari ti-durnya.
Kemudian mereka meloncat ke luar saat meli-hat api berkobar di sekeliling tempat tinggal mereka.
"Seraaang!"
Tiba-tiba Giwang memberi perintah pada pasukannya. Pasukan berkuda yang terdiri dari orang-orang bertopeng hitam itu segera bergerak ke tengah hiruk-pikuk warga yang sedang menyelamatkan diri.
"Sang Piao, selamatkan Ratih dan Thong Mey dari tempat ini!"
Perintah Bongkap saat melihat pasukan berkuda mengarah kepadanya.
Tanpa berkata lagi, Sang Piao segera naik ke pung-gung kuda.
Diikuti oleh Thong Mey dan Ratih Purbasa-ri.
Mereka turut naik ke punggung kuda yang ditung-gangi Sang Piao.
Dan setelah tangan mereka saling berpegangan, Sang Piao segera memacu kudanya de-ngan cepat.
Sementara itu, Bongkap dan Ashiong serta empat orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan menjadi pengikut Bongkap (baca episode 4.
'Iblis Pulau Neraka'), sibuk menghadapi serangan dua puluh lima orang berkuda.
Sehingga malam di Kampung Dukuh menjadi penuh dengan ringkik kuda, jerit kematian, darah, dan kobaran api yang membakar seluruh ru-mah penduduk.
Trang trang trang! Bret! "Aaakh!"
Denting pedang berbaur dengan pekik kematian yang susul-menyusul.
Para penduduk yang sebelumnya tunggang-lang-gang menyelamatkan diri dan barang-barangnya, turut membantu pihak Bongkap melawan pasukan Perguruan Topeng Hitam.
Dengan parang maupun kayu pe-mukul, mereka menyerang membabi-buta.
Penuh api kebencian dan kemarahan yang meledak-ledak.
Trang trang trang! Benturan senjata yang datang dari arah berlawanan menimbulkan pijaran api yang cukup terang.
Kemu-dian disusul dengan teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak.
Sementara itu, dengan ganas Bongkap memutar-mutar pedang lewat jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Pe-dangnya begitu cepat berputar bagai baling-baling kapal.
Saking cepatnya, pedang itu hanya meninggal-kan cahaya dan desing angin.
Sing sing singngng! "Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Tiga orang bertopeng memekik tertahan ketika pe-dang Bongkap yang berputar itu membabat mereka. Dalam sekejap, ketiganya jatuh dari punggung kuda dan tak dapat bangkit kembali.
"Hiaaat...!"
Sebuah lengkingan panjang tiba-tiba datang dari kejauhan.
Disusul dengan derap kaki kuda menuju tempat pertempuran.
Sing sing sing...! Pedang panjang yang diputar oleh penunggang kuda itu menimbulkan suara desingan yang menggidikkan.
Sret sret sret! "Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Pekik kematian kembali terdengar dari mulut tiga orang bertopeng.
Disusul dengan robohnya tubuh keti-ga orang itu dari punggung kuda.
Mereka mati di ujung pedang Sang Piao yang baru datang ke tengah pertempuran setelah membawa Ratih Purbasari dan Thong Mey ke tempat yang lebih aman.
Dan ketika kembali, dia langsung memacu kuda ke tengah per-tempuran seraya memutar-mutar pedangnya di atas kepala dan langsung menghujam tiga orang bertopeng dengan ganas.
Melihat kedatangan tiba-tiba Sang Piao dengan per-mainan jurus 'Pedang Samber Nyawa' yang demikian dahsyat, orang-orang bertopeng tampak terkejut hing-ga serangan mereka menjadi tak karuan.
Keadaan itu dimanfaatkan oleh Bongkap, Ashiong, dan pengikut lainnya untuk mendesak mereka dengan gencar.
Wut wut wuttt...! Sreset....
Bret! Angin yang ditimbulkan senjata pedang yang di-arahkan ke tubuh lawan, terdengar mendesing di sekitar tempat pertempuran.
Kemudian disusul dengan ro-beknya perut dan leher lawan.
"Aaakh!"
Lima orang dari pasukan bertopeng terlempar dari punggung kuda dengan perut dan leher bersimbah da-rah, terkena sabetan pedang atau parang yang diayunkan lawan ke arahnya.
Belum lagi yang mengalami lu-ka-luka.
Melihat pasukannya banyak yang mati dan terluka, Giwang yang sejak tadi hanya menonton dari pung-gung kuda segera menggebah kudanya untuk maju ke depan dengan pedang di tangan.
Dia langsung menye-rang Bongkap dengan jurus 'Pedang Iblis Mencabut Nyawa'.
Bongkap mengetahui serangan itu.
Dia langsung menyambut dengan jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Trang trang trangngng...! Benturan senjata mereka menimbulkan pijaran te-rang.
Giwang membalikkan kudanya dan menyerang Bongkap kembali.
Wut! Trang! Senjata mereka kembali bertemu.
Tetapi kali ini Gi-wang hampir terjatuh dari punggung kudanya, karena tenaga Bongkap ternyata lebih besar.
Dia tidak tahu kalau setiap menyerang dan menangkis, Bongkap selalu menyertakan ilmu andalannya yang disebut ilmu 'Pembangkit Tenaga'.
"Masih muda tenagamu sudah payah!"
Ejek Bong-kap sambil menangkis serangan lawan.
"Monyet buntung! Rasakan seranganku!"
Usai ber-kata begitu, ia langsung mengeluarkan cambuk sepan-jang tiga meter dari balik bajunya, lalu memecut Bongkap.
Ctar ctar ctar! Serangan cambuk Giwang begitu dahsyat diarahkan ke tubuh lawan, hingga Bongkap terpaksa menghinda-ri serangan itu dengan cara bersalto dan bergulingan di tanah.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau hari ini, Bongkap!"
Gi-wang tertawa terbahak melihat lawan kewalahan menghindari serangan dahsyat cambuknya. Serangan itu terus beruntun tiada henti, karena Giwang mengi-tari tubuh lawannya di atas kuda tunggangannya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Bongkap yang bergulingan di atas tanah melakukan terjangan ke arah Giwang. Ditubruknya lawan hingga terjungkal. Desss! "Aaakh!"
Tubuh Giwang terlempar dari punggung kuda.
Se-dangkan cemetinya terlepas pula dari tangannya ka-rena kaget mendapat serangan yang tak terduga itu.
Bongkap yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Ia langsung menghujamkan tenda-ngan dahsyatnya lewat jurus kungfu 'Tanpa Baya-ngan'.
"Hiaaat...!"
Duk duk dukkk! Tendangan kaki Bongkap begitu cepat mendarat di wajah Giwang yang sedang berusaha bangkit. Tatkala mendapat tendangan itu, ia kembali terpental ke belakang.
"Aaakh...!"
Bukkk! Giwang jatuh dengan mulut berlumur darah. Dan saat itu pula Bongkap mengejar dan menjejakkan kakinya ke dada lawan dengan keras.
"Hiaaat!"
"Hegh!"
Giwang mengeluarkan suara tertahan.
Bersamaan dengan itu tubuhnya terkulai tak berdaya dengan mu-lut dipenuhi darah dan mata mendelik.
Melihat pemimpinnya tewas di tangan Bongkap, tiga orang Perguruan Topeng Hitam yang masih hidup langsung menjadi gentar.
Ketiganya berusaha melari-kan diri.
Namun dua di antara mereka berhasil ter-tangkap penduduk yang turut bertempur.
Kemudian keduanya dihajar beramai-ramai dengan kayu pemu-kul, hingga mereka mati dengan bentuk wajah yang tak jelas lagi.
Begitulah keadaan masyarakat yang sudah dibakar api amarah.
Mereka bisa lebih buas dari harimau.
Apalagi jika teringat pada tempat tinggal mereka yang habis dibakar oleh orang-orang bertopeng tadi.
Setelah puas menghabisi nyawa Ketua Pasukan Per-guruan Topeng Hitam, Bongkap melangkah mengham-piri kerumunan penduduk yang terlihat bingung.
Me-reka bingung karena tidak tahu lagi di mana harus tinggal.
Karena rumah mereka telah habis terbakar.
Yang tersisa hanya potongan-potongan arang di antara rambahan kepulan asap tebal.
Bongkap terdiam beberapa saat.
Sepasang mata si-pitnya memandang para penduduk satu persatu.
Ha-tinya terenyuh melihat wajah-wajah penduduk yang demikian memelas seperti menggantungkan harapan kepadanya.
"Apa rencana kalian selanjutnya?"
Tanya Bongkap dengan suara bergetar karena menahan haru. Ia me-mang terkenal sadis terhadap lawan dan menjadi 'Sin-ga Perang' dalam pertempuran, namun jika melihat wajah-wajah derita seperti itu hatinya langsung tersen-tuh.
"Kami tidak tahu, Tuan. Untuk tidur malam ini pun kami tidak tahu entah di mana!"
Sahut seorang penduduk bertubuh tinggi kurus serta wajah pipih.
Umurnya sekitar lima puluh tahun.
Dia dan penduduk lainnya tidak tahu kalau orang di hadapannya adalah rajanya sendiri.
Karena selama ini, Bongkap memang selalu menyamar sebagai penduduk biasa agar dapat akrab dan leluasa bercakap-cakap dengan para penduduk tanpa merasa risih.
Baik bagi diri Bongkap maupun penduduk yang diajak bicara.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Bongkap teringat akan sahabatnya, Prabu Jalatunda yang tinggal di De-sa Padomorang.
Pikirnya.
"Hanya ke tempat Prabu Ja-latunda ia meminta perlindungan untuk penduduk yang kehilangan tempat tinggalnya itu."
"Apakah kalian ingin ikut serta dengan kami?"
Ta-nya Bongkap kepada penduduk yang memperlihatkan wajah duka itu.
"Ke mana, Tuan?"
Tanya lelaki tua tadi.
"Ke Desa Padomorang. Di sana, selain aku punya sahabat seorang saudagar kaya, tempatnya juga agak aman dari tindakan orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam,"
Kata Bongkap menjelaskan. Untuk beberapa saat para penduduk terdiam. Me-reka tampak saling berpandangan satu dengan yang lainnya.
"Kami setuju, Tuan. Daripada hidup telantar tanpa tempat tinggal dan harta benda,"
Sahut lelaki tua tadi setelah mendapat kesepakatan penduduk lain.
"Kalau begitu, malam ini juga kita berangkat ke sa-na. Dan untuk mempercepat perjalan, kita gunakan kuda-kuda milik orang-orang bertopeng itu,"
Kata Bongkap. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Sang Piao.
"Di mana Ratih dan Thong Mey kau tem-patkan?"
"Tidak jauh dari sini. Kita bisa menjemputnya sam-bil berangkat ke Desa Padomorang!"
Sahut Sang Piao. Bongkap mengangguk.
"Ayolah kita berangkat sekarang!"
Ajak Bongkap la-gi.
Kemudian ia melangkah menuju dua puluh ekor kuda milik pasukan Perguruan Topeng Hitam.
Begitu pula dengan yang lain.
Mereka masing-masing naik ke atas punggung kuda.
Selanjutnya, mereka segera menarik tali kekang kuda, memacu menembus kegelapan malam.
*** Waktu terus berjalan tanpa terasa.
Bulan purnama di cakrawala masih tampak.
Namun cahayanya telah pias.
Pertanda kalau waktu telah menjelang pagi.
Dalam suasana pagi yang masih diselimuti kabut, delapan lelaki muda dan seorang wanita cantik berpakaian merah ketat, tampak berjalan gagah memasuki Kampung Dukuh dari arah timur.
Wajah mereka me-nampakkan keletihan yang amat sangat.
Menunjukkan kalau mereka telah melakukan perjalanan yang sangat jauh.
Sembilan orang itu tidak lain Putri Bong Mini dan pengikutnya, Ong Lie, Seyton, Pendekar Mata Dewa, dan Pendekar Teluk Naga.
Sejak seharian kemarin me-reka melakukan perjalanan dari Kota Girik menuju Kampung Dukuh.
Tujuannya tidak lain hendak berte-mu dengan Bongkap.
Bong Mini dan delapan pendekar lain terus melang-kah tanpa menghiraukan serangan rasa letih.
"Biarlah mereka beristirahat bila sudah sampai di rumah Ratih Purbasari yang dijadikan tempat tinggal sementara Bongkap dan pengikutnya,"
Pikir Bong Mini. Namun betapa terkejutnya Bong Mini dan kedelapan pendekar lain ketika melihat rumah yang dituju telah berubah menjadi arang bersama rumah-rumah penduduk lain di sekitar tempat itu.
"Papa!"
Keluh Bong Mini sambil berlari mendekati reruntuhan rumah yang dulu dijadikan tempat tinggal papanya.
Di sana ia termangu memandang reruntuhan rumahnya yang masih meninggalkan bara api.
Seakan-akan ia tidak percaya terhadap penglihatannya sendiri.
Begitu pula dengan delapan pendekar lain.
Mereka hanya dapat berdiri terpaku tanpa tahu apa yang ha-rus diperbuat.
"Jahanam! Orang-orang Perguruan Topeng Hitam benar-benar iblis terkutuk!"
Maki Bong Mini dengan mata berbinar-binar ketika melihat puluhan orang bertopeng tergeletak dengan tubuh bermandi darah.
"Pasti semalam mereka membakar rumah pendu-duk kampung ini!"
Geram Bong Mini sambil menga-lihkan pandangan ke arah mayat-mayat penduduk yang tak berdosa.
Ditelitinya mayat-mayat itu satu persatu.
Khawatir ada pengikut papanya yang terbu-nuh dalam pertempuran itu.
Namun setelah semua mayat diperhatikan, ia tidak mendapatkan seorang mayat pun dari pihak papanya.
"Adakah dari mayat-mayat ini yang kau kenal?"
Tanya Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.
"Mereka adalah penduduk dan orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam,"
Sahut Bong Mini.
"Pengikut papamu tak ada yang tewas?"
Tanya Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa. Bong Mini menggeleng lemah.
"Rupanya papaku dan pengikut lainnya pergi ke tempat lain setelah berhasil menumpas iblis-iblis jaha-nam ini!"
Kata Bong Mini setengah geram.
"Kira-kira ke mana papamu dan pengikutnya per-gi?"
Tanya Kok Thai Ki.
"Entahlah! Tapi menurut perkiraanku pasti ke Desa Padomorang!"
"Ke tempat siapa?"
Tanya Kok Thai Ki lagi.
"Ke rumah Prabu Jalatunda, seorang pengusaha ka-ya di tempat itu!"
Sahut Bong Mini menjelaskan.
"Kalau begitu kita segera menyusul ke sana. Kita harus secepatnya menyusun kekuatan untuk menum-pas orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Usul Kao Cin Liong.
"Memang itu yang menjadi rencana kita. Ayo be-rangkat!"
Timpal Bong Mini.
Dan tanpa membuang waktu lagi mereka segera melangkah ke arah selatan, menuju Desa Padomorang, di mana Prabu Jalatunda dan istrinya berada.
*** Kidarga berjalan mondar-mandir di sekitar halaman markas Perguruan Topeng Hitam di Bukit Setan yang dikelilingi benteng setinggi lima meter.
Pikirannya terus tertuju pada istrinya, Nyi Genit yang belum juga kembali.
"Ke mana lagi istriku pergi hingga sampai saat ini belum juga kembali? Apakah di sana ia mendapat tan-tangan?"
Pikirannya bertanya.
"Ah, tidak mungkin! Kalaupun ada, ia pasti dapat mengatasinya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya. Lalu kenapa dia pergi begitu lama?"
Tanya hatinya lagi-Di saat ia asyik bermain-main dengan pikirannya, tiba-tiba muncul seorang anak buahnya yang berhasil meloloskan diri dari amukan penduduk Kampung Dukuh.
Kidarga menoleh sekilas pada anak buahnya itu, la-lu kembali melangkah perlahan sambil bertanya.
"Sudah selesai menjalankan tugas, Gembil?"
"Sudah, Ketua!"
Sahut Gembil seraya berjalan ta-kut-takut mengikuti langkah pemimpinnya.
"Bagus!"
Ucap Kidarga. Dihentikan langkahnya un-tuk memandang Gembil.
"Giwang mana?"
Gembil terdiam. Wajahnya menunduk takut-takut.
"Kenapa diam? Ada apa dengan Giwang?"
Tanya Ki-darga seraya menatap tajam anak buahnya.
"Giwang..., tewas!"
Sahut Gembil terbata. Tanpa be-rani mengangkat wajahnya. Kidarga terperanjat mendengar keterangan itu. Di-pandangnya Gembil dengan sorot mata mengandung kemarahan.
"Kalau kau telah melaksanakan tugas, kenapa Gi-wang bisa mati?"
Tanya Kidarga dengan amarah me-luap-luap.
"Kami memang sudah membakar rumah-rumah penduduk Kampung Dukuh, termasuk rumah Bong-kap dan pengikutnya. Namun pada saat penyerangan, Bongkap bersama pengikutnya melakukan perlawanan gigih. Bahkan tanpa diduga, para penduduk pun mem-bantu menyerang pasukan kami!"
Sahut Gembil menje-laskan.
"Lalu bagaimana dengan Bongkap dan pasukan-nya?"
"Mereka berhasil memenangkan pertempuran itu!"
Jelas Gembil.
"Goblok!"
Bentak Kidarga dengan suara meninggi. Membuat tubuh Gembil tersentak kaget.
"Tak ada gunanya kalian membakar habis rumah penduduk Kampung Dukuh jika tidak berhasil mem-bawa kepala Bongkap ke sini! Kau tahu? Nyawa Bong-kap lebih berarti dibanding seratus nyawa penduduk!"
Lanjut Kidarga dengan sorot mata berkilat-kilat. Di saat kemarahannya memuncak, tiba-tiba muncul Bareh, salah seorang penjaga pintu gerbang.
"Lapor, Ketua!"
Kata Bareh.
"Bicaralah!"
Ujar Kidarga dalam kemarahan.
"Ada seorang lelaki hendak bertemu dengan Ketua!"
"Siapa dia?"
"Hamba lupa menanyakan namanya. Tapi dilihat dari pakaiannya, tampaknya dia seorang pengemis!"
Sahut Bareh. Kidarga tercenung sesaat, mengira-ngira maksud kedatangan pengemis yang tak dikenalnya itu.
"Suruh dia masuk!"
Perintah Kidarga akhirnya.
Bareh segera meninggalkan tempat itu untuk men-jemput pengemis yang sedang menunggu di pintu ger-bang.
Tidak lama kemudian, Bareh sudah kembali ber-sama lelaki berpakaian pengemis.
Dialah Siangkoan Kun Hok, Ketua Perkumpulan Pengemis Sakti yang berhasil melarikan diri saat bertempur dengan pengikut Bong Mini di Kota Girik.
Beberapa saat pengemis itu diam terpaku melihat orang-orang di hadapannya.
"Kalau tidak salah duga, apakah Anda yang berna-ma Kidarga?"
Tanya Siangkoan Kun Hok langsung me-nebak. Karena dari tiga lelaki yang berdiri di hadapannya, hanya Kidarga yang terlihat berwibawa. Berbeda dengan dua orang lain yang terlihat seperti ayam kehu-janan.
"Dugaanmu benar. Lalu kau sendiri siapa?"
Tanya Kidarga. Ditatapnya pengemis itu. Pengemis yang menyebarkan bau busuk dan beru-mur sekitar enam puluh tahun itu tertawa terkekeh. Giginya yang kuning kehitaman terlihat jelas, diiringi oleh hawa kurang sedap yang keluar dari mulutnya.
"Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang tokoh perguruan yang namanya telah menjadi buah bibir para pendekar di seluruh negeri. Bahkan dikenal oleh para pendekar dari negeri lain seperti negeri Manchuria, tempat tinggalku!"
Kidarga diam menatap pengemis yang tengah meng-oceh itu.
"Kau bicara bertele-tele tanpa menyebutkan siapa namamu!"
Ujar Kidarga agak kesal.
"O, ya. Maafkan sikapku jika telah membuatmu jengkel. Tapi perlu kau ketahui kalau sikapku seperti ini dapat menghilangkan rasa ramah dan jengkel dalam dirimu. Makanya, walaupun aku sudah tua, tapi wajahku masih terlihat muda. Hanya saja penuh di-hinggapi debu. Tapi itulah ciri khasku,"
Celoteh pengemis busuk itu sambil tersenyum-senyum. Sebenarnya Kidarga sangat muak melihat tingkah pengemis yang menyebarkan bau busuk dari pakai-annya itu. Namun karena ingin mengetahui maksud tujuannya, maka ia mencoba untuk bersabar.
"Sebaiknya langsung saja sebutkan namamu!"
Pinta Kidarga, berusaha meredam kemarahannya.
"Hm, ya. Hampir lupa,"
Kata pengemis itu seraya merubah sikapnya agak serius setelah melihat kema-rahan memancar dari mata dan wajah Kidarga.
"Na-maku Siangkoan Kun Hok!"
Tambah pengemis itu, memperkenalkan diri.
"Hm..., terus terang saja. Sudah banyak kukenal orang-orang gagah di dunia persilatan. Namun belum pernah aku mengenal namamu!"
Ucap Kidarga. Ke-ningnya berkernyit, sedangkan sepasang matanya tak henti-hentinya memandang Siangkoan Kun Hok.
"Tentu saja, Ketua. Karena aku datang dari negeri jauh. Tepatnya dari Desa Cao. Aku diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk datang ke negeri ini dan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Siangkoan Kun Hok menjelaskan.
Kidarga mengangguk-angguk.
Wajahnya tidak me-nunjukkan keterkejutan sedikit pun mendengar pe-ngemis itu utusan Raja Manchuria.
Karena sebelum-nya dia telah mendapat kabar kalau Thiang Tok akan mengirimkan para pendekar dan prajurit kerajaan un-tuk membantu gerakannya.
"Baiklah, kuterima kedatanganmu di perguruan ini. Tapi sebelumnya, aku ingin mengetahui tentang ting-kat kepandaianmu,"
Kata Kidarga.
"Memang begitu sebaiknya agar tidak meragukan Ketua!"
Balas pengemis itu. Kemudian dia bersama Kidarga melangkah menuju ruang latihan silat. Dalam perjalanannya menuju ruang latihan silat, Siangkoan Kun Hok tampak tersenyum-senyum. Dia berpikir.
"Untuk bisa diterima di perguruan itu ia harus menunjukkan kepandaiannya sebaik mungkin. Termasuk ujian kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerjasama dengan Kidarga."
Sampai di ruang latihan, Kidarga langsung mem-perkenalkan Siangkoan Kun Hok dengan Baladewa.
"Saudara Siangkoan Kun Hok. Inilah Baladewa yang akan menguji kepandaianmu!"
Ucap Kidarga.
Siangkoan Kun Hok tersenyum seraya mengulurkan tangannya.
Baladewa menyambut uluran tangan itu dengan bibir tersenyum serta memandang dengan so-rot mata yang tajam pada pengemis busuk yang berdiri di hadapannya.
Dalam sunggingan senyumnya, diam-diam Siang-koan Kun Hok berkeyakinan kalau dia pasti akan da-pat mengalahkan pemuda itu dalam beberapa gebra-kan saja.
Keyakinannya tumbuh karena ia melihat tampang Baladewa yang masih muda, tampak mentah dalam dunia persilatan.
"Sudah siap, Saudara Siangkoan Kun Hok?"
Tanya Baladewa.
Siangkoan Kun Hok mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian keduanya melangkah ke ruang tengah.
Tempat di mana mereka akan bertanding.
Setelah dinyatakan lulus dalam uji coba dengan Khian Liong dan diangkat menjadi pembantu Kidarga, Baladewa pun diangkat pula menggantikan kedudukan Khian Liong sebagai tenaga penguji para pendekar yang hendak bergabung dengan perguruan itu.
Se-dangkan Khian Liong hanya mendapat satu tugas un-tuk memata-matai dan menangkap Bongkap serta Bong Mini.
Baladewa dan Siangkoan Kun Hok telah berdiri ber-hadapan dengan gagah.
Disaksikan oleh Kidarga dan beberapa pendekar lain yang baru memasuki ruangan.
Di antaranya terlihat pula Tiga Pendekar Siluman Ular Belang.
Mereka datang ke tempat tersebut setelah mendapat kabar dari Gembil bahwa ada seorang pen-gemis yang hendak diuji untuk bersekutu dengan Per-guruan Topeng Hitam.
"Mulailah menyerangku, Siangkoan Kun Hok!"
Tan-tang Baladewa dengan sepasang mata mencorong ta-jam ke arah lawan tanding.
"Baiklah kalau itu permintaanmu!"
Sahut Siangkoan Kun Hok. Dia siap melakukan serangan ke arah Bala-dewa.
"Hiaaat...!"
Wesss! Tubuh Siangkoan Kun Hok berkelebat hingga me-ngeluarkan suara nyaring dengan melompat ke arah lawan setinggi dua meter. Sedangkan kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke bahu Baladewa.
"Uts!"
Baladewa membungkukkan badannya ke depan un-tuk menghindari serangan itu. Disusul dengan gerakan tangan kanan untuk menangkis tangan lawan.
"Huppp!"
Siangkoan Kun Hok menarik tangannya kembali. Ia membatalkan niatnya untuk menotok tubuh lawan ke-tika melihat Baladewa melakukan gerakan menangkis. Kemudian tubuhnya melompat mundur sejauh dua tombak dan kembali berdiri gagah menghadap Bala-dewa.
"Hiaaat!"
Kali ini giliran Baladewa melakukan serangan de-ngan jurus 'Tendangan Geledek' yang menyambar wa-jah lawannya.
"Eittt!"
Siangkoan Kun Hok memiringkan tubuhnya ke samping. Namun dengan cepat Baladewa memutar tu-buhnya untuk menangkap kaki lawan yang belum sempat mengatur kuda-kuda kembali.
"Uts!"
Wut wut wut! Siangkoan Kun Hok segera melompat dan bersalto menghindari serangan yang mengandung hawa panas dari kedua tangan Baladewa saat melesat di dekat kedua kakinya.
Itulah serangan 'Tangan Beracun' yang dimiliki Baladewa saat berguru pada Kanjeng Rahmat Suci.
"Hiyaaat...!"
Wet wet wet! Baladewa kembali melompat dengan kecepatan tinggi ke arah lawan.
Disertai tendangan kaki dan pukulan berantai, membuat lawan tandingnya terdesak tanpa dapat melakukan serangan balasan.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, Siangkoan Kun Hok tiba-tiba menjatuhkan diri.
Dilanjutkan dengan mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai.
Tatkala tubuhnya meliuk-liuk, ia melakukan serangan pada Ba-ladewa.
Itulah jurus 'Ular Sanca Mematuk Mangsa' yang dimiliki Siangkoan Kun Hok.
Wes wes wesss! Suara berdesis keluar dari mulut Siangkoan Kun Hok berbareng dengan serangan gencar ke tubuh la-wan.
Kidarga dan para pendekar sesat lainnya berseru kagum menyaksikan pertandingan itu.
"Uuuh...!"
Berkali-kali seruan kagum terdengar memenuhi ruangan latihan silat.
Karena pertandingan kali ini memang benar-benar menarik dan mengagumkan.
Dalam kekagumannya melihat pertandingan itu, di-am-diam Kidarga memberikan penilaian kepada Siang-koan Kun Hok.
Bila dalam uji kepandaian silat itu Baladewa sukar menaklukkan lawannya, lalu bagaimana nanti jika berhadapan dengan Bongkap, Bong Mini, dan musuh lainnya.
Pasti sangat seru dan dia yakin Siangkoan Kun Hok dapat unggul.
"Cukup!"
Tiba-tiba Kidarga berseru menghentikan pertandingan yang sedang berlangsung seru itu. Kedua orang yang tengah bertempur langsung menghentikan gerakan dan menghormat kepada Kidarga.
"Bagaimana, Ketua? Apakah sudah puas?"
Tanya Siangkoan Kun Hok.
"Ya. Aku sudah puas. Dan aku langsung menyata-kan, kau berhak menjadi pengikutku!"
Sahut Kidarga dengan wajah yang masih menunjukkan kekaguman.
"Terima kasih, Ketua!"
Ucap Siangkoan Kun Hok gembira.
"Sekarang, marilah kita ke ruang tamu untuk me-nikmati hidangan bersama-sama sebagai tanda ke-gembiraan karena telah mendapatkan pendekar baru yang tangguh!"
Ucap Kidarga.
Lalu kakinya melangkah menuju ruang tamu, diikuti oleh para pendekar lain.
*** Kidarga dan para pendekar lain duduk di ruang ta-mu.
Mereka tampak bercakap-cakap sambil menikmati minuman anggur dan buah-buahan yang telah dis-ediakan oleh dua pelayan cantik.
"Ada yang harus kau ketahui mengenai musuh kita sebelum kalian menjalankan tugas!"
Ucap Kidarga membuka percakapan.
"Apa itu, Ketua?"
Tanya Siangkoan Kun Hok ingin segera tahu.
"Untuk menghadapi musuh yang merongrong per-guruan, kalian harus hati-hati dan jangan menganggap remeh. Sebab Bongkap dan Bong Mini merupakan ba-pak dan anak yang sangat lihai dalam hal kepandaian silat!"
Lanjut Kidarga menjelaskan.
Baladewa amat terkejut mendengar nama Bong Mini disebutkan.
Karena nama gadis yang disebutkan Ki-darga tadi tidak lain kekasihnya sendiri.
Namun demikian ia cepat-cepat merubah sikapnya kembali agar keterkejutannya tidak terbaca oleh Kidarga atau para pendekar yang hadir di situ.
"Dua pendekar inilah yang menjadi perhitungan kita sekarang ini. Karena tidak mustahil mereka mengum-pulkan para pendekar juga untuk bersekutu!"
Lanjut Kidarga. Para pendekar yang hadir di situ tampak mengang-guk-angguk paham.
"Tadi aku mendapat kabar dari Gembil bahwa dua puluh lima orang yang kuutus untuk membakar dan menangkap Bongkap di Kampung Dukuh telah tewas di tangan Bongkap dan pengikutnya. Termasuk Gi-wang, pemimpin pasukan yang selama ini kubangga-kan. Ini membuktikan pada kita kalau Bongkap me-mang bukan orang sembarangan. Untuk menyingkir-kannya kita harus mengerahkan pendekar-pendekar tangguh yang kepandaiannya melebihi Giwang,"
Kem-bali Kidarga berkata. Para pendekar yang hadir di ruangan itu masih di-am, menunggu kata-kata Kidarga selanjutnya.
"Namun yang menjadi beban pikiranku saat ini ada-lah istriku sendiri. Sampai hari ini ia belum juga kembali dari Desa Larangan. Padahal kepergiannya sudah lewat dari batas waktu yang telah ditentukan."
Siangkoan Kun Hok terkejut. Benaknya tiba-tiba te-ringat pada Nyi Genit yang bertarung dengan seorang gadis mungil di halaman Rumah Makan Hin-Hin di Ko-ta Girik.
"Pasti wanita bernama Nyi Genit itu adalah istri Kidarga,"
Pikir Siangkoan Kun Hok yakin.
Sebab pada saat bertarung dengan gadis bertubuh mungil, Nyi Genit menyebut dirinya sebagai Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Namun ia sendiri tidak berani menceritakannya kepada Kidarga.
Kalau hal itu diungkapkan, berarti telah membongkar kelemahannya sendiri karena tidak mampu membantu Nyi Genit saat bertempur.
"Besok, aku minta kau dan beberapa orang pasu-kan pilihanmu pergi mencari jejak istriku. Aku yakin dia sudah pulang dari Desa Larangan!"
Kata Kidarga, memerintah Siangkoan Kun Hok. Siangkoan Kun Hok terkejut mendapat perintah itu.
"Kau sanggup?"
"Tentu. Tentu, Ketua!"
Sahut Siangkoan Kun Hok cepat, menutupi keterkejutannya.
"Tapi ke mana harus mencarinya, Ketua?"
Lanjut Siangkoan Kun Hok pura-pura.
"Carilah di kampung-kampung sekitar negeri ini. Mungkin istriku mendapat tantangan dari orang-orang yang mengikuti jejak Bongkap dan Bong Mini!"
Jawab Kidarga.
"Baiklah, Ketua! Besok pagi akan kulaksanakan!"
Sahut Siangkoan Kun Hok.
"Kalau begitu, pertemuan hari ini sudah cukup. Kita tinggal menunggu kedatangan para prajurit kerajaan yang kabarnya satu minggu lagi akan sampai di sini. Setelah itu kita langsung bergerak ke kampung-kam-pung untuk mencari Bongkap dan putrinya!"
Kata Ki-darga.
Lalu ia melangkah menuju kamarnya.
Sedang-kan para pendekar melangkah ke tempat yang mereka sukai.
*** Matahari pagi bersinar cerah.
Menyegarkan kembali pepohonan yang tumbuh di sekitar Desa Padomorang, setelah semalaman suntuk didera kabut dingin yang menyelimuti.
Dalam suasana pagi yang cerah itu, Bong Mini dan delapan pendekar lain telah sampai di halaman rumah Prabu Jalatunda, di Desa Padomorang.
Ketika mereka hendak memasuki pintu gerbang, empat penjaga se-gera datang menghadang.
"Siapa Nona dan hendak bertemu dengan siapa?"
Tanya seorang penjaga pintu gerbang dengan sorot ma-ta penuh selidik.
Lelaki itu berpakaian silat putih-putih, dilengkapi kain batik sebatas lutut yang dilingkarkan di pinggangnya.
Bong Mini tercenung beberapa saat.
Ia tidak me-nyangka jika rumah Bibi Ningrum atau Prabu Jalatun-da telah begitu jauh berbeda.
Kalau dulu setiap tamu bebas masuk dan keluar tanpa penjagaan ketat, kini malah sebaliknya.
Pada setiap pintu masuk, berdiri pa-ra penjaga pintu.
Lengkap dengan tombak dan ta-mengnya.
"Apakah Bibi Ningrum dan Paman Prabu sudah pindah dan diganti oleh penghuni baru?"
Pikir Bong Mini. Sebelum ia berpikir lebih lanjut, pemimpin penjaga pintu gerbang tadi kembali mengajukan pertanya-an.
"Siapakah Nona dan ada keperluan apa?"
Tanya penjaga pintu gerbang itu kembali.
"Namaku Bong Mini. Aku hendak bertemu dengan Bibi Ningrum,"
Sahut Bong Mini ramah.
Mendengar nama Bong Mini, empat penjaga pintu gerbang itu terkejut bukan main.
Kemudian mereka serentak membungkuk hormat.
Bukanlah hal yang mengherankan jika mereka mendadak bersikap hormat kepada Bong Mini.
Karena sedikit banyak mereka sudah mendengar tentang se-pak terjang gadis itu dalam menghadapi kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
"Silakan! Silakan masuk Nona!"
Hatur pemimpin penjaga pintu gerbang dengan hormat.
Suaranya yang semula garang dan tegas, berubah lunak seperti pe-ngawal yang berhadapan dengan rajanya.
Selanjutnya, pengawal itu segera ke dalam untuk memberitahukan istri Prabu Jalatunda.
Sedangkan Bong Mini dan delapan pendekar lain duduk di ruangan tamu.
Tidak begitu lama menunggu, pengawal yang mem-beritahukan pemilik rumah itu segera kembali bersa-ma seorang wanita tinggi semampai berkulit kuning langsat.
Sedangkan rambutnya yang panjang berge-lombang diikat di tengah kepala.
Adapun pakaian yang dikenakannya terbuat dari bahan sutera halus berwarna biru muda.
Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Dialah wanita yang bernama Ningrum, istri Prabu Jalatunda.
Beberapa saat kedua wanita cantik yang berbeda usia itu saling berpandangan dengan sinar mata gem-bira.
"Bibi Ningrum!"
Pekik Bong Mini seraya mengham-bur, lalu memeluk wanita setengah baya yang masih memperlihatkan kecantikannya itu.
Ningrum yang masih terpaku memandangi gadis yang selama ini hilang dari pandangannya segera me-nyambut pelukan Bong Mini dengan penuh suka cita.
"Dari mana saja kau, Sayang? Selama ini aku me-rindukanmu!"
Desah Ningrum.
Dipeluk dan diciuminya wajah Bong Mini berulang kali.
Sementara dua butir air matanya sempat jatuh ke wajah gadis mungil yang tengah menengadah menatapnya.
Dia menitikkan air mata haru karena dapat berjumpa lagi dengan gadis yang selama ini menggayuti benaknya.
Bong Mini tidak segera menjawab.
Ia masih asyik membenamkan kepalanya dalam pelukan Ningrum.
Entah kenapa, setiap berada dalam pelukan istri Prabu Jalatunda itu, ia selalu ingin berlama-lama dan selalu teringat pada mamanya yang telah tewas beberapa tahun lalu.
Karena itu, Bong Mini pun sempat menitik-kan air mata ketika berada dalam pelukan Ningrum.
Setelah lama saling melepas rindu, Bong Mini sege-ra merenggangkan tubuhnya dari pelukan Ningrum.
Dan ia terkejut ketika menyadari penampilan Ningrum berbeda dengan penampilannya beberapa tahun lalu.
"Bibi berlatih silat?"
Tanya Bong Mini sendu. Ningrum tersenyum sambil mengangguk.
"Sejak setahun lalu, Paman Prabu memberikan lati-han silat. Bukan saja kepada Bibi, tetapi juga kepada para pemuda desa ini. Dan hari ini tugas Paman meng-ajar diganti oleh papamu!"
Tutur Ningrum menjelaskan.
"Papa? Papa ada di sini?"
Desah Bong Mini dengan wajah gembira. Karena dugaannya benar.
"Semalam papamu ke sini dengan membawa seba-gian penduduk Kampung Dukuh. Papamu mencerita-kan peristiwa yang menimpa penduduk kampung ter-sebut. Sehingga aku dan Paman Prabu memutuskan agar mereka tinggal di sini sekaligus ikut berlatih silat,"
Ujar Ningrum menjelaskan.
"Aku pun sempat menyaksikan sisa reruntuhan rumah yang dibakar oleh iblis-iblis Perguruan Topeng Hitam!"
Sambut Bong Mini.
"Sekarang, di mana Papa?"
"Di belakang. Memberikan pelajaran silat!"
Sahut Ningrum. Dialihkannya pandangan ke arah delapan le-laki gagah yang sejak tadi berdiri menyaksikan adegan haru mereka.
"Siapa mereka, Anakku?"
"O, ya. Aku hampir lupa memperkenalkan mereka kepada Bibi!"
Ucap Bong Mini. Dia segera memperke-nalkan nama delapan pendekar yang ikut bersamanya.
"Pendekar Teluk Naga berasal dari negeri Jenghoa, sebelah barat Tiongkok sedangkan Pendekar Mata De-wa berasal dari negeri Manchuria!"
Kata Bong Mini menjelaskan. Ningrum mengangguk-angguk.
"Dua lagi?"
Tanya Ningrum.
"Mereka berasal dari Philipina, tepatnya dari negeri Lanoa!"
Sahut Bong Mini menjelaskan asal negeri Ong Lie dan Seyton.
Sengaja ia tidak menjelaskan kalau mereka dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.
Ia tidak ingin kejahatan orang yang sudah sadar diungkit dan menjadi buah bibir masyarakat nantinya.
Cukup dirinya sendiri yang tahu siapa Ong Lie dan Seyton sebenarnya, timbang Bong Mini.
Ningrum mengangguk-angguk puas.
Setelah itu, ia pun mengajak Bong Mini dan delapan pendekar tadi menuju ruang latihan silat.
Di saat mereka berjalan menyusuri ruangan luas menuju tempat berlatih, samar-samar telinga mereka mendengar bentakan-bentakan berirama dari orang-orang yang sedang berlatih.
"Haiiit.., hah! Haiiit..., ha! Haiiit.., yaaat..!"
Berulang-ulang teriakan berirama itu terdengar di telinga Bong Mini, sebelum melihat ruangan latihan silat.
Begitu Bong Mini, Ningrum, dan delapan pendekar lain keluar dari pintu ruang megah itu, mata mereka melihat ruang latihan silat yang cukup luas, tanpa din-ding penyekat.
Sehingga bila waktu pagi, teriakan-teriakan orang yang sedang berlatih silat amat jelas terdengar sampai keluar ruangan.
Bagi penduduk Desa Padomorang sendiri, teriakan-teriakan berirama semacam itu sudah bukan sesuatu yang asing lagi.
Mereka tahu kalau dalam ruangan belakang rumah saudagar kaya itu serombongan orang, baik tua atau muda, tengah berlatih silat.
Bong Mini menatap kagum pada orang-orang yang berlatih silat itu.
Mereka begitu bersemangat dan ber-sungguh-sungguh.
"Kau mau langsung menemui papamu atau mem-buat kejutan terlebih dahulu?"
Kata Ningrum, mena-warkan pilihan. Bong Mini diam sejenak. Matanya menangkap sosok papanya yang nampak begitu gagah berdiri tegak me-nyaksikan serombongan orang berlatih silat. Timbul keinginan hatinya untuk menggoda keasyikan papanya itu.
"Bibi. Bisakah Bibi pinjamkan pakaian untukku?"
Desah Bong Mini.
"Kau mau mengganti pakaian?"
Tanya Ningrum.
"Aku ingin menggoda keasyikan Papa!"
Ningrum tersenyum.
"Aku yakin! Anak manja sepertimu selalu bikin ulah!"
Sahut Ningrum seraya tersenyum kemayu.
Lalu ia mengajak Bong Mini ke kamarnya, meninggalkan delapan pendekar yang tampak berdiri kagum melihat orang yang berlatih silat.
Sebenarnya mereka hendak menyaksikan latihan si-lat itu lebih dekat lagi.
Namun karena Bong Mini hendak membuat kejutan terhadap Bongkap, mereka pun tetap menyaksikan latihan itu dari kejauhan.
Malah mereka menyaksikannya di dekat pintu rumah, tempat yang lebih tersembunyi lagi.
Sehingga bila ada orang dari tempat berlatih menengok ke arah tersebut, mereka bisa cepat bersembunyi di balik tembok rumah.
Sementara itu, Bong Mini telah selesai berpakaian.
Karena pakaian Ningrum lebih panjang dan besar, ia tak perlu lagi melepaskan pakaiannya.
Sedangkan pa-kaian Ningrum yang kepanjangan digulung hingga pas.
"Aku pergi dulu, Bi!"
Kata Bong Mini setelah ia me-ngenakan penutup wajah dari kain.
Penampilannya kali ini agak berbeda.
Di lain sisi, sekelompok orang yang sedang berlatih silat tampak semakin bersemangat mengeluarkan jurus-jurusnya, hingga suara yang mereka hentakkan pun bertambah tinggi pula.
Di saat mereka berlatih sungguh-sungguh, tiba-tiba seseorang melompat dari tembok pagar rumah dan langsung melakukan serangan, membuat mereka ku-car-kacir tak menentu.
"Ilmu silat kalian masih mentah!"
Teriak orang ber-topeng biru sambil terus melakukan serangan ke arah sepuluh orang yang mengepungnya.
"Siapa kau dan kenapa membuat huru-hara di si-ni?!"
Bentak seorang pengepung.
"Aku tidak ada urusan dengan kalian! Aku hanya ingin bertemu dengan Bongkap!"
Terdengar sahutan wanita itu yang tidak lain Putri Bong Mini. Bongkap yang sejak tadi berdiri mengawasi murid-muridnya terhenyak kaget mendengar namanya dis-ebutkan. Setelah mampu menguasai keterkejutan, de-ngan gagah kakinya melangkah mendekati.
"Siapa kau, wanita bertopeng? Dan ada apa kau mencariku?"
Tegur Bongkap dengan suara berwibawa.
"Hm! Jadi kau yang bernama Bongkap? Bagus! Se-karang hadapilah seranganku!"
Ketus Bong Mini de-ngan suara yang sengaja dirubah kasar agar tidak dikenali papanya.
"Nanti dulu!"
Cegah Bongkap tenang, berusaha ber-sabar.
"Apa salahku hingga kau hendak menyerang-ku?"
"Tidak ada gunanya aku menjelaskan sekarang!"
Ke-tus Bong Mini.
"Nah, bersiaplah!"
Lanjut Bong Mini sambil menahan tawa melihat Bongkap tidak menge-nali suaranya.
Sikap menantang Bong Mini tidak lain hanya ingin berlatih silat dengan papanya.
Karena sejak pulang da-ri Gunung Muda, ia belum punya kesempatan untuk melakukan latihan.
Pertemuannya dengan Bongkap saat itu terburu terganggu oleh kerusuhan yang dilakukan Iblis Pulau Neraka.
Bong Mini telah membuka jurus silat yang pernah diajarkan Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda.
"Hiaaat!"
Bong Mini mengeluarkan pekikan tinggi berbare-ngan dengan tendangan lurus ke depan untuk menye-rang Bongkap dengan gerakan yang begitu cepat, hing-ga menimbulkan bayang-bayang.
Namun dengan cepat Bongkap mengelak ke samping.
Tendangan dahsyat itu pun luput dari sasaran.
Namun ketika sepasang kaki-nya telah menyentuh tanah, Bong Mini kembali mem-buat serangan.
Wut wut wut! Tangan dan kaki Bong Mini bergerak cepat dan gen-car menyerang Bongkap, membuat Bongkap harus ber-salto ke belakang dan ke samping untuk menghindari serangan.
Selanjutnya, Bongkap membuka jurus 'Pu-kulan Berantai'.
Sebuah jurus yang bergerak cepat dan dapat mengimbangi jurus dahsyat yang dipergunakan wanita bertopeng.
"Haiiit!"
Debbb! Tangan keduanya bertemu.
Kemudian dengan cepat keduanya menarik kembali.
Bukkk! Bukkk! Tubuh kedua orang yang bertanding itu terjungkal ke belakang saat menarik tangannya masing-masing.
Prabu Jalatunda dan para pesilat lain yang menyak-sikan pertandingan itu tampak terkagum-kagum.
Begi-tu pula dengan Ningrum dan delapan pendekar yang dibawa Bong Mini tadi.
Tanpa disadari, mereka telah maju mendekat tempat pertandingan dan berbaur de-ngan para pesilat di arena latihan.
Bongkap dan Bong Mini telah bangun kembali.
Me-reka sama-sama berdiri gagah.
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki, anak som-bong!"
Bentak Bongkap.
Mendapat bentakan dari Bongkap, Bong Mini jadi terkejut.
Ia tidak mengira kalau papanya benar-benar telah lupa terhadap dirinya.
Ketika ingat wajahnya ber-selubung topeng, ia pun jadi tersenyum.
Berarti maksudnya hendak menggoda Bongkap berhasil.
"Akan kujelaskan maksudku menyerangmu asal kau layani lagi satu seranganku ini!"
Usai berkata begitu, Bong Mini langsung melesat ke arah papanya de-ngan cepat.
"Haiiit!"
Wut wut wut! Jurus 'Tendangan Berantai' yang dilakukan Bong Mini terus mencecar bagian wajah dan perut papanya. Dengan tenang Bongkap menghindar. Pada kesempa-tan berikutnya, ia pun melancarkan serangan ke arah gadis bertopeng itu.
"Heppp!"
Tangan Bongkap yang tinggal sebelah itu segera me-nangkap kaki lawan dan memukulnya dengan cepat. Plakkk! "Auhhh!"
Bong Mini terjatuh sambil mengaduh. Bongkap ce-pat-cepat menghampiri dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Kau benar-benar telah memiliki ilmu yang tinggi, Putriku!"
Ucap Bongkap tanpa melepas senyumnya.
Rupanya dia telah dapat mengenali suara Bong Mini sejak tadi.
Bong Mini terkejut karena ternyata papanya telah mengenali dirinya.
Dengan perasaan malu, ia bangkit dengan mengambil uluran tangan Bongkap.
Dibukanya kain penutup wajahnya.
"Maafkan sikapku tadi, Pa. Habis selama ini aku ti-dak punya kesempatan berlatih dengan Papa!"
Ucap Bong Mini dengan sikap manja. Bongkap tersenyum dan memeluk putrinya.
"Papa justru senang dengan sikapmu itu!"
Ucap Bongkap saat mendekap putrinya.
"Tapi sayang...!"
"Kenapa, Pa?"
Tanya Bong Mini seraya melepaskan pelukannya, lalu memandang papanya.
"Walau sudah besar, sifat manjamu tidak juga ber-ubah!"
Kata Bongkap sambil memijit hidung putrinya yang mungil.
"Idiiih, Papa! Badan begini kecil dibilang besar!"
Ra-juk Bong Mini.
Bongkap tertawa terbahak.
Dia senang dengan si-kap putrinya yang tetap bersikap seperti ketika di Manchuria.
Lincah dan manja.
Para pesilat yang tadi diganggu latihannya oleh Bong Mini jadi tercengang.
Mereka baru tahu kalau gadis bertopeng yang tadi menyerang ternyata anak Bongkap.
"Anak manja kalau datang memang selalu bikin ke-jutan!"
Tiba-tiba terdengar suara di antara pesilat. Dan ketika Bong Mini menoleh, ternyata Prabu Jalatunda tengah berjalan mendekatinya.
"Paman!"
Ucap Bong Mini seraya menghormat "Ma-afkan jika latihan tadi terganggu!"
Lanjut Bong Mini. Prabu Jalatunda hanya tersenyum sambil mende-katkan kepala Bong Mini ke dadanya.
"Paman kaget sekali kepadamu!"
Ucap Prabu Jala-tunda.
"Sudah bertemu dengan Bibi Ningrum?"
"Sudah, Paman!"
"Wah, kalau begitu kau telah berencana dengan Bibi Ningrum untuk menyerang papamu tadi!"
Tebak Prabu Jalatunda.
Bong Mini hanya tersenyum sambil menoleh pada Ningrum yang sudah berdiri di belakangnya.
Namun ketika menoleh ke sebelah Ningrum, senyumnya jadi terhenti.
Pandangannya tajam meneliti gadis cantik yang berdiri di sebelah kanan Ningrum.
"Kau? Thong... Mey!"
Ucap Bong Mini ragu.
"Benar, Cici Mini!"
Jawab gadis itu. Bibirnya mene-bar tersenyum girang karena Bong Mini masih menge-nalinya.
"Wah, kau sudah besar sekarang. Bagaimana cerita-nya hingga bisa berkumpul di sini?"
Tanya Bong Mini.
"Sang Piao yang telah menyelamatkan dan memba-waku ke sini!"
Sahut Thong Mey. Bong Mini mengerutkan kening.
"Jadi, kau yang dibawa oleh Sang Piao ketika sakit beberapa waktu lalu?"
"Benar, Cici!"
Bong Mini mengangguk-angguk sambil matanya te-rus mengamati wajah cantik itu.
Dia tidak mengira kalau gadis itu adalah gadis yang pernah dikenalnya dua tahun lalu, saat ia berjalan-jalan melihat keadaan penduduk (baca episode 1.
'Sepasang Pendekar dari Selatan').
"Sekarang, mari kita masuk ke ruang dalam. Sudah sejak tadi para pelayan menghidangkan makanan un-tuk kita!"
Ajak Ningrum sambil melingkarkan tangan-nya ke bahu Bong Mini.
Kemudian kedua wanita can-tik yang berbeda usia ini melangkah ke dalam, diikuti oleh para pendekar lain.
Untuk beberapa saat, rumah Prabu Jalatunda yang setiap harinya dipenuhi oleh suara-suara teriakan orang yang berlatih silat, kini berubah menjadi suasana gembira.
Karena pada hari itu juga, Ningrum langsung menyuruh dua orang pelayannya untuk membuat hi-dangan istimewa sebagai acara penyambutan keha-diran Bong Mini.
Dia membuat acara syukuran yang dihadiri oleh para pesilat dan delapan pendekar yang menyertai Bong Mini.
"O ya, Papa dan Paman. Perkenalkan delapan pen-dekar yang kubawa ini!"
Kata Bong Mini memperkenal-kan. Ketika Bongkap serta Prabu Jalatunda menjabat ta-ngan delapan pendekar itu, Bong Mini segera menam-bahkan ucapannya.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja