Dendam Gadis Pertapa 1
Pendekar Rajawali Sakti Dendam Gadis Pertapa Bagian 1
. 141. Dendam Gadis Pertapa Bag. 1-3 19. November 2014 um 19.33 "Bakar! Bunuh semua...!"
"Hiyaaa...!"
"Tolooong...!" Cras! "Aaa...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar, berpadu menjadi satu bersama jeritan panjang melengking tinggi yang ditingkahi kobaran api membakar ru-mah-rumah yang ada di sebelah selatan kota Kadipaten Parunggungan.
Suara ringkikan kuda dan tangisan anak-anak berbaur menjadi satu, membuat malam yang seharusnya hening ini menjadi panas membara, seperti api yang membakar rumah-rumah itu.
Api yang berkobar semakin membesar, mem-buat malam menjadi terang dan panas.
Teriakan-teriakan keras memberi perintah terus terdengar, disusul jeritan menyayat yang saling sambut.
Suasana begitu kacau, tak terkendali lagi.
Tampak penduduk kota kadipaten sebelah selatan ini berusaha menyelamatkan diri masing-masing dari amukan segerombolan orang berpakaian serba merah, yang semuanya menunggang kuda dan sangat ganas itu.
Tidak peduli anak-anak yang ditemui, mereka langsung membabatkan golok tanpa ada rasa belas kasihan sedikit pun.
Dan di antara kegaduhan itu, terlihat seorang laki-Iaki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun, sambil tersenyum-senyum memandangi kegaduhan di sekelilingnya di atas punggung kuda putihnya.
Di sampingnya terlihat seorang gadis cantik.
Dia juga tersenyum-senyum, menyaksikan kekacauan ini.
Bahkan sesekali tangan kanannya mengibas ke samping, yang disusul melesatnya sebuah benda seperti pisau kecil bercahaya putih keperakan dengan kecepatan bagai kilat.
Dan benda itu langsung menembus leher penduduk yang terlihat dekat dengannya.
Di depan mereka, terlihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun tengah sibuk berteriak-teriak memberi perintah.
Suaranya keras dan menggelegar, dengan pedang terayun-ayun ke atas kepala.
Kuda yang ditungganginya terus meringkik, menghentak-hentakkan kedua kaki depannya ke tanah seperti gelisah.
Seakan kuda itu sudah tidak tahan lagi melihat kekacauan di sekelilingnya.
Dan orang-orang berpakaian serba merah yang semuanya menunggang kuda terus mengobrak-abrik kota Kadipaten Parunggungan sebelah selatan ini, sambil berteriak-teriak keras.
Seakan, mereka berada dalam satu medan pertarungan yang dahsyat.
Hingga, tidak satu pun rumah di bagian selatan kota kadipaten ini yang masih terlihat utuh dari sambaran api.
Saat itu juga, terlihat salah seorang pemudaberbaju merah yang menghunus golok mengham-piri laki-laki tua berjubah merah yang didampingi gadis cantik.
Pemuda ini langsung menyarungkan goloknya.
Segera tubuhnya membungkuk di atas punggung kuda tunggangannya, begitu dekat di depan laki-laki tua berjenggot putih yang berjubah merah ini.
"Sepasukan prajurit kadipaten sudah bergerak ke sini, Gusti,"
Lapor pemuda itu.
"Hm. Kembali ke tempat...,"
Ujar orang tua berjubah merah itu.
Pemuda itu segera kembali ke tempat pemban-taian penduduk kadipaten ini.
Dan laki-laki yang dipanggil dengan sebutan 'gusti' itu menatap pemuda berbaju merah yang pada bagian punggungnya bergambar seekor ular naga dan sepasang cakar burung elang mengem-bang ke depan, yang masih berteriak-teriak memberi perintah.
"Priyada, kemari sebentar...!"
Panggil orang tua berjubah merah yang ternyata pemimpin ge-rombolan ini. Pemuda berbaju merah bergambar naga di punggung itu segera berbalik. Dan tubuhnya langsung membungkuk, memberi hormat pada laki-laki tua berjenggot putih ini.
"Ada apa. Ayah,"
Sahut pemuda yang dipanggil Priyada itu. Sikapnya begitu hormat.
"Perintahkan mereka semua agar kembali. Tinggalkan tempat ini secepatnya. Dan, jangan ada seorang pun yang tertinggal,"
Perintah orang tua itu.
"Baik, Ayah. Segera hamba laksanakan,"
Sahut Priyada.
Sebelum Priyada memutar kudanya berbalik kembali, laki-laki berjubah merah yang rambut dan jenggotnya sudah memutih semua itu sudah langsung cepat menggebah kudanya, diikuti gads cantik yang terus mendampinginya.
Dan Priyada segera mernerintahkan anak buahnya, meninggalkan kota yang sudah hancur ini.
Maka seketika itu juga, orang-orang berbaju serba merah itu sudah langsung menggebah cepat kudanya, keluar dari kota ini dari gerbang perbatasan sebelah selatan.
Cepat sekali mereka bergerak, hingga sebentar saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
Dan saat itu juga, para prajurit dari Kadipaten Parunggungan datang.
Mereka jadi terlongong, seakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Tldak satu bangunan rumah pun yang terlihat masih utuh.
Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memadati jalan.
Sebuah pemandangan yang begitu mengenaskan, sulit dijabarkan.
Tapi para prajurit itu tidak ada yang bisa berbuat sesuatu.
Mereka hanya mendapatkan rumah-rumah yang terbakar, serta mayat-mayat bergelimpangan yang masih mengeluarkain darah segar.
*** Peristiwa yang terjadi di selatan Kadipaten Parunggungan itu tentu saja membuat penguasa kadipaten ini jadi geram.
Adpati Wiyatala langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya.
Mereka semua diminta untuk mencari gerombolan liar yang telah merusak sebagian kota kadipaten ini dan membantai hampir semua penduduknya.
Kalau saja para prajurit tidak segera datang, mungkin sudah tidak ada lagi penduduk yang tersisa.
Dan yang masih hidup pun dalam keadaan terluka cukup parah.
Hari itu juga, sebelum matahari benar-benar menampakkan diri di ufuk timur, lima orang kepercayaan Adipati Wiyatala sudah bergerak bersama puluhan prajurit, menyebar ke seluruh pelosok wilayah Kadipaten Parunggungan.
Mereka tentu saja berusaha mencari gerombolan liar yang telah membuat sebuah peristiwa besar.
Dan itu memang tidak bisa didiamkan begitu saja.
Tapi, gerombolan liar dari mana yang melakukan semua perbuatan keji ini...? Tidak ada seorang pun yang tahu, dari mana datangnya gerombolan liar itu.
Dan, apa maksud mereka merajah Kadipaten Parunggungan.
Sejak peristiwa malam itu, hari-hari selalu diisi ketakutan dan kecemasan seluruh rakyat di Kadipaten Parunggungan.
Semua rakyat jadi merasa tidak tenteram.
Setiap hari, selalu saja terjadi pembantaian dan pembakaran rumah-rumah penduduk yang selalu terjadi pada malam hari.
Mereka datang secara tiba-tiba, seperti hantu dari arah yang sukar ditentukan.
Dan mereka juga menghilang cepat, setiap kali sepasukan prajurit datang ke tempat kejadian.
Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Adipati Wiyatala semakin berang.
Dan dia memerintahkan untuk mengadakan penjagaan yang lebih ketat di seluruh wilayah kota kadipaten ini.
Tapi semakin diperketat penjagaannya, semakin berani saja gerombolan liar itu menjarah.
Bahkan mereka sudah berani menghadang para prajurit yang sedang meronda, sekaligus membantainya.
Hingga dalam beberapa hari saja, kekuatan yang dimiliki Kadipaten Parunggungan ini semakin berkurang.
Tentu saja hal ini membuat Adipati Wiyatala semakin geram, tanpa bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
Dan malam itu, kembali gerombolan muncul di sebelah timur kota kadipaten ini.
Mereka membakar habis rumah-rumah penduduk, dan membunuh semua orang.
Puluhan prajurit yang menjaga wilayah itu tidak dapat membendung keganasan gerombolan ini.
Hingga, mereka terpaksa mundur mendekati jantung kota.
Tapi, gerombolan liar itu terus bergerak maju, mendesak prajurit-prajurit.
Maka pertempuran di tengah kota pun tidak dapat dihindari lagi.
Sementara itu Adipati Wiyatala yang sudah di- dampingi lima orang abdi kepercayaannya, kelihatan cemas.
Apalagi, mengetahui kalau gerombolan liar itu semakin dekat ke istana kadipaten ini.
Sementara, para prajurit yang ditugaskan menjaga dan menghadang, sudah tidak mampu lagi bertahan lebih lama.
Mereka semakin terdesak, hingga gerombolan itu semakin mendekati istana ini.
Kadipaten Parunggungan, malam ini benar-benar menjadi lautan api.
Di setiap penjuru terlihat kobaran api membakar rumah-rumah penduduk.
Jerit kematian dan teriakan pertempuran bagai hendak mengguncangkan seluruh tanah kadipaten ini.
Denting senjata pun semakin jelas terdengar dari dalam istana yang sudah terjaga ketat.
Bahkan pintu gerbang benteng istana yang kokoh, sudah tertutup rapat.
Rakyat yang berhasil lolos dari amukan gerombolan itu, kini berkumpul memadati halaman depan istana yang terjaga ketat.
Pasukan prajurit pemanah sudah siap di atas tembok benteng dengan anak panah terpasang di busur.
Mereka menunggu gerombolan itu dekat dengan hati cemas.
Sementara, di dalam ruangan depan istana, tampak Adipati Wiyatala semakin terlihat gelisah dan cemas, didampingi lima orang abdi kepercayaannya.
"Paman Rondowungu, siapkan prajurit pilihan. Dan, bawa keluargaku keluar dari istana ini, melalui jalan rahasia. Selamatkan mereka dari bencana ini. Terutama, putraku...,"
Perintah Adipati Wiyatala, saat keadaan semakin meruncing.
"Sendika, Gusti Adipati,"
Sahut seorang laki-laki berusia setengah baya, disertai sembah hormat.
Tanpa diperintah dua kali, laki-laki setengah baya yang dipanggil Rondowungu segera mengumpulkan tiga puluh orang prajurit pilihan.
Dan dia langsung membawa keluarga adipati, bersama para prajurit pilihan itu keluar dari istana ini melalui jalan rahasia.
Sementara Adipati Wiyatala sendiri bersama empat orang abdi setianya, sudah keluar dari dalam istana.
Hatinya begitu trenyuh melihat rakyatnya berjejelan di halaman depan istana ini, mencari perlindungan padanya.
"Kalian berdua, ajak seluruh rakyat mengungsi melalui jalan rahasia ke pantai. Aku tidak sudi mereka menjadi korban sia-sia di sini,"
Ujar Adipati Wiyatala, pada dua orang abdi setianya.
"Bawa prajurit pilihan kalian secukupnya."
Dua orang abdi yang ditunjuk itu segera memberi hormat, dan mengumpulkan prajurit-prajurit pilihan.
Dan mereka segera menggiring rakyat kadipaten ke bagian belakang istana ini.
Rakyat yang memang ingin mencari selamat saling berebutan dan mendahului, saat pintu rahasia yang berada di balik dinding belakang istana terbuka lebar.
Mereka masuk ke dalam lorong rahasia di bawah tanah, mengikuti dua orang abdi setia Adipati Wiyatala yang dikawal tidak kurang dari lima puluh orang prajurit.
Sementara di bagian depan benteng istana, masih terdengar teriakan-teriakan pertempuran disertai denting senjata beradu, yang mengiringi jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat saling sambut.
Dan di halaman depan istana, kini sudah sepi.
Tidak lagi terlihat satu orang penduduk pun di Sana.
Mereka kini sudah berada dalam lorong bawah tanah yang aman, menuju keluar istana melalui jalan rahasia.
Empat orang prajurit yang menjaga pintu lorong rahasia langsung menutup kembali, setelah tidak ada seorang pun yang melaluinya.
Dan mereka kembali ke tempatnya semula, untuk mempertahankan istana ini.
"Paman Kabasan, Ki Jarukati...,"
Panggil Adipati Wiyatala pada dua orang abdi setianya yang masih menemani.
"Sendika, Gusti Adipati,"
Sahut kedua abdi itu bersamaan, seraya memberi sembah hormat.
"Aku rasa, ini saatnya untuk membuktikan kesetiaan kalian pada Kadipaten Parunggungan ini. Aku minta, kalian bersama-samaku dalam mempertahankan istana ini sampai titik darah yang penghabisan,"
Kata Adipati Wiyatala penuh semangat.
"Hamba tidak akan mundur setapak pun, Gusti,"
Sambut Ki Jarukati, yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Suaranya terdengar mantap.
"Hamba pun rela mengorbankan nyawa demi kadipaten ini, Gusti,"
Sambung Paman Kabasan, yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Sedangkan Adipati Wiyatala sendiri masih berusia sekitar dua puluh delapan tahun.
Memang, dia adalah seorang adipati yang masih muda.
Tapi kepandaiannya sangat disegani dan dihormati seluruh rakyatnya.
Dan saat itu terlihat seorang prajurit yang bertugas mengamati keadaan di luar, berlari-lari menghampiri.
Prajurit berusia muda itu langsung membungkuk dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada dekat di depan Adipati Wiyatala.
"Mereka sudah dekat, Gusti. Bahkan sudah mencoba untuk menjebol pintu gerbang,"
Lapor prajurit itu dengan napas tersengal.
"Paman Kabasan, perintahkan pasukan panah untuk menghalau mereka,"
Perintah Adipati Wiyatala langsung.
"Baik, Gusti,"
Sahut Paman Kabasan tegas.
Seketika itu juga, Paman Kabasan langsung melompat cepat sekali.
Dan dengan gerakan indah tubuhnya melesat, naik ke atas pagar tembok yang tinggi dan kokoh, tepat di atas pintu gerbang utama benteng istana kadipaten ini.
Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan kanannya dan terangkat tinggi ke atas kepala.
Lalu....
"Pasukan panah...! Seraaang...!"
Begitu mendapat perintah dari Paman Kabasan, seketika itu juga pasukan panah yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah langsung melepaskan anak-anak panah, menghujani gerombolan liar yang berjumlah sangat besar di bawah benteng istana kadipaten ini.
*** Merasa sulit untuk menembus benteng kadipaten yang terjaga sangat ketat, orang-orang berpakaian serba merah ini segera menarik diri, menjauhi istana kadipaten ini.
Paman Kabasan segera berteriak memberi perintah untuk menghentikan serangan, Dan seketika itu juga, suasana menjadi sunyi lengang tanpa terdengar ada suara sedikit pun juga.
"Hup...!"
Paman Kabasan kembali melompat turun dan atas benteng istana kadipaten ini.
Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dan tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga, kedua kakinya menjejak tanah, tidak jauh di depan Adipati Wiyatala.
Langsung diberikannya hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan ke depan dada, sambil membungkuk sedikit.
"Jumlah mereka sangat besar, Gusti. Rasanya tidak mungkin bertahan lebih lama lagi,"
Kata Paman Kabasan langsung memberi laporan.
"Persiapkan panah sebanyak-banyaknya. Terus bertahan, sampai bantuan datang,"
Kata Adipati Wiyatala tegas.
"Tapi dengan kekuatan yang ada sekarang, rasanya sulit bertahan lebih lama lagi, Gusti. Sedang persiapan panah sangat terbatas,"
Jelas Paman Kabasan.
"Apa pun yang terjadi, tetap bertahan. Dan Ki Jarukati bersiap bersama prajuritnya di depan pintu, bila mereka berhasil menerobos masuk,"
Tegas Adipati Wiyatala.
Ki Jarukati hanya mengangguk saja.
Dan me-mang, prajurit-prajurit yang sudah siap sejak tadi kini berbaris rapi di tengah-tengah halaman depan istana ini.
Mereka menjaga kalau-kalau lawan mereka di luar bisa menjebol pintu gerbang yang tertutup rapat.
Walaupun jumlah prajurit yang dipimpinnya kini tinggal sekitar lima puluh orang lagi, tapi Ki Jarukati tidak menunjukkan kegentaran sedikit pun juga.
Bahkan tampak begitu tenang, seperti tidak terjadi sesuatu yang membuat Adipati Wiyatala begitu cemas.
"Paman Kabasan, keluarkan seluruh persedia-an panah dari gudang senjata. Dan, perlengkapi prajuritmu dengan tombak,"
Perintah Adipati Wiyatala.
"Sendika, Gusti. Segera hamba perintahkan prajurit untuk mempersiapkan segalanya,"
Sahut Paman Kabasan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Paman Kabasan segera memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengeluarkan seluruh senjata yang ada dalam gudang persenjataan.
Dan mereka segera membekali masing-masing dengan senjata itu.
Kesibukan pun terlihat di dalam benteng istana ini.
Sementara, di luar lawan mereka terus mengepung rapat benteng ini, dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Jumlah gerombolan itu memang sudah berku-rang, akibat serangan anak panah tadi.
Tapi, itu tidak membuat mereka gentar.
Sementara, seluruh prajurit di dalam benteng istana ini sudah membekali diri dengan senjata lengkap.
Adipati Wiyatala sendiri, didampingi Paman Kabasan dan Ki Jarukati, melihat keadaan gerombolan itu dari atas benteng.
"Lihat, Gusti. Kekuatan mereka seperti satu pasukan besar sebuah kerajaan,"
Jelas Paman Kabasan.
"Hm...,"
Adipati Wiyatala hanya menggumam saja sedikit.
"Tiga orang yang menunggang kuda itulah pe-mimpinnya,"
Jelas Paman Kabasan lagi.
"Tapi mereka tampaknya bukan pasukan prajurit kerajaan. Aku sama sekali tidak melihat ada lambang kerajaan pada mereka,"
Selak Ki Jarukati, yang sejak tadi diam saja.
"Mereka memang gerombolan liar, Ki,"
Sahut Paman Kabasan.
"Kau kenali dari pakaian mereka, Kabasan?"
Tanya Ki Jarukati lagi.
Paman Kabasan hanya menggeleng saja.
Se-dangkan Adipati Wiyatala tetap diam membisu, dengan pandangan tidak berkedip merayapi orang-orang yang mengepung rapat istananya ini.
Seakan, dia tengah memperhitungkan kekuatan lawannya.
Entah, apa yang ada dalam benak adipati berusia muda ini.
Beberapa kali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Sementara, Ki Jarukati dan Paman Kabasan tidak berbicara lagi.
Mereka juga memandangi pihak lawan yang semuanya berpakaian berwarna merah menyala.
Melihat dari jumlah yang begitu banyak, memang sulit untuk bisa bertahan lebih lama lagi.
Terlebih lagi, sudah terlihat kepandaian mereka dalam bertempur.
Sepertinya, orang-orang berbaju serba merah itu sangat berpengalaman dan ahli dalam pertempuran.
Dan tampaknya, ketiga pemimpinnya sedang merundingkan satu rencana, untuk menggepur dan merebut istana kadipaten ini.
Saat itulah, Ki Jarukati berpaling memandang Adipati Wiyatala.
Jelas sekali tersirat satu kecemasan yang tidak bisa disembunyikan pada wajah adipati berusia muda ini.
Sebuah kecemasan akan keruntuhan kadipaten yang dipimpinnya.
Ki Jarukati tahu, Adipati Wiyatala juga sudah memperhitungkan kekuatan yang dimiliki.
Dan tidak mungkin mereka bisa bertahan lebih lama lagi, kalau lawan kembali menggempur.
Mereka pasti bisa menjebol pintu gerbang benteng, dan menyerbu masuk ke dalam.
Kalau sampai hal ini terjadi, sudah pasti istana ini tidak akan dapat lagi dipertahankan.
"Gusti, apa tak sebaiknya Gusti Adipati mengungsi saja menyelamatkan diri. Biar hamba dan Kabasan membendung mereka dengan sebagian prajurit saja,"
Saran Ki Jarukati.
"Tidak, Ki. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap di sini bersama kalian,"
Tolak Adipati Wiyatala tegas.
"Tapi, Gusti.... Dengan kekuatan seperti ini, tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi, kalau mereka kembali menyerang,"
Desak Ki Jarukati. Adipati Wiyatala malah tersenyum. Walaupun dari raut wajah rasa kecemasannya tidak bisa lagi disembunyikan, namun dia berusaha untuk tetap tenang.
"Leluhurku membangun kadipaten ini dengan keringat dan darah. Tidak pantas rasanya kalau aku meninggalkan warisan leluhurku ini hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tidak, Ki.... Lebih baik, berkubang darah daripada menjadi seorang pengecut. Aku tidak akan mengampuni diriku sendiri, kalau sampai kedipaten ini jatuh. Sedangkan, aku sendiri tetap hidup dalam pelarian,"
Tegas Adipati Wiyatala, namun terdengar agak tergetar.
"Oh, Gusti...."
Hanya desahan kecil saja yang mampu dike-luarkan Ki Jarukati melihat ketekadan hati junjungannya.
Dan tanpa disadari, kedua bola matanya jadi merembang berkaca-kaca.
Entah, apa yang membuat hatinya begitu terharu setelah mendengar kata-kata adipati berusia muda ini.
Dan Ki Jarukati tidak bisa lagi mendesaknya.
Sementara, orang-orang di luar benteng istana itu sudah mulai bergerak kembali dengan perlahan.
*** "Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketika terdengar perintah yang begitu keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, seketika itu juga orang-orang berbaju merah itu cepat berlarian sambil berteriak-teriak.
Dengan senjata teracung di atas kepala, mereka menyerang benteng istana kadipaten ini.
Sementara di atas pagar benteng yang tinggi dan kokoh, para prajurit sudah siap dengan anak panah terpasang di busur.
Mereka tinggal menunggu perintah dari Paman Kabasan, yang sudah ditunjuk Adipati Wiyatala untuk memimpin prajurit mempertahankan istana.
Pada saat ini, gerombolan itu semakin bertam-bah dekat saja.
Sehingga, tanah di sekitar benteng istana jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Dan teriakan-teriakan keras terus terdengar membahana saling sambut, bagai hendak menggetarkan hati siapa saja yang mendengar.
"Seraaang...!"
Tepat ketika bagian depan orang-orang berbaju merah itu berada dalam jangkauan panah, Paman Kabasan langsung berteriak memberi perintah.
Suaranya keras menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Maka seketika itu juga, para prajurit yang memang sudah siap menunggu perintah, langsung cepat melepaskan anak-anak panah.
Dan....
Wusss! Szing! "Akh...!"
"Aaa...!"
Bersamaan dengan hamburan anak-anak panah dari atas benteng istana ini, terdengar teriakan-teriakan melengking tinggi yang saling sambut dari luar benteng istana.
Tampak orang-orang berbaju serba merah menyala itu mulai berjatuhan, terhujam anak-anak panah yang terus menghujani bagai tidak pernah berhenti.
Tapi, tidak sedikit orang-orang berseragam merah yang berhasil mendekati pintu gerbang benteng istana ini.
Dan mereka sudah mulai mencoba menjebolnya dengan menggunakan sebuah gelondongan sebatang pohon berukuran sangat besar yang digotong puluhan orang.
Jder! Berkali-kali pintu gerbang benteng yang terbuat dari kayu jati tebal dan berlapis lempengan baja hitam itu dihantam gelondongan kayu.
Tapi, pintu benteng itu hanya sedikit bergetar saja, walau memperdengarkan suara keras menggelegar menggetarkan jantung.
Sementara, para prajurit terus menghujaninya dengan anak-anak panah.
Tapi, orang-orang berpakaian serba merah itu tidak mengenal menyerah.
Mereka terus berusaha mendobrak pintu gerbang benteng ini.
Dan saat itu juga, tiba-tiba....
"Minggir semua...!"
Slap! Bersamaan terdengar bentakan nyaring yang mengalahkan teriakan-teriakan dan jeritan orang-orang berpakaian serba merah yang sedang berusaha menjebol pintu gerbang benteng, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat bagai kilat.
Dan bayangan itu langsung menjejakkan kakinya, tepat di depan pintu benteng itu.
Sementara, mereka yang tadi berusaha menjebol pintu gerbang yang tinggi dan kokoh ini langsung bergerak menyingkir.
Dan semua itu tidak luput dari perhatian Adipati Wiyatala dan Ki Jarukati.
"Perintahkan prajuritmu siap-siap menyambut mereka, Ki Jarukati,"
Ujar Adipati Wiyatala, langsung memberi perintah.-"Sendika, Gusti,"
Sahut Ki Jarukati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jarukati langsung melompat turun dari atas benteng ini.
Segera dihampirinya para prajuritnya yang sudah berdiri berjajar sejak tadi, memenuhi halaman depan istana kadipaten ini.
Ki Jarukati langsung memberi perintah, dan mengatur prajuritnya.
Sementara di depan pintu gerbang, seorang gadis cantik berbaju merah menyala, berdiri tegak di depan pintu gerbang benteng istana kadipaten itu.
Sebilah pedang tampak tergenggam di tangan kanannya.
Tatapan matanya begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke dalam benteng istana melalui pintu ini.
Sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekitarnya.
Apalagi terhadap tubuh-tubuh yang tertembus anak panah di sekitamya.
Bahkan tidak peduli dengan puluhan batang anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Anehnya, tidak satu anak panah pun yang bisa menembus tubuhnya.
Padahal, kelihatannya gadis itu tetap diam, tidak bergerak menghindar sedikit pun juga.
"Hap! Yeaaah...!"
Dan tiba-tiba saja, gadis berwajah cantik bertubuh ramping menggiurkan itu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika dia melompat bagai hendak menerjang pintu gerbang benteng yang kokoh dan sangat tebal berlapis lempengan baja hitam ini.
Dan saat itu juga, pedangnya dibabatkan ke pintu gerbang.
Trang! Glarrr...! Satu ledakan keras dan dahsyat seketika terdengar menggelegar bagai guntur memecah langit yang menghitam kelam ini, tepat ketika pedang gadis itu menghantam daun pintu gerbang benteng.
Dan saat itu juga, asap hitam mengepul di sekitarnya.
Dan ketika asap hitam itu lenyap tertiup angin, terlihat pintu gerbang yang berlapis lembaran baja hitam itu sudah hancur berkeping-keping.
"Oh...?!"
Melihat kejadian itu, bukan saja Ki Jarukati dan Paman Kabasan yang terlongong bengong seperti tidak percaya.
Tapi, Adipati Wiyatala juga tersentak kaget, bagai terbangun dari mimpi buruk yang sukar diterima akal sehat.
Pintu yang tebal terbuat dari kayu jati tua dan berlapis lembaran besi baja hitam yang sudah tidak diragukan kekuatannya, hancur berkeping-keping hanya dengan sekali sabetan pedang saja.
Lebih mengejutkan lagi, semua itu dilakukan oleh gadis berparas cantik yang kelihatan seperti seorang gadis lemah.
"Seraaang...!" "Hiyaaa...!" 'Yeaaah...!"
Begitu terdengar teriakan memberi perintah dari gadis cantik ini, seketika itu juga orang-orang berpakaian serba merah yang ada di belakangnya langsung bergerak cepat menghambur, menyerbu masuk ke dalam benteng istana yang pintunya sudah hancur berkeping-keping.
"Sambut mereka! Seraaang...!"
Teriak Ki Jarukati saat itu juga.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Bersama para prajuritnya, Ki Jarukati langsung melompat menyambut para penyerang, begitu menerobos masuk melalui pintu yang sudah hancur berkeping-keping.
Dengan sebatang tongkat kayu di tangan, Ki Jarukati berlompatan sambil mengebutkan tongkatnya dengan kecepatan begitu sulit diikuti pandangan mata biasa.
Maka seketika itu juga, jeritan dan lengkingan tinggi menyayat terdengar saling sambut, bercampur teriakan-teriakan pertempuran yang ditingkahi denting senjata beradu.
*** Pertempuran di dalam benteng istana Kadipaten Parunggungan memang tidak dapat lagi dihindari.
Orang-orang berbaju serba merah yang tidak diketahui dari mana asalnya, bagai air bah menjebol tanggul, menyerbu masuk ke dalam benteng.
Sementara dari atas pagar benteng, Adipati Wiyatala langsung memerintahkan prajurit panah yang berada di atas benteng untuk turun membantu yang lain.
Sedangkan Paman Kabasan sendiri sudah sejak tadi terjun ke dalam kancah pertarungan, membantu Ki Jarukati yang mengamuk bagai banteng terluka.
Setiap kibasan tongkat orang tua itu selalu menimbulkan korban, yang langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Sedangkan dengan pedang di tangan kanan, Paman Kabasan juga terlihat sulit dibendung lagi.
Setiap lawan yang berada dekat dalam jangkauannya, tidak ada yang sanggup membendung tebasan pedangnya.
Baru beberapa saat saja pertarungan itu ber-langsung, dari kedua belah pihak sudah banyak jatuh korban berlumuran darah dan tak bernyawa lagi.
Jeritan-jeritan melengking mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut.
Tapi, orang-orang berbaju serba merah itu seperti tidak akan pernah ada habisnya.
Mereka terus bermunculan, menerobos pintu yang sudah hancur.
Dan mereka segera membantu teman-temannya, menghajar para prajurit Kadipaten Parunggungan yang berusaha mempertahankan istana.
Sementara di atas benteng, terlihat Adipati Wiyatala tampak berang melihat para prajuritnya semakin kewalahan saja membendung gempuran lawan.
"Hup! Yeaaah...!"
Cring! Sambil melompat turun dengan gerakan begitu ringan bagai kapas, Adipati Wiyatala langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, pedangnya seketika berkelebat cepat bagai kilat, membabat dua orang lawan yang saat itu berada dekat di depannya.
Begitu cepat kibasan pedangnya, hingga dua orang lawan tidak sempat lagi berkelit.
Dan....
Bret! Cras! "Akh...!"
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat.
Dan dua orang berpakaian serba merah itu langsung ambruk, dengan dada terbelah sangat lebar mengucurkan darah segar.
Sementara, Adipati Wiyatala langsung melompat menghampiri orang-orang berbaju serba merah lainnya.
Dengan pedang pusakanya, dia mengamuk.
Pedangnya dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat, dan sulit diikuti pandangan mata biasa.
Jeritan-jeritan melengking tinggi pun semakin sering terdengar, ambruknya tubuh-tubuh berlumur darah yang sudah tidak bernyawa lagi akibat terbabat pedang Adipati Wiyatala.
Terjunnya Adipati Wiyatala ke dalam kancah pertarungan, membuat semangat Ki Jarukati, Paman Kabasan, dan prajurit-prajuritnya langsung bangkit.
Dan mereka kini tidak lagi menghiraukan lawan yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipat.
Mereka terus bergerak, mencoba mendesak lawan keluar dari dalam benteng.
Tapi dengan jumlah kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja gerombolan orang berbaju merah menyala sulit diusir keluar.
Bahkan mendesak saja terasa begitu sulit.
Malah, para prajurit kadipaten itu sendiri yang terus saja terdesak mundur, sehingga mendekati bangunan istana yang megah ini.
"Aku lawanmu, Orang Tua...!"
Jlek! "Ukh...?!"
Ki Jarukati jadi terlenguh kaget, ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras yang ditujukan untuknya.
Belum juga kagetnya hilang, tiba-tiba muncul seorang gadis cantik yang tadi menghancurkan pintu gerbang benteng istana ini dengan pedangnya.
Ki Jarukati langsung menarik kakinya ke belakang dua langkah.
Sementara, gadis itu sudah menyilangkan pedang di depan dada, dengan tatapan mata begitu tajam, bagai sepasang bola api. "Hiyaaa...!"
Tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik itu langsung melompat, menerjang Ki Jarukati. Dan pedangnya cepat sekali berkelebat secara beruntun, bagai hendak mengurung ruang gerak laki-laki tua lawannya.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun dengan kelincahan yang begitu luar biasa, Ki Jarukati berhasil menghindarinya.
Dan baru dalam dua jurus pertarungan berlangsung, Ki Jarukati sudah merasakan adanya aliran hawa panas yang begitu menyengat di sekitar tubuhnya.
Hawa panas menyengat itu jelas sekali berasal dari pedang, di tangan gadis cantik berbaju serba merah menyala yang berkepandaian tinggi ini.
"Ugkh...!"
Ki Jarukati kembali melenguh, saat dadanya terasa jadi sesak.
Bahkan panas yang membakar, membuat kulitnya jadi pedih, hingga terasa sukar mengembangkan jurus dalam pertarungannya.
Dan saat pertarungan memasuki jurus ke sebelas, tiba-tiba saja gadis cantik itu melenting ke atas, dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa.
Lalu tahu-tahu, secercah cahaya putih keperakan sudah menyambar bagai kilat mengarah ke batok kepala orang tua ini.
"Haiiit..!"
Bet! Untung saja Ki Jarukati bisa cepat mengegos-kan kepala cepat, hingga tebasan pedang gadis itu tidak sampai memecah kepalanya.
Dan cepat-cepat orang tua itu menarik kakinya ke belakang dua langkah.
Tapi, pada saat itu juga gadis cantik berbaju serba merah ini sudah cepat menggeser kakinya ke belakang, sambil merundukkan tubuhnya.
Dan pada jarak yang hampir bersamaan, pedangnya dikebutkan ke arah kaki Paman Kabasan.
Wut! "Ikh...?!" *** Ki Jarukati jadi terpekik kaget, ketika pedang di tangan gadis cantik lawannya tiba-tiba saja berkelebat begitu cepat mengarah pada kedua kakinya.
Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas.
Tapi, tindakan itu yang justru diinginkan gadis ini.
Maka dalam waktu sekejapan mata saja, gadis cantik ini sudah melesat cepat mengikuti Ki Jarukati.
Dan saat itu juga, pedangnya berkelebat cepat bagai kilat.
Gerakan Ki Jarukati memang sudah kelihatan lebih lamban.
Hingga, tebasan pedang yang dila-kukan lawannya di udara ini tidak dapat dihindari lagi.
Dan....
Cras! "Kiii...!"
Teriakan peringatan yang diberikan Adipati Wiyatala, tidak dapat lagi menyelamatkan orang tua ini.
Pedang yang ditebaskan gadis cantik itu sudah merobek dada Ki Jarukati, hingga tedengar jeritan panjang melengking tinggi.
Adipati Wiyatala sendiri tidak dapat lagi menolong, karena harus menghadapi pemimpin dari gerombolan liar ini.
Tampak Ki Jarukati terhuyung-huyung ke belakang, begitu kedua kakinya kembali menjejak tanah.
Darah berhamburan keluar deras sekali dari dadanya yang terbelah begitu dalam dan lebar.
Sementara, gadis cantik yang menjadi lawannya sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
Namun sebentar kemudian, tubuhnya sudah cepat mencelat kembali sambil mengebutkan pedangnya.
Dan....
"Hih...!"
Bet! Cras! Tidak ada suara yang terdengar, saat pedang gadis itu membabat batang leher Ki Jarukati.
Tampak orang tua itu hanya bisa terbeliak lebar, dengan mulut temganga.
Namun tidak berapa lama kemudian tubuhya sudah limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Darah langsung mengucur deras dari leher yang sudah buntung tak berkepala lagi.
"Ha ha ha...!"
Gadis cantik ini tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tergeletak dengan kepala buntung.
Kematian Ki Jarukati membuat para prajurit jadi berang setengah mati.
Dan mereka langsung berlompatan menyerang.
Tapi, gadis itu memang sulit ditandingi.
Gerakan-gerakannya begitu cepat.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, tidak ada seorang prajurit pun yang bisa berdiri lagi.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, mereka sudah ambruk tidak bernyawa lagi.
"Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
"Uptsh! Haiiit..!"
Gadis cantik berbaju merah ketat dari bahan tipis itu segera melenting ke depan dan berputaran beberapa kali, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan begitu keras sekali dari arah belakangnya.
Manis sekali kakinya menjejak tanah, dengan tubuh berbalik.
Dan pada saat itu juga, terlihat Paman Kabasan melompat dengan kecepatan bagai kilat menerjang sambil mengayunkan pedang ke arah leher gadis cantik ini.
Bet! "Uptsh!"
Namun hanya mengegoskan kepala sedikit saja, ujung pedang itu lewat sedikit di depan teng-gorokan gadis cantik yang putih jenjang ini.
Cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah.
Kemudian cepat sekali dia melompat sedikit sambil mengayunkan satu tendangan keras menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Wut! Paman Kabasan tidak berusaha menghindari tendangan gadis itu sedikit pun juga. Bahkan tanpa diduga sama sekali, pedangnya dikibaskan berputar ke bawah, mencoba menebas kaki gadis ini.
"Ikh...?!"
Gadis itu jadi terpekik kaget, sungguh tidak disangka kalau lawannya akan bertindak seperti itu.
Cepat-cepat kakinya ditarik kembali, dan langsung dia melompat ke belakang tiga langkah.
Tapi pada saat gadis itu menjejakkan kakinya kembali ke tanah, Paman Kabasan sudah melompat sambil membabatkan pedangnya dengan kecepatan kilat.
Akibatnya gadis cantik berbaju merah yang belum siap menerima serangan secepat itu, tidak ada kesempatan lagi untuk berkelit.
Tapi di saat mata pedang Paman Kabasan hampir menebas lehernya, mendadak saja....
Tring! "Heh...?!"
Paman Kabasan jadi kaget setengah mati, ke-tiba-tiba terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat disertai kilatan cahaya putih keperakkan yang menghantam pedangnya.
Sehingga, kibasan pada leher gadis cantik ini jadi tidak tepat mencapai sasaran.
Dan Paman Kabasan cepat-cepat melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya tiga kali di udara.
Dan saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, di depannya terlihat bukan hanya gadis cantik berbaju merah itu yang ada.
Tapi, kini dia didampingi seorang pemuda tampan yang juga berbaju warna merah menyala.
"Berikan dia padaku, Worodini,"
Pinta pemuda itu, tanpa memalingkan pandangan sedikit pun pada Paman Kabasan.
"Silakan, Kakang Priyada,"
Sahut gadis cantik berbaju merah menyala yang bernama Worodini itu.
"Tapi, hati-hatilah. Tampaknya dia cukup ku-at."
Pemuda tampan yang ternyata Priyada hanya tersenyum sedikit mendengar peringatan Worodini.
Kemudian kakinya terayun tiga langkah ke depan, mendekati Paman Kabasan yang sejak tadi sudah melintangkan pedangnya di depan dada.
Sementara di tempat lain, pertarungan antara prajurit Kadipaten Parunggungan melawan para penyerang masih terus berlangsung sengit, walaupun sudah terlihat jelas kemenangan akan diraih orang-orang berbaju serba merah.
Dan di saat Priyada sudah mulai menyerang Paman Kabasan, di tempat lain yang agak jauh letaknya, terlihat Adipati Wiyatala tengah bertarung sengit melawan seorang laki-laki tua yang sudah memutih semua jenggot dan rambutnya.
Pertarungan itu tampak sudah menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, yang begitu dahsyat.
Sehingga beberapa kali, terdengar ledakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, ketika pukulan mereka saling beradu.
Dan tampaknya pertarunggin juga sudah ber-jalan cukup panjang.
Ini bisa terlihat dari keringat yang sudah membajiri sekujur tubuh mereka.
Namun, tampaknya pertarungan masih akan terus berlangsung sengit.
Dan sedikit pun belum terlihat adanya tanda-tanda kalau pertarungan bakal berakhir.
Mereka sama-sama melancarkan serangan lewat jurus-jurus tingkat tinggi.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua berjengot putih yang menutupi lehernya itu melompat ke belakang, keluar dari pertarungannya bersama adipati muda itu.
Dan saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, dengan kecepatan bagai kilat tongkatnya dikebutkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.
"Yeaaa...!"
Slap! Seketika itu juga, dari ujung tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya meluncur secercah cahaya merah bagai sebuah pijaran api yang meluruk deras ke arah Adipati Wiyatala.
"Hup...!"
Manis sekali Adipati Wiyatala menghindari serangan, dengan melenting ke atas.
Beberapa kali dia melakukan putaran dengan gerakan manis sekali.
Maka cahaya merah bagai api yang memancar dari ujung tongkat orang tua itu lewat hanya sedikit saja di bawah tubuh Adipati Wiyatala.
"Hiya! Yeaaah...!" *** Belum juga kedua kaki Adipati Wiyatala bisa menyentuh tanah, orang tua berjenggot putih panjang itu sudah berteriak lagi. Suaranya menggelegar bagai guntur, dengan tongkat dikebutkan ke depan beberapa kali. Seketika cahaya-cahaya merah berhamburan cepat menghujani adipati muda ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Adipati Wiyatala cepat-cepat memutar tubuhnya.
Dicobanya untuk menghindari serangan lawan yang sangat dahsyat dan berbahaya ini.
Begitu indah dan cepat gerakan Adipati Wiyatala.
Sehingga tidak satu serangan pun yang bisa menghantam tubuhnya.
Namun di saat Adipati Wiyatala tengah berjumpalitan di udara, mendadak saja laki-laki tua berjubah merah yang menjadi lawannya sudah melesat cepat bagai kilat.
Dan saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada dengan tangan kiri.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat pukulan orang tua itu, sehingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi berkelit.
Terlebih lagi, saat ini tengah disibuki serbuan cahaya-cahaya merah yang meluncur dari ujung tongkat lawannya.
Di saat Adipati Wiyatala tengah berjumpalitan di udara, orang tua itu langsung melepaskan satu pukulan lurus dengan tangan kirinya.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat pukulan itu, sehingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi berkelit. Dadanya langsung terhantam pukulan dahsyat yang dilepaskan lawan! Hingga.... Diegkh! "Aaakh...!"
Adipati Wiyatala kontan menjerit keras, begitu dadanya terkena pukulan dahsyat yang dilepaskan lawannya.
Dan seketika itu juga, adipati berusia muda ini terpental cukup jauh ke belakang.
Dan keras sekali tubuhnya menghantam tanah berumput yang lembab oleh embun bercampur darah ini.
Beberapa kali Adipati Wiyatala bergelimpangan di tanah, namun cepat dia bisa melompat bangkit berdiri walau terhuyung-huyung.
Kini dia merasakan dadanya sesak, seluruh tulangnya terasa remuk akibat pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi tadi.
Dan sebelum Adipati Wiyatala bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, orang tua berjubah merah itu sudah melompat cepat menerjangnya.
Seketika itu pula satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan begitu cepat.
Dan....
Des! "Aaakh...!"
Kembali Adipati Wiyatala terpekik keras agak tertahan, ketika tendangan kaki kanan lawannya tepat mendarat di dadanya kembali.
Akibatnya, adipati itu kembali terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Lalu tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah, hingga tubuhnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar di halaman Istana Kadipaten Parunggungan ini.
Begitu kerasnya benturan tadi, hingga pohon yang lingkaran batangnya cukup besar itu, jadi hancur berkeping-keping.
Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah itu sudah cepat melompat lagi sambil mengeluarkan bentakan keras yang cukup menggetarkan jantung.
"Menyerahlah kau, Wiyatala...!"
Desis laki-laki tua berjubah merah itu.
Seketika ujung tongkatnya yang runcing ditekan ke batang tenggorokan Adipati Wiyatala.
Tapi permintaan orang tua itu malah dijawab Adipati Wiyatala dengan sorot mata yang begitu tajam, seperti mata setan yang keluar dari api neraka.
Begitu tajamnya, hingga membuat jantung orang tua itu jadi bergetar juga.
Namun dia bisa menguasai dirinya kembali hingga tenang.
Sedangkan di sekitarnya, pertarungan antara dua kelompok ini masih terus berlangsung sengit.
Sementara Adipati Wiyatala sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu, karena ujung senjata berbentuk runcing itu sudah menempel di batang tenggorokannya.
Namun saat itu, seorang prajurit melihat ke arah Adipati Wiyatala yang sudah tidak berdaya.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung melompat ke belakang orang tua berjubah merah ini sambil berteriak keras menggelegar.
Seketika pedangnya diayunkan ke punggung orang tua ini.
"Setan! Hih...!"
Bet! Slap! Crab! "Aaa...!"
Prajurit itu tidak bisa lagi berkelit menghindar, ketika orang tua berjubah merah ini mengebutkan tangan kirinya ke belakang.
Maka sebuah pisau kecil melesat begitu cepat dari balik lipatan lengan bajunya yang longgar, dan langsung menembus dada prajurit ini.
Namun kesempatan yang sangat sedikit itu tidak disia-siakan Adipati Wiyatala.
Di saat lawannya agak lengah, cepat sekali kepalanya ditarik ke belakang, dan langsung berputar cepat sekali sambil melepaskan satu tendangan menggeledek menggunakan kaki kanan.
Begitu cepat tindakannya, hingga orang tua berjubah merah ini tidak sempat lagi menyadari.
Dan....
Begkh! "Akh...!"
"Hup...!"
Bersama terdorongnya tubuh orang tua itu ke belakang, Adipati Wiyatala cepat melompat ke belakang beberapa langkah.
Tendangan yang dilepaskannya tadi, tepat menghantam perut orang tua ini, hingga terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan tubuh terbungkuk.
Namun keseimbangan tubuhnya cepat bisa terkuasai.
Dan sambil menggeram marah, orang tua berjubah merah itu langsung melompat menyerang Adipati Wiyatala.
"Haiiit..!"
Adipati Wiyatala cepat-cepat melenting ke belakang sambil berputaran dua kali, menghindari sabetan tongkat lawannya.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, orang tua berjubah merah itu sudah kembali mengebutkan tongkatnya ke arah perut.
Maka Adipati Wiyatala harus membungkukkan tubuhnya, menghindari sabetan ujung tongkat yang runcing itu.
Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah ini sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi dengan kecepatan kilat.
Hingga....
Plak! "Akh...!"
Adipati Wiyatala yang tidak sempat lagi menarik kepalanya ke belakang.
Dan dia harus merasakan kerasnya pukulan lawannya.
Seketika dia menjerit keras dengan kepala terdongak ke belakang.
Dan belum juga bisa berbuat sesuatu, orang tua berjubah merah itu sudah memberi satu pukulan lurus dengan tangan kiri.
Begitu cepatnya pukulan itu, hingga Adipati Wiyatala tidak sempat lagi menghindarinya.
Diegkh! "Aaakh...!"
Kembali Adipati Wiyatala menjerita keras, dengan tubuh terpental deras ke belakang.
Begitu keras tubuhnya terbanting di tanah, hingga keluar pekikan agak tertahan.
Dan pada saat itu juga, orang tua berjubah merah ini sudah melompat menerkamnya.
Langsung ujung tongkatnya yang runcing ditempelkan ke leher adipati itu.
"Hih!"
Orang tua itu menyepakkan kakinya ke pedang di tangan Adipati Wiyatala, hingga terpental jauh.
Sementara Adipati Wiyatala itu sendiri tetap telentang dengan leher tertekan ujung tongkat yang runcing.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Sementara, para prajuritnya sendiri sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan.
Mereka benar-benar tidak dapat lagi bertahan.
Satu persatu, mereka bertumbangan disertai jeritan menyayat yang melengking tinggi.
Adipati Wiyatala sempat melirik ke arah tubuh Ki Jarukati sudah tergeletak tidak bernyawa lagi digenangi darah.
Sementara tidak jauh dari tubuh Ki Jarukati, terlihat Paman Kabasan.
Dia juga tergeletak berlumur darah, dengan dada terinjak sebelah kaki Priyada.
Pemuda itu tampak tertawa terbahak-bahak, bisa mengalahkan lawannya yang tangguh ini.
"Ayo bangun...!"
Bentak laki-laki tua berjubah merah.
Adipati Wiyatala tidak bisa berbuat apa-apa la-gi.
Terpaksa perintah itu diikuti.
Dengan masih menahan rasa sakit dan sesak yang menyelimuti dada, Adipati Wiyatala mencoba bangkit berdiri.
Saat itu, dia melihat seorang gadis berbaju merah yang dengan ganasnya membantai para prajurit.
Padahal para prajurit sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Pedang di tangan gadis itu berkelebatan begitu cepat membuat para prajurit tidak mampu lagi menghadangnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar saling sambut memilukan hati.
Sementara, Adipati Wiyatala tidak dapat berbuat apa-apa.
Hingga dalam waktu tidak begitu lama, semua prajuritnya sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri tegak.
Mereka bergelimpangan saling tumpang tindih dengan darah menggenangi tubuhnya.
Tidak ada lagi seorang pun prajurit yang tersisa.
*** Kadipaten Parunggungan benar-benar jatuh.
Kota kadipaten yang semula ramai dan tenteram, kini menjadi kota mati setelah jatuh ke tangan gerombolan liar yang dipimpin Ki Warungkul, yang dibantu dua orang anaknya.
Merekalah yang kini menguasai bangunan istana kadipaten itu, sekaligus menjadikan Adipati Wiyatala sebagai tawanan.
Laki-laki tua berjubah merah yang sudah memutih semua rambut dan jenggotnya itu memerintah orang-orangnya untuk mengejar keluarga adipati yang sempat melarikan diri bersama Paman Rondowungu dan tiga puluh orang prajurit, serta seluruh rakyat kadipaten ini yang juga bisa melarikan diri melalui jalan rahasia.
Sementara itu, rombongan yang dipimpin Paman Rondowungu, salah seorang kepercayaan Adipati Wiyatala, sudah jauh meninggalkan wilayah Kadipaten Parunggungan.
Mereka beristirahat di dalam hutan yang tidak begitu lebat di tepi sebuah telaga.
Sebuah telaga yang berair sangat jernih, memantulkan cahaya bulan bagai taburan mutiara di permukaan telaga.
"Hamba rasa, tempat ini cukup aman untuk melepas lelah, Gusti Nyai Winarsih,"
Kata Paman Rondowungu.
Wanita berparas cantik itu tidak menjawab.
Dia kini duduk di atas sebatang pohon kayu tumbang sambil memeluk putranya yang masih berusia tiga tahun.
Pandangannya segera beredar ke sekeliling, merayapi tiga puluh orang prajurit yang tampak kelelahan, dua hari dua malam melakukan perjalanan tanpa istirahat.
Bahkan kuda-kuda mereka juga sudah kelihatan begitu lelah, sehingga harus beristirahat untuk menyegarkan diri kembali.
Istri Adipati Wiyatala yang bernama Nyai Winarsih itu kini memandangi putra tunggalnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa tidak ada yang membawa tenda, Paman?"
Tanya Nyai Winarsih dengan suara pelan dan sendu.
"Tldak, Gusti. Perbekalan pun kami tidak sempat membawanya,'' sahut Paman Rondowungu.
"Hhh...,"
Desah Nyai Winarsih panjang.
Dua hari dalam perjalanan yang sangat sulit ini memang begitu terasa.
Seakan-akan, mereka sudah melakukan perjalanan dua tahun lamanya.
Keadaanlah yang memaksa mereka untuk tidak membawa perbekalan sedikit pun.
Dan selama ini, mereka bisa makan apa saja yang bisa didapatkan dalam perjalanan.
Nyai Winarsih sendiri merasakan tubuhnya begitu penat dan kotor.
Selama dua hari ini.
tidak setitik air pun yang menyentuh tubuhnya.
Bahkan putranya sendiri kelihatan begitu letih, tertidur dalam pangkuannya.
"Ke mana tujuan kita sekarang, Paman?"
Tanya Nyai Winarsih masih dengan suara begitu pelan dan lirih.
Paman Rondowungu tidak langsung memberi jawaban.
Dia sendiri belum bisa memastikan, ke mana tujuannya.
Hanya ada satu dalam benaknya, meninggalkan Kadipaten Parunggungan sejauh-jauhnya untuk menghindari kejaran gerombolan liar yang diperkirakan tentu sudah menguasai wilayah kadipaten sekarang.
"Gusti Rondowungu...."
Paman Rondowungu langsung berpaling, ketika mendengar suara panggilan dari belakang.
Tampak seorang prajurit muda tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
Tubuhnya membungkuk memberi hormat sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
Paman Rondowungu berbalik.
"Ada apa, Kaliga?"
Tanya Paman Rondowungu.
"Ampun, Gusti. Kalau boleh ikut bicara, hamba mempunyai usul yang mungkin bisa diterima,"
Jelas prajurit muda yang dipanggil Kaliga itu dengan sikap sangat hormat.
"Hm.... Apa usulmu, Kaliga?"
Selak Nyai Winarsih.
"Ampun, Gusti. Hamba sebenarnya bukan orang asli dari Kadipaten Parunggungan. Hamba datang ke kota kadipaten, dan mencari pekerjaan menjadi prajurit dengan bekal yang dimiliki. Dan sebenarnya pula, hamba berasal dari sebuah kerajaan kecil yang berada di wilayah kulon. Di sana hamba, hanya rakyat jelata. Tapi terus terang saja, sampai saat ini hamba masih mengagumi raja di sana,"
Kata Kaliga, menjelaskan tentang dirinya lebih dahulu.
"Hm.... Lalu, apa saranmu?"
Tanya Paman Rondowungu.
"Begini, Gusti. Hamba tahu kalau kerajaan itu dipimpin seorang raja muda yang gagah perkasa. Kesaktiannya begitu sukar dicari tandingannya. Dan beliau juga seorang pendekar muda digdaya. Hamba tahu, raja itu sangat bermurah hati dan ringan tangan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Jadi menurut hamba, alangkah baiknya kalau kita pergi ke sana untuk meminta bantuan. Barangkali saja, raja agung itu bisa membantu membebaskan Kadipaten Parunggungan dari mereka,"
Jelas Kaliga.
Paman Rondowungu tidak langsung menang-gapi.
Dia terdiam, lalu berpaling pada Nyai Winarsih.
Dan wanita cantik itu hanya mengangguk saja.
Bagi dirinya usul apa pun yang dirasakan baik, akan selalu diterima pada saat seperti sekarang ini.
"Apa nama kerajaan itu, Kaliga?"
Tanya Paman Rondowungu, setelah terdiam beberapa saat.
"Karang Setra, Gusti,"
Sahut Kaliga.
"Dan nama rajanya?"
"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Dan mungkin Gusti Rondowungu sudah pernah mendengar julukannya. Dialah yang disebut Pendekar Rajawali Sakti."
"Siapa...?!"
Paman Rondowungu jadi tersentak kaget setengah mati, ketika mendengar Pendekar Rajawali Sakti disebut.
Bagi telinganya, nama itu tidak asing lagi.
Sudah sering nama Pendekar Rajawali Sakti didengarnya.
Dan memang, pendekar itu selalu menjadi buah bibir di kalangan orang-orang persilatan.
Dia sendiri yang selalu mengikuti perkembangan dunia persilatan, sudah barang tentu sering mendengar nama pendekar muda yang sangat digdaya dan sukar dicari tandingannya saat ini.
Paman Rondowungu juga pernah mendengar kalau pendekar itu juga memiliki seekor burung rajawali raksasa yang menjadi tunggangannya, selain seekor kuda hitam yang bukan seekor kuda biasa.
Tapi, Paman Rondowungu sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti ternyata Raja Karang Setra.
Dan dia juga tahu, Kerajaan Karang Setra adalah sebuah kerajaan kecil, tapi sangat makmur dan damai kehidupannya.
Juga sangat kuat dalam pertahanannya.
Kerajaan Karang Setra bukan hanya terkenal keindahan alamnya saja.
Tapi, para ksatrianya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi juga terkenal.
Sulit bagi kerajaan mana pun juga untuk bisa menggempurnya.
Karena, wilayah kerajaan itu dikelilingi para ksatria berkepandaian tinggi.
Dan lagi, para prajuritnya juga memiliki kepandaian bertempur yang sukar ditandingi kerajaan lain.
"Kau sudah mengenalnya, Kaliga...?"
Tanya Paman Rondowungu setelah beberapa saat membisu.
"Belum, Gusti. Melihat pun hamba belum per-nah,"
Sahut Kaliga berterus terang.
"Lalu, bagaimana kau bisa menemuinya?"
"Hamba sering mendengar kalau Gusti Prabu Rangga tidak pernah menolak siapa saja yang ingin bertemu. Dan para abdinya juga sangat ramah. Mereka mengizinkan siapa saja yang ingin bertemu rajanya. Apalagi, kalau orang yang datang dari jauh dengan maksud meminta pertolongan. Tidak akan ada rintangan di sana, Gusti,"
Jelas Kaliga.
"Hm...."
Paman Rondowungu kembali terdiam.
Dia sendiri memang sering mendengar akan sepak terjang Raja Karang Setra yang juga seorang pendekar digdaya itu.
Tapi, sampai saat ini memang belum pernah bertemu orangnya.
Hanya namanya saja yang sering didengarnya.
*** "Hamba yakin, Gusti Prabu Rangga akan membantu kita merebut kembali Kadipaten Parunggungan,"
Kata Kaliga menyambung dengan suara mantap.
"Tapi sangat jauh dari sini, Kaliga,"
Kata Paman Rondowungu.
"Paling tidak membutuhkan lebih dari dua pekan perjalanan dengan berkuda."
"Hamba sanggup datang sendiri ke sana sebagai utusan kalau memang diizinkan, Gusti,"
Kaliga langsung menawarkan diri.
"Ah...,"
Desah Paman Rondowungu panjang.
Sulit bagi Paman Rondowungu untuk memu-tuskan persoalan ini seorang diri.
Dia tahu, prajuritnya yang satu ini memiliki tekad dan keberanian yang tidak dimiliki prajurit lainnya.
Darah para ksatria Karang Setra rupanya terus mengalir dalam tubuhnya.
Darah seorang ksatria yang gagah berani dan setia pada junjungan.
"Dengan berkuda tanpa henti, hamba bisa me-nempuhnya dalam waktu empat hari empat malam, Gusti,"
Tegas Kaliga lagi. 'Tapi kudamu akan mati sesampainya di sana, Kaliga,"
Selak Nyai Winarsih.
"Dan kau juga akan kehabisan tenaga. Aku tidak ingin kau korbankan diri hanya untukku."
"Untuk kejayaan Kadipaten Parunggungan, Gusti Putri,"
Tegas Kaliga mantap.
"Oh.... Kau memang seorang prajurit sejati, Kaliga,"
Desah Nyai Winarsih terharu.
"Izinkan hamba pergi sekarang juga, Gusti. Hamba akan kembali dengan membawa bala bantuan, untuk merebut kembali Kadipaten Parunggungan,"
Kata Kaliga lagi, bernada mendesak.
Sementara Nyai Winarsih dan Paman Rondowungu hanya diam saja dengan kelopak mata berkaca-kaca.
Sulit bagi mereka untuk bisa memutuskan.
Apalagi, melepas kepergian seorang prajurit sejati seperti Kaliga yang akan menempuh perjalanan jauh dan sulit seorang diri.
Walaupun, tekad itu begitu membara dalam hati prajurit muda ini.
"Izinkan hamba, Gusti. Hamba berjanji, akan kembali lagi dengan membawa bala bantuan dari Karang Setra,"
Desak Kaliga lagi.
Paman Rondowungu masih saja terdiam membisu.
Sedangkan Nyai Winarsih juga tidak bisa lagi bersuara.
Mereka terdiam, tidak dapat memutuskan keinginan prajurit muda itu.
Terasa begitu berat bagi mereka untuk mengizinkan Kaliga pergi ke Karang Setra, menempuh perjalanan panjang dan begitu sulit.
Belum lagi kalau mendapat rintangan di tengah jalan.
Maka sudah barang tentu akan semakin sulit bagi Kaliga untuk bisa sampai di Karang Setra dalam waktu empat hari.
Sedangkan kalau mereka pergi bersama-sama, akan memakan waktu lebih dari dua pekan.
Dan yang pasti, akan banyak pula rintangan yang bakal dihadapi di perjalanan.
Malah bukan tidak mungkin, sebagian besar prajurit tidak akan bisa sampai ke Karang Setra dalam keadaan seperti ini.
Terlebih lagi, Paman Rondowungu juga memi-kirkan Nyai Winarsih dan putranya yang masih teramat kecil ini.
Sudah barang tentu mereka tidak akan bisa bertahan dalam menempuh perjalanan sejauh itu.
Baru dua hari saja, mereka sudah kelihatan begitu lelah.
Bahkan rasanya sulit untuk bisa meneruskan perjalanan kembali.
Memang, hanya ada satu jalan untuk mereka semua.
Mengizinkan Kaliga pergi ke Karang Setra untuk merninta bantuan, dan menunggunya dalam hutan ini.
Atau mengambil satu bahaya yang teramat besar, dengan menempuh perjalanan ke Karang Setra bersama-sama.
Sedangkan hutan ini, tampaknya tidak akan terjangkau lagi dari gerombolan liar pimpinan Ki Warungkul.
Dan kalaupun ada yang mengejar, mereka tentu masih bisa bertahan selama Kaliga pergi ke Karang Setra meminta bantuan.
"Hhh...,"
Terasa panjang dan begitu berat Paman Rondowungu menghembuskan napas.
Laki-laki itu berpaling sedikit ke belakang, menatap Nyai Winarsih yang juga tengah memandang padanya.
Sesaat mereka saling berpandang-an, dengan sinar mata begitu redup.
Dan Paman Rondowungu kembali menatap Kaliga yang masih menunggu keputusan atas permintaannya tadi.
"Baiklah, Kaliga. Aku izinkan kau pergi. Tapi, sebaiknya berangkat besok pagi saja, saat fajar datang,"
Kata Paman Rondowungu memutuskan juga.
"Terima kasih, Gusti. Hamba akan mempersiapkan diri sekarang juga,"
Sahut Kaliga seraya memberi sembah hormat.
Paman Rondowungu menganggukkan kepala sedikit.
Dan Kaliga bergegas meninggalkannya, kembali bergabung bersama prajurit lain yang duduk melingkari sebuah api unggun.
Sedangkan Paman Rondowungu kembali duduk di depan Nyai Winarsih yang sejak tadi tetap saja duduk di atas sebatang pohon tumbang itu.
"Maafkan aku, Gusti. Aku mengambil keputusan tanpa meminta izin teriebih dahulu,"
Ujar Paman Rondowungu.
"Keputusanmu sangat bijaksana, Paman. Kita semua memang tidak mungkin menempuh perjalanan sejauh itu bersama-sama. Dan lagi, aku terus memikirkan nasib Kakang Wiyatala dan lain,"
Kata Nyai Winarsih.
"Mudah-mudahan saja mereka semua masih bisa bertahan, Gusti,"
Desah Paman Rondowungu.
"Ya...,"
Desah Nyai Winarsih perlahan.
Dan mereka kembali terdiam, dengan pikiran masing-masing yang bergayut dalam benak.
Suasana pun terasa begitu sunyi.
Angin yang berhembus malam ini terasa begitu dingin, hingga menusuk tulang.
Nyai Winarsih bangkit berdiri, lalu melangkah mendekati api unggun sambil menggendong putranya yang sudah terlelap sejak tadi.
Paman Rondowungu mendampingi dari belakang.
Beberapa prajurit menyingkir, memberi tempat pada istri Adipati Parunggungan.
Kemudian dua orang prajurit menggelar selembar kulit binatang untuk tempat wanita itu beristirahat di dekat api unggun yang bisa menghangatkan tubuhnya.
Tidak ada seorang pun yang bersuara.
Beberapa prajurit sudah terlihat lelap dalam tidur.
Mereka memang kelelahan sekali, setelah menempuh perjalanan panjang selama dua hari tanpa berhenti.
Paman Rondowungu sendiri sengaja tidak memerintahkan prajurit untuk menjaga.
Disadari betul kalau prajurit-prajuritnya ini membutuhkan waktu untuk beristirahat.
*** Selanjutnya ke Bagian 4-6 Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .
141.
Dendam Gadis Pertapa Bag.
4-6 19.
November 2014 um 19.43 Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan cahayanya di ufuk timur, Kaliga sudah pergi meninggalkan rombongan dari Kadipaten Parunggungan ini menuju Karang Setra.
Kudanya digebah dengan kecepatan tinggi, begitu Paman Rondowungu memberi restu.
Tidak ada seorang prajurit pun yang mendampinginya.
Kaliga memang memilih untuk pergi seorang diri, agar lebih cepat tiba ke Karang Setra.
Sementara Paman Rondowungu sudah memutuskan untuk tetap berada di dalam hutan ini, sampai bantuan yang diminta Kaliga dari Karang Setra datang.
Dan prajuritnya diperintahkan membuat sebuah pondok sementara, untuk tempat tinggal Gusti Putri Nyai Winarsih dan putranya yang masih kecil.
Kaliga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, seperti dikejar setan.
Tidak dipedulikan hutan yang semakin rapat dan sulit diikuti.
Kudanya terus saja digebah agar tetap beriari cepat.
Hingga matahari berada di atas kepala, Kaliga terus menembus hutan yang lebat ini.
Tapi lari kudanya terpaksa dihentikan, ketika sebuah-sungai besar menghadang jalannya di depan.
Sungai yang mengalir sangat deras ini tidak mungkin dilalui lagi.
Kaliga mengedarkan pandangan berkeliling.
Tidak ada sebuah rakit pun di tepi sungai yang sangat besar dan berada di tengah-tengah hutan ini.
"Kau akan menyeberang, Anak Muda...?"
"Heh...?!"
Kaliga tiba-tiba saja tersentak kaget, ketika terdengar suara menegurnya dari arah belakang.
Sebuah suara yang sangat berat terdengarnya.
Cepat tubuhnya berbalik.
Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu sudah ada seorang laki-laki tua bertubuh gemuk yang tidak berbaju di tempat ini.
Dia hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, dengan sebuah kain sarung lusuh melilit di pinggang.
Begitu gemuknya, hingga lehernya seperti menghilang tertutup kulit wajahnya.
"Oh..., iya. Aku memang akan menyeberang. Tapi, tidak ada rakit di sini,"
Kata Kaliga tergagap.
"Aku rasa, kau bisa menyeberangi sungai ini tanpa membutuhkan rakit,"
Kata orang tua bertubuh gemuk itu.
Kaliga jadi berkerut keningnya.
Dipandanginya orang tua bertubuh gemuk di depannya dengan kelopak mata agak menyipit.
Tapi yang dipandangi kelihatan tersenyum.
Sebuah senyum lebar, seperti seorang bocah.
Walaupun sudah berusia lanjut, tapi wajah bulat orang ini seperti wajah seorang anak berumur tujuh tahun saja.
Dan senyumnya, juga seperti senyum seorang bocah.
"Siapa kau, Ki...?"
Tanya Kaliga jadi ingin tahu.
"Semua orang menyebutku si Tua Bermuka Bocah. Tapi, sebenarnya aku lebih senang kalau dipanggil Ki Bancak. Karena, itulah namaku yang sebenarnya,"
Sahut laki-laki gemuk itu memper-kenalkan diri.
"Dan kau sendiri siapa...?"
"Namaku Kaliga."
"Kau memakai seragam prajurit. Apa memang seorang prajurit..?"
Tanya Ki Bancak, sambil memperhatikan Kaliga dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Ya.... Aku memang seorang prajurit Ki. Aku prajurit dari Kadipaten Parunggungan."
"Hm...,"
Ki Bancak menggumam dengan kepala terangguk beberapa kali.
Sedangkan Kaliga diam saja, memandangi orang tua yang bernama Ki Bancak yang berjuluk si Tua Bermuka Bocah itu.
Memang cocok sekali julukan itu.
Karena, wajah orang tua ini seperti wajah seorang anak-anak saja.
"Kau seperti baru saja menempuh perjalanan jauh. Kalau boleh tahu, ke mana tujuanmu, Anak Muda?"
Tanya Ki Bancak setelah mengamati pemuda di depannya beberapa saat.
"Ke Karang Setra,"
Sahut Kaliga berterus terang.
"Mau apa ke sana?"
"Meminta bantuan pada Gusti Prabu Rangga,"
Lagi-lagi Kaliga menjawab terus terang.
"Meminta bantuan...?" 'Ya.... Saat ini, mungkin Kadipaten Parunggungan sudah dikuasai gerombolan liar itu, Ki. Aku bersama Gusti Putri Nyai Winarsih sedang mengungsi. Tapi, mereka kutinggalkan di tepi telaga. Mereka tidak kuat lagi untuk terus berjalan. Jadi, aku memutuskan untuk pergi sendiri ke Karang Setra, sementara mereka menunggu di tepi telaga,"
Jelas Kaliga.
"Gerombolan apa yang mengacau Kadipaten Parunggungan?"
Tanya Ki Bancak.
"Aku tidak tahu, Ki. Bahkan aku juga tidak tahu, dari mana mereka datang. Dalam beberapa hari saja, mereka sudah menguasai seluruh wilayah kadipaten. Dan puncaknya, mereka menyerang istana. Gusti Adipati Wiyatala sendiri yang memberi perintah pada Gusti Rondowungu untuk membawa keluarganya mengungsi. Sedangkan Gusti Adipati Wiyatala sendiri bersama prajurit lain berusaha mempertahankan istana."
"Sudah berapa hari kau meninggalkan Kadipaten Parunggungan?"
"Tiga hari ini, Ki."
"Hm.... Tentu sudah banyak perubahannya,"
Gumam Ki Bancak pelan, seperti bicara pada diri sendiri. 'Ya.... Aku juga cemas akan keselamatan Gusti Adipati Wiyatala, Ki."
"Dengar, Anak Muda. Aku hanya ingin mem-beritahumu saja. Saat ini, orang yang kau cari tidak ada di Karang Sebra. Dan kau akan mendapatkan kekecewaan saja kalau memaksa pergi ke sana. Dan lagi, orang-orang di Istana Karang Setra tidak akan bisa mengirimkan bantuan tanpa mendapat persetujuan dari rajanya. Sedangkan raja mereka sendiri, sekarang ini sedang mengembara,"
Jelas Ki Bancak.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Ki? Aku harus bisa mendapatkan bantuan sebelum mereka bisa menemukan Nyai Winarsih dan yang lain."
"Kalau kau ingin meminta bantuan, sebaiknya pergi saja ke hulu sungai ini. Nanti kau akan bertemu Desa Batang Hulu. Di sana kau bisa bertemu orang yang dimaksud,"
Kata Ki Bancak memberitahu lagi.
"Gusti Prabu Rangga maksudmu, Ki...?"
"Benar. Tapi, jangan memanggilnya dengan sebutan itu lagi."
"Kenapa, Ki...?"
"Dia tidak suka disebut dengan panggilan Gusti Prabu dalam pengembaraannya. Dan dia lebih senang bila dipanggil nama saja. Kalau nanti sudah bertemu, dia kau panggil, Rangga. Jangan bersikap seperti menghadap seorang raja. Rangga tidak seperti raja-raja lainnya. Dia selalu menganggap orang biasa, kalau sedang mengembara. Pergilah ke Desa Batang Hulu. Aku rasa, Rangga sendiri pun sudah bisa mengusir mereka dari Istana Kadipaten Parunggungan.
"Tampaknya kau begitu kenal dengannya, Ki. Apa kau pernah bertemu?"
Tanya Kaliga jadi tertarik pada orang tua bertubuh gemuk yang wajahnya seperti anak-anak ini.
Tapi, Ki Bancak hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan itu.
Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah hendak meninggalkan prajurit muda itu.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, Kaliga sudah memanggilnya.
Bergegas Kaliga melangkah mengejar, dan berdiri di depan orang tua bertubuh gemuk ini seperti ingin mencegah kepergiannya.
"Sebentar, Ki. Ada yang ingin kutanyakan pa-damu,"
Kata Kaliga dengan sopan.
"Apa...?"
"Bisa kau tunjukkan, seperti apa Pendekar Rajawali Sakti itu, Ki...?"
Tanya Kaliga langsung.
"Masalahnya, aku belum pernah berjumpa. Dan aku tidak tahu, seperti apa rupanya."
"Mungkin seusia denganmu. Tapi, tubuhnya lebih tinggi dan tegap. Dan dia selalu memakai baju putih tanpa lengan, dengan dada terbuka. Di punggungnya, tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung. Dan keberadaannya selalu didampingi kekasihnya yang bernama Pandan Wangi."
"Terima kasih, Ki."
"Hm...."
"Kau sendiri hendak ke mana, Ki?"
Tanya Kaliga sopan.
"Ke mana saja kakiku melangkah. Aku pe-ngembara yang tidak punya tujuan pasti,"
Sahut Ki Bancak seenaknya.
"Kalau begitu, kuucapkan terima kasih,"
Ucap Kaliga seraya membungkuk memberi hormat.
Namun ketika prajurit muda itu menegakkan tubuhnya kembali, seketika kedua bola matanya jadi terbeliak dengan mulut ternganga lebar.
Orang tua bertubuh gemuk yang dikenal berjuluk si Tua Bermuka Bocah itu tahu-tahu sudah tidak ada lagi di depannya.
Entah kapan perginya, hingga Kaliga tidak dapat mengetahuinya sedikit pun juga.
"Hebat... Tentu tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali...,"
Gumam.
Kaliga, memuji dengan kagum.
Kaliga tidak mau lagi memikirkan orang tua yang sangat baik itu.
Bergegas kudanya yang sedang melepas dahaga di tepi sungai ini dihampiri.
Dengan gerakan melompat yang indah, Kaliga langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, kudanya langsung digebah menuju hulu sungai, seperti yang ditunjukkan si Tua Bermuka Bocah tadi.
Kaliga terus memacu cepat kudanya, menyusuri tepian sungai ini.
Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ki Bancak terus mengawasinya dari atas dahan sebuah pohon yang cukup tinggi.
Orang tua bermuka seperti anak-anak itu, baru turun dari atas pohon itu, setelah Kaliga tidak terlihat lagi dari pandangannya.
"Hm.... Prajurit muda yang baik. Mudah-mudahan saja dia masih bisa menemukan Pendekar Rajawali Sakti di sana. Ah...! Sebaiknya aku mencoba saja pergi ke Kadipaten Parunggungan. Aku ingin tahu, seperti apa keadaan di sana, sampai prajurit muda itu nekat hendak meminta bantuan ke Karang Setra,"
Gumam Ki Bancak dalam hati.
*** Matahari sudah hampir menenggelamkan diri di balik bukit sebelah barat, ketika Kaliga baru saja sampai di Desa Batang Hulu.
Sebuah desa yang berdiri di pinggiran sungai besar yang mengalir tenang.
Dan tampaknya, penduduk di desa ini hidup dari hasil menangkap ikan.
Begitu banyak perahu tertambat di tepi sungai.
Dan jala-jala yang bertebaran, terjemur agar bisa dipakai lagi malam nanti untuk mencari ikan.
Kaliga memperlambat lari kudanya, setelah memasuki desa ini.
Dan kini kudanya dijalankan perlahan-lahan.
"Hop...!"
Kaliga menghentikan langkah kaki kudanya, ketika melihat seorang laki-laki tua berjalan dari depan menuju ke arahnya.
Dia segera melompat turun, dan melangkah sambil menuntun kuda tunggangannya.
Kaliga langsung berhenti melangkah, begitu laki-laki tua yang membawa jala di punggungnya dekat di depannya.
Cepat Kaliga membungkukkan tubuhnya sedikit, sambil memberi salam.
Dan orang tua itu membalasnya dengan ramah.
"Maaf, Ki. Boleh bertanya sedikit...?"
Ujar Kaliga sopan.
"Silakan, Anak Muda,"
Sahut orang tua itu, juga ramah.
"Apakah kau melihat dua orang pendatang di desa ini? Seorang pemuda seusiaku dan seorang gadis, Ki...?"
Tanya Kaliga langsung.
"Pendatang...?"
Orang tua itu malah balik bertanya dengan kening berkerut.
"Benar, Ki."
"Rasanya, tidak ada seorang pendatang yang masuk ke desa ini dalam beberapa hari,"
Jelas orang tua itu.
"Tidak ada, Ki...?"
Kaliga ingin memastikan.
"Benar, Anak Muda. Tidak ada seorang pun pendatang di desa ini. Malah baru kau saja yang datang sekarang."
"Hm...,"
Kaliga jadi menggumam dengan kening berkerut.
Prajurit ini jadi teringat kata-kata Ki Bancak yang menyuruhnya ke desa ini.
Katanya juga, dia akan bertemu Pendekar Rajawali Sakti di desa ini.
Tapi, orang tua itu mengatakan kalau tidak ada seorang pun yang datang ke desa ini.
Kaliga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Siapa yang kau cari itu, Anak Muda? Apa dia saudaramu...?"
Tanya orang tua yang tidak berbaju ini, membangunkan lamunan Kaliga.
"Benar, Ki. Sudah lama mereka meninggalkan rumah. Aku disuruh ayahku untuk mencarinya,"
Sahut Kaliga, sedikit berdusta.
"Sebaiknya kau cari saja, Anak Muda. Mungkin memang ada di sini, dan aku tidak tahu. Maklum... aku selalu sibuk di sungai mencari ikan." 'Terima kasih, Ki,"
Ucap Kaliga.
Setelah tubuhnya membungkuk memberi hormat, Kaliga segera mengayunkan kakinya sambil menuntun kudanya, menyusuri jalan tanah berdebu ini.
Sementara, matahari semakin tenggelam di kaki langit sebelah barat.
Cahayanya tidak lagi terik seperti siang tadi.
Kaliga terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala penuh diselimuti berbagai macam pikiran dan pertanyaan.
Mungkinkah Ki Bancak mendustainya? Tapi, untuk apa...? Kaliga terus bertanya-tanya dalam hati.
Hingga tanpa terasa, prajurit itu sudah berada di luar Desa Batang Hulu ini.
Ayunan kakinya segera dihentikan.
Dan tubuhnya langsung berbalik sambil melepaskan tali kekang kudanya.
Kuda coklat dengan keempat kakinya berwarna putih itu melenggang, mendekati rerumputan yang tumbuh di pinggir jalan ini.
Binatang itu langsung merumput di sana, mengisi perutnya yang sudah kosong.
Sementara, Kaliga berdiri mematung memandang ke arah Desa Batang Hulu yang sudah mulai kelihatan sepi.
Tampak rumah-rumah di sana sudah mulai menyalakan pelita.
Sebentar lagi, malam akan datang menyelimuti desa ini.
Sementara Kaliga belum juga bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang katanya ada di desa ini.
"Ah...! Kenapa aku tidak menyeberang saja dari desa ini? Aku rasa, ada sampan yang bisa kusewa untuk menyeberang. Aku bisa langsung menuju Karang Setra,"
Gumam Kaliga.
Prajurit muda itu bergegas menghampiri kudanya yang masih merumput.
Dan Kaliga segera melompat naik ke punggung kudanya.
Tapi baru saja akan menggebahnya, tiba-tiba saja dari arah desa terlihat dua orang penunggang kuda menuju ke arahnya.
Kaliga jadi mengurungkan niatnya untuk meninggalkan desa itu dan menyeberangi sungai.
Ditunggunya sampai kuda penunggang kuda itu dekat.
Walaupun keadaan sudah mulai temaram, tapi Kaliga masih bisa melihat jelas, kalau kedua penunggang kuda itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik.
Dan dari pakaian yang dikenakan itu, Kaliga langsung menduga kalau pemuda yang berbaju putih tanpa lengan dengan sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari punggung itu adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hus...!"
Kaliga segera menghentakkan tali kekang kudanya, menghampiri kedua penunggang kuda itu.
Dan dia segera melompat turun, begitu dekat di depannya.
Kini Kaliga berdiri tegak dengan sikap menghadang, membuat kedua penunggang kuda itu langsung menghentikan langkah kudanya.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan yang menunggang kuda hitam itu segera melompat turun, diikuti gadis cantik yang berkuda bersamanya.
Dan mereka pun saling berhadapan tanpa bersuara.
Sementara Kaliga segera membungkukkan tubuhnya, sambil mengucapkan salam.
Kedua orang di depannya ini segera menyambutnya dengan ramah.
"Maaf, Kisanak. Apa maksudmu menghadang perjalanan kami?"
Tegur pemuda berbaju rompi putih itu dengan nada suara sopan.
"Kaukah yang bernama Rangga...?"
Kaliga langsung saja melontarkan pertanyaan, tanpa menjawab pertanyaan pemuda berbaju rompi putih itu tadi.
"Benar,"
Sahut pemuda berbaju rompi putih itu dengan kening sedikit berkemt.
Pemuda berbaju rompi putih memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru yang bersamanya tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal dengan si Kipas Maut.
Karena, dia memang selalu membawa sebuah kipas putih yang digunakan sebagai senjata.
"Ah! Kalau begitu, kebetulan sekali. Aku memang sedang mencarimu...,"
Ujar Kaliga, langsung cerah wajahnya.
"Ada apa kau mencariku, Kisanak?"
Tanya Rangga, tampak heran.
"Aku bernama Kaliga, seorang prajurit dari Kadipaten Parunggungan. Aku sengaja mencarimu untuk meminta bantuan. Dan sebenarnya, aku ingin ke Karang Setra. Tapi, seseorang memberitahu kalau aku bisa bertemu denganmu di Desa Batang Hulu ini,"
Jelas Kaliga, langsung.
"Hm.... Pertolongan apa yang kau inginkan da-riku?"
Tanya Rangga dengan suara menggumam.
"Mengusir gerombolan liar dari Kadipaten Parunggungan. Mungkin mereka sekarang sudah menguasai istana...,"
Sahut Kaliga.
Dan tanpa diminta lagi, Kaliga langsung menceritakan semua yang telah terjadi di Kadipaten Parunggungan.
Sementara, Rangga mendengarkan dengan kening berkerut.
Sampai Kaliga selesai bercerita, Pendekar Rajawali Sakti masih saja diam dengan kelopak mata agak menyipit.
Matanya segera melirik sedikit pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya.
Gadis itu juga diam saja, memandangi Kaliga yang kini sudah terdiam.
"Di mana rombongan yang membawa istri adipati itu sekarang?"
Tanya Rangga, setelah beberapa saat terdiam membisu.
"Di tepi telaga, di tengah-tengah hutan,"
Sahut Kaliga.
"Apa tidak ada yang mengejar?"
"Aku tidak tahu, karena langsung memisahkan diri. Tapi aku rasa mereka masih berada di sana, menungguku datang dengan membawa bantuan prajurit dari Karang Setra,"
Sahut Kaliga. Rangga kembali terdiam. Dan ditatapnya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja membisu.
"Baiklah, Kisanak. Aku akan melihat keadaan sekitar Kadipaten Parunggungan dulu. Kalau me-mang perlu mengerahkan prajurit, biar Pandan Wangi yang akan pergi ke Karang Setra meminta prajurit di sana,"
Ujar Rangga.
"Oh.... Terima kasih, Gusti...,"
Ucap Kaliga, langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ah, sudahlah.... Tidak perlu kau bersikap seperti itu. Sebaiknya, kembali saja pada rombonganmu. Kalau memang tempat itu aman, sebaiknya tetap di sana,"
Ujar Rangga lagi sambil membangunkan prajurit muda itu.
"Aku akan segera memberi tahu Gusti Putri,"
Kata Kaliga gembira. Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Kaliga sudah melompat naik ke punggung kudanya.
"Tunggu dulu...,"
Cegah Rangga cepat pada Kaliga yang akan menggebah kudanya.
Kaliga langsung menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. "Pandan! Kau ikut bersamanya.
Biar kau tahu, di mana tempat mereka.
Setelah itu, kau langsung temui aku di bagian selatan kota Kadipaten Parunggungan,"
Kata Rangga meminta.
"Baik, Kakang,"
Sahut Pandan Wangi.
Tanpa diminta dua kali, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah melompat naik ke punggung kuda putihnya.
Dan dia segera mengajak Kaliga pergi dari Desa Batang Hulu ini.
Sementara mereka pergi, Rangga tetap berdiri mematung di sana.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan.
"Ayo, Dewa Bayu. Bawa aku ke kota Kadipaten Parunggungan,"
Kata Rangga meminta pada kudanya.
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, seakan bisa mengerti semua yang diucapkan Rangga tadi.
Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien