Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Iblis Sesat 2


Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat Bagian 2



Sebenarnya, memang Nini Anting bukanlah orang sembarangan.

   Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Peri lblis Racun Merah.

   Bahkan dia juga salah satu dari datuk rimba persilatan.

   Namun wanita tua itu mempunyai kebiasaan yang menggiriskan, yakni menghisap darah orok! Setelah darah orok dihisap sampai habis lalu mayatnya dibuang begitu saja.

   Wanita tua yang pesolek itu terus berlari mendekati Bukit Tunjang yang terkenal keangkerannya.

   Hari menjelang agak sore ketika Nini Anting tiba di kaki Bukit Tunjang.

   Dia berhenti sesaat sambil memandang ke arah bukit yang menjulang tinggi itu.

   Sebentar kemudian tubuhnya melesat cepat mendaki bukit itu.

   Dan begitu tiba di sebuah tempat, Nini Anting memandang ke sekeliling.

   Diperhatikannya keadaan sekitar dengan seksama.

   Sebentar kemudian bibirnya tersenyum.

   "Hi hi hi...! Dasar orang-orang tolol. Mereka pikir perangkap-perangkap ini mampu membawa maut bagiku. Huh!"

   Gumam Nini Anting, setelah menyadari keadaan berbahaya di sekitarnya.

   Kata-kata Nini Anting beralasan, pada umumnya orang-orang yang mendaki bukit ini selalu lewat jalan darat.

   Tapi Nini Anting lebih memilih jalan atas, yaitu melalui atas pohon yang lebih aman.

   Perempuan itu segera melompat ke atas pohon, kemudian dengan gerakan gesit sekali dia berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.

   Tapi, itu bukan berarti luput dari jebakan! Karena tiba-tiba..

   Set! Werrr...! "He, kurang ajar!"

   Ternyata salah satu tangan Nini Anting sempat mengait salah satu oyot pohon yang banyak bergantungan di dahan.

   Maka ketika oyot itu ditarik, saat itu juga mendesing beberapa pucuk bambu beracun ke arahnya.

   Maka dengan gesit, perempuan tua itu melompat sambil menekuk kedua kakinya, menghindari serangan gelap ini.

   "Hup!"

   Namun, tak semua bambu beracun itu mampu dihindari.

   Dalam keadaan melayang begitu, memang sulit bagi Nini Anting untuk menghindarkan diri secara sempurna.

   Maka terpaksa Nini Anting mencabut pedangnya.

   Dan seketika pedang itu dibabatkan ke arah beberapa bambu beracun yang masih mengincar tubuhnya.

   Tas! Tas! Seketika, bambu-bambu beracun itu berjatuhan di tanah.

   Sementara Nini Anting langsung berputaran beberapa kali.

   Dan ketika kakinya telah menjejak tanah, pedangnya telah kembali terselip di pinggang.

   Tapi, bahaya lain ternyata telah menghadangnya di depan mata.

   Tampak sekawanan orang berwajah seram telah menunggu dengan sikap tak bersahabat.

   Dalam hati Nini Anting menghitung.

   Ternyata jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang.

   Hi hi hi...! Kukira ternpat ini penghuninya perampok-perampok berwajah garang.

   Eh, tidak tahunya hanya kecoa-kecoa bermuka kunyuk!"

   Ejek Nini Anting sambil terkekeh. Mendengar kata-kata itu, tentu saja kemarahan orang-orang itu bangkit. Salah seorang yang bertubuh kurus dan berwajah lonjong, langsung melangkah mendekatinya dengan sinar mata kebencian.

   "Perempuan tua busuk! Berani benar kau berkata begitu! Apa kau sadar dengan tubuhmu yang peyot itu?!"

   Balas laki-laki itu.

   "Biar peyot, tapi masih mampu memberi pelajaran pada tikus-tikus comberan macam kalian!"

   Sahut Nini Anting.

   "Keparat! Kau pikir setelah lolos dari perangkap-perangkap itu, sudah merasa hebat, heh?!"

   Geram orang itu dengan geraham bergemeletukkan.

   "Hei?! Kenapa kau marah-marah sendiri, Bocah? Apa kau pikir perangkap-perangkap itu hebat? Hm.... Kalau perangkap itu saja tak kupandang sebelah mata, apalagi kalian!"

   Sahut Nini Anting, jumawa.

   "Setan! Kau memang harus merasakan sabetan tongkatku!"

   Dengus orang itu tak mampu mengendalikan amarahnya. Maka dengan gesit, dia melompat menyerang Nini Anting sambil mengayunkan tongkat bajanya.

   "Yeaaa...! Mampuslah kau!" *** Selanjutnya ke Bagian 5-6 Kembali ke Bagian 1-2 Pendekar Rajawali Sakti Articles de Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia s  . 113. Pembalasan Iblis Sesat Bag. 5-6 17. August 2014 um 18.51 Bet! Bet! "Uts...!"

   Beberapa sabetan tongkat yang runcing menyambar batok kepala Nini Anting.

   Namun perempuan tua itu cepat mundur ke belakang sambil terkekeh-kekeh.

   Melihat hal itu laki-laki bertubuh kurus itu menyambarkan tongkatnya ke perut Nini Anting dari bawah ke atas.

   Namun, wanita tua pesolek itu cepat mendoyongkan tubuh ke samping.

   Sehingga, tongkat itu hanya menyambar angin belaka.

   Dan cepat bagai kilat, Nini Anting melesat sambil melepaskan tendangan menggeledek.

   Untung saja laki-laki kurus itu cepat mengelak.

   Dan sungguh tak diduga! Belum juga laki-laki kurus itu berbalik, Nini Anting sudah menjejakkan kakinya di tanah.

   Lalu dengan cepat sekali, perempuan tua itu kembali melesat kembali ke arah laki-laki kurus itu.

   Sring! Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting, mencabut sebilah pedangnya.

   Dan seketika di sambarnya perut laki-laki kurus itu tanpa dapat dihindari lagi.

   Brettt! "Aaa...!"

   Pedang di tangan Nini Anting yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung membabat perut laki-laki kurus itu hingga robek lebar disertai darah yang mengucur deras. Laki-laki itu kontan terhuyung-huyung, dan ambruk di tanah.

   "Astaga! Wanujaya, tewas?!"

   Seru seorang kawannya sambil memburu orang yang memang sudah tak bernyawa itu.

   "Pedang wanita tua itu mengandung racun mematikan!"

   Desis yang lain ketika melihat sekujur kulit orang yang dipanggil Wanujaya itu telah merah bagai bara.

   "Wanita keparat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya di sini?! Huh! Kau akan mampus sesaat lagi!"

   Geram salah seorang. Seketika laki-laki bertubuh pendek itu mencabut senjatanya yang berupa arit besar. Langsung kawan-kawannya yang lain diberi isyarat untuk ikut mengeroyok.

   "Hi hi hi...! Kenapa banyak mulut segala? Ayo, majulah semua kalau mau kukirim ke akherat!"

   Bentak Nini Anting sambil tertawa cekikikan.

   "Jahanam! Mampuslah kau, yeaaa!"

   Mereka serentak maju berbarengan sambil menghunus senjata masing-masing.

   Namun, Nini Anting masih terkekeh, tanpa memandang sebelah mata pun.

   Dan kesombongannya itu ternyata ingin dibuktikannya langsung.

   Maka ketika ujung-ujung senjata lawan hendak membabat tubuhnya, Nini Anting cepat melopat ke atas disertai kelebatan pedangnya.

   Trang! Trang! Trang...! Beberapa buah golok dan pedang kontan berpentalan begitu beradu dengan pedang Nini Anting.

   Dan sebelum ada yang menyadari ujung pedang di tangannya tak tanggung-tanggung menyambar ke arah leher dan dada beberapa orang.

   Begitu cepat gerakannya sehingga tak seorang pun yang dapat menduga.

   "Aaa...!"

   "Wuaaa...!"

   "Aaakh...!"

   Tiga jeritan setinggi langit, terdengar saling susul. Seketika tiga sosok tubuh ambruk ke tanah bermandikan darah. Dan sesaat kemudian, tubuh mereka berubah memerah bagai bara akibat racun yang berada di batang pedang Nini Anting.

   "Hik hik hik...! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku. Terimalah kematian kalian!"

   Dengus Nini Anting, begitu kakinya mendarat di tanah.

   Dan sebelum orang-orang itu menyerangnya, tubuhnya cepat melompat menyerang.

   Melihat perempuan tua itu bergerak mendahului mereka, kawanan laki-laki bertampang kasar itu bukannya merasa gemetar.

   Bahkan dengan amarah yang meluap-luap mereka menyambut serangan itu dengan geram.

   Beberapa buah senjata kembali memapak senjata Nini Anting.

   Trang! Trang! Dan belum juga bunyi benturan senjata itu lenyap, beberapa buah senjata rahasia langsung melesat menyerang perempuan tua itu.

   Namun ketika Nini Anting memutar pedang dengan tangkas, senjata-senjata rahasia lawan langsung rontok tak berbentuk.

   Dan pedangnya terus berputar kembali merontokkan senjata-senjata lawan.

   Lalu dengan gerakan mengagumkan, Nini Anting melenting ke udara.

   Dan secara tiba-tiba saja, tubuhnya menukik seraya membabatkan pedangnya ke arah beberapa orang yang masih terkesiap.

   Cras! Cras! Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh berlumuran darah.

   Dan mereka langsung mati, dengan tubuh merah bagai bara! "Hik hik hik...! Ayo, ke sini! Mari kuantar kalian ke akherat! Kenapa? Apa kalian mulai takut?! Hi hi hi...! Ayo, tunjukkanlah kegarangan kalian tadi!"

   Ejek Nini Anting setelah mendarat kembali di tanah.

   Dan dia melihat beberapa pengeroyok yang masih selamat mulai ragu.

   Memang tak mengherankan.

   Masalahnya, hanya sekali gebrakan saja, pedang perempuan tua itu telah meminta banyak korban.

   Bahkan setengah jumlah mereka kini telah tewas! Tapi di pihak lain, Nini Anting sama sekali tak berniat menghentikan sepak terjangnya.

   Malah, dia berniat mempermainkan mereka, untuk kemudian menjadi tumbal pedangnya.

   Dan seketika tubuhnya melesat menyambar mangsa.

   "Kalau demikian, lebih baik kalian mampus saja! Yeaaa...!"

   Pedang Nini Anting berkelebat begitu cepat, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

   Dan dua orang yang berada di dekatnya mencoba menangkis, sementara seorang lagi mengayunkan goloknya ke arah punggung.

   Trang! Trang! Begitu pedangnya tertangkis, Nini Anting segera memapak serangan yang terarah ke punggungnya, setelah dengan cepat sedikit menyorongkan dan mendoyongkan tubuhnya.

   Trang! Tiga senjata para pengeroyoknya berturut-turut terlepas dari tangan, begitu berbenturan dengan pedang Nini Anting.

   Dan kaki kanannya berputar menghantam rahang laki-laki di belakang, sebelum ada yang sempat menyadari.

   Dan dengan gerakan dahsyat, ujung pedangnya kembali berbalik menyambar leher dua orang di depannya.

   Diiringi pekikan menyayat, dua orang langsung tewas dengan leher nyaris putus.

   Sementara yang seorang lagi menggelepar-gelepar meregang nyawa akibat tendangan yang luar biasa kerasnya.

   Dan baru saja Nini Anting akan kembali menyerang lawan-lawannya yang tersisa, mendadak...

   "Nini Anting, sudahlah! Hentikan permainanmu dengan coro-coro itu...!"

   "Heh?!"

Wanita tua itu segera menoleh, tanpa mempedulikan sisa lawannya yang langsung lari terbirit-birit begitu mendapat kesempatan. Tampak tiga orang laki-laki berwajah seram tengah melangkah mendekati, bersama seorang laki-laki tua berpakaian putih. Kekek itu memegang kipas yang terkembang. Dan di pinggangnya tampak terselip sebuah suling emas. Begitu mengenali, Nini Anting segera melangkah mendekati mereka.

   "Hik hik hik...! Tiga Setan Bukit Tunjang dan si Tua Bangkotan Sanjaya. Hei?! Apa kabar kalian semua?!"

   Sambut Nini Anting terkekeh gembira.

   "Kami baik-baik saja, Bibi Guru...,"

   Sahut ketiga orang yang tak lain Tiga Setan Bukit Tunjang sambil menjura hormat "Dan kau, tua bangka bau tanah?!"

   Ledek Nini Anting pada laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.

   "Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku baik-baik saja dan tak kurang sesuatu apa pun,"

   Sahut Ki Sanjaya sambil mengipas-ngipas wajahnya.

   "Hm.... Bagaimana mungkin. Kudengar dadamu luka. Coba kulihat!"

   Lanjut Nini Anting sambil cepat mengayunkan pedangnya.

   Ki Sanjaya tak kurang lincah.

   Tubuhnya segera bergeser ke kiri, seraya mengayunkan kipasnya ke arah senjata itu.

   Trak! Dua benturan senjata langsung terjadi.

   Dan rupanya, Ki Sanjaya melanjutkan dengan sebuah serangan ke leher.

   Wukkk...! "Uts!"

   Untung saja Nini Anting cepat melenting ke belakang, untuk menghindarinya. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja.

   "Kau lihat, Nenek Genit? Aku tak apa-apa, bukan?!"

   Kata Sanjaya tenang, setelah serangannya tidak dilanjutkan. Ditatapnya perempuan tua itu dengan sinar mata meledek.

   "Hm... Aku masih kurang percaya. Yang terlihat di depan mata kadang suka menipu. Barangkali kau terluka dalam. Mari kuperiksa!"

   Gumam Nini Anting.

   Kembali perempuan tua itu mengayunkan cepat pedangnya bergulung-gulung, sehingga menimbulkan angin kencang bercampur hawa racun dari batang pedangnya.

   Sementara tidak jauh dari kancah pertarungan, Tiga Setan Bukit Tunjang hanya bisa mengamati pertarungan kedua tokoh kosen itu.

   Sedikit demi sedikit mereka bergerak menjauh, takut-takut kalau ada serangan nyasar.

   "Edan! Bukannya berbaikan, malah bertarung...!"

   Umpat Sugriwa kesal.

   "Kau seperti tak tahu adat mereka kalau bertemu,"

   Sahut Durganda mengingatkan. Wajahnya pun terlihat tak senang.

   "Iya... Tapi, gurauan mereka berbau maut dan menyusahkan saja!"

   Sambung Peging Salira bersungut-sungut.

   Apa yang dikatakan Tiga Setan Bukint Tunjang memang tak salah.

   Tapi apakah mereka sedang bergurau saat ini? Tak seorang pun yang tahu.

   Kedua tokoh itu memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai kelakuan aneh.

   Mereka bertarung seperti layaknya dua musuh bebuyutan yang tengah melampiaskan dendam.

   "Yeaaa...!"

   Tiba-tiba saja kedua orang yang bertarung itu kembali melompat ke belakang dengan arah berlawanan.

   Dan suasana menjadi hening beberapa saat, begitu kaki mereka menjejak tanah.

   Kipas di tangan Ki Sanjaya menutup, sedangkan pedang di tangan Nini Anting telah kembali terselip di pinggang.

   "Hik hik hik...! Kepandaianmu masih tetap menakjubkan, Sanjaya!"

   Puji Nini Anting sambil berbalik tubuh dan melangkah mendekati laki-laki tua itu.

   "Kau pun hebat. Anting! Apakah segalanya sudah dipersiapkan untuk menghadapi si keparat Pendekar Rajawali Sakti itu?"

   Tanya Ki Sanjaya seraya mendekati wanita tua itu.

   "Huh! Setelah apa yang dilakukannya terhadap dua rekan kita, dia patut mampus di tanganku!"

   Geram Nini Anting dengan wajah kelam.

   "Kita patut berhati-hati, Anting...,"

   Desak Ki Sanjaya.

   "Kenapa?! Apakah kau takut menghadapinya seorang diri?!"

   Sentak perempuan tua itu garang.

   "Anting! Kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Kita tak bisa menghadapinya seorang diri!"

   Ki Sanjaya mencoba menjelaskan. Nini Anting tak menyahut. Malah wajahnya dipalingkan disertai dengusan dendam.

   "Cobalah ingat! Si Burisrawa dan Balung Geni tewas di tangannya dengan mudah. Pada hal, kepandain keduanya tak terpaut jauh dengan kita!"

   Urai Ki Sanjaya, kembali mengingatkan Nini Anting.

   "Huh! Kalau bertemu, akan kucincang-cincang tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan, dagingnya kuberikan pada anjing-anjing kurap!"

   Geram Nini Anting dengan mata berkilat tajam dan mulut menyeringai lebar.

   "Untuk itulah kita berkumpul di sini dan membuat rencana untuk menghancurkannya!"

   Sambung Ki Sanjaya.

   "Tapi aku sudah tak sabar, Sanjaya! Rasanya tanganku sudah gatal ingin memecahkan batok kepalanya!"

   Dengus perempuan tua itu.

   "Tak bisakah kau bersabar sesaat lagi saja? Kau lihat di sekelilingmu? Bila si keparat itu datang kesini, maka tamarlah riwayatnya!"

   "Ya! Tapi, bagaimana caranya dia datang ke sini? Dan lagi, dia ada di mana sekarang?"

   Keluh Nini Anting.

   "Nah! Itulah yang akan kita bahas. Yakinlah, semuanya pasti akan beres. Dan dendam kita pasti terbalas. Ayo, kau harus kuajak ke markas murid-murid keponakanku yang tak jauh lagi dari sini. Kita akan menunggu seorang lagi, yaitu Ki Sanca Manuk. Mudah-mudahan dia tak tersesat untuk tiba di sini!"

   Ujar Ki Sanjaya untuk bersama-sama ke tempat kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan mewah itu.

   Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.

   "Hm. Apa kau pikir rencanamu itu berhasil, Sanjaya?"

   Tanya Nini Anting.

   "Kenapa? Apa kau ragu?"

   "Itu siasat pengecut!"

   Dengus Nini Anting, tak senang. Ki Sanjaya hanya terkekeh pelan.

   "Nini Anting! Kuhargai kejujuranmu dalam bertarung. Tapi kau pun harus ingat, kita bukanlah orang baik-baik. Musuh harus dikalahkan dengan segala cara!"

   Kilah Ki Sanjaya.

   "Tapi tidak dengan cara yang sama sekali akan merendahkan derajat kita! Apa kau pikir aku sebangsa cecurut yang mesti mengajak ratusan ekor kecoa, untuk mengerubuti seekor kadal busuk tak berguna?"

   Sindir Nini Anting.

   "Nini Anting! Kau belum tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti...."

   Ki Sanjaya terus membujuk.

   "Jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku!"

   Sentak Nini Anting memotong pembicaraan Ki Sanjaya.

   "Kau belum tahu kehebatannya. Tapi, aku telah melihatnya sendiri!"

   Lanjut Ki Sanjaya.

   "Hm.... Kau katakan telah melihat kehebatannya. Lalu, apa kerjamu saat itu? Menonton si keparat itu membinasakan kedua kawan baikmu?!"

   Dengus Nini Anting kesal.

   "Tentu saja tidak. Waktu itu, Burisrawa dan Balung Geni belum tewas di tangannya. Kusaksikan, dia membinasakan seorang tokoh kosen dari utara. Dan aku sendiri belum tentu yakin bisa mengalahkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkannya,"

   Jelas Ki Sanjaya.

   "Lalu setelah kematian Burisrawa dan Balung Geni, kau terbirit-birit memberi kabar pada kami untuk berkumpul di sini?"

   "Nini Anting! Jangan memojokkanku begitu rupa. Kalian kuundang ke sini, untuk merencanakan sematang mungkin agar dendam kita terbalaskan,"

   Desah laki-laki tua itu.

   "Benar, Nini. Kami pun bukan semata-mata ingin membantu. Tapi, sebagian besar anak buahku juga punya dendam kesumat pada Pendekar Rajawali Sakti...."

   Ujar Durgana.

   "Diam kau. Bocah! Sudah kukatakan, jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku. Lagi pula, apa urusannya dengan kalian? Kalau ingin balas dendam, itu urusan kalian. Tapi, keparat Pendekar Rajawali Sakti itu pun sedang berurusan denganku!"

   Sentak Nini Anting galak.

   "Nini! Kau kelihatannya sewot sekali, dan tak mau berpikir tenang. Aku tahu betul watakmu..,"

   Kata Ki Sanjaya sambil tersenyum kecil. 'Apa maksudmu, Kakek Peot?!"

   "Meski kelakuanmu terkadang aneh, kau bisa diajak bersungguh-sungguh dan berpikir tenang. Tapi dalam persoalan ini, kelihatan sekali kemarahanmu. Apakah karena pemuda itu telah membinasakan kekasihmu?"

   Pancing Ki Sanjaya.

   "Dasar tua bangka bau tanah! Bicaramu semakin ngawur saja...!"

   Dengus Nini Anting.

   "He he he... ! Kenapa musti pura-pura kalau kau amat mencintai si Balung Geni...

   "

   "Tutup mulutmu, Sanjaya! Atau lebih baik kurobek biar tak bisa berkoar lagi?!"

   Nyaris keributan kecil itu akan semakin memuncak. Untung saja tiba-tiba seorang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan berukuran besar ini.

   "Ampun, Tuan. Tadi ada kekacauan di sebelah sana...! Kami sudah berusaha menahan sekuat mungkin. Namun, dia berilmu tinggi dan bukan tandingan kami...!"

   Lapor orang yang baru masuk itu.

   "Siapa orang itu?"

   Tanya Durganda.

   "Dia tak menyebutkan namanya...

   "Bagaimana ciri-cirinya?"

   Tanya Ki Sanjaya.

   "Dia membawa tongkat berhulu seperti kepala ular. Mulutnya monyong seperti buaya. Bahkan dia ditemani ular-ular berbisa yang menyerang kawan kawan yang lain,"

   Jelas orang itu.

   "Hi hi hi...! Panjang umurnya si Sanca Manuk. Baru saja akan dibicarakan dia sudah nongol. Hei, Nini.... Mari kita sambut dia!"

   Ajak Ki Sanjaya sambil bangkit.

   Dengan malas-malasan Nini Anting mengikuti langkah Ki Sanjaya.

   Demikian juga Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Malah, merekalah yang lebih dulu beranjak karena mengkhawatirkan anak buahnya.

   Mereka semua terus keluar dari rumah besar lagi mewah di puncak Bukit Tunjang ini.

   Beberapa orang yang menjaga rumah ini segera membungkukkan tubuhnya begitu para tokoh hitam dunia persilatan itu lewat.

   Tiga Setan Bukit Tunjang, Nini Anting dan Ki Sanjaya terus menyusuri jalan setapak, untuk menuju suatu tempat di lereng bukit.

   Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, mereka terus berlompatan.

   Begitu tiba di tempat yang agak luas, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tengah terkekeh menyaksikan keadian di depannya.

   Kakek itu tak ditumbuhi rambut secuil pun pada bagian ubun-ubunnya.

   Namun pada bagian belakang, rambutnya justru panjang sampai ke punggung dan telah memutih semuanya.

   Orang tua itu mengenakan baju agak kedodoran, berwarna gelap.

   Tangannya tampak memegang tongkat aneh yang pada ujung atasnya berbentuk kepala ular.

   Kekek yang memang bernama Sanca Manuk itu berdiri tegak, sementara di bawahnya menjalar ratusan ekor ular besar dan kecil.

   Sementara tak jauh di depannya, terlihat beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menjerit-jerit kesakitan sambil berguling-gulingan dibelit dan dipatuk ular-ular yang mengandung bisa dahsyat.

   Beberapa orang tampak telah menjadi mayat dengan tubuh kaku dan warna kulit hitam kebiru-biruan.

   "Ha ha ha...! Ayo, Anak-anak! Mari kita berpesta sepuas-puasnya hari ini. Ayo, serang mereka! Serang mereka...!"

   Teriak Ki Sanca Manuk sambil mengeluarkan suara mendesis.

   Desisan itu bagaikan perintah saja.

   Puluhan ekor ular lainnya terus merayap.

   Bahkan sebagian melompat menerkam beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di dekatnya.

   Dan tiba....

   "Tut..., tulat... tuliiit... tit... tit...!"

   Mendadak terdengai irama suling yang berirama dan mendayu-dayu.

   "Heh?!"

***"Dasar kunyuk Sanjaya! Kau pikir punya kemampuan melawanku!"

   Desis Ki Sanca Manuk geram.

   Betapa tidak? Akibat irama seruling yang dimainkan Ki Sanjaya, ratusan ekor ular itu kelihatan bingung.

   Dan perlahan lahan binatang-binatang melata itu melepaskan mangsanya.

   Lalu dengan perlahan-lahan pula, mereka bergerak menuju tuannya sambil mendesis-desis garang.

   Sementara Ki Sanca Manuk segera mengangkat tongkatnya dan menempelkannya di bibir seperti orang meniup suling.

   Dan benar saja! Kini terdengar irama yang mengalun dan tongkatnya, yang mulai merundih irama suling Ki Sanjaya.

   Bahkan dari mulut tongkat itu pun mengepul asap hitam tipis yang menerpa ular-ular di dekatnya.

   "Zzzsss...!"

   Mendadak saja ratusan ekor ular itu kini berbalik arah dan terlihat semakin galak.

   Lidah mereka menjulur berkali-kali dengan sorot mata memancar tajam berkilat.

   Dan yang lebih mengejutkan lagi, ular-ular itu kini menyerang Ki Sanjaya, Nini Anting, serta Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Karuan saja kelima orang itu tersentak.

   Dan tentu saja mereka segera bertindak.

   "Cacing-cacing keparat! Kau pikir bisa mencelakakanku, heh?!"

   Geram Nini Anting sambil mencabut sepasang pedangnya.

   "Hiiih!"

   Tes! Tes! Sekali pedangnya berkelebat, maka beberapa ekor ular langsung terputus tubuhnya.

   Begitu juga halnya Ki Sanjaya.

   Kipasnya yang sudah terkembang, seketika menyambar ular-ular yang menyerang tubuhnya.

   Beberapa ekor ular langsung hancur dikepruk sulingnya.

   Sementara yang lain tercabik-cabik ujung kipasnya yang tajam.

   Sedangkan Tiga Setan Bukit Tunjang pun tak kalah ganasnya.

   Mereka serentak bergerak menghajar ular-ular itu dengan gemas.

   Sehingga dalam waktu singkat saja, terlihat puluhan ekor ular telah tergeletak menjadi bangkai.

   "Ha ha ha...! Ayo! Panggillah semua ularmu, Sanca Kunyuk. Biar kami lahap semuanya!"

   Ejek Ki Sanjaya sambil terkekeh-kekeh.

   "Huh, sial! Sudah! Sudah...! Lama-lama bisa habis anak buahku!"

   Sentak Ki Sanca Manuk kesal. Sebentar kemudian, lelaki tua yang ubun-ubunnya botak itu meniupkan satu irama dari tongkatnya. Sehingga ular-ular yang menjadi anak buahnya kembali berkumpul di dekatnya seperti tadi.

   "Nah, Kunyuk Sanjaya. Ada apa kau mengundangku ke bukit ini?"

   Tanya Ki Sanca Manuk tanpa basa-basi lagi.

   "Sobatku, Ki Sanca Manuk. Apakah kau tak ingin membicarakannya di kediaman murid-murid keponakanku. Di sana, kau bisa sekalian beristirahat.

   "Tidak usah banyak peradatan segala. Katakan saja, apa urusannya kau mengundangku ke sini?!"

   "Masih ingatkah kau akan kematian kedua kawan kita si Burisrawa dan Balung Geni?"

   "Hm.... Memangnya kenapa?"

   Gumam Ki Sanca Manuk.

   "Apakah kau hanya akan berpangku tangan saja melihat kematian mereka yang sia-sia?" 'Tentu saja tidak! Aku memang tengah mencari pembunuh keparat itu. Kalau saja kau tak mengganggu dengan mengundangku kemari, tentu aku telah berhasil menemuinya. Dan saat ini, bocah itu tentu lehernya telah kupatahkan!"

   "Apa kau tahu siapa yang membunuh mereka?"

   "Hm.... Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Rajawali Sakti. Huh! Bocah sial itu belum merasakan tongkatku. Dia akan mampus di tanganku!"

   Desis Ki Sanca Manuk geram.

   "Nah! Bersabarlah sejenak, Sobat. Kuundang kalian berdua ke sini untuk membicarakan hal itu...."

   "Membicarakan katamu, heh?!"

   Potong Ki Sanca Manuk sambil melotot.

   "Ki Sanca Manuk! Kita tak bisa berbuat gegabah terhadap bocah itu. Kepandaiannya hebat luar biasa. Bisa jadi, salah seorang dari kita mampu mengimbanginya. Tapi untuk meyakinkan kematiannya, maka kita harus mencari akal. Nah, tadi kami telah merembuk soal itu. Dan barangkali, kau mau mendengarnya,"

   Bujuk Ki Sanjaya.

   "He! Jangan kau katakan aku setuju, Tua Bangka Peot!"

   Sentak Nini Anting merasa belum puas.

   "Nini Anting, kita bicarakan hal itu nanti..., bujuk Ki sanjaya.

   "Heh! Kenapa rupanya nenek bau tanah itu?!"

   Tanya Ki Sanca Manuk, keras.

   "Sanca kunyuk! Jangan sembarangan membuka bacot! Kau pikir tubuhmu tidak bau tanah, heh?! Kalau mau, biar sekalin kumasukkan ke dalam tanah!"

   Senrak Nini Anting galak.

   "He he he...! Hebat, sungguh hebat! Puluhan tahun telah berlalu, tapi kelakuan nenek peot ini tak berubah. Hei, Sanjaya! Untunglah dulu dia tak mau padamu. Kalau kalian jadi suami-istri, pasti akan gawat keadaanmu...!"

   Teriak Ki Sanca Manuk.

   "Tua bangka kurang ajar! Jangan sembarangan bicara!"

   Nini Anting akan melompat menyerang Ki Sanca Manuk. Namun pada saat itu Ki Sanjaya buru-buru mencekal tangannya.

   "Sudahlah, sudah...! Kita tak akan pernah selesai kalau ribut terus. Lebih baik mari kita menuju kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang!"

   Cegah Ki Sanjaya.

   "Oaaah. Kebetulan perutku memang sedang lapar! Heh, Sanjaya! Ada makanan apa saja di Sana?!"

   "Yang jelas, kau tak akan kelaparan,"

   Sahut Ki Sanjaya tenang.

   Ki Sanca Manuk terkekeh-kekeh mendengar jawaban itu.

   Dia melirik ke arah Nini Anting, namun wanita tua itu melotot garang sambil menyeringai geram.

   Pagi masih terselimut kegelapan.

   Namun di kejauhan sudah terdengar kokok ayam jantan saling bersahutan.

   Dan di pagi yang bersih dingin menusuk tulang, Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera berpamitan pada suami-istri Bharata dan Melani.

   Mereka membekali makanan secukup-nya pada Rangga dan Paman Lanang.

   Padahal Rangga telah berkali-kali menolak, namun terus dipaksa.

   "Rangga... Aku tahu kalian memang mempunyai uang yang cukup banyak. Tapi, terimalah ini sebagai tanda persahabatan kami. Karena tak ada barang berharga yang bisa kami berikan pada kalian berdua.. ,"

   Ujar Bharata. Dan akhirnya Rangga memang tak kuasa menolak pemberian mereka.

   "Ki Bharata, terima kasih...."

   Laki-laki itu menganggukkan kepala sambil memeluk pinggang istrinya di depan pintu pondoknya.

   "Rangga..."

   Pemuda berbaju rompi putih itu melirik ke arah istri Bharata.

   "Ada apa, Ni...?"

   "Rangga, bukankah kau mengatakan kalau kalian tinggal di kotaraja?"

   Tanya wanita itu.

   "Benar."

   "Dan kau mengatakan pernah ke istana kerajaan?"

   "Ya...."

   "Pernah bertemu Gusti Prabu?"

   "Pernah..."

   "Kau katakan kalau Gusti Prabu ramah, dan sudi bertemu rakyat jelata seperti kami?" 'Tentu saja. Beliau akan senang sekali jika rakyatnya mau bertemu dengannya!"

   Sahut Rangga cepat.

   "Menurutmu, apakah jika kami pergi ke kotaraja dan ingin bertemu, beliau akan mengizinkannya?"

   "Ni, aku yakin sekali beliau pasti akan suka menerima kedatangan kalian,"

   Tegas Rangga. 'Terima kasih...."

   "Hm... Kalau demikian, kami mohon pamit dulu,"

   Lanjut Rangga sambil memberi salam hormat.

   "Selamat jalan, Rangga, Paman Lanang. Mudah-mudahan kalian selamat..!"

   Sahut suami-istri itu.

   Mereka kemudian melambaikan tangan ketika kedua tamunya mulai beranjak pergi meninggalkan halaman rumah.

   Sementara, Rangga dan Paman Lanang kembali melanjutkan perjalanan menuju arah selatan.

   Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan suami-istri itu.

   Terutama sekali, Paman Lanang yang kini jadi banyak cerita.

   "Gusti Prabu, bagaimana jika wanita itu benar-benar datang ke istana dan melihat kenyataan kalau sebenarnya Gusti Prabulah orang yang pernah ditemuinya?"

   "Memangnya kenapa?"

   Sahut Rangga balik bertanya.

   "Seorang raja yang berdusta pada rakyatnya pasti tidak bisa jadi panutan yang baik...,"

   Sahut Paman Lanang.

   "Apakah paman menganggapku telah berdusta padanya?"

   "Apakah yang Gusti Prabu katakan padanya bukan suatu dusta?"

   Sahut Paman Lanang dengan wajah terbodoh.

   "Ada hal yang membuat penilaian orang secara umum benar. Tapi jika diteliti secara seksama, ternyata tidak. Kenapa? Apakah Paman bisa menjelaskannya?"tanya Rangga.

   "Ampun, Gusti Prabu! Mana mungkin hamba yang bodoh ini mengetahuinya...,"

   Sahut Paman Lanang hormat dan meredah.

   "Paman Lanang, bukankah seorang raja itu secara resmi berada dalam istana kerajaan? Dan urusan yang dilakukannya pastilah berkenan dengan tugas-tugas negara...."

   "Benar. Gusti Prabu!"

   "Lalu, apakah Paman menganggap kalau perjalanan kita dalam menemui tabib itu adalah tugas negara?"

   "Tentu saja tidak, Gusti Prabu!"

   "Syukurlah. Kini Paman telah mengerti...."

   Sahut Rangga tenang.

   "Tapi hamba masih bingung. Gusti Prabu...."

   Sahut Paman Lanang dengan wajah bingung.

   "Artinya, jika tugas negara yang kulakukan, maka aku Raja Karang Setra. Tapi jika tugas pribadi, maka aku adalah Rangga,"

   Jelas pemuda itu singkat. Ki Lanang mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban yang dikemukan Rangga. Namun mendadak saja keduanya menghentikan laju kuda-kudanya, ketika beberapa sosok tubuh melesat turun dari cabang-cabang pohon di depan.

   "Pendekar Rajawali Sakti, berhenti kau...! "Hm...,"

   Gumam Rangga dan Paman Lanang perlahan.

   Dan mereka menunggu tindakan orang-orang itu selanjutnya, sambil memandang seksama.

    *** Mereka rata-rata memiliki wajah seram dan bersenjatakan golok tajam mengkilat.

   Melihat dari sikapnya, jelas orang-orang itu tidak bersahabat.

   Rangga menghitung dalam hati.

   Dan jumlah mereka ternyata sekitar lima belas orang.

   Salah seorang yang bertubuh besar dan berikat kepala merah maju tiga langkah sambil menunjuk pemuda berbaju rompi putih itu.

   "Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!"

   Tanya laki-laki berikat kepala merah itu.

   "Hm... Begitulah orang-orang menyebutku. Sebaliknya, siapakah kalian? Dan apa yang kalian kehendaki dari kami?"

   Sahut Rangga tenang.

   "Bagus! Kami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang membawa pesan dari ketua kami. Beliau mengundangmu ke sana secepatnya!"

   Ujar orang itu, jumawa.

   "Ada urusan apa, sehingga Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke tempatnya? Seingatku, aku tidak mempunyai kawan yang bernama Tiga Setan Bukit Tunjang. Lagi pula, nama itu amat asing bagiku!"

   Kata Rangga, tenang "Sudahlah. jangan banyak bicara ikut sajalah dengan kami!"

   Sentak orang itu.

   "Hm... Kalau demikian, katakan pada ketuamu aku tak bisa memenuhi udangannya,"

   Sahut Rangga enteng.

   "Jangan gegabah, Kisanak. Kau harus datang ke sana!"

   Sahut orang itu tegas.

   "Hm.... Apakah ketuamu bisa memerintahku seenaknya?"

   Sahut Rangga mulai tak senang.

   "Bisa atau tidak, kau harus datang ke sana!"

   Sahut orang itu lagi menegaskan.

   "Bagaimana kalau aku tidak datang...?!"

   Tanya Rangga memancing.

   "Kau akan menyesal!"

   "Kenapa mesti menyesal?"

   "Karena kedua kawanmu akan mati percuma akibat penolakanmu itu!"

   "Heh! Apa maksudmu!"

   Sahut Rangga kaget.

   "Kenalkan kau pada Bharata dan Melani?"

   "Hm.... Apa yang terjadi dengan mereka?!"

   Bentak Rangga garang.

   "Kau kenal baju ini, bukan? Ini milik Bharata. Mereka sekarang dalam perjalanan ke Bukit Tunjang!"

   "Apa maksudmu?!"

   "Dari semalam kami mengikuti kalian. Dan ketika kalian berdua telah pergi dari rumahnya, kami menangkap suami-istri itu. Dan beberapa orang kawan kami sekarang tengah membawanya ke Bukit Tunjang....."

   "Keparat licik!"

   Geram Rangga kesal.

   "He he he...! Kau tak perlu memaki, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka akan baik-baik saja selama kau berjanji akan memenuhi undangan Tiga Setan Bukit Tunjang,"

   Sahut orang itu sambil terkekeh kecil.

   "Apa maksud Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke sana?"

   "Jika kau tak memenuhi undangannya, bukan hanya suami-istri itu saja yang binasa. Tapi, seluruh penduduk desa yang berada di kaki bukit itu akan dibumihanguskan. Dan seluruh orang tak berdosa akan kami bantai. Begitu pesan Tiga Bukit Tunjang,"

   Lanjut orang itu.

   "Setaaan...,"

   Paman Lanang memaki dan langsung melompat turun dari kudanya.

   "Paman tidak perlu...!"

   Larang Rangga. 'Tapi mereka keterlaluan! Orang-orang ini harus diberi pelajaran agar mereka tak bisa berbuat sesuka hati...!"

   Geram Paman Lanang. 'Tenanglah. Biarkan mereka menyelesaikan bicaranya...,"

   Sahut Rangga berusaha bersikap setenang mungkin.

   "He he he...! Ternyata kau lebih bijaksana, Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Tiga Setan Bukit Tunjang memberi waktu padamu, paling lambat esok hari menjelang sore. Jika kau tak datang, maka nasib suami-istri itu akan mati sia-sia. Lalu, berikutnya penduduk desa di kaki bukit itu akan menyusul! Selamat tinggal...!"

   Kata orang itu sambil mengajak anak buahnya untuk berlalu dari tempat itu. Ki Lanang akan mengejar dan melabrak mereka karena amarah yang tak tertahan. Namun....

   "Tidak perlu, Paman Lanang...,"

   Cegah Rangga kembali.

   "Kenapa kita harus membiarkan mereka seenaknya mengatur kita...? Apa Gusti Prabu tak merasa terhina melihat sikap mereka itu?!"

   "Paman! Hal itu sudah biasa dalam dunia persilatan. Dan, ingat! Saat itu aku hanya orang biasa, bukan Raja Karang Setra."

   Paman Lanang terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata junjungannya. Perlahan-lahan dia kembali menaiki punggung kudanya. Sesaat kemudian, dipandangnya pemuda itu dengan wajah khawatir.

   "Apakah Gusti Prabu akan memenuhi undangan mereka...?"

   Rangga mengangguk pelan.

   "Gusti Prabu, hamba merasakan kalau ada sesuatu yang mereka rencanakan terhadap Gusti Prabu. Yaitu, semacam jebakan. Sebaiknya Gusti Prabu tak perlu datang ke Sana!"

   Jelas Paman Lanang mengemukakan kekhawatirannya.

   "Aku tahu, Paman Lanang. Tapi aku harus ke sana, untuk membebasakan suami-istri dan penduduk desa di kaki Bukit Tunjang yang berada dalam ancaman mereka"

   Sahut Rangga.

   "Tapi, Gusti..."

   "Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Paman,"

   Potong Rangga cepat.

   "Mereka orang-orang yang licik, Gusti Prabu."

   Rangga kembali tersenyum.

   "Mari kita ke sana. Lebih cepat kita sampai, akan lebih baik...,"

   Desah Rangga tanpa mempedulikan kecemasan Paman Lanang.

   "Bagaimana dengan tujuan kita untuk menemui tabib itu. Gusti...?"

   Kata Paman Lanang, mencoba menggugah niat Rangga.

   "Aku harus mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi, Paman..."

   Tekad Rangga tenang. 'Tapi, apakah Gusti Prabu tak mencemaskan Gusti Ayu Pandan Wangi?"

   "Tentu saja aku mencemaskan. Tapi seperti yang Paman katakan, bukankah keadaan Pandan Wangi tak begitu membahayakan? Nah, sebaiknya kita tak boleh membuang-buang waktu"

   Ki Lanang tak mampu berkata apa-apa lagi.

   Perlahan-lahan, diikutinya Rangga yang sudah menjalankan kudanya.

   Laki-laki setengah baya itu mengikuti dari belakang dengan hati cemas dan was-was.

    *** Selanjutnya ke Bagian 7-8 (selesai) Kembali ke Bagian 3-4 Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .

   113.

   Pembalasan Iblis Sesat Bag.

   7-8 (selesai) 17.

   August 2014 um 18.53 Bukit Tunjung memang tempat yang mengerikan.

   Kalaupun ada desa-desa yang berada di bawah kaki bukit itu, tapi para penduduknya tak ada yang berani menuju ke puncaknya Bukit Tunjang sendiri, sebenarnya termasuk daerah tak bertuan.

   Letaknya, diapit oleh Kerajaan Karang Setra dengan kerajaan tetangganya.

   Dan setelah hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menunggang kuda, barulah dari kejauhan terlihat Bukit Tunjang yang gagah perkasa berdiri tegak dengan angkuhnya! 'Paman, di depan sanalah Bukit Tunjang...,"

   Kata Rangga pelan sambil memandang bukit yang jauh di depan sana.

   "Gusti Prabu, masih ada kesempatan untuk mengurungkan niat ke sana...,"

   Ujar Ki Lanang pelan seperti mengingatkan pemuda itu.

   "Paman, keputusanku telah bulat..."

   "Tapi menurut orang-orang yang kita temui di sepanjang perjalanan, tempat itu adalah sarang para perampok dan bajingan-bajingan. Jumlah mereka lebih dari seratus orang, Gusti!"

   "Hal itulah yang kukhawatirkan, Paman."

   "Syukurlah kalau memang Gusti Prabu bisa menyadarinya...,"

   Sahut Ki Lanang lega.

   "Maksudku jika mereka turun semua dan membuat kekacauan di mana-mana, tentu rakyat yang akan menderita. Bukankah menjadi kewajibanku untuk memberi peringatan pada mereka...?"

   Kata Rangga, enteng. Jawaban tak diduga dari Pendekar Rajawali Sakti membuat wajah Paman Lanang kembali lesu.

   "Gusti Prabu! Bukankah hal ini bisa diselesaikan oleh prajurit kerajaan? Gusti Prabu tak perlu turun tangan sendiri...,"

   Usul Paman Lanang.

   "Benar! Hal ini memang bisa dikerjakan prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, apakah aku harus berpangku tangan saja bila ternyata kejadian buruk itu berada di depan mataku sendiri...?"

   Sergah Pendekar Rajawali Sakti.

   "Maaf, Gusti Prabu. Hamba tak bermaksud menggurui...,"

   Ucap Paman Lanang dengan wajah bersalah.

   "Tidak perlu minta maaf, Paman. Aku mengerti kekhawatiranmu padaku. Tapi percayalah, mudah-mudahan aku mampu mengatasi persoalan ini,"

   Ujar Rangga.

   "Dengan seorang diri, Gusti Prabu?"

   Rangga tersenyum dan memandang punggawanya itu dalam-dalam. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk mantap. 'Ya, kurasa memang sebaiknya begitu!"

   Pada saat itu, mereka berpapasan dengan beberapa orang penduduk yang baru kembali dari sawah lading.

   Mereka memandang Rangga dan Paman Lanang dengan wajah cemas.

   Terbayang cerita-cerita mengerikan dan kecemasan dalam pandangan mereka.

   Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Paman Lanang jadi tidak enak hati.

   "Kisanak! Kenapa kalian memandang kami demikian? Apakah ada sesuatu yang aneh pada kami?"

   Tanya Paman Lanang pada salah seorang yang berada di depannya.

   "Kisanak berdua, ke manakah tujuan kalian?"

   Laki-laki tua berkulit gelap itu balik bertanya.

   "Kami bermaksud menuju Bukit Tunjang...."

   "Astaga! Sebaiknya urungkan saja niat kalian!"

   Sentak laki-laki itu, semakin cemas.

   "Kenapa, Kisanak?"

   Tanya Rangga. 'Tempat itu memiliki banyak perangkap maut!"

   Jelas laki-laki itu.

   "Perangkap maut bagaimana?"

   Tanya Rangga kembali.

   "Banyak terdapat rawa terapung, sumur yang dalam, dan jebakan maut yang dibuat perampok serta bajingan yang banyak berkumpul di sana!"

   Rangga mengangguk-anggukkan kepala.

   "Kalau memang banyak perangkap maut di tempat itu, bagaimana mereka dapat mencapai bukit dan lereng-lereng di atasnya?"

   Tanya Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kisanak! Apakah kau bersungguh-sungguh akan ke bukit itu?"

   Tanya laki-laki itu, semakin cemas.

   "Ya! Ada yang harus kukerjakan di Sana."

   "Apakah kau ingin bergabung dengan mereka?"

   "Tidak, justru sebaliknya..."

   "Oh! Kau ingin memerangi mereka?!"

   Lanjut penduduk desa itu dengan wajah tak percaya. Rangga mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

   "Bagaimana mungkin? Jumlah mereka banyak, sedangkan kalian hanya berdua?"

   "Aku akan memikirkan caranya, Kisanak..."

   "Kisanak! Usahamu akan sia-sia saja. Mereka terlalu tangguh dan berjumlah banyak!"

   Rangga hanya tersenyum mendengarnya. 'Yah, mudah-mudahan saja Yang Maha Kuasa selalu melindungiku. Kami permisi dulu, Kisanak semua,"

   Pamit Rangga. Dan tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menggebah kudanya perlahan-lahan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara penduduk desa memandang mereka sambil menggeleng-geleng kepala.

   "Ya, Jagat Dewa Batara. Mudah-mudahan Kau melindungi mereka yang mempunyai niat mulia!"

   Desah salah seorang penduduk desa.

   "Mereka pasti tak akan selamat...,"

   Gumam seorang kawannya "Paling tidak, mereka selamat dari perangkap-perangkap maut itu. Aku telah memberitahukan jalan yang benar agar tiba di lereng bukit itu dengan aman...,"

   Jelas laki-laki yang tadi berbicara dengan Rangga.

   Sampai Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang lenyap dari pandangan, penduduk desa itu belum juga beranjak! *** Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang terdiam beberapa saat ketika telah berada di Bukit Tunjang.

   Paman Lanang masih mencoba membujuk, tapi keputusan Rangga telah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

   Malah perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti menghela kudanya mendaki bukit itu.

   Namun ketika medan yang dilalui mulai sulit didaki oleh kuda, Rangga kemudian berhenti dan memandang Paman Lanang.

   "Paman, kita tak bisa mendaki bukit ini dengan berkuda ..."

   Kata Rangga pelan.

   "Lalu...?"

   Tanya Paman Lanang.

   "Sebaiknya aku berjalan kaki saja...,"

   Kata Rangga sambil melompat turun dari punggung kudanya.

   "Paman...

   "Ada apa, Gusti Prabu...?"

   "Sebaiknya, Paman tidak usah ikut...?"

   "Apa maksud Gusti Prabu...?"

   "Ada hal lain yang bisa Paman kerjakan. Sebaiknya, Paman meneruskan perjalanan menemui tabib itu. Atau, kau bisa pulang ke Karang Setra!" 'Tapi mana bisa hamba meninggalkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya...?!"

   "Paman, percayalah Aku bisa mengatasi masalah ini...,"

   Sahut Rangga berusaha meyakinkan.

   "Tapi, jumlah mereka cukup banyak, Gusti Prabu! Hamba khawatir terjadi apa-apa terhadap Gusti Prabu. Izinkanlah hamba mendampingi Gusti Prabu...,"

   Desak Paman Lanang, kemudian berlutut di kaki Pendekar Rajawali Sakti.

   "Paman, berdirilah..."

   Ujar Rangga.

   "Hamba tak akan berdiri, sebelum Gusti Prabu mengizinkan hamba turut!"

   Sahut Paman Lanang keras kepala. Rangga mendesah pelan. Kepalanya mendongak ke atas sesaat, kemudian menghela napas pendek.

   "Ini untuk kebaikan kita bersama, Paman. Kerjakanlah tugasmu, dan jangan khawatirkan keadaanku...."

   Rangga kembali rnembujuk.

   "Tidak! Hamba tidak akan membiarkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya!"

   Sahut Paman Lanang, tetap keras kepala. Mendengar jawaban itu, Rangga menyadari kalau Paman Lanang tak akan menurut kalau tidak berkata dengan nada keras.

   "Paman! Ini perintah dariku! Kerjakan tugasmu dan jangan khawatirkan keadaanku!"

   Kata Rangga tegas.

   Setelah itu, Rangga berbalik dan segera menepuk bokong kudanya.

   Maka Dewa Bayu kontan berlari kencang, seperti mengerti isyarat itu.

   Lalu seketika Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat tanpa mempedulikan Paman Lanang yang masih berlutut.

   Dan laki-laki hampir setengah baya itu hanya terpana, begitu menyadari junjungannya telah lenyap dari pandangan.

   Dengan wajah sedih, dia bangkit dan menatap ke arah melesatnya tubuh Rangga tadi.

   Cukup lama dia mematung.

   Kemudian dengan tergesa-gesa, tiba-tiba kudanya dipacu cepat.

   "Heaaa...!"

   "Maafkan aku, Paman Lanang. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Tapi, ini masalah yang amat berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu...,"

   Lirih suara Rangga, ketika punggawanya telah pergi dari situ.

   Memang, Rangga tak pergi jauh dari situ.

   Tapi hanya bersembunyi di balik cabang pohon yang agak jauh dan tersembunyi.

   Sebentar kemudian, Rangga melanjutkan perjalanan perlahan-lahan sambil memperhatikan petunjuk yang diberikan penduduk desa yang tadi ditemuinya.

   Namun, mendadak ketika Pendekar Rajawali Sakti menerobos sebuah semak belukar.

   Set! Set! "Heh!"

   Tiba-tiba melesat beberapa bambu beracun yang langsung menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga cepat melenting sambil berputaran menghindarinya.

   Dan begitu mendarat di tanah, dia melompat ke salah satu cabang pohon.

   Rangga menyadari kalau lebih aman bila melewati jalan atas.

   Maka seketika tubuhnya berlompatan ringan dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya.

   Dan tak berapa lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti tiba di lereng bukit yang agak luas dan datar dipenuhi rumput menghijau.

   Pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke sekeliling yang tampak sunyi seperti tak berpenghuni.

   Kakinya lalu melangkah pelan-pelan sambil menajamkan pendengaran dan penglihatan.

   Dan betul saja, karena...

   Set! Set! Mendadak saat itu berdesingan puluhan anak panah mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga segera menyadari bahaya yang mengintai dirinya.

   Maka...

   "Hup...!"

   Pendekar Rajawali Sakti langsung menjatuhkan diri, seraya berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. Namun anak panah itu seperti tiada henti menghujani dirinya.

   "Yeaaa...!"

   Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting ke belakang mendekati rerimbunan pepohonan.

   Disadari betul, sekali saja melompat ke atas untuk menghindari hujan anak panah, maka akan sulit untuk menghindari serangan berikut di tempat terbuka begini.

   Makanya dia bertindak cepat dengan melompat ke rimbunan pepohonan.

   Dan sebentar kemudian...

   "Hup...!"

   Tes...! Sambil melompat manis sekali ke salah satu cabang pohon, Rangga cepat memotes sebatang ranting yang cukup kuat.

   Dengan ranting di tangan, ditangkisnya hujan anak panah yang masih menerpa dirinya.

   Lalu perlahan-lahan dia bergerak mendekati arah hujan panah itu berasal sambil memutar ranting di tangannya ke sana kemari.

   "Hentikan...!"

   Mendadak terdengar bentakan nyaring.

   Pendekar Rajawali Sakti seketika berhenti dan bediri tegak.

   Namun, matanya terus mengawasi dengan sorotan tajam.

   Tak berapa lama, terlihat lebih dari tiga puluh orang dengan busur siap dilepaskan telah mengurung tempat itu.

   Kemudian tiga orang yang bertubuh besar sudah berdiri tegak di depan dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Ha ha ha ..! Akhirnya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu mau juga datang mengunjungi tempatku yang buruk ini. Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti!"

   Kata salah satu di antara mereka yang memakai baju merah sambil tertawa keras.

   "Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Bukit Tunjang...?!"

   Tanya Rangga lantang dengan nada dingin. *** "Hm... Agaknya kau cepat tanggap, Kisanak. Benar! Kamilah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namaku, Durganda. Dan di sebelah kiriku, Sugriwa. Sedangkan di kananku Peging Salira,"

   Kata orang yang bernama Durganda memperkenalkan dua laki-laki bertubuh besar yang menghimpirnya.

   "Beginikah cara menyambut seorang tamu yang diundang?"

   Sindir Rangga, tenang.

   "Ha ha ha...! Ini memang penyambutan paling ramah yang pernah kami lakukan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, tamu terhomat sepertimu,"

   Sahut Durganda sambil terkekeh-kekeh kecil.

   "Durganda! Tak usah banyak basa-basi segala. Katakan, apa keinginanmu mengundangku ke sini. Lalu, lepaskan suami-istri yang kau tawan itu!"

   Sahut Rangga.

   "Ha ha ha...! Agaknya kau tidak sabar betul, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya, yang jelas-jelas berkepentingan denganmu bukan hanya kami. Nanti kau akan tahu sendiri. Dan mengenai suami-istri itu, jangan khawatir. Selama kau bersikap baik, maka mereka akan tetap aman."

   "Hm.... Apakah kau pikir aku akan percaya begitu saja?"

   "Ha ha ha...! Ternyata kau bukan sekadar hebat, Kisanak. Tapi juga pintar!"

   Puji Durganda.

   Durganda kemudian memberi satu isyarat pada salah seorang anak buahnya.

   Dan tak berapa lama kemudian, muncul Bharata serta istrinya dalam keadaan terbelenggu.

   Di samping mereka, terlihat dua orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang memegangi keduanya.

   Rangga jadi memelas melihat suami-istri tak berdosa itu.

   "Rangga, pergilah dari tempat ini! Jangan pedulikan kami!"

   Teriak Bharata memperingatkan. Tapi teriakan Bharata segera terhenti, ketika anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di sebelahnya langsung mencekal dan membawa mereka berlalu dari tempat itu.

   "Nah! Kau lihat, bukan? Mereka baik-baik saja...!"

   Lanjut Durganda tersenyum mengejek.

   "Kisanak! Apa maksudmu sebenarnya mengundangku ke sini?"

   Tanya Rangga sambil menahan geram.

   "Maksudku? Hm... Kematianmu!"

   Dengus Durganda garang. Rangga menatap Durganda dengan sorot mata tajam. Dia tak terlalu heran dengan jawaban itu. Apalagi dengan penyambutan yang tak bersahabat tadi.

   "Kisanak! Antara kau dan aku tak pernah ada urusan dendam. Kenapa kau menginginkan kematianku?"

   Tanya pemuda berompi putih itu ingin tahu.

   "Hm... Siapa bilang demikian? Dosamu telah kelewat banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua yang berada di sini pernah berurusan denganmu. Mereka berkumpul di Bukit Tunjang ini untuk membalas sakit hati padamu! Apakah hal itu tidak cukup sebagai alasan untuk menginginkan kematianmu?!"

   Dengus Durganda.

   "Hm... Kini kutahu orang-orang macam apa kalian ini sebenarnya. Ternyata kalian tak lebih dari pengecut-pengecut yang memancing kedatanganku ke sini, dengan menggunakan suami-istri itu sebagai umpannya!"

   Dengus Rangga sambil tersenyum sinis.

   "Bicaralah apa saja yang kau suka. Tapi yang jelas, kau telah masuk perangkap kami. Kau boleh berbangga diri dengan mengatakan kalau datang ke bukit ini secara mudah. Tapi, kini kau tak mempunyai jalan keluarnya!"

   Sahut Durganda dingin.

   "Hm, begitukah...?"

   Sahut Rangga, kalem.

   "Apakah kau ingin bukti?"

   Sahut Durganda menantang.

   Bersamaan dengan selesai kata-katanya, Durganda langsung memberi isyarat pada anak buahnya.

   Maka, sejumlah anak panah kembali melesat ke arah pemuda itu.

   Dan Rangga cepat memutar ranting yang sejak tadi masih dipegangnya untuk menghalau serangan.

   "Hiyaaa...!"

   Trak! Trak...!"

   Sambil membentak nyaring Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati para pemanah.

   Namun sebelum mendekat, mendadak kawan yang lainnya melompat menyerang dengan pedang dan golok dari arah belakang.

   Sementara yang berada di depan, masih terus menghujani anak panah kepadanya.

   "Yeaaa...!"

   Beberapa buah golok dan mata pedang menderu menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

   Kendati sedikit terkesiap, namun Pendekar Rajawali Sakti masih sempat menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke tanah.

   Tubuhnya terus bergulingan sesaat, kemudian melenting ringan ke arah mereka sambil mengayunkan ranting di tangan.

   "Hiiih!"

   Wuk! Wuk Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram.

   Ujung rantingnya terus bergerak menyambar ke arah pengeroyoknya.

   Beberapa orang memang berhasil menghindarinya.

   Sedangkan pengeroyok yang ada di belakang, terpaksa membuat Pendekar Rajawali Sakti menundukkan kepala untuk menghindarinya.

   Tapi dalam keadaan begitu, justru Rangga mampu menyambar beberapa orang dengan rantingnya.

   Cras! Cras! Tiga orang dari kawanan itu kontan memekik kesakitan sambil memegangi perut yang robek akibat serangan ujung ranting yang tajam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

   Pendekar Rajawali Sakti mengamuk dengan pengerahan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

   Kawanan itu kontan dihajarnya tanpa kenal ampun.

   Sehingga ketika ranting di tangannya kembali berkelebat, maka terdengar lagi beberapa orang memekik kesakitan dan langsung ambruk tak berdaya.

   "Yeaaa...!"

   Mendadak di antara hiruk-pikuk para pengeroyoknya, Rangga merasakan angin serangan dahsyat ke arahnya. Maka buru-buru rantingnya diayunkan untuk memapak, tapi... Tes! Tes! "Heh...?!"

   Pemuda itu terkejut ketika melihat rantingnya putus menjadi beberapa bagian, tersambar serangan gelap ke arahnya.

   Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke tanah, dan langsung bergulingan untuk menghindari sambaran senjata tajam yang berhawa racun ke arahnya! *** "Hik hik hik...! Inikah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu? Kau akan mampus di tanganku, Bocah!"

   Terdengar tawa nyaring yang diikuti berkelebatnya sesosok tubuh menyerang gencar Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga tersetak kaget, melihat serangan sosok wanita tua yang kelihatan bukan main-main.

   Nyatanya, sosok yang tak lain Nini Anting itu benar-benar ingin membunuhnya.

   Maka dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', yang mampu membawa tubuhnya berlompatan ke sana kemari! Dalam keadaan diserang begitu, Rangga bahkan harus menghadapi serangan-serangan lain yang tak kalah gencarnya dari para anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Geraham pemuda itu jadi bergemeletuk, menahan geram melihat sambaran pedang yang dipegang salah seorang lawan.

   Seketika tubuhnya direndahkan, seraya menangkis serangan yang mengancam lehernya.

   Plakkk! Dan belum lagi orang itu menyadari, siku Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu mampir diulu hatinya.

   Bugkh! Orang itu kontan terjengkang disertai lenguhan kecil.

   Sementara Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebatan dengan mengganti jurusnya menjadi Sayap Rajawali Membelah Mega' dan 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang dikerahkan secara padu dan bergantian.

   Kedua tangannya tak henti-hentinya mengepak seperti sayap, dan tiba-tiba tubuhnya menukik mencari mangsa.

   Korban-korban kembali berjatuhan di tangan pemuda itu.

   Namun belum lama berselang.

   "Berhenti...!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan dahsyat yang membahana di tempat itu.

   Dan seketika semua pengeroyok Pendekar Rajawali Sakti bergerak mundur dan mengelilingi pemuda itu pada jarak sepuluh langkah.

   Rangga juga menghentikan serangannya seraya mendengus geram.

   Sorot matanya terlihat tajam, ke arah seorang perempuan tua berpakaian rapi dan berpenampilan genit.

   Di tangannya terlihat sepasang pedang pendek.

   Rupanya dialah yang mengeluarkan bertakan tadi.

   "Bocah busuk! Hari ini kau tak akan lolos dari kematian!"

   Geram perempuan tua yang memang Nini Anting dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Siapa kau. Dan, kenapa kau begitu mendendam padaku?"

   Tanya Rangga berusaha bersikap tenang.

   "Phuih! Tidak ingatlah kau dengan si Burisrawa dan Balung Geni yang kau bunuh?! Aku akan menuntut balas atas kematian mereka!"

   Dengus Nini Anting, setelah menyemburkan ludahnya.

   "Hm... Kini aku mengerti...,"

   Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata perempuan tua di depannya.

   "Bagus, kalau memang kau sudah mengerti. Mudah-mudahan kau juga bisa mengerti kalau hari ini kematianmu telah di ambang pintu!"

   Sahut Nini Anting, garang. Sebentar kemudian tangannya memberi isyarat. Dan tiba-tiba, berkelebatlah dua sosok tubuh yang langsung mendarat di samping Nini Anting.

   "Heh?!"

   Rangga agak tersentak melihat dua orang laki-laki tua telah berdiri di depanya.

   Yang seorang berpakaian putih bersih dan rapi.

   Tangannya memegang sebuah kipas, dengan suling berwarna keemasan terselip di pinggang.

   Sementara yang seorang lagi kelihatan kepalanya botak.

   Namun sebenarnya, bagian belakang kepalanya ditumbuhi rambut panjang yang sudah memutih, bajunya lusuh.

   Sementara tangannya memegang tongkat hitam berkepala ular.

   Bahkan didekatnya terlihat ratusan ekor ular melata mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga memang sama sekali tak berpikir adanya jebakan yang dilakukan Tiga Setan Bukit Tunjang ini.

   Namun dia berusaha setenang mungkin.

   Kendati tiga orang tua itu jelas memiliki tingkat kepandaian tinggi, tapi apa boleh buat? "Hm...

   Kalau tak salah, kalian adalah tiga dari Lima Datuk Sesat, bukan?"

   Tanya Rangga, tenang.

   "Ha ha ha...! Ternyata otakmu encer juga, Bocah. Sayang yang dua telah mampus di tanganmu. Kalau tidak, tentu pertempuran ini akan semakin seru. Dan kehadiranmu di tempat ini juga untuk menyusul mereka ke akherat!"

   Sahut orang tua yang berkepala botak, dan tak lain dari Ki Sanca Manuk.

   "Sanca kunyuk sial! Diam kau! Kau pikir aku suka basa basi segala. He, Bocah! Lihat serangan...!"

   Nini Anting yang sejak tadi sudah gemas, tiba tiba langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

   "He, Nenek Peot! Aku pun tak mau ketinggalan untuk mendapat bagian...!"

   Teriak orang tua yang tadi memegang kipas. Dia tak lain dari Ki Sanjaya. Dan laki-laki tua itu sudah melompat menyerang pemuda berbaju rompi putih itu pula.

   "Huh! Enak saja kalian berdua! Aku pun ingin ikut mencicipi sekerat dagingnya untuk anak buahku!"

   Sahut Ki Sanca Manuk seraya menempelkan tongkatnya ke bibir. Dan itu dilakukan sambil menerjang ke arah Rangga.

   "Yeaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti betul-betul kewalahan mendapat tiga serangan sekaligus dari tiga datuk rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.

   Bet! Bet..! Ketiga datuk sesat itu agaknya tak mau kepalang tanggung lagi.

   Dan mereka sudah langsung mengerahkan tingkat kepandaian yang tertinggi untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti.

   Sehingga, dalam waktu singkat saja Rangga sudah terdesak hebat.

   Pertarungan berjalan tak seimbang.

   Namun dengan pengerahan lima dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti"

   Yang dipadukan, sampai saat ini Pendekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan.

   Tampak Nini Anting menyambar senjatanya.

   Pendekar Rajawali Sakti terkejut dan cepat melompat ke belakang.

   Namun pada saat itu tongkat Ki Sanca Manuk menyabet pinggang dan ujung kipas Ki Sanjaya menyambar ke arah leher.

   Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting menghindari serangan.

   Namun tak urung, ujung kipas Ki Sanjaya sempat menyambar dadanya.

   Brettt...! "Akh...!" *** Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika kulit dadanya terluka, lalu mendarat agak jauh dari ketiga lawannya.

   "Hm... Mereka tidak bisa didiamkan terus,"

   Gumam Rangga lalu mengangkat tangannya keatas, memegang gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan tak lama kemudian.... Cring! Seketika sinar biru memancar dari mata pedangnya. Dan bersamaan dengan itu... Seraaang...!"

   Tiga Setan Bukit Tunjang langsung memberi perintah pada anak buahnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menggenggam pedangnya.

   Maka saat itu juga mendesing puluhan anak panah melesat ke arahnya.

   Pendekar Rajawali Sakti cepat berusaha rnengelak sambil memutar-mutar pedangnya yang bersinar biru menyilaukan.

   Maka sekali pedangnya berkelebat, beberapa anak panah rontok di tengah jalan.

   Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak sudah berubah kelam.

   Dengus napasnya juga makin sering terdengar.

   Dan kini sorot matanya tajam bagai elang ketika melihat Tiga Datuk Sesat itu secara bersamaan melesat ke arahnya.

   Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat menyambut serangan ketiga lawannya.

   Dan bersamaan dengan itu pula Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah pada seluruh anak buahnya untuk menyerang.

   Maka bagai bendungan jebol, lebih dari seratus anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menyerbu bagai air bah tumpah.

   Cras! Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan pedangnya ke sana kemari menyambar orang-orang yang mencoba mendekat.

   Cras! Bret! "Aaa...!"

   Pekik kematian mulai membahana ketika beberapa orang langsung terjungkal dengan tubuh berlumur darah tersambar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun bukannya menjadi takut, justru anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang malah semakin nekat saja menyerang.

   Bersamaan dengan itu, Tiga Datuk Sesat itu pun seperti tak mau kehilangan kesempatan untuk menyerang secara bergantian, mencari bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.

   Pada suatu kesempatan, Nini Anting bergerak cepat dari arah belakang, saat Rangga tengah sibuk menghadapi keroyokan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Namun sebelum serangan wanita tua itu mendekat, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga...

   Trang! Cras! "Aaa...!"

   Sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti memang tak dapat dicegah. Maka begitu sepasang pedang Nini Anting remuk tak berbentuk ditebas pedang Pendekar Rajawali Sakti, Rangga terus menyambar perut perempuan tua itu.

   "Nini Anting...!"

   Ki Sanjaya dan Ki Sanca Manuk terkejut setengah mati melihat Nini Anting ambruk ke tanah dengan perut robek mengeluarkan darah.

   Nini Anting kini tak bernyawa, terbujur di antara kaki-kaki mayat orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

   Wanita tua itu memang ceroboh akibat dendam yang memuncak terhadap Pendekar Rajawali Sakti.

   Sehingga tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengetahui serangannya meskipun dalam suasana hiruk-pikuk seperti ini.

   "Bocah keparat, mampuslah kau! Yeaaa...!"

   Ki Sanjaya menggeram.

   Orang tua itu makin bangkit kemarahannya melihat Nini Anting tewas.

   Maka tanpa mempedulikan akibatnya, dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam.

   Maka seketika selarik sinar kuning tua menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

   Melihat hal itu, Rangga buru-buru melenting tinggi ke udara.

   Dan tak lama kemudian...

   Blarrr...! "Aaa...!"

   Akibatnya menggenaskan, justru yang dialami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang, yang berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

   Beberapa orang langsung hancur berantakan diiringi jerit kematian, dihantam pukulan Ki Sanjaya.

   Karuan saja orang-orang itu jadi tercerai-berai.

   "Berkumpul! Serang pemuda itu dengan panah selagi lengah...!"

   Teriak Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah.

   Maka tanpa diperintah dua kali, mereka menunggu kesempatan untuk mengincar kelengahan lawan.

   Sementara itu dengan amarah yang meluap-luap, Ki Sanjaya terus mengumbar pukulan mautnya untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti.

   Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa jatuh bangun menghindari pukulan-pukulan maut lawan yang begitu hebat luar biasa.

   Dan berkali-kali pula tubuhnya terhuyung-huyung akibat angin serangan Ki Sanjaya.

   Dan ketika satu kali pukulan Ki Sanjaya nyaris menyerempet bahu kirinya, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjungkal beberapa langkah.

   Maka saat itulah puluhan anak panah kembali mendesing ke arahnya.

   "Yeaaa...!"

   Twang! Twang! Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara sambil memutar pedangnya untuk menghalau anak panah yang meluncur ke arahnya.

   Trak! Tras! Semua anak panah berhasil dipukul rontok sebelum menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah, saat itu juga Ki Sanjaya serta Ki Sanca Manuk kembali bergerak bersamaan, mengirimkan pukulan maut mereka.

   Dan sebelum pukulan jarak jauh itu mendekat, Pendekar Rajawali Sakti mengusap batang pedang pusakanya dengan telapak kiri.

   Dan bersamaan dengan itu, pedangnya cepat dimasukkan kembali dalam warangkanya.

   Lalu....

   '"Aji Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya yang sudah terselimut cahaya biru sebesar kepala bayi. Maka seketika, melesat cahaya biru ke arah dua cahaya yang hampir menjamahnya. Sebentar kemudian... Glarrr...! "Aaa..! Aaakh...!"

   Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan menyayat begitu tiga jenis cahaya berada pada satu titik.

   Semua orang yang ada di situ kontan tersentak kaget.

   Mereka kini hanya bisa melihat asap hitam mengepul perlahan ke udara.

   Dan sebenarnya, ketiga orang yang tengah bertarung itu terpental jauh Tiga Setan Bukit Tunjang melihat kedua orang datuk sesat itu terselimut cahaya biru waktu terpental tadi.

   Dan ketika tubuh mereka jatuh ke tanah, langsung hancur berkeping-keping seperti daging cincang yang hangus terbakar! Sementara itu keadaan Pendekar Rajawali Sakti sedikit beruntung.

   Berkat tenaga dalamnya yang sudah sangat sempurna, dia terhindar dari kematian.

   Begitu tubuhnya terjungkal ke tanah, dari mulutnya berkali-kali memuntahkan darah kental.

   Kini tubuhnya tergeletak tak berdaya, dengan tenaga terkuras habis.

   Bahkan untuk berdiri saja terasa sulit.

   Beberapa kali dicobanya untuk bangkit, namun saat itu juga kembali terjerembab.

   Pemuda itu merayap untuk menjauhi lawan-lawannya.

   Sementara, melihat kesempatan itu Tiga Setan Bukit Tunjang mendengus sinis.

   "Huh! Sekaranglah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti...!"

   Dengus Durganda.

   "Seraaang...!"

   Teriak Peging Salira memberi perintah. Maka saat itu juga seluruh anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang bersiap memanah pemuda itu. Namun belum juga mereka melepaskan anak panah, tiba-tiba...

   "Aaa...! Aaa...!"

   Mendadak terdengar raungan kematian dari anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Mereka kontan buyar, tertembus anak-anak panah yang entah dari mana datangnya.

   "Heh?!"

   Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget, begitu melihat lebih dari dua ratus orang-orang berseragam prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu.

   "Terus seraaang...'"

   Rangga seperti bermimpi melihatnya. Dari mana datangnya prajurit-prajuti kerajaan sebanyak itu? "Gusti Prabu, maafkan hamba tidak mematuhi perintahmu...!"

   Tiba-tiba terdengar suara seseorang sambil berlutut di hadapannya.

   "Paman Lanang...?!"

   Desis Rangga pelan.

   "Ampun, Gusti. Hamba tidak bisa membiarkanmu sendiri menghadapi bahaya. Jadi, hamba mendatangi tiga kadipaten di wilayah Karang Setra untuk meminta bantuan prajurit-prajuritnya. Ampunkan perbuatan hamba, Gusti Prabu...!"

   Jelas Paman Lanang. Rangga tersenyum mendengar penjelasan itu.

   "Paman, justru aku berterima kasih atas pertolongan kalian...."

   Sahut Rangga lirih. 'Terima kasih, Gusti. Oh! Apakah Gusti Prabu baik-baik saja?!"

   Tanya Paman Lanang cemas.

   "Aku tidak apa-apa, Paman...." 'Tapi..., tapi Gusti Prabu terluka dalam...?!"

   Desis Paman Lanang kembali. Rangga tersenyum.

   "Paman, tolong bawa dan sandarkan tubuhku ini di bawah pohon itu...,"

   Pinta Rangga.

   Dengan sigap Paman Lanang mengerjakan apa yang diperintahkan pemuda itu.

   Kemudian, Rangga duduk bersila dengan tenang sambil mengatur pernapasannya.

   Bola matanya sekilas melirik kepada pasukan kerajaan yang mampu mencerai-beraikan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Banyak di antara mereka yang tewas, dan sisanya melarikan diri.

   Dia yakin, ketiga adipati yang memimpin serangan ini mampu mengatasi Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Dan ternyata, hal itu terbukti karena sebentar kemudian terdengar sorak sorai prajurit-prajurit yang menyatakan kalau Tiga Setan Bukit Tunjang telah tewas! "Gusti Prabu...

   Hamba Adipati Narasoma, menghaturkan sembah.

   Maafkan kedatangan hamba yang terlambat..!"

   Ucap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang tegap, berlutut di hadapan Rangga.

   "Adipati.... Aku menghargai kerjamu. Kau datang tepat waktu dengan prajurit-prajuritmu. Terima kasih...,"

   Sahut Rangga. Kedua adipati lain segera ikut berlutut di samping Adipati Narasoma. Demikian juga prajurit-prajurit kadipaten lain.

   "Paman... Bolehkah seorang raja sedikit berbuat tidak bijaksana...!"

   Tanya Rangga lirih, pada Paman Lanang yang berada di sampingnya.

   "Gusti Prabu.... Menurut hamba, seorang raja adalah manusia biasa juga. Bukankah kodrat manusia itu tidak sempurna?" 'Terima kasih, Paman. Kalau demikian, tolong perintahkan seorang prajurit untuk menemui tabib itu."

   "Dengan senang hati, Gusti...,"

   Sahut Paman Lanang.

   Kemudian laki-laki setengah baya itu memberitahukan Adipati Narasoma yang langsung memerintahkan seorang prajuritnya untuk melaksanakan perintah Gusti Prabu Rangga.

    SELESA1 Scan by Clickers Kembali ke Bagian 5-6 Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan Pisau Kekasih Karya Gu Long Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung

Cari Blog Ini