Sayembara Maut 1
Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Bagian 1
. 171. Sayembara Maut Bag. 1 -4 14. Februar 2015 um 21.48 Pendekar Rajawali Sakti episode. Sayembara Maut Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta "Heaaa...!"
Pagi masih buta.
Suasana yang sunyi dengan kegelapan, mendadak pecah oleh beberapa teriak-an keras dan derap langkah kuda yang berlari bagai dikejar setan.
Burung-burung dan hewan kecil yang baru saja membuka mata, tersentak kaget dan buru-buru bersembunyi.
Dedaunan bergoyang kencang seperti diterabas.
Malah sebagian rontok ketika seorang penunggang kuda menerobos pinggiran hutan kecil ini.
Sementara pada jarak yang tidak terlampau jauh, sekitar lima penunggang kuda lain mengejar dari belakang.
"Heaaa...!"
"Jatmika! Kau kejar dari kanan! Jangan sampai dia lolos!"
Teriak salah seorang pengejar.
"Beres, Kang!"
Sahut seorang pemuda yang di-panggil Jatmika.
Dan dua orang dari mereka segera memutar haluan berbelok ke kanan.
Sedangkan tiga orang tetap mengejar dari belakang.
Yang dikejar adalah seorang pemuda berusia sekitar delapan belas tahun.
Tubuhnya yang sedang terbungkus pakaian merah.
Dan dia juga memakai ikat kepala berwarna merah.
Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang warna emas.
Sebentar-sebentar pemuda berbaju merah itu menoleh ke belakang.
Kemudian kembali kudanya digebah sekencang-kencangnya.
Dan kini pada jarak sekitar sepuluh tombak di depannya, terdapat jalan menikung ke kanan.
Tidak ada pilihan lain baginya.
Bila nekat menerobos hutan, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ke luar dari hutan yang cukup lebat ini.
Jalan satu-satunya memang menikung.
Saat itu juga pemuda berbaju merah ini berbelok ke kanan.
Namun ternyata itu adalah kesalahan besar.
Sebab ternyata dua dari pengejarnya yang tadi mencari jalan pintas, telah menghadang.
"Keparat...!"
Desis pemuda berbaju merah itu geram, menyadari keadaannya yang kini terjepit dari dua arah.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lari lagi, Jaka Dewa!"
Teriak salah seorang penghadang sambil tertawa mengejek.
Sementara itu, pengejar yang tadi dibelakang telah tiba pula di tempat itu.
Dan pelan-pelan mereka turun dari punggung kudanya.
Sedangkan pemuda yang dipanggil Jaka Dewa tetap berada di punggung kudanya.
Dengan sorot tajam, matanya mengawasi mereka dengan seksa-ma.
Tidak ada harapan baginya untuk lolos.
"Turun!"
Bentak seorang laki-laki berusia sete-ngah baya. Jenggotnya tipis, dengan wajah bengis. Agaknya, dialah yang memimpin pengejaran ini.
"Aku tidak berurusan dengan kalian. Kenapa mesti bersusah-payah mengejarku?"
Kata Jaka Dewa, berusaha membela diri.
"Kata Prabu Puntalaksana, kau orang berbahaya! Maka, orang sepertimu mesti disingkirkan,"
Sahut laki-laki setengah baya itu sambil tersenyum enteng.
"Bedebah! Jadi, kalian antek-anteknya Prabu Puntalaksana?!"
Desis Jaka Dewa geram.
"Ha ha ha...! Mestinya kau tidak boleh tahu. Tapi, tidak mengapa. Ajalmu toh sebentar lagi. Dan, tidak ada salahnya aku tidak membuatmu penasaran!"
"Huh! Aku tidak takut mati! Ayo, bunuhlah aku kalau kalian mampu!"
Dengus Jaka Dewa. Sring! Seketika pemuda berbaju merah ini mencabut pedang, siap menghadapi lawan-lawannya.
"Hm.... Boleh juga nyalimu! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu!"
Ejek laki-laki setengah baya itu seraya memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang bertubuh tinggi kurus.
"Baik, Ki Jumeneng! Biar kubereskan bocah ini!"
Sambut laki-laki tinggi kurus itu, langsung melompat dengan pedang terhunus.
"Hati-hati kau, Jarot!"
Ujar laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Jumeneng, mengejutkan.
"Jangan khawatir, Ki!"
Kata laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Jarot, langsung membabat pe-dangnya.
Namun di luar dugaan, Jaka Dewa mendahului dengan sabetan pedangnya.
Akibatnya benturan senjata tak dapat dihindari lagi.
Trang! Begitu habis terjadi benturan, Jaka Dewa berusaha mencari celah dengan mencelat beberapa langkah ke belakang.
Beberapa kali tubuhnya jungkir balik.
"Mau lari ke mana kau, he?!"
Dengus Jarot, langsung mengejar.
"Aku tidak lari ke mana-mana sebelum kalian mampus! Hih!"
Dengus Jaka Dewa begitu menje-jakkan kakinya di tanah. Pedangnya secepat kilat dihunuskan ke lambung Jarot. Sambil meluruk Jarot langsung menangkis. Trang! Kemudian, laki-laki itu memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kilat ke leher.
"Uts...!"
Jaka Dewa cepat menunduk.
Begitu tendangan lewat, dia melompat ke belakang.
Namun, Jarot seperti tidak memberi kesempatan.
Baru saja Jaka Dewa mendarat, tubuhnya telah berkelebat sambil mengibas pedangnya.
Wuttt...! "Uhhh...!" Trang! Jaka Dewa mulai kerepotan walaupun berhasil menangkis serangan Jarot yang bagai terpaan ba-dai.
Dan ketika Jarot terus mencecar, dia hanya bisa mundur atau berkelit.
Pada satu kesempatan, Jarot menyambarkan pedangnya ke leher dengan gerakan cepat bukan main.
Sebisa mungkin, Jaka Dewa coba menunduk.
Namun secepat itu pula Jarot berbalik.
Langsung diayunkannya satu tendangan ke ulu hati.
Duk! "Aaakh...!"
Jaka Dewa menjerit kesakitan begitu tendangan laki-laki tinggi kurus itu berhasil mendarat di ulu hati.
Tubuhnya terjungkal ke belakang lalu jatuh berdebuk keras di tanah.
Dan belum juga dia bisa bangkit, Jarot terus mengejar lewat tendangan berikut.
Dengan sisa kekuatannya, Jaka Dewa segera bergulingan menghindari serangan susulan ini.
Jder! Tendangan Jarot hanya menghantam tanah kosong.
Sementara di luar dugaan, Jaka Dewa kembali bergulingan ke arah lawannya sambil membabatkan pedang ke kaki.
Untung saja laki-laki tinggi kurus itu cepat melenting ke atas.
Kesempatan ini digunakan Jaka Dewa untuk bangkit berdiri.
Namun sayang, dia salah perhitungan.
Karena baru saja bangkit, justru pada saat yang sama Jarot kembali meluruk dengan sambaran pedangnya.
Begitu tepat gerakannya, sehingga....
Bret! "Aaakh...!" *** Jaka Dewa menjerit kesakitan, begitu dadanya tersambar pedang Jarot yang bergerak luar biasa tanpa berhasil ditangkis.
Untung saja sambaran barusan hanya tipis sekali, sehingga hanya menimbulkan besetan yang tak terlalu dalam, walau cukup menimbulkan rasa perih.
Tampak darah mulai merembes di dadanya.
Sambil menekap lukanya, Jaka Dewa mundur beberapa langkah ke belakang.
Sedangkan Jarot sudah mendarat kembali ke tanah.
"Mampus kau, Bangsat! Heaaa...!"
Belum juga Jaka Dewa bersiap, Jarot sudah kembali meluruk dengan tendangan terbangnya disertai teriakan menggelegar. Begitu cepat serangan ini, membuat Jaka Dewa hanya mampu terkesiap. Dan.... Begkh! "Aaakh...!"
Kembali pemuda berbaju merah itu menjerit tinggi begitu tendangan Jarot telak sekali mampir di dadanya.
Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah ke belakang disertai muntahan darah segar.
Dan saat dia berusaha bangkit, Jarot sudah kembali meluruk dengan sabetan pedangnya dari atas ke bawah secara menyilang.
"Hih! Mampus!"
Dengus Jarot. Bret! "Aaa...!"
Jaka Dewa kembali terpekik.
Perutnya kontan robek dibabat pedang laki-laki tinggi kurus itu.
Tubuhnya limbung sebentar, lalu ambruk tertelungkup.
Tampak darah berceceran di sekitar tempatnya jatuh.
Pemuda itu megap-megap tak berdaya.
Namun, kedua tangannya masih coba meraba-raba untuk bangkit dengan merayap pelan-pelan.
"Kuat juga bocah ini! Biar kuhabisi sekalian!"
Dengus Jarot geram.
"Hei! Tidak usah! Tidak perlu mengotori ta-nganmu lagi. Biarkan saja. Dia tidak punya kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama. Biar menjadi santapan anjing hutan!"
Tahan Ki Jumeneng.
"Benar! Begitu lebih baik dan nikmat baginya!"
Timpal Jatmika.
"Mati dikerubuti anjing-anjing hutan yang kelaparan!"
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!"
Ajak Ki Jumeneng. Segera laki-laki setengah baya itu melompat ke punggung kudanya, diikuti yang lain. Sementara Jarot sendiri masih diam di tempatnya. Dia masih penasaran ketika melihat pemuda itu masih bergerak-gerak dengan sisa tenaga yang ada.
"Sudah! Jangan pikirkan dia! Ayo kita pergi!"
Tukas Ki Jumeneng seraya menggebah kuda, diikuti yang lain.
"Heaaa...!" *** Jaka Dewa mengerang kesakitan, menahan ajal. Pikirannya melayang-layang dan ingatannya mulai mengambang. Namun pemuda itu berusaha menguatkan semangat, dan terus menggapai-gapai entah ke mana.
"Ohhh...!"
Mendadak saja, Jaka Dewa merasakan tangannya membentur sesuatu. Sekuat tenaga dia mengarahkan kepalanya untuk melihat benda yang dibenturnya. Ternyata, itu adalah sepasang kaki yang tengah tegak berdiri.
"Si..., siapa...?"
Tanya Jaka Dewa. Seseorang membungkuk dan langsung me-nyambut gapaian tangan Jaka Dewa.
"Apa yang terjadi denganmu, Kisanak? Kenapa kau jadi begini?"
Tanya seorang pemuda tampan yang ternyata berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"To... tolong... ganti... kan... aku da... lam sa-yem... bara...."
"Sayembara apa?"
Tanya pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kro... jowe... tan."
Dahi Rangga berkerut bingung.
"Punta... lak... sa... na... mem... bunuh me... reka...,"
Lanjut Jaka Dewa.
"Cobalah bertahan, Kisanak! Lalu, ceritakan dengan jelas apa yang terjadi?"
Jaka Dewa berusaha memberitahukan lagi. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengatakan se-suatu, namun tidak ada suara yang keluar. Dan kepalanya pun terkulai lemah disertai helaan napas yang terakhir.
"Ahhh...,"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh pendek.
"Dia telah menghembuskan napasnya yang terakhir...."
Rangga coba mengingat-ingat kata-kata Jaka Dewa sebelum tewas.
"Sayembara apa yang dimaksudkannya?"
Gu-mam Rangga bingung.
"Krojowetan? Apa itu? Apa-kah nama sebuah desa, ataukah kadipaten?"
Lama Pendekar Rajawali Sakti tercenung sebelum kemudian menggali tanah dan menguburkan pemuda itu. *** "Boleh numpang tanya, Ki?"
Sapa Pendekar Rajawali Sakti sopan, pada seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun yang ditemuinya di sebuah desa yang tampak ramai oleh pedagang.
Laki-laki setengah baya itu tidak langsung mengiyakan.
Tapi malah memperhatikan Rangga dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Namun sebentar kemudian kepalanya mengangguk lemah.
"Apakah kau akan ikut sayembara?"
Laki-laki itu malah balik bertanya dengan tatapan penuh selidik.
"Sayembara apa?"
Tanya Rangga lagi dengan dahi berkerut.
"Kanjeng Gusti Prabu mengadakan sayembara sejak seminggu yang lalu. Apakah kau tidak tahu? Ah! Tentu saja kau tidak tahu!"
Tutur orang itu menjawab sendiri pertanyaannya.
"Kau tentu orang baru di sini."
Rangga mengangguk.
"Desa Turi Manis ini berada dalam wilayah Ke-rajaan Krojowetan,"
Sahut laki-laki itu.
"Ooo...,"
Rangga mengangguk.
"Siapakah yang menjadi raja di negeri ini?"
"Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa."
"Kalau boleh tahu, siapakah sebenarnya Puntalaksana?"
"Hush! Jangan bicara sembarangan kau, Anak Muda! Kalau ketahuan orang-orangnya, kau bisa dihukum mati!"
Sergah laki-laki setengah baya itu.
"Hm.... Siapa gerangan dia?"
"Dia adalah adik tiri Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa."
Rangga mengangguk-angguk.
"Apakah dia seorang raja yang bijaksana?"
Kejar Rangga.
"Beliau raja yang baik,"
Jawab laki-laki ini.
"Lalu, sayembara apa yang tengah diadakan?"
"Mencari calon pendamping putri beliau."
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk-angguk.
"Kukira sayembara apa...,"
Gumam Rangga dengan senyum hambar.
"Kalau begitu aku permisi dulu, Ki. Terima kasih atas keterangannya. Rangga langsung berbalik tanpa sempat memperhatikan raut wajah heran pada laki-laki setengah baya itu. Kakinya terus melangkah menyusuri jalan utama Desa Turi Manis ini. Desa ini kelihatan aman-aman saja. Dan, tidak kelihatan kalau penduduknya dicekam ketakutan. Berarti, memang tidak terjadi apa-apa di sini. Kalau raja mengadakan sayembara, itu bukanlah hal yang luar biasa. Rangga hampir saja tidak mempedulikan pesan Jaka Dewa seandainya tidak melihat kejadian aneh di depan matanya. Seketika langkahnya berhenti. Dan di depan kedai, dia melihat seseorang ditangkap oleh beberapa prajurit kerajaan. Sementara orang-orang yang melihat tidak berani memberi bantuan. Pendekar Rajawali Sakti cepat melangkah kembali, mendekati seorang laki-laki tua di depan sebuah kedai lain.
"Siapakah orang itu, Ki? Kenapa dia ditang-kap?"
Tanya Rangga.
"Entahlah. Kudengar dari orang-orang, dia salah seorang peserta sayembara,"
Sahut laki-laki tua ini.
"Kenapa dia ditangkap?"
Kejar Rangga.
Tanpa memberi jawaban lagi.
Laki-laki tua ini buru-buru menjauh seperti ketakutan.
Dan Rangga jadi heran.
Dicobanya bertanya pada yang lain, namun tak seorang pun yang berani menjawab.
Rata-rata mereka tidak mau berurusan atau membicarakan kejadian sekarang.
Dan ini membuat pemuda itu jadi semakin heran.
"Ada apa sebenarnya?"
Tanya Rangga bingung.
Dengan penasaran Pendekar Rajawali Sakti mengikuti rombongan prajurit yang sudah menggiring buruannya meninggalkan desa ini.
Ternyata para prajurit itu tidak langsung menuju jalan utama yang menghubungkan ibukota kerajaan.
Dan ini semakin membuat kening Rangga berkerut.
Sementara itu, sepuluh prajurit kerajaan terus menyeret-nyeret seorang pemuda berbaju kuning yang tadi ditangkap di dalam kedai.
Sebentar-sebentar pemuda itu berusaha berdiri, namun tak lama terjerembab jatuh.
Dengan kedua tangan terikat dan ditarik seseorang, tidak banyak yang bisa dikerjakannya.
"Keparat terkutuk! Aku tidak melakukan apa-apa. Kenapa kalian menangkapku?!"
Teriak pemuda itu.
"Tutup mulutmu! Kau mencuri benda kerajaan. Maka, hukumanmu mati!"
Sahut seorang prajurit.
"Dusta! Aku tidak pernah mencuri apa pun dari kerajaan!"
Tukas pemuda itu.
"Kau boleh membantahnya setelah di akhirat Sana!"
"Kalian tidak bisa memperlakukanku begini! Aku akan meminta keadilan pada Kanjeng Gusti Prabu!"
Rutuk pemuda ini.
"Kau akan minta keadilan pada Kanjeng Gusti Prabu? Bagaimana caranya? Setelah kepalamu menggelinding? "
"Phuih! Terkutuk!"
Maki pemuda itu seraya meludahi muka prajurit di dekatnya. Tentu saja hal ini membangkitkan amarah prajurit. Sehingga.... Plak! Duk! 'Aaakh...!"
Para prajurit itu langsung melepaskan bogem mentah. Pemuda ini menjerit kesakitan dengan muka berkerut menahan rasa sakit.
"Mau mampus sekarang, he?!"
Dengus prajurit lain sambil menghapus air ludah di wajahnya.
"Chuih! Apa kau kira aku takut dengan jaha-nam busuk seperti kalian?!"
"Bagus. Tempat ini cukup jauh dari keramaian. Kau akan mampus. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mepemukan mayatmu!"
Desis prajurit lain ketika mereka telah tiba di pinggiran hutan.
"Iblis terkutuk! Kalian tidak akan selamat! Meski aku mati, tapi arwahku akan datang mence-kik kalian!"
Dengus pemuda itu.
"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau mela-kukannya? Sedang bersama jasadmu saja, kau tak berkutik. Apalagi arwahmu?!"
Ejek prajurit itu.
"Sudah! Jangan banyak ribut! Bereskan saja dia sekarang. Dan, tugas kita cepat selesai!"
Ujar seorang prajurit lain.
"Ya. Tidak usah banyak bicara lagi!"
Timpal yang lain.
"Kau dengar itu? Kawan-kawanku agaknya tidak sabar ingin membereskanmu. Nah, bersiaplah!"
Kata prajurit yang agaknya bertindak sebagai kepala rombongan yang bicara pada si pemuda. Sring! Kepala prajurit itu mencabut pedang, siap menebas leher korbannya. Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak berkelebat satu bayangan putih.
"Hei?!"
Plak! "Aaakh...!"
Belum sempat prajurit menghilangkan rasa terkejutnya mendapati satu sosok bayangan yang berkelebat ke arahnya, tahu-tahu tangannya yang menggenggam pedang terpental.
Sementara pedangnya sendiri sudah berpindah ke tangan sosok bayangan putih itu.
Suara keluhan tertahan langsung meluncur, merasakan tangannya yang mendadak lunu.
Belum sempat prajurit lain berbuat sesuatu, bayangan putih itu terus menyambar tubuh pemuda berbaju kuning dengan gerakan cepat luar biasa, lalu berkelebat menerobos kebun penduduk di pinggiran desa ini.
Tak seorang prajurit pun yang mampu mengejar, karena mereka masih terpaku dengan wajah kebodoh-bodohan.
Mereka baru tersadar ketika bayangan putih tadi sudah tak terlihat lagi, membawa pemuda berbaju kuning yang tadi siap dibantai.
*** "Kau baik-baik saja, Kisanak?"
Sapa pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, dialah yang menyelamatkan pemuda berbaju kuning yang siap dibantai oleh beberapa prajurit di pinggiran Desa Turi Manis tadi.
Pemuda berbaju kuning sendiri tak mampu berpikir, apa yang terjadi padanya.
Dalam keadaan begini, bahkan kelopak matanya tak berani dibuka.
Dalam keadaan terbaring di pinggiran hutan, dia hanya memandang kosong pada penolongnya.
"Eh! Aku..., oh! Ya, aku baik-baik saja...!"
Sahut pemuda berbaju kuning ini.
"Siapa namamu?"
Tanya Rangga.
"Kertapati...!"
Jawab pemuda berbaju kuning yang mengaku bernama Kertapati.
"Apa kesalahanmu, sehingga para prajurit itu menangkap dan hendak membunuhmu?"
Kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka menuduhku mencuri barang kerajaan. Padahal, sumpah! Aku tidak melakukannya!"
"Mestinya mereka membawa ke istana dan ditanyai lebih dulu. Tapi, kenapa mereka malah akan menghukum mati?"
"Entahlah, aku sendiri bingung. Mungkin ada hubungannya dengan keikutsertaanku dalam sayembara itu...,"
Sahut Kertapati, tak pasti.
"Kau ikut dalam sayembara itu?"
Kertapati mengangguk.
"Apa karena keikutsertaanmu dalam seyemba-ra, sehingga mereka hendak membunuhmu?"
"Aku tidak yakin. Tapi kudengar samar-sa-mar...,"
Kertapati tidak melanjutkan ceritanya. Pemuda berbaju kuning ini memandang curiga pada Rangga. "Kenapa?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Eh, tidak! Tidak apa-apa. Aku..., aku berte-rima kasih atas pertolonganmu,"
Kilah Kertapati.
"Hm, ya...."
"Eee.... Kalau tak ada kepentingan lain, boleh-kah aku melanjutkan perjalanan?"
Cetus Kertapati. Pendekar Rajawali Sakti diam saja tak menjawab. Dan Kertapati bergegas bangkit berdiri. Lalu kakinya segera melangkah agak tergesa-gesa. Sesekali matanya melirik ke arah Rangga dengan sikap takut-takut.
"Kalau kau menyangka aku orangnya PrabuPuntalaksana, maka kau salah duga!"
Kata Rangga seperti berkata pada diri sendiri, seraya bangkit berdiri. Dan ternyata kata-kata Pendekar Rajawali Sakti berpengaruh. Kertapati langsung berhenti melangkah. Kemudian tubuhnya berbalik, dan menatap Rangga dengan sorot mata masih curiga.
"Siapakah kau sebenarnya?"
Tanya Kertapati.
"Aku orang asing di sini. Kudengar, ada sedikit yang tak beres di negeri ini. Mungkin aku orang usil. Tapi seseorang yang tengah sekarat meminta pertolongan padaku,"
Jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa orang itu?"
Tanya Kertapati lagi.
"Aku tidak sempat menanyakan namanya. Tapi, dia peserta sayembara. Oh, ya. Bagaimana kau dengan sayembara itu?"
"Aku gagal...,"
Desah Kertapati, dengan kepala tertunduk.
"Gagal...?"
Ulang Rangga.
"Ya, gagal...!"
Kertapati tersenyum pahit.
"Apa saja yang sebenarnya disayembarakan?"
"Cuma tiga. Yang pertama, memanah burung rumpit yang terbang amat gesit. Yang kedua melawan raksasa-raksasa istana. Mereka kuat dan perkasa. Tenaganya sama dengan dua ekor gajah. Dan yang ketiga, memasuki rumah bersusun tiga belas. Di dalamnya banyak terdapat jebakan tidak terduga. Rata-rata peserta sayembara hanya mampu melewati tahap kesatu. Kalaupun mampu melewati tahap kedua, mereka tidak akan lolos di tahap ketiga,"
Jelas Kertapati. Rangga mengangguk.
"Lalu, apa hubungannya dengan Prabu Puntalaksana?"
Desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah. Sepertinya beliau tak ingin ada yang memenangkan sayembara ini,"
Desah Kertapati.
"Kenapa?"
"Kudengar beliau ingin mengawini putri Kanjeng Prabu Kuntadewa dan menjadi raja di negeri ini."
Kembali Rangga mengangguk.
"Banyakkah peserta sayembara itu?"
"Kanjeng Ayu Sekar Arum seorang gadis cantik tiada tara. Sehingga, pemuda mana yang tidak terpesona? Dengan adanya sayembara ini, hampir semua laki-laki dari pelosok negeri, baik kaum bangsawan maupun rakyat jelata, berbondong-bondong mengikutinya. Tapi belakangan ini jumlah mereka menurun banyak...."
"Kenapa?"
"Selain banyak yang tewas, juga mereka takut akibatnya. Kebanyakan peserta sayembara hilang tak tentu rimbanya. Mungkin seperti yang kualami, mereka dibunuh diam-diam atau dipenjara,"
Duga Kertapati, masygul.
"Hm.... Menarik juga,"
Gumam Rangga.
"Kalau kau hendak mengikuti sayembara itu, sebaiknya hati-hati. Atau kalau perlu, sebaiknya urungkan saja niatmu. Sebab sampai saat ini tidak ada seorang pun peserta sayembara yang kembali ke rumah dengan selamat. Aku mungkin termasuk yang beruntung. Namun, kalau kau tidak menolongku, maka nasibku tidak ada bedanya,"
Papar pemuda berbaju kuning itu menasihati.
"Ya. Terima kasih atas nasihatmu,"
Ucap Rangga.
"Kalau memang tidak ada hal yang penting lagi, maka aku mohon diri,"
Pamit Kertapati. Rangga mengangguk.
"Jaga dirimu baik-baik, Kertapati!"
Pemuda berbaju kuning ini mengangguk, kemudian berjalan ke arah barat.
Sementara Rangga hanya memandangi sampai Kertapati tak terlihat lagi.
Baru setelah itu tubuhnya berkelebat ke arah ibukota Kerajaan Krojowetan, di mana Prabu Kuntadewa berkuasa.
*** Matahari belum terlalu condong ke barat ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di ibukota Kerajaan Krojowetan.
Suasananya masih terlihat ramai.
Di beberapa penjuru tempat terlihat beberapa prajurit kerajaan tengah berjaga-jaga.
Ada umbul-umbul dan bendera berwarna-warni di sepanjang jalan menuju pintu gerbang istana.
Rangga cepat melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang utama istana, menemui dua orang penjaga yang juga langsung mencegatnya.
"Apa keperluanmu, Anak Muda?"
Tanya penjaga yang berbadan tegak dengan pandangan penuh menyelidik.
"Aku ingin ikut sayembara...,"
Sahut Rangga, merendahkan diri.
"He he he...! Cari mati barangkali pemuda itu!"
Celetuk prajurit satunya yang berbadan gemuk.
Prajurit yang berbadan tegap ikut tertawa, lalu segera mempersilakan Rangga masuk.
Sementara Rangga pura-pura tidak mempedulikan, dan segera berjalan santai bersama prajurit itu, ke arah dua prajurit piket bagian pendaftaran peserta sayembara.
"Selamat sore! Aku bermaksud mendaftar sebagai peserta sayembara!"
Ucap Rangga, ketika tiba di depan dua petugas pendaftaran. Sementara prajurit yang mengawalnya telah berbalik ke tempatnya semula.
"Siapa namamu?"
Tanya salah seorang petugas, seraya memandang Rangga dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Rangga...."
"Kau yakin akan ikut sayembara?"
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk. Petugas berkumis tebal itu diam sebentar. Kembali diperhatikannya pemuda itu dengan seksama sebelum mengangguk.
"Baiklah. Anak buahku akan mengurus segala sesuatunya...."
Laki-laki berkumis itu berbisik sebentar pada seorang laki-laki lain yang ada di sebelahnya.
Orang yang dibisiki mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri.
Dan Rangga kemudian diajak ke samping istana.
*** "Ini kamarmu.
Semua peserta sayembara dibe-rikan kamar masing-masing...,"
Tunjuk petugas yang mengantar Rangga ke ruang penginapan di samping istana.
"Aku tidak melihat yang lainnya?"
Tanya Rangga dengan kening berkerut. Prajurit itu tersenyum.
"Karena mereka tak ada!"
Sahut petugas itu, singkat. 'Tidak ada? Kenapa? Kudengar banyak sekali pesertanya!"
"Tak seorang pun yang berhasil!"
Sahut petugas itu, singkat. Rangga mengangguk.
"Kapan aku diuji?"
Tanya Rangga lagi.
"Besok pagi. Bersiaplah. Sekarang kau boleh beristirahat dengan tenang."
Prajurit itu hendak pergi, namun Rangga cepat mencekal pergelangan tangannya.
""Tidak enak kalau tiada seorang pun yang ku-kenal. Siapa namamu? Barangkali kita bisa menjadi kawan akrab,"
Kata Rangga, seraya melepas cekalannya.
"Ragil...!"
Sehabis berkata demikian, prajurit itu angkat kaki dengan sikap kaku.
Dia kelihatan tidak peduli terhadap tawaran baik Rangga.
Bahkan terkesan tidak mau terlalu banyak bicara.
Rangga segera masuk ke ruangan.
Dia terme-nung memandang ke segala sudut kamar kecil ini.
Cuma ada sebuah ranjang dan meja yang di atasnya terdapat guci berisi air minum.
Juga tampak sebuah lemari di pojok ruangan.
Selebihnya dua buah jendela yang menghubungkan kamar ini dengan pekarangan.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas kemudian duduk bersila di tempat tidur untuk memusatkan pikiran dan mempertajam pendengaran.
Saat ini senja telah berlalu.
Dan malam pun merayap perlahan-lahan namun pasti.
Di luar, masih terdengar gelak tawa para prajurit jaga.
Namun pemuda itu seperti tidak terusik, dan tetap pada sikapnya semula.
"Hm....!"
Rangga bergumam pendek dengan kening berkerut. Set! Set!"
"Heh?!"
Walaupun sudah menduga, tak urung Rangga tersentak kaget ketika melihat beberapa benda kecil berkilatan, tepat ke arah dada kirinya. Halus sekali laksana jarum.
"Epuuh!"
Seketika Rangga meniup disertai pengerahan tenaga dalam.
Maka kurang lebih lima buah benda yang ternyata jarum halus rontok ke lantai.
Set! Kembali meluncur beberapa buah jarum dari jendela di depan Rangga.
Pemuda itu tidak berge-ming, dan hanya melambaikan tangan.
Wesss! Seketika serangkum angin kencang menyambar jarum-jarum itu, dan kembali merontokkannya.
Bruak! "Hih!"
Baru saja Rangga meletakkan tangannya kembali ke pangkuan, mendadak sesosok tubuh menyeruak dari jendela, langsung berkelebat cepat ke arahnya dengan sebuah sambaran senjata tajam. Wut! Bet! "Uts!"
Dengan gerakan indah bukan main, Pendekar Rajawali Sakti melenting dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Dan dengan ilmu meri-ngankan tubuh yang sudah sangat tinggi, tubuhnya kembali melayang turun seraya mengayunkan tendangan ke arah sosok yang menyerangnya.
"Hih!"
"Hup!"
Secepat kilat sosok berbaju hitam yang wajahnya tertutup selubung kain hitam itu melompat ke belakang.
Dan begitu menjejak lantai tubuhnya kembali meluruk dengan pedang berkelebat-kelebat cepat laksana kitiran.
Rangga yang baru saja mendarat di lantai terpaksa melompat ke belakang merapat ke dinding.
Lalu tubuhnya dibuang ke lantai dan bergulingan.
Begitu bangkit berdiri disambarnya guci di meja.
"Hih!"
Seketika Rangga menghantamkan guci ke kepala.
Namun dengan cepat sosok berpakaian serba hitam itu memapaknya.
Prak! Guci itu hancur berantakan dihantam kepalan kiri.
Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan satu tendangan keras ke perut.
Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Mantap sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perut sosok berbaju serba hitam.
Orang itu langsung terpental disertai jeritan kesakitan ke arah dinding dekat jendela.
Namun begitu tubuhnya menabrak dinding, dia langsung bangkit.
Dan secepat kilat, diterobosnya jendela itu, lalu berkelebat keluar.
Kabur! Baru saja Rangga hendak mengejar, tiba-tiba pintu ruangan ini terdobrak.
Pendekar Rajawali Sakti cepat berbalik, dan tampaklah beberapa prajurit memasuki ruangan ini. *** "Apa yang terjadi, Kisanak?"
Tanya seorang prajurit.
"Tidak ada apa-apa,"
Sahut Rangga, kalem.
"Keributan tadi?"
Cecar prajurit ini.
"Aku bermimpi buruk hingga terjatuh dari tempat tidur,"
Kilah Rangga, berdusta.
Prajurit itu tertegun sambil melongokkan kepala ke dalam.
Tapi cuma sebentar.
Kemudian kepalanya mengangguk dan meninggalkan tempat ini bersama dua kawannya, setelah menutup pintu yang tidak sampai jebol akibat didobrak tadi.
Rangga menghela napas.
Dikuncinya jendela, dan kembali duduk di tempat tidur seraya meng-amati jarum-jarum yang berserakan.
"Hm.... Ini bukan sembarang jarum. Ini senjata rahasia yang mengandung racun...!"
Gumam Rangga lirih.
"Siapa pun orang bertopeng hitam itu, pastilah bukan orang sembarangan."
Sementara ini, malam terus bergulir semakin jauh.
Di luar, sudah tampak sepi.
Hanya suara serangga malam saja yang keluar.
Beberapa prajurit penjaga tampak terkantuk-kantuk di tempatnya.
Di dalam kamarnya, Rangga perlahan-lahan bangkit.
Sebentar kepalanya mendongak ke atas, lalu....
"Hup!"
Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Sakti melayang, lalu mendarat dicagak-cagak wuwungan ruangan ini.
Dibukanya beberapa buah genteng, lalu tubuhnya menelusup keluar lewat lubang genteng yang dibuatnya.
Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh dan mengetrapkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti mulai menyusuri atas bangunan.
Tubuhnya terus berkelebat, melompat dari satu bangunan ke bangunan lain.
Istana Krojowetan ini tidak begitu luas, tapi juga tidak bisa dibilang kecil.
Selain bangunan utama berukuran cukup besar, juga terdapat bangunan-bangunan lain yang sedikit lebih kecil.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengendap-en-dap dan melompat ke bangunan yang di atasnya terdapat sebuah menara kecil.
"Mudah-mudahan ini bangunannya...,"
Gumam Rangga, begitu sampai di bangunan yang di-maksud.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti membuka sebuah genteng, mengintip ke dalam.
Ada dua prajurit yang berjaga di depan pintu sebuah ruangan.
Pemuda itu menutupnya, lalu membuka genteng yang lain.
Kali ini dia mengintip ruangan yang dijaga ketat tadi.
"Bodoh...!"
Terdengar bentakan yang cukup keras di bawah sana.
Dan Rangga segera mengamati dengan seksama.
Tampak seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus duduk pada sebuah kursi rotan.
Di kanan kirinya tegak berdiri empat pengawal.
Melihat pakaiannya yang indah, tentulah orang itu termasuk golongan bangsawan.
Agaknya, dialah yang barusan mengumpat.
Wajahnya kelihatan kusut dan kesal.
Sementara di depannya berlutut seorang laki-laki agak gemuk dan pendek dengan kepala tertunduk.
"Kau tak mampu membereskan seorang saja, Anabrang?!"
Bentak laki-laki setengah baya itu lagi.
"Dia bukan orang sembarangan, Kanjeng Prabu...,"
Kilah laki-laki agak gemuk yang dipanggil Anabrang.
"Goblok! Jangan sebut kata itu di depanku. Aku tidak ingin dengar alasanmu. Bocah itu harus dibereskan. Kau mengerti?! Agar tak ada lagi orang yang berani coba-coba mengikuti sayembara ini!"
Laki-laki bernama Anabrang itu mengangguk.
Sementara di atas, Rangga mengamati dengan lebih seksama.
Dan dia melihat, tidak jauh dari laki-laki bangsawan itu duduk pula seorang wanita tua bertubuh kurus memegang tongkat besar.
Pakaiannya pun bagus.
Dia didampingi dua pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun.
"Jangan begitu keras padanya, Puntalaksana. Berilah dia kesempatan. Mungkin pikirannya tengah kacau...!"
Ujar perempuan tua itu dengan suara halus. 'Tapi, Nyai...."
"Sudahlah. Biar aku yang menanyainya!"
Po-tong perempuan tua ini. Lalu diberinya isyarat pada Anabrang. Lelaki yang tengah berlutut itu beringsut ke depan perempuan tua ini. Tubuhnya membungkuk dua kali, kemudian diam tertunduk.
"Ada apa, Anabrang? Kenapa kau tidak mampu membereskan bocah itu?"
"Ampun, Nyai Saptaningrum! Hamba telah berusaha. Namun anak muda itu memang tidak bisa dibuat main-main,"
Ucap Anabrang.
"Apa kelebihannya sehingga dia mampu meng-gagalkan rencanamu?"
Tanya perempuan tua yang bemama Saptaningrum ini.
"Entahlah, Nyai. Pemuda itu mampu melum-puhkan jarum-jarum beracun yang kulepaskan. Kelihatannya mudah sekali. Bahkan dia berhasil menghajarku. Aku tidak bisa meneruskan, sebab beberapa prajurit bergegas mendatangi tempat itu,"
Jelas Anabrang.
"Apakah dia mengikutimu?"
Tanya Nyai Saptaningrum.
"Kelihatannya tidak, Nyai...."
"Kau teledor, Anabrang. Kalau kau katakan dia hebat, Anak Muda itu pasti tidak akan mendiamkan kejadian ini. Dia berusaha mengikutimu!"
Anabrang terlongong bengong. Keningnya berkerut, heran dengan ucapan Nyai Saptaningrum.
"Tapi, Nyai. Hamba tidak langsung ke sini, me-lainkan mengawasinya. Dan hamba lihat jelas dia tidak mengikuti,"
Jelas Anabrang, berusaha meya-kinkan.
"Kau yakin?"
"Hamba yakin, Nyai!"
Wanita tua itu tersenyum.
"Aku tidak menyalahkanmu, Anabrang. Seperti yang kau katakan, bocah itu memang memiliki kepandaian hebat. Kau bukan tandingannya. Dia cerdik dan tak mau membuat keributan. Padahal, sesungguhnya dia mengikutimu,"
Ungkap Nyai Saptaningrum dengan senyum sinis.
"Oh! Apa maksudmu, Nyai?!"
Tanya Anabrangdengan wajah kaget.
"Maksudku, setidaknya dia berusaha mengikutimu dan mencari tahu apa maksudmu menye-rangnya. Coba lihat!"
Setelah berkata begitu wanita tua ini menghentakkan tangan kirinya.
"Hih!" *** Seketika, serangkum angin kencang menderu ke arah Rangga yang saat ini masih berada di atas atap, mengintip. Bruak! Genteng itu langsung hancur berantakan, namun Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat lebih dulu. Agaknya tindakan Rangga pun tidak luput dari perhatian wanita tua ini.
"Kejar!"
Teriak Nyai Saptaningrum.
Saat itu juga, beberapa prajurit bergerak keluar mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
Dan Nyai Saptaningrum sendiri melompat ke atas, menerobos genteng yang rusak tadi.
Tubuh-nya meluncur ringan, dan menjejakkan kaki di wuwungan.
Matanya memandang ke sekeliling tempat, namun tidak terlihat sesuatu pun yang mencurigakan.
"Cari di sekitar tempat ini! Aku yakin dia belum jauh!"
Ujar perempuan tua ini pada para prajurit yang berjaga-jaga di bawah.
"Baik, Nyai!"
Wanita tua itu sendiri melompat ke selatan melewati atap dengan mata tajam beredar ke sekeliling tempat. Kemudian tubuhnya melayang turun di depan sebuah pintu. Beberapa prajurit menghampiri dan menjura hormat.
"Siapa yang berada di kamar ini?"
Tanya Nyai Saptaningrum.
"Seorang peserta sayembara, Nyai!"
Sahut salah seorang prajurit.
"Hm.... Ketuklah pintunya. Aku ingin berte-mu."
"Baik, Nyai!"
Seorang prajurit mengetuk pintu, tak lama dari dalam menyembul seraut wajah pemuda tampan yang tak lain Rangga sambil tersenyum membukakan pintu.
"Oh, Prajurit! Ada apa gerangan malam-malam begini?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Seseorang ingin bertemu denganmu,"
Sahut prajurit. Dan prajurit ini lantas menunjuk kepada nyai Saptaningrum.
"Hem.... Nyisanakkah yang ingin bertemu de-nganku?"
Tanya Rangga, setelah, melempar pan-dangan ke arah wanita tua ini.
"Ya!"
Sahut Nyai Saptarungrum singkat.
"Ada apa gerangan?"
Tanya Rangga sopan setelah memberi salam hormat.
"Kau tidak apa-apa?"
Nyai Saptaningrum balik bertanya.
"Tidak. Eh, mengapa?"
"Seseorang lari ke arah sini. Kau yakin tidak melihat sesuatu?"
Tanya wanita itu dengan tatapan menyelidik.
"Aku tertidur pulas dan mimpi indah, sehingga tak tahu apa yang tengah terjadi. Apakah ini suatu kesalahan?"
"Siapa namamu?"
Tanya Nyai Saptaningrum tanpa mempedulikan pertanyaan Pendekar Raja-wali Sakti.
"Rangga. Kalau boleh kutahu, siapa gerangan Nyisanak?"
"Beliau penasihat panglima perang,"
Seorang prajurit menyahuti. Rangga mengangguk.
"Kau peserta sayembara itu?"
Tanya Nyai Saptaningrum lagi.
"Benar, Nyai,"
Sahut Rangga, datar.
"Dari mana asalmu?"
"Aku? Eh..., dari timur!"
Dahi wanita tua itu berkernyit. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia segera berlalu diikuti tiga prajurit yang menyertainya tadi.
"Perempuan aneh...!"
Desis Rangga sambil menggeleng lemah dan kembali masuk ke kamar-nya. Rangga tersenyum-senyum kecil sambil menu-tup pintu, lalu kembali berbaring di ranjang. Dan baru saja otot-ototnya dilemaskan di ranjang....
"Heh?!"
Rangga tersentak ketika terdengar sesuatu bergerak-gerak dari arah jendela. Namun dia diam saja dan pura-pura tak tahu, walaupun kewaspadaannya terus terjaga.
"Kisanak...!"
Terdengar suara panggilan dari luar jendela secara berbisik.
"Siapa?"
Tanya Rangga bergegas bangkit, dan melangkah menuju jendela.
"Aku utusan Kanjeng Ayu Sekar Arum!"
Sahut seseorang dari luar. Dahi pemuda itu berkernyit.
"Sekar Arum?"
Gumam Rangga.
"Ada surat untukmu. Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Setelah dibaca, musnahkanlah!"
Kata suara itu lagi.
Dan dari sisi jendela yang sedikit terbuka meluncur segulungan kulit tipis.
Rangga menangkapnya, lalu mengintip keluar dengan hati-hati.
Tampak seseorang berkelebat cepat menjauhi tempat ini.
Perlahan-lahan Rangga membuka surat itu, lalu dibacanya.
Kisanak, hati-hati! Jaga dirimu baik-baik.
Atau..., mungkin lebih baik kau mengundurkan diri dari sayembara ini.
"Hm....
Surat ini tanpa nama si pengirim...,"
Gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengamat-amati surat ini beberapa kali.
Ditandainya lekuk-lekuk serta guratan-guratan kata-kata dalam surat ini.
Setelah hafal betul, diremasnya dengan mengerahkan tenaga dalam.
Seketika surat itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak mungkin dapat dibaca lagi.
"Aku memang mesti berhati-hati kepada siapa pun. Tidak terkecuali, kepada putri itu sendiri. Ini soal yang tidak bisa dipandang enteng...,"
Lanjut Pendekar Rajawali Sakti, kembali menghampiri Rangga.
Tubuhnya lantas berbaring ringan.
*** Sejak pagi tadi Pendekar Rajawali Sakti telah bersiap-siap menjalani sayembara pertama.
Dan baru saja dia menghabiskan sarapannya, seorang prajurit muncul di ruang tempatnya menginap.
"Sayembara akan dimulai!"
Kata salah seorang prajurit, memberi tahu.
"Baiklah,"
Sahut Rangga seraya beranjak.
Rangga segera mengikuti prajurit itu.
Sebentar saja, mereka telah tiba di halaman istana yang telah dipenuhi barisan prajurit yang membuat sebuah lingkaran besar.
Di salah satu sudut lingkaran, duduk seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun.
Jenggotnya pendek.
Kepalanya dihiasi mahkota bertatahkan permata indah.
Begitu tiba di tengah lingkaran, Pendekar Rajawali Sakti langsung menjura hormat.
"Salam hormat hamba, Kanjeng Gusti Prabu!"
Ucap Rangga.
Laki-laki setengah baya yang tak lain Prabu Kuntadewa merentangkan tangan sambil melambai ke arahnya untuk menyambut salam hormat Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian pemuda itu pun memberi hormat kepada gadis cantik di sebelah Gusti Prabu.
Apa yang didengarnya memang tidak salah.
Gadis ini laksana bidadari yang turun dari kahyangan.
Lalu berturut-turut Rangga memberi hormat kepada seorang laki-laki setengah baya yang dilihatnya semalam.
Di sebelah laki-laki itu, duduk wanita tua membawa tongkat besar yang cukup panjang.
Dialah Nyai Saptaningrum yang menemuinya semalam.
Seorang prajurit bertubuh besar berteriak lan-tang, memberitahukan apa yang mesti dikerjakan Rangga.
Kemudian dua prajurit membawa nampan besar yang berisi busur serta tiga batang anak panah.
Rangga segera mengambilnya, kemudian memandang kepada seorang prajurit yang tengah membawa sangkar burung.
Sementara, dua prajurit lain di dekatnya juga membawa sangkar burung.
"Kau mempunyai kesempatan tiga kali untuk memanahnya. Kalau gagal, maka langsung gugur!"
Jelas prajurit berbadan besar tadi. Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.
"Kau siap?"
"Ya!"
Seketika prajurit itu memberi isyarat pada kawannya untuk melepaskan burung dalam sang-kar.
Sementara Rangga siap dengan anak panah.
Namun entah kenapa, sampai burung itu terbang dari sangkarnya, dia tidak juga melepaskan anak panah.
Semua yang melihat kejadian itu menerta-wakannya.
Bahkan menganggap pemuda itu pasti tak akan mampu melakukannya.
Namun di antara mereka ada juga yang merasa khawatir akan keberhasilan Pendekar Rajawali Sakti.
Dia adalah Nyai Saptaningrum yang sama sekali tidak memandang enteng pemuda itu.
"Apakah kau kira dia mampu memanah burung itu, Nyai?"
Tanya Prabu Puntalaksana.
"Dia mampu!"
"Lalu, kenapa dia diam saja dan tidak berusaha melepaskan anak panahnya?"
"Dia bukan orang sembarangan, Punta. Kau lihat! Dia tidak mau melepaskan anak panah sembarangan. Sebelum tahu betul apa yang akan dipanahnya. Kau lihat, bukan? Dia memperhatikan burung itu dengan seksama,"
Papar wanita tua ini.
"Apa maksudnya?"
Tanya Prabu Puntalaksana lagi.
"Dia memperhatikan cara terbang burung itu, arah yang ditempuhnya, dan gerakan yang dibuat,"
Jelas Nyai Saptaningrum.
Prabu Puntalaksana mengangguk kecil.
Sedikit merasa tidak yakin.
Tapi apa yang dikatakan perempuan tua itu agaknya mendekati kebenaran.
Sebab pada giliran kedua, kelihatannya pemuda itu lebih mantap dan percaya diri.
Busurnya telah ditarik ketika sangkar burung hendak dilepas.
"Yak!"
Seorang prajurit memberi aba-aba, maka burung kecil sebesar jempol kaki itu melesat bagai kilat.
Meliuk-liuk di angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayapnya dengan lincah.
Pada saat itu Pendekar Rajawali Sakti dengan cepat melepas anak panah.
Set! Crab! Seketika burung kecil itu berhenti terbang dan langsung terbawa luncuran panah.
Dan ketika daya luncurannya habis, burung yang terpanggang anak panah melayang deras ke bawah.
"Heh?!"
Orang-orang yang menyaksikan kejadian ini terperangah heran.
Entah mengapa pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan anak panahnya tidak mengikuti gerakan burung.
Dia bahkan memanah ke tempat lain, namun dengan perkiraannya bahwa arah itu akan dilalui burung itu dalam waktu yang telah diperhitungkan secara matang.
Sementara anak panah meluncur cepat, tepat saat burung kecil itu lewat.
Dan....
Crab! Seketika burung kecil itu berhenti terbang dan langsung terbawa luncuran panah.
Dan ketika daya luncurannyan habis, burung yang terpanggang anak panah melayang deras ke bawah.
"Bagus, Anak Muda!"
Puji Prabu Kuntadewa, ketika Rangga telah berbalik menghadap ke arah-nya.
"Terima kasih, Kanjeng Gusti Prabu!"
Ucap Rangga. Sementara Prabu Puntalaksana tampak geram melihat keberhasilan Rangga. Dan dia hanya mampu mendesis pelan.
"Jaga amarahmu, Puntalaksana! Kau berada di tengah orang banyak jangan sampai mereka melihat perubahan wajahmu!"
Ujar Nyai Saptaningrum, memperingatkan. Meski bersungut-sungut dengan hati geram, namun Prabu Puntalaksana menuruti juga saran perempuan tua itu.
"Aku tidak ingin hal ini terus berlanjut!"
Dengus Prabu Puntalaksana.
"Tenang saja. Akan kita lihat apakah dia mampu mengalahkan si Gajah Petung,"
Sahut Nyai Saptaningrum seraya tersenyum kecil.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Rajawali Sakti Bangkitnya Pandan Wangi