Ceritasilat Novel Online

Bidadari Sungai Ular 2


Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Sungai Ular Bagian 2



Lagi pula, Bayangan Hitam tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan Geti Ireng.

   (Baca.

   Serial Pendekar Rajawali Sakti.

   Episode.

   Iblis Lembah Tengkorak) "Siapa kau, anak muda?!"

   Tanya Bayangan Hitam.

   "Namaku tak ada artinya buatmu,"

   Jawab Rangga. Dari sekilas pandang saja, Rangga sudah dapat mengukur tingkat kepandaian perempuan kurus ini. Dari julukannya, dapat dipastikan kalau tokoh ini dari aliran hitam.

   "Sombong!"

   Dengus Bayangan Hitam sedikit gusar.

   "Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"

   "Aku Pendekar Rajawali Sakti,"

   Lantang suara Rangga.

   "Aku datang untuk mengambil Putri Intan Kemuning!"

   Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu, terkejut.

   Wajahnya tampak berubah merah.

   Dia tidak kenal dengan pemuda tampan itu.

   Mendengar namanya saja, baru kali ini.

   Tapi diam-diam Intan Kemuning tertarik juga melihat ketampanannya.

   Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-ulang terus.

   Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan Hitam pun kaget setengah mati.

   Tak disangka-sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak laki-lakinya.

   Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan.

   Kalau anak muda ini dapat membunuh Iblis Lembah Tengkorak, pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali.

   "Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa padaku!"

   Ujar Bayangan Hitam.

   "Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu?"

   "Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar dengan nyawamu!"

   "Siapa saudaramu?' "Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak!"

   Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti sudah, untuk apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam itu muncul. Kelihatannya dia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

   "Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai keluargaku!"

   Lantang dan mantap suara Rangga.

   "Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa saudaraku!"

   Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan Hitam tidak sungkan-sungkan lagi. Dia segera mencabut pedangnya ketika Bayangan Hitam telah siap dengan pedangnya. Sret! 'Tahan seranganku!"

   Teriak Bayangan Hitam.

   Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan jurus-jurus pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah bertarung dengan jurus-jurus pedang tingkat tinggi.

   Pedang Rangga berputar-putar berkelebat memancarkan sinar biru yang menyilaukan.

   Sedangkan pedang Bayangan Hitam menderu-deru menimbulkan hawa panas.

   Sinar hitam menggulung-gulung bagai asap tebal.

   Dua sinar berbeda saling sambar dengan hebat-nya.

   Kian lama pertarungan kian seru.

   Sebentar saja sepuluh jurus telah berlalu.

   Kini tubuh mereka tidak terlihat jelas.

   Yang kelihatan hanya bayangan hitam, putih, dan biru saling berkelebat Semua yang ada di situ melongo, takjub.

   Trang! Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api.

   Bayangan Hitam segera melompat mundur satu tombak.

   Dirasakan tangannya kesemutan ketika pedangnya beradu.

   Jari-jari tangannya seperti kaku.

   "Edan!"

   Dengus Bayangan Hitam melihat ujung pedangnya buntung.

   Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun.

   Pedangnya melintang di depan dada.

   Bibirnya mengulum senyum, tapi sinar matanya tajam menatap lurus Bayangan Hitam.

   Rangga tidak merasakan apa-apa waktu pedangnya berbenturan tadi.

   Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak melompat, bisa jadi tangan kanannya pisah dari badan terbabat pedang Rangga.

   "Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!"

   Geram Bayangan Hitam sambil membuang pedangnya begitu saja.

   Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya.

   Dia pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali', satu jurus andalan tingkat pertama.

   Bayangan Hitam pun tak kalah siapnya.

   Kini dia mengeluarkan jurus andalannya juga.

   Mereka telah saling berhadapan.

   "Bersiaplah!"

   Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai memberi peringatan.

   Pertarungan dua tokoh sakti itu kembali berlangsung.

   Rangga mengerutkan keningnya ketika merasakan angin sambaran pukulan yang sangat dahsyat.

   Kini hanya dua bayangan hitam dan putih berkelebat.

   Debu mengepul di udara disertai angin yang menderu-deru bagai terjadi topan.

   "Glaaar...!"

   Suara ledakan keras terdengar ketika tangan Bayangan Hitam menghantam batu. Seketika batu itu hancur berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan Bayangan Hitam.

   "Hebat...!"

   Desis Rangga memuji dengan tulus "Tahan seranganku!"

   Teriak Bayangan Hitam.

   Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya.

   Kin dengan jurus 'Bayangan Maut', tubuhnya berar-benar seperti bayangan saja.

   Sulit diiihat denjan mata biasa.

   Rangga pun segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Kedua tangan Rangga mengembang.

   Kakinya bergerak-gerak lincah mengimbangi gerakan Bayangan Hitam yang sangat cepat.

   Kedua kaki Rangga kini tidak lagi menjejak tanah.

   Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan deru angin kencang.

   Beberapa pohon tumbang terkena sambaran angin pukulan Rangga.

   Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat.

   Bayangan Hitam sampai terperanjat, karena kaki-kaki Rengga saling susul mengarah kepala.

   Kedua tangan yang selalu mengembang bagai sepasang sayap itu menyambar-nyambar mengikuti gerakan tubuh Rangga yang kadang melayang, kadang menukik "Akh!"

   Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan.

   Tubuhnya terhuyung dua tombak.

   Tanpa dapat dihindari lagi, kaki Rangga berhasil mengenai pundaknya.

   Dia berusaha menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik pundaknya.

   Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar biasa karena menyadari tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi.

   Tulang pundaknya patah sehingga sulit digerakkan lagi.

   "Serang...!"

   Teriak Bayangan Hitam keras melengking.

   Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam bergerak menyerang Rangga.

   Empat orang anak buah Bidadari Sungai Ular yang tersisa membantu mengeroyok Rangga.

   Mereka penasaran karena belum bisa menggoreskan pedang ke tubuh Rangga.

   "Kurang ajar!"

   Geram Rangga sengit.

   *** Sementara di sungai Ular, pertempuran masih berlangsung sengit.

   Saka Lintang bertarung dengan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Sedangkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya menghadapi anak buah Bidadari Sungai Ular.

   Denting senjata bercampur dengan jerit kematian.

   Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini berada di atas angin.

   Patih itu mengamuk terus.

   Setiap pedangnya berkelebat selalu menimbulkan korban.

   Makin lama orang-orang berpakaian serba biru semakin berkurang jumlahnya.

   Yang tersisa hanya delapan orang saja.

   Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya.

   Dia sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Saat gerombolan perompak itu makin terdesak, tiba-tiba muncul sepuluh orang berpakaian serba hitam dipimpin oleh Jambak.

   'Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!"

   Teriak Jambak.

   Saka Lintang berseri-seri wajah nya.

   Semangatnya segera bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu.

   Apalagi melihat anak buah Bayangan Hitam ikut bertempur.

   Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima orang lagi membantu mengeroyok Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah mengeroyok Kakek Sakti Tongkat Merah.

   Kini keadaannya jadi berbalik.

   Orang-orang dari Bayangan Hitam lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam bertarung.

   "Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?"

   Tanya Saka Lintang di sela-sela pertarungan. 'Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti,"

   Jawab Jambak.

   "Apa...?"

   Saka Lintang terkejut. Pengemis Sakti Tongkat Merah mendengar hal itu merasa bersyukur karena Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan Bidadari Sungai Ular.

   "Lalu, bagaimana Intan?"

   Tanya Saka Lintang dengan cemas.

   "Berada di markas!"

   Sahut Jambak.

   Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan ketika ada kesempatan.

   Dengan cepat dia berlari menggunakan ilmu peringan tubuh.

   Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring.

   Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping Patih Giling Wesi.

   "Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!"

   Perintah Kakek Pengemis itu.

   "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"

   Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di udara.

   Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat.

   Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.

   Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya.

   Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan.

   Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Tongkatnya seperti hidup menyambar-nyambar mencari mangsa.

   "Cepat susul Gustimu!"

   Teriak Aki Lungkur kepada para prajurit. 'Tapi, Ki...!"

   Seorang prajurit tidak tega meninggalkan orang tua itu sendirian.

   "Jangan membantah!"

   Dengus Aki Lungkur. Delapan prajurit Kepatihan itu langsung beriari menyusul pemimpinnya. Sementara Kakek Pengemis kian waspada, selalu menghalangi setiap orang yang akan mengejar para prajurit.

   "Cari kesempatan! Kejar mereka!"

   Teriak Jambak gusar.

   Perintah Jambak seperti tertelan angin.

   Mereka seperti menghadapi seribu pengemis.

   Aki Lungkur bergerak cepat menyambar setiap orang yang berusaha keluar dari medan pertarungan.

   Jambak memutar otaknya mencari jalan agar sebagian temannya bisa keluar dari pertarungan.

   Kakek sakti menebas tongkatnya sehingga satu persatu bergelimpangan.

   Kini jumlah mereka makin berkurang saja.

   Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan masih berlangsung sengit.

   Rangga mengamuk menghadapi Bayangan Hitam yang dibantu oleh kaki tangannya.

   Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu pedangnya yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Jurus ke-tiga dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

   Gerakan kakinya lincah menghindari setiap serangan lawan, sedangkan pedangnya berkelebat ke arah tubuh lawan yang kosong.

   "Rantai Bayangan!"

   Teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.

   Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar mengepung Rangga.

   Empat orang ber-pakaian biru keluar dari arena.

   Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang yang berputar mengelilinginya sambil pedangnya tersilang di depan dada.

   Seperti mata rantai, mereka bekerja sama dengan gerakan-gerakan yang teratur dan menunjang.

   Makin lama makin cepat Yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang bergerak melingkar.

   "Hiya! Yeah...!"

   Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan yang ganjil ini.

   Tetapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti dapat menguasai diri.

   Ternyata teriakan-teriakan itu hanya untuk memecah konsentrasinya.

   Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala penjuru secara berganrJan.

   Gencar sekali.

   Mata Rangga tidak lepas mengamati setiap serangan yang datang.

   Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali.

   Tubuhnya berputar cepat bagai baling-baling.

   Trang! Trang! Trang! Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur deras ke arah orang-orang berpakaian serba hitam yang kebingungan.

   Pedang mereka terkena sambaran pedang biru menyilaukan.

   "Aaaakh...!"

   Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung bergelimpangan dengan dada teriembus patahan pedang mereka sendiri menyusul jeritan kematian.

   "Bedebah! Kurang ajar!"

   Bayangan Hitam menggeram melihat empat anak buahnya roboh hanya sekali gebrakan saja.

   Sedangkan yang selamat hanya memegang pedang yang tinggal setengah saja.

   Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah.

   Pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung.

   Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak pula menggunakannya.

   "Bola Rantai Hitam!"

   Teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.

   Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan sebuah bola besi berwarna hitam yang bergigi runcing di sekelilingnya dan dihubungkan dengan rantai halus berwarna hitam pula.

   Keenam orang itu segera membentuk lingkaran.

   Tangan mereka memutar-mutar rantai panjang dengan bola-bola bergigi di ujungnya.

   Suaranya menderu-deru bagai angin topan.

   Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

   Dia masih menganggap belum perlu merubah jurus, dan hanya menggabung-gabungkan saja dengan berbagai kombinasi.

   "Serang...!"

   Teriak Bayangan Hitam memberi komando.

   Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti, dilontarkan oleh keenam orang itu.

   Rangga membiarkan tubuhnya terbelit rantai-rantai dengan bola bergigi itu.

   Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara bagai seekor rajawali.

   Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut meluncur bersama Rangga yang semakin tinggi.

   "Lepaskan!"

   Teriak Bayangan Hitam.

   Keenam orang itu serentak melepaskan rantai.

   Sebelum menjejakkan kakinya di tanah, mereka bersalto di udara.

   Rangga yang masih berada di atas, dengan gerakan cepat mengumpulkan dan melemparkan rantai-rantai itu kepada pemiliknya.

   "Aaaakh...!"

   Seorang dari mereka menjerit keras.

   Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri.

   Lima orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri.

   Bola-bola besi lainnya menghantam tanah lalu melesak ke dalam.

   Rantai-rantai hanya terlihat beberapa jengkal saja.

   Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.

   "Bedebah!"

   Geram Bayangan Hitam.

   Rangga turun dengan manis.

   Kali ini dia tidak ingin lagi membiarkan lawan mengatur siasat.

   Dia segera menyerang Bayangan Hitam dengan gabungan tiga rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

   Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan.

   Apa-lagi sebelah tangannya tidak bisa digerakkan.

   Kelima anak buahnya ditambah empat anak buah kelompok Bidadari Sungai Ular, langsung membantunya.

   Rangga kini dikeroyok sepuluh orang.

   Tapi hanya empat orang saja yang menggunakan senjata.

   "Lepas!"

   Sentak Rangga. Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan tanpa terduga sama sekali, kaki Rangga melayang ke arah kepala. Kraaak! "Aaaa..r!"

   Gerakan Rangga dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' begitu cepat sehingga keempat orang itu tidak bisa melindungi kepalanya.

   Mereka segera menggelepar dengan kepala pecah.

   Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya sehingga lawan kebingungan.

   Apalagi kini mereka tanpa senjata.

   Bayangan Hitam pun kini hanya bisa bertahan tanpa mampu memberikan serangan balasan.

   Dari mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak berhenti.

   "Bibi...!"

   Bayangan Hitam menoleh.

   Dilihatnya Saka Lintang berlari cepat dan segera melompat sambil menghunus pedang.

   Seketika Saka Lintang terlibat dalam pertempuran pula.

   Dia menggeram dengan gigi gemerutuk melihat semua anak buahnya tewas.

   Bahkan lima orang anggota Bayangan Hitam telah jadi mayat.

   "Mundur...!"

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.

   Begitu hebatnya suara bentakan tadi, sehingga pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang membentak itu? *** Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar Rangga.

   Dengan sigap Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menghindari sinar merah yang datang tiba-tiba itu.

   Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah, Rangga telah disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi.

   Terpaksa dia kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana datangnya sinar merah itu.

   Rangga cepat mengibaskan tangannya, dengan seketika dia telah menggenggam pedangnya.

   Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon besar.

   Dari pedang pun meluncur sinar biru bergulung-gulung.

   Blar...! Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar biru.

   Rangga kembali memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya.

   Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah.

   Kakek itu mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu.

   "Paman Nambi...!"

   Seru Saka Lintang.

   Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di tengah-tengah arena pertarungan.

   Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama Setan Jubah Merah.

   Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan Hitam.

   Sampai sekarang pun mereka masih suami istri.

   Hanya kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan.

   Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok.

   Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri.

   Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.

   "Paman..., untung paman cepat datang,"

   Saka Lintang gembira.

   "Hm, apa yang terjadi, Lintang?"

   Tanya Nambi sambil mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan.

   "Perkumpulanku dihancurkan, paman,"

   Jawab Saka Lintang. Ada nada kesedihan daiam suaranya.

   "Dan kau tidak mampu mengatasinya?"

   Saka Lintang hanya tertunduk saja.

   "Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak kerajaan. Masih saja membandel!"

   Tegur paman angkat Saka Lintang.

   Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan Kemuning menjadi seorang pendekar wanita.

   Tetapi tak diduga sama sekali akibatnya jadi demikian.

   Seluruh anak buahnya mati.

   Dia sadar, ini adalah kesalahannya.

   Saka Lintang melirik Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu.

   Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut campur, Saka Lintang pasti mampu mengalahkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya.

   Tapi sekarang? Apalagi Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.

   Saka Lintang memandang Rangga.

   Seketika hatinya bergetar.

   Benih-benih cinta kembali muncul.

   Namun bibit dendam dan kebencian juga bertumbuhan.

   Untuk kedua kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang telah merobek-robek hatinya ini.

   (Untuk lebih jelas, silahkan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Iblis Lembah Tengkorakl "Siapa dia?"

   Tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.

   "Pendekar Rajawali Sakti,"

   Jawab Saka Lintang. Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam. Matanya agak menyipit melihat ke arah pundak perempuan tua itu. Pundak itu melesak ke dalam. Patah! Mendadak hatinya panas.

   "Anak muda, hadapi aku!"

   Bentak Setan Jubah Merah.

   "Hati-hati, Kakang!"

   Bayangan Hitam memperingatkan.

   Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

   Pertempuran sengit tidak dapat dihindari lagi.

   Setan Jubah Merah segera mengerahkan jurus-jurus andalannya.

   Jurus tangan kosongnya sangat dahsyat.

   Setiap pukulannya mengandung hawa racun yang mematikan.

   Tapi semua itu tidak berpengaruh terhadap Rangga.

   Rangga kebal terhadap segala je-nis racun.

   Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus 'Cakar Rajawali'.

   Dengan jurus ini, Rangga tidak bermaksud memandang enteng lawan.

   Dia hanya mengukur tingkat kepandaian lawan.

   Sudah menjadi sifatnya untuk tidak mengeluarkan jurus-jurus berbahaya sebelum dia mengetahui tingkat kepandaian lawan.

   "Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai menurunkan tangan kejam!"

   Geram Nambi sengit melihat Rangga hanya berkelit tanpa mem-balas serangan.

   "Kalau itu keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!"

   Sahut Rangga dengan hormat Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali ini didapatkan lawan yang mau menghormat pada dirinya. Pemuda itu tidak congkak. Bahkan selalu merendah.

   "Serang aku!"

   Teriak Nambi.

   "Bersiaplah, Kek!"

   Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak tangannya.

   Seketika jari-jari tangannya meregang kaku.

   Lalu digerakkan tangannya yang makin lama makin cepat.

   Nambi sedikit terperangah.

   Dengan cepat dia mengimbanginya.

   pertarungan pun menjadi sengit.

   "Maaf!"

   Seru Rangga.

   "Akh!"

   Setan Jubah Merah memekik tertahan.

   Dia terhuyung satu tombak ke belakang.

   Jari-jari tangan Rangga berhasil menusuk pangkal lengan kiri Nambi.

   Darah mengucur deras dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu.

   Nambi mengemerutukkan gerahamnya.

   Hati kecilnya berkata kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu.

   Dia sempat mendengar permintaan maaf Rangga sebelum melancarkan serangan.

   Hasilnya sungguh tak terduga sekali.

   Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.

   "Kakang...!"

   Jerit Bayangan Hitam cemas melihat darah mengucur dari lengan suaminya.

   Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga.

   Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan beruntun Bayangan Hitam.

   Saka Lintang pun tidak ingin ketinggalan.

   Mereka segera mengeroyok Rangga.

   Pendekar Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus 'Cakar Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus 'Pukulan Geledek'nya.

   Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan darah dengan totokannya, segera ikut mengeroyok Rangga.

   Kini Rangga berhadapan langsung dengan tiga orang tokoh yang memiliki kepandaian yang luar biasa.

   Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang beruntun.

   Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' lalu disusul dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam.

   Begitu cepat perubahan jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Bayangan Hitam tidak dapat menguasai diri lagi.

   "Aaaakh...!"

   Bayangan Hitam menjerit kesakitan. Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam. Dia menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian diam tak bergerak lagi.

   "Bibi...!"

   Saka Lintang memekik kaget. Setan Jubah Merah menggeram menahan marah.

   "Kubunuh kau, bocah setan!"

   Teriak Nambi.

   Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan jurus-jurus mautnya.

   Sementara Saka Lintang kembali menyerang dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

   Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun.

   Dia tidak lagi memandang perasaan cintanya pada Rangga.

   Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke tempat yang lebih baik Tetapi salah seorang dari mereka, kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum beranjak dari pintu pondok.

   Melihat kecantikan Intan Kemuning, seketika nafsu birahinya bangkit.

   "Ah!"

   Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba seseorang telah ada di depannya. Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di depannya. Jakunnya turun naik menahan gejolak birahi yang bergelora dalam dada.

   "Mau apa kau?"

   Intan Kemuning bergidik.

   "Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta bayaran darimu,"

   Gertak laki-laki itu.

   "Ih!"

   Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang terulur hendak menjamah.

   "He he he..., ternyata kau punya isi juga,"

   Orang itu menyeringai. Liumya tertahan.

   "Ah, jangan!" *** Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu menyeretnya masuk ke pondok Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka berlarian ke pondok. Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya. Intan Kemuning jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa segalanya.

   "Auh! Lepaskan...!"

   Jerit Intan Kemuning. Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning. Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang indah itu. Bret! "Auuuh...!"

   Intan Kemuning memekik ketika tangan laki-laki yang menindihnya, merobek bajunya.

   Kini bagian dada yang membukit indah terbuka.

   Lima pasang mata menatap ke a rah dada yang putih mulus tanpa berkedip.

   Intan Kemuning cepat menutupi bagian dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya maju dan menarik tangan Intan Kemuning.

   'Tidak...! Lepaskan!"

   Jerit Intan Kemuning putus asa.

   Bret! Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa.

   Tubuh Intan Kemuning seketika jadi polos.

   Hanya bagian bawah saja yang masih tertutup.

   Tangan-tangan kasar kini menelusuri bukit yang indah itu.

   Keempat orang yang sebelumnya hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi.

   Mereka mendekat dan meraba-raba tubuh yang putih mulus itu.

   Intan Kemuning benar-benar putus asa.

   Air bening mulai menitik dari sudut matanya.

   Dari mulutnya keluar rintihan memohon belas kasihan.

   Namun kelima orang sudah tidak peduli lagi.

   Tangan-tangan mereka makin liar menjelajah ke seluruh tubuh gadis cantik itu.

   'Tidak, jangan...,"

   Rintih Intan Kemuning memelas. Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian bawah pakaiannya, tiba-tiba.... Brak! Pintu poridok yang tertutup, hancur berantakan.

   "Binatang!"

   Patih Giling Wesi segera menerjang marah.

   Lima orang yang tengah dirasuki iblis itu terperangah.

   Pedang Patih Giling Wesi berkelebat cepat Seketika saja dua kepala telah terpisah dari tubuh.

   Tiga orang lainnya segera melompat menyebar.

   Intan Kemuning cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali yang sudah tercabik-cabik itu.

   Air matanya makin deras mengalir.

   Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum sempat merenggut kehormatannya.

   "Binatang! Mampus, kalian semua!"

   Teriak Patih Giling Wesi kalap. Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang laiki-laki itu. Mereka hanya bisa berkelit saja. Dengan terpaksa mereka melayani hanya dengan tangan kosong karena tidak memiliki senjata lagi.

   "Aaaakh!"

   Kematian kembali terdengar.

   Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk dengan dada tergores panjang dan dalam.

   Darah segera membasahi lantai.

   Melihat tiga orang temannya telah tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu mendobrak dinding pondok, kabur.

   "Ayah...!"

   Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika putrinya memanggil. Intan Kemuning berlari lalu menubruk ayahnya. Mereka saling berpelukan menumpahkan seluruh air mata dan rindu.

   "Kau tidak apa-apa, Nduk?"

   Tanya Patih Giling Wesi dengan suara tersendat.

   "Tidak, Ayah,"

   Jawab Intan Kemuning tanpa melepaskan pelukannya.

   "Oh, syukurlah,"

   Desah Patih Giling Wesi.

   Kembali mereka terdiam sambil berpelukan.

   Ditumpahkan segala kerinduan dan kegembiraan karena dapat berkumpul lagi.

   Pelan-pelan Patih Giling Wesi melepaskan pelukannya.

   Sejenak ditatap putrinya.

   Jari-jari tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi Intan Kemuning.

   "Mereka tidak mengganggumu, Nak?"

   Tanya patih itu masih diliputi perasaan cemas. Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir terhadap putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan perompak itu.

   "Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah,"

   Sahut Intan Kemuning. 'Pemimpin perampok itu sangat baik. Dia mengangkatku sebagai adiknya."

   "Maksudmu, Bidadari Sungai Ular itu?"

   "Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia baik sekali padaku."

   "Lalu, orang-orang itu?"

   "Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka orang-orang Bayangan Hitam,"

   Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau pemuda tampan yang telah menggetarkan hatinya tengah bertempur di luar. Pemuda itu kini menghadapi dua tokoh sakti.

   "Ada apa, Intan?"

   Tanya Patih Giling Wesi.

   "Pemuda itu...."

   "Pemuda siapa?"

   "Oh!"

   Intan seperti tersadar.

   Malu.

   Seketika kedua pipinya merah merona.

   Kepalanya tertunduk.

   Tanpa disadari dia telah mencemaskan pendekar muda yang sejak tadi menarik perhatiannya.

   Pendekar itu telah merebut sekeping hatinya.

   Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara pertempuran di luar.

   Patih Giling Wesi tersadar.

   Rasa haru dan gembira telah membutakan mata dan menulikan telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran di luar.

   Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun Patih Giling Wesi lebih terpusat pada suara rintihan wanita di dalam pondok itu.

   Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu..., Patih Giling Wesi seolah baru sadar kalau putrinya telah menjadi seorang gadis remaja.

   Ah, apakah Intan Kemuning jatuh cinta? Apakah dengan pemuda tampan yang kini sedang bertarung melawan dua tokoh sakti itu? Kalau benar, siapakah pemuda itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak patih itu.

   "Intan...,"

   Lembut suara Patih Giling Wesi. Pelan-pelan Intan Kemuning mengangkat kepalanya.

   "Ayo...."

   Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok itu.

   Mereka berhenti melangkah di depan pintu yang sudah hancur.

   Mereka menyaksikan pertempuran antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.

   Namun Intan Kemuning melangkah terus, dan baru berhenti setelah berada dua tombak dari pondok.

   Patih Giling Wesi mengikutinya.

   Patih Giling Wesi tersenyum melihat Intan Kemuning tidak berkedip menatap setiap gerakan Rangga.

   Dalam hati dia merasa kagum juga terhadap pemuda tampan itu.

   *** Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular.

   Kini yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat orang saja.

   Mayat menyebar di mana-mana.

   Bau anyir darah menyebar terbawa angin.

   "He he he...!"

   Pengemis Sakti Tongkat Merah terkekeh.

   Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang tidak punya nyali lagi, dibuat tidak berkutik.

   Ujung tongkat Pengemis Sakti itu merobek-robek dada mereka.

   Darah segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul.

   Keempat orang itu kini ambruk kehilangan nyawa.

   Kakek Pengemis Sakti kembali terkekeh.

   "Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia,"

   Gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu.

   Ironis sekali.

   Tempat yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan.

   Bau anyir darah telah mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan.

   Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa minta bagian.

   Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur.

   Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu telah jauh melangkah.

   Kakinya seperti tidak menapak tanah.

   Itulah ilmu 'Sayiti Angin' yang dikeluarkannya.

   Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya.

   Layaknya kapas yang dihembus angin.

   "Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi keadaan,"

   Gumam Aki Lungkur pelan.

   "He he he...!"

   Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur menghentikan langkahnya. Suara itu jelas menggunakan tenaga dalam yang luar biasa. 'Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau mengotori tangannya hanya untuk membantai cacing-cacing tanah,"

   Terdengar suara mengejek.

   "Ah, aku malas main petak umpet,"

   Keluh Aki Lungkur terus melanjutkan langkahnya. Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki Lungkur muncul seorang laki-laki gendut berkepala botak mengenakan jubah kuning. Untaian tasbih tergenggam di tangan kanannya.

   "Rupanya kau, Pendeta Murtad,"

   Dengus Aki Lungkur.

   "Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur. Kau akan menambah kotor tanganmu saja,"

   Kata Pendeta Murtad yang nama aslinya Pradya Dagma.

   "Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih dari-pada tanganku,"

   Tenang sekali Aki Lungkur menyahut. 'Tapi aku tidak pernah usil dengan urusan orang lain."

   "Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri urusan orang lain." 'Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar kau tidak ikut campur urusan keponakanku!"

   "Keponakan? Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar? Kapan kau punya keponakan!"

   "O, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu? Kenapa tidak kau bantu keponakanmu? Itukah paman yang baik?"

   Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki Lungkur tenang diucapkannya, tetapi sakit didengamya. Kata-kata itu baginya adalah penghinaan yang luar biasa.

   "Ah, sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu,"

   Kata Aki Lungkur berusaha mengalah. Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa peduli. Melihat hal ini, Pradya Dagma makin merasa terhina. Dengan cepat dia kembali menghadang.

   "Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu. Minggir, aku mau pergi!"

   Dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.

   "Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau juga berurusan denganku!' sahut Pradya Dagma.

   "Heh! Rupanya kau cari penyakit?"

   "Kau yang cari kematian, Aki Lungkur!"

   Aki Lungkur mendelik.

   Dia bersiap-siap ketika melihat Pendeta Murtad itu telah membuka jurus-jurus ampuhnya.

   Tanpa dapat dicegah lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran itu bertempur dengan sengit Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan apa-apa.

   Aki Lungkur sendiri sebenarnya tidak melayani meski pun Pendeta Murtad itu selalu cari perkara dengannya.

   Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengah-setengah.

   Padahal, Pendeta Murtad itu telah melancarkan serangan-serangan berbahaya.

   Kelihatannya dia ingin membunuh Pengemis Sakti ini.

   "Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!"

   Bentak Aki Lungkur gusar.

   "Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka, Lungkur!"

   Sahut Pradya Dagma keras.

   "Aku tidak peduli kau melawan atau tidak!"

   Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram.

   Pendeta Murtad ini rupanya benar-benar ingin membunuhnya.

   Dia masih mengeluarkan jurus-jurus andalannya.

   Terpaksa Aki Lungkur harus menghadapinya dengan hati-hati.

   Dia tahu kalau Pradya Dagma sangat berbahaya, terutama tasbihnya yang menjadi andalan.

   Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya masih saudara seperguruan.

   Mereka sama-sama murid Resi Brahespati.

   Akibat suatu perselisihan, rupanya Pradya Dagma masih menyimpan api dendam.

   Dia tidak mau mengakui keunggulan Aki Lungkur.

   Padahal setiap kali mereka bentrok, Aki Lungkur selalu bersikap mengalah.

   Dia masih memandang hormat pada Resi Brahespati.

   Sebab Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu.

   Itulah sebabnya, mengapa Aki Lungkur selalu menolak setiap tantangan Pradya Dagma.

   Dia pun tak ingin mencampuri urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan Pradya Dagma selalu merugikan orang lain.

   "Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting,"

   Ujar Aki Lungkur masih berusaha mengalah. Segera dia melenting cepat.

   "Hey, tunggu!"

   Pradya Dagma segera mengejar.

   Hanya beberapa kali lompatan saja, dia telah berhasil mengejar disertai satu pukulan dengan tenaga dalam yang penuh.

   Aki Lungkur terkejut.

   Dia segera membuang diri ke tanah.

   Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon besar.

   Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh.

   Aki Lungkur belum bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan berikut.

   Aki Lungkur kembali bergulingan di tanah.

   Secepat itu pula, dia melenting dan berdiri di tanah dengan kokoh.

   "Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!"

   Geram Aki Lungkur.

   "Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa menghindar!"

   Ejek Pradya Dagma.

   "Kau memang sudah tidak bisa di beri hati, Seluruh pikiran dan hatimu sudah tertutup iblis."

   "Kau pun akan, senang tinggal di neraka bersama iblis."

   "Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan kejam padamu!"

   Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.

   Dibukanya jurus 'Tongkat Sakti'.

   Pradya Dagma terkekeh melihat Aki Lungkur mulai terpancing kemarahannya.

   Dia pun segera mengerahkan jurus 'Tasbih Sakti'.

   Kedua tokoh itu mempergunakan jurus yang didapat dari sumber yang sama.

   Mereka sama-sama telah mengenal jurus masing-masing.

   Setelah mereka saling pandang, maka menyusullah suara teriakan keras.

   Dua tokoh sakti itu pun saling menyerang.

   *** Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi.

   Kemauan saudara seperguruannya dilayani dengan sungguh-sungguh.

   Bahkan serangan-serangan balasannya tidak tanggung-tanggung mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.

   Lima jurus kini telah mereka lewati.

   Masing-masing belum ada yang terdesak.

   Mereka paham betul dengan kelemahan dan kelebihan jurus-jurus masing-masing.

   Jurus-jurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya penerapannya yang lain.

   Jika Pradya Dagma mempergunakannya untuk maksud-maksud kejahatan, maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela yang lemah dan menumpas kejahatan.

   Jurus demi jurus berlalu dengan cepat.

   Aki Lungkur yang selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya, kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang keseratus.

   Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak.

   Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya.

   Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini.

   Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli.

   Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak.

   Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur.

   Dibiarkan dirinya terdesak.

   Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan.

   Hingga pada suatu saat...

   "Akhl"

   Aki Lungkur memekik tertahan.

   Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya.

   Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak.

   Matanya berkunang-kunang.

   Dadanya terasa sesak.

   Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol.

   "Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!"

   Desis Pradya Dagma.

   "Aku mengaku kalah,"

   Kata Aki Lungkur ter-sendat "Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu! Ayo lawan aku!"

   Bentak Pradya Dagma. Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang resi. Seketika pengemis tua itu menjatuhkan diri, dan berlutut saat dia tahu yang berdiri di depannya adalah Resi Brahespati.

   "Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi,"

   Ucap Aki Lungkur dengan kepala tertunduk.

   Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheran-heran.

   Dia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Aki Lungkur seperti ketakutan.

   Bahkan dia tadi menyebut-nyebut resi.

   Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi Brahespati, ayahnya itu yang padahal tengah berdiri di depannya.

   "Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu,"

   Lembut berwibawa suara Resi Brahespati.

   "Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...,"

   Aki Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau kau menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar matanya terbuka."

   "Resi..!"

   Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.

   Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan.

   Kini yang berdiri di depannya hanyalah Pradya Dagma.

   Masih terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi.

   Rasanya memang masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada Pradya Dagma.

   Segera Aki Lungkur memantapkan hati untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya yang murtad ini.

   Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma kembali menyerang dengan jurus-jurusnya.

   Terpaksa Aki Lungkur harus jatuh bangun menghindari serangan beruntun itu.

   Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur segera membalas tanpa memberi ampun lagi.

   Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur, kembali terdesak.

   Sementara kata-kata Resi Brahespati terus terngiang-ngiang di telinga Aki Lungkur.

   Hal inilah yang membuat pengemis tua itu tidak memberi kesempatan kepada Pradya Dagma untuk membalas.

   Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat pukulan Aki Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma.

   Kemudian disusul dengan tendangan keras.

   Pendeta Murtad itu terdorong sejauh tiga tombak.

   Dari sudut bibirnya keluar darah segar.

   "Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada ayahmu!"

   Kata Aki Lungkur lantang.

   "Setan!"

   Dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah yang terus mengalir.

   "Jangan sebut-sebut ayahku!"

   Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali menyerang membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan lagi melayaninya. Tongkatnya kini berkelebat cepat, dan....

   "Aaaakh...!"

   Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu. Tubuh Pradya Dagma pun ambruk dengan darah muncrat dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur cepat-cepat menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.

   "Dagma...!"

   Suara Aki Lungkur bergetar. Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat. Darah makin banyak keluar.

   "Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu,"

   Lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.

   "Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama lagi,"

   Hibur Aki Lungkur. 'Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai sudah. Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku."

   Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma menginginkan mati di tangannya.

   "Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh membunuhku."

   "Dagma, kau bicara apa?"

   Aki Lungkur makin tidak mengerti.

   Ingatannya seketika mundur puluhan tahun yang lalu.

   Waktu itu mereka masih sama-sama muda dan tinggal di padepokan Resi Brahespati.

   Di desa dekat padepokan itu tinggallah seorang gadis bernama Komala.

   Dia cantik dan menjadi kembang desa itu.

   Ternyata Komala membuka hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur.

   Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati.

   Mereka telah merencanakan untuk memasuki jenjang perkawinan.

   Tetapi sebelum hari bahagia itu dilangsungkan, seluruh desa dan padepokan geger.

   Komala kedapatan mati dengan leher tertembus pisau.

   Sejak itu, Lungkur tidak ada niat lagi mendekati wanita.

   Hingga tua dia tidak pernah menikah.

   "Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan mayatnya aku berjanji, hanya tanganmu lah yang bisa membunuhku. Kini keinginanku menebus dosa pada Komala terlaksana sudah, Lungkur."

   Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan sudah hampir dilupakannya. Tapi kini, peristiwa itu sepertinya baru saja terjadi.

   "Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja membunuhnya, Lungkur. Dia mengambil pisau, dan aku berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan saja dia membunuhku,"

   Pradya Dagma meneruskan ceritanya. Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.

   "Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau memaafkan aku,"

   Kata Pradya Dagma lagi.

   "Sejak lama aku selalu memaafkanmu,"

   Sahut Aki Lungkur. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa. 'Terima kasih."

   Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah mengucapkan kata maaf dan terima kasih.

   Bibirnya menyungging senyum.

   Keinginannya telah terkabul.

   Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih.

   Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah untuk memancing kemarahan agar dapat membunuhnya.

   Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki Lungkur akan segera membunuhnya agar kesengsaraan hidup Pradya Dagma tidak berlarut-larut.

   Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya Dagma hanyalah pancingan agar Aki Lungkur dapat membunuhnya.

   Ternyata di balik hatinya yang keji, masih tersimpan sedikit jiwa ksatria.

   Teguh pada janji dan pendinannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma berada di jalan yang salah.

   *** Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur.

   Rangga masih tetap menggunakan empat jurus gabungan dari jurus 'Rajawali Sakti'.

   Kadang dia menggabungkan dua atau tiga jurus.

   Bahkan kalau mungkin menggabungkan keempatnya sekaligus.

   Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga selalu mengganti-ganti jurus.

   Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan.

   Mereka bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.

   "Yeaaah...!"

   Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula, tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran.

   "Awas, Lintang!"

   Teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.

   "Hait!"

   Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua tombak. Kibasan Rangga berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan terjambret.

   "Kurang ajar"

   Geram Saka Lintang.

   Mukanya merah menahan malu.

   Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja terbuka.

   Bagian dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih Giling Wesi.

   Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian indah itu.

   Seketika darahnya seperti berhenti mengalir.

   Tetapi dengan cepat dipusatkan kembali perhatiannya pada Setan Jubah Merah.

   Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian tubuhnya yang terbuka itu.

   Wajahnya sebentar pucat sebentar merah bagai kepiting rebus.

   Lalu dengan cepat dia kembali menerjang sambil menghunus pedangnya.

   Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedangnya.

   Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedang dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

   Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan Jubah Merah menahan napas.

   Tetapi Rangga malah kelihatan tenang-tenang saja.

   Bahkan bibimya menyungging senyum.

   Dia tahu kalau hawa racun telah menyebar di sekelilingnya.

   Tetapi racun jenis apa pun tak ada pengaruhnya bagi Rangga.

   "Kena!"

   Teriak Saka Lintang keras.

   Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam dada Rangga.

   Gadis itu tidak tahu kalau sebenamya Rangga sengaja membiarkan tangan beracun itu masuk ke dalam bagian dada yang lowong.

   Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari tangannya tidak dapat ditarik lagi dari tubuh Rangga.

   Sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya.

   Namun semakin ditarik, semakin kuat telapak tangannya menempel.

   Saka Lintang jadi geram.

   Ditebaskan pedang yang ada di tangan kanannya ke leher Rangga, namun....

   Trak! Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus 'Cakar Rajawali'.

   Seketika dari ujung pedang sampai pangkal lengan Saka Lintang bergetar.

   Belum sempat gadis itu menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan Rangga bergerak menyambar gagang pedang dalam genggaman Saka Lintang.

   "Ah...!"

   Pekik Saka Lintang tertahan.

   Saka Lintang semakin panik.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam dan penyaluran racun ke telapak tangannya, gadis itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan kanannya.

   Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka Lintang kini menempel erat di dada Rangga.

   "Setan!"

   Dengus Saka Lintang geram.

   Kalau Rangga mau, sebenamya dia bisa saja menebaskan pedang yang terebut tadi.

   Tetapi hal itu tidak dilakukannya.

   Dia malah membuang pedang itu jauh-jauh.

   Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan.

   Rangga menggunakan gadis itu menjadi tameng, sehingga Setan Jubah Merah tidak tahu harus berbuat apa.

   Dia tidak bisa leluasa melancarkan pukulan mautnya.

   "Pengecut! Lepaskan gadis itu!"

   Bentak Setan Jubah Merah.

   "Oh, tentu! Ini, terimalah!"

   Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras.

   Setan Jubah Merah terkejut.

   Dengan cepat dia melompat dan menangkap tubuh gadis itu yang melayang deras.

   Jika saja gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh Saka Lintang dipastikan hancur menubruk batu besar.

   "Akh!"

   Tiba-tiba Setan Jubah Merah memekik keras.

   Cepat-cepat dilepaskan tangannya.

   Dia kaget setengah mati karena tubuh Saka Lintang masih menyebarkan hawa racun.

   Saka Lintang pun tak urung kaget pula.

   Cepat-cepat dihilangkan hawa racun dari tubuhnya.

   Dihampirinya Setan Jubah Merah yang tengah meringis memegangi tangannya sendiri.

   "Paman..., kau tidak apa-apa?"

   Tanya Saka Lintang cemas.

   "Uh! Racunmu,"

   Kata Setan Jubah Merah sambil meringis.

   Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sebuah pil berwarna merah darah.

   Diberikannya pil itu kepada Setan Jubah Merah.

   Tanpa banyak tanya lagi, laki-laki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang.

   Seketika tubuhnya seperti terbakar.

   "Semadilah, Paman,"

   Ujar Saka Lintang. Setan Jubah Merah pun bersila. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dari ujung kepalanya mengepul asap tipis. Seluruh tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat membasahi seluruh tubuhnya.

   "Hoek!"

   Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh Setan Jubah Merah.

   Sedikit demi sedikit, seluruh tubuh laki-laki tua itu mulai tenang.

   Setan Jubah Merah membuka matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama sekali, dibarengi oleh hilangnya asap tipis yang mengepul di kepala laki-laki tua itu.

   Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di atas batu besar.

   Dia memperhatikan saja kedua lawannya yang tengah sibuk itu.

   Mulutnya malah bersiul-siul dengan irama tak menentu.

   Sesekali matanya melirik Intan Kemuning yang berdiri di samping ayahnya.

   Setiap kali Rangga melirik ke arahnya, Intan Kemuning merasakan jantungnya berdetak keras.

   Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman manis pada pendekar muda itu.

   Tak diduga, Rangga membalasnya dengan senyum manis pula.

   Kalau saja saat ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning menghambur dan memeluk pemuda itu.

   Tapi semua perasaan dan keinginan itu ditekan dalam-dalam sampai ke dasar hatinya.

   Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan Setan Jubah Merah, telah kembali bersiap-siap menghadapi lawannya yang tengah duduk tenang itu.

   Rangga seperti tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap menyerang kembali.

   "Hiya!"

   "Yeah!"

   Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung dengan melentingnya dua tubuh ke arah Rangga.

   Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak tahu sama sekali kalau dua tokoh itu meluruk ke arahnya.

   Rangga masih tenang.

   Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan Kemuning cemas.

   Dia gelisah karena dua tokoh sakti begitu cepat menyerang.

   "Pendekar Rajawali Sakti, awas!"

   Intan Kemuning tidak dapat lagi mengendalikan diri.

   Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh yang meluruk menerjang Rangga.

   Serangan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam, begitu cepat datangnya.

   Akibatnya memang dahsyat.

   Batu tempat Rangga duduk, jadi berkeping keping disertai ledakan keras terkena pukulan itu.

   "Akh!"

   Intan Kemuning memekik tertahan.

   Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar.

   Dia seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam tubuhnya.

   Batu yang sebesar kerbau itu saja hancur, bagaimana dengan Rangga? Debu masih mengepal tebal.

   Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan kecemasannya.

   Dia tidak melihat pendekar itu.

   Apakah dia hancur bersama batu itu? Batin Intan Kemuning bertanya-tanya penuh kecemasan.

   *** Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu angin.

   Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Rangga masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur.

   Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun.

   Kedua tokoh sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa terhadap lawannya.

   "Oh...,"

   Intan Kemuning mendesah lega melihat pendekar tampan itu masih hidup.

   Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling Wesi.

   Dia hanya tersenyum-senyum saja.

   Rupanya dia mengerti apa yang telah melanda putrinya ini.

   Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali.

   Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu dari balik pohon.

   Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan.

   Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali.

   Sementara itu Rangga sudah kembali melayani dua lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri pertarungan alot dan panjang ini.

   Kini Saka Lintang hanya sesekali saja melontarkan pukulan beracunnya.

   Dia harus mempertim-bangkan kehadiran Setan Jubah Merah.

   Dia tidak ingin lagi berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa paman angkatnya.

   "Maaf, Kakek!"

   Seru Rangga tiba-tiba. Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tangan Rangga berhasil menghantam telak dada Setan Jubah Merah.

   "Aaaa...!"

   Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya terlontar ke belakang sejauh tiga tombak.

   "Paman...!"

   Pekik Saka Lintang. Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam tak bergerak sama sekali. Seluruh dadanya seperti hangus terbakar. Dia terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang tak terduga dilepaskan Rangga.

   "Kejam! Setan! Kubunuh kau!"

   Pekik Saka Lintang marah.

   Gadis itu segera menyerang Rangga dengan mengeluarkan jurus andalan terakhirnya.

   Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' yang dipadu dengan jurus 'Tarian Bidadari'.

   Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan telah terselimuti oleh hawa racun yang mematikan.

   Rangga kembali merubah jurusnya.

   Kali ini digunakannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Sekejap saja tubuhnya telah melambung di udara.

   Kedua tangannya merentang mengepak bagai sayap rajawali.

   Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Tubuhnya meluruk turun deras.

   Kakinya bergerak mengarah kepala lawan.

   Begitu cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak punya kesempatan lagi untuk mengelak.

   "Aaaa...!"

   Saka Lintang memekik keras.

   Gadis itu ambruk dengan kepala hancur berantakan.

   Darah seketika membasahi tanah.

   Rangga kembali mendarat Matanya memperhatikan tubuh Saka Lintang yang meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi.

   Sungguh tragis kematian gadis ini.

   Dia mati di tangan laki-laki yang dicintainya.

   Mati bersama rasa cinta, benci dan dendam.

   "He he he...."

   Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon muncul seorang kakek tua berpakaian compang-camping. Di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Siapa lagi kalau bukan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   "Menakjubkan, hebat..., hebat...,"

   Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai minum tempo hari,"

   Kata Rangga dengan tutur kata yang halus.

   "Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua yang hina,"

   Sahut Aki Lungkur. Rangga mendekat Aki Lungkur terkekeh.

   "Bagaimana kalau kita makan bersama lagi di bawah pohon sambil menikmati udara segar,"

   Kata Rangga teringat ketika dia memberikan sebungkus bekal makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir tegalan.

   "Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!"

   Ketika mereka akan melangkah, tiba-tiba terdengar suara Patih Giling Wesi mencegah.

   "Tunggu!"

   Mereka menoleh dan berbalik bersamaan.

   "Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang lain,"

   Kata Aki Lungkur.

   Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning.

   Gadis itu selalu menundukkan kepala terus, tetapi matanya melirik pada Rangga.

   Hatinya makin berdebar-debar kalau kebetulan matanya beradu pandang.

   Kalau sudah demikian, cepat-cepat matanya dialihkan mencari pandangan lain.

   "Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari mana kau berasal?"

   Tanya Patih Giling Wesi.

   "Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih. Nama hamba Rangga,"

   Jawab Rangga merendah.

   "Rangga...,"

   Patih Giling Wesi menggumamkan nama itu beberapa kali. Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanya-tanya.

   "Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang dua puluh tahun lalu,"

   Patih Giling Wesi setengah bergumam.

   Rangga terkejut juga mendengarnya.

   Cepat-cepat diturupi rasa kaget itu dengan senyum.

   Memang benar gumaman patih ini.

   Rangga jadi bertanya-tanya, apakah Patih Giling Wesi kenal dengan ayahnya? "Nama bisa saja sama, Gusti Patih,"

   Kata Rangga buru-buru. Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah kenangan pahit itu dia sendiri yang tahu.

   "Nama memang bisa saja sama. Tapi...,"

   Patih Giling Wesi mengamati wajah Rangga dengan teliti sekali.

   Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat.

   Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu.

   Tapi di mana? Kapan pernah bertemu? Ingatannya terus berputar.

   Tiba-tiba dia tersentak Benar! Tidak salah lagi.

   Wajahnya sangat mirip dengan Adipati Karang Setra.

   Dua puluh tahun yang lalu terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang hendak menuju ke kota Kerajaan Ayahandanya.

   (Baca serial.

   Pendekar Rajawali Sakti.

   Episode.

   Iblis Lembah Tengkorak).

   Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga.

   Masalahnya, anak laki-laki Adipati hilang tanpa bekas.

   Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah Bangkai.

   Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk ke jurang Lembah Bangkai.

   Karena sudah pasti, siapa saja yang masuk ke dalam jurang itu tak akan pernah selamat.

   Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya sendiri.

   Antara percaya dan tidak.

   Antara mengakui dan membantah.

   Dia berusaha memecahkan teka-teki ini.

   Siapakan anak muda perkasa yang ada di depannya ini? *** Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening.

   Tidak ada yang mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu pembicaraan Patih Giling Wesi.

   Patih itu sendiri sampai saat ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu.

   Dia belum dapat memastikan perihal anak muda ini.

   Ah! Siapa pun dia, yang jelas jasanya sangat besar.

   Kalau tidak ada pendekar muda ini, entah bagaimana nasib putrinya.

   Batin Patih Giling Wesi bicara sendiri.

   "Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak mengganggu perjalananmu , sudi kau mampir sebentar di Kepatihan,"

   Patih Giling Wesi mengundang.

   Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di sampingnya.

   Pengemis tua itu mengangguk-angguk kepalanya.

   Tentu dia setuju karena antara dia dan patih itu telah terjalin suatu persahabatan.

   Rangga belum menjawab.

   Matanya beralih memandang Intan Kemuning.

   Seketika dua pasang mata saling berpandangan.

   Intan Kemuning jadi gelagapan.

   Cepat dialihkan pandangannya ke tempat lain.

   Tapi bibirnya sempat memberikan senyum manis.

   "Baiklah,"

   Sahut Rangga mendesah.

   "Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!"

   Ajak Patih Giling Wesi.

   Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu.

   Mereka menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan siap jadi santapan anjing-anjing hutan.

   Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit Kepatihan.

   Mereka segera menghampiri patih itu.

   Masing-masing menunggang kuda dan menuntun seekor kuda pula.

   Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh tujuh orang prajurit-prajurit lain.

   Patih Giling Wesi mengamati sisa prajurit-prajuritnya.

   Sungguh besar jasa mereka.

   Nyawa mereka korbankan hanya untuk menyelamatkan seorang putri patih.

   "Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima belas ekor,"

   Kata Rapaksa melapor.

   "Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan,"

   Sahut Patih Giling Wesi mendesah berat.

   Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda.

   Semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan Kemuning.

   Setahunya Intan Kemuning tidah pernah belajar naik kuda.

   Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan perampok, Intan Kemuning telah diajari naik kuda oleh Saka Lintang.

   Akhirnya pikiran patih itu tenang setelah melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda.

   Rombongan kecU berkuda itu terus meninggalkan bukit Guntur yang terlihat hijau.

   Mereka melewati jalur pintas, tidak menyusuri tepian sungai Ular.

   Hutan dirambah, padang diarungi, dan kini mereka telah dekat dengan sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur.

   Rombongan itu terus melewati desa itu.

   Patih Giling Wesi selalu berada di samping Intan Kemuning.

   Hatinya masih bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang kuda.

   *** Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu sampai di pintu Gerbang Kepatihan.

   Penjaga pintu segera membuka pintu ketika melihat Patih Giling Wesi yang datang bersama putrinya.

   Mereka pun segera masuk ke dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan pendopo.

   Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari kudanya.

   Rangga memandangi bangunan indah dan megah di depannya.

   Seketika dia teringat sewaktu masih tinggal di Kadipaten.

   Kediamannya juga tak kalah indahnya dengan bangunan itu.

   "Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu kehormatanku,"

   Kata Patih Giling Wesi.

   Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam keputrenan.

   Rasa rindu yang menggebu ingin segera bertemu ibundanya, membuat dia lupa sejenak terhadap Rangga.

   Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk ke bangsal utama Pendopo itu.

   Mereka kemudian duduk melingkar menghadapi meja.

   Beberapa orang pelayan datang menyediakan suguhan.

   "Silahkan,"

   Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya untuk minum. 'Terima kasih,"

   Ucap Rangga sambil mengangkat gelas yang sudah terisi arak manis.

   Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan.

   Beda dengan Aki Lungkur.

   Dia menenggak habis arak wangi mahal itu.

   Di mana lagi dia dapat minum arak selezat ini kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling Wesi? Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur kata Rangga.

   Dari situ dia merasa sedang berhadapan dengan seorang pemuda bangsawan.

   Sikap Rangga memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya.

   Biasanya tokoh-tokoh rimba persilatan selalu tidak peduli dengan tata krama.

   "Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini barang satu atau dua malam,"

   Kata Patih Giling Wesi lagi.

   "Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!"

   Aki Lungkur cepat menerima sebelum Rangga membuka suara.

   Sebenarnya Rangga ingin menolak.

   Tetapi karena Aki Lungkur sudah menerima, dia hanya bisa angkat bahu saja.

   Memang tidak ada salahnya menginap barang sehari setelah sepanjang hari menguras tenaga menyabung nyawa.

   Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali.

   Dua orang punggawa datang mendekat.

   Mereka memberi hormat.

   "Antarkan tamu-tamuku ke tempat istirahatnya,"

   Perintah Patih Giling Wesi. Kedua punggawa itu kembali memberi hormat.

   "Silahkan,"

   Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya mengikuti para punggawa yang mengantarkan ke peristirahatan.

   Aku Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat istirahatnya.

   Rangga masih duduk di kursinya.

   Setelah mendapat anggukan dari Patih Giling Wesi, dia pun bangkit melangkah mengikuti punggawa.

   Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya.

   Di sebuah kamar yang indah dan luas, punggawa itu berhenti.

   Dia menyilahkan Rangga masuk, dan segera pergi setelah tugasnya selesai.

   Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Indah sekali ruangan ini.

   Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan Kemuning tengah duduk di bangku taman sendirian.

   Diamatinya sebentar, dan memang kelihatannya Intan Kemuning juga tengah memandang ke arahnya.

   Entah melihat atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju pada Rangga.

   Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.

   Bergegas dia membukanya.

   Aki Lungkur segera menerobos masuk dan menutup kembali.

   Rangga mengernyitkan keningnya melihat pengemis tua itu seperti terburu-buru.

   "Ada apa, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Gawat!"

   Sahut Aki Lungkur.

   "Apanya yang gawat?"

   Tanya Rangga tidak mengerti.

   "Patih Giling Wesi curiga padamu."

   Rangga masih belum mengerti. Dia hanya menatap laki-laki tua itu tak berkedip.

   "Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa untuk menyelidiki asal-usulmu. Dia menduga kau anak Adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu."

   "Dia menduga begitu?"

   Rangga terkejut.

   "Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke sini menemuimu."

   "Mengapa Aki memberitahuku?"

   "Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak dibutuhkan oleh kaum lemah. Aku tidak peduli siapa dirimu. Yang penting aku sudah menganggapmu sahabat."

   Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. Rangga tidak ingin menjadi seorang pendekar tanpa masa lalu. Masa lalu yang tidak perlu diketahui orang lain. 'Terima kasih, Aki,"

   Ucap Rangga.

   "Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat luhur Patih Giling Wesi."

   "Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian bersahabat?"

   "Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang tersembunyi memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan menerimanya."

   Rangga hanya tersenyum saja.

   Dia meminta Aki Lungkur untuk pergi beristirahat.

   Laki-laki pengemis tua itu kembali ke luar setelah berpesan macam-macam.

   Rangga hanya mengangguk dan mengiyakan saja.

   Dia tidak mau bertele-tele melayani segala macam prasangka.

   Memang hatinya telah menduga, hal apa yang akan dikatakan Aki Lungkur tadi.

   Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang ke arah taman.

   Intan Kemuning masih duduk di sana memandang ke arahnya.

   Gadis itu memang cantik.

   Tak ada orang di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada gadis ini.

   Rangga sendiri sebenamya juga tertarik.

   Rangga melangkahkan kakinya ke luar kamar.

   Matanya tajam mengawasi setiap tempat yang dilalui.

   Setiap sudut, dua orang prajurit pasti ada di situ.

   Ketat sekali penjagaan di Kepatihan ini.

   *** Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah menghampirinya.

   Dia tidak beranjak dari duduknya.

   Sikapnya tetap anggun meskipun selama beberapa hari ditempa dengan latihan-latihan keras oleh Saka Lintang.

   Jiwa kebangsawanannya tetap tidak luntur.

   "Boleh aku duduk di sini?"

   Tanya Rangga.

   "Oh! Boleh, boleh,"

   Sahut Intan Kemuning tergagap.

   "Indah sekali taman ini,"

   Desah Rangga setelah duduk di samping gadis itu.

   "Ya,"

   Sahut Intan Kemuning. 'Tapi ada yang lebih indah lagi untuk dipandang."

   "Apa?"

   "Wajahmu."

   Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah dadu. Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian Rangga mengena di hatinya. Rasa-nya dia ingin seribu kali mendengamya.

   "Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang gagah dan tampan,"

   Kata Rangga.

   "Adakah pangeran yang cocok untukku?"

   Tanya Intan Kemuning ingin menegaskan.

   "Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan dan gagah menghampirimu."

   "Kapan?"

   "Satu saat nanti."

   "Siapa pangeran itu?"

   Rangga tidak menjawab. Dia tersenyum saja. Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan Intan Kemuning menundukkan kepalanya.

   "Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan,"

   Bisik Rangga dekat sekali dengan wajah Intan Kemuning.

   "Oh.","

   Intan Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi.

   Hatinya berbunga-bunga.

   Kedua lengannya berkembang masuk ke dalam pelukan Rangga.

   Dan mereka memperketat rangkulan-nya....

   SELESAI Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   Deeemart86 Ebook pdf oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusi.info/

   
http.//cerita_silat.cc/

   

   

   

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto

Cari Blog Ini