Kemelut Pusaka Leluhur 2
Pendekar Rajawali Sakti Kemelut Pusaka Leluhur Bagian 2
Sama sekali tidak mengisyaratkan ada sesuatu.
"Lebih waspada, Paman,"
Bisik Rangga memperingatkan.
"Ya...,"
Paman Bayan Sudira hanya bisa mendesah saja.
"Auuum...!"
Kembali terdengar auman yang panjang bergema.
Belum lagi suara auman itu hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja muncul seekor harimau yang sangat besar.
Begitu besarnya sehingga hampir menyamai seekor anak sapi.
Harimau itu menggerung-gerung sambil mencakar-cakar tanah berumput.
Sepasang matanya merah menyala menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrauuughk...!"
Harimau itu menggeruk dahsyat, hingga menggetarkan bumi.
Tiba-tiba saja binatang buas itu melompat cepat sambil memamerkan kuku-kukunya yang mengembang lebar.
Rangga benar-benar terperangah melihat harimau yang begitu besar, dan kini melompat hendak menerkamnya.
Begitu cepatnya harimau itu menyerang, tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang terterjang binatang itu.
Dua batang pohon hancur terlanda tubuh Rangga.
Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit.
Dan kembali dia terperangah, karena harimau itu sudah melompat lagi hendak menerkamnya.
Cepat-cepat Rangga melompat ke samping dan bergulingan di tanah beberapa kali.
Terkaman harimau itu mengenai tempat kosong.
Binatang itu menggeram keras, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Edan! B inatang macam apa ini...?!"
Gumam Rangga. Harimau itu sudah kembali me lompat menerkam. Tapi kali ini Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dia berdiri tegak menanti serangan itu. Dan begitu harimau itu sudah demikian dekat...
"Yaaah...!"
Rangga mengayunkan pukulan mautnya, dan mendarat telak di wajah harimau itu.
Pukulan itu demikian keras sehingga membuat harimau tersebut terpental jauh ke belakang.
Raungannya begitu keras.
Di luar dugaan, harimau itu masih bisa bangkit kembali dengan tegak! Bahkan kembali melompat menyerang dengan ganas.
"Hup!"
Rangga melompat ke atas, lalu menukik deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' .
Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya, dilancarkannyalah dua kali tendangan disusui satu pukulan bertenaga dalam penuh ke tubuh binatang buas itu.
"Grhaaauuugh... !"
Harimau itu meraung keras.
Hanya dua kali dia berguling di tanah, lalu bangkit kembali.
Rangga yang sudah berdiri tegak, jadi me langkah mundur beberapa tindak.
Pukulan dan tendangannya yang sangat dahsyat, begitu telak mengenai sasaran.
Tapi harimau itu masih tetap tegar.
Tidak terdapat luka sedikit pun di tubuhnya.
Rangga sendiri jadi bingung.
Padahal, tadi sudah dikerahkan tenaga dalam penuh, tapi harimau itu tidak terpengaruh sedikit pun.
"Dia tidak bisa dibunuh, Rangga,"
Kata Paman Bayan Sudira yang sejak tadi hanya menonton saja.
"Apa...?"
Tanya Rangga. Belum juga Paman Bayan Sudira menjawab mendadak....."Ha ha ha...!"
Oo-dw-ray-oO Suara tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru.
Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.
Hampir seluruh wajahnya tertutup cambang dan kumis tebal.
Sepasang matanya bulat seperti mata kucing, berwarna kuning.
"He he he...!"
Orang itu tertawa terkekeh, lalu melangkah mendekati harimau besar itu dan menepuk-nepuk lehernya. Harimau itu mendekam dan kelihatan jinak.
"Macan Gunung Sumbing...,"
Desis Paman Bayan Sudira yang sudah berdiri di samping Rangga.
"Siapa dia?"
Tanya Rangga setengah berbisik.
"Tokoh persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya,"
Jelas Paman Bayan Sudira singkat.
"Hm. Apa maksudnya berada di s ini?"
Tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku sendiri tidak tahu, Rangga. Dua kali dia mencegatku, tapi tidak melakukan apa-apa. Hanya..."
"Hanya apa?"
"Dia tidak ingin aku ke Kerajaan Jiwanala.
"
"0... !?"
"Bukan hanya dia! Masih ada beberapa lagi yang coba-coba menghalangiku ke Jiwanala untuk mencarimu, Rangga. Salah satunya adalah Sepasang Naga Hitam.
"
"Paman, apakah ini ada hubungannya dengan Pusaka Karang Setra?"
Tanya Rangga.
"Entahlah! Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu, tapi anehnya selalu menghalangi siapa saja yang datang dari Karang Setra ke Jiwanala Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh jika larangannya dilanggar."
"He he he..., tidak sia-sia aku jauh-jauh datang ke sini,"
Macan Gunung Sumbing terkekeh seraya melangkah mendekati Rangga. Sedangkan harimau besar itu masih mendekam tidak bergeming.
"Kau yang berjuluk Macan Gunung Sumbing?"
Tanya Rangga memastikan.
"Benar. Dan, aku yakin kau Pendekar Rajawali Sakti,"
Sahut Macan Gunung Sumbing.
"Gunung Sumbing cukup jauh dari sini. Apa yang membuatmu hingga ke tempat ini, Macan Gunung Sumbing?"
Tanya Rangga, terdengar tenang suaranya.
"He he he..., pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Panglimamu sudah bisa menjawabnya, Pendekar Rajawali Sakti,"
Jawab Macan Gunung Sumbing terkekeh. Rangga menoleh pada Panglima Bayan Sudira, seolah-olah meminta penjelasan pada Panglima Karang Setra itu. Tapi yang ditatap hanya mengangkat bahunya saja.
"He he he..., kenapa tidak kau jelaskan saja semuanya, Panglima Bayan Sudira?"
Terdengar sinis nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Macan Gunung Sumbing! Apa yang kau bicarakan!?"
Bentak Paman Bayan Sudira, memerah wajahnya.
"Aku bicara cukup jelas, Panglima. Kenapa masih juga menutup-nutupi? Katakan saja terus terang pada rajamu. Tapi, mungkin sudah terlambat He he he...,"
Kembali Macan Gunung Sumbing terkekeh.
"Tutup mulutmu, keparat! "
Bentak Paman Bayan Sudira geram.
"He he he...!"
Macan Gunung Sumbing malah tertawa semakin keras.
"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaa. ..!"
Panglima Bayan Sudira rupanya sudah tidak kuat lagi menahan amarahnya.
Cepat sekali dia me lompat sambil mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam cukup tinggi, tapi semuanya mampu dielakkan Macan Gunung Sumbing dengan manis.
Pertarungan Itu tidak mungkin lagi dihindarkan.
Sementara Rangga hanya bisa memandang tanpa berbuat apa-apa.
Sebab, dia sendiri masih belum mengerti, apa yang dibicarakan Macan Gunung Sumbing bersama Panglima Bayan Sudira tadi.
Sementara Rangga hanya bisa mengawasi harimau yang mendekam di bawah pohon.
Dia berjaga-jaga kalau-kalau harimau itu berlaku curang membokong Panglima Bayan Sudira.
Sementara pertarungan berlangsung semakin sengit.
Sudah puluhan jurus berlangsung, tapi belum terlihat tanda-tanda bakal ada yang unggul.
Sedangkan Paman Bayan Sudira sudah menggunakan pedangnya yang sangat diandalkan.
Jurus-jurus pedangnya luar biasa.
Pedang keperakan itu sampai tidak terlihat bentuknya lagi.
Yang nampak kini hanya kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing.
Namun pada tahap-tahap yang menentukan, terlihat kalau Paman Bayan Sudira mulai terdesak.
Beberapa kali pukulan telak mendarat di tubuhnya.
Panglima Bayan Sudira harus bergulingan dan berlompatan menghindari serangan-serangan Macan Gunung Sumbing.
Serangan-serangan itu sangat dahsyat, sehingga di sekitar pertarungan bagaikan habis diamuk puluhan gajah.
"Hm. Dalam satu atau dua jurus, Paman Bayan Sudira tidak akan bertahan lagi.
"
Gumam Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat.
Satu pukulan telak telah mendarat di dada Panglima Bayan Sudira, sehingga laki-laki itu terpental keras menghantam tanah berumput.
Pada saat itu, harimau besar yang sejak tadi mendekam saja, melompat cepat ke arah Panglima Bayan Sudira sambil meraung keras.
Rangga sempat tersentak sesaat, kemudian bagaikan kilat melompat menerjang harimau itu.
"Hiyaaat...!"
"Grhaugh...!"
Harimau itu menggerung keras.
Tubuhnya terpental deras hingga menghantam pohon.
Tendangan Rangga yang bertenaga dalam sempurna itu membuat binatang itu menggerung kesakitan.
Namun, dia mampu bangkit kembali tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya.
Sementara itu Panglima Bayan Sudira sudah mampu bangkit kembali meskipun tidak bisa tegak.
Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar.
"Belum waktunya kau ikut campur, Pendekar Rajawali Sakti!"
Dengus Macan Gunung Sumbing.
"Tidak seharusnya piaraanmu berlaku curang!"
Balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Harimauku tidak curang! Panglimamulah yang sudah kalah. Dia hanya minta bagiannya, Pendekar Rajawali Sakti. Setiap lawanku yang kalah, harus menjadi santapannya! "
Tegas Macan Gunung Sumbing, tetap dingin suaranya.
"Aku belum kalah!"
Geram Panglima Bayan Sudira.
"He he he.... Nyawamu tinggal seujung rambut lagi, Panglima. Bicaralah dengan jujur sebelum terbang ke neraka!"
Suara Macan Gunung Sumbing terdengar ketus.
"Keparat! Kau tidak berhak menekanku!"
Bentak Panglima Bayan Sudira.
"Tunggu...!"
Bentak Rangga begitu Panglima Bayan Sudira akan menerjang.
"Gusti...,"
Panglima Bayan Sudird membungkuk sedikit "Sejak tadi kalian seperti memperebutkan sesuatu. Apa yang kalian pertengkarkan?"
Tanya Rangga tidak sabar lagi. Dia memang sudah kebingungan, ingin tahu permasalahan kedua orang itu.
"Tanyakan saja pada panglimamu, Pendekar Rajawali Sakti,"
Dengus Macan Gunung Sumbing.
"Paman...,"
Rangga menatap pada Panglima Bayan Sudira.
"Ampun, Gusti. Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa. Orang ini memang hanya mencari-cari perkara saja. Dia menginginkan Pusaka Karang Setra itu, Gusti,"
Jelas Panglima Bayan Sudira. Rangga mengalihkan pandangannya pada Macan Gunung Sumbing, tapi yang dipandang ma lah tertawa terbahak-bahak Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berkerut keningnya. Kembali ditatapnya Panglima Bayan Sudira.
"Kau tidak berdusta, Paman?"
Tanya Rangga.
"Ampun, Gusti. Hamba mengatakan yang sebenarnya,"
Tegas Panglima Bayan Sudira.
"Ha ha ha...! Sungguh berani sekali mendustai raja besar yang mengangkatmu jadi terhormat Kenapa tidak berkata terus terang saja kalau kau yang mengambil Pusaka Karang Setra itu Jangan memfitnah orang-orang yang tidak bersalah hanya untuk menutupi perbuatanmu!"
Kata Macan Gunung Sumbing lantang.
"Setan! Tutup mulutmu!"
Bentak Panglima Bayan Sudtra geram.
Panglima Kerajaan Karang Setra itu tidak bisa lagi membendung amarahnya, dan langsung melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Macan Gunung Sumbing.
Tapi pada saat yang sama Rangga melompat cepat bagaikan kilat.
Tangannya menjulur menampar pergelangan tangan Panglima Bayan Sudira.
"Tahan...!"
Sentak Rangga.
Panglima Bayan Sudira memegangi pergelangan tangannya.
Tepakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat tulang pergelangan tangannya seperti remuk.
Pedang yang dipegangnya pun terpental dan menancap di tanah tidak jauh darinya.
Panglima Bayan Sudira buru-buru membungkuk memberi hormat.
Sementara Macan Gunung Sumbing hanya terkekeh kecil.
"Kendalikan amarahmu, Paman. Akan kuselesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah!"
Kata Rangga penuh wibawa.
"Dia benar! Kau tidak perlu malu untuk mengatakannya. Aku yakin, rajamu akan bertindak adil dan bijaksana,"
Celetuk Macan Gunung Sumbing. Rangga menatap tajam Macan Gunung Sumbing.
"Baik. Aku akan pergi meninggalkan kalian berdua. Tapi ingat, urusan ku dengan Bayan Sudira belum tuntas. Juga denganmu, Pendekar Rajawali Sakti,"
Kata Macan Gunung Sumbing.
Setelah berkata demikian, Macan Gunung Sumbing melangkah pergi diikuti harimaunya yang besar.
Rangga memandangi kepergian tokoh sakti itu dengan kening agak berkerut.
Macan Gunung Sumbing menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
"Hanya satu yang perlu kau ingat, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah berjasa padamu membongkar persoalan ini,"
Kata Macan Gunung sumbing.
"Ayo, Belang!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, Macan Gunung Sumbing sudah lenyap dari pandangan.
Harimau besar itu mengaum keras, kemudian melompat mengikuti majikannya.
Rangga menarik napas panjang.
Kata-kata Macan Gunung Sumbing yang terakhir tadi kini mengganggu pikirannya.
Sulit dimengerti, apa yang dimaksudkan tokoh sakti itu.
Oo-dw-ray-oO Rangga melangkah perlahan-lahan menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun cukup datar untuk diduduki.
Di samping batu itu berdiri sebatang pohon rindang, cukup nyaman untuk berlindung dari sengatan matahari.
Rangga duduk bersila di atas batu itu, sedangkan Panglima Bayan Sudira hanya berdiri dengan kepala tertunduk.
"Mendekatlah kemari, Paman,"
Pinta Rangga.
"Hamba, Gusti."
Panglima Bayan Sudira memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri. Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya tetap tertunduk menekun rerumputan di depannya. Sementara Rangga menatap tidak berkedip.
"Paman, aku ingin penjelasan yang lengkap. Kuharap kau berterus terang dan berkata jujur,"
Kata Rangga tegas dan berwibawa.
"Ampun, Gusti. Semua yang dikatakan Macan Gunung Sumbing sama sekali tidak benar. Pusaka Karang Setra benar-benar hilang dicuri. Sampai sekarang belum jelas, siapa pencurinya dan di mana pusaka itu berada,"
Kata Panglima Bayan Sudira setelah memberi hormat.
"Benarkah yang kau katakan itu, Paman?"
Tanya Rangga bernada tidak percaya.
"Dewata di Swargaloka menjadi saksi Gusti"
Sumpah Panglima Bayan Sudira.
"
"Baiklah. Aku percaya padamu, Paman. Hanya saja...,"
Rangga memutuskan ucapannya "Hanya apa, Gusti?"
Desak Panglima Bayan Sudira.
"Dari mana Macan Gunung Sumbing tahu tentang pusaka itu? Dan kenapa menuduh bahwa kau yang mengambilnya...?"
Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Gusti, dia hanya ingin memfitnah saja. Yang diinginkan. sebenarnya pusaka itu, seperti halnya tokoh-tokoh lain. Berbagai cara pasti ditempuh untuk memperolehnya,"
Jelas Panglima Bayan Sudira.
Tatapan Rangga semakin tajam ke arah laki-laki hampir setengah baya di depannya.
Sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan terhadap keterangan Panglima Bayan Sudira.
T erlalu mudah rasanya untuk alasan seperti itu.
Macan Gunung Sumbing bukanlah tokoh yang suka berbuat sekeji itu, meskipun sepak terjangnya selalu merugikan dan mencelakakan orang lain.
Tapi untuk memfitnah, memecah belah dan berlaku keji seperti ini..., rasanya hal itu tidak pernah dilakukan Macan Gunung Sumbing.
Setahunya tokoh itu selalu bertindak jantan, meskipun seluruh tokoh rimba persilatan menggolongkannya dalam aliran hitam.
Tindak tanduknya yang liar dan kejam tanpa mengenal belas kasihan pada siapa pun, sangat memungkinkan dia ada di golongan hitam.
"Gusti, percayalah! Hamba tidak mungkin berkhianat. Justru hamba sekarang berada di sini karena mencari pusaka itu, selain untuk mengabarkan kepada Gusti,"
Kata Panglima Bayan Sudira berusaha meyakinkan junjungannya.
"Hhh... !"
Rangga menarik napas panjang.
Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan melangkah menghampiri kudanya yang tengah asyik merumput.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung kudanya.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.
Sedangkan Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila dengan kepala tertunduk.
Dia tahu kalau Rangga tidak mempercayai keterangannya.
Rasa curiga dan ketidakpercayaan kini sudah terselip di hati Raja Karang Setra itu.
"Tunjukkan kesetiaanmu, Paman. Jangan temui aku sebelum bisa menunjukkan kesetiaanmu"
Kata Rangga tegas dan berwibawa.
"Gusti...!"
Panglima Bayan Sudira tersentak kaget "Aku benar-benar kecewa jika kau berkhianat, Paman.
Selama ini kau selalu kupercaya, dan kuberikan kekuasaan penuh menangani seluruh prajurit Karang Setra.
Aku tidak ingin kejadian ini menyebar dan membuat malu dirimu sendiri.
Kau kuberi kesempatan untuk membuktikan kejujuranmu padaku.
"
Kata Rangga lagi.
"Gusti, ampunkan hamba.... Hamba tidak berkhianat,"
Rintih Panglima Bayan Sudira memohon.
"Aku percaya padamu, Paman. Tapi saat ini harus kau tunjukkan dan perlihatkan kepercayaan yang telah kuberikan padamu. Tunjukkanlah kalau kau seorang abdi setia yang patut dipercaya."
"Oh, Gusti..,. Hukumlah hamba, Gusti. Hukumlah seberat-beratnya bila memang hamba berkhianat,"
Rintih Panglima Bayan Sudira.
"Hukuman tetap akan dijalankan bila kau bersalah."
"Oh...."
Lemas seluruh tubuh Panglima Bayan Sudira.
Walaupun dengan merintih dan memohon ampun, tapi keputusan Rangga tidak bisa dicabut kembali.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan Panglima Bayan Sudira yang berlutut sambil merintih lirih.
Rangga sudah tidak terlihat lagi bersama Kuda Dewa Bayu.
Laki-laki dari Karang Setra itu bangkit berdiri sete lah bisa menghilangkan kegundahan hatinya.
Perlahan-lahan dia melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke punggung kuda itu.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Begitu berat cobaan yang Kau timpakan padaku.
"
Rintih Panglima Bayan Sudira.
Kuda itu melangkah perlahan-lahan membawa Panglima Bayan Sudira di punggungnya.
Laki-laki hampir separuh baya itu tidak peduli ke mana kudanya akan membawa.
Seluruh gairah hidupnya sudah hilang dengan hilangnya kepercayaan Rangga padanya.
Dan semua itu akibat kemunculan si Macan Gunung Sumbing.
Panglima Bayan Sudira benar-benar mendendam pada tokoh hitam itu yang telah menghancurkan segala-galanya dengan memfitnahnya langsung di depan junjungannya itu.
Hanya, Panglima Bayan Sudira memang tidak bisa menyalahkan Pendekar Rajawali Sakti yang juga junjungannya di Kerajaan Karang Setra.
Memang tidak bisa dibantah semua yang dituduhkan Macan Gunung Sumbing padanya.
Meskipun tuduhan itu tanpa bukti yang nyata.
Dan kini harus ditunjukkan kalau dirinya tidak bersalah sama sekali.
Oo-dw-ray-oO Sementara itu di bagian Barat Kerajaan Jiwanala, tepatnya di pinggir Hutan Kemukus, tampak dua orang sedang bertarung sengit Di sekitar tempat pertarungan itu, tergeletak beberapa sosok tubuh berpakaian seragam prajurit Kerajaan Jiwanala.
Dua orang yang sedang bertarung itu adalah seorang laki-laki tua melawan seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga.
Tampaknya pertarungan itu sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi.
Serangan-serangan mereka begitu dahsyat, disertai gerakan-gerakan cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
Percikan bunga api terlontar setiap kali terdengar dentingan dua senjata beradu.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, disusul melesatnya sebilah pedang berwarna keemasan.
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara pekikan tertahan.
Tampak laki-laki tua berbaju indah dari bahan sutra halus terhuyung-huyung keluar dari arena pertarungan itu.
Sebelah tangan kirinya menekap dada.
"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, kau bukan lawanku, kakek peyot!"
"Phuih!"
Laki-laki tua itu menyemburkan ludahnya.
Cring! Sambil menggeram keras, dikeluarkan sepasang senjata berbentuk bola-bola kecil berduri berjumlah lima pada setiap ujung-ujung rantainya yang pendek.
Senjata itu tergenggam di tangan kanan dan kirinya.
Laki-laki tua itu dengan lincah memain-mainkan senjatanya.
Sedangkan perempuan tua itu tetap kelihatan tenang mengelus-elus sekuntum bunga mawar berwarna jingga yang cukup besar ukurannya.
Bunga mawar itu memiliki tangkai cukup panjang dan berkeluk-keluk.
"Hiya...!"
"Hait! "
Laki-laki tua itu kembali melompat menerjang sambil melontarkan rantai yang ujungnya terdapat bola-bola kecil berduri tajam.
Senjata itu mengarah ke kaki, tapi wanita tua itu dapat melompat dengan lincah menghindari serangan itu.
Namun pada saat tubuhnya berada di udara, senjata yang sama di tangan kiri laki-laki tua itu mendesing cepat "Hiat!"
Trang! Perempuan tua itu mengebutkan senjata tongkat pendek dengan bunga mawar jingga pada ujungnya.
Dua senjata beradu di udara.
Betapa terkejutnya perempuan tua itu, karena rantai dengan bola-bola berduri itu membelit senjatanya.
Tapi rasa terkejutnya hanya sebentar saja, karena dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam disentakkan senjatanya kuat-kuat.
"Akh!"
Laki-laki tua itu memekik tertahan.
Kalau saja tidak cepat-cepat melepaskan senjatanya, sudah pasti tangan laki-laki tua itu copot ikut tertarik.
Dan belum lagi laki-laki tua itu sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, perempuan tua itu sudah mengibaskan senjatanya ke arah kepala.
Tring! Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih bercampur biru berkilau melesat menyambar ujung tongkat berbentuk bunga mawar jingga itu.
Perempuan tua berbaju jingga terpekik tertahan, lalu cepat melompat mundur disertai putaran dua kali di udara.
"Monyet..,"
Geram perempuan tua itu.
Tahu-tahu di samping laki-laki tua itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.
Pedangnya berwarna biru berkilau telah menyilang di depan dada.
Pemuda itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya di balik punggung.
Cahaya biru langsung lenyap seketika.
"Kau tidak apa-apa, Paman Patih?"
Tanya pemuda itu lembut Namun tatapan matanya tidak lepas pada wanita tua yang bersungut-sungut sambil memijit-mijit pergelangan tangan kanannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa. Ah! Untung kau cepat datang, Rangga .
"
Sahut laki-laki tua yang ternyata adalah Patih Raksajunta.
"Siapa dia, Paman?"
Tanya Rangga.
"Dia yang bernama Iblis Mawar Jingga,"
Jawab Patih Raksajunta.
"Iblis Mawar Jingga...,"
Desis Rangga menggumamkan nama yang disebutkan Patih Raksajunta.
Rangga jadi teringat akan cerita Panglima Bayan Sudira, yang menyebut-nyebut nama Iblis Mawar Jingga.
Dikatakan bahwa iblis itu juga menginginkan Pusaka Karang Setra.
Sejenak Rangga menatap tajam pada wanita tua itu, kemudian beralih menatap pada Patih Raksajunta.
Pandangannya lalu berkeliling merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah.
Semua mayat itu adalah para prajurit Jiwanala, yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.
"Apakah dia yang membantai mereka, Paman?"
Tanya Rangga agak tertahan suaranya.
"Benar! Dia itu memang manusia iblis!"
Sahut Patih Raksajunta menahan geram.
"Hm, kenapa?"
Tanya Rangga lagi.
Belum sempat Patih Raksajunta menjawab, Iblis Mawar Jingga sudah tertawa mengikik.
Suaranya mampu mendirikan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya.
Rangga mengalihkan perhatiannya, lalu menatap tajam pada wanita tua bersenjata tongkat pendek yang ujungnya berbentuk bunga mawar besar berwarna jingga.
Rangga bisa menduga kalau bunga mawar itu pasti terbuat dari bahan yang sangat keras dan tajam.
Pendekar Rajawali Sakti sudah menjajal keampuhan tongkat berujung bunga mawar jingga itu tadi, ketika menghalaunya dengan Pedang Rajawali Sakti.
Senjata itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan tenaganya sendiri yang sedikit bergetar ketika senjatanya bersentuhan dengan senjata perempuan tua itu.
Sudah bisa ditebak kalau Iblis Mawar Jingga memiliki kepandaian yang tinggi.
Jelas ini tidak bisa dianggap remeh.
Tidak heran kalau Patih Raksajunta terdesak, dan sukar menandinginya.
"Kau pasti Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Raja Karang Setra itu,"
Kata Iblis Mawar Jingga setelah berhenti tertawa.
"Benar "
Sahut Rangga tegas.
"pucuk dicinta ulam tiba...,"
Ucap Iblis Mawar Jingga berbinar matanya.
"Aku memang sedang mencarimu, anak Muda. Sungguh beruntung sekali bisa berjumpa di tempat jelek ini,"
Lanjutnya.
"Apa perlumu mencariku?"
Tanya Rangga.
"Serahkan pusaka itu padaku! "
Tegas Iblis Mawar Jingga dingin.
"Pusaka... ?!"
Rangga terkejut keheranan.
"Pusaka apa?"
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Rajawah Sakti! Pasti sudah kau dapatkan pusaka itu dari panglimamu!"
Bentak Iblis Mawar Jingga sengit.
"Tunggu dulu! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu,"
Kata Rangga.
"Jangan berpura-pura bodoh di depanku, Rangga. Bukankah kau sudah bertemu dengan Panglima Bayan Sudira? Cepat, serahkan pusaka itu, atau kau ingin bernasib sama dengan yang lain?"
"Aku tidak mengerti, pusaka apa yang kau inginkan? Pusakaku hanya satu yaitu nyawaku sendiri. Lantas, pusaka apa yang kau maksud?"
Rangga berpura-pura. Padahal dalam hatinya sudah bergejolak menahan marah. Tapi dia harus bisa bersabar agar mendapat keterangan cukup tentang pusaka leluhur Karang Setra yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Kau benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura bodoh! Seorang raja di Karang Setra, mustahil tidak mengetahui di mana pusaka itu berada!"
Dengus Iblis Mawar Jingga sengit.
"Maaf, aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu,"
Kata Rangga semakin menahan geramnya.
"Lagi pula untuk apa menginginkan barang orang lain, kalau memang bukan kepunyaan sendiri?"
"Keparat! Berani kau mempermainkanku, heh?! "He...! Tunggu!"
Tapi Iblis Mawar Jingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Rasanya benar-benar dipermainkan oleh sikap Rangga yang seperti orang bodoh. Pura-pura tidak mengetahui permasalahannya. Cepat sekali dia melompat sambil mengibaskan senjatanya.
"Tahan! Hup...!"
Peringatan Rangga sudah tidak digubris lagi.
Iblis Mawar Jingga sudah menyerang dengan dahsyat.
Terpaksa Rangga melompat mundur menghindari tebasan senjata itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat tersentak kaget begitu merasakan angin sambaran senjata Itu demikian kuat dan berhawa panas luar biasa.
Sementara Patih Raksajunta juga melompat ke samping, menjauhi kedua tokoh itu.
Rangga tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
T erpaksa dilayaninya dengan mempergunakan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Satu jurus yang sering digunakan untuk menjajagi tingkat kepandaian lawannya.
urus Itu hanya mengandalkan gerakan kaki dan kelenturan tubuh.
Sifatnya juga bukan untuk menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan.
Oo-dw-ray-oO Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang dapat membingungkan lawan, karena gerakan-gerakannya seperti tidak beraturan.
Rangga bagaikan orang mabuk yang bergerak hampir tidak sempurna.
Namun Iblis Mawar Jingga sukar untuk mendaratkan serangannya.
Setiap kali pukulan atau kibasan senjatanya hampir mengenai sasaran, Rangga selalu mampu menghindar dengan gerakan tubuh yang sukar untuk ditebak arahnya.
Tapi bagaimanapun tingginya tingkatan jurus, pasti mempunyai kelemahan.
Dan Iblis Mawar Jingga mengetahui kelemahan itu sete lah mampu memaksa Rangga bertarung sampai delapan jurus.
Mengetahui kelemahan itu, Iblis Mawar Jingga cepat merubah pola serangannya.
Kini tidak lagi dihiraukan gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tapi dipusatkan perhatiannya pada gerak kaki.
"Edan!"
Dengus Rangga merasa kewalahan juga menghindari serangan senjata wanita tua itu.
Menyadari kalau kelemahan jurusnya sudah diketahui lawan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya.
Kini digunakanlah jurus pertama dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Namun itu pun tidak menolong banyak, karena Iblis Mawar Jingga dapat mengimbanginya.
Jurus demi jurus dilampaui dengan cepat.
Dan pertarungan itu meningkat semakin dahsyat.
Gerakan-gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar.
Kini pertarungan telah memasuki pada jurus-jurus andalan Dan itu dilalui dengan cepat dan berganti-ganti.
Rangga sendiri harus mengakui kalau lawannya kali ini benar-benar tangguh.
Hampir semua jurus andalannya d1keluarkan, tapi Iblis Mawar Jingga belum juga bisa terdesak.
"Kau hebat, Anak Muda. Tapi jangan harap bisa mengalahkanku,"
Dengus Iblis Mawar Jingga.
"Keluarkan semua kepandaianmu, Perempuan Tua!"
Balas Rangga memanasi.
"Setan! Hih...!"
Iblis Mawar Jingga menggeram marah dipanggil perempuan tua.
Meskipun sebenarnya sudah nenek-nenek, tapi pantang baginya dipanggil dem ikian.
Dengan kemarahan yang meluap, Iblis Mawar Jingga langsung memperhebat serangannya.
Senjatanya berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Menghadapi serangan dahsyat seperti ini, Rangga tidak punya pilihan lain lagi.
Segera dihunus senjata pusakanya.
Senjata yang jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terjepit Sret! "Hiyaaa.
..! "
Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Dengan pedang di tangan.
Rangga bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tanggung-tanggung lagi.
Kini dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Satu jurus yang sangat diandalkan dan jarang digunakan kalau tidak perlu.
"Setan! Ilmu apa yang dipakainya...?! "
Dengus Iblis Mawar Jingga merasa kerepotan juga menghadapi jurus itu.
Trang! Trang! Dua kali berturut-turut Rangga membabatkan pedangnya pada senjata Iblis Mawar Jingga.
Wanita tua itu memekik tertahan, dan langsung melompat mundur sejauh tiga batang tombak Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat satu helai bunga yang berada di ujung tongkatnya tanggal.
"Keparat..."
Geram Iblis Mawar Jingga.
Perempuan tua itu segera menggerak-gerakkan senjatanya d1 depan dada.
Sementara itu Rangga memperhatikan sehingga alisnya sedikit berkerut.
Dia tahu kalau perempuan tua itu sedang mempersiapkan ajiannya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu pun tidak berdiam diri saja.
Segera dipersiapkan satu ajian yang sangat ampuh dan diandalkan.
Rangga melintangkan pedangnya di depan dada.
Tangan kirinya perlahan-lahan bergerak menggosok pedangnya.
Cahaya biru menggumpal bergulung-gulung membentuk bulatan bagai bola.
Perlahan-lahan diangkat ujung pedangnya ke atas, lalu tangan kirinya disentuhkan pada ujung pedang Bulatan biru itu menempel pada tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Slap! Cring! Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, kemudian menyatukan kedua tangannya yang tergulung cahaya biru bulat.
Pada saat itu, Iblis Mawar Jingga juga sudah menyiapkan ajian dahsyatnya.
Dari kelopak bunga di ujung tongkatnya mengepul asap berwarna jingga.
Asap itu bergulung-gulung menebal, kemudian....
"Hiyaaat... !"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Rangga menghentakkan tangannya ke depan ketika Iblis Mawar Jingga melompat cepat.
Ujung tongkatnya dihentakkan ke depan dengan kuat.
Satu ledakan keras terjadi begitu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terhantam bunga pada ujung tongkat Iblis Mawar Jingga.
"Heh... !"
Oo-dw-ray-oO Bukan main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung senjatanya menyentuh telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis Mawar Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hih."
Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya.
Tapi tetap saja ujung senjata berbentuk bunga mawar Itu melekat erat di telapak tangan Rangga.
Bahkan kini terselimut cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan.
Iblis Mawar Jingga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik senjatanya kembali.
Namun betapa terkejutnya begitu menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya...?!"
Dengus Iblis Mawar Jingga terperangah.
Sementara sinar biru terus bergerak merayap menggulung tongkat Iblis Mawar Jingga.
Semakin lama semakin terasa kalau tenaga wanita itu kian tersedot.
Iblis Mawar Jingga berusaha menahan aliran tenaganya.
Namun semakin berusaha, semakin kuat tenaganya tersedot .
"Huh! Harus kugunakan aji 'Guntur Geni',"
Dengus Iblis Mawar Jingga dalam hati.
Di saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis Mawar Jingga mengerahkan aji 'Guntur Geni'.
Satu ajian yang sangat diandalkan.
Saat itu juga Rangga merasakan adanya satu aliran ilmu kesaktian yang dikeluarkan Iblis Mawar Jingga.
"Hm..., dia mulai mengerahkan ajian laln. Baik, akan kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir,"
Gumam Rangga dalam hati.
"Aji 'Guntur Geni'! Yeaaah..."
Teriak Iblis Mawar Jingga keras.
"Shaaa...!"
Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahap terakhir.
"Aaa...!"
Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat Dan darah keluar dari mulut maupun hidung.
Bahkan juga dari mata dan telinganya.
Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin keras dan menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa.
Iblis Mawar Jingga menjerit-jerit keras Tubuhnya menggeliat menggelepar kuat Darah semakin banyak keluar dari mulutnya.
Bahkan dari pori-pori kulit tubuhnya pun merembes darah segar.
Sementara itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya dari tongkat Iblis Mawar Jingga.
Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya tetap memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita tua itu.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat tangannya, dan memegang tangkai pedangnya.
"Hiyaaa... !"
Sambil berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya dan langsung me lompat seraya mengibaskan pedangnya ke leher Iblis Mawar Jingga "Aaa...!"
"Hup!"
Rangga kembali melompat mundur sejauh tiga batang tombak.
Cahaya biru lenyap seketika begitu ditarik kembali ajiannya.
Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang Rajawali Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik punggung.
Rangga berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar Jingga.
Perempuan itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak.
Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah, dan kepalanya menggelinding terpisah dari leher.
Darah langsung menyembur keluar dari leher yang buntung.
Sedikit pun wanita tua itu tidak bergerak, dan langsung tewas seketika.
Rangga menarik napas panjang.
Dia berbalik dan berkerut keningnya melihat Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya.
Laki-laki tua itu memberi hormat sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"paman Patih, apa yang kau lakukan?"
Tanya Rangga keheranan akan sikap Patih Raksajunta.
"Ampun, Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti dengan baik,"
Ucap Patih Raksajunta.
"Ah, sudahlah! Berdirilah, Paman,"
Desah Rangga mulai mengerti.
"Hamba, Gusti."
Patih Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih agak membungkuk bersikap penuh rasa hormat Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dihampiri dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa persahabatan.
Meskipun seorang raja, tapi pada saat seperti ini Rangga tidak mau dirinya dianggap raja.
Dia lebih senang menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.
"Meskipun telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta kau tetap menganggapku Rangga, Paman. Rangga yang dulu, bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra,"
Jelas Rangga lembut namun bernada penuh wibawa.
"Ampun, Gusti Prabu,"
Ucap Patih Raksajunta.
"Ah..., sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku tidak suka dengan sebutan Gusti."
"Tapl...."
"Di sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus bisa membedakan itu, Paman,"
Rangga mencoba meminta pengertian.
"Hamba, Gusti...."
"Rangga! Panggil aku Rangga...!"
Tegas Rangga. Patih Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola mata pemuda di depannya. Kemudian kepalanya terangguk, meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.
"Bagus. Memang seharusnya kau memanggilku Rangga. Bukan Gusti,"
Kata Rangga tersenyum.
"Maafkan jika hamba berlaku...."
"Sudah. Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!"
Potong Rangga cepat.
"Baiklah, Gus..., eh Rangga.
"
"Nah..., begini kan lebih enak."
Patih Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan.
Benar-benar tidak dimengerti sikap pemuda itu.
Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka dihormati seperti laz imnya seorang raja.
Bahkan lebih senang dipanggil namanya saja.
Memang sukar bagi Patih Raksajunta yang sudah tahu siapa Rangga sebenarnya.
Tapi dia harus memahami keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini, meskipun dalam hatinya memberontak.
"Paman, ada yang ingin kutanyakan padamu,"
Kata Rangga pelan setelah cukup lama terdiam.
"Apa yang akan kau tanyakan, Rangga?"
Tanya Patih Raksajunta sambil mencoba membiasakan diri.
"Tentang Pusaka Karang Setra,"
Sahut Rangga, tetap pelan suaranya.
Patih Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka Karang Setra disebut.
Sepertinya tidak ingin membicarakan tentang pusaka itu.
Lama dia terdiam, sementara Rangga melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah pohon kamboja Patih Raksajunta masih juga diam dengan kepala tertunduk dalam.
Dari sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampirinya sambil menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.
"Kau tahu tentang pusaka itu, Paman?"
Tanya Rangga setelah berada di depan Patih Raksajunta kembali.
"Hhh... !"
Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat Oo-dw-ray-oO Rangga melangkah perlahan-lahan sambil menuntun kudanya.
Di sampingnya berjalan Patih Raksajunta yang juga menuntun kudanya sendiri.
Bibir mereka sama-sama terkatup rapat.
Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu.
Sedangkan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu masih dipenuhi misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang Setra.
Belum juga dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan pusaka itu? Pusaka yang hanya berbentuk segitiga besar dengan beberapa lingkaran di dalamnya.
Benda itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra.
"Ceritakan tentang pusaka itu, Paman,"
Pinta Rangga setelah begitu lama terdiam.
"Hhh! Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,"
Sahut Patih Raksajunta mendesah panjang.
"Paman, aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra. Bahkan mempunyai jabatan yang cukup penting pada saat Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten,"
Desak Rangga.
"Kau tahu itu...?"
Patih Raksajunta terkejut heran.
"paman Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau masih ada hubungan saudara dengannya. Benar begitu?"
"Ya, memang,"
Desah Patih Raksajunta membenarkan.
"Nah! Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu, bukan?"
Tanya Rangga semakin mendesak.
"Yaaah....
"
Patih Raksajunta mendesah panjang.
"Ceritakan, Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang pusaka itu, meskipun pernah me lihatnya. Tapi aku hanya menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih."
"Sebenarnya aku hanya tahu sedikit tentang pusaka keramat itu, Rangga,"
Pelan suara Patih Raksajunta.
"Ceritakan, Paman,"
Pinta Rangga Patih Raksajunta terdiam beberapa saat Mungkin sedang mengintat-ingat, atau juga sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra.
Dan kini pusaka itu menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan setelah hilang dari tempatnya.
"Sebenarnya pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten Karang Setra didirikan leluhurmu, Rangga. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan lambang bagi Karang Setra. Hanya...,"
Patih Raksajunta berhenti bercerita.
"Teruskan Paman,"
Pinta Rangga.
"Aku pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu menggunakan pusaka itu sebagai perisai ketika beliau diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga. Mungkin saat itu kau masih berusia empat bulan dalam kandungannya,"
Lanjut Patih Raksajunta.
"Hm...,"
Rangga mengerutkan keningnya.
"Bukan hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak pembesar Karang Setra juga ikut menyaksikannya, termasuk tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian itu banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena selain dapat digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan segala macam gempuran ajian kesaktian, juga sangat hebat dalam menghadapi segala macam jenis senjata pusaka. Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai, bahkan juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat ampuh. Selain bisa meningkatkan tenaga dalamnya."
"Hebat..!"
Desis Rangga tanpa sadar.
"Memang dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra akan menjadi senjata sekaligus perisai yang tidak tertandingi, dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan tokoh berwatak jahat."
"Kalau memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan sebelum jatuh ke tangan orang macam itu!"
Tekad Rangga bergumam.
"Memang seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga. Karena kau satu-satunya pewaris yang masih hidup,"
Sambung Patih Raksajunta.
"paman, di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?"
Tanya Rangga setengah bergumam.
"Itulah yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah bukan rahasia lagi kalau pusaka itu berada di Puri Teratai Emas."
"Puri T eratai Emas...?"
Rangga terbelalak mendengar nama yang disebutkan Patih Raksajunta.
Oo-dw-ray-oO Rangga hampir tidak percaya kalau Pusaka Karang Setra warisan leluhurnya ada di Puri Teratai Emas.
Dipandangi bangunan kuil dari batu-batu bertumpuk dengan goresan ukiran bernapaskan kepercayaan.
Puri Teratai Emas tidak begitu besar dan tampaknya juga tidak terurus lagi.
Halaman sekitar puri itu penuh sampah daun kering yang bertebaran.
Rumput-rumput liar merambat menyemaki bagian dasar bangunan itu.
Tidak nampak adanya satu kehidupan di tempat ini.
Sekelilingnya tampak sepi lengang, bahkan semut pun seolah-olah enggan menginjakkan kakinya di s itu.
Memang sukar dipercaya kalau benda keramat yang diperebutkan saat ini berada di tempat terbuka dan mudah dijangkau.
Puri Teratai Emas berada di bagian Selatan Kerajaan Jiwanala.
Sudah bertahun-tahun puri ini tidak pernah lagi digunakan.
sejak pengurusnya tewas dalam suatu pertempuran sengit mempertahankan puri itu dari jangkauan tangan-tangan kotor.
"Paman...,"
Panggil Rangga pelan. Patih Raksajunta datang menghampiri, lalu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih tetap menatap lurus bangunan tua yang tidak terawat lagi di depannya.
"Kau yakin kalau pusaka itu ada di sini?"
Tanya Rangga ingin kepastian.
"Tidak salah lagi, Rangga. Pusaka Karang Setra berada di sini, di dalam puri itu,"
Sahut Patih Raksajunta.
"Dari mana kau tahu?"
Tanya Rangga bernada curiga.
Patih Raksajunta tidak langsung menjawab.
Rangga memalingkan kepalanya menatap laki-laki tua di sampingnya.
Sementara, suasana di sekitar Puri T eratai Emas tetap tenang.
Angin berhembus perlahan membawa kesejukan.
Patih Raksajunta masih tetap diam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Paman. ...
"
"Oh...!"
Patih Raksajunta terbangun dari lamunannya.
"Dari mana Paman tahu pusaka itu ada di sini?"
Rangga mengulangi pertanyaannya kembali.
"Sebenarnya sudah lama aku tahu, sejak kau datang ke sini,"
Kata Patih Raksajunta.
"Hm...,"
Rangga mengerutkan keningnya.
"Bahkan Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah tahu tentang pusaka itu. Adanya Pusaka Karang Setra di Puri Teratai Emas ini memang sudah menyebar luas dan mulut ke mulut, dan entah bersumber dari mana. Terus terang, semula aku juga ingin datang dan membuktikan kebenarannya, tapi Iblis Mawar Jingga menghalangi dan membunuh prajurit-prajurit yang kubawa,"
Lanjut Patih Raksajunta.
"Hm..., jadi itu hanya sekedar berita saja...?"
Gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri. Patih Raksajunta tidak menjawab.
"Satu lagi pertanyaanku, Paman. Benarkah Paman Bayan Sudra mengkhianatiku?"
Tanya Rangga yang tiba-tiba teringat kata-kata Macan Gunung Sumbing.
"Tidak!"
Sentak Patih Raksajunta seketika.
"Siapa yang bilang begitu...?"
"Macan Gunung Sumbing."
"Setan keparat! Aku tahu betul kalau Bayan Sudira seorang abdi yang setia. Dia hanya difitnah. Mereka berusaha memecah belah, mengadu domba. Aku yakin, Rangga. Bayan Sudira orang yang setia Dia tidak mungkin mengkhianatimu,"
Tegas kata-kata Patih Raksajunta.
"Hm...,"
Rangga bergumam.
"Paman, di mana Paman Bayan Sudira sekarang?"
Patih Raksajunta ingin menjawab.
Tapi belum juga mulutnya terbuka, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar yang demikian keras sehingga menyakitkan telinga.
Semakin lama suara itu semakin menyakitkan.
Jelas kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Menyadari akan hal itu Rangga dan Patih Raksajunta segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup pendengarannya.
Tapi pemilik suara itu rupanya sudah terlatih baik dalam menggunakan suara.
Begitu Rangga dan Patih Raksajunta menandingi dengan pengerahan tenaga dalam suara itu langsung hilang.
Tapi tawa ini kembali terdengar saat mereka menarik tenaga dalamnya.
Beberapa kali hal itu berlangsung! Akibatnya Patih Raksajunta yang kemampuan tenaga dalamnya masih berada di bawah tokoh-tokoh rimba persilatan jadi kewalahan juga.
Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya.
Seluruh tubuhnya mulai bergetar karena tidak mampu mengimbangi permainan tenaga dalam itu.
"Ugh...!"
Patih Raksajunta mulai mengeluh.
Tampak dari hidungnya mengeluarkan darah.
Sementara Rangga mulai mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Dia tahu kalau Patih Raksajunta sudah tidak mampu lagi menahan serangan tawa bertenaga dalam tinggi ini dan berlangsung terus-menerus.
Sedikit demi sedikit, Rangga mulai bisa memilah-milah suara yang masuk ke dalam pendengarannya.
Sesaat kemudian kepalanya berpaling ke kanan.
Dan....
"Hiya...!"
Sambil berbalik ke kanan Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
Kedua telapak tangannya terbuka dan mendorong ke depan.
TIba-tiba saja bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan yang sangat dahsyat.
Tapi angin ini bagai bergulung menjadi satu membentuk lingkaran yang cukup besar dan bergerak cepat menghantam bagian samping puri itu.
Pada saat badai hasil ciptaan Pendekar Rajawali Sakti menyapu bagian samping Puri Teratai Emas melesatlah sesosok bayangan putih ke angkasa.
Bayangan itu berputaran beberapa kali di udara, kemudian hinggap di atas bangunan puri.
Rangga menarik kembali ajiannya, dan berdiri tegak memandang kepada seorang laki-laki tua berpakaian rapi, dan rambut yang tertata apik.
"Kakek Pesolek Pemetik Bunga...,"
Desis Rangga yang sudah diberitahu tentang tokoh rimba persilatan itu oleh Panglima Bayan Sudira.
Patih Raksajunta yang juga mengenali laki-laki tua berpakaian apik itu, bergegas menghampiri Rangga.
Dia tahu kalau Kakek Pesolek Pemetik Bunga bukanlah orang sembarangan.
Tingkat kepandaiannya sukar diukur dan belum ada yang sanggup menandingi kesaktiannya.
"Jangan mimpi mendapatkan Pusaka Karang Setra! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebelum kupenggal kepala kalian!"
Lantang suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Oh, ya...? Apa kau pikir dirimu lebih pantas?"
Balas Rangga sengit.
"Ha ha ha... Pusaka itu hanya pantas dimiliki orang sepertiku!"
"Kau terlalu berlebihan, Kakek Pesolek. Lihatlah dirimu yang sudah bau tanah! Sesaat lagi nyawamu akan terbang ke neraka!"
"Setan keparat! Kurobek mulutmu, bocah!"
Geram Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
Kata-kata Rangga yang mengandung ancaman ini, secara langsung ditujukan pada laki-laki tua pesolek ini.
Tentu saja ini membuat wajah Kakek Pesolek Pemetik Bunga jadi berubah merah padam menahan marah.
Dengan sekali loncatan indah, dia meluruk turun.
Tanpa bersuara sedikit pun kakinya menjejak tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebutkan namamu sebelum kupenggal kepalamu!"
Sentak Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku Rangga, pewaris tunggal Pusaka Karang Setra!"
Tegas kata-kata Rangga saat memperkenalkan diri.
"Dia juga Raja Karang Setra, dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti!"
Sambung Patih Raksajunta.
"Ha ha ha...!"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak mendengar nama itu. Rangga dan Patih Raksajunta saling berpandangan.
"Jangan mengelabui diriku, Anak Muda. Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja? Ha ha ha...! Aku tahu betul keluarga Karang Setra. Mereka semua sudah musnah di tangan Iblis Lembah Tengkorak! Ha ha ha...."
Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa tergelitik mendengar penjelasan tadi.
"Bagaimana dengan ini?"
Rangga mengeluarkan seuntai kalung berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya.
"Bocah! Dari mana kau dapatkan benda itu?"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga terkejut melihat kalung tanda kebesaran keluarga Karang Setra.
"Benda ini kudapatkan sejak lahir. Kau tahu, akulah Rangga, pewaris tunggal Karang Setra! Kau dengar itu...?!"
Agak keras suara Rangga.
Kali ini Rangga benar-benar marah, karena benda pusaka warisan leluhurnya menjadi rebutan orang-orang berotak kotor, seperti Kakek Pesolek Pemetik Bunga ini.
Dia tidak lagi memandang orang tua macam Kakek Pesolek Pemetik Bunga, yang seharusnya dihormati.
Yang ada kini hanya musuh yang ingin menginjak-injak harkat dan martabat leluhurnya.
"Apa pun bisa kau katakan. He he he...! Aku yakin benda Itu kau buat sendiri dan menganggapnya sebagai tanda pengenal. Kau cerdik sekali, Anak Muda...,"
Terdengar sinis nada suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku memang tidak bisa meyakinkanmu. tapi kau tidak akan mendapatkan pusaka itu!"
Kata Rangga.
"He he he..., siapa bilang? Aku sudah memilikinya.
"
"Dusta!"
"Ha ha ha...! Lemparkan dia ke sini!"
Teriak Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.
Belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba sesosok tubuh melayang keluar dari dalam puri, dan jatuh tepat di depan kaki Rangga.
Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu saat mengenali tubuh yang tergeletak tidak bernyawa di ujung kakinya.
"Paman Bayan...,"
Desis Rangga tidak percaya.
"Dia tidak pantas hidup lebih lama lagi. Penjilat seperti itu sudah sepantasnya mati!"
Kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga dingin.
"Iblis...!"
Desis Rangga menahan geram.
"Dia tidak lagi percaya padamu, Anak Muda."
"Bohong...!"
Bentak Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.
"Hm, siapa kau?"
Dengus Kakek Pesolek Pemetik Bunga menatap tajam Patih Raksajunta.
"Aku Patih Raksajunta, saudara Bayan Sudira!"
Jawab Patih Raksajunta lantang.
"0, bagus! Biar sekalian keluarga penjilat musnah dari muka bumi ini,"
Sambut Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.
"Setan! Kubunuh kau, iblis keparat!"
Geram Patih Raksajunta gusar.
Patih Raksajunta tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
Dia melompat cepat bagai kilat menerjang, seraya menghunus pedangnya.
Tapi pada saat yang tepat, seseorang keluar dari dalam puri itu dan langsung memapak terjangan Patih Raksajunta.
Terjangan yang begitu cepat dan mendadak, tidak dapat dihindarkan lagi.
Patih Raksajunta terpental jauh ke belakang terkena sampokan keras orang yang baru muncul dari dalam Puri T eratai Emas.
Patih Raksajunta bergelimpangan hingga sejauh tiga batang tombak.
Namun laki-laki tua itu sudah cepat bangkit kembali.
Dengan punggung tangannya, disekanya darah yang keluar dari mulutnya.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung kepada seorang laki-laki yang memegang tombak merah berujung bulan sabit "He he he...!"
Oo-dw-ray-oO "Keparat! Rupanya kalian berkomplot!"
Seru Patih Raksajunta geram.
"Ha ha ha...'"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
Tawa itu pun langsung disambung s i Kumbang Merah yang membuat Patih Raksajunta tadi terguling sejauh tiga batang tombak.
Belum lagi hilang suara tawa itu, muncul pula dua orang muda memakai baju kuning gading dari dalam puri Teratai Emas.
Jelas, mereka adalah Sepasang Naga Hitam.
Tidak lama kemudian satu raungan keras terdengar, disusul munculnya si Macan Gunung Sumbing bersama binatang peliharaannya berupa seekor harimau besar.
Patih Raksajunta yang mengenali orang-orang itu, menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu.
Tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini bergabung hanya untuk menguasai Pusaka Karang Setra berdiri berjajar menghadapi Rangga.
"Kalian dengar tadi. Bocah edan ini mengaku dirinya putra Adipati Karang Setra! Lucu..., heh! Meskipun kau kini seorang raja di Karang Setra, belum berarti kau pewaris tunggal! Kau hanya bocah edan yang gila kekuasaan!"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghina dengan suara lantang.
"Ha ha ha...!"
Empat orang lainnya tertawa terbahak-bahak.
"Tapi dia tampan sekali,"
Celetuk Andini yang sejak tadi tidak lepas memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kendalikan dirimu, Andini!"
Rungut Macan Gunung Sumbing.
"Maaf. Kalau bisa jangan lukai dia sebelum...,"
Andini tersenyum-senyum dengan mata mengerling pada Rangga.
"Itu urusan nanti, Andini.
"
Sergah Andika.
"Baik, aku akan bersabar. Dan kau juga harus bersabar, Pemuda Tampan,"
Lagi-lagi Andini mengerlingi Rangga.
Sikap Andini menambah kebencian dan kemuakan terhadap diri Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi kemarahannya harus bisa ditahan.
Menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti ini, harus bisa menahan kemarahan dan luapan emosi yang akan membuat diri menjadi lupa dan lengah.
Jelas ini sangat berbahaya.
Rangga berusaha keras agar dirinya tetap tenang, meskipun hatinya diliputi perasaan marah dan kebencian yang memuncak.
"Kau dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tidak percaya bualanmu, jadi sebaiknya angkat kaki saja dari sini dan lupakan semua tentang Pusaka Karang Setra. Kau tidak berhak memilikinya, meskipun sekarang kau raja di sana!"
Kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga lagi.
"Apa pun yang kalian katakan, pusaka itu tetap akan kukembalikan pada tempatnya!"
Balas Rangga tidak kalah lantangnya "Ha ha ha...!u Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
"Dan kalian semua lebih tidak berhak memilikinya!"
Sambung Rangga lebih tegas.
"Kalian semua dengar itu? Lucu sekali! Semua orang berhak memiliki benda tidak bertuan, lebih-lebih sebuah benda pusaka. Tapi...,"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga berhenti sebentar, lalu memandang pada yang lainnya satu persatu.
"Biar aku dulu!"
Potong Andini yang mengerti maksud pandangan laki-laki tua pesolek itu.
"Bagus. Tapi hati-hati, Andini. Aku tidak ingin wajahmu yang cantik itu tergores. Jangan biarkan tangannya menyentuh tubuhmu yang menggiurkan itu,"
Goda Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Jangankan dia! Kau sendiri tidak mungkin bisa menjamahku, tua bangka,"
Ejek Andini.
"Setan betina...! Kau membuatku jadi bergairah,"
Balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling genit "Baik, kita taruhan!"
Tantang Andini jumawa.
"Taruhan apa?"
Balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga bergairah.
"Siapa di antara kalian yang menang melawan Si Tampan itu, boleh bersenang-senang bersamaku. Bagaimana?"
Andini tersenyum-senyum seraya mengerling pada kakaknya. Sedangkan Andika membalas hanya dengan senyuman tipis saja. Sudah dimengerti maksud adik seperguruannya itu.
"He he he.... Kau cerdik sekali, setan betina. Baiklah, banyak saksi di sini,"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga menyanggupi tawaran wanita cantik itu.
Sementara Rangga yang mendengar semua percakapan itu semakin sulit menahan kemarahannya.
Dirasakan dirinya begitu direndahkan Belum pernah dirinya dijadikan taruhan seperti ini.
Rangga benar-benar muak.
Ingin rasanya menyumpal mulut mereka yang begitu kotor, tidak tahu tata krama.
Bicara seenaknya sehingga membuat telinga jadi sakit mendengarnya Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling pada Andini, kemudian me langkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Langkahnya begitu ringan, dan sikapnya begitu meremehkan.
Sementara Rangga merentangkan sebelah tangannya, memberi isyarat pada Patih Raksajunta untuk menyingkir.
Laki-laki tua itu mengerti, dan segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana, bocah? Bisa kita mulai?"
Tantang Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.
Rangga merentangkan tangannya lebar-lebar.
Memang, tidak perlu dijawab tantangan itu.
Dijawab atau tidak, harus dihadapi semua orang yang berada di halaman Puri Teratai Emas ini.
Dan itu sudah diperhitungkan sejak kakinya menginjak tempat ini.
"Bersiaplah, bocah! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Kakek Pesolek Pemetik Bunga melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada Rangga.
Namun dengan mantap sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menghindari dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit.
Dan pada saat itu dengan cepat dikibaskan tangan kirinya ke arah perut Kakek Pesolek Pemetik Bunga yang meremehkan pemuda itu jadi terkejut bukan main.
Buru-buru ditarik mundur tubuhnya begih1 dua serangannya gagal.
Bahkan kini harus menghindari kibasan tangan kiri lawan T api belum juga sempurna menghindar, kaki kanan Rangga sudah melayang ke arah perut Begih1 cepatnya tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu sehingga Kakek Pesolek Pemetik Bunga tidak sempat lagi menghindar.
Dan tendangan Rangga telak mendarat di perutnya.
"Hugh...!"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengeluh tertahan.
Selagi tubuhnya membungkuk, Rangga cepat menyarangkan satu pukulan telak dan tepat bersarang di wajah laki-laki tua pesolek itu.
Satu raungan keras terdengar bersama terdongaknya kepala laki-laki tua itu.
Tidak hanya sampai di situ saja.
Rangga kini juga mengirimkan satu pukulan telak bertenaga dalam penuh ke dadanya.
Akibatnya, laki-laki tua itu terjengkang Jauh ke belakang.
Rangga berdiri tegak memandangi lawannya yang menggelepar di tanah.
Hanya sebentar Kakek Pesolek Pemetik Bunga menggelepar, sesaat kemudian sudah melompat bangkit kembali.
Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak.
Lebih-lebih saat melihat senyuman sinis Andini yang bernada mengejek.
Laki-laki tua pesolek yang masih suka wanita cantik ini menggeram dahsyat, kemudian berlari cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yaaa...!"
"HUP, hup!"
Rangga menanti serangan itu sambil mempersiapkan satu jurus yang ampuh.
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Dan begitu kakek pesolek menerjang disertai pengerahan tenaga dalam penuh, dengan sigap Rangga me lompat sambil menghantamkan pukulannya ke arah kepala laki-laki tua itu.
Namun Kakek Pesolek Pemetik Bunga lebih cepat lagi merunduk sehingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mengenai bagian kosong.
Pada saat itu tangan kanan Kakek Pesolek Pemetik Bunga menghentak ke atas, dan menangkap tangan Rangga.
"Hih!"
Hanya sekali hentakan saja tubuh Rangga terbanting keras ke tanah.
Hebatnya, Pendekar Rajawali Sakti malah meminjam tenaga hentakan tadi untuk menarik tubuh laki-laki tua itu, sehingga sama-sama terjungkal ke tanah.
Pada saat yang sama, kaki kanan Rangga melayang deras dan tepat menghantam dada Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Akh.."
Kakek Pesolek Pemetik Bunga terpekik tertahan.
"Modar...!"
Seru Rangga keras.
Oo-dw-ray-oO Sukar sekali pertarungan itu dilihat dengan mata biasa.
Namun semua orang yang ada di halaman depan Puri Teratai Emas, dapat melihatnya meskipun harus menajamkan mata.
Sementara itu dengan gerakan cepat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan menghajar kepala Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
Satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dan mengandung tenaga dalam sempurna, telak menemui sasaran.
"Aaa...!"
Jerit Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.
Darah langsung muncrat keluar dari kepala yang hancur terhantam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Satu jurus maut dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
Rangga bangkit berdiri dan menendang tubuh laki-laki tua yang sudah tidak bernyawa lagi.
Tubuh itu melayang deras, dan jatuh tepat di depan Andini.
"Hebat aku suka itu Pertunjukan yang sangat menarik,"
Kata Andini dengan bola mata berbinar. Diberikannya senyum manis Pada Rangga.
"Andini, apakah pertaruhan itu masih berlaku?"
Tanya si Macan Gunung Sumbing.
"Bagaimana, Kakang?"
Andini bertanya pada Andika.
"Kau yang menentukan,"
Sahut Andika kalem.
"Baiklah. Tapi kalau kau menang, harus bertarung melawan kakakku,"
Andini memberi syarat.
Memang, laki-laki mana yang tidak tertarik akan kecantikan Andini? Wanita itu memiliki daya pesona tersendiri, dan mampu memikat pria hanya dengan kerlingan matanya saja.
Tidak heran kalau taruhan yang dibuat Andini begitu menggiurkan! Tapi baru saja Macan Gunung Sumbing melangkah maju, terdengar suara bentakan keras.
"Tunggu!"
Semua mata tertuju pada sumber suara bentakan itu.
Kumbang Merah yang sejak tadi diam saja melangkah maju ke depan, dan berdiri di tengah-tengah antara Rangga dan Macan Gunung Sumbing.
Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat itu satu persatu.
"Hentikan lelucon ini!"
Dengus Kumbang Merah dingin.
"Apa...? Hentikan!? Kumbang Merah, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu itu?"
Bentak Macan Gunung Sumbing.
"Kalian semua bodoh! Untuk apa membuang-buang nyawa percuma hanya untuk memperebutkan yang tidak ada?"
Lantang suara Kumbang Merah.
"Kumbang Merah, menyingkirlah!"
Sergah Andini kesal.
"Kau yang harus menyingkir. Andini. Sudah kuketahui semua akal busukmu. Sengaja kau tiupkan kabar bohong hanya untuk melenyapkan satu orang. Kau tidak sadar kalau ulahmu dapat memecah-belah orang-orang rimba persilatan. Mengumbar nyawa dan darah hanya untuk memenuhi ambisimu!"
Tetap lantang suara Kumbang Merah.
"Tutup mulutmu, Kumbang Merah!"
Bentak Andini gusar "Setelah begitu banyak korban berjatuhan? Tidak, Andini! Meskipun selalu bergelimang darah dan dosa, aku tidak pernah berbuat licik dan keji seperti ini.
Sayang, Panglima Bayan Sudira tidak pernah mendengar peringatanku.
Dia tewas akibat kelicikanmu, Andini,"
Tetap lantang suara Kumbang Merah.
"Aku bilang, tutup mulutmu!"
Andini semakin gusar. Kumbang Merah tidak mempedulikan bentakan keras Andini, dan malah berbalik dan menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Matanya sempat melirik pada Macan Gunung Sumbing.
"Kau pasti sudah pernah mendengar namaku, Rangga. Aku memang bukanlah orang yang bersih dan patut dipercaya. Tapi kali ini, ku harap kau mempercayaiku,"
Kata Kumbang Merah serius.
"Hm....
"
Rangga menatap tajam tokoh hitam yang begitu kondang namanya dan sangat disegani lawan maupun kawan. Seorang yang selalu bertindak berdasarkan kejantanan meskipun dapat dikatakan kejam.
"Siasat apa lagi yang akan kau gunakan, Kumbang Merah?"
Dengus Patih Raksajunta yang sudah berada kembali di samping Rangga "Bukan siasat! Tapi, aku hanya ingin menjelaskan semua kebohongan ini,"
Jawab Kumbang Merah tegas.
"Kebohongan...!? Apa maksudmu?"
Tanya Rangga jadi penasaran juga. Oo-dw-ray-oO "Sebenarnya semua ini karena ulah mereka!"
Kumbang Merah menunjuk ke arah Sepasang Naga Hitam.
"Mereka gagal merebut salah satu kadipaten di Karang Setra, lalu timbul dendam dan ingin meruntuhkan Kerajaan Karang Setra dengan meniupkan berita bohong."
"Jadi, maksudmu.... Pusaka Karang Setra tidak hilang?"
Rangga mulai memahami.
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu. ini semua hanya tipuan saja untuk memancingmu, Rangga. Mereka memang sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan agar bertarung melawanmu. Dengan demikian mereka mengira kalau kau bakal tewas, sehingga dengan mudah dapat menguasai Karang Setra,"
Jelas Kumbang Merah.
"Licik...!"
Desis Rangga menggeram.
"Setan! Pengkhianat...!"
Geram Andini.
"Tapi, kenapa mereka memilih tempat ini?"
Tanya Rangga.
"Mereka tahu kalau hampir seluruh rakyat Jiwanala berasal dari Karang Setra Bahkan rajanya pun masih terpaut darah dengan leluhur pendiri Karang Setra. Mereka berharap bisa meraup dua wilayah sekaligus melalui adu domba dua kerajaan."
Rangga ingin bertanya lagi, tapi sempat dilihatnya Andini mengirimkan pukulan jarak jauh kepada Kumbang Merah.
Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat melewati kepala si Kumbang Merah dan memapak serangan jarak jauh itu.
Namun akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terpental bergulingan di tanah.
"Pengecut!"
Geram Kumbang Merah.
"Kau yang pengecut, Kumbang Merah! Pengkhianat! Menyesal aku mengajakmu,"
Balas Andini gusar.
"Kau pikir aku bodoh, heh? Sebenarnya aku hanya ingin merasakan permainan asmaramu saja."
"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Merah padam wajah Andini ketika terbongkar kedoknya dalam upaya memperalat tokoh-tokoh rimba persilatan untuk bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan rasa marah yang meluap wanita itu langsung me lompat dan menerjang Kumbang Merah.
Namun terjangan itu manis sekali dapat dihindari Kumbang Merah.
Bahkan dengan cepat si Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya.
"Hait!"
Trak! Tapi Andika lebih gesit lagi.
Dihantamkan tongkat itu sebelum menyentuh tubuh Andini.
Kumbang Merah mendengus sengit sambil menyemburkan ludahnya.
Sementara itu Rangga yang sudah bangkit berdiri, tidak bisa berbuat apa-apa.
Pertarungan antara Kumbang Merah yang kini melawan Sepasang Naga Hitam tidak bisa dicegah lagi.
Mereka bertarung sengit, masing-masing berupaya untuk saling menjatuhkan.
Baru beberapa jurus saja pertarungan itu berjalan, Sepasang Naga Hitam sudah mengeluarkan senjata andalannya.
Kini, serangan-serangan sepasang anak muda itu semakin dahsyat Dari pedang kembar yang mereka gunakan, mengepul asap tipis hitam dan berbau busuk menyesakkan dada.
"Ugh...!"
Kumbang Merah merasakan kepalanya jadi pening.
Tampak jelas kalau jurus-jurus yang dimainkan si Kumbang Merah menjadi tak beraturan.
Gerakan-gerakannya kacau dan tidak terarah lagi Bau busuk yang menyebar dari pedang Sepasang Naga Hitam membuat kepala si Kumbang Merah semakin pening, dan napasnya pun terasa sesak.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Teriak Andini sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat.
"Aaakh...!"
Kumbang Merah menjerit keras.
Tebasan pedang Andinl tidak mungkin lagi dielakkan.
Ujung pedang itu menggores dalam di dada si Kumbang Merah.
Darah langsung mengucur dari luka-luka yang cukup panjang dan dalam itu.
Kumbang Merah terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi satu tendangan keras Andika membuatnya terpental dan menabrak pohon dengan keras sekali.
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat melompat ketika Andini sudah me lompat sambil menghunus pedang ke depan Rangga tidak punya pilihan lain lagi untuk menyelamatkan nyawa si Kumbang Merah. Langsung dicabut pedang pusakanya, dan dibabatnya pedang Andini. Trang! "Akh!"
Andini memekik tertahan, dan langsung me lompat mundur.
Andini menggerutu sambil memijit-mijit pergelangan tangannya yang kesemutan.
Saat itu benar-benar disadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dia tidak peduli, dan langsung menyerang Rangga.
Andika juga tidak tinggal diam.
lalu membantu adik seperguruannya menyerang Pendekar Rajawali Sakti itu.
Namun dengan Pedang Rajawali Sakti di tangan, Sepasang Naga Hitam bukanlah tandingan Rangga.
Lebih-lebih saat itu Rangga tengah diliputi kemarahan besar terhadap dua anak muda itu.
Langsung dikerahkan jurus andalannya 'Pedang Pemecah Sukma' Satu jurus yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Trang! Trang! "Akh! "
"Ughk! "
Cepat sekali tubuh Rangga setengah berputar sambil mengibaskan pedangnya, sehingga membuat senjata Sepasang Naga Hitam terpental ke udara.
Dan pada saat yang bersamaan, sebelah tangan Pendekar Rajawali Sakti mengirimkan pukulan beruntun yang sulit dihindari lagi.
Sepasang Naga Hitam bergulingan di tanah.
"Modar...!"
Seru Rangga keras. Seketika itu juga dikibaskan pedangnya dengan cepat ke arah Andini. Tapi Andika dengan cepat bangkit dan melompat Tidak dapat dielakkan lagi! Ayunan Pedang Rajawali Sakti yang begitu cepat, sukar untuk ditarik kembali. Dan....
"Akh!"
Andika hanya mampu memekik sedikit, kemudian tubuhnya ambruk terpotong menjadi dua.
Andika tidak bisa lagi bergerak, dan langsung tewas seketika.
Andini yang melihat itu, jadi terbeliak matanya.
Dia bergegas bangkit dan cepat melompat kabur.
Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.
"Rangga...."
Rangga menoleh.
dan melihat Patih Raksajunta telah berdiri memapah tubuh Kumbang Merah.
Sempat juga dilirik sekitarnya.
Kini, tidak ada lagi si Macan Gunung Sumbing.
Entah kabur ke mana orang itu.
Pikirnya mungkin tidak ada gunanya lagi berada di tempat ini.
Rangga menghampiri Patih Raksajunta yang memapah tubuh Kumbang Merah.
"Bagaimana keadaanmu, Kumbang Merah?"
Tanya Rangga.
"Buruk,"
Sahut Kumbang Merah.
"Pedang Sepasang Naga Hitam mengandung racun yang sangat dahsyat. Hanya guruku, si Raja Kumbang saja yang mampu mengobati."
"Berapa lama kau mampu bertahan?"
Tanya Rangga.
"Paling lama tiga hari."
"Kalau begitu, akan kuantarkan kau ke sana,"
Rangga menawarkan.
"Tidak perlu! Kau harus melanjutkan perjalananmu mencari Pusaka Karang Setra itu."
"Jadi...?!"
Rangga terkejut.
"Pusaka yang ada di Istana Karang Setra. itu adalah palsu. Sedangkan aslinya sampai kini tidak jelas di mana. Sepasang Naga Hitam tahu akan hal Itu dari gurunya. Maka dimanfaatkanlah hal itu untuk melaksanakan ambisinya menguasai Karang Setra. Kau tahu, guru si Sepasang Naga Hitam adalah musuh besar Adipati Karang Setra yang dulu. Mereka memang selalu berselisih untuk menguasai Karang Setra.... Aku pergi dulu, Rangga. Senang sekali rasanya bisa berbuat baik. Bahkan untuk pertama kali kulakukan perbuatan baik ini. Aku senang dan bahagia meskipun harus mati di perjalanan,"
Ucap Kumbang Merah.
"Tidak, kau harus selamat Aku akan membawamu ke tempat gurumu."
"Tidak mungkin Rangga. Kau akan mati sesampainya di sana. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk ke sana. Tempat itu penuh dengan laba-laba, sejenis kumbang, dan serangga lainnya yang sangat berbahaya."
"Tapi kau akan kuantarkan sampai ke perbatasan saja,"
Desak Rangga merasa berhutang budi.
"Baiklah. Tapi ingat, setelah itu kau harus cepat pergi. Aku tidak ingin guruku melihatmu."
"Aku janji.
"
Rangga menggantikan Patih Raksajunta memapah Kumbang Merah, dan meminta laki-laki tua itu untuk mengambil kuda.
Patih Raksajunta cepat-cepat mengambil kuda mereka yang ditinggalkan tidak jauh dari tempat itu.
Rangga kemudian menaikkan Kumbang Merah ke punggung Kuda Dewa Bayu, kemudian melompat naik di belakangnya.
Patih Raksajunta memperhatikan di samping kudanya sendiri "Paman, sampaikan salam ku pada Gusti Prabu Duta Nitiyasa.
Maaf aku tidak bisa berkunjung lagi,"
Ucap Rangga.
"Aku harus segera mengantarkan Kumbang Merah, setelah itu aku akan mencari Pusaka Karang Setra sampai kapan pun "
"Akan hamba sampaikan, Gusti,"
Sahut Patih Raksajunta seraya membungkuk memberi hormat.
"Terima kasih."
Rangga tidak ingin lagi membuang-buang waktu.
Segera digebahnya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu, yang kemudian langsung berlari cepat bagaikan angin.
Patih Raksajunta sampai ternganga me lihat kecepatan lari tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata, meninggalkan debu yang mengepul di udara.
SELESAI
Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Mencari Busur Kumala Karya Batara Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur