Macan Gunung Sumbing 2
Pendekar Rajawali Sakti Macan Gunung Sumbing Bagian 2
Akhirnya Rangga memutuskan untuk menghentikan saja usahanya malam ini.
Dia yakin kalau Macan Gunung Sumbing tidak bodoh, nekad ke luar dari persembunyian dalam suasana tidak menguntungkan bagi dirinya ini.
Pendekar Rajawali Sakti meminta Rajawali Putih untuk kembali ke hutan.
Burung itu langsung melesat tepat ke arah semula, dan mendarat mulus di tanah berumput tebal.
Rangga berpesan agar Rajawali Putih tidak pergi jauh-jauh, karena masih dibutuhkan kelak.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti langsung kembali menemui Dewi Tanjung yang masih berada di tempat persembunyiannya.
*** Tiga malam berturut-turut Rangga memutari Desa Weru bersama Rajawali Putih.
Tapi selama itu tidak terlihat Macan Gunung Sumbing keluar dari persembunyiannya.
Juga tidak ada lagi korban yang jatuh.
Lain yang dilakukan Rangga, lain pula yang terjadi pada Paman Waku.
Kakaknya yang bernama Bakor merasa kalau Macan Gunung Sumbing tidak akan muncul lagi.
Makanya dia kini kembali ke padepokannya di Gunung Opak.
Tapi Paman Waku tetap yakin kalau Macan Gunung Sumbing masih berada di sekitar Desa Weru ini.
Sedangkan lain lagi yang ada di benak Eyang Ganjur.
Orang tua ini malah tidak percaya kalau itu perbuatan Macan Gunung Sumbing.
Dugaannya, semua itu adalah perbuatan seorang wanita yang berhasil lolos saat digerebek.
Lolosnya wanita itu waktunya bersamaan dengan ketidakmunculan Macan Gunung Sumbing lagi.
Bukan hanya Eyang Ganjur yang menduga seperti itu, Ki Gedag dan Argayuda pun juga yakin wanita yang menginap di rumah penginapan Ki Raga adalah pelaku dari semua pembantaian keji ini.
Ini adalah malam keempat, pelaku pembantaian keji itu belum menampakkan diri lagi.
Sedangkan Bakor dan murid-muridnya sudah kembali ke Gunung Opak.
Desa Weru kembali terselimut kesunyian dan kecemasan akan munculnya pembunuh berdarah dingin itu.
Malam juga demikian larut, tapi Paman Waku belum juga bisa memejamkan matanya.
Dia masih memikirkan pelaku pembantaian keji yang sekarang menghilang entah ke mana.
"Hhh...! Tidak ada yang bisa kulakukan di kamar ini. Aku harus mencari keterangan, siapa sebenarnya pelaku berdarah dingin itu. Apakah Macan Gunung Sumbing, atau orang lain? Hhh! Keluargaku bisa habis kalau didiamkan terus begini,"
Bisik kata hati Paman Waku.
"Aummm...!"
"Heh...!"
Tiba-tiba Paman Waku tersentak kaget ketika mendengar auman harimau. Dia langsung melompat bangkit dari pembaringannya. Auman itu demikian jelas terdengar, seakan-akan begitu dekat berada di dalam rumah ini.
"Aaakh...!"
Belum lagi Paman Waku bisa berpikir, terdengar jeritan panjang melengking disusul suara geraman harimau.
"Eyang...!"
Paman Waku langsung melompat menerjang pintu hingga hancur berantakan, dan terus berlari menuju kamar kakeknya.
Hampir-hampir tidak dipercaya de-ngan apa yang dilihatnya, begitu sampai di kamar itu keadaannya sudah berantakan seperti baru saja terjadi pertempuran.
Paman Waku tersentak.
Telinganya mendengar suara-suara ribut di bagian belakang rumah ini.
Dia langsung memburu cepat ke arah suara yang didengarnya.
"Eyang...!"
Pekik Paman Waku begitu sampai di depan pintu halaman belakang rumah.
Tampaklah di situ, Eyang Ganjur tengah bertarung melawan seekor harimau sebesar anak kerbau! Paman Waku langsung melompat hendak membantu, tapi pada saat itu satu sampokan cakar harimau merobek leher Eyang Ganjur.
"Aaakh...!"
Eyang Ganjur memekik keras.
Tubuhnya langsung limbung.
Sekujur tubuhnya telah berlumuran darah, dan bajunya cabik-cabik tercakar binatang buas itu.
Paman Waku cepat menghantamkan kakinya ke tubuh harimau yang tengah mengangkangi Eyang Ganjur.
Duk! Satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat harimau itu terpental.
Namun begitu kakinya menyentuh tanah, binatang itu langsung melompat menerkam Paman Waku.
"Hait..!"
Paman Waku berkelit mengegoskan tubuhnya ke samping, dan cepat mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam penuh.
Pukulan itu menghunjam tepat di bagian perut binatang buas itu.
Namun Paman Waku jadi terperanjat, karena dirasakan seperti memukul segumpal kapuk yang membal.
Pukulannya terpental dan berbalik Paman Waku langsung melompat mundur, dan masih sempat melirik Eyang Ganjur yang menggeletak tidak bergerak.
Seluruh tubuh laki-laki tua itu sudah tercabik dan berlumuran darah.
Sementara harimau besar itu sudah menerkam kembali sambil mengaum keras.
"Hup! Hiya...! Hiyaaa...!"
Laki-laki setengah baya itu cepat melentingkan tubuhnya ke udara, dan langsung menukik menghantamkan tiga kali pukulan beruntun ke tubuh harimau itu.
Satu pun pukulannya tidak ada yang meleset, tapi harimau itu malah semakin liar dan ganas.
Binatang itu cepat berbalik begitu menyentuh tanah, dan kembali menyerang lebih ganas lagi.
Paman Waku terpaksa berjumpalitan menghindari serangan yang cepat dan tidak kenal menyerah itu.
Beberapa pukulan dan tendangan bersarang di tubuh harimau itu, tapi tak ada satu pun yang berarti.
Memang hampir tidak dapat dipercaya.
Bahkan Paman Waku sendiri sampai tidak habis pikir terhadap binatang itu.
Padahal sudah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya setiap kali memukul atau menendang.
Tapi harimau itu sama sekali tidak menderita luka, bahkan semakin bertambah ganas saja.
"Graugh...!"
Sambil meraung keras, harimau itu melompat se-raya mengibaskan kaki depannya. Paman Waku ber-usaha menghindar dengan membanting tubuhnya ke tanah. Tapi kibasan cakar harimau itu masih sempat menyambar bahu kirinya.
"Akh!"
Paman Waku terpekik tertahan.
Sambil melompat bangkit, laki-laki setengah baya itu memegangi pundak kirinya.
Darah merembes se-perti anak sungai.
Luka cakaran itu cukup dalam dan terasa pedih.
Belum lagi Paman Waku bisa menghilangkan rasa perih pada bahu kirinya, harimau itu kembali menerjang ganas.
"Uh, mati aku...!"
Dengus Paman Waku dalam hati.
Dan pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak terjangan harimau itu.
Satu raungan keras terdengar, dan harimau itu terpental balik ke belakang.
Tubuhnya menghantam tembok hingga hancur berantakan.
Hebatnya, harimau itu masih juga mampu bangkit dan menggerung-gerung marah.
Matanya merah menatap tajam pemuda tampan berbaju rompi putih yang tahu-tahu sudah berdiri di depan Paman Waku.
"Auuummm...!"
Tiba-tiba terdengar suara mengaum yang keras.
Kelihatannya binatang buas itu akan membalas.
Tiba-tiba dia meloncat tinggi hingga melewati kepala pemuda itu dan Paman Waku.
Lompatannya begitu cepat, sehingga lenyap seketika di balik pagar tembok yang cukup tinggi di bagian belakang.
Paman Waku langsung berlari menghampiri Eyang Ganjur.
"Eyang...,"
Lirih suara Paman Waku.
Tapi Eyang Ganjur tidak bisa bergerak lagi.
Luka-luka akibat cakaran harimau membuat nyawanya melayang.
Darah menggenang di sekitar tubuhnya.
Pa-man Waku tidak bisa lagi berbuat banyak.
Dia hanya mampu berdiri sambil menahan kesedihan dan rasa amarahnya.
Diangkat kepalanya, maka terlihatlah se-raut wajah tampan yang tahu-tahu sudah berada di depannya.
Entah kapan pemuda itu berpindah tempat.
*** Paman Waku masih berdiri mematung di samping pusara Eyang Ganjur.
Sebagian besar orang yang mengantar ke pemakaman segera pulang ke rumahnya masing-masing begitu pemakaman selesai.
Di situ tinggal Paman Waku, Ki Gedag, Argayuda, dan Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Paman Waku baru mengangkat kepalanya begitu dira-sakan tepukan halus pada bahu kanannya.
Balutan merah bernoda darah masih melekat di bahu kirinya.
"Ayo, kita pulang,"
Ajak Ki Gedag pelan.
"Hhh...!"
Paman Waku menarik napas panjang.
Laki-laki setengah baya itu menatap Rangga yang berada tepat di depannya.
Kakinya melangkah memutari pusara itu, dan segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar ditatapnya pemuda itu dan diulurkan tangannya.
Rangga menerimanya dengan bibir menyunggingkan senyuman.
"Maaf, aku telah menduga buruk padamu,"
Ucap Paman Waku lirih.
"Lupakan,"
Sahut Rangga.
Paman Waku melangkah pergi diiringi Pendekar Rajawali Sakti yang mensejajarkan langkahnya di samping kanan laki-laki tua itu.
Di belakang mereka berjalan Ki Gedag dan Argayuda.
Mereka tidak ada yang berbicara sampai memasuki Desa Weru yang kini semakin terasa sunyi senyap.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku tengah dise-rang semalam?"
Tanya Paman Waku setelah sekian lama membisu.
"Hanya kebetulan saja aku lewat,"
Sahut Rangga.
Tentu saja tidak mungkin dikatakan yang sebenarnya.
Padahal semalam Rangga berada di udara bersama Rajawali Putih.
Tiap malam dia memang meronda di atas Desa Weru, dan baru semalam bisa bertemu binatang peliharaan Macan Gunung Sumbing.
Itu pun kedatangannya sudah terlambat, sehingga nyawa Eyang Ganjur tidak bisa tertolong lagi.
"Sulit kupercaya kalau dia masih menyimpan dendam,"
Desah Paman Waku lirih.
"Maaf. Dendam apa, Paman?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Dulu antara aku dan Macan Gunung Sumbing pernah bertarung. Dia berhasil kukalahkan. Hhh..., waktu memang bisa merubah segalanya. Begitu cepat dan pesatnya kemajuan yang dimiliki. Dan harimau itu.... Padahal dulu belum memilikinya, atau mungkin sudah. Aku sendiri tidak mengerti."
"Kapan itu terjadi?"
Tanya Rangga.
"Dua puluh tahun yang lalu."
"Dua puluh tahun..., waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan ilmu,"
Gumam Rangga.
"Kudengar, kau juga pernah bentrok dengannya. Benar?"
Tanya Paman Waku.
"Ya, beberapa purnama yang lalu,"
Sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang sudah menceritakan pengalaman dirinya yang pernah bentrok dengan Macan Gunung Sumbing pada Ki Gedag (Baca.
Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah "Kemelut Pusaka Leluhur").
Dan mungkin Ki Gedag sudah bercerita kembali pada Paman Waku.
"Bagaimana kau bisa mengalahkannya?"
Tanya Paman Waku lagi ingin tahu.
"Aku tidak mengalahkannya. Hanya bentrokan kecil saja,"
Sahut Rangga jujur.
"Hhh...! Sepertinya dia tidak ingin bentrok lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Panggil saja aku Rangga,"
Pinta Rangga.
Dia memang lebih senang dipanggil namanya saja, daripada dipanggil julukannya.
Paman Waku tersenyum.
Kakinya berhenti melangkah dan berbalik menghadap pada Ki Gedag dan Argayuda yang ikut berhenti melangkah.
Rangga juga ikut berhenti.
Sesaat tidak ada yang bicara lagi.
"Ki Gedag, bagaimana dengan pengungsian keluargaku yang lain?"
Tanya Paman Waku.
"Semua berjalan lancar, dan sekarang sudah ada di Padepokan Gunung Opak,"
Sahut Ki Gedag.
"Mudah-mudahan Macan Gunung Sumbing tidak sampai ke sana,"
Desah Paman Waku.
"Sebaiknya kau juga segera ke sana, Waku,"
Usul Ki Gedag menyarankan.
"Tidak, Ki. Aku harus tetap di sini. Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi. Macan Gunung Sumbing ha-nya memerlukan diriku, bukan yang lain. Dia membantai sanak saudaraku hanya untuk membuat jiwaku goncang dan melemahkan semangatku. Hm, rencana yang keji!"
"Kau akan menghadapinya?"
Tanya Ki Gedag bernada khawatir.
"Tentu! Akan kutantang dia seperti dua puluh tahun yang lalu,"
Sahut Paman Waku tegas.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar.
Dan belum lagi hilang suara tawa itu, muncul sesosok tubuh tinggi tegap berwajah penuh brewok.
Di sampingnya, berdiri tegak seekor harimau besar.
Paman Waku, Ki Gedag, dan Argayuda terkejut bukan main.
Tapi Rangga kelihatan tenang, bahkan malah mendongak ke atas sedikit.
Bibirnya tersenyum melihat Rajawali Putih masih melayang di angkasa hampir tertutup awan.
"Macan Gunung Sumbing...,"
Desis Paman Waku.
"Kau masih mengenalku, Waku?"
Sinis nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Perbuatanmu sudah kelewat batas, Macan Gunung Sumbing!"
Dengus Paman Waku menggeram.
"Ha ha ha...! Tidakkah kau ingat sumpahku, Waku? Atau sengaja melupakannya? Bukan hanya padamu, tapi seluruh lawan-lawanku. Dan sebagian sudah binasa!"
"Kejam...!"
Desis Paman Waku.
Tentu saja laki-laki setengah baya itu tidak bisa melupakan sumpah Macan Gunung Sumbing, sesaat setelah dikalahkan dua puluh tahun yang lalu.
Macan Gunung Sumbing bersumpah akan datang lagi menun-tut kekalahannya.
Bukan saja pada mereka yang pernah berurusan dengannya, tapi seluruh keluarga, dan sanak saudara harus mati.
Dan sumpah itu diucapkan juga pada lawan-lawannya yang pernah mengalahkannya dalam pertarungan.
"Dan kau juga, Pendekar Rajawali Sakti,"
Macan Gunung Sumbing menuding Rangga dengan jari telunjuknya yang berkuku hitam dan runcing.
"Pertarungan kita belum selesai, dan tunggulah giliranmu. Tapi karena kau sudah berada di sini, maka nyawamu sudah sampai di tenggorokan!"
"Kita lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke ne-raka!"
Tantang Rangga dingin.
"Ha ha ha...! Bagus...! Aku senang mendengar tantangan itu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tunggulah, akan datang saatnya untukmu!"
Sambut Macan Gunung Sumbing.
"Hm..., mana satu lagi?! Gadis sombong yang coba-coba ingin menantangku!"
"Tidak perlu kau tanyakan! Aku sanggup mewakili semuanya!"
Ujar Rangga tegas.
"Grrr...! Kau terlalu angkuh, Pendekar Rajawali Sakti. Baiklah, aku ingin lihat, sampai di mana ke-sombonganmu itu!"
Setelah berkata demikian, Macan Gunung Sumbing langsung melompat cepat bagaikan kilat.
Dan tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata.
Harimau belang itu juga langsung melesat cepat.
Rangga menarik napas panjang.
Sedangkan Paman Waku, Ki Gedag, dan Argayuda, berpaling memandang ke arahnya.
*** Hari-hari terus berlalu seirama peredaran matahari dan bulan.
Setiap malam selalu terjadi pembantaian di Desa Weru.
Bukan saja keluarga dan sanak saudara Paman Waku.
Bahkan juga penduduk yang tidak ada sangkut pautnya dalam urusan ini.
Tindakan Macan Gunung Sumbing seperti hantu saja.
Datang menyebar bencana, dan pergi tanpa diketahui jejaknya.
Tidak mudah untuk mencari tahu di mana Macan Gunung Sumbing bersembunyi pada siang hari.
Sementara itu saat matahari bersinar penuh, Rangga tengah melayang di angkasa bersama Rajawali Putih.
Sudah tiga kali Desa Weru dikitari, tapi tidak ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan.
Siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti itu meronda ke seluruh pelosok desa dari angkasa, tapi tetap saja kecolongan.
"Kira-kira di mana dia bersembunyi, Rajawali Putih?"
Tanya Rangga bernada agak putus asa.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Ya, dia memang seperti hantu saja."
"Khraghk...!"
Tiba-tiba Rajawali Putih berseru nya-ring.
Seketika itu juga burung itu meluruk deras ke arah utara Desa Weru.
Rangga langsung mengarahkan pandangannya ke sana.
Tampak Dewi Tanjung tengah bertarung sengit melawan seekor harimau besar.
Tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat Macan Gunung Sumbing tengah tertawa terbahak-bahak.
"Khraghk...!"
"Hiyaaa...!"
Rangga segera melompat turun sebelum Rajawali Putih sampai ke tanah, dan langsung terjun ke kancah pertempuran. Satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna dilepaskan, dan telak menghantam bagian perut harimau.
"Ghraaaugh...!"
Harimau itu menggerung keras.
Tubuhnya terlontar jauh sekitar dua batang tombak.
Belum juga harimau itu bisa bangkit berdiri, Rangga sudah melompat lagi.
Langsung saja dikirimkan dua pukulan beruntun dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merah bagai terbakar.
Kembali harimau itu terpelanting terhantam pukulan maut secara beruntun itu.
Dan Rangga memang sudah menduga kalau harimau itu kebal, tidak terpengaruh pukulannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menerjang dahsyat.
Tapi pada terjangannya kali ini, pukulannya tertahan karena sebuah bayangan melesat cepat menyampok serangannya pada harimau itu.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, dan manis sekali mendaratkan kakinya di tanah.
Tampak Macan Gunung Sumbing sudah berdiri tegak membelakangi harimaunya yang menggerung-gerung dengan kaki depan menggaruk-garuk tanah.
Sementara Rangga menggeser kakinya mendekati Dewi Tanjung.
"Kau tidak apa-apa, Dewi?"
Tanya Rangga setelah dekat.
"Tidak, untung kau cepat datang,"
Jawab Dewi Tanjung. Napasnya sedikit tersengal.
"Kau terluka...?"
"Hanya sedikit cakaran di punggung."
Rangga melirik punggung Dewi Tanjung.
Tampak darah merembes keluar dari luka gores yang cukup dalam.
Jelas, itu berasal dari goresan cakar harimau.
Ada tiga goresan yang cukup panjang.
Rangga meng-alihkan perhatiannya kembali pada Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya yang mulai bergerak mendekati.
Macan itu menggerung-gerung sambil menatap liar penuh hawa nafsu membunuh.
"Menyingkirlah, Dewi. Biar aku yang menghadapi-nya,"
Perintah Rangga setengah berbisik.
"Hati-hati, Kakang."
Dewi Tanjung menggeser kakinya menyingkir.
Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya dua tindak ke depan.
Nampaknya memang sudah bersiap-siap menghadapi serangan Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya itu.
Rangga sempat melirik ke atas, tampak Rajawali Putih masih melayang-layang cukup tinggi.
"Suiiit...!"
Rangga bersiul nyaring.
"Khraghk...!"
Dewi Tanjung dan Macan Gunung Sumbing terkejut, dan sama-sama mendongak ke atas.
Tampak seekor burung rajawali raksasa menukik deras, dan langsung hinggap di tanah di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Bukan main besarnya burung itu.
Seperti bukit saja layaknya.
Tegar, besar, dan menyeramkan! "Rajawali! Buat harimau itu kapok untuk tinggal di dunia,"
Perintah Rangga seraya menepuk-nepuk leher Rajawali Putih.
"Khraghk...!"
"Ayo, Macan Gunung Sumbing! Kita selesaikan urusan kita!"
Tantang Rangga keras. Macan Gunung Sumbing tidak menjawab. Matanya menatap lurus pada rajawali raksasa yang berada di samping Rangga. Sedangkan harimaunya hanya menggerung-gerung sambil menggaruk-garuk tanah.
"Bagaimana, Macan Gunung Sumbing?"
Sinis nada suara Rangga.
"Phuih!"
Macan Gunung Sumbing menyemburkan ludahnya.
Laki-laki berwajah penuh brewok itu menggeser kakinya ke samping.
Dan Rangga pun mengikuti sambil menatap tajam tanpa berkedip.
Tapi tiba-tiba saja harimau belang sebesar anak kerbau itu menggerung keras, dan langsung melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Cakar mengembang mengancam tubuhnya! Cepat Rangga melompat ke samping menghindari terjangan itu.
Tapi belum juga tubuhnya bisa menyentuh tanah, Macan Gunung Sumbing sudah melompat cepat bagai kilat sambil mengirimkan dua pukulan dahsyat secara beruntun.
"Curang!"
Maki Rangga seraya melentingkan tubuhnya berputaran di udara menghindari serangan yang mendadak itu.
"Khraghk...!"
Saat itu Rajawali Putih melesat ke angkasa.
Langsung saja ditangkapnya tubuh Rangga yang kewalahan, berpelantingan di udara menghindari serangan-serangan beruntun Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya.
Rajawali Putih menurunkan Rangga di tempat yang tidak berapa jauh, dan kembali membumbung ke angkasa.
Kini burung itu menukik deras ke arah harimau belang sebesar anak kerbau itu! Pada saat yang sama, Rangga kembali melompat menerjang Macan Gunung Sumbing.
Kali ini laki-laki penuh brewok itu terpaksa bertarung sendirian melawan Pendekar Rajawali Sakti.
Ternyata harimau peliharaannya tengah sibuk menghalau gempuran rajawali raksasa yang bertarung cepat tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Harimau belang itu kelihatan geram menghadapi lawan yang selalu berada di udara.
Memang, pola se-rangan Rajawali Putih sangat aneh.
Melambung tinggi ke angkasa, lalu menukik deras dengan sambaran keras dan mematikan.
Hal ini membuat harimau itu kelabakan dan tidak mampu membalas.
Beberapa kali sabetan sayap Rajawali Putih membuat harimau itu berpelantingan sambil menggerung marah.
Tapi harimau itu memang cukup alot, dan gerakannya lincah luar biasa.
Tidak mudah bagi Rajawali Putih untuk menghunjamkan cakar atau memukul dengan paruhnya yang lebih tajam daripada senjata apa pun di dunia ini! Sementara di tempat lain, Rangga dan Macan Gu-nung Sumbing juga bertarung tidak kalah sengitnya.
Masing-masing berusaha untuk saling menjatuhkan.
Kini tempat pertarungan itu sudah sulit dikenali lagi.
Pohon-pohon bertumbangan.
Batu-batu pecah berantakan.
Tanah berlubang, debu mengepul menambah kepekatan udara.
Hanya dua orang tokoh sakti dan dua binatang bertarung, tapi keadaan sekitarnya seperti diamuk ratusan ekor gajah.
Sementara tidak jauh dari pertarungan itu, Dewi Tanjung tetap memperhatikan tanpa berkedip.
Dia ber-harap Rangga memenangkan pertarungan ini.
Sama sekali tidak diinginkan kalau Rangga kalah.
Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sampai kalah, apa jadinya dunia ini? Tidak ada seorang pendekar pun yang mam-pu membendung kekuatan Macan Gunung Sumbing! Pertarungan masih terus berlangsung sengit.
Entah sudah berapa jurus terlampui.
Masing-masing sudah mengeluarkan jurus andalannya.
Bahkan Rangga sendiri sudah sampai pada jurus-jurus yang didapatkan dari Satria Naga Emas, salah seorang pendekar yang hidup seratus tahun lalu, dan menjadi sahabat karib Pendekar Rajawali, guru Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi sampai sejauh ini Macan Gunung Sumbing masih mampu melayaninya.
Pertarungan meningkat menjadi adu kesaktian.
Udara bukan saja dipenuhi debu, tapi juga suara-suara ledakan dahsyat menggemuruh, disertai percikan bunga api dan sinar-sinar yang berkilatan.
Tapi kedua tokoh sakti itu tampaknya masih sama-sama tangguh.
Belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua kesaktianmu, Pen-dekar Rajawali Sakti!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
"Hm..., tinggal satu lagi ajian yang belum kukeluarkan,"
Gumam Rangga dalam hati.
Sesaat mereka saling berdiam diri dan berdiri tegak menatap tajam.
Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang tombak saja.
Perlahan-lahan Rangga mencabut pedangnya.
Seketika itu juga cahaya biru menyemburat menerangi sekitarnya.
Rangga mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepala, lalu perlahan-lahan turun ke bawah sampai mencapai dada.
Kemudian, disilangkan pedang itu di depan dada.
Dengan tangan kirinya, digosoknya pedang itu dari ujung ke pangkalnya.
Pada saat yang sama, Macan Gunung Sumbing juga sudah mempersiapkan satu ajiannya.
Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar ke samping.
Kedua lututnya agak tertekuk.
Dengan cepat digerakkan tangannya di depan dada.
Dari bibirnya terdengar suara menggerung kecil yang semakin lama semakin terdengar keras bagai raungan harimau.
Kedua telapak tangannya terbuka mengembang, dan menyorong ke depan.
"Hait...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
"Yaaah...!"
"Yeaaah...!"
Kedua tokoh sakti itu sama-sama melompat ke depan.
Dan pada satu titik tengah, mereka bertemu.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar membuat telinga jadi tuli.
Bunga api memercik ke segala arah, bercampur cahaya biru yang memancar menyelubungi sekitarnya.
Telapak tangan Macan Gunung Sumbing menempel erat pada mata pedang Pendekar Rajawali Sakti yang tergenggam antara pangkal dan ujungnya.
Tampak keduanya tengah mengadu tenaga kesaktian.
Masing-masing wajah sudah memerah, dan titik-titik keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
Mereka saling berdiri berhadapan dengan tangan menyatu pada pedang yang memancarkan cahaya biru membentuk bulatan seperti bola.
"Ukh! Ini tidak bisa didiamkan! Tenagaku tersedot!"
Dengus Macan Gunung Sumbing, langsung merasakan akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sedangkan yang dirasakan Rangga lain lagi.
Saat itu dia sedikit mengeluh, karena penyaluran ajiannya terasa mengalami hambatan.
Ajian yang dimiliki Macan Gunung Sumbing sungguh luar biasa, sehingga mampu menghambat aliran tenaga aji 'Cakra Buana Sukma'.
Bulatan biru yang terbentuk dari pedang di tangan Rangga, berubah-ubah.
Sebentar mengecil, sebentar kemudian membesar.
Bahkan cahayanya kadangkala redup dan kembali berubah jadi terang menyilaukan.
"Hup...! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak keras.
Dan seketika itu juga didorongkan tubuhnya ke depan sedikit, lalu ditariknya kuat-kuat ke belakang.
Tepat pada saat tangannya terlepas dari pedang Rang-ga, kakinya mendupak cepat ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga terkejut setengah mati, dan berubah melentingkan tubuhnya ke belakang.
Tapi hantaman kaki Macan Gunung Sumbing tidak mungkin dihindari lagi.
"Akh...!"
Rangga memekik keras.
Dan sebelum tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terlontar ke belakang, pedangnya sempat berkelebat cepat membabat perut Macan Gunung Sumbing.
Satu raungan keras terdengar.
Kedua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
Tapi masing-masing masih mampu bangkit berdiri meskipun tubuhnya limbung.
Tampak darah mengucur deras dari perut Macan Gunung Sumbing yang koyak terbabat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan mulut Rangga juga mengeluarkan darah.
Pemuda berbaju rompi putih itu berusaha mengatur jalan napasnya yang te-rasa sesak seketika.
Sepertinya tulang-tulang dadanya remuk.
"Graugh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara raungan keras dari arah lain.
Tampak harimau belang sebesar anak kerbau, terjungkal bergulingan di tanah.
Sedangkan Rajawali Putih terhempas membentur sebatang pohon yang sangat besar hingga hancur berantakan! Namun Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke udara, dan segera menukik deras menyambar tubuh harimau itu yang baru saja bisa bangkit berdiri.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih memekik keras.
"Grauuughk...!"
Sungguh sukar diikuti mata biasa.
Begitu cepatnya Rajawali Putih menukik, tahu-tahu cakarnya sudah menyambar harimau besar itu.
Harimau itu menggerung keras, menggeliat berusaha melepaskan diri.
Tapi Rajawali Putih sudah lebih dahulu melesat terbang.
Dan pada saat yang baik, Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangannya ke arah burung raksasa itu.
Sebuah pisau kecil melesat terbang dengan kecepatan bagai kilat ke arah Rajawali Putih.
Sedangkan di cakarnya menggantung harimau besar yang meronta-ronta mencoba melepaskan diri sambil menggerung-gerung.
"Rajawali, awas...!"
Teriak Rangga memperi-ngatkan.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih melepaskan harimau itu, dan langsung berputar di udara.
Untunglah lontaran pisau kecil Macan Gunung Sumbing luput dari sasaran.
Sementara itu harimau sebesar anak kerbau itu meluncur deras ke bawah.
Binatang itu menggerung-gerung keras dengan kaki bergerak-gerak.
Dan saat yang hampir bersamaan, Macan Gunung Sumbing melompat cepat bagaikan kilat.
Langsung ditopangnya tubuh harimau belang itu, dan dibawanya turun dengan lunak.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menukik deras hendak menyambar harimau itu kembali.
Tapi belum juga maksudnya ter-sampaikan, Macan Gunung Sumbing sudah melompat naik ke punggung harimau itu, dan langsung berlari cepat bagaikan kilat.
Cakar Rajawali Putih hanya menyambar tanah berumput hingga bergetar dan berlubang cukup besar.
Rajawali Putih berkaokan marah, karena lawannya berhasil kabur dengan cepat.
Sementara itu Rangga sudah duduk bersila, bersikap semadi.
Rajawali Putih menghampiri sambil mengkirik perlahan.
Hanya sebentar Rangga bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya, kemudian bangkit berdiri dan memeluk kepala burung raksasa itu.
Pedangnya sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka di balik punggung.
Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung itu ketika menangkap sosok tubuh ramping yang berdiri agak jauh di bawah pohon.
"Dewi Tanjung...,"
Desah Rangga.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?"
Tanya Dewi Tanjung seraya berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak,"
Sahut Rangga.
Dewi Tanjung menatap burung rajawali raksasa yang berada di belakang Rangga.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum, lalu memperkenalkan Dewi Tanjung pada Rajawali Putih.
Burung raksasa itu mengkirik perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dewi Tanjung kembali menatap Rangga yang keadaannya tampak kusut, kotor, dan berdebu, tapi sesekali masih juga dilirik burung raksasa itu.
Seumur hidupnya, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu.
"Bagaimana lukamu?"
Tanya Rangga.
"Darahnya sudah berhenti mengalir. Hanya luka biasa,"
Sahut Dewi Tanjung.
"Hm.... Bagaimana dia bisa tahu tempat ini, Dewi?"
Tanya Rangga lagi.
"Entahlah. Tahu-tahu dia muncul dan langsung menyerangku,"
Sahut Dewi Tanjung pelan.
"Sebaiknya kau ke Desa Weru lagi,"
Usul Rangga.
"Mau apa ke sana? Apa kau suka kalau aku dike-royok, lalu dibunuh mereka?"
Dewi Tanjung mendelik berang.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyunggingkan senyum tipis.
Wanita itu memang belum diberitahu perubahan di Desa Weru.
Sekarang tidak ada lagi yang menuduh Dewi Tanjung sebagai pelaku pembantaian keji selama ini.
Mereka semua sudah tahu kalau Macan Gunung Sumbing-lah pelaku utamanya.
Tidak heran kalau Dewi Tanjung begitu berang mendengar usul Rangga tadi.
"Tidak ada yang menuduhmu lagi, Dewi. Mereka semua sudah tahu, kalau bukan kau yang melakukan semua pembantaian itu,"
Bujuk Rangga lembut "Huh! Sudah terlambat!"
Dengus Dewi Tanjung memberengut.
"Tidak ada yang terlambat, Dewi."
"Jangan paksa aku, Kakang!"
Sentak Dewi Tanjung cepat.
Rangga mengangkat bahunya sedikit.
Gadis ini memang keras, dan tidak mudah melunakkan hatinya.
Rangga bisa memahami kalau Dewi Tanjung masih kesal terhadap perbuatan penduduk Desa Weru yang main tuduh tanpa diselidiki dulu kebenarannya.
Sementara itu hari telah senja.
Matahari sudah condong ke arah barat, sehingga sinarnya tidak lagi terik.
Angin pun terasa sejuk membelai kulit.
Rangga mengumpulkan ranting kering, dan menumpuknya di bawah pohon.
Sementara Dewi Tanjung hanya duduk saja bersandar di pohon lain.
Tidak jauh dari gadis itu, Rajawali Putih mendekam dengan kepala hampir menyentuh tanah.
Sesekali Dewi Tanjung melirik burung rajawali raksasa itu.
Meskipun sudah kenal, tapi masih juga ada perasaan takut.
Betapa tidak? Meskipun Rajawali Putih hanya seekor burung, tapi perawakannya yang tinggi dan besar sungguh menakutkan orang yang baru melihatnya.
Tidak terkecuali Dewi Tanjung yang baru kali ini melihat ada seekor burung raksasa sebesar itu.
"Khrrr...,"
Rajawali Putih mengkirik perlahan sambil menyorongkan kepalanya pada Dewi Tanjung.
"Eh...!"
Dewi Tanjung terpekik kaget, dan langsung melompat.
Rangga yang melihat kejadian itu jadi tertawa ter-pingkal-pingkal.
Rajawali Putih mengangguk-angguk-kan kepalanya dengan suara mengkirik perlahan.
Pen-dekar Rajawali Sakti itu menghampiri Rajawali Putih, lalu memeluk mesra lehernya.
Dewi Tanjung memperhatikan, namun wajahnya sedikit pucat.
"Rajawali Putih ingin lebih kenal denganmu, Dewi,"
Jelas Rangga lembut.
"Bukankah begitu, Rajawali Putih?"
"Khrrrk...!"
Rajawali Putih menganggukkan kepa-lanya.
Rangga menghampiri Dewi Tanjung, dan menggamit lengan gadis itu.
Dengan diliputi perasaan takut dan ragu-ragu, Dewi Tanjung mengikuti Rangga yang membawanya mendekati Rajawali Putih.
Gadis itu masih takut-takut juga ketika kepala burung raksasa itu menyorong ke arahnya, dan mendesak-desak tubuhnya.
Perlahan-lahan perasaan takut di hati Dewi Tanjung memudar.
Dibelai-belainya kepala burung itu meskipun masih bersikap ragu-ragu.
Tapi sebentar kemudian sudah terdengar tawanya yang mengikik lembut.
Rangga memperhatikan sambil tersenyum.
Memang tidak mudah untuk mengakrabkan diri dengan Rajawali Putih.
Dan biasanya, Rajawali Putih enggan untuk bercanda dengan orang lain selain Rangga.
Tapi dengan Dewi Tanjung, Rajawali Putih menjadi cepat akrab.
Hal ini membuat Rangga heran juga.
Tapi hal itu tidak ingin dipikirkan lebih jauh lagi.
Sementara malam mulai merayap dan diliputi kegelapan.
Rangga menyalakan api dari ranting-ranting kering yang dikumpulkannya.
Dewi Tanjung duduk bersandar pada tubuh Rajawali Putih, sedangkan Rangga membalik-balik kelinci panggang yang telah ditangkapnya.
Ada enam ekor kelinci, dan yang dua sudah masuk ke perut Rajawali Putih.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih berkaokan, dan berdiri.
Dewi Tanjung menggeser duduknya.
Rajawali Putih itu menggaruk paruhnya ke tanah, kemudian membumbung tinggi ke atas.
Dewi Tanjung memperhatikan sebentar, sedangkan Rangga tetap asyik dengan kelinci-kelinci panggangnya.
Gadis itu segera menggeser mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Mau ke mana dia?"
Tanya Dewi Tanjung setengah berbisik.
"Meronda,"
Sahut Rangga kalem.
"Meronda...?"
"Iya. Kalau terjadi apa-apa di Desa Weru, dia pasti ke sini memberitahu."
Dewi Tanjung terdiam.
Diambilnya satu kelinci panggang yang sudah matang, dan disantapnya dengan nikmat.
Tapi sebentar kemudian kembali ditatapnya Rangga yang juga mulai menikmati santapannya.
Santapan yang sudah tidak asing lagi, dan selalu dinikmati di setiap pengembaraannya.
Rangga memang suka sekali daging kelinci.
Makanya selalu diburunya binatang itu untuk dijadikan santapan.
"Kau beruntung punya piaraan rajawali,"
Kata Dewi Tanjung.
"Rajawali Putih bukan peliharaanku. Dia adalah guruku, orang tuaku, teman sekaligus saudaraku,"
Rangga menjelaskan tanpa ada perasaan tersinggung. Rajawali Putih memang tidak pernah dianggap hanya sebagai seekor binatang.
"Sudah berapa lama kau bersamanya?"
"Sejak kecil. Dialah yang membimbingku dan memberiku ilmu-ilmu kepandaian. Yaaah..., memang terlalu banyak yang diberikannya padaku. Dan aku sendiri tidak akan bisa berpisah dengannya. Bagiku, Rajawali Putih adalah segala-galanya. Bahkan lebih berharga daripada nyawaku sendiri."
"Aku kagum padamu, Kakang,"
Puji Dewi Tanjung tulus.
"Simpan saja rasa kagummu itu. Dewi,"
Desah Rangga pelan.
Mereka tidak bicara lagi, dan terus menikmati santapan kelinci panggang.
Rangga memang lebih senang diam, tapi otaknya terus bekerja mencari jalan untuk dapat melenyapkan Macan Gunung Sumbing.
Masalahnya, dunia akan hancur kalau tokoh hitam itu lebih lama lagi hidup di dunia.
Saat ini, mungkin hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang mampu menandingi kepandaiannya.
Dan itu pun kelihatannya seimbang.
Rangga sendiri tidak bisa meramalkan, apakah mampu membinasakan manusia iblis itu atau malah dirinya sendiri yang akan binasa? *** Malam terus merambat semakin larut.
Di sebuah tempat yang tidak berapa jauh dari Desa Weru, tampak Macan Gunung Sumbing duduk bersila bersikap semadi di atas sebongkah batu besar yang pipih.
Di sampingnya mendekam harimau belang yang luar biasa besarnya.
Luka di perut Macan Gunung Sumbing masih membekas, meskipun tidak lagi mengeluarkan darah.
Perlahan-lahan kelopak mata Macan Gunung Sumbing terbuka, dan langsung menoleh ke arah sepasang mata merah di sampingnya.
Harimau itu menjulurkan kepala, dan menjilati wajah majikannya.
Macan Gunung Sumbing menepuk-nepuk leher binatang itu, kemudian memandang lurus ke arah Desa Weru.
Dari tempat yang cukup tinggi ini, bisa terlihat jelas desa itu.
"Malam ini kita bantai semua penduduk Desa Weru! Jangan ada yang tersisakan satu pun juga. Setelah itu kita cepat ke Gunung Opak. Hm..., Ki Raga harus mampus setelah adiknya. Setelah itu baru kita hadapi kembali si Jahanam Rajawali Sakti!"
Gumam Macan Gunung Sumbing menggeram.
"Grrrh...!"
Harimau belang itu menggerung perlahan, seakan menyetujui rencana majikannya.
"Kita akan menguasai dunia persilatan, Belang. Kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Huh! Hanya dia satu-satunya penghalangku, dan harus mampus secepatnya. Bagaimana, Belang?"
"Grrrh...!"
Harimau yang dipanggil Belang itu hanya menggerung saja.
"Ya! Memang dialah satu-satunya penghalang kita. Kau punya saran, Belang?"
Harimau belang itu diam dan pandangannya luruh ke depan.
Sepasang bola matanya menyala.
Terdengar gerungan yang perlahan dan panjang.
Macan Gunung Sumbing melompat turun dari batu yang didudukinya.
Diarahkan pandangannya ke arah yang sama dengan pandangan si Belang.
"Ayo, Belang. Kita hancurkan seluruh penduduk Desa Weru,"
Ajak Macan Gunung Sumbing.
"Malam ini, Desa Weru harus musnah!"
"Grauuugh...!"
"Ha ha ha...! Ayo kita berlomba membantai mereka, Belang!"
"Aaauuum...!"
Macan Gunung Sumbing langsung melompat ke punggung harimau belang itu.
Seketika itu juga binatang itu langsung melesat cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya melompat, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Tujuan mereka jelas, Desa Weru yang saat ini dicekam ketakutan.
Desa yang kini bagaikan desa mati tanpa penduduk.
Tidak ada yang tahu kalau Macan Gunung Sumbing akan menghancurkan desa itu.
Bahkan tidak ada yang tahu kalau di angkasa, Rajawali Putih melayang-layang mengawasi keadaan.
Pandangan mata Rajawali Putih langsung tertuju ke arah selatan.
Di situ terlihat satu bayangan bergerak cepat menuju ke arah Desa Weru.
Bayangan yang tidak lain dari si Belang yang ditunggangi Macan Gunung Sumbing.
"Khraaaghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat ke arah utara.
Cepat sekali melesat, bagaikan kilat saja.
Sebentar saja burung itu sudah tiba di tempat Rangga dan Dewi Tanjung berada.
Rajawali Putih langsung menukik turun sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan keras.
Rangga menggerinjang bangkit berdiri.
Diikuti Dewi Tanjung.
Mereka langsung menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendarat di tanah.
"Ada apa, Rajawali?"
Tanya Rangga.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya, dan kepalanya menoleh ke arah Desa Weru.
"Dewi! Matikan api, dan kita langsung ke Desa Weru,"
Kata Rangga. Belum lagi Dewi Tanjung sempat bertanya, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu juga....
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat membumbung tinggi ke angkasa.
Begitu cepat lesatannya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan.
Dewi Tanjung masih terpaku sesaat, kemudian bergegas mematikan api, dan segera menuju ke Desa Weru.
*** Saat itu Macan Gunung Sumbing sudah tiba di Desa Weru.
Langsung dipilihnya rumah yang kelihatan gelap.
Hanya sebuah pelita kecil yang menyala di bagian ruangan depan rumah itu.
Cahayanya yang redup menyemburat melalui lubang-lubang di atas pintu dan jendela.
Macan Gunung Sumbing melompat turun dari punggung harimaunya.
Perlahan-lahan kakinya melangkah mendekati rumah itu.
Harimau besar perlahan-lahan mengikuti dari belakang.
Langkah kaki mereka begitu ringan, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Macan Gunung Sumbing menghentakkan tangan-nya secara tiba-tiba ke depan.
Satu angin dorongan yang kuat mendobrak pintu rumah itu.
Seketika terdengar jeritan dari dalam rumah yang saling susul.
Macan Gunung Sumbing langsung lompat masuk ke dalam rumah, disusul harimau peliharaannya.
"Ghrauuugh...!"
"Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
Jari-jari tangannya mengembang kaku, dan bergerak cepat mencabik-cabik penghuni rumah.
Harimau be-lang juga tidak ketinggalan.
Dia berpesta mengoyak tubuh-tubuh yang tidak berdaya.
Jeritan-jeritan me-lengking semakin sering terdengar.
Tidak lama peristiwa itu berlangsung.
Sebentar saja telah senyap kembali.
Yang terdengar kini hanya raungan harimau disertai tawa terbahak-bahak.
Suara itu membuat rumah-rumah di sekitarnya langsung menyalakan lampu.
Dan pada saat itu, Macan Gunung Sumbing melompat keluar dari dalam rumah, disusul si Belang.
Mereka terus menerobos sebuah rumah lagi yang berada tidak jauh dari situ.
Kembali terdengar jeritan-jeritan melengking me-nyayat hati, bercampur baur suara tawa bergelak dan raungan harimau.
Macan Gunung Sumbing benar-benar melaksanakan niatnya, membantai habis seluruh penduduk Desa Weru.
Dendamnya pada Paman Waku dilampiaskan pada orang-orang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Pelampiasan dendamnya benar-benar brutal.
Dan semua itu terjadi karena mendapat hambatan dari Pendekar Rajawali Sakti.
Suatu kemarahan berlumur dendam yang tidak terbendung lagi.
Jerit-jerit menyayat terus terdengar dari rumah ke rumah.
Dalam waktu yang tidak lama, sudah lima rumah didatangi Macan Gunung Sumbing.
Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup.
Semuanya tewas dengan tubuh tercabik cakar-cakar harimau.
"He he he...!"
Macan Gunung Sumbing terkekeh melihat korban pada rumah yang keenam.
"Graughk...!"
Sekali lagi Macan Gunung Sumbing memandangi mayat-mayat yang tergeletak dengan tubuh hancur tercabik, kemudian tertawa terkekeh.
Dengan langkah tenang, dia berjalan keluar dari rumah itu.
Tapi mendadak suara tawanya terhenti.
Di depan rumah itu ternyata sudah berdiri puluhan orang yang membawa senjata seadanya.
Mereka adalah penduduk Desa We-ru.
Tampak di depan berdiri Paman Waku yang bersenjatakan golok panjang terhunus.
Tempat sekitarnya sudah terang benderang oleh obor yang dipancangkan di beberapa sudut.
Beberapa penduduk juga ada yang membawa obor dari bambu.
Paman Waku melangkah beberapa tindak, didampingi Bakor yang memimpin Padepokan Gunung Opak.
Ka-kak dari Paman Waku itu menimbang-nimang senja-tanya yang berbentuk tombak dengan mata berkeluk seperti keris.
"Lihat, Belang. Mereka sudah siap menjemput ajal. He he he...,"
Ujar Macan Gunung Sumbing kembali terkekeh.
"Bukan mereka, tapi kau!"
Bentak Paman Waku.
"Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
"Aku tahu, kau dendam padaku. Tapi mengapa kau bantai mereka yang tidak tahu apa-apa?! Perbuatanmu sungguh keji! Dewata akan mengutukmu, Macan Gunung Sumbing!"
Geram Paman Waku.
"Sebenarnya aku enggan mengotori tangan dengan darah mereka. Tapi, bukankah kau sendiri yang meng-inginkan demikian, Waku?"
Dingin nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Jangan banyak omong! Ayo, kita selesaikan persoalan ini! Kau atau aku yang mampus!"
Bentak Paman Waku seraya menyilangkan goloknya di depan dada.
"He he he...,"
Macan Gunung Sumbing terkekeh.
Ditepuk-tepuknya harimau yang berdiri di sampingnya.
Si Belang menggeram perlahan.
Dia bergerak maju seperti binatang malas karena kekenyangan.
Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Paman Waku.
Laki-laki setengah baya itu menggeser kakinya selangkah ke samping kanan.
Sedangkan si Belang mendekam.
"Auuummm...!"
Tiba-tiba saja si Belang mengaum keras, dan langsung melompat cepat bagaikan kilat.
Kedua kaki depannya terentang lurus ke depan.
Kuku-kuku yang tajam berkilat siap merobek tubuh Paman Waku.
Untuk sesaat, Paman Waku terkesiap.
Namun, dengan cepat dibanting dirinya ke samping, dan bergulingan beberapa kali.
Gagal serangan pertama, si Belang langsung berbalik dan kembali melompat menerjang.
Saat itu Paman Waku baru saja bisa berdiri.
Buru-buru dikibaskan goloknya yang panjang sambil melompat ke kanan.
Kibasan golok itu tepat menghantam perut si Belang.
Namun harimau itu hanya menggerung kecil.
"Gila...!"
Dengus Paman Waku.
"Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak. Harimau itu berdiri tegak di atas keempat kakinya. Sedikit pun tidak terdapat luka di tubuhnya. Padahal, jelas sekali kalau golok Paman Waku menghantam perut binatang itu.
"Kau tidak akan mampu mengalahkannya, Waku! Temanku ini kebal,"
Kata Macan Gunung Sumbing di-iringi suara tawanya. Paman Waku mendengus berat. Kakinya bergerak perlahan menggeser menyusur tanah. Tatapannya tidak berkedip pada binatang buas itu.
"Dua puluh tahun lalu kau boleh bangga karena dapat mengalahkanku, Waku. Memang itu semua kesalahanku, tidak membawa sahabat saktiku ini. Tapi sekarang, jangan harap kau dapat mengalahkanku. Aku bukan lagi yang dulu. Kau akan mati, Waku! Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing terus mengejek.
"Persetan! Hiyaaa...!"
Paman Waku geram bukan main.
Telinganya panas mendengar ejekan itu.
Dia langsung melompat ke arah Macan Gunung Sumbing yang masih terkekeh.
Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu bisa mengibaskan goloknya, si Belang sudah lebih dulu melompat cepat menerjangnya.
"Graugh!"
"Akh...!"
Paman Waku terhuyung-huyung sambil mendekap lambung kanannya.
Kuku-kuku si Belang telah me-robek cukup dalam dan panjang pada lambung kanan-nya.
Darah mengucur deras tak tertahankan lagi.
Dan pada saat Paman Waku limbung, si Belang sudah melompat lagi hendak menerkam.
"Aaauuum...!"
"Mati aku...!"
Desah Paman Waku dalam hati.
Tapi sebelum harimau itu mencapai tubuh Paman Waku, tiba-tiba Bakor melemparkan tombaknya ke arah harimau itu.
Ujung tombak yang berbentuk se-perti keris itu tepat menghunjam dada si Belang.
Tapi sungguh menakjubkan, tombak itu malah terpental balik tanpa melukai harimau itu sedikit pun.
Bakor melompat menangkap tombaknya yang terpental kembali, dan langsung mendarat di depan adiknya yang terluka di bagian lambungnya.
Macan Gunung Sumbing menggeram marah melihat musuh bebuyutannya masih terlindungi.
Dia tahu betul siapa orang yang kini berdiri di depan Paman Waku.
"Aku paling benci melihat kelicikan. Membunuh orang yang sudah tidak berdaya!"
Dingin, kata-kata Bakor.
"Menyingkirlah, Bakor! Giliranmu nanti!"
Dengus Macan Gunung Sumbing. Sementara si Belang men-dekam kembali di sampingnya.
"Nanti atau sekarang sama saja! Sengaja aku da-tang agar kau tidak mengotori tempat suciku!"
Sahut Bakor semakin dingin.
"Akulah lawanmu, iblis!"
Setelah berkata demikian, Bakor langsung melompat seraya menusukkan tombaknya ke arah dada Macan Gunung Sumbing.
Tapi serangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam itu, manis sekali dielakkan Macan Gunung Sumbing.
Bahkan laki-laki yang wajahnya sudah mirip harimau itu mampu memberikan serangan balasan yang juga luput dari sasaran.
Sementara Paman Waku bergerak mundur.
Darah semakin banyak keluar dari lukanya.
Dan pertarungan antara Bakor melawan Macan Gunung Sumbing tidak dapat dihentikan lagi.
Harimau belang itu juga me-nyingkir.
Tapi tatapannya tertuju pada pertarungan itu.
Tidak jauh dari tempat itu, terlihat Argayuda dan Ki Gedag.
Mereka juga tampaknya sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Macan Gunung Sumbing memang tokoh hitam yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya.
Tidak mudah menaklukkan laki-laki berwajah seperti harimau itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertarungan antar Bakor melawan Macan Gunung Sumbing sudah mencapai tingkat yang tinggi. Mulai kelihatan kalau Bakor sudah terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan Macan Gunung Sumbing mendarat di tubuhnya. Tapi Bakor masih juga mampu melawan.
"Jebol dadamu! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Macan Gunung Sumbing melompat cepat, dan tangan kanannya menggedor dada Bakor.
"Aaakh...!"
Bakor menjerit keras.
Seketika tubuhnya terpental ke belakang.
Dan belum lagi mencapai tanah, Macan Gunung Sumbing kembali menerjang seraya mengibaskan tangan kanan-nya.
Tak pelak lagi, jari yang berkuku hitam dan runcing itu merobek dada Bakor.
Kembali laki-laki setengah baya itu menjerit keras.
Darah langsung me-nyembur keluar dari dada yang sobek panjang! Dan belum sempat ada yang menyadari, kembali Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangan kanan-nya.
Kali ini sasarannya adalah bagian leher.
Bakor yang sudah tidak berdaya, tidak mampu berkelit lagi.
Tanpa bersuara sedikit pun, tubuh laki-laki setengah baya itu ambruk ke tanah dengan leher terpenggal! "Iblis...!"
Geram Paman Waku menyaksikan kematian kakaknya yang sangat tragis.
"Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
"Kubunuh kau, keparat!"
Geram Paman Waku.
Tanpa menghiraukan luka di tubuhnya, Paman Waku segera melompat menyerang sambil mengibaskan goloknya yang panjang.
Tapi pada saat itu, si Belang juga sudah lebih cepat melompat.
Cakarnya pun menyampok cepat bagaikan kilat.
Paman Waku terperanjat, namun tidak bisa menghindar lagi.
"Akh...!"
Paman Waku memekik tertahan.
Sampokan cakar harimau itu merobek wajahnya.
Darah langsung menyembur.
Paman Waku terhuyung-huyung sambil menutupi wajahnya dengan tangan kiri.
Pada saat itu, harimau besar peliharaan Macan Gunung Sumbing sudah kembali melompat hendak menerjangnya.
"Ghraaaughk...!"
"Hiyaaa...!"
Dug! *** Tepat pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagaikan kilat, dan langsung menyambar tubuh si Belang.
Harimau besar itu meraung keras, lalu terpelanting ke tanah.
Tampak seorang gadis muda dan cantik tahu-tahu sudah berdiri tegak melindungi Paman Waku.
"Dewi Tanjung...!"
Desis Macan Gunung Sumbing geram saat mengenali gadis cantik berbaju putih yang sedikit koyak itu.
"Hm.... Saatnya kau terbang ke neraka. Macan Iblis!"
Dengus Dewi Tanjung dingin.
Saat itu dua orang penduduk menghampiri Paman Waku dan membawanya menyingkir.
Darah masih me-ngucur di tubuh dan wajah laki-laki tua itu.
Dewi Tanjung sempat melirik Paman Waku yang sudah berada di tempat aman bersama beberapa penduduk yang merawat luka-lukanya.
Pada saat itu Ki Gedag dan Argayuda melompat mendekati Dewi Tanjung.
Kedua laki-laki itu langsung menghunus senjatanya.
Macan Gunung Sumbing ter-senyum sinis melihat ketiga orang penantangnya, kemudian tertawa terbahak-bahak sambil mengegoskan tangannya ke depan.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras, si Belang langsung melompat menerjang ketiga orang itu.
Ki Gedag dan Argayuda berlompatan ke samping, sedangkan Dewi Tanjung malah diam berdiri tegak.
Dan begitu harimau sebesar anak kerbau itu berada dalam jangkauan, dengan cepat dikibaskan pedangnya.
Harimau itu hanya meraung kecil begitu pedang Dewi Tanjung menghantam tubuhnya.
Binatang itu terjajar sedikit, lalu kembali menerjang lebih ganas.
Dewi Tanjung berlompatan menghindari terjangan binatang buas itu.
Beberapa kali pedangnya dihantamkan ke tubuh si Belang, tapi harimau itu tidak terluka sedikit pun.
Kulitnya sungguh kebal, tidak mempan senjata apa pun juga! Sementara Argayuda dan Ki Gedag sudah bertarung mengeroyok Macan Gunung Sumbing.
Golok mereka berkelebatan cepat mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing, tapi tokoh sakti itu tidak mudah didesak.
Bahkan satu ketika dia berhasil menyarangkan cakarnya pada dada Ki Gedag, sehingga laki-laki tua itu menjerit keras terhuyung-huyung ke belakang.
Darah mengucur deras dari dadanya yang koyak.
"Ki...!"
Seru Argayuda cemas.
Keterkejutan Argayuda tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja telah menjerit melengking.
Macan Gunung Sumbing telah menyampok kepalanya, sehingga pemuda itu terpental jauh.
Tubuhnya terus meluncur, lalu menabrak dinding rumah hingga jebol berantakan.
Namun Argayuda bergegas bangkit dan melompat menerjang manusia berwajah harimau itu.
"Nekad...!"
Dengus Macan Gunung Sumbing.
Cepat sekali Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangannya, langsung mengoyak leher Argayuda hingga hampir buntung.
Argayuda memekik melengking tinggi.
Sebentar tubuhnya bergetar, lalu ambruk berkelojotan di tanah.
Darah mengucur deras membasahi tanah.
Tidak berapa lama berkelojotan, sebentar kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi! "Setan keparat! Kubunuh kau!"
Geram Ki Gedag.
"He he he.... Orang tua bodoh! Sebaiknya kupercepat kematianmu. Hih...!"
Macan Gunung Sumbing melompat ke atas, lalu menukik keras menuju ke kepala Ki Gedag.
Hanya sekali Ki Gedag mampu mengibaskan pedangnya ke atas.
Namun, saat-saat berikut, tubuhnya sudah terangkat, dan kembali jatuh dengan kepala terpisah.
Tubuh tanpa kepala itu bergerak-gerak sebentar, lalu diam tanpa nyawa lagi.
Macan Gunung Sumbing mendarat manis sambil menenteng kepala Ki Gedag.
Dilemparkannya kepala itu seperti kelapa busuk yang tidak berguna ke arah penduduk Desa Weru.
Melihat tetua-tetua desa bergelimpangan jadi mayat, para penduduk itu berlarian menyelamatkan diri.
Tapi Macan Gunung Sumbing tidak membiarkan begitu saja.
Dia memang sudah terlalu membenci mereka yang berusaha mengeroyoknya.
Dengan cepat tubuhnya melesat sambil mengibaskan tangannya.
Dua orang penduduk menjerit melengking, lalu ambruk bersimbah darah.
"Jangan lari kalian! Hiyaaat...!"
Macan Gunung Sumbing melompat mengejar penduduk yang berlarian tak tentu arah sambil berteriak-teriak minta tolong.
Dan pada saat tangannya hampir menjangkau salah seorang penduduk, mendadak dari angkasa meluruk deras sebuah bayangan besar.
Bayangan itu langsung menyampok Macan Gunung Sumbing hingga terpelanting bergulingan di tanah.
"Keparat! Monyet buduk...!"
Macan Gunung Sum-bing menyumpah serapah seraya bangkit berdiri.
"Tidak ada gunanya kau membantai mereka, Macan Gunung Sumbing!"
Terdengar suara dingin dan datar.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Phuih!"
Macan Gunung Sumbing mendesis geram.
Sementara itu di tempat lain, Dewi Tanjung masih berusaha menghadapi harimau yang besar dan kebal.
Gadis itu nampak kewalahan, tapi terus berusaha keras mempertahankan nyawanya.
Rangga sempat me-lirik ke arah pertarungan ganjil dan tidak seimbang itu.
Dewi Tanjung memang sudah jatuh bangun dan tubuhnya berlumuran darah.
Entah sudah berapa kali kulitnya tersayat cakaran binatang buas itu.
"Dewi Tanjung, mundur...!"
Seru Rangga keras.
Tepat ketika Dewi Tanjung melompat mundur, dari angkasa meluruk seekor burung rajawali raksasa berbulu putih agak keperakan.
Cakar rajawali itu langsung menyambar harimau belang yang terus menggeram.
Namun harimau itu dengan gesit mengelak, lalu mengaum keras sambil menggaruk-garuk tanah di depannya.
"Rajawali, hadapi dia! Kau lebih tahu caranya!"
Seru Rangga keras.
"Khraghk...!"
Sementara itu Macan Gunung Sumbing mengumpat, menyumpah serapah atas munculnya Pendekar Rajawali Sakti bersama burung raksasa tunggangannya.
"Phuih! Orang lain boleh takut padamu, Pendekar Rajawali Sakti."
Sambil terus menyumpah, Macan Gunung Sumbing langsung menyerang.
Dia memang baru dua kali bentrok dengan pendekar yang selalu memakai baju rompi putih itu.
Makanya, kini dia tidak mau tanggung-tanggung lagi.
Laki-laki yang wajahnya penuh brewok itu melompat sambil mengerahkan jurus andalannya.
Dan Rangga yang juga sudah mengukur kepandaian lawannya, langsung mencabut Pedang Rajawali Sakti.
Seketika malam yang hanya diterangi beberapa obor, menjadi terang benderang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Secepat Macan Gunung Sumbing menerjang, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melompat dibarengi pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Gerakan pedangnya sungguh cepat luar biasa, sehingga sulit diikuti pandangan mata.
Dan sabetan pedang itu hampir saja memenggal leher Macan Gunung Sumbing, kalau tidak cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
"Keparat!"
Geram Macan Gunung Sumbing seraya bangkit berdiri. Sedangkan Rangga berdiri tegak, dan pedangnya tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk dengan bibir terkatup rapat.
"Hhh! Rupanya kau takut mati juga, macan ompong!"
Ejek Rangga sinis.
"Phuih!"
Macan Gunung Sumbing menyemburkan ludahnya.
Wajahnya merah padam menahan amarah mendengar ejekan yang membuat panas telinganya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Macan Gu-nung Sumbing mempersiapkan ajian pamungkasnya.
Dan Rangga yang melihat lawannya tidak main-main lagi, segera mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Kedua ajian itu pernah dikeluarkan beberapa hari yang lalu.
Saat itu kekuatan ajian mereka seimbang.
Tapi entah untuk kali ini.
Hanya merekalah yang bisa menentukan dari pertarungan antara hidup dan mati! Sesaat mereka saling berdiri dengan tatapan ko-song, seakan tengah mengukur ajian yang tinggal dilepaskan saja.
Cahaya biru sudah mulai menggulung di ujung pedang, sedangkan kedua telapak tangan Macan Gunung Sumbing sudah merah membara bagai terbakar.
Hawa panas menyebar dari telapak tangan yang memerah itu.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti!"
Dingin nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Bertobatlah sebelum terbang ke neraka, macan ompong!"
Sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Hih! Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Macan Gunung Sumbing berlari kencang dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Sedangkan Rangga menyilangkan pedangnya, dan telapak tangan kiri di-tempelkan pada ujung pedangnya.
Sedikit pun dia tidak bergerak.
Memang aji 'Cakra Buana Sukma' bersifat menyerang, tapi menunggu untuk diserang.
Suatu benturan keras tak dapat dihindari lagi, sehingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat! Itu pun masih disertai percikan bunga api yang dipadu dengan menggumpalnya dua sinar yang menjadi satu.
"Ukh!"
Meskipun sudah pernah bertarung sebelumnya, tapi Macan Gunung Sumbing masih terperanjat juga ketika kedua telapak tangannya menempel erat pada mata pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Padahal pedang itu tidak digenggamnya.
Macan Gunung Sumbing berusaha melepaskan tangannya, tapi dirasakan adanya satu kekuatan yang menyedot tenaganya.
Semakin kuat dikerahkan tenaganya, semakin kuat pula aliran itu menguasai dirinya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Macan Gunung Sumbing meliukkan tubuhnya, dan kakinya melayang deras disertai pengerahan tenaga dalam penuh ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga menyentakkan tangannya cepat-cepat.
Seketika tubuh Macan Gunung Sumbing terlontar jauh, sehingga tendangannya hanya sia-sia saja.
Dan selagi tubuh laki-laki berwajah penuh brewok itu terlontar, dengan cepat Rangga melompat memburunya.
Langsung saja dikerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Pedang bercahaya biru itu dikibaskan dengan cepat ke arah leher Macan Gunung Sumbing.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Macan Gunung Sumbing buru-buru melentingkan tubuhnya berputar di udara, sehingga tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti tidak mencapai sasaran.
Namun pada saat yang sama, Rangga telah lebih cepat menghunjamkan satu pukulan tangan kiri disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dug! Pukulan itu tidak terbendung lagi, dan telak menghantam bagian lambung Macan Gunung Sumbing.
"Ughk..!"
Keluh Macan Gunung Sumbing. Keras sekali tubuhnya mencelat menghantam sebatang pohon beringin hingga tumbang. Tapi hebatnya, Macan Gunung Sumbing langsung bangkit berdiri meskipun bibirnya meringis merasakan sakit pada lambung.
"Saatmu sudah tiba, Macan Gunung Sumbing!"
Desis Rangga dingin.
Seketika itu juga Rangga menghentakkan tangan kirinya.
Maka secercah cahaya biru meluncur deras dari telapak tangan kiri yang terbuka.
Begitu cepatnya cahaya itu meluruk, sehingga Macan Gunung Sumbing yang baru saja mampu berdiri, tidak dapat mengelak lagi.
Tubuhnya langsung terselubung cahaya biru berkilauan itu.
Laki-laki mirip harimau itu menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak keras.
Dan pada suatu ketika, teriakannya berubah menjadi raungan dahsyat bagai raungan harimau.
Tampak dalam selubung cahaya biru itu, tubuh Macan Gunung Sumbing berkelojotan.
Sesaat kemudian seluruh tubuhnya tumbuh bulu kuning belang hitam kecoklatan.
Kedua bola matanya membulat dan berwarna merah bagai sepasang bola api.
"Ghraaagh...!"
Sambil meraung keras, Macan Gunung Sumbing menghentakkan tangannya ke atas.
Seketika itu juga cahaya biru yang menyelubungi tubuhnya, lenyap di-sertai ledakan dahsyat menggelegar.
Rangga melompat mundur begitu melihat Macan Gunung Sumbing berubah jadi manusia setengah harimau! "Ghraaaghk...!"
Macan Gunung Sumbing meraung dahsyat sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala.
Kemudian tangannya memukul-mukul dadanya sendiri yang ditumbuhi bulu lebat, bagai bulu harimau.
Seluruh tenaga, kaki, wajah dan tubuhnya telah berbulu.
Macan Gunung Sumbing benar-benar telah berubah menjadi makhluk setengah harimau! Pada saat itu, dalam waktu yang bersamaan, ke-anehan juga terjadi pada harimau yang tengah bertarung melawan Rajawali Putih.
Harimau besar itu meraung keras, kemudian langsung melompat mendekati Macan Gunung Sumbing.
Sungguh sukar dipercaya! Harimau itu mengangkat kedua kaki depannya, dan perlahan-lahan tubuhnya menyatu dengan tubuh Macan Gunung Sumbing.
Harimau itu lenyap.
Dan kini Macan Gunung Sumbing benar-benar berubah menjadi seekor harimau yang sangat besar luar biasa! Meskipun tidak berdiri dengan empat kakinya, tapi bentuk tubuhnya benar-benar berubah menjadi harimau.
Hanya bagian tangannya saja yang masih berbentuk tangan manusia, meskipun berbulu lebat.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya...!?"
Desis Rangga tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Ghraughk...! Kau harus mampus, Pendekar Raja-wali Sakti! Tidak ada yang mampu menandingi ilmu 'Siluman Harimau'ku!"
Suara Macan Gunung Sumbing terdengar serak dan agak parau.
Sambil menggerung dahsyat, Macan Gunung Sumbing yang sudah berubah ujud itu langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak Rangga masih terpana setengah tidak percaya, tapi buru-buru melompat ke samping menghindari terjangan itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, Macan Gunung Sumbing mampu berputar meskipun dalam keadaan tubuh di udara, dan langsung menerjang Rangga.
"Akh!"
Rangga memekik tertahan.
Terjangan Macan Gunung Sumbing tidak dapat dielakkan lagi.
Tangannya yang berbulu lebat, dahsyat sekali menyampok tubuh Rangga.
Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu mental, melayang tinggi ke angkasa.
Dan pada saat itu, Rajawali Putih melesat mengejar.
Dengan manisnya Rangga hinggap di punggung Rajawali Putih itu.
"Khraghk...!"
"Aku tidak apa-apa, hanya sedikit sesak,"
Jelas Rangga seraya mengebutkan pedangnya tiga kali di depan wajahnya.
Rajawali Putih menukik deras ke arah Macan Gu-nung Sumbing yang menggerung-gerung dahsyat.
De-ngan sayapnya, burung itu menyampok tubuh berwujud harimau itu.
Kibasan yang cepat dan bertenaga luar biasa itu membuat Macan Gunung Sumbing terpental ke belakang.
Dan pada saat tubuhnya menghantam tembok batu, Rangga melompat bagaikan kilat seraya mengibaskan pedang pusakanya.
"Hiyaaat...!"
"Graughk...!"
Tebasan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak dapat dihindari lagi.
Mata pedang yang berwarna biru menghantam dada Macan Gunung Sumbing.
Suara raungan keras terdengar menggelegar.
Dan tubuh Macan Gunung Sumbing kembali terpental ke belakang hingga menghantam rumah.
Rumah itu hancur berantakan mengubur manusia harimau itu! "Aaarghk...!"
"Gila...!"
Rangga terkesiap melihat Macan Gunung Sumbing kembali bangkit menyibakkan reruntuhan rumah yang menimbunnya.
Tidak ada luka sedikit pun pada tu-buhnya.
Padahal tadi jelas terlihat kalau pedang Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal dahsyat telah menghantam dadanya.
"Hhh! Aku tidak tahu lagi, bagaimana harus me-ngalahkannya,"
Desah Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Dan Macan Gunung Sumbing pun sudah melangkah menghampiri sambil menggerung-gerung menahan marah. Sepasang bola matanya me-rah menyala bagai bola api.
"Ayo! Maju kau, iblis!"
Dengus Rangga seraya menggerak-gerakkan pedangnya.
"Ghraughk...!"
Macan Gunung Sumbing menggerung dahsyat, dan tiba-tiba saja menerjang cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke atas melewati kepala manusia harimau itu.
Dengan cepat dibabatkan pedangnya ke kepala manusia harimau itu.
Tebasan itu tepat menghantam kepala Macan Gu-nung Sumbing, tapi tidak mencederai sedikit pun.
Bahkan dalam keadaan masih di udara, Macan Gu-nung Sumbing berbalik, dan langsung menyerang kembali.
Buru-buru Rangga meluruk turun disertai kibasan pedangnya.
Kali ini dibabatkannya ke arah kaki, tapi juga tidak membawa hasil.
Dua kali Rangga bergulingan di tanah, dan bergegas bangkit berdiri.
Pada saat itu Macan Gunung Sumbing sudah menyerang kembali lebih ganas.
Rangga berdiri tegak, dan segera memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Rasanya memang tidak ada gunanya lagi menggunakan pedang itu.
Kini ditunggunya serangan harimau itu.
Semua orang yang melihat, pasti akan menduga kalau Rangga sudah pasrah menerima kematiannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bergeming sedikit pun.
Padahal si Macan Gunung Sumbing sudah demikian dekat, dan sesaat lagi pasti akan menerkamnya.
"Ghrauk!"
"Hiyaaat..!"
Tepat ketika jangkauan tangan Macan Gunung Sumbing hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba saja Rangga melompat ke udara.
Seketika tubuhnya cepat meluruk turun sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam penuh dan sempurna.
Duk! Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam ubun-ubun manusia harimau itu.
"Aaarghk...!"
Macan Gunung Sumbing meraung keras.
Dan belum lagi manusia harimau itu mampu melakukan sesuatu, cepat-cepat Rangga menghu-njamkan dua jarinya ke bola mata Macan Gunung Sumbing.
Kembali manusia setengah harimau itu meraung keras.
Ditutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Rajawali! Bawa dia ke atas...!"
Seru Rangga keras seraya menjejakkan kakinya di tanah.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih yang sejak tadi melayang-layang di angkasa, langsung meluruk turun.
Disambarnya ke-pala Macan Gunung Sumbing dengan cakarnya, dan langsung dibawanya ke angkasa.
Pada saat itu, Rangga melesat tinggi dan kemudian hinggap di punggung Rajawali Putih.
Sret! Cahaya biru kembali berpijar begitu Rangga mencabut pedang pusakanya.
Tepat pada ketinggian tertentu, Rangga nekad melompat turun, dan langsung menghunjamkan pedangnya ke mulut Macan Gunung Sumbing.
Dan begitu pedangnya ditarik, Rangga kembali menghunjamkan ke arah jantung.
"Lepaskan, Rajawali...!"
Teriak Rangga yang saat itu keseimbangan tubuhnya mulai kendur.
Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, sehingga Macan Gunung Sumbing meluruk jatuh ke bawah tanpa dapat dicegah lagi.
Dan Rajawali Putih segera menukik menghampiri Rangga yang saat itu juga sudah turun deras.
Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tepat di punggung Rajawali Putih.
Tampak Macan Gunung Sumbing terjatuh keras menghantam tanah.
Pada saat yang sama, Rajawali Putih menukik turun dan cakarnya langsung menyam-bar tubuh manusia harimau itu.
Kembali tubuh Macan Gunung Sumbing dibawa tinggi ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi.
Tiga kali Rajawali Putih melakukan hal itu, sehingga Macan Gunung Sumbing tidak berdaya lagi.
Pada jatuhnya yang ketiga kali, tubuh Macan Gunung Sumbing menggelepar sambil menggerung-gerung kesakitan.
Rangga cepat melompat, dan segera membabatkan pedangnya ke leher si manusia harimau itu.
Cras! "Aaargh...!"
Macan Gunung Sumbing meraung keras.
Leher Macan Gunung Sumbing langsung putus terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga segera melompat mundur, dan menyarungkan pedangnya kembali di balik punggung.
Hanya sebentar Macan Gunung Sumbing mampu bergerak, sesaat kemudian tidak berkutik lagi.
Darah mengucur deras dari kepala yang buntung.
Kembali perubahan terjadi.
Tubuh yang tadinya penuh bulu itu, perlahan-lahan kembali berubah menjadi manusia, menjadi si Macan Gunung Sumbing yang kini tanpa kepala.
Rangga menarik napas panjang, kemudian menoleh saat mendengar suara-suara langkah kaki mendekati.
Tampak Dewi Tanjung dan Paman Waku serta beberapa penduduk menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?"
Nada suara Dewi Tanjung terdengar cemas, namun juga gembira.
"Tidak,"
Sahut Rangga pelan.
"Rangga, bagaimana kau mengetahui kelemahan-nya?"
Tanya Paman Waku.
"Otak,"
Sahut Rangga singkat.
"Otak...?!"
Rangga hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Paman Waku. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menatap Dewi Tanjung lekat-lekat, lalu me-lompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dewi Tanjung berlari menghampiri.
"Kau akan pergi juga, Kakang?"
Tanya Dewi Tanjung agak tersendat.
"Ya,"
Sahut Rangga mendesah, namun terdengar mantap.
"Kembalilah ke padepokanmu. Kau belum siap untuk terjun dalam dunia persilatan. Masih banyak yang harus dipelajari, terutama menyempurnakan ilmu yang sudah kau miliki."
"Kita akan bertemu lagi, Kakang?"
"Ya, kita akan bertemu lagi jika kau sudah menyem-purnakan ilmu yang kau miliki,"
Jawab Rangga sambil tersenyum.
Lalu dia segera memerintahkan Rajawali Putih untuk pergi.
Burung rajawali raksasa itu berkaokan, seakan-akan mengucapkan selamat tinggal.
Sebentar kemudian burung itu sudah membumbung tinggi ke angkasa.
Sementara saat itu matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur.
Paman Waku menghampiri Dewi Tanjung, lalu menepuk pundak gadis itu.
"Maafkan. Seharusnya aku tahu bahwa kau putri sahabatku,"
Ucap Paman Waku pelan.
"Sungguh aku tidak tahu kalau si Raja Obat punya putri yang tangguh dan cantik."
"Dari mana Paman tahu?"
Tanya Dewi Tanjung ter-kejut.
"Jurus 'Bidadari Penyebar Maut' yang kau mainkan tadi."
"Ohhh...,"
Dewi Tanjung menarik napas panjang.
Dewi Tanjung tidak mampu menolak tawaran Pa-man Waku untuk singgah di rumahnya.
Mereka berjalan menuju ke rumah Paman Waku, sementara para penduduk Desa Weru mulai sibuk mengurus mayat yang bergelimpangan akibat pertarungan sepanjang malam tadi.
SELESAI Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Clickers Document Outline *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** SELESAI
Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen