Perempuan Siluman 1
Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Bagian 1
http.//duniaabukeisel.blogspot.com PEREMPUAN SILUMAN Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .
Puji S.
Gambar sampul oleh Henky Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.
Perempuan Siluman 128 hal ; 12 x 18 cm Hujan gerimis merinai jatuh dari langit, langsung menghantam bumi.
Angin berhembus kencang, melontarkan daun-daun dan rerumpu-tan kering.
Udara terasa begitu dingin menusuk tulang, sehingga membuat orang lebih memilih di dalam rumah.
Terlebih lagi, malam ini begitu ge-lap.
Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang mau-pun rembulan yang membias.
Namun keadaan alam yang tampak tidak ramah pada malam ini, tidak membuat seorang wanita menghentikan ayunan langkahnya.
Dengan tertatih-tatih, disusurinya jalan tanah yang mulai basah oleh rintik air hujan.
Cukup sulit untuk bi-sa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya ditutupi sehelai kain berwarna hitam.
Malah, tam-paknya sudah begitu lusuh.
Bahkan banyak ter-dapat tambalan.
Dia berjalan dengan kaki telan-jang, menapak perlahan-lahan.
Tidak dipeduli-kannya lagi tanah becek yang tersiram air hujan yang semakin deras saja turun menyirami bumi ini.
Wanita itu baru berhenti melangkah sete-lah tiba di depan sebuah pondok kecil yang terle-tak agak jauh dari rumah-rumah lainnya.
Seben-tar mukanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri, seakan-akan tidak ingin ada orang lain yang meli-hatnya.
Kemudian dengan tangan agak gemetar, dibukanya pintu pondok itu.
Bunyi derit dari sendi pintu yang sudah berkarat, terdengar mengiris ha-ti.
Secercah cahaya redup dari sebuah pelita kecil yang tergantung di tengah-tengah ruangan pondok kecil ini langsung menyambut kehadiran wanita itu.
"Kaukah itu, Nek..?"
Terdengar suara agak nyaring dari dalam pondok.
"Benar..., ini aku!"
Sahut wanita berkerudung kain lusuh itu.
Suaranya terdengar kering sekali.
Bahkan agak serak seperti burung gagak.
Kakinya melang-kah masuk ke dalam pondok, lalu membesarkan nyala api pelita.
Maka ruangan berukuran kecil ini jadi lebih terang lagi setelah nyala api pelita membesar.
Tampak di atas sebuah dipan bambu, du-duk seorang gadis berpakaian kumal dan penuh tambalan.
Wajah dan tubuhnya tampak kotor.
Rambutnya juga acak-acakan tak teratur, hampir menutupi wajahnya.
"Apa lagi yang kau bawa untukku malam ini, Nek?"
Tanya gadis itu.
Suaranya terdengar datar sekali, tanpa te-kanan sedikit pun.
Dan matanya agak memerah, dengan tatapan begitu kosong bagai tak memiliki lagi cahaya gairah kehidupan.
Sementara perem-puan tua yang kini sudah melepaskan kerudung-nya, melangkah terseret menghampiri.
Diletak-kannya sebuah guci berukuran cukup besar yang dibawanya ke atas dipan di depan gadis itu.
Seketika itu juga sinar mata gadis berbaju kumal itu jadi berbinar.
Begitu melihat isi guci yang ada di depannya, dia jadi tidak sabar lagi.
Langsung diambilnya guci itu, lalu....
Glek...! "Habiskan semuanya.
Tapi mungkin malam ini untuk yang terakhir aku bisa memperolehnya,"
Ujar perempuan tua itu, masih dengan suara ker-ing dan serak seperti burung gagak.
Sementara gadis berbaju kumal dan kotor itu terus meneguk cairan merah dari dalam guci berukuran cukup besar ini.
Guci itu baru diletak-kan kembali di depannya, setelah semua isi guci itu berpindah ke dalam perutnya.
Sambil menye-ringai penuh kepuasan, bibirnya yang kini jadi merah disekanya.
"Kau bicara apa tadi, Nek Paring?"
Tanya gadis itu, masih tetap datar suaranya.
"Ini malam terakhir aku bisa mendapatkan darah untukmu. Rasanya sulit bagiku untuk bisa lagi keluyuran malam-malam mencari darah,"
Kata perempuan tua yang dipanggil Nek Paring itu.
"Kenapa...? Apa semua orang di desa ini sudah habis?"
"Tidak."
"Lalu..., kenapa kau berkata seperti itu?"
"Keadaan semakin sulit. Tadi saja aku hampir mati...."
"Kau kepergok mereka lagi?"
Nek Paring hanya menganggukkan kepala saja.
'Tapi tinggal tiga malam lagi, Nek.
Dan setelah itu, semuanya akan berakhir.
Kau tidak per-lu lagi keluar malam-malam.
Biar aku sendiri yang melakukannya seperti dulu-dulu lagi.
Tinggal tiga hari lagi, Nek.
Tiga hari tidak akan lama...,"
Tandas gadis itu, mencoba membangkitkan semangat Nek Paring yang tampaknya mulai padam.
Nek Paring hanya diam saja.
Sedangkan langkahnya terus bergerak menghampiri sebuah dipan bambu lain, yang terletak di bawah sebuah jendela kayu yang tertutup rapat.
Dari sela-sela lubang di bawah jendela itu berhembus angin dari luar yang terasa begitu dingin.
Perlahan-lahan Nek Paring merebahkan dirinya di atas dipan bambu beralaskan sehelai tikar anyaman daun pandan itu.
Sementara gadis berbaju kumal yang selu-ruh wajah dan tubuhnya tampak kotor, masih te-tap duduk bersila.
Sebentar matanya melirik Nek Paring yang sudah terbaring dengan mata terpe-jam rapat.
Tak ada lagi yang berbicara.
Sementara hujan di luar pondok ini semakin deras saja, se-hingga memperdengarkan suara menggemuruh, -bagai hendak menghancurkan semua yang ada di atas permukaan bumi ini.
"Nek..., kau belum tidur...?"
Tanya gadis itu dibuat lembut suaranya. Tapi, masih saja terdengar agak datar.
"Hm..., ada apa?"
Nek Paring hanya meng-gumam saja.
"Kenapa kau tadi mengatakan kalau ini malam yang terakhir, Nek?"
Tanya gadis itu.
"Aku hanya mengatakan ini baru kemung-kinan saja. Aku merasa semakin sulit menda-patkan darah untukmu. Mereka semakin waspada dan selalu berjaga-jaga,"
Jelas Nek Paring.
"Hm, seberapa jauh jaraknya desa lain dari sini?"
"Dua hari perjalanan."
Gadis itu tidak bertanya lagi.
Kini matanya dipejamkan dengan sikap bersemadi.
Sedangkan Nek Paring masih tetap berbaring.
Kelopak ma-tanya juga tidak terbuka.
Tampaknya, perempuan tua itu sangat lelah.
Sementara hujan deras sudah turun di luar, memperdengarkan suara mengge-muruh.
Sehingga, membuat bumi terasa bergetar bagai diguncang ribuan tangan-tangan raksasa.
Suasana di dalam pondok kecil itu pun kini terasa sangat sunyi.
Sedikit pun tak terdengar suara dari dalam sana.
*** Udara di Desa Mungkit terasa segar sekali pagi ini, setelah semalam diguyur hujan sangat le-bat.
Meskipun jalan-jalan di desa itu jadi basah dan becek, tapi tidak menghalangi para penduduk yang harus bekerja seperti hari-hari biasanya.
Wa-laupun pagi ini terasa begitu cerah dan udaranya sangat segar, tapi wajah semua orang di desa ini tidaklah secerah sang mentari yang bersinar pe-nuh tanpa terhalangi awan sedikit pun.
Di salah satu rumah, terlihat banyak orang berkumpul.
Dan dari sana pula terdengar suara-suara tangisan yang terisak dan sesenggukan.
Orang yang berkerumun memadati halaman ru-mah berukuran kecil itu bergerak menyingkir, ke-tika seorang laki-laki tua menunggang kuda da-tang menghampiri.
Laki-laki tua yang mengenakan jubah warna putih bersih itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Lalu dengan lang-kah-langkah kaki lebar, diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke dalam rumah yang ditujunya.
"Oh...?!"
Seketika laki-laki tua itu jadi tertegun begi-tu baru saja melewati pintu depan yang sejak tadi terbuka lebar.
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di dalam ruangan depan yang beruku-ran tidak begitu besar ini.
Dan di situ ada pula beberapa orang yang memandanginya.
Sinar mata mereka terlihat kosong, sulit diartikan.
"Kapan ini terjadi...?"
Desah laki-laki tua berjubah putih itu, seakan-akan bertanya pada di-ri sendiri.
"Semalam, Ki,"
Sahut seorang pemuda ber-baju warna merah, yang berdiri membelakangi jendela.
"Hm...,"
Gumam laki-laki tua itu perlahan.
Laki-laki tua itu melangkah menghampiri tiga sosok mayat yang tergeletak di tengah-tengah ruangan depan ini.
Sungguh mengerikan sekali keadaannya.
Leher dan dada mereka terkoyak le-bar.
Setetes pun tak ada darah terlihat, walau leh-er ketiga orang itu terkoyak hampir buntung.
De-mikian pula dada mereka yang terbuka lebar, se-hingga memperlihatkan seluruh isinya sampai je-las sekali.
Sebentar laki-laki tua berjubah putih itu mengamati keadaan ketiga mayat itu, kemudian kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
Sebentar diamatinya orang-orang yang berada di dalam ruangan ini.
Pandangannya kemudian tertuju pada pemuda berbaju merah muda yang masih berdiri membelakangi jendela.
Kakinya terayun menghampiri pemuda berwajah cukup tampan, dengan tubuh tinggi tegap berotot itu.
Kulitnya pun putih, seperti seorang putra raja atau bangsawan kota.
"Kenapa hal ini bisa terjadi, Darkan? Kau sudah kutugaskan untuk mengatur perondaan tiap malam...,"
Kata laki-laki tua itu menyesalkan peristiwa mengerikan ini.
"Lebih dari tiga puluh orang yang meronda semalam, Ki Labur. Bahkan aku sendiri sampai sekarang belum tidur,"
Sahut pemuda berbaju merah muda yang dipanggil Darkan, seperti tidak in-gin disalahkan.
"Lalu, kenapa hal ini sampai terjadi?"
Tanya Ki Labur yang juga Kepala Desa Mungkit ini, meminta penjelasan.
"Aku..., aku tidak tahu, Ki. Tidak ada seo-rang pun yang tahu. Baru tadi ada yang tahu ka-lau...,"
Kata Darkan terputus.
"Hm..., entah sampai kapan hal ini akan terjadi. Sudah begitu banyak jatuh korban. Dan semuanya tewas dalam keadaan yang begitu men-gerikan. Hhh...,"
Desah Ki Labur agak perlahan, memotong ucapan Darkan.
Suasana kembali sunyi, tanpa seorang pun berbicara lagi.
Di sekitar rumah itu masih dikeru-muni orang.
Dan beberapa pemuda mulai membe-reskan mayat-mayat yang tergeletak di tengah-tengah ruangan depan rumah ini.
Sungguh men-gerikan keadaannya.
Dari luka-luka yang mengan-ga lebar, setetes pun tak ada darah yang terlihat.
Suatu kematian yang sungguh aneh dan sangat mengerikan.
Bahkan Ki Labur sampai tak tahan untuk menyaksikan lebih lama lagi.
Laki-laki tua itu bergegas keluar diikuti Darkan.
Mereka terus melangkah menerobos ke-rumunan orang-orang yang ingin menyaksikan sa-tu keluarga di dalam rumah berukuran kecil itu.
Mereka baru berhenti setelah berada di luar, agak jauh dari kerumunan orang yang semakin bertam-bah banyak ini.
"Mulai sekarang, kau harus lebih memper-kuat penjagaan di seluruh wilayah desa ini, Dar-kan,"
Ujar Ki Labur agak dalam nada suaranya, namun terdengar tegas sekali.
"Baik, Ki,"
Sahut Darkan seraya mengang-gukkan kepala.
Ki Labur mengedarkan pandangannya ber-keliling.
Sesaat kemudian, tatapan matanya yang agak tajam tertumbuk langsung pada seorang pe-muda berwajah tampan.
Tubuhnya tinggi dan te-gap berotot.
Pemuda itu berdiri di bawah sebatang pohon yang sangat rindang untuk melindungi di-rinya dari sengatan sinar mentari.
Dan perhatian pemuda itu rupanya tertumpah pada kerumunan orang-orang di sekitar rumah kecil itu.
Ki Labur terus memperhatikan, ketika pe-muda tampan itu mencegat seorang laki-laki tua penduduk desa Mungkit ini.
Hanya sebentar me-reka berbicara, kemudian laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu terus melangkah menuju ke arah Ki Labur yang masih didampingi Darkan.
Se-gera Ki Labur mencegatnya.
Di pundaknya yang kurus, terpanggul sebuah cangkul kotor yang pe-nuh lumpur sawah.
"Oh...?! Ada apa, Ki Kepala Desa...?"
Tanya laki-laki tua itu.
"Aku hanya ingin tanya,"
Sahut Ki Labur. 'Tanya apa?"
"Kau kenal pemuda yang berbicara dengan mu tadi, Ki?"
Tanya Ki Labur langsung, sambil melirik pemuda tampan yang masih tetap berdiri di bawah pohon rindang.
Laki-laki tua penduduk Desa Mungkit itu melirik sedikit pemuda yang tadi memang bicara dengannya, kemudian menatap Ki Labur dengan kelopak mata agak menyipit.
Tampak jelas, raut wajahnya menyiratkan keheranan mendengar per-tanyaan kepala desa itu barusan.
Kemudian, kepa-lanya bergerak menggeleng perlahan.
"Lalu, apa yang kau bicarakan dengannya tadi?"
Tanya Ki Labur lagi.
"Dia hanya bertanya tentang kejadian di rumah itu saja,"
Sahut laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu.
Ki Labur mengangguk-anggukkan kepala, kemudian meminta laki-laki tua itu untuk melan-jutkan perjalanannya, setelah tadi habis mengolah sawahnya.
Hari memang masih pagi, tapi seluruh penduduk Desa Mungkit sudah menghentikan pe-kerjaannya begitu mendengar ada peristiwa pem-bunuhan mengerikan yang menimpa satu keluar-ga di desa ini.
Sementara Ki Labur masih tetap diam.
Di-tatapnya Darkan yang masih tetap berada di sebe-lah kanannya.
Tapi begitu pandangannya beralih ke pohon di pinggir jalan itu, mendadak saja dia jadi tersentak kaget.
Karena, pemuda tampan ber-tubuh tinggi tegap dan berwajah tampan itu sudah tidak berada lagi di bawah pohon rindang itu.
Ki Labur langsung mengedarkan pandangannya ber-keliling, tapi tidak juga melihatnya lagi.
"Hm..., ke mana perginya...?"
Gumam Ki Labur bertanya-tanya sendiri dalam hati.
*** Memang bukan sekali ini peristiwa pembu-nuhan mengerikan yang penuh teka-teki itu terja-di di Desa Mungkit.
Tapi sudah beberapa kali ber-langsung.
Dan selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui, atau memergoki pembunuh keji itu.
Namun yang membuat seluruh penduduk De-sa Mungkit dicekam kengerian adalah semua kor-bannya mati tanpa ada darah setetes pun yang ke-luar.
Padahal, semua korbannya tewas dengan lu-ka-luka sangat besar dan parah! Dan yang membuat Ki Labur terus ber-tanya-tanya dalam hati, setiap kali peristiwa itu terjadi, dia selalu melihat seorang pemuda berwa-jah tampan muncul di tempat kejadian.
Sayang-nya, belum sempat didekatinya, pemuda itu selalu saja sudah menghilang.
Perginya tidak pernah ke-tahuan, kapan dan ke mana.
"Hhh.... Malam ini aku harus bisa bertemu iblis pembunuh keparat itu. Kalau terus-menerus begini bisa habis seluruh warga desa ku...,"
Desah Ki Labu perlahan, bicara sendiri.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan ju-bah panjang berwarna putih itu mengayunkan ka-kinya per lahan-lahan, meninggalkan rumahnya yang berukuran cukup besar.
Sebuah rumah yang dikelilingi halaman luas dan ditumbuhi rerumpu-tan.
Dua batang pohon beringin tumbuh berdiri di tengah-tengah halaman depan.
Beberapa orang pemuda terlihat di sekitar halaman rumah kepala desa itu.
Mereka adalah para penjaga keamanan rumah kepala desa.
Namun belum juga Ki Labur keluar dari halaman rumahnya, terdengar panggilan bernada lembut dai arah belakang.
Langkahnya langsung dihentikan.
Kepalanya berpaling sedikit, dan lang-sung memutar tubuhnya berbalik begitu melihat seorang wanita tua, tertatih-tatih keluar dari dalam rumah menghampirinya.
Ki Labur tetap berdi-ri tegak menanti perempuan tua yang tak lain is-trinya sendiri.
"Mau ke mana, Ki?"
Tanya Nyai Labur setelah dekat di depan suaminya.
"Keliling kampung,"
Sahut Ki Labur, agak datar nada suaranya.
"Kau sudah tua, Ki. Bukankah kau sudah percayakan pada menantu kita, si Darkan itu...? Untuk apa bersusah-susah keliling desa sendiri? Mana sudah larut malam begini...,"
Kata Nyai Labur, terdengar suaranya bernada khawatir.
Ki Labur hanya tersenyum tipis saja.
Dite-puknya pundak istrinya dengan lembut.
Sebentar matanya menatap lurus ke bola mata wanita tua di depannya ini, kemudian beredar berkeliling.
Di-pandanginya orang-orangnya yang tetap berjaga-jaga di sekitar rumahnya.
Mereka semua masih muda-muda, dan rata-rata berusia sekitar dua pu-luh lima tahun.
Sejak terjadinya pembunuhan-pembunu-han mengerikan di Desa Mungkit.
ini, Ki Labur memang melipatgandakan penjagaan di sekitar rumahnya.
Bahkan Darkan yang juga menantunya diperintahkan untuk mengatur penjagaan yang ke-tat di sekitar desa.
Tidak heran bila setiap orang yang datang ke desa ini, Selalu ditanyai maksud dan tujuan kedatangannya.
Para pendatang itu te-tap diawasi sampai pergi meninggalkan desa.
Hal ini terpaksa dilakukan untuk menjaga kalau-kalau salah seorang dari pendatang itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengeri-kan ini.
"Pembunuh itu sudah semakin keterlaluan, Nyai. Aku tidak bisa terus-menerus mengandalkan Darkan dan mereka semua. Kau tahu, Nyai. Mere-ka juga bisa mengalami bahaya. Dan aku tidak mau kehilangan mereka, setelah cukup banyak penduduk desa ini yang menjadi korban,"
Kata Ki Labur mencoba memberi pengertian kepada istrinya.
"Aku mengerti, Ki. Tapi kau sudah tua. Kau tidak lagi segagah dulu,"
Sahut Nyai Labur tetap mengkhawatirkan keadaan suaminya.
Lagi-lagi Ki Labur hanya tersenyum saja.
Usianya sekarang memang sudah sangat tua.
Bahkan sudah lebih dari tujuh puluh tahun.
Dan memang, keadaannya tidak lagi segagah ketika masih berusia tiga puluh tahun.
Tapi bagaimana-pun juga, dia merasa bertanggung jawab atas ke-selamatan seluruh penduduk Desa Mungkit ini.
Dan dia tidak bisa tinggal diam dengan berpangku tangan saja melihat satu persatu penduduknya mati terbunuh secara aneh dan mengerikan.
Dia harus bertindak sesuatu untuk menghentikan se-mua pembunuhan ini.
Dan kalau perlu, membe-kuk pembunuh keji itu dengan tangannya sendiri.
Hal ini memang sudah menjadi tekadnya, sejak terjadi peristiwa pembunuhan lagi kemarin ma-lam.
"Aku pergi dulu, Nyai. Sebaiknya kau masuk saja dan jangan keluar sebelum aku kembali,"
Kata K Labur.
Nyai Labur tidak bisa lagi menahan sua-minya.
Dia hanya mematung saja sambil meman-dangi laki-laki tua berjubah putih itu melangkah pergi dengan ayunan kaki begitu mantap.
Nyai Labur baru berbalik setelah bayangan tubuh sua-minya tidak terlihat lagi, tertelan gelapnya malam yang teramat pekat ini.
Sementara itu, Ki Labur terus melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki mantap, se-mantap hatinya untuk membekuk si pembunuh.
Dia terus berjalan sambil mengedarkan matanya yang tajam.
Beberapa orang peronda yang berpa-pasan dengannya selalu membungkukkan tubuh memberi hormat.
Sedangkan Ki Labur hanya membalas dengan sedikit anggukan kepala saja.
Laki-laki tua berjubah putih itu baru ber-henti melangkah setelah sampai di perbatasan de-sa sebelah timur.
Sunyi sekali keadaan di sekitar-nya.
Tak ada seorang pun yang terlihat.
Bahkan di dekat perbatasan ini hanya berdiri dua rumah sa-ja.
Dan itu pun keadaannya sangat gelap, karena sudah tidak lagi dihuni.
Seluruh penghuninya memang telah tewas menjadi korban pembunuh itu.
"Hm..., seharusnya ada penjaga di sini. Kemana mereka...?"
Gumam Ki Labur bertanya sendiri.
Kembali pandangan mata laki-laki tua itu beredar berkeliling.
Keningnya jadi berkerut begitu melihat dua tonggak batu yang menjadi tanda dari batas Desa Mungkit ini.
Kelopak matanya semakin menyipit saat melihat dua sosok tubuh tengah bersandar pada batu tanda batas desa ini.
Perla-han Ki Labur menghampiri tonggak batu tanda perbatasan itu.
Dan setelah dekat...
"Heh...?!" *** Kedua bola mata Ki Labur jadi terbeliak le-bar! Ternyata dua orang yang seharusnya menjaga gerbang perbatasan Desa Mungkit ini sudah tidak bernyawa lagi, dengan leher berlubang lebar ham-pir putus. Ki Labur bergegas memeriksa keadaan mereka yang sudah tidak bernyawa lagi. Kening-nya jadi berkerut begitu dalam, melihat darah mengucur dari leher yang menganga sangat lebar itu.
"Hm...,"
Ki Labur menggumam perlahan.
Kematian dua orang penjaga perbatasan ini tidak seperti kematian-kematian yang lainnya.
Mayat kedua orang itu masih mengeluarkan da-rah.
Sedangkan pada korban-korban terdahulu, sedikit pun tidak ada darah yang keluar.
Ki Labur cepat-cepat melangkah mundur beberapa tindak.
Dan pada saat itu....
"Uts...!"
Cepat-cepat laki-laki tua itu memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu merasakan adanya hempasan angin yang begitu kuat dari arah bela-kang. Seketika itu juga, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat sangat cepat dari arah belakang-nya.
"Hup!"
Bergegas Ki Labur melenting ke belakang beberapa tindak.
Dua kali dia berputar sebelum kakinya menjejak manis sekali di tanah berumput agak basah oleh embun.
Tepat pada saat itu, seki-tar enam langkah di depannya berdiri sesosok tu-buh berbaju hitam yang sudah lusuh, dan penuh tambalan.
Tidak mudah untuk mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kerudung kain berwarna hitam dan lusuh.
Ditambah lagi, malam ini memang sangat gelap.
Awan hitam menggum-pal, bergulung-gulung menghalangi siraman ca-haya bulan.
Tubuhnya yang agak membungkuk, tersangga sebatang tongkat kayu yang tidak bera-turan bentuknya.
"Siapa kau...?"
Tanya Ki Labur, agak dalam nada suaranya.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua itu hanya terkikik saja mendapat pertanyaan Kepala Desa Mungkit ini.
Suara tawa itu begitu kecil dan serak, tapi terdengar sangat nyaring.
Sehingga membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya pasti bergi-dik bangun.
Tidak terkecuali Ki Labur.
Laki-laki tua berjubah putih itu sampai bergidik mendengar tawa yang terkikik mengerikan itu.
Kakinya me-langkah mundur dua tindak.
Namun sorot ma-tanya tetap menyala tajam, mencoba menembus selubung kain kerudung hitam yang hampir me-nutupi seluruh wajah perempuan tua berbaju kumal dan penuh tambalan itu.
"Aku tahu, kau ingin bertemu denganku, Ki Labur. Nah, sekarang kau sudah berhadapan den-ganku. Apa yang akan kau lakukan padaku, La-bur...?"
Terasa dingin dan serak sekali suara pe-rempuan tua itu.
"Hm..., jadi kau yang membantai penduduk ku secara keji..,?"
Desis Ki Labur, langsung bisa menebak siapa perempuan tua yang berdiri beberapa langkah di depannya ini.
"Hik hik hik...!' lagi-lagi perempuan tua itu terkikik mengerikan. Sementara Ki Labur sudah mempersiapkan diri. Dia yakin, malam ini pasti harus mengerah-kan tenaga untuk menghadapi pembunuh aneh dan kejam ini. Padahal dalam hatinya sama sekali tidak menyangka kalau yang melakukan semua pembunuhan keji itu adalah seorang perempuan tua yang memiliki suara mengerikan sekali.
"Siapa pun kau, Nisanak. Kau harus ku-tangkap. Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kejimu!"
Desis Ki Labur tegas.
"Hik hik hik...! Tidak mudah untuk me-nangkapku, Ki Labur. Sebaiknya jangan mem-buang-buang tenaga untuk mengurusi hal kecil seperti ini. Ingat! Kau sudah tua dan tidak punya kekuatan lagi untuk bertarung,"
Kata perempuan tua itu lagi.
"Siapa kau sebenarnya?"
Apa tujuanmu membunuhi penduduk Desa Mungkit?!"
Tanya Ki Labur tegas, tanpa menghiraukan peringatan pe-rempuan tua itu.
"Hik hik hik...! Aku biasa dipanggil Nek Paring. Semua ini kulakukan hanyalah untuk cu-cuku. Juga untuk kebahagiaan mu sendiri, La-bur,"
Sahut perempuan tua itu.
"Heh...?! Apa yang kau katakan...?"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah mati mendengar kata-kata perempuan tua yang menga-ku bernama Nek Paring barusan.
Begitu terkejut-nya, sampai kakinya terlonjak ke belakang bebe-rapa langkah.
Sorot matanya jadi semakin tajam, ingin melihat wajah yang hampir tertutup kain ke-rudung hitam itu.
Dia benar-benar terkejut dan ti-dak mengerti perkataan Nek Paring padanya tadi.
"Hik hik hik...!" *** "Siapa kau ini sebenarnya? Apa maksudmu berkata seperti itu?!"
Tanya Ki Labur tinggi sekali nada suaranya.
Tapi perempuan tua itu hanya tertawa ter-kikik saja.
Seakan-akan tenggorokannya tergelitik mendengar pertanyaan Ki Labur yang beruntun dan bernada penasaran.
Hal ini membuat Ki Labur jadi berang.
Dia merasa perempuan tua itu sedang mempermainkan nya, dengan kata-kata yang sa-ma sekali tidak bisa dimengerti.
"Dengar, Nisanak...! Aku bisa berbuat ka-sar kalau kau tidak mau mengatakan dan meng-hentikan perbuatan kejimu itu!"
Desis Ki Labur tidak main-main.
"Hik hik hik...!"
Aneh! Perempuan tua berbaju hitam kumal penuh tambalan itu menanggapi hanya dengan tawa saja.
Bahkan semakin nyaring melengking, dan terdengar serak seperti burung gagak.
Tapi Ki Labur tidak bergidik lagi mendengarnya.
Kemara-hannya yang seketika itu juga meluap di dalam dada, membuatnya jadi tidak peduli.
Dan dia kini hanya memandang kalau perempuan itu adalah pelaku pembunuhan keji di Desa Mungkit ini.
Orang yang harus ditangkap dan dijatuhi huku-man yang setimpal atas perbuatannya dalam be-berapa hari ini.
"Aku tidak peduli tujuanmu membunuhi penduduk desa ini, Nisanak. Yang jelas, kau harus kutangkap malam ini juga,"
Desis Ki Labur dingin menggetarkan.
"Hik hik hik...!"
Lagi-lagi perempuan tua itu hanya tertawa terkikik saja.
Sama sekali tidak dipedulikannya kata-kata Ki Labur yang begitu tegas dan bernada mengancam.
Sedikit pun tidak ditanggapinya kata-kata maupun sikap laki-laki tua berjubah putih yang menjabat kepala desa di Desa Mungkit ini.
Tentu saja hal itu membuat Ki Labur semakin ber-tambah geram! "Hap! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki La-bur langsung melompat menerjang, sambil melon-tarkan beberapa pukulan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Namun tanpa diduga sama sekali, perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang mengaku bernama Nek Paring itu sangat mudah menghin-dari setiap serangannya.
Dengan lincah dan manis sekali Nek Paring meliuk-liukkan tubuhnya.
Setiap pukulan yang di-lancarkan Ki Labur dihindarinya dengan mudah.
Bahkan beberapa kali pula berhasil menangkis tangan Ki Labur dengan tangannya sendiri.
Se-hingga, terjadi beberapa benturan keras yang membuat Ki Labur jadi terperanjat setengah mati.
Setiap kali tangannya membentur tangan lawan, langsung terasa jadi bergetar bagai tersengat lebah berbisa.
"Hup...!"
Cepat-cepat Ki Labur melenting ke bela-kang, setelah melakukan serangan sebanyak tiga jurus.
Namun, tak satu pun yang membawa hasil.
Bahkan kedua tangannya jadi memerah akibat be-berapa kali berbenturan dengan tangan perem-puan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Hap! Hap...!"
Ki Labur segera membuka jurus lain.
Sete-lah melakukan beberapa gerakan di depan dada, kemudian tangannya mengembang ke samping.
Seluruh jari-jarinya tampak merapat menjadi satu, seperti membentuk kepala seekor burung bangau.
Perlahan-lahan kaki kanannya diangkat dengan lutut tertekuk.
Sehingga, pahanya sejajar dengan permukaan tanah.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke wajah yang hampir tertutup kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki La-bur melesat cepat bagai kilat.
Kedua tangannya yang masih terkembang ke samping bergerak ce-pat, diikuti gerakan tubuh yang meliuk-liuk indah.
Langsung diserangnya perempuan tua yang men-gaku bernama Nek Paring itu.
Sungguh cepat dan dahsyat serangan-serangan yang dilakukan Ki La-bur kali ini.
Setiap kebutan tangannya menimbul-kan deru angin, bahkan menyebarkan hawa san-gat panas menyengat kulit.
"Hait..!"
Nek Paring mengimbangi serangan-serangan laki-laki tua berjubah putih itu dengan meliuk-liukkan tubuhnya.
Setiap sambaran kedua tangan Ki Labur yang terkembang lebar ke samp-ing selalu dapat dihindarinya.
Namun, beberapa kali dia terpaksa harus melentingkan tubuhnya ke udara, dan membanting tubuhnya ke tanah.
Bah-kan kadang juga harus bergulingan beberapa kali, untuk menghindari setiap serangan Ki Labur yang begitu cepat dan dahsyat.
Di malam yang dingin dan gelap tanpa ca-haya bulan sedikit pun, Ki Labur dan Nek Paring terus bertarung sengit.
Jurus-jurus yang dikelua-rkan cukup dahsyat, dan bermutu tinggi.
Teria-kan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak memecah kesunyian malam di perbatasan Timur Desa Mungkit ini.
Dan pertarungan masih saja terus berlangsung semakin sengit.
Kini bukan hanya Ki Labur saja yang melakukan serangan, bahkan Nek Paring pun sudah menyiapkan seran-gan-serangan dahsyatnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa!"
Tepat ketika Ki Labur melenting ke udara sambil melepaskan satu pukulan keras menggele-dek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, secepat itu pula Nek Paring menarik ka-kinya ke belakang sambil mengebutkan tongkat-nya ke atas.
Bet! "Heh...?! Utsss...!"
Ki Labur jadi terkesiap setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua itu bisa bertindak di saat yang sangat sulit ini.
Maka cepat-cepat tubuhnya berputar berjumpalitan di udara, menghindari tebasan ujung tongkat yang berbentuk runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Namun belum juga Ki Labur bisa mengua-sai keseimbangan tubuhnya di udara, tiba-tiba sa-ja Nek Paring sudah mencelat cepat bagai kilat ke angkasa.
Dan secepat itu pula, satu pukulan keras menggeledek dilepaskan dengan tangan kirinya.
Begitu cepat pukulan tangan kirinya, sehingga Ki Labur tidak sempat lagi untuk berkelit menghin-dar.
Hingga akhirnya....
Desss! "Akh...!"
Bruk! Begitu keras pukulan yang diberikan Nek Paring, sehingga tubuh Ki Labur jatuh keras sekali menghantam tanah.
Beberapa kali laki-laki tua berjubah putih itu bergulingan di tanah, lalu ce-pat-cepat melompat bangkit berdiri.
Pada saat yang sama, kedua kaki Nek Paring sudah kembali menjejak di atas permukaan tanah yang berumput dan basah oleh embun ini.
Tampak Ki Labur terhuyung-huyung begitu bisa berdiri.
Dari sudut bibirnya mengalir darah.
Kemudian, mulutnya memuntahkan darah kental agak kehitaman.
Saat itu juga, pandangannya jadi mengabur berkunang-kunang.
Beberapa kali kepa-lanya menggeleng-geleng.
Dicobanya untuk men-gusir rasa pening yang menyerangnya begitu tiba-tiba, setelah menerima pukulan keras bertenaga dalam lumayan dari perempuan tua berbaju hitam kumal penuh tambalan itu.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga ka-lau aku mau, Labur. Tapi aku tidak akan melaku-kannya. Dan kuharap kau tidak keras kepala...,"
Kata Nek Paring dingin sekali nada suaranya.
"Phuih!"
Ki Labur menyemburkan ludahnya yang bercam-pur darah. Memang, di dalam rongga mulutnya masih penuh darah yang menggumpal. Napasnya juga jadi tersengal dan terasa sesak sekali. Na-mun, sorot matanya masih memancar sangat ta-jam.
"Hap...!"
Cepat-cepat Ki Labur membuat beberapa gerakan dengan tangannya di depan dada.
Kemu-dian, perlahan-lahan kakinya bergerak ke kanan menyusuri tanah berumput yang basah oleh em-bun.
Sementara, Nek Paring masih tetap berdiri tegak mengamati setia gerakan yang dilakukan la-ki-laki berjubah putih itu.
Sret! Cepat sekali Ki Labur mengeluarkan golok-nya.
yang sejak tadi tersembunyi di balik jubahnya yang panjang dan longgar ini.
Dan begitu goloknya tersilang di depan dada, bagaikan kilat laki-laki tua berjubah putih itu melesat menyerang.
"Hiyaaat..!"
Bet! Golok yang tergenggam erat di tangan ka-nan Ki Labur berkelebat cepat bagai kilat, mengi-kuti gerakan tubuhnya.
Begitu cepatnya, sehingga mata Nek Paring jadi terbeliak lebar.
Sungguh ti-dak disangka kalau kepala desa itu masih bisa bergerak begitu cepat luar biasa, setelah mendapat satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
Dan memang, tadi Nek Paring tidak sepenuhnya mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya.
Pa-dahal, dia tadi menyangka kalau Ki Labur tidak akan mungkin bisa melakukan serangan kembali.
Namun kenyataannya, laki-laki tua berjubah putih itu malah mampu melakukan serangan begitu ce-pat dan dahsyat luar biasa.
"Hait..! Hih!"
Cepat-cepat Nek Paring melompat mundur sambil mengebutkan tongkatnya untuk menangkis tebasan golok Kepala Desa Mungkit itu.
Tak pelak lagi, tongkat yang kelihatannya dari kayu biasa itu berbenturan dengan golok Ki Labur yang berkila-tan sangat tajam.
Trang! "Heh...?!"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah ma-ti, begitu goloknya berbenturan dengan tongkat kayu yang kelihatannya rapuh.
Cepat-cepat tu-buhnya melenting melakukan putaran beberapa kali ke belakang.
Dan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.
Tapi mulutnya jadi me-ringis karena merasakan nyeri pada persendian tangan kanannya.
Memang sukar dipercaya, kalau tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu ternyata sangat tangguh luar biasa.
Bahkan ketika berbenturan tadi, seakan-akan goloknya menghantam sebatang besi baja yang sangat berat Dan saat laki-laki tua itu tengah terpana, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat..!"
Bet! Bagaikan kilat, Nek Paring melompat sam-bil mengebutkan tongkatnya ke arah dada Ki La-bur yang masih terpana tidak percaya oleh keja-dian barusan.
Dan kini matanya jadi terbeliak le-bar, begitu mendapat serangan cepat dan menda-dak dari perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Hat...!"
Wuk! Cepat-cepat KI Labur mengangkat golok-nya, melindungi dadanya dari kebutan tongkat Nek Paring yang berujung runcing. Kembali dua senjata beradu keras di depan dada Ki Labur. Trang! "Yeaaah...!"
Belum juga Ki Labur berbuat sesuatu, ba-gaikan kilat Nek Paring sudah melenting ke udara sambil melepaskan satu tendangan keras mengge-ledek yang mengarah ke dada.
Waktunya memang bersamaan saat tangan Ki Labur yang menggeng-gam golok itu terpental ke samping.
Desss! "Akh...!"
Ki Labur terpekik keras.
Kembali dada laki-laki tua itu terpaksa ha-rus menerima tendangan keras menggeledek dari Nek Paring.
Seketika itu juga, tubuhnya terpental deras ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah beberapa kali.
Sebatang pohon berukuran cukup besar langsung tumbang seketika, begitu terlanda tubuh laki-laki tua yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu.
"Hoeeekh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Labur memuntah-kan darah kental kehitaman dari mulutnya.
Dia berusaha bangkit berdiri, namun kembali jatuh menggelimpang di antara reruntuhan batang po-hon yang terlanda tubuhnya tadi.
Perlahan kepa-lanya diangkat, mencoba menatap Nek Paring yang berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
Namun pandangannya benar-benar men-gabur dan berkunang-kunang.
Sedangkan napas-nya semakin tersengal.
Kembali Ki Labur terbatuk dan menyem-burkan darah kental kehitaman dari mulutnya.
Pandangannya semakin kurang dan mengabur.
Sedangkan Nek Paring tetap berdiri te-gak memandanginya, sambil berkacak pinggang sekitar satu batang tombak di depan Kepala Desa Mungkit itu.
"Kau tidak akan mati, Labur. Tapi, kau akan lumpuh untuk beberapa hari,"
Kata Nek Paring, begitu dingin nada suaranya.
"Huh!"
Ki Labur hanya bisa mendengus saja, dan terus mencoba membuka kelopak matanya lebar-lebar.
Tapi, pandangannya semakin kurang dan terus mengabur.
Hingga akhirnya, dia sama sekali tidak bisa melihat.
Sekitarnya terasa begitu gelap.
Bahkan kepalanya jadi berat bagai terbebani bongkahan batu seberat beberapa kati.
Dan ak-hirnya, laki-laki tua berjubah putih itu roboh tak sadarkan diri lagi.
"Hik hik hik...!"
Hanya sesaat dan samar-samar saja Ki La-bur masih sempat mendengar tawa Nek Paring yang terkikik panjang mengerikan, kemudian tak mampu lagi mendengar apa pun.
Laki-laki tua ber-jubah putih itu benar-benar pingsan, setelah da-danya terkena tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tadi.
*** "Oh...."
Ki Labur merintih lirih sambil menggerak-gerakkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian ke-lopak matanya terbuka, dan perlahan tubuhnya bergerak hendak bangkit.
Tapi sebuah tangan su-dah mencegah bahunya.
Niatnya terpaksa di-urungkan.
Sebentar Ki Labur mengerjapkan ma-tanya, lalu kembali membukanya lebar-lebar.
Tampak seraut wajah wanita tua berada dekat dengannya.
Wajah yang sangat dikenali, dan telah mendampingi hidupnya bertahun-tahun.
"Jangan bangun dulu, Ki. Kau masih le-mah,"
Lembut dan agak bergetar suara wanita tua yang tak lain Nyai Labur.
Sebentar Ki Labur masih memandangi is-trinya, kemudian pandangannya beralih pada seo-rang pemuda tampan yang berdiri di depan pintu kamar ini.
Sebuah kamar berukuran tidak begitu besar, namun kelihatan rapi dan bersih.
Sedang-kan pintu kamar itu terbuka lebar, sehingga Ki Labur bisa melihat dua orang pemuda dengan go-lok terselip di pinggang tengah berjaga-jaga di depannya.
Pemuda tampan yang ternyata Darkan segera melangkah mendekat saat tangan kanan Ki Labur bergerak memanggilnya.
"Ya, Ki...,"
Ujar Darkan setelah dekat dengan pembaringan kayu itu.
"Dengar, Darkan. Dalam beberapa hari ini, aku terpaksa berada di tempat tidur. Maka kau harus bisa mengendalikan keadaan desa ini. Kau harus bisa meringkus perempuan iblis keparat itu,"
Lemah sekali suara Ki Labur.
"Aku usahakan semampu ku, Ki,"
Sahut Darkan mantap.
"Darkan...."
"Iya, Ki."
"Walaupun kau hanyalah menantuku, tapi kuharapkan kau bisa menjadi pemimpin. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk meneruskan cita-citaku ini. Aku tidak ingin kau terus-menerus larut dalam kesedihan setelah ditinggal pergi istrimu. Kau harus tabah, Darkan. Dan sekarang, pundakmu harus memikul beban berat. Beban yang seharusnya aku sandang, kini menjadi tang-gung jawabmu. Kau mengerti maksudku, Dar-kan...?"
Masih terdengar lemah suara Ki Labur.
"Aku mengerti, Ki,"
Sahut Darkan juga pelan.
Pemuda itu hanya tertunduk saja.
Dia kini ja-di teringat istrinya yang sudah tewas satu bulan sebelum peristiwa pembunuhan yang mengerikan ini.
Kaminten tewas oleh empat orang perampok yang mendatangi rumah mereka.
Saat itu, Darkan sedang berada di rumah mertuanya.
Dan hanya Kaminten saja yang tinggal di rumah, ditemani seorang wanita pembantu yang sudah berusia cukup lanjut.
Perampok itu bukan hanya menggasak harta, tapi juga mencabut nya-wa dua orang wanita di dalam rumah itu.
Dan un-tungnya, Kaminten masih bisa bertahan sampai suaminya pulang.
Dan dia hanya memberi tahu kalau yang melakukan semua itu ada empat orang.
Tapi, sampai saat ini Darkan tidak bisa menemukan keempat perampok yang telah men-gambil nyawa istrinya.
Putri satu-satunya Kepala Desa Mungkit ini.
Dan baru saja sebulan peristiwa menye-dihkan itu terjadi, muncul satu peristiwa pembu-nuhan yang sangat mengerikan dan keji.
Kemu-dian disusul pembunuhan-pembunuhan lain yang sama coraknya.
Dan semua korbannya mati dalam keadaan tubuh tidak memiliki darah lagi.
Seakan-akan pembunuh itu menghisap darah korbannya hingga tak tersisa sedikit pun.
Semua peristiwa itu membuat Ki Labur, Nyai Labur, dan Darkan terpaksa harus melupakan kematian Kaminten.
Dan perhatian mereka kini jadi terpusat pada peristiwa pembunuhan yang masih terselubung teka-teki itu.
"Apa yang kau lamunkan, Darkan...?"
Tegur Ki Labur.
"Oh..., eh! Tidak..., tidak, Ki,"
Sahut Darkan jadi tergagap.
Dan lamunan pemuda itu pada peristiwa yang menimpa istrinya langsung buyar seketika.
Perlahan kepalanya terangkat.
Pandangannya langsung bertemu dengan tatapan mata Ki Labur yang masih terbaring di atas pembaringan, ditung-gui istrinya dengan setia.
Sedangkan Darkan ma-sih tetap berdiri dengan kedua tangan menyatu di depan.
"Kau sudah kuburkan dua mayat orang ki-ta, Darkan?"
Tanya Ki Labur.
"Sudah, Ki,"
Sahut Darkan.
"Bagaimana Keadaannya?"
"Seperti yang lainnya. Mereka tewas tanpa ada darah di tubuhnya,"
Sahut Darkan, tanpa membeberkan lebih jauh.
Karena pemuda itu yakin kalau mertuanya ini sudah lebih tahu darinya.
Darkan mendapati dua orang penjaga ger-bang perbatasan tewas dengan keadaan sama dengan korban-korban yang lain.
Leher terkoyak lebar, dan dada berlubang tanpa ada darah setetes pun.
Sedangkan Ki Labur ditemui sudah tergeletak tak sadarkan diri, tidak jauh dari kedua mayat itu.
Pada saat itu, pagi sudah menjelang.
Jadi memang cukup waktu untuk menguras darah dari kedua mayat itu.
Sementara itu, keadaan Ki Labur sendiri sangat mengkhawatirkan.
Darah banyak tertum-pah dari mulutnya.
Sedangkan tulang-tulang da-danya remuk, akibat terkena pukulan serta ten-dangan keras bertenaga dalam lumayan dari pe-rempuan tua yang mengaku bernama Nek Paring.
Darkan segera membawa mertuanya itu pulang, setelah memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat dua orang penjaga gerbang desa sebelah Timur.
*** Peristiwa yang dialami Ki Labur tentu saja menambah beban semakin berat di pundak Dar-kan.
Sekarang Ini, Ki Labur benar-benar tidak bisa bangkit lagi dari pembaringannya.
Dia hanya bisa menggerakkan kepala dan tangannya.
Sedangkan seluruh tubuhnya jadi lumpuh, akibat pertarun-gannya melawan perempuan tua yang membunuhi penduduk Desa Mungkit ini tanpa jelas maksud dan tujuannya.
Seharian ini, setelah Ki Labur dibawa pu-lang setelah ditemui menggeletak pingsan di per-batasan desa sebelah Timur, Darkan terus berdiri mematung di depan pusara istrinya.
Belum ada dua purnama istrinya terbaring di tempat peristi-rahatannya yang terakhir.
Dan sekarang, Darkan harus memikul beban yang sangat berat di pun-daknya.
Rasanya terlalu berat dan sulit baginya untuk menanggung semua beban ini.
Tapi semua itu tidak bisa lagi ditolaknya.
Perlahan Darkan mengangkat kepalanya.
Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang wanita muda berpakaian kumal dan compang-camping, serta penuh tambalan.
Seluruh tubuh dan wajahnya begitu kotor, seakan-akan baru saja keluar dari kubangan lumpur.
Wanita itu berdiri mematung sambil memandangi Darkan di bawah pohon yang cukup rindang.
Tubuhnya terlindungi dari sengatan matahari yang saat ini sudah berada tepat di atas kepala.
Perlahan Darkan melangkah menghampiri.
Sedangkan wanita itu masih tetap berdiri dengan pandangan kosong, namun tertuju lurus ke wajah pemuda tampan ini.
Sejenak Darkan merasakan adanya desiran halus pada aliran darahnya, begitu dekat di depan wanita yang lebih mirip gembel ja-lanan ini.
Cukup sulit untuk mengenali wajahnya yang kotor, dan hampir tertutup rambut panjang yang dibiarkan meriap tak teratur.
"Sedang apa kau di sini, Nisanak?"
Tegur Darkan sambil mencoba mengurangi suatu perasaan aneh yang tiba-tiba saja membersit dalam hatinya.
"Aku..., aku...,"
Wanita itu tergagap.
Kalimatnya tidak diselesaikan.
Lalu, cepat-cepat mukanya dibuang ke samping, seakan-akan tidak tahan melihat sorot mata Darkan yang tera-sa cukup tajam menusuk langsung ke bola ma-tanya.
Beberapa saat mereka terdiam membisu.
Jarak mereka berdiri hanya sekitar tiga langkah saja.
Perlahan wanita itu memalingkan mukanya kembali, dan menatap wajah pemuda tampan di depannya lagi.
"Aku seperti pernah mengenalmu. Tapi...,"
Lagi-lagi wanita itu tidak meneruskan ucapannya.
"Siapa kau ini, Nisanak?"
Tanya Darkan dengan nada suara terdengar menyelidik.
Pemuda itu teringat kata-kata Ki Labur yang mengatakan bahwa lawannya semalam ada-lah seorang perempuan tua berpakaian kumal se-perti gembel dengan ilmu kedigdayaan nya yang sangat tinggi.
Namun melihat wanita yang berada di depannya ini, hati Darkan jadi ragu-ragu.
Meskipun wanita ini mengenakan pakaian kumal penuh tambalan, tapi usianya tidak tua.
Bahkan masih kelihatan muda, seperti baru berusia seki-tar sembilan belas tahun.
Hanya saja, keadaannya yang sangat kotor ini membuatnya jadi tidak se-dap untuk dipandang.
Tapi di balik wajahnya yang pucat dan kotor, Darkan melihat adanya garis-garis kecantikan yang sangat tersembunyi.
Kening Darkan juga jadi berkerut, dan pandangannya semakin bertambah dalam saja merayapi wajah wanita yang berada sekitar tiga langkah di depannya ini.
Benaknya jadi teringat seraut wajah yang sangat dicintainya, tapi terlalu cepat pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Wajah itu adalah Kaminten, istrinya yang tewas di tangan empat orang perampok seki-tar dua purnama yang lalu.
Dan wajah wanita di depannya ini begitu mirip.
Hanya saja keadaannya yang sangat kotor dan tidak beraturan membuat Darkan jadi ragu-ragu.
Sedangkan dia tahu is-trinya sudah meninggal.
"Inten...!"
"Oh...?!"
"Heh...?!" *** Bukan hanya gadis berbaju kumal dan ko-tor itu saja yang terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar panggilan yang sangat keras dan serak ba-gai suara burung gagak. Bahkan Darkan jadi ter-lonjak beberapa langkah. Rasa kagetnya memang beralasan, karena suara yang keras itu memanggil sebuah nama yang sering diucapkan jika dia me-manggil istrinya. Belum lagi rasa keterkejutan mereka le-nyap, tahu-tahu seorang perempuan tua berpa-kaian kumal dan lusuh penuh tambalan muncul dari balik semak yang cukup tebal dan tinggi. Pe-rempuan tua itu juga tampak terkejut melihat Darkan yang ada di situ juga. Bergegas dihampi-rinya gadis itu, dan langsung tangannya ditarik hingga menjauh dari Darkan yang jadi terlongong bengong.
"Ayo pulang! Kau belum boleh keluar!"
Agak menyentak suara perempuan tua itu. 'Tapi, Nek...,"
Gadis itu ingin membantah.
"Pulang, kataku...!"
Sentak perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang wajahnya tertutup kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
Mendengar suara bernada membentak, ga-dis itu langsung terdiam tidak berani membantah lagi.
Sebentar matanya melirik Darkan yang hanya diam saja mematung seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Bergegas gadis itu berlari pergi, sete-lah perempuan tua berbaju kumal penuh tamba-lan menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah sambil mendengus seperti kesal.
Sebentar saja gadis yang tadi dipanggil In-ten itu menghilang ke dalam semak belukar yang cukup lebat dan tinggi, tempat perempuan tua itu tadi muncul.
Sedangkan Darkan masih tetap ber-diri tegak, seperti tidak mengerti.
Dan perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu masih te-tap saja berdiri di depan Darkan, sambil berkacak pinggang dengan sikap angkuh sekali.
"Kau jangan coba-coba menemuinya lagi, Darkan. Dia bukan milikmu lagi...!"
Sentak perempuan tua itu.
"Heh...?!"
Wusss...! Selagi Darkan terlongong kaget, saat itu ju-ga perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan tadi melesat cepat bagai kilat Dan dalam sekeja-pan mata saja, dia sudah lenyap bagai tertelan bumi.
Sedangkan Darkan masih tetap berdiri me-matung.
Mulutnya terbuka lebar, dan matanya memandang kosong ke depan.
Pemuda itu seperti orang bodoh yang habis dikibuli, hingga hartanya amblas tak bersisa lagi.
Cukup lama juga Darkan berdiri mematung, terlongong bengong tanpa da-pat berbuat sesuatu.
"Oh...,"
Darkan mendesah panjang begitu kesadarannya kembali pulih.
Namun, di sekelilingnya tidak ada seorang pun lagi, selain dirinya sendiri.
Sunyi sekali seki-tarnya sehingga hembusan angin di bawah terik-nya sinar mentari siang ini begitu terasa mengalun di telinga.
Beberapa saat Darkan masih tetap ber-diri mematung memandangi semak belukar, tem-pat gadis kotor berbaju kumal penuh tambalan ta-di pergi.
Dari sana pula perempuan tua berbaju hi-tam kumal penuh tambalan yang sudah memudar warnanya itu tiba-tiba muncul.
"Ahhh...! Apakah aku bermimpi...?"
Desah Darkan, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.
Darkan mencoba mengingat-ingat lagi se-mua peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Dan dia jadi tersentak ketika teringat cerita Ki Labur tentang lawannya semalam.
Dan ciri-ciri yang dikatakan Kepala Desa Mungkit itu sangat mirip perempuan tua yang tadi muncul dan pergi begitu tiba-tiba.
Namun, pemuda tampan itu kembali terte-gun.
Jelas sekali wanita tua itu memanggil gadis berpakaian gembel tadi dengan nama yang sama dengan nama mendiang istrinya.
Bahkan wajah gadis yang dipanggil Inten itu juga mirip sekali Kaminten.
Hanya saja, wajahnya yang kotor seper-ti baru keluar dari lumpur.
Jadi sulit untuk dike-nali.
"Oh! Apa arti semua ini...?"
Desah Darkan bertanya-tanya sendiri.
Tapi mendadak saja Darkan jadi tersentak.
Cepat tubuhnya berbalik.
Tatapan matanya lang-sung tertuju pada onggokan pusara istrinya.
Dan seketika itu juga, keningnya jadi berkerut.
Baru disadari kalau ada perubahan yang sangat kecil dan hampir tidak terlihat pada makam itu.
Berge-gas kakinya melangkah menghampiri pusara itu.
Sejenak dipandanginya kuburan yang masih beru-pa tanah merah itu.
Sret! Darkan langsung mencabut goloknya yang terselip di pinggang sebelah kanan.
Sebentar dia berdiri mematung memandangi pusara istrinya itu, kemudian....
"Hiyaaa...!" *** Sambil berteriak keras menggelegar, pemu-da itu langsung menghunjamkan goloknya ke pu-sara istrinya. Dan beberapa kali goloknya dihunjamkan, hingga tanah kuburan itu terbongkar. Seperti orang kerasukan setan, Darkan terus menggali kuburan dengan goloknya disertai pengerahan te-naga dalam. Maka sebentar saja, lubang kuburan itu sudah tergali cukup dalam. Tepat ketika keda-lamannya sudah mencapai pinggang tiba-tiba saja muncul dua orang penunggang kuda dari arah Desa Mungkit. Mereka tampak terkejut melihat Darkan seperti kerasukan setan membongkar sebuah ku-buran sambil berteriak-teriak keras. Dua orang penunggang kuda itu langsung bergegas melompat turun. Mereka adalah seorang pemuda tampan, mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebi-lah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggungnya. Dan yang seorang lagi adalah gadis cantik berbaju biru muda agak ketat. Sebuah ki-pas putih keperakan tampak terselip di pinggang depan. Sedangkan pedang bergagang kepala naga hitam, berada di punggungnya. Mereka bergegas menghampiri Darkan begitu turun dari kuda mas-ing-masing.
"Hey...! Apa yang kau lakukan...?!"
Seru pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, agak keras suaranya.
Darkan langsung berhenti, begitu menden-gar seruan yang sangat keras.
Sehingga, membuat gendang telinganya jadi terasa sakit.
Kelopak mata menantu kepala desa itu jadi menyipit begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih sudah berdiri dekat dengan lubang kuburan yang sudah terbongkar cukup dalam ini.
Dan di bela-kang pemuda itu tampak berdiri seorang gadis cantik berbaju biru muda yang agak ketat.
Se-hingga, memetakan bentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah sekali.
'Pergi kau! Jangan ikut campur urusan-ku...!"
Bentak Darkan, terdengar kasar nada sua-ranya.
"Kau membongkar kuburan. Hanya iblis yang bisa melakukan perbuatan itu, Kisanak,"
Desis pemuda baju rompi putih itu.
"Setan...! Hup!"
Darkan jadi geram mendengar kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya ini.
Dengan gera-kan yang begitu ringan dan manis, dia melompat naik dari lubang kuburan Kaminten yang digalinya lagi.
Hanya sekali lompatan saja, menantu Kepala Desa Mungkit it sudah berada di atas.
Kakinya mendarat manis sekali dengan jarak sekitar lima langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih yang didampingi seorang gadis cantik berbaju biru muda agak ketat.
"Dengar, Kisanak.... Aku tidak suka uru-sanku dicampuri orang asing yang tidak kukenal. Dan sebaiknya, kalian segera pergi sebelum aku berlaku tidak sopan,"
Kata Darkan, agak mengancam nada suaranya.
"Kenapa kau membongkar kuburan istrimu sendiri?"
Tanya pemuda berbaju rompi putih itu, tidak menghiraukan ancaman yang dilontarkan Darkan barusan.
"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!"
Bentak Darkan agak terkejut juga, karena pemuda yang belum dikenalnya ini sudah tahu kalau dia membongkar kuburan istrinya sendiri.
Tatapan matanya begitu tajam, merayapi sekujur tubuh pemuda berwajah tampan dan mengenakan baju rompi putih yang berdiri sekitar lima langkah di depannya.
Mendadak saja Darkan jadi tersentak.
Dia ingat kalau pernah melihat pe-muda itu di Desa Mungkit waktu terjadi pembu-nuhan mengerikan.
Dan terakhir kali melihatnya, saat dia bersama Ki Labur melihat saat terjadi pembunuhan mengerikan lagi di Desa Mungkit.
"Siapa kalian...?!"
Tanya Darkan, agak dite-kan nada suaranya. Sorot mata pemuda itu masih tetap tajam mengamati pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya. Sesekali matanya melirik gadis can-tik yang berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,"
Sa-hut pemuda berbaju rompi putih itu memperke-nalkan diri.
Mereka memang Rangga dan Pandan Wan-gi.
Di kalangan persilatan, Rangga berjuluk Pen-dekar Rajawali Sakti.
Dan Pandan Wangi berjuluk si Kipas Maut.
Mereka juga dikenal sebagai sepa-sang pendekar Karang Setra.
Tapi, tampaknya Darkan tidak mengenal nama kedua pendekar muda itu.
"Kenapa kau menghentikan pekerjaanku?"
Tanya Darkan lagi.
"Perbuatanmu sangat keji, Darkan...."
"Eh...?! Kau tahu aku...?"
Lagi-lagi Darkan tersentak kaget.
Darkan begitu yakin, kalau belum mem-perkenalkan diri pada pemuda berbaju rompi pu-tih itu.
Tapi orang yang bernama Rangga ini bisa mengetahui namanya.
Sedangkan baru kali ini mereka bisa berdiri dekat dan saling berpandan-gan, walaupun diliputi suasana ketegangan yang cukup merasuk dada.
"Selama beberapa hari di Desa Mungkit, aku tahu semua yang terjadi. Juga termasuk diri-mu,"
Sahut Rangga, terdengar kalem sekali nada suaranya.
"Kau sudah tahu diriku. Dan kau juga su-dah tahu kalau kuburan ini pusara istriku. Kena-pa masih juga mau ikut campur...?"
Sinis sekali nada suara Darkan "Kau punya beban yang sangat berat dan aku berharap kau jangan mengotorinya dengan perbuatan keji yang sepele ini.
Seorang ksatria se-jati tidak akan pernah membongkar kuburan orang lain.
Biarkanlah istrimu beristirahat tenang.
Dan seharusnya, kau tidak perlu mengganggu isti-rahatnya,"
Kata Rangga lagi lebih kalem suaranya.
"Jangan coba-coba menggurui ku, Kisa-nak...!"
Desis Darkan masih tidak suka, karena pekerjaannya jadi terhenti.
Rangga hanya tersenyum saja.
Kakinya me-langkah perlahan, mendekati kuburan yang sudah terbongkar lebih dari setengahnya.
Sebentar kepa-lanya melongok ke dalam lubang kuburan yang menganga lebar, kemudian kembali beralih pada Darkan yang sejak tadi terus memperhatikan ting-kahnya.
"Kau akan menyesal melakukan semua ini, Darkan,"
Kata Rangga.
"Setan...! Pergi kau dari sini!"
Bentak Dar-kan jadi berang.
"Mungkin sebaiknya kau saja yang pergi, Darkan. biar aku dan Pandan Wangi yang akan membereskan pusara istrimu ini."
"Keparat..! Kau membuat kesabaranku hi-lang, Kisanak!"
Desis Darkan menggeram.
Bet! Darkan langsung mengebutkan goloknya yang kotor berlumur tanah merah.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tenang dengan bibir menyunggingkan senyum tipis.
Sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak peduli, walaupun Dar-kan sudah bersiap mengeluarkan jurusnya.
Na-mun begitu, sinar mata Rangga masih tetap me-nyorot tajam.
"Kau tidak mau pergi juga, heh...? Jangan salah kan aku kalau terpaksa mengusirmu secara kasar ancam Darkan lagi.
"Kau tidak akan melakukannya, Darkan. Percayalah. Kau akan menyesal telah membongkar makam istrimu sendiri. Bahkan semua orang akan marah jika tahu bahwa kau melakukan perbuatan terkutuk, membongkar kuburan istrinya sendiri,"
Kata Rangga masih dengan suara tenang dan ber-nada membujuk.
"Phuih...! Kau terlalu keras kepala, Kisa-nak. Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bet! Wut! "Hait..!" *** Dua kali Darkan mengebutkan goloknya.
Tapi hanya meliukkan tubuhnya saja, Rangga berhasil menghindari serangan-serangan cepat pemuda itu.
Dan Rangga cepat-cepat melompat ketika Darkan langsung merubah jurusnya.
Bah-kan terus menyerang dengan goloknya yang kotor berlumur tanah merah.
Kebutan golok yang men-garah ke dada itu hanya lewat saja di depan Pen-dekar Rajawali Sakti yang cepat-cepat melompat ke belakang, sambil menarik tubuhnya ke bela-kang.
"Hiyaaa...!"
Namun Darkan tidak berhenti sampai di si-tu saja.
Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat yang begitu dahsyat.
Setiap kebutan golok-nya mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu menyakitkan telinga.
"Lepas! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Pada saat itu, Pendekar Rajawali Sakti me-lesat cepat sambil mengebutkan tangan kanannya begitu cepat.
Rangga langsung mengeluarkan ju-rus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat per-tama.
Tapi, ini sudah membuat Darkan jadi kela-bakan juga.
Goloknya yang tadi sudah terulur hendak dihunjamkan ke dada lawan, cepat-cepat ditarik kembali.
Tapi belum juga Darkan menarik penuh tangannya mendadak saja...
Plak! "Akh...!"
Darkan terpekik keras agak tertahan. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu te-pakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa terbendung lagi. Tepakan itu tepat menghantam pergelangan tangan yang memegang golok Darkan.
"Setan alas...!"
Maki Darkan dalam hati.
Golok di dalam genggaman tangan pemuda itu su-dah terpental entah ke mana.
Darkan cepat-cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah sambil memegangi pergelangan tangan kanannya, karena tadi sempat terkena kebutan Pendekar Ra-jawali Sakti.
Jelas, tingkat kepandaian yang dimi-liki Darkan berselisih sangat jauh di bawah ting-kat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
Sehing-ga, mudah sekali pemuda berbaju rompi putih itu menaklukkannya.
Walaupun goloknya sudah terpental jauh entah kemana, tapi Darkan tidak sudi menyerah begitu saja.
Tanpa menghiraukan rasa nyeri pada pergelangan tangan kanannya, dia kembali bersiap melakukan serangan lagi.
Sementara, Rangga te-tap berdiri tegak menanti.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Dar-kan melompat cepat sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga da-lam cukup tinggi.
Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berhasil mengelakkan setiap puku-lan yang da tang ke tubuhnya.
Gerakan-gerakan tubuhnya sangat indah, diikuti gerakan kaki yang begitu lincah.
Rangga saat ini memang mengerah-kan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tapi itu hanya sebentar saja dilakukan, karena....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Dan seketika itu juga, kaki kanannya melayang begitu cepat untuk mendepak ke arah dada Darkan. Begitu cepat serangannya, sehingga Darkan tidak sempat lagi menghindar. Dan.... Desss! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya Darkan terpekik.
Tubuh Darkan langsung terpental jatuh ke tanah, begitu telapak kaki Rangga keras sekali menghantam dadanya.
Meskipun Pendekar Raja-wali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam sedikit pun juga, tapi sudah membuat Darkan terpental cukup deras.
Dan pemuda itu meringis, menahan sakit dan rasa sesak pada dadanya.
Sementara Rangga melangkah menghampi-ri.
Dan begitu dekat, tangannya diulurkan sambil menyunggingkan senyuman.
Melihat hal ini, Dar-kan jadi berkerut keningnya, karena mendapat perlakuan yang begitu bersahabat.
Padahal, dia tadi sangat kasar, bahkan melakukan serangan terlebih dahulu.
Namun, pemuda berbaju rompi putih itu malah mengulurkan tangan hendak membantunya berdiri.
Agak ragu-ragu juga Darkan menerima uluran tangan itu.
Dan dia bisa bangkit berdiri, setelah Rangga menghentakkan tangannya agak kuat.
Kini, mereka kembali berdiri berhadapan dengan jarak sekitar dua langkah saja.
"Kenapa kau tidak membunuhku? Kau su-dah mengalahkanku, Kisanak,"
Kata Darkan, masih agak tersengal napasnya, akibat menerima tendangan keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Kau bukan musuhku, Darkan. Justru aku merasa prihatin oleh keadaan dirimu,"
Kata Rangga kalem.
Darkan jadi terdiam.
Diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu dalam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja di-dengarnya.
Sungguh tidak disangka kalau budi pendekar muda ini begitu luhur.
Hanya den-gan satu kalimat saja, sudah membuat hati Dar-kan jadi tersentuh cukup dalam.
"Aku tahu, apa yang sedang terjadi pada dirimu. Juga pada seluruh penduduk desamu,"
Kata Rangga lagi.
"Untuk itu, aku terpaksa tinggal beberapa hari di desamu, untuk mengetahui apa yang terjadi sebenar-nya pada dirimu."
Darkan semakin diam membisu.
Dia jadi tidak bisa lagi berkata-kata, mendengar penuturan Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian.
Entah apa yang ada di dalam dada pemuda itu.
Sedangkan Rangga sendiri masih terlalu sulit me-nerka.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi ter-diam membisu.
*** "Apa saja yang sudah kau ketahui?"
Tanya Darkan setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak banyak. Tapi aku tahu, kau dan se-luruh penduduk Desa Mungkit sedang menghada-pi persoalan yang tidak kecil. Bahkan sudah ba-nyak memakan korban,"
Kata Rangga membuka semua yang diketahuinya selama ini di Desa Mungkit.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah bera-da lagi di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tampaknya, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu juga tidak mengerti keadaan yang sedang terjadi sekarang ini.
Sehingga, dia hanya bisa diam saja tanpa dapat membuka suara sedikit pun.
Pandan Wangi merasa lebih baik diam menden-garkan, sebelum bisa mengerti benar duduk per-karanya.
Memang baru Pandan Wangi saja yang da-tang menemui Pendekar Rajawali Sakti di Desa Mungkil hari ini.
Karena, mereka memang sudah berjanji untuk bertemu di sini, setelah berpisah beberapa hari untuk menyelesaikan persoalan masing-masing.
Sementara itu, Darkan melangkah mende-kati kuburan istrinya yang sudah dibongkar sam-pai setengah dalamnya.
Pemuda itu berdiri mema-tung di pinggiran lubang kuburan itu.
Rangga me-langkah mendekati diikuti Pandan Wangi.
Kedua pendekar muda itu berdiri mengapit di samping kanan dan kiri Darkan.
Beberapa saat mereka kembali terdiam membisu, memandang ke lubang kubur di depannya.
"Kalian tahu, kenapa aku lakukan ini pada kuburan istriku sendiri...?"
Pelan sekali suara Darkan. Begitu pelannya, hampir saja tidak terden-gar telinga kedua pendekar muda dari Karang Se-tra yang mengapitnya dari samping. Sementara, Rangga da Pandan Wangi hanya diam saja men-dengarkan.
"Aku merasa, istriku belum meninggal. Dan jasadnya tidak ada di dalam kuburan ini,"
Sambung Darkan.
"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"
Selak Pandan Wangi. Sejak tadi, Pandan Wangi memang hanya diam saja dan mendengarkan. Tapi rasanya me-mang tidak betah jika hanya diam dan menden-garkan saja, tanpa berbuat sesuatu yang berarti.
"Waktu aku berada di sini, tahu-tahu mun-cul seorang gadis muda yang sangat kotor kea-daannya. Tapi tak lama kemudian, muncul lagi pe-rempuan tua yang juga melumpuhkan Ki Labur semalam. Setelah mereka pergi begitu saja, baru kusadari kalau ada perubahan pada makam ini. Aku langsung berpikir, Istriku tidak ada di dalam pusara ini,"
Jelas Darkan, singkat.
"Kenapa...?"
Tanya Pandan Wangi lagi.
"Gadis kotor berpakaian seperti gembel itu wajahnya mirip sekali istriku,"
Sahut Darkan.
"Oh...! Hanya itu...?!"
Desah Pandan Wangi agak terkejut mendengar alasan Darkan, sehingga sampai membongkar kuburan ini.
"Kuburan ini hanya untuk beristirahat se-telah melakukan perjalanan jauh...,"
Kata Rangga agak menggumam. Seakan-akan dia berbicara pa-da diri sendiri.
"Jadi mungkin saja dia belum sempat beristirahat, tapi sudah diajak pergi lagi oleh orang lain."
"Jadi, kau juga menduga kalau Kaminten tidak ada di dalam pusaranya lagi...?"
Tanya Darkan, seperti bisa menangkap makna yang terselu-bung dalam ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam saja. 'Tapi walaupun begitu..., kau tidak patut mem-bongkarnya. Kau kan bisa menyelidiki lebih dulu tentang gadis itu, kalau memang wajahnya mirip istrimu,"
Kata Pandan Wangi menasihati.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang ada dalam pikiranku selain membuktikannya dengan mata kepala sendiri,"
Sahut Darkan bernada menyesal.
"Ah, sudahlah.... Sebaiknya, kita tutup lagi lubang ini. Lalu dirapikan seperti semula,"
Selak Rangga tidak ingin memperpanjang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Darkan lang-sung saja menimbun lagi lubang yang tadi diga-linya.
Rangga membantu hingga pekerjaan mereka cepat selesai.
Pekerjaan yang cukup melelahkan itu sudah selesai sebelum matahari condong ke arah Barat.
Sementara Pandan Wangi sudah bera-da di depan kudanya dan kuda Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga dan Darkan tetap berdiri di samping pusara itu.
Mereka terdiam cukup la-ma, dan terus memandangi pusara yang sudah rapi kembali.
"Maaf. Aku harus kembali ke desa. Sudah terlalu lama aku berada di sini,"
Kata Darkan tiba-tiba.
"Kalau kau bersedia, aku bisa menyediakan tempat yang layak untukmu dan temanmu mengi-nap di sana." 'Terima kasih,"
Ucap Rangga menolak ha-lus.
"Baiklah. Aku tidak ingin memaksa. Tapi jika kau kembali ke Desa Mungkit, temuilah aku. Dan kata kan kau adalah sahabatku,"
Kata Dar-kan lagi.
Rangga hanya tersenyum saja.
Darkan mengulurkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar mereka saling berjabatan tangan, kemudian Dar-kan bergegas meninggalkan tempat itu untuk me-nuju kembali ke Desa Mungkit.
Karena desa itu memang membutuhkan tenaganya.
Memang seka-rang ini, Darkan adalah tulang punggung desa itu.
Sementara, Rangga juga bergegas menghampiri Pandan Wangi yang sudah mempersiapkan kuda-kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan kem-bali.
*** Malam itu di sekitar Desa Mungkit sangat dingin.
Angin bertiup kencang.
Awan bergulung-gulung menggumpal hitam, menutupi cahaya rembulan.
Lolongan anjing terdengar saling sam-but di kejauhan.
Malam ini suasana di Desa Mungkit terasa begitu mencekam.
Beberapa orang yang bertugas meronda malam ini tak ada seorang pun yang berani meninggalkan tempat jaganya.
Bahkan tak ada seorang pun yang membuka sua-ra.
Mereka semua dicekam perasaan takut yang amat sangat, dengan suasana malam yang begitu mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan semakin keras ter-dengar, seakan-akan begitu dekat di Desa Mungkit ini.
Dua orang peronda yang duduk di gubuk kecil, jadi saling berpandangan satu sama lain.
Suara lo-longan anjing itu serasa berada tepat di belakang mereka.
Seperti ada yang memberi perintah, perlahan-lahan mereka sama-sama berpaling ke bela-kang.
Dan seketika itu juga....
"Hahhh...?!"
"Wha...?!"
Bet! Bet! Tak ada lagi suara yang terdengar.
Tampak dua orang peronda itu terpaku diam, dengan mata terbeliak dan mulut ternganga lebar.
Sesaat ke-mudian, mereka bersamaan jatuh terguling keluar dari gubuk kecil beratap daun rumbia itu.
Tampak darah mengucur deras dari leher yang hampir pu-tus, robek sangat lebar dan dalam.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang gubuk kecil itu melesat sebuah bayangan agak kehitaman.
Dan tahu-tahu, di dekat kedua peronda itu sudah ber-diri seorang wanita dengan rambut acak-acakan, baju kumal, dan kotor penuh tambalan.
Seluruh tubuhnya juga kotor, seperti baru keluar dari ku-bangan lumpur.
"Hik hik hik...!"
Suara tawanya terdengar kering dan terki-kik mengerikan.
Kedua bola matanya memerah liar, merayapi darah yang terus mengucur dari leher yang menganga lebar hampir buntung.
Tan-pa menghiraukan keadaan sekelilingnya, wanita kumal seperti gembel itu langsung menubruk sa-lah seorang peronda yang sudah tak bernyawa la-gi.
Mulutnya segera dihunjamkan ke leher yang berlubang cukup besar itu.
Cruuup...! Begitu nikmat sekali wanita itu menghirup darah yang mengalir deras dari leher peronda itu.
Sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekeliling-nya.
Dia terus menghirup darah yang keluar dari leher berlubang besar itu.
Dan setelah tak ada lagi darah yang tersisa, wanita itu berpindah pada peronda yang satunya lagi.
Kembali dihirupnya da-rah dengan perasaan nikmat sekali.
"Hik hik hik...!"
Kembali wanita itu tertawa terkikik kering, setelah menghisap habis darah dua orang peronda malang itu.
Perlahan tubuhnya bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan berkeliling.
Tak terlihat seorang pun berada di luar rumah.
Sekelilingnya begitu sunyi.
Dan udara pun semakin bertambah dingin, hingga menusuk tulang.
"Biadab...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan agak ke-ras.
Wanita berbaju kumal dan kotor penuh tam-balan itu tampak terkejut.
Dari bibirnya yang me-merah akibat darah dua orang peronda itu, ter-dengar suara mendesis seperti ular.
Perlahan tu-buhnya diputar berbalik.
Entah dari mana da-tangnya, tahu-tahu di depan wanita sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Bajunya rompi berwarna putih.
Di balik punggung terlihat sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung yang ter-sembul keluar.
Pemuda itu tak lain adalah Rang-ga, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Rupanya kau yang jadi biang keladinya...,"
Desis Rangga dingin menggetarkan.
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti nam-pak menegang melihat dua orang peronda sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan leher terkoyak lebar hampir buntung, tanpa setetes pun darah tersisa.
Sinar matanya merah membara, bagai se-pasang bola api yang hendak membakar apa saja yang ada di dekatnya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah maju beberapa tindak.
Sedang-kan perempuan bertubuh kotor dan kumal itu hanya mendesis saja seperti ular "Hssst..!"
Tiba-tiba saja wanita kumal itu melesat ce-pat dengan kedua tangan menjulur lurus ke de-pan.
Seluruh jari-jari tangannya meregang kaku, bagai cakar seekor burung yang hendak menceng-keram mangsanya.
Begitu cepat gerakannya, se-hingga membuat Rangga agak terkesiap tidak me-nyangka.
"Ufts...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mena-rik tubuhnya ke kanan, menghindari terjangan wanita kumal dan kotor itu.
Lalu bagaikan kilat, kakinya dihentakkan, tepat ketika tubuh wanita itu berada di sampingnya.
Gerakan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga, sama sekali tak dapat dihindari lagi.
"Yeaaah...!"
Dess! "Hegkh...!"
Wanita kumal itu mengeluh pendek.
Tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam perut wanita kumal ber-tubuh kotor seperti gembel itu, sampai membuat-nya terbungkuk.
Dan pada saat itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan keras ke arah pung-gung, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Diegkh! Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam punggung wanita kumal berbaju ko-tor penuh tambalan itu.
"Akh...!"
Sungguh keras pukulan Rangga, hingga membuat wanita itu tersuruk jatuh mencium ta-nah.
Tubuhnya bergulingan beberapa kali, meng-hindari injakan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
La-lu, cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas.
Sete-lah melakukan dua kali putaran di udara, manis sekali wanita itu menjejakkan kakinya di tanah, sekitar satu tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, wani-ta itu kembali melompat menerjang Rangga.
Gera-kannya begitu cepat luar biasa, padahal baru saja terkena hajaran Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Tapi tampaknya pukulan maupun tendangan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu sama sekali seperti tidak dirasakannya.
Bah-kan kini, wanita itu kembali melakukan serangan yang begitu cepat luar biasa.
Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur