Ceritasilat Novel Online

Siluman Penghisap Darah 2


Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Bagian 2



Kata Pandan Wangi, yang tampak tidak sabar lagi. Rangga diam saja.

   "Sebaiknya malam ini kita meronda keliling desa, Kakang. Siapa tahu kita bisa bertemu den-gan salah satu iblis itu,"

   Kata Pandan Wangi lagi.

   "Kita berpencar...?"

   Tanya Rangga.

   "Sebaiknya begitu, Kakang."

   "Baiklah, Pandan. Kau ke sebelah Utara dan aku ke Selatan,"

   Kata Rangga.

   Pandan Wangi tersenyum.

   Gadis itu berge-gas meninggalkan Rangga, yang masih berdiri di tengah jalan memandanginya.

   Pendekar Rajawali Sakti melihat, ada sesu-atu yang aneh pada diri Pandan Wangi, sesuatu yang tidak bisa diduga dan tidak dimengertinya sekarang ini.

   Tapi dia yakin, ada sesuatu yang dis-embunyikan Pandan Wangi darinya, sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain, yang menjadi ra-hasia bagi Pandan Wangi sendiri.

   Sementara itu si Kipas Maut sudah berja-lan jauh meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

   Dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang berdebu ini.

   Sedangkan malam terus merayap se-makin bertambah larut.

   Suasana di Desa Gedan-gan seperti hari-hari yang lainnya, masih sunyi sekali.

   Bahkan sekarang tidak banyak lagi orang yang mau meronda di malam hari.

   Hanya murid-murid dari para pemuka Desa Gedangan yang ma-sih melakukan tugasnya, meskipun dengan kea-daan terpaksa karena juga dicekam oleh perasaan takut dan khawatir jika harus berhadapan lang-sung dengan iblis-iblis penghisap darah itu.

   Brusss! "Heh...?!"

   Tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh sesosok tubuh yang melesat cepat dari dalam se-buah rumah yang telah dijebol atapnya.

   Orang itu tepat mendarat sekitar beberapa langkah di depan si Kipas Maut.

   Tampak jelas, dia juga terkejut melihat Pandan Wangi.

   Sedangkan gadis itu terbeliak matanya, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya kini.

   "Darkan...,"

   Desah Pandan Wangi.

   Sosok tubuh yang ternyata Darkan itu tampak memanggul seorang wanita yang tidak sa-darkan diri di pundak kanannya.

   Rupanya pemu-da itu baru saja menculik seorang wanita dari da-lam rumah tadi, yang tentu saja akan dipersem-bahkan untuk Siluman Penghisap Darah.

   "Tidak kusangka, ternyata kau bersekutu dengan perempuan iblis itu, Darkan...."

   "Dia istriku!"

   Sentak Darkan.

   "O..., kau rupanya masih menganggap dia sebagai istrimu?"

   Ujar Pandan Wangi, sinis.

   "Huh! Dasar laki-laki buaya! Iblis...! Sementara istrimu menjadi Siluman Penghisap Darah, kau menge-mis-ngemis cinta padaku. Sekarang..., kau malah membantunya dengan berbuat seperti dia. Kau benar-benar manusia iblis, Darkan..!"

   "Aku lakukan semua ini karena cintaku padamu, Pandan. Aku harus melakukan semua ini agar dia mau melawan kekasihmu. Hanya Rangga-lah penghalang ku satu-satunya,"

   Kata Darkan.

   "Keparat..! Iblis kau, Darkan!"

   Geram Pandan Wangi, berang.

   "Orang sepertimu tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Kau harus mampus, Iblis! Hiyaaat..!"

   Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil berteriak keras, gadis itu melesat cepat bagai kilat menerjang pemuda tam-pan yang masih memanggul seorang wanita itu. Tapi mendadak....

   "Hih...!"

   Darkan cepat melontarkan wanita yang di-panggilnya ke arah Pandan Wangi.

   Pandan Wangi pun terkejut setengah mati.

   Cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang beberapa kali.

   Langsung wanita yang tidak sadarkan diri itu ditangkapnya.

   Dan dengan manis sekali gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini menjejakkan kembali kakinya di tanah.

   Lalu, wanita yang berada di dalam gendon-gannya itu ditaruhnya di tanah.

   Dan....

   "Hiyaaat..!"

   "Hup!"

   Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara begitu Darkan melompat un-tuk menyerangnya dengan kecepatan bagai kilat. Sret! Bet! "Haiiit..!"

   Cepat-cepat Pandan Wangi menarik ka-kinya ke atas ketika Darkan tiba-tiba mencabut golok dan membabatkannya langsung ke arah kaki gadis itu. Golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah telapak kaki Pandan Wangi.

   "Yeaaah...!"

   Pada saat itu pula Pandan Wangi menghen-takkan kakinya dengan cepat.

   Dan dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah kepala pemuda tampan berbaju biru tua ini.

   Namun, dengan sedikit saja mengegoskan kepala, Darkan berhasil mengelak, sehingga tendangan Pandan Wangi hanya mengenai angin saja.

   Tap! Tap! Secara bersamaan mereka mendarat kem-bali ke tanah.

   Saat itu juga, Darkan mengebutkan golok ke arah perut lawannya.

   Dan, Pandan Wangi cepat-cepat menarik perutnya ke belakang, se-hingga tubuhnya menjadi agak membungkuk."

   Ujung golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah perut si Kipas Maut ini.

   Lalu, cepat-cepat Pandan Wangi menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, karena Darkan telah kembali menyerang dengan melepaskan satu pukulan ke-ras dari bawah ke arah wajah gadis cantik itu.

   "Hih! Yeaaah...!"

   Sret! Wuk! *** Pandan Wangi segera mencabut senjata andalannya, sebuah kipas baja putih berwarna keperakan.

   Secepat kilat, dibukanya kipas itu sambil mengebutkan ke depan.

   Begitu cepat gera-kan yang dilakukannya, sehingga Darkan tampak terkejut setengah mati.

   "Uts...!"

   Cepat-cepat Darkan menarik tubuhnya ke belakang.

   Dihindarinya kebutan kipas keperakan yang berujung runcing seperti anak panah itu.

   Ta-pi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

   "Hiyaaat..!"

   Bet!"

   "Heh...?!"

   Cras! "Aaakh...!"

   Darkan terhuyung-huyung ke belakang be-gitu ujung-ujung kipas baja putih itu menyambar dada sebelah kirinya.

   Darah pun langsung me-nyemburat dari luka di dada kiri yang cukup pan-jang itu.

   Beberapa kali Darkan memandangi luka di dadanya dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan tidak percaya bahwa gadis itu mampu melu-kainya.

   Memang sungguh cepat serangan batasan yang dilancarkan Pandan Wangi tadi.

   Sehingga Darkan sama sekali tidak sempat melakukan tin-dakan untuk menghindar.

   Dan akibatnya, dia mendapat luka di dada kiri.

   'Tunggu pembalasanku, Pandan'."

   Desis Darkan menggeram.

   "Hiyaaa...!"

   Cepat sekali pemuda itu melesat pergi Namun Pandan Wangi rupanya tidak ingin melepaskannya begitu saja.

   Secepat Darkan melesat, secepat itu pula Pandan Wangi melompat mengejar dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu merin-gankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Pandan Wangi melentingkan tubuhnya be-rulang kali ke udara. Lalu, setelah melakukan be-berapa kali putaran di atas kepala pemuda itu, gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini menjejakkan kakinya dengan manis sekali di tanah.

   "Mau lari ke mana kau, Iblis...?!"

   Desis Pandan Wangi, dingin.

   "Setan...! Phuih!"

   Darkan geram setengah mati, karena Pan-dan Wangi berhasil mengejarnya.

   Bahkan gadis cantik itu kini sudah berdiri menghadang di de-pan.

   Memang tidak sulit bagi Pandan Wangi untuk mengejar pemuda ini, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih tinggi.

   Bahkan, tingkat kepandaian si Kipas Maut juga beberapa tingkat di atas pemuda ini.

   Hal itu pun disadari sepenuhnya oleh Darkan, sehingga dia langsung menyilangkan goloknya di depan dada.

   "Mampus kau! Hiyaaat..!"

   Tanpa banyak bicara lagi, Darkan langsung melompat menyerang.

   Goloknya berkelebatan ce-pat beberapa kali, mengurung tubuh si Kipas Maut.

   Namun dengan gerakan tubuh yang meliuk-liuk indah, Pandan Wangi berhasil mementahkan semua serangan yang dilancarkan pemuda itu.

   "Hait..!"

   Bet! Cepat sekali Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya di depan dada ketika golok Darkan mengibas ke arahnya. Trang! "Akh...!"

   Darkan terpekik tertahan saat goloknya menghantam kipas berwarna keperakan yang ter-kembang lebar itu.

   Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah.

   Dan kedua kelopak matanya terbeliak lebar begitu melihat mata go-loknya telah gompal akibat benturan keras dengan kipas yang terkembang lebar di depan dada si Ki-pas Maut itu.

   Pandan Wangi berdiri tegak dengan bibir terkatup rapat.

   Sorot matanya begitu tajam menu-suk langsung ke bola mata pemuda berwajah cu-kup tampan di depannya ini.

   Perlahan-lahan ka-kinya bergerak mendekati pemuda itu.

   Sedangkan kipas mautnya terus terkembang dan bergerak perlahan-lahan di depan dadanya, seakan-akan gadis itu merasa kepanasan di malam yang beru-dara dingin ini.

   "Kau benar-benar memuakkan di mataku, Darkan. Kau picik! Tidak pantas kau hidup lagi, Darkan..,"

   Desis Pandan Wangi, dingin.

   Sementara itu Darkan bergerak melangkah ke belakang perlahan-lahan.

   Di depan matanya, Pandan Wangi sekarang ini seperti sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa.

   Dan kipas mautnya yang bergerak-gerak di depan dadanya itu bagaikan sebuah mata pedang algojo yang su-dah siap untuk memenggal kepala.

   'Terimalah kematianmu, Darkan...,"

   Desis Pandan Wangi lagi.

   "Hiyaaat..!"

   Pandan Wangi melompat cepat sambil me-lepaskan satu pukulan keras dengan tangan ki-rinya, disertai pengerahan tenaga dalam yang su-dah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.

   "Hait!"

   Darkan cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan.

   Pukulan keras menggeledek si Kipas Maut tadi lewat di samping tubuh Darkan.

   Na-mun, tanpa diduga sama sekali, secepat Pandan Wangi memutar tubuhnya, secepat itu pula lepas satu tendangan keras ke arah dada Darkan.

   Begi-tu cepat tendangan yang dilepaskan Pandan Wan-gi, sehingga Darkan tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.

   Daa...

   Diegkh! "Akh...!"

   Darkan terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik keras.

   Dadanya telah terkena tendangan keras si Kipas Maut Dan belum juga pemuda itu bisa menguasai keseimbangan tubuh-nya, Pandan Wangi sudah melepaskan satu puku-lan keras dengan tangan kirinya.

   Begitu cepat pu-kulan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Darkan benar-benar tidak mampu lagi untuk menghindarinya.

   Dadanya pun terhantam dengan deras sekali.

   Bet! Cras! "Aaa...!"

   Pandan Wangi tidak berhenti sampai di si-tu.

   Kipas baja putihnya langsung dikebutkan, hingga ujung-ujung kipas yang berbentuk runcing seperti anak panah ini kembali merobek dada pe-muda itu.

   Darah pun muncrat ke luar dengan de-rasnya.

   Lebar dan dalam sekali sayatan kipas di dada Darkan.

   Dan ketika satu tendangan lagi mendarat di tubuhnya, Darkan langsung ambruk ke tanah.

   "Hhh...!"

   Pandan Wangi mendengus berat.

   Perlahan-lahan kakinya melangkah meng-hampiri Darkan, yang telah menggeletak tak ber-daya di tanah.

   Golok pemuda itu sudah terpental entah ke mana.

   Sedangkan darah terus bercucu-ran dari luka yang cukup besar di dadanya.

   Dengan wajah yang memucat, Darkan mencoba bergerak menjauhi si Kipas Maut.

   "Saatmu sudah tiba, Darkan...,"

   Desis Pandan Wangi, dingin menggetarkan.

   Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat kipas mautnya.

   Tatapan matanya menusuk tajam pada bola mata pemuda yang berusaha merayap menjauhinya itu.

   Namun begitu Pandan Wangi hendak mengebutkan kipasnya ke leher pemuda itu, mendadak....

   "Tahan..!"

   Pandan Wangi langsung menghentikan ge-rakan tangan kanannya. Cepat-cepat kepalanya berpaling menatap arah bentakan yang menge-jutkan tadi. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. *** "Kakang Rangga...."

   "Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan."

   Perlahan Pandan Wangi menurunkan tan-gan kanannya yang menggenggam kipas maut berwarna putih keperakan itu.

   Kemudian dia ber-paling menatap tajam pada Darkan, yang masih telentang di tanah dengan darah bercucuran deras dari luka di dadanya.

   Rangga menghampiri si Ki-pas Maut dan berdiri di samping kanan gadis itu.

   Dengan lembut sekali dia memegang pergelangan tangan Pandan Wangi dan menutup kipas maut-nya.

   Pandan Wangi pun menyelipkan kembali ki-pas itu ke balik sabuk yang melilit pinggangnya.

   "Dia sudah menghinaku, Kakang. Dia ber-sekutu dengan Siluman Penghisap Darah,"

   Desis Pandan Wangi yang masih merasa geram.

   "Aku tahu. Aku dengar semua pembica-raanmu dengannya tadi,"

   Kata Rangga, tenang.

   "Kau...?"

   Pandan Wangi tampak terkejut mendengar kata-kata Rangga barusan.

   Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja.

   Kakinya ke-mudian melangkah menghampiri Darkan, yang masih menggeletak lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

   Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mem-berikan totokan pada sekitar luka di dada pemuda itu.

   Dan, darah pun seketika berhenti mengalir.

   Lalu, Rangga mengangkat pemuda itu agar berdiri.

   Darkan tampak sudah tidak berdaya lagi.

   Dia be-nar-benar lemah, karena terlalu banyak mengelua-rkan darah.

   Pada saat itu, terlihat orang-orang berda-tangan.

   Tampak yang berjalan paling depan ada-lah Ki Legik dan tiga orang pemuka Desa Gedan-gan.

   Rangga dan Pandan Wangi yang sudah men-gurus wanita yang diambil Darkan dari rumahnya tadi menunggu Ki Legik dan orang-orang itu da-tang.

   "Apa yang terjadi, Rangga?"

   Tanya Ki Legik begitu tiba di depan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Orang ini akan menunjukkan kepada kita di mana tinggalnya Siluman Penghisap Darah itu, Ki,"

   Kata Rangga.

   "Siapa dia?"

   Tanya Ki Legik lagi.

   "Kau tentu masih ingat dengan cerita ku tentang Siluman Penghisap Darah, bukan? Wanita itu sebenarnya sudah mati. Dia dihidupkan kem-bali oleh ibunya. Dan orang ini adalah suaminya,"

   Jelas Rangga dengan singkat.

   Sebentar Ki Legik menatap Darkan, yang tangannya dipegangi Rangga.

   Kemudian, setelah memerintahkan para pembantunya untuk mering-kus pemuda itu, dia menghampiri wanita yang di-culik Darkan tadi.

   Wanita itu kini sudah sadar dan berada dalam pelukan Pandan Wangi.

   Ki Legik memerintahkan beberapa pembantunya untuk mengantarkan wanita itu pulang.

   Lalu dia meng-hampiri Pendekar Rajawali Sakti.

   Sedangkan Dar-kan tampak dijaga ketat dan dipegangi oleh dua orang pemuda di kanan dan kirinya.

   "Di mana perempuan siluman itu ting-gal..?"

   Tanya Ki Legik dengan suara yang dingin menggetarkan.

   Darkan diam saja.

   Dia malah menatap ta-jam dan lurus pada bola mata Kepala Desa Ge-dangan ini.

   Tampaknya dia tidak lagi peduli akan dirinya.

   Dan, saat pandangannya tertuju pada Pandan Wangi, rasa cintanya langsung luntur se-ketika dan berubah menjadi kebencian yang amat mendalam.

   Dia benar-benar benci kepada Pandan Wangi, karena gadis itu telah menolak cintanya.

   Bahkan, karena gadis itu pula, kini dia menjadi tawanan di Desa Gedangan ini.

   Dia sadar, hidup-nya tidak akan bertahan lama lagi.

   "Kau akan diampuni kalau mau menun-jukkan di mana tinggalnya perempuan siluman itu, Darkan. Sebaiknya kau berterus terang saja. Jangan mempersulit dirimu sendiri,"

   Bujuk Rang-ga.

   "Kau tidak akan bisa membujuk ku, Rang-ga. Kau akan mati di tangan Inten. Dia akan membumihanguskan desa ini kalau aku tidak kembali malam ini,"

   Desis Darkan, yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya sendiri.

   "Ha ha ha...!"

   "Bawa dia...!"

   Perintah Ki Legik, tegas.

   Dua orang yang memegangi tangan Darkan segera menyeret pemuda itu, Dan sekitar sepuluh orang ikut mengiringinya.

   Sedangkan Darkan te-rus tertawa terbahak-bahak.

   Pandan Wangi yang sudah berdiri di samp-ing Rangga terus memandangi Darkan yang se-dang digiring pemuda-pemuda bersenjata golok itu.

   Sedangkan Rangga sendiri terus memandangi Pandan Wangi.

   "Aku akan mengorek keterangan darinya, Rangga,"

   Kata Ki Legik.

   Tanpa menunggu jawaban dari Pendekar Rajawali Sakti, Ki Legik segera melangkah pergi, diikuti oleh yang lainnya.

   Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri pada tempat-nya.

   Mereka masih belum berbicara sedikit juga, meskipun semua orang yang tadi mendatanginya sudah jauh pergi meninggalkan tempat mereka berdiri.

   "Kau sudah kenal lama dengannya, Pandan?"

   Tanya Rangga setelah cukup lama membisu.

   "Sama denganmu,"

   Sahut Pandan Wangi.

   "Hm..., kenapa dia begitu cepat jatuh cinta padamu?"

   Tanya Rangga lagi ingin tahu.

   "Katanya, aku mirip sekali dengan bekas kekasihnya. Dia juga berkata bahwa dia terpaksa menikahi Inten karena berhutang budi pada ayah gadis itu. Sedangkan dia sendiri terus berharap untuk bisa bertemu dengan kekasihnya yang telah pergi akibat pernikahannya dengan putri kepala desa itu. Bahkan dia menyangka kalau aku adalah kekasihnya, dan tidak peduli meskipun sudah ku-katakan berkali-kali bahwa aku bukan kekasih-nya. Dia juga tidak peduli dengan dirimu, Ka-kang,"

   Jelas Pandan Wangi.

   "Hm...,"

   Gumam Rangga dengan kepala te-rangguk-angguk.

   "Tapi sekarang dia pasti membenciku, Ka-kang,"

   Lanjut Pandan Wangi.

   "Ah..., sudahlah, Pandan. Kau pun tidak perlu menanggapinya dengan sungguh-sungguh,"

   Kata Rangga, bisa mengerti.

   Pandan Wangi hanya tersenyum.

   Begitu ti-pis senyumannya, sehingga hampir tidak terlihat sama sekali.

   Rangga melingkarkan tangannya di pundak gadis itu, kemudian mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.

   Mereka berjalan perla-han-lahan tanpa berbicara lagi.

   Sedangkan malam terus merambat semakin larut.

   Udara pun terasa bertambah dingin.

   Dan Desa Gedangan masih saja diselimuti oleh kesunyian yang begitu mencekam.

   *** Di sudut sebuah kamar berukuran kecil yang seluruh dinding dan atapnya terbuat dari ba-tu, tampak Darkan duduk meringkuk sambil me-meluk lutut.

   Luka di dadanya sudah terbalut kain.

   Lelaki muda itu kemudian mengedarkan pandan-gannya berkeliling.

   Darkan mengeluh, karena tidak ada jalan sedikit pun untuk bisa ke luar dari ruangan ini.

   Hanya ada sebuah pintu besi dan sebuah jendela kecil berjeruji besi di kurungan ini.

   Dari jendela kecil itu sinar matahari menerobos masuk, sehingga membuat keadaan di dalam ruangan kecil itu tidak begitu lembab dan kumuh.

   Tak ada satu barang pun di dalam ruangan ini.

   Bahkan lan-tainya penuh oleh jerami kering yang berserakan, tanpa meja, kursi, ataupun pembaringan.

   Di depan pintu besi ruangan itu, tampak dua orang pemuda bersenjata golok sedang berja-ga-jaga.

   Sebentar-sebentar mereka bergantian mengintip ke dalam, melalui lubang kecil pada pintu besi yang kokoh itu, untuk memastikan apakah Darkan masih ada di dalam atau tidak.

   "Seharusnya digantung saja dia...,"

   Dengus salah seorang penjaga itu, agak kesal.

   "Kau benar. Dia sudah terlalu banyak membunuh teman dan saudara kita. Tidak pantas lagi iblis itu hidup,"

   Sahut pemuda satunya lagi.

   "Huh! Kalau saja Ki Legik tidak mela-rang...,sudah kupenggal kepalanya."

   Mereka langsung terdiam begitu melihat Ki Legik bersama Rangga, Ki Murad, Ki Rasak, dan Cantraka datang menghampiri.

   Tidak terlihat Pan-dan Wangi di antara mereka.

   Gadis itu memang sengaja tidak ikut.

   Dia tidak ingin lagi bertemu Darkan.

   Pandan Wangi tahu, jika Darkan melihat dirinya, pemuda itu tidak akan membuka mulut.

   Karena rasa cinta yang ada di dalam hati Darkan kini sudah berganti dengan kebencian yang penuh dendam pada si Kipas Maut.

   Karena cintanyalah dia berada di Desa Gedangan dan sekarang harus meringkuk di dalam kamar tahanan yang kotor ini.

   "Buka pintunya,"

   Perintah Ki Legik begitu dekat dengan kamar tahanan yang berada di bagian belakang rumah tinggalnya ini.

   Salah seorang penjaga tadi bergegas mem-buka pintu yang terbuat dari besi itu.

   Krieeet..! Cahaya matahari langsung menerobos ma-suk begitu pintu terbuka lebar.

   Saat itu Darkan bergerak bangkit.

   Ki Legik, yang didampingi Rang-ga, berdiri tegak di ambang pintu.

   Mereka kemu-dian melangkah masuk ke dalam ruangan beruku-ran tidak begitu besar ini.

   "Bagaimana keadaanmu, Darkan?"

   Tanya Ki Legik, mencoba bersikap ramah.

   "Buruk,"

   Sahut Darkan, agak ketus.

   "Aku menyesal harus menempatkanmu di sini. Kau sebenarnya bisa mendapatkan tempat yang lebih baik kalau mau bekerjasama,"

   Kata Ki Legik.

   "Hhh...!"

   Darkan hanya mendengus sinis.

   Dia mena-tap tajam penuh kebencian pada Pendekar Raja-wali Sakti yang berdiri di samping Kepala Desa Gedangan itu.

   Di belakang kedua orang itu, berdiri tiga orang pemuka Desa Gedangan.

   Sedangkan di ambang pintu, dua orang pemuda dengan senjata golok terselip di pinggang tetap berjaga-jaga.

   "Jangan sia-siakan hidupmu, Darkan. Buang jauh-jauh semua bisikan iblis di dalam ha-timu,"

   Bujuk Rangga.

   Darkan tetap diam.

   Sorot matanya semakin terlihat tajam.

   Raut wajahnya memancarkan kete-gangan.

   Sedangkan bibirnya terkatup rapat, den-gan geraham bergemeletuk menahan amarah.

   Tiba-tiba, kedua bola mata Darkan merah menyala, bagai sepasang bola api.

   Dan....

   "Ghraaaugkh...!"

   Darkan berteriak keras dengan suara yang terdengar bagai raungan seekor binatang buas.

   Sedangkan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala.

   Tentu saja hal ini membuat semua orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut setengah mati.

   Terlebih lagi kemudian terlihat raut wajah Darkan langsung berubah menjadi pucat bagai mayat.

   Belum lagi rasa terkejut mereka le-nyap, mendadak saja....

   "Ghraaagkh...!"

   Sambil meraung dahsyat, Darkan yang kini sudah berubah menjadi manusia siluman itu me-lompat cepat ke depan.

   Saat itu juga Rangga men-dorong tubuh Ki Legik hingga jatuh terguling dan terhindar dari terjangan Darkan.

   Sedangkan Rangga segera melompat ke samping.

   Ki Murad dan Cantraka pun sempat melompat ke samping, sehingga terhindar pula dari terjangan Darkan.

   Namun, tiga orang lainnya yang berada di bela-kang Rangga tidak sempat lagi berbuat sesuatu.

   Sehingga....

   Bret' "Aaakh...!"

   Jeritan panjang yang melengking tinggi ti-ba-tiba terdengar menyayat dan menggetarkan jantung.

   Tampak Ki Rasak jatuh menggelepar den-gan leher terkoyak lebar.

   Darahnya pun muncrat keluar dengan deras sekali.

   Belum lagi ada yang melakukan sesuatu, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul.

   Tampak dua orang pemuda yang menja-ga di pintu tadi bergelimpangan dengan leher yang juga terkoyak lebar berlumuran darah.

   Sedangkan Darkan sudah melompat keluar dari dalam ruan-gan yang mengurungnya.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Rangga yang bisa lebih cepat menguasai keadaan, segera melesat ke luar dengan memper-gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada tingkatan sempurna.

   Dengan ma-nis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melakukan beberapa kali putaran di udara dan lewat di atas kepala Darkan.

   Lalu dengan indahnya dia mendarat sekitar satu batang tombak di depan pemuda yang tampaknya sudah dirasuki siluman itu.

   "Ghrrr...!"

   Wuk! "Uts...!"

   Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan ketika Darkan dengan begitu cepat me-lompat sambil melepaskan satu pukulan keras ke arahnya.

   Dan di saat tangan Darkan menjulur, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kakinya, memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tena-ga dalam ke arah perut Darkan.

   Begitu cepatnya tendangan Rangga, sehingga Darkan tidak sempat lagi menghindar.

   Desss! "Hugkh...!" 'Yeaaah....!"

   Selagi tubuh Darkan terbungkuk, Rangga langsung melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kanannya ke dada pemuda itu, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang su-dah mencapai tingkat kesempurnaan. Plak! "Argkh...!"

   Darkan meraung keras agak tertahan.

   Da-danya terkena pukulan menggeledek yang sangat keras dari Pendekar Rajawali Sakti.

   Pada saat itu juga, Rangga melentingkan tubuhnya sedikit ke atas.

   Dan dilepaskannya satu tendangan mengge-ledek disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke dada pemuda itu.

   "Hiyaaa...!"

   Bugkh! "Aaargkh...!" *** Terdengar raungan yang panjang dan men-gerikan bersamaan dengan terpentalnya tubuh Darkan ke belakang dengan keras sekali, setelah dadanya menerima tendangan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan den-gan keras pula tubuh pemuda itu langsung ter-banting ke tanah.

   Namun, tanpa diduga sama se-kali, Darkan bisa cepat bangkit dan berdiri lagi.

   "Ghrrr...!"

   Darkan menggerung dahsyat bagai seekor binatang buas yang kesakitan.

   Sedangkan Rangga sudah berdiri tegak untuk bersiap-siap menerima serangan pemuda yang sudah dirasuki siluman ini.

   Saat itu, di depan pintu bangunan batu yang dijadikan tempat untuk menahan Darkan tadi, berdiri Ki Legik, Ki Murad, dan Cantraka.

   Dan en-tah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu halaman belakang rumah Kepala Desa Gedangan ini sudah dipenuhi oleh murid-murid kepala desa dan para pemuka desa itu.

   "Ghraaaugkh...!"

   Sambil menggerung dahsyat, Darkan me-lompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Jari-jari tangannya yang merah berlumuran darah dan meregang kaku, slap untuk mencabik-cabik selu-ruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Namun begitu Darkan mendekat, cepat se-kali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping.

   Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pen-dekar Rajawali Sakti mengibaskan kedua tangan-nya ke tubuh pemuda itu.

   Begitu cepat dan dah-syatnya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dikeluarkan Rangga, sehingga Darkan tidak mampu lagi berkelit menghindar.

   Desss! Bugkh! "Argkh...!"

   "Hiyaaa...!"

   Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh-nya lebih tinggi ke udara.

   Dilakukannya dua kali putaran dengan indah sekali.

   Dan dengan kecepa-tan yang begitu tinggi, Pendekar Rajawali Sakti segera meluruk turun dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Kedua kakinya bergerak begitu cepat seperti berputar.

   Langsung diarahkan kakinya ke kepala Darkan yang tengah terhuyung-huyung akibat terkena dua kali tebasan tangan Rangga tadi.

   Plak! "Aaargkh...!"

   Seketika darah muncrat keluar dari kepala Darkan yang retak terkena kaki Rangga yang me-luruk dengan deras tadi.

   Saat itu juga Rangga me-lakukan dua kali putaran di udara.

   Dan dengan manis sekali, kakinya dijejakkan di depan pemuda yang sedang kerasukan siluman itu.

   Kemudian di-lepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang langsung mendarat di dada Darkan.

   Begkh! "Aaakh...!"

   "Oh...?!"

   Rangga tersentak kaget begitu mendengar jeritan Darkan yang tampak lain bunyinya itu.

   Ta-pi, terlambat bagi Rangga untuk menyadarinya.

   Darkan sudah terpental cukup jauh ke belakang.

   Dan dengan keras sekali tubuh pemuda itu jatuh menghantam tanah.

   Setelah beberapa saat meng-geliat dan menggeletar di tanah, tubuh Darkan mengejang lalu diam tak bergerak lagi.

   Mulutnya tampak mengeluarkan darah, sedangkan kepa-lanya yang retak pun masih mengucurkan darah segar.

   Rangga bergegas menghampiri dan lang-sung berlutut di samping pemuda dari Desa Mungkit ini.

   "Darkan...,"

   Desis Rangga perlahan.

   Namun Darkan sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya.

   Pemuda itu tewas seketika, ka-rena mendapat beberapa gempuran dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.

   Saat itu Ki Legik dan dua orang pemuka Desa Gedangan sudah datang menghampiri.

   Mereka berdiri di belakang Pendekar Rajawali Sakti, yang masih berlutut di samping tubuh Darkan.

   "Kasihan kau, Darkan. Kau hanya salah satu korban...,"

   Desah Rangga perlahan, sambil bangkit berdiri.

   "Apakah dia tidak tertolong lagi?"

   Tanya Ki Legik seraya menatap Rangga.

   Pendekar Rajawali Sakti hanya mengge-leng.

   Sedangkan Ki Legik menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.

   Sesaat mereka semua terdiam.

   Sementara ini Ki Murad sudah memerintahkan murid-muridnya untuk membereskan semua mayat yang bergelimpangan.

   "Kenapa dia bisa berubah mengerikan se-perti itu, Rangga? Apakah dia juga siluman...?"

   Tanya Ki Legik.

   "Bukan,"

   Sahut Rangga, agak mendesah.

   "Bukan...?!"

   "Dia manusia biasa. Tapi, dia sudah ter-pengaruh segala jiwa dan kehidupannya oleh Si-luman Penghisap Darah. Atau, mungkin juga ju-stru perempuan siluman itu yang merasuk ke da-lam tubuhnya,"

   Ujar Rangga, mencoba menje-laskan. Baru saja Ki Legik membuka mulutnya hendak bertanya lagi, tiba-tiba....

   "Hik hik hik...!"

   "Oh...?!"

   Ki Legik terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba terdengar tawa keras menggema yang mengikik kering dan serak seperti burung gagak.

   Sedangkan Rangga langsung melompat ke bela-kang beberapa langkah.

   Pandangan pemuda itu langsung beredar berkeliling.

   Tapi, tak ada tanda-tanda bahwa Siluman Penghisap Darah ada di se-kitar rumah Kepala Desa Gedangan ini.

   Suara ta-wa itu pun sudah menghilang tanpa dapat diketa-hui lagi dari mana datangnya.

   "Aku pergi dulu, Ki,"

   Kata Rangga cepat-cepat.

   "Mau ke mana...?"

   Tapi belum juga Ki Legik menyelesaikan pertanyaannya, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melesat pergi bagai kilat.

   Begitu sempur-nanya ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi.

   *** 'Pandan...!"

   Rangga langsung berteriak memanggil Pan-dan Wangi begitu sampai di depan rumah Ki Biran yang juga dijadikan kedai itu.

   Tapi, tak ada sahu-tan sedikit pun yang didengarnya.

   Keadaan rumah itu tampak sunyi sekali.

   Baru saja Rangga me-langkah dua tindak mendekati pintu depan yang tertutup, tiba-tiba pintu itu terbuka.

   Dan muncul Ki Biran dengan tergopoh-gopoh menghampirinya.

   "Mana Pandan Wangi, Ki...?"

   Tanya Rangga begitu Ki Biran telah dekat di depannya.

   "Pergi, Den."

   "Pergi ke mana?"

   "Tidak tahu, Den. Nini Pandan Wangi tidak bilang apa-apa,"

   Sahut Ki Biran.

   Rangga mendengus.

   Dia cemas karena Pandan Wangi pergi seorang diri.

   Padahal, tadi dia sudah berpesan agar Pandan Wangi menunggunya sampai dia kembali ke rumah ini, karena keadaan semakin bertambah gawat.

   Sejak mereka berhasil meringkus Darkan yang kepergok menculik seo-rang wanita, tindakan Siluman Penghisap Darah semakin brutal saja.

   Dia membantai siapa saja yang berhasil ditemuinya.

   Bahkan dia sudah mu-lai mengobrak-abrik rumah-rumah penduduk hanya untuk membunuh dan menghirup darah manusia.

   Tidak ada lagi tempat yang aman bagi seluruh penduduk Desa Gedangan, sehingga se-mua orang di desa ini pun semakin diliputi keta-kutan.

   Kecemasan yang tersirat jelas di wajah Pendekar Rajawali Sakti dapat dipahami Ki Biran.

   Laki-laki tua pemilik kedai yang hidup seorang diri itu menghampiri Rangga lebih dekat.

   "Sebaiknya kau cepat susul dia, Den, Aku juga khawatir terjadi sesuatu padanya,"

   Kata Ki Biran.

   "Kalau saja aku tahu ke mana perginya, Ki..,"

   Kata Rangga.

   "Memang sulit. Nini Pandan Wangi tidak mengatakan apa-apa padaku. Dia hanya bilang mau pergi itu saja...,"

   Kata Ki Biran, agak menggumam.

   "Kau lihat ke arah mana Pandan Wangi pergi, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Ke arah Hutan Cengkir,"

   Sahut Ki Biran.

   "Ke Hutan Cengkir...? Mau apa dia ke sa-na?"

   Tanya Rangga, seperti pada dirinya sendiri.

   "Banyak orang yang melihat, perempuan si-luman itu sering keluar masuk hutan itu, Den. Barangkali dia memang bertempat tinggal di sana sekarang ini. Dan aku...,"

   Ki Biran tidak meneruskan kalimatnya.

   "Kau kenapa, Ki...?"

   Desak Rangga.

   "Aku menceritakan semua yang ku tahu kepadanya, Den. Lalu...,"

   Kembali Ki Biran tidak meneruskan kata-katanya. Rangga juga terdiam membisu.

   "Maaf, Den. Bukannya aku ingin mencela-kakannya. Nini Pandan Wangi sendiri yang terus mendesak dan bertanya segala macam."

   "Sudahlah, Ki. Dalam hal ini, kau tidak bersalah apa-apa. Tidak perlu meminta maaf. Kau memang patut mengatakan apa saja yang kau ke-tahui. Seluruh penduduk desa ini pun seharusnya ikut membantu, bukannya hanya diam dan ber-sembunyi menerima nasib. Kalau saja mereka se-mua mau bahu-membahu, tidak mungkin perem-puan siluman itu bisa merajalela membunuhi penduduk desa yang tidak bersalah. Hm..., sepak terjang perempuan siluman itu memang harus se-cepatnya dihentikan,"

   Ujar Rangga, agak menggumam. Sesaat mereka terdiam.

   "Aku pergi dulu, Ki. Dan sebaiknya kau ti-dak keluar dari rumah,"

   Kata Rangga seraya berpesan.

   "Hati-hati, Den."

   Rangga hanya tersenyum.

   Kemudian ka-kinya melangkah menghampiri kuda hitamnya yang tertambat di bawah pohon kemuning.

   Den-gan gerakan yang ringan dan indah, Pendekar Ra-jawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya yang bernama Dewa Bayu.

   Sebentar ditatapnya Ki Biran, lalu cepat menggebah kudanya.

   "Hiyaaa....'"

   Bagaikan anak panah yang lepas dari bu-sur, Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat memba-wa Pendekar Rajawali Sakti di atas punggungnya.

   Sedangkan Ki Biran terus menatap sampai kuda hitam itu lenyap dari pandangan, hingga kepulan debu yang tertinggal.

   Ki Biran lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya, dan mengunci rapat-rapat semua pintu dan jendela.

   Sementara itu Rangga terus memacu cepat kudanya menuju Hutan Cengkir.

   *** Benarkah Pandan Wangi pergi ke Hutan Cengkir? Ya, gadis itu memang pergi ke sana, seperti yang dikatakan Ki Biran.

   Dan dia tentunya me-ninggalkan kudanya di tepi hutan, sehingga Rang-ga dengan mudah menemukan kuda itu.

   Pendekar Rajawali Sakti semakin kelihatan cemas.

   Dia tahu, hutan ini tidak pernah dimasuki orang, bahkan terkenal dengan keangkerannya.

   Banyak juga orang yang mengatakan kalau Hutan Cengkir adalah tempat tinggal para siluman.

   Sementara itu Pandan Wangi sendiri sudah berjalan cukup jauh menembus lebatnya hutan ini.

   Gadis itu juga sudah mendengar cerita yang menyeramkan tentang hutan ini.

   Tapi, setelah dia berada di dalamnya, ternyata hutan ini begitu in-dah.

   Tempat ini penuh dengan binatang liar yang cantik dan hidup bebas tanpa takut mendapat gangguan dari para pemburu liar.

   Udaranya pun terasa sejuk sekali.

   Keangkerannya tak terlihat sedikit pun.

   Bahkan, keindahannya tampak begitu alami.

   "Hm..., hutan ini luas sekali. Ke mana aku harus mencari perempuan siluman itu...?"

   Gumam Pandan Wangi, bertanya-tanya sendiri dalam hati.

   Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas Maut itu terus mengayunkan kakinya semakin jauh menembus hutan.

   Tapi dia belum juga me-nemukan tanda-tanda yang bisa menunjukkan di mana Siluman Penghisap Darah itu berada.

   Bah-kan, tak satu pun terlihat pondok ataupun gua yang bisa dijadikan tempat tinggal di sini.

   Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sendiri.

   "Sebaiknya aku kembali saja sebelum Ka-kang Rangga tahu aku pergi ke sini,"

   Gumam Pandan Wangi dalam hati. Gadis itu memutar tubuhnya hendak ber-balik. Tapi mendadak....

   "Oh...?!"

   Cepat si Kipas Maut itu melompat mundur beberapa langkah.

   Tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang perempuan muda yang begitu cantik, yang mengenakan baju warna merah muda agak longgar dan tipis.

   Sehingga membayangkan tekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan ramping menggiurkan.

   "Inten...,"

   Desis Pandan Wangi yang lang-sung mengenali.

   Wanita itu memang Inten, yang selama ini dikenal dengan sebutan Siluman Penghisap Da-rah.

   Perlahan Pandan Wangi menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah.

   Sedangkan Inten te-tap berdiri tegap, dengan sinar mata yang bersorot tajam dan tertuju langsung ke bola mata si Kipas Maut.

   "Mau apa kau datang ke sini, Pandan Wangi?"

   Kata perempuan siluman itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin dan datar.

   "Kau tentu sudah tahu jawabannya, Inten,"

   Sahut Pandan Wangi, tidak kalah dinginnya.

   "Kau terlalu berani datang seorang diri ke tempatku, Pandan. Kau tahu apa akibatnya kalau berani menginjak tempatku tanpa izin...?"

   "Sejak kapan kau menguasai hutan ini?"

   Ujar Pandan Wangi, sinis.

   "Sejak aku datang, hutan ini menjadi mi-likku. Juga seluruh mayapada ini menjadi milik-ku. Dan semua orang harus menyerahkan darah-nya padaku setiap hari. Aku adalah ratu di dunia ini, Pandan. Ratu yang menguasai seluruh jagat raya ini. Ha ha ha...!"

   "Kau hanya siluman, Inten. Dan kau tidak berhak lagi hidup di dunia ini. Kau sudah mati...! Seharusnya kau hidup di alam lain. Bukan di sini tempatmu,"

   Kata Pandan Wangi, dengan nada sua-ra agak tinggi.

   "Hik hik hik...! Beraninya kau berkata begi-tu padaku, Pandan. Hari-hari yang lalu kau boleh bangga bisa mengalahkanku. Tapi sekarang, kehi-dupanku sudah sempurna. Dan kau sekarang ti-dak ada artinya bagiku, Pandan,"

   Desis Inten, di-iringi tawa terkikik yang kering mengerikan.

   Sret! Bet! Pandan Wangi segera mencabut kipas mautnya dan langsung mengebutkannya.

   Kipas berwarna keperakan itu pun terkembang lebar di depan dadanya.

   Sementara Siluman Penghisap Darah tam-pak kelihatan tenang.

   Diperhatikannya setiap ge-rakan yang dilakukan Pandan Wangi.

   Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip.

   Dan, sorot ma-tanya terasa tajam sekali, seakan-akan ingin me-nembus langsung ke dalam lubuk hati Pandan Wangi yang paling dalam.

   "Pandan...!"

   "Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang menggema di seluruh hutan, yang membuat Silu-man Penghisap Darah terkejut. Bahkan Pandan Wangi juga tersentak kaget, terlebih lagi dia mengenali betul suara itu, yang sudah begitu akrab di telinganya.

   "Kakang Rangga...,"

   Desah Pandan Wangi.

   Entah bagaimana perasaan gadis itu.

   Dia keliha-tan senang tapi sekaligus khawatir saat mengeta-hui bahwa Pendekar Rajawali Sakti telah datang ke Hutan Cengkir ini.

   Jelas sekali, teriakan yang memanggil si Kipas Maut tadi adalah suara Rangga.

   Tapi, hanya suaranya yang terdengar keras menggema.

   Sosoknya belum juga terlihat.

   "Keparat..! Rupanya dia juga bisa cepat sampai ke sini,"

   Desis Inten, geram. Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah mele-sat pergi bagai kilat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dia sudah menghilang sebelum Pandan Wangi bertindak mencegahnya.

   "Huh! Cepat sekali dia menghilang!"

   Dengus Pandan Wangi.

   Saat itu kembali terdengar teriakan keras menggema yang memanggil nama Pandan Wangi.

   Suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan be-rada dekat sekali.

   Tapi, pemilik suara itu belum juga kelihatan.

   Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri tegak dan tak bergeming sedikit pun.

   "Hhh! Aku tidak mau Kakang Rangga me-nemuiku di sini,"

   Desis Pandan Wangi.

   "Tapi..., dia pasti sudah menemukan kudaku. Pada saat itu pula dari balik semak-semak muncul Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu melangkah cepat, mende-kati Pandan Wangi.

   "Seharusnya kau tidak perlu datang ke si-ni, Kakang,"

   Dengus Pandan Wangi.

   "Lalu, kenapa kau sendiri berada di sini?"

   Balas Rangga.

   "Suaramu mengejutkan dia. Sehingga dia lari begitu saja,"

   Dengus Pandan Wangi lagi.

   "Dia...?! Dia siapa, Pandan?"

   "Perempuan siluman itu,"

   Sahut Pandan Wangi sambil memberengut.

   "Kau berhasil menemuinya?"

   Pendekar Ra-jawali Sakti tampaknya kurang mempercayai kata-kata Pandan Wangi.

   Memang sama sekali tidak terlihat ada bekas-bekas pertarungan di sini.

   Bahkan, keadaan Pandan Wangi sendiri tidak menun-jukkan tanda-tanda kalau dia baru bertarung den-gan Siluman Penghisap Darah.

   "Aku tidak menemuinya di sini, tapi dia sendiri yang datang menemuiku."

   Rangga masih tetap diam.

   Tampaknya dia sedang berpikir keras.

   Belum lama tadi, dia men-dengar suara tawa perempuan siluman itu di ha-laman belakang rumah Ki Legik.

   Dan sekarang Pandan Wangi berkata bahwa perempuan siluman itu menemuinya di sini.

   Ini berarti putri Kepala Desa Mungkit itu benar-benar sudah menjadi ma-nusia siluman.

   Dan, ini juga berarti kehidupannya sebagai manusia siluman mulai mendekati kesempurnaan.

   Akan semakin sulitlah sekarang mengha-dapi perempuan siluman itu.

   Yang pasti, Siluman Penghisap Darah kini semakin kuat dan semakin sulit ditandingi.

   Dan jika dia benar-benar sudah sempurna, tak akan ada seorang pun yang bisa menandingi kedigdayaan-nya.

   Dunia pun akan kiamat dengan cepat.

   Rangga menjadi risau, kare-na dia menyadari bahwa dirinya hanyalah manu-sia biasa yang tentu memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan.

   "Aku yakin, dia memang tinggal di dalam hutan ini, Kakang,"

   Kata Pandan Wangi, meme-cahkan lamunan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Sebaiknya kita kembali dulu ke Desa Ge-dangan, Pandan. Keadaan di sana semakin ber-tambah gawat. Terlebih lagi setelah...,"

   Rangga tidak meneruskan ucapannya.

   "Setelah apa, Kakang?"

   Desak Pandan Wangi.

   "Darkan...Dia sudah tewas,"

   Kata Rangga, pelan.

   "Oh, benarkah...?!"

   Pandan Wangi tampak terkejut Sedangkan Rangga hanya mengangguk. Mereka terdiam dan tampaknya sama-sama mengerti bahwa tewasnya Darkan akan menambah buruk keadaan di Desa Gedangan. Karena Siluman Penghisap Darah pasti akan menuntut balas.

   "Sebaiknya kita cepat kembali ke Desa Ge-dangan, Kakang,"

   Ajak Pandan Wangi.

   "Ayolah...." *** Sementara itu, agak jauh di pinggiran Desa Gedangan, Ki Legik, Ki Murad, Cantraka, dan para penduduk desa baru saja selesai menguburkan ja-sad Darkan yang tewas di tangan Pendekar Raja-wali Sakti. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Dan tanpa ada seorang pun yang men-getahui, dan tempat yang cukup tersembunyi tampak seorang wanita cantik berbaju merah mu-da yang agak tipis sedang memperhatikan semua itu. Wanita muda itu baru keluar setelah se-mua orang tidak terlihat lagi di sekitarnya. Kemudian dia berdiri mematung di pinggiran kuburan yang masih baru itu. Perlahan kepalanya terang-kat dan pandangannya langsung tertuju lurus dan tajam ke arah Desa Gedangan.

   "Siapa pun yang membunuhmu, dia harus mati di tanganku, Darkan. Percayalah, aku akan membalas kematianmu,"

   Desis wanita itu, dingin sekali.

   Kembali wanita itu menatap kuburan yang masih baru.

   Perlahan kemudian kakinya melang-kah mundur beberapa tindak.

   Dan sorot matanya yang tajam kembali tertuju ke Desa Gedangan.

   Sementara, Ki Legik dan orang-orangnya sudah ti-dak terlihat lagi.

   Suasana di pinggiran desa itu demikian sunyi.

   Hanya desir angin saja yang terdengar berhembus agak kencang mempermainkan dedaunan.

   "Hhh! Akan kuhancurkan mereka semua kalau tidak mau menyerahkan orang yang mem-bunuh Darkan,"

   Desis wanita itu lagi, semakin dingin nada suaranya. Sebentar ditatapnya kuburan Darkan. Ke-mudian kakinya melangkah hendak meninggalkan kuburan yang masih baru itu. Namun, baru saja kakinya melangkah beberapa tindak, mendadak....

   "Berhenti kau, Siluman Keparat...!"

   Wanita cantik berbaju merah itu langsung berhenti melangkah ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras dari arah belakangnya.

   Perlahan tu-buhnya berbalik.

   Kelopak matanya menyipit begitu terlihat di depannya kini sudah berdiri seorang pemuda berusia tiga puluh tahun, yang mengena-kan baju putih cukup ketat sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.

   Sebilah pedang berukuran panjang tergantung di pinggang pemu-da itu.

   Dia tak lain adalah Cantraka, yang telah memisahkan diri dari para penduduk desa lain-nya, dan kembali ke kuburan ini.

   Sekarang Can-traka berdiri tegak dengan sikap menantang di de-pan wanita cantik berbaju merah itu yang tak lain dari Inten, Siluman Penghisap Darah.

   "Kau pikir aku tidak tahu dengan kehadi-ranmu di sini, Siluman Keparat..,"

   Desis Cantraka, dengan nada suara yang dingin sekali.

   "Hm...,"

   Gumam Inten, perlahan.

   Bibir Inten yang selalu berwarna merah menyala itu bergerak sedikit menyunggingkan se-nyuman.

   Begitu cantik wajahnya saat dia terse-nyum, sehingga tidak terlihat sama sekali bahwa wanita ini adalah Siluman Penghisap Darah.

   Bah-kan, terlalu cantik dan lembut kalau dia dikatakan sebagai manusia siluman.

   Dan kalau saja Cantraka tidak tahu siapa sebenarnya wanita ini, tentu dia tidak akan pernah menyangka kalau bentuk tubuh dan wajah yang sangat cantik menawan ini menyimpan dendam yang hebat.

   "Siapa pun kau, enyahlah dari Desa Ge-dangan!"

   Sentak Cantraka, tegas.

   "Hik hik hik...! Indah sekali kata-katamu, Kisanak,"

   Sambut Inten, disertai tawanya yang mengerikan.

   "Phuih! Jangan mengejekku, Perempuan Siluman!"

   Dengus Cantraka seraya menyemburkan ludah.

   "Hik hik hik...!"

   Inten terus saja tertawa terkikik.

   Tapi, tiba-tiba suara tawa itu terhenti seketika.

   Dan, raut wajahnya menegang kaku.

   Se-dangkan sorot matanya terlihat sangat tajam, sea-kan-akan hendak menembus langsung ke dalam rongga dada pemuda di depannya ini.

   Kemudian perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah seringai.

   Tampak dua buah taring yang tajam ber-kilat menyembul bagai hendak mengoyak bibirnya yang merah bagai berlumur darah.

   Wajah yang semula terlihat begitu cantik itu kini berubah menjadi dingin dan mengerikan.

   "Kau tegap dan gagah sekali. Pasti darah yang mengalir di tubuhmu sangat segar. Hsss...!"

   Ujar Inten sambil mendesis lirih.

   "Hih...!"

   Cantraka bergidik juga melihat perubahan yang begitu cepat pada wanita ini.

   Dan suara yang mendesis itu membuat jantungnya berdebar.

   Tapi, dia cepat-cepat menguatkan diri.

   Ditatapnya ta-jam-tajam Siluman Penghisap Darah yang sudah bergerak perlahan-lahan mendekatinya.

   *** Sret! Cantraka langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.

   Dengan gerakan in-dah, pedangnya disilangkan di depan dada.

   Se-dangkan sorot matanya masih tetap tajam, mem-balas tatapan liar mengerikan dari sinar mata Si-luman Penghisap Darah.

   "Ghraaaugkh...!"

   "Hup! Hiyaaat..!"

   Secara bersamaan, keduanya melompat cepat saling menerjang.

   Cantraka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke depan, mengarah langsung ke dada Siluman Penghisap Darah.

   Na-mun, dengan gerakan meliuk yang begitu indah, wanita itu berhasil mengelakkan tebasan pedang pemuda ini.

   Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangannya yang berkuku runcing dikibaskan ke arah leher Cantraka.

   "Hait..!"

   Cepat-cepat Cantraka memutar tubuhnya ke belakang, sehingga kibasan jari-jari tangan yang meregang kaku dengan kuku-kuku yang runcing tajam itu berhasil dihindarinya.

   Beberapa kali Cantraka berjumpalitan di udara.

   Dan dengan manis sekali kakinya kembali dijejakkan di tanah.

   Namun, pada saat yang bersamaan, Inten sudah meluruk deras seraya mengebutkan kedua tan-gannya dengan cepat dan bergantian.

   "Uts...!"

   Cantraka harus berjumpalitan lagi.

   Dihin-darinya serangan-serangan cepat yang dilakukan Siluman Penghisap Darah.

   Dan begitu dia memili-ki kesempatan, cepat-sepat pedangnya berkelebat membalas serangan-serangan wanita itu.

   Pertarungan ini memang sengit seka-li.Masing-masing saling mengeluarkan jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat.

   Namun, lama-kelamaan Cantraka mulai tampak mengalami ke-sulitan.

   Beberapa kali dia melancarkan serangan dengan pedangnya, tapi wanita itu selalu berhasil mementahkannya dengan mudah.

   Bahkan, serangan-serangan balasan yang diberikan perempuan siluman itu membuat Cantraka kelabakan seten-gah mati untuk menghindarinya.

   Hingga....

   "Hiyaaa...!"

   "Uts!"

   Tiba-tiba Inten mengibaskan tangan ka-nannya dengan cepat sekali ke arah dada lawan-nya.

   Dan begitu Cantraka berhasil menghinda-rinya, mendadak perempuan siluman itu mele-paskan satu tendangan menggeledek sambil me-mutar tubuhnya dengan cepat sekali.

   Cantraka tampak tidak mampu lagi berkelit.

   Desss! "Akh...!"

   Tak pelak lagi, Cantraka kontan terpental ke belakang.

   Dadanya telah terkena tendangan yang keras luar biasa itu.

   Dengan keras pula dia jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan bebe-rapa kali sambil mengeluarkan pekikan keras agak tertahan.

   Pada saat itu pula, Inten sudah melompat sambil meraung dahsyat menggelegar.

   Kedua tan-gannya menjulur lurus ke depan, dengan jari-jari tangan yang berkuku runcing dan meregang kaku.

   Hendak di koyaknya tubuh pemuda itu.

   "Ghraaaugkh... !"

   "Hup...!"

   Cantrakacepat-cepat menggulirkan tubuh-nya ke samping, lalu langsung melenting bangkit berdiri. Namun, pada saat itu juga.... Bet' Bret! "Aaakh...!"

   Kembali Cantraka terhuyung-huyung begi-tu jari-jari tangan perempuan siluman itu merobek punggungnya.

   Darah seketika mengalir keluar dari punggung yang terobek cukup lebar itu.

   Cantraka meringis menahan perih pada punggungnya.

   Se-dangkan Siluman Penghisap Darah sudah berdiri tegak sambil memandangi jari-jari tangannya yang berlumuran darah.

   "Hik hik hik...!"

   Sambil tertawa mengikik, perempuan silu-man itu menjilati darah yang melekat di jari-jari tangannya. Begitu nikmat tampaknya, sehingga perut Cantraka bergolak mual menyaksikannya.

   "Hik hik hik...! Nikmat sekali darahmu, Anak Muda."

   "Iblis...,"

   Desis Cantraka, yang merasa jijik.

   "Kubunuh kau, Siluman Keparat! Hiyaaat..!"

   Wuk! Tanpa menghiraukan luka di punggung-nya, Cantraka melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan pedangnya.

   Tapi, dengan sedikit sa-ja mengegoskan tubuh, Siluman Penghisap Darah berhasil menghindari tebasan pedang itu.

   Bahkan, dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti pan-dangan mata biasa, tangan kanan wanita siluman itu mengibas ke perut Cantraka.

   Bret! "Akh...!"

   Untuk kedua kalinya Cantraka terpekik. Perutnya sobek terkena samba ran jari-jari tangan yang berkuku runcing bagai mata pedang itu. Dan pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang bercucuran darah.

   "Ghraaaugkh...!" *** Cepat sekali Siluman Penghisap Darah memutar tubuhnya sambil menggerung dahsyat. Lalu, bagaikan kilat, dia melompat dengan kedua tangan menjulur ke depan. Diarahkan tangannya ke leher Cantraka yang masih belum bisa mengu-asai keseimbangan tubuhnya. Tapi, belum juga ja-ri-jari tangan yang meregang kaku dan berkuku runcing bagai mata pedang itu sampai di leher Cantraka, tiba-tiba.... Slap! Plak! "Aaargkh...!"

   Sebuah bayangan putih berkelebat cepat memo-tong arus terjangan Siluman Penghisap Darah.

   Bahkan, wanita siluman itu tampak meraung ke-ras dengan tubuh terpental ke belakang, seperti tersambar sesuatu yang bertenaga besar sekali.

   Namun, Siluman Penghisap Darah bisa segera menguasai keseimbangan tubuhnya.

   Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah.

   Tampak pada saat itu, seorang pemuda berbaju rompi putih mendarat tepat dua langkah di depan Cantraka.

   Pada saat yang bersamaan, terlihat pula seorang gadis cantik muncul bersama dua ekor kuda.

   Gadis cantik itu duduk anggun di punggung seekor kuda putih.

   "Rangga...,"desah Cantraka, lega melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu. Pemuda berbaju rompi putih itulah yang telah menyelamatkan nyawanya yang terancam di ambang maut tadi. Sementara itu Siluman Penghisap Darah mendengus berang. Kemunculan Pendekar Raja-wali Sakti dan si Kipas Maut benar-benar tepat di saat dia hampir berhasil mengoyak leher Cantraka tadi.

   "Menjauhlah kau, Cantraka,"

   Pinta Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.

   Tanpa diminta dua kali, Cantraka bergegas menyingkir.

   Sedangkan Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya, lalu segera meng-hampiri Cantraka dan memberikan beberapa toto-kan di sekitar luka pemuda itu, untuk menghenti-kan aliran darahnya.

   Rangga melangkah mendekati Inten dengan sorot mata yang tajam sekali.

   Kakinya berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi di depan wanita cantik yang dijuluki Siluman Penghisap Darah itu.

   Beberapa saat mereka berdiri tegak dan saling melemparkan sorot mata tajam, seakan-akan sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki mas-ing-masing.

   "Akulah lawanmu, Inten,"

   Desis Rangga, dingin menggetarkan.

   "Ghrrr...!"

   Siluman Penghisap Darah hanya mengge-rung.

   Sorot matanya yang merah semakin terlihat tajam.

   Perlahan kakinya digeser beberapa langkah ke kanan.

   Jari-jari tangannya yang berlumuran darah dan berkuku runcing sudah meregang kaku di depan dada.

   Sedangkan Rangga tetap berdiri te-gak memperhatikan setiap gerak yang dilakukan wanita siluman itu.

   "Ghraaaugkh...!"

   Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah me-lompat cepat sambil meraung dahsyat.

   Begitu ce-pat gerakannya, sehingga Rangga sedikit terpana sesaat.

   Namun, dengan cepat sekali dan dengan gerakan yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti segera meliukkan tubuhnya menghindari se-rangan itu.

   "Hup!"

   Secepat kilat Rangga melentingkan tubuh-nya ke atas.

   Dan, begitu melewati kepala wanita siluman itu, tiba-tiba kakinya bergerak cepat dengan memper-gunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Begitu cepat serangan bala-san yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, se-hingga Siluman Penghisap Darah tidak sempat lagi berkelit menghindar.

   Dan....

   Plak! "Argkh...!"

   Sambil meraung keras, Siluman Penghisap Darah jatuh bergulingan di tanah.

   Kepalanya telah terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dilepaskan Rangga barusan.

   Namun, tanpa diduga sama sekali, perempuan siluman itu mampu bangkit berdiri lagi dengan cepat.

   Bahkan, tak ada sedikit pun akibat yang kelihatan dari tendangan keras yang bersarang di kepalanya tadi.

   Rangga tampak tertegun.

   Biasanya tendan-gan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' akan membuat kepala lawannya pecah berantakan.

   Atau, paling tidak menjadi retak.

   Tapi kini Siluman Penghisap Darah sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun pada kepalanya.

   Bah-kan dia bisa berdiri tegak kembali dengan kedua kaki yang tetap kokoh.

   "Hik hik hik...! Kau tidak ada artinya bagi-ku, Pendekar Rajawali Sakti."

   Kering sekali suara Siluman Penghisap Da-rah.

   Dan belum juga hilang suaranya dari penden-garan, bagai kilat dia melompat menerjang Pende-kar Rajawali Sakti.

   Kedua tangannya mengebut cepat bergantian, sehingga Rangga harus meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan kaki yang lin-cah dan ringan.

   Dalam menghadapi serangan-serangan ce-pat dan beruntun yang dahsyat ini, Rangga mau tak mau harus menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Dan dengan jurus itu dengan mu-dah dia bisa mementahkan semua serangan yang dilancarkan Siluman Penghisap Darah.

   Bahkan....

   "Yeaaah...!"

   Tiba-tiba Rangga mengubah jurusnya den-gan cepat sekali.

   Tubuhnya sedikit dibungkukkan.

   Dan, tangan kanannya cepat mengibas ke depan, mengarah ke perut lawan dengan jari-jari men-gembang kaku seperti cakar seekor burung raja-wali.

   Begitu cepat serangan yang dilancarkan Rangga dengan mempergunakan jurus 'Cakar Ra-jawali' itu, sehingga Siluman Penghisap Darah ti-dak sempat lagi berkelit menghindar.

   Bret! "Aaargkh...!"

   "Hup!" *** Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh-nya ke belakang begitu tangan Siluman Penghisap Darah mengibas hendak menyambar kepalanya. Tampak darah berwarna hitam dan berbau busuk bercucuran deras dari perut yang terkoyak terkena jurus 'Cakar Rajawali' yang dilancarkan Rangga tadi.

   "Ghraaaugkh...! Keparat kau, Rangga...!"

   Sambil menggerung keras menggelegar, Si-luman Penghisap Darah melompat cepat menye-rang Pendekar Rajawali Sakti lagi.

   Cepat sekali serangannya, sehingga Rangga terpaksa berjumpali-tan menghindarinya.

   Wanita siluman itu terus me-lancarkan serangan-serangan dengan kecepatan yang sangat tinggi.

   Tidak diberinya sedikit pun kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk me-lepaskan serangan balasan.

   Dan, tampaknya Rangga memang kerepotan juga menghadapi se-rangan-serangan yang begitu gencar dan dahsyat ini.

   Kebutan-kebutan tangan Siluman Penghi-sap Darah menimbulkan suara angin yang mende-ru keras bagai topan.

   Bahkan, beberapa pohon dan batu hancur terkena sambaran tangan dengan jari-jari berkuku runcing yang meregang kaku itu.

   Rupanya luka di perutnya yang terus mengucur-kan darah berwarna hitam dan berbau busuk itu tidak dipedulikannya.

   "Ghraaaugkh...!"

   Siluman Penghisap Darah terus menyerang dengan membabi buta, sambil menggerung-gerung dahsyat Dan, Rangga terus berjumpalitan meng-hindari setiap serangan yang datang mengancam jiwanya.

   Tidak ada kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melakukan seran-gan balasan.

   "Hiyaaat..!"

   Tiba-tiba Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan pertarungan itu melompat cepat bagai kilat sambil mencabut pedang yang selalu tersampir di punggungnya.

   Dan, secepat kilat pula gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu membabatkan pedangnya ke leher Siluman Penghisap Darah.

   Begitu cepat serangan yang dilakukannya, sehingga perempuan siluman itu tidak sempat lagi menghindar.

   Terlebih lagi, saat itu seluruh perhatiannya sudah tertumpah pada Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan....

   Cras! "Aaargkh...!"

   "Hup!"

   Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan berputaran beberapa kali begitu berhasil membabatkan pedangnya ke leher Silu-man Penghisap Darah.

   Tampak leher wanita silu-man itu terbabat hampir putus oleh Pedang Naga Geni yang tergenggam erat di tangan kanan si Ki-pas Maut.

   Tapi, sungguh sukar dipercaya! Wanita itu masih tetap mampu berdiri tegak, seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh lehernya yang sudah hampir putus, yang juga mengucurkan da-rah berwarna hitam dan berbau busuk memua-lkan perut.

   "Gila...!"

   Desis Pandan Wangi, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

   Sementara itu Rangga sudah berada di samping gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut itu.

   Dia juga terpana dan terlongong-longong.

   Si-luman Penghisap Darah masih tetap berdiri tegak, meskipun perutnya sudah terkoyak dan lehernya terbabat hampir putus.

   Bahkan, dia kini bergerak mendekati kedua pendekar muda dari Karang Se-tra itu.

   Sedangkan Cantraka yang berada di tem-pat agak jauh, ikut pula terlongong-longong me-nyaksikan semua ini "Bagaimana, Kakang...?"

   Tanya Pandan Wangi.

   Rangga hanya menggumam perlahan.

   Dia mengerti, pertanyaan Pandan Wangi tadi dituju-kan untuk mencari tahu bagaimana cara mele-nyapkan Siluman Penghisap Darah itu.

   Namun, Rangga sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya kini.

   Tampaknya kedua pendekar muda itu me-mang mengalami kesulitan dalam menghadapi In-ten yang sudah sepenuhnya menjadi manusia si-luman ini.

   Perutnya sudah tercabik dan lehernya sudah terbabat hampir putus, tapi masih juga dia mampu berdiri tegak, seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan keadaan tubuhnya.

   Sementara itu, perlahan-lahan Inten men-gangkat tangan kanannya ke atas, lalu mengusap lehernya yang terbelah hampir buntung itu.

   Tam-pak asap tipis berwarna merah agak kehitaman mengepul dari lehernya.

   "Ghrrr...!"

   Sambil menggerung perlahan, Inten meng-geleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, lalu bergerak terdongak menatap langit.

   Dan begitu tangan kanannya bergerak turun, terlihat leher yang tadi sudah terbabat hampir putus itu kini telah menyatu rapat kembali.

   Tangan yang terus bergerak turun itu ber-henti di perutnya yang berlubang.

   Kemudian tan-gannya digerak-gerakkan, mengusap perutnya.

   Asap merah kehitaman kembali terlihat mengepul dari perut yang berlubang itu, Dan perlahan-lahan lubang di perut itu pun menghilang.

   Semua yang dilakukan Siluman Penghisap Darah itu tidak luput dari perhatian Rangga dan Pandan Wangi.

   Kedua pendekar muda ini benar-benar terlongong melihat suatu keanehan yang be-lum pernah disaksikan itu.

   "Hik hik hik...!"

   Siluman Penghisap Darah terkikik serak dan mengerikan.

   Suara tawa yang begitu keras itu menyebar ke seluruh penjuru mata angin.

   Dan, pada saat perempuan siluman itu berhenti terta-wa, dia langsung menatap tajam pada kedua pen-dekar muda di depannya.

   Bibirnya terkatup rapat.

   Gerahamnya bergelemetuk, seakan-akan menahan kemarahan yang meluap-luap di dalam dada.

   Ke-mudian perlahan kakinya bergerak mendekati Rangga dan Pandan Wangi.

   "Ghraaaugkh...!"

   Tiba-tiba perempuan siluman itu melompat cepat sambil menggerung dahsyat. Kedua tangan-nya terjulur turus ke depan, dengan jari-jari tangan meregang kaku bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuh mangsanya.

   "Menyingkir, Pandan!"

   Seru Rangga tiba-tiba.

   "Hup!"

   "Hap!"

   Pandan Wangi dan Rangga cepat-cepat ber-lompatan ke samping.

   Dihindari oleh mereka ter-jangan Siluman Penghisap Darah itu.

   Beberapa kali mereka melakukan putaran sebelum menje-jakkan kaki secara bersamaan di tanah.

   Sementa-ra, perempuan siluman itu sudah berdiri tegak kembali.

   Dan, sekarang kedua pendekar muda itu berada di sebelah kanan dan kirinya.

   "Ghrrr...!"

   Sret! Perlahan-lahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang sejak tadi selalu tersimpan dalam warangkanya di punggung.

   Seketika itu juga ca-haya biru terang yang menyilaukan mata, lang-sung memancar begitu Pedang Rajawali Sakti ke-luar dari warangkanya.

   Wuk! Wuk...! Dengan gerakan-gerakan yang indah seka-li, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedang-nya beberapa kali.

   Lalu pedang itu ditempatkan tersilang di depan dada.

   Kedua kaki Rangga ter-pentang tebar di samping, dengan lutut agak ter-tekuk.

   Tatapan matanya yang begitu tajam, terso-rot lurus pada bola mata yang memerah bagai se-pasang bola api itu.

   'Perempuan siluman ini tidak bisa dilawan dengan jurus-jurus biasa.

   Hm...,"

   Gumam Rangga dalam hati.

   Perlahan-lahan Rangga mengulurkan tan-gannya ke depan, dengan pedang masih tersilang sejajar dengan dada.

   Kemudian perlahan pula dia menempel-kan telapak tangan kirinya ke mata pe-dang yang memancarkan sinar biru terang berki-lauan itu.

   Lalu telapak tangan itu bergerak meng-gosok sampai ke ujung, dan kembali lagi hingga ke pangkal tangkainya.

   "Hap!"

   Cepat sekali Rangga menarik pedangnya kembali ke dekat dada.

   Lalu, secepat itu pula di-hentakkannya ke depan, hingga ujungnya tertuju lurus ke arah dada Siluman Penghisap Darah, sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur yang meledak di siang hari.

   "Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!"

   Slap! Seketika itu juga, secercah cahaya biru te-rang berkilauan meluruk deras bagai kilat ke arah Siluman Penghisap Darah.

   Begitu cepat sinar biru itu meluncur, sehingga perempuan siluman itu ti-dak bisa lagi bergerak menghindar.

   Dan tanpa da-pat dicegah lagi, sinar biru itu langsung menghantam dan menyelimuti seluruh tubuh Siluman Penghisap Darah.

   "Ghraaagkh...!"

   Sambil meraung dahsyat, Siluman Penghi-sap Darah menggeliat-geliat di dalam selubung bi-ru yang memancar dari ujung Pedang Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga terus berdiri tegak, den-gan kedua kaki terpaku kuat dan merentang agak lebar di tanah.

   "Hih...!"

   Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak ke depan dada dengan jari-jari yang me-rapat kuat.

   Ujung ibu jarinya menempel di tengah-tengah dada yang sedikit berbulu itu.

   Tampak bu-tiran-butiran keringat menitik deras dari kening dan lehernya.

   Kelihatan jelas sekali bahwa Rangga mengerahkan seluruh kemampuan aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menandingi perlawanan Silu-man Penghisap Darah.

   Bresss! Tiba-tiba kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti amblas ke dalam tanah hingga sampai ke lu-tut.

   Dan ini membuat Pandan Wangi terkejut se-tengah mati.

   Belum pernah dia melihat Rangga berlaku seperti ini dalam mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat itu.

   "Ghraaagkh...!"

   Siluman Penghisap Darah terus mengge-liat-geliat sambil meraung-raung keras menggele-gar di dalam selubung cahaya biru yang semakin kuat memancar dari ujung pedang Pendekar Ra-jawali Sakti.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Tiba-tiba Rangga menghentakkan pedang-nya ke atas. Seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedangnya lenyap. Dan bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali menghen-takkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

   "Hiyaaa...!"

   Slap! Glarrr...! "Ghraaaugkh...!"

   Ledakan dahsyat menggelegar terdengar bersamaan dengan memancarnya kembali cahaya biru dari pedang Pendekar Rajawali Sakti, yang langsung menghantam tubuh Siluman Penghisap Darah. Saat itu juga, terdengar raungan keras memekakkan telinga.

   "Hiyaaa...!"

   Tiba-tiba Rangga melesat ke udara dan langsung meluruk deras sambil membabatkan pe-dangnya ke tubuh Siluman Penghisap Darah.

   Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras menggele-gar begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti meng-hantam tubuh yang masih terselimut cahaya biru terang itu.

   Dan bersamaan dengan melentingnya tubuh Rangga ke belakang, cahaya biru itu pun seketika lenyap.

   Tampak Pedang Rajawali Sakti sudah kembali bersarang di dalam warangkanya di punggung.

   Sementara itu terlihat Siluman Penghisap Darah berdiri tegak mematung, dengan kelopak mata ter-beliak lebar dan mulut ternganga.

   Pada saat itu juga....

   "Hap! Hiyaaa...!"

   Sambil berteriak keras, Rangga melompat cepat.

   Langsung diberikannya satu tendangan ke-ras menggeledek ke arah dada perempuan siluman itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.

   Tak pelak lagi, ten-dangan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menghantam tepat di bagian dada Siluman Peng-hisap Darah.

   Glarrr...! "Hup!"

   Bersamaan dengan melentingnya tubuh Rangga ke belakang, terdengar lagi ledakan dah-syat menggelegar. Dan begitu kedua kaki Rangga menjejak di tanah, tampak tubuh Siluman Penghi-sap Darah telah hancur menjadi debu.

   "Phuuuh...!"

   Rangga menghembuskan napas dengan kuat dan panjang.

   Dia berdiri tegak memandangi debu hitam yang tersebar sekitar satu batang tombak di depannya.

   Tubuh Siluman Penghisap Darah sudah hancur.

   Sungguh dahsyat hasil yang diakibatkan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat te-rakhir itu.

   "Oh, Kakang...!"

   Pandan Wangi berlari menghampiri Pende-kar Rajawali Sakti dan langsung menghambur memeluknya, tanpa menghiraukan keringat yang membanjiri seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.

   Sedangkan Cantraka, yang sudah bisa bangkit berdiri, tampak melangkah tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit pada lukanya.

   Diham-pirinya kedua pendekar muda itu.

   Perlahan Pandan Wangi melepaskan pelu-kannya ketika Cantraka sudah dekat.

   Kemudian Cantraka tersenyum lebar sambil menyodorkan tangannya, yang langsung disambut Pendekar Ra-jawali Sakti dengan senyuman yang lebar juga.

   Mereka berjabatan tangan dengan erat dan hangat sekali.

   "Terima kasih. Kau telah membebaskan kami semua dari siluman itu,"

   Ucap Cantraka.

   "Pengorbananmu pun tidak kecil, Cantra-ka,"

   Ujar Rangga, yang tampak tidak mau menge-cilkan arti perjuangan Cantraka.

   "Seluruh penduduk Desa Gedangan pasti gembira menyambut kemenangan ini, Rangga."

   "Ah, terima kasih sekali. Tapi kami harus segera pergi. Masih ada urusan lain yang harus diselesaikan,"

   Tolak Rangga dengan halus.

   "Ah, sayang sekali...,"

   Desah Cantraka.

   Rangga melepaskan jabatan tangannya, kemudian melangkah mundur dua tindak.

   Semen-tara itu Pandan Wangi sudah mengambil kuda-kuda mereka yang tadi ditinggalkannya tidak jauh dari tempat ini.

   Gadis itu sudah berada di pung-gung kuda putihnya.

   Dan, diserahkannya tali ke-kang kuda hitam Dewa Bayu kepada Pendekar Ra-jawali Sakti.

   Sedangkan Cantraka tidak bisa lagi menahan kepergian kedua pendekar, muda itu.

   "Sampaikan salam hormatku pada Ki Le-gik, Cantraka,"

   Ucap Rangga.

   "Akan kusampaikan, Rangga,"

   Sahut Cantraka.

   "Hiya!"

   "Yeaaah...!"

   Rangga dan Pandan Wangi segera mengge-bah kuda mereka dengan cepat meninggalkan te-pian Desa Gedangan.

   Sementara itu Cantraka ma-sih berdiri mematung sambil memegangi perutnya yang sobek.

   Tapi, tidak ada lagi darah yang keluar, karena dia sudah diberikan totokan yang cukup kuat oleh Pandan Wangi tadi.

   Cantraka masih berdiri mematung memandangi kedua pendekar muda yang semakin jauh meninggalkannya.

   Mere-ka pergi untuk mengemban tugas berikutnya se-bagai pendekar penegak keadilan.

   SELESAI Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Lovely Peace
http.//duniaabukeisel.blogspot.com

   

   

   

Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Rajawali Sakti Kemelut Pusaka Leluhur

Cari Blog Ini