Ceritasilat Novel Online

Geger Di Kayangan 1


Pendekar Romantis Geger Di Kayangan Bagian 1


GEGER DI KAYANGAN Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit SATU KALI ini kayangan dibuat heboh oleh kasus skandal yang memalukan para dewa.

   Batara Kama yang berjuluk Dewa Penyebar Rindu, kepergok sedang mojok dengan bidadari Subang Wulan.

   Padahal bidadari Subang Wulan adalah bidadari kesucian, yang tidak boleh ternoda sedikit pun.

   Bahkan ditaksir dalam hati pun tidak boleh.

   Subang Wulan adalah lambang kebersihan dan kehormatan para bidadari.

   Karena terperangkap jurus 'Angin Rindu' dari Batara Kama, maka bidadari Subang Wulan mabuk kepayang.

   Ia membalas kerlingan mata Batara Kama, bahkan membalas cubitan lembut dari sang Dewa Penyebar Rindu itu.

   Akhirnya mereka berdua lari ke arah pojok taman dan berhaha-hihi di sana.

   Kebetulan waktu itu Dewa Pengawas sedang lakukan patroli keliling, sehingga Batara Kama dan Subang Wulan tertangkap basah sedang saling mengadu mulut dan bersilat lidah.

   Mereka segera ditangkap dan diadili.

   Dalam pengadilan para dewa dan bidadari, Batara Kama sempat menga-jukan pembelaannya di depan siding.

   "Menurut Kitab Undang-undang Hukum Kayangan, yang disebut pelang-garan cinta adalah apabila pasangan itu sudah melakukan hubungan intim tanpa selembar benang pun di tubuhnya. Sedangkan apa yang kulakukan dengan Subang Wulan masih dalam batas-batas berpakaian rapi, Tuan Hakim!"

   Subang Wulan juga mengeluarkan pembelaannya.

   "Betul, Paduka Hakim. Saya belum diapa-apain kok. Cuma dicium saja. Sedangkan 'jimat' saya masih awet, tidak robek, tidak ternoda, tidak dijamah, sedikit pun tidak. Kalau tak percaya boleh diperiksa."

   Hakim para dewa berkata.

   "Pemeriksaan tidak mungkin dilakukan karena hari ini laboratorium tutup. Yang jelas tindakan kalian telah melanggar kode etik kayangan. Kalian layak mendapat bintang, eh... layak mendapat hukuman sesuai pasal lima belas ayat dua yang berbunyi. 'barang siapa mojok dengan sengaja ataupun tidak sengaja tanpa seizin Sang Maha Dewa, maka orang tersebut dianggap melanggar kode etik kayangan dan praktis dianggap juga mencemarkan kesucian kayangan.' Sedangkan menuruti kitab undang-undang yang berlaku di sini, pelanggaran seperti itu dikenakan denda kurungan lima ribu tahun atau menebusnya dengan cara dibuang ke bumi!"

   "Interupsi!"

   Seru dewa yang berpakaian serba coklat itu. Tangannya diacungkan ke atas, sehingga para peserta sidang memandang kepadanya.

   "Saya sebagai pembela tertuduh merasa keberatan dengan ancaman hukuman yang Paduka Hakim bacakan tadi."

   "Apa alasan keberatanmu, Pembela?"

   "Tidak benar kalau hanya karena skandal mojok saja sampai membuat si tertuduh harus dibuang ke bumi! Dalam kitab Undang-undang Kehormatan, pasal seratus satu koma lima, ayat tiga dikatakan; 'Pembuangan ke bumi bisa dilakukan apabila tertuduh melanggar kesalahan sampai tiga kali. Sedangkan Batara Kama baru satu kali ketahuan mojok dengan bidadari. Perbuatan mojoknya yang tujuh kali kan tidak ketahuan oleh petugas, jadi Batara Kama tidak layak untuk dibuang ke bu-mi!"

   Suara gemuruh menyebar di ruang sidang para dewa. Paduka Hakim mengetok-ngetok telunjuknya ke meja, suaranya keras, seperti ketokan palu. Dok, dok, dok...! Lalu suasana menjadi tenang karena hadirin pada bungkam.

   "Jadi ternyata Batara Kama sudah melakukan perbuatan mojok seperti itu sebanyak delapan kali?!"

   "Benar!"

   Seru Pembela.

   "Tapi yang ketahuan kan hanya satu kali!"

   "Hukuman semakin parah. Kami baru tahu kalau Batara Kama melakukan pelanggaran sampai delapan kali."

   Batara Kama melirik Pembela dengan sengit lalu berkata.

   "Tugasmu itu meringankan hukumanku, bukan memberatkan!"

   "Wah, maaf... aku keceplosan ngomong!"

   Pembela tampak sedih.

   "Paduka Hakim...,"

   Seru seorang bidadari berbaju ungu.

   "Batara Kama memang layak dihukum berat, karena saya sendiri pernah diajaknya mojok karena jurus 'Angin Rindu'-nya. Tapi tidak banyak, hanya empat kali."

   Salah seorang wanita cantik yang juga termasuk bidadari berpakaian putih mengacungkan tangannya.

   "Saya juga pernah, tapi baru dua kali!"

   Satu bidadari berdiri dan berseru.

   "Jujur saja, saya juga pernah diajak mojok, tapi tidak sampai berbuat yang begitu-begitu. Cuma sebatas 'cuci muka' saja."

   "Berapa kali?"

   "Tak banyak. Cuma delapan belas kali."

   "Waaaaah...,"

   Semua yang hadir geleng-geleng kepala. Subang Wulan tiba-tiba mendekati Batara Kama dan menamparnya. Plaak...! "Pendusta! Kau bilang belum pernah berbuat begitu, ternyata kata-katamu itu hanya gombal semata!"

   Batara Kama diam, hanya mengusap pipinya yang merah karena tamparan bertenaga dalam itu. Sebelum Subang Wulan berkata lagi, telah terdengar seruan seorang bidadari berpakaian jingga yang langsung maju ke depan meja Paduka Hakim.

   "Saya setuju kalau Batara Kama dibuang ke bumi, karena dia telah mengkhianati saya dengan perbuatannya yang baru sekarang terbongkar di depan sidang. Saya sakit hati dengan Batara Kama. Saya terbujuk dan terayu olehnya, sampai saya jatuh cinta dan menyerahkan segala-galanya, termasuk cincin peninggalan orangtua saya juga saya serahkan. Ternyata dia berjiwa playboy, mata keranjang, don yuan, dan pokoknya memuakkan!"

   Paduka Hakim geleng-geleng kepala. Para hadirin bergemuruh lagi mengomentari laporan-laporan tersebut. Setelah Hakim mengetukkan jarinya lagi, suasana menjadi hening, maka terdengarlah ucapan Paduka Hakim yang bernada tegas.

   "Hukuman pembuangan tetap harus dilakukan untuk Batara Kama dan Subang Wulan. Maka dengan ini...,"

   Kata-kata itu segera terpotong.

   "Interupsi! Saya sebagai Dewa Jaksa Penuntut merasa keberatan jika Subang Wulan ikut dibuang ke bumi. Karena Subang Wulan termasuk salah satu dari sekian korban yang dirugikan oleh tindak pelecehan cinta dari Batara Kama!"

   "Jadi bagaimana keputusanmu?"

   "Jangan buat Subang Wulan menderita rugi dua kali; itu namanya hukum yang tidak adil. Yang jadi korban jangan dirugikan lagi. Yang menjadi tertuduh itulah yang wajib menjalankan hukuman!"

   "Usulmu diterima, Dewa Jaksa Penuntut!"

   Kata Paduka Hakim.

   "Dewa Pembela,"

   Bisik Batara Kama yang memang tampan rupanya itu.

   "Lakukanlah pembelaan untukku. Jangan diam saja!"

   "Interupsi!"

   Seru Dewa Pembela.

   "Kami keberatan jika hukuman untuk Batara Kama adalah pembuangan atas dirinya. Sebab, jika Batara Kama dibuang ke bumi, maka citra dan kehormatan para dewa akan menjadi cemar dan diketahui oleh manusia! Ini sama saja memalukan seluruh warga kayangan. Kami mohon keputusan pengadilan ditinjau kembali demi menjaga nama baik para dewa. Sebab bagaimanapun juga Batara Kama masih termasuk dewa. Manusia akan mengecam kita habis-habisan jika ada dewa melakukan pelecehan cinta sampai dibuang ke bumi. Kecuali jika Batara Kama itu bukan dewa, tak ada masalah lagi; mau dibuang kek, digantung kek, dipancung kek, terserah! Tidak akan menimbulkan pencemaran di kalangan para dewa!"

   "Kalau begitu, Batara Kama dicoret dari daftar nama-nama dewa!"

   "Setujuuu...!"

   Seru yang lain. Batara Kama melirik Dewa Pembela.

   "Lagi-lagi kau memberatkan tuduhanku! Gara-gara kau, aku bukan aja dijatuhi hukuman malah dicoret dari daftar para dewa! Sudah, aku tak perlu kau bela lagi!"

   "Wah... salah lagi kata-kataku?!"

   Dewa Pembela tampak sedih dan menyesal. Paduka Hakim berseru.

   "Putusan pengadilan mutlak menyatakan Batara Kama sebagai pihak bersalah dengan tuduhan; Mencemarkan nama para dewa, mencemarkan kesucian para bidadari dengan pelecehan cintanya, merendahkan martabat dan kesucian kayangan, serta merugikan beberapa bidadari yang terbuai rayuan asmara gombalnya. Maka dengan ini Pengadilan Tertinggi Kayangan menjatuhkan hukuman kepada Batara Kama berupa pembuangan dan pencoretan nama!"

   "Interupsi!"

   Kata Batara Kama sendiri.

   "Saya minta grasi!"

   "Keputusan hukuman belum dijatuhkan sudah minta grasi?! Tidak bisa!"

   Tegas Paduka Hakim. Lalu ia melanjutkan membacakan hasil kepu-tusannya.

   "Atas perbuatannya yang melanggar kode etik kayangan ini, maka dengan ini Batara Kama kami nyatakan dibuang ke bumi dan berubah wujud menjadi manusia biasa; dengan segala sifat dan kodrat manusia ada padanya!"

   Hadirih bertepuk tangan. Batara Kama tundukkan kepala.

   "Tetapi...,"

   Lanjut Paduka Hakim.

   "Karena Batara Kama pernah berjasa kepada masyarakat kayangan, maka seluruh kekuatan ilmu kedewaan dicurahkan kepadanya sebagai bekal kehidupannya di permukaan bumi."

   Batara Kama segera angkat kepala dan memandang Paduka Hakim, ia tampak tegang karena punya kegembiraan tersendiri, yaitu akan menerima kekuatan ilmu kedewaan. Dewa Pembela berseru.

   "Sampai berapa lama Batara Kama menjalani hukuman hidup sebagai manusia di permukaan bumi, Paduka?"

   "Sampai batas waktu tertentu. Batara Kama boleh kembali ke kayangan dan menjadi dewa lagi apabila ia sudah kawin dengan putri raja jin dan mampu menghasilkan keturunan. Apabila anaknya lahir, maka seluruh kekuatan kedewaan yang ada padanya akan hilang dan menitis ke anak tersebut; entah anak laki-laki atau perempuan sama saja. Anak itu sendiri akan menjadi dewa apabila ia berhasil menebus kesalahan orangtuanya dengan berbuat baik dan menjadi pembela kebenaran. Ia akan kita angkat ke kayangan apabila sudah menikah dengan warga kayangan. Barang siapa mengabdi kepada anak itu, entah menjadi pelayannya atau menjadi gurunya, maka orang tersebut berhak kita beri tempat sebagai manusia yang hidup di kayangan."

   Batara Kama terbengong memandangi Dewa Hakim yang menatapnya. Semua peserta sidang pun diam tak bersuara sedikit pun. Maka Dewa Hakim berkata lagi.

   "Karena tak ada yang mengajukan protes lagi, maka sidang akan segera ditutup. Batara Kama dibuang ke bumi sekarang juga!"

   Tok, tok, tok...! Lalu seberkas sinar putih menyilaukan turun dari langit-langit dan menerjang Batara Kama.

   Zrraaab...! Batara Kama dibungkus cahaya putih menyilaukan.

   Dalam sekejap cahaya itu pun lenyap.

   Blaab...! Batara Kama jatuh terkapar tak sadarkan diri.

   Dewa Pembela kaget dan segera meminta petugas keamanan sidang untuk menolong Batara Kama.

   "Cepat bawa dia! Dia mengalami shock berat! Bawa ke Rugada!"

   "Apa itu Rugada?"

   "Ruang Gawat Darurat! Lekas...!"

   Dewa Hakim berseru.

   "Tak perlu dibawa ke sana! Rohnya telah kukirim ke bumi, sebentar lagi raganya akan lenyap menyatu dengan rohnya di sana. Kerahkan petugas pengawas agar mengawasi dia selama di bumi!"

   Suara-suara itu sebenarnya didengar oleh Batara Kama, tapi makin lama suara tersebut makin kecil dan kian samar-samar diterima pendengarannya.

   Batara Kama merasa sedang berputar-putar memasuki terowongan cahaya.

   Ia ingin berteriak minta tolong, tapi mulutnya tak bisa digerakkan dan suaranya bagaikan hilang tak tersisa sedikit pun di tenggorokan.

   Pada saat itu muncul sesosok tubuh kurus bermata cekung, jenggotnya panjang, kumisnya juga panjang, semuanya berwarna putih uban.

   Alisnya pun panjang, sama dengan bulu matanya yang penjang berwarna putih pula.

   Sosok kurus itu mengenakan kain abu-abu membungkus tubuh dengan sisa kain menyilang kedua pundak.

   Rambut tamu yang hadir di pengadilan para dewa itu sangat tipis.

   Mungkin hanya delapan belas lembar.

   Kehadiran tokoh agak bungkuk ini membuat para dewa diam terpaku dengan mata tertuju tegang ke arahnya.

   Tokoh tersebut berjalan dari pintu masuk ruang sidang sampai mendekati meja hakim.

   "Begawan Dewa Gesang, aku mengucapkan selamat datang atas kehadiranmu di ruang sidang ini,"

   Kata Dewa Hakim.

   "Tapi apa penyebabnya sehingga kau datang sebagai tamu tak diundang di sini?!"

   "Aku menuntut keputusanmu, Dewa Hakim! Kau telah membuang anakku, Batara Kama dengan keputusan berat sebelah! Aku akan menuntutmu dengan caraku sendiri. Bersiaplah!"

   "Tunggu dulu, Begawan!"

   Cegah Dewa Hakim.

   "Keputusan ini kuambil berdasarkan kitab undang-undang yang sudah kau setujui juga pada waktu pembuatannya!"

   "Kitab undang-undang itu telah kau ubah sebagian isinya! Jika hanya kasus pelecehan cinta saja tidak ada ketentuannya yang mengatakan seorang tertuduh harus dibuang ke bumi!"

   "Itu tidak benar! Aku tidak mengubah isi kitab undang-undang ini!"

   "Omong kosong!"

   Bentak Begawan Dewa Gesang.

   "Sebagai ayah Batara Kama, aku tidak bisa menerima keputusan peradilanmu! Kalian semua bersekongkol menjauhkan Batara Kama karena ada pihak yang menginginkan jabatannya sebagai Dewa Penyebar Rindu!"

   "Jangan kau kotori kayangan dengan pembelaan sepihakmu, Begawan Dewa Gesang! Sadarlah bahwa kau telah mulai dikuasai oleh nafsu pribadi, yang mementingkan keluarga daripada tegaknya sebuah keadilan!"

   "Jangan banyak bicara! Aku sakit hati mendengar anakku dibuang ke bumi! Sebaiknya terimalah pengadilanku sendiri untukmu, Dewa Hakim!"

   Begawan Dewa Gesang segera rentangkan tangannya ke atas.

   Ketika kedua tangan kurus itu diangkat ke atas, maka datanglah angin topan yang bergemuruh dari kejauhan menuju Balai Sidang para dewa itu.

   Semua hadirin yang ada di dalam ruang persidangan menjadi cemas dan gentar.

   Mereka tahu bahwa Begawan Dewa Gesang mempunyai bekal ilmu lebih tinggi dari Dewa Hakim sendiri.

   Gemuruh angin segera memekakkan telinga mereka.

   Bangungan itu pun bergetar, dan atapnya tersingkap terbang.

   Kraaak...! Braaak...! Angin topan raksasa menyambar bangunan itu, memelintirnya menjadi remuk dan puing-puingnya terangkat terbang tak tentu arah.

   Suasana menjadi gaduh.

   Pada dewa dan bidadari segera tancapkan kaki dengan ilmu mereka yang bernama jurus 'Cakar Dewa'.

   Dengan menggunakan jurus 'Cakar Dewa' maka tubuh mereka tak bisa terbawa terbang, seakan kaki mereka tak bisa dicabut dari tempat pijakannya.

   Tetapi pakaian mereka menjadi berantakan, bahkan ada yang tercabut dari tubuh dan ikut terbawa terbang.

   Wruusss...! "Ooh...

   pakaianku?! Pakaian-ku...?!"

   Teriak bidadari yang segera jongkok dan mendekam karena pakaiannya tercabut lepas dari raganya.

   "Begawan! Hentikan perbuatanmu!"

   Teriak Dewa Hakim yang berlindung dengan cara merapatkan kedua tangannya di dada, tubuhnya bergerak-gerak bagaikan menahan kekuatan yang ingin menerbangkannya.

   Seruan itu tidak dihiraukan oleh Begawan Dewa Gesang.

   Ruang persidangan hancur lebur.

   Tubuh Begawan Dewa Gesang gemetar karena masih keluarkan jurus penghadir badainya.

   Tiba-tiba Dewa Hakim berseru kepada yang lain.

   "Serang dia!"

   Para dewa dan bidadari yang hadir di situ segera melepaskan pukulan bersinar hijau muda.

   Dari telapak tangan mereka melesat selarik sinar hijau menghantam ke tubuh Begawan Dewa Gesang.

   Clap, clap, clap...! Berlarik-larik sinar hijau menghantam telak Begawan Dewa Gesang dari berbagai arah.

   Tetapi Begawan Dewa Gesang segera sentakkan kaki kanannya satu kali.

   Dug...! Tubuhnya memancarkan sinar merah berlarik-larik ke segala arah.

   Sraab! Sinar-sinar merah itu menghantam tubuh mereka, membuat mereka saling terbang terpental tunggang langgang.

   Teriakan mereka saling bersahutan.

   Kayangan menjadi guncang bagai dilanda kiamat.

   Dewa Hakim sendiri sempat tersentak mundur delapan tindak.

   Tetapi ia segera memutar kedua tangannya dan dari kedua telapak tangan keluar sinar biru besar yang segera mengurung tubuh Begawan Dewa Gesang.

   Slaaap...! Suuuuzzz...! Tubuh Begawan Dewa Gesang tidak memancarkan sinar merah lagi.

   Sinar merahnya bagaikan dipadamkan oleh sinar biru yang melapisi keadaan sekelilingnya dalam jarak lingkar sekitar empat langkah.

   Tetapi Begawan Dewa Gesang masih kurang puas, sehingga kedua tangannya segera disatukan di atas kepala dan pertemuan kedua telapak tangan itu memancarkan sinar putih perak ke berbagai arah.

   Sinar putih perak itu menghantam sinar biru pengurung diri.

   Zraab...! Jegaaaar...! Kayangan semakin mawut.

   Mereka yang tidak berada di tempat itu pun ikut terpental tunggang langgang.

   Tanaman-tanaman di taman bidadari menjadi rusak, bahkan ada beberapa yang tumbang.

   Air kolam taman muncrat ke atas bagaikan disentakkan oleh tenaga dalam dari bagian bawahnya.

   Ledakan amat dahsyat tadi menimbulkan nyala api yang berkobar di udara, terbang ke sana-sini bagai memburu mangsa.

   Namun para dewa dan bidadari yang ingin diterjang kobaran api segera saling rapatkan kedua tangan di dada dan tubuh mereka mengeluarkan asap berhawa sejuk.

   Ada yang sampai sekujur tubuhnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju, sehingga dari kejauhan tampak seperti segumpal kapas.

   Begawan Dewa Gesang tak tahu, bahwa akibat dari murkanya itu, bumi pun menjadi berguncang bagai dilanda gempa.

   Lautan bergolak, batu-batu karang retak, tanah di sana-sini pun mengalami kelongsoran.

   Pohon-pohon tumbang, dan beberapa bangunan tempat hunian manusia ada yang roboh.

   Mereka yang hidup di bumi menganggap keadaan itu sebagai keadaan datangnya klamat.

   Mereka saling ketakutan dan mencari keselamatan masing-masing.

   Mata air di beberapa tebing jebol, tanggul-tanggul pun pecah, sehingga banjir melanda di beberapa tempat di permukaan bumi.

   Murka sang ayah yang membela anaknya dari hukum pembuangan itu hampir saja membuat keadaan bumi porak poranda, terbelah menjadi beberapa bagian.

   Untunglah murka itu segera berhasli dihentikan oleh munculnya tokoh berpakaian kain putih bintik-bintik emas.

   Tokoh itu berparas tampan, walau kelihatan sudah lanjut usia.

   Seluruh rambutnya putih rata, panjang sebatas punggung.

   Kehadirannya sangat tiba-tiba, berdiri di depan Begawan Dewa Gesang.

   Kedua tangannya segera diangkat sebatas dada dalam posisi telapak tangan terbuka ke depan.

   Segala sinar yang keluar dari tubuh Begawan Dewa Gesang terhisap masuk ke telapak tangan tokoh yang baru datang itu.

   Bahkan kekuatan hembusan angin membadai itu pun bagai terhisap seluruhnya ke telapak tangannya.

   Dalam waktu beberapa kejap saja suasana menjadi hening dan tenang kembali.

   Getaran dan guncangan hilang.

   Api yang berkobar-kobar lenyap tersedot dua telapak tangan si tokoh berpakaian putih bintik-bintik emas itu.

   Pada dewa dan bidadari pun menjadi lega melihat kemunculan tokoh tersebut.

   Bahkan mereka segera menunduk dengan badan sedikit bungkuk dan kedua kaki berdiri rapat.

   Mereka memberi hormat kepada tokoh yang datang di depan Begawan Dewa Gesang.

   Bahkan sang Begawan sendiri tampak segera tundukkan kepala memberi hormat dalam sikap.

   "Murkamu kelewat batas, Dewa Gesang! Kau membuat kayangan menjadi neraka. Jika kayangan seperti ini, lalu apa yang terjadi di permukaan bumi? Lebih parah dari keadaan di sini, Dewa Gesang!"

   "Mohon ampun, Sang Hyang Guru Dewa...,"

   Ucap Begawan Dewa Gesang dengan sopan dan sangat hati-hati.

   Rupanya tokoh yang hadir menenangkan suasana itu adalah Sang Hyang Guru Dewa, tokoh tertinggi para dewa yang berpenampilan kalem dan bersikap bijak.

   Tidak ada yang berani melawan Sang Hyang Guru Dewa, karena bukan saja beliau adalah senior mereka, namun juga beliau adalah guru bagi para dewa-dewi.

   Tentu saja Begawan Dewa Gesang takut kepadanya.

   Kedua kakinya sampai gemetaran.

   Karena ia tahu, sekalipun Sang Hyang Guru Dewa orangnya kalem, wajahnya selalu ramah, tapi sekali menjatuhkan hukuman tak tanggung-tanggung.

   "Setinggi apa pun ilmumu, Dewa Gesang, masih ada yang lebih tinggi lagi. Demikian juga dengan diriku, setinggi apa pun ilmuku, masih ada yang berilmu lebih tinggi lagi, yaitu Sang Maha Dewa Hyang Widi Wasa! Jadi jangan kau takabur dengan ilmumu, sehingga melepaskannya secara semena-mena hanya untuk menuruti emosimu belaka."

   "Saya membela anak saya, Sang Hyang Guru."

   "Memang, seorang ayah punya hak melakukan pembelaan terhadap anaknya. Tetapi hendaknya pembelaan itu berdasarkan suatu pertimbangan salah dan benar. Jika Batara Kama memang tidak bersalah, kau berhak membelanya. Tapi Jika Batara Kama bersalah, jangan sekali-kali membelanya. Karena itu sama saja seorang ayah menjebloskan anaknya ke lumpur kesesatan. Pembelaanmu terhadap anak yang salah sama saja membunuh anak sendiri, membutakan mata hatinya untuk tidak bisa melihat lagi mana yang benar dan yang salah! Sekalipun Batara Kama adalah anak dewa senior, tapi jika ia bersalah harus menjalani hukuman yang berlaku. Jangan mentang-mentang dia anak dewa senior, lalu dia bebas dari segala tindakan yang tidak benar karena pembelaanmu! Salah kaprah hidupnya jika kau hanya menggunakan sistem keluarga!"

   "Sekali lagi, saya mohon ampun, Sang Hyang Guru."

   "Ya. Kuampuni. Tapi kembalikan lagi suasana di kayangan menjadi seperti semula! Aku tak ingin kayangan rusak hanya gara-gara emosimu yang salah!"

   Sang Begawan kian tertunduk karena rasa bersalahnya.

   DUA SEBUAH danau di puncak bukit mempunyai air biru bening.

   Bukan karena danau itu pernah kemasukan blau pemutih pakaian, tapi karena di dalam danau itu ada batu sebesar anak sapi yang berwarna biru bening.

   Kebiruan warna batu itulah yang memancar dalam bentuk bias cahaya dan membuat air danau itu berwarna biru bening.

   Para pengembara ataupun para pelancong menyebut bukit itu dengan nama Bukit Biru, dan danau itu disebutnya Danau Kedamaian.

   Sebab barang siapa memandang beningnya air danau itu, hatinya akan memancarkan kedamaian.

   Konon amarah seseorang yang sampai membuat telinganya merah legam dapat reda jika cuci muka dengan air danau itu.

   Yang akan diceritakan dalam kisah ini bukan bagaimana caranya cuci muka, melainkan tergeletaknya sesosok tubuh yang ada di tepi danau itu.

   Perlu diketahui, danau itu dikelilingi oleh pepohonan rindang.

   Tempatnya teduh, semak-semaknya tidak berduri, rumputnya halus, enak untuk bersantai di sana.

   Sekalipun banyak pepohonan rindang tumbuh mengelingi danau, tapi tak satu pun daun kering yang jatuh di permukaan air danau itu.

   Sekalipun angin berhembus menerbangkan daun daun kering, tapi air danau itu tak terjamah oleh sang daun.

   Tak ada kotoran masuk ke danau tersebut, sehingga danau itu tetap bersih dan enak dipandang mata, terutama bagi orang yang tidak tunanetra.

   Kabarnya, tidak semua orang bisa mencapai danau itu.

   Pada umumnya, para pengembara dan pelancong yang berhati bersih saja yang bisa menemukan danau tersebut.

   Benar dan tidaknya, sulit dibuktikan.

   Yang jelas, di tepi danau yang luasnya tak seberapa itu sekarang sedang dipakai tidur seorang lelaki muda, kira-kira berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.

   Pemuda itu berpakaian kumuh.

   Bajunya warna putih kusam.

   Banyak noda coklat bekas makanan atau minuman di bajunya! Pokoknya baju putih berlengan panjang itu kotor.

   Bagian tengkuk dan ujung lengan kanannya robek sedikit.

   Mungkin habis kecantol duri atau digigit macan.

   Celana pemuda itu warna hitam belel.

   Juga kumuh dan kotor.

   Bagian pantatnya robek sedikit.

   Entah karena menduduki paku atau habis diseruduk banteng.

   Pokoknya penampilannya nggak keren.

   Cenderung mirip orang susah hidup.

   Tapi dilihat dari badannya, ia tampaknya seorang pemuda yang cukup banyak menelan vitamin.

   Badannya kekar, walau tidak berotot seperti binaragawan.

   Tingginya sedang-sedang saja, tidak membuatnya menjadi jangkung.

   Kulitnya coklat muda.

   Wajahnya bersih tanpa jerawat.

   Kumisnya tak ada.

   Mungkin memang tak mau tumbuh atau memang dibuat supaya tak tumbuh.

   Pokoknya wajah bersih itu tergolong ganteng.

   Hidungnya bangir, matanya sedikit besar tapi indah.

   Tampak jantan.

   Sayang kalau harus dicolok pakai lidi.

   Rambutnya hitam, panjang sebatas punggung, sedikit bergelombang.

   Rambut itu diikat dengan ikat kepala warna putih.

   Sama dengan ikat pinggangnya yang juga berwarna putih, terbuat dari kain agak tebal dan kusam.

   Ketika pemuda itu terbangun dari tidurnya, ia segera terkejut dan memandangi alam sekitarnya.

   Ia juga memeriksa pakaiannya dan merasa aneh dengan pakaian sekumal itu.

   Sebelum hatinya ngomong apa-apa, ia sudah lebih dulu mendengar orang berkata.

   "Ingat, namamu sekarang adalah Yuda Lelana. Kau adalah manusia...."

   "Yang bilang kucing siapa?"

   Gerutu pemuda itu segera menyadari bahwa dirinya sebenarnya adalah dewa yang telah dibuang dari kayangan.

   Batara Kama kini berganti nama Yuda Lelana.

   Orang yang bicara itu tak tampak wujudnya.

   Yuda Lelana tahu, suara itu adalah suara Sang Hyang Guru Dewa.

   Sekalipun tanpa telepon seperti zaman sekarang, tapi Yuda Lelana masih bisa bicara dengan Sang Hyang Guru Dewa yang ada di kayangan.

   Rupanya pemuda tanpa senjata itu mengajukan protes kepada pihak para dewa.

   "Mengapa aku diturunkan di dekat danau ini? Mengapa pakaianku mirip gelandangan? Apa di kayangan sudah kehabisan busana model terbaru?"

   "Kau harus menjalani bertapa yang dinamakan Tapa Melarat!"

   "Apakah tidak bisa diganti dengan Tapa Kaya saja? Tapa kok melarat?!"

   Ia bersungut-sungut.

   "Tapa Melarat gunanya untuk membawa alam kehidupanmu sebagai Yuda Lelana menuju ke suatu tempat. Di tempat itulah kelak kau akan menemukan kunci menuju jati dirimu kembali."

   "Kalau aku merasa enak menjadi manusia, aku tidak mau jadi dewa lagi!"

   Katanya dengan jengkel sambil berdiri, lalu bercermin di tepian danau. Hatinya membatin.

   "Ganteng juga sih. Tapi untuk apa jadi cowok ganteng kalau melarat. Nggak bakalan disukai sama cewek-cewek!"

   Rupanya kata-kata hati itu pun didengar pula oleh Sang Hyang Guru Dewa.

   Bukan karena Sang Hyang Guru Dewa seorang paranormal yang bisa mendengar suara batin dan membaca pikiran manusia, tapi karena memang dia guru dari segala kekuatan batin para dewa, makanya gampang saja mendengarkan suara batin Yuda Lelana.

   Ia pun segera berkata kepada anak muda yang tampak sudah matang itu.

   "Kaya atau miskin bukan ukuran mendekati seorang gadis. Yang penting bagaimana sikapmu di depan mereka. Tak perlu salting, tak perlu over akting, kalem-kalem saja. Maka gadis-gadis itu akan menaruh simpati padamu."

   "Apakah aku juga mempunyai kekuatan daya pikat untuk membuat para gadis tergila-gila padaku, Guru?"

   "Ya. Kau mempunyai ilmu pemikat. Tapi karena kau sebenarnya dewa, maka kau tidak boleh mengumbar ilmu pemikat sembarangan. Nanti yang rugi kau sendiri. Karena tugas utamamu di bumi bukan untuk koleksi cewek, tapi untuk berbuat kebajikan! Ingat, berbuat kebajikan! Itu tugas utamamu."

   "Iya, iya... gue inget!"

   Gerutunya sambil bersungut-sungut.

   "Ingat pula, bahwa proses penuaanmu akan lebih cepat daripada manusia biasa,"

   Kata suara Sang Hyang Guru Dewa.

   "Lho, kok gitu? Bukannya aku punya ilmu awet muda?"

   "Memang. Tapi ilmu itu tidak berfungsi bagi dirimu. Sebab jika tanpa proses penuaan yang lebih cepat, kau akan enak-enakan hidup di bumi menikmati masa awet mudamu. Dengan mempercepat proses penuaan, maka kau akan segera mencari tujuan utamamu, yaitu kembali menjadi dewa dengan menebus kesalahanmu semasa di kayangan, yaitu berbuat kebajikan sebanyak mungkin dan mencari seorang istri untuk menghasilkan keturunanmu. Tapi ingat, jika kau mendapatkan seorang istri harus dinikahi secara baik-baik. Tidak boleh kumpul kebo. Itu namanya perbuatan asusila. Paham?"

   "Paham deh, paham...!"

   Jawabnya dengan nada dongkol.

   "Ya, sudah... percakapan kita sampai di sini dulu. Selamat berjuang, Yuda. Dan jangan mudah menyerah menghadapi tantangan hidup sebagai manusia. Tantangan itu tidak harus dihindari tapi harus kau kalahkan. Oke?"

   "Oke sajalah!"

   Jawabnya lagi dengan wajah cemberut kesal.

   Telinga pun segera mendenging.

   Sepertinya ada sesuatu yang melesat dari dalam telinga dan lenyap entah ke mana.

   Yuda Lelana tidak pedulikan lagi denging itu, sebab ia tahu denging tersebut tanda terputusnya pulsa hubungan bicara dengan pihak kayangan.

   Tak berapa jauh dari tepat Yuda Lelana bercermin di permukaan air danau, tepatnya di lereng bukit itu, terdapat suatu peristiwa yang sudah terjadi sebelum Yuda Lelana jatuh di dekat danau tersebut.

   Di sana ada pertarungan tanpa penonton.

   Pertarungan itu terjadi di alam bebas, tanpa ring atau arena berpanggung.

   Dua tokoh berilmu pedang cukup handal sedang saling bertaruh nyawa.

   Mereka saling mengibaskan pedangnya, berusaha membuntungi kepala lawannya.

   Tapi yang terjadi adalah denting suara pedang yang saling beradu dengan cepat.

   Denting suara pedang itulah yang membuat Yuda Lelana tertarik untuk melihat apa yang terjadi di lereng bukit tersebut.

   "Jangan-jangan di bawah sana ada tukang pandai besi yang sedang bikin senjata? Tengok dulu, ah! Siapa tahu punya makanan buat pengganjal perutku!"

   Ternyata dua tokoh yang bertarung itu adalah dua wanita berpakaian lebih bersih dari pakaiannya Yuda Lelana.

   Yang satu berpakaian pinjung sebatas dada warna kuning, sama dengan celananya yang sebatas betis.

   Pinjung dan celana itu ketat dengan tubuhnya yang sekal dan sexy.

   Karena ketatnya, maka bentuk dadanya yang menonjol sekal dan menggemaskan itu terlihat jelas di mata Yuda Lelana.

   Tentu saja mata itu enggan berkedip karena memang suka dengan pemandangan yang bersifat syur seperti itu.

   Sayang sekali wanita muda yang ditaksir usianya sekitar dua puluh empat tahun itu mengenakan pakaian jubah lengan panjang warna abu-abu tipis, sehingga bentuk keelokan tubuhnya tak bisa terlihat bebas.

   "Cantik juga dia. Tahi lalat di dekat bibirnya itu yang membuatnya tampak cantik dan menawan hati. Gemas sekali aku pada bibir itu!"

   Gumam Yuda Lelana yang suka berpikiran nakal itu. Katanya lagi.

   "Tapi yang satunya lagi juga oke punya, Cing! Memang sedikit lebih tua dari yang berjubah abu-abu itu, cuma matanya tampak galak dan melambangkan suka bercinta. Bibirnya tipis tapi malah yang bentuknya kayak gitu yang bikin betah jika dipagut. Wow...! Keren!"

   Mata Yuda Lelana masih pandangi wanita yang kira-kira berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu.

   Sekalipun usianya sudah sekitar segitu, tapi bentuk tubuhnya masih menggiurkan.

   Pantatnya menonjol sekal, keras, dibungkus celana ketat warna merah darah.

   Bajunya tanpa lengan warna merah juga.

   Tapi belahan bajunya cukup lebar.

   Kalau saja bagian dadanya tidak dilapisi kain hitam dari jenis sutera, maka tonjolan di dadanya itu akan terlihat.

   Sayang dadanya ditutup kain hitam, yang membuat bagian atas dadanya saja yang tampak tersumbul putih mulus tanpa cacat.

   Bentuknya lebih besar dari milik si gadis berpakaian kuning dan jubah abu-abu itu.

   Rambut wanita berpakaian merah itu terurai lepas sebatas punggung, kepalanya diikat dengan kain merah juga.

   Rambut yang lepas terurai itu menambah daya seksinya lebih tinggi lagi.

   Yuda Lelana hanyut dalam khayalan ngeresnya untuk beberapa saat sampai tubuhnya menjadi bergidik merinding, lalu ia tarik napas dan membuang khayalan.

   Yuda Lelana sengaja tidak ikut campur dalam pertarungan itu.

   Ia hanya menjadi seorang penonton yang bersembunyi dari balik semak.

   Hanya kepalanya yang tampak nongol dari sana.

   Jarak persembunyiannya dengan pertarungan itu sekitar enam tombak.

   Jadi ia dapat melihat jelas jurus-jurus yang digunakan oleh kedua wanita itu.

   Pada satu kesempatan, si jubah abu-abu itu berhasil melompat di atas kepala lawannya, lalu pedangnya berkelebat menebas punggung.

   Wuuut...! Tapi pedang lawannya tiba-tiba bergerak ke belakang sehingga tertangkislah tebasan pedang itu.

   Traaang...! Dengan cepat si baju merah berbalik dan tangan kirinya menyentak ke atas, wuuut...! Claaap...! Sinar kuning bundar melesat menghantam tubuh si jubah abu-abu yang masih melayang turun itu.

   Melihat sinar kuning dilepaskan dari tangan si baju merah, maka si jubah abu-abu pun melepaskan sinar merah panjang dari dua jari yang disodokkan ke depan.

   Suuuuuut...! Wuuut...! Blaaar...! Benturan dua sinar menghasilkan ledakan.

   Ledakan menghasilkan geiombang.

   Gelombang menghasilkan sentakan.

   Sentakan membuat keduanya terpental dan jatuh kehiLangan keseimbangannya.

   Brruss...! "Hiaaat...!"

   Si baju merah cepat sentakkan pinggul yang membuat tubuhnya melenting naik ialu berdiri dengan dua kaki sedikit merenggang dan rendah.

   Jleeg...! Ternyata lawannya sudah lebih dulu berhasil berdiri dengan kaki berkuda-kuda kokoh.

   Pedangnya melintang di atas kepala dengan tangan kirinya terangkat di depan dada.

   Matanya menembus pandangan mata si baju merah, napasnya terengah-engah tampak sedikit sesak.

   Bukan karena punya sakit bengek, tapi karena hentakan gelombang ledak tadi memukul dadanya agak keras.

   "Kau tak akan bisa mengalahkan aku, Peluh Selayang!"

   Kata si jubah abu-abu kepada lawannya yang berbaju merah yang ternyata bernama Peluh Selayang. Ujarnya lagi.

   "Sebaiknya menyerahlah sebelum keadaanmu menjadi lebih buruk lagi. Karena jika kau tetap ngotot, aku pun akan tetap ngotot menangkapmu untuk diserahkan kepada Guru!"

   "Aku bukan orang bodoh, Kutilang Manja!"

   Hati Yuda Lelana membatin.

   "Oo... yang berjubah abu-abu itu namanya Kutilang Manja. Hmm... cantik juga nama itu. Serasi dengan wajahnya."

   Lalu cowok tampan itu kembali menyimak omongan si Peluh Selayang.

   "Kalau aku mau menghadap Guru, itu berarti aku mengaku sebagai pihak yang bersalah. Sampai mati pun aku tidak mau diserahkan kepada Guru, karena aku bukan orang yang bersalah!"

   "Jika kau tidak bersalah mengapa kau lari dari perguruan kita?"

   "Aku punya alasan lain untuk lari dari perguruan. Bukan karena aku mencuri Kitab Pusaka Jayabadra, tapi karena aku merasa kecewa dengan sikap Guru yang menganakemaskan dirimu!"

   "Kau hanya membuat-buat alasan saja, Peluh Selayang!"

   Tegas Kutilang Manja.

   Suaranya kecil tapi merdu.

   Menggelitik hati jika didengar oleh kaum lelaki.

   Sedangkan suara Peluh Selayang sedikit serak, mengusik kejantanan seorang lelaki yang mendengarnya, seperti Yuda Lelana itu.

   Suara Kutilang Manja terdengar lagi.

   "Perlu kau ketahui, Peluh Selayang... tugas yang diberikan Guru padaku bukan saja menangkapmu. Jika kau bandel, aku diperkenankan untuk membunuhmu! Menurut Guru, daripada kau berhasil mempelajari semua jurus dalam Kitab Jayabadra, ada baiknya kalau kau dibunuh saja. Karena jika ilmu dan Kitab Jayabdra berhasil kau kuasai, maka kau akan menjadi orang sesat yang sukar ditandingi! Nama perguruan pun akan jatuh, karena setiap orang tahu bahwa kau adalah murid dari Perguruan Sekar Bumi!"

   "Aku tidak mencuri kitab itu!"

   Bentaknya.

   "Jangan mengkambinghitamkan diriku, Kutilang Manja! Hilangnya kitab itu tidak ada hubungannya dengan kepergianku dari perguruan!"

   "Buktinya beberapa waktu setelah kau pergi, bumi menjadi berguncang, bencana alam datang. Itu pertanda kau telah mempelajari ilmu 'Lumbung Petaka' yang merupakan salah satu ilmu berbahaya di dalam Kitab Jayabadra!"

   "Persetan dengan tuduhan itu! Aku benar-benar tidak menguasai ilmu tersebut. Jika beberapa waktu yang lalu terjadi bencana alam, itu bukan karena ulahku! Jangan kaitkan bencana itu dengan kepergianku dari perguruan!"

   Sentak Peluh Selayang yang tubuhnya sudah berkeringat sejak tadi itu.

   Kitab Jayabadra adalah kitab pusaka milik guru mereka; Nyai Sirih Dewi.

   Salah satu ilmu berbahaya yang terdapat dalam Kitab Jayabadra adalah jurus 'Lumbung Petaka', yang apabila digunakan bisa menghadirkan bencana pada alam sekelilingnya.

   Mereka tidak tahu bahwa bencana yang terjadi belum lama ini adalah akibat murka Begawan Dewa Gesang, ayah Batara Kama yang kini menjadi Yuda Lelana itu.

   Murka yang menggegerkan kayangan, juga menggegerkan kehidupan di bumi, telah disalah artikan oleh Nyai Sirih Dewi.

   Karenanya ia mengutus murid tercin-tanya; Kutilang Manja untuk menangkap Peluh Selayang, sebab kepergian Peluh Selayang bersamaan dengan hilangnya Kitab Jayabadra.

   "Sekali lagi kuperingatkan padamu, Peluh Selayang. Menyerahlah dan jangan melawan supaya aku tidak bikin nyawamu melayang-layang!"

   "Kau pikir mentang-mentang kau menjadi anak emas Guru, maka kau bisa kalahkan ilmuku? Hmmm...! Sori aja, ya?! Bagaimanapun juga kedudukanmu masih di bawahku, Kutilang Manja. Aku adalah atasanmu! Ilmumu belum sepadan dengan ilmuku! Sebaliknya, akulah yang harus memperingatkan dirimu agar jangan coba-coba melawanku. Apalagi aku merasa tidak bersalah, mati bareng pun kujalani!"

   "Kalau begitu, terimalah jurus 'Pedang Mata Malaikat' ini! Hiaaah...!"

   Suuut...! Claaap...! Pedang ditusukkan ke depan.

   Dari ujung pedang bergagang gading itu keluar sinar merah berasap.

   Melesat cepat bagaikan tali panjang yang terulur cepat.

   Melihat jurus 'Pedang Mata Malaikat' digunakan oleh Kutilang Manja, Peluh Selayang sempat terperanjat heran.

   Sebab jurus 'Pedang Mata Malaikat' itu hanya akan diberikan oleh sang Guru jika seorang murid sudah hampir mencapai tingkat akhir dalam menuntut ilmu di Perguruan Sekar Bumi itu.

   Peluh Selayang sendiri merasa belum mendapatkan ilmu tersebut.

   Hal ini memperjelas pandangan Peluh Selayang, bahwa gurunya benar-benar menganakemaskan Kutilang Manja.

   Dengan penuh kegeraman, Peluh Selayang segera lepaskan jurus penanding sinar merah berasap itu.

   Ia mempergunakan jurus 'Pedang Mata Maling' dengan cara memegang pedang dua tangan, satu di gagang satu lagi di pucuknya.

   Pedang itu ditegakkan di depan dada dan memancarkan sinar putih kemilau ke semua arah.

   Slaaap...! Sinar merah lurus berasap itu menghantam pedangnya Peluh Selayang.

   Jraasss...! Blegaaar...! Dentuman dahsyat terjadi lagi.

   Sinar putih menyilaukan dari jurus 'Pedang Mata Maling' itu memecah lebar berubah warna menjadi merah jambu.

   Sekejap setelah bunyi ledakan menggelegar itu, sinar-sinar pada pedang mereka lenyap seketika.

   Tapi tubuh mereka saling terpental mundur.

   Tubuh Kutilang Manja bagai ada yang mendorong hingga ia terpelanting mundur sampai membentur sebuah pohon.

   Tapi keadaannya masih tetap berdiri dengan menahan napas beberapa saat.

   Sedangkan tubuh Peluh Selayang terlempar melayang bagaikan sampah daun pisang yang terbuang begitu saja.

   Brruk! Tubuh itu jatuh terbanting dengan pedang lepas dari tangannya.

   "Uuhg...!"

   Terdengar suara lirih Peluh Selayang mengerang kesakitan sambil menggeliat dalam keadaan setengah merangkak. Ia berusaha untuk berdiri, tapi tiba-tiba kepalanya tersentak maju dan mulutnya memun-tahkan darah segar.

   "Hoeek...!"

   Melihat keadaan Peluh Selayang menjadi parah, Kutilang Manja segera menyerangnya lagi untuk mem-ereskan lawannya.

   Pedangnya dikelebatkan ke sana-sini dengan cepat.

   Kemudian dari ujung pedang yang disentakkan ke depan dengan dua tangan itu, keluar sinar merah berasap seperti tadi.

   Claaap...! Tubuh wanita berpakaian serba merah itu akan hancur dihantam sinar maut dari ujung pedang Kutilang Manja.

   Namun mendadak dari arah semak-semak melesat sinar biru bagaikan piringan bergerigi.

   Berputar-putar dengan gerakan melesat amat cepat dan menghantam ujung sinar merah berasap sebelum ujung sinar itu menghantam tubuh Peluh Selayang.

   Blegaaarrr...! Ledakan yang timbul lebih dahsyat lagi dari ledakan sebelumnya.

   Hutan di situ menjadi bergetar.

   Dua pohon tumbang sebelah timur.

   Dahan-dahan banyak yang retak maupun pecah karena terkena getaran gelombang ledak yang berdaya sentak sangat tinggi itu.

   Tubuh Peluh Selayang sendiri terpental lagi, mirip boneka dari kain berisi kapas yang dilemparkan seenaknya, sedangkan tubuh Kutilang Manja juga terbang melayang tak tentu gerak, lalu jatuh terbanting membentur gugusan tanah yang jaraknya delapan langkah dari tempatnya berdiri.

   Yuda Lelana segera melompat dan bergerak cepat melebihi gerakan rusa.

   Wuuut...! Tahu-tahu ia berada di samping Peluh Selayang.

   Keadaan Peluh Selayang semakin parah.

   Matanya terbeliak-beliak hampir mau terbalik.

   Lukanya sangat berbahaya.

   Dalam keadaan terkapar ia berusaha menghirup napas dari mulutnya.

   Mulut itu tercengap-cengap mirip mulut ikan mujair mencari gelembung hawa.

   "Kasihan perempuan ini,"

   Yuda Lelana membatin.

   "Napasnya tinggal sedikit. Nyawanya sudah ada di ubun-ubun. Padahal dia belum tentu bersalah. Hmm...! Dia harus segera kutolong sebelum menjadi korban salah paham. Aku yakin dia tidak bersalah. Jika ia memang punya jurus 'Lumbung Petaka' pasti sudah digunakan untuk melawan Kutilang Manja!"

   Kemudian dengan mengeraskan dua jari tangan kanannya, Yuda Lelana menunjuk ke arah dada Peluh Selayang.

   Ujung jari itu keluarkan sinar putih bening bagaikan kaca.

   Sllaaap...! Juurrssss...! Sinar itu menghantam ulu hati, menembus beberapa kejap, lalu padam seketika.

   Zluub...! Itulah jurus para dewa yang sering digunakan untuk pengobatan, namanya jurus 'Hawa Bening', yang mampu sembuhkan luka dalam waktu amat singkat.

   Di seberang sana, Kutilang Manja terpukau melihat kehadiran pemuda berpakaian kumal itu.

   Lebih terpukul lagi setelah melihat Peluh Selayang mulai bisa bernapas longgar setelah mendapati tikaman sinar sebening kaca itu.

   Namun keadaannya yang juga merasakan panas di dada itu membuatnya lemah dan jatuh terduduk kembali.

   Yuda Lelana segera menghampirinya untuk memberikan pertolongan, karena ia dapat melihat kelemahan fisik Kutilang Manja yang cukup membahayakan keselamatannya.

   "Mau apa kau kemari?!"

   Kutilang Manja sempat memaksakan diri membentak kehadiran Yuda Lelana.

   "Kau terluka, Nona Cantik. Kau bisa mati kalau tak segera tertolong. Jantungmu mengalami pembengkakan. Pembuluh darahmu bisa pecah. Paru-parumu bisa hangus dan kering. Ususmu bisa kusut dan...."

   "Cukup! Lakukan saja apa yang kau lakukan. Aku... aku makin tak kuat. Uuhg...!"

   Kutilang Manja tersentak dan dari mulutnya keluar darah kental berwarna hitam kemerah-merahan.

   TIGA PERGURUAN Sekar Bumi menjadi tempat Yuda Lelana singgah pertama kali terbuang di bumi.

   Kehadirannya yang membawa perdamaian antara Peluh Selayang dan Kutilang Manja diterima dengan baik oleh Nyai Sirih Dewi.

   Memang pada mulanya Nyai Sirih Dewi sempat curiga, menyangka Yuda Lelana memihak Peluh Selayang.

   "Seharusnya kau tidak ikut campur dalam urusan ini, Anak Muda,"

   Ujar sang Guru yang usianya sudah mencapai delapan puluh tahun, tapi masih kelihatan tegar.

   Kulitnya berkeriput, namun tulangnya masih lurus.

   Tak ada bungkuk sedikit pun.

   Matanya masih memandang dengan tajam, setajam pisau cukur.

   Wibawa dan kharismanya masih tinggi.

   Dengan pakaian hijau tuanya Nyai Sirih Dewi menampakkan sikap kurang ramah kepada Yuda Lelana.

   Bahkan dengan nada ketus ia berkata.

   "Apa perlumu membela Peluh Selayang, sehingga kau yakin betul bahwa Peluh Selayang tidak mencuri kitab pusaka kami?"

   "Kalau dia mempunyai kitab itu dan sudah pelajari jurus 'Lumbung Petaka', tentunya perguruanmu sudah digulung habis, Nyai!"

   Jawab Yuda Lelana dengan santainya, cuek-cuek menjengkelkan. Tapi lagaknya itu diperhitungkan oleh sang Guru. Biasanya orang yang sok berlagak cuek ilmunya tinggi.

   "Alasanmu memang masuk akal, Anak Muda. Tapi aku yakin pembelaanmu terhadap Peluh Selayang karena kau naksir dia. Iya, kan?"

   Yuda Lelana tersenyum tipis.

   "Yang jelas tak mungkin aku naksir kamu, Nyai. Aku masih muda, tentu saja naksir cewek yang masih muda juga dong!"

   "Hmm...!"

   Nyai Sirih Dewi mencibir.

   "Sekarang saja kau bisa bilang begitu. Coba dulu, ketika aku masih semuda Peluh Selayang...."

   "Apakah kau juga secantik dia?"

   Potong Yuda Lelana.

   "Kau bakalan celeng kalau lihat aku masih seusia Peluh Selayang!"

   Tawa kecil Yuda Lelana terdengar mirip orang menggumam terpatah-patah.

   "Aku percaya... aku percaya...,"

   Sambil manggut-manggut.

   "Sekarang pun sebenarnya kau masih kelihatan cantik, Nyai."

   "Hmm...!"

   Nyai Sirih Dewi semakin mencibir, padahal hatinya sempat bergemuruh mendapat pujian seperti itu. Tapi ia berlagak sok jual mahal dan berkata ketus.

   "Kau tak usah memujiku, walau ucapanmu itu memang benar. Sekarang yang penting aku tidak suka dengan sikapmu yang memaksaku menerima Peluh Selayang kembali ke perguruanku. Dia kuanggap telah mencuri sesuatu yang amat berharga dariku! Kalau kau tak rela aku menuduhnya begitu, kau boleh melakukan pembelaan dengan cara apa pun!"

   "Aku hanya meluruskan kesalahpahaman saja, supaya tidak terjadi korban yang sia-sia!"

   "Lagakmu seperti orang pintar saja! Siapa namamu?!"

   "Yuda Lelana, Nyai!"

   Jawabnya polos saja.

   "Dapatkah kau membuktikan bahwa Peluh Selayang tidak mencuri kitab itu?"

   "Aku tahu apa yang tidak kau ketahui, Nyai!"

   "Hmm...! Perlu kujajal juga anak ini. Setinggi apa sih ilmunya, sok berlagak jadi pembela kebenaran di depanku!"

   Kata Nyai Sirih Dewi dalam hatinya. Kemudian ia berkata.

   "Kalau memang kau tahu apa yang tidak kau tahu, coba sekarang jawablah apa yang ada di dalam tusuk kondeku ini!"

   Nyai Sirih Dewi mencabut tusuk kondenya.

   Rambutnya yang putih tetap tergulung di tengah walau tusuk kondenya dicabut.

   Tusuk konde itu sepertinya terbuat dari logam besi berbentuk runcing, panjangnya satu jengkal.

   Pada ujung tusuk konde itu terdapat bulatan sebesar kelereng, mirip bola kecil.

   Tusuk konde itu rupanya termasuk senjata milik Nyai Sirih Dewi juga.

   Keruncingan tusuk konde itu dapat untuk melukai lawan.

   Konon lawan yang terkena tusuk konde itu walau hanya tergores dapat menderita lumpuh seketika.

   Nyai Sirih Dewi jarang mempergunakannya kecuali dalam keadaan terdesak.

   "Apa maksudmu menyuruhku menebak isi tusuk konde ini, Nyai? Mengapa bukan isi dompetmu saja yang harus kutebak?"

   "Aku tak punya dompet!"

   Katanya ketus dan cemberut.

   "Aku ingin menjajal ilmumu. Aku tidak tahu apa isi tusuk kondeku ini. Yang jelas itu senjataku. Nah, sekarang coba jawab apa yang ada di dalam bulatan kecil itu!"

   Tusuk konde warna putih mengkilap bagaikan anti karat mempunyai bobot yang cukup berat.

   Tusuk konde itu dipandangi oleh Yuda Lelana dengan cengar-cengir.

   Ia merasa seperti sedang dikerjain oleh tokoh tua itu.

   Para murid Perguruan Sekar Bumi mengelilinginya, memperhatikan percakapan antara guru mereka dengan sang tamu.

   Di antara para murid itu duduk paling depan Peluh Selayang dan Kutilang Manja.

   Mereka duduk berdua bersebelahan dalam jarak satu jangkauan.

   Mata mereka juga tertuju kepada Yuda Lelana yang masih memperhatikan tusuk konde itu, seperti sedang menyelidiki sesuatu dengan santai tapi pasti.

   "Tusuk konde ini berisi 'Racun Kadal Buncit'. Letak racunnya ada di bulatan seperti bola ini!"

   Nyai Sirih Dewi menyunggingkan senyum sinis.

   "Kau hanya mengarang-ngarang jawaban saja, Yuda Lelana!"

   "Aku katakan apa yang sebenarnya kuketahui, Nyai. Kau kan nggak tahu kalau tusuk konde ini berisi 'Racun Kadal Buncit'? Bagaimana kau bisa menyangkal jawabanku!"

   "Aku tidak percaya. Memang aku tidak tahu isi tusuk konde itu. Tapi aku tidak percaya dengan kata-katamu. Sekarang kalau kau benar-benar tahu, lantas apa akibatnya jika tusuk konde itu melukai seorang lawan?"

   "Lawan itu akan jatuh dan lumpuh seketika!"

   Kini semua wajah terangkat memandang Yuda Lelana dengan mata sedikit terbuka menandakan rasa kaget mereka. Nyai Sirih Dewi sendiri menatap dengan dahi berkerut. Yuda Lelana masih cengar-cengir saja, kayak bocah desa yang punya sifat malu-malu meong.

   "Dari mana kuperoleh tusuk konde ini kalau kau memang tahu?"

   "Dari nenekmu,"

   Jawab Yuda Lelana seenaknya, para murid cekikikan.

   "Siapa nama nenekku yang memberikan tusuk konde itu?"

   "Nini Sulang Rupi!"

   Jawab Yuda Lelana cepat. Nyai Sirih Dewi terkejut dalam hati.

   "Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaanku dengan benar? Dia juga kenal nama nenekku. Padahal tokoh tua yang sekarang masih hidup seangkatanku saja jarang yang tahu nama nenekku?"

   Nyai Sirih Dewi membatin dalam keheranan.

   "Apakah jawabanku salah?"

   Tanya Yuda Lelana.

   "Memang tidak ada yang salah,"

   Jawab Nyai Sirih Dewi sambil tarik napas dan melangkah tiga tindak meninggalkan tempatnya. Lalu badannya berbalik arah lagi menghadap Yuda Lelana yang masih berdiri sambil memainkan tusuk konde itu.

   "Kau hanya bisa menjawab secara kebetulan saja. Aku masih kurang yakin dengan pengetahuanmu!"

   Katanya bernada penasaran.

   Orang-orang di pendapa menjadi bertambah tegang, tapi hati mereka merasakan sebentuk kesenangan yang seru.

   Kali ini mereka meiihat gurunya teruji kecerdasan dengan sang tamu.

   Bahkan mereka sempat berharap tegang setelah mengetahui Nyai Sirih Dewi mengambil alih tusuk konde itu dari tangan Yuda Lelana dengan hanya menyentakkan tangan kirinya ke depan dan menariknya sedikit.

   Wuuut...! Tusuk konde tahu-tahu melayang dan tertangkap di tangan Nyai Sirih Dewi.

   "Gila! Dia mau pamer ilmu rupanya?"

   Pikir Yuda Lelana masih kalem-kalem saja.

   Senyumnya membias tipis di bibir dengan pandangan mata bersikap tenang.

   Tiba-tiba ia terperanjat melihat tusuk konde itu dilemparkan dengan gerakan cepat dan menancap pada salah satu tiang pendapa dari kayu jati.

   Jeeeb...! Tusuk konde itu masuk ke dalam kayu, tinggal sisa bulatannya yang mirip kelereng itu yang terlihat dari tempat mereka.

   Tentu saja lemparan tersebut disertai lepaskan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga kayu sekeras itu bisa menjadi empuk seperti batang pisang.

   "Kutilang Manja, coba cabut benda itu!"

   Perintahnya kepada sang murid kesayangan.

   Kutilang Manja tak menolak, langsung bangkit dan mencabut benda itu.

   Tapi dengan tenaga dalam sudah dikerahkan semua, benda itu tak bisa dicabut.

   Bahkan Kutilang Manja akhirnya terpental sendiri jatuh di kaki gurunya.

   "Maaf, Guru... saya tidak sanggup!"

   "Memang tidak ada yang sanggup mengambilnya,"

   Kata Nyai Sirih Dewi sambii sunggingkan senyum sinis. Lalu ia berkata kepada Yuda Lelana.

   "Anak muda, aku akan mempercayai kata-katamu tentang Peluh Selayang yang menurutmu tidak mencuri kitab itu, jika kau berhasil mencabut tusuk konde tersebut dari tiang itu!"

   Yuda Lelana diam, tersenyum dan memandang ke sana-sini. Cengar-cengirnya sempat membuat beberapa murid di situ menjadi lebih tegang. Peluh Selayang membatin kata.

   "Jika Kutilang Manja sendiri tak mampu mencabut tusuk konde itu, apalagi pemuda itu? Pasti tidak akan bisa, sebab tusuk konde itu ditancapkan bukan saja dengan tenaga dalam melainkan dengan bacaan mantera yang hanya diketahui oleh Guru sendiri."

   Yuda Lelana tetap kalem. Cengar-cengirnya seperti orang salah tingkah dan malu akibat tantangannya kali ini agak berat. Nyai Sirih Dewi tersenyum kian sinis dan berkata.

   "Ayo, lakukan! Katanya kau serba tahu, tentunya kau juga tahu bagaimana cara mencabut tusuk konde itu dong! Lakukanlah!"

   "Aku malas ke sana, Nyai!"

   "Ah, alasan saja kau!"

   "Sungguh. Aku malas ke sana. Sebaiknya kucabut dari sini saja, ya?"

   Setelah ngomong begitu, Yuda Lelana hentakkan kakinya ke lantai. Duug! Dan tiba-tiba tusuk konde itu copot sendiri dari tiang tersebut. Melesat mundur dan tertangkap oleh Yuda Lelana. Taaab...! "Oooh...?!"

   Para murid menggumam kagum dan terbengong-bengong.

   Nyai Sirih Dewi pun tertegun tak berkata apa-apa.

   Ketika Yuda Lelana serahkan tusuk konde itu, Nyai Sirih Dewi bagaikan tak punya lidah lagi.

   ia menerima dengan mulut sedikit menganga, mirip lubang belut.

   Hatinya membatin.

   "Manusia apa dia sebenarnya? Orang-orang tak ada yang mampu mencabut tusuk kondeku jika sudah kubacain mantera, tapi anak muda ini dengan mudahnya mencabut benda ini? Sekali hentakkan kaki, tusuk konde melayang sendiri. Wah, jangan-jangan aku berhadapan dengan anak iblis!"

   Nyai Sirih Dewi jadi ngeper juga melihat kesaktian Yuda Lelana. Tentu saja ia jadi ngeper karena ia tak tahu kalau Yuda Lelana sebenarnya adalah dewa yang punya kesaktian tinggi.

   "Siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda?"

   "Budek juga lu ya?"

   Kata Yuda Lelana seenaknya.

   "Tadi aku kan sudah bilang kalau namaku Yuda Lelana? Masa' masih ditanyain lagi sih?"

   "Maksudku, dari perguruan mana kau berasal, Yuda Lelana?"

   "Dari perguruan tinggi,"

   Jawabnya seenaknya juga.

   "Pokoknya kamu nggak perlu tahu dari perguruan mana aku, sebab aku tidak pernah masuk perguruan tinggi mana pun. Aku hanya seorang pengelana yang ingin menegakkan kebenaran dan menolong kesulitan siapa pun. Asyik nggak?"

   Yuda Lelana tersenyum sambil angkat-angkat alisnya.

   Beberapa murid tersenyum, demikian juga Nyai Sirih Dewi.

   Sejak itulah sikap Nyai Sirih Dewi menjadi baik dan ramah kepada Yuda Lelana.

   Pendapat Yuda Lelana dihargai, si baju merah abu-abu bebas dari tuduhan.

   Tetapi Nyai Sirih Dewi mempunyai satu pertanyaan lagi untuk Yuda Lelana.

   "Jika begitu, tentunya kau pun tahu siapa yang mencuri Kitab Jayabadra itu, Yuda Lelana? Tolong katakan yang sebenarnya!"

   Baru saja selesai bicara dalam bentuk pertanyaan seperti itu, tiba-tiba seorang murid yang bertugas di pintu gerbang datang dengan tergopoh-gopoh.

   Kedatangan murid itu membuat mulut Yuda Lelana yang sudah menganga untuk berikan jawaban menjadi batal.

   Perhatiannya tertuju pada orang tersebut, yang lainnya pun memusatkan perhatian kepada orang yang baru datang itu.

   "Ada apa, Sugana?!"

   Tanya Nyai Sirih Dewi.

   "Utusan dari Geladak Hitam datang dan memaksa masuk, Guru!"

   "Hahh...?!"

   Para murid nampak tegang, lalu tanpa diperintah mereka menyebar.

   Baik yang lelaki maupun yang perempuan, segera mempersiapkan senjata masing-masing.

   Di pendopo tinggal lima orang, Sugana, Nyai Sirih Dewi, Peluh Selayang, Kutilang Manja, dan Yuda Lelana.

   Setelah mereka saling pandang, Yuda Lelana ajukan tanya.

   "Siapa yang datang sebenarnya?"

   "Kau pasti lebih tahu dariku,"

   Kata Nyai Sirih Dewi agak menyindir.

   "Tidak semua kegiatan kupantau, sehingga tidak semuanya kuketahui."

   Sebelum pertanyaan itu terjawab, dua orang bertubuh besar nyelonong masuk dengan cara mendobrak pintu gerbang.

   Beberapa murid Perguruan Sekar Bumi terlempar karena diterjang dua orang bertubuh besar itu.

   Mereka bergerak dengan cepat nyaris tak bisa dilihat kelebatannya.

   Dalam waktu sekejap mereka sudah berada di depan Nyai Sirih Dewi dan Yuda Lelana.

   Tapi di depan Nyai Sirih Dewi berdiri tegar Peluh Selayang dan Kutilang Manja.

   Dua orang bertubuh besar itu sama-sama mempunyai wajah angker.

   Dari sorot matanya mereka tampak ganas dan liar.

   Kumis mereka sama lebatnya, hanya beda bentuknya saja.

   Pokoknya wajah mereka menyeramkan.

   Matanya saja besar-besar, mirip sepasang jengkol di wajah.

   Kulit mereka tergolong hitam walau bukan keling.

   Tampaknya tebal, seperti dari terpal.

   Yang berambut botak tengahnya memakai rompi panjang warna biru, sama dengan celananya.

   Yang berambut gondrong metal berpakaian serba hitam, lengan panjang tapi tidak dikancingkan.

   Perutnya tampak sedikit membuncit.

   Tangan mereka besar-besar, jarinya saja ibarat berukuran sebesar pisang Ambon.

   Pasti tabokannya membuat orang melintir tujuh keliling.

   Nyai Sirih Dewi berbisik kepada Yuda Lelana.

   "Yang berpakaian biru itu bernama. Adu Polo, yang berpakaian hitam namanya. Kebo Tumang."

   "Serem-serem namanya, ya?"

   Komentar Yuda Lelana dengan tetap kalem.

   "Mereka utusan dari Geladak Hitam. Sudah dua kali datang kemari. Ini yang ketiga kalinya."

   "Apa perlunya?"

   "Memintaku untuk meninggalkan bukit ini. Orang-orang Geladak Hitam bernafsu sekali untuk mendiami bukit ini!"

   "Hmmm...!"

   Yuda Lelana manggut-manggut.

   Sementara itu, Kutilang Manja sedang adu debat dengan Kebo Tumang dibantu oleh Peluh Selayang, sedangkan para murid lainnya mengelilingi tempat itu dari kejauhan.

   Mereka sudah berada di pelataran.

   Yuda Lelana berbisik lagi.

   "Mengapa mereka ingin menguasai bukit ini?"

   "Aku tak tahu jawaban yang pasti. Cobalah kau gunakan teropong batinmu untuk menjawab pertanyaan itu!"

   Tiba-tiba mereka terpaksa lompat ke belakang karena Kebo Tumang melepas pukulan tenaga dalamnya ke arah Kutilang Manja.

   Wuuut...! Kutilang Manja menepiskan gelombang pukulan itu dengan sentakan tangan kanan ke arah kiri.

   Namun kuatnya pukulan itu masih tersisa, dan sisa gelombang sempat membuat tubuh Kutilang Manja oleng ke kanan.

   Sisa pukulan itu juga hampir saja mengenai Nyai Sirih Dewi.

   Sang Nyai segera tepiskan dengan gerakkan tangan kanan bagai menyangga sesuatu dan membuangnya ke atas.

   Wuuus...! "Kebo Tumang...!"

   Sentak Nyai Sirih Dewi.

   "Kali ini kau sudah menggunakan kekerasan untuk tugasmu! Apa maumu sebenarnya?"

   "Tugasku sekarang adalah mengusirmu dengan kekerasan, Nyai!"

   Jawab Kebo Tumang.

   "Dua kali kami datang dengan baik, tapi kau tidak mau pergi dari Bukit Bara."

   "Karena bukit ini bukan kekuasaan kalian!"

   Sentak Nyai Sirih Dewi.

   "Aku menempati bukit ini sebelum kalian datang dari Pulau Iblis!"

   "Tak tahukah bahwa wilayah timur ini kekuasaan Ratu Geladak Hitam?!"

   Sentak Adu Polo dengan ngotot, buktinya urat lehernya sampai menegang nyaris lompat dari kulitnya.

   "Ratu kalian berkuasa baru-baru ini saja! Aku tak pernah mengusiknya. Aku juga tak pernah bikin perkara dengan ratu kalian; si Dardanila!"

   "Jadi jelas sudah bahwa kau ingin dihancurkan seperti tiga perguruan di wilayah timur itu!"

   Kata Adu Polo.

   "Jika begitu maumu, bersiaplah menghadapi kami berdua, Nyai Sirih Dewi!"

   Adu Polo dan Kebo Tumang segera membuka jurus awal. Peluh Selayang dan Kutilang Manja juga membuka jurus awal dengan mulai memasang kuda-kuda siap serang. Tetapi dari belakang mereka tiba-tiba terdengar suara Yuda Lelana.

   "Mundurlah kalian. Aku mau bicara sebentar dengan mereka."

   Peluh Selayang dan Kutilang Manja melirik gurunya, sang Guru memberi isyarat dengan gerakkan mata agar mereka mundur.

   Maka Yuda Lelana segera maju menggantikan tempat berdiri Peluh Selayang.

   Mata kedua orang bertampang angker seperti kuburan para dukun santet itu segera menatap dengan beringas.

   Yang ditatap hanya cengar-cengir kalem.

   "Siapa kau, Anak Muda? Setahuku kau bukan murid di sini, karena aku tak pernah melihat tampangmu!"

   Ujar Adu Polo.

   "Aku Yuda Lelana. Memang bukan murid Mak Tua itu, tapi yaaah... sekadar tamu biasalah,"

   Jawab Yuda Lelana enak saja.

   "Apa maumu menggantikan kedua wanita cantik itu, hah?"

   Gertak Adu Polo.

   "Eit, jangan galak-galak, Kang...!"

   Yuda Lelana nyengir.

   "Tanya ya tanya tapi nggak perlu pakai bentak-bentak segala."

   Adu Polo mendengus kesal dengan lagak Yuda Lelana. Ia berkata kepada Kebo Tumang.

   "Anak ini lama-lama bikin niat membunuhku menjadi besar!"

   "Habisi saja dia!"

   Kata Kebo Tumang.

   "Sabar, sabar...,"

   Yuda Lelana menyela kata.

   "Soai menghabisi aku sih mudah-mudah saja. Tapi urusannya harus diselesaikan dulu. Coba kasih tahu sama kau punya ratu, ya? Jangan berlagak ingin menjadi penguasa di wilayah timur. Berkuasa saja di tempat kalian sekeliling. Tak perlu harus menaklukkan tiap perguruan yang ada di sini!"

   "Bocah kemarin sore berani bicara seenak perutnya?! Kuremukkan mulutmu yang congkak itu!"

   Adu Polo segera melompat bagai kutu loncat, tangannya mengepal menghantam ke arah mulut Yuda Lelana.

   Wuuut...! Tapi anak muda itu menahan pukulan tersebut dengan menangkap kepalan menggunakan tangan kirinya.

   Traab...! Kepalan itu meremas hingga terdengar bunyi gemeretaknya tulang-tulang jari yang patah serempak.

   Kraak...! "Aaauh...!"

   Adu Polo menjerit.

   Wajahnya menyeringai sakit.

   Kebo Tumang segera bergerak menerjang.

   Tapi kaki Yuda Lelana menendang dengan tendangan samping.

   Wuuut...! Dees...! Tendangan yang tak bisa dilihat karena kecepatan geraknya itu mendarat telak di wajah Kebo Tumang.

   Kontan orang berambut gondrong metal itu terlempar ke belakang dan terjungkal sambil memekik kesakitan.

   Sedangkan tangan kiri Adu Polo segera meremas lengan Yuda Lelana, lalu kepalanya maju disodokkan ke arah dada Yuda Lelana.

   Wuuuk...! Serudukan kepala Adu Polo yang memang sekeras besi itu segera ditangkap dengan dua tangan, lalu lutut Yuda Lelana menyentak ke atas, menyodok wajah lawan dengan kerasnya.

   Gerakan lutut itu pun begitu cepatnya hingga tak terlihat dengan jelas oleh Nyai Sirih Dewi maupun kedua murid wanitanya itu.

   Prook...! "Auuuffh...!"

   Pekik Adu Polo yang segera terpental ke belakang dengan wajah tersentak kuat-kuat.

   Pandan-gannya jadi gelap, tak bisa melihat mana batu dan mana rumput.

   Akhirnya, pletook...! Kepala itu pun membentur batu sebesar genggamannya, dan ia makin memekik kesakitan.

   "Gerakan jurus-jurusnya begitu cepat, aku sampai tak bisa mengikutinya?!"

   Plkir Nyai Sirih Dewi.

   Ketika Kebo Tumang menyerang Yuda Lelana dari belakang dengan senjata kapak dua mata, Nyai Sirih Dewi hampir saja lepaskan pukulan jarak jauhnya untuk menggagalkan serangan membokong itu.

   Tetapi niat tersebut dibatalkan, karena tiba-tiba kapak itu telah mental, lepas dari tangan Kebo Tumang sebelum mendekati punggung Yuda Lelana.

   "Lho, kenapa kapak itu mental sendiri?"

   Gumam Kutilang Manja.

   Ia terheran-heran, sama dengan yang lainnya.

   Dan tentu saja mereka heran secara kompak, karena mereka tidak melihat gerakan kaki Yuda Lelana yang berputar arah dengan sangat cepat, serta berhasil menendang pergelangan tangan Kebo Tumang.

   Tendangan yang disertai pelepasan tenaga dalam tinggi itu sempat membuat tulang pergelangan tangan itu menjadi retak.

   Padahal besar pergelangan tangan itu hampir sama dengan tulang sikunya Yuda Lelana sendiri.

   "Bangsat kau, hiaaat...!"

   Kebo Tumang masih penasaran.

   Ia menyerang dengan satu lompatan membabi buta atau babi buta beneran, yang jelas cepat dan ngawur.

   Yuda Lelana pun melompat pula.

   Wuuurrs...! Ia bagaikan bayangan yang melintas begitu saja, bersimpangan dengan Kebo Tumang di udara.

   "Aaaauh...!"

   Terdengar Kebo Tumang menjerit keras, tapi tak diketahui apa sebabnya menjerit.

   Apakah karena ia merasa punya mulut besar, atau karena kakinya tertusuk duri.

   Tak jelas bagi mereka.

   Namun setelah Kebo Tumang berdiri setengah membungkuk sambil memegangi telinga kirinya, dan Yuda Lelana melemparkan sesuatu yang digenggamnya, yaitu daun telinga berdarah, maka tahulah mereka bahwa Kebo Tumang telah kecolongan daun telinga kirinya.

   Mereka makin terheran-heran dan berpikiran.

   "Bagaimana caranya Yuda bisa memotong telinga lawan, sedangkan dia tidak bersenjata apa pun?"

   EMPAT JIKA Ratu Geladak mengutus dua orangnya untuk mengusir Nyai Sirih Dewi dari Bukit Bara, tentu saja orang itu adalah orang pilihan.

   Ilmunya tidak tanggung-tanggung.

   Percuma saja dong kalau kelas ilmu utusan itu sebatas kelas kambing congek, ngapain ditugaskan mengusir Nyai Sirih Dewi? Mendingan diutus mengusir ayam saja.

   Iya, kan? Tetapi petugas penggusuran itu ternyata kalah sama Yuda Lelana.

   Bukannya mengusir Nyai Sirih Dewi tapi justru diusir Yuda Lelana.

   Malu nggak malu deh, mereka pulang dengan babak belur.

   Bahkan Kebo Tumang kehilangan telinga kirinya yang sudah pasti akan tetanus begitu sampai di tempat.

   Keberhasilan Yuda Lelana mengusir dua utusan Ratu Geladak Hitam membuat Nyai Sirih Dewi dan murid-muridnya semakin salut dan menaruh simpati besar kepada si anak muda ganteng itu.

   Sekalipun berpenampilan kumal, tapi Yuda Lelana sempat dikagumi beberapa murid wanita, termasuk Kutilang Manja dan Peluh Selayang.

   Peluh Selayang tak jadi minggat dari perguruan itu, karena Yuda Lelana menginap di sana.

   Nyai Sirih Dewi sendiri selalu memohon agar Yuda Lelana jangan tergesa-gesa pulang karena belum disuguhi minuman dan kue-kue kecil.

   Di samping itu Nyai Sirih Dewi juga tertarik ingin pelajari ilmunya Yuda Lelana yang aneh dan fantastis itu.

   Dari menginap semalam menjadi dua malam, dua malam menjadi dua minggu, dua minggu menjadi dua bulan, pokoknya Yuda akhirnya melantur dan tinggal di Perguruan Sekar Bumi sampai berbulan-bulan.

   Pikirnya, mumpung dapat kesempatan menginap gratis, dapat pelayanan memuaskan, kenapa tidak dimanfaatkan untuk tinggal lebih lama lagi? Bahkan belakangan ini Yuda Lelana diangkat sebagai Guru Pembimbing yang bertugas mengarahkan para murid dalam mempermainkan jurus-jurus kelas tinggi.

   Banyak variasi jurus yang diajarkan oleh Yuda kepada mereka, dan pada umumnya variasi jurus itu membuat gerakan mereka lebih indah lagi serta kekuatan tenaga dalam mereka bertambah lebih besar.

   Sekalipun demikian, Yuda belum menurunkan ilmunya kepada siapa pun.

   Apa yang diajarkan kepada mereka hanya semata-mata pengembangan dari jurus yang diajarkan Nyai Sirih Dewi sebelumnya.

   Sejak Yuda tinggal di Perguruan Sekar Bumi, pihak pengganggu selalu berhasil diusirnya.

   Bahkan orangnya Ratu Geladak Hitam tak berani mendekat lagi.

   Tapi mereka masih mondar-mandir dari kejauhan, memantau keadaan di perguruan tersebut, menunggu kelengahan, mengharap kepergian Yuda Lelana.

   Jika Yuda pergi, berarti kekuatan di Perguruan Sekar Bumi berkurang, maka saat itulah orang-orang Geladak Hitam akan menyerang.

   Tapi repotnya, Yuda tidak mau pergi-pergi.

   Sekalinya pergi hanya buang hajat di sungai, sebentar kemudian balik lagi.

   Hal ini membuat orang-orang Geladak Hitam repot menyerang Nyai Sirih Dewi.

   Sampai-sampai sang Ratu sendiri akhirnya ikut mengintai Perguruan Sekar Bumi dari kejauhan.

   "Masa' orang bertampang kusut seperti itu kau bilang ganteng sih?"

   "Maaf, Gusti Ratu..., yang itu sih bukan Yuda Lelana. Orang itu adalah Sugana, penjaga gerbang."

   "Ooo... lalu, yang namanya Yuda Lelana itu yang mana?"

   "Belum kelihatan, Gusti Ratu. Mungkin sedang rujakan dengan Kutilang Manja."

   "Malam-malam begini rujakan? Rujak apa yang mereka buat?"

   "Yah, mungkin... mungkin rujak bibir, Gusti Ratu!"

   Jawab petugas mata-mata yang sudah berhari-hari mengintai kegiatan di perguruan itu dari atas pohon. Sang Ratu yang malam ituiIkut mengintai bertanya dengan nada pelan.

   "Apakah kau sering melihat anak muda itu makan rujak bibir dengan Kutilang Manja?"

   "Belum pernah sih. Cuma, kayaknya anak muda itu naksir Kutilang Manja. Saya sering lihat mereka ber-uaan, mojok di sudut pekarangan belakang."

   "Apa saja yang mereka lakukan di sana?"

   "Mana saya tahu, habis tempatnya gelap sih."

   Ratu Geladak Hitam tarik napas.

   Dongkol juga mendengar cerita itu.

   Semakin sengit membayangkan wajah Yuda Lelana yang baru berupa reka-reka saja, karena sang Ratu memang belum pernah bertemu dengan Yuda Lelana.

   Akibatnya, sang Ratu penasaran sekali.

   Baik penasaran kepada Yuda, juga penasaran kepada kekuatan Perguruan Sekar Bumi.

   Hatinya membatin.

   "Tinggal perguruan ini yang sukar digusur. Alot juga mereka. Mungkin mereka butuh pesangon beberapa nyawa! Hmmm... sebaiknya besok kutemui saja Nyai Sirih Dewi dan kugunakan siasat pamungkasku untuk menaklukkan dia!"

   Tiba-tiba sang pengintai berkata.

   "Gusti, Gusti..., itu dia yang namanya Yuda Lelana!"

   "Yang bawa-bawa sapu lidi itu?"

   "Bukan. Itu sih petugas kebersihan. Itu tuh... yang sedang jalan-jalan di samping bangunan utama bersama Peluh Selayang!"

   "Ooo... itu,"

   Gumam sang Ratu lirih sekali, bagaikan menghayati betul apa yang kini telah diketahui.

   "Hmmm... tak begitu jelas sih, tapi menurutku anak muda itu biasa-biasa saja. Cuma..., kenapa dia berduaan dengan Peluh Selayang? Kau bilang tadi, dia sering mojok sama Kutilang Manja?"

   "Nggak tahu deh, apa maunya anak muda itu. Kadang-kadang memang saya lihat dia mojok sama cewek lainnya. Kayaknya dia laris di dalam sana. Banyak yang suka padanya."

   Memang begitulah Yuda. Kadang tampak bersama Kutilang Manja, kadang juga tampak bersama Peluh Selayang atau gadis lainnya. Nyai Sirih Dewi sering menegur Yuda Lelana secara baik-baik.

   "Kalau kau jatuh cinta, jatuhlah kepada satu orang saja. Jangan setiap murid perempuanku kau jatuhi cinta, nanti akibatnya bisa kacau-balau!"

   "Aku tidak jatuh cinta kepada siapa pun kok, Nyai."

   "Tapi aku sering melihatmu mojok dengan mereka secara berganti-gantian."

   "Ah, itu sih hanya sekadar mojok saja, Nyai. Tukar pikiran dan tukar pengalaman saja."

   "Pengalaman yang bagaimana...?"

   Sindir sang Nyai.

   "Pengalaman bercinta? Atau pengalaman bersilat lidah?"

   Yuda tertawa kecil, malu-malu.

   "Itu kan hanya sekadar seni memojok saja. Tapi bukan berarti kami saling jatuh cinta kok."

   "Yuda, terus terang saja, Kutilang Manja sudah berkata jujur padaku."

   "Soal apa, Nyai?"

   "Dia naksir kamu!"

   Jawab Nyai Sirih Dewi nyeplos saja.

   "Ah, jangan gitulah, Nyai...,"

   Yuda Lelana pringas-pringis tak enak hati.

   "Kutilang Manja sering sakit hati kalau melihat kau jalan dengan Peluh Selayang atau gadis lainnya. Dia bicara apa adanya padaku, Yuda. Dia sangat mengharapkan pengertianmu."

   "Aku belum berpikir ke arah situ, Nyai. Aku malah sedang bingung memikirkan ketuaanku yang datang dengan cepat ini."

   "Kau belum kelihatan tua, Yuda. Kau masih pantas punya istri."

   "Ya memang sih. Biar rambutku sudah beruban memang masih pantas punya istri, tapi kawin dalam usia tua itu merupakan sesuatu yang mendatangkan rasa malu, Nyai. Aku sedang berpikir bagaimana mencegah proses ketuaanku yang datang dengan cepat ini."

   "Aku punya mantera pengawet muda! Kalau kau mau akan kuajarkan bagaimana membaca mantera pengawet muda itu."

   "Kenapa tidak kau gunakan sendiri supaya kau tetap awet muda, Nyai?"

   "Mantera itu sudah nggak mempan untuk diriku."

   "Kenapa bisa begitu, Nyai?"

   "Karena mantera itu sudah bosan membuatku awet muda,"

   Jawab sang Nyai seenaknya saja.

   Yuda Lelana hanya tertawa kecil, tidak begitu menanggapi kata-kata sang Nyai yang dianggap hanya sekadar kata-kata iseng saja.

   Tapi pikirannya lebih menfokus kepada Kutilang Manja.

   Apa benar Kutilang Manja jatuh cinta padanya? Sebenarnya Yuda tidak keberatan kalau harus menerima dan membalas cinta Kutilang Manja, tapi dia tak mau percintaan itu berlanjut ke jenjang perkawinan.

   Sebab dia punya cita-cita sendiri untuk mengawini seseorang.

   Bukan Kutilang Manja yang menjadi sasaran perkawinannya, melainkan seseorang yang dapat mengubah dirinya kembali menjadi dewa dan bersemayam di kayangan.

   "Kalau aku diam di perguruan ini terus, aku tak akan bertemu dengan calon istriku,"

   Pikir Yuda Lelana.

   "Aku harus pergi dari sini, mengembara entah ke mana, sampai aku bertemu dengan calon istriku dan segera bikin anak, supaya aku bisa cepat-cepat diakui sebagai dewa lagi. Tapi, gimana ya...? Kalau perguruan ini kutinggalkan, kasihan juga. Mereka pasti akan diserang oleh pihak Ratu Geladak Hitam. Akhirnya mereka akan digusur dan entah mau mengungsi ke mana?"

   Tentu saja Yuda punya kecemasan seperti itu. Soalnya Nyai Sirih Dewi berkata kepadanya.

   "Dardanila berilmu tinggi. Secara jujur kuakui, ilmunya tak sebanding dengan ilmuku. Kalau dia datang kemari dan mengamuk, aku akan kewalahan melayaninya. Bisa-bisa aku mati di tangannya. Walau begitu, aku memang tak takut mati demi mempertahankan Bukit Bara ini. Yang kupikirkan cuma nasib murid-muridku jika kutinggal mati nantinya. Bagaimana nasib mereka jika tanpa aku dan tak bisa bertahan di sini?"

   Kata-kata itu yang membuat Yuda Lelana prihatin terhadap nasib Perguruan Sekar Bumi jika tanpa dirinya.

   Niatnya untuk meninggalkan perguruan itu selalu dipikir-pikir sampai kadang-kadang ia tertidur karena lelahnya berpikir.

   Karena menurut pendapat Yuda, sampai kapan pun Ratu Geladak Hitam tetap akan mengincar tanah perguruan tersebut.

   "Mengapa begitu?"

   Tanya sang Nyai.

   "Mengapa Dardanila bernafsu sekali untuk menguasal tanah di Bukit Bara ini? Apa yang membuatnya sampai penasaran begitu?"

   "Karena sesungguhnya di Bukit Bara ini terdapat tambang emas!"

   "Hahh...?!"

   Nyai Sirih Dewi terkejut, matanya membelalak tak takut kena panah. Ia tertegun beberapa saat, mencoba mempercayai kata-kata Yuda.

   "Apa benar begitu, Yuda?"

   "Benar, Nyai. Getaran nadiku mengisyaratkan adanya setumpuk harta yang terpendam di dasar bukit ini, persis di bawah tanah perguruan ini! Sukmaku pernah keluyuran malam-malam dan menemukan cahaya gemerlapan warna kuning di dasar bukit. Ternyata cahaya itulah tambang emas yang perlu digali dan dimasak sedikit. Memang masih kotor, tapi jika kita memasaknya maka akan terlihat kemilau emasnya dalam tiap lapisan tanah."

   "Edan!"

   Sentak sang Nyai.

   "Dikasih tahu ada tambang emas kok malah ngatain aku edan?!"

   "Maksudku, kenapa baru sekarang aku mengetahuinya? Padahal aku sudah bertahun-tahun menempati Bukit Bara ini. Dardanila baru beberapa tahun berkuasa di daerah muara sungai. Itu pun karena ia terdampar di sana ketika kapalnya diserang badai."

   "Dardanila tahu, karena ia perhatikan air sungai yang mengandung warna kuning samar-samar itu. Warna kuning tersebut bukan karena belerang atau larutan lumpur, melainkan karena larutan tanah berkadar emas."

   Kabar itulah yang membuat Nyai Sirih Dewi mengurung diri di dalam kamar semadinya sampai beberapa hari ini.

   Ia bermaksud meminta petunjuk dewa tentang bagaimana caranya mengatasi masalahnya terutama tentang serangan Ratu Geladak Hitam dan hiiangnya Kitab Jayabadra.

   Sampai saat itu ia belum tahu bahwa belakangan ini ia sudah bergaul dengan dewa yang menjelma menjadi manusia tampan itu.

   Yuda Lelana memang tak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang siapa dirinya sebenarnya.

   Dia takut disangka ngibul.

   Bisa-bisa bukannya dipercaya, tapi malah ditertawakan.

   Karenanya Yuda menutup diri kepada siapa pun.

   Semadi sang Nyai terpaksa dibangunkan oleh Kutilang Manja.

   Nyai Sirih Dewi keluar dari kamar semadi dengan agak sewot.

   "Ngapain sih mengganggu semadiku? Aku belum ketemu dewa nih!"

   "Maaf, Guru. Di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan Guru."

   "Siapa?"

   "Ratu Geladak Hitam sendiri yang datang!"

   "Wah, kacau deh kalau begini?"

   Gumamnya tegang.

   "Yuda ke mana?"

   "Memancing ikan di sungai. Sejak tadi pagi belum pulang."

   "Wah, makin kacau nih! Susul dia dan suruh dia pulang. Kasih tahu kalau kita dalam bahaya!"

   "Saya sudah mencoba mencarinya tadi, sebelum ada tamu datang, tapi ia tidak saya temukan, Guru!"

   "Jangan-jangan anak itu dimakan buaya sungai?"

   Gumamnya dalam ketegangan yang menggelisahkan.

   "Sebaiknya Guru temui dulu Dardanila itu supaya tidak menjadi berang dan membuat beberapa murid menjadi sasaran kemarahannya."

   "Berapa orang kekuatannya?"

   "Mereka cuma sebelas orang kok, Nyai."

   "Sebelas orang?! Itu sih sangat bahaya!"

   Bentak Nyai Sirih Dewi.

   "Dardanila datang sendirian saja sudah berbahaya, apalagi dengan kesepuluh pengawalnya. Waaah... kacau deh! Kacau bener kalau begini!"

   Nyai Sirih Dewi mondar-mandir.

   Belum-belum sudah ciut nyali.

   Masalahnya Yuda tidak ada di tempat, jadi ia deg-degan sekali.

   Kalau Yuda ada di tempat sih bisa tenang-tenang saja, sebab ia sangat yakin dengan kekuatan Yuda.

   Pikiran Nyai Sirih Dewi bercabang-cabang antara Dardanila dan Yuda Lelana.

   "Aku cemas sekali, takutnya Yuda dimakan buaya sungai?!"

   "Mana mungkin buaya makan buaya, Guru?!"

   Ujar Kutilang Manja dengan wajah cemberut.

   "Husy, jangan ngomong begitu. Yuda bukan buaya!"

   "Memang sih, bukan buaya tapi komodo!"

   Tambah Kutilang Manja makin cemberut kesal karena sikap Yuda yang sering menclok saja, menclok sini, ganti teman ngobrol.

   Rasa cemburu itu dimuntahkan dalam bentuk ejekan di depan sang Guru.

   Padahal sang Guru sedang bingung mengatasi kedatangan Dardanila.

   Peluh Selayang muncul dengan terburu-buru.

   "Guru, cepatlah keluar! Yuda sudah datang dan sekarang sedang berhadapan dengan Ratu Geladak Hitam."

   "Hah...?! Sudah datang?! Syukur, syukur...!"

   Nyai Sirih Dewi mengelus dada sendiri merasa lega.

   Wajahnya cerah kembali, dan ia langsung bergegas menuju pekarangan depan, menembus keluar melalui pintu gerbang yang memang sudah dibuka oleh petugasnya.

   Dan di sana dilihatnya Yuda Lelana sedang bicara dengan Ratu Geladak Hitam yang masih diam di atas punggung kuda.

   Sepuluh anak buahnya, termasuk Adu Polo, mengelilinginya bagai mengurung pertemuan tersebut.

   Mereka sudah siap dengan senjata masing-masing.

   Ratu Geladak Hitam ternyata seorang wanita yang cantik jelita.

   Usianya seperti masih sekitar tiga puluh tahunan.

   Yah, lewat sedikitlah.

   Yang jelas rupanya masih semarak ayu.

   Matanya sedikit nakal, namun indah.

   Hidungnya bangir, bibirnya sensuai.

   Dadanya, wah....

   Pokoknya bikin lelaki berkepala nyut-nyutan kalau kelamaan memandang dadanya.

   Sebab bisa digetok dari belakang oleh pengawainya.

   Lehernya termasuk jenjang, putih mulus tanpa cupang.

   Ia mengenakan kalung permata bersusun dua.

   Dengan rambut disanggul rapi sisa rambut ngelewer ke samping kanan kiri berbentuk spiral, ia tampak anggun dan berwibawa.

   Pakaian hijau yang membalut tubuh sexy-nya itu dibungkus dengan kain jubah dari bahan sutera warna merah jambu.

   Segar dan menggairahkan, sama dengan bentuk bibirnya yang, iiih...

   enak dikecup deh rasanya.

   Yuda bergidik membayangkan bibir itu.

   Hatinya gemas dan geregetan.

   Kalau saja giginya bisa mulur maju, ia akan gigit bibir itu dari tempatnya berdiri.

   Mata Yuda tak mau berkedip, dan ternyata mata Ratu Geladak Hitam juga tidak mau berkedip.

   Mereka saling pandang beberapa saat dengan kecamuk hati masing-masing.

   Para pengawalnya sempat bingung, mengapa ratunya menjadi terpaku bagaikan patung bernyawa? Seorang murid Nyai Sirih Dewi keluar dan tergesa-gesa ingin ikut ambil bagian dalam penjagaan ketat di depan gerbang.

   Larinya terlalu cepat hingga sukar direm dan akhirnya menabrak Yuda Lelana.

   Bruuus...! "Gendeng kamu ini?! Ada orang masih bengong ditabrak saja!"

   "Maaf, maaf... Tuan Yuda,"

   Kata murid itu sambii mundur dan ambil posisi berjajar dengan teman-temannya. Saat itulah adu pandang mereka terhenti, ketermenungan sang Ratu pun menjadi buyar. Lalu, terdengar suaranya menyapa dengan wibawa dipaksakan.

   "Kaukah yang bernama Yuda Lelana?"

   "Begitulah kira-kira,"

   Jawab Yuda Lelana sambii sunggingkan senyum tipis.

   Tapi tiba-tiba ia harus berkelebat cepat karena seorang anak buah sang Ratu melemparkan tombaknya dari arah samping kiri.

   Wuuut...! Teeb...! Tombak itu disambar oleh tangan kiri Yuda sambii badannya sedikit melengkung ke belakang.

   Secara tak langsung Yuda telah pamerkan ketangkasannya di depan sang Ratu.

   Bahkan kali ini jempol kirinya menekan tombak itu dan, traak...! Tombak tersebut patah dengan sentakan jempolnya.

   Ratu Geladak Hitam memandangnya dengan diam, menyimpan rasa kagum terhadap kemampuan Yuda; menangkap dan mematahkan tombak memakai satu tangan.

   Tangan kiri, lagi! Seorang anak buahnya yang ada di sebelah kirinya juga ingin lemparkan pisau ke arah Yuda, tapi tangan kiri sang Ratu yang bergelang kerincing tujuh biji itu diangkat.

   Gemerincing suara gelang membuat orang itu tak jadi lemparkan pisaunya.

   Kejap berikutnya, Nyai Sirih Dewi muncul di belakang Yuda bersama Peluh Selayang dan Kutilang Manja.

   "Pantas kau sekarang betah tinggal di tempatmu ini, karena kau punya mainan baru yang tentunya mengasyikkan, Sirih Dewi!"

   Ujar sang Ratu menyindir dengan senyum sinisnya.

   "Aku tak jeias maksud bicaramu, Dardanila!"

   Kata sang Nyai dengan tenang.

   "Tak perlu diperjelas. Yang perlu kau mengerti adalah perintahku yang terakhir kali ini; kau harus cepat pergi dan tinggalkan perguruanmu ini. Aku tak peduli kau sudah lama atau baru saja menempati tanah ini, yang pasti kau harus segera pindah ke tempat lain! Bukit ini dalam wilayah kekuasaanku; Ratu Geladak Hitam!"

   Sambil masih berdiri di belakang Yuda, Nyai Sirih Dewi berseru.

   "Apa pun perintahmu aku tak perlu tunduk! Kau pikir siapa dirimu sehingga berani memerintahkan begitu, hah?!"

   "Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Sirih Dewi!"

   "Aku tahu! Aku cukup tahu siapa dirimu, Dardanila. Kau seorang ratu sesat yang hidup di Pulau Iblis, dan dikalahkan oleh Raja Kala Bopak sehingga kau lari dari Pulau Iblis dan hidupmu bertahun-tahun hanya di atas geladak kapai bangkai. Karena kapal itu kini pecah dihantam ombak badai, maka kau tak punya tempat tinggal lagi, lalu kau ingin menguasai bukit ini! Aku pun tahu kau punya ilmu yang yaaah... lumayan tinggilah,"

   Kata sang Nyai berkesan menyepelekan. Lanjutnya lagi.

   "Ilmumu itu yang membuat kau masih tampak muda, tak ada yang tahu kalau usiamu sendiri sebenarnya sebaya denganku, sekitar delapan puluh tahun!"

   "Tutup mulutmu, Setan!"

   Bentak Ratu Geladak Hitam sambii matanya melirik sekiias ke arah Yuda Lelana. Rupanya ia tak suka rahasia itu diketahui oleh Yuda Lelana.

   "Kau tak perlu banyak bicara tentang diriku, Sirih Dewi! Yang perlu kau lakukan adalah minggat dari tempat ini, bila perlu sekarang juga!"

   "Aku tidak akan pergi ke mana pun!"

   Tegas Nyai Sirih Dewi. Wajah cantik sang Ratu tampak memerah pertanda menahan amarah.

   "Sirih Dewi, ini peringatan terakhir dariku!"

   Katanya, lalu ia segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk tinggalkan tempat ini dengan seruan tertahan.


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah

Cari Blog Ini