Ceritasilat Novel Online

Geger Rimba Persilatan 1


Pendekar Pulau Neraka Geger Rimba Persilatan Bagian 1


GEGER RIMBA PERSILATAN Oleh Teguh S.

   Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh S.

   Serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode.

   Geger Rimba Persilatan 128 hal.

   .

   12 x 18 cm "Oaaa...!"

   Lengking tangis bayi memecahkan keheningan malam sepi.

   Suara tangisan itu datang dari sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang kokoh menyerupai benteng.

   Saat itu juga lampu-lampu dan obor dinyalakan oleh beberapa orang untuk menerangi seluruh sudut benteng itu.

   Malam yang semula sepi, kini berubah sama sekali bagai terjadi pesta mendadak.

   Di salah satu ruangan besar rumah itu, tampak beberapa orang berdiri mengelilingi sebuah ranjang besar yang beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda.

   Seorang wanita muda dan cantik tergolek di atasnya bersama seorang bayi yang masih merah terbungkus kain sutra.

   Di samping wanita itu duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun.

   Raut wajahnya tampan namun memancarkan kekerasan.

   Laki-laki itu menjentikkan jarinya.

   Semua orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke luar.

   Sebentar kemudian, laki-laki yang seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut kening wanita muda yang tersenyum bahagia.

   "Anak kita laki-laki,"

   Bisiknya pelan.

   "Ya, tampan sepertimu, Kakang,"

   Sahut wanita itu lembut. Keceriaan dan kegembiraan tampak menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di sampingnya tampak pulas terselimut kain hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya memandangi bayi itu.

   "Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, Kakang?"

   Tanya wanita itu lembut seraya menatap wajah laki-laki di dekatnya.

   "Bagaimana denganmu?"

   Laki-laki itu balik bertanya.

   "Belum. Tapi kalau perempuan sudah kusiapkan sejak dulu."

   Sahutnya manis.

   "Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru kuberi nama."

   "Lebih cepat, lebih baik, Kakang."

   "Pasti! Besok anak kita tentu sudah mempunyai nama yang bagus."

   Kembali mereka tersenyum dan memandangi wajah mungil di sampingnya.

   Sesaat lamanya mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya memandang wajah bayi tampan itu.

   Kemudian laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang menggantung di pinggang itu bangkit dari pembaringan.

   Langkahnya tegap menuju pintu kamar.

   "Akan ke mana?"

   "Menemui dukun bayi,"

   Jawabnya, lantas membuka pintu dan melangkah ke luar.

   Dua orang yang berdiri di samping pintu langsung membungkukkan badan memberi hormat.

   Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit.

   Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang berhubungan langsung dengan sebuah ruangan besar.

   Sebuah lampu kristal besar tergantung di langit-langit bagian tengah.

   Di ruangan itu sudah berkumpul orang-orang.

   Mereka serempak mrmbungkukkan badan memberi hormat.

   "Terima kasih,"

   Kata laki-laki itu seraya duduk di kursi kayu jati yang berukir indah.

   Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan dengan serentak semua orang yang ada di ruangan itu segera duduk bersila di lantai.

   Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa hormat.

   "Bertahun-tahun aku selalu berharap akan kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai Putih ini. Nyata nya malam ini doa dan harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin menyelenggarakan pesta besar atas rasa syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan Teratai Putih,"

   Kata laki-laki itu yang sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai Putih.

   Suaranya dalam dan berwibawa.

   Semua orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan gembira.

   Salah seorang yang duduk paling depan, berdiri.

   Dia segera menjura hormat, tangannya terkepal merapat di depan dada.

   "Ampun, Guru Dewa Pedang."

   "Ada apa, Badar?"

   Tanya laki laki itu yang ternyata bernama Dewa Pedang.

   "Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, Guru,"

   Kata Badar hormat.

   "Apa usulmu?"

   "Bagaimana kalau kita undang para ketua padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita juga menyelenggarakan lomba ketangkasan,"

   Usul Badar "Bagaimana yang lain?"

   Dewa Pedang belum bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi rasa bahagianya dulu kepada murid-murid utamanya.

   "Setujuuu...!"

   Seru semua orang di ruangan itu serempak.

   "Baiklah! Mulai sekarang kalian kupercaya untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan. Saat itu pula akan kuumumkan nama putra pertamaku itu!"

   Kata Dewa Pedang dengan wajah cerah dan senyum terkembang lebar.

   Semua orang yang ada di situ segera berdiri dan menjura hormat.

   Tanpa diperintah lagi mereka segera berlalu meninggalkan ruangan itu.

   Meskipun tidak diperintah secara lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-masing.

   Dewa Pedang segera bangkit berdiri, tapi tidak jadi melangkah "Badar...!"

   Panggil Dewa Pedang. Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia langsung menjura setelah tiba di depan gurunya.

   "Tolong panggil dukun bayi yang membantu istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya hadiah khusus,"

   Kata Dewa Pedang.

   "Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan padepokan. Dia diantar enam orang murid tingkat tiga,"

   Lapor Badar.

   "Cepat susul, dan ajak kembali ke sini. Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan terima kasih,"

   Perintah Dewa Pedang.

   "Baik, Guru."

   Badar segera menjura hormat dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu.

   Dewa Pedang bergegas melangkah kembali menuju kamar peraduannya.

   Rasanya, dalam masa-masa seperti ini dia ingin selalu dekat dengan putra pertamanya.

   Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan mempunyai keturunan untuk menjadi ahli warisnya, dan baru malam inilah keinginannya terkabul *** Pada salah satu ruangan lain di rumah besar Padepokan Teratai Putih, tampak duduk gelisah seorang wanita muda dan cantik.

   Di depannya duduk tiga orang laki-laki yang juga masih muda.

   Ketiga laki-laki itu menyandang senjata yang berlainan bentuknya.

   "Apa kalian tadi tidak salah dengar?"

   Tanya wanita muda itu sambil memandang tajam pada wajah ketiga laki laki di depannya.

   "Tidak, Nyai. Dewa Pedang bermaksud mengadakan pesta besar selama satu pekan untuk menyambut kelahiran putra pertamanya,"

   Jawab laki-laki yang duduk paling kanan.

   Wanita muda yang sinar matanya memancarkan segudang misteri itu berdiri.

   Kakinya terayun pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap duduk di kursinya.

   Keheningan menyelimuti ruangan yang berada paling belakang dari rumah besar Padepokan Tetatai Putih itu.

   "Ganis,"

   Kata wanita itu seraya menghentikan langkahnya tepat di depan laki-laki yang duduk paling kanan. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari logam keras.

   "Ya, Nyai,"

   Sahut lelaki yang dipanggil Ganis itu.

   "Kau tahu, seharusnya bayi itu tidak boleh lahir! Hmm... Tak kusangka kalau Nyai Palet tidak mengindahkan peringatanku."

   "Nyai Rengganis ingin dukun bayi itu mati?"

   Tanya Ganis menebak.

   "Hhh!"

   Wanita yang bernama Rengganis itu hanya tersenyum sinis.

   "Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai,"

   Kata Ganis seraya berdiri.

   "Bagus!"

   Sambut Rengganis.

   "Tunggu dulu, Kakang Ganis!"

   Selak laki-laki yang duduk paling kiri. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.

   "Ada apa lagi, Adik Garang?"

   Tanya Ganis.

   "Dukun bayi itu sudah pulang diantar oleh enam orang murid tingkat tiga. Kau tidak mungkin bisa membunuhnya dengan mudah! Apalagi Dewa Pedang menyuruh Badar untuk menjemput kembali dukun itu,"

   Kata Ganang.

   "Kalau begitu, sebaiknya aku ikut, Ganang,"

   Kata Nyai Rengganis.

   "Kami bertiga, Nyai!"

   Selak orang yang duduk di tengah seraya berdiri. Senjatanya, sepasang kapak yang terselip di pinggang.

   "Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih ada tugas yang lebih penting untukmu,"

   Tolak Rengganis.

   "Tugas apa?"

   Tanya Gamar.

   "Kau harus tetap menguping semua pembicaraan Dewa Pedang. Pada saat seperti ini, satu patah kata yang diucapkannya merupakan perintah yang tidak bisa ditawar lagi. Dan itu sangat penting bagi kita,"

   Kata Rengganis.

   "Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap berada di Padepokan Teratai Putih. Biar aku dan Adik Ganang yang akan membereskan dukun bayi itu,"

   Sambung Ganis.

   "Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang. Aku dengar, Nyai Palet bukan orang sembarangan! Tingkat kepandaiannya cukup tinggi,"

   Kata Gamar.

   "Kami pergi dulu, Nyai,"

   Kata Ganis pamitan.

   "Ya,"

   Sahut Rengganis membalas salam hormat kedua laki-laki itu. Rengganis kembali duduk di kursinya setelah Ganis dan Ganang ke luar dari ruangan ini. Sedangkan Gamar masih tetap berdiri dengan mulut terkatup rapat. Beberapa saat mereka membisu.

   "Sebaiknya aku juga segera pergi, Nyai,"

   Kata Gamar.

   "Untuk apa?"

   Tanya Rengganis.

   "Tidak apa-apa. Hanya...,"

   Gamar tidak melanjutkan ucapannya.

   "Kau takut ada yang melihatmu di kamarku ini? Jangan khawatir, Gamar. Semua penjaga di sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka tidak akan melapor pada Dewa Pedang. Apalagi sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan perhatiannya pada Larasati,"

   Kata Rengganis sambil tersenyum manis.

   "Apakah Nyai sudah mempengaruhi muridmurid Dewa Pedang?"

   Tanya Gamar.

   "Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang berpihak padaku, sebenarnya adalah anak buahku sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini dan menjadi murid Dewa Pedang. Kau paham maksudku, Gamar? "Paham, Nyai,"

   Sahut Gamar mengangguk.

   "Nah! Ambilkan arak. Mereka semua sedang bersenang-senang dan bergembira. Kita di sini pun juga harus bergembira menyambut kehancuran Padepokan Teratai Putih,"

   Kata Rengganis.

   "Tapi, Nyai...,"

   Gamar mau menolak.

   "Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar! Kau tidak ingin bersenang-senang denganku?"

   Gamar menelan ludahnya.

   Dia tidak bisa lagi menolak saat Rengganis bangkit dan menghampirinya.

   Tangan wanita itu langsung melingkar di leher Gamar.

   Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu hangat menyapu kulit wajah Gamar.

   Mereka tidak peduli dengan keadaan dan lupa akan semua pembicaraan yang tadi berlangsung beberapa saat.

   Yang jelas, kini mereka telah berada dalam kamar, saling-menyatukan kenikmatan.

   Hanya desahan napas yang terdengar.

   *** Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan Teratai Putih terus berlangsung.

   Seluruh sudut dihias dengan umbul-umbul yang beraneka ragam, serta hiasan lain yang berwarna-warni.

   Semuanya membuat suasana Padepokan Teratai Putih itu semakin semarak.

   Murid-murid padepokan itu tidak kenal lelah.

   Semua kerja keras menyiapkan pesta berkenaan dengan kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih.

   Namun dari semua keceriaan dan kesibukan persiapan pesta itu seperti tidak ternikmati oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang menjadi pengawal pribadinya.

   Di depan Dewa Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu menampakkan wajah penuh ceria, seakan-akan dia juga turut gembira dengan hadirnya seorang putra pewaris padepokan ini.

   "Gamar, bagaimana persiapanmu?"

   Tanya Rengganis saat mereka berada di kamar pribadi wanita itu.

   "Semua tokoh-tokoh rimba persilatan yang memihak kita tinggal menunggu perintah saja, Nyai,"

   Kata Gamar.

   "Hm..., bagus! Dan kau, Ganis?"

   "Tidak ada masalah, Nyai. Tepat pada hari yang telah ditentukan, seluruh anak buahku siap bergerak,"

   Sahut Ganis.

   "Nyai tidak perlu khawatir! Semuanya sudah kami siapkan dengan matang,"

   Selak Ganang saat Nyai Rengganis memandang ke arahnya.

   "Bagus! Aku senang mendengarnya. Nah, sebaiknya kalian ikut membantu mempersiapkan pesta. Aku tidak ingin ada yang usil dan menaruh curiga pada gerakan kita,"

   Kata Rengganis.

   "Kami permisi, Nyai,"

   Pamit tiga bersaudara itu.

   Nyai Rengganis hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

   Bergegas ditutup pintu kamarnya setelah ketiga bersaudara itu ke luar.

   Bibirnya masih menyunggingkan senyuman manis.

   Dari wajahnya memancar kecerahan dan keceriaan.

   Tapi bukan karena kelahiran putra idaman seluruh orang di Padepokan teratai Putih ini, melainkan sebuah rencana yang siap dimuntahkan.

   "Siapa...?"

   Nyai Rengganis menoleh ketika mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.

   Tidak ada jawaban.

   Tapi ketika pintu itu terbuka, muncul seorang laki-laki berwajah tampan dan keras.

   Pedangnya berwarna perak menggantung di pinggang.

   Dialah Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih ini.

   Dewa Pedang melangkah masuk, sambil menutup pintu kembali.

   Rengganis menyambut disertai senyum tersungging di bibir.

   Rengganis segera memeluk dan mengecup bibir Dewa Pedang.

   Sedangkan Ketua Padepokan Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang halus bagai kapas itu.

   Rengganis menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh kekar Dewa Pedang.

   "Kenapa mengurung diri di kamar? Keluarlah! Mereka sedang bergembira saat ini. Aku memberi kebebasan pada mereka untuk bergembira,"

   Kata Dewa Pedang lembut.

   "Aku dari sana, Kakang. Aku lelah sekali, tapi cukup senang,"

   Kata Rengganis manja.

   "Betul, kau tidak iri karena Larasati yang memberiku putra?"

   "Jangan begitu, Kakang. Aku atau Kak larasati sama saja. Sekarang mungkin dia. Lain waktu mungkin aku. Sama saja, kan?"

   Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan wanita itu.

   Dia melepaskan pelukannya dan melangkah menghampiri pembaringan.

   Sebentar dicopot pedangnya dan diletakkan dengan hati-hati di atas meja.

   Sebentar kemudian tubuhnya telah terbaring di ranjang itu.

   Rengganis hanya memperhatikan tanpa berkata sedikit pun.

   "Aku terlalu gembira, Rengganis. Maaf kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku sudah ada di sini,"

   Kata Dewa Pedang seraya memiringkan tubuhnya.

   Rengganis bisa mengerti maksud kata-kata ketua Padepokan Teratai Putih itu.

   Wanita itu bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke jendela kamar dan membuka pintunya lebar-lebar.

   Tampak beberapa orang penjaga terlihat.

   Mereka segera memberi hormat begitu melihat Rengganis di balik jendela.

   "Kenapa kau buka jendela?"

   Tanya Dewa Pedang. Nada suaranya agak kecewa.

   "Panas,"

   Sahut Rengganis sekenanya.

   Dia berbalik dan bersandar pada dinding.

   Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringan, itu.

   Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu mengenakannya kembali.

   Rengganis hanya tersenyum saja melihat rona merah mengandung kekecewaan pada wajah Dewa Pedang.

   "Mau ke mana?"

   Tanya Rengganis melihat Dewa Pedang akan pergi.

   "Lihat persiapan mereka."

   Sahut Dewa Pedang pelan.

   Rengganis tidak mencegah sedikit pun.

   Dibiarkan saja Dewa Pedang melangkah ke luar tanpa menutup pintu kembali.

   Wanita itu tertawa kecil melihat raut wajah ketua padepokan itu yang menyiratkan rasa kecewa.

   Rengganis memang sengaja berlaku demikian.

   Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu memberi alasan macam-macam.

   Hal ini memang disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal.

   Tapi rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih itu jenis manusia yang sabar, sedikit pun ia tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar matanya menyemburat rasa kecewa.

   "Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa Pedang,"

   Desis Rengganis dingin.

   *** Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai Pulih.

   Wajah-wajah cerah terlihat dari semua orang yang datang memenuhi undangan Ketua Padepokan Teratai Putih.

   Kelahiran putra pewaris tunggal padepokan disambut dengan penuh kegembiraan.

   Dewa Pedang tersenyum lebar.

   Dengan bangga diperkenalkan putranya pada semua undangan yang hadir.

   Istrinya, Larasari tampak berdiri anggun menggendong anak tunggalnya di samping suaminya.

   Bibirnya selalu menyunggingkan senyum manis memikat.

   Ruangan pendopo yang luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang datang dari segala penjuru.

   Dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas kalau para undangan dan tamu lainnya adalah orang-orang rimba persilatan yang datang dari padepokan-padepokan lain.

   Namun semua kegembiraan itu sama sekali tidak dinikmati Rengganis.

   Meskipun bibirnya selalu tersenyum ramah pada setiap tamu, namun matanya sesekali melihat ke luar pendopo ini.

   Rengganis bergegas ke luar begitu melihat Gamar berjalan bersama dua orang bersenjata tombak panjang.

   Mereka menuju tangga masuk pendopo Padepokan Teratai Putih ini.

   Wanita itu melangkah setengah berlari menuruni anak-anak tangga pendopo.

   Gamar segera membungkuk memberi hormat diikuti dua orang lainnya.

   "Bagaimana?"

   Tanya Rengganis langsung.

   "Semua sudah siap. Sebagian besar undangan yang hadir adalah orang-orang kita. Mereka tinggal menunggu tanda darimu, Nyai,"

   Kata Gamar.

   "Bagus! Di mana dua saudaramu?"

   "Kakang Ganis memimpin dari sebelah Utara, dan adik Garang dari sebelah Timur. Sedangkan dari arah Selatan, gabungan dari beberapa partai. Dan dari dalam sendiri tinggal menunggu perintah saja,"

   Lapor Gamar "Katakan pada saudaramu. Waktu yang tepat adalah saat gong dipukul tanda adu ketangkasan dimulai. Tunggu sampai gong yang ketiga,"

   Kata Rengganis.

   "Rencana yang bagus, Nyai,"

   Sambut Gamar.

   "Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak ingin ada yang mencurigai. Semua sudah di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh gagal,"

   Kata Rengganis.

   Gamar segera memberi hormat dan berlalu.

   Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke dalam pendopo.

   Tapi baru saja kakinya menaiki satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua Padepokan Teratai Putih.

   Rengganis agak terkejut juga.

   Untunglah dia dapat cepat menyembunyikan rasa kaget dengan memberikan senyuman manis.

   "Apakah acara adu ketangkasan akan dimulai, Kakang?"

   Tanya Rengganis lebih dulu "Benar. Aku malah sengaja mencarimu. Tempat acara itu telah kupindahkan, dan diadakan di tengah-tengah pendopo saja agar tidak terlalu menyolok,"

   Sahut Dewa Pedang.

   "Kenapa begitu, Kakang? Bukankah di alun-alun lebih leluasa?"

   Rengganis agak terperanjat mendengar nya.

   "Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua padepokan yang sombong, Rengganis. Adu ketangkasan juga hanya dari murid-muridku sendiri. Sifatnya hanya sekedar hiburan saja, bukan adu kepandaian,"

   Dewa Pedang berusaha menjelaskan.

   Rengganis hanya diam saja.

   Kakinya terayun melangkah menaiki undakan menuju ke dalam pendopo.

   Matanya beredar ke sekeliling.

   Tidak ada sebuah gong pun di ruangan luas ini.

   Rengganis jadi sedikit bingung juga.

   Otaknya segera berputar keras mencari jalan keluar.

   Masalahnya sekarang, dia belum paham benar mana orang-orang yang berpihak padanya dan mana yang bukan.

   Semua sudah bercampur-baur menjadi satu.

   Sulit untuk dikenali lagi.

   Rengganis sendiri tidak mengenal mereka satu persatu.

   Memang semuanya hanya dia yang merencanakan.

   Tapi yang melaksanakan adalah tiga saudara yang selalu setia padanya.

   "Apa tandanya untuk memulai adu ketangkasan itu, Kakang?"

   Tanya Rengganis.

   "Hanya dari pembawa acara saja,"

   Jawab Dewa Pedang.

   "Tidak pakai gong?"

   "Kurasa itu tidak perlu, Rengganis."

   Rengganis tiba-tiba memegangi kepalanya dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak kaget juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu saat mulai limbung.

   "Rengganis, kau kenapa?"

   Tanya Dewa Pedang.

   "Kepalaku, Kakang. Rasanya tiba-tiba saja pening,"

   Kata Rengganis lirih.

   "Sebaiknya kau istirahat saja di kamar,"

   Kata Dewa Pedang. Laki-laki Ketua Padepokan Teratai Putih itu menggapaikan tangannya. Dua orang emban setengah baya segera mendekat tergopoh-gopoh. Mereka langsung memapah Rengganis yang kelihatan lunglai sambil memijat-mijat kepalanya.

   "Bawa segera ke kamar,"

   Perintah Dewa Pedang.

   Kedua emban itu segera membawa Rengganis meninggalkan ruangan besar pendopo ini.

   Mereka masuk ke dalam lorong yang menuju tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang.

   Tampak Rengganis tersenyum besar.

   langkahnya sudah jauh meninggalkan ruangan pendopo itu.

   Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk tangan para undangan dari luar sana.

   Dengan satu gerakan cepat tak terduga, kedua tangan Rengganis berkelebat ke dada kedua emban yang memapahnya.

   Sedikit pun tak ada suara.

   Kedua emban itu langsung jatuh dengan dua bulatan kecil berwarna hitam tertera di dada mereka.

   Dari sudut bibirnya mengalir darah kental kehitaman.

   Sebentar Rengganis mengawasi sepanjang lorong, lalu diseretnya dua tubuh ernban itu ke dalam sebuah kamar yang tidak jauh dari lorong itu.

   Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu dan menutupnya.

   Gerakannya begitu ringan dan cepat melintasi lorong bagai kancil menyusuri semak belukar.

   Tubuh yang terbungkus baju hijau dari kain sutra halus itu pun lenyap setelah sampai di ujung lorong.

   Sementara suara-suara dari ruang pendopo masih Juga terdengar riuh.

   Tapi lorong itu tampak sepi tanpa seorang pun terlihat.

   *** "Gamar...!"

   Gamar tersentak kaget ketika mendengar suara panggilan dari arah samping.

   Dia segera menoleh dan terkejut melihat Rengganis berlari-lari menghampirinya.

   Gamar langsung berlari menghampiri.

   Rengganis menghentikan larinya.

   Napasnya agak tersengal sedikit.

   Wajahnya memerah dengan keringat menitik di kening dan leher.

   "Kenapa Nyai ke sini?"

   Tanya Gamar seraya melayangkan pandangannya ke belakang wanita itu.

   "Ada perubahan, Gamar!"

   Sahut Rengganis.

   "Perubahan? Maksud, Nyai?"

   "Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan di alun-alun! Juga, tidak ada gong pembuka!"

   "Jadi...!?"

   "Itulah yang aku bingungkan, Gamar! Tidak mungkin menunggu tanda dari dalam lagi."

   Gamar diam merenung.

   Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras.

   Tidak mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun rapi dan dimatangkan selama berbulan-bulan.

   Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda untuk bergerak saja! "Kau punya saran, Gamar?"

   Tanya Rengganis sedikit putus asa.

   "Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan! Biar aku yang menghubungi teman-teman di luar,"

   Sahut Gamar.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Tanya Rengganis ingin tahu.

   "Terpaksa. Kita harus memulai secara mendadak tanpa tanda apa pun!"

   Kata Gamar.

   "Jangan, Gamar! Semua harus dilakukan serentak, tanpa ada yang saling mendahului! Kekompakan harus tetap dijaga,"

   Rengganis tidak setuju.

   "Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai."

   "Aku punya cara!"

   Seru Rengganis tiba-tiba.

   Gamar menatap wanita cantik itu dalam-dalam.

   Memang sejak semula sudah diduga kalau Rengganis pasti banyak akalnya.

   Wanita itu sangat cerdik, penuh dengan tipu muslihat.

   Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja, sehingga seperti buntu akalnya.

   Tapi kini otaknya berhasil mencari jalan keluar yang terbaik.

   "Aku akan kembali lagi ke dalam, dan kau hubungi yang lain secepat mungkin,"

   Kata Rengganis serius.

   "Lalu?"

   "Kalau kau dan yang lainnya melihat ada merpati terbang, itu adalah tanda dariku sebagai awal dari rencana kita. Kau mengerti maksudku, Gamar?"

   "Mengerti, Nyai."

   "Cepatlah kau hubungi yang lain! Ingat, Gamar! Jangan sampai gerakanmu dicurigai oleh penjaga."

   "Jangan khawatir, Nyai."

   Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik dan berlari cepat menuju ke benteng padepokan sebelah Barat.

   Gerakannya begitu ringan dan cepat bagaikan angin.

   Jelas kalau wanita itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.

   Gamar pun segera bergerak setelah memberi beberapa pesan kepada anak buahnya.

   Sementara itu Rengganis sudah melompati benteng sebelah Barat Padepokan Teratai Putih.

   Matanya yang bulat menatap tajam ke sekitarnya.

   Dia menarik napas lega setelah semua penjaga tampaknya terpusat pikirannya oleh suasana gembira, sehingga sepertinya lengah dengan tugasnya.

   Rengganis bergegas menuju ke pintu lorong rumah besar.

   Sebentar saja tubuhnya sudah lenyap di balik pintu.

   Dengan langkah tenang, dia berjalan menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar yang tertutup pintunya.

   Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo.

   Langkahnya tenang, dan bibirnya terus menyunggingkan senyum.

   Beberapa kali harus dibalasnya anggukan kepala para tamu yang memadati ruangan itu.

   Rengganis langsung menghampiri Dewa Pedang yang duduk di kursi didampingi istrinya.

   Dewa Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis duduk di sampingnya.

   Sebentar diliriknya Larasati yang menggendong putranya.

   Sementara beberapa hiburan mulai ditampilkan.

   "Kakang...,"

   Kata Rengganis berbisik.

   "Ada apa?"

   Tanya Dewa Pedang menyorongkan kepalanya mendekati Rengganis.

   "Aku ada usul, Kakang. Bagaimana kalau pada adu ketangkasan nanti dimulai dengan pelepasan seekor merpati,"

   Kata Rengganis mengusulkan.

   "Maksudmu?"

   "Sebagai pelambang kalau putra pewaris Padepokan Teratai Putih akan melanglang buana menaklukkan seluruh rimba persilatan,"

   Sahut Rengganis beralasan.

   "Usul yang bagus!"

   Sambut Dewa Pedang tersenyum lebar.

   "Bagaimana, Laras?"

   "Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?"

   Jawab Larasati sambil tersenyum.

   "Sebaiknya merpati kesayanganku saja, Kak Laras,"

   Kata Rengganis.

   "Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan kesayanganmu."

   "Sebagai tanda kalau aku juga mencintai anakmu."

   "Terima kasih, Adik Rengganis. Kau baik sekali,"

   Sahut Larasati terharu Rengganis hanya tersenyum saja.

   Namun gerakan senyum di bibirnya terasa getir.

   Sementara Dewa Pedang sudah kembali mengalihkan perhatiannya pada acara hiburan yang ditampilkan murid-muridnya.

   Tampak para undangan begitu terhibur.

   Banyak pula komentar dilontarkan.

   Semuanya selalu memuji dan mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang diperlihatkan murid-murid Padepokan Teratai Putih ini.

   Dewa Pedang tidak begitu bangga hati.

   Dia tahu kalau semua pujian itu hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya saja.

   Rengganis menjentikkan jarinya.

   Seorang emban yang berada di dekatnya segera mendekat Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk itu.

   Sesaat kemudian emban itu berlalu meninggalkan ruangan pendopo ini, dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan membawa sangkar berisi burung merpati putih.

   Rengganis menerima dan meletakkannya di depan kaki Dewa Pedang.

   *** Gamar tampak gelisah.

   Dia berjalan mondar-mandir dengan matanya tak lepas menatap ke arah Padepokan Teratai Putih.

   Sementara matahari sudah semakin tinggi.

   Sinarnya yang terik membuat tubuh Gamar basah oleh keringat yang mengucur deras.

   Bukan itu saja.

   Bahkan orang-orang yang sudah sejak pagi tadi menunggu dengan senjata terhunus, juga kelihatan tidak sabar lagi.

   Saat matahari tepat di atas kepala, terlihat seekor merpati putih terbang tinggi dari dalam pendopo Pa depokan Teratai Putih.

   Gamar langsung melompat ke depan, dan...

   "Serang..!"

   Teriaknya lantang.

   Bersamaan dengan itu, secara serempak terdengar suara-suara lantang dari arah Utara, Timur dan Selatan.

   Tidak lama kemudian menyusul suara-suara pekikan yang membahana disertai derap ratusan manusia yang berlari menuju Padepokan Teratai Putih dari em pat penjuru.

   Para penjaga di sekitar tembok benteng padepokan itu terkejut bukan main, karena tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin berlompatan orang-orang bersenjata.

   Mereka melompati tembok benteng yang tinggi dan langsung menyerang dengan ganas.

   Para penjaga yang tidak menduga adanya serangan mendadak itu menjadi kalang-kabut.

   Jerit kematian mulai terdengar saling susul bercampur dengan teriakan-teriakan gegap-gempita.

   Denting senjata dan desir angin tenaga dalam menyemarakkan tempat yang lelah berubah menjadi arena pertempuran.

   Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo Utama Padepokan Teratai Putih juga terjadi kegemparan.

   Tiba-tiba saja sebagian undangan mengeluarkan senjata.

   Mereka membuat keributan dengan membabat habis undangan lainnya.

   Dewa Pedang yang cepat peka pada keadaan, segera memerintahkan murid-muridnya untuk menghalau para pengacau itu.

   Dia tidak menyadari akan bahaya yang mengancam istrinya.

   Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika melihat Rengganis mencabut sebilah pisau dari balik sabuk ikat pinggangnya.

   Gerakan tangan Rengganis begitu cepat mengarah tepat kedada Larasati.

   "Laras, awas...!"

   Teriak Dewa Pedang cepat melompat berusaha mencegah serangan Rengganis.

   Tring! Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya, secepat itu pula Dewa Pedang mencabut senjata andalannya yang berupa pedang dari emas murni bercampur logam keras.

   Begitu cepat gerakan kibasan pedangnya, sehingga membuat Rengganis terkejut.

   Padahal ujung pisau Rengganis tinggal serambut lagi membelah dada Larasati.

   "Ih!"

   Rengganis segera melompat mundur menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang mengarah perutnya.

   Dewa Pedang memandang Rengganis setengah tidak percaya.

   Tapi yang dipandang malah membalasnya dengan tajam.

   Dibuang pisaunya, lalu dikeluarkan dua buah kipas dari baja putih bagaikan perak.

   Dewa Pedang melangkah mundur melindungi istrinya.

   "Badar!"

   Teriak Dewa Pedang Badar yang sedang bertarung melawan para undangan yang berkomplot dengan Renqganis, segera melompat menghampiri gurunya.

   "Cepat bawa keluar istri dan anakku. Selamatkan mereka!"

   Perintah Dewa Pedang.

   "Baik Guru,"

   Sahut Badar.

   "Kakang...,"

   Suara Larasati tersekat di tenggorokan.

   "Cepatlah! Tidak ada waktu lagi! Kau harus selamatkan anak kita,"

   Kata Dewa Pedang.

   Larasati tidak membantah lagi.

   Segera dia berlari ke arah lorong diikuti beberapa emban, dan dijaga sekitar dua puluh murid utama Padepokan Teratai Putih yang dipimpin Badar.

   Pada saat itu Rengganis sudah melompat menyerang Dewa Pedang dengan sepasang kipas bajanya.

   Wut, wut! Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang sambil meliuk-liuk bagai ular, menghindari kibasan senjata Rengganis yang cepat dan berbahaya.

   Dengan cepat kaki Dewa Pedang terangkat naik, lalu menyepak ke depan.

   Rengganis buru-buru mengibaskan kipasnya memapak kaki yang bergerak cepat ke arah perutnya.

   Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa Pedang malah menarik kakinya cepat dan memutarnya ke atas.

   Rengganis memekik tertahan saat tapak kaki Dewa Pedang menghantam telak dadanya.

   Wanita itu terhuyung ke belakang menabrak kursi.

   Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya memutar pedangnya ke depan.

   Tapi sebelum ujung pedangnya menyentuh tubuh Rengganis, sebuah bayangan merah berkelebat bagai kilat memapak serangannya.

   Dug! "Ukh!"

   Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil menekap dadanya.

   Kedua bola matanya memerah menatap seorang laki-laki tua berjubah merah yang sudah berdiri di depannya melindungi Rengganis.

   Laki-laki tua itu menggenggam sebatang tongkat pendek yang ujungnya terdapat lempengan logam berbentuk bulan sabit "Jantara...,"

   Desis Dewa Pedang yang bernada tidak percaya dengan penglihatannya.

   Laki-laki tua yang dipanggil Jantara itu hanya tersenyum sinis.

   Dia memang Jantara, atau yang lebih dikenal dengan julukan si Tongkat Samber Nyawa.

   Dewa Pedang benar-benar tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi huru-hara di padepokannya.

   "Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa Pedang!"

   Kata Jantara dingin.

   "Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Mengapa kau ingin menghancurkan padepokanku, Jantara?"

   Tanya Dewa Pedang.

   "Memang benar! Kita memang tidak pernah punya persoalan secara pribadi. Tapi murid-muridmu selalu malang-melintang menghalangi sepak-terjangku. Bahkan gerakan anak buahku juga kau hambat!"

   "Aku tidak pernah mengajarkan untuk berlaku lunak pada orang-orang jahat, Jantara. Kalau kau merasa terhalang, mengapa masih juga menyengsarakan orang lain?".

   "Itu urusanku, Dewa Pedang!"

   Bentak Jantara keras.

   "Begitu pula dengan tindakanku beserta muridmuridku! Semuanya bukan urusanmu!"

   Balas Dewa Pedang tidak kalah dinginnya.

   "Huh! Umurmu sudah tinggal seujung pedang, masih juga berlagak!"

   Setelah berkata demikian, Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa lantas melompat menerjang diikuti Rengganis.

   Si Tongkat Samber Nyawa memang tidak bisa dianggap enteng.

   Ilmunya cukup tinggi.

   Dewa Pedang harus berhati-hati menghadapinya.

   Apalagi ditambah dengan Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir setara dengan si Tongkat Samber Nyawa.

   Tentu saja Dewa Pedang jadi kelabakan.

   Tapi sebagai ketua padepokan silat, Dewa Pedang cukup cerdik.

   Dia bertarung sambil bertahan mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba persilatan yang juga bertarung melawan muridmurid Padepokan Teratai Putih.

   Rengganis yang berotak cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa Pedang.

   Tapi semuanya terlambat.

   Murid-murid setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek menyerangnya.

   Mau tidak mau Rengganis mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan barunya.

   Sementara pertarungan masih terus berlangsung sengit.

   Cukup sulit untuk membedakan antara lawan dan kawan.

   Korban sudah tak terhitung lagi.

   Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah.

   Tampak dari arah bangunan belakang, api mulai berkobar melahap barak-barak murid Padepokan Teratai Putih.

   Angin bertiup cukup kencang, sehingga api semakin leluasa melahap semua yang di dekatnya.

   Tak seorang pun yang sempat memadamkannya, masing-masing sibuk dengan lawannya.

   Kelengahan sedikit saja akan berakibat nyawa melayang.

   Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi tak seimbang setelah murid-murid utama Padepokan Teratai Putih membantu gurunya.

   Kelihatan kalau si Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat.

   Dia jatuh bangun menghindari setiap serangan yang datang beruntun bagai air bah.

   "Sebaiknya Guru cepat meninggalkan tempat ini! Biar kami saja yang menghadapi para pengacau keparat ini,"

   Kata salah seorang murid Dewa Pedang.

   "Jangan hiraukan aku! Kalian saja yang cepat pergi!"

   Sahut Dewa Pedang seraya mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.

   "Tidak! Lebih baik kami mati bersama-sama, Guru!"

   Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya.

   Betapa besar pengabdian murid-muridnya.

   Kini Dewa Pedang berhadapan dengan sekitar enam tokoh rimba persilatan yang begitu cepat menyerangnya.

   Sementara itu si Tongkat Samber Nyawa kini leluasa membantai murid-murid di Padepokan Teratai Putih yang sebenarnya bukan tandingannya.

   Keadaan Dewa Pedang semakin mengkhawatirkan.

   Tubuhnya terombang-ambing bagaikan bola.

   Darah telah mengucur dari lukanya akibat tersambar senjata lawan-lawannya.

   Keadaan yang sama juga dialami murid-muridnya.

   Mereka tidak mampu menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan yang kepandaiannya jauh di atas mereka.

   Apalagi ditambah dengan murid-murid Padepokan Teratai Putih yang berkhianat.

   "Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!"

   Teriak Rengganis melengking tinggi.

   Bagaikan seekor burung elang, Rengganis melompat tinggi dan menukik tajam dengan sepasang kipas yang berkelebat cepat.

   Dewa Pedang yang sedang sibuk menghadang serangan para pengeroyoknya, tidak sempat lagi berkelit.

   Sepasang kipas baja maut Rengganis tanpa ampun lagi merobek kulitnya.

   Dewa Pedang melangkah mundur.

   Tubuhnya limbung.

   Darah semakin banyak keluar dari tubuhnya.

   Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pening.

   Tapi matanya masih berkunang-kunang.

   Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas terbuka lebar di depan dada.

   "Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?"

   Tanya Dewa Pedang lemah.

   "Karena kau telah membantai seluruh keluargaku!"

   Sahut Rengganis dingin.

   "Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...,"

   Dewa Pedang semakin lemah.

   "Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit Halimun. Di sanalah kau bantai habis satu keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau dan prajurit-prajuritmu tidak lebih dari binatang yang harus dimusnahkan!"

   Dewa Pedang terdiam.

   Ingatannya kembali saat menjadi panglima perang kerajaan.

   Waktu itu dia memang ditugaskan untuk mengejar satu keluarga pengkhianat kerajaan.

   Pengejarannya sampai ke Bukit Halimun Tapi sama sekait dia tidak memerintahkan untuk membantai habis keluarga pengkhianat itu.

   Dia dan satu pasukan prajurit pilihannya datang terlambat.

   Keluarga itu sudah habis terbantai, kecuali seorang anak perempuan kecil.

   "Kau putri Patih Kuraya...?"

   Dewa Pedang hanya ingin memastikan.

   "Benar! Aku berhasil lolos dengan pura-pura tewas waktu itu. Kau memang tidak ada di sana, Dewa Pedang. Tapi prajurit-prajuritmu melakukan itu pasti atas perintahmu. Padahal aku yakin, Gusti Prabu tidak mungkin memerintahkan untuk membunuh habis keluargaku. Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau diturunkan pangkatnya. Tapi kau memang tak mau kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau mengundurkan diri dari jabatan panglima perang dan mengucilkan diri di sini, mendirikan padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan namamu kembali! Tidak, Dewa Pedang... Namamu tetap kotor!"

   "Ketahuilah, Rengganis. Waktu itu aku datang teriambat. Dan lagi mereka bukanlah para prajuritku! Mereka adalah prajurit Patih Gumarang, Pamanmu sendiri. Karena dia memang sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang ayahmu dan sengaja ingin menyingkirkan aku,"

   Kata Dewa Pedang berusaha menjelaskan.

   "Huh! Jangan membela diri!"

   Dengus Rengganis.

   "Memang tidak ada gunanya aku membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu saja Pamanmulah yang membantai keluargamu di Bukit Halimun."

   "Setan! Kau memfitnah Pamanku!"

   Geram Rengganis gusar.

   "Kau harus mampus. Dewa pedang, hiyaaa...!"

   Rengganis melipat sepasang kipasnya.

   Saat dikibaskan tangannya, dari ujung kipas itu keluar mata pisau yang tajam berkilat.

   Dengan satu gerakan cepat, wanita itu melompat sambil berteriak nyaring.

   Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi, hanya mampu menangkis satu senjata Rengganis, sedangkan satu lagi amblas di dadanya.

   Jeritan melengking terdengar menyayat.

   Rengganis belum merasa puas juga, ditusukkan senjatanya berulang-ulang ke tubuh Dewa Pedang.

   Wanita itu baru berhenti setelah Dewa Pedang menggeletak tak bernyawa lagi.

   Saat itu juga murid-murid Padepokan Teratai Putih yang mengetahui gurunya tewas, berlarian kalang-kabut menyelamatkan diri.

   Tapi tokoh-tokoh rimba persilatan dan muridmurid padepokan yang berkhianat serta gabungan dari partai-partai persilatan tidak membiarkannya.

   Mereka mengejar dan membunuh orang-orang yang ada hubungannya dengan Dewa Pedang.

   "Habiskan semua! Jangan ada yang tersisa!"

   Perintah Rengganis keras.

   Rengganis mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Dia mencari istri pertama Dewa Pedang dan putranya.

   Hatinya menggeram karena orang yang paling dibencinya berhasil menyelamatkan diri.

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, dipanggilnya tiga saudara pengikut setianya dan beberapa anak buah pilihan untuk mengejar istri Dewa Pedang dan putranya.

   Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengejar.

   Sedangkan sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan Teratai Putih.

   *** "Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru,"

   Kata Badar setelah mereka cukup jauh meninggalkan Padepokan Teratai Putih.

   Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu mengambil tempat untuk istirahat.

   Sedangkan murid murid pilihan Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga.

   Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para emban.

   Sedangkan putranya tetap berada dalam pelukannya.

   Wajah ibu yang baru beberapa hari yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan.

   Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung Tangkup.

   Tampak asap hitam membumbung tinggi, mengotori angkasa yang semula cerah "Badar,"

   Panggil Larasati lemah.

   "Ya, Nyai Guru,"

   Sahut Badar seraya mendekat.

   "Bagaimana nasib suamiku?"

   Tanya Larasati. Hatinya waswas.

   "Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa Pedang selamat,"

   Sahut Badar, yang sebenarnya tak yakin gurunya selamat.

   "Tidak kusangka kalau Rengganis akan berkhianat,"

   Lirih suara Larasati.

   "Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai. Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang berpihak pada wanita keparat itu."

   Sahut Badar lagi.

   Larasati diam merenung.

   Dia masih belum bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat buruk seperti itu.

   Benar-benar tidak disangga sama sekali.

   Rengganis yang selalu bersikap manis, ternyata di balik semua itu tersimpan hati busuk untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih! Larasati memang tidak tahu persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang itu.

   Yang dia tahu, ketika suaminya membawa seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya sebagai istri.

   Saat itu Larasati sebenarnya ingin berontak.

   Hatinya tidak suka dimadu.

   Namun dia sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita yang hanya bisa menerima nasib saja.

   Akhirnya semua diterimanya dengan hati lapang.

   Dia memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis kepada suaminya.

   Larasati hanya bisa pasrah.

   "Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan,"

   Ajak Badar.

   "Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku,"

   Larasati menyarankan.

   "Baiklah. Nyai,"

   Sahut Badar seraya beranjak bangun.

   Badar menghampiri murid-murid Padepokan Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini.

   Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang untuk kembali ke padepokan.

   Badar segera menghampiri Larasati setelah tiga orang yang ditunjuknya telah berangkat.

   Saat itu Larasati sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali diikuti enam orang emban.

   "Mari, Nyai,"

   Kata Badar.

   Larasati mengangguk, lalu melangkah.

   Enam orang emban setianya mengiringinya dari belakang.

   Sedangkan murid-murid setia Dewa Pedang tinggal sembilan orang lagi yang berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya.

   Seakan-akan membentuk benteng kokoh.

   "Lampik...!"

   Panggil Badar sambil menggapaikan tangannya pada salah seorang adik seperguruannya yang berjalan di belakangnya.

   "Ada apa, Kakang?"

   Lampik segera menghampiri.

   "Kau jalan lebih dulu, cari desa terdekat. Beli beberapa ekor kuda,"

   Perintah Badar, orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan istri gurunya ini.

   "Baik, Kakang,"

   Sahut Lampik segera berlari cepat mendahului rombongan itu.

   "Untuk apa kau beli kuda, Badar?"

   Tanya Larasati.

   "Agar perjalanan lebih cepat, Nyai,"

   Sahut Badar.

   Larasati tidak bertanya lagi.

   Sementara rombongan itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih yang kini telah hancur.

   Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba persilatan terus mengejar rombongan yang berhasil melarikan diri.

   Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, sehingga dalam waktu singkat rombongan itu telah terlihat.

   "Itu mereka! Kejar! Bunuh mereka semua...!"

   Seru Rengganis seraya berlari cepat menggunakan ilmu peringan tubuh.

   "Celaka!"

   Desah Badar terkejut. Larasati pun ikut terkejut begitu melihat ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke arah mereka dengan senjata terhunus.

   "Hadang mereka semampu kalian!"

   Perintah Badar.

   "Baik, Kakang!"

   Delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan mencabut senjata masing-masing.

   Sedangkan Badar segera membawa Larasati dan enam orang emban menjauh dari tempat itu.

   Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu.

   Sementara delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih serentak menghadang para pengejarnya.

   Mereka langsung bertempur tanpa mengenal rasa takut.

   Tingkat kepandaian mereka memang cukup lumayan, karena mereka adalah murid utama Dewa Pedang.

   Hal ini menjadikan pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya jadi agak terhambat.

   Mereka terpaksa bertarung untuk menembus benteng yang terdiri dari delapan orang itu.

   Ternyata delapan orang murid utama Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh.

   Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, mereka kewalahan juga.

   "Cari kesempatan keluar! Biar aku hadang mereka!"

   Seru salah seorang dari delapan murid Padepokan Teratai Putih itu.

   Dua orang langsung melompat dan berlari cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai Putih yang sudah tidak terlihat lagi.

   Beberapa tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi enam orang yang masih bertahan cepat menghalangi.

   Pertarungan tidak seimbang itu kian berlangsung sengit.

   Namun telah dapat dipastikan kalau enam orang itu benar-benar kewalahan.

   Bahkan tidak berapa lama berselang, satu orang terjungkal roboh mandi darah.

   Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang lagi dengan dada robek.

   "Bunuh mereka semua! Yang lain ikut aku!"

   Seru Rengganis sambil melompat keluar dari kancah pertempuran begitu ada kesempatan.

   Salah seorang segera melompat hendak menghadang Rengganis.

   Tapi wanita berbaju hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu dengan cepat mengebutkan kipasnya.

   Tanpa ampun lagi.

   orang yang menghalanginya itu tersambar dadanya hingga sobek.

   Rengganis tidak lagi mempedulikan.

   Dia segera berlari dan melompat cepat diikuti oleh yang lainnya.

   Sudah dapat dipastikan kalau sisa muridmurid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian di atas mereka.

   Satu persatu mereka roboh dan langsung tewas.

   Sementara Rengganis dan sebagian pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang setianya.

   Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai Putih, karena yang menghalangi sudah tidak tersisa lagi.

   Tapi pihak mereka juga tidak sedikit yang tewas.

   Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki kemampuan di bawah muridmurid Padepokan Teratai Putih.

   *** Pada saat yang sama, Badar yang selalu mendampingi istri gurunya itu semakin cemas.

   Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak jauh di belakang mereka, Rengganis bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya mengejar cepat, dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh.

   Badar tidak mungkin untuk memaksakan tenaga istri gurunya itu agar berlari lebih cepat lagi.

   Larasati hanya seorang wanita lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan! "Aaakh...!"

   Tiba-tiba saja terdengar suara jeritan menyayat dari salah seorang emban.

   Sebatang tombak panjang menembus punggungnya hingga ke jantung.

   Suara jeritan itu belum lagi hilang, ketika kembali terdengar jeritan melengking dari seorang emban yang lain.

   Sebatang anak panah menembus punggungnya.

   Emban itu terjungkal jatuh dan tewas seketika.

   "Cepat lari terus. Nyai,"

   Kata Badar melihat Larasati berhenti.

   "Tapi...."

   Larasati tidak bisa melanjutkan kata-katanya, karena mendadak saja dua batang anak panah meluncur cepat ke arahnya.

   "Hup!"

   Badar langsung mencabut pedang di pinggangnya.

   Secepat kilat, dikibaskan senjata itu untuk menghalau dua batang anak panah yang meluncur tadi.

   Tangan kirinya segera mendorong Larasati agar terus berlari.

   Mau tidak mau Larasati berlari sambil memeluk erat bayinya.

   Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih yang sudah bergabung kembali, segera menghentikan larinya.

   Mereka mencoba menghadang pengejar yang berjumlah puluhan orang itu.

   Namun dua orang dengan tenaga sudah terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh rimba persilatan yang sudah dirasuki nafsu membunuh itu.

   Tanpa dapat berbuat banyak, kedua orang itu tewas tercincang.

   Sementara Badar terus membawa lari Larasati untuk menyelamatkan diri.

   Emban yang tinggal empat orang, tanpa mampu berbuat apa-apa masih menyertai mereka.

   Tapi....

   Mereka memang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun.

   "Badar. Aku tidak kuat lagi..."

   Keluh Larasati dengan napas tersengal.

   "Bertahanlah, Nyai,"

   Badar coba mendorong semangat wanita itu. Larasati hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya sudah menyiratkan kepasrahan. Sementara para pengejar sudah semakin deket saja.

   "Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di sini,"

   Kata Larasati sambil menyerahkan putranya pada Badar.

   "Nyai...,"

   Badar ragu-ragu menerima bayi yang baru berusia beberapa hari itu.

   "Jangan hiraukan aku, Badar. Aku mempunyai firasat bahwa suamiku sudah tiada. Selamatkan saja bayi ini,"

   Larasati mencoba tabah.

   Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima juga bayi itu.

   Sebentar ditatapnya wajah mungil di dalam dekapannya.

   Tampak bayi itu tersenyum manis, seolah-olah mengungkapkan agar Badar tetap tabah dan bersemangat.

   Badar mengalihkan perhatian pada para pengejarnya yang sudah semakin dekat saja.

   "Mari, Nyai. Mereka sudah semakin dekat,"

   Desak Badar.

   "Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau pergi,"

   Sahut Larasati pasrah.

   "Nyai...."

   Pada saat itu, tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat ke arah Larasati.

   Dengan sigap Badar mengibaskan pedangnya menghalau anak panah itu.

   Tapi belum lagi pedangnya ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat tanpa dicegah lagi.

   Satu jeritan melengking terdengar dari salah seorang emban.

   Badar menggeram melihat satu persatu orang yang harus dilindungi kini tewas.

   "Cepat Bad.... Akh!"

   "Nyai...!"

   Badar tersentak kaget begitu melihat wanita yang sangat dihormatinya sudah tertembus anak panah di punggung.

   Sedangkan saat itu dia tengah menghalau serbuan tombak yang datang bagai hujan.

   Badar segera melompat mendekati tubuh Larasati yang menggeletak dengan punggung tertembus anak panah.

   Sementara jeritan-jeritan melengking saling menyusul bersamaan dengan ambruknya para emban.

   Tubuh mereka tertembus tombak dan anak panah.

   "Nyai...,"

   Badar tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.

   "Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan didiklah agar menjadi seorang pendekar. Aku akan tersenyum jika dia berhasil membalas kematian orang tuanya,"

   Kata Larasati lemah.

   "Nyai.

   "

   "Bayu.... jangan nakal ya, Nak..Turutilah katakata Pamanmu,"

   Semakin lemah suara Larasati. Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air bening menetes di pipi Badar. Dengan tangan gemetar, Larasati mengusap kepala bayinya. Lalu menghembuskan napas yang terakhir "Nyai...,"

   Desis Badar tersendat.

   Sebentar Badar mengusap wajah Larasati dengan tangannya.

   Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh dari puluhan orang yang sedang berlari cepat menuju ke arah Badar.

   Dia menoleh.

   Di antara mereka, terlihat Rengganis dengan kipas baja yang terkembang di tangan.

   Badar segera bangkit berdiri, den berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

   "Kejar dia! Bunuh...!"

   Terdengar suara seruan keras.

   *** Sementara itu matahari telah condong ke Barat.

   Sinarnya yang kemerahan tidak lagi menyengat.

   Burung-burung telah mulai kembali ke sarangnya masing-masing.

   Saat itu Badar yang berlari ke arah Selatan telah mencapai tepian pantai.

   Angin laut bertiup kencang di senja hari.

   Debur ombak menggemuruh menghantam batu-batu karang.

   Badar berhenti berlari ketika matanya menatap kedepan, ke arah laut.

   Tampak sebuah pulau berwarna merah menyembul ke permukaan laut.

   Kelihatannya pulau itu sangat dekat dengan tempatnya berdiri sekarang.

   Badar tidak menyadari kalau sekaranq ia berada di Pesisir Pantai Selatan.

   Dan pulau yang terlihat itu adalah Pulau Neraka! Pulau yang sangat ditakuti oleh semua orang.

   Pulau yang aneh dan menyeramkan.

   Seluruh tanah, batu-batuan, dan pepohonan berwarna merah bagai terbakar.

   Saat Badar menoleh ke belakang, tampak para pengejarnya juga seperti ragu-ragu.

   Mereka tetap bergerak, namun tidak lagi berlari cepat.

   Hanya bergerak pelahan-lahan.

   Nama Pulau Neraka bukanlah nama asing bagi kaum rimba persilatan.

   Bahkan para nelayan di sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang berani mendekati pulau itu.

   "Badar! Menyerahlah kau! Serahkan bayi itu padaku!"

   Seru Rengganis seraya mendekat pelan-pelan "Jangan harap kau bisa menyentuh bayi ini, Rengganis!"

   Sahut Badar seraya melangkah mundur dengan cepat.

   Badar menoleh ke belakang.

   Tampak beberapa perahu nelayan tertambat di garis pantai.

   Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah perkampungan nelayan.

   Beberapa orang nelayan tampak bergerombol, namun tidak ada yang berani mendekat.

   Mereka tahu kalau orang-orang yang berada di pantai sore-sore begini adalah para tokoh rimba persilatan.

   Bagi penduduk yang tidak peduli dengan dunia persilatan, hanya menyaksikan saja tanpa mau ikut terlibat.

   Sementara Rengganis dan puluhan tokoh rimba persilatan terus melangkah pelahan-lahan mendekati Badar.

   Menghadapi begitu banyak tokoh yang memiliki kemampuan rata-rata di atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin.

   Sedangkan kini tidak ada jalan lain untuk bisa lolos kecuali ke Pulau Neraka itu.

   Dan ini sangat disadari Badar.

   Masuk ke Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut buaya lalu masuk ke kandang macan.

   Sebentar dilihatnya perahu itu, lalu pandangannya beralih pada orang-orang yang semakin dekat saja.

   "Badar...! Aku akan membebaskanmu asalkan kau serahkan bayi itu,"

   Seru Rengganis.

   "Jangan coba-coba membujukku, Perempuan Liar! Mulutmu sangat manis, tapi mengandung bisa!"

   Ejek Badar sinis.

   Merah padam wajah Rengganis mendengar ejekan menyakitkan telinga itu.

   Tanpa menghiraukan kalau daerah itu sangat terlarang untuk pertempuran, Rengganis segera melompat tinggi ke udara.

   Bagaikan seekor burung camar, dia berputar di udara beberapa kali sebelum mendarat di depan Badar.

   Sepasang kipas mautnya sudah terkembang di depan dada.

   "Tahan!"

   Seru seseorang dari tokoh-tokoh rimba persilatan ketika Rengganis hampir mengibaskan senjatanya.

   Rengganis menghentikan gerakan tangannya di udara.

   Seorang laki-laki tua dengan rambut seluruhnya putih, melompat menghampiri.

   Laki-laki Itu mengenakan jubah putih dengan tangan kanan menggenggam tongkat.

   Hanya dengan sekali lompatan saja, sudah berada di sisi Rengganis.

   "Gagak Putih, kenapa kau hentikan maksudku?"

   Tanya Rengganis mendengus tanpa menoleh sedikit pun.

   "Kau akan terkena kutukan seumur hidup jika membunuh di sini, Rengganis,"

   Kata laki-laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak Putih.

   "Aku tidak peduli! Mereka harus mati! Semua ke turunan dan orang-orang Dewa Pedang harus musnah dari muka bumi! Kau tahu Gagak Putih! Dewa Pedang telah membantai habis seluruh keluargaku! Sudah banyak pengorbananku, Gagak Putih. Dan aku tidak ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya karena takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu!"

   Rengganis sudah tidak mampu lagi berpikir jernih.

   "Rengganis! Kau sadar dengan ucapanmu?"

   Gagak Putih kaget juga mendengarnya.

   "Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela mati asal seluruh dendamku terbalas,"

   Sahut Rengganis mantap.

   Setelah berkata demikian, dengan cepat Rengganis menggeser kakinya ke depan sambil mengibaskan tangan kanannya.

   Pada saat itu juga Badar mengangkat pedangnya menangkis serangan kipas yang terbuka dengan cepat.

   Tangan kanannya memainkan pedang, sedangkan tangan kirinya tetap menggendong bayi.

   Rengganis tidak peduli lagi dengan peringatan Gagak Putih.

   Diserangnya Badar dengan jurus-jurus andalan yang sangat berbahaya dan dahsyat.

   Pada saat itu Badar dalam keadaan terjepit.

   Kakinya tidak bisa melangkah mundur.

   Punggungnya sudah menyentuh dinding perahu.

   Hingga pada satu serangan yang cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi.

   Bret! "Akh!"

   Badar memekik tertahan.

   Darah mengucur keluar dari pundak sebelah kiri.

   Untung saja Badar masih sempat menggeser kakinya sedikit, sehingga sabetan ujung kipas Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin dapat mengakibatkan bayi di dalam pelukan Badar terluka.

   "Serahkan bayi itu, Badar! Atau kau akan mati di sini,"

   Ancam Rengganis dingin.

   Badar melangkah mundur.

   Sementara di sekitarnya telah banyak orang dengan senjata siap merejam tubuhnya.

   Punggungnya semakin merapat ke dinding perahu.

   Diam-diam Badar mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong perahu dengan punggungnya.

   Sedikit demi sedikit perahu itu mulai bergerak.

   Seorang pun tak ada yang memperhatikannya.

   Mungkin mereka tengah diliputi perasaan tegang.

   "Hup!"

   Tiba-tiba saja Badar melompat naik ke atas perahu, tapi sebatang anak panah telah lebih cepat mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu menancap tepat di punggung Badar.

   "Bunuh dia!"

   Perintah Rengganis berteriak.

   Badar meletakkan bayi yang ada dalam pelukannya ke dasar perahu, kemudian diambilnya kayu.

   Dengan sisa-sisa tenaganya.

   Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah hujan anak panah dan tombak yang berdesingan di sekitarnya.

   Badar terus mengayuh tanpa peduli lagi dengan ancaman dan keadaan tubuhnya.

   "Akh!"

   Lagi-lagi Badar memekik tertahan ketika sebatang anak panah kembali menancap di lambung belakangnya.

   Belum juga dapat menegakkan tubuhnya, satu batang anak panah kembali menembus tubuh Badar bagian perut.

   Badar terus mengayuh dan tidak peduli lagi dengan darah yang mengucur semakin deras.

   Tekadnya adalah menyelamatkan bayi dalam gendongannya walaupun bibirnya meringis menahan sakit yang tiada tara pada sekujur tubuhnya.

   Sementara perahu terus membawanya semakin jauh meninggalkan pesisir.

   Hujan anak panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini telah berhenti sama sekali.

   Badar menoleh ke belakang.

   Tampak orang-orang berhati kejam masih berdiri berjajar di sepanjang partai.

   "Kalian akan menerima perinbalasannya kelak...!"

   Teriak Badar sambil mengerahkan tenaga dalam terakhirnya! Suara Badar menggema keras tersapu angin laut.

   Semua orang yang masih berjajar di tepi pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak seorang pun yang mempedulikannya.

   Perahu terus membawa Badar dan bayi itu ke arah Pulau Neraka.

   Mereka semua tahu, kecil kemungkinan untuk selamat jika memasuki kawasan pulau itu.

   Kalaupun kembali, pasti hanya mayatnya saja yang hanyut terbawa ombak.

   Badar menyadari betul hal itu.

   Dia berusaha mengayuh perahu untuk menghindari pulau itu.

   Tapi seperti ada gelombang yang amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot dan bergerak sendiri ke pulau itu.

   Badar berhenti mengayuh.

   Tubuhnya semakin melemah.

   Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang.

   Namun murid utama Padepokan Teratai Putih itu masih sempat merasakan kalau perahu yang ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau Neraka.

   Badar segera mengambil bayi yang tergeletak didasar perahu.

   Dengan sisa-sisa tenaganya, dia langsung melompat ke luar sebelum perahu hancur menabrak batu karang yang berwarna merah bagai terbakar.

   Badar jatuh bergulingan di atas pasir merah dan keras, namun bayi dalam pelukannya tidak terlepas.

   "Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di sini, aku pasrah. Tapi janganlah kau cabut nyawa bayi ini,"

   Lirih suara Badar.

   Susah payah Badar berusaha berdiri.

   Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika bergerak sedikit saja.

   Tiga anak panah yang menghunjam tubuhnya, terasa seperti menyayat-nyayat.

   Badar berusaha melangkah menjauhi pantai Pulau Neraka.

   Baru saja kakinya berjalan beberapa tindak, tubuhnya kembali tersungkur.

   Akibatnya, bayi dalam pelukannya terlepas jatuh.

   Aneh! Bayi itu tidak menangis! Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan tangannya.

   Badar merayap mendekati bayi itu sambil menahan sakit yang tiada tara di tubuhnya.

   "Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian di sini,"

   Ujar Badar sendu. Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar. Dia hanya diam, sedangkan matanya yang bening indah berputar-putar merayapi wajah Badar. Senyumnya tidak lagi mengembang.

   "Kau harus hidup, Bayu! Harus...! Akh!"

   Badar meringis menahan sakit.

   "Tidak ada lagi yang bisa membalas kematian orang tuamu, kecuali engkau kelak! Kau harus hidup, Bayu. Balaslah semua kekejaman ini...,"

   Suara Badar semakin lemah.

   Badar tidak kuat lagi menahan tubuhnya.

   Dia hanya mampu tergolek di samping bayi yang terbungkus kain sutra halus merah muda.

   Jangankan mengangkat tubuh, untuk mengangkat tangan saja Badar sudah tidak mampu lagi.

   Sementara batuk-batuk yang lemah mulai mengiringi ajalnya.

   Matanya semakin berkunang-kunang.

   Pasir pantai yang direbahinya ierasa semakin panas.

   Padahal, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.

   "Bayu! Kau harus hidup, Nak! Kau harus jadi seorang pendekar! Carilah nama-nama yang kutulis ini! Merekalah yang membunuh ayah dan ibumu! Mereka semua kejam! Mereka juga menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik ayahmu. Kau pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih, Bayu...,"

   Suara Badar semakin lemah dan sulit didengar.

   Badar merobek bajunya.

   Dengan darahnya sendiri, dituiislah beberapa nama.

   Tapi belum juga selesai, tubuhnya telah mengejang kaku.

   Badar sempat meletakkan kain bertuliskan beberapa nama di atas tubuh bayi itu sebelum maut menjemputnya.

   Ketika dia menghembuskan napas yang terakhir, pecahlah tangis bayi dengan suara yang melengking.

   Bayi itu seperti mengerti kalau orang yang berjuang menyelamatkan nyawanya telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini.

   Tangis bayi itu begitu keras dan melengking.

   Angin pun seperti tersentak dan berhenti bertiup.

   Tangisan itu membuat suasana Pulau Neraka begitu menyayat.

   Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat.

   Sinarnya yang membias merah menambah angkernya Pulau Neraka.

   Dan suara tangisan bayi itu masih terdengar diselingi dengan ombak yang menjilat pantai.

   Sementara jauh dari pulau berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba persilatan mulai meninggalkan pesisir pantai.

   Sedangkan Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau itu.

   Dari pesisir pantai ini, begitu jelas terlihat kalau perahu yang membawa Badar dan bayi putra tunggal Dewa Pedang hancur berkeping-keping.

   Rengganis tersenyum lebar.

   Dia yakin betul kalau dua manusia yang berada dalam perahu telah tewas di Pulau Neraka yang angker dan penuh misteri itu.

   Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau ditemani tiga saudara pengikut setianya.

   Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan yang lainnya telah sejak tadi meninggalkan tepian pantai itu.

   Rengganis baru menoleh dan berbalik setelah semua orang tidak terlihat lagi.

   "Ayo kita pulang,"

   Ajak Rengganis seraya melangkah.

   "Kemana, Nyai?"

   Tanya Ganis.

   "Ke tempat tanah kelahiranku!" *** Senja telah merambat menjadi malam. Angin berhembus kencang membawa hawa dingin ke sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia masih tergolek di pasir merah di bawah siraman cahaya bulan. Yang seorang telah tewas. Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup. Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh dari pantai itu, berdiri sosok manusia bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang buntung sampai sebatas paha, nampaknya-cukup kokoh menopang berat badannya. Dalam keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya yang merah panjang, melampai-lambai dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati dua sosok manusia yang terbaring di pasir pantai. Bagai bola karet yang ditendang, tubuh orang buntung itu melentur turun dari batu karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi pantai dekat dengan tubuh yang tewas.

   "Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, Kisanak! Semua keluhanmu telah kudengar,"

   Suaranya berat tanpa nada sedikit pun.

   Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh Badar yang sudah tidak bernyawa lagi.

   Kepalanya menggeleng-geleng.

   Dilompatinya tubuh yang sudah kaku itu.

   Kini dia menghadapi sosok bayi merah yang diam tenang.

   Kembali tangannya meraba-raba.

   Kening laki-laki buntung itu agak berkerut ketika tangannya menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan tidur pulas.

   Mungkin bayi itu terlalu lelah setelah menangis seharian.

   "Bayi...?! Jadi, inikah keluhannya...?"

   Gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan.

   Kemudian diangkatnya bayi itu.

   Tangannya mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya kedinginan.

   Jari-jari tangan laki-laki itu mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya.

   Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh kain yang penuh noda darah yang membentuk tulisan.

   Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu dimasukkan kain itu ke balik sabuknya.

   Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh bayi itu.

   "Masih hidup, dan.... Ah! Laki-laki!"

   Serunya gembira.

   Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, seperti hendak memandang bulan.

   Sebentar kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin melihat rupa bayi dalam dekapannya.

   Entah mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang buruk kelihatan murung.

   "Dari keluhan orang yang bersamamu, kau bernama Bayu, Bocah! Ah..., seandainya.... Uh! Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya kembali. Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini!"

   Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi halus bayi yang bagai sutra itu.

   "Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang tinggal di sini,"

   Katanya setengah berbisik. Kaki orang itu melangkah pelan meninggalkan jasad Badar yang sebentar-sebentar dijilat ombak.

   "Bayu... Ah! Kau tampan mirip dengan anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya! Namamu Bayu Hanggara!"

   Bisik orang itu lagi.

   Sehabis berkata demikian laki-laki cacat itu melentingkan tubuhnya.

   Meskipun kakinya buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata biasa.

   Dalam sekejap saja ia telah hilang di balik batu-batu karang yang tersebar di sekitar pantai Pulau Neraka ini.

   *** Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun telah teriewati.

   Kari terus berpacu cepat Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui oleh bayi mungil yang bernama Bayu.

   Dia kini telah menjelma menjadi seorang pemuda berwajah tampan.

   Kulitnya kuning bersih.

   Namun di balik wajah dan tubuhnya yang tegap itu, tersirat sorot mata yang keras dan tajam.

   Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat kepala dari kulit harimau.

   Tubuhnya yang tegap dihiasi oleh otot-otot yang bersembulan.

   Bajunya yang terbuat dari kulit harimau, menutupi badannya.

   Lengannya yang kokoh dibiarkan telanjang, seolah-olah ingin memperlihatkan kejantanannya.

   Sementara kini senja telah merayap turun.

   Matahari dengan sinarnya yang merah Jingga mulai bergerak meluncur ke peraduannya.

   Pemuda tegap berbaju harimau itu berdiri tegak memandang ke laut lepas di atas sebongkah batu karang berwarna merah bagai terbakar.

   Tidak jauh dari situ, juga berdiri seorang laki-laki tua bertubuh gemuk pendek bagai bola.

   Tubuhnya tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke paha.

   Wajahnya juga menghadap ke laut lepas, tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang matanya memang buta.

   Hanya perasaannya yang tajam mampu melihat keadaan sekelilingnya.

   "Rasanya telah hampir malam. Kau tidak ingin pulang, Bayu?"

   Kata laki-laki yang cacat itu.

   "Hhh...!"

   Pemuda yang bernama Bayu itu hanya menarik napas panjang seraya menoleh kepada laki-laki tua di dekatnya.

   "Seharian kau berdiri di sini, Bayu Hanggara! Boleh aku tahu, apa yang sedang kau pikirkan?"

   "Tidak ada, Eyang Gardika,"

   Sahut Bayu mendesah pelan.

   "Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada suaramu, Bayu. Katakanlah terus terang, apa yang menjadi beban pikiranmu?"

   Desak laki-laki tua yang dipanggil Eyang Gardika.

   Lagi-lagi Bayu menarik napas panjang.

   Dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi sulit untuk mengungkapkannya.

   Sejak masih bayi merah dia dirawat dan dididik oleh laki-laki tua penuh misteri ini, di Pulau Neraka Memang terlalu banyak yang di pikirkan Bayu, tapi hanya satu masalah yang selalu mengganjal hatinya.

   Sampai saat ini dia tidak tahu siapa, dari mana, dan bagaimana orang tuanya.

   Juga, dia tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat ini.

   Dua puluhh tahun tinggal bersama-sama, tapi Bayu sedikit pun tidak tahu seluk-beluk diri Eyang Gardika.

   "Eyang tidak marah jika aku ingin mengatakan suatu?"

   Nada suara Bayu terdengar ragu-ragu.

   "Kau satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan saja semua yang ada di dalam hatimu,"

   Jawab Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun terdengar berat.

   "Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini adalah cucu mu, itu berarti aku mempunyai orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana ayah dan ibuku sekarang berada?"Eyang Gardika tidak segera menjawab. Ingatannya kembali pada kejadian dua puluh tahun yang silam. Saat itu dia sedang berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini. Tiba-tiba saja perasaannya yang tajam mengatakan ada sebuah perahu menuju ke pulau ini. Dengan kekuatan tenaga dalam, ditariknya perahu yang berisi dua tubuh itu. Seorang dengan luka di badan dan telah mati, seorang lagi adalah bayi merah. Biasanya kalau ada perahu yang mendekati Pulau Neraka, Eyang Gardika akan menghancurkan dan membunuh penumpangnya. Tapi karena telinganya yang tajam mendengar suara rintihan dan keluhan disertai tangisan bayi, hatinya merasa tersentuh. Pada saat itu dia memang teringat pada putranya sendiri yang kini entah bagaimana nasibnya. Eyang Gardika membalikkan tubuhnya, lalu berjalan tertatih-tatih dengan sepasang kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung berubah. Wajah angker tanpa senyum sedikit pun, terlihat semakin seram. Kening Bayu menjadi berkernyit, lalu buru-buru terbalik dan mensejajarkan langkahnya pelan-pelan di samping laki-laki tua cacat itu.

   "Maaf, Eyang. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,"

   Ujar Bayu menyesal.

   "Aku tidak sedih. Kau memang sudah selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm..., berapa usiamu sekarang?"

   "Aku..., aku tidak tahu, Eyang,"

   Jawab Bayu kebingungan.

   "Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu, Bayu...,"

   Ujar Eyang Gardika lirih.

   "Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan tentang diriku sendiri, Eyang,"

   Pinta Bayu penuh harap.

   "Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau kutemukan bersama seseorang yang telah mati, tergeletak di pantai Pulau Neraka ini. Tapi mudah-mudahan saja kisahku nanti ada hubungannya dengan asal-usul dirimu. Dan sebaiknya kita kembali dulu ke pondok,"

   Jawab Eyang Gardika.

   Bayu tidak bisa membantah.

   Kakinya terus melangkah pelan-pelan mengimbangi ayunan langkah Eyang Gardika di sebelahnya.

   Saat itu matahari telah menenggelamkan dirinya di belahan bumi bagian Harat.

   Sinarnya yang memerah kini digantikan oleh kepekatan malam.

   Bulan pun muncul bersama kelap-kelip bintang menambah indahnya malam.

   Namun di Pulau Neraka itu tetap saja sunyi sepi.

   Sedikit pun tak terdengar nyanyian binatang-binatang malam.

   Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni saja.

   Entah sudah berapa lama Bayu duduk membisu.

   Matanya tidak lepas pada secarik kain penuh tulisan oleh darah yang mengering.

   Tulisan itu berisi beberapa nama.

   Kalau saja Eyang Gardika tidak menceritakan artinya, tentu dia tidak akan tahu maksudnya.

   Nama-nama yang tertulis di kain itu adalah orang-orang yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu! Bayu baru mengangkat kepalanya ketika pundaknya ditepuk.

   Pandangan matanya langsung tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di hadapannya.

   Bayu menyimpan kain bertuliskan beberapa nama itu ke balik ikat pinggangnya.

   Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat menegang.

   Garis-garis kekerasannya semakin nampak nyata.

   "Bayu, Aku dulu juga seorang tokoh hitam dalam rimba persilatan. Sudah tak terhitung lagi, berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan banyak gadis yang telah menjadi korban kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang kulakukan tidak punya arti dan maksud yang pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa kulakukan semua itu,"

   Ungkap Eyang Gardika, pelan dan berat suaranya.

   "Lantas, mengapa Eyang bisa sampai di sini?"

   Tanya Bayu. Matanya menatap kedua kaki dan mata Eyang Gardika secara bergantian.

   "Dalam pengembaraanku di sebuah desa yang tidak begitu ramai, aku terpikat pada seorang gadis yang lugu dan sedernana. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku begitu lemah di hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang gadis dan menginginkannya, maka segala cara akari kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh lain sekali! Aku begitu mencintainya. Kau tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku! Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam hubunganku dengan gadis itu. Kami menikah di desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak itulah kutinggalkan dunia persilatan, dan hidup damai bersama istriku,"

   Eyang Gardika terdiam sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. Bayu juga diam, menunggu dengan sabar.

   "Tapi, meskipun aku telah bertobat dan melupakan semua masa laluku, ternyata dosa-dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka telah menimpa keluargaku. Saat itu anak pertamaku baru saja lahir, sedangkan aku sedang berada di ladang. Sebuah kepulan asap hitam terlihat olehku yang nampaknya berasal dari rumahku. Perasaanku tidak enak. Cepat-cepat aku berlari pulang. Lalu, apa yang terjadi Bayu...? Rumahku habis terbakar, dan istriku telah terbunuh. Di sekitar rumahku telah menunggu tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba persilatan. Tanpa senjata kebanggaanku, aku memang tidak berarti apa-apa buat mereka. Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka lebih dari separuhnya. Akhirnya aku berhasil ditaklukkan, dan mereka membuntungi kedua kakiku serta membutakan kedua mata ku. Saat itu yang kuinginkan hanya satu. Kematian! Tapi rupanya Yang Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan desa itu setelah kutemukan senjata andalanku."

   Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata berbentuk cakra segi enam yang menempel pada pergelangan tangan kanannya.

   "Mengapa mereka mengeroyokmu. Eyang?"

   Tanya Bayu.

   "Sudah menjadi kehidupan orang-orang rimba persilatan, Cucuku. Mereka sadar bahwa kehadiranku merupakan ancaman yang harus dimusnahkan...,"

   Jawab Eyang Gardika pelan.

   "Lagi pula mungkin mereka memang dendam kepadaku. Mungkin ada keluarga, anak, istri, atau teman mereka yang tewas di tanganku."

   "Lalu, di mana sekarang anakmu, Eyang?"

   Tanya Bayu "Entahlah. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih hidup, mungkin juga telah mati terbakar bersama rumahku,"

   Lirih suara Eyang Gardika.

   Bayu kembali merenung.

   Penderitaan yang dialami kekek angkat sekaligus gurunya ini, ternyata lebih tragis daripada yang dialaminya.

   Bayu benar-benar merasakan hal itu.

   Mereka memang sama-sama kehilangan orang-orang yang dicintai.

   Hanya bedanya, Bayu tidak menyaksikan pembantaian orang tuanya.

   "Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau Neraka ini?"

   Tanya Bayu.

   "Desa tempat tinggalku memang tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Saat itu aku memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, setelah aku berhasil meloloskan diri. Kedua kakiku buntung, dan kedua mataku buta. Kau bisa bayangkan, bagaimana penderitaanku saat itu. Aku bisa sampai ke Pulau Neraka ini secara kebetulan saja. Perahu yang kunaiki entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau ini aku rasanya seperti sudah mati saja. Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi, rasanya sulit untuk mempertahankan hidup di pulau yang tidak berpenghuni dan ganas ini. Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah tubuhku pulih, aku berusaha melatih jurus-jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah tumbuh rasa dendam. Dan itu memang berakibat fatal. Setiap orang yang mencoba memasuki daerah Pulau Neraka, kubunuh tanpa ampun! Tidak peduli siapa yang datang. Bertahun-tahun kujalani hidup seperti itu. Sejak saat itu, nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua orang. Bukan saja penduduk desa, tapi juga orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang pun yang berani datang ke pulau ini lagi."

   "Bagaimana kau melakukannya?"

   Tanya Bayu yang belum pernah melihat gurunya membunuh orang selama dia tinggal di sini. Pada kenyataannya, memang tidak seorang pun yang berani datang ke pulau angker ini! "Dengan ketajaman telinga dan senjata andalanku ini,"

   Jawab Eyang Gardika menunjukkan kembali senjata aneh di tangan kanannya.

   Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Jawaban gurunya memang bisa dipercaya, karena memang telah terbukti kedahsyatan senjata itu.

   Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika memang luar biasa Dari pondok di tengah-tengah pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang terjadi di sekeliling pulau.

   Bahkan perahu kecil yang coba-coba mendekat pun bisa diketahuinya dengan jelas.

   Entah ilmu apa yang digunakan.

   Yang jelas, Bayu belum mampu mempelajarinya.

   "Bayu, kau ingin mencari pembunuh orang tua mu?"

   Tanya Eyang Gardika setelah terdiam beberapa saat.

   "Benar, Eyang,"

   Jawab Bayu mantap.

   "Kau tahu siapa mereka?"

   Bayu hanya menggelengkan kepalanya.

   "Yang tertulis pada secarik kain hanya sebagian saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memburu mereka. Bahkan tidak mustahil di antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu kau masih bayi, dan kukira usiamu baru beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh tahun! Tidak semua orang bisa berumur panjang, Bayu. Kurasa dendammu sudah tidak ada gunanya lagi,"

   Ujar Eyang Gardika pelan.

   "Aku akan berusaha mencari mereka, Eyang, tekad Bayu "Bahkan kalau bisa dendam dan sakit hatimu akan kubalaskan."

   "Kau belum cukup mampu untuk terjun dalam rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu seluruh ilmu-ilmuku. Mungkin dua atau tiga tahun lagi, kau baru mampu,"

   Kata Eyang Gardika. Bayu terdiam.

   "Semua ilmu yang kuwariskan padamu, beraliran hitam. Tapi sebaiknya kau gunakan untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat buruk ilmuku tidak mungkin luntur meskipun kau berhati emas. Tindakanmu tidak akan jauh berbeda dengan orang-orang beraliran sesat! Untuk itu, pandai-pandailah membawa diri agar tidak menarik perhatian gotongan putih yang pasti akan memburu dan melenyapkanmu."

   Ungkap Eyang Gardika memberi penjelasan.

   "Aku mengerti, Eyang,"

   Sahut Bayu.

   "Bagus! Kalau niat hatimu telah mantap, persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru kau boleh meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba persilatan sangat ganas dan berlumur darah. Kau akan kuberi bekal yang harus dikuasai penuh."

   "Terima kasih, Eyang." *** Eyang Gardika tersenyum-senyum memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus dengan penuh semangat. Semua ilmu yang dimilikinya sudah diturunkan pada pemuda itu. Hebatnya, di tangan Bayu ilmu-ilmu Eyang Gardika kelihatan lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa terjadi karena usia Bayu yang masih muda lagi cerdas. Dia cepat menyerap semua yang diajarkan kakek angkat, sekaligus guru tunggalnya. Sampai saat ini, Eyang Gardika telah cukup puas dengan keperkasaan Bayu. Walaupun dia tidak bisa melihat, namun hati dan pendengarannya lebih peka daripada orang biasa. Sementara hari telah senja. Bayu baru saja selesai menyempurnakan jurus terakhir yang diberikan Eyang Gardika. Keringat masih menetes membasahi tubuhnya. Dia berlari-lari menghampiri laki-laki tua cacat yang duduk di atas batu karang merah.

   "Awas..!"

   Tiba-tiba Eyang Gardika berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya.

   Bayu tersentak kaget.

   Cakra kuning bersegi enam di pergelangan tangan kanan Eyang Gardika meluncur deras ke arahnya.

   Cakra itu berputar melayang dengan suara mendesing menggetarkan hati.

   Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping menghindari terjangan senjata dahsyat gurunya itu.

   "Hup!"

   Dengan sigap Bayu bangkit berdiri.

   Namun tanpa diduga sama sekali, cakra itu berbalik.

   Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika meluncur deras ke arah pemuda itu.

   Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari terjangan senjata itu.

   Beberapa helai rambut lagi, ujung-ujung runcing cakra itu akan menyobek dadanya.

   "Hih!"

   Bayu mendesis terpana merasakan desiran angin senjata cakra itu.

   Tubuhnya bergidik kedinginan.

   Desiran angin senjata itu tidak saja menimbulkan hawa yang sangat dingin, tapi juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya panas membakar kulit! Benar-benar aneh senjata laki-laki cacat itu.

   Eyang Gardika mengangkat tangan kanannya keatas.

   Maka senjata berupa lingkaran yang mempunyai ujung runcing bengkok berjumlah enam itu pun melesat kembali ke arahnya.

   Seperti bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di pergelangan tangan Eyang Gardika yang memakai gelang berwarna keperakan.

   "Eyang...,"

   Suara Bayu tersekat di tenggorokan.

   "Bagus! Kau mampu menghindarinya, Bayu! Sekarang, tahanlah serangan berikut!"

   "Eyang...!" . Bayu tidak sempat lagi mencegah. Dia tidak mengerti, kenapa Eyang Gardika seperti ingin membunuhnya. Laki-laki buntung dan buta itu sudah menghentakkan tangan kanannya kembali. Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur deras ke arah Bayu. Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, dan senjata itu hanya menemui tempat kosong di depan dadanya. Belum sempat berpikir, senjata itu telah berbalik berputar menyerang kembali dengan cepat.

   "Uts!"

   Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan bergulingan di atas tanah berpasir.

   Kembali senjata itu hanya menembus ruang kosong.

   Seperti bermata saja, senjata itu berbalik, dan dengan cepat mengejar kembali.

   Bayu menjumput sebongkah batu karang di dekatnya, lalu melemparkannya ke arah senjata itu.

   Matanya membeliak terkejut karena senjata itu tidak terpengaruh sedikit pun.

   Batu karang yang dilemparkan hancur berkeping-keping tanpa menghambat laju senjata itu.

   "Hiyaaa...!"

   Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan senjata itu lewat di bawah kakinya.

   Namun belum juga kakinya bisa menjejak tanah, senjata itu sudah kembali menyerang.

   Sementara udara di sekitarnya menjadi terasa dingin.

   Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa terbakar.

   Benar-benar aneh dan dahsyat senjata Eyang Gardika ini! Bayu yang berada dalam posisi tidak menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi.

   Dengan cepat diangkat kedua tangannya ke depan dada.

   Pada saat itu, senjata cakra milik Eyang Gardika telah meluncur dan siap menghujam dadanya.

   Dan...

   Bayu menangkap senjata itu dengan kedua tela pak tangannya.

   Aneh! Senjata cakra yang dahsyat itu langsung berhenti bergerak.

   Bayu memandangi senjata itu sejenak, lalu berbalik menghadap Eyang Gardika yang tetap berdiri di atas kedua kakinya yang buntung.

   Tampak lelaki tua itu hanya tersenyum saja "Ha ha ha...!"

   Tiba-tiba saja Eyang Gardika tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.

   "Eyang...."

   Bayu menghampiri.

   "Tidak seorang pun yang berhasil menangkap cakra. Rupanya sudah waktunya cakra berpindah tangan,"

   Kata Eyang Gardika setelah reda tawanya.

   Bayu memandangi senjata di tangannya dan Eyang Gardika secara bergantian.

   Dia masih belum mengerti kata-kata kakek angkatnya.

   Senjata yang bernama 'Cakra' itu sungguh luar biasa.

   Memang, biasanya tidak ada satu makhluk pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu jika telah meluncur dari tangan pemiliknya.

   "Kemarilah, Bayu,"

   Panggil Eyang Gardika. Bayu melangkah menghampiri laki-laki tua cacat itu, lalu segera duduk bersila di hadapan gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam senjata cakra.

   "Pakailah ini,"

   Kata Eyang Gardika seraya mencopot gelang berwarna perak dari tangan kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda itu.

   Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya diterimanya juga.

   Gelang itu dikenakannya di pergelangan tangan kanan.

   Matanya agak menyipit Ketika gelang sudah dikenakannya, senjata cakra itu langsung bergerak dan menempel pada gelang itu.

   "Eyang, kenapa kau berikan senjatamu kepadaku?"

   Tanya Bayu kurang mengerti.

   "Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku, Bayu. Artinya, Cakra telah menjadi milikmu. Hanya orang yang bisa menangkap yang berhak menggunakannya! Dan orang itu adalah kau, Bayu!"

   Jelas Eyang Gardika.

   "Eyang...,"

   Bayu segera bangkit ketika mendengar suara batuk beruntun dari laki-laki cacat itu.

   Eyang Gardika mengangkat tangannya, mencegah Bayu yang ingin mendekat.

   Terpaksa anak muda itu duduk kembali.

   Wajah Eyang Gardika kelihatan berubah merah.

   Dia segera duduk.

   Dadanya terlihat bergerak turun-naik.

   dengan cepat Dari kening dan lehernya merembes keringat sebesar butir-butir jagung.

   Bayu kelihatan cemas melihat keadaan kakek angkatnya irii.

   Dia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang demam.

   "Eyang.... Eyang sakit?"

   Tanya Bayu agak bergetar suaranya.

   "Tenanglah, Bayu. Jangan cemas. Aku tidak apa-apa,"

   Kata Eyang Gardika lemah suaranya.

   "Eyang..., sebaiknya segera kembali ke pondok,"

   Kata Bayu tidak bisa tenang.

   Eyang Gardika hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Terdengar batuknya beberapa kali.

   Bayu tidak bisa berbuat apa-apa.

   Setiap kali Bayu akan bangkit menolong, tapi sudah keburu dicegah.

   Eyang Gardika merasakan adanya gerakan halus.

   Gerakan yang seperti mengajaknya pergi.

   Pendengarannya begitu tajam.

   Dia dapat membedakan gerak sehalus apa pun.

   "Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku sudah tiba...,"

   Eyang Gardika terbatuk lagi.

   "Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat itu kau tidak akan menemukan aku lagi."

   "Eyang...!"

   Sentak Bayu terkejut.

   "Tidak perlu terkejut, Bayu. Sudah saatnya aku meninggalkan dunia ini."

   Eyang Gardika paham kalau Bayu belum siap mendengar kata-katanya yang mengejutkan itu.

   "Eyang..., kenapa begitu mendadak sekali?"

   Tanya Bayu seperti orang tolol.

   "Jangan bodoh, Bayu! Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali pada pencipta-Nya. Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali ke asalnya. Aku tidak ingin kau kehilangan semangat hanya karena kepergianku!"

   Bentak Eyang Gardika.

   "Tapi...,"

   Suara Bayu tersekat di tenggorokan.

   "Bayu! Seluruh hidup dan nyawaku ada pada gelang cakra itu. Aku bisa tetap hidup karena gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan sekarang gelang itu sudah kau miliki, sudah sepatutnya kau pergi. Ingat, Baya Jangan sekali-sekali kau lepaskan gelang itu. Sekali saja kau lepas, berarti ajalmu sudah tiba. Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di dalam gelang itu. Dan pelindungnya hanyalah 'Cakra',"


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long

Cari Blog Ini