Hantu Lereng Lawu 1
Pendekar Perisai Naga Hantu Lereng Lawu Bagian 1
HANTU LERENG LAWU Oleh Werda Kosasih Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga dalam episode.
Hantu Lereng Lawu
https.//www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978 Bulan purnama mengintip di balik mendung.
Tak seperti biasanya jika bulan purnama tiba, kali ini Desa Sanareja tak ubahnya sebuah kuburan tua.
Sunyi dan senyap.
Sejak matahari tenggelam, pendu-duk desa itu pantang keluar dari rumah mereka.
Me-reka berusaha sebisa mungkin agar cepat tertidur.
Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa tidur jika hati dan pikiran mereka dicekam ketakutan? Ki Linggar, demang di desa itu, melangkah mondar-mandir di pendopo rumahnya.
Sesekali saja le-laki berusia enam puluh tahun itu mengintip ke hala-man sambil menajamkan pendengarannya.
"Kenapa tak kau biarkan saja Perdopo dan Sa-radan berjaga-jaga di sini, Ki?"
Kata Nyai Demang memecah keheningan. Sudah beberapa lama perempuan itu duduk meringkuk di sudut pendopo sambil me-mandangi gerak-gerik suaminya.
"Untuk apa? Mengantarkan nyawa?"
Jawab Ki Linggar tanpa mengalihkan pandang matanya yang menghunjam ke lantai.
"Lalu, apa kau bisa menghadapi orang-orang itu seorang diri?"
"Aku tidak akan menghadapi mereka dengan kekerasan! Kekerasan hanya akan mengundang cela-ka!"
"Apa yang akan kau perbuat?"
"Ya, apa yang harus aku perbuat? Ki Linggar alias Ki Demang Sanareja menanyai dirinya sendiri Mungkinkah aku mampu menghadapi kemarahan Hantu Lereng Lawu hanya dengan permintaan maaf ku? Tetapi, untuk melawannya seorang diri, apa mod-alku? Jangan lagi aku melawannya seorang diri, se-dangkan seandainya seisi desa ini aku kerahkan untuk mengeroyoknya pun belum tentu bisa menang. Dan, sudah pasti Hantu Lereng Lawu datang bersama anak buahnya! Ki Demang Sanareja menghela napas berat sambil menengadahkan wajahnya ke langit langit pen-dopo. Namun, bukan lagi anyaman bambu yang terli-hat di sana, melainkan gambaran yang mengerikan. Tergambar di langit-langit pendopo itu sejumlah pen-duduk desa yang terkapar bermandikan darah! Ya, itulah yang akan terjadi jika mereka ku ke-rahkan untuk melawan Hantu Lereng Lawu beserta anak buahnya, pikir lelaki tua itu seraya kembali me-langkahkan kakinya.
"Tidak seharusnya kau menanggung perkara ini seorang diri,"
Kata Nyai Demang meneruskan.
"Sebaiknya Nyai tidur saja. Biarlah aku sendiri yang menghadapi mereka."
"Aku tidak akan tidur jika aku belum melihat kau selamat!"
Sahut Nyai Demang.
"Nyai, aku memang mungkin tidak akan sela-mat. Tetapi, Nyai harus tetap selamat demi anak kita."
"Apa kau pikir mereka akan puas dengan mem-bunuh kau seorang?"
Ki Demang Sanareja menarik napas. Serta-merta terngiang kembali di telinganya ancaman Hantu Lereng Lawu tujuh hari yang lalu.
"Kalau memang da-lam tujuh hari ini kau belum menyerahkan orang yang membunuh anak buahku, kau sekeluarga yang akan ku basmi, Demang Goblok!"
"Para peronda itu seharusnya ikut bertanggung jawab. Siapa tahu sebenarnya mereka yang membu-nuh...!"
"Mereka tidak mungkin bisa mengalahkan anak buah Hantu Lereng Lawu! Apalagi sampai membunuh!"
Tukas Ki Demang Sanareja. 'Tapi, apa mungkin ada orang dari desa lain yang membuang mayat itu ke desa kita?"
"Mungkin saja! Karena orang itu ketakutan jika harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu?"
"Pengecut!"
Ki Demang Sanareja tak lagi menyahuti ucapan istrinya.
Dan, seperti yang dipikirkan pada malam-malam sebelumnya, ia kembali memeras otak, menca-ri-cari siapa kira-kira orang yang telah melancarkan fitnah itu? Siapa pengecut itu? Bagaimana mungkin ia berani mencurigai seseorang jika nyatanya ia merasa tidak pernah menyakiti hati seseorang, apalagi memu-suhi.
Suara burung emprit gantil semayup terbawa angin.
Bulu kuduk suami istri itu merinding.
Sudah menjadi kepercayaan penduduk di desa itu bahwa jika terdengar kicau burung emprit gantil maka kematian akan mewarnai malam! Dan, jantung Ki Demang Sana-reja hampir copot ketika tiba tiba terdengar suara ke-tukan di pintu.
"Siapa?"
Sapa Ki Demang Sanareja.
"Saya, Ki. Saradan!"
Jawab Saradan agak berbi-sik. Cepat-cepat Ki Demang Sanareja membuka pin-tu.
"Bukankah sudah kubilang agar kau tidak ke-luar rumah?"
Bentak Ki Demang Sanareja begitu ber-hadapan dengan Saradan.
"Saya dipaksa Perdopo, Ki. Saya disuruh me-nemaninya mencegat mereka di mulut desa...."
"Cari penyakit!"
Tukas Ki Demang Sanareja.
"Sekarang juga suruh Perdopo pulang!"
"Sekarang Perdopo sedang berkelahi melawan mereka, Ki."
"Apa?"
Mata Ki Demang Sanareja membelalak. Sungguh, ia tidak mengira Perdopo akan senekat itu. Memang Perdopo memiliki ilmu silat yang cukup lu-mayan. Tetapi, apalah artinya jika harus berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya? "Perdopo...."
"Pasti mati!"
Sergah Ki Demang Sanareja.
"Sekarang, pulanglah jika kau ingin selamat. Mudah-mudahan saja mereka cukup puas telah mem-bunuh Perdopo."
"Tapi, bagaimana mungkin kami tega melihat Ki Demang menjadi tumbal desa ini?"
"Kalau aku lari dari desa ini, seisi kampung ini akan dihabisi! Mengerti? Kalau memang kalian tidak tega melihat aku dan keluargaku mati, seharusnya ka-lian tidak bawa kemari mayat itu! Kenapa baru seka-rang kau pikirkan tentang keselamatanku sekeluarga?"
Saradan menundukkan kepala sambil mere-mas-remas sarung yang dikalungkan di lehernya.
"Kalau memang kau ingin membantuku, pergi-lah ke dalam. Bantu Nyai Demang membawa Joko lari dari desa ini. Tak usahlah kau pikirkan keselamatan-ku. Ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai de-mang di desa ini."
"Tak akan ada yang bisa lari dari desa ini, Ki Demang!"
Tiba-tiba saja salah seorang anak buah Han-tu Lereng Lawu telah berdiri di reg kademangan itu.
"Kebo Dungkul!"
Seru Ki Demang Sanareja da-lam hati.
la paham betul siapa yang sedang dihada-pinya.
Inilah orang kedua dalam kelompok orang-orang sesat yang dipimpin Hantu Lereng Lawu! Dan, sebelum Ki Demang Sanareja mengucapkan sepatah kata pun untuk menyambut kedatangan Kebo Dungkul, dua orang anak buah Hantu Lereng Lawu yang lain muncul di belakang Kebo Dungkul.
Salah seorang dari mereka menyeret mayat Perdopo seperti halnya menyeret gede-bok pisang.
Kebo Dungkul tertawa.
Lalu katanya.
"Sebe-narnya kami datang bukan untuk membunuh orang-orangmu, Ki Demang. Tetapi, agaknya kau telah per-siapkan cecurut ini untuk menyambut kami di mulut desa. Untuk itu, sebagai imbalan atas keberanian ka-lian melawan kami, terpaksa kami harus membasmi seisi desa ini!"
Berkata begini Kebo Dungkul lantas meraba senjata yang melingkar di lehernya, seuntai rantai yang pada salah satu ujungnya terkait sebuah mata kapak selebar telapak kaki orang dewasa.
Kedua sisi mata kapak berkilat tertimpa cahaya obor yang baru saja diselipkan Saradan di tiang regol.
Karena cahaya obor ini pula maka Ki Demang Sanareja mengenali wajah Kebo Dungkul dan kedua kaki-tangannya.
Wajah wajah yang tidak bersahabat.
Meskipun sudah sering mendengar cerita tentang se-pak terjang Kebo Dungkul, baru kali ini Ki Demang Sanareja melihat dengan mata kepala sendiri wajah itu.
Mata yang merem sebelah itu dinaungi alis yang tebal.
Hidung yang menjulur di sela-sela alis mata itu lebih mirip gagang golok.
Bibirnya yang tebal tak bisa terkatup jika tidak dipaksakan, sebab terganjal dua buah gigi yang menjorok keluar.
"Tunggu apa lagi kalian?"
Bentak Kebo Dungkul kepada dua lelaki yang berdiri di kanan-kirinya.
"Bunuh seisi rumah ini sebelum mereka coba-coba melari-kan diri!"
"Sabar, Kisanak,"
Kata Ki Demang Sanareja sembari menghadang langkah kedua anak buah Hantu Lereng Lawu itu.
"Ada apa lagi, Ki Demang?"
Tanya Kebo Dung-kul seraya melangkah maju.
"Kalau memang kalian belum puas membunuh Perdopo, bunuhlah aku. Tetapi, jangan ganggu anak dan istriku.' "Terlalu enak buatmu, Ki Demang! Ayo, tunggu apa lagi?"
Kebo Dungkul melotot ke arah dua kaki-tangannya. Dan, karena Ki Demang Sanareja tetap ti-dak mau minggir, seperti dikomando kedua lelaki itu bersamaan mengirimkan tendangan ke arah dada lela-ki tua itu.
"Augh!"
Ki Demang Sanareja terlempar dan ja-tuh terjerembab.
"Ki Demang!"
Saradan berlari hendak meno-long, tetapi secepat kilat Kebo Dungkul mengayunkan rantai berkapak ke arah lehernya.
"Laknat!"
Kutuk Ki Demang Sanareja setelah melihat Saradan berkelojotan dengan leher hampir pu-tus. Darah menyembur dari leher lelaki itu.
"Kau pun akan bernasib sama dengannya sete-lah nanti kau dengarkan jerit kematian anak dan is-trimu, Ki Demang,"
Ujar Kebo Dungkul sambil menga-lungkan kembali rantai berkapaknya ke leher.
Sementara itu, Nyai Demang menjerit-jerit sambil mengejar lelaki yang membopong Joko Sung-sang ke halaman.
Kebo Dungkul tertawa-tawa me-nyaksikan pemandangan yang menurutnya menggeli-kan itu.
'Binatang!"
Dengan sisa tenaga yang dimili-kinya, Ki Demang menerjang Kebo Dungkul.
Akan te-tapi, apalah arti serangan lelaki setengah tua yang tidak mengenal ilmu silat itu bagi Kebo Dungkul! Hanya dengan menggerakkan leher sedikit, terbanglah mata kapak yang menggantung di leher Kebo Dungkul.
"Crak!"
Mata kapak itu melabrak pelipis Ki Demang Sanareja. Melihat suaminya tersungkur dengan pelipis terbelah, Nyai Demang menjerit dan jatuh pingsan.
"Bunuh mereka!"
Perintah Kebo Dungkul kepa-da kedua kaki-tangannya sebelum kemudian menghi-lang di kegelapan malam.
Joko Sungsang meronta-ronta dalam dekapan lelaki berbibir sumbing itu sambil memanggil-manggil ayah-ibunya.
Kedua tangannya memukuli wajah lelaki itu.
"Anak setan!"
Bentak lelaki itu seraya men-gangkat tinggi-tinggi bocah berumur sepuluh tahun itu.
Ketika tubuh bocah itu hendak dihempaskan ke tanah, tiba-tiba terdengar ledakan cambuk, dan lelaki berbibir sumbing itu terpelanting.
Untuk sejenak teman si Sumbing terpana me-mandangi seorang kakek-kakek berpakaian serba pu-tih yang telah berdiri di samping tubuh Nyai Demang sambil membopong Joko Sungsang.
"Wiku Jaladri...?"
Desis lelaki itu sambil me-langkah mundur.
Namun, sewaktu ia hendak membalik langkah dan kabur, sekali lagi cambuk di tangan Wiku Jaladri meledak.
Pedang yang tadi siap ditebaskan ke leher Nyai Demang itu, kini menembus leher tuannya.
* * * "Joko....
Ke mana, anakku? Ke mana Joko?"
Rintih Nyai Demang begitu siuman.
Dari sekian banyak orang yang mengerumu-ninya, tak seorang pun bisa memberikan jawaban.
Dan, mereka memang tidak tahu di mana Joko Sung-sang.
Masih hidupkah atau sudah matikah? Sewaktu mereka beramai-ramai keluar dari rumah masing-masing, karena mendengar suara kentongan, mereka tak melihat seorang pun berkelebat di halaman kade-mangan.
Bahkan semula mereka mengira Nyai De-mang pun sudah tak bernapas lagi.
"Kenapa kalian semua diam saja?"
Bentak Nyai Demang marah.
"Kami... kami tidak tahu di mana Den Joko, Nyai,"
Jawab salah seorang penduduk.
"Kalian memang hanya tahu enaknya saja! Ka-lian tidak mau tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang jahat itu! Kalian biarkan suamiku yang sudah tua bangka itu menghadapi mereka seorang di-ri!"
Dengan langkah terhuyung, Nyai Demang mende-kati tubuh suaminya yang terbujur kaku. Nyai Demang menekap mulutnya begitu melihat pelipis Ki Demang yang menganga. Kemudian ia ingat bagaimana kapak Kebo Dungkul terayun dan melabrak pelipis itu.
"Nyai..""
"Diam kau! Tak sudi aku mendengarkan oce-hanmu!"
Sergah Nyai Demang sebelum lelaki yang ber-diri di belakangnya menyelesaikan ucapannya.
"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nyai Demang.
"
"Siapa? Pembunuh itu? Masih kurang puas su-dah membunuh suamiku dan menculik anakku?"
"Dia bukan pembunuh itu. Nyai. Dia seorang kakek-kakek. Kami semua memang belum pernah me-lihatnya.
"
Kerumunan penduduk desa itu tersibak.
Seper-ti ada tenaga gaib yang mendorong mereka untuk me-nyingkir.
Kemudian seorang kakek-kakek berusia tidak kurang dari delapan puluh tahun berjalan mendekati Nyai Demang.
Seperti terkena sihir, tak seorang pun mampu membuka mulut.
Bahkan Nyai Demang sendiri pun merasa tenggorokannya tersumbat sesuatu.
Mata pe-rempuan itu terbelalak memandangi orang asing yang lebih mirip mayat hidup itu.
Betapa tidak! Lelaki tua itu berpakaian serba putih.
Sekujur rambut yang nampak pun seputih kapas.
Dari alis, kumis, jenggot, dan rambut di kepalanya putih mengkilap.
Rambut gondrong itu dibiarkan tergerai digerak-gerakkan an-gin.
"Kakek ini siapa?"
Tanya Nyai Demang yang hanya berhenti di tenggorokan. Akan tetapi, lelaki tua serba putih itu seperti mendengar apa yang terungkap di hati Nyai Demang.
"Nyai Demang tidak perlu tahu siapa saya. Te-tapi, sayalah yang membawa anak Nyai Demang. Ini saya lakukan demi kebaikan, demi keselamatan anak itu. Percayalah, anak Nyai akan aman berada di pade-pokan saya. Suatu ketika nanti, Nyai akan bisa berte-mu dengannya. Hanya saja, untuk sementara waktu ini sebaiknya Nyai jangan menemuinya. Malahan saya anjurkan agar Nyai mengungsi dari desa ini."
Tanpa memberikan kesempatan bagi penden-garnya untuk bertanya, lelaki tua yang berpakaian serba putih itu melesat. Jubah putih yang dikenakan-nya berkepak bagaikan sayap bangau raksasa.
"Dia bisa terbang!"
Bisik Nyai Demang kepada dirinya sendiri.
Dewakah dia? Atau jin? Tetapi, tidak mungkin dia itu setan maupun iblis.
Dia tidak jahat.
Sepeninggal tamu aneh itu, mereka ramai membicarakan lelaki tua yang bisa terbang itu.
Mulut mereka yang tadi terkunci oleh wibawa lelaki serba putih itu baru bisa terbuka setelah mata mereka tak melihat lagi sosok berwarna putih itu.
* * * Siapa mengira bahwa di kedalaman jurang yang semestinya hanya menghidupi binatang berbisa Itu tinggal dua sosok manusia! Satu orang berusia tak kurang dari delapan puluh tahun, dan satu lagi seorang bocah yang paling banyak berusia sepuluh tahun.
Mereka berdua tak lain dan tak bukan adalah Wiku Jala-dri dan Joko Sungsang.
Udara gunung yang begitu dingin, binatang berbisa yang melata-lata setiap saat, atau kepekatan malam tak mereka hiraukan.
Belum lagi mengingat bahwa di jurang itu tak akan mereka jumpai makanan yang semestinya dimakan manusia.
Mereka berdua hanya mengandalkan kebiasaan.
Kalau memang sudah terbiasa dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang bakal menghidupi makhluk tersebut.
Begitulah nasihat yang ditanamkan oleh Wiku Jaladri kepada Joko Sungsang.
"Buah-buahan, dedaunan, dan daging ular yang ada di sekitar kita inilah yang akan menghidupi kita,"
Kata Wiku Jaladri menambahkan.
Sehari-dua hari Joko Sungsang memang tidak mau menyentuh santapan yang terhidang di depannya.
Sebagai anak demang, ia sudah terbiasa makan enak.
Tetapi, di jurang ini, ia diharuskan makan buah yang tidak manis dan tidak pernah dikenalnya.
Ada juga daging, tetapi bukan daging kambing atau sapi.
"Di sini tidak mungkin kita bertemu dengan kambing atau sapi. Di sini hanya ada ular,"
Kata Wiku Jaladri sebab tahu apa yang sedang dipikirkan Joko Sungsang. Udara dingin membuat perut bocah berusia se-puluh tahun itu semakin melilit-lilit. Sementara itu, tenaganya sudah jauh menurun. Ia hanya bisa duduk bersandar di dinding gua.
"Aku membawamu ke sini agar kamu tetap hi-dup, Joko. Tetapi, kalau kamu tidak mau mengisi pe-rutmu, bagaimana bisa hidup?"
"Saya mau pulang ke kademangan!"
Sahut Joko Sungsang.
Di sana tidak ada siapa-siapa Kamu melihat sendiri bagaimana orang-orang jahat itu membunuh ayah dan ibumu.
Kamu mau hidup sendirian di desa itu? Orang-orang di desa itu sudah mengungsi semua-nya ke desa-desa lain.
Dan lagi, apa kamu bisa naik ke atas sana? Jurang ini jauh lebih dalam dari sumur di kademangan.
Bagaimana kamu bisa pulang?"
"Tapi, kenapa Kiai bisa naik-turun?"
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh menden-gar kepolosan bocah itu.
"Nanti aku tunjukkan bagaimana dan kenapa aku bisa naik-turun jurang ini. Makanlah dulu biar kamu bisa melihat aku terbang!"
"Terbang? Kiai bisa terbang? Terbang seperti burung?"
"Ya. Terbang seperti burung. Kamu juga bisa kalau kamu mau aku ajari. Mau?"
Joko Sungsang mengangguk. Tiba-tiba saja muncul kegembiraan di hatinya. Enak sekali kalau bi-sa terbang seperti burung, pikir bocah polos itu.
"Kalau begitu, kamu harus makan biar bisa berlatih terbang. Kalau kamu tidak punya tenaga se-perti sekarang ini, tidak mungkin kamu bisa berlatih terbang. Ayo, makanlah. Memang tidak enak. Tapi, la-ma-lama nanti kamu bisa merasakan enaknya daging ular dan buah-buahan itu."
Ragu-ragu Joko Sungsang meraih sepotong daging ular panggang. Tapi, setelah lidahnya menyen-tuh daging itu, ia pun dengan lahap menyantapnya.
"Nah, enak bukan?"
Wiku Jaladri terkekeh-kekeh.
Kemudian, sambil menatap Joko Sungsang yang sedang menikmati daging ular, Wiku Jaladri ber-cerita panjang-lebar tentang kejahatan orang-orang yang membunuh Ki Demang Sanareja dan istrinya.
Sengaja lelaki tua itu membenarkan anggapan bocah itu bahwa ibunya pun terbunuh.
Joko Sungsang me-mang tidak mengira bahwa ibunya malam itu hanya pingsan karena ngeri menyaksikan kening Ki Demang Sanareja yang terbelah kapak.
Jika bocah itu tahu bahwa ibunya masih hidup, sudah barang pasti tak mau ia tinggal di gua bersama kakek-kakek yang be-lum pernah dikenalnya itu.
"Kiai sudah membunuh mereka, kenapa saya harus takut? Kenapa orang-orang harus mengungsi?"
Wiku Jaladri manggut-manggut sambil tertawa terke-keh-kekeh.
Malam itu Joko Sungsang memang tidak melihat bahwa Kebo Dungkul melesat pergi.
Dan, tentu saja bocah yang masih polos itu tidak mengira bahwa Kebo Dungkul hanyalah salah satu dari orang-orang jahat yang berilmu tinggi.
"Mereka jumlahnya banyak, Joko. Aku hanya membunuh dua orang saja malam itu. Dua orang yang tidak memiliki ilmu silat yang sempurna " 'Tapi Kiai juga tidak punya ilmu silat. Kiai membunuh mereka hanya dengan ular "
Lagi-lagi Wiku Jaladri terkekeh mendengarkan kepolosan ucapan bocah itu.
Ya, sudah barang tentu bocah itu mengira Wiku Jaladri malam itu memegang seekor ular.
Sebab cambuk yang dipegang Wiku Jala-dri memang terbuat dari kulit ular Dan, itulah yang oleh kalangan persilatan dikenal dengan nama 'Perisai Naga'.
Tentu pula Joko Sungsang belum bisa berpikir bahwa tanpa disentuh ilmu silat yang tinggi maka Perisai Naga tidak akan berguna, apalagi bisa untuk membunuh.
"Ya, aku membunuh mereka dengan ular. Teta-pi, ular mati,"
Kata Wiku Jaladri. 'Ular mati?"
Secara refleks mata Joko Sungsang menatap cambuk yang melilit di pinggang Wiku Jaladri "Cambuk ini aku bikin dari kulit ular, Joko Te-tapi, kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini tidak akan bisa membunuh."
Berkata begini Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari pinggangnya dan mengulurkan kepada Joko Sungsang. 'Panjang sekali Pasti ularnya besar sekali. Kiai bisa membunuh ular besar? Tidak takut dimakan?"
Joko Sungsang bertanya sambil meneliti cambuk di tangan Wiku Jaladri.
"Cambuk ini kubuat dari kulit ular, Joko. Teta-pi kalau tidak dengan jurus-jurus silat, cambuk ini tidak akan bisa membunuh!"
Wiku Jaladri menunjuk-kan PERISAI NAGA-nya pada Joko Sungsang.
"Kiai bisa membunuh ular besar?"
Joko Sung-sang bertanya sambil memperhatikan cambuk itu tan-gannya.
"Ya, ularnya besar sekali. Lebih besar dari po-hon itu,"
Kata Wiku Jaladri seraya menunjuk sebatang pohon yang nampak dari dalam gua.
"Ular naga?"
"Ya, ular naga kalau dalam dongeng. Oleh ka-rena itu, cambuk ini aku namakan PERISAI NAGA."
"Saya ingin melihat lagi Kiai memainkan Perisai Naga ini. Juga ingin melihat Kiai terbang,"
Kata Joko Sungsang.
Seperti halnya bocah-bocah kecil seusianya, tentulah senang melihat sesuatu yang menakjubkan, yang tidak mungkin bisa mereka lakukan.
Wiku Jaladri menggandengnya keluar dari gua.
Dibawanya Joko Sungsang ke tanah yang sedikit la-pang yang dipagari pohon-pohon besar dan menjulang tinggi.
"Di sini aku berlatih terbang.
"
Kata Wiku Jaladri.
"Tapi, tempatnya becek sekali, Kiai. Seperti tempat mandi kerbau,"
Kata Joko Sungsang sambil mencari-cari tanah yang agak kering dan kuat untuk berpijak.
Untuk merangsang minat bocah itu berlatih si-lat, Wiku Jaladri sengaja memamerkan ilmu silat yang dimilikinya.
Dengan sekali lecutan, Perisai Naga berhasil menumbangkan sebatang pohon gundul sebesar tubuh Joko Sungsang.
"Nah, kamu bisa duduk di pohon itu,"
Kata Wi-ku Jaladri sambil menuding pohon yang baru saja tumbang.
Joko Sungsang terbelalak melihat keajaiban yang terjadi di depan matanya.
Maka masih dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, bocah itu meng-hampiri pohon tumbang yang melintang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Masih ingin melihat permainan Perisai Naga?"
Tanya Wiku Jaladri sambil menahan tawa. Joko Sungsang menggeleng. Tiba-tiba saja ada rasa takut menjalari rongga dadanya. Takut jika semua pohon di sekitarnya tumbang dan menimpanya.
"Mau melihat bagaimana aku terbang?"
Cepat-cepat Joko Sungsang mengangguk.
"Brebet!"
Hanya terdengar suara jubah yang di-kenakan Wiku Jaladri yang bertabrakan dengan angin gunung.
Tiba-tiba saja lelaki tua berjubah putih itu telah berada di dahan salah satu pohon yang tingginya tak kurang dari lima tombak.
Makin lebar mulut Joko Sungsang ternganga.
"Tapi, bagaimana Kiai nanti turun?"
Katanya cemas. Seperti burung bangau turun ke punggung ker-bau, seperti itulah Wiku Jaladri turun dari dahan pohon dan hinggap di pohon tumbang yang diduduki Jo-ko Sungsang.
"Kiai tidak punya sayap, tetapi bisa terbang,"
Desah Joko Sungsang sambil memandang kagum ke arah Wiku Jaladri.
"Kalau kamu senang, kamu juga bisa, Joko.
"
"Senang sekali kalau bisa terbang. Saya mau belajar. Tapi, bagaimana caranya, Kiai?"
"Sebelum berlatih terbang, kamu harus lebih dulu berlatih silat "
"Berlatih silat? Apa burung-burung itu juga berlatih silat?"
Wiku Jaladri menepuk-nepuk bahu bocah itu.
"Burung, capung, dan sebangsanya bisa ter-bang karena kodrat. Tetapi, manusia kalau ingin bisa terbang harus berlatih. Nah, sekarang kita istirahat dulu. Besok baru kita mulai berlatih."
"Saya mau sekarang, Kiai,"
Bantah Joko Sung-sang.
'Tubuhmu belum kuat untuk berlatih.
Kamu harus lebih banyak lagi makan daging ular dan buah-buahan.
Sekarang ini tubuhmu masih lemah karena dua hari kamu tidak mau makan.
Selain itu, kamu ju-ga harus makan sebanyak banyaknya supaya tubuh-mu jadi kuat.
" * * * Sebelum siang hari, matahari tak pernah bisa nampak dari kedalaman jurang itu. Kalaupun nampak pada siang hari, hanyalah samar-samar karena kabut tebal menghalangi pandangan. Udara pagi begitu din-gin menggigit. Namun begitu, Joko Sungsang nekat mengajak Wiku Jaladri berlatih silat. Semangat yang meluap-luap dalam dada bocah itu mampu mengalah-kan dinginnya udara pagi di gunung itu.
"Berani kamu masuk ke lumpur itu?"
Wiku Ja-ladri menunjuk kubangan berlumpur yang mirip ku-bangan kerbau.
"Kata Kiai, kita mau latihan silat?"
Joko Sung-sang bertanya tidak mengerti.
"Sebelum berlatih silat, kamu harus berlatih melawan udara dingin di gunung ini. Ayo, mencebur ke lumpur itu."
Berjingkat Joko Sungsang melangkah mende-kati kubangan berlumpur.
"Lompat!"
Teriak Wiku Jaladri. Joko Sungsang melompat, dan tertancaplah tu-buhnya di dalam lumpur pekat itu hingga leher.
"Kiai, saya tidak bisa bergerak!"
"Kamu harus mencoba bergerak. Nah, terus! Terus! Meloncat-loncat ke atas!"
"Tidak bisa, Kiai!"
"Dicoba! Jangan bilang 'tidak bisa'! Dulu aku juga tidak bisa terbang!"
Kata Wiku Jaladri memberi-kan semangat. Joko Sungsang dengan sekuat tenaga mencoba meloncat-loncat Akan tetapi, sekujur tubuhnya seperti terhimpit. Jangan lagi untuk meloncat ke atas, sedangkan untuk bergerak ke samping saja berat sekali.
"Tidak bisa, Kiai!"
Keluh Joko Sungsang.
Na-mun, kepada siapa dia harus mengeluh? Wiku Jaladri tidak nampak lagi.
Entah menghilang ke mana.
Joko Sungsang melihat-lihat ke atas.
Barangka-li saja orang tua itu ada di pohon.
Tak ada.
Ke mana dia? Bagaimana aku keluar dari lumpur ini kalau tidak ditolong Kiai? "Kiai! Kiai! Jangan tinggalkan saya!"
Teriak Joko Sungsang.
Namun, ia tidak mendengar jawaban dari Wiku Jaladri.
la hanya mendengar gema suaranya sendiri.
Joko Sungsang mencoba melangkah.
Tidak bi-sa.
Lumpur itu menggigitnya.
Ia terengah-engah keha-bisan tenaga.
la marah kepada orang tua yang tega menyiksanya itu.
Dalam marahnya, ia mencoba meng-gerakkan kaki dan tangannya.
Bisa! "Nah, sudah mulai bisa bergerak kamu, Joko!"
Joko Sungsang terkejut. Ia menoleh ke arah da-tangnya suara. la melihat Wiku Jaladri menimang-nimang Perisai Naga di tangannya. Ia bangga menda-patkan pujian dari gurunya itu. Guru? Ya, dia memang guruku, pikir Joko Sungsang.
"Sekarang, cobalah meloncat-loncat!"
Teriak Wi-ku Jaladri. Joko Sungsang mencoba meloncat. Sedikit saja tubuhnya bergerak ke atas. Tak sampai sejengkal. Pa-dahal, di luar lumpur, ia bisa meloncat setinggi pinggang. 'Cukup! Besok bisa dicoba lagi!"
Berkata begini Wiku Jaladri lantas melayang sambil menggerakkan Perisai Naga.
Seperti seekor ular, cambuk itu membelit tubuh Joko Sungsang.
Dan, sekali hentak tubuh bocah itu terlontar ke dalam pelukan gurunya.
Setelah diturunkan dari gendongan Wiku Jala-dri, Joko Sungsang langsung berlutut sambil berucap.
"Sudilah Kiai mulai hari ini menyebut saya sebagai murid. Dan, bolehkah kiranya saya menyebut Kiai dengan sebutan guru'?"
Wiku Jaladri tertawa terkekeh-kekeh. Anehnya, tawa orang tua itu kali ini menimbulkan getaran se-hingga tubuh Joko Sungsang terjengkang.
"Bangunlah, Joko. Tak usah kamu berlutut se-perti menghadap Kanjeng Ratu. Aku memang gurumu. Tetapi, aku lebih senang jika kamu menyebutku 'Kiai"
Saja. Sekarang, pergilah ke sungai dan bersihkan ba-danmu."
"Terima kasih, Guru... eh, Kiai!"
Joko Sungsang bangkit dan berlari-lari menuju sungai.
Berendam di kedalaman sungai, Joko Sungsang masih penasaran untuk berlatih.
Ia mencoba melon-cat-loncat.
Lebih ringan dibandingkan dengan melon-cat-loncat di lumpur.
Lebih ringan dan lebih tinggi lon-catannya.
Jika ia berdiri biasa, permukaan air sungai menggapai dagunya.
Akan tetapi, sewaktu dia meloncat, permukaan air sungai turun hingga pusarnya.
Maka semakin bersemangat Joko Sungsang berlatih meloncat-loncat di air.
Tiba kembali di dalam gua, ia melihat Wiku Ja-ladri sedang menumpuk ranting-ranting kering.
Baru kali ini ia menyadari bahwa di dasar jurang ini tak mungkin bisa mendapatkan api Lalu dari mana Kiai bisa memperoleh api? "Kamu bisa menyalakan kayu bakar ini, Joko?"
Tanya Wiku Jaladri seakan tahu apa yang tengah dipi-kirkan bocah itu.
"Di mana kita bisa mendapatkan api, Kiai?"
Ba-lik Joko Sungsang bertanya.
Kini tubuhnya menggigil.
Setelah tidak bergerak-gerak, dan dirasakannya udara gunung yang dingin.
Terlebih ia dalam keadaan basah kuyup.
Wiku Jaladri mengurai Perisai Naga dari ping-gangnya.
Matanya yang hanya berupa garis itu mena-tap batu hitam di samping tumpukan ranting kering.
Ketika ujung Perisai Naga menyentuh batu hitam itu, keluarlah pijaran api.
Baru kali ini Joko Sungsang mengamati benda yang menghiasi ujung Perisai Naga.
Seperti batu, tetapi bukan batu.
Benda yang berbentuk bulat dan berduri mirip buah kecubung itu berwarna hijau-kebiru-biruan.
"Itu namanya batu cincin,"
Kata Wiku Jaladri.
"Batu cincin?"
"Ya, seperti yang menghiasi cincin ayahmu."
Joko Sungsang mengangguk kecil-kecil.
Kem-bali tangannya meraba-raba bulatan berduri itu.
Meski terbuat dari batu cincin, duri-duri itu setajam ujung jarum.
Bagaimana membuatnya? Dan, bagaimana kalau mengenai kepala orang? Maka Joko Sungsang ingat dua orang jahat yang mati di ujung Perisai Naga itu.
Pasti karena leher mereka tergores duri-duri ini, pikir bocah itu menyimpulkan.
"Cepat keringkan pakaianmu, Joko. Mumpung api masih besar,"
Anjuran Wiku Jaladri memenggal lamunan Joko Sungsang.
Joko Sungsang membentang baju satu-satunya yang dimiliki itu di dekat api.
Pikirannya kembali melayang-layang.
Semakin banyak hal-hal yang tidak di-ketahuinya, yang harus ditanyakan kepada orang tua sakti ini.
* * * Tiga puluh tahun sudah orang-orang dari dunia persilatan melupakan Wiku Jaladri.
Khususnya dari golongan hitam, mereka menganggap bahwa pendekar yang bersenjatakan cambuk kulit ular sanca itu sudah tewas di dasar jurang.
Tiga puluh tahun yang lalu, Empu Wadas Gempal bersama anak buahnya berhasil mengurung Wiku Jaladri dan menggiring ke bibir ju-rang.
Lalu, dengan serangan serentak mereka mende-sak Wiku Jaladri.
Tak ada jalan lain bagi Wiku Jaladri kecuali menceburkan diri ke jurang.
"Mereka tidak menyangka bahwa dengan cam-buk ini aku bisa menyelamatkan diri,"
Kata Wiku Jaladri lebih lanjut.
"Bagaimana cara Kiai menyelamatkan diri?"
Tanya Joko Sungsang.
"Seperti inilah caraku menyelamatkan diri."
Berkata begini Wiku Jaladri menjejakkan kedua ka-kinya ke tanah dan tubuhnya melenting hingga pucuk sebuah pohon.
Sewaktu tubuhnya melayang turun la-gi, secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke sebuah dahan.
Cambuk itu melilit ketat dahan pohon sehingga Wiku Jaladri bisa bergelayutan.
Joko Sungsang pun mengerti kenapa gurunya waktu itu tidak remuk terhempas batu cadas di dasar jurang.
'Sejak itulah aku kemudian memutuskan un-tuk tinggal di dasar jurang ini,"
Kata Wiku Jaladri setelah duduk kembali di depan Joko Sungsang "Berarti waktu itu Kiai belum bisa...?"
"Ya! Waktu itu ilmu meringankan tubuh belum aku perdalam. Keadaan yang memaksaku harus mem-perdalam ilmu meringankan tubuh seperti yang kau pelajari sekarang ini. Tanpa bisa meringankan tubuh sesempurna mungkin, tak akan dapat kita keluar dari dasar jurang ini, Joko,"
Tukas Wiku Jaladri.
"Apakah kemunculan Kiai di dunia ramai ma-lam itu akan menyadarkan para pendekar bahwa Kiai ternyata masih hidup? Maksud saya, apa mungkin ada yang mengenali Kiai malam itu di kademangan?"
"Sudah pasti, Joko. Luka yang diakibatkan lili-tan Perisai Naga mudah dikenali orang-orang dari ka-langan persilatan. Jangan lagi Empu Wadas Gempal sendiri, sedangkan muridnya pun akan tahu bahwa kaki-tangannya mati karena Perisai Naga. Hantu Le-reng Lawu akan terbeliak melihat leher kedua anak buahnya yang tersayat bola berduri ini,"
Jelas Wiku Jaladri seraya menimang-nimang bola berduri yang menghiasi ujung Perisai Naga.
"Apakah Kiai yakin Kebo Dungkul akan mene-mukan mayat kedua orang kaki-tangannya itu?"
"Kenapa tidak? Kau pikir orang-orang desa sempat mengubur kedua mayat itu? Setelah mengubur jenazah ayahmu, mereka semua bergegas pergi me-ninggalkan Desa Sanareja. Mereka tahu apa yang bak-al menimpa desa itu jika Hantu Lereng Lawu tahu ke-dua orang anak buahnya tidak kembali."
"Bagaimana dengan jenazah ibu saya, Kiai?"
"Ibumu masih hidup, Joko,"
Kata Wiku Jaladri setelah tertawa terkekeh-kekeh.
"Masih hidup?"
Mata Joko Sungsang terbelalak.
"Sebenarnya, malam itu ibumu hanya pingsan. Kau masih terlalu kecil untuk membedakan orang pingsan dan orang mati...."
"Lalu, di mana ibu saya sekarang, Kiai?"
Tukas Joko Sungsang tak sabar.
"Saatnya belum tiba untuk memberitahu di mana ibumu sekarang, Joko. Kau tentu akan nekat mencarinya jika aku menunjukkan di mana ibumu mengungsi. Bekalmu belum cukup untuk pergi me-ninggalkan jurang ini, Joko. Bersabarlah. Kepergianmu hanya akan mengantarkan nyawa."
"Saya sudah mewarisi seluruh ilmu yang Kiai miliki. Kenapa Kiai mengkhawatirkan saya?"
"Belum semuanya kau miliki. Kalau hanya un-tuk menghadapi Kebo Dungkul, aku tidak lagi mengkhawatirkanmu. Tetapi, menghadapi Hantu Le-reng Lawu dan gurunya, kau masih akan menemui ke-sulitan. Selama tiga puluh tahun aku memperdalam ilmu silatku di dasar jurang ini, selama itu pula aku yakin bahwa Empu Wadas Gempal pun gigih melakukan latihan-latihan."
"Maksud Kiai, Empu Wadas Gempal selalu membantu muridnya jika muridnya menemui lawan yang tangguh?"
"Itulah ciri khas orang-orang dari golongan hi-tam. Mereka bukan saja membela, malahan tidak malu mengeroyok beramai-ramai."
"Saya paham, Kiai. Tetapi, izinkan saya secepat mungkin mendapatkan ilmu pamungkas dari Kiai. Saya belum lega kalau belum melihat keadaan ibu saya, Kiai."
"Ibumu sehat-sehat saja. Dia dalam perlindun-gan sahabat baikku. Tak perlu kau terburu nafsu un-tuk menyelesaikan pelajaran silatmu. Tak akan sem-purna segala sesuatu yang dipelajari secara terburu-buru. Apalagi umurmu masih terlalu muda untuk me-nerima gemblengan yang bertubi-tubi. Baru lima tahun kau belajar ilmu silat di dasar jurang ini. Dibandingkan dengan waktu yang aku perlukan untuk memper-dalam jurus-jurus Perisai Naga, apalah artinya? Ber-sabarlah. Dan, sekali lagi kau camkan, bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang paling sakti. Di atas yang sakti masih ada yang lebih sakti. Hanya Tuhan yang paling sakti, yang tak akan tertandingi oleh siapa pun. Camkan itu. Agar kau tidak gegabah menganggap ilmu silat yang kau miliki sekarang ini tak ada yang bisa menandingi.
"
"Maafkan saya, Kiai. Saya bukannya tidak mengingat-ingat nasihat Kiai. Saya tadi hanya terdo-rong oleh rasa kangen saya bertemu dengan ibu saya, satu-satunya orang tua saya yang masih hidup,"
Kata Joko Sungsang penuh sesal.
"Tidak berarti aku akan menegaskan keper-gianmu, Joko. Tetapi, bukan watak ku melindungi mu-rid dari ancaman musuh. Lagi pula, aku ingin menu-runkan semua ilmu yang kumiliki kepadamu agar kau tidak lagi mengharapkan bantuan dariku."
"Apakah berarti nantinya Kiai tidak mau lagi bertemu dengan saya?"
"Setelah kau pergi nanti, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan manusia mana pun dan siapa pun. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di dasar jurang ini. Aku akan menikmati kemerdekaan ku. Aku merdeka karena aku tak lagi harus memikirkan nasib orang-orang kecil yang terjajah angkara murka. Aku sudah mempunyai kau sebagai wakil ku untuk melin-dungi mereka dari kekejaman orang-orang sesat. Amalkan ilmu yang kau dapat dariku agar aku nanti mati dengan membawa pahala. Kau paham, Joko?"
"Paham, Kiai, dan saya tidak akan melupakan semua nasihat yang Kiai berikan kepada saya."
Joko Sungsang mengangguk dalam-dalam.
* * * Selama puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan, baru kali ini Hantu Lereng Lawu merasa cemas.
Betapa tidak cemas! Bermimpi pun ia tak pernah bahwa ia bakal berurusan dengan Wiku Jala-dri.
Ia tahu persis kemampuan Wiku Jaladri dalam memerangi kejahatan.
Tiga puluh tahun yang lalu, ia tak yakin masih bisa hidup jika tidak ditolong Empu Wadas Gempal, gurunya.
Hampir saja bola berduri di ujung Perisai Naga membuat otaknya berceceran jika tidak ada serangan lain yang membuat Wiku Jaladri menarik kembali Perisai Naganya.
Dan, Hantu Lereng Lawu merasa pasti bahwa gurunya pun tidak akan mampu menghadapi Wiku Ja-ladri seorang diri.
Karena itulah Empu Wadas Gempal meminta muridnya untuk membantu menggiring Wiku Jaladri ke bibir jurang.
Maka dalam kegelisahannya memikirkan ke-munculan kembali Wiku Jaladri, Hantu Lereng Lawu merasa perlu menghadap gurunya di Hutan Ketapang.
"Sudah lama kau tidak datang, Pragosa.
"
Sam-but Empu Wadas Gempal melihat kemunculan Hantu Lereng Lawu alias Pragosa.
"Maafkan saya, Guru. Saya menemui Guru ka-rena saya menemui kesulitan."
"Ha-ha-ha! Dasar anak setan, baru mau datang jika menemui kesulitan! Tapi, coba kalau sedang me-nemui kenikmatan, mana mau kau menengok ku, Hantu Ingusan?"
Bahu Empu Wadas Gempal naik-turun diguncang tawanya.
"Maafkan saya, Guru. Bukan saya tidak mau membagi-bagi kenikmatan kepada Guru. Hanya saja, saya selalu ingat bahwa guru sudah tak mau lagi men-gecap kenikmatan duniawi...."
"Bagus! Otakmu ternyata tidak setumpul otak kerbau!"
Sahut Empu Wadas Gempal menukas.
"Lalu, kesulitan apa yang membuatmu terbirit-birit kemari? Ha-ha-ha, baru kali ini aku melihat hantu ketakutan! Bukannya menakutkan, tetapi ketakutan! Lucu, bu-kan?" 'Mungkin Guru tidak percaya bahwa kali ini saya harus berurusan dengan Wiku Jaladri."
"Apa?"
Tiba-tiba paras muka Empu Wadas Gempal berubah menjadi tegang.
"Apa aku tidak salah dengar?"
"Tidak, Guru. Wiku Jaladri muncul kembali. Ternyata dia masih segar-bugar, Guru."
"Dia sudah modar di dasar jurang itu, Pragosa. Ah, kau pasti mimpi!"
"Sungguh, Guru! Dua orang anak buah saya mati tersayat Perisai Naga."
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa ti-kus-tikus itu mati di tangan penggembala kambing itu?"
"Dari luka-luka di leher mereka, saya bisa mengenali jenis senjata yang melukai leher mereka. Garis-garis biru di antara sayatan yang memutuskan urai leher!"
"Kau lihat sendiri luka-luka itu? Atau hanya dari cerita Kebo Dungu anak buahmu itu?"
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Guru."
"Jangan-jangan matamu yang tidak beres? Atau kepalamu yang lagi puyeng karena kebanyakan arak?"
Secara refleks Hantu Lereng Lawu mengucek-ngucek matanya.
"Bukannya saya takut menghadapi tua bangka itu, Guru. Hanya saja, saya merasa perlu menda-patkan restu dari Guru,"
Kata Hantu Lereng Lawu yang merasa diejek gurunya.
"Ha ha-ha, dasar otak udang! Julukanmu me-mang membuatmu jadi pongah, Pragosa. Kalau benar kau harus menghadapi Pendekar Perisai Naga, kau ha-rus cari nyawa serep! Jangan lagi kau, aku sendiri saja belum tentu bisa menandinginya."
"Sebenarnya, bukan Wiku Jaladri yang harus saya hadapi...."
"Lalu, siapa? Arwahnya?"
Tukas Empu Wadas Gempal.
"Muridnya.
"
"Muridnya? Pendekar Perisai Naga punya mu-rid? Ha-ha-ha! Sejak kapan manusia sombong itu mau menurunkan ilmunya?"
"Dia membawa kabur anak Demang Sanareja, Guru." 'Tapi, tidak akan dijadikan murid!"
"Kenapa tidak, Guru?"
"Kecuali Pendekar Perisai Naga sudah bosan hidup!" 'Saya tidak mengerti maksud Guru."
"Dia bersumpah tidak akan mengangkat siapa pun menjadi muridnya sebelum dia tahu ajalnya bakal datang!"
"Mungkin sekaranglah saatnya dia harus me-nurunkan ilmu yang dimilikinya kepada muridnya, Guru.
"
"Ah, ternyata penggembala kambing itu tidak mampus,"
Keluh Empu Wadas Gempal sambil menge-lus-elus perutnya yang buncit.
"Padahal, orang yang paling goblok pun tahu, tak ada manusia maupun binatang yang bisa keluar dari jurang itu kecuali bisa terbang. Kalau begitu, tentu selama tiga puluh tahun ini dia berlatih keras agar bisa naik. Ah, tapi mana mampu dia menandingi jurus-jurus baru ciptaanku? Ha-ha-ha! Dia pikir, cambuk kambing itu masih bisa menjerat leherku?"
"Jadi, Guru sudah menciptakan jurus penang-kal Perisai Naga?"
Mata Hantu Lereng Lawu serta-merta berbinar-binar.
"Sekarang tak perlu aku turun tangan. Cukup kau sendiri turun menghadapi jurus-jurus cambuk kambing itu."
"Kalau saja guru tidak datang waktu itu, saya pasti sudah dikirim ke neraka...."
"Goblok!"
Sergah Empu Wadas Gempal.
"Tentu saja kau harus pelajari dulu jurus penangkal cambuk kambing itu, Hantu Dungu!"
"Terima kasih jika Guru mau menurunkannya kepada saya.
"
Hantu Lereng Lawu menunduk dalam-dalam hingga jidatnya menyentuh tikar pandan yang mengalasi pantatnya.
"Kali ini latihan yang harus kau jalani tidak en-teng, Pragosa. Kau harus berpuasa sehari-semalam sebelum kau berlatih jurus-jurus yang aku maksud-kan tadi. Aku namakan jurus itu Jurus Bidadari Men-gurai Benang Kusut. Bagus, bukan, namanya? Ha ha-ha!"
"Mulai kapan saya bisa berlatih, Guru?"
Tanya Hantu Lereng Lawu tak sabar.
"Mulai kapan kau mau berpuasa?"
"Tapi, kalau saya boleh tahu, kenapa malahan harus mengosongkan perut, Guru? Bukankah kita memerlukan tenaga besar untuk berlatih keras?"
"Sejak kapan kau berani mengusut gurumu, Pragosa?"
"Oh, maafkan saya, Guru.
"
Berkali-kali Hantu Lereng Lawu merundukkan kepalanya.
* * * Nama jurusnya memang enak didengar.
Akan tetapi, latihan-latihan yang harus dijalani Hantu Lereng Lawu sungguh tidak mengenakkan.
Orang sesat yang sudah terbiasa makan enak ini bukan saja mera-sa tersiksa karena harus berpuasa sehari-semalam se-belum berlatih, melainkan juga harus jungkir-balik sebab kehilangan keseimbangan badan.
"Begitulah kenapa kau harus berpuasa, Prago-sa. Kalau saja perutmu penuh makanan, kau akan le-bih tersiksa lagi. Kau akan muntah-muntah dan lemas sebab tiba-tiba kehilangan tenaga. Nah, mulailah berputar lagi,"
Ujar Empu Wadas Gempal sebelum mena-rik tambang yang melilit sekujur tubuh muridnya. Begitu tambang ditarik, berputarlah tubuh Hantu Lereng Lawu. Semakin lama putaran itu sema-kin lamban, dan kemudian Hantu Lereng Lawu ter-jengkang.
"Ha-ha-ha! Ada juga setan yang bisa terjeng-kang!"
Ejek Empu Wadas Gempal dengan perut ber-guncang-guncang.
"Bagaimana bisa membalas serangan kalau ak-hirnya terjengkang begini, Guru?"
Tanya Hantu Lereng Lawu betul-betul tidak memahami maksud gurunya membuatnya seperti gangsingan.
"Goblok! Dungu!"
Sergah Empu Wadas Gempal gusar.
"Tentu saja kau harus berlatih terus hingga kau tidak terjengkang, Hantu Dungu Lereng Lawu!*' Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemba-li Hantu Lereng Lawu melilitkan tambang ke sekujur badannya. Lalu, kembali Empu Wadas Gempal mena-rik tambang itu kuat-kuat. Kembali tubuh Hantu Le-reng Lawu seperti diputar angin puyuh.
"Nah, setelah kau nanti tidak merasa puyeng, barulah kau melatih memutar badanmu tanpa harus ditarik tambang,"
Kata Empu Wadas Gempal setelah Hantu Lereng Lawu berdiri sempoyongan.
Meski belum mengerti makna dari gerakan memutar itu, Hantu Lereng Lawu tetap dengan rajin-nya berlatih, la tahu, gurunya tidak akan memberikan penjelasan sebelum ia menguasai jurus yang harus di-pelajarinya.
Seperti halnya yang dialami Hantu Lereng La-wu, gerakan meloncat-loncat di lumpur lima tahun yang lalu pun tidak dipahami maknanya oleh Joko Sungsang.
Setelah ia berhasil keluar dari lumpur hanya dengan satu loncatan, barulah Wiku Jaladri memberikan penjelasan.
Karena itulah Joko Sungsang semakin gigih berlatih ilmu meringankan tubuh itu.
Ternyata, tanpa tubuhnya terhimpit lumpur, ia begitu ringan menerbangkan tubuhnya dan hinggap di sebuah dahan yang berketinggian tak kurang dari lima tombak.
Berbekal kemampuan meringankan tubuh in-ilah Joko Sungsang mulai melatih diri menghadapi se-rangan.
Hampir segala jenis senjata dipergunakan oleh Wiku Jaladri untuk menyerang Joko Sungsang.
Kelincahan menghindari serangan saja tak cu-kup sebab kelincahan akan dibatasi oleh kekuatan fi-sik.
Oleh sebab itu, Wiku Jaladri pun mengajarkan bagaimana Joko Sungsang harus melatih pernapasan.
Latihan pernapasan yang teratur dan benar akan me-lahirkan tenaga dalam.
Dan, tenaga dalam inilah yang harus dipergunakan untuk membentur serangan lawan sekaligus mengirim serangan balasan.
Lima tahun sudah Joko Sungsang menggem-bleng diri di bawah bimbingan Wiku Jaladri.
Kegigi-hannya berlatih membuat Joko Sungsang begitu cepat menguasai setiap jurus baru yang diajarkan oleh gu-runya.
'Jurus-jurus tangan kosongmu memang sudah bisa diandaikan, Joko.
Akan tetapi, untuk Jurus Perisai Naga masih harus tetap kau latih.
Belum semua Jurus Perisai Naga kuajarkan.
Karena itu maka aku masih menahan kepergianmu dari dasar jurang ini"
"Saya paham, Kiai Dan, kalau Kiai tidak kebe-ratan, sudilah kiranya Kiai mengajarkan sisa-sisa Jurus Perisai Naga yang belum saya pelajari.
"Jurus Mematuk Elang dalam Mega ini sesung-guhnya tidak berat melatihnya. Hanya saja sangat memerlukan ketekunan. Ketekunan inilah yang akan menentukan cepat atau lambatnya keberhasilanmu berlatih. Nah, kau lihat ikan di dasar sungai itu!"
Wiku Jaladri menunjuk seekor ikan di dasar air sungai yang bening.
"Saya sudah melihatnya, Kiai,"
Kata Joko Sungsang. 'Mungkin tidak kau mengambil ikan itu tanpa memberinya kesempatan untuk bergerak?"
"Itu ikan hidup, Kiai. Mana mungkin?"
"Mungkin! Lihatlah,"
Kata Wiku Jaladri seraya melecutkan Perisai Naga.
Bola berduri di ujung cam-buk itu membelah air sungai dengan kecepatan yang sulit diikuti mata.
Kepala ikan hancur diterjang batu cincin berduri itu.
Ikan mengambang tanpa kepala.
Joko Sungsang manggut-manggut kagum.
Jan-gan lagi ikan di kedalaman sungai, sedangkan misal-nya ikan itu menggeletak di tanah pun belum tentu kena aku bidik dengan ujung Perisai Naga, pikirnya.
"Nah, mulailah berlatih!"
Wiku Jaladri men-gangsurkan Perisai Naga kepada Joko Sungsang.
Mulailah Joko Sungsang membidik ikan-ikan yang berseliweran di kedalaman sungai dengan ujung Perisai Naga.
Namun, berkali-kali dicobanya, berkali-kali ia hanya bisa membuat air beriak dan ikan-ikan itu berlari menyelamatkan diri.
Baru pada hari ketu-juh, Joko Sungsang berhasil melecut seekor ikan.
"Ah, tapi ikan ini tadi hanya sejengkal di bawah permukaan air,"
Keluhnya dalam hati "Guru bisa menghancurkan kepala ikan yang berada satu tombak di bawah permukaan air. Aku pun harus bisa!"
Tak kurang dari tiga bulan Joko Sungsang baru berhasil menghancurkan kepala ikan di dasar sungai dengan ujung Perisai Naga. Rasa lega menyejukkan dada anak muda ini.
"Tetapi, itu belum cukup,"
Kata Wiku Jaladri.
"Kau baru bisa membunuh ikan yang tidak bergerak. Tak beda dengan menyerang benda mati. Kau tahu, bukan, maksudku?"
"Saya mengerti, Kiai. Musuh yang saya hadapi tentu saja tidak akan diam seperti ikan itu. Artinya, saya harus berlatih membidik ikan yang sedang berlari-larian." * * * Hampir enam tahun Hantu Lereng Lawu me-nunggu kemunculan Joko Sungsang. Dan, selama itu pula Kebo Dungkul menjelajahi desa-desa untuk me-nemukan anak ingusan yang bakal menjadi duri di mata itu. Bahkan sepulang Hantu Lereng Lawu dari Hutan Ketapang setelah mempelajari jurus baru dari gurunya, Kebo Dungkul sengaja membuat keonaran di sana-sini untuk memancing kemunculan Wiku Jaladri. Desa Sanareja yang dibakar enam tahun yang lalu, kini telah menjadi tempat iseng bagi lelaki ber-duit. Tempat pelacuran merangkap sebagai tempat per-judian ini sengaja dibuka di Desa Sanareja oleh Kebo Dungkul sebab ia merasa sakit hati gagal membunuh Joko Sungsang dan Nyai Demang. Bahkan bekas ka-demangan itu sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang gundik Kebo Dungkul. Tanpa kekerasan, sulit bagi Kebo Dungkul dan kawan-kawannya untuk mendapatkan perempuan de-sa yang mau dilacurkan. Untuk itu, beberapa hari se-kali mereka menyerbu desa-desa untuk menculik ga-dis-gadis desa yang berparas cantik. Tak seorang pun penduduk desa yang berani mencegah perbuatan Kebo Dungkul dan kawan-kawannya ini. Mencegah berarti menyerahkan nyawa. Mereka lebih memilih menyerah-kan anak gadis atau saudara mereka daripada menye-rahkan nyawa. Akan tetapi, suatu hari terjadi sesuatu yang membuat alis Kebo Dungkul turun naik. Matanya yang melek sebelah itu mengerjap-ngerjap seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Salah seorang kaki tangannya berkelojotan di tanah hanya karena tertendang tumit mungil seorang gadis yang hendak ditangkapnya. Gadis itu berusia tak lebih dari lima belas ta-hun. Parasnya cantik, kulit kuning langsat, rambut tersanggul di atas kepala dengan tusuk konde bambu melintang. la mengenakan pakaian serba putih dengan kain parang rusak melilit pinggulnya. Menilik dari pakaian yang dikenakannya, jelas gadis itu bukan gadis desa pada umumnya. Setidaknya, pastilah ia pernah hidup di sebuah padepokan. Kebo Dungkul mengamati gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sewaktu tadi kaki tangan-nya mencegat gadis itu, Kebo Dungkul memang tidak menaruh perhatian, la sedang menikmati sebotol arak di kedai itu. Kalau saja sejak tadi ia memperhatikan gadis itu, sudah pasti ia tidak akan membiarkan kaki-tangannya menghadapi gadis itu seorang diri.
"Hei, Anak Bidadari! Katakan siapa namamu sebelum aku berlaku kasar terhadapmu. Dan, kalau memang kau datang dari kahyangan, katakan kau anak betari siapa,"
Ujar Kebo Dungkul sambil mengu-sap sisa arak di kumisnya yang mirip buntut bajing itu.
Gadis itu mencibirkan bibirnya yang mungil.
Matanya yang bulat berputar putar menghitung sejum-lah lelaki yang telah mengurungnya Merasa dilirik oleh gadis itu, secara tidak sadar mereka mundur selangkah.
"Hei, kenapa kalian seperti anak ayam melihat elang betina?"
Bentak Kebo Dungkul kepada anak buahnya.
"Jangan kau salahkan mereka, Kebo Dungkul! Mereka memang bukan tandinganku!"
Kata gadis itu seraya mengulum senyum.
"Anak Setan!"
Kebo Dungkul meloncat dari tempat duduknya dan langsung berhadapan dengan gadis itu.
"Kau sudah mengenal namaku. Seharusnya kau hati-hati berucap di depanku, Monyet Betina!"
"Hi-hi-hik, kenapa aku harus takut berkoar di depan Kebo Dungu?"
"Ular Betina, katakan namamu dan siapa gu-rumu sebelum mata kapakku ini menoreh noreh tu-buhmu yang mulus!"
Kebo Dungkul mengurai rantai yang digelayuti kapak yang melingkari lehernya. Terdengar suara gemerincing.
"Tak perlu nama. Tak perlu kau tahu siapa gu-ruku! Aku tidak ingin namaku nanti akan membuat gurumu lari terbirit-birit ke hutan untuk bersem-bunyi...!"
"Haram jadah!"
Sergah Kebo Dungkul seraya memutar rantai berkapaknya ke arah leher gadis itu.
Akan tetapi, dengan sikap tenang gadis itu me-rundukkan kepala sambil berkelit ke samping kanan Kebo Dungkul.
Lalu, secepat kilat kakinya yang mungil menerjang pinggang lelaki bermata satu itu.
"Ngekkk!"
Kebo Dungkul terhuyung ke kiri Sete-lah kembali memasang kuda-kuda, kembali ia ber-sumpah-serapah sambil mengirimkan serangan bertu-bi-tubi.
"Trang! Trang! Trang!"
Bunga api berpercikan akibat dua senjata yang sama-sama terbuat dari logam itu beradu.
Seperti tangan tukang sulap, tiba-tiba saja tangan gadis itu sudah memegang tombak pendek bermata dua.
Kebo Dungkul mundur beberapa langkah.
Ia merasakan telapak tangannya pedih, seolah-olah ran-tai yang digenggamnya menggigit telapak tangan itu.
Maka ia semakin sadar bahwa gadis yang dihadapinya ini bukan sembarang pesilat.
Sama halnya yang dira-sakan gadis itu.
Barulah ia mengakui bahwa lawannya kali ini bukan sembarang penjahat.
Kalau saja ia tadi tidak mengerahkan tenaga dalam, sudah barang pasti tombak pendek di tangannya itu akan terpental.
Gadis itu lebih waspada menunggu serangan lawan berikutnya.
Apalagi lima orang anak buah Kebo Dungkul mulai bergerak menyerang.
Sewaktu ia me-nangkis dua bilah golok yang mengarah ke perutnya, tiba-tiba kapak berantai itu mengarah ke pelipisnya.
Terpaksalah gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke bela-kang sambil memutar tombak pendeknya untuk me-lindungi kepalanya.
Tak sia-sia ia memutar senjatanya sebab secepat kilat kapak berantai milik Kebo Dungkul berbalik dan menghujam ke muka gadis itu.
Untuk kedua kalinya dua senjata itu beradu.
Setelah gadis itu kembali berdiri di atas kuda-kudanya, dua bilah golok membabat lehernya dari arah belakang.
Gadis itu merunduk sembari memutar kuda-kudanya, dan seperti baling-baling tombak pen-dek bermata dua di tangannya merobek pinggang dua orang pembokongnya sekaligus.
Melihat dua orang anak buahnya tersungkur bermandikan darah, Kebo Dungkul berteriak parau.
"Mundur! Terlalu sombong dia untuk dikeroyok!"
Tiga lelaki bergolok itu berloncatan mundur. Mereka paham bahwa Kebo Dungkul ingin mencincang gadis itu seorang diri.
"Sundel Bolong! Kau telah membunuh dua orang-ku! Tetapi, jangan dulu pongah! Mereka memang hanya penebang kayu yang tak pernah berhadapan dengan setan betina macam kau! Dan...."
"Dan, kau memang hanya pantas mengepalai pencuri kayu di hutan, Kebo Dungkul!"
Tukas gadis itu seraya tertawa mengikik.
"Kuberi kau kesempatan untuk menyebutkan namamu sebelum kucincang tubuhmu yang montok itu, Anak Setan Belang!"
Kini Kebo Dungkul lebih berhati-hati mengendalikan kemarahannya, la tahu, gadis itu sengaja memancing kemarahan agar serangannya jadi asal-asalan.
"Bukannya sebaliknya, Kebo Dungu? Kau yang akan mampus dengan membawa namaku? Sibakkan rambut gembelmu itu agar kupingmu bisa mendengar! Katakan kepada malaikat penjaga kuburmu bahwa aku, Sekar Arum, yang mengirimmu ke kubur!"
"Ha-ha-ha! Namamu memang enak untuk di-cium! Tetapi, sebentar lagi hanya cacing tanah yang mau mencium bangkaimu, Sundel Bolong!"
"Kerahkan seluruh ilmu dedemitmu, aku siap menangkalnya, Kebo Picak!"
Mendengar cacat sebelah matanya disebut-sebut, Kebo Dungkul tak mampu lagi menahan kema-rahannya. Picak yang berarti mata rusak memang le-bih menyakitkan dibandingkan dengan istilah buta.
"Takkan kubiarkan darahmu tumpah di tanah, Iblis Betina!"
Seru Kebo Dungkul sambil mengayunkan kapak berantainya.
"Memang darahku tak akan pernah tumpah!"
Jawab Sekar Arum sambil berjumpalitan di udara.
"Akan ku hisap pula sumsum tulangmu!"
Ka-pak berantai Kebo Dungkul menyusul gerak Sekar Arum di udara, tetapi untuk kesekian kalinya hanya menimbulkan suara berdesing.
Selama menjadi murid Ki Sempani, baru kali ini Sekar Arum menemukan lawan yang tangguh.
Ia baru percaya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu ini me-mang bukan hanya mengandalkan keseraman wajah-nya, melainkan juga memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Tanpa memiliki tenaga dalam yang sempurna, mustahil! ia bisa memutar rantai berkapak sebesar itu.
Maka Sekar Arum mulai mempergencar seran-gan balasan.
Tombak pendek bermata dua di tangan-nya berkali kali mengancam dada dan leher lawan.
Akan tetapi, Kebo Dungkul selalu berhasil melindungi sekujur tubuhnya dengan putaran rantainya.
Sesekali saja mata kapak itu balas menyerang.
Melihat pertahanan lawan yang begitu ketat, Sekar Arum merasa perlu mengeluarkan jurus pa-mungkasnya.
Inilah Jurus Mengail Mangsa Keluar Sa-rang! Sekar Arum mundur beberapa langkah, kemu-dian merendahkan kedua lututnya dan menunggu se-rangan lawan.
Ketika Kebo Dungkul terpancing untuk menyerang, ketika itulah Sekar Arum melenting ke udara dan turun dengan tikaman tombak ke arah leher belakang lawan.
'Trang!"
Sekar Arum terkejut bukan kepalang sebab ada senjata lain yang membentur mata tombak pendeknya. Sewaktu ia sudah kembali berdiri di atas kuda-kudanya, ia melihat seseorang telah berdiri di depan Kebo Dungkul.
"Ha-ha-ha! Gadis kecil bernyali besar Bagus!"
Kata Hantu Lereng Lawu seraya menyarungkan pedang ke sarungnya.
Untuk sejenak Sekar Arum memeras otak.
Ia memang pernah mendengar cerita tentang lelaki yang berpakaian serba hitam, berdahi lebar, dan berambut kemerah merahan ini.
'Tentu kau yang bernama Hantu Lereng Lawu!"
Ujar gadis itu setelah ingat siapa lelaki yang tengah dihadapinya ini.
"Ha-ha-ha, benar dugaanmu, Anak Manis. Aku-lah Hantu Lereng Lawu yang tentunya pernah disebut-sebut oleh gurumu!"
"Jangan pongah! Guruku takkan sudi mengin-gat-ingat namamu yang hanya bisa menakut-nakuti orang yang tidak ber-Tuhan itu!"
Sahut Sekar Arum seraya mencibir.
"Waii, tambah cantik kalau kau mencibir begi-tu, Anak Betari. Ha-ha ha!"
"Sepuasmulah kau tertawa sebelum kau kuki-rim ke liang kubur dan kau tidak akan bisa lagi mem-buka mulut!"
"Ya, ya, ya, aku memang paling suka menda-patkan gadis cantik yang galak dan sombong seperti-mu. Eh, siapa namamu?"
"Tak perlu aku menyebutkan namaku! Kalau memang kalian hendak mengeroyokku, keroyoklah! Dan, aku yakin kalian memang hanya berani main ke-royok!"
Hantu Lereng Lawu memandang Kebo Dungkul, kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak. Bahkan tiga anak buahnya yang tadi terlongong-longong meli-hat kehebatan Sekar Arum, kini ikut tertawa.
"Sebelum kami mengeroyokmu, aku lebih dulu ingin mengujimu, pantas tidak kami ini mengeroyok-mu. Majulah, Gadis Bengal!"
Tantang Hantu Lereng Lawu seraya mencabut kembali pedang di pinggang-nya, 'Pantang bagiku untuk menyerang lebih dulu! Majulah kalau memang kau ingin mati mendahului anak buahmu!"
"Mulutmu memang lebih cocok dicium pedang!"
Ujar Hantu Lereng Lawu sambil mengayunkan pe-dangnya.
Sekar Arum tidak gegabah membenturkan tombak pendeknya untuk menangkis serangan lawan.
la yakin, ilmu silat Hantu Lereng Lawu berada setingkat di atas Kebo Dungkul.
Sudah barang tentu tenaga yang dialirkan ke pedang itu lebih dahsyat dibandingkan tenaga Kebo Dungkul.
Maka gadis itu menarik kaki kanannya ke bela-kang sambil merundukkan kepalanya.
Pedang lebar bermata dua itu berdesing sejengkal di atas kepala gadis itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk membalas serangan.
Namun, di luar dugaan ge-rak pedang itu berbalik dan kini mengancam lutut ga-dis itu.
Terpaksa Sekar Arum membatalkan serangan balasannya.
Ia harus melenting ke udara agar lututnya tidak terbabat.
"Ilmu silatmu memang lumayan bagus, Anak Manis. Tetapi, aku ingin tahu apakah nafasmu sebaik ilmu silatmu!"
Berkata begini Hantu Lereng Lawu me-mutar pedangnya hingga tak terlihat lagi bentuk pe-dang itu.
Sekar Arum hanya melihat sinar kebiru-biruan yang membentuk payung di atas kepala lawan.
Inilah Jurus Pedang Penangkal Hujan, pikir ga-dis itu selintas.
Untuk selanjutnya, ia harus secepat-nya berloncatan ke kanan-kiri lawan agar tubuhnya tidak terpotong-potong.
Melihat gadis itu tak punya peluang untuk mengirimkan balasan, Hantu Lereng Lawu semakin bersemangat memburunya, ia memang belum ingin melukai gadis itu.
Ia hanya ingin menguji sejauh mana murid Ki Sempani itu menguasai jurus-jurus pernapasan.
Dari penjelasan gurunya, Hantu Lereng Lawu ta-hu persis kelemahan ilmu silat dari Bukit Karang Bo-long ini.
Mereka hanya mengandalkan kecepatan me-nyerang dan kelincahan menghindari tanpa memperhi-tungkan kesempurnaan pernapasan.
Apalagi gadis ini masih begitu belia, dan pasti belum berpengalaman bertempur sampai puluhan jurus.
Terbukti, sewaktu melawan Kebo Dungkul tadi, gadis itu buru-buru men-geluarkan jurus pamungkasnya.
"Akh!"
Jerit Sekar Arum sambat memegangi ce-lana pangsinya yang robek di bagian paha. Kulit pa-hanya yang putih mengintip membuat Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya bersamaan menelan ludah.
"Itu peringatan kecil buatmu, Gadis Bengal! ' ujar Hantu Lereng Lawu seraya tertawa terbahak-bahak. 'Iblis Mata Bakul! Kalau memang kau mengaku lelaki, bertempurlah secara jantan!"
Pekik Sekar Arum.
"Nafasmu tinggal satu-satu, bagaimana mung-kin aku tega melawanmu, Manis? Tanganmu pun ha-rus memegangi sebelah pahamu. Apa tidak sebaiknya kau lepaskan saja celanamu?"
"Iblis cabul!"
Sergah Sekar Arum sambil menje-jak tanah lalu tubuhnya terbang ke atas kepala lawan. Namun, sewaktu tombak pendek di tangannya hendak menghujam ubun-ubun lawan, kembali pedang di tan-gan Hantu Lereng Lawu memayungi kepala itu.
"Tring!"
Sedikit sekali ujung tombak pendek itu beradu dengan pedang Hantu Lereng Lawu, tetapi getaran yang menjalari tangan gadis itu mampu membuat ba-hu gadis itu seakan somplak.
Sekar Arum berdiri di atas kuda-kudanya sam-bil menahan rasa nyeri hebat di bahunya.
Kalau saja ia tidak harus memegangi celana pangsinya yang robek, pastilah tangannya secara refleks akan memijat-mijat bahu itu.
"Sekarang, bisa kau teruskan pekerjaanmu, Kebo Dungkul!"
Kata Hantu Lereng Lawu sebelum me-ninggalkan tempat itu sambil tertawa puas.
Kebo Dungkul mengusap kumisnya dengan punggung tangannya.
Ia tahu, gadis itu sekarang tak akan segarang tadi.
Bahu kanannya tidak akan bisa lagi mendukung permainan tombak pendek di telapak tangan gadis itu.
Kalau saja gadis itu tidak memiliki tenaga dalam yang lumayan, tentu sudah copot engsel tulang bahunya.
Kebo Dungkul sendiri pernah mera-sakan hebatnya Jurus Pedang Penangkal Hujan.
Kare-na jurus itu pula maka ia terpaksa bertekuk lutut di depan Hantu Lereng Lawu.
Hampir sebulan lebih Kebo Dungkul harus menggendong tangannya akibat rantai berkapak yang dipegangnya membentur pedang yang diputar Hantu Lereng Lawu.
Sekar Arum mundur beberapa tindak.
Ia men-coba memainkan tombak pendeknya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya yang nyeri dipergu-nakan untuk memegangi celana pangsinya yang robek.
Diam-diam ia mengutuk Hantu Lereng Lawu yang tadi telah menyelamatkan Kebo Dungkul dari tikaman tombak di leher belakangnya.
"Hei, kenapa kalian diam saja? Ringkus gadis bengal ini!"
Perintah Kebo Dungkul kepada tiga orang anak buahnya.
Mereka bertiga bergerak mengurung Sekar Arum.
Meski hanya dengan tangan kiri, gadis itu ter-nyata masih mampu membuat mereka bertiga kucar-kacir.
Ketiganya terlempar begitu golok di tangan mereka membentur tombak pendek di tangan gadis itu.
"Huh! Kalian memang hanya pantas mencuri kayu di hutan!"
Dengus Kebo Dungkul. Lalu katanya kepada Sekar Arum.
"Sekali lagi aku beri kau waktu untuk berpikir, Cah Ayu. Kau pilih mati terbelah kapakku, atau kau pilih menuruti kemauanku...."
"Jangan berangan-angan, Kebo Dungu!"
Sergah gadis itu.
"Selama napas ku masih ada, tak akan aku mengaku kalah! Majulah, biar kurobek perutmu yang buncit itu!"
"Wah, betul-betul bosan hidup rupanya! Tapi, terlalu enak buatmu jika kau mati tanpa memberi ku kenikmatan lebih dulu. Nah, bersiaplah! Keluarkan il-mu yang kau warisi dari gurumu!"
Kebo Dungkul men-gembangkan tangannya dan menubruk gadis itu.
Sekar Arum memagari dirinya dengan putaran tombak pendeknya.
Akan tetapi, di luar dugaannya ji-ka ternyata Kebo Dungkul menarik kembali dua tan-gannya dan sebagai gantinya kaki kanannya mener-jang betis indah gadis itu.
Gerakan itu begitu cepat dan di luar dugaan Sekar Arum.
Tak pelak lagi betis gadis itu terdorong dan gadis itu bergulingan di tanah.
Sewaktu ia hendak melenting bangun, tiba-tiba mata kapak yang tadi menggantung di leher lawan sekarang telah menempel di lehernya.
"Ha-ha-ha! Pengalamanmu baru secuil, tetapi kesombonganmu segerobak, Gadis Bengal!"
Sekar Arum hendak menikamkan tombak pen-deknya ke leher Kebo Dungkul yang hanya beberapa jengkal jaraknya dari wajahnya, tetapi secepat kilat ti-ga buah golok menahan tangan kiri gadis itu.
"Sekali lagi kau mencoba melawan, kapak ini akan memenggal lehermu, Cah Manis,"
Kata Kebo Dungkul seraya menekankan mata kapaknya lebih kuat lagi.
"Lebih baik leherku terpenggal daripada terja-mah tanganmu yang menjijikkan!"
Sahut Sekar Arum sebelum menggerakkan tumitnya ke lutut Kebo Dung-kul.
"Ha-ha-ha! Sudah kubilang, terlalu enak buat-mu mati sebelum kami berempat bisa menikmati tu-buhmu yang mulus ini!"
Dengan mudah Kebo Dungkul menguasai kaki kanan gadis itu. Kini tangan kirinya bersiap-siap merobek krah baju gadis itu.
"Bunuhlah aku jika kau merasa...."
"Ha-ha-ha! Hi-hi-hik! Ho-ho-hok!"
Mereka be-rempat tertawa bersamaan.
"Nah, mari kita lihat apakah dada gadis ini se-keras hatinya!"
Kebo Dungkul mencengkeram krah ba-ju gadis itu.
Akan tetapi, sebelum tangan itu menarik robek krah baju itu, tiba-tiba ada benda cair melabrak matanya yang melek.
Bau amis menyelinap ke lubang hidung, pandangan Kebo Dungkul gelap gulita.
Satu-satunya mata yang berfungsi telah tertutup kuning telur yang lengket.
Ketiga anak buah Kebo Dungkul menoleh ke arah datangnya telur ayam itu.
Sementara itu Kebo Dungkul menyumpah-nyumpah sambil membersihkan lumuran kuning telur di matanya.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Sekar Arum.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia menjejakkan kakinya dan berjumpalitan ke belakang.
"Bangsat tengik! Kalau memang pendekar seja-ti, hadapi Kebo Dungkul! Jangan hanya main lempar dari persembunyian!"
Tantang Kebo Dungkul meski matanya belum jelas memandang sekeliling.
Tiga orang anak buah Kebo Dungkul yang tadi menyerbu ke dalam kedai, satu per satu terlempar ke-luar sambil memegangi leher.
Tak lama kemudian me-reka berkelojotan dan terkulai lemas.
"Tunggu, Kisanak!"
Desis Sekar Arum seraya memburu bayangan putih yang melesat ke arah bela-kang kedai.
* * * Kebo Dungkul tak bisa menebak siapa manusia yang telah membunuh ketiga anak buahnya itu.
Se-waktu ia berhasil menjernihkan pandang matanya, di tempat itu tak ada lagi seorang pun yang bisa ditanyai.
Ia hanya bisa menatap ketiga mayat yang lehernya hampir putus.
Akan tetapi, ia bisa memastikan bahwa pembu-nuh ketiga anak buahnya itu orang yang berilmu ting-gi.
Dalam sekejap pembunuh itu bisa menguasai golok-golok lawan dan menggorokkan ke leher-leher lawan-nya.
Dan, dengan ilmu setannya pembunuh itu mam-pu melemparkan kuning telur mentah tanpa menyer-takan putih telurnya.
Tentulah bukan dengan tangan, melainkan dengan mulut! Sementara Kebo Dungkul memutar otaknya mencari-cari jawaban, Sekar Arum pun belum berhasil menemukan orang yang telah menolongnya.
Selain ia ingin mengucapkan terima kasih, ia juga ingin berke-nalan dengan pendekar berilmu tinggi itu.
Meskipun ketiga anak buah Kebo Dungkul bukan lawan yang be-rarti, tak akan dalam sekejap terbunuh jika tidak oleh seseorang yang berilmu tinggi.
Lagi pula, baru kali ini Sekar Arum gagal mengejar bayangan yang sempat nampak di mata.
Di Pantai Selatan, ia sudah terbiasa berkejaran dengan burung walet.
Dan, tadi pun ia mengerahkan Jurus Walet Menyambar Mangsa sewak-tu mengejar bayangan serba putih itu.
Toh dia tidak berhasil menyusul! "Dalam dunia persilatan, hanya ada satu orang yang ilmu meringankan tubuhnya tak tertandingi!"
Mengiang kembali kata-kata Ki Sempani di telinga ga-dis itu. 'Pendekar Perisai Naga! Ya, tak salah lagi!"
Desis Sekar Arum menyimpulkan.
Tetapi, bukankah dia sudah terbunuh oleh Empu Wadas Gempal dan Hantu Lereng Lawu tiga pu-luh tahun yang lalu? Gadis itu kembali diliputi keraguan.
Atau, mungkinkah dia tadi murid pendekar sakti itu? Ah, menurut cerita Guru, Pendekar Perisai Naga tak pernah mau mengangkat siapa pun menjadi mu-ridnya.
Sampai kemudian ia tewas oleh kelicikan Em-pu Wadas Gempal.
Lalu, siapa pendekar budiman yang telah menolongku tadi? Dan, gadis itu semakin sangsi sebab ia tadi tak mendengar suara lecutan cambuk seperti yang pernah diceritakan Ki Sempani.
Gadis itu melangkah sambil terus memikirkan pendekar berpakaian serba putih yang hanya selinta-san dilihatnya tadi.
Bukan hanya pakaiannya yang berwarna putih, melainkan rambutnya pun berwarna putih.
Artinya, pendekar tadi memang sudah lanjut usia.
Setidaknya seusia dengan Ki Sempani.
Sekar Arum memang bocah kemarin sore yang belum berpengalaman di dunia persilatan.
Lima belas tahun yang lalu, ia bahkan belum ada di bumi ini.
Ia masih dalam kandungan ibunya.
Umur sebelas tahun, mulailah ia mengenal jurus-jurus silat sebab kedua orang tuanya menyerahkannya kepada Ki Sempani.
Karena kecerdikannya, dalam waktu empat tahun ga-dis kecil itu telah menguasai sebagian besar ilmu silat yang diturunkan oleh Ki Sempani.
Namun demikian, Ki Sempani tetap menyadari bahwa muridnya ini belum layak bertanding dengan orang-orang sesat macam Ke-bo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu.
Sebelum Sekar Arum nekat meninggalkan Pa-depokan Karang Bolong, sekali lagi Ki Sempani mence-ritakan jahatnya dunia persilatan agar gadis itu mawas diri.
Akan tetapi, darah muda yang mengalir di tubuh gadis itu membuat gadis itu ingin secepatnya mencoba ilmu silat yang didapatkannya dari gurunya.
Itulah kenapa Sekar Arum sengaja melintasi kedai yang menjadi tempat mabuk-mabukan Kebo Dungkul dan anak buahnya.
Beruntung sewaktu gadis itu tak lagi berdaya menghadapi Kebo Dungkul, tiba-tiba muncul Wiku Ja-ladri menyelamatkannya! * * * "Ki Sempani memang bukan orang lain bagiku.
Akan tetapi, aku sengaja menghilang dari pandang ma-ta muridnya agar Ki Sempani tidak kaget mendengar cerita tentang kemunculanku kembali.
"
Kata Wiku Ja-ladri setelah menceritakan perihal Sekar Arum, murid Ki Sempani.
"Berarti, Ki Sempani percaya bahwa Kiai sudah tewas tiga puluh tahun yang lalu?"
Tanya Joko Sung-sang. 'Begitulah menurut apa yang aku dengar."
"Karena tidak ingin dikenali murid Ki Sempani maka Kiai tidak juga membawa-bawa Perisai Naga?"
"Perisai Naga sudah menjadi milikmu, Joko Dan, sejak kau mewarisi ilmu Perisai Naga, maka kau-lah yang harus bergelar Pendekar Perisai Naga.
"
Joko Sungsang mencium lutut Wiku Jaladri se-bagai Ungkapan rasa harunya. Saking terharunya, sampai-sampai lidahnya tak mampu berucap sepatah kata pun.
"Kebo Dungkul sendiri tidak akan mengenali aku sore tadi. Sengaja matanya yang tinggal sebelah itu aku tutup dengan kuning telur ayam yang aku am-bil dari kedai itu. Hantu Lereng Lawu, bahkan Empu Wadas Gempal akan bingung mendengarkan laporan dari Kebo Dungkul."
"Bagaimana jika mereka menganggap Ki Sem-pani yang mempecundangi Kebo Dungkul, Kiai?"
"Itu sudah ada dalam perhitunganku, Joko. Aku tidak ingin mereka menaruh dendam kepada Ki Sempani. Karena itu aku sengaja meminjam golok me-reka untuk membungkam mulut mereka, anak buah Kebo Dungkul itu. Empu Wadas Gempal maupun Han-tu Lereng Lawu tahu persis bagaimana tabiat aneh Ki Sempani.
"
"Tabiat aneh?"
Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. 'Bukankah aneh jika ada orang yang tidak mau melihat musuh bersimbah darah?"
"Lalu, bagaimana cara dia melumpuhkan mu-suh-musuhnya, Kiai?"
"Dengan pukulan yang merontokkan isi dada lawan. Itulah yang dikenal dengan Pukulan Ombak Laut Selatan!"
Joko Sungsang manggut-manggut paham. Lalu, katanya.
"Terima kasih, untuk kedua kalinya Kiai sudi membiarkan Kebo Dungkul tetap hidup."
"Pendekar-pendekar dari golongan putih tidak akan membunuh lawan yang menjadi musuh bebuyu-tan pendekar segolongannya. Apalagi Kebo Dungkul musuh bebuyutan muridku sendiri,"
Sahut Wiku Jala-dri memberikan penjelasan.
"Maafkan saya, Kiai,"
Sahut Joko Sungsang dengan perasaan bersalah.
"Sekali lagi aku katakan kepadamu, Joko, bah-wa setelah kau pergi dari dasar jurang ini, berarti tugas-tugasku sudah aku limpahkan kepadamu. Dan, camkan sekali lagi bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang paling sakti. Kau harus tetap yakin bahwa masih banyak pendekar yang ilmunya jauh lebih tinggi darimu. Selama kau ingat pesanku ini, kau tidak akan pongah dalam menghadapi segala macam rintangan."
"Saya akan laksanakan tugas tugas yang telah Kiai bebankan ke pundak saya. Saya tidak akan seke-lumit pun melupakan nasihat dan pesan-pesan Kiai."
"Kau bisa menemui ibumu di Desa Dadapsari, Joko. Di desa itu juga kau akan bertemu dengan Sekar Arum, murid Ki Sempani itu. Cobalah kau bujuk dia agar kembali ke Padepokan Karang Bolong. Sifat pon-gah dan kekerasan hatinya membuatnya hampir saja celaka." 'Apakah Kiai mengizinkan saya bertemu den-gan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong?"
Tanya Joko Sungsang ragu-ragu.
"Kunjung-mengunjungi sesama pendekar me-mang baik sekali. Aku senang sekali jika kau bisa membawa kabar tentang aku kepada Ki Sempani."
"Saya akan merasa bangga bisa mewakili Kiai menemui pendekar semacam Ki Sempani. Tetapi, apa kiranya Ki Sempani masih mau percaya jika saya men-gaku sebagai murid Kiai? Sebab, seperti yang Kiai katakan bahwa Ki Sempani sendiri percaya bahwa Kiai telah tewas."
"Perisai Naga di pinggangmu akan bercerita tentang siapa kamu meskipun kamu datang ke Karang Bolong dengan mulut membisu."
"Ah, saya hampir lupa, Kiai,"
Sahut Joko Sung-sang sambil meraba Perisai Naga yang melingkari pinggangnya.
"Pergilah, Joko. Tetapi, sebelum kau benar-benar meninggalkan dasar jurang ini, tutuplah pintu gua biar aku tenang menghabiskan sisa waktuku di sini." 'Maksud, Kiai?"
Mata Joko Sungsang membela-lak.
"Jangan seperti anak kemarin sore. Takdir Tu-han telah menuliskan segalanya tentang kita. Pergilah, dan jangan lagi kau tambahi beban pikiranmu dengan memikirkan tentang nasibku di gua ini."
"Kiai...."
Joko Sungsang menubruk kedua tela-pak kaki Wiku Jaladri dan menciumi telapak kaki itu.
* * * Desa Cemara Pitu adalah desa pertama yang disinggahi Joko Sungsang dalam perjalanannya menu-ju Desa Dadapsari.
Dinamakan Desa Cemara Pitu ka-rena di ujung jalan yang membelah desa itu tertanam tujuh batang pohon cemara.
Menurut kabar burung, tujuh pohon cemara itu sudah berumur ratusan tahun dan tak seorang pun berani mengganggu kelestarian pohon-pohon itu.
Konon, ketujuh pohon itu tak bisa ditumbangkan oleh tenaga apa pun.
Fajar baru saja merekah ketika Joko Sungsang memasuki mulut desa itu.
Udara pegunungan masih terasakan oleh Joko Sungsang.
Namun, di pagi yang masih dingin itu, suasana di desa itu tak ubahnya suasana siang hari.
Penghuni desa sudah bertebaran di sawah-sawah.
Seolah-olah mereka telah bekerja bebe-rapa jam sehingga keringat membuat tubuh mereka berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Joko Sungsang menikmati pemandangan pagi hari di mulut desa yang sudah hampir tujuh tahun tak dinikmatinya.
Selama berada di dasar jurang bersama Wiku Jaladri, ia hanya bisa menikmati pepohonan yang menjulang dan dihiasi suara binatang liar dan buas.
Maka Joko Sungsang menghirup napas sepenuh dada.
Ingin ia menghirup udara pagi di desa sepuas-puasnya.
Akan tetapi, keindahan pagi itu rusak oleh da-tang-nya serombongan orang berkuda.
Debu jalanan mengepul menghalau kabut tipis yang menyelimuti ja-lanan.
Joko Sungsang menyelinap ke balik pohon ce-mara yang terbesar.
Ia tidak ingin kehadirannya di de-sa itu tercium oleh orang-orang dari kalangan persilatan.
Dan, tentunya orang-orang berkuda itu bukan penduduk Desa Cemara Pitu yang tak mengenal seluk-beluk dunia persilatan.
Mereka pastilah datang dari suatu tempat dan membawa-bawa nama perguruan mereka "Berhenti!"
Teriak lelaki yang berkuda paling depan memberikan aba-aba kepada lima orang yang berkuda di belakangnya.
Lelaki tinggi besar yang mengenakan baju tan-pa lengan ini agaknya pimpinan rombongan.
Sebilah pedang menyilang di punggungnya.
Mata lelaki itu me-rah seperti mata orang yang tak pernah tidur.
Kumis-nya yang tebal dan panjang dipelintir sehingga mem-bentuk sumping wayang.
Celana pangsi hitam yang di-kenakannya dihiasi kain berwarna kuning emas.
Ada kesan bahwa dia datang sebagai punggawa kerajaan.
"Kenapa berhenti di sini, Kakang?"
Tanya lelaki kedua yang agaknya orang kepercayaan lelaki pertama. Dua bilah pedang pendek menggelantung di pinggang kanan-kiri lelaki Ini.
"Kita lihat apakah mereka bekerja bersungguh-sungguh,"
Jawab lelaki pertama "Mereka memang bekerja bersungguh-sungguh. Hanya saja, mereka memang keberatan menyerahkan hasil sawah mereka kepada kita,"
Kata lelaki kedua.
"Kalau begitu, kita laksanakan saja perintah Kakang Adipati, Ambil semua kekayaan desa ini! Bu-nuh dan bakar rumah mereka yang coba-coba mela-wan!"
"Apa tidak sebaiknya sekali lagi kita perin-gatkan, Kakang?"
Pimpinan rombongan itu tidak lagi mendengar-kan ucapan orang kedua.
Ia langsung berteriak, men-gerahkan anak buahnya agar menggiring orang-orang yang sedang bekerja di sawah itu berkumpul di bawah tujuh pohon cemara itu.
ingin sebenarnya Joko Sungsang tetap men-dengarkan pembicaraan mereka.
Akan tetapi, jika nan-ti orang-orang itu sudah berkumpul, tentulah salah seorang dari mereka akan melihatnya bersembunyi di balik pohon terbesar itu.
Maka dengan Ilmu Harimau Mengincar Kijang, Joko Sungsang bergeser menjauh tanpa menimbulkan suara sama sekali.
Kemudian ia melenting dan hinggap di dahan yang paling rimbun daunnya.
Orang-orang yang tadi bekerja di sawah mulai berkumpul dan duduk bersila di depan kuda yang di-tunggangi pemimpin rombongan berkuda itu.
"Siapa yang dituakan di desa ini?"
Tanya pimpi-nan rombongan itu dari punggung kudanya. Orang-orang yang kini berwajah pucat karena takut itu saling memandang satu sama lain.
"Kalian ini bisu apa tuli?"
Bentak lelaki yang berpedang dua.
"Saya yang paling tua...."' "Goblok!"
Sergah pimpinan rombongan sambil memajukan kudanya sehingga kaki depan kuda itu hampir menyentuh hidung lelaki tua yang tadi menja-wab.
"Yang dituakan! Bukan yang paling tua!"
Kata lelaki berpedang dua memberikan penjelasan.
"Hei, sekarang kamu saja aku tunjuk sebagai pimpinan kalian semua. Nah, sekarang dengarkan pe-rintahku. Sebelum tengah hari nanti, kalian sudah harus mengumpulkan seluruh padi yang ada di lumbung desa ini. Mengerti?"
"Kami tidak pernah menyimpan persediaan pa-di."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau siang nanti kalian tidak menyiapkan apa yang aku minta, aku rata-kan desa ini dengan tanah!"
Sergah pimpinan rombongan itu seraya menyepak perut kudanya. Maka lima kuda yang lainnya memburu derap kuda pimpi-nan rombongan itu meninggalkan mulut Desa Cemara Pitu. 'Kenapa tidak kita lawan saja mereka?"
Berkata seorang pemuda yang duduk menyandar pada salah satu pohon cemara.
"Kenapa kau tadi diam saja? Bicara jangan asal buka mulut!"
Bentak kakek-kakek yang tadi berbicara dengan orang-orang berkuda itu.
"Sama-sama mati, memang lebih baik kita me-lawan,"
Sahut lelaki yang tadi duduk di samping ka-kek-kakek itu.
"Kau tidak memikirkan bagaimana nasib anak dan istrimu di rumah?"
Sahut yang lainnya lagi.
"Lalu, dari mana kita bisa dapatkan padi se-lumbung seperti yang mereka inginkan?"
Hening.
Mereka semua menekuri tanah.
Daun cemara berdesau-desau.
Dan, di antara desau daun cemara inilah terdengar siulan mirip siulan burung emprit gantil.
Seperti dikomando, mereka semua me-nengadahkan kepala mencari-cari arah datangnya si-ulan.
Mereka sadar bahwa yang mereka dengar siulan manusia, bukan siulan burung.
"Gusti Allah!"
Desis mereka berbarengan sambil melebarkan mata memandang Joko Sungsang yang ti-duran di dahan cemara.
Besar dahan yang ditiduri anak muda itu tak lebih besar dari gagang cangkul! * * * Dari penjelasan penduduk desa, akhirnya Joko Sungsang tahu siapa mereka yang datang berkuda dan hendak merampas kekayaan Desa Cemara pitu tadi.
Mereka adalah orang-orang kepercayaan Adipati So-rengdriyo.
Pimpinan rombongan itu bernama Mahesa Lawung.
Di sekitar Kadipaten Banyu Asin, nama Ma-hesa Lawung memang sangat ditakuti, ilmu silatnya setingkat di bawah ilmu silat Adipati Sorengdriyo.
Namun, kekejamannya dua tingkat di atas kekejaman sang adipati.
Mengingat kekejaman Mahesa Lawung ini maka para penduduk Desa Cemara Pitu terpaksa harus me-nyerahkan sebagian besar hasil panen mereka kepada Adipati Sorengdriyo.
Kalaupun sekarang mereka mem-bangkang, tidak berarti bahwa mereka siap melawan Mahesa Lawung dan anak buahnya.
Mereka kali ini memang tidak memetik hasil sawah mereka akibat serbuan hama tikus.
"Akan tetapi, mana mereka mau tahu alasan kami, Anakmas?"
Kata lelaki tertua di antara pendu-duk yang berkerumun di bawah tujuh pohon cemara itu.
"Kalau begitu, sebaiknya siang nanti tak seo-rang pun keluar dari rumah. Biar saya yang mengha-dapi Mahesa Lawung dan kawan-kawannya,"
Kata Jo-ko Sungsang.
"Mereka orang-orang kejam, Anakmas,"
Kata seorang lelaki yang berdiri di samping lelaki tua itu.
"Karena mereka kejam maka saya ingin mewa-kili penduduk desa ini menemui mereka."
"Biar saya membantu Kisanak!"
Kata seorang pemuda. Joko Sungsang tahu, inilah pemuda yang tadi memiliki gagasan untuk melawan para penjarah itu.
"Terima kasih. Tetapi, saya akan mencoba menghadapi mereka seorang diri. Saya tidak mau me-libatkan seorang pun penduduk desa ini. Kalaupun mereka menaruh dendam, biarlah mereka mendendam kepada saya. Tetapi, saya akan mengusahakan agar mereka tidak menaruh dendam."
"Berarti, Kisanak harus membunuh mereka semua!"
"Tidak. Bahkan saya tidak akan melukai mere-ka jika tidak terpaksa.
"
"Mereka tidak akan takut kepada orang asing seperti Kisanak!"
"Betul, Anakmas. Mereka hanya takut kepada Hantu Lereng Lawu."
Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat