Lambang Kematian 1
Pendekar Pulau Neraka Lambang Kematian Bagian 1
Seekor kuda putih tampak tengah dipacu dengan cepat memasuki daerah perbatasan Kadipaten Jati Anom.
Penunggangnya seorang laki laki berusia sekitar lima puluh tahun.
Dia berpakaian-indah yang terbuat dari bahan sutra halus dan bersulam benang emas.
Rambutnya panjang tergelung ke atas, dengan anak-anak rambut yang meriap tertiup angin "Heya! Heya...!"
Laki laki itu menggebah kudanya lebih kencang lagi.
-Sementara debu debu yang mengepul oleh kaki kaki kuda itu bertambah banyak --beterbangan.
Tidak sedikit pun dia memperlambat lari kudanya meskipun sudah memasuki pusat kota yang ramai.
Hal itu tentu saja menarik perhatian semua orang yang memadati jalan utama Kadipaten Jati Anom.
Tapi nampaknya tidak seorang pun yang berani menegur, apalagi sampai menghentikannya! "Cepat buka pintu!"
Seru laki laki itu ketika hampir sampai ke pintu gerbang -sebuah bangunan besar dan berpagar tembok batu tebal yang tinggi dan kokoh.
Sebentar saja dua orang penjaga pintu gerbang segera membuka pintu yang terbuat dari kayu jati yang tebal dan keras.
Bunyi bergerit terdengar saat pintu gerbang itu terkuak.
Dan tanpa memperlambat lari kudanya, laki laki berpakaian indah itu -langsung menerobos masuk.
Sedangkan dua orang penjaga pintu gerbang hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya -saja.
"Hooop...!"
Laki laki berusia sekitar lima puluh tahun itu langsung melompat turun dari -punggung kuda putihnya, begitu sampai di depan tangga yang menuju ke serambi depan dari bangunan itu.
Tampak beberapa orang yang berseragam dan membawa tombak panjang langsung berdiri berbaris dan memberi hormat.
Laki laki itu terus melangkah dengan tergesa gesa menaiki anak anak tangga yang ---menuju serambi depan yang luas dengan pilar pilar besar menyangga atap.
-Langkahnya terus terayun melintasi serambi yang berlantai batu pualam putih berkilat.
Seorang laki laki tua yang memakai jubah warna kuning dengan kepala -botak menyambutnya dengan membungkukkan badan.
Tangannya tidak berhenti mengelus elus janggut putih yang panjang menutupi -lehernya.
"Di mana Adipati Rakondah?"
Tanya laki laki itu dengan napas tersengal memburu. -"Gusti Adipati berada di taman belakang, Gusti Panglima,"
Sahut laki laki -berjubah kuning itu.
Dan tanpa berkata apa apa lagi, laki laki berbaju indah itu langsung melangkah --ke dalam.
Langkahnya tetap lebar dan tergesa gesa melintasi ruangan dalam yang -lebar dan luas.
Sepertinya dia sudah tidak asing lagi dengan keadaan bangunan itu.
Tak lama kemudian dia disambut oleh beberapa orang berpakaian seragam yang berjaga jaga di sekitar bangunan itu.-"Kakang Panglima Bantaraji...!"
Satu seruan terkejut dan gembira terdengar saat laki-laki setengah baya itu memasuki sebuah taman yang ditata indah di belakang bangunan istana itu.
Tampak seorang laki laki yang berwajah tampan dengan rambut berwarna dua segera menyongsongnya dengan tangan yang terbuka lebar.
Laki laki berusia setengah baya yang ternyata adalah seorang panglima bernama -Bantaraji itu hanya berdiri tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis.
"Kau tidak keberatan kalau aku akan mengganggu sebentar, Adik Adipati Rakondah?"
Laki laki tampan yang usianya sebaya dengan -Panglima Bantaraji itu hanya tersenyum.
Kemudian dia mempersilakan tamunya itu untuk duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu jati berukir indah.
Sejenak Panglima Bantaraji mengedarkan pandangannya berkeliling, menyapu beberapa wanita cantik dan beberapa orang pengawal yang berseragam prajurit dengan senjata tombak panjang di tangan.
Adipati Rakondah menepuk tangan tiga kali.
Dia seperti mengerti dengan keinginan Panglima Bantaraji.
Sebentar saja semua orang yang berada di sekitar taman itu bergegas meninggalkan tempat itu seraya memberi hormat.
Kini suasana taman yang semula ramai dan penuh dengan canda tawa, kembali sepi.
Hanya ada satu orang yang masih tinggal.
Seorang gadis cantik mengenakan baju biru masih duduk di pinggir kolam.
"Anakku, Intan Delima, Kakang,"
Kata Adipati Rakondah, ketika melihat tatapan mata Panglima Bantaraji terarah ke dekat kolam.
"Kau bisa meminta Intan Delima untuk meninggalkan taman ini?"
Pinta Panglima Bantaraji.
"Kenapa? Apakah berita yang kau bawa begitu rahasia, sehingga keponakanmu sendiri tidak boleh mendengar?"
Adipati Rakondah tampak keberatan.
"Sebaiknya memang begitu. Soalnya hal ini menyangkut masa lalumu,"
Agak berbisik suara Panglima Bantaraji.
"Intan...,"
Panggil Adipati Rakondah.
"Ya, Ayah,"
Lembut dan merdu sekali suara gadis itu menyahut.
"Kau bisa pergi sebentar? Ayah ingin bicara dengan pamanmu,"
Kata Adipati Rakondah.
Intan Delima memandang Panglima Bantaraji sebentar.
Lalu dia bangkit berdiri, dan mengangguk ke arah pamannya yang baru datang.
Kemudian dia melangkah pergi tanpa membantah sedikit pun.
Langkah kakinya gemulai dan sedap dipandang mata.
Panglima Bantaraji menunggu sampai gadis itu lenyap di balik pintu.
"Berita apa yang kau bawa?"
Tanya Adipati Rakondah langsung.
"Kau ingat dengan Rengganis?" *** Adipati Rakondah langsung berubah raut wajahnya. Nama Rengganis sudah begitu dikenalnya. Dan hampir setiap tahun, wanita cantik itu selalu mengundangnya untuk datang ke pesta yang selalu diadakan di atas sebuah kapal layar besar dan mewah di Pesisir Pantai Selatan. Makanya dia tahu betul siapa Rengganis itu. Orang tuanya adalah seorang patih kerajaan, namun kemudian berkhianat hendak menggulingkan Raja Kandaka yang sekarang sudah mangkat dan digantikan oleh putranya. Di samping itu dia juga pernah membantu Rengganis untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih yang diketuai oleh Dewa Pedang, bekas seorang panglima yang mengundurkan ciri setelah menunaikan tugas berat. Hal itu dilakukannya karena Adipati Rakondah merasa berhutang budi pada orang tua Rengganis. Dan dia memang punya dendam pribadi dengan Dewa Pedang.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Kakang. Memang tahun ini aku tidak bisa memenuhi undangannya, karena aku tidak bisa meninggalkan putriku yang baru pulang dari padepokan pamannya di Gunung Rangkas,"
Kata Adipati Rakondah.
"Kalau waktu itu kau ada di sana, tentu aku tidak perlu repot repot datang ke -sini, Adik Rakondah,"
Sungut Panglima Bantaraji.
"Kau datang ke sana? Apa ada sesuatu yang terjadi, Kakang?"
Tanya Adipati Rakondah mengerutkan keningnya.
"Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku mengatakan bahwa pesta itu berantakan, dan kapal Rengganis hancur,"
Sahut Panglima Bantaraji.
"Apa...?!"
Adipati Rakondah tersentak tidak percaya.
"Jangan bicara main main, Kakang. Mereka yang diundang bukan orang orang --sembarangan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?"
"Sudah aku katakan tadi, ini adalah peristiwa lama dan ada hubungannya dengan masa lalumu."
Sejenak Adipati Rakondah menggeser duduknya untuk lebih mendekat. Sedangkan bola matanya berputar mengedar berkeliling. Seolah olah dia takut kalau pembicaraan ini ada yang mendengar.-"Siapa yang telah melakukan itu?"
Tanya Adipati Rakondah setengah berbisik.
"Kau pasti akan lebih terkejut kalau mendengarnya."
"Katakan, siapa?"
Desak Adipati Rakondah tak sabar.
"Putra Dewa Pedang, sekarang dia memakai nama julukan Pendekar Pulau Neraka...!"
Adipati Rakondah tidak bisa lagi berkata kata.
-Mulutnya ternganga lebar, dan kedua bola matanya berputar putar.
Sedangkan raut -wajahnya berubah kemerahan, dan sebentar kemudian pucat pasi.
Dia seperti tidak -percaya dengan pendengarannya sendiri.
Rasanya mustahil kalau Bayu masih hidup.
Apalagi sampai muncul lagi dengan nama julukan Pendekar Pulau Neraka.
Waktu itu dia menyaksikan sendiri, bagaimana Badar, murid utama Padepokan Teratai Putih membawa lari seorang bayi yang berumur beberapa hari menuju Pulau Neraka.
Sebuah pulau yang sangat ditakuti dan tak ada seorang pun yang mau menginjakkan kakinya ke sana.
Dan sampai sekarang belum pernah ada seorang pun yang bisa keluar dengan selamat kalau sudah masuk ke sana (Untuk lebih jelasnya, bacalah serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode perdananya yang berjudul.
Geger Rimba Persilatan).
"Mustahil...!"
Adipati Rakondah menggeleng -gelengkan kepalanya tidak percaya.
"Kau akan percaya kalau sudah melihatnya, Adik Rakondah,"
Kata Panglima Bantaraji. Adipati Rakondah jadi terdiam lagi.
"Aku yakin, sekarang Pendekar Pulau Neraka sedang mencari orang orang yang waktu -itu mendukung Rengganis untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih,"
Lanjut Panglima Bantaraji.
Sejenak Adipati Rakondah mengangkat kepalanya.
Dia menatap tajam pada laki laki gagah yang duduk di sampingnya itu.
Kini -otaknya tiba tiba jadi buntu, tidak mampu lagi untuk dipakai berpikir! Berita -yang dibawa oleh Panglima Bantaraji benar benar mengejutkannya, bahkan seperti -berita datangnya kiamat.
Kabar yang dibawa oleh Panglima Bantaraji sudah jelas! Dan dia bisa menebak bahwa Rengganis tewas di tangan seorang pemuda yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka itu.
Beberapa saat kemudian Adipati Rakondah bangkit dari duduknya dan berjalan mondar mandir dengan kening berkerut dalam.
-Sementara Panglima Bantaraji tetap duduk sambil memperhatikan.
*** Sejak mendapat berita dari kakaknya, Panglima Bantaraji, Adipati Rakondah selalu tampak gelisah.
Dia jadi lebih senang menyendiri dan melamun.
Hanya kalau malam hari saja dia pergi ke kaki Gunung Panjaran untuk memperdalam ilmu ilmu olah -kanuragannya.
Seperti malam ini, dia tampak sudah berada di sekitar kaki gunung itu.
"Hiyaaa...!"
Glarrr! Malam yang sunyi sepi tiba tiba pecah oleh suara ledakan dan gemuruh bebatuan -yang hancur berkeping-keping.
Tampak Adipati Rakondah berdiri tegak dengan kedua telapak tangan masih terbuka dan menjulur ke depan.
Sedangkan matanya dengan tajam menatap reruntuhan batu yang berada sekitar sepuluh depa di depannya.
Kepulan debu masih membayang di udara.
Sedangkan pecahan pecahan batu juga masih ber-hamburan turun bagai hujan.
-"Bagus...!"
Tiba tiba terdengar suara diiringi tepuk tangan.
-Adipati Rakondah langsung berbalik.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat Panglima Bantaraji tiba tiba sudah berada di belakangnya.
Panglima Kerajaan -Banyu Biru itu kemudian melangkah pelahan lahan neng-hampirinya.
Tampak bibirnya -yang tipis dengan kumis tebal di atasnya menyunggingkan senyuman cerah.
"Jurus 'Tapak Sakti'mu benar benar luar biasa!"
Puji Panglima Bantaraji sambil -geleng geleng kepala per-lahan. -"Jangan memperolokku, Kakang,"
Rungut Adipati Kakondah.
"Aku yakin dengan jurus itu kau akan mampu menandingi Pendekar Pulau Neraka."
"Aku justru merasa sebaliknya, Kakang. Jurus 'Tapak Sakti'ku memang seimbang dengan jurus 'Kipas Maut' Nyai Rengganis. Tapi aku baru bisa menguasainya di bawah jurus 'Kipas Maut'. Rasanya aku belum mampu, Kakang,"
Nada suara Adipati Rakondah terdengar mengeluh.
"Jangan berkecil hati dulu, Adik Rakondah. Meskipun aku tahu bahwa kau salah, tapi aku tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku sudah mengirim utusan ke kerajaan, dan meminta prajurit prajurit pilihanku untuk datang ke sini."-"Untuk apa? Kakang hanya membuang buang waktu dan nyawa sia sia,"
Adipati --Rakondah menyesalkan.
"Jangan berpikir yang bukan bukan dulu, Adik Rakondah. Aku melakukan semua itu -hanya untuk sekedar berjaga jaga. Aku dengar sudah beberapa tokoh sakti yang -dulu ikut menghancurkan Padepokan Teratai Putih tewas di tangannya. Tindakan pendekar itu kejam dan tidak kenal ampun. Siapa saja yang mencoba menghalangi maksudnya, tidak diberi kesempatan hidup lagi. Aku harap kau bisa mengerti, Adik Rakondah. Aku hanya menjaga kemungkinan, kalau kalau dia akan berbuat kejam. Bagaimanapun -juga keselamatan Kadipaten Jati Anom adalah tanggung jawabku juga,"
Panglima Bantaraji mencoba menjelaskan.
"Terima kasih, Kakang,"
Ucap Adipati Rakondal terharu.
"Hanya satu pesanku, Adik Rakondah,"
Lanjut Panglima Bantaraji. Adipati Rakondah menatap lurus ingin tahu.
"Kau harus hati hati terhadap -senjatanya."
"Maksudmu, Kakang?"
"Senjata Pendekar Pulau Neraka berbentuk cakram bersegi enam. Senjata itu dapat melayang seperti memiliki mata. Dan sampai saat ini belum ada satu senjata pun yang mampu menandinginya. Bahkan Tongkat Sakti Jantara pun sudah dibabat buntung!"
"Kakang...?! Apakah Kakang Jantara juga ikut tewas?"
Adipati Rakondah terkejut.
"Benar."
"Bagaimana Kakang bisa tahu semuanya?"
Tanya Adipati Rakondah seperti menyelidik.
"Aku mengikuti semua kejadian dengan sembunyi-sembunyi. Dan aku melihat semua kejadian yang dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Aku sendiri tidak tahu, apakah pendekar itu mengetahui kehadiranku atau tidak. Yang jelas, aku selalu menguntit ke mana pendekar itu pergi untuk mencari orang orang yang telah -bersekutu menghancurkan Padepokan Teratai Putih,"
Kembali Panglima Bantaraji menjelaskan.
"Dan sekarang Kakang tiba tiba berada di sini, apakah Pendekar Pulau Neraka itu -juga ada di sekitar sini?"
Tebak Adipati Rakondah mulai bisa mengerti.
"Entahlah, dia sudah sampai atau belum. Tapi yang jelas arah perjalanannya menuju Kadipaten Jati Anom ini."
Kembali Adipati Rakondah terdiam.
"Malam sudah terlalu larut, sebaiknya sekarang kau pulang saja. Dan aku akan terus berusaha menjauhkan pendekar itu dari Kadipaten Jati Anom,"
Kata Panglima Bantaraji.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
Tanya Adipati Rakondah.
Panglima Bantaraji hanya tersenyum.
Kemudian Iangkahnya terayun.
Sedangkan Adipati Rakondah juga ikut melangkah di belakang laki laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu.
Mereka terus berjalan -tanpa banyak bicara lagi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan angin malam yang dingin menebarkan titik titik embun, -menambah suasana semakin sunyi dan dingin.
*** Pagi ini awan hitam tampak menggantung dan berarak di angkasa.
Sementara cahaya matahari seperti tak sanggup untuk menembus kepekatan awan yang menyelimuti seluruh langit di atas Kadipatan Jati Anom.
Sedangkan hembusan angin yang bertiup kencang menebarkan udara dingin seperti menusuk sampai ke tulang.
Tampak daun daun berguguran, dan debu debu berkepulan --tersapu angin.
Seluruh kota kadipaten itu tampak sepi, hanya sesekali terlihat satu dua orang yang melintasi jalan utama kota itu.
Dari arah pintu gerbang perbatasan kadipaten sebelah Utara, tampak seorang laki -laki gagah sedang melangkah ringan mendekati pintu gerbang.
Sampai di depan pintu gerbang, pemuda itu hanya melirik pada dua penjaga yang memandanginya denga tatapan mata penuh selidik.
Hingga pemuda itu berlalu, kedua penjaga itu masih tetap memperhatikannya.
Kadipaten Jati Anom memang sering kedatangan tamu, baik yang hanya singgah maupun yang ingin menetap, sehingga setiap kali ada pendatang baru para penjaga pintu gerbang perbatasan tidak pernah menegur atau bertanya.
"Orang itu tampaknya mencurigakan, ya...?"
Bisi salah seorang penjaga.
"Hm...,"
Gumam satunya lagi tidak jelas, namun matanya terus mengamati pemuda yang sudah jauh berjalan.
"Ciri cirinya seperti yang pernah dikatakan oleh Panglima Bantaraji,"
Kata -penjaga itu lagi.
"Benar!"
Seru yang satunya. Dan tanpa berkata apa apa lagi, kedua penjaga pintu gerbang perbatasan itu -langsung berlari kencang memburu pemuda tadi.
"Berhenti...!"
Pemuda gagah itu segera menghentikan langkahnya. Namun sedikit pun dia tidak berbalik atau menoleh. Dia tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan. Kedua penjaga itu terus menghampiri dan mencegat-nya.
"Maaf, Kisanak. Kami harus memeriksa Anda dulu,"
Kata salah seorang penjaga dengan sopan.
"Bukankah kota ini bebas untuk didatangi oleh pendatang?"
"Benar, tapi sekarang Gusti Adipati dan Gusti Panglima telah memerintahkan kami untuk memeriksa setiap pendatang baru."
"Sejak kapan peraturan itu berlaku?"
"Tujuh hari yang lalu."
"Kalau aku menolak...?"
Sejenak kedua penjaga itu saling berpandangan.
Kata kata pemuda gagah itu terdengar dingin dan kaku.
-Sedangkan sinar matanya tampak tajam, seakan akan mampu membuat siapa saja yang -memandangnya bergidik tanpa sebab.
Maka seperti dikomando saja, kedua penjaga itu segera melangkah mundur dua tindak.
Sementara tangannya menggenggam tombak dengan lebih erat.
"Maaf, Kisanak. Sebenarnya kami juga enggan untuk memeriksa setiap orang yang datang ke kota ini, tapi kami hanya menjalankan tugas,"
Kata salah seorang penjaga masih bersikap sopan, meskipun sudah waspada.
"Katakan pada Gusti mu, aku tidak akan lama di sini. -Dan aku akan segera meninggalkan kota ini setelah urusanku selesai!"
Lantang dan tegas kata kata pemuda itu.
-Dan tanpa menghiraukan kebingungan kedua penjaga itu, dia segera mengayunkan langkahnya kembali.
Ayunan kakinya tampak ringan dan tenang.
Tapi kemudian, kedua penjaga itu langsung melompat dan kembali menghadang.
Kali ini ujung tombaknya sudah terhunus.
"Maaf, kami terpaksa menahanmu, Kisanak,"
Kata salah seorang penjaga.
"Hm...!"
Pemuda itu tidak mempedulikan. Dia terus saja mengayunkan kakinya.
"Berhenti!"
Tapi pemuda itu tetap tidak menghiraukan, dia terus melangkah maju.
Sementara kedua penjaga itu saling pandang, lalu dengan cepat salah seorang dari mereka menggerakkan tombaknya ke arah perut pemuda itu.
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, pemuda itu luput dari serangan.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan pemuda itu bergerak cepat dan mengempit batang tombak itu di ketiaknya.
Sedangkan tangan satunya lagi berhasil mematahkan tombak itu.
Dan belum lagi penjaga itu sempat menguasai keadaan, sebuah ayunan kaki yang bergerak bagai kilat, langsung menghantam dadanya yang keras.
"Hugh!"
Penjaga itu mengeluh pendek.
Tubuhnya sampai terjajar ke belakang beberapa depa.
Melihat keadaan itu, penjaga yang satunya lagi segera mengibaskan tombaknya ke arah leher.
Namun dengan cepat pemuda itu menarik kepalanya ke belakang, dan tangan kanannya terangkat ke atas menangkap tombak itu.
Lalu dengan satu kali hantaman tangan kiri, tombak itu kembali patah jadi dua bagian.
"Akh...!"
Kedua penjaga itu terkejut bukan main.
Dalam sekejap saja kedua tombak mereka sudah patah jadi dua bagian.
Sementara pemuda itu masih tetap berdiri tegak tanpa menggeser kakinya sedikit pun.
Sebentar mereka saling pandang, lalu....
Sret! Hampir bersamaan kedua penjaga itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang.
Kedua pedang penjaga itu berukuran panjang dan berwarna keperakan berkilat.
Tampak pemuda gagah itu hanya menatap dengan bibir yang mengulas senyum sinis.
"Sayang sekali, nama kalian tidak tercantum dalam daftarku...,"
Kata pemuda gagah itu bergumam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung melesat pergi bagai kilat melewati kepala kedua penjaga itu.
Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga itu melongo seperti melihat dewa baru turun dari kahyangan.
Dan saat mereka membalikkan tubuh pemuda gagah itu sudah tidak terlihat lagi bayangan nya.
"Siapa dia, ya...?"
Salah seorang penjaga bergumam sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangkanya.
"Kau tunggu dulu di sini, aku akan melaporkan hal ini pada Gusti Adipati,"
Kata seorang lagi.
"Cepatlah, tidak enak berjaga sendirian.
"
"Sebentar saja aku pasti sudah kembali, kalau tidak... Paling paling juga mampir di rumah janda sebelah!"-"Sialan!" *** Adipati Rakondah segera berdiri begitu melihat seorang berpakaian prajurit penjaga datang dengan tergopoh gopoh. Prajurit itu langsung berlutut memberi -hormat. Tampak tubuhnya bersimbah peluh, sementara debu menempel di wajah dan bajunya. Napasnya masih terengah engah seperti baru saja menempuh perjalanan -jauh dan melelahkan.
"Ada apa? Bukankah kau seharusnya masih menjaga di pintu gerbang perbatasan sebelah Utara kota?"
Tanya Adipati Rakondah sedikit terkejut.
"Ampun, Gusti. Hamba sengaja datang ke sini karena ada sesuatu hal yang harus segera hamba laporkan,"
Sahut prajurit penjaga perbatasan itu.
"Katakan cepat, apa yang akan kau laporkan?"
"Baru saja ada seorang pemuda yang mencurigakan melewati pintu gerbang, Gusti. Hamba sudah berusaha untuk menahan dan memeriksanya, tapi pemuda itu malah melawan. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi, Gusti. Hanya sekali gebrak saja, hamba dan teman hamba terkecoh dan dia berhasil kabur,"
Lapor prajurit penjaga itu.
Sejenak Adipati Rakondah memalingkan mukanya dan menatap pada Panglima Bantaraji yang tetap duduk di kursinya.
Di sebelah Panglima Bantaraji, duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju ungu yang terbuat dan bahan sutra halus yang indah.
Gadis itu adalah putri tunggal Adipati Rakondah yang bernama Intan Delima.
"Bagaimana ciri cirinya?"
Tanya Panglima Bantaraji. -"Dia mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau, Gusti Panglima,"
Sahut prajurit penjaga perbatasan itu.
"Kau tidak salah lihat, Prajurit?"
Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya.
"Tidak, Gusti."
"Ada apa, Kakang? Kau kenal?"
Tanya Adipati Rakondah.
"Tidak salah lagi. Pasti dialah orangnya. .,"
Gumam Panglima Bantaraji pelan.
"Maksudmu...?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu memakai baju dari kulit harimau. Hm..., tapi...."
"Kenapa, Kakang?"
Tanya Adipati Rakondah tak sabar. Panglima Bantaraji tidak segera menyahut. Di malah melangkah menghampiri prajurit penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Matanya tajam menatap prajurit yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam itu.
"Prajurit!"
"Hamba, Gusti Panglima."
"Kau sempat bertarung dengannya?"
Tanya Panglima Bantaraji.
"Benar, Gusti. Tapi hanya sekali gebrakan saja."
"Apa dia mengeluarkan senjatanya?"
"Tidak, Gusti."
Panglima Bantaraji kemudian berbalik dan menghadap Adipati Rakondah yang sudah duduk kembali di kursinya.
Sementara putrinya tetap diam sejak tadi, seperti tidak mau peduli sama sekali dengan pembicaraan itu.
Namun dari keningnya yang sedikit berkerut, bisa dipastikan kalau gadis itu sedang berpikir juga.
"Adik Rakondah. Sebaiknya mulai sekarang kau melipatgandakan penjagaan. Aku akan segera menyelidiki orang itu,"
Kata Panglima Bantaraji.
"Hati hati, Kakang,"
Hanya itu yang bisa diucapkan Adipati Rakondah.-Kemudian Panglima Bantaraji segera berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan balai agung Kadipaten Jati Anom itu.
Sedangkan Adipati Rakondah segera memerintahkan pada prajurit penjaga itu untuk kembali bertugas.
Dia juga memerintahkan untuk melipatgandakan penjagaan di pintu gerbang masuk batas kota kadipaten.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?"
Tanya Intan Delima setelah lama berdiam diri.
"Tidak apa apa, hanya sedikit persbalan kecil,"
Sahut Adipati Rakondah.-"Siapa orang itu, Ayah?"
Desak Intan Delima.
Adipati Rakondah tidak menjawab.
Dia hanya tersenyum, dan melangkah meninggalkan ruangan besar itu.
Sementara Intan Delima nampak masih diliputi oleh rasa penasaran, tapi dia tidak berani mendesak ayahnya untuk berkata terus terang.
Kemudian gadis itu hanya mengangkat bahunya saja dan berlalu dari ruangan itu.
*** Keadaan di Istana Kadipaten Jati Anom sekarang telah berubah.
Dari siang sampai malam para prajurit kadipaten tampak selalu bersiaga dengan senjata lengkap seperti mau diserang musuh saja.
Adipati Rakondah memang telah memerintahkan untuk melipat gandakan penjagaan di sekitar istana itu.
-Sementara itu Intan Delima yang belum memahami betul akan situasi dan persoalan yang sedang dihadapi ayahnya, makin bertambah penasaran melihat keadaan itu.
Kini Kadipaten Jati Anom benar benar seperti mau perang saja.
Bukan hanya di -sekitar istana kadipaten saja yang dijaga ketat, tapi juga hampir seluruh pelosok kota kadipaten.
"Aku tidak percaya kalau hal ini hanya karena persoalan kecil...,"
Gumam Intan Delima yang pagi itu sedang berjalan jalan mengelilingi istana kadipaten. -"Mungkin ada musuh yang akan menyerang, Gusti Ayu,"
Celetuk seorang emban pengasuh yang mendampinginya.
"Tidak, Bibi Emban. Aku sudah mendengar sedikit pembicaraan. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya pemuda yang begitu ditakuti oleh Ayah dan Paman Panglima?"
Intan Delima seperti bicara pada dirinya sendiri.
Dua orang emban yang mengikutinya tidak membuka suara.
Mereka terus saja berjalan pelan pelan menuju taman samping.
-Beberapa saat kemudian, Intan Delima menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang terbuat dari bambu di dekat kolam yang diisi dengan berbagai jenis ikan.
"Bibi Emban, tolong katakan pada pengurus kuda agar segera menyiapkan seekor kuda untukku sekarang,"
Perintah Intan Delima.
"Gusti Ayu hendak ke mana?"
Tanya salah seorang emban yang bertubuh gemuk.
"Laksanakan saja perintahku!"
Sentak Intan Delima.
"Baik, Gusti Ayu."
Perempuan bertubuh gemuk itu pun bergegas menuju istal.
Sedangkan Intan Delima kembali berdiri dan melangkah menuju ke bagian depan.
Ayunan kakinya lebar lebar, dan bibirnya terkatup rapat.-Sementara seorang emban lagi terus menguntitnya dengan wajah dipenuhi tanda tanya.
"Gusti Ayu...,"
Emban itu memberanikan diri membuka suara.
"Ada apa?"
Tanya Intan Delima sambil terus melangkah.
"Gusti Adipati menyatakan bahwa seluruh kadipaten dalam keadaan gawat, sebaiknya Gusti Ayu membawa beberapa orang prajurit pengawal,"
Saran limban itu.
Namun Intan Delima tidak menanggapi.
Dia berhenti melangkah pada saat ada seorang laki laki tua yang datang menghampirinya dengan menuntun seekor kuda -putih dengan kaki kakinya belang hitam.
Di belakangnya tampak seorang wanita -gemuk mengikuti Kuda itu sudah siap dengan pelana dari kain tebal yang ber-sulamkan benang emas.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Intan Delima langsung melompat naik ke punggung kuda.
Dan saal itu juga Intan Delima segera menggebah kudanya menuju ke pintu gerbang istana kadipaten yang dijaga tidak kurang dari sepuluh prajurit.
Kuda putih dengan belang hitam pada kakinya itu terus dipacu cepat meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Dua orang penjaga pintu gerbang bergegas membuka pintu dengan raut wajah yang diliputi berbagai macam perasaan.
Sepertinya mereka tidak ingin membukakan pintu, tapi begitu melihat yang menunggang kuda adalah putri Adipati Jati Anom, mereka segera membuka pintu gerbang itu.
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan kencang ke luar dari lingkungan benteng istana kadipaten.
Sementara penjaga pintu gerbang segera menutup kembali pintunya setelah kuda yang di-tunggangi Intan Delima ke luar.
"Hiya! Hiya !"
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan cepat melintasi jalan utama Kadipaten Jati Anom.
Beberapa orang penduduk kota yang berpapasan dengannya, langsung membungkukkan badannya.
Intan Delima terus memacu kudanya menuju perbatasan Utara kadipaten.
*** "Hooop...!"
Intan Delima segera menghentikan lari kudanya tepat di depan pintu gerbang perbatasan yang terbuat dari batu ukir di kanan kiri jalan.
Enam orang prajurit penjaga yang ada langsung membungkukkan badan memberi hormat.
Intan Delima menatap salah seorang prajurit penjaga yang berdiri paling pinggir.
"Kau, ke sini!"
"Hamba, Gusti Ayu,"
Sahut prajurit penjaga itu segera menghampiri.
"Kau yang melapor kemarin?"
"Benar, Gusti Ayu."
"Aku minta agar kau berkata jujur dan terus terang. Siapa pemuda yang berbaju kulit harimau itu?"
Tegas nada suara Intan Delima.
"Maksud, Gusti Ayu?" 'Yang kau laporkan kemarin. Goblok!"
"Maaf, Gusti Ayu. Hamba ..., hamba hanya mendapat perintah untuk menjaga pintu -gerbang perbatasan Utara saja, Gusti. Hamba...."
"Jangan banyak alasan! Cepat katakan, siapa nama pemuda itu?"
Potong Intan Delima gusar.
Prajurit itu jadi kebingungan.
Sejenak bola matanya berputar melirik pada temannya yang bungkam saja sejak tadi.
Dia seperti sedang berpikir keras dan menimbang nimbang -permintaan putri tunggal junjungannya ini.
Rasanya sulit bagi dia untuk mengatakan yang sebenarnya, karena Adipati Rakondah sendiri sudah berpesan padanya untuk tidak mengatakan hal ini pada Intan Delima.
Adipati Rakondah tidak ingin putrinya itu terlibat, dan menjadi korban dari kekejaman Pendekar Pulau Neraka yang kini hatinya sedang tersulut oleh api dendam.
Lama kelamaan Intan Delima jadi geregetan juga melihat sikap prajurit itu.
Kemudian gadis itu melompat turun dari atas punggung kudanya, dan mendarat manis tepat di depan prajurit itu.
"Katakan, siapa nama pemuda yang berbaju kulit harimau itu?"
Dingin dan datar suara Intan Delima.
"Ampunkan hamba, Gusti Ayu. Hamba..., hamba sudah dipesan untuk..."
"Tidak mengatakan padaku, begitu?!"
Sentak Intan Delima semakin gusar. Prajurit penjaga itu hanya diam tertunduk.
"Siapa yang telah memerintahmu begitu? Paman Panglima...? Ayah?"
Berondong Intan Delima.
"Gusti Adipati Rakondah sendiri, Gusti Ayu,"
Pelan jawaban prajurit penjaga itu.
"Dengar kalian semua! Siapa saja yang berani buka mulut bahwa aku telah mengorek keterangan, akan berhadapan langsung denganku!"
Lantang suara Intan Delima.
Enam orang prajurit penjaga tersebut langsung diam sambil menundukkan kepala.
Tidak ada seorang pun yang bisa menentang gadis itu.
Selain karena dia adalah putri tunggal junjungan mereka, Intan Delima juga memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.
Sementara itu Intan Delima terus memandangi para prajurit itu satu persatu dengan tatapan tajam.
"Cepat katakan, siapa nama pemuda itu? Dan apa maksudnya datang ke sini?"
Tanya Intan Delima dingin.
"Tapi, Gusti Ayu..., hamba..."
"Kau tidak perlu takut, juga yang lainnya. Kalau sampai Ayahanda Adipati tahu, aku yang akan membela kalian!"
Janji Intan Delima.
Serentak enam orang prajurit tersebut saling berpandangan.
Kemudian yang lima orang meng-anggukkan kepala pada kawannya yang ada di depan Intan Delima.
Sejenak prajurit itu menarik napas dan menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
"Cepat katakan,"
Desak Intan Delima tidak sabaran.
"Ampun, Gusti Ayu. Pemuda yang berbaju kulit harimau itu bernama Pendekar Pulau Neraka. Dia datang ke Kadipaten Jati Anom ini untuk mencari Gusti Adipati. Dia ingin membalas dendam, Gusti Ayu,"
Kata prajurit itu menjelaskan dengan suara gemetaran.
"Dendam...?!"
Intan Delima mengerutkan keningnya.
"Dendam apa?"
"Hamba tidak tahu persis, Gusti. Yang tahu hanya Gusti Panglima dan Gusti Adipati sendiri."
"Apakah orang itu sangat tangguh dan berbahaya, sehingga harus memperkuat penjagaan dengan prajurit-prajurit pilihan kerajaan?"
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti Ayu. Tapi yang hamba sempat dengar, Pendekar Pulau Neraka sangat kejam. Dia selalu membunuh setiap orang yang ditujunya, bahkan mereka yang mencoba melindungi juga di-bunuh. Mungkin itulah sebabnya, kenapa Gusti Adipati Rakondah tidak ingin Gusti Ayu mengetahui per-soalannya,"
Kata prajurit itu sudah tenang suaranya "Bagaimana tingkat kepandaiannya?"
"Tidak tahu, Gusti Ayu. Tapi kemarin dia melumpuhkan hamba dan teman hamba hanya dalam sekali gebrak saja. Dia juga bisa hilang, Gusti Ayu."
"Hm...,"
Intan DeHma mengerutkan keningnya.
Keterangan yang sedikit diperoleh itu sudah bisa membuat Intan Delima mengerti.
Seseorang yang bisa menghilang dalam pandangan orang berilmu olah kanuragan rendah, sudah dapat dipastikan kalau orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur dan dicari tandingannya.
Dan tanpa berkata apa apa lagi, Intan Delima langsung berbalik dan melompat naik-ke punggung kudanya.
Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi.
Gadis itu menggebah kudanya pelahan -lahan meninggalkan perbatasan Utara Kadipaten Jati Anom.
Dia kembali masuk ke kota.
Sepanjang jalan keningnya terus berkerenyut memikirkan setiap kata yang barusan diucapkan oleh prajurit penjaga itu.
*** Keadaan di dalam kola Kadipaten Jati Anom benar-benar seperti mau perang.
Suasana seperti itu tentu saja membuat penduduk jadi bertanya tanya dalam hati, -namun tidak pernah menemukan jawaban yang tepat.
Keadaan seperti itu sudah berjalan lima hari di dalam kota Kadipaten Jati Anom, namun belum berubah juga.
Sementara itu Intan Delima yang sedang mencari tahu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka, setiap hari terus mengelilingi kota kadipaten.
Sebenarnya dia ingin menanyakan langsung peristiwa yang sebenarnya pada ayahnya, tapi setiap kali dia mau bicara, selalu tertunda dan dibatalkan.
Intan Delima sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan keterangan apa apa dari -ayahnya.
Bisa bisa ayahnya malah memperketat pengawalan pada dirinya.
Hal itulah -yang selalu dihindarkan Intan Delima.
Sejak pagi sampai tengah hari, Intan Delima berada di atas punggung kudanya.
Hari ini adalah hari yang ketiga bagi Intan Delima mencari orang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
Sudah seluruh pelosok kota dia jelajahi, tapi sampai saat ini belum juga berhasil.
Memang tidak mudah untuk mencari seseorang di tengah tengah begitu banyak orang.
-Apalagi belum pernah berjumpa sekali pun! "Huh! Udara siang ini panas sekali...!"
Keluh Intan Delima seraya menyeka keringat yang meleleh lehernya yang jenjang.
Intan Delima kemudian menghentikan langkah kaki kudanya di pinggir sebuah sungai kecil yang berair jernih.
Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling sebelum turun dari punggung kudanya.
Tidak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu, karena daerah ini memang sudah jauh masuk ke hutan perbatasan sebelah Selatan.
Intan Delima tertegun sejenak begitu matanya memandang seonggok batu cadas yang berdiri menjulang dari gerumbul pepohonan.
Batu cadas itu seperti diukir oleh tangan ahli, berbentuk seperti seekor ular raksasa yang melingkar di tengah tengah hutan melibat sebatang pohon raksasa.-Benar benar suatu pemandangan yang indah.
Sayang tak seorang pun yang berani -mendekatinya.
Banyak legenda yang menceritakan tentang batu dan hutan itu.
Tapi semuanya hanya berupa legenda yang diseram-seramkan.
Belum ada bukti dan kebenarannya.
"Hutan Naga... Hhh...! Mudah mudahan tidak ada apa apa. Aku hanya singgah --sebentar,"
Desah Intan Delima menenangkan diri.
Kemudian gadis itu menuntun kudanya dan mendekati sungai kecil berair jernih yang mengalir tenang dari hutan yang membukit itu.
Lalu dia berlutut di tepian sungai itu dan dengan kedua tangannya dia menyiduk air dan membasuh mukanya.
Terasa sejuk dan segar begitu air sungai menyentuh wajahnya yang putih kemerahan dan berkulit halus lembut bagai sutra.
Dan ketika tangannya hendak menciduk air lagi, mendadak gerakannya terhenti.
Di permukaan air sungai yang bening terbayang seseorang sedang berdiri di seberang.
Buru buru Intan Delima mengangkat luipalanya.
Dan tampaklah seorang pemuda gagah sudah berdiri di seberang sungai.
Pemuda itu berwajah tampan, namun terlihat garis garis kekerasannya.
-Kemudian dengan pelahan lahan, Intan Delima bangkit lari jongkoknya.
-Matanya terus menatap tajam memperhatikan laki-laki muda itu.
Dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dia perhatikan dengan seksama.
Sejenak Intan Delima melangkah mundur dua tindak.
"Apakah dia orangnya? Ciri cirinya sama persis seperti yang dikatakan oleh -prajurit penjaga perbatasan. Masih muda, gagah dan bajunya terbuat dari kulit harimau. Tapi.... Ah! Rasanya tidak mungkin. Dia tidak kelihatan kejam dan jahat. Malah...,"
Intan Delima tidak melanjutkan kata kata yang terlintas di -hatinya.
"Tuan siapa? Dan kenapa ada di tempat yang angker ini?"
Tanya Intan Delima menegur lebih dulu setelah menenangkan pikirannya.
"Kau sendiri, kenapa juga berada di sini?"
Pemuda itu balik bertanya.
"He! Aku yang bertanya padamu!"
Bentak Intan Delima.
"Aku tidak pernah memberitahu siapa diriku lebih dahulu, sebelum orang lain memperkenalkan diri,"
Kata pemuda itu tenang, namun nada suaranya terdengar tegas.
"Hm..., rupanya kau orang asing di sini, sehingga tidak tahu dengan siapa kau sedang berhadapan."
"Siapa pun kau, aku tidak peduli!"
Intan Delima berkerenyut keningnya.
Belum pernah ada seorang pun yang berani bicara kasar seperti itu padanya.
Dia adalah seorang putri adipati yan sangat dihormati dan berilmu tinggi! Dan semua orang selalu membungkuk hormat bila berhadapan dengannya, tapi pemuda ini.
Sedikit pun tidak memandang sebelah mata padanya! "Sikapmu bisa menyulitkan dirimu sendiri...,"
Gumam Intan Delima setengah mengancam.
"Aku memang terlahir penuh kesulitan, jadi apapun bentuknya kesulitan itu tidak pernah merubah sikapku,"
Tegas jawaban pemuda gagah itu.
"Kurang ajar! Kau benar benar tidak memandangku sebelah mata. Kau tahu siapa -aku, heh?"
Bentak Intan Delima langsung mendidih darahnya.
"Aku tahu, kau adalah seorang gadis yang manja dan mudah marah. Tapi kau sangat cantik, dan...."
"Setan!"
Merah padam seluruh wajah Intan Delima.
-Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan dirinya.
Dan bagaikan seekor burung elang, dia menggenjot tubuhnya menyeberangi sungai.
Kemudian tanpa banyak bicara lagi, gadis itu langsung mengirimkan pukulan mautnya yang bertenaga dalam cukup tinggi kearah pemuda itu.
"Eit!"
Pemuda itu hanya berkelit sedikit ke samhping, dan tangan kanannya memukul ke arah dada Intan Delima. Untung saja gadis itu cepat cepat menarik mundur tubuhnya, dan langsung melayangkan kakinya ke arah perut.
"Kau hebat, tapi sayang... uts!"
Pemuda itu segera menggeser kakinya dua tindak ke belakang, dan tendangan Intan Delima pun tidak sampai mengenai perutnya.
Tapi Intan Delima tidak lagi memberi kesempatan.
Dia segera menyerang lagi dengan jurus jurus yang mengandung tenaga dalam tinggi, sehingga -membuat pemuda itu hanya bisa berkelit dan berlompatan ke sana kemari menghindari serangan Intan Delima yang dahsyat dan mematikan itu.
*** Pertarungan antara Intan Delima dan pemuda berbaju kulit harimau itu terus berlangsung semakin sengit.
Dan keadaan di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda seperti diamuk oleh puluhan ekor -ajah.
Namun sampai pertarungan berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum sedikit pun pemuda itu melakukan serangan balasan.
"Kau telah mempermainkan aku, Pemuda Setan! Kau harus mati di tangan Intan Delima, putri tunggal Adipati Jati Anom!"
Bentak Intan Delima, tanpa sadar dia telah membuka rahasia dirinya sendiri.
"Heh...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu tampak terkejut. Buru buru dia -melompat mundur dan menghindar dari pertarungan.
"Kenapa kau mundur? Takut...?"
Dengus Intan Delima sinis.
"Tidak kusangka, temyata adipati pembunuh licik hanya mampu mengirim gadis bau kencur!"
Geram pemuda itu sambil menatap tajam ke bola mata Intan Delima.
"Setan jelek! Kau telah menghina ayahku...!"
Intan Delima menggeram hebat.
"Bukan itu saja, aku sengaja datang ke kota ini untuk berurusan dengan pembunuh licik yang berkedok jadi adipati!"
"Eh, jadi...!"
Intan Delima menggerinjang kaget.
"Kau.... Kau Pendekar Pulau Neraka...?!"
"Ya, akulah Pendekar Pulau Neraka yang akan membuat perhitungan dengan Rakondah!"
Tegas jawaban pemuda itu.
Sejenak Intan Delima memandangi pemuda yang memakai baju kulit harimau itu dengan tidak percaya.
Bagaimana mungkin, seorang pemuda yang usianya paling paling dua puluh lima -tahun sudah begitu kondang namanya.
Sampai sampai membuat tokoh-tokoh tua rimba -persilatan gempar.
Tak terkecuali Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji yang terkenal memiliki ilmu olah kanuragan yang tinggi! Itu baru mendengar namanya saja.
belum berhadapan langsung dengan orangnya yang...
Intan Delima sukar untuk mempercayai kalau pemuda tampan dan angkuh itu yang telah membuat gempar seluruh rimba persilatan.
"Kenapa wajahmu tiba tiba pucat, Gadis Manja? Apakah kau juga gentar seperti ayahmu?"
Ejek pemuda yang nama lengkapnya Bayu Hanggara itu.
"Jangan besar kepala dulu, Setan Jelek! Kau sendiri tidak akan mampu untuk menandingiku, apalagi berhadapan dengan ayahku, yang sekarang dibantu oleh Panglima Bantaraji!"
Balas Intan Delirrja menggertak.
"Bagus! Berarti tanganku akan lebih banyak lagi berlumur darah. Seluruh penduduk Kadipaten Jati Anom boleh berlindung di belakang tikus pengecut itu, biar aku lebih puas mengadakan pesta darah dan mayat!"
Bayu tersenyum lebar.
Bergidik juga hati Intan Delima mendengarnya.
sungguh jauh berbeda kata kata yang mengalir lancar lengan wajah dan -penampilannya.
Rasanya semua orang juga tidak akan percaya kalau pemuda ini ternyata berhati kejam dan selalu berlumuran darah dalam hidupnya.
Wajah dan bentuk tubuhnya tidak sedikit pun mencerminkan kekejaman.
Tapi kata katanya -barusan...
Semua orang pasti bergidik mendengarnya! "Sebaiknya sekarang kau pulang saja, dan segera berlindung di bawah ketiak ayahmu.
Katakan padanya kalau saat kematiannya sudah dekat!"
Dengus Bayu.
"Heh...!"
Baru saja Intan Delima ingin mengatakan sesua tiba-tiba saja pemuda itu sudah mencelat cepat.
Begitu cepatnya, tahu tahu dia sudah lenyap dari pandangan mata.
-Tampak Intan Delima celingukan mencari cari.
-Meskipun gadis itu sudah terlatih dalam berbagai ilmu olah kanuragan, tapi dia benar benar tercengang melihat tingginya ilmu yang dimiliki oleh Pendeka Pulau -Neraka.
Sulit diukur, sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka itu! "Hhh, rasanya tadi dia tidak melayaniku dengan sungguh sungguh! Apakah Ayah dan -Paman Panglima akan mampu menandinginya! Ilmunya benar benar luar biasa...," -Intan Delima bergumam sendiri sambil menggeleng gelengkan kepala.
-Beberapa saat lamanya gadis itu masih berdiri saja di tempatnya.
Dia tampak tertegun dengan kejadian yang barusan dialaminya.
*** Sejak pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka, Intan Delima jadi tampak lebih banyak melamun dan berdiam diri di dalam kamar.
Kegagahan dan ketampanan pemuda itu telah menggores dalam di hatinya.
Dia jadi sangsi akan kemampuan Ayah dan Pamannya.
Mampukah mereka menandingi Pendekar Pulau Neraka? Sedangkan dia sendiri yang sempat bentrok belum mampu untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian pendekar muda itu.
Intan Delima juga memikirkan tentang peristiwa yang menyangkut ayahnya dengan Pendekar Pulau Neraka itu, hingga sampai menyulut api dendam yang begitu parah dan harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Beberapa saat kemudian, Intan Delima bangkit dari pembaringan, dan melangkah menuju jendela.
Sudah setengah harian dia berada di dalam kamar itu, namun belum juga bisa menemukan jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Dan pertanyaan yang -paling pokok, dendam apa yang telah bersemayam di dada Pendekar Pulau Neraka? "Rasanya tidak mungkin kalau dia mencari Ayah tanpa sebab,"
Gumam Intan Delima pelahan.
Sejenak gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling melalui jendela kamarnya yang terbuka.
Dan matanya langsung terpaku pada pohon beringin yang tumbuh dekat tembok.
Tampak seseorang sedang berada di atas pohon itu sambil mengawasi.
Dan Intan Delima semakin membeliakkan matanya begitu mengenali siapa orang itu.
Maka tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat ke luar.
Dan begitu ujung dari kakinya menyentuh tanah, dia kembali melentingkan tubuhnya ke udara menuju pohon itu.
Slap! "Hey...!"
Intan Delima terkejut begitu kakinya menjejak lahan, orang itu langsung melesat kabur.
Dan dengan cepat Intan Delima kembali melenting dan mengejar orang yang mencurigakan itu.
Tubuhnya bergerak ringan bagai kapas.
Kejar kejaran pun -terjadi.
Sedikit pun Intan Delima tidak melepaskan pandangannya dari orang yang berlompatan jauh di depannya.
"Huh! Ilmu meringankan tubuhnya sungguh hebat. Tidak mungkin aku bisa mengejarnya tanpa ilmu 'Sayiti Angin',"
Dengus Intan Delima. Gadis itu tampak semakin cepat berlari setelah dia mengerahkan ilmu 'Sayiti Angin'nya. Dan jarak dengan orang yang ada di depannya pun semakin pendek, dan akhirnya...
"Hiyaaa...!"
Intan Delima segera melentingkan tubuhnya dan melompati kepala orang yang dikejarnya itu. Lalu dengan manis dia mendarat di depannya, dan langsung berbalik.
"Berhenti!"
Bentak Intan Delima.
"Hebat...! Ternyata kau mampu juga menyusulku,"
Puji orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda gagah yang memakai baju dari kulit harimau.
"Mau apa kau mengintai rumahku, Pendekar Pulau Neraka?"
Intan Delima bertanya sinis.
Bayu hanya tersenyum saja.
Lalu dia mengayunkan kakinya mendekati sebongkah batu hitam sebesar kerbau, dan dengan enak dia duduk di sana.
Tampak bibirnya yang tipis masih menyunggingkan senyum.
Sedangkan matanya tidak lepas dari wajah cantik yang tidak mencerminkan persahabatan itu.
Intan Delima merasa jengah juga dipandangi sedemikian rupa.
Buru buru-dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Entah kenapa, mendadak saja dadanya jadi bergemuruh.
Detak jantungnya juga semakin cepat bekerja.
Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka itu demikian menusuk, dan langsung menuju lubuk hatinya yang paling dalam.
Tanpa disadari, wajahnya menyemburat merah dadu.
"Uh! Tatapan matanya. , tapi... Ah, tidak! Dia adalah musuh ayahku, aku tidak boleh ter... Eh! Apa yang sedang kupikirkan? Gila!"
Intan Delima jadi berperang sendiri dengan batinnya.
Gadis itu semakin tidak menentu saja perasaannya, saat dia melirik, dan langsung bertemu pandang dengan pemuda itu.
Gadis itu terus merutuki dirinya sendiri.
Secara jujur, dia memang mengakui kalau pemuda itu benar benar gagah dan tampan.
-Tatapan matanya mengandung daya tarik yang luar biasa.
Intan Delima merasa tidak sanggup lagi untuk mengusir gemuruh yang semakin deras melanda dadanya.
Sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak pertama kali mereka bertemu.
Namun dia masih sanggup untuk mengenyahkan, tapi sekarang..., rasanya makin sulit untuk menghalau perasaan itu dari hatinya.
Kini Intan Delima jadi tidak mengerti, kenapa tiba tiba saja dia -mempunyai perasaan yang sulit untuk dimengerti? Suatu perasaan yang belum pernah dia alami sebelum nya.
Apakah ini yang dinamakan....
Tidak! Intan Delima buru buru membantah kata hatinya.
Lama juga -mereka hanya saling berdiam diri dengan hati dan perasaan yang berbicara masing -masing.
Intan Delima merasa, semakin lama dia berada di tempat itu, semakin gelisah perasaan hatinya.
Sementara Pendekar Pulau Neraka masih duduk diam dengan pandangan tidak berkedip pada wajah cantik yang sebentar sebentar berubah warnanya.
Sementara Intan -Delima sendiri semakin diliputi oleh suatu perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa artinya.
"Mau ke mana kau?"
Tanya Bayu begitu melihat Intan Delima mau pergi.
Sejenak Intan Delima mengurungkan niatnya.
Dan seperti ada satu kekuatan yang amat dahsyat, dia mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke bola mata Bayu.
Seketika hatinya bergetar hebat begitu matanya bertemu pada satu titik.
Dengan sekuat tenaga Intan Delima menguatkan diri dan berusaha untuk tetap terlihat tegar.
"Sebenarnya mau apa kau mengintai rumahku?"
Tanya Intan Delima setelah menarik napas dalam dalam. -"Siapa bilang aku mengintai rumahmu?"
Bayu malah balik bertanya.
"He! Kau ada di pohon dekat rumah! Untuk apa lagi kalau bukan untuk mengintai?"
"O..., itu. Sengaja, aku memang sengaja memancin-gmu,"
Tenang sekali jawaban Bayu.
"Memangnya aku ikan!"
Rungut Intan Delima, geli juga dia.
"Bisa kita bicara baik baik? Sebenarnya di antara kita tidak terjadi apa apa. --Aku memang mencari ayahmu, tapi aku tidak mau melibatkanmu. Kau tidak bersalah apa apa padaku,"
Kata kata Bayu terdengar serius. --"Kau sepertinya menganggap ayahku adalah orang yang paling berdosa di dunia. Apa kau pikir dirimu paling suci?"
Ketus nada suara Intan Delima.
"Tidak ada satu pun manusia yang suci di dunia ini. Tapi aku tidak akan berhenti untuk menimbun dosa sebelum semua orang yang telah membunuh keluargaku dengan kejam, habis!"
"Kau.... Jadi...,"
Intan Delima jadi tersekat.
"Seharusnya aku tidak mengatakan persoalan ini padamu. Tapi rasanya kau perlu tahu persoalan sebenarnya. Dan aku harap kau bisa memahaminya,"
Bayu Hanggara berusaha memberikan pengertian.
"Terus terang, aku juga ingin tahu persoalan yang sebenarnya. Katakan saja, apa sebabnya kau ingin membunuh ayahku?"
Intan Delima berusaha keras menenangkan diri.
"Sebenarnya peristiwa itu sudah terjadi dua puluh lima tahun lalu, saat itu aku baru saja lahir. Ayahku memimpin sebuah padepokan yang bernama Padepokan Teratai Putih. Kemudian pada waktu pesta pemberian namaku, tiba tiba -padepokan itu diserang oleh gerombolan yang digerakkan ibu tiriku. Ayahku tewas, juga ibu kandungku. Dan aku hidup sebatang kara sejak masih berumur beberapa hari. Kau bisa merasakan, betapa beratnya hidup yang harus kujalani di sebuah pulau yang terpencil hanya dengan seorang laki laki tua yang buntung dan buta! Apakah kau juga akan menyalahkan, jika aku -membalas dendam? Seandai nya hal itu terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan? Mencari pembunuh -keluargamu, atau kamu hanya diam saja dan melupakan semuanya? Tentu saja tidak...!"
Bayu menggeleng gelengkan kepalanya beberapa kali.-Sementara Intan Delima jadi bungkam.
Dia bisa memahami persoalan yang sedang dihadapi pemuda itu.
Sebagai seorang anak, memang sudah menjadi kewajiban untuk membela dan mempertahankan nama baik orang tuanya.
Namun Intan Delima belum dapat untuk memutuskan saat ini, siapa yang bersalah, dan siapa yang harus dibela? Dua kutub yang begitu berat seperti sedang menarik dirinya.
Sebagai orang yang baru selesai mengikuti gemblengan di sebuah padepokan, dia memang harus membela kebenaran.
Sejak kecil ia sudah dididik untuk menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh dan digdaya.
Tapi sebagai seorang anak yang berbakti, rasanya sulit kalau hanya berdiam diri saja melihat ayahnya sedang menghadapi suatu persoalan berat yang mempertaruhkan nyawa.
Intan Delima memang tidak menyalahkan Bayu yang memburu ayahnya, tapi dia juga tidak bisa melihat ayahnya mati begitu saja.
"Mungkin kau akan menganggapku mengada ada saja, Adik...." -"Intan. Namaku Intan Delima,"
Potong Intan Delima cepat.
"Hm..., kau bisa memanggilku Bayu."
"Maaf, aku tidak bisa begitu saja percaya. Aku juga harus mendengar sendiri dari ayahku,"
Kata Intan Delima tegas.
"Memang begitu seharusnya, dan aku harap kau tidak ikut campur setelah mengetahui persoalan yang sebenarnya. Tapi kalau kau juga ingin membela ayahmu, jangan anggap aku kejam. Aku sudah ber-sumpah, akan membunuh siapa saja yang membela orang yang telah membunuh keluargaku,"
Bayu memperingatkan.
"Mungkin kita akan berhadapan, Bayu. Entah sebagai kawan atau lawan "Ternyata kau berjiwa seorang pendekar juga, Adik Intan,"
Puji Bayu tulus.
"Terima kasih,"
Intan Delima tersipu.
Sesaat mereka kembali terdiam.
Sementara itu matahari semakin condong ke arah Barat.
Sinarnya yang semula terik, kini sudah tidak terasa lagi.
Kabut pun tampak telah mulai kelihatan turun.
Beberapa saat kemudian, Intan Delima berpamitan ingin kembali, tapi Bayu buru bum mencegah.
-"Ada apa lagi?"
Tanya Intan Delima.
"Katakan pada Pamanmu, Panglima Bantaraji. Agar jangan mencampuri urusan ini. Aku tidak mau orang jujur, baik dan ksatria seperti dia mati sia sia,"
Pesan -Bayu.
"Baiklah, tapi aku tidak janji,"
Sahut Intan Delima "Terima kasih, dan yang lebih penting, aku minta agar kau juga tidak ikut campur. Aku akan menghadapi secara ksatria dengan sedikit permainan."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Bayu tidak menjawab.
Dia hanya tersenyum saja sembari bangkit dari duduknya.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat pergi.
Begitu cepatnya, sehingga seperti menghilang saja.
Sejenak Intan Delima menarik napas panjang, kemudian kakinya terayun menuju ke istana kadipaten kembali.
*** Malam baru saja menjelang.
Dan kegelapan segera menyelimuti seluruh bumi di sekitar Kadipaten Jati Anom.
Tampak Intan Delima ke luar dari kamarnya, dan langsung menuju taman belakang.
Langkahnya ringan dan anggun.
Namun keningnya terlihat berkerut tipis, pertanda kalau dia tengah menghadapi satu persoalan yang sangat serius.
Gadis itu berhenti melangkah begitu sampai di taman belakang.
Di sana tampak Adipati Rakondah sedang duduk sendirian di kursi taman yang terbuat dari bambu yang diukir indah dan halus.
"Ayah...."
Adipati Rakondah segera mengangkat kepalanya. Dan langsung tersenyum begitu melihat anak gadisnya itu sudah berdiri di dekatnya. Sementara Intan Delima segera duduk di samping ayahnya.
"Ada apa? Kelihatannya serius sekali,"
Tegur Adipati Rakondah seraya memperhatikan wajah putrinya.
"Ya...,"
Desah Intan Delima.
"Katakan saja, Anakku."
"Ayah tidak akan marah?"
Adipati Rakondah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya mengusap usap -rambut Intan Delima dengan penuh kasih.
"Kenapa Ayah harus marah? Katakan saja,"
Lembut suara Adipati Rakondah. Sejenak Intan Delima berpikir. Sepertinya dia berat untuk mengucapkannya. Beberapa kali dia hanya menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan kuat.
"Ayah tahu, kau pasti ingin menanyakan persoalan yang sedang Ayah hadapi, kan?"
Tebak Adipa Rakondah. Intan Delima terperanjat. Sungguh dia tidak menyangka kalau ayahnya bisa menebak demikian tepat.
"Kau memang sudah besar, Anakku. Berapa usiamu sekarang?"
"Delapan belas, Ayah."
"Tidak kusangka, kau sudah begitu dewasa. Sudah pantas kau mengetahui persoalan dunia,"
Adipati Rakondah seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Ayah, apa sebenarnya yang sedang terjadi?"
Tanya Intan Delima langsung menjurus ke pokok per-soalannya.
Dia tidak ingin ayahnya mengingat ingat kembali masa--masa lalu.
Lebih lebih kalau sudah mengenang istrinya.
-Intan Delima jadi teringat dengan ibunya.
Seorang wanita yang lembut dan selalu menerima apa adanya, sebagaimana kodratnya sebagai wanita.
Masa masa yang indah -dan tidak bisa terlupakan begitu saja.
Namun sayang, rupanya Tuhan menghendaki lain.
Ibunya meninggal saat Intan Delima baru menginjak usia tujuh tahun.
"Intan, persoalan yang sedang Ayah hadapi memang cukup serius. Suatu persoalan yang menyangkut hidup dan matiku...,"
Adipati Rakondah mulai bercerita. Tampak Intan Delima mendengarkan dengan serius. Sedikit pun dia tidak menyelak kata kata ayahnya, meskipun laki laki setengah --baya itu terdiam untuk beberapa saat.
"Aku memang bukan seorang Ayah yang baik. Masa laluku dilumuri dengan dosa dan darah. Ilmuku memang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi aku salah menggunakannya. Aku selalu menuruti hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Hingga satu saat...,"
Adipati Rakondah kembali menghentikan kata katanya. -"Teruskan, Ayah,"
Pinta Intan Delima tidak dapat lagi menahan diri.
"Dalam pengembaraanku, di sebuah desa aku bertemu dengan seorang wanita. Aku tahu, kalau wanita itu sudah bersuami, tapi kecantikannya mem-buatku mata gelap dan ingin memilikinya. Kemudian aku memaksakan kehendakku, dan hampir memperkosa wanita itu, tapi seorang pendekar berhasil menyelamat-kannya. Dia mengalahkanku, Intan. Aku dendam dan berjanji akan menghancurkannya kelak. Kau tahu, Intan. Siapa nama pendekar itu? Dialah Pendekar Dewa Pedang, Ayah dari Bayu si Pendekar Pulau Neraka."
"Jadi, Ayah telah membunuhnya?"
Intan Delima seperti tidak percaya.
"Bukan aku saja, Intan. Banyak tokoh tokoh lain yang ikut membunuh dan -menghancurkan padepokan yang dipimpinnya. Dan semua itu juga berkat istri muda Dewa Pedang yang berhasil kami hasut dengan memutarbalikkan fakta yang sebenarnya."
Intan Delima memandangi ayahnya tidak percaya.
Sungguh dia sulit untuk percaya kalau ayahnya bisa sekejam itu.
Semula dia sudah berharap bahwa ayahnya akan membantah semua cerita Pendekar Pulau Neraka, tapi yang didapatnya sekarang benar benar di luar -dugaannya sama sekali.
Ternyata masa lalu Adipati Rakondah begitu kelam dan penuh dengan dosa.
"Tidak...! Tidak mungkin...!"
Intan Delima menggeleng gelengkan kepalanya seraya -bangkit dari duduknya. Tatapan matanya mengandung ketidak-percayaan dengan apa yang barusan didengarnya. Gadis itu kemudian melangkah mundur pelahan lahan. -"Intan...,"
Suara Adipati Rakondah tersekat di tenggorokannya.
"Tidak...! Katakan padaku, Ayah. Kau tidak melakukan itu. Kau tidak tahu apa -apa. Katakan, Ayah! Katakan kalau kau telah berdusta!"
Mendadak Intan Delima jadi histeris.
"Aku tidak dusta, Anakku. Memang pahit, tapi semua itu sudah berlalu, dan aku sudah melupakan semuanya, Intan. Kalaupun sekarang muncul putra Dewa Pedang, dan ingin membalas dendam, aku harus menghadapinya secara ksatria."
"Oh, tidak...,"
Lirih suara Intan Delima.
"Intan...!"
Namun Intan Delima sudah keburu berbalik, dan langsung berlari masuk ke dalam bangunan besar yang indah itu.
Sedangkan Adipati Rakondah hanya bisa tertunduk lemas.
Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya, tapi hal itu memang harus dia lakukan.
Cepat atau lambat, Intan Delima pasti tahu.
"Maafkan ayahmu, Intan...,"
Desah Adipati Rakondah.
*** Malam terus merayap semakin larut.
Suasana di Istana Kadipaten Jati Anom semakin sepi.
Hanya beberapa penjaga yang masih tampak terlihat di tempat tempat yang -terlindung dari cahaya bulan dan lampu pelita.
Dan di taman belakang, Adipati Rakondah juga masih terlihat duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan dalam.
Tampaknya dia masih merenungi sikap putrinya yang langsung berubah begitu dia menceritakan masa lalunya itu.
Tapi, bagaimanapun juga dia tidak bisa menyalahkan Intan Delima kalau gadis itu sampai membencinya.
Adipati Rakondah sadar, bahwa dirinya memang patut untuk dibenci.
Memang penyesalan datangnya selalu belakangan.
Tepat ketika Adipati Rakondah bangkit dari duduknya, tiba tiba secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat mengarah -dirinya.
Dan dengan satu gerakan refleks, adipati itu memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan.
Dan cahaya keperakan itu lewat sedikit di depan dadanya.
Namun belum juga dia sempat menarik tubuhnya kembali, mendadak satu cahaya keperakan kembali meluncur deras mengancam nyawa nya.
"Uts!"
Untung saja Adipati Rakondah kembali berhasil mengelak dengan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dan matanya yang tajam sempat menangkap berkelebatnya satu sosok bayangan yang melompati tembok benteng bagian belakang.
"Pengawal...!"
Teriak Adipati Rakondah keras.
Setelah berkata begitu, secepat kilat dia melentingkan tubuhnya mengejar sosok bayangan tadi.
Dan pada saat yang sama, enam orang prajurit pengawal sudah berdatangan.
Mereka sempat melihat bayangan Adipati Rakondah melompati tembok.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung mengejar.
Dari cara berlari dan melompati tembok, sudah dapat dilihat kalau enam orang prajurit itu memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak rendah.
Mereka adalah para prajurit pilihan yang sengaja didatangkan oleh Panglima Bantaraji dari kerajaan.
Sementara itu Adipati Rakondah masih tetap berdiri di balik tembok belakang.
Dia telah kehilangan jejak.
Bayangan yang dilihatnya tadi langsung hilang ditelan kegelapan malam.
Tak lama kemudian enam orang pengawal kadipaten sudah berada di belakangnya.
"Cepat kalian cari di sekitar benteng!"
Perintah Adipati Rakondah.
"Baik, Gusti,"
Sahut enam orang prajurit pilihan itu serentak.
Sedangkan Adipati Rakondah segera melentingkan tubuhnya melewati tembok.
Dan pada saat kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri Panglima Bantaraji yang didampingi sekitar sepuluh orang prajurit dengan pedang terhunus.
"Ada apa?"
Tanya Panglima Bantaraji bernada cemas.
"Dia sempat datang, tapi langsung kabur,"
Sahut Adipati Rakondah seraya melangkah.
Panglima Bantaraji pun segera memerintahkan pada sepuluh orang prajuritnya untuk mencari orang yang dilihat Adipati Kakondah.
Kemudian dia melangkah mengikuti Adipati Jati Anom itu.
Mereka lalu berhenti di depan sebuah pilar yang terbuat dari kayu jati bulat yang berukir.
Adipati Rakondah segera menjulurkan tangannya dan mencabut dua buah logam berwarna keperakan yang menancap di pilar itu.
Dua benda itu berbentuk bintang bersegi enam.
"Pendekar Pulau Neraka...,"
Desis Panglima Bantaraji begitu melihat benda tersebut. Sejenak Adipati Rakondah berbalik dan menatap Panglima Bantaraji. Kemudian tatapannya beralih pada benda benda yang kini di dalam genggamannya.-"Berapa buah yang dia lontarkan?"
Tanya Panglima Bantaraji.
"Dua,"
Sahut Adipati Rakondah pelahan.
"Hm..., itu berarti dua hari lagi,"
Gumam Panglima Bantaraji. Adipati Rakondah menatap tajam ke bola mata Panglima Bantaraji. Dia seperti meminta penjelasan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu memberi tanda kedatangannya dengan mengirimkan bintang perak bersegi enam. Dan hari yang ditentukan berjumlah sama dengan bintang yang dilemparkan,"
Panglima Bantaraji seperti mengerti tatapan mata itu.
"Hm, jadi dia akan datang menantangku dua hari lagi?"
"Tidak."
"Maksudmu?"
"Mulai melakukan tekanan dan teror dua hari lagi."
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membuat teror untuk melemahkan lawannya."
"Apa yang akan dia lakukan?"
"Entahlah, tapi kau harus lebih berhati hati dan jangan terpancing. Terutama -sekali pada anakmu, aku merasa Intan Delima akan diperalat untuk melemahkan kepercayaanmu."
"Phuih! Cara apa itu? Pengecut!"
Dengus Adipati Rakondah.
Adipati Rakondah terus bersungut sungut sambil melangkah ke dalam istananya.
-Sementara Panglima Bantaraji segera mengikutinya dari belakang.
Dia yang selama ini selalu mengikuti sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, sudah bisa mengetahui, kalau kejadian barusan adalah merupakan suatu tanda akan datangnya sebuah malapetaka di Kadipaten Jati Anom ini.
Suatu tanda sebagai lambang kematian bagi adik kandungnya! *** Dua hari dilalui dengan cepat dan penuh ketegangan.
Sudah berapa kali Panglima Bantaraji memperingatkan adiknya agar bisa mengendalikan diri dan jangan terpancing Tapi rasanya sulit bagi Adipati Rakondah, apalagi sekarang sikap Intan Delima padanya jadi lain.
Gadis itu tidak mau lagi berbicara padanya.
Hatinya sudah terluka menghadapi kenyataan pahit ini.
Suatu kenyataan yang tidak diduganya sama sekali.
Laki laki yang sangat dihormati dan dianggap yang terbaik selama ini ternyata -mempunyai masa lalu yang sangat buruk.
Masa lalu yang memalukan untuk dikenang.
Intan Delima benar benar kecewa.
Luka yang menggores hatinya begitu dalam, -rasanya sulit untuk disembuhkan lagi.
Hari ini adalah hari ketiga setelah terlontarnya bintang sebagai tanda dimulainya suasana berselimut maut.
Dan selama tiga hari ini juga Intan Delima terus mengurung diri di dalam kamarnya.
Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk.
Pintu kamar itu selalu tertutup rapat dan terkunci dari dalam.
Tapi sampai tiga hari dilalui, belum ada tanda tanda kalau Pendekar Pulau Neraka -mulai melakukan tekanan.
"Intan...!"
Adipati Rakondah memanggil sambil mengetuk pintu kamar anaknya.
Tidak ada sahutan dari dalam.
Adipati Rakondah terus mengetuk pintu sambil memanggil manggil.
-Mendadak perasaannya jadi tidak enak, karena dari dalam kamar anaknya itu tidak terdengar suara sedikit pun.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung mendobrak pintu kamar itu.
Seketika tubuhnya melesat masuk ke kamar bersamaan dengan hancurnya daun pintu.
"Intan...!"
Seru Adipati Rakondah mulai cemas.
Tak ada seorang pun di dalam kamar itu.
Buru buru Adipati Rakondah berlari ke -arah jendela yang terbuka lebar.
Dan kedua matanya langsung membeliak begitu mendapati sebuah bintang yang berwarna keperakan, dan bersegi enam tertancap pada dinding dekat jendela.
"Intan...!"
Teriak Adipati Rakondah panik. Tentu saja suara gaduh itu mengundang beberapa prajurit berdatangan. Begitu pula dengan Panglima Bantaraji, dia langsung berlari masuk ke kamar.
"Ada apa...?!"
Tanya Panglima Bantaraji terkejut.
Adipati Rakondah tidak menjawab.
Dia hanya terduduk lemas di tepi tempat tidur yang berantakan.
Matanya beredar berkeliling.
Keadaan kamar itu seperti baru saja terjadi pertarungan.
Tampak pecahan guci berserakan di lantai.
Dan meja kursi juga berantakan.
Panglima Bantaraji segera mencabut senjata yang berbentuk bintang bersegi enam berwarna perak dari dinding.
Sejenak dia mengamati benda yang kini berada di tangannya itu, lalu tatapannya beralih pada Adipati Rakondah yang masih terduduk lemas di tepi pembaringan.
"Cepat geledah seluruh pelosok kadipaten! Tanyai semua orang!"
Perintah Panglima Bantaraji.
Dan tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang berada di kamar itu langsung pergi melaksanakan perintah itu.
Sedangkan Panglima Bantaraji menghampiri adiknya dan ikut duduk di sampingnya.
Tidak sedikit pun Adipati Rakondah mengangkat kepalanya Berbagai macam perasaan kini tengah berkecamuk di dalam dadanya.
"Aku sudah peringatkan padamu, Adik Rakondah. Sekarang semua sudah terjadi, dan kita hanya bisa berharap agar Intan Delima bisa selamat dari maut,"
Kata Panglima Bantaraji pelan.
"Ini semua memang salahku, Kakang. Seharusnya aku tidak menceritakan semuanya...,"
Keluh Adipati Rakondah lirih. Seketika Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya itu. Dia sepertinya tidak percaya dengan pendengarannya barusan.
"Adik Rakondah, apa yang kau katakan tadi?"
"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menceritakan semuanya pada Intan. Dan aku tidak menyangka kalau akan begini jadinya."
Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya. Kemudian dia melangkah pelan pelan -dengan kepala tertunduk. Dan ketika sampai di ambang pintu, dia berbalik. Tepat pada saat itu Adipati Rakondah tengah menatapnya. Sejenak mereka saling berpandangan.
"Jadi itulah sebabnya Intan Delima mengurung diri di kamar, Adik Rakondah?"
Panglima Bantaraji ingin penjelasan.
"Ya,"
Sahut Adipati Rakondah mendesah.
"Hhh...!"
Panglima Bantaraji menarik napas panjang. Kemudian dia berbalik lagi.
"Kakang...,"
Pelan suara Adipati Rakondah.
"Ada apa lagi?"
Panglima Bantaraji tidak berbalik lagi.
"Terus terang, aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan...?"
Keluh Adipati Rakondah.
Panglima Bantaraji tidak menjawab.
Dia terus mengayunkan kakinya meninggalkan kamar itu.
Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukan.
Sampai saat ini, tindakan Pendekar Pulau Neraka memang sulit untuk ditebak dan dimengerti.
Tindakannya sangat ganjil! Melakukan tekanan, membuat lawan jadi lemah mentalnya dan kehilangan kepercayaan diri.
Kemudian muncul dengan didahului suatu tanda yang aneh dan mengejutkan.
Panglima Bantaraji benar benar merasakan suatu suasana yang membingungkan.
-Sepertinya dia tengah berada pada satu lingkungan yang terkepung oleh makhluk -makhluk haus darah.
Kini keadaannya benar -benar seperti di dalam neraka.
Apa pun yang dilakukan, sepertinya Pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui, dan menciptakan neraka baru yang lebih mengerikan dan menyakitkan.
*** Benarkah Intan Delima telah diculik oleh Pendekar Pulau Neraka? Sebenarnya, Intan Delima memang sengaja meninggalkan istana kadipaten Dia pergi dengan membawa kehancuran dan rasa kecewa yang sangat dalam di hatinya.
Kepergian gadis itu diketahui oleh Bayu si Pendekar Pulau Neraka, yang selalu mengamati suasana di sekitar Istana Kadipaten Jati Anom.
Kemudian dia memanfaatkan kesempatan itu dengan menyusup ke dalam kamar gadis itu, dan membuatnya seolah olah seperti telah terjadi pertarungan dengan -meninggalkan sebuah bintang keperakan bersegi enam.
Lalu, ke mana sebenarnya Intan Delima pergi? Tak ada seorang pun yang tahu, kecuali Bayu.
Sekarang Intan Delima berada di sebuah goa kecil di Lereng Gunung Panjaran.
Setiap waktu dihabiskannya di dalam goa.
Dan dia baru ke luar dari dalam goa kalau merasakan perutnya lapar.
Rasa kecewa yang dalam terhadap ayahnya telah membuat gadis itu seperti ingin menghilang dari dunia ramai.
Pagi itu Intan Delima baru saja ke luar dari mulut goa tempatnya mengasingkan diri.
Langkah kakinya langsung terhenti ketika tiba tiba di depannya sudah berdiri seorang laki laki --muda berwajah tampan dengan tubuh tinggi tegap.
Laki laki itu mengenakan baju -dari kulit harimau.
Kedua tangannya melipat di depan dada.
"Mau apa kau datang ke sini?"
Ketus suara Intan Delima.
Pemuda gagah itu hanya tersenyum saja, kemudian dia melangkah mendekati.
Dan dengan enak dia lalu duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Sedangkan Intan Delima hanya memandanginya saja dengan wajah tidak menunjukkan persahabatan.
"Terus terang, aku heran denganmu. Keadaan Kadipaten Jati Anom kini sedang kacau, kau malah enak-enakan menyendiri di sini,"
Kata pemuda itu kalem. Sepertinya dia tidak tahu menahu dengan suasana yang ditimbulkannya. -"Itu semua gara gara kau!"
Bentak Intan Delima. -"Tidak juga, kalau ayahmu tidak membuat persoalan lebih dulu,"
Pemuda itu mengelak.
"Jangan bersilat lidah! Katakan saja terus terang, apa maumu datang ke sini?"
"Hanya ingin melihatmu."
"Huh!"
Intan Delima mencibirkan bibirnya seraya memalingkan wajahnya.
Namun dia merasakan wajahnya jadi panas.
Kata-kata yang meluncur dari mulut pemuda gagah itu membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.
Intan Delima tidak bisa membohongi dirinya sendiri.
Dia sudah terpikat sejak pertemuannya yang pertama kali di Hutan Naga.
Rasa simpatinya semakin menebal setelah mengetahui persoalan dan kemelut hidup pemuda yang bernama Bayu itu.
Tapi kalau mengingat persoalan yang sedang terjadi antara Bayu dengan Adipati Rakondah, Intan Delima seperti terjepit pada dua sisi yang menyulitkan Di satu pihak, dia begitu menyayangi dan mencintai ayahnya.
Meskipun hatinya sempat terluka dan kecewa.
Dan di pihak lain, hatinya sudah terukir suatu kata kata yang sulit untuk -dihapuskan kembali.
Kini Intan Delima tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan.
Rasanya tidak mungkin lagi dia untuk membujuk Bayu agar me-madamkan api dendamnya.
Dia bisa mengerti dan memahami dendam yang sudah bersemayam kuat di dalam dada pemuda itu Tapi dia juga tidak mungkin berdiam diri melihat nyawa ayahnya terancam oleh Pendekar Pulau Neraka ini.
"Adik Intan...,"
Lembut suara Bayu.
"He! Kau..., kau memanggilku adik...?!"
Intan Delima terperangah setengah tidak percaya. Dia sampai berbalik dan menatap tajam ke bola mata pemuda itu, namun cepat cepat dialihkan pandangannya ke arah lain. -"Kenapa? Apakah aku tidak pantas menyebutmu adik?"
"Tidak! Eh..., boleh..., boleh,"
Intan Delima jadi gugup.
"Antara aku dan ayahmu memang saling ber-musuhan, tapi aku tidak mau kau ikut memusuhiku. Di dunia ini aku hidup sendiri, tanpa teman dan kerabat. Semua orang memandangku dengan benci, sepertinya kehadiranku hanya akan menimbulkan malapetaka saja. Yah..., mungkin memang sudah takdirku harus hidup sendiri tanpa seorang pun yang mau menjadi teman bicara,"
Bayu mengeluh.
Kata kata Bayu yang bernada keluhan itu membuat hati Intan Delima tergerak.
Dia -kemudian kembali menatap dalam ke bola mata pemuda itu, seakan akan -ingin mencari kebenaran pada sinar matanya.
Dan gadis itu sedikit tersentak begitu melihat sepasang bola mata itu berkaca kaca.
Dan tanpa sadar, dia segera -menghampiri dan berlutut di depannya.
"Kau benar benar cantik, Adik Intan. Aku memang seorang yang tidak tahu diri, -terlalu banyak berharap untuk bisa berteman denganmu. Terlalu jauh per-bedaan yang ada, terlalu dalam jurang pemisah di antara kita. Maaf, tidak seharusnya aku berharap bisa berteman denganmu,"
Pelan dan lirih suara Bayu.
Intan Delima tidak lagi bisa berkata kata.
Sebenarnya banyak yang ingin dia -ucapkan, tapi tenggorokannya serasa tersekat, sulit untuk mengucapkan satu kata pun.
Hanya sinar matanya saja yang memberikan banyak perasaan yang tak bisa dilukiskan.
Pelahan lahan Bayu bangkit seraya mendesah -panjang.
Kemudian kakinya terayun pelan meninggalkan gadis itu.
Sementara Intan Delima juga ikut berdiri.
Rasanya dia ingin ikut melangkah, tapi kakinya seperti terpaku, sulit untuk digerakkan.
"Kakang...,"
Ke luar satu kata dari bibirnya yang bergetar.
Bayu segera menghentikan langkahnya.
Dia membalikkan tubuhnya dan menghadap pada gadis itu.
Sesaat mereka hanya berdiam diri saling tatap.
Namun teriihat kepala pemuda itu rnenggeleng geleng lemah, dan tanpa berkata apa apa lagi, tubuhnya langsung --melenting cepat dan lenyap ditelan oleh lebatnya pepohonan di Lereng Gunung Panjaran itu.
"Oh.... Kasihan kau, Kakang. Ternyata nasibmu lebih buruk dariku,"
Desah Intan Delima lirih.
Gadis itu tetap berdiri terpaku dengan pandangan mata lurus ke arah kepergian Pendekar Pulau Neraka.
Lama juga Intan Delima berdiri di depan goa.
Hingga sampai matahari berada tepat di atas kepala, baru dia melangkah meninggalkan tempat itu.
Perutnya sudah berkeruyuk minta diisi.
Kemudian Intan Delima ber lalan gontai menembus -kelebatan hutan di Lereng Gunung Panjaran.
*** Sementara itu suasana di Kadipaten Jati Anom semakin tidak menentu.
Di seluruh pelosok kota, penjagaan semakin ditingkatkan.
Namun sampai saat ini tidak ada yang bisa mengetahui tempat persembunyian Pendekar Pulau Neraka.
Dan keadaan semakin bertambah parah, ketika satu persatu para prajurit yang didatangkan dari kerajaan, tewas dengan dada tertembus senjata yang berbentuk bintang perak bersegi enam.
Hal itu tentu saja makin membuat Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji kalang kabut.
-Lebih lebih Adipati Rakondah, kepercayaan pada dirinya sendiri semakin goyah.
-Emosinya sudah tidak terkontrol lagi.
Perang urat syaraf yang ditimbulkan oleh sepak terjang Pendekar Pulau Neraka benar benar telah membuat Adipati Rakondah --dan Panglima Bantaraji seperti kehilangan diri.
"Gila! Ini benar benar gila!"
Geram Adipati Rakondah ketika pagi itu dia mendapat laporan bahwa seluruh kuda kuda di istal hilang.
-Adipati Rakondah yang selalu didampingi kakaknya, Panglima Bantaraji segera melihat istal yang sudah kosong tanpa seekor kuda pun di dalamnya.
Dia langsung menggerutu sendiri, mencaci maki tidak karuan! Perang -urat syaraf yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka benar benar menyakitkan.
-Setegar apa pun jiwa seseorang, pasti akan rapuh juga jika terus-menerus dilanda teror tanpa mampu untuk berbuat sesuatu.
"Kendalikan dirimu, Adik Rakondah,"
Kata Panglima Bantaraji berusaha menenangkan, padahal di dalam dadanya sendiri juga bergemuruh.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Dia sudah mengambil anakku, kemudian disusul dengan tewasnya sebagian prajurit prajurit kita! Sedangkan apa yang sudah kita -lakukan? Diam...! Diam terus!"
Adipati Rakondah jadi semakin berang.
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Mengobrak abrik seluruh kadipaten?"
Panglima -Bantaraji juga jadi gusar.
"Aku akan mencari sendiri bajingan itu!"
"Rakondah...!"
Peringatan Panglima Bantaraji tidak digubris lagi.
Adipati Rakondah bergegas meninggalkan istal yang sudah kosong itu.
Hatinya benar benar panas, tidak tahan lagi menghadapi tekanan yang datang secara -beruntun.
Rasanya tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, selain mencari pendekar itu dan menantangnya untuk bertarung sampai salah satu di antara mereka ada yang tewas! "Rakondah!"
Panglima Bantaraji menyentakkan bahu adiknya hingga adipati itu berbalik dan menghadangnya.
Sejenak Adipati Rakondah menatap tajam pada kakaknya itu.
Kini mereka tidak peduli lagi dengan jabatan yang disandang masing masing.
Mereka terus saling tatap dengan tajam, seperti dua orang musuh -yang sudah siap mengadu nyawa.
"Bagaimanapun juga kau harus bisa mengendalikan diri, Adik Rakondah. Aku sudah menyebarkan puluhan telik sandi terpercaya untuk menemukan tempat persembunyian Pendekar Pulau Neraka,"
Kata Panglima Bantaraji terus berusaha menenangkan adiknya.
"Percuma, Kakang. Lebih baik segera kau tarik kembali para prajuritmu untuk pulang. Aku tidak mau lagi lebih banyak korban berjatuhan,"
Sahut Adipati Rakondah bernada putus asa.
"Kau sepertinya tidak mempercayai kemampuanku, Rakondah."
"Maaf, Kakang. Pendekar itu hanya menginginkan diriku. Rasanya sia sia saja -meskipun kau datangkan seluruh prajurit pilihan kerajaan. Dia sangat licik dan punya siasat yang kejam. Maaf, aku harus segera mengambil tindakan sebelum terlambat,"
Tegas kata kata Adipati Rakondah. -"Apa yang akan kau lakukan?"
Tanya Panglima Bantaraji.
"Mengosongkan istana."
"Gila! Apa kau mau bunuh diri, Rakondah? Pendekar Pulau Neraka sukar dicari tandingannya. Kita berdua saja belum tentu mampu menghadapinya!' Panglima Bantaraji terkejut setengah mati.
"Tapi itu lebih baik. Kakang. Daripada semakin banyak orang yang tidak berdosa -tewas di tangannya, Aku akan semakin merasa berdosa jika membiarkan orang orang tidak berdosa ikut -tewas karena membela ku.
"
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Rakondah. Ingat, masih ada aku, masih banyak sahabat-sahabat kita yang memiliki ilmu tinggi. Kalau kita mau menghubungi, mereka pasti mau membantumu,"
Kata Panglima Bantaraji. Adipati Rakondah segera menggeleng gelengkan-kepalanya.
"Sudah terlambat, Kakang. Rasanya tidak ada lagi yang harus jadi korban. Kini semuanya benar benar sudah terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya lagi bagiku. -Terima kasih, kau telah berkorban banyak untuk membelaku, Kakang. Sebaiknya kau segera kembali saja ke kerajaan, dan bawa semua prajuritmu,"
Kata Adipati Rakondah tetap pada pendiriannya.
"Adik Rakondah..."
"Maaf, aku tidak bisa lagi menerima bantuanmu. terima kasih, Kakang,"
Tegas kata kata Adipati Rakondah.
-Panglima Bantaraji tidak bisa lagi menahan kepergian adiknya.
Dia sudah tahu betul akan watak adiknya itu.
Keras dan teguh pada pendiriannya! Ada rasa ke-kaguman pada hatinya melihat sikap adiknya yang berjiwa ksatria itu.
Benar benar sudah jauh berbeda lengan masa masa lalunya.
Kini Panglima Bantaraji hanya bisa memandangi Adipati -Rakondah yang melangkah gontai menuju istana.
"Kasihan kau, Adikku,"
Desah Panglima Bantaraji pelan.
"Kau harus menanggung semua akibat per -buatanmu sendiri."
Dan dengan langkah pelan, Panglima Bantaraji juga meninggalkan halaman depan istal yang sepi itu.
Tampak pengurus kuda tengah duduk melamun di samping pintu istal Kini tidak ada lagi yang bisa dia kerjakan.
Semua kuda kuda telah lenyap semalam, tanpa sisa satu ekor pun.
Suatu kejadian yang aneh, dan baru pertama kali terjadi.
Semua orang seperti kena sirep, tidur lelap dan tidak mendengar suara apa pun.
*** Meskipun sudah berkali kali disuruh pulang, tapi Panglima Bantaraji tetap tidak -mau meninggalkan Kadipaten Jati Anom.
Bagaimanapun juga, dia tidak tega untuk meninggalkan adik kandung satu satunya menghadapi maut seorang diri.
Pendekar Naga Putih Algojo Gunung Sutra Kuda Putih Karya Sd Liong Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung