Ceritasilat Novel Online

Misteri Batu Mustika 2


Pendekar Pedang Matahari Misteri Batu Mustika Bagian 2



"Hahahaha. Keris Naga Kopek. Akulah tuanmu karena akulah calon Raja Agung di Jatiluhur ini. Hahahaha."

   "Hidup Yang Mulia calon Raja Agung."

   Teriak semua pengikut Adipati Wijaya Soma. Sejenak balai Pendopo Agung bergemuruh oleh teriakan-teriakan yang mengelu-elukan Adipati Wijaya Soma.

   "Anakku Wijaya Soma."

   Ucap seorang wanita separuh baya agak keras. Wijaya Soma yang mendengar itu langsung menyembah hormat.

   "Kanjeng Ibu. Ada apa Kanjeng Ibu memanggil Ananda?"

   Ucap Wijaya Soma lembut. Wanita setengah baya yang bernama Sri Kemuning yaitu ibu kandung Wijaya Soma dan juga selir ketiga dari Bayu Permana, Adipati terdahulu.

   "Janganlah kau terlalu gembira sebab kegembiraan yang berlebihan bisa mendatangkan malapetaka bagi kita."

   Ucap Sri Kemuning menasehati.

   "Keris lambang Istana Jatiluhur telah kau dapatkan. Tinggal Batu Mustika Merah yang harus kau dapatkan juga. Bila dua pusaka itu telah kau dapatkan maka kau akan jadi seorang raja agung yang sakti mandraguna. Seorang raja yang agungkan semua rakyatmu."

   "Baik Kanjeng Ibu ananda akan selalu menuruti nasehat Kanjeng Ibu."

   Ucap Wijaya Soma lembut. Wijaya Soma sangat sayang dan menghormati ibunya itu.

   "Perintahkan bawahanmu untuk terus mencari keberadaan Batu Mustika Merah itu."

   "Baik Kanjeng Ibu."

   Wijaya Soma lalu memerintahkan punggawa-punggawa kepercayaannya untuk mencari keberadaan Batu Mustika Merah yang sampai sekarang tidak ketahui keberadaannya.

   Dulu batu mustika itu ada di tangan Wulan Arum, tapi batu mustika itu berhasil di curi oleh orang.

   Dan orang yang mencuri itu masih misteri siapa sebenarnya pencuri itu.

   --o0o--Di sebuah hutan kaki bukit barat Jatianom, di tempat yang sangat tersembunyi terdapatlah beberapa perkemahan.

   Itulah tempat bersembunyi Arya Soma dengan para pengikut yang setia.

   Tempat itu memang sangat tersembunyi karena kontur medan yang sangat sulit untuk dilewati.

   Beberapa kali prajurit Kadipaten Jatiluhur melewati area sekitar bukit barat Jatianom tapi tidak menemukan apa-apa.

   Tapi jika mata jeli sebenarnya tak jauh dari tebing sebuah sungai terdapat goa yang cukup besar namun memang kondisi letak goa yang tertutup pepohonan serta ilalang, maka goa itu tidak terlihat dari tempat biasa para prajurit menyusuri kaki bukit barat Jatianom.

   Goa itu adalah jalan satu-satunya untuk menuju ke tempat persembunyian Arya Soma.

   Sungguh kuasa Sang Pencipta hingga sampai sekarang Arya Soma beserta para pengikutnya masih aman bersembunyi dari kejaran orang-orang Wijaya Soma.

   Sementara itu di Balai Pertemuan tampak Arya Soma sedang mengadakan pertemuan dengan para punggawa setianya.

   "Apa?! Wulan Arum di tangkap Wijaya?!!"

   Teriak Arya Soma saking kagetnya mendengar berita itu. Arya Soma sampai terlonjak dari tempat duduknya.

   "Bagaimana bisa Wulan Arum bisa tertangkap orang-orang Wijaya, Paman?"

   "Ampun Gusti. Menurut telik sandi hamba, Gusti Putri Wulan Arum dihadang oleh orang-orang persilatan yang di sewa Adipati Wijaya. Tapi bukan itu saja Gusti bahkan seorang pemuda juga di tangkap ketika coba menolong Gusti Putri."

   Tutur ki Bayan Ludira.

   "Pendekar Pedang Matahari?!"

   Potong Arya Soma cepat.

   "Bukan Gusti. Hamba juga berpikir itu Pendekar Pedang Matahari tetapi hamba salah ternyata pemuda itu bukan Pendekar Pedang Matahari."

   "Lalu siapa pemuda itu, Paman?"

   Arya Soma penasaran.

   "Pemuda itu bernama Bayu Sanjaya. Dia di ketahui adalah murid Resi Majalaga yang diutus gurunya untuk menyerahkan sebilah keris pusaka pada Gusti Arya Soma."

   "Bayu Sanjaya murid Resi Majalaga?"

   Ucap Arya Soma seolah untuk dirinya sendiri.

   "Benar, Gusti."

   Ucap Bayan Ludira sambil mengangguk. Tiba-tiba ada seorang prajurit masuk ke Balai Pertemuan itu. Dengan cepat prajurit itu bersimpuh menyembah merapatkan tangannya di depan hidung.

   "Ampun Gusti. Hamba ingin melaporkan sesuatu yang penting Gusti."

   Kata prajurit itu cepat.

   "Prajurit, ada apa? Apa yang ingin kamu laporkan?"

   Seru Bayan Ludira cepat.

   "Ampun Gusti. Baru saja hamba dapat kabar dari bibi hamba yang bekerja di istana kadipaten bahwa pusaka Keris Naga Kopek telah jatuh ke tangan Adipati Wijaya"

   Ucap prajurit itu takut-takut.

   "Apa?!!!"

   Arya Soma dan beberapa tokoh di tempat itu tersentak kaget bukan main. Langsung saja tempat itu menjadi geger karena berita yang baru saja di sampaikan oleh prajurit itu.

   "Paman! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Keris Naga Kopek telah jatuh ke tangan Wijaya. Kita akan semakin sulit untuk merebut kembali kedudukan Wijaya dengan dia memegang pusaka kerajaan itu."

   Ucap Arya Soma pelan.

   Terlihat dia sudah putus asa setelah mendengar pusaka Keris Naga Kopek jatuh ke tangan Wijaya Soma.

   Tampak semua yang ada di Balai Pertemuan menunjukkan wajah lesu.

   Dengan jatuhnya Keris Naga Kopek ke tangah Wijaya Soma maka harapan untuk mengembalikan tahta kadipaten ke tangan yang sah pupus sudah.

   Semangat mereka tiba-tiba saja jadi hilang entah kemana.

   "Hamba juga tidak tahu Gusti."

   Kata Bayan Ludira pelan.

   "Apa kau sudah putus asa, Arya Soma?"

   Seru seorang wanita setengah baya yang masih menunjukkan kecantikan di masa mudanya.

   "Kanjeng Ibu."

   Ucap Arya Soma langsung berdiri begitu mengetahui siapa yang datang.

   Seluruh orang yang ada di Balai Pertemuan juga langsung berdiri dari tempat duduknya.

   Mereka membungkuk hormat pada wanita itu yang ternyata ibu kandung Arya Soma dan juga istri sah Bayu Permana Adipati Jatiluhur terdahulu.

   "Apa kau akan menyerah begitu saja anakku? Kamu adalah pewaris sah Kadipaten Jatiluhur yang juga pewaris tahta Kerajaan Jatiluhur. Apa dengan jatuhnya keris pusaka itu, kamu jadi kehilangan semangatmu yang begitu saja. Ingat anakku, Istana Jatiluhur akan hancur jika di pimpin orang-orang sesat."

   Ucap ibunda Arya Soma yang bernama Raden Ayu Diah Pitaloka.

   "Tapi Bunda?"

   "Anakku! Kamu adalah putra Adipati Bayu Permana yang terkenal pemberani dan gagah. Tidak takut mati demi menegakkan kebenaran. Jadi jangan kau kecewakan mendiang ayahandamu."

   Ucap Ibunda Arya Soma menasehati putra sulungnya.

   "Benar, Gusti. Apapun yang terjadi hamba siap berjuang sampai mati untuk menegakkan kebenaran."

   Seru Bayan Ludira cepat.

   "Hamba juga siap berjuang Gusti."

   Sahut Adi Darpa tegas.

   "Kami juga siap Gusti."

   Seru semua orang yang hadir di Balai Pertemuan itu bersemangat.

   Arya Soma yang melihat semua pengikut yang masih setia padanya bersemangat maka Arya Soma jadi terharu tersentuh hatinya melihat kesetiaan mereka.

   Arya Soma menyadari kedangkalan hatinya setelah mendengar Keris Naga Kopek jatuh di tangan Wijaya.

   Maka dengan tekad berkali lipat Arya Soma berseru akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menegakkan kebenaran di Jatiluhur.

   --o0o--Goa di lereng Gunung Bromo tampak angker jika malam tiba karena di goa itu selalu terdengar suara bagai jeritan dari alam roh.

   Makanya para penduduk desa di lereng Gunung Bromo tidak ada yang berani pergi ke goa atau di daerah sekitar goa itu.

   Goa itu di namakan Goa Setan.

   Karena terdengar jeritan menggidikkan setiap malamnya.

   Padahal itu bukan jeritan para setan alam roh.

   Suara bagai jeritan itu terjadi karena ada beberapa lubang yang kalau terkena angin akan mengeluarkan suara nyaring seperti orang menjerit.

   Di dalam Goa Setan itulah Surya berada bersama dua gadis cantik yaitu Dewi Sekarwati dan Pandan Wangi.

   Ini sudah hari ke tujuh belas pertapaan Pandan Wangi dalam menjalankan semedi Aji Naga Suci.

   Sementara itu Surya yang sedang duduk di batu pipih mirip pembaringan bersama Dewi Sekarwati.

   "Kakang."

   Ucap Dewi Sekarwati lembut. Surya menoleh ke gadis cantik di sampingnya itu. Perlahan Dewi Sekarwati menyandarkan kepalanya di bahu Surya.

   "Kakang ingat pertama kali kita ketemu?"

   Ucap Dewi Sekarwati lirih. Surya hanya tersenyum lembut sambil mengelus-elus pipi Dewi Sekarwati dengan penuh rasa sayang. Sejenak Dewi Sekarwati menatap wajah tampan di sampingnya itu. Ada rasa teduh dan damai di hatinya.

   "Kakang mencintaiku?"

   Tanya Dewi pelan. Surya mencIum kening Dewi Sekarwati lalu memeluk erat gadis cantik itu.

   "Apa kau masih meragukan cintaku, Dewi?"

   Ucap Surya kalem. Dewi Sekarwati menggeleng cepat.

   "Aku tidak meragukan cinta Kakang. Tapi ...

   "

   Dewi Sekarwati menghentikan ucapannya.

   "Tapi apa Dewi?"

   Sahut Surya cepat. Dewi Sekarwati terdiam seolah tengah berperang dengan hatinya. Karena Dewi Sekarwati menyadari betul perbedaan yang nyata di antara dia dengan Surya. Yaitu perbedaan alam yang memisahkan dan tidak memungkinkan mereka untuk bersatu.

   "Aku tahu apa yang membuatmu risau, tapi percayalah pada ketulusan hatiku Dewi."

   Ucap Surya menenangkan hati Dewi Sekarwati.

   "Justru aku percaya itulah aku jadi risau, Kakang. Aku takut Kakang tidak mau jatuh cinta pada gadis lain."

   "Buat apa aku jatuh cinta pada gadis lain jika di hatiku sudah ada kamu, Dewi."

   Sahut Surya cepat sambil mengerutkan keningnya heran dengan sikap gadis cantik yang ada di pelukannya.

   "Kakang, maukah Kakang berjanji padaku?"

   Kata Dewi lembut sambil menggenggam tangan Surya.

   "Janji untuk apa Dewi?"

   Sahut Surya penasaran.

   "Katakan dulu Kakang mau berjanji padaku."

   Kata Dewi Sekarwati cepat.

   "Ya sudah. Aku berjanji atas nama Sang Pencipta Alam akan mengabulkan apa pun permintaan Dewi."

   Seru Surya lantang. Dewi Sekarwati tersenyum senang Surya telah berjanji.

   "Nah, kamu sudah dengarkan. Katakan apa permintaanmu."

   Dewi Sekarwati semakin rerat menggenggam tangan Surya.

   "Berjanjilah padaku kalau Kakang akan mencintai wanita lain untukku."

   Kata Dewi lirih.

   "Apa?!"

   Seru Surya kaget sekali.

   "Ingat. Kakang sudah berjanji padaku."

   Kata Dewi cepat.

   "Tap, tap, tapi ...

   "

   Surya jadi bingung sendiri.

   "Apapun bentuknya janji tetaplah janji. Jangan pernah coba untuk mengingkarinya,"

   Kata Dewi serius sekali.

   Tatapan matanya langsung ke bola mata Surya tajam seolah ingin menegaskan.

   Surya menghela nafas panjang.

   Apapun bentuknya dia sudah terlanjur berjanji pada Dewi Sekarwati jadi mau tidak mau dia harus menepatinya walaupun hatinya enggan menuruti permintaan Dewi Sekarwati.

   Tapi karena tidak mau mengecewakan gadis cantik di depannya itu maka Surya mengangguk pelan menyetujui juga.

   "Bila Kakang bertemu dengan seorang gadis yang menurut Kakang baik dan pantas Kakang cintai maka jadikanlah gadis itu kekasih hati Kakang. Dengan begitu aku akan tenang untuk meninggalkan Kakang."

   Ucap Dewi pelan sambil meneteskan air mata. Surya buru-buru mengusap air mata itu.

   "Sampai kapanpun kamulah yang selalu menghiasi istana cintaku."

   Kata Surya lalu mencium dua pipi Dewi Sekarwati.

   "Kakang! Jaga diri Kakang baik-baik dan sampai ketemu lagi."

   Bisik Dewi Sekarwati pelan.

   Perlahan-lahan tubuh Dewi Sekarwati berpendar menjadi bayang-bayang biru terang lalu lama kelamaan hilang bagai di telan bumi.

   Itulah yang terjadi pada Dewi Sekarwati yang telah terbebas dari kutukan Datuk Sesat.

   Sukmanya akan menitis pada seorang gadis yang sebenarnya adalah reinkarnasi dari dirinya sendiri.

   Surya menghela nafas panjang, terlihat tetesan air mata jatuh membasahi lantai batu tempat dia duduk.

   Dia sangat mencintai Dewi Sekarwati.

   --o0o--Nguiiiinggg! Tiba-tiba terdengar suara berdenging keras dari balik buntalan kain di sebelah Surya.

   Dengan cepat Surya membuka buntalan kain di sampingnya.

   Terlihatlah batu merah berbentuk segi enam menyala terang sekali.

   Surya menggenggam Batu Mustika Merah itu di tangan kanan.

   "Apa yang terjadi? Kenapa Batu Mustika Merah ini berdenging dan bersinar terang?"

   Batin Surya dalam hati.

   Batu Mustika Merah kemudian Surya letakkan di depannya.

   Surya merapatkan tangannya di depan dada sambil merapal mantra.

   Tak berapa lama dari dalam Batu Mustika Merah itu keluar cahaya merah lalu bergulung-gulung di udara menenuhi ruangan goa.

   Cahaya merah itu semakin lama membentuk sosok naga merah yang besar di hadapan Surya.

   Naga merah itu tiba-tiba hilang dan menjelma sosok gadis jelita berpakaian merah darah.

   Gadis jelita jelmaan naga merah itu berdiri di depan Surya kemudian membungkuk memberi hormat.

   "Hamba Naga Merah memberi hormat pada Pangeran Matahari."

   Ucap gadis jelita jelmaan naga merah itu lembut. Perlahan Surya membuka matanya dan menatap tajam gadis jelita jelmaan naga merah.

   "Naga Merah. Ada apa kau keluar dari persemayamanmu?"

   Kata Surya tenang tapi penuh wibawa. Naga Merah menunduk takut.

   "Maafkan saya Pangeran. Saya keluar dari dalam batu mustika karena ada sesuatu yang penting yang harus saya sampaikan pada Pangeran."

   Tutur Naga Merah pelan.

   "Apa itu?"

   Tanya Surya penasaran.

   "Saat ini ada sebuah pusaka yang di buat oleh Resi Majalaga telah jatuh ke tangan orang yang bukan haknya."

   "Pusaka apa itu naga merah?"

   Tanya Surya memotong.

   "Sebilah keris pusaka yaitu Keris Naga Kopek."

   "Keris Naga Kopek?!"

   Seru Surya lirih mengerutkan keningnya. Naga merah mengangguk pelan.

   "Benar, Pangeran."

   Surya menatap gadis jelita jelmaan naga merah.

   "Kenapa dengan Keris Naga Kopek itu, Naga Merah? Apa hubungannya kamu dengan Keris Naga Kopek?"

   Tanya Surya seolah menusuk langsung ke hati Naga Merah.

   Dalam pikiran Surya bingung kenapa banyak sekali benda pusaka yang beraliran kekuatan Naga.

   Sedangkan Surya tahu dengan pasti raja dari semua naga di bumI ini, yaitu Ksatria Naga Emas.

   Yang juga muridnya sendiri.

   Di dunia ini Surya memiliki tujuh pasang murid yang berasal dari kekuatan alam.

   Yaitu salah satunya Ksatria Naga Emas dan Putri Naga Puspa.

   Mereka adalah penguasa jenis ular dan naga di dunia ini.

   "Agaknya aku harus menemui dua naga itu untuk minta keterangan mereka."

   Batin Surya dalam hati.

   "Maafkan saya, Pangeran. Naga Kopek adalah suami saya."

   Kata Naga Merah lirih. Suara Naga Merah agak parau karena sesenggukan menahan tangisya yang mulai merembes keluar dari matanya yang indah. Surya mengusap kepala Naga Merah lembut karena ibu melihat Naga Merah kelihatan bersedih.

   "Sudah berapa lama kau tidak bertemu suamimu Naga Kopek, Naga Merah?"

   Ucap Surya lembut. Naga Merah mulai terisak-isak.

   "Sejak kami di pisahkan oleh raja kami, Ksatria Naga Emas."

   "Untuk kesalahan apa kalian sampai dipisahkan?"

   Tanya Surya penasaran.

   "Suami saya Naga Kopek tidak sengaja membunuh seorang anak manusia ketika melaksanakan tugas dari Raja Naga Emas. Raja murka dan menghukum suami saya menjalani penyiksaan batin. Berpisah dengan keluarga dan di usir dari Istana Naga."

   Cerita Naga Merah di sela-sela isak tangisnya. Surya mengusap lembut pipi Naga Merah, menghapus air mata di pipi Naga Merah.

   "Untuk saat ini aku tidak bisa banyak menolong suamimu karena suamimu harus menjalani takdirnya yang tidak bisa di cegah oleh siapapun kecuali sang maha pencipta bumi ini.

   "

   Tutur Surya lembut.

   "Tapi aku yakin sebentar lagi kalian akan bersatu kembali. Keris Naga Kopek memang harus menjalani takdirnya sebelum kembali ke pewarisnya yang sah. Nah, sekarang kembalilah kau ke dalam Batu Mustika Merah. Terus berdoa pada Yang Maha Kuasa agar kalian di persatukan kembali."

   Kata Surya lembut memberikan ketenangan pada Naga Merah. Naga Merah mengangguk pelan sambil mengusap air matanya. Lalu samar-samar tubuhnya berubah jadi sosok naga kemudian membentuk cahaya melesat masuk ke dalam Batu Mustika Merah.

   "Hehhmm. Lama-lama semakin aneh-aneh saja kejadian yang kuhadapi. Ada ada saja. Hehehehe."

   Surya tertawa kecil saja menyikapi setiap kejadian yang dia temui.

   Surya kemudian memakai topeng peraknya dan beranjak keluar dari Goa Setan tersebut.

   --o0o--Di kegelapan malam yang pekat tampak sesosok bayangan putih menyelinap di antara pepohonan dekat benteng Kadipaten Jatiluhur.

   Bayangan putih itu melompat tinggi ke atas benteng memiliki tinggI empat meteran dengan ringan sekali.

   Sejenak bayangan putih itu mengedarkan pandangannya di sekitar benteng kadipaten tersebut.

   Kemudian dengan Ilmu 'Menembus Pandang' orang itu meneliti keadaan dalam benteng tersebut.

   Setelah mengetahui medan area kadipaten dengan cepat bayangan putih itu melompat ke bawah.

   Dengan sebuah ilmu yang jarang di gunakannya yaitu jurus 'Seribu Bayangan' maka bayangan putih bertopeng perak itu menjadi beberapa orang yang sama.

   Ada tiga orang yang sama dengan sosok putih bertopeng perak.

   Dengan gerakan cepat dua orang bayangan yang ternyata adalah Surya atau yang di kenal dengan gelar Pendekar Pedang Matahari itu berpencar.

   Duplikat Surya melompat tinggi mengeluar pukulan jarak jauh yang bernama Pukulan 'Matahari Penghancur Raga'.

   Dua larik sinar putih keperakan menghantam pintu gerbang barat kadipaten yang langsung hancur berantakan.

   Duaaarrr ...

   ! Duaaarrr ...

   ! Kontan saja akibat suara ledakan itu membuat para prajurit yang sedang berjaga berdatangan langsung mengurung dua duplikat Surya.

   Sementara itu Surya yang asli memanfaatkan kekacauan itu untuk menyusup masuk ke dalam penjara bawah tanah kadipaten.

   Beberapa prajurit yang berjaga di buat tak bergerak dengan totokan jarak jauh.

   Surya bergerak cepat menyusuri setiap kamar tahanan mencari dimana Wulan Arum di sekap.

   Tak berapa lama Surya menemukan kamar tahanan yang berpintu baja tebal.

   Dengan tenang Surya memukul pintu baja tebal dengan pukulan tenaga dalam hingga pintu baja tebal itu berhasil di jebol.

   Surya langsung masuk ke dalam penjara itu.

   "Wulan ... Wulan ...

   "

   Seru Surya cepat begitu melihat gadis baju merah yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka.

   "Wulan."

   Panggil Surya. Dengan cepat Surya menotok di beberapa tempat agar Wulan siuman. Tak berapa lama tampak Wulan Arum merintih sadarkan diri.

   "Wulan. Apa yang terjadi?"

   "Eeeghh ... Kakang."

   Ucap Wulan Arum parau begitu melihat orang yang menahan badannya.

   "Kakang. Benarkah ini kamu?"

   Wulan Arum belum pulih kesadarannya. Surya mencabut Pedang Mataharinya dan dengan cepat memutuskan rantai yang membelenggu kaki Wulan. Surya segera memondong Wulan Arum di bahunya lalu melesat keluar dari dalam penjara itu.

   "Kakang1 Bebaskan juga Bagaspati dan Bayu Sanjaya."

   Kata Wulan Arum lirih namun masih dapat di dengar Surya.

   Maka sekali lagi Surya menggunakan Ilmu 'Seribu Bayangan'-nya menjadi dua orang.

   Dua duplikat Surya dengan gerakan cepat menjebol pintu penjara dan membawa Bagaspati serta Bayu Sanjaya.

   Surya bergerak dengan kecepatan yang luar biasa bagai burung terbang keluar dari penjara bawah tanah kadipaten.

   Sekilas Surya melihat dua duplikatnya yang lain sedang bertarung melawan para prajurit serta para tokoh silat istana.

   Senyum tipis terlihat di bibirnya karena yang mereka lawan adalah bayangan saja.

   Jika Surya mau, bisa saja dia menghancurkan Kadipaten Jatiluhur dengan cepat tapi Surya tidak mau melakukannya.

   Sebab sebagian besar prajurit hanyalah orang-orang yang cuma mengikuti perintah atasan mereka.

   Dengan cepat Surya berlalu dari Kadipaten Jatiluhur dan melesat ke arah kaki bukit barat Jatianom.

   Sementara itu, di kadipaten masih berlangsung pertarungan antara duplikat Surya melawan para tokoh silat kadipaten.

   Begitu banyaknya tokoh-tokoh silat istana tidak ada yang mampu menyentuh dua duplikat Surya.

   Ini membuat Adipati Wijaya Soma menjadi murka.

   Maka dengan mencabut Keris Naga Kopek dari warangkanya.

   Adipati Wijaya Soma menerjang duplikat Surya dengan jurus 'Garuda Membelah Mega'.

   Kilatan cahaya kuning keemasan bergerak cepat sekali mengurung dua duplikat Surya hingga suatu ketika dua duplikat Surya berhasil di robek dadanya.

   Maka seketika itu dua duplikat Surya meleleh lalu lenyap.

   Dengan sikap pongah melihat lawannya meleleh terkena sabetan kerisnya.

   Adipati Wijaya mengira dua duplikat Surya kalah oleh kerisnya padahal tidak.

   Dua duplikat Surya yang di buat dengan elemen air Itu telah di lepas jurusnya oleh Surya.

   Semua yang melihat hal itu tampak bergidik takjub akan kesaktian Keris Naga Kopek Adipati Wijaya.

   "Gusti gawat! Gusti gawat."

   Seru seorang prajurit tergopoh-gopoh mendatangi Adipati Wijaya.

   "Ada apa?!"

   Sahut Adipati Wijaya keras.

   "Ada orang bertopeng perak berhasil membawa kabur tiga tahanan."

   "Apa?!!"

   Teriak Adipati Wijaya tersentak.

   "Tahanan berhasil di bawa kabur?!"

   "Benar, Gusti. Wulan Arum, Bayu Sanjaya dan Bagaspati yang di bawa kabur Gusti."

   Kata prajurit itu gemetaran.

   "Apa?!"

   Adipati Wijaya terlonjak kaget bukan main.

   "Bangsat! Siapa yang telah berani membawa kabur tiga tahanan itu? Katakan!!"

   Seru Adipati dengan wajah merah kelam menahan marah.

   "Ampun Gusti. Orang berpakaian serba putih memakai topeng perak,Gusti."

   Prajurit itu semakin gemetaran.

   "Kurang ajar! Setan alas!"

   Teriak Adipati murka.

   Dia menendang prajurit itu hingga prajurit itu bernasib na'as.

   Terpental tewas dengan dada remuk.

   Adipati Wijaya segera masuk istana kadipaten dengan wajah kelam menahan amarah yang amat sangat.

   * * Surya membaringkan tubuh Wulan Arum, Bayu Sanjaya dan Bagaspati di tempat pembaringan dalam perkemahan tempat persembunyian Arya Soma beserta abdi setianya.

   Tampak Arya Soma dan yang lain berkumpul melihat hal yang luar biasa yang mungkin baru kali ini mereka melihatnya seumur hidup mereka.

   Apa yang mereka lihat?! Mereka melihat ada tiga orang kembar, tapi begitu selesai membaringkan tiga orang yang di tawan Adipati Wijaya maka dua orang kembar itu hilang berubah jadi asap putih lalu lenyap.

   Itulah ilmu 'Seribu Bayangan' yang langka sekali dikeluarkan oleh Surya.

   Bila Surya termasuk golongan hitam maka sudah lama dia bisa jadi raja di raja dunia persilatan karena dengan ilmu 'Seribu Bayangan' Surya bisa menggandakan dirinya jadi seribu Surya dengan kekuatan yang sama.

   Sungguh ilmu yang dahsyat dan bila jatuh ke tangan yang jahat maka bisa jadi malapetaka di dunia ini.

   Jika satu Surya sanggup menghadapi seratus orang dengan tingkat kemampuan tinggi maka dapat di bayangkan seribu Surya dapat menghadapi seratus ribu orang dengan kemampuan tingkat tinggi pula.

   Satu kadipaten atau pun bahkan satu kerajaan dapat Surya taklukan dengan sangat mudah.

   Sungguh kuasa Tuhan menganugrahi kemampuan pada diri Surya yang bersih hatinya dari sifat serakah dan jahat.

   Tapi Surya lebih memilih menjalani setiap kejadian dengan kehidupan yang normal tanpa melawan takdir alam.

   SURYA membungkuk hormat pada Arya Soma.

   "Saya mohon diri Gusti."

   Ucap Surya merasa sudah selesai urusannya.

   "Tunggu sebentar Kisanak."

   Ucap Arya Soma mencegah Surya yang hendak pergi.

   "Saya ucapkan banyak terima kasih pada Kisanak yang telah membebaskan mereka dari Wijaya Soma."

   Surya mengangguk pelan.

   "Apa yang saya lakukan semata-mata karena permintaan seseorang. Dan juga karena sesama manusia yang menjujung tinggi nilai-nilai kebenaran harus saling menolong. Jadi jangan sampai menjadi sebuah beban yang di namakan budi."

   "Sungguh terpujilah kau, Kisanak. Sifatmu sungguh mulia. Apapun itu saya dan segenap yang ada di sini tetap mengucapkan terima kasih banyak pada kau, Kisanak."

   Puji Arya Soma tulus. Surya mengangguk pelan saja.

   "Maaf, Kisanak. Apa benar Kisanak adalah Pendekar Pedang Matahari?"

   Tanya Arya Soma kalem.

   "Begitulah orang-orang menjuluki saya."

   Jawab Surya tanpa maksud sombomg.

   "Owh, sungguh kehormatan besar bagi kami bisa bertemu dengan pendekar sakti yang saat ini sedang kesohor."

   "Jangan berlebihan Gusti. Saya tetaplah manusia biasa yang tak luput dari sebuah kesalahan."

   Kata Surya merendah tidak ingin di puji.

   "Mohon maaf Gusti saya harus segera pergi."

   Kata Surya cepat.

   "Tunggu sebentar pendekar."

   Seru Arya Soma cepat mencegah. Surya tidak jadi beranjak pergi.

   "Maaf Gusti saya benar-benar harus pergi."

   "Maaf pendekar saya ingin bicara sebentar saja."

   "Apakah ada hal penting yang ingin Gusti sampaikan pada saya?"

   Arya Soma diam sebentar lalu menatap beberapa punggawa yang ada di tempat itu. Semua mengangguk pelan. Arya Soma menghela nafas pelan.

   "Begini pendekar. Saya dan segenap yang ada di tempat ini ingin meminta tolong pada pendekar."

   "Minta tolong?! Minta tolong apa Gusti?"

   Tanya Surya heran. Kembali Arya Soma menghela nafas pelan seolah ada beban berat di dadanya.

   "Hehhmmhh ... Kami semua ingin pendekar bersedia membantu kami dalam menegakkan kebenaran di bumi Jatiluhur. Kami mohon kesediaan pendekar."

   Ucap Arya Soma kalem, karena tidak terlalu berharap permintaannya dapat dikabulkan oleh Surya.

   Surya terdiam mendengar permintaan Arya Soma mengejutkan dirinya.

   Dia menatap tajam ke bola mata Arya Soma seolah ingin membaca apa yang ada di pikiran Arya Soma.

   "PadI akan menjadi beras yang baik jika kita mengolah sawah dengan penuh ketekunan, menyebar benih dengan penuh kasih sayang, menjaga dengan penuh kelembutan dan menuainya dengan penuh rasa syukur."

   Tutur kata Surya bagai orang sedang bersastra. Ini membuat semua orang yang mendengar menjadi bingung, apa maksud Surya berkata seperti itu. Surya maju mendekati Arya Soma.

   "Namun dari semua itu yang terpenting adalah tahu masa tanam dan masa panen."

   Ucap Surya sambil tersenyum lembut kemudian berbalik pergi dari hadapan Arya Soma.

   --o0o--Seluruh punggawa dan orang pintar yang masih setia pada Arya Soma di minta oleh Arya Soma untuk mengartikan ucapan Surya.

   Sudah tiga hari berlalu tetapi belum ada yang mampu mengartikan ucapan Surya.

   Sebagian besar mengira kalau itu adalah sekedar ucapan kosong belaka dari Surya yang tidak mau membantu Arya Soma.

   "Sudahlah tidak usah di pikirkan terlalu dalam Gusti apa yang pendekar muda itu ucapkan. Hamba rasa itu cuma ucapan yang menolak secara halus permintaan Gusti."

   Kata Bayan Ludira coba menenangkan kegelisahan junjungannya itu.

   "Benar, Gusti. Kami juga berpendapat seperti itu."

   Seru beberapa orang kepercayaan Arya Soma.

   "Tidak. Paman. Aku rasa ada maksud tertentu yang sangat dalam terkandung di ucapan pendekar itu. Aku yakin, Paman."

   Kata Arya Soma tetap yakin pada pendiriannya.

   "Ya, tapi apa maksud dari ucapan pendekar itu Gusti?"

   Tanya Adi Darpa.

   "Ya, itulah Paman yang sedang aku pikirkan. Hehmm ya sudah aku mau ke taman dulu."

   Arya Soma beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju ke sebuah taman. Ketika melewati jalan kecil Arya Soma tak sengaja mendengar pembicaraan dua orang yang tengah duduk di atas batu kecil sambil mengerjakan sesuatu.

   "Pakne. Sudah dengar belum teka-teki yang lagi di pikirin Gusti Arya Soma sama para punggawa. Kira-kira apa ya artinya teka-teki itu?"

   Kata wanita setengah baya yang bekerja sebagai pembantu di dapur.

   "La iyo mbuh. Gusti Arya Soma saja tidak tahu apa yang di maksud dengan teka-teki itu, apa lagi kita yang cuma orang rendahan."

   Kata orang tua yang ternyata suami wanita tadi.

   "Bener juga ya, Pakne."

   Sahut wanita itu.

   "La iya."

   "Ekh, tapi ibu jadi ingat nasehat bapak dulu waktu di desa."

   "Nasehat apa to, bu?"

   "Itu loh pak, waktu di sawah. Beras yang baik dan enak itu bila kita menanam benihnya pada saat yang tepat. Di lakukan secara tekun dan giat. Di kerjakan dengan niat yang kuat. Di jaga dengan penuh kesabaran. Nah, saat panen dengan lakukan dengan gotong royong. Ingat tidak, pak?"

   "Oh ya, Bu. Itu artinya jika kita ingin mengerjakan sesuatu lakukan dengan kekuatan sendiri. Jangan berharap minta bantuan orang lain sebab nanti yang memetik hasilnya juga kita sendiri. Tapi semua itu juga harus di lakukan pada waktu yang tepat."

   "Benar, Pak. Mungkin maksud teka-teki itu adalah kita harus berusaha dengan kekuatan sendiri sampai kita tidak mampu lagi karena bagaimanapun juga apa yang kita perjuangkan adalah tanah kita sendiri."

   "Benar, Bu. Tunggu saat yang tepat untuk melakukan perjuangan itu. Mungkin itu maksud teka-teki itu."

   "Mungkin juga, Pakne."

   Arya Soma yang mendengar pembicaraan suami istri itu jadi tersentak sadar.

   Sekujur tubuhnya bagai di aliri listrik.

   Arya Soma jadi sadar akan kesalahannya.

   Dia jadi merasa malu karena belum melakukan apa-apa sudah minta bantuan orang lain.

   Padahal dia adalah calon raja.

   Calon pemimpin tinggi.

   Akhirnya dengan tekad yang kuat Arya Soma akan berjuang sampai mati tanpa minta bantuan orang lain dulu.

   Arya Soma segera beranjak pergi menuju Balai Pertemuan guna menyampaikan apa maksud ucapan Surya kemarin.

   --o0o--Rombongan besar yang di pimpin oleh Arya Soma bergerak perlahan menuju Kadipaten Jatiluhur.

   Hari ini Arya Soma beserta pengikutnya bertekad akan berjuang melawan Wijaya Soma untuk merebut kembali Kadipaten Jatiluhur ke tangan Arya Soma sebagai pewaris sah atas Kadipaten Jatiluhur.

   Terlihat wajah-wajah yang penuh semangat dan tak kenal menyerah di orang-orang Arya Soma.

   Pada siang hari rombongan besar itu sampai di depan gerbang kadipaten.

   "Seraaang ... !!"

   Terdengar teriakan keras dari Panglima Perang Rakandi memerintahkan para prajurit menggempur kadipaten.

   Sementara itu di dalam Kadipaten Jatiluhur tampak para prajurit bersiaga menyambut serangan prajurit kudeta.

   Maka pertempuran tak dapat di elakan lagi.

   Di iringi teriakan-teriakan pembangkit semangat, maka pertempuran itu begitu sengit sekali.

   Rupanya para prajurit kadipaten di bantu oleh orang-orang persilatan sehingga timbulnya korban banyak sekali di pihak Arya Soma.

   Tapi mereka sudah bertekat kuat berjuang sampai tetes darah terakhir.

   Duaarrrrr ...

   !!! Dentuman keras balok kayu besar menghantam gerbang Kadipaten Jatiluhur.

   Ratusan anak panah beterbangan menghujami prajurit silih bergantian.

   Jatuhnya korban tak bisa lagi di elakan.

   Prajurit-prajurit Arya Soma terus saja berperang tanpa rasa lelah dan takut.

   Sungguh sosok prajurit yang tak kenal takut demi membela tanah pertiwi mereka.

   "Munduuuur ... !"

   Teriak Panglima Rakandi keras begitu melihat banyak korban yang berjatuhan di pihaknya.

   Jelas ini sangat merugikan pihak Arya Soma.

   Seluruh prajurit Arya Soma segera mundur menjauhi benteng kadipaten.

   Hujan anak panah pun berhenti ketika para prajurit jauh dari jarak tembak.

   Arya Soma mendekati Bayan Ludira yang bersama Panglima Rakandi.

   "Paman! Panglima Rakandi! Sepertinya kita tidak bisa masuk ke benteng kadipaten. Benteng itu begitu ketat di jaga para prajurit Wijaya."

   Ucap Arya Soma sambil melihat benteng kadipaten yang berdiri kokoh. Bayan Ludira dan Panglima Rakandi segera membungkuk hormat.

   "Benar, Gusti. Mereka sungguh di luar perkiraan kita. Sangat kuat sekali."

   Ucap Bayan Ludira pelan. Sejenak terlihat raut muka putus asa Bayan Ludira yang terkenal pantang menyerah itu.

   "Benar, Gusti. Musuh terlalu kuat dan banyak prajurit kita yang jadi korban."

   Imbuh Panglima Rakandi. Arya Soma terdiam mendengar hal itu. Agaknya Arya Soma mulai bimbang dan putus asa melihat kenyataan yang terjadi. Lawan begitu kuat untuk di lawan.

   "Lalu apa rencana kita Paman?"

   Ucap Arya Soma melemah. Jelas sekali hatinya di landa kebimbangan.

   "Hehhmm ...

   "

   Bayan Ludira menghela nafas panjang.

   "Terus terang, Gusti. Hamba tidak yakin kita bisa menang melawan mereka."

   Ucap Bayan Ludira pelan.

   "Untuk masuk ke dalam benteng saja begitu sulit. Mereka juga di bantu orang-orang persilatan sedang prajurit yang terlatih di pihak kita cuma separuhnya saja. Yang lain adalah para sukarelawan yang setia pada Gusti Arya Soma. Di lihat dari mana pun kita akan sulit mengalahkan mereka."

   Ucap Panglima Rakandi pelan.

   "Hehhmm ... Apa sampai di sini perjuangan kita yang susah payah kita persiapkan. Ayahanda, ampuni putramu yang tidak bisa menjaga amanatmu."

   Desah Arya Soma. Bayan Ludira dan Panglima Rakandi terdiam membisu mendengar desahan Arya Soma. Memang situasi tidak menguntungkan bagi mereka. Lawan begitu kuat sekali dan hampir tidak mungkin untuk bisa di kalah kan.

   "Kita belum kalah, Kanda."

   Seru keras Wulan Arum tiba-tiba datang.

   "Dinda! Apa maksud Dinda Wulan?"

   Seru Arya Soma melihat Wulan Arum.

   "Kanda! Aku tidak mau menyerah di sini, sekuat apapun musuh aku tidak akan mundur. Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Lebih baik mati dalam medan laga dari pada harus menyerah pada iblis itu!"

   Seru Wulan Arum tegas berapi-api. Ucapan Wulan Arum membuat seluruh prajurit jadi tambah bersemangat kembali. Memang benar apa yang di katakan oleh Wulan Arum itu.

   "Kamu benar, Dinda. Tapi semua harus di susun dengan cermat agar tidak sia-sia perjuangan kita."

   Ucap Arya Soma menepuk bahu Wulan Arum menenangkan.

   "Benar itu Gusti Ayu. Kita harus buat strategi yang matang dan cermat agar tidak sia-sia perjuangan kita selama ini."

   Ucap Panglima Rakandi menyambung.

   "Ya, sudah. Kalau begitu segera buat strategi, Panglima. Tanganku sudah gatal ingin menghabisi para penghianat itu. Huh!"

   Seru Wulan Arum menahan geram. Arya Soma hanya geleng-geleng kepala tersenyum melihat adiknya itu berapi-api.

   "Krraaagkh ... !"

   Tiba-tiba terdengar keras suara yang menggelegar bagai halilintar mengagetkan mereka.

   Tampak di langit seekor burung rajawali berbulu putih hitam melayang turun dengan cepat sekali ke arah benteng kadipaten.

   Tiba-tiba kilatan cahaya kuning keemasan bergerak cepat sekali menghantam dalam benteng menimbulkan ledakan-ledakan yang dibarengi jeritan kematian dari dalam benteng kadipaten.

   "Krraaaaagkh!"

   Burung rajawali itu melayang tinggi lagi.

   Begitu cepat kejadian itu hingga semua di buat terpana dengan kemunculan rajawali raksasa itu.

   Semua mata melihat ke arah rajawali itu yang terbang berputar-putar di angkasa.

   Kemudian rajawali itu melesat turun ke arah para prajurit Arya Soma.

   Kontan ini membuat para prajurit terkesiap kaget, begitu juga Arya Soma dengan beberapa orang di dekatnya.

   Belum sempat mereka mengedipkan mata, tiba-tiba rajawali raksasa itu sudah berdiri tegak di hadapan mereka.

   Dari punggung rajawali ada orang melompat turun.

   Seorang pemuda bertopeng perak dengan pakaian seba putih agak ketat dan terselip pedang bergagang matahari di punggungnya.

   "Pendekar Pedang Matahari!!!"

   Seru semua orang tercekat.

   "Maaf aku terlambat."

   Kata Surya tenang sekali.

   "Pendekar Pedang Matahari. Syukurlah akhirnya kamu datang."

   Seru Arya Soma begitu senangnya melihat Surya datang.

   "Kakang."

   Seru Wulan Arum tersenyum gembira melihat Surya. Surya mengangguk pelan tersenyum tipis.

   "Sebaiknya siapkan prajuritmu, kita akan menyerbu benteng itu."

   Ucap Surya cepat.

   "Baik! Panglima, siapkan semua prajurit kita untuk bersiap menyerang benteng."

   Seru Arya Soma begitu semangat.

   "Baik, Gusti."

   Sahut Panglima Rakandi.

   Seluruh prajurit dengan cepat di siapkan oleh para panglima.

   Mereka bagai mendapat tenaga baru begitu melihat kedatangan Pendekar Pedang Matahari.

   Arya Soma beserta panglima perang berdiri di samping Surya yang tengah melihat ke benteng kadipaten.

   "Kita serbu langsung benteng itu."

   Ucap Arya Soma tegas.

   "Jangan."

   Cegah Surya cepat.

   "Jangan?! Kenapa?"

   Tanya Arya Soma bingung.

   "Menyerang tanpa perhitungan itu sama saja bunuh diri. Perlu setrategi untuk memulai perang."

   "Lalu apa setrategimu, pendekar?"

   Surya menatap orang-orang di sekitarnya sebentar. Surya juga melihat para prajurit yang di miliki Arya Soma. Setelah terdiam sejenak akhirnya Surya memberi gambaran sebuah setrategi yang cocok untuk melawan para prajurit kadipaten.

   "Paham?!"

   Seru Surya tegas.

   "Paham!!!"

   Seru semuanya mantap. Akhirnya seluruh prajurit di buat beberapa kelompok dengan di pimpin panglima yang berbeda. Dengan raut wajah yang penuh semangat dan tatapan mata yang tajam seolah ingin segera melawan musuh di depan mata.

   "Rajawali. Kacau pasukan panah di atas benteng itu."

   Teriak Surya.

   "Grrrrrgkhk,"

   Suara rajawali sambil mengangguk anggukan kepala mengerti yang di ucapkan Surya.

   Seketika rajawali raksasa itu terbang tinggi ke angkasa di iringi suaranya yang keras bagai halilintar.

   Semua orang dengan tegang menanti saat-saat di mulainya pertumpahan darah bersejarah bagi Kadipaten Jatiluhur.

   "Kraaggkh ... !"

   Di iringi suaranya yang keras itu, rajawali yang tadi melayang tinggi di angkasa tiba-tiba menukik dengan kecepatan tinggi ke arah atas benteng dimana terdapat prajurit panah kadipaten.

   Seketika suasana jadi kacau karena rajawali raksasa itu menghajar para prajurit panah dengan sayapnya yang kokoh.

   Cakarnya pun juga ikut menghajar para prajurit panah itu.

   Dan ketika rajawali melayang tinggi lagi, maka saat itu pula pasukan panah Arya Soma bergerak cepat menghujani benteng dengan ratusan anak panah.

   Jerit kematian begitu bersahutan.

   Blarrr!!! Gerbang kadipaten hancur porak poranda di hantam pukulan jarak jauh Surya yang bertenaga dalam tinggi.

   Itulah Pukulan 'Maut Paruh Rajawali'.

   Lalu pasukan panah Arya Soma berhenti dan giliran pasukan tempur maju dengan cepat menyerbu.

   Peperangan yang seru terjadi begitu cepat.

   Korban memang tidak bisa di hindari karena itu memang sebagian dari peperangan.

   Akibat Pukulan 'Maut Paruh Rajawali' yang di lepaskan Surya maka gerbang kadipaten yang besar dan kokoh itu jadi jebol berantakan.

   Sungguh luar biasa sekali Pukulan 'Maut Paruh Rajawali' itu.

   Bila terkena manusia bisa dipastikan orang itu akan hancur berkeping-keping.

   Begitu gerbang itu jebol, maka Surya di ikuti yang lain segera menyerbu para prajurit Kadipaten Jatiluhur.

   Gegap gempita di iringi teriakan-teriakan penambah semangat dan juga suara dentuman benda-benda tajam mewarnai pertempuran itu.

   Surya menerjang dengan ajian 'Sindo Tense' atau Lingkaran Pelindung yang membuat lawan terpental jika coba mendekatinya.

   Puluhan prajurit terpental jauh saat menyerang Surya.

   Kini Surya di hadang oleh tokoh persilatan golongan hitam Nyai Dasima atau yang bergelar Iblis Tangan Neraka.

   "Aku lawanmu, anak muda!"

   Teriak Nyai Dasima keras. Surya mendengus pendek dan menatap tajam ke wanita setengah baya di depannya itu.

   "Ouw, rupanya kau Nyai Dasima yang bergelar Iblis Tangan Neraka. Dalang dari makarnya Adipati Wijaya."

   Ucap Surya tandas.

   "Hahahaha."

   Nyai Dasima tertawa keras mendengar anak muda di hadapannya itu mengenal gelarnya.

   "Ya. Akulah Iblis Tangan Neraka. Jika kamu sudah tahu gelarku lekas enyah dari hadapanku. Atau kau mau petot kepalamu. Hik hik hik."

   Seru Nyai Dasima meremehkan pemuda di hadapannya yang kelihatannya lemah di matanya itu.

   Justru penilaian inilah yang membuat Nyai Dasima celaka karena Nyai Dasima tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa.

   Padahal yang tengah berdiri depannya adalah Pendekar Pedang Matahari.

   Orang yang telah menggegerkan dunia persilatan belum lama ini yang telah menewaskan dedengkot paling di takuti di dunia persilatan yaitu Datuk Pulau Ular atau Datuk Sesat.

   Surya yang di remehkan itu cuma tersenyum tipis saja.

   "Hehh ... Coba saja kalau kau mampu."

   Tantang Surya. Ini di maksudkan untuk membuat lawannya terpancing amarahnya.

   "Bangsat1 Sombong sekali kau bocah. Rasakan tanganku ini."

   Teriak Nyai Dasima marah.

   Dengan gerakan cepat yang mengandalkan gerakan tangan bagai kilat Nyai Dasima menyerang Surya dengan jurus 'Tangan Neraka Mencengkram Raga'.

   Jurus ini sangat berbahaya sekali karena kalau sampai terkena akan mengelupas kulitnya bagai di panggang api.

   Surya dengan cepat menggunakan jurus '9 Langkah Ajaib' yang efektif sekali untuk bertahan dan mengukur kekuatan lawan.

   Jurus '9 Langkah Ajaib' itu akan terus meningkat jika lawan meningkatkan serangannya.

   Gerakannya biasa saja tapi mampu membuat musuh jadi marah dan penasaran.

   Terbukti serangan Nyai Dasima selalu mendarat di tempat kosong seolah-olah tubuh Surya hanya angin belaka.

   Sementara itu Arya Soma tengah bertarung menghadapi Wijaya Soma.

   Pertarungan agaknya cukup seimbang tapi lama kelamaan Arya Soma mulai terdesak ketika Wijaya Soma mencabut Keris Naga Kopek dari warangkanya.

   Sinar kuning keemasan berkilatan cepat keluar dari badan keris yang pamornya luar biasa kuat itu.

   Arya Soma mencabut keris yang benama Ki Ageng Bekisar.

   Pamor keris Ki Ageng Bekisar tak seterang Keris Naga Kopek namun cukup untuk mempertahankan diri dari gempuran hebat Keris Naga Kopek.

   Meski harus jatuh bangun Arya Soma tak pantang menyerah menghadapi Wijaya Soma.

   Sementara itu pertarungan Surya melawan Nyai Dasima sudah berlangsung sengit sampai di luar benteng kadipaten.

   Jurus-jurus yang mereka keluarkanpun sudah mencapai tingkat tinggi.

   Nyai Dasima kini sudah mulai mengeluarkan pukulan-pukulan jarak jauhnya yaitu Pukulan 'Kipas Neraka'.

   Surya pun mulai menggunakan rangkaian jurus dari 'Naga Langit' yang beraliran dingin untuk meredam Pukulan 'Kipas Neraka' yang beraliran panas.

   Tempat pertarungan mereka pun berantakan bagai habis di amuk gajah liar.

   Nyai Dasima mulai gentar menghadapi Surya karena setiap jurus bahkan pukulan sakti yang di banggakannya dapat dengan mudah di elakan Surya, malah serangan balasan Surya harus membuat dirinya jatuh bangun menyelamatkan diri.

   Dengan sikap mata tajam ke arah Surya, Nyai Dasima coba untuk mengulur waktu agar dia dapat menemukan celah untuk kabur.

   "Siapa kau sebenarnya anak muda? Aku belum pernah melihat jurus-jurusmu."

   Tanya Nyai Dasima sambil matanya beredar mencari celah. Surya tersenyum tipis mendengar Nyai Dasima yang coba mengulur waktu guna mencari celah untuk kabur.

   "Hehh. Apa yang kau rencanakan Nyai Dasima? Aku tidak akan membiarkanmu kabur. Dosamu selangit tembus sedalam lautan. Riwayatmu akan aku akhiri."

   Kata Surya tenang.

   "Sombong kau, bocah. Aku tidak takut mati. Bunuh aku kalau kau sanggup."

   Seru Nyai Dasima berang.

   "Begitu? Hehh, lihat ini Nyai Dasima."

   Seru Surya. Dengan cepat Surya mengeluarkan jurus 'Seribu Bayangan'-nya. Mendadak muncul Surya yang banyak sekali memenuhi tempat itu. Kontan saja Nyai Dasima kaget bukan main melihat kenyataan dirinya terkurung oleh duplikat Surya.

   "Apa kau sekarang bisa mencari celah untuk kabur. Hahahaha. Ketahuilah aku yang bergelar Pendekar Pedang Matahari."

   Seru Surya tegas.

   "Apa?!"

   Begitu mendengar gelar Surya kontan membuat Nyai Dasima leleh nyalinya. Dia tidak akan mungkin bisa menang melawan pemuda yang memiliki kesaktian tanpa batas itu.

   "Hahahaha. Pendekar Pedang Matahari. Suatu kehormatan bagi ku bisa bertarung denganmu. Matipun aku takkan menyesal. Hiaaaatt!"

   Nyai Dasima nekat menerjang Surya dengan Pukulan 'Kipas Neraka' di iringi tenaga dalam penuh. Nyai Dasima benar-benar mengadu nyawa dengan Surya.

   "Ajian 'Matahari Menembus Awan'!"

   Seru Surya. Sesaat tempat pertarungan itu jadi terang benderang bagai matahari di siang hari. Blaaarrrr! Ledakan dahsyat menggelegar keras ketika dua pukulan sakti beradu.

   "Aaakh."

   Jerit Nyai Dasima keras sekali kemudian lenyap bersamaan tubuh Nyai Dasima hancur menjadi debu. Surya menarik jurus 'Seribu Bayangan'nya. Duplikat Surya hilang semua. Kemudian Surya belari cepat ke arah benteng kadipaten. --o0o--"Hiaaaaatt."

   "Hiaaaatt."

   Serangan berbahaya mengancam Arya Soma.

   Keris Naga Kopek di tangan Wijaya Soma begitu mengerikan.

   Bagai malaikat maut Wijaya Soma terus menggempur Arya Soma yang sudah kehilangan keris Ki Ageng Bekisar karena tak kuasa menahan keganasan Keris Naga Kopek yang begitu dahsyat.

   Tendangan cepat mengarah ke perut Arya Soma namun dengan sisa tenaga yang ada Arya Soma berhasil berkelit ke kanan, tapi tendangan Wijaya Soma hanya pancingan saja, begitu tendangannya lewat maka dengan cepat Keris Naga Kopek berkelebat mengancam leher Arya Soma.

   "Haitts."

   Arya Soma menjatuhkan badannya ke belakang. Keris Naga Kopek lewat di atas Arya Soma. Serangan Wijaya tidak sampai di situ saja, tendangan kaki kanan Wijaya Soma tak bisa di hindari lagi maka perut Arya Soma terkena tendangan itu.

   "Hoeeekks."

   Darah segar keluar dari mulut Arya Soma.

   Tapi belum sempat Arya Soma sadar sebuah kilatan cahaya kuning keemasan menghujam dadanya.

   Di saat yang genting itu tiba-tiba sebuah pedang memapaki Keris Naga Kopek.

   Traaaang!!! Dentuman dua senjata keras beradu.

   Tapi pedang yang memapaki tadi patah dan si pemegang pedang terpental dua tombak, jelas pedang biasa tak akan mampu menandingi Keris Naga Kopek.

   "Hoeeekkh."

   Orang yang memapaki serangan Wijaya Soma ternyata adalah Wulan Arum.

   Wulan Arum muntah darah terluka dalam akibat benturan tenaga dalam dengan Keris Naga Kopek.

   Sementara itu Wijaya Soma jadi kehilangan kuda-kudanya sehingga terjengkang ke belakang.

   Ini cukup membuat Arya Soma yang hampir tertusuk Keris Naga Kopek jadi terselamatkan.

   "Bangsat."

   Maki Wijaya Soma begitu berdiri.

   "Wulan!"

   Seru Surya yang sudah tiba di samping Wulan Arum.

   "Kakang!"

   Suara Wulan parau.

   "Tenanglah. Kamu tidak apa-apa."

   Ucap Surya sambil mengangkat Wulan Arum dan membawanya ke tempat yang aman.

   "Kamu di sini dulu. Akan aku hadapi orang itu."

   "Kakang. Hati-hati."

   Ucap Wulan Arum pelan. Surya mengangguk pelan. Surya kemudian berdiri dan menghampiri Wijaya Soma. Tatapannya begitu tajam seolah ingin menelanjangi Wijaya Soma.

   "Heh, majulah. Akan kurobek lehermu dengan Keris Naga Kopekku!"

   Seru Wijaya Soma keras. Tatapan matanya pun tak kalah tajam ke arah Surya. Surya tersenyum sinis saja mendengar gertakan Wijaya Soma.

   "Surya. Hati-hati dengan keris di tangannya itu. Itulah Keris Naga Kopek."

   Ucap Arya Soma begitu di dekat Surya. Arya Soma meringis menahan sakit di perutnya akibat terkena tendangan Wijaya Soma. Surya melirik Arya Soma dan mengangguk cepat.

   "Minggirlah, biar aku yang menghadapinya."

   Ucap Surya pelan. Arya Soma mengangguk kemudian menyingkir jauh dari tempat tempat.

   "Keris itu bukan milikmu, Adipati. Kamu bukan pewaris sah keris pusaka itu."

   Seru Surya lantang.

   "Hahahaha. Keris ini ada di tanganku jadi akulah pemiliknya."

   Seru Wijaya Soma tegas.

   "Hehh, kalau begitu akan aku rebut keris itu dari tanganmu."

   "Hahahaha. Majulah jika kau mampu."

   Tantang Wijaya Soma dengan sikap yang pongah percaya diri.

   Dia yakin selama Keris Naga Kopek di tangannya tak akan ada yang mampu mengalahkan dirinya.

   Surya tersenyum sinis melihat kesombongan Adipati Wijaya Soma.

   Dengan tenang Surya mencabut Pedang Mataharinya yang jarang sekali dia gunakan.

   Sriiiiing ...

   ! Pedang Matahari keluar dari warangkanya.

   Sinar kuning keemasan yang sangat terang terpancar dari badan pedang.

   Pamornya sungguh luar biasa dahsyat mampu meredam pamor Keris Naga Kopek.

   Di sekitar tempat pertempuran kontan jadi terang benderang serta hawa panas yang keluar dari Pedang Matahari membuat Kadipaten Jatiluhur jadi terasa panas juga.

   Semua orang yang melihat pamor Pedang Matahari itu jadi tertegun seolah aliran darah mereka bagai terbalik.

   Mau tidak mau semua orang menjauh karena tak kuasa menahan kedahsyatan pamor Pedang Matahari.

   Melihat saja sudah membuat nyali jadi leleh bagai di landa ketakutan yang mencekam.

   Wijaya Soma pun jadi bergetar juga nyalinya melihat kedahsyatan pamor Pedang Matahari di tangan Surya.

   Tapi begitu melihat Keris Naga Kopek dI tangannya keberaniannya jadi timbul kembali.

   "Hiaaaaatt."

   Dengan di iringi teriakan keras Wijaya Soma nekat menyerang Surya.

   Keris Naga Kopek di tangan kanan ia sabetkan ke arah leher Surya.

   Suara angin mencicit dan juga lengkingan tinggi suara naga murka keluar dari Keris Naga Kopek.

   Surya menyilangkan Pedang Mataharinya di depan dada lalu dengan gerakan kilat ia memapaki serangan Keris Naga Kopek di tangan Wijaya Soma.

   Blaaarrr ...

   ! Dua senjata pusaka dengan kekuatan tenaga dalam dahsyat beradu di udara.

   Ledakan besar menggelegar membuat Kadipaten Jatiluhur seolah-olah terkena badai topan mengerikan.

   Semua orang jadi jumpalitan jatuh ke tanah tak kuasa menahan getaran hebat akibat beradunya dua pusaka sakti.

   Sungguh mengerikan sekali kekuatan dua pusaka sakti tersebut! Keris Naga Kopek terpental lepas dari tangan Wijaya Soma karena tidak kuat menahan kekuatan Pedang Matahari.

   Sedang Wijaya Soma sendiri juga terpental keras ke belakang menabrak tembok benteng kadipaten.

   Padahal jarak tembok dengan tempat pertarungan kurang lebih 20 tombak.

   Ini dapat di bayangkan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga dalam dari Pedang Matahari yang mampu membuat pusaka Keris Naga Kopek terpental serta telah merobohkan Adipati Wijaya Soma sampai tidak berkutik.

   Surya masih tegak berdiri tidak mengalami luka sedikit pun langsung memasukkan Pedang Mataharinya ke warangka di punggungnya.

   Surya agak tersentak kaget melihat kenyataan di depannya, dugaannya ternyata agak meleset.

   Pedang Mataharinya ternyata terlalu kuat bagi Keris Naga Kopek.

   Sedangkan Wijaya Soma sendiri tewas seketika karena tidak mampu menahan kedahsyatan Pedang Matahari.

   Ini membuat Surya jadi agak menyesal kenapa tadi dia harus menggunakan Pedang Mataharinya.

   Para prajurit dan pengikut Wijaya Soma langsung menyerah begitu melihat pimpinannya tewas.

   Di pihak lain para pengikut Arya Soma bersorak gembira karena berhasil menaklukan orang-orang Wijaya Soma serta dapat menggulingkan pemerintahan semena-mena di bawah kekuasaan Wijaya Soma.

   --o0o--"Surya.

   Terima kasih banyak.

   Karena bantuanmu kami dapat menaklukan para pemberontak itu.

   Kami atas nama Kadipaten Jatiluhur mengucapkan banyak terima kasih."

   Ucap Arya Soma dengan penuh ketulusan pada Surya. Surya memegang pundak Arya Soma.

   "Arya Soma. Jadilah raja yang arif dan bijaksana, penuh tanggung jawab, jujur dan adil. Aku yakin kamu dapat melakukannya. Perhatikanlah kesejahteraan rakyatmu."

   Ucap Surya kalem. Kemudian Surya mengambil sesuatu dari dalam bajunya.

   "Ini aku titipkan seseuatu padamu. Jagalah jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Sampai jumpa lagi."

   Kata Surya sambil menepuk pundak Arya Soma pelan lalu Surya beranjak menghampiri rajawali raksasa tunggangannya. Dengan cepat Surya naik ke atas punggung rajawali itu.

   "Surya tunggu!"

   Seru Arya Soma cepat tapi terlambat rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa.

   "Kakaaang!"

   Teriak Wulan Arum keras mengejar Surya tapi Surya sudah jauh di angkasa bersama rajawalinya.

   "Kakang! Kenapa kau pergi."

   Ratap Wulan Arum melihat ke atas sambil meneteskan air mata.

   "Sampai jumpa lagi, Wulan!"

   Terdengar suara Surya menggema. Semua orang melihat ke angkasa sampai rajawali raksasa itu melesat cepat hilang di balik awan. Arya Soma melihat kotak hitam di tangannya pemberian Surya tadi, perlahan Arya Soma membuka tutup kotak hitam tersebut.

   "Ekh?! Batu Mustika Merah?!"

   Seru Arya Soma kaget. --TAMAT--SEGERA HADIR KISAH PENDEKAR PEDANG MATAHARI DALAM EPISODE "IBLIS BUKIT SETAN"

   

   

   

Pendekar Mabuk Perawan Sesat Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Sepasang Cermin Naga Karya Batara

Cari Blog Ini