Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Di Bukit Jagal 2


Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Bagian 2



Pendekar Mabuk tertegun sejenak, ia berdiri dari jongkoknya.

   Terbayang wajah bermata cekung bertubuh kurus kering milik Peramal Pikun.

   Suto hampir saja melupakan seraut wajah pikun.

   Dialah orang yang menjadi kunci tentang rahasia nama Dyah Sariningrum.

   Tapi apa perlunya Peramal Pikun memberitahukan kepada Dewa Racun? "Apa maksudmu menemuiku, Dewa Racun?"

   Tanya Suto.

   "Bukankah kau tidak mengenal siapa Dyah Sariningrum kekasihku itu, dan tidak tahu di mana dia berada?"

   "Ya. Tap... tap.... Tapi aku disuruh Peramal Pikun untuk mencarimu. Dia... dia dalam keadaan sakit parah kar... karena... sebutkan nama Dyah Sariningrum di depanku."

   Pendekar Mabuk kerutkan dahinya tajam-tajam, ia dekatkan kembali wajahnya kepada Dewa Racun dengan bungkukkan badan.

   "Dia sakit parah karena sebutkan nama Dyah Sariningrum?"

   "Ya. Dia... tak boleh sebutkan nama itu, bah... bahkan mendengar nama itu pun dia tak... tak boleh. Telinganya akan ber... ber...."

   "Berkumis?"

   "Bukan. Akan ber... berdarah jika mendengar nam... nama Dyah Sariningrum. Sewaktu ia lup... lupa sebutkan nama itu di depanku, ia langsung meng... meng...."

   "Menghilang?!"

   "Bukan, ia langsung mengeluarkan darah dari mul... mulutnya. Dia langsung ter... ter... ter... terluka dalam. Dia but... butuh bantuanmu secepatnya, Suto!"

   "Aneh! Mengapa dia jadi terluka dan berdarah begitu? Apa hubungannya antara nama Dyah Sariningrum lengan lukanya itu?"

   "Entahlah! Yang... yang... yang jelas dia minta kau segera da... datang menemuinya!"

   Suto menarik napas panjang, ia ambil bumbung tuak, dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Dewa Racun hanya memperhatikan dengan senyum-senyum tak ada manisnya sama sekali, tapi tidak berkesan bermusuhan.

   "Apa hubunganmu dengan Peramal Pikun?"

   Tanya Pendekar Mabuk mengawali langkahnya mendaki tanggul sungai yang tinggi itu.

   "Hanya sebagai te... te... tetangga, eh... bukan! Hanya sebagai teman biasa. Teman baik. Dul... dulu dia pernah tolong aku dan aku pun pernah selamatkan nyawanya dari bahaya racun. Sejak itu ka... kami mengikat tali persahabatan yang cuk... cuk... cukup baik."

   "Hmmm...!"

   Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. Terbayang lagi dalam benak Suto Sinting wajah seorang perempuan yang pertama kali hadir di alam semadinya itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Pusaka Tuak Setan"). Wajah cantik yang muncul di alam semadinya itu membuat Suto mencucurkan air mata berdarah. Cucuran air mata berdarah itu tidak disadari olehnya, namun dipahami oleh gurunya, si Gila Tuak. Sejak itu, wajah yang mengaku bernama Dyah Sariningrum itu sering hadir di alam mimpi Pendekar Mabuk dan membuat Pendekar Mabuk sering dicekam rindu. Itulah sebabnya Suto tak bisa menerima cinta Betari Ayu, karena ia sudah telanjur jatuh cinta pada seraut wajah milik Dyah Sariningrum. Sayang sekali si Gila Tuak juga tidak menjelaskan, siapa perempuan itu dan di mana letak persinggahannya. Si Gila Tuak hanya mengatakan, bahwa wajah yang hadir di alam semadinya Suto Sinting itu adalah calon jodoh Suto. Itulah sebabnya Pendekar Mabuk memburu seraut wajah cantik bernama Dyah Sariningrum dengan seribu godaan yang datang dari perempuan-perempuan cantik lainnya. Perempuan-perempuan itu terang-terangan jatuh cinta kepada Suto sampai siap korbankan nyawa, tapi Suto tetap tak bisa menerima cinta dari perempuan Sikap Suto Sinting yang menutup diri terhadap cinta perempuan lain itulah yang membuat mereka jadi kecewa. Yang dulunya cinta kepada Suto, sekarang berubah menjadi benci. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mengetahui adanya perubahan sikap mereka. Suto Sinting tidak tahu bahwa jiwanya sedang dalam ancaman tiga perempuan patah hati, yaitu Peri Malam, Selendang Kubur, dan Perawan Sesat. Satu dari tiga perempuan patah hati itu sengaja menghadang langkah Suto. Sebuah pukulan tenaga dalam dilancarkan dari jarak jauh. Pukulan itu hanya sebagai pengganggu langkah saja, tidak bermaksud menghabisi nyawa Pendekar Mabuk saat itu juga. Pukulan tersebut segera dihadang dengan kelebatan tubuh kerdil Dewa Racun yang melompat cepat di depan Suto. Lalu dengan sentakkan tangan kirinya, Dewa Racun menghantam kilatan cahaya hijau yang menuju ke arah Suto. Wuugh...! Duub...! Kedua tenaga dalam itu beradu di udara. Blarr...! Meledaklah benturan tenaga dalam tersebut, membuat Dewa Racun terpental ke belakang membentur Suto, membuat keduanya berjumpalitan di tanah.

   "Apa-apaan kau ini, Dewa Racun!"

   Sentak Pendekar Mabuk sedikit dongkol karena matanya hampir tercolok busur di tangan Dewa Racun.

   "Ada yang... yang... yang ingin menghantammu dari tempat jauh!"

   "Aku tahu. Tapi aku bisa atasi sendiri. Tak perlu kau yang menghalangi pukulan itu."

   "Ak... aku... cuma mau selamatkan kam... kam...."

   "Kambing?!"

   Sentak Suto.

   "Kamu!"

   Dewa Racun ganti membentak.

   Keduanya segera tegak berdiri, karena dari atas pohon meluncur sesosok tubuh berambut acak-acakan.

   Siapa lagi dia kalau bukan Perawan Sesat yang bertampang liar dan beringas itu.

   Dewa Racun segera berkata kepada Pendekar Mabuk.

   "Ad... ada... ada perempuan can... can... can..."

   "Cantengan?!"

   Sergah Suto Sinting menebak.

   "Hmmm... iya,"

   Jawab Dewa Racun.

   "Perempuan cantik yang mungkin berpenyakit cantengan, menghadang langkah kita. Ap... apa maksudnya ak... aku tidak tahu. Sumpah, aku tidak tahu!"

   "Siapa yang menuduhmu tahu maksudnya? Tak perlu pakai sumpah segala!"

   Sentak Suto agak dongkol dengan sikap gagapnya Dewa Racun. Kemudian, Pendekar Mabuk maju setindak dan berkata kepada Perawan Sesat.

   "Apa maksudmu menghadang langkahku, Perawan Sesat?!"

   Dengan mata tajam bersikap bermusuhan, Perawan Sesat menjawab.

   "Aku hanya ingatkan kamu, dua hari lagi purnama tiba!"

   "Apa maksudmu dengan purnama tiba?"

   "Kau punya janji pertarungan dengan Manusia Sontoloyo yang bernama Dirgo Mukti itu! Apakah kau masih ingat dengan pertarungan yang akan terjadi di Bukit Jagal itu?"

   Pendekar Mabuk tertawa berkesan meremehkan.

   "Ya, ya... sekarang aku ingat. Hampir saja aku lupa kalau aku mendapat tantangan dari Dirgo Mukti. Tapi... sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi. Masalahnya tidak penting dipertarungkan!"

   "Buat Dirgo Mukti kau punya urusan dengannya yang amat penting! Menentukan siapa yang berhak menerima cinta Peri Malam, itu adalah masalah yang sangat penting buat Dirgo Mukti!"

   Sekali lagi Suto lontarkan tawa meremehkan.

   "Bilang kepada Dirgo, suruh dia ambil perempuan itu. Aku tak akan mempertahankannya!"

   "Hmm... kau takut menghadapi tantangan itu rupanya."

   "Ya. Aku memang takut. Takut membunuhnya. Kasihan dia kalau harus mati sia-sia di tanganku. Kasihan tanganku kalau harus membunuh orang yang tidak punya masalah penting denganku!"

   "Hadapilah dia kalau kau memang murid sinting si Gila Tuak! Aku hanya mengingatkan saat pertarunganmu itu, Suto!"

   "Aku tidak akan hadir!"

   "Harus hadir! Jangan kecewakan musuhmu, Suto! Jangan jatuhkan martabat gurumu yang kesohor sebagai orang sakti di papan teratas!"

   Bujuk Perawan Sesat.

   "Pertarungan itu tidak penting, Perawan Sesat! Aku tidak mau terlibat urusan yang sangat sepele!"

   "Kalau begitu, lepaskan gelar kependekaranmu biar Dirgo Mukti yang menyandangnya!"

   Suto hanya tersenyum heran sambil geleng-gelengkan kepala, ia ucapkan kata pelan tapi penuh tatap pesona yang membuat hati Perawan Sesat berdebar keras.

   "Mengapa kau harus mendesakku bertarung melawan Dirgo Mukti? Apakah kau punya dendam dengan Dirgo Mukti dan ingin meminjam tanganku untuk membunuhnya? Apakah kau tak mampu membunuh Dirgo Mukti sendiri?"

   "Jangan picik otakmu, Suto Sinting! Ini bukan soal dendam. Ini soal harga diri, antara harga dirimu dengan harga diri Dirgo Mukti!"

   "Tidak. Aku tetap tidak mau hadir dalam pertarungan nanti!"

   "Kau kalah!"

   "Biarlah dianggap kalah! Tapi aku punya kemenangan sendiri di balik kekalahan itu!"

   Kata Pendekar Mabuk dengan tetap tenang.

   "Kau harus menghadapinya, Suto!"

   Bentak Perawan Sesat yang merasa jengkel karena bujukannya tidak berhasil. Akhirnya, Dewa Racun ikut angkat bicara, ia berkata kepada Perawan Sesat sambil bertolak pinggang.

   "Aku yang akan mewakili Suto! Aku yang akan menghadapi Dirgo Mukti itu!"

   "Hmmm...!"

   Perawan Sesat mencibir sinis, ia sengaja tidak kasih tanggapan terhadap kata-kata orang kerdil itu. Ia segera pergi setelah berkata.

   "Jangan kecewakan orang-orang yang mencintai dan mengagumi kehebatanmu, Suto. Kami ingin menyaksikan kehebatan orang yang kami puji-puji itu!"

   Lalu, ia melesat pergi dengan ilmu siluman.

   * * * E-book by.

   paulustjing Email.

   paulustjing@yahoo.com SUNGGUH tak habis pikir Pendekar Mabuk terhadap kemunculan Perawan Sesat.

   Mengapa perempuan itu begitu besar harapannya agar Suto melaksanakan pertarungan dengan Dirgo Mukti di Bukit Jagal? Pasti perempuan itu mempunyai satu alasan dan tujuan lain yang tersembunyi.

   Suto merasa bukan hanya ingin ditonton dan dipuji kehebatan pertarungannya nanti, tapi karena ada sesuatu yang ingin dilakukan oleh Perawan Sesat.

   Ia merasa dirinya akan dijadikan alat oleh Perawan Sesat, yaitu alat pembantai Dirgo Mukti.

   Satu hal lagi yang membuat Pendekar Mabuk heran adalah pembelaan yang dilakukan oleh Dewa Racun, baru saja mereka saling kenal, mengapa Dewa Racun melakukan pembelaan sebesar itu.

   Saat pukulan tenaga dalam Perawan Sesat hendak menyerang Suto, Dewa Racun cepat ambil sikap menahan dan menghancurkan pukulan tersebut.

   Mestinya hal itu tidak perlu ia lakukan.

   Pada saat Suto ngotot tidak mau melayani tantangan Dirgo Mukti, tiba-tiba Dewa Racun menyediakan diri sebagai pengganti Suto dalam pertarungan nanti.

   Mestinya Dewa Racun tak perlu ikut campur, toh dia tidak tahu duduk perkaranya tentang pertarungan dan tantangan Dirgo Mukti Itu.

   Suto sendiri tidak tahu, bahwa sebenarnya Perawan Sesat hanya bertugas mengingatkan saat pertarungan yang sebentar lagi akan tiba itu.

   Tiga perempuan patah hati telah menugaskan Perawan Sesat untuk mengingatkan Suto, sementara Peri Malam dan Selendang Kubur bertugas memberi semangat pada Dirgo Mukti.

   Tetapi, agaknya Perawan Sesat kurang pintar main siasat.

   Bujukannya terlihat jelas melalui desakan yang bersifat memaksa, sehingga Suto tetap berkeputusan untuk tidak melayani tantangan Dirgo Mukti.

   Sementara itu di tempat lain, Peri Malam dan Selendang Kubur tetap memberi bujukan agar Dirgo Mukti bersemangat melawan Suto.

   Sebelumnya, saat mereka bertiga menunggu kemunculan Dirgo Mukti dan Datuk Marah Gadai dari dasar telaga, mereka sudah atur siasat seperti itu.

   Mereka sudah menyangka bahwa Dirgo Mukti pasti bertarung melawan Datuk Marah Gadai, karena keduanya sama-sama menyelam ke dasar telaga mencari Cincin Manik Intan.

   Tetapi tiba-tiba kedua tubuh mereka tersentak keluar dari dalam telaga dan masing-masing terlempar tak tentu arah.

   Air telaga bergolak begitu kuat, hingga sebagian airnya tumpah ke samping dan sekelilingnya, mengguyur tubuh tiga perempuan patah hati itu.

   Ketiga perempuan itu berpegangan pada pohon karena tubuh mereka terhempas badai kencang dari arah wetan.

   Bahkan sebagian pohon di dekat telaga ada yang tumbang ke sana kemari.

   Hal itu terjadi saat Suto Sinting melepaskan napas Tuak Setan-nya tadi.

   Badai itu ternyata sampai pula di sekitar telaga dan menipis ke arah barat.

   "Pasti ada yang menggunakan ilmu kesaktian tinggi!"

   Seru Perawan Sesat kala itu.

   Ia sendiri hampir terbang terpental oleh hembusan angin badai yang cukup kuat itu.

   Seruan tersebut tak mendapat tanggapan dari kedua temannya, karena masing-masing sibuk bertahan agar tak ikut terbuang oleh badai keras tersebut.

   Pada waktu Dirgo Mukti dan Datuk Marah Gadai terlempar dari dasar telaga, sang Datuk Marah Gadai segera terpental bagaikan kapas tertiup angin.

   Mungkin karena tenaganya sudah sangat berkurang selama pertarungan dengan Dirgo Mukti yang berlanjut di dasar telaga, hingga ia tak mampu bertahan diri dari hembusan badai.

   Tubuhnya melayang menerabas semak berduri.

   Suaranya pun hilang dari pendengaran tiga perempuan patah hati itu.

   Dirgo Mukti sendiri sebenarnya juga terhempas ke mana-mana.

   Mungkin akan lebih jauh terpentalnya dibanding Datuk Marah Gadai.

   Tetapi, tangan Peri Malam berhasil memegangi kaki Dirgo Mukti yang hampir terbawa terbang hembusan badai dahsyat itu.

   Sambil berpegangan pada pohon, Peri Malam mempertahankan tubuh Dirgo Mukti yang merayap-rayap bagaikan buaya tanpa kaki.

   "Bantu aku menahan tubuhnya!"

   Teriak Peri Malam saat itu, dan Selendang Kubur pun menahan pundak Dirgo Mukti dengan kedua kakinya.

   Pundak itu tak bisa maju karena mendapat tahanan dua kaki dari depan, sedangkan kedua tangan dan pundak Selendang Kubur menahan diri ke salah satu batang pohon.

   Ia pun bertahan sekuat tenaga agar tidak ikut terlempar oleh hembusan angin badai yang menggila itu.

   Saat-saat berikutnya, badai itu reda.

   Suasana di sekitar telaga persis bumi yang habis mengalami kiamat, itulah kekuatan dahsyat dari napas Tuak Setan.

   Padahal dari tempat Pendekar Mabuk hembuskan napas itu sampai ke Telaga Manik Intan jaraknya cukup jauh.

   Memakan waktu setengah hari untuk berjalan menuju kesana.

   Tapi toh badai napas Tuak Setan sempat bikin gaduh di sekitar telaga itu.

   Mereka tidak tahu, pada saat badai mengamuk di sekitar telaga, keadaan di tempat Suto sudah kembali tenang.

   Jadi bentuk badai itu bergulung-gulung yang makin lama semakin tipis gulungannya dan semakin pudar hembusannya.

   Kalau saja mereka tahu, badai sedahsyat itu datang dari mulut Suto, sudah pasti mereka urungkan niat untuk mengadukan kesaktian Dirgo Mukti dengan Suto.

   Dan karena mereka tidak tahu hal itu, maka mereka pun akhirnya tetap membujuk Dirgo Mukti untuk melaksanakan janji pertarungannya dengan Suto Sinting.

   Waktu itu, suasana sudah reda dan tenaga mereka sudah pulih seperti sediakala.

   Dirgo Mukti berkata kepada Peri Malam.

   "Tenagaku terkuras habis melawan Datuk Marah Gadai itu! Rasa-rasanya aku harus menunda pertarungan sampai purnama mendatang!"

   "Itu sama saja kau mengakui kekalahanmu, Dirgo! Dan berarti Suto-lah yang berhak memiliki cintaku,"

   Kata Peri Malam mempengaruhi pikiran Dirgo Mukti.

   "O, tidak! Kau tidak akan kuserahkan kepada Suto Sinting! Kau harus kumiliki, Peri Malam!"

   "Jika kau ingin memiliki aku, kau harus tunjukkan kesaktianmu di depanku dengan mengalahkan Pendekar Mabuk di pertarungan nanti!"

   Dirgo Mukti tarik napas panjang-panjang. Matanya menerawang dalam satu renungan pertimbangan. Pada saat itu, Selendang Kubur segera angkat bicara dari samping kanan Dirgo Mukti.

   "Aku pun bertaruh untuk dirimu, Dirgo. Kau pasti menang melawan Suto, dan aku siapkan hadiah untukmu yang sangat istimewa!"

   Cepat-cepat Dirgo Mukti palingkan wajah, memandang Selendang Kubur dengan senyum berseri.

   "Hadiah istimewa apa yang akan kau berikan padaku jika aku menang melawan Suto Sinting?"

   Mata Selendang Kubur melirik nakal sambil ia berkata.

   "Apa yang kau harapkan dariku selama ini akan kuberikan padamu!"

   "Betulkah?!"

   Dirgo Mukti kian berbinar-binar matanya.

   "Ya. Aku hanya ingin menyerahkan tubuhku pada laki-laki yang benar-benar jantan dan perkasa sebagai seorang pendekar!"

   Perawan Sesat segera lontarkan kata sambil berdiri di depan Dirgo Mukti, memamerkan belahan dadanya, merenggangkan kedua kakinya dengan senyum menggoda.

   "Rasa-rasanya aku juga perlu kasih hadiah kepada siapa yang unggul dalam pertarungan nanti!"

   "Kau...?! Kau juga akan kasih hadiah yang sama seperti Selendang Kubur?"

   "Kurasa kau pernah merasakannya, Dirgo! Tapi yang tempo hari kau rasakan itu belum istimewa. Kau akan memperoleh yang paling istimewa jika bisa kalahkan Suto Sinting!"

   "Oh, menyenangkan sekali...?!"

   Si Manusia Sontoloyo berseri-seri dan lebih bersemangat lagi. Peri Malam berkata kepada Perawan Sesat.

   "Cari Suto, ingatkan padanya tentang pertarungan di Bukit Jagal, supaya dia tidak lupa, dan supaya Dirgo Mukti tidak kecewa atas ketidakhadirannya nanti!"

   "Aku akan cari dia dan akan kuingatkan demi pendekar pujaan kita itu, Peri Malam!"

   Kata Perawan Sesat, lalu ia cubitkan tangannya di pipi Manusia Sontoloyo. Setelah itu, segera tinggalkan tempat untuk mencari Pendekar Mabuk. Pada saat itu, Dirgo Mukti sempat ucapkan kesangsiannya.

   "Tapi aku belum menguasai jurus 'Cakar Naga'? Mana bisa aku mengalahkan dia?"

   "Kau pasti punya jurus simpanan lainnya!"

   Sahut Selendang Kubur.

   "Gunakan jurus-jurus intimu. Keluarkan ilmu-ilmu simpananmu. Jangan tanggung-tanggung kalau melawan Pendekar Mabuk. Dia juga tak pernah tanggung-tanggung gunakan ilmunya!"

   Peri Malam menimpali.

   "Bila perlu, gunakan pusaka kapakmu itu! Aku yakin Pendekar Mabuk tak akan mampu menandingi kesaktian kapakmu itu!"

   Dirgo Mukti semakin sombong hatinya.

   Kepalanya bagaikan bengkak mendapat sanjungan seperti itu.

   Lalu, ia cabut senjata kapaknya dan ia amat-amati beberapa saat.

   Kapak bermata dua itu mempunyai ujung mata tombak yang bisa melesat memburu sasaran dan tumbuh lagi mata tombak lainnya dari dalam gagang.

   Kapak itu mempunyai gagang yang bisa ditarik dan menjadi rantai sehingga bisa dipakai menebas leher dari jarak dua tindak atau tiga langkah di depannya.

   "Seharusnya Datuk Marah Gadai sudah kuhabisi nyawanya pakai kapakku ini! Kenapa aku jadi lupa pada pusaka sendiri?!"

   "Itu tak perlu. Melawan Datuk Marah Gadai tidak harus pakai kapak pusakamu! Tidak terhormat rasanya jika kapak itu kau gunakan untuk melawan Datuk Marah Gadai. Akan lebih terhormat lagi jika kau gunakan untuk membunuh Suto Sinting! Kurasa hanya kapak ini yang bisa menandingi semua ilmu Pendekar Mabuk!"

   Kata Peri Malam yang membuat hati Dirgo Mukti menjadi semakin berbunga-bunga.

   "Kurasa kau perlu istirahat banyak, Dirgo,"

   Kata Selendang Kubur dengan senyum manisnya.

   "Jangan buang-buang tenaga sebelum hari pertarungan tiba. Mari kuantar pulang ke Pantai Saru. Kau perlu persiapkan diri di sana."

   "Kau akan menemaniku di sana sebelum pertarungan tiba?"

   "Ya, aku dan Peri Malam akan mendampingi masa istirahatmu!"

   "Dan... dan akan berikan kehangatan padaku di sana?"

   Peri Malam cepat menjawab.

   "Kehangatan itu akan tiba jika kemenanganmu tergenggam di tangan. Kurasa Perawan Sesat juga akan memberikan kehangatan yang lebih indah lagi setelah kau berhasil membunuh Suto Sinting!"

   Selendang Kubur menambahkan kata.

   "Kau akan memperoleh kemenangan ganda, Dirgo! Selain namamu jadi cepat dikenal di rimba persilatan sebagai seseorang yang mampu mengalahkan murid si Gila Tuak, juga kau akan memperoleh kemenangan batin yang luar biasa tingginya, yaitu memperoleh tiga istri sekaligus!"

   "Tiga istri?! Waaah..., ha ha ha ha...!"

   Dirgo Mukti tertawa kegirangan.

   Kedua perempuan itu dirangkulnya kanan-kiri.

   Kedua perempuan itu juga membiarkan dicium wajahnya oleh Dirgo Mukti yang tampak jelas serakah dengan kemesraannya.

   Di Pantai Saru, ketika malam hadirkan sunyi, Perawan Sesat renungkan diri, duduk di atas bebatuan tak berlumut.

   Satu persatu Peri Malam dan Selendang Kubur mendekat, lalu mereka saling bergunjing tentang Suto.

   Perawan Sesat yang mengawali percakapan itu.

   "Lain kali jangan aku yang harus temui Pendekar Mabuk sendirian."

   "Mengapa?"

   Tanya Peri Malam.

   "Aku tak tahan memandang matanya. Gairahku terbakar dan rasa cintaku meletup-letup jika bertatap muka dengannya."

   "Apakah kau masih tertarik pada Suto?"

   "Justru karena aku masih punya rasa cinta, maka aku harus menghadirkannya jika inginkan kematiannya!"

   Kata Perawan Sesat sambil menatap Peri Malam. Tapi, Selendang Kubur segera angkat bicara.

   "Dasar perempuan binal!"

   Sreeg...! Perawan Sesat berdiri, Selendang Kubur juga sigap menantang. Mata Perawan Sesat tajam menembus bola mata Selendang Kubur yang memancarkan dendam itu. Lalu, terdengar Perawan Sesat menggeram dalam ucapan kata.

   "Jangan memancing kemarahanku kalau tak ingin kubinasakan di sini sekarang juga!"

   "Lebih baik kita adu nyawa daripada akhirnya nanti kamu masih menyukai Suto!"

   "Aku tak pungkiri hal itu. Tapi aku toh berusaha untuk tidak mau menemuinya secara sendirian?!"

   "Bagaimana jika nantinya kau menjadi pengkhianat?!"

   Sentak Selendang Kubur.

   "Lebih baik kuhabisi sekarang nyawamu ketimbang nantinya kau menjadi pengkhianat!"

   "Sudah, sudah...!"

   Peri Malam menengahi dengan suara tegasnya.

   "Sekarang bukan saatnya bicara soal urusan pribadi! Aku ingin kalian bedakan antara urusan pribadi dengan urusan bersama!"

   "Dia masih mencintai Suto!"

   Tuding Selendang Kubur kepada Perawan Sesat.

   "Kurasa itu hal yang wajar,"

   Kata Peri Malam dengan lantang.

   "Karena ada cinta itulah maka timbul kebencian kepada Suto. Kalau kita tak punya cinta pada Suto, tak mungkin kita sakit hati dengan sikap acuh tak acuhnya!"

   Selendang Kubur kendorkan ketegangan uratnya, demikian pula Perawan Sesat. Keduanya saling bisu, tapi Peri Malam tetap bicara dalam keadaan berada di tengah mereka.

   "Secara jujur aku sendiri mengakui masih punya rasa cinta pada Suto Sinting. Tapi cinta ini dibungkus oleh kebencian, dan karena itu kita merencanakan untuk membunuh Suto. Sekarang yang perlu kita pikirkan, andaikata Suto tidak hadir dalam pertarungan nanti, apa yang harus kita lakukan?"

   "Ya. Sejak tadi itulah yang kupikirkan!"

   Kata Perawan Sesat.

   "Karena agaknya dia merasa tidak ada perlunya melayani tantangan Dirgo Mukti! Persoalan yang dihadapi dianggap persoalan kecil. Bahkan dia tak mau peduli akan dirimu, Peri Malam. Dia berniat membiar kan dirimu dimiliki oleh Dirgo Mukti!"

   "Karena dia tidak mencintaimu, Peri Malam,"

   Sahut Selendang Kubur dengan cepat. Peri Malam menggeletukkan giginya menahan kegeraman hati.

   "Menurutku,"

   Kata Perawan Sesat.

   "Kaulah yang membujuknya agar dia tetap hadir melayani tantangan Dirgo Mukti. Kau bisa gunakan kemanjaanmu dan mengadu yang bukan-bukan tentang sikap Dirgo!"

   "Aku tak berani! Aku takut terjerat cinta yang makin membara,"

   Kata Peri Malam.

   "Bagaimana jika Selendang Kubur saja yang temui dia dengan pengaduan palsu tentang Dirgo Mukti? Dia pasti ada di pihakmu, Selendang Kubur, karena antara dia dan gurumu ada hubungan baik! Dia pasti mau membelamu jika kau katakan Dirgo Mukti akan mengganggu, juga mengganggu gurumu itu!"

   "Tidak. Aku juga tidak berani berhadapan sendiri dengan Suto. Aku takut semakin mencintainya!"

   "Kalau semuanya takut makin jatuh cinta, lantas bagaimana kita bisa membunuh dia?!"

   Tukas Peri Malam bernada jengkel.

   * * * PERAMAL Pikun memang terluka pada bagian dalamnya.

   Wajahnya yang berkulit hitam memancarkan rona pucat pias.

   Bibirnya membiru dengan darah masih sesekali keluar dari mulutnya, Peramal Pikun terbaring lunglai bagai cucian basah tak terawat.

   Ketika ia melihat kehadiran Suto, tampak cahaya penuh harapan terpancar dari matanya yang sayu itu.

   Dahi Suto berkerut melihat keadaan Peramal Pikun.

   Separah itukah sakitnya hingga ia sendiri tak dapat mengobati? Pikir Suto.

   Iba hati murid si Gila Tuak itu melihat keadaan Peramal Pikun, sepertinya lelaki tua renta itu memikul dosa yang amat berat disandangnya.

   Terlontarlah kalimat tanya dari mulut Suto yang sengaja bernada pelan agar tidak mengganggu keheningan pondok ini.

   "Apa penyebabnya? Katakan saja sejujurnya, Peramal Pikun?!"

   "Sebuah nama yang kau sebutkan."

   "Nama kekasihku?"

   "Ya. Mestinya aku tak boleh sebutkan nama itu, Suto. Aku lupa, dan aku sebutkan nama itu!"

   Pendekar Mabuk memeriksa sesaat tubuh Peramal Pikun. Ia terkesiap melihat bagian perut memar biru. Dari perutnya itu bergurat garis merah sebesar lidi yang menuju ke tengah leher, melewati pertengahan ulu hatinya. Suto bergumam.

   "Apa arti jalur merah ini?"

   "Itulah yang dinamakan jalur kutukan. Jalur merah itu dikenal julukan ilmu 'Rentang Kutuk'! Hanya dia yang memilikinya!"

   "Maksudmu...."

   "Jangan sebut namanya, Suto! Kumohon, jangan...!"

   Sergah Peramal Pikun memelas. Pendekar Mabuk buru-buru menunda ucapannya, ia segera ingat bahwa Peramal Pikun tak bisa mendengar nama Dyah Sariningrum. Jika ia mendengar nama itu, telinganya akan mengucurkan darah lagi.

   "Jalur Kutukan atau ilmu 'Rentang Kutuk' ini akan merenggut nyawaku pada saat tepat bulan menjadi purnama!"

   Tambah Peramal Pikun dengan suara lemahnya "Jadi aku mohon bantuanmu untuk menghilangkan ilmu 'Rentang Kutuk' ini sebelum purnama tiba."

   "Sebelumnya aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu?"

   "Apakah Dewa Racun belum bicarakan hal itu padamu?"

   "Belum! Dewa Racun mendengar nama kekasihku dari mulutmu, tapi dia tidak kenal siapa orang yang punya nama itu dan di mana tempat persinggahannya. Dewa Racun hanya bertugas mencari aku dan membawaku kemari untuk menolongmu!"

   "Dewa gila!"

   Geram Peramal Pikun sambil matanya mencari Dewa Racun di dalam pondoknya. Tapi orang kerdil itu tidak ada di dalam pondok. Orang kerdil tadi menyuruh Suto masuk sendirian dan ia bergegas menuju ke sungai, katanya mau mandi sebentar di sana.

   "Siapa Dewa Racun itu sebenarnya, aku belum jelas, Peramal Pikun. Dia tidak banyak menceritakan dirinya sepanjang perjalanan kemari. Dia bahkan lebih banyak membicarakan tentang pertarunganku dengan manusia Sontoloyo dua hari lagi."

   Mata Peramal Pikun berkedip-kedip seperti orang menunggu ajal. Cukup lama ia bungkamkan mulutnya, sampai akhirnya Suto mengulang pertanyaannya yang tadi.

   "Aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu, Peramal Pikun. Ceritakanlah!"

   "Ini rahasia hidupku, Suto."

   "Untuk apa kau simpan rahasia kalau sebentar lagi kau mati?"

   "Memang benar katamu. Tapi...."

   Peramal Pikun ragu sejenak, sehingga Pendekar Mabuk perlu mendesaknya.

   "Katakanlah apa adanya, supaya aku bisa mengambil sikap bagaimana harus menolongmu, Peramal Pikun."

   "Baiklah,"

   Katanya, lalu Peramal Pikun mencoba tarik napas panjang.

   Darah keluar lagi dari mulutnya tanpa batuk sedikit pun.

   Ia mengusap darah itu memakai kain yang kumal dan tak berbentuk kain lain, melainkan bentuk kumpulan darah mengering.

   Dengan suara pelan, Peramal Pikun tuturkan kata.

   "Aku melakukan kesalahan semasa mudaku."

   "Kesalahan apa?"

   "Mencintai guruku sendiri."

   "Apakah gurumu seorang perempuan?"

   "Ya. Usianya sudah banyak, tapi masih awet muda dan cantik. Ia memiliki ilmu kecantikan abadi, seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti lainnya. Rasa cintaku kepada Guru begitu dalam, sehingga aku menjadi gila, dan nekat ingin memperkosanya. Tapi dalam satu jurus aku tumbang, tak bisa mengalahkan Guru. Lalu, aku diusir dari Puri Gerbang Surgawi...."

   "Apa itu yang dimaksud Puri Gerbang Surgawi?"

   "Sebuah negeri Pulau Serindu, jauh dari sini letaknya,"

   Jawab Peramal Pikun sambil matanya menerawang bagai mempunyai sebaris kenangan masa lalunya. Peramal Pikun menyambung ucapannya lagi.

   "Aku diusir dari sana dengan satu kutukan yang membekas selamanya dalam hidupku. Aku dianggap murid sesat dan sangat tidak terhormat. Karenanya, ilmu 'Rentang Kutuk' selalu menyertaiku."

   "Siapa yang mengusirmu dan siapa yang melancarkan kutuk itu?"

   "Siapa lagi kalau bukan penguasa tunggal Puri Gerbang Surgawi, yang namanya menjadi nama kekasihmu itu!"

   Terbelalak mata Suto seketika itu.

   Tertegun ia sampai beberapa saat lamanya.

   Sama sekali tak menyangka bahwa Dyah Sariningrum itu adalah penguasa sebuah negeri, yang menjadi guru dari Peramal Pikun.

   Hampir-hampir Pendekar Mabuk tidak mempercayai kata-kata si Peramal Pikun.

   Kembali setelah hening tercipta beberapa helaan napas, Peramal Pikun melanjutkan ceritanya.

   "Aku terancam kutukan itu, tak boleh mendengar nama guruku dan tak boleh menyebut nama Nyai Guru. Jika aku mendengar nama guruku disebut orang, maka telingaku akan luka, dan jika aku menyebutkan nama guruku, maka jalur kutukan itu akan bekerja dalam diriku dan menancapkan jalur kematian yang akan tiba pada saat bulan terang purnama! Itulah hukum kekal untuk murid sesat seperti aku ini, Suto! Sekali pun aku menyesali tindakan masa mudaku, tapi tetap saja aku dibayang-bayangi kutuk yang mematikan!"

   "Hebat sekali!"

   "Aku akan mati, mengapa kau katakan hebat?!"

   "Yang kumaksud hebat adalah ilmu kutukannya."

   "Kuharap kau bisa menolongku, Suto. Karena setingi-tingginya ilmu Nyai guruku, dia masih tunduk dan takut kepada gurumu, si Gila Tuak!"

   "Jadi, menurutmu guruku mengenal dia?"

   "Kurasa mengenalnya! Nyai Guru itu adalah orang yang dikenal sebagai Mahkota Sejati, karena sampai saat ini, walau usianya sudah menyamai si Gila Tuak, gurumu, tapi ia masih sebagai perawan suci yang belum pernah ternoda oleh cinta dan birahi lelaki siapa pun juga!' "Ooh...?!"

   Pendekar Mabuk menggumam kagum, jatungnya berdetak-detak bagai ingin melompat keluar dari rongga dada. Rasa bangga dan rindu bergumul menjadi satu, membuat hati Suto gemetar.

   "Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Nyai Guru, tanyakanlah kepada Dewa Racun."

   "Apakah Dewa Racun benar-benar tahu banyak tentang penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?"

   "Jelas banyak tahu, karena dia adalah orang ketujuh kepercayaan Nyai Guru!"

   "Hahh...?! Jadi dia orang dari Puri Gerbang Surgawi?!"

   "Benar. Apakah dia tidak bilang begitu padamu?"

   "Tidak!"

   "Dasar Dewa gila! Terlalu rapat ia menyembunyikan ilmunya, terlalu rendah ia menundukkan dirinya. Tapi memang begitulah ajaran dari Nyai Guru, agar setiap murid menjadi padi, semakin berisi semakin menunduk kepada siapa pun!"

   "Lalu, untuk apa dia datang kemari menemuimu?"

   "Mencari kamu,"

   Jawab Peramal Pikun.

   "Mencari aku, untuk mengobatimu?"

   "Tidak! Hanya kebetulan saja sewaktu aku menjelaskan tentang dirimu, aku tak sadar telah menyebutkan nama Nyai Guru, lalu aku jatuh sakit seperti ini. Tapi tujuannya datang padaku adalah menanyakan tentang kamu. Dia mendapat tugas dari Nyai Guru untuk membawa pulang seseorang yang bernama Suto, murid si Gila Tuak."

   "Memang gila dia itu!"

   Geram Suto.

   "Dia tak pernah bilang apa-apa padaku soal itu!"

   "Temuilah dia dan bicaralah apa saja yang ingin kau bicarakan kepada Dewa Racun itu! Tapi terlebih dulu, tolonglah aku. Selamatkan aku dari ilmu 'Rentang Kutuk' ini, Suto!"

   "Apakah kau masih ingin hidup dalam usiamu setua ini?!"

   "Masih,"

   Jawab Peramal Pikun dengan sedikit dongkol.

   "Aku ingin mati sebagai ksatria! Aku ingin mati dipertarungan, bukan mati karena kutukan!"

   "Tegar sekali pendirianmu, Peramal Pikun. Jika memang begitu kemauanmu, aku akan mencoba menyembuhkanmu!"

   Sementara Suto melakukan penyembuhan terhadap diri Peramal Pikun, di luar pondok itu Dewa Racun mencoba memancing ikan untuk santapan nanti.

   Ia memancing ikan bukan dengan kail maupun pancingan bila, melainkan menggunakan sehelai daun ilalang.

   Daun ilalang itu dibelah menjadi dua pada tiap sisi kanan-kirinya, tinggal bagian tengahnya yang keras, tapi di tiap sisa daun kanan-kiri itu tidak dihabiskan belahannya.

   Helai daun di kanan-kiri itu diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah, sisanya yang keras ada di atas telunjuk, lalu dengan satu kali tarikan, bagian tengah ilalang itu melesat bagai dipanahkan dari dua jari.

   Slaattt...! Jeebbb...! Ilalang itu menancap pada tubuh seekor ikan, yang segera menggelepar-gelepar.

   Dewa Racun segera mengangkatnya dari kedalaman air.

   Ikan itu ditumpuk di salah satu tempat berbatu, lalu ia kembali mengambil daun ilalang untuk dipanahkan pada ikan-ikan lainnya.

   Jika bukan disertai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, tak mungkin daun ilalang itu bisa sekeras dan setajam jarum baja.

   Tak mungkin pula gerakan panah daun ilalang itu sama cepat dan tajamnya dengan panah biasa.

   Alhasil, setiap ikan yang dikumpulkan mempunyai sisa daun ilalang yang menancap di tubuh ikan, kadang tembus kadang hanya sebagian saja yang terbenam di daging ikan.

   Dewa Racun segera mengumpulkan kayu kering.

   Salah satu ranting kering digosokkan pada salah satu anak panahnya.

   Srettt...! Dan memerciklah bunga api, lalu menyala.

   Dewa Racun membakar ikan-ikan tersebut di depan batang kayu tumbang yang tak seberapa jauh dari pondok persinggahan Peramal Pikun.

   Bau sedap ikan bakar membuat hidung Pendekar Mabuk kembang kempis, kemudian ia segera bergegas keluar dari pondok, ia dekati Dewa Racun dari arah belakang secara diam-diam.

   Pendekar Mabuk ingin menjajal ilmu orang kerdil itu.

   Lalu, dengan serta-merta Suto menendang punggung si orang kerdil itu.

   Wuuttt...! Plasss...! Tendangan itu mengenai tempat kosong, karena kejap berikutnya Dewa Racun ternyata sudah pindah tempat duduknya di seberang tempat duduk semula, ia tetap tekun membakar ikan-ikan itu tanpa merasa terganggu oleh kedatangan Suto.

   Sementara, Suto sempat terkesiap sebentar melihat gerakan pindah Dewa Racun yang begitu cepat, bagaikan menghilang dalam sekejap.

   "Boleh, boleh...,"

   Suto manggut-manggut sambil membatin.

   "Tinggi juga ilmunya jika begitu. Kurasa dia memang orangnya Dyah Sariningrum yang tak pernah mau sombongkan diri di depanku."

   Sambil mengamati ikan yang habis dibaliknya dari pembakaran, Dewa Racun bicara pada Suto tanpa memperhatikan Suto.

   "Bagaimana sakitnya temanku itu? Bisa kau atasi?"

   "Dia sedang tidur."

   "Tidur...?!"

   Dewa Racun memandang Suto dengan dahi berkerut.

   "Ya. Mengapa?"

   "Orang yang terkena Ilmu 'Rentang Kutuk' tak akan bisa tidur, kecuali jalur kutukan yang berwarna merah belum tampak di kulit perutnya! Jika jalur merah itu sudah kelihatan dari pusar menggaris sampai ke leher, orang itu tidak akan bisa tidur sedikit pun!"

   Pendekar Mabuk tersenyum sambil mengambil satu| ekor ikan yang sudah matang, lalu ia berkata dengan santai.

   "Nyatanya sekarang Peramal Pikun sudah tertidur."

   "Berarti kau berhasil membuat pengaruh kutukan menjadi tawar, Suto?!"

   "Mungkin saja!"

   Jawab Suto sambil mengunyah ikan bakar. Sejenak dipandanginya Suto, lalu bergumam mulut Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri.

   "Belum pernah ada orang yang bisa menawarkan pengaruh kutukan Nyai Guru itu!"

   "Nyai Guru siapa?"

   Tanya Suto sambil lalu, sepertinya tidak tertarik dengan sebutan 'Nyai Guru' itu. Dewa Racun menjelaskan sambil tetap mengerjakan kesibukannya, bahkan kini ikut-ikutan melahap ikan bakarnya.

   "Menurut penjelasan Peramal Pikun, sebelum ia terjebak ilmu 'Rentang Kutuk' kemarin, kau sedang mencari-cari kekasihmu yang bernama Dyah Sariningrum. Apakah benar begitu, Suto?"

   "Kalau benar mau apa?"

   "Dyah Sariningrum adalah guruku, juga termasuk gurunya Peramal Pikun itu!"

   "Penjelasanmu terlambat!"

   Kata Suto acuh tak acuh, karena merasa jengkel atas sikap bungkamnya Dewa Racun sejak diperjalanan tadi. Kenapa baru sekarang ia mau jelaskan? Kenapa tidak di perjalanan tadi? Itulah yang bikin Suto ingin membalas kejengkelannya.

   "Nyai Gusti Dyah Sariningrum mengutusku untuk mengajukan dua pilihan kepadamu kau mau datang kesana atau tidak!"

   "Kalau aku bilang tidak mau datang menghadapnya, mau apa?"

   "Aku pulang, tak boleh aku paksa dirimu."

   "Kalau aku mau datang menghadapnya?"

   "Aku antar kamu ke sana! Karena Nyai Gusti Dyah Sariningrum memang ingin bertemu denganmu. Kau sering hadir dalam mimpinya dan memanggil-manggil namanya."

   Suto tertawa kecil bersikap meremehkan, padahal dalam hatinya ia berdebar-debar bahkan berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi toh dia mampu menahan perasaannya yang jika diluapkan bisa menjadi seperti anak kecil itu. Dan tiba-tiba ia berkata.

   "Hei, mengapa kegagapanmu hilang? Kau lupa bahwa kau bicara dengan gagap!"

   Dengan tenang orang kerdil itu sunggingkan senyum dan berkata.

   "Sebelum kau datang dari dalam pondok, sudah kumakan dua ekor ikan bakar kesukaanku ini!"

   "Apa hubungannya dua ekor ikan bakar dengan bicara gagapmu?"

   "Jika mulutku sudah bau ikan bakar, walau secuil saja, maka aku sudah bisa bicara dengan lancar. Tapi jika aroma ikan bakar hilang dari mulutku, maka kegagapan bicaraku timbul kembali."

   "Kenapa bisa begitu?"

   Tanya Pendekar Mabuk sambil tertawa pelan.

   "Entahlah,"

   Jawab Dewa Racun sambil sentakkan pundak sekejap, lalu berkata lagi.

   "Mungkin memang sudah kodratnya aku punya keanehan seperti ini."

   Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli, merasa aneh dengan sifat orang kerdil itu.

   "Tentukan pilihanmu sekarang juga, Suto, agar aku bisa bertindak secara pasti, mana yang harus kulakukan!"

   "Aku bersedia menghadap gurumu, tapi aku harus menunggu lewat dari saat purnama tiba."

   "Kenapa? Apakah kau akan memenuhi tantangan lawanmu itu?"

   Suto menggeleng.

   "Aku hanya ingin mengetahui apakah pengobatanku berhasil atau tidak. Aku harus tahu nasib Peramal Pikun setelah lewat dari saat purnama nanti, apakah dia hidup atau mati!"

   "O, ya. Aku paham,"

   Dewa Racun manggut-manggut.

   "Lalu, bagaimana dengan pertarungan di Bukit Jagal itu? Apakah kau tetap akan menolak pertarungan itu?"

   "Kurasa memang aku tak perlu melayani tantangan Dirgo Mukti! Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja! Aku sendiri sebenarnya tidak berminat untuk bertarung dengannya."

   "Tapi menurut adat, seseorang yang tidak memenuhi tantangan, namanya akan disepelekan dari dunia persilatan! Kau dianggap kalah dan tidak jantan, Suto. Orang yang telah mundur dari arena pertarungan sebelum ia mencoba kalah atau menang, maka ia tak berhak menggunakan gelar pendekar lagi!"

   "Apakah begitu peraturan adat di rimba persilatan?!"

   "Setahuku memang begitu!"

   "Guruku tidak pernah mengatakannya begitu!"

   "Guruku pernah bilang begitu!"

   "Tapi gurumu dan guruku berbeda!"

   "Terserah kamu,"

   Akhirnya Dewa Racun tak mau berdebat lagi.

   Tapi Suto jadi merenungkan kata-kata Dewa Racun.

   Haruskah ia membuktikan kependekarannya melalui pertarungan yang tanpa perkara besar itu? Hanya masalah cinta dan melindungi kekasaran Dirgo Mukti terhadap Peri Malam, haruskah Suto bertarung secara tanding laga di Bukit Jagal? Bukankah sebenarnya Peri Malam yang menciptakan pertarungan itu dengan berlagak menjadi penterjemah bahasa Pendekar Mabuk? Sedangkan Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya tidak bermaksud menyetujui tantangan pertarungan di Bukit Jagal.

   Ini semua ulah Peri Malam, sehingga Suto merasa terjebak dalam arena pertarungan yang menurutnya dianggap pertarungan konyol.

   (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Darah Asmara Gila").

   "Kalau kau tak mau muncul di pertarungan itu, biarlah aku yang mewakilimu,"

   Kata Dewa Racun.

   "Aneh kau ini. Kenapa kau selalu tampil sebagai orang yang melindungiku? Kau hanya utusan nyai gurumu itu. Kau bukan apa-apaku!"

   "Karena perintah Nyai Gusti agar aku membawamu datang padanya tanpa luka ataupun lecet sedikit pun!"

   "Dia berpesan begitu?!"

   "Ya."

   "Apa lagi pesannya?"

   "Hanya itu, dan hanya tangis yang sering mengalir dari matanya yang indah itu."

   "Tangis? Mengapa dia menangis?"

   "Hasrat ingin bertemu denganmu sangat besar dan menyiksa hatinya sepanjang hari. Ia tak sanggup menahannya, lalu ia perintahkan aku untuk menemuimu!"

   "Kalau begitu, pulanglah sekarang juga ke Pulau Serindu dan katakan padanya bahwa aku akan segera datang setelah lewat purnama tiba itu!"

   "Baik. Aku akan pulang. Tapi apakah kau tahu jalan dan arah menuju Pulau Serindu?"

   "Tidak!"

   Jawab Suto Sinting polos dan tegas.

   Dewa Racun tertawa sendiri.

   * * * DEWA Racun tetap mengikuti Pendekar Mabuk walau Pendekar Mabuk mengatakan akan pergi sebentar.

   Orang kerdil ini agaknya memang berjiwa ngotot.

   Semalam ia juga ngotot menyuruh Suto tidur di dalam pondok bersama Peramal Pikun, sementara dia tidur di luar pondok.

   Sekarang ia kembali ngotot dengan bicaranya yang mulai gagap lagi karena mulutnya sudah kehilangan aroma ikan bakar.

   "Ak... aku harus ikut kamu ke... ke... ke mana pun kau pergi!"

   "Mengapa begitu? Kau bukan pengawalku. Aku bukan buronanmu!"

   "Pe... pe... perintah Nyai Gusti, aku harus menjaga ke... ke...."

   "Kepompong?!"

   "Bukan! Keselamatanmu!"

   Dewa Racun terengah-engah.

   Suto tersenyum menahan geli dalam hatinya.

   Sebenarnya Suto hanya ingin menengok keadaan gurunya di Jurang Lindu dan menengok keadaan Betari Ayu yang ditinggalkannya dalam keadaan luka pukulan dari Nagadipa.

   Untuk menemui Betari Ayu dan gurunya, Suto tak enak hati jika harus dikawal oleh Dewa Racun.

   Karenanya, Suto terpaksa menggunakan ilmu yang bernama 'Seberang Raga', yaitu ilmu pemberian dari Bidadari Jalang.

   Seonggok batu yang ada di pinggir sungai tiba-tiba berubah wujud menjadi dirinya setelah Pendekar Mabuk heningkan cipta secara diam-diam di belakang pondok.

   Dewa Racun tidak mengetahui Pendekar Mabuk mempunyai ilmu siluman 'Seberang Raga', sehingga ketika ia keluar dari pondok, ia langsung saja mendekati Suto yang terlihat duduk merenung di pinggiran sungai.

   Padahal saat itu juga Suto sudah melesat pergi jauh menuju Jurang Lindu.

   "Men... menurut... menurutku, jiwa Peramal Pikun selamat dari bahaya 'Rentang Kutuk'. Ja... ja... jalur merahnya telah hilang dan wa... wajahnya kelihatan kembali segar se... sep... seperti semula!"

   "Bagus,"

   Jawab Suto kalem, bahkan berkesan datar.

   "Malam purnama be... be... besok, dia akan tetap hidup. Ini satu per... per... peristiwa yang luar biasa bagi orang-orang Puri Gerbang Surgawi. Nyai Gusti ak... ak... akan senang dan ka... kagum jika mendengar ke... ke... kesaktian ilmumu!"

   Pendekar Mabuk masih diam merenung, tidak memandang ke arah Dewa Racun. Diam-diam Dewa Racun merasakan keanehan itu, tapi tidak terlalu dihiraukan, berkata lagi kepada Pendekar Mabuk palsu.

   "Tan... tanpa menunggu pur... purnama tiba, kita sudah bisa berangkat ke... ke... ke Pulau Serindu. At... atau kau mau layani tantangan di Bukit Ja... Jagal itu?"

   "Ya."

   "Ya, bagaimana maksudmu?"

   "Bagus!"

   "Bagus apa?"

   "Ya."

   Dewa Racun makin heran dan curiga.

   Mata Suto memandang dengan datar sekali, sepertinya tidak punya rasa apa pun.

   Dewa Racun mencoba menendang pinggang Suto dengan sulu kali lompatan.

   Duug...! Pendekar Mabuk diam saja.

   Tidak mengadakan gerakan menangkis atau menghindar, tidak merasakan sakit atau apa pun.

   Padahal tendangan itu cukup keras.

   Menurut perkiraan Dewa Racun, orang akan menyeringai kesakitan jika ditendang pinggangnya oleh tendangan seperti itu.

   Melihat Suto Sinting tidak ada perubahan apa-apa, Dewa Racun semakin bertambah heran, ia kembali berkata.

   "Ma... mau... maukah kau bicara ke dalam pondok?"

   "Ya."

   "Mari kita bicarakan de... de... dengan Peramal Pikun!"

   "Bagus!"

   Jawaban yang hanya 'ya' dan 'bagus' juga membuat Dewa Racun kerutkan dahi. Semakin penasaran hatinya. Bahkan ia pun membatin.

   "Jangan-jangan orang ini bukan Suto?"

   Dewa Racun segera mundur dua langkah.

   Tangannya diangkat dengan gerakan pelan-pelan seperti orang menari, dan tiba-tiba kedua tangan itu menghentak ke depan.

   Wuuuttt...! Memerciklah sinar putih ke arah Pendekar Mabuk yang masih tetap duduk itu.

   Dewa Racun sendiri terkejut melihat Pendekar Mabuk tidak memberi tangkisan terhadap pukulan tenaga dalamnya, juga tidak menghindar sedikit pun.

   Bahkan sempat timbul rasa sesal di hati Dewa Racun.

   Percikan sinar putih itu membuat tubuh Suto pecah berasap dan berupa wujud aslinya, yaitu sebongkah batu hitam sebesar ukuran orang duduk di tepi sungai.

   Dewa Racun segera menggeram sambil hempaskan napas kekesalan hatinya.

   "Kurang ajar! Dia mengecohku!"

   Geramnya dalam hati.

   "Dia pasti telah pergi dan meninggalkan aku! Hebat juga ilmu anak muda itu. Tak sia-sia aku diutus jauh-jauh untuk membawanya menghadap Nyai Gusti. Pasti Nyai Gusti sangat kagum kepadanya kalau kuceritakan setinggi apa ilmu yang dimiliki Suto Sinting itu! Hmmm... tapi tugasku adalah mendampingi dan menjaga Pendekar Mabuk. Jika sekarang dia pergi, aku harus segera mencarinya. Ke mana arah perginya? Kurasa aku bisa bertanya kepada Peramal Pikun. Setidaknya Peramal Pikun bisa kasih perkiraan arah yang dituju Suto!"

   Suto sendiri membayangkan wajah Dewa Racun yang terkecoh. Suto tertawa sendiri saat mendekati Jurang Lindu, di mana ada air terjun yang cukup tinggi dan besar itu. Suto berkata dalam hati.

   "Dewa Racun pasti akan mencak-mencak kalau dia tahu orang yang disangkanya aku itu adalah seonggok batu! Hi hi hi.... Pasti jika ia mengajak bicara orang yang disangka aku itu, ia hanya akan menerima jawaban ya dan bagus. Karena memang aku hanya menitipkan dua kata itu dalam bayangan ragaku di sana! Mudah-mudahan hal itu tidak membuat Dewa Racun mengamuk berlarut-larut...!"

   Suto segera melesat masuk menembus curah air terjun. Dalam kejap berikut, Suto sudah berada di dalam gua. Ternyata di sana si Gila Tuak masih belum kelihatan. Yang ada hanya Betari Ayu dalam keadaan sedang melakukan semadi.

   "Ke mana perginya Guru? Sampai sekarang belum datang juga?!"

   Pikir Pendekar Mabuk sambil menunggu Betari Ayu selesaikan semadinya, ia sempat mengisi tuak ke dalam bumbungnya dari persediaan tuak di dalam gentong besar.

   Setelah itu, ia mendengar suara mendehem dari Nyai Betari Ayu, itu pertanda sang Betari Ayu sudah selesaikan semadinya yang dilakukan dengan berdiri satu kaki, dan hanya jempol kakinya yang berpijak di tanah.

   "Bagaimana keadaanmu, Nyai?"

   Tanya Suto mengawali percakapan.

   "Sejak kemarin sudah terasa segar sekujur tubuh ku. Tapi aku tak berani tinggalkan tempat ini."

   "Kenapa?"

   "Gurumu kasih wanti-wanti padaku agar jangan tinggalkan tempat ini sebelum ada perintah darimu."

   "O, kau sudah bertemu dengan guruku?"

   "Ya. Sudah. Beliau tahu aku dalam perawatanmu."

   "Hmm... lalu, ke mana beliau?"

   "Pergi ke Lembah Badai untuk menemui Bidadari Jalang, yang baru kutahu bahwa orang itu ternyata juga gurumu."

   Suto malu, tak berani tatap mata Nyai Betari Ayu. Namun begitu, Pendekar Mabuk tetap berkata.

   "Ya, memang sebagian ilmuku adalah pemberian darinya. Tapi aku tak enak kepadamu jika aku jelaskan bahwa aku adalah juga murid dari Bidadari Jalang. Aku tahu kau punya dendam padanya. Aku takut jika kukatakan bahwa aku murid Bidadari Jalang, kau jadi bermusuhan denganku atau membenciku, Nyai!"

   "Sudahlah, lupakan soal itu!"

   Betari Ayu agaknya tidak mau mempermasalahkan lagi tentang Bidadari Jalang. Suto Sinting pun tidak mau kembali ke pembicaraan itu. Ia meneguk tuak, dan duduk di depan Betari Ayu.

   "Syukurlah jika kau sudah sehat. Kau tambah kelihatan cantik, Nyai!"

   Sambil tatapan mata Suto tertuju lurus ke wajah Nyai. Yang ditatap tersipu malu, segera palingkan wajah dan berkata.

   "Jangan puji aku begitu, nanti aku makin tersiksa tak kau rengkuh dalam hatimu, Suto."

   Tawa Pendekar Mabuk berderai yang membuat Betari Ayu kian tersipu malu. Maka cepat ia alihkan suasana itu kepada pertanyaan mengenai lukanya.

   "Siapa yang menyerangku dari belakang, Suto? Aku tidak bisa merasakan datangnya hawa dari pukulan melainkan tiba-tiba saja punggungku merasa seperti tersengat."

   "Pukulan itu memang sangat berbahaya."

   "Siapa pelakunya?"

   "Kurasa kau tak perlu tahu."

   "Kenapa? Kau takut aku membalas dendam pada pelakunya? O, tidak. Aku tidak akan membalas dendam, Suto. Cukup banyak aku bicara dengan gurumu tentang hakikat suatu kehidupan dan kematian. Bahkan aku sudah sepakat untuk mengasingkan diri dan menjadi seorang pertapa yang dibantu oleh gurumu, Ki Sabawana itu."

   "Kau ingin menjadi seorang pertapa?"

   "Ya. Ki Sabawana mendukung rencanaku itu. Gurumu banyak kasih saran padaku. Itulah sebabnya aku tak ingin mengadakan pembalasan walau aku tahu siapa penyerangku itu."

   "Baiklah. Kau diserang oleh Putri Alam Baka!"

   "Hmmm... berarti dugaanku memang benar."

   "Tapi bukan dia pelakunya, melainkan suaminya!"

   "Nagadipa?"

   "Ya. Nagadipa pelakunya."

   "Lalu kau mengejarnya?"

   "Ya. Karena aku harus menuntut balas atas kejahatannya terhadap dirimu. Aku tak bisa tinggal diam melihat kamu dilukai, Nyai."

   "Lalu... kau bunuh mereka?"

   "Secara tak sengaja, Putri Alam Baka mati dan Nagadipa terluka parah."

   "Kau menggunakan napas Tuak Setan?"

   "Dari mana kau tahu. Nyai?"

   "Gurumu yang mengatakannya. Dia merasakan ada badai aneh dan badai itu pasti datangnya dari napas Tuak Setan-mu! Tapi beliau tahu kau menggunakannya secara tidak sengaja."

   Pendekar Mabuk diam berpikir tentang gurunya, Ternyata segala kegiatannya selalu dipantau oleh sang gurunya.

   Suto jadi riskan dan tak enak untuk berbuat bebas, ia menjadi gelisah, dan kegelisahan itu dilihat oleh Betari Ayu, kemudian Betari Ayu berkata.

   "Bukan hanya si Gila Tuak yang memantau kegiatanmu, Suto. Tapi aku pun banyak mengikuti kegiatanmu dari sini, atau dari tempatku yang jauh. Semua itu hanya sekadar menjaga kalau-kalau kau dalam bahaya yang membutuhkan bantuan. Hanya hal-hal yang bersifat berbahaya yang dipantau terus oleh gurumu."

   "Apakah Guru juga membicarakan tentang pertarunganku di Bukit Jagal, yang akan terjadi esok malam?"

   "Tidak. Apakah kau akan melakukan pertarungan?"

   "Aku ditantang."

   "Siapa yang menantang?"

   "Dirgo Mukti."

   "O...,"

   Nyai Betari Ayu manggut-manggut.

   "Hati-hati kau berurusan dengan Dirgo Mukti."

   "Kenapa?"

   Suto jadi ingin tahu.

   "Dia murid tunggalnya Pendekar Tanduk Dewa yang bersemayam di Gunung Tujuh Batu. Pendekar Tanduk Dewa adalah bekas suami dari penguasa Pulau Hantu yang dikenal dengan nama si Mawar Hitam, orang ini juga menyimpan dendam pada Bidadari Jalang, karena merasa suaminya direbut oleh bibi gurumu itu!"

   "O, pantas waktu itu Peri Malam dipesan oleh gurunya, si Mawar Hitam, agar jangan membuat perselisihan dengan Dirgo Mukti!"

   "Mungkin karena Mawar Hitam tidak mau berurusan dengan mantan suaminya, jika muridnya bentrok dengan murid Pendekar Tanduk Dewa itu. Yang jelas, hati-hatilah jika berhadapan dengan Dirgo Mukti. Pende kar Tanduk Dewa bisa turun tangan kalau sampai muridnya itu mati."

   "Apakah Pendekar Tanduk Dewa berilmu tinggi?!"

   "Ya. Tapi tidak lebih tinggi dari gurumu sendiri."

   Suto Sinting manggut-manggut dan diam beberapa saat. Setelah itu baru ia kembali bertanya.

   "Apakah menurutmu sebuah tantangan tanding laga harus dipenuhi, Nyai? Bagaimana jika aku tidak memenuhi tantangan itu?"

   "Apakah karena kata-kataku tadi kau jadi takut dengan Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo yang tak jelas juntrungannya itu?".

   "Bukan karena takut, tapi karena aku merasa pertarungan itu bukan merupakan pertarungan yang bermasalah penting, Nyai. Urusannya cuma sepele, mengapa harus kulayani tantangan itu? Maksudku, aku tidak ingin datang pada malam purnama nanti! Kalau aku bisa membunuhnya, aku merasa menyesal, hanya persoalan anak kecil saja sampai harus membunuhnya. Apalagi kalau aku yang kalah, jelas sangat menyesal tujuh turunan aku, Nyai!"

   "Jika tak mau hadir, mengapa kau buat janji pertarungan?"

   "Aku terjebak. Bukan aku yang bikin janji, bukan aku yang menjawab tantangannya, Nyai! Tapi Perawan Sesat!"

   Betari Ayu tarik napas panjang, ia bangkit dan langkahkan kaki ke mulut gua. Ia memandang curahan air terjun dari sana. Kemudian ia palingkan wajah dan berkata kepada Suto.

   "Sebagai seorang pendekar, kau harus penuhi tantangan itu! Jika tidak, gelar pendekarmu akan disepelekan oleh mereka yang mendengar ketidakhadiranmu."

   "Pertarungan ini sungguh pertarungan yang tidak punya arti!"

   "Walau begitu, kau tetap harus hadir. Toh bukan berarti kau harus membunuh Dirgo Mukti. Cukup kau beri pelajaran padanya, agar harga diri kependekaranmu masih ada."

   Seperti apa yang dikatakan Dewa Racun, rupanya Pendekar Mabuk tetap tidak bisa menghindari pertarungan dengan Dirgo Mukti.

   Ia harus menjaga nama baik kependekarannya, agar dunia persilatan tidak memandang rendah terhadap dirinya.

   Tapi menurut Suto pertarungan itu bukan pertarungan demi membela kehomatan, pertarungan itu tetap saja pertarungan konyol yang harus dihadirinya.

   Kalau saja ia tahu rencana di balik pertarungan itu, ia semakin tidak mau melaksanakannya.

   Sayang sekali Suto tidak tahu rencana tiga perempuan patah hati yang ingin memanfaatkan pertarungan itu.

   Tetapi niat licik dari tiga perempuan patah hati itu tanpa disengaja didengar oleh Dewa Racun.

   Saat itu, Dewa Racun sedang mengejar arah kepergian Suto.

   Di perjalangan, ia berhenti karena melihat tiga kelebat banyangan ke arahnya.

   Dewa Racun bergegas lompat ke pohon berdaun rindang.

   Wuuttt...! Ternyata, tiga perempuan cantik itu justru berhenti di bawah pohon tempat persembunyian Dewa Racun.

   Segera Dewa Racun menggunakan ilmu serap napasnya, supaya hembusan napas tak bisa didengar oleh orang yang berilmu tinggi di sekitarnya.

   Dan dari balik kerimbunan pohon itu, Dewa Racun mendengar percakapan Selendang Kubur, Peri Malam, dan Perawan Sesat.

   "Ke mana kita harus mencari Pendekar Mabuk? Sejak kemarin kita tidak temukan dia." ' Apakah masih perlu kita mencarinya?"

   "Nanti kalau dia tidak datang ke pertarungan di Bukit Jagal, kita kehilangan kesempatan untuk menyerang dia!"

   "Kurasa dia tetap akan datang, walau sekadar mengatakan penundaan pertarungannya. Dan saat itu kita perdaya dia supaya tetap maju melawan Dirgo Mukti. Aku nanti yang akan mempengaruhinya,"

   Kata Selendang Kubur.

   "Baiklah. Kita yakinkan diri saja bahwa dia akan datang. Aku capek mencarinya ke mana-mana!"

   Keluh Peri Malam.

   "Yang jelas, kita harus bisa tetap bikin Dirgo Mukti bersemangat melawan dia, dan mendesaknya terus sampai Suto merasa kehabisan tenaga. Walau nantinya Dirgo Mukti mati di tangan Suto Sinting, tak jadi masalah. Tapi kita punya kesempatan menggempur Pendekar Mabuk yang tenaganya sudah banyak berkurang dari pertarungan itu!"

   "Kurasa Dirgo Mukti sekarang sudah bersemangat sekali, sebab kita sudah memberi janji-janji gombal, bahwa kita bertiga bersedia menjadi istrinya jika dia menang melawan Suto. Itu sudah merupakan iming-iming yang sangat berharga sekali buat Dirgo Mukti. Setidaknya dia akan berjuang sekuat tenaga mengalahkan Pendekar Mabuk!"

   Dewa Racun mendengar semua percakapan itu. Sampai mereka bertiga pergi, Dewa Racun masih termangu-mangu di atas pohon tersebut. Dalam hatinya ia berkata.

   "Ternyata perempuan yang mengaku bernama Perawan Sesat itu punya komplotan untuk membunuh Suto dengan kelicikannya. Benar apa kata Suto, pertarungan itu sebenarnya tidak punya arti apa-apa. Hanya sebagai pertarungan konyol saja. Dan pertarungan itu digunakan oleh ketiga perempuan tadi untuk mencari kelemahan Pendekar Mabuk. Hmm... sebuah pertarungan konyol ada baiknya dibuat semakin konyol saja!"

   Menurut keterangan Peramal Pikun, Suto mempunyai tempat persingahan di Jurang Lindu.

   Tetapi apakah Suto ke sana atau tidak, Peramal Pikun tak bisa memastikan.

   Petunjuk itu sudah cukup buat Dewa Racun, karena ia punya arah tujuan dalam mencari Suto walau mungkin nantinya tidak ditemukan.

   Tapi dari sanalah Dewa Racun akan melacak terus ke mana perginya orang yang harus dikawalnya itu.

   Di pertengah jalan, Dewa Racun mulai mencium bau tuak.

   Segera ia arahkan larinya ke pusat bau tuak itu.

   Dan akhirnya ia temukan Pendekar Mabuk sedang beristirahat di bawah pohon untuk menenggak tuaknya dari dalam bumbung bambu.

   Jleeg...! Suto terkejut melihat Dewa Racun sudah berdiri didepannya.

   Wajah Dewa Racun cemberut, Suto nyengir tertawa ingat tipuannya.

   Pasti orang kerdil ini sudah mengetahui tipuan di tepi sungai.

   'Ku...

   ku...

   kurang ajar kau!"

   Maki Dewa Racun yang membuat Pendekar Mabuk tak bisa tahan tawanya lagi, lalu meledak terbahak-bahak.

   "Ka... ka... kalau tidak kuingat, aku harus mengawalmu, sudah ku... ku... kurontokkan gigimu dengan panahku ini! "Maafkan aku, Dewa Racun! Aku memang senang bercanda denganmu!"

   "It... it... itu bukan bercanda, tapi ku... ku...."

   "Kunang-kunang?"

   "Bukan! Itu kurang ajar namanya! Kau sen... sendiri akan dibuat bercanda dalam pertarunganmu nan... nan... nanti!"

   "Apa maksudmu?"

   "Tig... tiga... tiga perempuan ingin ambil bagian dalam pertarunganmu nan... nan... nanti! Satu perempuan sudah pernah ku... kulihat, yaitu yang rambutnya awut-awutan tempo hari."

   "Tiga perempuan ambil bagian dalam pertarunganku dengan Dirgo Mukti nanti?!"

   "Bet... bet... bet...."

   "Betot?!"

   "Betul! Bukan betot!"

   Dewa Racun bersungut-sungut, merasa jengkel jika omongannya diteruskan dengan kata yang salah.

   Kemudian, ia segera jelaskan kepada Suto apa yang didengarnya dari ketiga perempuan tadi.

   Mendengar ciri-ciri ketiga perempuan itu, Pendekar Mabuk bisa menduga mereka adalah Perawan Sesat, Selendang Kubur, dan Peri Malam.

   Tapi Suto belum tahu alasan ketiga perempuan itu, mengapa ingin membunuhnya? Dewa Racun berkata.

   "Ak... ak... aku jadi punya rencana lain! Kau harus ha... ha...."

   "Hamil?"

   "Bukan! Kau harus ha... hadir dalam pertarungan itu! Harus! Ka, ka, ka... kalau tidak mau, kau akan kupak... pak... pak...."

   "Kupakai?!"

   "Kupaksa!"

   Bentak Dewa Racun jengkel.

   "Kau akan kupaksa untuk hadir. Karena aku punya rencana bagus untuk tiga pe... perempuan itu!"

   "Rencana apa?" * * * MALAM bulan purnama, sungguh benderang sinar rembulan menyorot ke bumi. Langit bersih, memantulkan cahaya makin cerah. Puncak Bukit Jagal tampak jelas tanpa pepohonan apa pun di sana. Bukit itu adalah bukit yang tandus, yang biasa digunakan untuk pertarungan tanding laga bagi para tokoh persilatan. Bukit Jagal, terletak di sebuah pantai yang bertebing curam. Sebagian lapisan tanah bawah adalah bebatuan karang, sebagian di atasnya adalah cadas putih yang keras. Sebuah pertarungan jika dipandang dari lautan akan kelihatan sangat indah dan menawan, karena gerak kedua orang yang bertarung akan terlihat jelas tanpa penghalang sedikit pun. Biasanya, orang yang mati dalam pertarungan di atas Bukit Jagal, mayatnya akan langsung dibuang ke laut yang ganas, bergelombang besar dan konon banyak dihuni ikan-ikan buas. Mereka yang terlempar ke laut dalam keadaan hidup-hidup pun tak akan bisa selamat menghindari keganasan ombak dan ikan-ikannya. Tinggi tebing dari puncak bukit sampai ke permukaan laut ada lima puluh tombak. Itulah sebabnya orang yang jatuh dari atas bukit tak akan bisa selamat dari ancaman maut di kaki bukit, karena di sana juga ada karang-karang runcing menunggu mangsanya. Di sela karang itu, banyak tulang-tulang manusia yang berserakan terselip di sana-sini. Tengkorak-tengkorak manusia tergeletak tak beraturan, tanpa nama dan tanda-tanda semasa hidupnya. Tak heran jika Bukit Jagal juga sering disebut Kuburan Tanpa Nama. Dalam siraman cahaya purnama, tampak sesosok tubuh kekar berdiri di atas bukit gundul itu. Orang itu didampingi tiga perempuan yang masing-masing mempunyai gerak kelincahan tersendiri. Siapa lagi orang bersenjata kapak dua mata itu kalau bukan Dirgo Mukti yang menjuluki dirinya sebagai Manusia Sontoloyo.

   "Aku sudah tidak sabar lagi menunggu kehadirannya,"

   Kata Dirgo Mukti dengan kedua tangan meremas-remas bagai melampiaskan kegelisahannya.

   "Percayalah, dia pasti datang!"

   Kata Peri Malam.

   "Kalau beberapa saat lamanya dia tidak datang, Selendang Kubur akan menyusul Suto ke tempat gurunya, dan melaporkan kebodohan sang murid! Pasti gurunya Pendekar Mabuk akan mengamuk dan mencari muridnya yang menghadapi tantanganmu!"

   "Kau harus menang, Dirgo!"

   Kata Selendang Kubur sambil mengusap-usap punggung Dirgo Mukti.

   "Kami akan bersedih tiada habisnya jika kau kalah. Tapi jika kau menang dan bisa membunuh Suto, kami akan bersorak kegirangan, karena itu berarti kami bertiga dengan senang hati menjadi istrimu, Dirgo!"

   "Itulah semangatku!"

   Kata Dirgo Mukti yang kemudian disusul dengan tawa terbahak-bahak. Perawan Sesat yang sejak tadi mondar-mandir, memandang sekeliling bagai orang memeriksa keamanan lingkungan, tiba-tiba berkata dengan suara seraknya.

   "Seseorang sedang menuju kemari! Bersiaplah!"

   Kedua mata teman sekongkolnya itu segera lemparkan pandangan ke arah yang ditunjuk Perawan Sesat. Peri Malam segera berkata.

   "Itu dia! Dia telah datang!"

   "Lantas bagaimana dengan kita?"

   Selendang Kubur berdebar-debar.

   "Kita... kita bersembunyi saja di balik batu itu!"

   "Terlalu rendah ke lereng, nanti kita tidak bisa jelas melihat pertarungan ini!"

   Perawan Sesat cepat ucapkan kata tegas.

   "Kita tetap di sini! Mengapa harus sembunyi? Justru kita tunggu kesempatan baik untuk menyerang Pendekar Mabuk pada saat ia tampak terdesak oleh Dirgo Mukti!"

   "O, benar! Benar sekali pendapatmu!"

   Peri Malam menepuk-nepuk pundak Perawan Sesat, namun tangan Perawan Sesat cepat kibaskan tangan Peri Malam. Agaknya ia tak suka ditepuk-tepuk begitu oleh orang sejenisnya.

   "Kurasa kalian tak perlu jauh-jauh. Diam saja di pinggiran sana dan saksikan kemenanganku!"

   Kata Dirgo Mukti.

   "Akan kutumbangkan dia dalam dua jurus saja!"

   "Tak perlu malu-malu menggunakan lebih dari sepuluh jurus, yang penting kau bisa menang melawannya, Dirgo Mukti!"

   Kata Peri Malam. Orang yang ditunggu datang. Pendekar Mabuk muncul dengan badan terbungkuk-bungkuk, seperti keberatan bumbung tuak yang disandang di punggungnya. Peri Malam berbisik kepada Selendang Kubur yang berdiri di samping kirinya.

   "Dia dalam keadaan mabuk!' "Bahaya! Justru dalam keadaan mabuk begitulah ilmunya semakin tinggi,"

   Bisik Selendang Kubur.

   "Diamlah!"

   Hardik Perawan Sesat yang merasa terganggu dengan kasak-kusuk mereka. Pendekar Mabuk berwajah kaku saat itu. Tak ada sapa dan senyum untuk ketiga perempuan yang sudah dikenalnya. Bahkan Peri Malam sempat berbisik kepada Perawan Sesat.

   "Dia acuh tak acuh pada kita. Tak menyapa sedikit pun!"

   "Mungkin dia sudah tahu persekongkolan kita, atau dia sedang memusatkan perhatiannya kepada Dirgo Mukti!"

   "Ssst...! Diamlah!"

   Selendang Kubur ganti menghardik. Terdengar suara Dirgo Mukti menyapa kasar kepada Suto.

   "Sudah siapkah kau menemui ajalmu, Suto?!"

   "Sudah!"

   Jawab Suto datar dan berkesan ketus.

   "Kau siap menderita malu di depan tiga perempuan ini?!"

   "Sudah!"

   "Bagus. Tapi sebelum kau menemui ajalmu, barangkali kau punya pesan untuk ketiga perempuan yang menjadi saksi pertarungan ini?"

   "Tidak!"

   "Kalau begitu, kita mulai saja pertarungan kita, Suto!"

   "Baik!"

   Dirgo Mukti segera kembangkan tangannya.

   Langsung saja di tangan kanannya sudah tergenggam kapak bermata dua yang mempunyai ujung mata tombak kecil.

   Tapi tidak secepat itu ia menggunakan senjata tersebut, ia masih mencari celah baik untuk menyerang Suto dengan pukulan jarak jauhnya.

   Ia bergerak pelan mengelilingi Suto, sementara Suto sendiri hanya diam sambil melirik dengan mata sayu yang tidak meyakinkan sebagai mata seorang pendekar tangguh.

   "Aih, gila! Semakin tampan saja dia!"

   Pikir Selendang Kubur.

   "Hatiku berdebar-debar digelitik bayangan indah dalam cumbuannya. Oh, apakah nantinya aku akan tega menyerang dia?"

   Hati Perawan Sesat pun membatin.

   "Kurang ajar! Semakin terkena cahaya rembulan, semakin menggairahkan wajahnya. Aku jadi gundah membayangkan cumbuannya. Oh, sepertinya aku tak sampai hati jika harus menyerangnya!"

   Peri Malam bahkan palingkan wajah, tak berani menatap Pendekar Mabuk. Dalam hatinya ia membatin.

   "Celaka kalau begini! Dia semakin memikat hatiku! Aku terbayang saat dia menciumku di pantai. Oh, luar biasa indahnya kala itu. Kakiku sekarang pun jadi gemetaran membayangkannya. Lantas, bagaimana nanti jika aku harus menyerangnya? Apakah aku bisa menyerang seorang kekasih yang kucintai dan kurindukan itu?"

   Sementara hati ketiga perempuan itu berkecamuk sendiri-sendiri, Dirgo Mukti segera sentakkan tangan kosongnya ke depan bagai mencakar perut harimau.

   Wuuttt..! Pendekar Mabuk melompat, namun terlambat.

   Tubuhnya tersentak ke belakang dan berguling dua kali.

   Lalu ia segera berdiri sambil menggeram.

   Ia bergerak kembali, bersamaan dengan itu Dirgo pun bergerak berkeliling.

   Langkah demi langkah ia perhatikan.

   Sedang Suto masih tetap membungkuk-bungkuk dengan kedua tangan lurus ke bawah dan menggantung, seakan sewaktu-waktu siap melompat untuk menerkam lawannya.

   Dirgo Mukti segera jejakkan kakinya ke tanah, tubuhnya pun cepat melesat terbang dalam satu putaran salto ke depan.Wuuttt...! Pendekar Mabuk mundur satu tindak.

   Di belakangnya jurang maut.

   Suto bagaikan tidak menyadari hal itu.

   Ketika Dirgo Mukti pijakkan kaki ke tanah di depan Pendekar Mabuk dalam jarak empat langkah, cepat-cepat ia sentakkan tangan kanannya ke depan, dan ujung kapak yang dipegangnya itu melesat lepas dari tangkai.

   Ujung kapak yang berupa mata tombak kecil itu mempunyai nyala pijar api merah.

   Zuuittt...! Pendekar Mabuk tak bisa mengelak kecepatan mata tombak itu.

   Langsung mata tombak bergerak tanpa ampun, menembus dada Suto.

   Jruub....! Tubuh Suto seketika menjadi berasap.

   Sebelum tumbang dan hancur, Dirgo Mukti segera lompatkan kaki dan memberi tendangan samping yang cukup keras.

   "Hiaaattt...!"

   Beeg...! .

   "Aaahg...!"

   Suto mengerang, tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh ke jurang yang amat dalam itu.

   Suara jeritannya menggema bagai memecah sepi di malam purnama.

   Sementara itu, ujung kapak Dirgo Mukti yang sudah kehilangan mata tombaknya itu kembali muncul mata tombak baru.

   Creekk...! Tetapi kapak itu hanya digenggamnya dengan hati puas.

   Ia berseru geram.

   "Mampuslah kau, Suto Sinting! Ternyata kehebatanmu tak seperti apa yang digembar-gemborkan tiap manusia!"

   Segera Dirgo Mukti balikkan badan.

   Ia menatap ketiga perempuan itu dengan senyum lebar dan tawa pun terdengar berkumandang.

   Sedangkan ketiga perempuan itu sama-sama terpaku tak bergerak di tempatnya.

   Mata mereka tak berkedip sama sekali.

   Karena mereka terpukau melihat kematian Suto yang begitu cepat dan mudahnya dikalahkan oleh Dirgo Mukti.

   "Celaka...!"

   Bisik Peri Malam kepada kedua teman di kanan-kirinya.

   "Dirgo Mukti menang melawan Pendekar Mabuk! Ini berarti kita bertiga bakal menjadi istrinya!"

   "Aku tidak sudi!"

   Bisik Selendang Kubur dengan tegang.

   "Aku juga tidak bergairah dengan dia!"

   Bisik Perawan Sesat.

   "Lantas bagaimana?"

   "Kita serang saja dia! Bunuh!"

   Geram Selendang Kubur.

   "Kalau begitu, biarlah aku yang maju melawannya!"

   Bisik Perawan Sesat dengan dada naik turun. Dalam hatinya ia berkata.

   "Bangsat si Dirgo Mukti ini! Dia telah membunuh orang yang kuharapkan kemesraannya! Dia telah menghancurkan gairahku! Dia harus kubunuh juga!"

   Sedangkan Selendang Kubur berkata pula dalam hatinya.

   "Aku tak rela! Sungguh tak rela Suto ditumbangkan begitu saja! Aku harus membalas kematian Suto, karena dialah yang telah menghilangkan orang yang kucintai! Dia telah menghancurkan cintaku! Jahanam kau, Dirgo Mukti!"

   Mata perempuan bertahi lalat di sudut dagunya juga menjadi nanar penuh kobaran api amarah. Peri Malam berkata geram dalam hati.

   "Orang ini benar-benar memuakkan! Akan kutebus kematian Pendekar Mabuk dengan nyawanya! Akan kubela orang yang kucintai itu, walau aku harus korbankan nyawa dalam pertarungan ini!"

   Dirgo Mukti melangkah dengan gagahnya mendekati ketiga perempuan itu. Tawanya masih berkepanjangan sambil ia serukan kata.

   "Kalian sekarang menjadi istri-istriku! Harapan kalian terkabul! Aku melihat sendiri mayat Pendekar Mabuk tertancap bebatuan karang di bawah sana! Ha ha ha...! Dekatlah kemari istri-istriku! Mari kita rayakan kemenangan ini dengan sejuta kemesraan dan kehangatan bercinta, ha ha ha...!"

   Perawan Sesat maju dua tindak, tangannya siap untuk melancarkan pukulan jarak jauhnya.

   Tapi kain selendang putih telah lebih dulu berkelebat menghantam tubuh Dirgo Mukti.

   Wuuugh...! Selendang Kubur melepaskan pukulan tenaga dalamnya menggunakan kibasan selendang putihnya.

   Pukulan itu membuat Dirgo Mukti tersentak ke samping dan oleng mencari keseimbangan.

   "Hai...! Mengapa kalian menyerangku?!"

   Wuuttt...! Perawan Sesat sentakkan tangan kirinya dan sebuah pukulan tenaga dalam cukup tinggi tak dapat dihindari Dirgo Mukti. Pukulan itu tepat mengenai dada Dirgo Mukti. Beeegh...! "Heegh...?!"

   Dirgo Mukti memekik tertahan.

   Tubuhnya tersentak ke belakang, tiga langkah jauhnya.

   Mulutnya mulai mengeluarkan darah.

   Tapi ia belum jatuh, ia masih berdiri dengan terbungkuk-bungkuk.

   Ia menarik gagang kapaknya, sreekkk...! Gagang itu mengulurkan rantai, sehingga mata kapak bisa diputar-putarkan di atas kepala.

   "Jahanam kalian semua! Kalian ingkar janji! Kalian hanya pergunakan aku untuk membunuh Suto!"

   "Tak perlu banyak bicara, Dirgo Mukti! Kami memang gunakan kamu sebagai alat! Tak satu pun dari kami yang sudi menjadi istrimu!"

   Sentak Peri Malam yang segera melompat ke atas dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya.

   Bangng...! Pukulan itu tertangkis oleh kibasan kapak yang berputaran cepat di atas kepala.

   Memercikkan cahaya merah menyala dalam sekejap.

   Lalu, tiba-tiba kapak itu bagaikan terbang dalam ikatan rantainya yang bisa mulur panjang.

   Wungng...! Sreekkk...! Kalau saja kepala Perawan Sesat tidak segera merunduk dan berguling di tanah, sudah pasti akan terpenggal mata kapak itu.

   Juga kalau Selendang Kubur yang berdiri sejajar dengan Perawan Sesat itu tidak segera gulingkan badan ke tanah, lehernya akan putus seketika karena ditebas kilasan kapak terbang itu.

   Peri Malam yang berada tepat di garis lurus depan Dirgo itu segera keluarkan sumpit bambunya dari belahan dadanya yang montok itu.

   Lalu, ia tiupkan napasnya melalui lubang sumpit yang panjangnya hanya sejengkal.

   Slup...! Maka meluncurlah senjata andalannya yang bernama Jarum Iblis itu ke arah Dirgo Mukti.

   Crasss...! Duaarrr...! Jarum Iblis tak berhasil menembus sasaran, karena kapak Dirgo Mukti yang mengeluarkan bunyi dengung berkumandang itu menangkis jarum tersebut.

   Tangkisannya itu menimbulkan percikkan nyala api bersama bunyi ledakan yang menggema.

   Pada kesempatan lengah sedikit itu, Selendang Kubur segera sabetkan selendangnya dengan satu hentakkan kaki ke bumi.

   Jurus 'Selendang Petir' diganaskan.

   Dari ujung kain selendang itu keluar percikkan api yang mampu membakar lawan.

   Craapp...

   craapp...! Melihat datangnya bahaya dari samping, Dirgo Mukti segera sentakkan kaki dan melenting di udara dengan kapaknya tetap berputar membentengi dirinya.

   Wuusss...! Sabetan 'Selendang Petir' hanya membuat nyala api sekejap, menyambar tempat kosong.

   Sementara itu, ujung kapak Dirgo Mukti keluarkan sinar merah membara yang meluncur cepat ke arah Peri Malam.

   Sinar merah membara itulah yang tadi digunakan menghantam Suto.

   Wuusssh...! Cepat sekali gerakan sinar merah membara dari logam berbentuk mata tombak itu.

   Sebelum mencapai tubuh Peri Malam, Perawan Sesat cepat sentakkan tangan kanannya dan melesatlah sinar kuning menghantam logam membara itu.

   Duaarrr...! Pecah logam membara itu tepat di atas kepala Peri Malam.

   Dentumannya membuat tubuh Peri Malam tersentak dan jatuh tersungkur.

   Tetapi ia segera bangkit lagi dan dalam posisi duduk ia luncurkan Jarum Iblis di kaki Dirgo Mukti.

   Slaappp...! "Uuhf...!"

   Dirgo Mukti menahan rasa sakit yang mengagetkan, karena begitu ia mendaratkan kakinya ke tanah, jarum beracun itu telah menyambut betisnya dengan empuk.

   Jruubb...! Dua pasang mata yang memperhatikan pertarungan tak imbang itu menjadi tegang.

   Dua pasang mata itu ada di atas pohon, di lereng bukit agak ke bawah.

   Karena posisinya ada di atas pohon, jadi kedua pasang mata milik dua manusia itu dapat melihat dengan jelas pertarungan tersebut.

   "Dirgo Mukti bisa mati! Dia terdesak terus dan telah berkena Jarum Iblis milik Peri Malam!"

   "Jar... jar... jarum itu kulihat mempunyai serbuk racun! Sangat ber... ber... berbahaya racun itu. Kedipan serbuknya dapat tertangkap oleh mat... mata... mataku!"

   "Kasihan Dirgo Mukti! Bagaimana kalau aku membantunya, meleraikan pertarungan itu?"

   "Jang... jang... jangan! Kkkau... kau sudah dianggap mat... mati oleh mereka!"

   Ya, Suto telah dianggap mati oleh tiga perempuan patah hati.

   Tapi sebenarnya dia sedang menjadi penonton pertarungan di atas Bukit Jagal itu bersama Dewa Racun.

   Ini semua gagasan Dewa Racun, si kerdil yang cerdik itu.

   Ia berhasil menemukan seekor orang hutan.

   Ia cepat jinakkan orang hutan itu.

   Lalu, ia suruh Suto menggunakan ilmu 'Seberang Raga'-nya sehingga orang hutan itu bisa menjadi wujud dirinya di mata orang-orang yang ada di atas bukit tadi.

   Orang hutan yang sudah berubah wujud Suto itu masuk arena pertarungan dan tentu saja dengan mudahnya dikalahkan Dirgo Mukti.

   Dengan begitu, Dirgo Mukti berhak menuntut janji dari ketiga perempuan licik itu, dan ketiga perempuan licik menjadi kebingungan, karena tidak menyangka bahwa Dirgo Mukti benar-benar dapat membunuh Pendekar Mabuk.

   Pendekar Mabuk tertawa geli melihat tiga perempuan licik itu berontak, tak mau ditagih janjinya oleh Dirgo Mukti.

   Rupanya mereka benar-benar bernafsu untuk membunuh Dirgo Mukti.

   Sehingga, walaupun keadaan Dirgo Mukti sudah lemah dan parah, mereka masih terus menyerangnya.

   Sampai akhirnya Dirgo Mukti tersungkur jatuh dengan luka dalam dan luar, namun ia masih bisa berlutut dan mencoba berdiri lagi.

   "Habislah nyawamu sekarang juga, Jahanam!"

   Geram Perawan Sesat sambil lancarkan pukulan pamungkasnya yang amat berbahaya itu.

   Tapi tiba-tiba kilatan cahaya merah dari tangan Perawan Sesat tersentak ke samping, didorong oleh kilatan cahaya hijau yang datang secara tiba-tiba.

   Glegaaar...! Tabrakan cahaya bertenaga dalam tinggi itu membuat bukit bagaikan mau rubuh.

   Dentumannya mengguncang bumi, membuat ketiga tubuh perempuan itu terpental berlainan arah.

   Jatuh telentang dengan erangan yang lirih.

   Ketiganya cepat berusaha untuk bangkit kembali.

   "Hi hi hi hi...!"

   Terdengar suara tawa mirip kuntilanak yang berdiri di depan mereka bertiga.

   Suara itu berasal dari seorang nenek berjubah biru lusuh, pakaiannya serba abu-abu.

   Badannya agak bungkuk, rambutnya digulung naik, berwarna abu-abu juga.

   Di pinggangnya terselip tengkorak kambing bergagang tulang ikan berukuran antara dua jengkal.

   Peri Malam tak asing lagi dengan wajah bermata cekung angker itu.

   Karena dulu ia pernah menjadi murid nenek keriput bergigi ompong dan tak bisa menyebutkan huruf 'r'.

   "Guru,..?!"

   "Hei, jangan sebut aku gulumu lagi, Peli Malam!"

   Kata nenek angker yang dikenal dengan nama Mawar Hitam dari Pulau Hantu itu.

   "Kamu sudah bukan lagi mulidku! Kamu sesat, dan perlu kuhajal juga lupanya!"

   "Tunggu!"

   Sentak Perawan Sesat ketika Mawar Hitam ingin menghantamkan pukulan jarak jauhnya.

   "Apa urusanmu ikut campur pertarungan kami ini, Nenek Peot!"

   "Aku memang cali-cali anak muda ini! Dia punya kesaktian cukup lumayan buat kuselap, sama dengan kesaktian gulumu si Nyai Lembah Asmara itu! Aku akan jadi olang yang paling tinggi ilmunya setelah kuselap banyak ilmu dali olang-olang yang kuselamatkan dali peltalungan!"

   Wuttt...! Dengan sekali sentak kaki, tubuh Dirgo Mukti sudah melesat sendiri dan jatuh di pundak Mawar Hitam. Badannya yang bungkuk semakin bungkuk lagi menggendong tubuh Dirgo Mukti yang sudah nyaris mati itu.

   "Akan kau bawa ke mana dia? Kami harus membunuhnya lebih dulu, baru kamu boleh membawa mayatnya pergi!"

   Sentak Selendang Kubur.

   "Benar, Guru!"

   Sahut Peri Malam yang sudah terbiasa memanggil 'guru' kepada Mawar Hitam.

   "Kami harus hancurkan Dirgo Mukti, karena dia telah membunuh Suto!"

   "Hik hik hik hik...! Pendekal Mabuk belum mati! Dia masih sembunyi! Kalian telah dikecohkan oleh Pendekal Mabuk! Hi hi hi hi...! Kalian tidak akan sanggup melawan Suto, kalena Suto itu adalah lawanku! Aku halus tebus kekalahanku dalam lebutan Pusaka Tuak Setan, setelah aku tebus kekalahanku tempo hali, aku halus bunuh gulunya yang belnama Bidadali Jalang! Tapi itu lanti, kalau aku sudah selap banyak ilmu dali olang-olang bodoh macam Dilgo Mukti ini! Hik hik hik...!"

   Mawar Hitam bergerak mau tinggalkan tempat. Tapi Perawan Sesat cepat lompat dan hadang langkah Mawar Hitam. Dengan berani ia menyentak Mawar Hitam.

   "Tinggalkan manusia itu di sini!"

   "Ah, kamu mau cali-cali mati lupanya?"

   Mawar Hitam segera kibaskan tangannya bagai menyambar nyamuk.

   Wuuttt...! Tepat pada saat itu sinar merah berbentuk bulat seperti bola kecil itu melesat dari siku Mawar Hitam, melesat ke dada Perawan Sesat.

   Kejap berikut, Dewa Racun lepaskan anak panahnya dari atas pohon.

   Wuuttt....! Panah itu meluncur bagai kilat menyambar bola merah.

   Blaarrr...! Tubuh Mawar Hitam tersentak mundur karena hempasan angin dari ledakan bola merahnya itu.

   Perawan Sesat terpentang dan nyaris jatuh ke jurang dalam itu.

   Ledakan itu menimbulkan hentakkan gelombang yang cukup besar.

   Mawar Hitam sendiri segera berpaling ke arah datangnya anak panah tadi.

   "Kulang ajal...!"

   Geramnya dengan beringas. Slapp...! Tiba-tiba tubuh Pendekar Mabuk sudah berada di samping Mawar Hitam dalam satu lompatan berkecepatan tinggi sekali itu. Pendekar Mabuk langsung berkata.

   "Kalau kau mau hadapi aku, sekaranglah kita tentukan pertarungan kita di sini, Mawar Hitam!"

   Yang terkejut bukan hanya Mawar Hitam, tapi ketiga perempuan itu sama-sama tersentak kaget dan mundur dalam jarak tertentu.

   "Dia masih hidup!"

   Bisik Selendang Kubur kepada Peri Malam. Tapi yang diajak bicara hanya terbengong. Perawan Sesat juga hanya berdiri mematung tak berkedip.

   "Suto, saatnya belum tiba untuk peltalungan kita! Tunggu bebelapa waktu lagi! Akan kuhanculkan kamu sampai selembut selbuk tepung! Jangan sangka aku tidak bisa ungguli ilmumu, Suto!"

   "Telselah kamu!"

   Tak sadar Pendekar Mabuk ikut cadel bicaranya, namun buru-buru ia perbaiki lagi.

   "Terserah kamu, Mawar Hitam! Kapan saja kau menghendaki pertarungan kita, aku siap menunggumu!"

   "Tunggu saatnya!"

   Dan tiba-tiba, Mawar Hitam seperti membanting sesuatu. Wuugh...! Asap mengepul tebal dari sebuah letupan. Asap itu menipis, Mawar Hitam ternyata sudah hilang dari pandangan bersama tubuh Dirgo Mukti.

   "Ada yang masih bernafsu membunuhku?!"

   Tantang Pendekar Mabuk kepada ketiga perempuan itu.

   Tapi tak satu pun menyahut, tak satu pun bergerak.

   Bahkan ketika Suto tertawa sambil tinggalkan tempat itu, mereka hanya bisa mengikuti dengan pandangan mata bengong.

   Dewa Racun datang menyambut langkah Suto.

   Orang kerdil itu tersenyum-senyum sambil berkata.

   "Kkku... kurasa sudah tidak adalah masalah dengan Bukit Jagal ini, Suto. Kit... kkkit... kita langsung saja pergi ke sana!"

   "Baik! Aku sependapat denganmu, Dewa Racun!"

   "Nyai Gusti pas... pass... pasti akan sen... sen... sen..."

   "Seneb?!"

   "Bukan! Akan sen... senang menerima kedatanganmu. Nyai Gusti pasti sudah tidak sabar men... men... men...."

   "Menungging?"

   "Menunggumu! Bukan menungging!"

   Sentak Dewa Racun yang segera ditertawakan oleh Suto.

   Langkah kaki Suto begitu cepat, seiring dengan langkah kaki Dewa Racun.

   Dalam kejap berikut Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sudah sama-sama menghilang dari pandangan tiga perempuan salah tingkah itu.

   "Hei, mengapa kita tidak membunuhnya? Suto sudah ada di depan kita!"

   Kata Peri Malam. Selendang Kubur berkata.

   "Adakah dari kita yang tega membunuhnya?"

   Tak satu pun ada yang menjawab dari mulut mereka.

   Semua diam, bingung, dan hanya bisa saling pandang satu dengan yang lainnya.

   SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kisah selanjutnya!!! serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode .

   UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA E-book by.

   paulustjing Email.

   paulustjing@yahoo.com

   

   

   

Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini