Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 1


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 1


COVER Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, dibawah lindungan UndangUndang. Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang. SUMBER IMAGE . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
S CETAKAN PERTAMA U.P. DHIANANDA SOLO - 1992 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid 1 *** MENDUNG menggelantung di kota raja.

   Gedung Kaputran, tempat bersemayam para pangeran sedang ditimpa peristiwa menakutkan.

   Hari itu seorang pangeran muda meninggal, bukan oleh pembunuhan atau balas dendam melainkan oleh penyakit.

   Penyakit bukan sembarang penyakit melainkan sebuah penyakit mengerikan, yakni penyakit yang tak diketahui tabib-tabib istana dan karena itu tak dapat diobati pula.

   Penyakit yang oleh para tabib disebut sebagai PKD (Penyakit Kutukan Dewa)! Penyakit itu dinamakan demikian karena para tabib benar-benar tak tahu jenis penyakit ini.

   Inilah penyakit misterius dan asing yang mereka baru kali itu menjumpai.

   Dan karena mereka kebingungan menyebut istilah penyakit itu, ini benar-benar penyakit yang asing dan aneh maka terdapat kesepakatan di antara mereka untuk menyebut penyakit itu sebagai Penyakit Kutukan Dewa.

   Bukan tidak beralasan para tabib menyebutnya demikian.

   Gok-ongya, pangeran yang meninggal itu adalah seorang pangeran yang, maaf...

   terkenal sebagai pangeran yang menyimpang dari kebiasaan laki-laki normal.

   Maksudnya pangeran yang berusia empat puluh tiga tahun itu seumur hidupnya tak pernah bergaul dengan wanita.

   Kesukaannya bergaul dengan pemuda-pemuda tampan, bahkan pelayan dan penghuni gedungnya semua laki-laki, tak ada satupun wanita.

   Dan karena pangeran ini terkenal menyukai pria-pria tampan gagah untuk mengisi gedungnya, tak pelak lagi mulai dari pelayan sampai pengawal pribadinya adalah pemuda-pemuda tegap berwajah menarik maka Gok-ongya terkenal dalam bisik-bisik sebagai pria homo! Memang pangeran ini mudah menggaet korbannya.

   Betapa tidak, dengan harta dan kedudukannya yang tinggi sebagai bangsawan gampang saja dia mencari pemuda-pemuda gagah di tempatnya.

   Sekali dia sudah jatuh hati kepada seorang pemuda maka apapun dilakukannya.

   Pernah putera seorang menteri diambilnya berbulan-bulan, tak perduli pemuda itu sudah bertunangan dengan seorang gadis dan dirayu serta dibujuknya, bahkan terakhir diancam kalau tak mau tidur bersama.

   Dan ketika pemuda itu terpaksa melayaninya dan akhirnya jatuh sakit, tertekan dan menderita oleh perlakuan Gok-ongya ini barulah pemuda itu dikembalikan kepada orang tuanya setelah kurus kering! Akan tetapi bagi yang dapat melayani pangeran ini ibaratnya panen emas.

   Apapun akan diberikan pangeran itu sampai kepada janji kedudukan segala.

   Mereka yang dapat memuaskan dan melayani pangeran ini benar-benar ketiban rejeki.

   Uang, dan harta benda begitu mudah diberikan Gok-ongya kepada pasangannya.

   Akan tetapi karena Gok-ongya tak pernah puas dengan satu laki-laki, betapapun gagah dan tampannya maka jadilah gedung pangeran itu berganti-ganti isinya setelah yang lama didupak.

   Kelakuan ini membuat para pembesar dan penghuni yang lain geleng-geleng kepala.

   Mereka menarik napas dalam-dalam, yang merasa mempunyai anak laki-laki gagah dan tampan cepatcepat dipindahkan, entah ke rumah saudara atau paman.

   Dan ketika perbuatan Gok-ongya itu terus berlanjut sampai akhirnya suatu hari ia jatuh sakit, sibuklah para tabib mengerahkan kepandaian mereka ternyata pangeran ini tak tertolong dan akhirnya menghembuskan napasnya terakhir.

   Tepat tanggal 12 bulan 12 jam 12 malam! Semua menjadi ngeri.

   Kalau saja tak ada bisikbisik kelanjutan dari kematian pangeran ini mungkin penghuni istana lain menjadi lega.

   Tapi ada buntut dari kematian itu, yakni bahwa penyakit Gok-ongya menular.

   Dikatakan oleh para tabib bahwa semua yang pernah menjadi kekasih pangeran ini bakal menjadi "bom berjalan", maksudnya bahwa penyakit Gok-ongya telah memasuki tubuh pasangannya, kelak pasangan itu akan mati pula dan diduga setahun sampai dua tahun korban baru bertumbangan.

   Dan karena dikhawatirkan pasangan ini akan mencari pasangan lagi, dan pasangan baru itu akan terkena pula maka ada perhitungan ekstrim bahwa tak sampai sepuluh tahun penduduk kota raja tinggal sepuluh persen saja.

   Sembilan puluh persen menjadi korban dari penyakit ganas ini, mati seperti Gok-ongya, kurus kering! Itulah sebabnya istanapun guncang.

   Dari mulut ke mulut berbisiklah masing-masing pihak menanya kan tanda-tanda penyakit itu.

   Menurut tabib yang merawat maka penyakit ini ditandai dengan muncul nya gejala demam panas sebulan.

   Lalu tubuh dipenuhi semacam jamur ungu bulat-bulat kecil.

   Dan ketika semua itu ditambah dengan menurunnya kekebalan tubuh, inilah yang berbahaya maka penderita tak dapat berbuat apa-apa ketika sedikit penyakit lain mengganggu.

   Pilek misalnya, tak sembuh-sembuh dan membuat hidung selalu berlendir.

   "Ini penyakit aneh, tapi benar-benar mengerikan. Coba bayangkan, Gok-ongya kian lemas dan lemas dan nafsu makannya pun tiada. Batuk sedikit saja sudah terhuyung. Kaget oleh gonggongan anjing saja sampai roboh dan terbentur ubin. Masa ada penyakit begitu aneh kalau bukan kutukan para dewa. Sst, jangan-jangan ini hasil perbuatannya berlaku menyimpang itu. Yok-ong (Raja Tabib) menemukan semacam binatang kecil dalam dahak nya, seperti belatung atau sejenis itu!"

   Orang pun siap muntah.

   Kalau Yok-ong menemukan belatung dalam dahak sang pangeran dapat dibayangkan betapa menjijikkan sekaligus mengerikan penyakit itu.

   Apa pula ini, berdahak kok mengeluarkan belatung.

   Dan ketika bisik-bisik itu menjadi ramai dan penghuni istana pun ketakutan, mereka yang pernah menjadi pasangan Gok-ongya mendeprok dan pucat di sana maka belum apa-apa para pasangan ini terkena stress alias tekanan jiwa.

   Harta dan kedudukan yang pernah diberikan Gok7 ongya itu rasanya tak berarti lagi.

   Hidup atau keselamatan rupanya lebih penting, jauh lebih berharga! "Aku akan minum racun kalau sampai terkena penyakit ini.

   Daripada ketahuan berdahak belatung lebih baik aku bunuh diri!"

   Seorang di antara pasangan, bekas kekasih Gok-ongya meratap di sudut.

   Ia terisak-isak dan menggigil sementara temannya, pemuda berpakaian biru gemetar berketruk gigi.

   Inilah bekas pasangan Gok ongya yang ketakutan, mereka adalah dua pemuda tegap gagah namun yang saat itu mengkeret nyalinya mendengar selebaran dari mulut ke mulut.

   Siapa tidak takut kalau kekebalan tubuh menurun, sedikit masuk angin saja semua tulang rasa nya patah-patah.

   Bahkan gonggong anjing saja cukup membuat jantung terloncat dan tubuh terjungkal.

   Maka ketika masing-masing begitu ketakutan dan semua yang serba baru terasa mengesankan dan mencekam, bekas pasangan Gok-ongya dag-dig-dug tak keruan maka sebulan sejak kematian pangeran itu timbullah jeritan-jeritan di dalam istana, di Kaputran! Semua orang berlarian.

   Di gedung Gok-ongya, bekas pangeran itu ternyata tiga orang bergulingan mengaduh-aduh.

   Satu di antaranya pelayan.

   Mereka menjerit dan berteriak dan sama-sama menyatakan tulang-belulang seakan mrotholi (berlepasan).

   Teriakan mereka ini tentu saja membuat kaget pengawal dan Gui-ongya, adik mendiang Gok-ongya yang kini berdiam di bekas rumah kakaknya itu muncul keluar.

   Begitu kaget mereka dan tertegun bengong melihat tiga orang ini mengaduh tak keruan.

   Sam-sam, pelayan itu roboh dan akhirnya terguling dengan mata mendelik, dari mulutnya keluar busa.

   Namun ketika Gui-ongya memerintahkan menangkap dua yang masih berteriak-teriak, inilah dua pembantu taman yang dulu merupakan pemuda-pemuda kesayangan Gok-ongya maka mereka dipukul dan akhirnya pingsan serta roboh dikemplang tengkuknya.

   "Periksa mereka kenapa begitu. Panggil Swasinshe!"

   Gui-ongya, yang gemas dan marah namun juga kasihan kepada pembantu-pembantunya ini memerintahkan memanggil tabib Swa.

   Tabib ini kedudukannya di bawah Yok-ong dan memang biasa nya dia mengurusi pegawai-pegawai rendahan yang sakit.

   Yok-ong adalah tabib istimewa yang hanya diperuntukkan keluarga dekat sri baginda, untuk mereka yang tergolong kelas "teri"

   Maka Swa-sin she inilah orangnya.

   Meskipun tak selihai Yok-ong akan tetapi tabib she Swa ini lumayan, cocok untuk menjadi dokter pribadi pembantu istana, seperti misalnya Sam-sam dan dua tukang taman itu.

   Maka ketika tabib ini tergopoh-gopoh masuk dan dipanggil memeriksa, Sam-sam menggeliat dan merintih maka belum apaapa tabib ini sudah pucat ketika pelayan itu terbatuk dan...

   mengeluarkan belatung.

   "Celaka, PKD. Ah, bocah ini terserang penyakit gawat, Lui-ciangkun. Ia... ia seperti Gok-ongya!"

   "Tutup mulutmu, jangan lancang. Gui-ongya tak senang mendengar kata-kata ini, Swa-sinshe, hati-hati kau bicara. Atau kau dipotong jarimu nanti!"

   "Tidak, tidak... aku sungguh-sungguh. Ciri-ciri penyakit ini jelas, dahaknya berbelatung. Dan, lihat... sekujur tubuh Sam-sam penuh jamur bulat-bulat, ungu! Pasti sebulan ini ia demam panas tapi tak melaporkan sama sekali!"

   Lui-ciangkun, pengawal itu terkejut.

   Gui-ongya sudah masuk kembali dan ia diperintahkan mengganti, hasil kerja Swa-sinshe nanti dilaporkan.

   Ada apa dengan tiga pembantu itu.

   Maka.

   ketika belum apaapa tabib ini sudah bicara seperti itu dan ia berubah segera diperiksanya tubuh pelayan itu dan benar saja bulatan seperti panu menghias sekujur tubuh.

   Ungu gelap! "Nah, itu, ini PKD.

   Kami tak dapat berbuat apaapa kalau Sam-sam terserang penyakit ini, ciangkun.

   Gok-ongya saja tak tertolong, apalagi dia!"

   "Hm, perlahan sedikit, jangan keras-keras. Sebelum aku menghadap dan melapor ke dalam coba sekali lagi diteliti yang baik, sinshe, jangan aku kesalahan pula. Coba perhatikan seksama dan lihat dua yang lain itu."

   "Baik, tunggu sebentar!"

   Dan ketika tabib ini berlari dan mendekati yang lain, dua tukang taman maka dilihatnya pula tanda-tanda penyakit ini, bahkan demam atau panas tinggi terbukti di sini, di samping tulang yang rasanya rapuh karena disentuh sedikit sudah berkelotakan! "Mereka, ah...

   sama saja.

   Dua orang ini juga kena PKD, Lui-ciangkun, tak ada obatnya.

   Sia-sia.

   Segudang obat dewa juga tak mempan.

   Itu warisan Gok-ongya!"

   "Hush, jaga mulutmu. Kutampar nanti, Swasinshe, apa kau bilang. Berani kau bicara seperti itu!"

   "Maaf, ampun... eh, aku gugup. Penyakit ini menular, ciangkun, aku tak berani lama-lama memegang. Mereka... mereka dibuang saja!" "Apa?"

   "Benar, dibuang saja. Daripada mati di sini lebih baik mati di luar. Aku takut!"

   Lui-ciangkun tergetar.

   Tabib ini berlari keluar dan ternyata tak mau lagi menolong.

   Sam-sam mengeluarkan lagi belatung.

   Dan ketika di sana dua yang lain sadar dan merintih, suhu badan mereka tinggi mendadak mereka juga batuk dan...

   keluar belatungnya.

   Kali ini besar-besar! "Mana Swa-sinshe,"

   Tiba-tiba muncul Guiongya.

   "Bagaimana hasilnya laporan ini, ciangkun. Kenapa mereka masih juga tak diobati."

   "Ampun...!"

   Lui-ciangkun merunduk terbatabata.

   "Mereka... mereka katanya tak tertolong, ongya. Swa-sinshe bilang, dia... dia..."

   Perwira ini mundukmunduk dan mendekat, berbisik dan menyatakan laporannya dan wajah Gui-ongya berubah. Lalu ketika Lui-ciangkun menunjuk belatung itu tiba-tiba pangeran ini membalik dan pergi, melangkah cepat masuk ke dalam.

   "Aku tak mau melihat mereka lagi. Buang dan lempar keluar!" Siallah nasib tiga orang ini. Dilempar ke dalam gerobak dan ditutupi jerami hingga megap-megap Luiciangkun tak perduli membuang tiga orang itu. Empat anak buahnya dipanggil. Dan ketika gerobak meluncur cepat seakan membawa bangkai, terus keluar menuju pintu gerbang maka pelayan dan tukang taman ini dilempar di tepi hutan, dekat sungai. Sam-sam akhirnya tewas. Pelayan ini telah minum obat serangga begitu mengetahui penyakit nya. Itulah sebabnya mulutnya mengeluarkan busa. Tapi dua tukang taman masing-masing Hoa-su dan Teng-bo ternyata mendapat nasib lain. Penyakit mereka belum separah Sam-sam, apa lagi merekapun belum minum obat serangga. Maka ketika kebetulan datang serombongan penari musik, empat wanita dan tujuh laki-laki maka dua orang ini ditolong dan setelah diberi air kelapa dan sedikit wedang jahe dua orang ini sadar. Empat wanita cantik itu mendecak kagum. Meskipun tukang taman tapi harap diketahui saja bahwa mereka ini adalah bekas kekasihnya Gokongya. Hoa-su dan Teng-bo adalah pemuda-pemuda tegap berwajah tampan, bahkan ketampanan mereka sebenarnya tak cocok untuk menjadi juru taman. Namun karena juru taman di tempat Gok-ongya adalah seorang berpenghasilan tinggi, belum lagi hadiah harta benda sewaktu berhasil memuaskan pangeran itu maka empat wanita cantik dalam rombongan penari ini terpikat. Mereka sebenarnya adalah pelacur jalanan, berkedok rombongan tari agar sedikit dapat menaikkan status.

   "Hi-hik, yang ini tampan dan mancung sekali hidungnya. Eh, aku suka pemuda macam ini, Li Hwi. Bagaimana pendapatmu!"

   "Eh, aku suka yang itu. Lihat, dagu dan matanya penuh kejantanan, Seng Hwa. Aku suka itu!"

   Dua di antara empat wanita ini saling goda.

   Mereka tiba-tiba cekikikan sementara tujuh lelaki pemikul musik senyum-senyum saja.

   Mereka sudah biasa mendengar kegenitan atau cekikikan begini, bahkan di antara mereka sendiri sudah tak ada jarak atau tata-pemisah.

   Tujuh pemikul musik adalah sekaligus kekasih empat wanita cantik itu, para penari dan penyanyinya.

   Dan karena mereka juga kagum memandang dua pemuda itu, Hoa-su dan Teng-bo bangkit berdiri maka secara kebetulan panas tubuh mereka menurun.

   Mungkin karena datangnya bidadari-bidadari ini.

   "Kalian siapa." "Hi-hik, kamilah yang harus bertanya. Kalian siapa dan kenapa menggeletak di sini, jiwi-kongcu, di mana rumah kalian dan agaknya kalian bekas dijarah perampok."

   Teng-bo dan Hoa-su saling pandang.

   Sebagai juru taman istana memang pakaian mereka bersih dan rapi, meskipun saat itu kotor oleh tanah, dicampakkan pengawal.

   Tapi maklum bahwa mereka orang buangan, Gui-ongya sudah melempar mereka maka Hoa-su menarik napas dalam dan menjawab, melirik temannya.

   "Kami dua pemuda perantau, rumah kami jauh di selatan. Bahwa kami dijarah perampok memang benar, terima kasih untuk pertolongan kalian. Entah siapakah kalian dan bolehkah kami tahu."

   "Hi-hik, kami rombongan penari Bunga Seruni, itu kawan-kawan kami. Kalau jiwi kongcu (tuan muda berdua) mau ikut tentu saja kami senang. Tentu kalian kehabisan bekal!"

   Hoa-su menarik napas panjang.

   Tentu saja mereka kehabisan bekal karena simpanan mereka di gedung Gok-ongya, tak mungkin kembali dan pengambil itu.

   Dan karena sakit-sakit di tubuh juga hilang sejenak, sesungguhnya mereka baru terserang tahap awal maka Hoa-su mengangguk dan tiba-tiba membuat empat wanita itu girang.

   "Kami memang kehabisan bekal, kebetulan kalau ada yang menolong. Dan karena temanku Tengbo pandai bermain suling barangkali cici dapat memasukkannya ke rombongan pemusik ini."

   "Ah, kebetulan, hi-hik... bakal semakin ramai. Kau kiranya pandai bermain suling, Teng-kongcu, coba perdengarkan dan biar kami tahu. Kalau cocok pertunjukan kita tentu laris, bisa pasang harga!"

   Seng Hwa, yang kebetulan pemimpin di situ sudah meloncat dan menyambar lengan Teng-bo.

   Memang pemuda inilah idamannya sementara Li Hwi, temannya lebih terpikat kepada Hoa-su.

   Dua pemuda ini memang seperti kongcu-kongcu muda alias anak hartawan, sikap dan gerak-gerik mereka juga halus.

   Dan ketika sejenak Teng-bo menjadi likat, didesak dan didorong-dorong akhirnya iapun menerima permintaan itu dan meniup seruling.

   Alat musik ini didapatkannya dari rombongan itu.

   Dan begitu ia meniupkan serulingnya dengan merdu dan irama mendayu-dayu mendadak semua bertepuk tangan dan memuji, terkekeh-kekeh.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aduh, bukan main.

   Tiupanmu luar biasa, kongcu, seorang bidadari pun bisa jatuh dari langit.

   Ayo, ulangi sekali lagi dan perdengarkan lagu yang menghanyutkan perasaan.

   Sekali lagi!"

   Pemuda ini tersenyum dan menempelkan bibirnya sekali lagi ke lubang suling.

   Kebetulan sedang merana oleh sikap istana iapun mengalunkan lagu sedih, lagu o-rang buangan.

   Dan begitu empat wanita itu terisak-isak dan mencucurkan air mata maka Tengbo dipeluk sekaligus dicium Seng Hwa.

   "Ah, lagumu begitu sedih. Cukup... cukup, Tengkongcu, aku tak dapat menahan haruku. Kau seperti orang buangan saja. Cup...!"

   Dan bibir merah buah yang tanpa ragu-ragu mendarat di pipi pemuda ini membuat Teng-bo terkejut akan tetapi Hon-su tertawa lebar. Gincu atau pemerah bibir itu melekat di pipinya, seperti sepasang gendewa merah basah.

   "Ha-ha...!"

   Tawa ini membuyarkan segala haru dan kesedihan.

   "Kau beruntung, Teng-bo. Kecupan cici Seng Hwa mesra benar. Aih, awas ketahuan kekasihmu!"

   "Ah, aku tak mempunyai kekasih,"

   Pemuda ini buru-buru mengusap itu.

   "Kau jangan menggoda aku, Hoa-su, kekasih kita sama-sama tiada." "Benar, kita... ugh!"

   Hoa-su tiba-tiba merasakan sakit kembali, mata sedetik gelap.

   "Kita sama-sama kehilangan kekasih, Teng-bo, tapi hidup bukan untuk bersedih. Sekarang ada kawan, ada pengganti."

   "Hm, kalian pemuda-pemuda malang. Sudah dirampok ternyata kehilangan kekasih pula, jiwikongcu, jangan khawatir, kami siap menggantikan!"

   "Benar, kami akan menggantikan. Kalau Tengkongcu ini pandai meniup seruling lalu apa kepandaian Hoa-kongcu!"

   "Dia pandai menyanyi..."

   "Tidak, Teng-bo bohong. Aku tak dapat apa-apa, Hwa-cici, suaraku buruk!"

   "Ah, coba tunjukkan. Kalau jiwi berdua pandai bernyanyi dan meniup suling tentu mudah mencari uang. Ayo, jangan bohongi kami, Hoa-kongcu, kita rupanya sama-sama seniman!"

   Terpaksa Hoa-su memenuhi permintaan ini.

   Ia telah didaulat Teng-bo dan temannya itu telahmeniup suling.

   Lalu ketika ia mengiringi dengan sebuah lagu riang, tak ingin mengingat duka dan kemarahan maka suara pemuda ini ternyata empuk dan hangat sekali.

   Tak ayal empat wanita itu bertepuk tangan memuji.

   Memang dua pemuda ini memiliki keistimewaan menyanyi dan meniup suling, itu lah sebabnya Gok-ongya pernah jatuh sayang.

   Dan ketika semuanya selesai dan Li Hwi terkekeh-kekeh maka wanita ini ganti mendaratkan ciumannya.

   "Wih, kaupun hebat. Di antara tujuh laki-laki ini tak ada yang mampu menandingi kalian, kongcu. Kelas kalian sudah golongan istana. Ah, beruntung aku... cup!"

   Dan ketika ciuman mendarat dan lagi-lagi meninggalkan bekas gincu maka Hoa-su tersenyumsenyum sementara tujuh laki-laki pemusik harus mengakui bahwa mereka bukan tandingan dua pemuda ini.

   Kelas mereka kampungan.

   Seng Hwa dan Li Hwi gembira sekali menarik dua pemuda ini.

   Cepat sekali mereka akrab dan diamdiam dua pemuda itu saling pandang.

   Daripada menjadi orang buangan lebih baik begini.

   Dan ketika rombongan penari itu melanjutkan perjalanan dan Hoa-su maupun Teng-bo mengajukan syarat untuk tidak ke kota raja, di sana mereka bakal dikenal maka dua wanita itu terkekeh dan memberi hadiah cium.

   "Kota besar bukan hanya kota raja seorang. Ada banyak kota-kota besar lain di Tiong-goan ini, Teng- kongcu. Tidak melayani tanggapan di sanapun tidak apa. Ayo, kita ke Kwi-tang!"

   "Kalian ada pesanan di sana?"

   "Benar, walikota He hendak merayakan hari jadinya. Kami memang hendak, ke sana dan kebetulan bertemu kalian. Ah, bisa pasang tarip tinggi!"

   Begitulah, dua pemuda ini mengikuti rombongan musik.

   Dasar Seng Hwa dan Li Hwi bukanlah wanita baik-baik maka terjadilah hubungan itu.

   Sebentar saja dua pemuda ini menjadi kekasih utama, bahkan Hoa-su maupun Teng-bo tak menyianyiakan pula kerling dua penari lain.

   Mereka memang bukan homo murni seperti mendiang Gok-ongya.

   Dan ketika hubungan itu terjadi dan bahkan merembet ke pemikul musik, tujuh laki-laki yang juga menjalin hubungan silang akhirnya Penyakit Kutukan Dewa menular di sini, apalagi ketika He-taijin, walikota Kwitang kena getahnya! Walikota itu mula-mula terkejut dan terheranheran.

   Bukan rahasia lagi kalau rombongan penari Bunga Seruni juga sekalian "disewa"

   Orangnya.

   Seng Hwa dan Li Hwi yang genit main mata dengan pembesar ini, juga beberapa pejabat lain.

   Dan ketika pertunjukan selesai dan mereka melayani tuan rumah maka sebulan kemudian walikota ini demam panas sebulan penuh, tubuhnya mulai keluar bulat-bulat panu, jamuren! "Celaka, penyakit apa ini.

   Panggil Lo shinshe, pengawal, tubuhku lemas dan muntah-muntah.

   Aku, uhh...

   tulang-belulang ku serasa rontok!"

   Sibuklah keluarga He-taijin memanggil tabib.

   Ternyata bukan hanya walikota ini saja yang terkena melainkan juga beberapa sahabatnya, yakni Ui-taijin dan Pang-ciangkun serta hakim Wu.

   Mereka inilah yang dulu bersenang-senang dengan Seng Hwa dan tiga temannya, para penari dari rombongan Bunga Seruni itu.

   Dan ketika semua batuk-batuk dan mengeluarkan belatung, pucatlah wajah empat pembesar ini maka di tempat lain di setiap i tanggapan Bunga Seruni terjadi hal serupa kalau empat wanita itu habis dipakai.

   Beberapa daerah geger.

   Lo-sinshe tak mampu mengobati penyakit Itu dan berturut-turut He-taijin dan kawan-kawan meninggal.

   Di daerah lain korbankorban serupa juga bergelimpangan.

   Dan ketika satu demi satu dicekam kepanikan, laporan naik ke pusat maka Menteri Kesehatan Cung-taijin turun tangan.

   Betapapun tanda-tanda penyakit itu serupa dengan yang dibawa mendiang Gok-ongya! "Celaka, peringatan Yok-ong terjadi.

   Beberapa daerah diserang penyakit misterius ini, Cung-taijin.

   Walikota He dan hakim Wu serta Pang-ciangkun meninggal dunia.

   Beberapa korban lain jatuh di wilayah Ho-nan dan Ho-pak, sebagian sudah merembet Wu-han!"

   "Cari sebab-sebabnya, kenapa begitu. Bagai mana He-taijin menjadi korban."

   "Kabarnya bersenang-senang dengan se rombongan penari jalanan. Mereka memeriahkan hari jadi dengan nanggap (hiburan) musik!"

   "Bersenang-senang bagaimana? Maksud mu..."

   "Benar, taijin, penarinya disewa sekalian. Empat wanita cantik itu melayani tuan rumah dengan tarian cinta. Mereka masuk kamar setelah usai pertunjukan!"

   Cung-taijin mengerutkan kening.

   Bagi pejabat atau bangsawan tinggi memang bukan burung baru apabila main cinta dengan wanita penghibur.

   Itu seakan sebuah kebutuhan, penghilang jenuh atau jemu di rumah.

   Tapi mendengar bahwa dari sini He22 taijin dan kawan-kawan meninggal, Cung-taijin berkerut kening maka ia menemui Yok-ong, tabib segala tabib.

   "Mohon petunjuk Yang Mulia, mungkinkah kejadian di Kwi-tang itu sama dengan di sini sewaktu Gok-ongya masih hidup. Mungkinkah wanita menjadi sumber utamanya."

   "Hm, tak mungkin. Penyakit ini ditularkan oleh laki-laki, taijin, biang utamanya adalah laki-laki. Kalau He-taijin mati karena wanita itulah mustahil, penyakit ini luar biasa, tapi sumber utamanya jelas laki-laki!"

   Yok-ong, tabib berusia enam puluh tahun itu amat dihormati semua pembesar karena dekatnya hubungannya dengan kaisar.

   Kalau sri baginda sakit inilah orangnya.

   Hanya kalangan dekat istana yang boleh disentuh, termasuk menteri-menteri penting macam Cung-taijin itu.

   Maka ketika Cung-taijin menyebutnya Yang Mulia dan kakek ini menganggukangguk, dia seakan dewa bagi istana muka Cung-taijin tampak menaruh segan dan hormat luar biasa.

   Bisa dimaklumi karena menteri inipun pernah berobat kepada Yok-ong.

   Kalau dia macem-macem tentu Yokong tak akan memperdulikannya dan salah-salah Menteri Kesehatan ini bisa tidak sehat oleh kemarahan Yok-ong.

   "Baiklah, kalau begitu bagaimana menurut petunjuk Yang Mulia.

   Dari mana kami harus menelusur."

   "Coba cari tahu isi rombongan itu, adakah lakilaki atau pengiringnya."

   "Ada!"

   Huk-ciangkun, pengawal Cung-taijin tiba-tiba berseru. Dialah satu-satunya yang ikut majikannya ini.

   "Rombongan itu terdiri dari empat wanita dan sembilan laki-laki, Yang Mulia. Dan di antaranya muda-muda dan pandai meniup suling serta bernyanyi!"

   "Kalau begitu cari tahu mereka. Penyakit Kutukan Dewa ini hanya khusus dijatuhkan laki-laki. Bila perempuan membawa bibit penyakitnya tentu berasal dari yang laki-laki itu. Coba kalian tangkap dan bawa rombongan penari itu!"

   Cung-taijin berseri.

   Jalan keluar sudah ada, petunjuk sudah diberikan.

   Maka ketika ia keluar dan memerintahkan pembantunya segera dicari-tahulah siapa rombongan penari itu.

   Dan alangkah kagetnya menteri Ini mendengar bahwa dua pemuda yang dimaksud itu ternyata adalah bekas juru taman Gokongya, mantan kekasih pangeran homo itu.

   "Kau tidak salah? Kalian telah memeriksanya baik-baik?"

   "Sudah, taijin, berani sumpah langit bumi. Kalau hamba bohong biarlah hamba dikutuk, semoga kaki hamba di bawah kepala di atas!"

   "Apa?"

   "Eh, maaf. Maksud hamba kepala di bawah kaki di atas. Hamba boleh disambar geledek!"

   Cung-taijin terpaku. Mula-mula ia melotot memandang pengawalnya ini, masa sumpah kok cari enaknya sendiri. Tapi ketika ia menggeram dan menyuruh tangkap dua pemuda itu maka dijawab bahwa dua pemuda itu menghilang.

   "Kami hanya mendapatkan rombongan penari itu tanpa Hoa-su dan Teng-bo. Mereka terisak-isak. Dan karena biang utama tak ada di situ maka hamba kembali nan melapor."

   "Kalau begitu cepat menemui Kiang-taijin, kita ke sana!"

   Buru-buru Menteri Kesehatan ini menemui rekannya.

   Kiang-taijin adalah Menteri Gawat Darurat yang biasanya menciduk orang-orang tertentu.

   Mereka yang dianggap membahayakan negara dan golongan pemberontak biasanya berhadapan dengan menteri ini.

   Di tangan menteri inilah terdapat daftar hitam orang-orang yang dianggap membahayakan negara.

   Kedudukannya penting dan tentu saja ditakuti musuh-musuhnya.

   Maka ketika Huk-ciangkun mengikuti dan diam-diam merasa heran, kenapa Cung-taijin menghadap menteri itu barulah kemudian dia tahu apa yang dimaui majikannya ini, biarpun telinganya hanya mendengar lewat jendela.

   Cungtaijin kiranya hendak men-"cekal" (cegah tangkal) dua kekasih Gok-ongya lewat Menteri Gawat Darurat ini.

   "Mereka lepas dan lolos membawa bencana. Hoa-su dan Teng-bo itu berhubungan intim dengan empat penari Bunga Seruni, taijin. Tangkap dan cekal mereka agar tidak keluar daratan besar!"

   "Hm, nanti dulu, perlahan dulu. Seingatku di dalam daftar hitamku tak ada nama-nama itu, rekan Cung. Siapakah mereka ini hingga begitu tergopohgopoh kau ingin menangkapnya."

   "Mereka adalah juru taman mendiang, Gokongya, bekas kekasih gelapnya. Dulu mereka ini sudah dibuang dan dilempari ke hutan, taijin, tapi entah kenapa tiba-tiba masih hidup dan keluyuran. Mereka itu bom berjalan. Tangkap dan cekal mereka!" Kiang-taijin mengangguk-angguk, tersenyum. Tentu saja dia mengerti kegelisahan menteri ini sebab kalau sampai ada bencana penyakit maka Cung-taijin bisa dimintai tanggung jawab dan salah-salah dihukum. Kedudukannya bisa dicopot dan ia ditendang. Tanggung jawabnya adalah menyehatkan rakyat dan menolak penyakit, bukan malah membiarkan. Maka ketika ia mengangguk-angguk dan menjadi paham, untunglah sesama menteri dapat membagi duka dan suka maka dia mengambil ballpoint, eh... pit hitam untuk membuat surat perintah, yakni detik itu dua cecunguk itu, eh... bom-bom berjalan itu harus ditangkap dan dicekal. Diamankan.

   "Sekarang kuperintahkan segenap komandan di masing-masing daerah mencari dan menangkap dua orang ini. Harap rekan Cung tenangkan diri. Pulanglah dan besok semua sudah kugerakkan."

   Legalah menteri ini.

   Tanpa bantuan Kiang-taijin tak mungkin dia melakukan cegah-tangkal, itu bukan bidangnya.

   Muka ketika keesokannya surat perintuh itu jatuh ke tangan kepala daerah, jatuh lagi ke pimpinan lebih rendah sampai akhirnya chungcu (kepala dusun) muka ke lubang semutpun dua pemuda itu tak bakalan lolos.

   Tapi Hoa-su dan Teng-bo ternyata telah menemui nasibnya yang mengerikan.

   Dua pemuda ini didapati tewas di sumur tua.

   Masing-masing rupanya mencebur atau bunuh diri di situ, atau mungkin pula terguling karena seorang penyabit rumput kebetulan melihat dua pemuda kurus kering gemetaran di bibir sumur, hendak menimba air namun terjatuh.

   Dan ketika tereka diangkat dan dikenali sebagui buruan Kiang-taijin, gambarnya telah dipasang di mana-mana maka kisah juru-taman ini habis dan selesai.

   Akun tetapi Cung-taijin dibuat panik.

   Berita dari Ho-nan dan Ho-pak membuat gugup, disusul wilayah Wu-han di mana korban-korban berjatuhan.

   Dan ketika ia ingat bahwa empat penari Bungu Seruni juga merupakan bom berjalan maka buru-buru menteri ini menemui Kiang-taijin lagi.

   "Celaka, apes. Dua pemuda itu memang sudah mampus, taijin, tapi empat penari Bunga Seruni menyebar penyakit. Tangkap dan cekal mereka pula!"

   "Wuh, kasihan mereka, hanya wanita-wanitu saja. Kalau begitu temui saja Poh-goanswe (jenderal Poh) yang membawahi Pasukan Huru-hara, rekan Cung. Kita minta agar ia menangkup dan menciduk wanita-wanita ini. Itu merupakan urusan Pohgoanswe."

   "Baik, kutemui dia!"

   Dan ketika Cung-taijin menghadap jenderal ini maka Poh-gounswe mengangguk-angguk.

   Pusukan Huru-hara adalah pasukan polisi non-militer.

   Maka ketika seluruhnya digerakkan dan menangkap wanita ini ternyata Seng Hwa dan kawan-kawan lari bersembunyi.

   Rombongan itu telah membubarkan diri dan bingunglah pasukan ini mencari sasaran.

   Empat penari itu akhirnya tahu gelagat, maklum bahwa ada apa-apa dengan pihak mereka yang tidak beres, apa lagi ketika seorang demi seorang dari tujuh pemikul musik tewas, mati oleh penyakit aneh yang menjijikkan.

   Setiap batuk keluar belatung.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan karena mereka wanita sementara penyakit itu memang ganas untuk pria, sedikit beruntunglah mereka maka Seng Hwa dan tiga temannya akhirnya memecahkan diri.

   Dasar wanita rendah.

   Karena asal mulanya memang pelacur maka Seng Hwa dan kawan-kawan memasuki rumah-rumah bordil.

   Di sini mereka ditampung seorang mucikari dan masing-masing bekerja sendiri-sendiri.

   Kebutuhan juga dicukupi sendiri-sendiri.

   Dan ketika masing-masing di tampung mucikari dan tinggal di tempat berbeda-beda, inilah yang menyulitkan pasukan Poh-goanswe moka sejenak jejai mereka hilang dan pasukan itu pusing.

   Akan tetapi Poh-goanswe menyadari bahaya nya bom-bom berjalan ini.

   Iapun membayangkan bagaimana kalau seandainya puteranya yang juga suka "jajan"

   Bertemu wanita-wanita ini.

   Tentu keluarganya akan kena pula.

   Maka ketika ia terus memerintahkan dan bersikap lebih bengis akhirnya berturut-turut empat penari itu tertangkap.

   Mula-mula Hui-hui, gadis baju merah kena ciduk.

   Gadis ini ternyata berada di selatan di kota Gapuk.

   Kemudian Ni-kiok si genit baju hijau tertangkap pula, di sudut kabupaten Ning-kui.

   Dan ketika Li Hwi tertangkap di kecamatan Yang-ku, di sebuah warung remang-remang adalah Seng Hwa tertangkap di...

   Gang Golly, daerah lampu merah kelas para bangsawan.

   Lengkaplah sudah wanita-wanita itu tercekal.

   Mereka langsung diisolir, terisak-isak dan dipandang sebagai barang menakutkan sekaligus menjijikkan bagi para pengawal.

   Makan pun dilemparkan lewat bawah pintu besi, minum atau keperluan lain diberikan secara tak manusiawi lagi.

   Dan ketika sebentar kemudian wanita-wanita ini menjadi menderita, tersedu dan kurus serta pedih maka mereka batuk-batuk dan...

   keluar belatungnya pula.

   Seng Hwa dan kuwun-kawan akhirnya kena penyakit PKD.

   Kini penyakit itu bukan hanya menyerang laki-laki namun juga wanita, betapa mengerikannya.

   Dan ketika empat wanita itu akhirnya tewas, persis seperti yang dialami mendiang Gok ongya maka pengawal lega akan tetapi Cung-taijin kalap.

   Ternyata dengan ditangkapnya empat wanita ini penyakit itu tak dapat ditangkal.

   Seng Hwa dan tiga temannya telah menyebarkan penyakit ini melalui pasangan-pasangan mereka.

   Dan pasangan-pasangan itu, yang ternyata juga banyak berasal dari suamisuami penyeleweng menularkan penyakit ini kepada isteri mereka.

   Bagi yang hamil menularkan pula pada bayinya, tak pelak lagi jerit tangis dan sumpah-serapah berhamburan dari balik pintu-pintu rumah.

   Mereka yang mengerti mengumpat-umpat suami sendiri, tak jarang adu jotos dan pukulan alu melayang ke wajah.

   Para suami panik.

   Dan ketika laporan demi laporan dikumpulkan Puserak (Pusai Kesehatan Rakyat) maka laporan itu akhirnya melayang ke muka Cung-taijin dan menteri kesehatan ini benar-benar pucat dan gemetaran sepanjang hari.

   Di tangannyalah ber gantung tanggung jawab dan penanggulangan penyakit itu.

   "Ini laporan Ho-kian. Tujuh puluh bayi meninggal karena PKD, taijin, mohon petunjuk dan penanganan secepatnya."

   "Dan ini dari wilayah Shan-tung. Ratusan anak mencret berat, ibunya muntah-muntah."

   "Yang ini kakek jompo kena demam berdarah, anak dan seluruh cicitnya menulari sebelas kampung. Mohon di-drop obat."

   Cung-taijin roboh tengkurep.

   Masuknya laporan bertubi-tubi bercampur penyakit lain malah membuat menteri ini menjadi pening, tekanan darahnya naik.

   Maka ketika seseorang kembali mengetuk pintu dan disangka melapor lagi, pembesar ini marah-marah maka ia menggebrak meja dan memaki-maki.

   "Pergi, cukup. Aku tak mau menerima laporan lagi. Pergi kalian kutu-kutu busuk ini!"

   Akan tetapi Cung-taijin terbelalak.

   Pintu dibuka dan...

   masuklah Yok-ong.

   Kakek itu mengerutkan kening dan tiba-tiba Cung-taijin mengeluh.

   Menteri ini terjerembab.

   Dan ketika ia terguling dan pingsan di kursinya, menjeritlah anak isterinya maka Yok-ong mengangguk-angguk dan segera menolong Cung-taijin itu.

   Tekanan darahnya ternyata mendekati tiga ratus, kurung sak se-trip.

   Ributlah rumah menteri ini.

   Untunglah Yok-ong ada di situ dan buru-buru menolong Cung-taijin.

   Pertama kali tentu menurunkan tekanan darahnya.

   Tabib ini mengunyah permen karet, dicampur dengan beberapa dedaunan harum lalu dimasukkan ke mulut sang menteri.

   Orang tak perlu jijik melihat gusi Yokong yang berlendir, lendir itupun obat.

   Kan Yok-ong Raja Obat.

   Lalu ketika benar saja Cung-taijin sadar dan melegakan anak isterinya maka pembesar ini mengeluh tapi sudah agak baikan.

   Mumet (pusingnya) hilang.

   "Maaf, aku tak tahu. Ampunkan aku Yang Mulia, aku tak tahu buhwa paduka yang datang. Mari... mari duduk. Aku... ah, terlalu banyak laporan masuk. Kepalaku pening!"

   "Aku tahu. Persoalan sudah menyebar begitu cepat, taijin, penyakit ini telah meraja-singa, eh... merajalela. Duduklah yang tenang dan jangan pikirkan macam-macam."

   "Paduka datang diutus sri baginda?" "Tidak,"

   Kakek itu tersenyum.

   "Aku datang karena ibu-suri."

   "Ah!"

   Wajah Cung-taijin pucat.

   "Kalau begitu habislah karirku, Yang Mulia. Tentu aku hendak dicopot. Aku belum melapor sri baginda tentang penyebaran penyakit ini, aku masih sibuk!"

   "Tenang, bukan masalah copot-mencopot. Aku datang karena hal yang lain, taijin, minta sesuatu..."

   "Paduka... minta sesuatu...? Jabatan hamba? Kedudukan hamba?"

   "Hm, kau begitu ketakutan. Sekali lagi bukan masalah itu, taijin, melainkan obat. Ya, aku kehabisan daftar sebuah obat dan kini hendak minta kepadamu. Gudangmu tentu menyimpan banyak. Adik terkasih sri baginda sakit, aku harus cepat-cepat menolong."

   "Ah, puji kepada segala dewa. Aduh, aku benarbenar ketakutan kalau kedudukanku diambil, Yang Mulia, dianggap gagal dalam mengatasi penyakit ini. Aku masih berjuang, aku sedang berusaha keras. Seluruh anak buahku kukerahkan di sini!"

   "Aku tak berurusan dengan itu. Aku datang untuk ini, cepatlah kau tolong."

   Yok-ong memberikan sebuah catatan, dibaca dan Cung-taijin mengangguk34 angguk.

   Daftar itu adalah daftar obat generik, nanti dicampur sendiri oleh Yok-ong dan menjadi sebuah resep.

   Ada bubuk akar dan dedaunan, semuanya memang ada di gudangnya.

   Dan ketika buru-buru menteri ini melayani tamunya dan Yok-ong mengangguk-angguk maka tak lama kemudian tabib itu telah meninggalkan-kamar kerja Cung-taijin ini.

   "Nanti dulu, siapa si sakit. Aku lupa bertanya dan harap Yang Mulia memberi tahu!"

   Sang menteri teringat kewajibannya dan bahaya besar bila ia tak datang berkunjung.

   Si sakit adalah adik terkasih kaisar, tidak berkunjung bisa dianggap tidak loyal.

   Maka ketika dia teringat dan buru-buru bertanya maka Yokong menarik napas dalam menjawab pendek.

   "Pangeran Kam."

   "Ah, Kam-ongya?"

   "Benar."

   Lalu ketika kakek itu keluar dan memasuki kereta, sudah disambut saisnya maka Cungtaijin buru-buru ganti pakaian dan minta dasi.

   Kabur menyusul Yok-ong.

   Akan tetapi ternyata ibu-suri tak memperkenan kan siapa pun masuk.

   Di pintu si sakit sudah berjubel pejabat tinggi negara dan setengah tinggi.

   Yang rendah-rendah tentu saja tak boleh menginjak ruangan itu, hanya mengotori lantai saja.

   Dan ketika semua meletakkan bingkisan dan oleh-oleh, gelang permata berhamburan pula di meja yang telah disediakan maka semua termangu-mangu dan diam-diam di antara mereka saling melotot pemberian siapakah yang paling berharga.

   Orang sakit kok malah dijejali gelang permata! Yok-ong bekerja di dalam.

   Dibantu empat tabib lain yang setingkat di bawah kakek ini meramu dan memberikan obat.

   Suara batuk dan dahak terdengar.

   Lalu ketika terdengar jerit tangis sang ibu-suri, disusul bantingan pecah-belah terdengar bentakan dan makimakian yang membuat pengunjung di luar mengkeret.

   "Bohong, tidak percaya. Kau dusta dan pembual, Yok-ong. Tidak mungkin puteraku terkena Penyakit Kutukan Dewa. Puteraku bukan homo, kau menghina dan merendahkan martabatku. Pergi... pergi kau, pergi kulian semua... prang-pranggg...!"

   Mangkok dan piring dibanting hancur dan Yok-ong serta teman-temannya terhuyung keluar.

   Wajah kakek ini pucat dan anehnya para pejabat tahu gelagat.

   Tiba-tiba mereka ngacir keluar, belum apa-apa sudah menyelamatkan diri.

   Dan ketika Yok-ong termangu-mangu dan masih mendengar caci-maki, empat temannya duduk diam di sudut muka ibu-suri keluar dengan wajah merah padam, semua pejabat dan pengunjung sudah lenyap.

   Pinter mereka itu, daripada kena damprat.

   "Kau...!"

   Ibu-suri menuding.

   "Cari sebab-sebab nya puteraku begini, Yok-ong. Kalau tak ketemu dan gampang saja kau bicara aku akan minta kepada sri baginda untuk menggantungmu. Aku akan memotong lidahmu, kusobek mulutmu nanti!"

   Yok-ong mengangguk-angguk, kalah kuasa.

   Memang dia sendiri juga terkejut setelah memeriksa bahwa Pangeran Kam kena PKD.

   Dahaknya tadi mengeluar kan belatung.

   Dan ketika ia juga terheranheran kenapa pangeran yang baik itu kena penyakit kutukan, seingatnya Kam-ongya tak pernah berbuat menyimpang maka tugas baginya untuk menyelidiki sebab-sebab sang pangeran kena itu.

   Dan kakek ini tertegun.

   Dari hasil penyelidikan nya yang gigih akhirnya diketahui bahwa sebulan yang lalu Kam-ongya ditangani tabib Li, yakni ketika pangeran merasa linu-linu dan tidak enak badan.

   Kam ongya baru terjatuh dari kuda dan memanggil tabib itu, bawahannya.

   Dan ketika Li-sinshe melakukan tusuk jarum, inilah biang keladinya maka Yok-ong menjadi marah dan gusar.

   Jarum yang dipakai bawahannya itu adalah jarum yang pernah ditusuktusukkan ke tubuh mendiang Gok-ongya.

   Dengan lain kata, jarum itu sesungguhnya telah tercemar, nggak steril! "Terkutuk lu, slompret! Apa yang kau lakukan ini, Li-sinshe.

   Tidak tahukah kau bahwa jarummu bekas untuk Gok-ongya.

   Lihat apa yang terjadi, Kamongya menderita.

   Kau kemproh dan tidak hygienis.

   Matik lu, kulaporkan' ibu-suri!"

   Yok-ong yang balas menumpahkan kemarahannya ganti mendamprat habis-habisan bawahannya itu.

   Dulu ia mandah dimaki-maki sekarang balas memaki-maki, tentu saja jauh lebih kejam, kan berikut bunganya.

   Dan ketika Li-sinshe ketakutan dan, gemetar, Yok-ong berlari menghadap ibu-suri maka ia mengejar terbata-bata.

   "Tidak... jangan lapor. Aku... aku memang bersalah, Yok-ong. Jangan lapor ibu-suri dan aku bertanggung jawab, biarkan aku menghukum diri!" Namun Yok-ong terlanjur marah, la tak menghiraukan dan terus lari karena gara-gara rekannya ini ia mendapat celaka. Kalau diri sendiri tak berhasil menemukan sebab-sebabnya ia akan dihukum gantung, lebih ngeri lagi ibu-suri akan mengerat lidahnya dan menyobek mulutnya. Maka ketika ia berlari dan dikejar sambil meratap-ratap, akhirnya ibu-suri ditemui maka langsung saja ia memberi laporan.

   "Kam-ongya memang bersih, bukan pria menyimpang. Akan tetapi penyakit itu benar PKD, ibusuri, dan penyebabnya adalah Li-sinshe. Sebulan yang lalu ia melakukan tusuk jarum, dan celakanya jarum itu bekas Gok-ongya. Ini orangnya dan silakan paduka tanya!"

   Akan tetapi jerit para dayang disusul robohnya seseorang.

   Suara gedebuk membuat Yok-ong menoleh, melihat rekannya menusuk tembus dada kiri dengan jarum sebesar telunjuk.

   Jarum itu panjang dan menghunjam jantung.

   Dan ketika semua terkejut dan dayang berlarian menjerit-jerit, masuklah pengawal maka ibu-suri terbelalak dan membuang muka.

   Lisinshe roboh dengan dada bersimbah darah.

   "Kalau begitu yang bersalah sudah mampus.

   Tapi kau atasannya, Yok-ong, pimpinan juga harus bertanggung jawab.

   Sembuhkan puteraku atau ganti nyawanya!"

   Yok-ong berubah.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pimpinan memang tidak enak, sekali kena getah seumur hidup rasanya melekat juga.

   Dan ketika ia termangu dan mundur menunduk maka kakek ini gelisah karena nyawanya masih terancam.

   Ibu-suri tak mau tahu, dan celakanya yang kena adalah putera tersayang.

   Kok tidak pangeran lain saja! Kebingungan membuat kakek ini murung.

   Rasa panik mulai membuatnya gelisah juga, tak terasa langkah pun gontai dan tiba-tiba ambruk.

   Yok-ong kena serangan darah tinggi, pusing dan marah! Akan tetapi ketika ketiga rekannya datang berlarian dan menolong kakek ini, sang tabib ditolong tabib maka selanjutnya kakek ini mengeluh terisak-isak.

   "Aku... kedudukanku serba runyam. Setelah mendapat kesenangan dan hidup bergelimang mewah sekarang nasib buruk menghampiriku, rekan-rekan. Ibu-suri tak mau tahu dan minta puteranya sembuh. Atau aku akan dihukum. Ah, jadi pimpinan berat tanggung jawabnya, kalau gagal nyawa taruhannya. Bawalah aku pulang dan biarlah aku merenung di sana. Dan kalian... carikan jalan keluar atau kelak menerima nasib sama...!"

   "Kami... kami tak mau menggantikan kedudukanmu. Kami tak mampu, Yok ong, kami tak sanggup. Kau harus tetap bersama kami dan pemimpin di sini!"

   "Benar, kami tak bisa apa-apa kalau dimarahi ibu-suri. Kau harus tetap hidup dan biar kami carikan jalan keluar!"

   Tiga tabib itu, yang ketakutan dan pucat membayangkan nasib sendiri cepat-cepat menghibur Yok-ong dan membawa kakek ini pulang ke rumah.

   Mereka gentar kalau ada apa-apa dengan Yok-ong, tak berani menggantikan kursi pimpinan setelah tahu begini.

   Pemimpin itu ternyata berat, salah sedikit kena ketok! Dan karena mereka ingin sebagai bawahan saja, kalau ada apa-apa tidak berat tanggung jawubnya maka ketiganya segera berkumpul dan berunding setelah Yok-ong dibawa ke gedungnya.

   Ibu-suri sendiri tersedu-sedu lagi menjaga Kamongya.

   Putera kesayangan itu kena penyakit kutukan dewa, nasibnya bakal seperti mendiang Gok-ongya.

   Dun ketika obat demi obat diberikan namun gagal, semakin marahlah wanita ini maka tiba-tiba datanglah serombongan tamu da iri negeri seberang, sahabat kaisar.

   Mereka adalah orang-orang kulit putih dipimpin dua pasang orang-orang muda gagah dan cakap.

   Seorang di antaranya pemuda Han, didampingi seorang gadis jelita berambut pirang.

   Sedang seorang lagi seorang gadis baju merah berpedang yang didampingi pemuda tinggi gagah berpistol.

   Mereka merupakan rombongan besar, tak kurang dari empat puluh orang.

   Dan ketika pengawal terkejut menyambut mereka, rombongan ini berkuda dan membawa kereta maka mereka semakin terkejut lagi karena itulah keluarga Pangeran Fang.

   Sepasang muda-mudi Han itu adalah putera-puterinya.

   "Kami ingin menghadap kaisar, tolong beritahu kan. Tanda ini harap diberikan beliau."

   Pemuda itu, gagah berbaju hijau menyerahkan sebuah cincin bermata kepada pengawal.

   Melihat ini tiba-tiba pengawal berlutut, berseru dan memberi hormat dan yang lainpun menekuk kaki dalam-dalam.

   Cincin yang dibawa pemuda itu adalah tanda khusus seorang sahabat kaisar, dengan ini saja pemuda itu boleh masuk keluar seenaknya di istana.

   Maka ketika mereka cepat-cepat menyambut dan berdiri hormat, mempersilakan namun pemuda itu tak mau masuk dia berkata agar kedatangannya dilaporkan dulu.

   "Kami tak tahu sri baginda sibuk atau tidak. Beritahukanlah kedatangan kami dan bawalah cincin ini." Akhirnya komandan pengawal setuju. Dengan hormat dan takut-takut serta hati-hati dibawanya cincin kebesaran itu ke dalam. Cincin ini kembali dimasukkan kotaknya berbeludru merah, dipersembahkan kepada kaisar dan Bing Yu, kaisar sekarang gembira bukan main. Diperlihatkannya cincin itu membuat ia bertepuk tangan, itulah Bi-hongcoa yang dulu pernah diberikannya kepada keluarga Liang-san, keluarga orang-orang gagah di mana murid Dewa Mata Keranjang yang sakti tinggal, Fang Fang atau Pangeran Muda yang mendapat gelar atas jasajasanya terhadap istana. Maka ketika ia menyuruh masuk dan rombongan itu dipecah, hanya empat muda-mudi ini yang menghadap maka kaisar sudah menyambut di tangga atas ketika tamu-tamu itu datang. Girangnya bukan main.

   "Ha-ha,- saudara Kong Lee kiranya, dan nona Bheng Li, eh... maaf, nyonya Franky. Aha, selamat datang, sobat-sobat, mana ayah kalian paman Fang Fang!"

   Empat anak muda itu menjatuhkan diri berlutut.

   Meskipun kaisar menyambut dan menghormat mereka namun mereka tetaplah menjaga tata-cara.

   Ini istana, bukan rumah seorang kepala dusun.

   Maka ketika masing-masing berseru hormat dan sama-sama berseri, tak dapat disembunyikan kegembiraan itu maka dua muda-mudi itu bangkit disusul temannya.

   Kong Le, pemuda baju hijau itu tersenyum lebar.

   "Maafkan kami. Kedatangan kami tuk diundang, sri baginda, kalau mengganggu mohon ampun. Kami baru datang dari seberang, ingin mengunjungi paduka sesuai perintah paduka dulu."

   "Ha-ha, betul. Dan ini isterimu Yuliah. Wah, semakin cantik saja, Kong Le, dan kalian tampak gemuk dan sehat-sehat sekali. Tentu setiap hari sarapan roti dan keju!"

   "Ah, kami lebih suka singkong. Makanan itu alami, sri baginda, tak banyak berlemak. Mungkin paduka ingat ketika dulu sama-sama terkepung penjahat. Puduka dan kita makan seadanya."

   "Ha-ha, betul, singkong tak kalah gisi. Dimakan dengan mentega juga enak, Kong Le, apalagi kalau dicelup madu. Wah aku tak tahu mana sebetulnya yang lebih bergisi antara singkong dan madunya. Ha ha, mari duduk. Kalian tamu-tamuku dari jauh!"

   Pengawal dan dayang kaisar tersenyum senyum.

   Dari pembicaraan itu tersirat jelas gurauan dari keakraban.

   Siapa yang berani seperti ini kalau bukan sahabat atau orang cukup dekat dengan sri baginda.

   Dan ketika sri baginda bertepuk tangan memberikan kursinya, empat orang itu duduk berpandangan maka kaisar menyambut empat tamunya ini dengan wajah dan sikap betul-betul gembira.

   Orang tak akan heran kalau mengetahui siapa orang-orang muda ini, terutama pemuda baju hijau dan wanita muda baju merah itu.

   Mereka adalah Kong Le dan Bheng Li yang dulu ketika kaisar tertangkap pemberontak (baca.

   Playgirl Dari Pak king) ditolong oleh orang-orang muda ini.

   Bahkan Fang Fang, ayah mereka yang sakti akhirnya turun tangan.

   Berkat pendekar itulah pemberontak dapat dihancurkan, Fang Fang kembali ke Liang-san dan keluarga ini tentu saja mendapat penghargaan tinggi.

   Tanpa turun tangannya keluarga ini tak mungkin pemberontak dikalahkan, karena mereka dipimpin oleh adik tiri kaisar sekarang yang lihai bersama gurunya, Wi Tok dan Siang Lun Mogal.

   Akan tetapi karena Wi Tok tewas dan kakek gundul dari Mongol itu dibebaskan, istana pulih kembali maka negeri dapat diamankan lagi dan dalam tahun-tahun terakhir ini tak ada yang cobacoba melakukan makar seperti dulu.

   Keluarga Liangsan tentu siap membela dan turun tangan.

   Dan siapa tidak tahu kesaktian pria berusia empat puluh lima tahun bernama Fang Fang itu, juga puterinya Kiok Eng, gadis perkasa yang akhirnya menjadi menantu Dewa Mata Keranjang almarhum! Kaisar menjamu empat orang muda ini dengan makan minum lezat.

   Anggur tua, juga daging dan masakan langka dikeluarkan semua.

   Ada semur kaki naga, ada goreng kepiting kulit hitam.

   Dan ketika panggang harimau juga dikeluarkan di situ, disertai sup burung merak maka jamuan benar-benar meriah dan kaisar sering lepas ketawanya kepada tamu-tamu hal yang tak biasa.

   "Berapa tahun kalian meninggalkan Tiong-goan. Tidakkah ada rasa kangen dan ingin berlibur. Kau dan adikmu ini terlalu, Kong Le, setelah berbulan madu rasanya negeri seberang lebih elok. Eh, ceritakan kepadaku apa saja yang ada di sana. Bagaimana negeri itu. Apakah pertikaian dan permusuhan tak ada!"

   "Hm, sama saja. Di mana-mana yang namanya manusia ini selalu ada baik ada buruk, sri baginda. Di sanapun juga begitu. Pertikaian hampir tiap hari, dan kami harus pandai-pandai menjaga diri."

   "Bagaimana dengan Gubernur Young." "Titip hormat dan salam untuk paduka. Semoga rakyat dan paduka hidup bahagia."

   "Ha-ha, gubernur itu pandai memikat hati. Terima kasih, Kong Le, salam kembali. Kami juga berharap Gubernur Jenderal dan Raja bahagia selalu. Omong-omong apakah kalian datang ke sini hanya untuk dolan (berlibur)!"

   "Kami ingin ke Liang-san, kangen ayah ibu. Tapi Franky dan Yuliah ada keperluan khusus."

   "Wah, perlu apa, tampaknya serius!"

   "Benar, baginda,"

   Pemuda kulit putih itu tibatiba menarik napas panjang.

   "Kami mendapat perintah dari Gubernur Jenderal untuk, membawa seseorang. Dia diduga lolos ke sini, menimbulkan keonaran."

   "Hm!"

   Kaisar terkejut, tak merasa ada keonaran, negeri aman-aman saja.

   "Rasanya sejak pemberontakan itu tak ada lagi keributan, saudara Franky. Aneh kalau kau bilang ada keonaran di sini. Negara aman!"

   "Benar, kalau ditinjau dari sudut keamanan. Tapi dari sudut kesehatan orang ini membawa petaka, sri baginda. Gubernur Jenderal memerintahkan kami untuk menangkap dan membawanya pulang. Negeri kami tak ingin mengotori negeri paduka dengan ulah orang ini. Ia pembawa penyakit!"

   Kaisar terkejut, membelalakkan mata.

   "Kami serius dan tidak main-main. Demi menjaga persahabatan kedua negara maka kami diutus untuk mencari dan membawa pulang orang ini. Kalau ia tidak ada di sini maka kami akan mencarinya di tempat lain."

   "Hm-hm, siapa orang itu. Penyakit apa yang ia bawa."

   "Namanya Leiker (Penikmat), penyakit yang dibawa belum dikenal secara umum tapi ahli-ahli kami menyebutnya Ahiv."

   "Ah, penyakit apa itu? Ahiv?"

   "Benar, sri baginda, singkatan dari Akibat Hubungan Informal Variatif."

   "Wah-wah, aneh sekali, baru kali ini kudengar. Akibat Hubungan Informal Variatif. Wah, penyakit apa itu, dan apa maksudnya hubungan informal variatif!"

   Kalau saja yang diajak bicara adalah orangorang Timur tentu empat tamu ini jengah.

   Tapi pemuda kulit putih itu menarik napas dalam-dalam, sedikit melirik kepada teman-temannya dan iapun mengangguk.

   Lalu karena dialah yang berkompeten untuk menjawab maka tanpa segan-segan lagi pemuda itu menerangkan, tiga temannya mengangguk-angguk.

   Bheng Li, wanita baju merah itu rupanya sudah terbiasa di alam Barat.

   "Yang dimaksud dengan hubungan informal variatif itu adalah pada mereka pria-pria menyimpang. Di negeri kami yang serba bebas maka apapun dilakukan, termasuk perbuatan ini, yakni sebuah penyimpangan seks. Mereka tak suka kepada lawan jenisnya melainkan melulu kepada sesama jenisnya saja. Jelasnya, laki-laki mencintai laki-laki. Nah, adanya penyimpangan inilah maka suatu hari terdapat kejadian, ditemukannya oleh para tabib kami adanya penyakit ganas yang akhirnya disebut Ahiv itu. Mereka menyebutnya demikian karena memang bermula dari laki-laki penyimpang ini. Dan karena penyakit ini amat berbahaya dan pasti menular melalui hubungan badan maka di khawatirkan menjadi momok ganas karena terus terang saja sampai saat ini para ahli pengobatan kami belum menemukan obatnya!"

   "Hm-hm!"

   Kaisar mengangguk-angguk, tergetar dan tiba-tiba teringat Gok-ongya yang meninggal itu.

   Meskipun tak dilapor kan secara khusus namun tentu saja dia mendengar berita selentingan itu.

   Cung-taijin, Menteri Kesehatannya masih belum melaporkan secara resmi.

   Kabar-kabar di luaran hanya lewat dan masuk silih berganti.

   Maka ketika tiba-tiba ada input (masukan) dari pemuda kulit putih ini, tentang berita penyakit yang hampir sama dengan di negerinya seketika kaisar menjadi tertarik dan menganggukangguk, wajahnya memerah karena iapun malu kalau teringat kakak tirinya itu, mendiang Gok-ongya yang homo.

   "Bagus, kebetulan sekali ceritamu. Coba lanjutkan lagi, Franky, tanda-tanda apa yang kira-kira menjadi bukti penyakit ini."

   "Ada gejala demam panas sebulan..."

   "Wah, persis!"

   "Apanya yang persis,"

   Pemuda itu malah terkejut, memandang kaisar dengan heran.

   "Apa maksud paduka, sri baginda, persis dengan siapa."

   "Hm-hm, lanjutkan dulu. Atau, he... tunggu sebentar. Biar kupanggil Yok-ong dan Cung-taijin!"

   Tidak menunggu tamunya setuju tiba-tiba kaisar bertepuk tangan memanggil pengawal. Ia memerintah kan agar dua orang itu dipanggil. Dan ketika wajah kaisar begitu serius dan tampak tegang maka empat tamunya malah tak enak.

   "Maaf, sri baginda, apakah cerita kami justeru mengganggu."

   "Tidak, tidak... tapi berhenti dulu sebentar. Kita tunggu Yok-ong dan Menteri Kesehatanku. Mereka harus tahu itu, ada kejadian yang tampaknya mirip di sini."

   Empat muda-mudi itu saling pandang.

   Mereka berdebar dan kaisar menghentikan sejenak, makan minum dilanjutkan lagi.

   Lalu ketika Cung-taijin dan Yok-ong datang tergopoh, Raja Obat itu malah terjungkal di anak tangga maka ia mengaduh-aduh karena pinggangnya keselio.

   Rasa takut dan panik membuat ia mudah kaget.

   "Aduh, hati-hati. Lepas sandalmu Yok long, ubin istana licin. Masa ke sini bersandal jepit!"

   Yok-ong kemerah-merahan.

   Saking panik dan gugup dipanggil kaisar ia berlari tergopoh-gopoh.

   Tadi ia sedang buang hajat, sandal melekat dan lupa dilepas.

   Mengira kaisar sakit mendadak iapun buruburu datang, celakanya terantuk dan sandal itupun terlontar, kebetulan menghantam hidung seorang pengawal.

   Dan ketika pengawal itu bersin-bersin karena sandal baru dipakai ke WC, nasib sungguh sial maka kakek renta ini mencari kacamatanya yang jatuh pula, tak terasa diinjak Cung-taijin.

   Pecah! "Ah, kaca...

   kacamataku.

   Kau menginjaknya, taijin, bedebah keparat.

   Angkat kakimu!"

   "Ooh, maaf. Aku tak tahu, Yok-ong, dan... sst, jangan memaki-maki di sini. Sri baginda ada di situ, menerima tamu pula. Ambil kacamatamu yang baru di ikat pinggangmu itu!"

   Cung-taijin pucat, tak berani membalas dan Yok-ong buru-buru mengambil kacamata cadangan.

   Tapi karena kacamata itu hanya kacamata baca, bukan untuk melihat jauh maka wajah kaisar seakan bulatan sebesar pensil atau paling banter seperti kepala tikus.

   Yok-ong mengeluh, diam-diam meremas bokong Cung-taijin.

   Tapi karena kebetulan kukunya lancip maka Cung-tuijin berteriak.

   "Athouwwww...!"

   Kaisar dan lain-lain terkejut.

   Tak ada jalan lain bagi Cung-taijin kecuali pura-pura terpeleset.

   Ia berdebuk di lantai licin, di samping supaya punya alasan juga untuk menghindari tusukan jari Yok-ong.

   Kakek itu sedang marah kepadanya.

   Dan ketika dua orang itu menjadi pusat perhatian dan kaisar menjadi merah maka buru-buru pengawal menolong bangun menteri ini, padahal baru saja Cung-taijin menolong bangun Raja Obat, berlutut dan minta maaf.

   "Ampun, kami... ah, kami terburu-buru, sri baginda. Kami menyangka paduka sakit mendadak. Mohon ampun dan harap maafkan kejadian ini!"

   Kaisar tersenyum, geli.

   Akhirnya ia memaklumi juga dan mengangguk-angguk.

   Empat muda-mudi itu melempar senyum.

   Tapi ketika kaisar menyuruh pembantunya duduk, Yok-ong yang berganti kacamata kurang jelas mendadak kakek itu terjerembab dan berteriak kesakitan.

   Bantalan kursi rasanya sebesar ujung jarum.

   Ini gara-gara kacamata cadangan itu, yang hanya bisa dipakai untuk baca.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bruukkk!"

   Cung-taijin berseru kaget dan menolong.

   Kakek yang sudah terjelungup di anak tangga itu kini bertambah sial dengan menduduki kursi secara tidak pas.

   Yok-ong mewek-mewek.

   Dan ketika empat mudamudi itu khususnya yang wanita tak dapat menahan geli merekapun terkekeh-kekeh.

   "Sst, jangan tertawa. Kakek ini kesakitan, Bheng Li, ia benar-benar menderita. Coba kaulihat adakah tulang punggungnya retak atau tidak!"

   Kong Le, yang tak enak juga cepat menegur adiknya berhenti tertawa.

   Yuliah, gadis berambut pirang itu masih terpingkal-pingkal, menutupi mulutnya dengan tangan.

   Tapi ketika Bheng Li meloncat dekat dan menolong kakek ini, bantu mendudukkannya dengan benar maka Yok-ong melotot tapi segera terkejut mendengar bahwa para tamu, itu adalah keluarga Liang-san.

   "Mereka ini adalah putera-puteri Fang Fang. Harap paman duduk baik-baik dan dengarkan sesuatu yang penting. Aku memanggilmu untuk urusan besar."

   Yok-ong menyeringai manggut-manggut.

   Kalau ini adalah para pendekar Liang san tentu saja dia tak berani cuap-cuap.

   Kaisar boleh sayang kepadanya tapi tentu lebih sayang kepada muda-mudi itu.

   Maka ketika ia meringis dan duduk baik-baik, diam-diam mengumpat Cung-taijin yang memecahkan kacamata aslinya maka sri bagindapun segera bercerita bahwa ada berita penting dari seberang.

   "Aku mengundang karena ada sesuatu yang penting, kalian berdua sama-sama berkompeten. Nah, biar pemuda ini mengulang lagi dan kalian dengarkan baik-baik." Franky menahan senyum. Yok-ong menahan sakitnya dengan bibir menjorok ke depan, melihat ini seperti melihat seekor monyet sedang monyong. Tapi karena kaisar meminta agar dia mengulang, berita tanah seberang rupanya penting bagi kaisar maka diceritakanlah kejadian itu sampai dia berhenti disetop kaisar tadi.

   "Nah, itulah ceritanya. Kami menyebutnya Ahiv, istilah yang mungkin asing bagi kalian. Dan karena ahliahli pengobatan kami belum mampu menemukan obatnya maka orang bernama Leiker ini kami cari dan hendak kami bawa pulang." (Nyambung

   Jilid 2) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid II *** "AHIV?"

   "Ya, Ahiv, Yok-ong, singkatan dari Akibat Hubungan Informal Variatif. Penyakit ini disebabkan virus ganas, dan asal mulanya ya dari pria-pria menyimpang itu. Nah, mungkin ada pertanyaan dan kami akan menjawab itu."

   "Hm-hm!"

   Yok-ong mengangguk-angguk, saling pandang dengan Cung-taijin.

   "Kalau begitu sama persis dengan sini."

   "Sama persis bagaimana."

   Pemuda itu kembali heran.

   "Tadi sri baginda juga bicara begitu, Yok-ong. Apa yang kalian maksud dan coba terangkan."

   "Maaf, bolehkah kami bicara."

   Yok-ong memandang kaisar dulu, tentu saja tak berani lancang.

   "Bicaralah, Yok-ong, tamu kita adalah sahabat." "Terima kasih,"

   Kakek ini lega, kali ini memandang pemuda itu.

   "Di negeri kami juga terjadi hal yang mirip, kongcu (tuan muda), tapi nama penyakitnya kami sebut PKD. Kami juga tak tahu obatnya, tapi asal-muasal penyakit ini kami tahu, yakni juga karena adanya laki-laki menyimpang itu."

   "PKD?"

   "Ya, singkatan dari Penyakit Kutukan Dewa. Kalau kongcu menyebut Ahiv maka kami juga punya istilah itu, yakni PKD. Kalau begitu negeri kami dan negeri kongcu sama, sama-sama mendapat penyakit luar biasa ini, penyakit berbahaya! "Hm...!"

   Franky mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu kita sama, Yok-ong, dan sekarang kita samasama pula menanggulangi penyakit ini. Ahli-ahli pengobatan kami juga sibuk menemukan penangkal nya."

   Pembicaraan berlanjut.

   Sekarang Yok-ong mendengarkan sekaligus melaporkan kejadian di negerinya, Cung-taijin menyambung dan secara resmi melapor pula pada kaisar.

   Lalu ketika sri baginda mengangguk-angguk dan mendengarkan dengan kening berkerut, rakyat terancam kesehatannya akhirnya diambil keputusan bahwa semua itu harus diatasi.

   "Mohon petunjuk sri baginda,"

   Cung-taijin mendahului dan memberi hormat.

   "Apa yang harus kami lakukan dan langkah-langkah apa yang harus kami ambil."

   "Kau seorang Menteri Kesehatan, Yok-ong dapat mendampingimu. Langkah-langkah yang kauambil tentu saja langkah-langkah yang bersifat segera, taijin, tindakan pengamanan. Kalau obat belum ditemukan harap yang terkena dicari dan diisolir. Kuberikan pulau Ang-bi (Alis Merah) untuk menampung mereka, jauhkan dari masyarakat dan lakukan penyuluhan gencar-gencaran agar laki-laki menyimpang kembali ke jalan benar. Bagi wanita yang kena jangan diperbolehkan berhubungan dengan kekasihnya, sementara bagi suami yang kena jangan mendekati isterinya dulu. Tangkal penyakit itu dengan tindakan darurat dulu. Dan kau,"

   Sri baginda menuding Yok-ong.

   "Tugasmu memusnahkan penyakit ini, Yok-ong. Temukan obatnya dan bekerjalah siang malam!"

   "Hamba melaksanakan perintah,"

   Kakek ini membungkuk.

   "Mohon restu paduka agar secepatnya menemukan penangkalnya, sri baginda. Hamba akan memeriksa dan menyelidiki semua akar dan daundaunan di laboratorium hamba."

   Bheng Li menahan senyum. Kiranya Yok-ong jelek-jelek punya laboratorium sendiri, hebat juga. Dan ketika pembicaraan berakhir dan dua orang itu meninggalkan ruangan maka kaisar minta ugar empat orang muda ini jangan tergesa meninggalkan istana.

   "Aku masih ingin bercakap-cakap dengan kalian, masih kangen. Sore nanti aku ingin main tioki (catur) dengan kalian. Bukankah kalian tak keberatan?"

   Kong Le saling pandang dengan tiga temannya, mengangguk.

   "Baiklah, sri baginda, menghormati penghargaan paduka kami tak akan segera pergi. Tapi maaf, besok kami harus meninggalkan kota raja bertemu orang-orang tua kami."

   "Ha-ha, boleh, aku tak akan melarang. Sekarang silakan istirahat dan sore nanti bertemu lagi!"

   Empat muda-mudi itu mengangguk.

   Mereka menarik napas lega dan rombongan di luar tentu saja lebih lega lagi.

   Pimpinan mereka keluar.

   Dan ketika untuk rombongan ini diberikan tempat sendiri maka Kong Le dan pasangannya beristirahat di gedung sebelai-, sorenya bertemu kaisar dan main catur.

   Kebetulan anak-anak muda dari mancanegara ini membawa permainan asing namun menarik bagi sri baginda, benda kecil yang bisa berbunyi tat-tit-tat-tit kalau disentuh tombolnya.

   Dan ketika sore itu kaisar tercengang dan bertanya apa nama mainan itu maka Franky menjawab sambil tersenyum.

   "Game-watch."

   "Gem-bot?"

   "Ya, sri baginda boleh menyebutnya begitu. Kami menamakannya game-watch, tapi untuk lidah negeri ini agaknya lebih cocok Gem-bot. Baiklah, gembot. Mari hamba ajari untuk pembuang waktu senggang."

   Sri baginda terkekeh-kekeh.

   Begitu di mainkan segera benda-benda lucu bermunculan di layar kecil ini.

   Ada orang-orang an.

   Ada koboi nembak ayam jago.

   Dan ketika bermacam atraksi diperlihatkan benda canggih ini, pengawal dan pembantu dekat kaisar terbelalak dan terkagum-kagum maka Mu-thaikam (pembesar kebiri Mu) yang dekat dengan Menteri Perdagangan Siu segera bisik-bisik dengan pembantu nya dan tak lama kemudian pembantu itu sudah keluar dan lenyap meninggalkan ruang bermain tioki itu.

   Franky tak menduga bahwa benda yang dibawa itu berbuntut.

   Tentu saja dia tak tahu bisik-bisik Muthaikam dengan pembantunya.

   Maka ketika malam itu ia selesai menghibur kaisar dan beristirahat di kamar nya maka belum lima menit muncullah thaikam itu dan seorang pendek gemuk berwajah bulat.

   Muthaikam ini tentu saja dikenalnya.

   "Heh-heh, selamat malam, maaf sedikit mengganggu."

   Mu-thaikam membungkuk dan menjura dalam-dalam, tahu siapa yang dihadapi.

   "Perkenalkan rekanku Siu-taijin, kongcu, Menteri Perdagangan. Bolehkah kami masuk dan bicara sedikit."

   "Ada apa,"

   Pemuda ini heran, akan tetapi mempersilakan tamunya masuk.

   "Duduk dan bicara lah, taijin, tentu ada sesuatu yang penting."

   "Heh-heh, yang berkepentingan adalah Siutaijin ini, hamba hanya pengantar."

   Thaikam itu tertawa, duduk dan menyipit "Kami berdua datang untuk sedikit kepentingan, kongcu, tidak banyak tapi benar penting."

   "Katakanlah, apa yang kalian bawa." "Heh-heh, harap rekan Siu bicara."

   Sang menteri perdagangan tertawa gugup.

   Untunglah Bheng Li tak menemani suaminya ini dan atas senggolan Mu-thaikam diapun bicara.

   Mula-mula tersendat, agak terbata.

   Namun ketika ia memberani kan diri dan terbongkok-bongkok maka pemuda kulit putih ini tertegun.

   "Hamba, heh-heh... hamba ingin mempererat tali persaudaraan kedua bangsa, kongcu. Maksud hamba melipat gandakan hubungan perdagangan kita. Kami berdua... hamba dan Mu-thaikam tertarik dengan mainan gem-brot itu. Hamba, eh... kami berdua ingin memperkenalkan secara luas benda menarik itu kepada rakyat. Kami ingin membeli dan menyebarkannya secara besar-besaran, kami ingin memberi hiburan sekaligus asah otak kepada rakyat kami."

   "Bukan gem-brot, melainkan gem-bot. Kalau gembrot kaulah orangnya, taijin, tubuhmu pendek gemuk seperti bola!"

   "Heh-heh, Mu-thaikam menyempurnakan lidah hamba. Benar... benar, kongcu, maksud hamba adalah gem-bot itu. Ah, hamba keselio lidah, maaf!" Pemuda ini tiba-tiba tertawa. Tak tahan lagi dia melepas gelinya kepada pembantu-pembantu kaisar ini, tiba-tiba teringat dengan siapa dia berhadapan. Bangsa Han, dari dulu sampai sekarang adalah orangorang yang pinter dagang. Sedikit kesempatan segera diserbu dan tak mungkin disia-siakan. Itulah mereka, bangsa negeri Tirai Bambu ini. Akan tetapi karena bukan misinya untuk jual beli barang, kedatangannya adalah untuk mencari orang bernama Leiker itu maka ia menggeleng, berkata.

   "Maaf, bukan tujuanku menjual-beli barang. Kebetulan saja benda ini dilihat kaisar, taijin, kami membawanya sekedar pengusir sepi. Kalau kalian hendak membeli maka aku tak dapat memenuhinya. Tugasku ke Tiong-goan untuk urusan lain."

   Menteri itu kecewa. Tersirat warna merah akan tetapi Mu-thaikam menginjak kakinya. Di bawah meja itu gerakan sang thaikam aman. Dan ketika Siu-taijin tertawa dan menghilangkan kekecewaannya maka iapun mengangguk dan berkata.

   "Sayang sekali, hamba belum beruntung. Baiklah, kongcu, kalau begitu maaf dan kami permisi."

   Pemuda itu mengangguk.

   Dua tamunya keluur dan Siu-taijin langsung saja menegur temannya.

   Sekarang mereka telah jauh dari sahabat kaisar, pemuda itu telah menutup pintu kamarnya.

   Dan ketika di sudut lorong Mu-thaikam berhenti maka ia tertawa dan lagi-lagi wajah bulat itu membuat sepasang matanya menyipit.

   "Jangan marah, banyak jalan menuju Roma. Kalau di sana kuingatkan agar kau tidak menunjukkan kekecewaan maka sikapku benar, rekan Siu, justeru menyelamatkan dan menguntungkan dirimu. Tak perlu gusar."

   "Wah, enak bicaramu, ini kesempatan emas. Kalau pemuda itu menolak kita mana mungkin untung teraih, Mu-thaikam. Sudah kita hitung bersama bahwa kita akan mendapatkan keuntungan sekian juta tail. Habis harapan ini, sia-sia semua rencana matang kita!"

   "Tunggu, sabar. Sudah kubilang masih banyak jalan. Tenang dan dengarkan..."

   "Aku kecewa, tak bisa sabar. Jawab pertanyaan ku kenupa kau tak membiarkan aku membujuk pemuda itu. Kita bisa bagi komisi!"

   "Sst, jangan keras-keras. Masalah komisi bisa merupakan skandal, rekan Siu, terguling kedudukan kita nanti. Awas telinga nyamuk-nyamuk tajam dan jangan sampai menjadi bumerang!" "Aku ingin tahu jawabanmu!"

   "Kita mengambil langkah terobosan..."

   "Langkah terobosan?"

   "Sst, jangan keras-keras, ini bisnis. Hati-hati sedikit dan dengarlah kata-kataku. Kita masih dapat menghubungi orang-orang pemuda itu, maksudku rombongan di balik gedung istana ini. Mereka dapat dibujuk, dan kalau kita sama-sama memberikan gambaran bagi untung tentu mereka mau. Selama manusia masih hidup iapun masih dapat silau oleh uang dan harta. Nah, langkah-langkah kita selanjutnya adalah begini, taijin... dan begini..."

   Mu-thaikam bisikbisik, mula-mula kening Siu-taijin masih berkerut akan tetapi tiba-tiba terangkat gembira.

   Begitu gembiranya menteri ini hingga tiba-tiba ia melonjak dan berteriak girang.

   Mu-thaikam diangkat dan digendong dibawa berlarian.

   Dan ketika pembesar kebiri itu ganti berteriak dan memukul-mukul kepala temannya maka Siu-taijin menurun kannya dan terbahak-bahak.

   Dua orang itu sama-sama gembira, meskipun wajah Mu-thaikum kena hujan ludah rekannya, menyemprot-nyemprot.

   "Ha-ha, cerdik, sungguh cerdik. Kau benarbenar cerdik dan luar biasa, rekan Mu. Kau jenius dan amat pandai. Ah, aku tak memikir sejauh itu dan kau benar. Pembantu para pemuda itu dapat digosok, mereka dapat dibujuk. Dan sekali kena suap kita dan mereka sama. Ha-ha, keuntungan fiktifku menjadi terwujud, kita bakal bertambah kaya raya. Dan sekali kita main harga apapun sudah di tangan!"

   Dua orang itu tertawa-tawa.

   Mu-thaikam memang luar biasa dan ia tak hilang akal.

   Sesungguhnya kegagalan itupun sudah diperhitung kannya.

   Kalau pemuda kulit putih itu tak mau maka pembantunya dapat didekati diam-diam, mustahil di antara rombongan itu tak ada yang mau uang.

   Harta dan kedudukun biasanya membuat manusia silau.

   Dan ketika malam itu juga dilanjutkan dengan kunjungan ke gedung lain, ke pembantu pemuda kulit putih itu maka benar saja dua di antara mereka dapat dibujuk.

   Snoopy dan Weight, dua pembantu utama pemuda kulit putih itu.

   "Kami akan menyelundupkan barang-barang itu tanpa sepengetahuan Franky. Asal kita sama-sama untung baiklah, kami akan bekerja di balik layar. Terima kasih, Mu-taijin, kedatangan kalian malah membawa rejeki!" "Heh-heh, kalian orang-orang muda enerjik. Justeru kami yang berterima kasih kepada kalian, Weight. Tanpa kalian tentu semua ini tak bakalan jalan. Ah, negosiasi ini harus dirayakan. Kami akan... ha-ha-ha, kami akan membuat kalian orang-orang muda bahagia!"

   Mu-thaikam bisik-bisik kepada rekannya dan Siu-taijin tiba-tiba terkekeh.

   Menteri ini keluar sejenak menemui pengawalnya, ganti bisikbisik dan tak lama kemudian masuklah dua wanita cantik ke ruangan itu.

   Dan ketika dua pria kulit putih itu tertegun dan agak kaget maka Siu-taijin yang merasa cukup buru-buru pulang, melambaikan tangan.

   "Kami memberikan itu kepada kalian, bersenang-senanglah. Selamat malam, Weight, selamat malam, Snoopy. Berbahagialah dan sampai besok!"

   Dua pemuda ini tertawa.

   Tiba-tiba mereka bangkit dan tanpa malu-malu lagi sudah menggandeng dua wanita cantik itu.

   Mu-taijin menyuruh rekannya membawa oleh-oleh dan siapa tak senang.

   Kesukaan pria memang begitu, bungabunga harum.

   Dan ketika sejenak dua pemuda ini berjoget ria, wanita suguhan itu tersenyum dan tahu apa yang harus dilakukan tiba-tiba pembesar kebiri ini tertegun melihat dua pemuda itu merogoh dan menyobek sesuatu, mengambil semacam balon karet.

   "Eh, apa itu,"

   Sang thaikam tak tahan "Apa yang kauambil dan untuk apa itu, Weight-kongcu. Benda asing apa yang kalian bawa."

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha, ini pelindung PKD. Kami sudah mendengar berita negerimu, taijin, sama dengan negeri kami. Tanpa pelindung ini kami tak berani mainmain dengan wanita!".

   "Pelindung penyakit?"

   "Ya, khususnya PKD atau apa namanya itu. Kami telah berjaga diri dan semua laki-laki di negeri kami sudah siap sedia. Ini membuat kami aman!"

   Saing thaikam membelalakkan mata terheranheran.

   Pikirannya bekerja, diam-diam menguntit satu di antara dua pemu da itu mengintai dari lubang kunci.

   Lalu ketika ia mengerti dan hampir saja terkekeh, balon itu kiranya benda khusus tiba-tiba ia berlari dan melonjak ke gedung Cung-taijin.

   "Heh-heh, bisnis lagi. Bisa diimport. Wah, kutemui rekan Cung dan biar dia tahu!"

   Cung-taijin terkejut dan ganti terheran-heran ditemui thaikam ini.

   Tanpa ba-bi-bu lagi Mu-thaikam menggedor kamarnya, begitu tergesa dan amat buruburu.

   Untung ia di kamar kerja.

   Dan ketika pintu dibuka dan thaikam itu terkekeh-ke keh maka seruannya membuat ia terbelalak.

   "Ketemu... ketemu obatnya. Heh-heh, penyakit itu tak perlu ditakuti lagi, rekan Cung. Obatnya sudah ketemu. Wah orang-orang barat itu hebat-hebat!"

   "Apanya yang hebat, ketemu bagaimana,"

   Sang menteri malah bingung.

   "Kau bicara tanpa juntrung nya, Mu-thaikam, aku tak mengerti. Apa maksudmu dan kenapa kau begitu gembira!"

   "Heh-heh, uang... uang dan keuntungan. Keuntungan berlimpah di depan ma-ta, Cung-taijin. Obat PKD sudah ketemu. Ah, siapkan order dan kita pesan besar-besaran balon karet itu!"

   "Balon karet apa,"

   Sang menteri tambah bingung.

   "Duduk dan bicaralah baik-baik, Mu-thaikam. Aku semakin tak mengerti sikapmu ini. Kau seperti orang sinting saja."

   "Ha-ha, memang aku sinting, dan kau pun akan sinting. Tapi kita berdua sinting oleh keuntungan berlimpah, taijin. Kita bisa impor itu barang!"

   "Barang apa." "Balon karet!"

   "Ah, kau membingungkan. Coba duduk dan jangan aku menganggapmu gila,"

   Cung taijin hampir mengira temannya ini tidak waras, terkekeh dan tertawa-tawa sementara tubuh terus berputar-putar di belakang kursi.

   Mereka memang sudah akrab sebagai sesama pembantu kaisar.

   Dan ketika kasim atau thaikam itu duduk berseri-seri maka segera lakilaki ini mengeluarkan bungkus balon karet itu, kemasannya yang bagus bergambar sepasang kekasih berpelukan, mesra.

   "Lihat, ini penangkal PKD. Baru kali ini kulihat barang seperti itu, taijin. Dipakainya, ha-ha...!"

   Sang thaikam bisik-bisik, didengar Cung-taijin dan wajah men teri ini berkerut tapi tiba-tiba berseri. Dan ketika ia tertawa sementara sang thaikam terbahak maka mereka berdua sama-sama saling pukul dan cengkeram.

   "Ha-ha, bagus sekali, kau benar. Ah, di saat seperti ini maka pencegahan lebih utama dibanding pengobatan, Mu-thaikam. Sementara Yok-ong dan ahli-ahli Barat belum menemukan obatnya biarlah itu dipakai sebagai pelindung. Kau cerdas, otakmu jalan. Aku bisa memberikan order dan untung kita bagi dua, fifty-fifty."

   "Apa?"

   "Maksudku limapuluh-limapuluh, bagi dua. Kita bisa sebarkan itu kepada rakyat dengan keuntungan berlipat. Dan mereka, khususnya laki-laki bisa bersenang-senang lagi seperti biasa. Ha-ha, PKD kena penangkalnya!"

   Dua orang ini berpelukan dan begitu gembira. Mereka segera membicarakan bagaimana kelanjutan itu, dua pemuda kulit putih itu harus ditemui. Tapi ketika Mu-thaikam menggeleng dan berkata besok, jangan sekarang maka thaikam ini menerangkan.

   "Mereka sedang bersenang-senang, jangan diganggu. Besok saja kita temui dan laporkan pada Yok-ong bahwa penangkalnya sudah ketemu. Hatihati, bisnis ini jangan terdengar Franky. Yok-ong harap tutup mulut dan kita beri tahu agar pikirannya agak tenang."

   "Baik, baik. Besok, kita temui pemuda-pemuda itu, rekan Mu. Dan selanjutnya kita beri penyuluhan gencar agar rakyat, terutama laki-laki memperguna kan pelindung PKD itu. Mereka aman kita senang. Mereka senang kitapun untung, ha-ha!" Negosiasi kembali dilakukan. Kalau kemarin urusan tat-tit-tat-tit maka kali ini urusan balon karet. Mu-thaikam benar-benar cerdik, pandai benar dia memasuki kesempatan. Dan ketika kali ini bagi hasil dilakukan dengan Cung-taijin maka kasim atau thaikam itu mendapat keuntungan dua kali lipat sementara rekannya cukup separoh saja. Maklum kan dia dua kali mendapat komisi, satu dengan menteri perdagangan sementara yang lain dengan menteri kesehatan. Benar-benar pinter! Gencar tapi tidak menyolok mata mulailah Cung-taijin membagi-bagikan benda khusus laki-laki ini. Ibarat mainan yang penarik sebentar saja barang ini laris, begitu laris bak pisang goreng istimewa. Dan ketika dari mulut ke mulut keperluan pria itu tersebar luas akhirnya benda ini resmi diimport. Keuntungan Cung-taijin dan Mu-thaikam berlipat-ganda! *** Kita tinggalkan dulu istana dan penghuninya yang beragam. Marilah kita lihat bangunan kecil tapi kokoh dan asri di tepi hutan Jago. Di tempat ini, bersebelahan dengan sungai Wukiang yang mengalir tenang dua kakek gagah duduk bercakap-cakap di bangku kayu di halaman luar rumah. Mereka asyik bicara satu sama lain, duduk menikmati kopi panas dan sepiring jagung rebus. Di dekat mereka, di sebelah pot bunga tidur melingkar seekor anjing kecil berbulu singa, warnanya kemerahmerahan. Sementara di belakang dua kakek itu berdiri kokoh sebuah kandang besar terisi ayam-ayam hutan jantan betina. Asri dan tenang, apalagi ditambah bunyi gemericik pancuran bambu dari sebuah kolam di sudut rumah. Siapakah mereka ini? Bukan lain adalah Bugoanswe dan Kok-taijin, dua bekas pembesar istana yang sekarang sudah pensiun, mantan jenderal dan mantan menteri. Mereka sekarang sudah enampuluh lima tahun akan tetapi bentuk tubuh mereka masih tegap dan kuat. Lengan Bu-goanswe yang kokoh kekar menunjuk kan bekas jenderal ini menjaga fisiknya dengan baik. Sementara Kok-taijin, rekannya juga tak kalah tegap meskipun sedikit kurus. Rambut dua orang ini sudah sama-sama memutih akan tetapi sinar mata atau pandang mata mereka bak anak-anak muda saja, tajam berpengaruh. Hal ini tidak mengherankan karena betapapun keduanya adalah bekas tokoh istana. Juga mereka bukanlah orang-orang lemah karena baik Kok-taijin maupun Bu-goanswe adalah seorang ahli silat. Keduanya sama-sama memiliki ilmu cengkeram atau Kin-na-jiu, sejenis ilmu banting atau gulat. Dan karena keduanya juga sudah sama-sama pensiun maka masing-masing tak mau tinggal lagi di kota raja dan Bugoanswe me milih tinggal di hutan Jago itu. Kok-taijin tinggal di lereng Wu-san tak jauh dari tempat sahabatnya ini, di mana pagi itu Kok-taijin datang berkunjung.

   "Hm, kabar itu memang buruk, tapi mau apalagi. Urusan ini kabarnya sudah ditangani Cungtaijin, rekan Bu, juga Yok-ong sudah bekerja keras. Hanya yang memprihatinkan ialah obat penyakit itu belum ditemukan. Aku sedang berpikir keras dan mencari daya upayanya juga."

   Pembicaraan terdengar dan itulah suara Koktaijin, kakek di sebelah kiri.

   Bu-goanswe menganggukangguk dan mendengarkan dengan kening berkerut.

   Pagi itu apalagi yang mereka bicarakan kalau bukan Penyakit Kutukan Dewa.

   Gema dan cerita penyakit ini sudah sampai di lereng-lereng gunung.

   Maka ketika mereka bicara itu dan bekas jenderal tinggi besar ini menarik napas dalam maka kakek itu mengepal tinju, berkerotok.

   "Aku juga gemas, marah.

   Tapi yang paling menggemaskan adalah mereka yang menyimpang itu.

   Kurang apakah Tuhan memberikan semuanya kepada manusia, rekan Kok.

   Masih juga mereka bercintaan sesama jenis.

   Ah, ini penyakit jiwa, tapi akibatnya mendera fisik, dan rakyat sekarang gelisah!"

   "Manusia memang begitu, kelainan selalu ada. Mengutuk dan mencaci mereka tiada habisnya, rekan Bu. Faktor penyebabnya macam-macam. Tak perlu membicarakan mereka karena yang penting adalah daya upaya penyembuhan penyakit ini."

   "Benar, sekarang bagaimana menurutmu. Terus terang aku tak bisa tinggal diam melihat rakyat menderita!"

   "Aku sedang berpikir sesuatu, mengingat-ingat' sesuatu. Tapi sayang sesuatu itu belum kutemukan."

   "Hm, apa yang kaupikir, rekan Kok."

   "Obat untuk memusnahkan penyakit ini, menghancurkannya. Aku masih bingung dan belum menemukan jawabnya!"

   Bu-goanswe menarik napas dalam, meremas jari-jarinya dan menyambar jagung di atas piring, hangat mengepul, menyobek dan langsung menggigit bijinya yang empuk tebal, tak perduli panas.

   "Benar, aku juga penasaran. Tapi yang membuat aku gemas adalah sumber penyakit ini, biang keladinya!"

   "Apa maksudmu."

   "Gok-ongya itu, si homo keparat!"

   "Sst, jangan memaki-maki. Yang tiada biarlah tiada, goanswe, Gok-ongya menjadi korban kelainan jiwanya. Ada akibat pasti ada sebab, jangan mengutuk si mati."

   "Perduli apa. Kalaupun rohnya datang ke sini akan kulabrak dia habis-habisan rekan Kok. Gara-gara dia negara celaka. Jahanam sialan Gok-ongya itu!"

   "Ah, jangan menumpahkan marah. Orang itu telah meninggal, goanswe, diinjak dan dimakimakipun percuma. Daripada memaki-maki lebih baik kaupikir apa dan bagaimana obat penawar dapat ditemukan."

   Bu-goanswe mendengus melempar bonggol jagungnya.

   Dia memang kakek berhati keras bertemperamen tinggi, muda tersinggung dan gusar.

   Maka ketika jagung habis dimakan sementara bonggol nya dilempar ke kiri, tepat mengenai si anjing yang melingkar maka anjing ini berteriak dan terlonjak bangun, lari kaing kaing.

   "Ha-ha!"

   Jenderal itu tertawa bergelak.

   "Saikaw (Anjing Singa) terbirit-birit, rekan Kok. Aku seakan melihat Gok-ongya kuketok gemas. Kena dia, rasain!"

   Kok-taijin tersenyum.

   Di balik wataknya yang berangasan dan pemberang sesungguhnya Bugoanswe ini juga seorang yang suka humor.

   Sesuatu yang lucu sedikit saja cukup membuatnya tertawa keras-keras, misalnya seperti kepala anjing yang dihantam bonggol jagung itu.

   Maka ketika ia tersenyum dan akhirnya tertawa, anjing mana tak akan kaget maka keseriusan sejenak menghilang, kemarahan jenderal itu mereda.

   "Kau benar, boleh kaubayangkan kepala anjing itu sebagai kepala Gok-ongya. Nah, dengan begini marahmu berkurang, goanswe. Sekarang bagaimana usaha kita menemukan obat penyakit itu."

   "Ha-ha, nanti dulu. Coba kaulihat siapa lebih sial antara anjing itu dengan Gok-ongya, eh, maksudku siapa lebih beruntung di antara mereka. Lihat anjing betina di balik kandang ayam itu, taijin. Jerit Sai-kaw mengundang perhatiannya." "Kau selalu berhumor. Apa maksudmu dengan perbandingan itu, goanswe, masa anjing kau samakan manusia."

   "Ha-ha, tidak, tidak begitu. Maksudku lihatlah anjing betina di balik kandang ayam itu. Ia menyambut Sai-kaw, menjilat-jilat. Tidakkah kaulihat keberuntung an anjingku lebih besar daripada Gok-ongya!"

   Kok-taijin mengerutkan kening, mencoba mengerti. Tapi ketika ia mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka ia berkata bahwa Gokongya tak seberuntung Anjing Singa itu.

   "Betul, Sai-kaw lebih beruntung. Kasih sayang tak didapatkan mendiang pangeran itu, goanswe, yang didapatnya hanyalah kasih sayang semu. Kau benar, Sai-kaw lebih beruntung."

   "Dan mereka sejalan wet Alam, jantan betina. Pasangan itu telah cocok dani anjingku tak pernah mengalami kelainan jiwa. Ha-ha, Sai-kaw lebih beruntung!"

   "Sudahlah kita kembali kepada persoalan pokok. Apa yang harus kita lakukan untuk membunuh penyakit itu, apa yang harus kita kerjakan." "Hm, tampaknya harus kembali ke kota raja. Kita temui Yok-ong dan bicara sambil menemukan kemungkinannya, sekalligus berkunjung kepada sri baginda."

   Bu-goanswe menghilangkan gurauannya dan kembali serius.

   Mereka memang harus menemukan obat penyakit itu demi rakyat.

   Meskipun sudah tidak bertugas lagi di istana namun secara moral mereka masih memiliki kesetiaan yang besar.

   Keselamatan rakyat berarti keselamatan negara pula.

   Maka ketika Kok-taijin mengangguk dan merasa setuju, bangkitlah keduanya maka Bu-goanswe memanggil pelayannya sekaligus cucunya laki-laki.

   Jenderal ini memang tinggal bertiga dengan cucu dan pelayannya.

   "Kami hendak pergi, kau jaga baik-baik rumah ini. Dan kau, apakah tinggal di sini atau ikut kami, Kang Hu. Aku dan Kok-lo-enghiong hendak ke istana!"

   Kang Hu, pemuda sekitar delapan belas tahun itu berseri.

   Ia adalah cucu satu-satunya Bu-goanswe, menyebut Kok-tai jin dengan sebutan Kok-lo-enghiong (orang tua gagah Kok) dan memandang kakek itu dengan mata bersinar-sinar.

   Tentu saja ia ikut, ini sebuah tamasya.

   Maka ketika ia mengangguk dan berseri menjawab langsung saja ia berkata bahwa tinggal di rumah sudah jemu, ingin bepergian.

   "Kong-kong jarang membawaku pergi, sekarang ada kesempatan.

   Masa aku harus tinggal di rumah dan memilih diam? Tidak, kalau aku boleh ikut tentu saja aku senang, terima kasih dan bersama Kok-loenghiong tentu perjalanan semakin menggembira kan!"

   "Dasar anak muda, menganggapnya tamasya. Eh, kami pergi bukan untuk bersenang-senang, Kang Hu. Kami pergi untuk urusan penting. Kausiapkan buntalanmu dan cepat berangkat!"

   "Boleh aku membawa busur?"

   "Untuk apa?"

   "Untuk perjalanan."

   Berburu, kong-kong, sepanjang "Wah, macam-macam saja, bawalah!"

   "Tak apa,"

   Kok-taijin tertawa dan berseri, anak muda ini mengingatkannya akan anak angkat perempuan di rumahnya.

   "Kalau kalian sedang bersiap-siap biarlah aku pulang sebentar, goanswe, akupun hendak menyiapkan keperluanku dan kubawa pula Kui Yang. Aku menunggu di rumah dan di sana kita bersama-sama." "Baiklah, maafkan Kang Hu. Ia membuat kau repot, taijin, tahu begitu tak usah kubawa!"

   "Ah, tidak, justeru adanya anak-anak muda membuat suasana semakin gembira. Sudahlah kau siapkan keperluanmu di sini dan aku menyiapkan keperluanku di sana."

   Bu-goanswe mengangguk, rekannya memutar tubuh.

   Memang rumah mereka tidak begitu berjauhan dan masing-masing saling kunjung-mengunjungi.

   Diam-diam Kok-taijin mengedip dan Bu-goanswe menyambut.

   Bukan rahasia lagi kalau di antara mereka orang-orang tua telah terdapat bisik-bisik untuk kelak menjodohkan Kang Hu dengan Kui Yang, gadis enam belas tahun itu.

   Dan ketika kakek itu berkelebat masuk dan Kok-taijin berkelebat keluar maka tak lama kemudian Bu-goan swe sudah ganti menyusul di rumah saha batnya ini.

   Seorang gadis cantik berdiri menyambut, di punggungnya juga terselip busur, wajah kemerah-merahan dengan alis hitam menjelirit berpakaian merah jambu, gagah dan manis dengan sepasang bola matanya yang lebar jernih.

   "Selamat pagi, ayah sudah menunggu.

   Silakan masuk, Bu-lo-enghiong, silakan masuk pula Hutwako."

   "Ha-ha, kaupun menyamai Kang Hu, sama-sama membawa busur. Wah, ayahmu sudah memberi tahu rencana perjalanan ini, Kui Yang, bagus sekali. Biarlah kautemani Kang Hu dan aku menemui a-yahmu!"

   Bugoanswe masuk ke dalam, langkahnya lebar dan purapura tidak tahu-menahu tautan mata anak-anak muda itu.

   Kang Hu memang berseri dan kagum memandang anak dara ini, pagi itu Kui Yang semakin cantik saja.

   Barangkali ikat pinggang hitamnya itu yang membuat serasi, membelit pinggang ramping berpakaian merah jambu.

   Dan ketika sang kakek memasuki ruangan dalam sementara Kang Hu ditemani gadis itu maka Kok-taijin muncul dan sudah membawa sepasang buntalan pula, pakaian dan sedikit bekal perjalanan.

   "Ha-ha, kaupun tambah gagah. Sepatumu baru, taijin, dari kulit harimau. Wah, indah dan bagus sekali, jahitannya kuat!"

   "Kui Yang yang memberiku ini. Seminggu yang lalu ia berburu dan membuatkan sepatu. Mana Kang Hu dan anak itu."

   "Mereka di luar, sudah menunggu." "Baiklah, mari berangkat dan langsung saja."

   Kok-taijin keluar dan dilihatnya dua anak muda itu asyik bercakap-cakap.

   Kang Hu memuji baju baru Kui Yang, se mentara si gadis memuji busur temannya, mengkilat dan rupanya baru digosok.

   Masing-masing memang sudah akrab.

   Dan ke tika orang-orang tua itu keluar dan mereka berhenti maka Kok-taijin dan Bugoap swe mengajak mereka menuju kota raja.

   Di tengah perjalanan baik Kang Hu maupun Kui Yang melepaskan anak-anak panah mereka.

   Rusa dan babi hutan roboh, mereka dahulu-mendahului menunjukkan ketrampilan.

   Dan karena masingmasing sama tangkas dan hampir berbareng panah menancap maka Kok-taijin tertawa memuji anak-anak ini, sampai akhirnya buruanpun mulai berkurang setelah mendekati kota raja.

   Di sini mereka hanya memanah burung-burung gagak, sesekali elang sebagai lomba siapa paling cepat dan tepat.

   Dan ketika masing-masing mendapat kenyataan bahwa mereka sama trampil maka Bu-goanswe tertawa bergelak memuji muda-mudi ini.

   "Wah, repot menentukan kalian. Masingmasing sama tepat, bidikan sama-sama jitu. Kalau kalian mau mengabdi istana dapat kumintakan persetujuan kaisar, anak-anak. Kalian dapat menjadi pengawal Tiauw-sia-tin (Barisan Pemanah Rajawali) yang terkenal itu. Atau mendampingi sri baginda di kala berburu!"

   "Benar, masa depan kalian baik. Aku juga dapat memperkuat permintaan ini Kui Yang. Asal kau mau di istana kalian dapat menjadi tokoh-tokoh muda andulan."

   "Tidak, aku tak mau meninggalkan ayah,"

   Kui Yang menggeleng.

   "Seribu kedudukan tinggi tak membuatku tertarik. Aku lebih suka m


Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung

Cari Blog Ini