Ceritasilat Novel Online

Pedang Semerah Darah 1


Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Bagian 1


PEDANG SEMERAH DARAH Oleh Barata Penerbit Wirautama, Jakarta Cetakan Pertama Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit Serial Pendekar Cambuk Naga episode Pedang Semerah Darah Wirautama, 1991 128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.5 Kemunculan seorang pemuda berambut ombak dan mengenakan ikat kepala berwarna emas itu sung-guh di luar dugaan.

   Secara jujur, Pendekar Pusar Bu-mi mengakui ketampanan pemuda itu.

   Bahkan wajah itu boleh dibilang wajah yang cantik.

   Bibir pemuda itu semerah jambu muda.

   Hidungnya mancung, dan matanya mempunyai daya tarik yang lain dari pemuda mana pun, bahkan berbeda dengan sepasang mata Pendekar Pusar Bumi sendiri.

   Sesungguhnya ia type pemuda yang lembut dan imut-imut.

   Tapi di balik kelembutan itu, ternyata ia orang yang keras hati.

   Kurang mengerti tata sopan santun.

   Menyerang dari belakang dengan suatu ten-dangan yang tak boleh diremehkan kehebatannya.

   Tendangan itu meluncur dari atas pohon dan men-genai punggung Pendekar Pusar Bumi, atau yang mempunyai nama asli Domas Lanangseta.

   Akibatnya, Lanangseta tersentak ke depan dengan keadaan lim-bung.

   Ia segera berbalik seraya memegangi punggung-nya yang terasa bagai mau patah.

   Ia menatap pemuda berwajah imut-imut itu dengan sorot mata tajam, me-nyiratkan kemarahan yang terpendam.

   Pemuda berusia sepadan dengan Lanangseta itu tersenyum sinis.

   Berdiri tegap dengan kaki terentang kokoh.

   Ia mengenakan celana model pangsi yang terbuat dari bahan semacam beludru merah.

   Pada bagian tepi celana dihiasi dengan rangkaian benang emas yang menimbulkan kesan mewah pada celana itu.

   Ikat pinggangnya berwarna hitam kulit macan kumbang.

   Ia juga mengenakan baju model rompi warna coklat tan ah dari bahan yang sama mutunya dengan celana ke-tat sebatas bawah lutut itu.

   Sebilah pedang bergagang mulut singa terselip di pinggang, dalam sarung yang terbuat dari logam perak.

   Begitu megah dan mewah pedang itu, sehingga orang pun akan tergiur melihat sarungnya saja...

   "Apa kau mengenal aku sehingga kau menyerang-ku?"

   Tanya Pendekar Pusar Bumi dengan menahan ke-geraman.

   "Ya, tentu aku mengenalmu, sehingga aku ingin membunuhmu. Kau yang bernama Domas Lanangseta, bukan? Kau yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, bu-kan? Kau yang akan menikah dengan putri cantik anak Rama Sabdawana itu, bukan?"

   Suara pemuda itu cukup berat, pantas untuk sua-ra seorang bupati atau pejabat tinggi.

   Dan hal itu membuat Lanangseta terheran-heran.

   Tak disangka pemuda bertampang imut-imut itu mengenai identitas dirinya, sekalipun tidak sebegitu detil.

   Jika seseorang bisa menyebutkan nama Lanangseta dengan kata Do-mas di depannya, berarti ia sudah cukup hebat dalam mencari keterangan tentang Lanang.

   Sedangkan, da-lam hal ini Lanang sendiri masih bingung, siapa pe-muda yang tahu-tahu menyerangnya dari atas pohon itu? Ia merasa baru sekarang bertemu dengan pemuda itu.

   "Siapa kau? Bagaimana kau bisa mengenalku se-dangkan aku tidak mengenalmu?"

   Senyum sinis mekar di bibir pemuda itu. Ia me-langkah ke samping, namun pandangan matanya ma-sih tertuju pada Lanangseta.

   "Apa kau butuh mengetahui nama calon pembu-nuh mu?"

   Ucapnya bernada angkuh.

   "Tak peduli apa yang akan kau lakukan, tapi kau telah menyerangku. Kau telah mengetahui namaku, bahkan berani menyebut nama kehormatanku yang diberikan oleh kakekku. Jadi, sebelum kita terjadi ke-salahpahaman, sebaiknya aku ingin tahu lebih dulu, siapa kamu sebenarnya?"

   Gaya berdiri pemuda itu sungguh menarik perha-tian.

   Ia berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, matanya lurus ke depan, namun tubuhnya menghadap ke samping.

   Kesan angkuh terlihat di wajahnya, na-mun itu suatu keangkuhan tersendiri, yang punya daya tarik spesifik.

   "Kurasa calon istrimu tahu, siapa pemuda yang punya nama Prabima Wardana. Kelak rohmu bisa me-nanyakannya dari alam kubur."

   Pemuda itu mema-merkan giginya yang putih, rapi dan indah itu.

   "Kau mengenai gadis Bukit Badai itu?"

   "Tentu. Sebab itu aku harus membunuhmu...!"

   Selesai bicara begitu, Prabima meloncat dengan kaki ma-ju lebih dulu. Lanang tergeragap sejenak, kemudian segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya. Namun ia jadi terpelanting ke samping dan terhuyung-huyung lagi.

   "Gila, tendangannya amat keras,"

   Pikir Lanangseta.

   Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Lanang te-lah mendapat serangan lagi, berupa tendangan berpu-tar dari kaki kiri Prabima yang tadi menapak pada saat menendang pertama kalinya.

   Dan kali ini tendangan itu tepat mengenai wajah Lanangseta.

   "Auuhh...!"

   Lanang mengaduh dan terjengkang ke belakang.

   Prabima bagai tidak memberi kesempatan Lanang untuk mengatur nafas.

   Kaki kanannya mener-jang bagai hendak menginjak habis kepala Lanangseta.

   Untuk kali ini Lanangseta mampu bergulir ke kiri lalu melentik ke udara, bersalto dua kali sehingga ia mencapai sebuah dahan pohon.

   Ia duduk di dahan pohon itu seraya mengusap darah yang merembes dari bibir dan gusinya.

   Muka Lanang bagai tertimpa karung seberat satu kuintal rasanya.

   Pandangannya jadi sedikit kabur, tapi hanya sebentar, lalu kembali normal.

   Pemuda itu masih di bawah, dan bertolak pinggang sambil mendongak ke atas.

   "Kalau kau turun, kematianmu sedikit panjang, sebab aku ingin bermain-main dulu denganmu. Tapi kalau kau tetap di atas, kau cepat mati. Nah, silakan turun...!"

   Prabima bicara dengan tenang. Nada ang-kuhnya cukup jelas, dan membuat Lanangseta berpikir "Haruskah ia meladeni Prabima?"

   O, tidak.

   Ia harus segera datang ke Goa Malaikat untuk mengambil bunga teratai sebagai pelengkap mas kawinnya.

   Ia ingin segera diresmikan menjadi suami syah dari Kirana Sari, putri Bukit Badai itu.

   Jadi, buat apa ia harus melayani pemuda gila seperti Prabima itu? Ia harus pergi.

   Baru saja Lanang berpikir demikian, tahu-tahu ia sudah melesat dan berguling-guling menghindari ja-rum-jarum maut yang ditebarkan oleh Prabima War-dana.

   Jarum-jarum warna hitam meluncur ke arah-nya, dan berjumlah lebih dari seratus mata jarum.

   Hal ini mengingatkan Lanangseta pada serangan Kirana sebelum mereka saling jatuh cinta.

   (dalam kisah MISTERI GOA MALAIKAT).

   Lanangseta semakin tertegun sewaktu jarum-jarum hitam itu menancap pada dahan pohon dan membuat pohon itu mati seketika.

   Daunnya kering dan rontok.

   Benar-benar luar biasa kehebatan jarum-jarum itu, pohon sebesar itu dapat kering dan mati dalam bebe-rapa detik saja.

   Apalagi kalau manusia yang terkena jarum-jarum tersebut.

   Dulu, Kirana juga menyerang Lanangseta, dan jarumnya membuat semak belukar yang terkena menjadi kering dan mati seketika.

   Tetapi, Lanang tidak punya waktu untuk berpikir dan bertanya tentang jarum.

   Hari sudah hampir senja.

   Goa Malaikat akan menutup sendiri pintunya jika tan-pa ada sinar matahari.

   Dan kalau pintu goa tertutup, berarti Lanang harus menunda waktu sampai besok pagi untuk, mengambil bunga teratai.

   Lanang sudah tak sabar lagi menunggu saat perkawinannya sampai besok.

   Jadi, sekarang juga ia melejit bagaikan kilatan cahaya, pergi meninggalkan Prabima yang tampaknya lembut namun sebenarnya haus darah itu.

   "Hei, jangan lari...!"

   Teriak Prabima. Ia segera ikut melejit bagai kilasan angin.

   "Tunggu...! Jangan mati sebagai pengecut, tolol...!!"

   Lanangseta tidak mempedulikan teriakan itu.

   Ia te-rus saja berlari dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya.

   Prabima tidak kalah gesit dan cepatnya.

   Ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh yang sempurna, sehingga dalam waktu singkat ia telah berhasil menyusul Lanangseta.

   Prabima berdiri di depan Lanangseta.

   "Berhenti...!"

   Seraya tangannya yang kanan diacungkan ke depan.

   Tetapi Lanangseta tidak mau menuruti perintahnya.

   Ia melesat menerjang tubuh Prabima sehingga pemuda tampan itu terpelanting ke samping, kemudian berge-gas mengejarnya lagi.

   Dalam sekelebat Lanangseta mampu memperhati-kan gerakan Prabima yang berlari di sampingnya, me-nembus celah-celah pohon.

   Waktu yang dibutuhkan sangat singkat, Prabima sudah berada di depan La-nangseta.

   Kali ini ia tidak bicara apapun, kecuali berteriak.

   "Heeaaaatt...!!"

   Dan sebuah pukulan tenaga dalam meluncur ce-pat, menghantam Lanangseta.

   Pukulan itu mengenai pangkal lengan kiri Lanang, dan membuat Lanang ber-jumpalitan, bagai pohon yang rubuh tunggang lang-gang.

   Tulang lengannya itu terasa panas dan ngilu.

   Lanang menggeliat bangun, tapi kaki Prabima sudah lebih dulu menyerang wajah Lanang.

   Untung pada saat itu Lanang sudah mempunyai dugaan akan mendapat serang-an secepat itu, sehing-ga dengan tangkas tangan kanan Lanangseta berhasil menangkap kaki Prabima.

   Prabima menekannya lebih kuat, dan Lanang bertahan.

   Namun dalam detik beri-kutnya, Prabima menjerit dalam keadaan terpental se-telah kaki Lanang menendang bagian kemaluan Pra-bima.

   Lanang sendiri tak peduli apakah telur itu pecah atau hanya retak, tetapi ia harus segera pergi ke Goa Malaikat.

   Matahari sudah tipis, sudah di ambang pe-raduannya.

   Lanang tak ingin ketinggalan matahari.

   Ia tak ingin menunda niatnya sampai esok pagi.

   Ia harus mengambil bunga teratai pada sore itu juga.

   Maka tu-buhnya pun melesat cepat meninggalkan Prabima yang mengerang kesakitan.

   Mulanya Lanang ingin mengambil jalan bawah, menggunakan jurus Lindung Bumi, dan ia dapat berla-ri di dalam lapisan tanah sehingga tidak diketahui Prabima.

   namun sebelum ia melaksanakan niatnya, Prabima telah berseru.

   "Pendekar pengecut...! Mampus kau...!"

   Dan bersamaan dengan itu seratus jarum melayang cepat ke arah tubuh Lanangseta.

   Mau tak mau Lanangseta ha-rus meloncat dan berguling di udara menghindari ja-rum-jarum beracun itu.

   Dalam keadaan yang serba terpepet itu, ternyata Prabima semakin gencar mene-barkan jarum-jarum beracun ke arah Lanangseta se-hingga Pendekar Pusar Bumi itu kewalahan.

   "Orang gila...!"

   Pikirnya sambil menghindari jarum-jarum beracun.

   Kalau saja pedang Wisa Kobra tidak dicuri Si Tongkat Besi (Dalam kisah GERHANA TEBING NERAKA), sudah tentu Lanangseta akan me-layani serbuan jarum-jarum hitam itu dengan pedang tersebut.

   Sayang pedang itu ada di tangan kakek tua itu, sehingga kali ini ia terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari serbuan seratus jarum beracun itu.

   Prabima tertawa girang sambil masih melancarkan jarum-jarum beracun dari tangannya.

   Jarum-jarum itu keluar sendiri dari telapak tangan kanan dan kiri bergantian.

   Tanaman sudah banyak yang mati kering ka-rena menjadi sasaran jarum-jarum tersebut.

   Lanangse-ta tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan serangan balasan, karena ia sibuk menghindari kece-patan jarum beracun itu.

   hanya ada satu yang bisa dilakukan oleh Lanang.

   Namun hatinya bertanya-tanya.

   Haruskah kugunakan itu hanya untuk menghadapi orang gila ini? Ya, tak ada pilihan lain.

   Lanangseta sudah benar-benar keteter oleh serangan maut Prabima.

   Karena itu ia pun segera berteriak sambil berjumpalitan.

   "Kiranaaaa...!!"

   Angin bertiup dari kecepatan sedang menjadi de-ras.

   Badai mengamuk, dan guntur di angkasa mengge-legar dua kali.

   Langit menjadi merah, dan bumi bagai berguncang-guncang.

   Tapi hanya sekejap.

   Tidak seperti biasanya, sampai merubuhkan pohon-pohon di seki-tar daerah itu.

   Kali ini badai yang mengamuk menjadi reda seketika, dan langit menjadi terang kembali setelah Prabima berseru.

   "Shalindra...!"

   Pendekar Pusar Bumi yang telah kehilangan pe-dangnya itu terbengong sejenak. Ia meneliti sekeliling, oh... sungguh tak ada badai yang mengamuk, sungguh tak ada petir yang menyambar-nyambar. Sekali lagi ia berseru.

   "Kirana Sarii...!!"

   Badai datang, petir menggelegar. Namun hanya be-berapa helaan nafas sudah reda kembali, karena suara Prabima terdengar lagi berseru.

   "Shalindraaa!!"

   Sepi.

   Keduanya terbungkam dan saling pandang.

   Angin pun semilir, biasa.

   Lanangseta terkagum-kagum melihat kehebatan Prabima yang mampu meredakan amukan badai misterius itu.

   Baru sekali ini Lanang melihat seseorang yang mampu menolak kehadiran badai Kirana.

   Dan hal ini membuat Lanang jadi ter-bungkam, seakan merasa dirinya menjadi kecil di ha-dapan Prabima.

   Sampai-sampai ia tak tahu kalau Pra-bima mengibaskan tangan kanannya dan seratus lebih jarum berwarna hitam melesat cepat menyerang La-nangseta.

   Angin panas dirasakan menyerang tubuh, dan se-ketika itu juga Lanang segera berjungkir balik ke arah belakang.

   Ia baru menyadari kalau jarum beracun itu telah menyerangnya kembali.

   Sekalipun kecepatan ref-leknya cukup bagus, tapi naas tak dapat dihalau begi-tu saja.

   Dalam gerakan secepat itu, ada salah satu jarum yang menancap di betis Lanangseta.

   Lanang ter-pekik bagai disengat kalajengking.

   Rasa sakitnya luar biasa.

   Ia mengejang dan memegangi betisnya.

   Sebatang jarum telah masuk, dan membaur dengan darah-nya di dalam daging.

   Lanangseta mati-matian mena-han rasa sakit yang baru kali itu ia rasakan sangat menyiksa.

   Lebih-lebih setelah ia menyadari, bahwa ka-ki itu kini menjadi layu.

   Pucat bagai tak berdarah lagi.

   "Aaoouuhh...!! Kakikuuu...!"

   Ia menahan sakit hingga teriakan tak mampu keluar dari mulutnya. Prabima mendekat dan memandang dengan se-nyum kemenangan. Ia bertolak pinggang dan tertawa pendek memandangi Lanangseta yang kesakitan.

   "Cukup satu jarum, sudah mampu membuatmu kering dan... mati secara perlahan-lahan...!"

   "Setan! Apa salahku sebenarnya?! Mengapa kau begitu kejam dan... dan... aaaooww... Kakiku...!!"

   Lanang mengencangkan seluruh otot tubuh untuk me-nahan rasa sakit.

   Keringat sampai membanjir di seku-jur tubuh.

   Rasa sakit masih menyengat dan menim-bulkan siksaan yang luar biasa.

   Saat itu, Prabima Wardana semakin terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan meninggalkan kata.

   "Aku puas, kau bisa tersiksa dulu baru mati. Aku puas. Puas sekali...! Nah, selamat tinggal Pendekar Pusar Bumi yang banci, ha, ha, haaa...!!"

   Prabima pergi.

   Pergi dengan meninggalkan kekejian yang sangat menyiksa.

   Lanangseta menjadi semakin tegang dan kelojotan.

   Ia meringis dengan kuat-kuat menahan sakit.

   Alam menjadi sepi dan menambah siksaan saja ra-sanya.

   Tak ada orang lewat di hutan itu.

   Tak ada yang berani melewati Bukit Badai, jika bukan orang tersasar seperti dirinya dulu.

   Dan saat ini juga, tak ada orang yang tahu bahwa kaki Lanangseta itu mulai berubah mengerikan.

   Telapak kakinya menjadi berkeriput, dan makin mengkerut.

   Sakitnya luar biasa.

   Lanangseta da-pat membayangkan kengerian yang bakal terjadi.

   Jika pohon saja menjadi kering, rontok dan mati, apalagi kakinya nanti.

   Pasti akan semakin kering dan mengke-rut, lalu ia pun akan mati dalam tubuh kering semua.

   "Kirana...!"

   Desah Lanangseta dalam hati.

   "Kirana, aku terluka... Ooh, sakit. Sakit sekali, Kirana... Auuh, datanglah, tolonglah aku... Kirana...!"

   Lanangseta sengaja menyebut dan meratap kepada Kirana di dalam hati.

   Tak ada orang lain yang bisa diharapkan dapat mendengar ratapannya kecuali Kirana.

   Tak ada orang lain yang bisa diharapkan mampu men-gobati kakinya selain Kirana, sebab perempuan cantik itu juga mempunyai jurus dan senjata jarum beracun, sama dengan Prabima yang gila itu.

   Tapi, Lanangseta bagai tak dapat bertahan lagi.

   Tubuhnya yang kekar dan berotot itu sudah memerah, selain akibat mena-han rasa sakit juga karena pengaruh racun dalam ja-rum tersebut.

   Sedangkan telapak kakinya, semakin mengering.

   Berkeriput dan bagai bergerak mengkerut.

   Lalu sekelebat bayangan hijau datang.

   Seorang pe-rempuan cantik dan anggun berdiri di depan Lanang.

   Wajahnya menjadi tegang dan ia segera memeluk La-nangseta setelah melihat kaki Lanangseta menjadi kering dan mengkerut.

   "Lanang...?! Kau... ooh, kau pasti telah bertarung melawan Prabima Wardana? Benar, bukan? Benar...?!"

   Lanangseta hanya bisa mengangguk-angguk sambil menyeringai menahan sakit mati-matian.

   "Iblis itu muncul pada saat yang tepat...!!"

   Geram Kirana.

   "Dia memang biadab! Terkutuk! Seharusnya kau jangan berhadapan dengannya. Apalagi tanpa pedang di tanganmu. Ia sangat berbahaya...!!"

   Lanangseta sempat merasa jengkel kepada Kirana Sari. Ia berusaha membentak sambil menahan sakit dengan susah payah.

   "Jangan banyak bicara dulu. Aaaoow...! Beri aku penawar racun jarum itu...! Lekaaass...! Aaduuuh...!"

   "Aku... aku tidak punya!"

   "Hah...?! Celaka...!"

   "Jadi... aauhh...! Jadi aku harus mati menjadi kering seperti... seperti... aaauhh!"

   Melihat kaki Lanang semakin berkeriput dan se-bentar lagi juga sekujur tubuhnya menjadi kering, ma-ka dengan satu kekuatan tersendiri yang dimilikinya, Kirana mengangkat tubuh kekasihnya, dan melesat membawanya pergi dalam keadaan tegang.

   "Ayah yang harus menyembuhkannya...!! Pelajaran itu belum diberikan kepadaku, dan waktu itu aku menolak untuk menerima pengobatan racun jarumku. Dulu, aku tak pernah punya niat untuk menyembuh-kan siapa saja yang terkena senjata jarum beracun. Ooh... aku tak sangka kalau ternyata buah hatiku sendiri yang menderita seperti ini..."

   Sambil ngoceh tak karuan Kirana Sari melayang di udara, membawa pulang Lanangseta yang dalam kea-daan bahaya. Setibanya di Griya Teratai Wingit, La-nangseta segera dibawa kepada ayahnya, Sabdawana.

   "Belum terlambat..."

   Gumam ayah Kirana Sari setelah melihat keadaan.

   luka Lanangseta.

   Lalu, ia segera menyuruh Ludiro dan Kirana mengangkat Lanangseta di tempat tersendiri, yaitu di sebuah kamar yang di-namakan kamar perawatan.

   Lanangseta masih kejang-kejang karena menahan rasa sakit.

   Pada waktu itu, ayah Kirana menyiramkan semacam cairan bening, se-perti air bilas.

   Cairan itu disiramkan pada bagian yang telah keriput dan mengkerut itu.

   Begitu cairan itu menyiram kaki Lanangseta, tiba-tiba seringai kesakitan menghilang di wajah Lanang.

   Ia menjadi tenang.

   Rasa dinginnya air bagai meresap dalam tulang dan membaur di sekujur tubuhnya.

   Rasa sakit itu hilang.

   Nafas pun terhempas, terengah-engah.

   Rupanya kelegaan itu pun mampu membuat Lanang-seta pingsan beberapa saat.

   Dalam masa-masa itu, kecemasan dan kegelisahan sangat mencekam diri Kirana Sari.

   Tidak biasanya ia dapat segelisah itu.

   Tidak biasanya pula ia menden-gus-dengus kesal dan berjalan mondar-mandir di de-pan kamar perawatan.

   Ludiro duduk dengan tenang, tak jauh dari kamar perawatan.

   Bahkan ia sesekali masih mengajak bicara salah seorang dari sepuluh pe-layan dan pengawal Griya Teratai Wingit itu.

   Namun, Kirana tahu hal itu dilakukan oleh Ludiro hanya sekedar menghilangkan kecemasannya.

   Kalau saja ia bisa mengalihkan perhatian seperti Ludiro, mungkin hal itu akan ia lakukan.

   Sayang, dalam benaknya yang terpi-kir hanya keselamatan Lanangseta.

   Sejak tadi ayah Kirana belum keluar dari kamar perawatan.

   Padahal Ki-rana ingin mengetahui keadaan Lanangseta menurut pemeriksaan ayahnya.

   Ah, suatu kegelisahan yang be-nar-benar menyiksa diri.

   Dalam benak Kirana ia teringat betapa ganasnya jarum beracun yang dimilikinya, juga yang dimiliki Prabima itu.

   Ia tahu betul keganasan jarum itu, dan ia tahu betul bahwa hanya ada dua orang di dunia ini yang memiliki racun dalam tebaran jarum hitam seper-ti itu.

   Hanya dia dan Prabima.

   Selain itu tak ada yang punya.

   "Aaah..."

   Sekali lagi Kirana mendesah.

   Ludiro mengetahui betapa tersiksanya Kirana pada saat itu.

   Ia jadi kasihan kepada perempuan cantik yang anggun dan berwibawa.

   Perempuan itu bagai tak peduli dengan si-kapnya yang mulai tidak nampak tegar itu.

   Ludiro mendekat dan mengajak Kirana bicara den-gan hati-hati.

   "Kalau kau tahu siapa pelakunya, dan tahu di ma-na tempatnya, tolong tunjukkan padaku. Aku akan ke sana dan membuat suatu perhitungan sendiri dengan-nya."

   "Jangan! Dia bukan tandingan mu, Paman Ludiro. Kau akan mati bila berhadapan dengannya,"

   Kata Kirana cemas. Dengan kalem Ludiro berkata lagi.

   "Mati itu me-mang bagianku. Sejak aku menjadi pengawal Puteri Ayu Sekar Pamikat, tugasku adalah untuk mati mem-belanya. Dan sekarang aku ditugaskan untuk menjaga Lanangseta. Aku ingat pesan Puteri Ayu ketika di da-lam goa, maka ku siapkan diriku untuk mati di depan Lanangseta..."

   Kirana kagum atas kesetiaan Ludiro, namun sayang sekali kalau orang seperti Ludiro harus mati di tangan Prabima.

   "Tenanglah dulu, Paman. Orang itu pasti akan ke sini, sebab ia akan mengira bahwa Lanangseta telah mati..." * * * LUDIRO menggeram gemas. Ia bagai tak sabar me-nunggu kedatangan orang yang telah membuat La-nangseta celaka. Sejak ia dan Lanangseta berhasil lolos dari pertempuran di Tebing Neraka, dia merasa berhu-tang nyawa kepada Pendekar Pusar Bumi itu (baca ki-sah Gerhana Tebing Neraka) Maka, dalam hatinya Lu-diro selalu bertanya-tanya; kapan ia akan dapat mem-balas hutang nyawa itu kepada Lanangseta. Rasa-rasanya risi dan tak enak jika ia punya hutang. Jadi, setiap ada kesempatan ia selalu berusaha untuk me-nyelamatkan Lanangseta sebagai tindakan balas budi sang Pendekar Pusar Bumi itu. Tetapi terlepas dari urusan pribadinya itu, ia me-mang harus tetap menjaga Lanangseta, sesuai dengan amanat putri asuhannya yang kini telah menjadi orang suci di dalam Goa Malaikat, yaitu Putri Ayu Sekar Pamikat, bekas kekasih Lanangseta. Ia sangat patuh ke-pada perintah Sekar Pamikat. Jiwa pengabdiannya be-gitu besar, sehingga sekalipun ia merasa enak jika ke mana-mana tanpa membawa senjata, kecuali senjata rahasianya, namun untuk sekarang ia harus membia-sakan diri dengan membawa senjata berupa pedang Jalak Pati dan Cambuk Naga. Sebetulnya Ludiro sendiri tidak mahir memainkan pedang atau cambuk, namun seperti yang pernah ia rasakan ketika penyerbuan di Tebing Neraka, pedang itu seakan menggerakkan sendiri tangannya untuk membabat kian ke mari. Tentang Cambuk Naga, ia ti-dak tahu apakah tangannya dapat menirukan jurus-jurus milik Sekar Pamikat atau tidak, itu belum per-nah dibuktikan oleh Ludiro. Tapi yang jelas, ia tetap menyelipkan pedang Jalak Pati di pinggangnya dan Cambuk Naga di bagian punggungnya. Sedangkan sen-jatanya yang asli, yaitu mata pisau beracun, masih tetap terselip di antara baju buntung dan ikat pinggangnya yang tebal itu. Ludiro sedang melamunkan hal itu, ketika tiba-tiba ayah Kirana muncul dari kamar perawatan, lalu me-manggilnya.

   "Ludiro..."

   Ludiro segera mendekat dengan sikap sopan.

   "Tolong carikan seekor ular kobra jantan."

   Tak tahu ke mana Ludiro harus mencari seekor ular kobra jantan, dan tak tahu apa manfaat ular ko-bra itu, tetapi Ludiro hanya tahu itu adalah perintah.

   Perintah yang harus ditaati, sehingga tanpa bertanya ini dan itu Ludiro pun segera berangkat mencari seekor ular kobra jantan.

   "Bagaimana, Ayah? Dapatkah dia...?"

   "Tinggal pemulihan,"

   Potong Sabdawana yang mengetahui kalau putrinya sangat cemas. Dengan memberi senyum bernada menggoda, Sabdawana tahu bahwa putrinya sudah merasa lega. Karena itu Kirana segera bertanya.

   "Bolehkah aku menemuinya, Ayah?"

   "Temuilah, dan hiburlah dia biar dia tidak penasaran. Jangan boleh dia turun dari pembaringan sebe-lum Ludiro datang membawakan ular kobra jantan."

   Sabdawana membiarkan Kirana masuk ke kamar, tempat di mana Lanangseta terbaring.

   Agaknya pemu-da itu benar-benar tertolong.

   Wajahnya memang masih sedikit pucat, tapi itu hanya proses pengembalian menuju normal saja.

   Lanangseta sudah bisa tersenyum kendati kaki kirinya masih dibalut kain oleh ayah Kirana.

   Pertama-tama yang dilakukan Kirana adalah me-nebus kecemasannya dengan sebuah ciuman di kening Lanangseta.

   Itu tanda ia gembira melihat keadaan La-nangseta.

   "Syukurlah, kau dapat diselamatkan oleh Ayah,"

   Ucap Kirana dengan senyum kelegaan.

   "Apakah kau kira aku tidak akan dapat disela-matkan?"

   "Aku tidak bilang begitu. Tapi setidaknya aku mencemaskan keadaanmu, Lanang. Sebab aku tahu, beta-pa ganasnya racun itu. Mungkin hampir sama dengan racun yang pernah menyerang tubuh adikmu, Ekaya-na itu."

   "Kau kenal betul dengan pemuda bernama Prabima itu?"

   Suara Lanang masih sedikit lemah, bahkan agak serak karena terlalu banyak berteriak dalam keadaan tertahan.

   Ketika Lanangseta menanyakan hal itu, Kirana jadi tertunduk.

   Sepertinya ia menyembunyikan suatu pera-saan yang cukup mencurigakan Lanangseta, sehingga Lanang pun segera berkata lagi.

   "Waktu aku menyebutkan namamu, badai pun da-tang. Tapi tidak seperti biasanya. Karena badai itu ti-ba-tiba berhenti setelah Prabima menyebutkan nama... Shalindra."

   Kirana kelihatan terperanjat dan melirik ke pintu, seakan takut ada yang mendengarnya. Kemudian ia mendekatkan wajah dan berbisik.

   "Itu... itu nama ibuku."

   "Oh..?"

   Lanangseta terpekik tertahan.

   "Jadi, itu nama almarhumah ibumu?"

   Kirana mengangguk.

   "Prabima adalah murid ke-sayangan ibu, dan dialah yang mengetahui nama ibu sebenarnya. Nama itu memang nama sebuah ilmu pe-ninggalan leluhur ku yang mampu membungkam sega-la kemarahan, dari kemarahan manusia maupun ke-marahan hewan, bahkan alam yang marah pun dapat dibungkamnya seketika. Itulah kehebatan nama ibu. Aku juga tidak tahu kalau Prabima mewarisi ilmu ter-sebut. Sebab semasa hidupnya, ibu tidak pernah men-ceritakan hal itu kepada kami."

   "0oo..."

   Lanang manggut-manggut pelan, sedikit termenung beberapa saat.

   Marwa, pelayan khusus dapur datang membawa-kan semangkok minuman yang sering dipakai buat memulihkan kesehatan siapa pun.

   Ketika Marwa pergi, Kirana segera membantu mengangkat kepala Lanang-seta dan meminumkan minuman tersebut.

   Ayah Kira-na juga yang menemukan membuat ramuan penyegar badan itu.

   Rasanya sedikit getir, namun memang me-nyegarkan setelah diminum beberapa saat.

   Perlahan-lahan Kirana meletakkan kepala Lanang-seta sehingga pemuda itupun terbaring lagi.

   Sekali lagi Kirana mencium kening Lanangseta dan mengusap rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

   "Seharusnya kau tidak meladeni dia, Lanang. Se-bab..."

   "Dia menyerangku dengan tiba-tiba,"

   Sahut Lanang bernada protes.

   "Aku sudah menanyakan apa salahku, tapi dia bahkan menyuruhku menanyakannya kepadamu."

   Sehela nafas dihempaskan oleh Kirana, sepertinya ia sedang merasakan sesuatu yang mengganjal di da-lam hati. Lanang tidak mempedulikan keadaan itu, ia mendesak dengan pertanyaan yang diplomatis "Kenapa aku harus bertanya kepadamu?"

   Kirana duduk pada sebuah bangku kayu, letaknya tak jauh dari jangkauan tangan Lanangseta. Karena itu, sekalipun Kirana berkata dengan pelan, Lanangse-ta cukup jelas mendengar jawaban itu.

   "Prabima mencintai ku...."

   "Oh, celaka...!"

   Desah Lanang.

   "Tapi aku tidak mencintainya, Lanang. Sumpah! Aku tidak pernah bisa mencintainya. Aku memang pernah ke mana-mana bersama Prabima, tapi karena aku menganggapnya sebagai kakak sendiri. Dia adalah murid kesayangan ibu, dan dia hidup lama bersama kami sehingga sudah seperti saudara. Aku sendiri ti-dak tahu kalau dia selama ini mencintai ku. Dan bah-kan... bahkan pernah bicara langsung dengan ayah dan ibu bahwa dia ingin memperistri aku. Waktu itu, ibu masih hidup, dan karena ia murid kesayangan ibu, maka ibu sangat setuju, sedangkan ayah tidak."

   Nada bicara Kirana memang pelan, namun mem-punyai penegasan-penegasan yang mengharapkan suatu kepercayaan dari Lanangseta.

   Mau tidak mau Lanang harus mempercayai kata-kata itu, sebab wajah Kirana tampak sangat sedih dan memohon pengertian yang dalam dari Lanangseta.

   "Teruskan..."

   "Kau tidak marah?"

   "Aku ingin mendengar seluruhnya."

   Perempuan cantik berbibir sensual itu menelan lu-dah sekali, bagai sedang menelan suatu kegetiran yang memuakkan. Lalu ia bicara dengan kelembutannya yang anggun.

   "Ayah berdebat dengan ibu, dan akhirnya ayah memberi keputusan atau syarat seperti yang diberikan kepadamu. Kalau Prabima ingin memperistri aku, dia harus mengalahkan orang-orang Tebing Neraka, yang dari dulu selalu mengincar tempat kami."

   "Dan Prabima berangkat juga tentunya?"

   "Ya,"

   Jawab Kirana dalam desah.

   "Tapi dia meren-gek kepada ibu untuk membantu menyerang orang-orang Tebing Neraka. Ibu tidak keberatan, sebab me-mang dasarnya Prabima adalah murid kesayangannya yang tak ingin celaka karena syarat dari ayah itu. Tapi ibu tidak menyadari bahwa itu adalah akal bulus Prabima. Ibu turun ke lembah dan menyerang orang-orang Tebing Neraka, sementara Prabima enak-enak menunggu di tepi Jurang Gempal. Ketika ibu menemui nasibnya, jatuh di jurang be-rasap dan lenyap begitu saja, Prabima segera melari-kan diri bersama kedua pelayan kami yang menyer-tainya. Lalu dia merasa malu untuk kembali ke mari, sehingga ia hanya mengutus kedua pelayan kami un-tuk memberitakan hal itu. Sejak saat itu, ayah sangat benci kepada Prabima, demikian juga aku. Dan rupanya selama belakangan ini dia selalu mengintai perkembangan di Griya Teratai Wingit ini, lalu dia juga dapat mengetahui bahwa kau telah menjadi calon suamiku. Mungkin juga dia men-getahui bahwa kau telah berhasil menghancurkan orang-orang Tebing Neraka itu, sehingga ia merasa perlu membunuhmu. Bagi Prabima, kau adalah penghalang besar atas cintanya kepadaku. Aku yakin, dia menunggu saat-saat tertentu, misalnya menunggu kematian ayah, dan bila ayah telah tiada, dia dapat memaksaku untuk menjadi istrinya. Aku tahu dia amat tergila-gila kepadaku. Sebab itu, dia bertekad dengan cara apapun ha-rus mendapatkan aku..."

   "Lalu apa rencanamu selanjutnya? Menghampiri Prabima dan meluluhkan kemarahannya dengan membalas cintanya?"

   Kirana menggeleng.

   "Menemuinya dan membunuh-nya!"

   Jawaban Kirana itu sempat membungkus kecem-buruan Lanangseta. Pemuda tampan berambut pan-jang, lembut itu menghempaskan nafas, pertanda se-dang mencari ketenangan hati..

   "Kau akan mencari Prabima?"

   Kirana menggeleng.

   "Dia akan datang sendiri ke mari, dan akan menemuiku secara diam-diam. Dia pasti mengira kau telah mati akibat jarum mautnya itu."

   "Dengan diam-diam? Dan kau akan menuruti per-temuan dengan diam-diam itu?"

   Lanang menjadi seperti anak kecil, membiarkan kecemburuan menguasai dirinya. Usapan lembut jemari Kirana pada rambut La-nangseta sedikit menenangkan hati yang cemburu. Ki-rana berbisik.

   "Jangan berpikiran buruk kepadaku, Sayang. Ma-sih kurangkah aku membuktikan bahwa aku mencin-taimu?"

   "Tapi kau akan mengadakan pertemuan dengan di-am-diam itu? Dan... dan semua pertemuan yang dila-kukan diam-diam pasti menuju jalan yang serong."

   Nada gerutu dari Lanangseta sempat membuat Ki-rana tertawa kecil. Ia bahkan meledek.

   "Kau lucu kalau sedang cemburu. Aku senang melihat kecemburuan itu. Baiklah, akan kubuat kau selalu cemburu sepan-jang waktu. Kau... kau lebih tampan dan lebih meng-gairahkan dalam keadaan muka cemburu begini..."

   Lanangseta hanya mendengus kesal dan buang muka. Kirana tertawa sedikit keras. Lalu dia memeluk kepala Lanang dengan satu ciuman di pipi. Kini bahkan pipinya ditempelkan lekat-lekat pada pipinya La-nangseta seraya ia berbisik.

   "Izinkan aku menemuinya diam-diam, kalau ia da-tang. Aku menemuinya untuk membunuh, bukan un-tuk bercinta...!"

   "Kau janji?"

   "Janji!"

   "Kau tidak akan lari dengannya."

   "Aku sudah bisa lari sendiri denganmu."

   Beberapa saat setelah mereka tercekam kehenin-gan, maka tangan Lanangseta pun bergerak memeluk Kirana dengan mesra.

   Dan sebuah kecupan segera mendarat di bibir yang merekah sensual itu.

   Malam menggelincir menjadi malam kembali.

   Ludi-ro belum pulang.

   Menurut kekhawatiran Kirana, Ludi-ro belum mendapatkan ular kobra jantan atau mati di-patok ular kobra.

   Tapi Lanang menjelaskan bahwa Ludiro tak mung-kin dapat digigit ular kobra.

   Lanang menjelaskan tentang kekebalan tubuh Ludiro yang tidak mempan sen-jata apapun akibat memakan lumut bercahaya (dalam, kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI).

   Kirana sempat tertegun beberapa saat setelah mendengar kehebatan yang dimiliki Ludiro.

   Entah apa yang ia pikirkan dalam lamunannya, yang jelas La-nangseta merasa terganggu sejak ia menceritakan goa yang berlumut cahaya, seperti yang pernah didengar-nya dari Ludiro.

   Ketika malam terus bergulir dan menjadi malam kembali, keresahan mulai meliputi pikiran Lanangseta.

   Sesekali ia diizinkan turun dari pembaringan oleh ayah Kirana, namun sudah beberapa saat ini ia tidak menemui Kirana.

   Pikiran Lanangseta begitu kacau.

   Ia terbayang pertemuan diam-diam yang akan dilakukan Kirana dengan Prabima.

   Dalam hatinya timbul kekha-watiran yang kuat, bahwa Kirana telah lari bersama Prabima dan mengkhianati dirinya.

   Malam sepi, bagai tak bergeming, dan Kirana benar-benar tak muncul.

   Geram di hati Lanangseta bercampur dengan kegelisa-han yang menyiksa.

   Kakinya masih terpincang-pincang ketika ia turun dari pembaringan secara diam-diam, dan ia melangkah pelan-pelan ke luar dari kamar un-tuk mencari Kirana.

   Para penjaga Griya Teratai Wingit tak ada yang tahu kalau Lanangseta sudah berada di luar pagar dan bergegas Untuk pergi sendirian mencari Kirana.

   Cahaya api penerang jalan berbinar-binar dalam tempat khusus.

   Lanangseta baru saja akan melangkah tanpa pamit, tapi tiba-tiba ia harus menghentikan langkah.

   Seorang pemuda bertampang imut-imut, ganteng dan manis itu berdiri menghadang Lanangseta.

   Pedang bersarung perak memantulkan cahaya dari api pene-rang jalan.

   Senyum licik tersungging di bibir yang sebenarnya menawan itu.

   Lanangseta menggeram dalam suatu tanya.

   "Mana gadis itu...?! Kembalikan dia padaku, Se-tan!"

   Prabima Wardana tertawa kecil.

   Ia tahu bahwa Ki-rana pasti tidak ada, walau sebenarnya ia tidak me-nyangka kalau Lanangseta ternyata masih hidup.

   Tu-juannya malam itu datang untuk menculik Kirana.

   Te-tapi begitu mendengar pertanyaan Lanangseta, maka tahulah Prabima bahwa Kirana malam itu tak ada di rumah, dan Lanangseta menuduhnya sebagai orang yang menyembunyikan Kirana.

   Suasana itu diman-faatkan oleh Prabima dengan mengatakan.

   "Kau pikir dia sungguh-sungguh mencintaimu?!"

   "Setan!"

   Geram Lanangseta sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Prabima merasa pancingannya mulai mengena. Dengan angkuh Prabima berkata.

   "Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak sampai meresap di dalam hatinya. Buktinya, malam ini ia telah menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu menyuruhku untuk melukaimu kembali. Paling tidak dengan kau terluka perkawinanmu akan ditunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk memuaskan diri ber-samaku. Kau memang tolol, Lanangseta!"

   Prabima tertawa pelan namun memanjang.

   Merah seketika wajah Lanangseta mendengar kata-kata itu.

   Darahnya mendidih, jantungnya bagai diba-kar oleh nyala api yang maha dahsyat.

   Ia telah termakan tipu daya Prabima yang memang ahli dalam hal itu.

   Dengan mengerahkan tenaga yang ada, Lanangseta menyerang Prabima dengan pukulan bernafsu.

   "Mampus kau, Setaaan...!"

   Pukulan itu diarahkan ke dada Prabima, tetapi Prabima meloncat mundur sambil mengibaskan tendangan kaki memutar. Tendangan itu tepat mengenai rahang Lanangseta sehingga Pendekar Pusar Bumi Itu pun sempoyongan menahan sakit.

   "Aku harus melukaimu, sesuai dengan perintah gadis itu...!"

   "Sreet...!"

   Prabima mencabut pedangnya.

   Lanangseta menahan keseimbangan tubuh dan memusatkan perhatian pada pedang berkilauan itu.

   Kakinya masih terasa sakit, namun tak dihiraukan lagi.

   Ia masih mampu meletik bagai udang ke udara pada saat ujung pedang meluncur ke arah perutnya bersamaan dengan meluncurnya tubuh Prabima Wardana.

   "Hiaaaat...!!"

   Pekikan itu menambah kekuatan Lanangseta untuk melancarkan tendangan ke punggung Prabima yang berhasil diloncati.

   "Bukk...!"

   Punggung itu menjadi sasaran Lanangseta, dan Prabima tersungkur mencium bebatuan.

   ia ce-pat-cepat bangkit, lalu semakin bernafsu untuk melu-kai Lanangseta.

   Pada saat itu, dua pengawal pintu gerbang Griya Teratai Wingit telah keluar dari pagar dan bergegas ke arah datangnya teriakan itu.

   Tapi kedua pengawal tersebut akhirnya bingung sendiri, mana yang harus dibela.

   Mereka mengenal Lanangseta seba-gai calon suami Kirana, tetapi mereka juga mengenal Prabima sebagai bekas anggota keluarga Teratai Win-git.

   Jadi, yang bisa mereka lakukan saat itu hanya me-lototkan mata dalam kebingungan.

   Lanangseta tidak perduli, apakah pengawal itu akan membela dia atau membela Prabima.

   Yang jelas ia harus segera menyerang dan membuatnya kewala-han sebelum Prabima melancarkan serangan lagi.

   Ma-ka, dengan bersalto satu kali di udara, kaki Lanangse-ta meluncur ke dada Prabima.

   Sengaja kaki itu menye-rang tempat yang kosong, sehingga tebasan pedang Prabima pun akan meleset.

   Dan begitu kaki kanan itu menginjak tanah kembali, pukulan telah meluncur de-ras dan keras di wajah Prabima.

   Pedang dikibaskan saat itu pula, tapi hal itu sudah diperkirakan oleh Lanangseta, sehingga dengan cepat ia merundukkan ke-pala.

   Pedang berlalu di atas kepalanya, dan Lanangse-ta pun berguling setelah kakinya menjejak dada Pra-bima seperti seekor kuda liar mengamuk.

   Prabima ter-pental sekali lagi, namun ia segera berdiri dan menya-rungkan pedangnya.

   Lanangseta tahu gelagat, pasti ia akan melancar-kan jarum-jarum beracun lagi ke arah Lanangseta.

   Se-bab itu, Pendekar Pusar Bumi segera melompat-lompat, berguling-guling di udara dengan cepat se-hingga membingungkan Prabima yang hendak melan-carkan serangan jarum beracun.

   Satunya jalan, Pra-bima harus melumpuhkan kekuatan Lanang lebih du-lu sebelum ia menyerang dengan jarumnya.

   Dengan lumpuhnya kekuatan Lanang, maka tak ada daya lagi bagi pendekar berikat kepala kulit macan tutul itu un-tuk melayang dan berjumpalitan membingungkan.

   Prabima segera melayang juga menyongsong tubuh Lanang dalam satu jurus tendangan menyamping.

   "Praak...!"

   Ia berhasil menendang tulang rusuk Lanangseta dengan keras, dan membuat Lanangseta mengaduh kesakitan, lalu jatuh tak bertenaga lagi.

   Itulah saat Prabima memperoleh kesempatan menyerang Lanangseta dengan jarum beracunnya.

   Namun pada saat ia ingin mengeluarkan jarum-jarum racun dari tangan dan setiap jari-jarinya, mendadak ia harus terguling-guling di tanah beberapa kali karena sebuah tendangan yang cukup dahsyat.

   Lengannya terasa hampir putus, dan ia menyeringai kesa-kitan, tapi matanya sempat memandang seorang ber-tubuh terhitung pendek dengan badan kekar dan bero-tot gempal berdiri di depannya.

   Orang itu menyandang pedang di pinggang dan cambuk di punggung.

   Sedangkan di tangan kiri lelaki itu, terlihat seekor ular kobra yang digenggamnya kuat-kuat dan masih hidup.

   "Paman Ludiro...?!"

   Seru Lanangseta. Tapi Ludiro tidak menyahut. Ia memandang tajam pada Prabima, lalu menyumpah dengan sengit.

   "Rupanya kau bajingan tengik itu, ya?!"

   Prabima tidak mengenal siapa Ludiro, yang ia tahu orang tersebut ada di pihak Lanangseta.

   Karena itu dalam keadaan masih melonjor di tanah, ia melancarkan serangan jarum beracun yang meluncur bagai hujan dari setiap ujung jarinya.

   Ludiro berkelit dengan cepat, melompat ke samping kiri dengan badan berputar, kemudian menghentakkan kaki sehingga melambung tinggi dan bersalto satu kali, kemudian tendangannya tepat jatuh di kepala Prabima.

   Waktu itu, Prabima ba-ru saja bergegas untuk berdiri, tahu-tahu ia harus telentang lagi, dan terguling-guling menghindari kaki Ludiro yang berkali-kali gagal menginjaknya.

   Dengan gerakan cepat, Prabima dapat melentikkan tubuh untuk menjauhi Ludiro.

   Begitu keadaannya su-dah cukup jauh, kedua tangannya segera lurus ke de-pan dengan jari-jari terarah pada Ludiro.

   Tanpa me-nunggu gerakan lain, Ludiro segera mencabut cambuk naganya sambil melayang menghindari jarum-jarum yang melesat.

   Cambuk naga melecut keras, menimbul-kan letupan kecil, dan menghantam kedua tangan Prabima.

   Tangan itu berdarah, Prabima menjerit kesa-kitan, kemudian segera melarikan diri ke balik kegela-pan malam.

   Di sana ia menghilang entah ke mana.

   Ta-pi Lanangseta segera melesat mengejar Prabima den-gan kemarahan yang meluap.

   * * * AYAH Kirana terperanjat ketika melihat Lanangseta berkelebat mengejar Prabima.

   Ia menampakkan rasa khawatirnya, sehingga ia pun berseru kepada Ludiro.

   "Kejar dia! Bawa pulang! Kesehatannya belum pulih betul! Ia bisa sekarat di perjalanan!"

   "Bagaimana dengan ular kobra jantan ini?"

   Tanya Ludiro sambil memperlihatkan ular kobra jantan di tangannya.

   "Sambu!"

   Seru ayah Kirana kepada salah seorang pelayannya. Orang yang bernama Sambu itu mendekat.

   "Bawa ke belakang ular kobra jantan itu, dan usa-hakan masih tetap hidup sampai darahnya kuambil untuk diminumkan kepada Lanangseta."

   "Baik, Rama,"

   Jawab Sambu yang kemudian dengan hati-hati menerima ular kobra jantan dari tangan Ludiro.

   Setelah itu Ludiro segera pergi mencari Lanangseta yang dikhawatirkan pingsan di tengah jalan.

   Tetapi sampai jauh malam, Ludiro tidak menemu-kan Lanangseta.

   Bahkan sampai matahari terbit, La-nangseta masih tak terlihat jejaknya.

   Agaknya ayah Kirana sangat mencemaskan keadaan Ludiro dan La-nangseta, sehingga ia pun mengutus dua pengawalnya, yaitu.

   Bonang dan Lande.

   Tetapi sampai jauh siang mereka tidak menemukan orang yang dicari.

   Hanya sa-ja, pada rimbunan semak berduri tiba-tiba Bonang dan Lande menemukan ikat kepala dari kulit macan tutul, warnanya kuning bertotol-totol hitam.

   "Ini seperti ikat kepala Lanangseta,"

   Kata Bonang. Lande mengangguk.

   "Bawa pulang ikat kepala ini. Ayo...!"

   Waktu mereka berdua sampai di Griya Teratai 'Wingit, Ludiro sudah berada di sana, di halaman belakang, berbicara dengan Sabdawana, ayah Kirana. Ke-datangan Bonang dan Lande membuat mereka tegang dan ayah Kirana segera bertanya.

   "Bagaimana? Kalian menemukan Lanangseta?"

   "Tidak, Rama,"

   Jawab Lande.

   "Tapi, kami menemukan barang ini..."

   Kemudian Lande menyerahkan barang temuannya. Ludiro dan ayah Kirana memandang dengan te-gang, lalu mereka saling tatap. Ludiro segera bertanya kepada Lande.

   "Di mana ikat kepala Lanang ini kalian temukan?!"

   "Di semak berduri, dekat jalan menuju Goa Malaikat,"

   Jawab Bonang dengan semangat.

   "Mungkinkah dia masuk ke dalam Goa Malaikat?"

   Tanya Ludiro kepada ayah Kirana. Lelaki berambut uban itu hanya mendengus kesal dalam kebingungan-nya.

   "Tapi tadi kau bilang sudah mencari di Goa Malaikat?"

   Kata ayah Kirana.

   "Benar, Rama,"

   Jawab Ludiro.

   "Tapi saya tidak mencari sampai di kedalaman goa. Kalau begitu, akan saya cari sampai ketemu, Rama."

   Sabdawana mengangguk.

   "Carilah dan temukan dia. Aku sudah terkesan kepadanya, dan hanya dia yang menurutku pantas menjadi pengganti ku di Tera-tai Wingit ini."

   "Hemm... bagaimana dengan putri Rama yang ka-tanya juga pergi sejak kemarin lusa itu?"

   "Jangan khawatirkan dia. Itu sudah biasa bagi dia, pergi tanpa pamit! Memang sedikit bandel putriku itu!"

   "Baiklah, saya pergi ke Goa Malaikat, Rama..."

   Kata Ludiro, lalu ia pun pergi ke sana dengan hati masih cemas akan keselamatan Lanangseta.

   Ia tahu, dalam kondisi yang masih lemah itu, Lanangseta akan mu-dah dikalahkan oleh Prabima, apalagi Lanang dalam keadaan tanpa pedang Wisa Kobra.

   Keadaan Lanang sangat membahayakan, dan itu adalah tanggung jawab Ludiro.

   Sebab itulah Ludiro mati-matian untuk mene-mukan Lanangseta kembali ke manapun Pendekar Pu-sar Bumi itu pergi.

   Namun yang paling dikhawatirkan oleh Ludiro ada-lah pemuda yang bernama Prabima.

   Luka di tangan bekas cambukkan Ludiro itu memang tidak seberapa.

   Dalam beberapa saat bisa sembuh.

   Dan dalam kea-daan seperti itu bisa saja ia menyerang Lanangseta, la-lu menyeret Lanang ke suatu tempat untuk dibunuh dan disembunyikan mayatnya.

   Bukan hal yang aneh jika Prabima sengaja me-nyembunyikan Lanang baik dalam keadaan parah atau pun mati, sebab menurut penuturan ayah Kirana yang sempat didengarnya tadi, bahwa Prabima memang mempunyai naluri untuk mengacau kehidupan di Te-ratai Wingit.

   Secara sekilas, Ludiro juga mendengar bahwa Prabima mencintai Kirana, tetapi cintanya bagai sampah yang terbuang begitu saja.

   Dalam kasus itu, Lanangseta adalah pihak yang menjadi korban suatu peristiwa masa lalu, yaitu peristiwa penolakan cinta Prabima kepada Kirana.

   Kalau memang benar begitu kenyataannya, Ludiro sudah siap untuk menyiksa Prabima dengan memotong-motong tubuh pemuda itu menjadi berkeping-keping.

   Memang tidak semua orang tahu di mana Lanang-seta atau Pendekar Pusar Bumi itu.

   Juga tidak semua orang tahu bagaimana keadaannya sekarang.

   Tetapi seorang lelaki tua berjubah kuning dan berjenggot putih kemerah-merahan itu hanya tersenyum dan terke-keh-kekeh pelan.

   Matanya yang sudah berkelopak ke-riput itu masih memandangi Lanangseta yang tengah mengerjap-ngerjapkan ma-tanya.

   "Oohh... di mana aku ini? Uuh...!"

   Lanangseta belum menyadari bahwa dirinya ada dalam pondok si tua Tongkat Besi.

   Kakek tua itulah yang mencuri pedang Wisa Kobranya dan selalu berha-rap agar Lanangseta mau membunuhnya (dalam kisah GERHANA TEBING NERAKA).

   Maka, ketika Lanangseta mulai menyadari di mana dia berada, mata yang semu-la buram itu kini menjadi terbelalak kaget.

   Ia menguc-al-ngucal matanya, dan sekali lagi memandang, lalu mengeluh lemas.

   "Oouh... kau, Tongkat Besi...?!"

   Lanangseta merebah lemas, telentang di atas dipan bambu tanpa kasur, kecuali tikar pandan yang telah lusuh.

   "Memang sebaiknya kau beristirahat dulu, Lanang. Kau tak akan kuat melawanku dalam keadaan lemas seperti itu. Nah, sementara kau beristirahat, ku carikan ramuan untuk memulihkan kekuatanmu. He, he, hee..."

   Tongkat Besi terkekeh.

   Entah bagaimana mulanya, Lanangseta tak bisa menjabarkan.

   Hanya saja, menurut dugaannya ia ten-tu dalam keadaan lemas.

   Mungkin pingsan dalam pen-gejaran terhadap Prabima, lalu dalam keadaan pingsan itu bisa saja kakek berjubah kuning itu membawanya ke suatu tempat, yaitu suatu tempat berupa pondok yang sangat sederhana.

   Mengapa Tongkat Besi mem-bawanya ke pondok sederhana itu, Lanangseta sudah mengetahui.

   Pasti berhubungan dengan pedang Wisa Kobra yang dicuri, atau lebih tepatnya lagi diserobot, oleh Si Tua Tongkat Besi.

   Denyut di kepala Lanangseta semakin kuat, tetapi ia tetap berusaha untuk bangkit dan duduk di tepian dipan bambu yang sering disebut orang sebagai lincak.

   Matanya redup, dan pandangan matanya memang berkunang-kunang.

   Meski demikian, ia masih mampu menatap sebuah benda yang digantungkan pada dind-ing rumah, di mana dinding tersebut terbuat dari ba-tangan-batangan kayu pohon tanpa dihaluskan atau dibelah menjadi papan demi papan.

   Batangan kayu itu masih utuh dan memang kelihatan kokoh.

   Benda yang tergantung pada dinding tersebut tak lain dari pedangnya sendiri, yakni pedang Wisa Kobra.

   Kaki terasa lemas.

   Tak kuat untuk berdiri.

   Mung-kin ini akibat racun dari jarum milik Prabima itu.

   Pen-garuhnya begitu kuat, dan Rama Sabdawana belum selesai melakukan perawatan, tapi Lanangseta sudah kabur lebih dulu dari Griya Teratai Wingit itu.

   Sebab itu, kali ini Lanangseta mendesah penuh kesal; mengapa dirinya nekad mengejar Prabima pada malam itu? Ketika kakinya menapak pada lantai pondok yang ternyata juga dari kayu tanpa dihaluskan, ia mulai sadar bahwa penyesalannya itu tiada guna untuk kali ini.

   Yang panting, ia harus mengambil pedang Wisa Kobra dari dinding itu.

   Ia harus merayap, karena pandangannya goyah.

   Perlahan dengan cara merambat dan berpegangan pada meja, Lanangseta mencoba mendekati pedangnya.

   Ketika tangannya menyentuh pedang tersebut, ha-tinya menjadi tenang.

   Nafasnya terhempas lega.

   Ke-mudian ia membawanya ke pembaringan, dan dipe-luknya pedang itu sesaat.

   Dengan pandangan mata yang masih sedikit kabur, Lanang mengamati pedang tersebut.

   Ia menghunus da-ri sarungnya, dapat menyunggingkan senyum kebang-gaan melihat pedang itu masih utuh.

   Segera ia mema-sukkan kembali pedang Wisa Kobra pada sarungnya, dan ia membawanya dalam pelukan sambil memba-ringkan badan.

   Lama sekali ia meresapi kerinduannya terhadap pedang Wisa Kobra, sehingga ia pun akhirnya tertidur beberapa lama.

   Ketika ia bangun, hari sudah malam.

   Pedang Wisa Kobra sudah tidak ada dalam pelukannya.

   Ia sempat terperanjat kaget.

   Lalu tawa yang terkekeh dari Tongkat Besi terdengar menyadarkan Lanangseta.

   "Mana pedangku?!"

   Itulah pertanyaan pertama setelah ia melihat ke dinding dan pedang itu tidak juga tergantung di sana.

   "Pedangmu kusimpan sampai persepakatan antara kita terjadi,"

   Ujar kakek tua yang sedikit nyentrik itu.

   Lanangseta mendenguskan keluh, pertanda ia se-dang menahan kedongkolan.

   Ia tahu, Tongkat Besi se-benarnya tidak bermaksud jahat kepadanya, hanya sa-ja sikapnya yang sering menjengkelkan itu membuat Lanangseta rasa-rasanya ingin menampar muka Tong-kat Besi.

   "Kau harus minum ramuan ini,"

   Kata Tongkat Besi sambil menyerahkan sebuah cairan kental dalam ba-tok kelapa. Cairan itu berwarna hitam dan amis.

   "Apa ini?!"

   "Minumlah dulu, nanti ku jelaskan."

   Lanangseta membuang keragu-raguan.

   Cairan hi-tam yang berbau anyir dan amis itu diminumnya den-gan mata terpejam kuat-kuat.

   Habis.

   Ia menyeringai sambil bergidik beberapa kali.

   Tongkat Besi hanya me-nertawakannya.

   Kemudian mengambilkan air putih bi-asa untuk sekedar penawar rasa pahit dan amis di mulut Lanangseta.

   Setelah meminum air putih itu, La-nangseta mulai tenang.

   ia sengaja duduk sambil ber-sandar pada dinding kayu dengan kedua kaki ditekuk, hampir menyatu dengan dada.

   "Bagaimana? Enak?"

   Tanya Tongkat Besi setelah mengembalikan tempat minum ke meja.

   "Cairan apa yang kuminum tadi, Kek?"

   "Darah kobra jantan."

   Mata Lanangseta terbelalak. Lalu, ia ingat kata-kata Rama Sabdawana, bahwa kesehatannya akan pu-lih sama sekali kalau ia sudah meminum darah kobra jantan. Tongkat Besi pun berkata demikian.

   "Darah kobra jantan dapat memulihkan kekua-tanmu yang hampir tawar karena racun yang ganas. Tadi aku sempat memeriksa kakimu, lalu aku berpen-dapat, bahwa kau habis terluka dan luka itu mengan-dung racun ganas yang tak kenal belas kasihan. Begi-tu, ya?"

   "Kau mengenal jenis racun itu?"

   Kakek tua yang sudah berkulit keriput itu men-gangguk.

   "Dalam dunia persilatan, hanya ada satu macam racun seperti itu, yang diberi nama racun Mayat Seribu."

   Pendekar Pusar Bumi menggumam. Kemudian, Tongkat Besi ikut naik ke atas tempat tidur bambu dan berkata lagi.

   "Racun Mayat Seribu, hanya dimiliki oleh keluarga Shalindra, tempatnya di Bukit Badai, di mana aku menemukan kau dalam keadaan pingsan itu."

   Dalam hati Lanang berkata.

   "Kakek ini hebat juga. Ia bisa mengenal racun dan pemiliknya. Sungguh ba-nyak pengalamannya di dunia persilatan.'"

   "Kau mengenal keluarga Shalindra?"

   Lanang mencoba untuk berbohong dengan mengge-lengkan kepala. Ia ingin tahu sampai di mana pengeta-huan kakek tua itu tentang keluarganya Kirana. Dengan suara tua, sedikit serak, Tongkat Besi mengatakan.

   "Leluhur Shalindra terkubur di Bukit Badai. Mereka dulu melawan suatu kekuatan di daerah Selatan, dan bahkan berhasil menenggelamkan sebuah pulau tempat suatu kerajaan terkutuk. Kukatakan ter-kutuk, karena raja dan rakyatnya sebegitu banyak ser-ing melakukan kejahatan dan bejat semua moralnya. Perilakunya seperti iblis, kesaktiannya yang kejam itu tak ada yang mampu mengalahkan kecuali leluhur keluarga Shalindra."

   "Apakah sampai sekarang masih ada keluarga Sha-lindra itu, Kek?"

   Kakek Tongkat Besi manggut-manggut. Ia melint-ing tembakau cacah, dan menghisapnya dengan san-tai.

   "Sebetulnya..."

   Kata Tongkat Besi sambil menikmati isapan tembakaunya.

   "...nama Shalindra adalah nama sebuah ilmu, yaitu ilmu pembungkam. Manusia, hewan, petir, dan apa saja yang bersuara dapat dibung-kam oleh ilmu Shalindra. Bahkan kalau ia mau, Sha-lindra dapat membuat bumi berhenti berputar dalam waktu tertentu. Jadi, dari sesuatu yang bergerak, atau bersuara, menjadi diam atau berhenti. Itulah kehebatan ilmu Shalindra."

   Sekali lagi Lanangseta manggut-manggut dalam gumam, dan ia sengaja tidak memberi komentar apa-pun sebelum segalanya dibeberkan oleh kakek Tongkat Besi itu.


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Bloon Karya SD Liong Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini