Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 11


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 11


"Baik, kalau begitu semua bekerja di sini, di dapur atau menyapu perkampungan? juga memikul air. Siapa coba melarikan diri akan kubunuh dengan anak panah... cep!"

   Kebetulan Un-ciangbu seorang ahli panah dan ia melepas panahnya di dekat leher seorang murid Hwa-i Kai-pang, amblas dan menancap penuh di sebatang pohon.

   Dan ketika murid ini begitu pucat dan roboh terjerembab, kaget dan pingsan maka tawanan dijaga ketat dan pintu barak yang tebal ditutup rapat.

   Semalam nanti tak diberi makan, biar lemas! Cao-ciangkun masih uring-uringan namun akhirnya Pak-taihiap menyebarkannya.

   Betapapun Lun-ongya selamat.

   Maka menarik napas dalam mengepal tinjunya perwira ini berkata, iapun melihat kenya taan itu pula.

   "Baiklah, aku mau sabar. Akan tetapi lain kali pasti kukejar dan kuhabisi tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu, taihiap. Mereka membuat susah dan mengacau rumah orang. Bayangkan kalau kita tak memiliki kekuatan cukup dan dipermainkan mereka itu, alangkah beratnya hukuman yang kuterima dari kaisar! "Sudahlah, sekarang sudah lewat. Tak perlu lagi kita memikirkan itu, ciangkun, sebaiknya lebih berhatihati lagi karena kupikir tak akan berhenti di sini saja. Aku khawatir yang lebih besar datang."

   "Maksudmu mereka akan kembali lagi?"

   "Bukan mereka, tetapi yang lebih berbahaya dan lihai. Aku..."

   "Betul, kau mengingatkan aku. Hwa-i Kaipangcu dan lain-lain itu pasti memberitahukannya kepada orang lain, taihiap, mereka yang lebih tinggi. Tidak mustahil jika yang lebih berbahaya akan datang ka rena orang-orang kang-ouw sungguh tajam penciumannya!"

   Cao-ciangkun memotong dan tampak semakin gemas akan te tapi penjagaan segera dipasangnya di mana-mana.

   Mereka yang terculik namun su dah dilepaskan lagi dihitung, ternyata hanya beberapa saja yang belum kembali.

   Akan tetapi karena mereka ini bukan para penghuni penting, seperti Lunongya misalnya maka malam itu Ang-bi-to dipa sangi lampu terang-benderang dan hampir delapan penjuru tak lepas dari penjagaan ketat, bahkan hutan kecil di pulau itu juga diterangi bagian luarnya.

   Siapapun yang bergerak di situ pasti ketahuan.

   Bulan menyembul bagai gadis bersolek ketika selepas maghrib pulau ini diselimuti warna gelap.

   Sang malam datang.

   Riak-keriput laut memecah kering di sana-sini.

   Angin begitu lembut, sepoi-sepoi basa.

   Akan tetapi ketika bayangan selalu bergerak di luar perkampungan itu, para pengawal atau penjaga yang bertugas ron da maka kesunyian malam tiba-tiba dipecahkan oleh suara jengkerik dan binatang pemangsa serangga.

   Mereka mengiramAkan lagu senada di antara kemersik daun-daun nakal, yang bergerak dan seakan bersentuhan menggoda untuk menakut-nakuti mereka yang bernyali tikus.

   Ang-bi-to berkerlap-kerlip.

   Cahaya atau sinarsinar obor yang terusik angin lembut tampak bergoyang atau doyong ke kanan kiri.

   Angin tidaklah berhembus kuat namun gerakannya yang pasti membuat cahaya obor berubah-ubah, kadang padam di kiri kadang padam di kanan.

   Beberapa yang terlalu kecil malah benar-benar padam, membuat sang penjaga mengumpat dan menyalakannya lagi.

   Dan ketika bulan terus bergerak naik ke atas sementara cahayanya yang kuning keemas-emasan menyebar rata di seluruh permukaan pulau maka sesungguhnya malam itu Ang-bi-to merupakan pulau yang penuh pesona dan mentakjubkan.

   Daun-daun bambu dan pek tua yang siap luruh mendadak menggantung-gantung enggan.

   Mereka seakan tak rela meninggalkan pokok tangkainya sementara sang angin dingin menghembusnya berulang-ulang.

   Warna kuning tua semakin berkilauan ditimpa cahaya purnama, apalagi ketika daun-daun hijau tua berubah warna, tersaput bagai emas dan mereka menari di antara hembusan angin nakal.

   Awan berarak tipis dan sesekali mengganggu sang dewi purnama, bertingkah layaknya pemuda yang minta perhatian si juwita.

   Akan tetapi karena bulan purnama menunjukkan keangkuhannya dan tak sembarang mega boleh menggoda di depannya maka sang bayu dimintanya mengusir awan-awan nakal itu bagai seorang ratu memerintahkan pengawalnya menghalau pemuda-pemuda berandal.

   Ang-bi-to adalah tambatan hatinya dan sang dewi bulan hendak bersolek sepuas-puasnya sebagaimana seorang gadis yang sedang jatuh hati kepada seorang pemuda.

   Dikerahkannya seluruh kecantikannya agar robohlah ketangguhan sang pemuda! Dan memang Ang-bi-to tampak tergun cang hebat.

   Kalau pulau ini diibaratkan seorang pemuda yang sedang bertapa maka perlahan-lahan sang pertapa tergetar batinnya.

   Tanda ini tampak ketika pulau itu bersinar-sinar, bangkit dan menerima kecantikan dewi bulan yang menyapu seluruh permukaannya dengan lembut.

   Segala isi pulau berubah.

   Warna hitam perlahan-lahan menjadi keemasan.

   Yang putih menjadi kuning muda sementara yang hijau atau hitam berkeredep beralih rupa.

   Kadang-kadang keabu-abuan akan tetapi acapkali menguning-emas.

   Tak ada yang mentakjub kan melihat tautan dua hati sedang bertemu.

   Pulau ini bergerak perlahan-lahan dan tiba-tiba berkilauan.

   Dua lampu besar di atas perkampungan seakan sepasang mata sang pertapa memandang dewi bulan, takjub dan terpesona.

   Dan ketika bulan semakin tersenyum dan kian elok, sepasang mega kecil mematu lewat maka dewi purnama tiba-tiba seakan tertawa ketika pemuda di bawah, Ang-bi-to terkesima dan kian takjub.

   Pulau ini seakan bengong hingga tak tahu betapa bayang-bayang hitam mendadak mendekati tempat itu sementara lautpun beriak tajam.

   Ada lima perahu bergerak dan merapat untuk akhirnya para penumpangnya berloncatan.

   Dentang duabelas kali tiba-tiba tak terasa memukul-mukul tetap.

   Tepat tengah malam! Orang tak tahu siapa pendatang-penda tang baru ini akan tetapi para penjaga segera berkelebatan.

   Mereka telah menja ga pulau seketat mungkin.

   "Siapa itu, dari mana hendak ke mana. Berhenti!"

   Duabelas orang tiba-tiba berhenti.

   Me reka dihadang tigapuluh pengawal Cao-ciangkun, yang membentak adalah seorang komandan dengan alis tebal.

   Ia membawa golok lebar dan senjata ini tampak berkilauan ditimpa sinar bulan.

   Siapapun ngeri melihat kilatannya.

   Akan tetapi ketika seorang wanita berpakaian serba merah melompat maju, berdiri bertolak pinggang dan mendengus di depan komandan ini maka ia balas membentak dan sikap serta kata-katanya begitu dingin.

   "Apakah anak buah Cao-ciangkun tak kenal orang. Di mana pimpinanmu dan apakah kedatangan kami tak diberitahukan. Memangnya ingin mampus. Lihat baik-baik dan pandang aku!"

   Sang komandan terkejut.

   Ia buru-buru menghadang di tempat itu setelah seorang anak buahnya memberi tahu.

   Tentu saja ia telah diberi tahu pimpinannya bahwa malam ini akan datang tamutamu istimewa.

   Akan tetapi karena bentuk atau jumlah tamu tak disebutkan Cao-ciangkun, ia hanya diminta untuk melapor dan berlari ke pimpinan maka ia tertegun karena apakah tamu-tamu ini yang diundang.

   Dan iapun sebenarnya ingin pamer jasa di depan kawan-kawannya.

   Siapa tahu ini gerombolan pengacau! Maka terkejut dan bengong di depan wanita cantik jelita itu, ia malah terpesona memandang lawan bicaranya maka iapun lupa tugas dan celakanya lupa susila.

   Ia kagum dan tiba-tiba menyeringai lalu terkekeh di depan wanita berpakaian serba merah ini, tak takut atau menganggap mainmain semua kata-kata dingin itu.

   "Heh-heh, rupanya dewi kahyangan turun di tempat kami.

   Pimpinan kami tak banyak menerang kan, nona, akan tetapi aku sebagai pimpinan di sini berhak menahan dan bertanya siapa kau.

   Tentunya kau bukan peri malam yang diutus hantu.

   Katakan siapa dirimu dan mau apa kawan-kawanmu keluyuran di tempat ini.

   Aku Gun-siauw-ciangkun (perwira muda Gun) harus tahu secara lengkap!"

   Wanita itu tiba-tiba berkilat. Sepasang matanya menyiratkan kemarahan Akan teman di sebelahnya tiba-tiba menarik lengannya. Belum juga ia menjawab maka teman inilah yang berkata, seorang pemuda tinggi besar berkulit putih.

   "Maaf dan jangan buang-buang waktu di sini. Katakan saja pada Cao-ciangkun bahwa kami sudah datang, sobat she Gun. Biarkan kami masuk atau kalian antar sekalian. Urusan tak dapat ditunda."

   "Heh-heh, siapa kau? Ada apa mengganggu bicaraku dengan dewi kahyangan itu? Minggir, aku hanya ingin bicara dengan dia!"

   Gun-siauw-ciangkun mencoba berlagak dan ia memang tiba-tiba ingin bersikap sok di depan wanita cantik jelita itu.

   Siapa tak ingin membawa aksi di hadapan wanita cantik.

   Akan tetapi ketika pemuda tinggi besar itu melangkah maju dan tahu-tahu mencengkeram dan memelintir lengan nya ke belakang maka komandan itu terkejut bukan main dan berteriak.

   "Ia isteriku dan jangan bicara kurang ajar. Aku ingin masuk secara baik-baik dan panggil Caociangkun!"

   Komandan itu pucat sekali.

   Golok di tangan seakan tak berdaya dan lepas, ia menjerit oleh cengkeraman dan pelintiran ini.

   Namun ketika ia dilepaskan dan terhuyung membelalakkan mata, tiga puluh anak buahnya terkejut maka iapun memungut goloknya dan menerjang marah.

   "Tangkap dan robohkan bule ini, kalau perlu bunuh!"

   Pemuda tinggi besar itu berkelit.

   Ia ternyata gesit dan sesungguhnya saba..

   Bacokan golok dihindarinya manis.

   Akan tetapi ketika komandan itu berteriak dan menjadi kalap, anak buahnya dibentak ma ju maka tigapuluh orang itu tiba-tiba me nyerang pemuda ini namun bayangan merah berkelebat dan menyambar-nyambar.

   Geraknya bagai walet menyambar mangsa.

   "Keparat, tikus-tikus busuk ini tak da pat diajak bicara baik-baik. Tampar dan robohkan mereka, Franky, lalu hadapkan Cao-ciangkun... plak-plak-plak!"

   Selembar rambut hitam meledak dan menghantam muka orang-orang itu dan tigapuluh anak buah komandan ini tiba-tiba menjerit.

   Mereka tak mampu mengelak apalagi menangkis lecutan rambut itu.

   Yang tera sa ialah pipi atau muka yang begitu perih, darah mengalir, mereka terbanting dan roboh bergulingan.

   Dan ketika terakhir bayangan merah itu berkelebat di de pan sang komandan, menyabet dan mem-beset maka Gun-siauw-ciangkun berteriak terlempar goloknya sementara pipi dan hidungnya sobek.

   "Aduh!"

   Wanita baju merah itu sudah berkacak pinggang.

   Ia berhenti di depan komandan yang terbanting itu, terbelalak, bicaranya sengau ketika menuding-nuding wanita ini, darah tiba-tiba sudah memenuhi mukanya.

   Dan ketika wanita itu menjengek sementara beberapa bayangan berkelebat keluar maka terdengar bentakan dan...

   Cao-ciangkun muncul menendang pembantu nya ini.

   "Kerbau dungu, apa yang kaulakukan. Berani kau menyambut nyonya Franky seperti ini, Gun Lok. Bedebah keparat memalukan aku saja. Hayo pergi dan jangan perlihatkan hidungmu lagi... dess!"

   Sang perwira menendang sampai jauh dan komandan itu terguling-guling.

   Ia mengeluh dan merintih untuk akhirnya roboh, pingsan.

   Dan ketika semua terkejut betapa Cao-ciangkun merah padam maka anak buahnya menjatuhkan diri berlutut meminta ampun.

   Tamu di depan mereka jelas tamu-tamu istimewa.

   "Kami... kami hanya diperintah Gun-twako. Ampunkan kami, ciangkun... kami tak melakukan apaapa...!"

   "Diam, kalian telah menyerang. Cepat minta maaf kepada siauw-hujin (nyonya) atau aku menghajar semuanya!"

   Cao-ciangkun ternyata begitu marah hingga ia membentak orang-orangnya ini.

   Di belakang perwira itu tampak keluarga Pak berdiri berbaris, memandang atau terkejut dan kagum kepada wanita baju merah yang baru saja berkelebatan menyambar-nyambar itu, membuat pasukan Cao-ciang kun babak-belur.

   Dan ketika tiga puluh orang itu berlutut dan minta ampun dengan suara menggigil, kini menghadap ke arah suami isteri muda itu maka Franky, pemuda kulit putih itu sudah menjura ke pada Cao-ciangkun.

   Sikapnya halus dan kata-katanyapun tenang.

   Usianya tak lebih dari tiga puluh dua tahun dan Pak Lian gadis baju ungu berdebar.

   Ia melihat betapa gagah dan tampannya pemuda itu, pemuda asing bermata kebiru-biruan! "Sudahlah tak perlu ciangkun menghajar anak buah sendiri.

   Kami sudah datang ciangkun, selamat malam dan maaf mengganggu.

   Kami terpaksa malammalam begini demi aman dan tenangnya tugas.

   Bo lehkah sekarang kami masuk atau ciangkun mungkin hendak memperkenalkan sahabat-sahabat yang gagah."

   "Ah-ah, akulah yang harus minta maaf. Pembantuku bodoh dan kurang ajar, Tuan Franky, mereka telah menghinamu. Nanti akan kuhukum mereka setimpal ke salahannya dan benar inilah sahabat-sahabat yang membantuku!"

   "Sebut saja aku Franky, kita telah saling mengenal."

   "Baik, maaf. Tapi biarlah kuperkenalkan mereka siapa dirimu dan isterimu itu. Mereka ini adalah keluarga Pak dari Se-kiang!"

   Cao-ciangkun membalik dan memperkenalkan suami isteri muda itu dan Franky maupun isterinya mengangguk.

   Mereka tentu saja dapat menduga bahwa kakek tinggi besar dan gagah di belakang Cao-ciangkun ini bukanlah perajurit.

   Gerak-geriknya jelas orang persilatan.

   Dan ketika benar bahwa mereka adalah jago-jago dari Se-kiang, keluarga gagah perkasa maka Pak-taihiap melompat maju dan membungkuk dalam-dalam di depan dua orang ini, terutama wanita baju merah itu.

   "Telah kudengar nama Fang-taihiap yang gagah perkasa, dan kini aku bertemu dengan puterinya. Selamat bertemu dan berkenalan, lihiap, kami keluarga Pak hanyalah orang-orang kecil tak berguna. Kami sungguh kagum akan sepak terjangmu tadi dan itulah putera-puteriku yang bodoh dan belum bisa apa-apa!"

   "Ah, Pak-lo-enghiong (kakek gagah Pak) terlampau merendah. Siapa tak kenal Tangan Kilatmu hingga berjuluk Lui-ciang. Aku juga tak memiliki kepandaian begitu tinggi harus dipuji-puji. Sudahlah agaknya kita harus segera ke dalam atau yang kami khawatirkan terjadi."

   Beng Li, wanita ini membalas hormat.

   Iapun tentu saja bersikap halus dan hormat kepada kakek gagah itu.

   Nama keluarga Pak telah ia dengar.

   Dan ketika berturut-turut Pak Swi dan Pak Lian juga menjura hormat, dibalas dan merasa kagum maka pemuda itu diam-diam terpesona bahwa keturunan Liang-san ini demikian cantik jelita dan gagah.

   Alangkah beruntungnya pemuda kulit putih itu, yang justeru dikagumi adiknya! "Benar,"

   Cao-ciangkun tiba-tiba sadar, rupanya tahu gelagat.

   "Mari masuk dan cepat ke dalam, siauwlihiap. Di sini tidaklah enak dan mana tawanan penting itu!"

   "Ini...!"

   Franky ganti menunjuk, seorang kulit putih bertubuh sedang segera menjadi perhatian, menunduk dan sejak tadi menyembunyikan kedua tangannya di belakang, terbelenggu.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dialah yang ingin kami titipkan di sini, ciangkun. Barangkali besok kami harus mengerjakan urusan sejenak."

   "Hm, diakah?"

   Cao-ciangkun bersinar-sinar, maju dan mendongakkan wajah tawanan. Dilihatnya seorang berusia empat puluh tujuh tahun menatapnya geram, menunduk lagi.

   "Bagus sekali dia datang, Franky. Kaisar sudah tak sabar menunggu dan besok Kiang-taijin akan menjemput di kota!"

   "Baiklah, mari kita masuk dan biarkan anak buahku beristirahat. Mereka telah lelah mengikuti perjalanan berbulan-bulan!"

   Franky berkata kepada Cao-ciangkun dan iapun menyingkap sesuatu dari balik bajunya.

   Ternyata sebuah senjata api terdapat di sini, kecil dan nyaris ter sembunyi.

   Akan tetapi ketika pemuda itu membetulkan bajunya dan menyelinap kan lagi senjata itu maka Pak Lian terbelalak akan tetapi Cao-ciangkun berkelebat dan segera mengajak tamunya ke dalam.

   "Mari, kau benar. Kita masuk, Franky. Di sini anak buahku tetap menjaga!"

   Duabelas orang itu bergerak sementara itu di tengah laut tampaklah bayang-bayang hitam dari perahu yang berhenti terapung-apung.

   Sayang jarak terlalu jauh dan orang-orang inipun tak melihat, apalagi siapa menyangka bahwa ada perahu lain berani mengintil perahu-perahu wanita gagah ini.

   Maka ketika mereka masuk sementara penjagaan tetap diperketat ma ka Cao-ciangkun mengajak tamunya ke barak di mana Pak-taihiap dan puteraputerinya menginap.

   Akan tetapi semua orang tiba-tiba ter sentak.

   Begitu tiba di tempat terang benderang dan wajahwajah demikian jelas mendadak saja Beng Li menjerit kaget.

   Teriakan wanita ini disambut suaminya dan sekonyong-konyong keduanya meloncat.

   Tawanan didorong dan dirobek bajunya.

   Dan ketika keduanya terbelalak dan menjadi pucat, semua menjadi kaget maka orang itu ditendang dan Beng Li melengking.

   Dari mulutnya berhamburan kata-kata asing yang tak dimengerti Cao-ciangkun dan kawan-kawan.

   "Bedebah, keparat jahanam.

   Kita tertipu!"

   Caociangkun baru mengerti setelah wanita muda itu mempergunakan bahasa mereka.

   Beng Li mengeluar kan kata-kata asing bahasa suaminya, sadar dan kembali ke bahasa sendiri setelah melihat Caociangkun dan lain-lain kebingungan.

   Maka ketika ia kembali ke bahasa da ratan dan perwira itu tentu saja berubah, Pak-taihiap tak terkecuali maka wa nita ini berkelebat dan tubuhnya tiba-tiba melayang keluar.

   Suaranya membuat semua orang kaget.

   "Cao-ciangkun, jahanam Leiker lenyap. Ia si Muka Seribu. Yang kita lihat ini bukanlah dia melainkan anak buah suamiku Brandy. Ia tentu lolos ketika komandanmu tadi membuat ribut. Ayo cari dan geledah seluruh pulau ini!"

   "Nanti dulu, kami bingung. Bagaimana wajah dan bentuknya, lihiap, apa pula ciri-ciri yang dapat kami temukan. Kami masih buta!"

   Cao-ciangkun kelabakan dan berseru serta mengejar wanita itu.

   "Ia terluka dada dan punggungnya. Aku dan suamiku telah menghajarnya. Ia tak mungkin lolos dan keluar dari pulau ini asal tak ada perahu!"

   "Ah, jadi ia terluka?" "Benar, dan ia pandai mengganti-ganti wajah. Ia si Seribu Muka dan-karena itu hati-hati. Kerahkan semua orang dan celaka sekali jahanam keparat itu. Kalau saja komandanmu she Gun itu cepat membawa kami ke sini tentu tak terjadi semua peristiwa ini. Terkutuk, bedebah keparat!"

   Semua orang berkelebatan dan Cao-ciangkun tiba-tiba semburat merah.

   Ia tentu saja kaget dan marah bahwa gara-gara pembantunya maka tawanan penting lolos.

   Celakanya ia tak tahu wajah dandang pengawalnya ini dengan kaget dan malu sekali.

   Pengawalnya itu terbata-bata dan begitu ketakutan, saking takutnya sampai terkencing sambil bicara.

   Maka ketika ditendang dan dimakinya pengawal nya itu, yang menjerit dan berteriak maka perwira inipun menjadi marah di samping gugup.

   Siapa orang-orang itu dan mau apa.

   Dan saat itu muncul Pak-tai-hiap.

   "Aku melihat bayangan-bayangan yang melesat luar biasa cepatnya. Ada orang-orang lihai berkepandaian tinggi menyatroni kita, ciangkun. Agaknya apa yang kuduga tak meleset jauh. Hati-hati dan eh... awas!"

   Pak-taihiap menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah benda hitam me-Kakek tua bangka dan seorang pemu nyambar sahabatnya itu.

   Gerakannya amat cepat namun Cao-ciangkun merendah Benar, ciangkun, akan tetapi pengli-1 kan tubuh.

   Iapun menangkis atau menang Merekaj kap benda ini.

   Dan ketika terdengar suara keras dan panglima itu terhuyung maka di lengan kirinya menempel setangkai daun yang membuat perwira itu berubah.

   Ia terhuyung hanya oleh setangkai daun! "Awas...!"

   Kali ini tiba-tiba ia bersebentuk tawanan.

   Yang diketahui hanya ta wanan terluka, punggung dan dadanya.

   Maka ketika ia berteriak dan memanggil semua pasukannya, gegerlah pulau itu mendadak terdengar laporan bahwa di pantai mendaratlah orang-orang lain berpakaian macam-macam.

   Mereka lihai dan merobohkan semua pengawal atau penjaga.

   "Apa, Hwa-i Kai-pangcu dan bajak sungai itu? "Bukan... bukan. Mereka orang-orang lain lagi, ciangkun, bahkan tampaknya seperti setan-setan kuburan. Kami melihat seorang pemuda dan kakek tua bangka namun tiba-tiba lenyap!" hatan kami hanya sekejap saja menghilang. Hanya ketika terdengar tawa aneh dan kami disambar angin dingin ta-i hu-tahu kami terbanting dan terlempar entah oleh apa. Kami agaknya diserang hantu. Mereka itu... setan-setan itu, mereka... dess!"

   Cao-ciangkun menenru pada Pak-taihiap.

   Rekannya itu juga sedang terbelalak dan bengong memandang daun di lengan kirinya itu, sebuah serangan gelap ringan akan tetapi akibatnya mengejutkan.

   Lengan panglima itu membiru! Maka ketika ia berseru namun Pak-taihiap tahu dulu, membalik dan menangkis maka...

   plak, lagilagi setangkai daun menyerang kakek tinggi besar i-tu akan tetapi Pak-taihiap terpelanting.

   "Aiihhhh...!"

   Jago Se-kiang ini begitu kagetnya hingga menggulingkan tubuhnya terus meloncat bangun.

   Ia merasa pedas dan panas sementara Lui-ciang atau Tangan Kilatnya seakan tak berarti apa-apa.

   Ia telah mendengar serangan gelap itu dan membalik serta menangkis.

   Samar-samar didengarnya tawa ditahan.

   Ma ka ketika ia menjadi kaget betapa lengan nya seperti terbakar, lebam dan membiru seperti Cao-ciangkun pula maka di perkampungan tiba-tiba terdengar suara gaduh dan kini seorang pengawal terjengkang di depan perwira ini.

   Jeritannya seperti diganggu setan.

   "Ciangkun, tolong, ada hantu mengamuk!"

   Cao-ciangkun menjadi gusar.

   Dalam sekejap waktu saja peristiwa susul-menyu sul terjadi begitu cepatnya.

   Ia sampai tak tahu harus berbuat apa, mana yang akan didahulukan.

   Maka menendang pengawalnya ini berteriak gemas, meloncat dan menghilang di luar akhirnya ia minta Pak-taihiap mengiringinya.

   Jago tua itu terbelalak.

   Ia masih merasa kaget dan ngeri oleh serangan daun yang membuat lengannya linu itu, lebam.

   Dapat diukur dan diketahuinya bahwa penyerang ini seorang berkepandaian tinggi, bahkan lebih tinggi darinya.

   Maka ber debar dan mulai was-was, tempat itupun menjadi ribut maka teriakan dan bentakan tiba-tiba memenuhi Ang-bi-to dan pulau yang semula tenang sunyi ini mendadak berubah, apalagi ketika mulai terdengar jerit atau pekik kesakitan orang dilempar.

   "Aduh, mati aku. Tolong!"

   Perkampungan di tengah pulau tiba-tiba juga kacau.

   Para penghuni yang semu la tidur dan lelap bermimpi indah menda ribut.

   Bayangan-bayangan menyambar di rumah-rumah kecil ini dan pintu atau jendela gedobrakan.

   Seseorang menendang atau menghancurkan itu.

   Dan ketika piring gelas juga berkerontangan ditendang orang-orang ini, meja kursi jungkir balik maka tampaklah seorang kakek terkekehkekeh dan muncul serta menghilang di an tara orangorang lain.

   "Heh-heh, mana si Leiker yang manis. Ayo... ayo ke sini, orang ganteng. Kuselamatkan dirimu dari tangan musuh-musuhmu. Ayo keluar dan tinggalkan pulau!"

   Di tempat lain di sebelah barat juga kacau.

   Seorang pemuda menggendong busur tertawa-tawa pula.

   Ia bergerak dan berkelebatan amat cepatnya sementara tangannya bergerak-gerak melontar daunj daun muda.

   Ia menyambit siapa saja tanpa pandang bulu, kesannya berandalan Akan tetapi hasil perbuatannya mengejutkan.

   Siapapun yang tersambit daun ini menjerit, pasti terguling dan berteriak-te riak karena daun itu melekat kulit, kalau dicabut meninggalkan luka lebar, berdarah! Dan ketika ia tertawa-tawa dan pemuda inilah kiranya yang menyerang Cao-ciangkun dan Pak-taihiap tadi, geraknya begitu cepat bagai bayangan iblis maka ia hanya mengganggu orang-orang yang berlarian sementara matanya mencari-cari dan berkali-kali mulutnya mendesah.

   "Leiker, di mana kau. Ayo keluar dan mari kuselamatkan!"

   Kiranya kakek dan pemuda ini sama-sama mencari orang yang sama.

   Mereka berkelebatan di sekitar perkampungan dan barak-barak kecil.

   Dua kali mereka bertemu.

   Akan tetapi ketika keduanya sa ma terkekeh dan pemuda itu menghentikan sambitan daunnya maka ia berseru atau bertanya pada kakek tua itu.

   "Suhu sudah menemukan? Di mana si licik itu?"

   "Heh-heh, sama seperti kau. Aku juga belum menemukan keparat itu, Siauw-toh Akan tetapi ia masih di sini. Ayo putari sekali lagi dan bekuk lehernya!"

   Pemuda itu tertawa, berkelebat dan lenyap lagi.

   Ia ternyata Siauw-toh (Unta Kecil) dan kakek itu siapa lagi kalau bukan Sia-tiauw-eng-jin (Bayangan Pemanah Rajawali), kakek aneh namun berkepandaian tinggi yang dulu kita kenal mengganggu Kang Hu dan Kui Yang.

   Maka me lihat kakek ini tahu-tahu berada di Ang-bi-to, tengah malam dan mencari-cari ta wanan penting dapat dibayangkan betapa berat tugas Cao-ciangkun harus berhadap an dengan kakek sesakti ini, padahal dengan muridnya saja, Siauw-toh si bocah nakal yang kini telah menjadi seorang pe muda itu ia harus terhuyung dan Pak-tai hiap bahkan terpelanting oleh sambitan sehelai daun! Pulau Alis Merah memang tiba-tiba gaduh.

   Ternyata bukan hanya kakek dan muridnya ini saja yang menyatroni tempat itu melainkan puluhan orang lain ber pakaian hitam-hitam, pakaian yang menyembunyikan tubuh mereka dari gelap.

   Akan tetapi karena Cao-ciangkun membu at tempat itu terang-benderang dan seluruh pasukannya berjaga ketat maka keda tangan orang-orang ini tak terlewatkan juga akan tetapi beberapa pasang lampu mulai dihancurkan.

   Sebagian tempat ge-lap-gulita.

   "Prak-prangg!"

   Keadaan semakin kacau.

   Para pengawal bertabrakan sesama teman sementara pendatang baru itu menyelinap enak.

   Mereka menghajar juga pasukan Cao-ciangkun yang menghadang.

   Dan karena di mana-mana terjadi kegaduhan dan sua sana begitu hingar-bingar maka perkampungan tiba-tiba padam dan bukan main riuhnya ketika penghuni dan tamu tak di undang berdebukan di dalam gelap.

   Mereka saling tumbuk.

   "Aduh!"

   "Ooh... jahanam keparat!"

   Cao-ciangkun sampai mendelik.

   Ia mencakmencak dan memaki serta menyu ruh menghidupkan lagi lampu-lampu baru.

   Yang pecah diganti.

   Akan tetapi ketika kembali padam disambut batu-batu sekepalan dan entah siapa yang melakukan ini akhirnya Ang-bi-to begitu gaduh dan kebakaran mulai melanda bagian timur perkampungan.

   Api dan asap menjilat cepat.

   Angkasa menjadi hitam.

   "Tolong... tolong...!"

   "Ah, pakaianku. Celanaku! Aduh, tolong, Caociangkun. Pakaianku habis terbakar. Celanaku...!"

   Seorang pria muda melolong-lolong di tepian sana telanjang bulat.

   Ia baru saja buang air besar ketika pantatnya terjilat.

   Seorang usil melempar bara api membuatnya kaget, meloncat dan tunggang-langgang akan tetapi barak kecilnya dimakan si jago merah.

   Kejadian begitu cepat.

   Maka ketika ia berteriak-teriak histeris namun akhirnya roboh, sebuah bayangan tertawa ditahan mendadak bayangan ini meloncat dan...

   ditendangnya penghuni yang telanjang bulat itu.

   "Bresss!"

   Api menyambut tubuhnya dan kontan penghuni Pulau Alis Merah ini menjerit-jerit.

   Ia keluar dengan tubuh hitam, menggelikan tapi sekaligus juga me nyedihkan.

   Dan ketika ia lintang-pukang dan jatuh bungun, seseorang berseri dan tertawa di kegelapan maka orang ini lenyap di balik pohon-pohon rindang dan se lanjutnya di empat penjuru kebakaran mu lai mengamuk.

   Jelas ada seseorang yang mengacau dan ingin membuat suasana keruh.

   "Heii, berhenti. Siapa kau!"

   Pak Han, yang sejak tadi bertugas melindungi Lun-ongya tiba-tiba membentak dan berkelebat melihat bayangan mencurigakan.

   Ia tak ikut menyambut rombongan tamu ketika di pantai tadi.

   Hanya kakak dan a-dik perempuannya yang menyambut.

   Maka ketika bayangan merah berkelebat di luar pintu dan itulah Beng Li yang marah dan gusar mencari-cari tawanan maka bentakan pemuda ini disusul gerakannya menyambar dan mencengkeram.

   Pak Han mengira musuh berkeliaran.

   "Duk-duk!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Empat lengan beradu dan pemuda itu terpental.

   Bukan main kagetnya pemuda ini sementara bayangan itu-pun berhenti.

   Terjadi salah paham.

   Beng Li menyangka inilah salah satu pengacau yang mendatangi Ang-bi-to.

   Maka ketika alis wanita itu terangkat dan kemarahan membuatnya tak berpikir panjang mendadak wanita gagah ini berkelebat dan kini menerjang pemuda tinggi besar itu, rambut meledak sementara pedang pun tiba-tiba dicabut.

   "Bagus, kau kiranya pengacau liar itu. Mari rasakan hadiah dariku dan roboh atau kau mampus... tar-tar!"

   Rambut hitam gemuk menyambar tanpa ampun dan Pak Han tentu saja kaget bukan main.

   Ia terbelalak dan terpesona oleh wajah cantik gagah ini, pakaian serba merah membuat wanita itu begitu mempesonanya.

   Akan tetapi ketika rambut menyambar dan pedang juga mendesing menusuk dadanya, cepat sekali maka ia melempar tubuh membanting diri bergulingan, kaget bahwa ia disangka pengacau.

   "Heii, tahan, tunggu dulu. Kau siapa dan kenapa berada di sini. Aku undangan Cao-ciangkun!"

   Akan tetapi Beng Li tak percaya begitu saja.

   Ia tadi diserang dan dicengkeram dan kalau ia tidak menangkis dan bergerak cepat tentu ia roboh.

   Dari lengan pemuda itu menyambar pukulan kuat, tanda bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.

   Dan ketika pemuda itu ma sih dapat meloncat bangun setelah terpen tal, tanda seorang yang berkepandaian cu kup maka ia tak mau tertipu oleh seruan atau katakata pemuda ini.

   Lawan bisa saja mengecohnya dalam usahanya menyelamatkan diri.

   "Tak perlu banyak cakap atau pura-pura kepadaku. Mampus dan robohlah atau serahkan jiwamu baik-baik!"

   Pak Han kelabakan.

   Tiba-tiba ia dikejar dan mendapat tikaman berantai, rambut masih juga meledak hingga ia bergulingan menjauh.

   Ia terkejut dan pucat bahwa lawan begitu ganas.

   Tak disangkanya lawan secantik ini dapat seganas i-tu.

   Akan tetapi ketika ia mulai marah dan mengelak serta menangkis sana-sini, dua kali ia menampar badan pedang maka berkelebatlah bayangan kakaknya dan itulah yang menguntungkan.

   "Siauw-hujin, itu adikku. Jangan serang!"

   Beng Li terkejut.

   Ia menghentikan pedangnya dan membalik menghadapi pemu da ini.

   Di dalam cahaya lampu yang temaram akhirnya terlihat juga persamaan dua pemuda itu.

   Wajah Pak Han dan kakaknya memang mirip, juga tubuh yang sama-sama tinggi besar itu.

   Maka ketika ia terbelalak dan akhirnya mengerutkan kening, lawan meloncat bangun di sana maka Pak Han tak kalah terkejut mende ngar seruan kakaknya tadi.

   "Swi-ko, siapa dia ini. Kenapa baru ini kulihat!"

   "Dia adalah puteri Fang-taihiap, enci Beng Li. Dialah yang datang mengantar tawanan penting bersama suaminya Franky. Cepat minta maaf dan mari bantu a-ku menemukan tawanan, Han-te. Leiker lolos dan kini banyak dicari-cari!"

   Pak Swi menjelaskan kepada adiknya dan tiba-tiba sang adik bergetar.

   Ada rasa kecewa bahwa si cantik jelita ini seorang nyonya.

   Dia salah kira, bukan gadis! Akan tetapi terkejut bahwa itulah puteri Fang Fang atau murid Liang-san maka pemuda ini cepat menjura dan berkata.

   "Ah, maafkan aku. Aku tak tahu, en... ci. Aku... aku sedang menjaga Lun-ongya di sini."

   Berat bagi pemuda itu untuk menyebut "enci"

   Karena tiba-tiba perasaannya menjadi tawar.

   Ia terlanjur tertarik dan hampir jatuh cinta oleh lawan yang lihai ini, gagah dan cantik jelita.

   Akan tetapi ketika ia sudah menyatakan maafnya dan Beng Li pun lenyap kemarahannya maka wanita ini tiba-tiba berkelebat dan meninggalkan tempat itu.

   Iapun meminta maaf tak tahu-menahu.

   "Tak apalah, aku juga minta maaf.

   Kalau begitu bantu aku bersama kakakmu, saudara Pak Han.

   Tawanan lolos dan ia amat penting bagi kita!"

   Pak Han menarik napas dalam.

   Saat itu muncullah Lun-ongya dan pangeran yang lembut dan halus gerak-geriknya ini menjura di depan kakak beradik itu.

   Ia baru saja meletakkan tubuhnya di pemba ringan ketika tiba-tiba terdengar suara ribut.

   Maka ketika ia bertanya namun kerling dan sudut matanya lebih dekat kepa da Pak Han maka seakan wajar-wajar sa ja ia berdiri di dekat pemuda ini.

   "Apa yang terjadi, kenapa begini gaduh. Apa yang terjadi denganmu, Han-kongcu, kudengar suara dan teriakanmu. Apakah ada musuh menyerang, siapa."

   "Maaf, pangeran sebaiknya masuk saja. Ada orang-orang berbahaya di tempat ini, tawanan penting lolos. Kami rasanya tak dapat menjaga paduka lagi dan mohon paduka bersembunyi di dalam!"

   "Ah, ada musuh? Dan aku hendak ditinggalkan sendirian? Tidak, jangan lakukan itu. Harap Hankongcu tetap bersamaku dan Jangan biarkan aku sendiri. Ba gaimana kalau aku diculik lagi!" "Benar,"

   Pak Han tiba-tiba berkata ke pada kakaknya.

   "Agaknya aku harus tetap melindungi pangeran, Swi-ko, kupikir cukup banyak orang mencari tawanan. Kau pergilah dan biar aku di sini!"

   Sang kakak berkerut kening, namun akhirnya mengangguk.

   Tentu saja ia tak tahu bahwa sang adik sedang dilanda kecewa, yakni bahwa wanita gagah perkasa tadi sudah bersuami, bukan gadis.

   Dan ka rena lebih baik ia di situ melindungi Lun ongya, tak perlu bertemu lagi dengan wa nita itu maka Pak Swi tak tahu bahwa adiknya masih terpukul, apalagi alasan i-tupun memang tepat.

   Maka berkelebat meninggalkan adiknya pemuda inipun berseru.

   "Baiklah, jaga baikbaik pangeran. Lekas bersembunyi dan masuk ke dalam, Han-te. Di luar ada musuh-musuh berbabaya yang jauh lebih lihai daripada siang tadi!"

   Yang begitu girang malah Lun-ongya.

   Pangeran yang menyangka pemuda ini suka kepadanya mendadak menyambar lengan Pak Han.

   Tentu saja ia tak tahu bahwa pemuda ini sedang kecewa oleh pe ristiwa tadi, masih terbayang oleh kegagahan dan wajah Beng Li.

   Maka ketika ia menggandeng dan malah merangkul pe muda ini, Pak Han terkejut maka bisikan pangeran itu semakin membuat putera Pak-taihiap ini terkejut lagi.

   "Terima kasih, tak sia-sia aku menjatuhkan pilihan kepadamu. Terima kasih, Han-kong... eh, Hante. Terima kasih bahwa kau mau menemani aku. Mari kita ke dalam dan tutup pintu kamar rapat-rapat. Biarlah kita tidur bersama dan jangan hiraukan segala keributan itu!"

   Berkata begini Lun-ongya meremas dan meraba tubuh Pak Han dengan halus dan tiba-tiba iapun mencium punggung pemuda ini.

   Pak Han bagai tersengat ketika sesuatu yang tidak wajar dirasakan.

   Sang pangeran sudah menggelandot manja.

   Dan ketika ia ditarik dan sudah dibawa ke dalam, sang pangeran menutup pintu barak maka iapun sudah diajak ke atas pembaringan dan wajahnya tahu-tahu diciumi halus! Pak Han begitu kaget sampai terlonjak.

   Ia masih begitu hijau akan tetapi ke tidakwajaran ini dirasanya juga, apalagi ketika Lun-ongya meniup padam api lilin.

   Maka melepaskan diri dan berkelebat keluar pemuda inipun tiba-tiba berseru, menggigil.

   "Ongya, aku tidak mengantuk. Biar aku di luar saja!"

   Lun-ongya tertegun.

   Dia adalah seorang laki-laki yang haus akan belaian dan kasih sayang laki-laki pula.

   Melihat Pak Han yang begitu gagah dan tegap kuat sudah membuat ia tergila-gila.

   Hanya ka rena ia berwatak halus dan amat hati-hati maka ia tak segera mendekati pemuda ini.

   Kerling dan pandang matanya saja yang menyambar-nyambar, dua kali ia membuat pemuda itu tersipu jengah.

   Maka ketika ia merasa mendapat kesempatan akan tetapi ternyata salah, atau mungkin pemuda itu kaget maka pangeran inipun bersikap hati-hati dan siapa Pak Han membuat ia sadar bahwa ia tak boleh terlampau bergesa.

   Lun-ongya menarik napas dalam, menenangkan sesuatu yang terasa robek.

   Ia sedikit terluka oleh sikap pemuda itu.

   Akan tetapi tersenyum dan sudah menguasai perasaan hatinya lagi maka ia menya lakan lilin yang tadi ditiupnya padam.

   Lalu bergerak membuka pintu barak iapun sudah melangkah tenang menjura di depan pemuda itu.

   Pak Han masih panas dingin di sudut.

   "Maafkan aku, maafkan semua sikap dan kelancanganku. Aku hanya terlampau girang bahwa kau mau menjaga dan melindungi aku, Han-kongcu, mengira... mengira diriku sahabatmu yang cocok. Akan tetapi, ah... rupanya diriku terlampau kotor dan tak cocok untukmu. Maafkan dan biarlah aku kembali dan silahkan bantu kakakmu kalau tempat ini memang didatangi musuh. Aku dapat menjaga diriku "

   Pak Han terkejut, Lun-ongya berkaca-kaca.

   Lalu sebelum ia menjawab atau mengatakan sesuatu mendadak pangeran itu membalik dan setengah berlari menutup pintu baraknya lagi.

   Tangis ditahan tak dapat disembunyikan juga, tersedu, persis gadis manja! "Ongya...!"

   Pak Han menjadi tak e-nak dan tibatiba iapun meloncat.

   Kalau ada apa-apa dengan pangeran ini padahal sumbernya adalah dirinya tentu ia bakal tak enak sekali.

   Rasa bersalah tiba-tiba datang.

   Ia tiba-tiba merasa terlampau kasar dengan sikapnya tadi.

   Maka bergerak dan sudah memasuki bilik Lun-ongya, berdiri dan menjura hormat pemuda ini cepat-cepat meminta maaf.

   Ia tak mau ditegur ayahnya nanti.

   "Ongya, maafkan aku. Aku... aku tidak menganggapmu seperti itu. Justeru akulah yang tak pantas dan tak cocok un tukmu. Aku tak bermaksud apa-apa selain bahwa aku belum mengantuk. Tidur dan biarlah aku berjaga dan tentu saja aku tak akan meninggalkan tempat ini!" "Tidak... tidak, aku ingin sendiri. Keluarlah, Hankongcu, pergilah. Aku tiba-tiba merasa tak berharga dan ingin mati saja. Aku, ah... aku memang orang kutukan!"

   Lalu mengguguk menutupi muka nya dengan bantal maka Pak Hanpun terkesima dan tergetar hebat. Apalagi ketika tiba-tiba sang pangeran meloncat bangun dan... menumbukkan kepalanya ke dinding.

   "Ongya!"

   Pemuda itu tak mampu menahan teriakannya lagi dan seketika itu berkelebat.

   Ia tentu saja tak akan membiarkan Lun-ongya celaka, di tangannyalah keselamatan pangeran ini.

   Maka ketika ia mencengkeram namun sebagian dahi pangeran terlanjur beradu, lecet dan berdarah maka Lun-ongya bagai anak kecil meronta-ronta.

   "Tidak, lepaskan aku. Tidak, Han-kongcu... tidak. Biarkan aku mati dan jauhilah aku. Aku manusia tak berharga... duk-duk!"

   Dua kali kepalanya sempat menumbuk lagi dan Pak Han menjadi terkesiap.

   Ia menarik dan apa boleh buat menotok pangeran ini, Lun-ongya mengeluh, lumpuh, roboh terkulai.

   Dan ketika ia gemetar menggeleng berulang-ulang maka ia berlutut membujuk pangeran ini, kata-katanya jelas kebingungan.

   "Aku, eh...

   paduka jangan bunuh diri.

   Keselamatan paduka di tangan hamba.

   Kalau paduka ingin hamba di sini biarlah hamba di sini.

   Paduka, eh...

   jangan bunuh diri!"

   "Kau benar-benar ingin menemani aku di sini? Tidak di luar?"

   "Benar, paduka. Asal... asal paduka ti dak berbuat nekat."

   "Kenekatanku tergantung dirimu. Kalau kau tak menghargai aku tentu saja le bih baik aku bunuh diri, Han-kongcu. Aku... aku merasa tersiksa di tempat ini. Mati agaknya lebih baik!"

   "Tidak, paduka tak boleh berpikiran seperti itu. Itu pikiran pendek!"

   "Baik, kalau begitu bebaskan totokan-ku dan biarkan aku berdiri. Kau telah berjanji untuk tetap di kamar ini menemaniku."

   "Akan tetapi, eh... paduka tak akan melakukan seperti tadi, bukan? Bukankah paduka tak akan mengulangnya?"

   "Apa yang kulakukan? Aku hanya melakukan sesuatu sebagai tanda kagum kepadamu. Aku suka kepadamu, tak perlu kusangkal. Akan tetapi kau tak suka dan menolaknya. Hatiku sakit!"

   "Maaf..."

   Pak Han semburat menggigil.

   "Hamba... hamba tak biasa menerima itu, ongya. Hamba... hamba takut! "Takut? Kau seorang laki-laki keturunan Paktaihiap? Ah, sungguh tak kupercaya. Kau gagah dan jantan, Han-kongeu, kau bukan keturunan orang lemah. Aku tak melakukan apa-apa yang lebih dari itu. Kau bohong. Pasti karena aku orang kutukan maka sengaja kau menghindar dan tak ingin kudekati. Kalau itu yang benar biarlah kau pergi dan aku mati di sini!"

   "Tidak, jangan...!"

   Pak Han menjatuhkan diri berlutut.

   "Asal paduka tak melakukan lebih hamba bersedia di sini. Akan tetapi kalau paduka membuat hamba takut terus terang hamba tak sanggup!"

   "Heh-heh-ha-ha-ha!"

   Lun-ongya tiba-tiba tergelak, pemuda itu telah membebaskannya.

   "Kau aneh dan membuatku penasaran, Han-kongcu. Aku bukan seekor harimau buas yang harus membuatmu ketakutan. Baiklah lihat sendiri nanti dan sekarang temani aku tidur. Aku merasa aman kalau kau bersamaku. Aku tak melakukan apa-apa!" Pak Han panas dingin akan tetapi ten tu saja tak dapat menolak. Bukankah Lun ongya berjanji tak akan melakukan apa-apa? Mungkin sikapnya tadi memang benar tanda kagum, tanda suka, tanda yang baginya aneh karena harus menciumi muka segala, laki-laki sama laki-laki. Akan tetapi karena ia harus membujuk dan pan dai menjaga perasaan pangeran ini, bukan kah keselamatan Lun-ongya di pundaknya maka iapun terpaksa mengikuti ketika pa ngeran itu minta tidur bersama. Lampu lilin lagi-lagi ditiup padam. Mula-mula memang tak ada sesuatu yang dilakukan pangeran ini. la menghadap tembok, sementara Pak Han membelakangi punggungnya. Akan tetapi karena lama-lama terasa pegal dan Lunongya bertanya bolehkah dia membalik, berhadapan dengan pemuda itu maka tak ada jawaban lain bagi Pak Han kecuali mengangguk. Dan sang pangeran tersenyum! "Kau tak takut berhadapan muka?"

   "Tempat ini gelap, ongya, lagi pula kenapa takut."

   "Bagus, dan kau tak takut bila kupegang, bukan? Atau putera seorang jago Se-kiang harus ketakutan seperti anak kecil?" "Mmmm, ini... ini tentu saja tak apa-apa. Hamba tidak takut!"

   "Hush, jangan meng-hamba, aku tak suka dengar itu. Tadi kau bersikap aku dan kau, tidak hamba!"

   "Maaf, pangeran, ham... eh, aku bingung. Sebaiknya paduka tidur dan dengarlah betapa keributan masih terus berlangsung. Di luar perkampungan ini tentu terjadi pertempuran seru!"

   Lun-ongya tiba-tiba sadar akan tetapi celakanya gerak tubuhnya merapat di tubuh Pak Han.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba ia menggigil dan berbisik di telinga pemuda itu bahwa per tempuran berlangsung seru di luar, ia lupa.

   Dan ketika ia seakan orang ketakutan dan melekatkan tubuh di punggung pe muda itu maka jari dan bisikannya membuat pemuda ini berdesir.

   "Han-kongcu, aku takut. Aku... aku tak ingin kautinggalkan!"

   Pak Han berdetak keras.

   Kalau saja Lun-ongya hanya memeluk dan melekat biasa tentu ia tak akan berjengit.

   Akan tetapi pangeran itu meraba pahanya, turun dan akhirnya mengenai yang tak seha rusnya disentuh.

   Memang seakan tak sengaja namun membuat darah pemuda itu terkesiap.

   Dan ketika ia berseru perlahan namun celakanya malah diperketat, napas pangeran mendengus mendadak pangeran itu membuka kancing celananya dan...

   "Braakkk!"

   Pintu kamar ditendang seseorang dan itulah saatnya bagi pemuda ini melempar tubuh berjungkir balik. Jari sang pangeran sudah terlampau nakal.

   "Siapa itu berani mati mengganggu orang. Jahanam!"

   Pak Han membentak untuk melepas malunya dan makiannya ia tujukan kepada penendang pintu ini.

   Dari gelap ia melihat bayangan seorang pemuda, punggung memanggul busur dan pemu da itu terkekeh-kekeh.

   Sinar bulan menerangi kamar itu.

   Dan ketika ia melihat betapa Pak Han kedodoran, kancing celananya terbuka tak sadar maka pemuda ini merah padam melihat lawan menuding.

   Jari-jari Lunongya memang terlampau usil.

   "Heh-heh, kau... ah, ha-ha-ha! Celanamu terbuka, sobat, rupanya kalian asyik bercinta di sini. Uh, kau pasti bukan Lun-ongya dan itulah pasti pangeran yang kucari-cari!"

   Pak Han masih menggigil dan pucat oleh tudingan ini ketika lawan tiba-tiba berkelebat melewati dirinya.

   Lun-ongya memang di situ di atas pembaringan, ter kejut dan membelalakkan mata namun berteriak keras ketika tahu-tahu disambar.

   Tentu saja ia kaget, pendatang ini tak dikenal.

   Akan tetapi ketika ia tertangkap dan roboh tertotok, mengeluh dan berpindah cepat maka Pak Han baru sadar ketika lawannya itu bergerak dan meloncat keluar.

   Ia tiba-tiba begitu gusar dan marah.

   "Heii, lepaskan pangeran atau kau mampus!"

   Pemuda ini berkelebat dan tentu saja ia melepas pukulan Lui-ciangnya.

   Lawan lewat begitu enak dan seakan tak memandang sebelah mata, ia begitu marah.

   Akan tetapi ketika pukulannya mengenai punggung lawan namun ia yang terpekik dan terpental maka Pak Han ka get bukan main betapa lawan tertawa-ta wa meneruskan larinya.

   "Ha-ha, kekasihmu ini tak kuapa-apAkan. Sabarlah, kelak kukembalikan juga."

   Pak Han begitu kaget.

   Ia melempar tubuh bergulingan meloncat bangun namun lawan sudah berada di luar pagar.

   Geraknya sungguh cepat sekali.

   Akan tetapi karena ia begitu marah dan pangeran itupun tanggungannya, ia tak mungkin melepaskan lawannya ini maka pemuda itupun membentak dan berkelebat me ngejar.

   "Penculik hina, lepaskan pangeran!"

   Namun lawan tak menggubris. Ia tertawa mengejek dan tibatiba menjejakkan kedua kakinya. Bagai siluman tahutahu lenyap. Dan ketika Pak Han terkesiap sampai berseru keras maka berkelebatlah bayangan kakaknya dan juga adiknya.

   "Swi-ko, Han-ko di sini!"

   "Benar, dan kulihat Lun-ongya dibawa orang. Eh, apa yang terjadi, Han-te, kau tampak pucat!"

   Pak Han memang pucat dan akhirnya merah padam melihat adik dan kakaknya berkelebat di situ.

   Ia membetulkan kancing celana membuat sang kakak heran, Pak Lian malah membuang muka.

   Dan ke tika Pak Swi bertanya apakah seruannya betul, ia melihat Lun-ongya dibawa seseorang maka Pak Han menggigil setengah tergagap.

   "Benar, ia... ia diculik jahanam itu. Seseorang merampasnya dariku, Swi-ko. Ia bergerak cepat dan lihai sekali. Pukulanku mental!"

   "Tunggu, bagaimana bisa begitu. Dan kenapa pakaianmu tak keruan!" "Aku, eh... aku bertanding dengan jahanam itu. Ia meraih dan hampir merobek pakaianku!"

   "Kalau begitu kejar, ia belum jauh!"

   Pak Lian tiba-tiba melengking dan Pak Han lega oleh seruan adiknya ini.

   Ia melihat sinar mata kakaknya yang aneh.

   Se bagai sesama pemuda ada sesuatu yang ditangkap kakaknya itu, lama-lama ia pasti ketahuan.

   Maka ketika adiknya meloncat sementara iapun tak mau terlalu lama dipandang mendadak iapun berkelebat dan berseru.

   "Swi-ko, Lian-moi benar, la belum jauh. Mari kejar dan tangkap jahanam itu!"

   Pak Swi tak dapat berkata apa-apa se lain mengangguk dan mengejar.

   Tiba-tiba iapun tak memperhatikan keanehan yang dirasanya tadi, betapa kancing celana adiknya menyingkap.

   Maka bergerak dan menyusul berkelebat akhirnya tiga muda-mudi Se-kiang ini memburu si penculik.

   Kegemparan melanda di mana-mana.

   Kalau semula Cao-ciangkun dan Pak-taihiap terkejut oleh lontaran daun yang membuat mereka berteriak maka apa yang terjadi selanjutnya betul-betul di lu ar dugaan.

   Seorang kakek muncul, terkekeh-kekeh.

   Dan ketika mereka tertegun melihat kakek itu maka kakek ini justeru melotot dan berseru kepada mereka, teru tama Cao-ciangkun.

   Sikap dan lagaknya seperti menghadapi seorang anak kecil ingusan.

   "He, di mana bule busuk bernama Leiker. Kau tentu tahu!"

   Cao-ciangkun kaget bukan main.

   Ia mengelak dan hendak menghantam kakek ini akan tetapi lengan kiri kakek itu terulur begitu cepat.

   Tahu-tahu pundaknya dicengkeram.

   Dan ketika ia menggerakkan tangan kanan yang memegang golok, membacok namun lumpuh maka iapun tahu-tahu diangkat dan dihardik lagi, kumis kakek itu bergerak-gerak.

   "He, kutanya sekali lagi. Mana si bule Leiker. Ia tadi di sini!"

   Tentu saja perwira ini mengeluh.

   Ia tak dapat menjawab karena pundaknya be gitu sakit.

   Kakek itu seakan menenteng seekor kelinci dan ia begitu tak berdaya, sungguh bukan main kagetnya panglima i-ni.

   Dan karena ia hanya meringis dan menahan sakit, tak menjawab maka...

   bruuk, dibantingnya tubuhnya dan Cao-ciangkun setengah pingsan.

   Punggungnya seakan remuk.

   "Sialan, kau tiada ubahnya babi malas, ditanyapun tak bisa jawab.

   Baiklah duduk manis di situ dan aku tanya yang lain!"

   Cao-ciangkun merem-melek.

   Ia bukannya kenikmatan melainkan justeru menderita amat sangat.

   Bantingan itu membuat nya tak mampu berdiri.

   Jangankan berdiri, duduk saja seluruh tulangtulangnya berkerotokan.

   Sendi-sendinya seakan mrotholi (berlepasan).

   Maka ketika ia menahan sakit dan sampai mengeluarkan air mata saking nyerinya maka Pak-taihiap yang tak jauh dari situ tiba-tiba ditangkap kakek aneh ini.

   Bukan main kaget dan herannya jago Se-kiang itu.

   "He, kau! Tentu kaupun bisa menjawab pertanyaanku. Nah, mana si bule Leikar atau aku melemparmu seperti babi malas di sana itu!"

   Sama seperti Cao-ciangkun maka pendekar inipun mengelak dan menangkis.

   Ia tentu saja marah dan melotot dipelototi orang.

   Kakek ini seperti bertanya kepada seorang bocah saja.

   Akan tetapi ketika ia membentak dan mengelak namun jari-jari kakek itu terulur, ia kaget bukan main maka lengannyapun tersentuh dan...

   duk, mendadak seluruh tubuhnya kesemutan dan tertangkap serta diangkat kakek itu.

   tahu-tahu "Heh-heh, kau bocah besar tentu tak suka mainmain dengan aku.

   Ayo katakan di mana bule itu atau aku melemparmu ke pecomberan!"

   Pak-taihiap mengerahkan tenaga.

   Sebagai jago Se-kiang dan amat terkenal dengan Tangan Kilatnya maka ia mengerahkan sinkang membebaskan diri.

   Tentu saja ia tak sudi menyerah, apalagi mentahmentah.

   Namun ketika dirasanya betapa seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan, betapa sinkangnya macet total maka terbelalak dan sadarlah dia bahwa kakek di hadapannya ini seorang manusia luar biasa, apalagi ketika ia bertemu pandang de ngan sepasang mata mencorong berkilat-kilat.

   "Heh-heh, tak mau bicara? Baik, aku melemparmu!"

   Namun ketika pendekar itu cepatcepat berseru bahwa ia tak tahu ju ga, bahwa iapun mencari tawanan itu maka kakek ini memandangnya, menyeringai "Kau tidak bohong? Kau tidak menipu ku?"

   "Sumpah demi segala dewa. Aku Lui-ciang Pak Ju bukan orang yang suka ber bohong, orang tua aneh. Siapa kau dan apa perlu mencari orang itu. Kau bukan penghuni sekitar Ang-bi-to!"

   "Lui-ciang Pak Ju? Heh-heh, pantas. Kalau begitu turunlah dan cari serta bantu aku. Kalau nanti tertangkap harap berikan padaku dan jangan dikangkangi sendiri!"

   Kakek itu tak menjawab malah tertawa lebar mendengar siapa lawannya.

   Kiranya jago Se-kiang.

   Akan tetapi karena ia tak memandang sebelah mata dan terkekeh serta melontarkan tawanan maka pendekar itu dilemparnya tinggi sekali dan tentu berdebuk kalau pendekar ini tidak mengerahkan ginkangnya berjungkir balik, turun dengan ringan.

   Pak-taihiap mengeluarkan keringat dingin.

   Tibatiba ia merasa gentar dengan hadirnya kakek ini.

   Kalau ada dua orang seperti itu tentu semua orang celaka.

   Ah jangan-jangan kakek itu si pelempar daun.

   Maka berteriak dan bertanya apakah kakek itu penyerangnya tadi, sang kakek berhenti sejenak maka jawabannya membuat Pak-taihiap tertegun.

   "Aku menyerangmu dengan daun? Melempar mu? Heh-heh, sekali tiup saja kau dapat kuterbangkan keluar pulau ini. Jangan main-main, orang she Pak, kutendang pantatmu nanti!" Pendekar ini membelalakkan mata di tempat sementara kakek itu lenyap lagi. Tanpa banyak suara bayangannya melejit bagai siluman. Dan ketika terdengar keluhan atau rintihan Cao-ciangkun maka pendekar ini berkelebat dan dilihatnya rekannya itu menggeliat.

   "Aduh, keparat jahanam kakek itu. Siapa dia, taihiap... aku dirobohkannya begitu mudah. Ia iblis!"

   "Sst, jangan keras-keras. Akupun merasakan kelihaiannya, ciangkun, akan tetapi kulihat bukan kakek ganas. Ia hanya aneh dan berkepandaian tinggi namun sepak terjangnya tidak jahat!"

   "Tidak jahat? Ia membantingku di sini, tulangtulangku seakan retak-retak!"

   "Sudahlah harap ciangkun bangun dan biar kuurut. Kalau kakek itu jahat tentu kau dibunuhnya, akan tetapi tidak. Kita kedatangan orang-orang berkepandaian tinggi dan jelas bukan lawan kita. Sebaiknya cari orang-orang muda Liang-san i-tu dan kita serahkan kepada mereka!" (Bersambung

   Jilid 17) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid XVII *** CAO-CIANGKUN mengangguk dan terpincang dipapah temannya akan tetapi di dalam hati tentu saja ia tetap menyumpah-nyumpah.

   Mana mungkin ia diam begitu saja meskipun lawan tak membunuhnya.

   Kalau saja ia berkepandaian tinggi tentu dihajar dan dibalasnya lawannya itu.

   Akan dibuatnya tulangnya seakan retak-retak pula.

   Akan tetapi menghela na pas teringat kepandaian sendiri, betapa ia serasa begitu bodoh dan lemah di hadapan kakek aneh itu maka ia bersinar ketika disebut-sebutnya anak muda Liang-san itu.

   "Benar, di mana mereka. Kita harus temukan dan laporkan ini, taihiap. Ingin kulihat kakek keparat itu dihajar keturunan Dewa Mata Keranjang!"

   "Marilah, dan kita lihat keadaaan pula. Memang agaknya hanya para pendekar muda itu yang mampu menguasai keadaan. Tampaknya Ang-bi-to semakin runyam setelah datangnya orang-orang seperti kakek ini!"

   Cao-ciangkun meloncat dan agak terhuyung namun akhirnya dapat berdiri tegak lagi setelah Paktaihiap mengurut-urut punggung dan bagian tubuhnya yang lain.

   Perwira ini tiba-tiba menjadi khawatir oleh kerusuhan yang mendadak terjadi.

   Hilangnya si bule Leiker memancing datangnya siluman-siluman tua seperti kakek itu.

   Maka ketika ia mengangguk dan berseru pergi, melihat betapa anak buahnya berteriak-teriak maka kebakaran yang melanda tempat itu agaknya harus mendapat penanganan lebih dulu.

   Panglima ini marah sekali.

   Di empat penjuru Ang-bi-to langit menjadi merah.

   Barak-barak penampungan terbakar hebat dan yang paling membuatnya gusar adalah teriakan-teriakan tak berguna para penghuninya.

   Mereka itu cerai-berai dan banyak yang berbugil-ria.

   Sungguh brengsek! Dan ketika panglima ini menampar dan memaki-maki mereka serta membentak sana-sini, ia mencari-cari pula di ma na suami isteri muda itu maka terdengar laporan bahwa mereka di pantai sebelah barat.

   "Tuan dan nyonya muda itu di belakang pulau.

   Mereka tampaknya menemukan tawanan itu, ciangkun, dan tiga bersaudara Pak berada di sana!"

   "Ah, mereka di belakang?"

   "Benar."

   "Kalau begitu kuasai api dan kalian di sini!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Caociangkun berdebar girang dan ia meloncat meninggal kan orang-orangnya yang memadamkan api.

   Memang di situ kesibukan tak kalah serunya namun berita di belakang pulau-tentu lebih penting lagi.

   Tawanan ada di sana.

   Maka berkele bat menuju ke situ ternyata orang-orang kang-ouw berada di sini dan mereka itu berteriak-teriak mengejar seseorang.

   "Berikan padaku. He, ia milikku!"

   "Tidak, ia milikku. Pergilah, tikus cilik. Siapapun tak boleh menjamahnya dan ia milikku... desss!"

   Dua orang terbanting bergulingan ketika seorang kulit putih direbut dan ditarik untuk dikuasai salah satu pihak.

   Mereka terpental dan ter banting memaki-maki namun lelaki bule yang kebingungan ini disambar yang lain.

   Ia berteriak dan mengeluarkan kata-kata asing lalu mencabut sesuatu.

   Senjata api! Dan ketika senjata itu diletuskan dan terdengar desing peluru maka orang-orang kang-ouw itu buyar berentakan dan satu di antaranya menjerit.

   Kena.

   "Aduh!"

   Orang tinggi besar itu membalik dan tampaklah wajahnya yang gagah dan tampan.

   Cao-ciangkun terbeliak karena pemuda ini kiranya adalah Franky, bukan Leiker.

   Dan ketika pemuda itu membentak dan mengacung-acungkan senjata apinya lagi maka bayangan merah berkelebat dan Beng Li merah padam melayang di atas kepala orang-orang kang-ouw ini, ka ki tangannya bekerja.

   "Keparat, tikus-tikus busuk. Itu suamiku dan kenapa diperebutkan... des-dess!"

   Orang-orang kangouw semakin kacau lagi dan mereka melempar tubuh bergulingan menjauhkan diri.

   Kini kagetlah mereka bahwa orang yang mereka kejar-kejar bu kanlah yang dimaksud.

   Pemuda itu adalah cucu-mantu Dewa Mata Keranjang! Maka ketika orang-orang ini terbelalak dan menjauhkan diri tiba-tiba Cao-ciangkun berkelebat dan berseru, girang menemukan wanita ini.

   "Siauw-hujin, ada seorang kakek keparat merobohkan aku dan Pak-taihiap. A-was dan hati-hati bila bertemu dengannya. Mana tawanan!" "Ia tadi di sini!"

   Franky menunjuk.

   "Ia di dekatku tapi orang-orang itu menyerang sembarangan, ciangkun. Aku gemas sekali dan kini hilang. Tangkap mereka itu dan jangan biarkan berada di Ang-bi-to!"

   "Benar!"

   Beng Li tiba-tiba menerjang dan melayang serta menyambar-nyambar di antara orangorang ini.

   "Kalian tikus-tikus busuk hanya mengganggu dan mengacau saja, orang-orang liar. Robohlah dan tak ada tempat bagi kalian!"

   "Dan kami membantu!"

   Tiga orang mu da tiba-tiba berseru dan muncul dari mu ka belakang.

   "Tadi kami lihat bayangan tawanan, Li-cici. Akan tetapi orang-orang ini harus dilenyapkan dulu atau mereka pergi baik-baik!"

   Kacaulah keadaan.

   Orang-orang kang-ouw yang berpakaian hitam-hitam dan da tang tak diundang tiba-tiba kalang-kabut diterjang wanita baju merah dan tiga anak muda itu, apalagi ketika Cao-ciangkun membentak dan maju pula, disusul bayangan tinggi besar Pak-taihiap.

   Dan ketika mereka jatuh bangun berteriak-teriak, tujuan utama adalah mencari dan menemukan Leiker maka berhamburanlah orangorang itu melarikan diri.

   Dan Franky tiba-tiba membentak.

   "Dia di sana...

   dor!"

   Letusan senjata api disusul jeritan orang-orang kang-ouw itu yang tiba-tiba melempar tubuh tiarap.

   Mereka takut ke na peluru nyasar akan tetapi pemuda itu menujukan pistolnya ke lain tempat.

   Sese orang mengeluh dan tercebur.

   Dan ketika sesosok tubuh terseret dan hanyut oleh ombak maka dua bayangan berkelebat amat cepatnya seel-an dahulumendahului.

   "Heh-heh, dia punyaku!"

   "Tidak, punyaku. He, lepaskan, tua bangka. Kau tak berhak memilikinya... des-dess!"

   Seorang pemuda menyerang kakek yang terkekeh-kekeh namun ia terbanting dan terlempar ke air.

   Tubuhnya mencebur sementara kakek ini sudah menangkap seorang kulit putih yang terluka kakinya, terbawa dan hanyut oleh ombak namun kakek itu menyambarnya berjungkir balik, turun dan tiba-tiba sudah di atas sebuah perahu hitam yang tahu-tahu muncul di situ.

   Seorang pemuda lain mengemudikannya.

   Dan ketika kakek ini tertawa berseru nyaring, pemuda itu mengangguk dan memutar arah perahu maka dengan cepatnya dua orang ini menjauhi pulau dan melarikan diri! "Heii, tawanan!"

   Tangkap kakek itu. la membawa "Benar, Leiker di sana. Ah, siapa jaha nam tua bangka itu, Franky. Ia kabur!"

   Beng Li memaki-maki di tepi pulau sementara pemuda tinggi besar itu membelalakkan mata dengan muka berubah, la melihat tawanannya lolos.

   Dua orang membawa lari tawanan sementara ia tak tahu siapa mereka.

   Sungguh kurang ajar.

   Namun ketika ia bingung dan marah melihat semuanya itu mendadak muncul perahu lain dikemudikan seorang gadis jelita menyandang busur, melaju dan cepat sekali mendekati pemuda yang tadi tercebur menyerang kakek aneh itu.

   "Kang Hu, naik dan kita kejar. Jangan sampai kehilangan jejak!"

   Pemuda itu melompat dan berjungkir balik.

   Ternyata iapun menyandang busur dan di bawah sinar bulan yang kuning ke emasan gerakannya memukau semua orang.

   Dengan pakaian basah kuyup namun nampak gagah perkasa pemuda ini melayang dan turun di atas perahu, tegap dan tampan dan dua muda-mudi di perahu ini tiba-tiba bagaikan sepasang dewa-dewi yang turun dari kahyangan.

   Gadis itu cantik jelita sementara pemudanya tampan dan gagah sekali, matanya bersinar dan dagunya berlekuk.

   Sungguh jantan.

   Dan ketika semua orang terbengongbengong karena gadis itu seakan muncul dari dasar samodera saja, entah kapan dan dari mana ia datang maka perahu diputar dan...

   klap-klap, pantulan dayung menyilaukan mata dan tiba-tiba perahu meluncur dengan amat cepatnya mengejar pera hu kakek aneh itu.

   Mereka menuju daratan besar.

   "He, lempar perahu dan susul mereka. Kejar, tangkap!"

   Cao-ciangkun tiba-tiba sadar dan iapun memerintahkan para pembantunya dengan kaget dan terburu-buru.

   Ia seketika mengenal kakek itu sebagai si kakek yang lihai dan sakti, berseru kepada suami isteri muda itu dan para orang kang-ouw mendadak berhamburan ke laut.

   Mereka tiba-tiba menyong song perahu-perahu lain yang berdatangan, perahu yang ternyata merupakan teman-teman sendiri.

   Dan ketika mereka berlompatan dan sebentar kemudian mendayung cepat, menyusul atau mengejar perahu dua orang itu maka Cao-ciangkun begitu tak sabar melihat kelambanan para pembantunya sendiri, berkelebat dan memukul seorang pendayung disusul Pak-taihiap dan tiga putera-puterinya yang tahu keadaan.

   "Berikan perahu dan kalian minggirlah!" Pendayung dan para penumpangnya berteriak. Mereka terlempar dan tercebur ke laut sementara Cao-ciangkun sudah memegang kemudi. Pak-taihiap dan tiga putera-puterinya juga sudah di sini dan tak mungkin lagi pemilik perahu mempertahankan diri mereka. Apa boleh buat yang lain melempar tubuh menyelamatkan diri dan bayangan merah berkelebat, disusul bayangan tinggi besar dan perahu tiba-tiba penuh oleh enam orang ini. Beng Li dan Franky sudah di situ pula. Dan ke tika pemuda kulit putih itu berseru menyambar dayung, disusul wanita muda itu maka pukulan ke permukaan air membuat perahu melesat seakan terbang.

   "Plak-plak!"

   Pak Han dan Pak Swi terbelalak.

   Mereka kagum oleh pukulan dayung akan te tapi Pak Lian lebih kagum oleh sepasang lengan kokoh pemuda kulit putih itu.

   Lengan Franky menonjolkan otot-ototnya yang gagah dan gadis baju ungu ini terpesona.

   Ia bakal melenggong terus kalau a-yahnya tidak berseru dan melemparkan dayung pula, menyuruhnya membantu dan jangan berdiri bertopang dagu.

   Maka ketika gadis itu terkejut bersemu dadu, ia masih tergetar oleh kegagahan dan ketampanan lawan jenisnya itu maka berturut-turut Pak-taihiap melempar dayung pada dua puteranya.

   Ia sendiri sudah menggerakkan dayung di tangan kiri membantu Cao-ciangkun dan suami isteri muda itu.

   "Bantu siauw-hujin dan kejar mereka. Semua bekerja keras!"

   Pak Han dan Pak Swi sadar.

   Tiba-tiba mereka menerima dan menangkap dayung yang dilempar ayah mereka.

   Mengerahkan tenaga dan membantu Cao-ciangkun keduanya mengayuh cepat, bahkan memukul permukaan air hingga perahu meloncat dan terbang mengejar perahu kakek dan muda-mudi itu.

   Namun ketika semua terbelalak betapa perahu di depan tak terkejar dan tetap dalam jarak yang sama, padahal mereka hanya dua orang sementara mereka berenam maka Pak Han tak dapat menahan seruannya lagi terheran-heran.

   "Gila, jarak kita tetap. Dan perahu kakek itu juga masih dalam jarak yang sama dengan sepasang mudamudi itu!"

   Semua membelalakkan mata.

   Memang terasa mengherankan juga betapa enam orang yang mengayuh perahu bersamaan tak mampu mengejar sedikitpun juga perahu lawan.

   Jangankan perahu kakek itu, perahu gadis dan pemuda tampan di depan mereka itu tak terpaut sedikitpun.

   Jarak masih juga sama.

   Dan ketika mereka penasaran betapa musuh seakan seenaknya saja, padahal mereka sudah berkeringat dan memeras tenaga tiba-tiba siauw-hujin bangkit berdiri dan menyambar dayung lain di atas perahu.

   Di situ terdapat belasan dayung peninggalan orang-orang kang-ouw tadi.

   "Cao-ciangkun, Pak-taihiap, hati-hati. Aku akan mengerahkan segenap tenagaku dan awas, yang tidak kuat berpegangan saja pada pinggiran perahu!"

   Mendadak perahu terlonjak *!ari terangkat naik.

   Begitu wanita itu bangkit dan berseru keras maka siapapun menjadi kaget.

   Perahu meloncat dan terbang ke depan, cepat dan luar biasa hingga Pak Lian hampir saja terpelanting.

   Gadis itu menjerit dan berpegangan pinggiran perahu melempar dayungnya.

   Ia sampai pucat.

   Akan tetapi ketika perahu kakek di sana itu mencelat dan terbang di atas permukaan air, begitu pula perahu muda-mudi itu maka wanita muda ini menjadi melotot karena jarak kembali sama.

   "Ha-ha, ada yang sewot. Ayo melaju dan cepatan sedikit, murid dungu. Di belakang pengejar kita bertambah!" Cao-ciangkun membelalakkan mata dan kagum sekali ketika tiba-tiba di bawah sinar bulan perahu kakek itu terangkat tinggi sampai serumah penduduk. Perahu itu lebih tinggi dari perahu siauw-hujin, jatuh dan meloncat tinggi sampai akhirnya jauh meninggal kan mereka. Bukan main hebatnya. Dan ketika Beng Li berseru kecewa dan minta suaminya melaku kan hal yang sama mendadak pemuda gagah kulit putih ini bangkit pula. Dayung di tangannya dilempar.

   "Li-moi (dinda Li), kakek itu jelas i-ngin mempermainkan kita. Mari kerahkan Pek-in-kang dan dorong sekuat-kuatnya!"

   Beng Li mengangguk, la merah padam melotot ke depan karena kini kakek itu tertawa-tawa di atas perahu, membiarkan pemuda yang dipanggilnya murid dungu itu dan pemuda inilah yang sekarang bekerja.

   Kakek itu memondong tawanan sementara muda-mudi di belakang tak kalah gusar, menghantam kan dayung dan membuat perahu terbang ke depan namun pemuda di perahu kakek itu tak kalah hebat.

   Ia membentak dan memukulkan dayungnya pula hingga jarak tetap sama, kecuali perahu Beng Li yang kini tertinggal jauh.

   Dan ketika nyonya muda itu memakimaki dan melengking gusar, bersama suaminya tibatiba melempar dayung dan menggerakkan tangan ke belakang maka...

   des-dess, air muncrat tinggi dan perahu terlontar ke depan o-leh pukulan dahsyat mereka ini.

   Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih) membuat air laut memuncrat dan tenaga tolak yang besar membuat perahu terlempar bagai didorong tangan raksasa.

   "Byuuurrrr!"

   Tiga putera-puteri Pak-taihiap basah kuyup.

   Perahu terjatuh dengan hebatnya namun suami isteri muda ini mengerahkan tenaga lagi.

   Mereka mendorong ke belakang membuat perahu terlontar ke depan.

   Kembali perahu mencelat dan terbang ke atas.

   Akan tetapi ketika tetap saja kakek dan sepasang muda-mudi itu tak terkejar juga maka wanita muda ini memaki-maki dan iapun basah kuyup.

   Pak Han tergetar bengong betapa tubuh wanita itu melekat ketat dengan pakaiannya yang serba merah.

   Tubuh yang menggairahkan dan indah! "Pusatkan pikiranmu ke kakek itu, jangan melotot yang tidak-tidak!"

   Pemuda ini sadar dan semburat merah ketika kakaknya tiba-tiba berbisik.

   Sang kakak mengingatkan adiknya dan pemuda itupun membuang pandangan.

   Ia hampir terhipnotis oleh tubuh yang basah kuyup ini, padahal adik perempuannya pun tak kalah kuyup dan tercetak ketat.

   Pak Lian merah padam betapa ia tak dapat menyembunyikan dirinya juga, seakan telanjang dan tercetak ketat namun diam-diam mengakui bahwa tubuh siauw-hujin itu tak kalah indah dan menggairahkan di banding dirinya, sebentuk tubuh yang terawat baik dan harus diakuinya wanita muda itu seperti gadis remaja saja.

   Siapa menyangka telah bersuami.

   Namun ketika ia tersipu bingung dan tak tahu harus lari ke mana bila semua pria memandang nya, sebagai gadis dewasa tentu ia likat dan bakal jengah mendadak kakaknya menuding dan berseru ke depan.

   "Heii, perahu kakek itu terjungkal!"

   Benar saja, perahu kakek itu terguling.

   Entah bagaimana dan kapan terjadinya mendadak perahu itu terbalik dan tengkurap tak keruan.

   Penumpangnya hilang sekejap namun tiba-tiba muncul.

   Sang kakek ternyata meloncat tinggi dan pemuda itu berjungkir balik dan menendang perahu, masuk dan hinggap lagi setelah perahu ditendang balik, terapung wajar dan kini kakek dan pemuda itu memaki-maki.

   Dan ketika pemuda ini menoleh ke belakang karena perahu muda-mudi itu datang mendekat mendadak sebatang panah diluncurkan dan...

   brakk, perahu muda-mudi itu ganti terbalik.

   "Byiurrr!"

   Kini perahu itulah yang terlempar dan tengkurap.

   Panah yang dilepaskan pemuda itu amatlah hebatnya hingga menghantam dahsyat.

   Dua muda-mudi ini ganti memaki-maki.

   Namun ketika mereka berjungkir balik dan menendang perahu, hinggap dan berdiri lagi dalam posisi semula maka kakek itu terkekeh-kekeh dan muda-mudi di atas perahu itu gusar.

   "Heh-heh, satu lawan satu, bagus seka li. Kau telah memberi pelajaran kepada mereka, Siduw-toh. Itu bagus akan tetapi jangan berlama-lama di sini. Hayo kabur dan jangan sampai tawanan kita terlepas di laut, tua bangka ini tak bisa menyelam!"

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda di atas perahu itu memukulkan dayungnya dan perahu tiba-tiba kembali meloncat ke depan.

   Gerakannya luar biasa dan dua orang itu melarikan diri.

   Tawanan tampaknya lemas di atas pundak kakek ini.

   Dan ketika mereka terbang dan mencelat ke depan, Beng Li dan kawan-kawan tertegun maka wanita itu sadar berseru keras.

   Mereka ikut berhenti oleh kejadian mendebarkan tadi.

   "Heii, kejar, tangkap kakek itu!" Perahu wanita ini meluncur dan kini melewati perahu muda-mudi itu. Mereka ini baru saja hinggap dan menurunkan ka ki di atas perahu yang baru saja ditendang terbalik, melotot dan memaki gusar kakek dan pemuda itu. Dan ketika siapa-pun menjadi kagum oleh dua muda-mudi cantik jelita ini maka Caociangkun berseru merasa sehaluan.

   "Sobat, kakek dan muridnya itu benar-benar kurang ajar. Mari kita kejar lagi dan kalian tentunya membantu kami!"

   Dua muda-mudi itu tak menjawab.

   Si gadis yang cantik jelita rupanya paling marah sekali dan ia tibatiba mencabut gendewanya.

   Perahu kakek di depan itu telah meluncur jauh namun sebatang anak panah tiba-tiba dilepaskan.

   Dalam ja rak seratus tombak panah itu mendesing, lewat dan mengejutkan Caociangkun dan kawan-kawannya karena anak panah itu meluncur amat dahsyatnya.

   Suaranya menyakitkan telinga.

   Dan ketika terdengar suara keras dan teriakan kaget di sana, perahu kakek itu terguncang hebat maka hampir saja perahu itu terguling dan terbalik.

   "Brakkk!"

   Dapatlah dibayangkan kerasnya anak panah yang dilepaskan gadis cantik jelita ini.

   Jari-jari halus dan lengan yang lembut itu kiranya mampu mengeluarkan tenaga sedahsyat itu, Beng Li sendiri terkejut dan tertegun.

   Dan ketika nyonya muda itu terbelalak dengan pandangan bersinar-sinar mendadak perahu muda-mudi ini melesat di depan mereka dan terbang mendahului.

   "Kang Hu, serang dan robohkan kakek keparat itu, biar aku menyerang pengemudinya... ser-ser!"

   Dua panah kembali meluncur dan gadis ini menyerang lagi dengan muka merah dan mata berapi-api.

   Ia gagal merobohkan perahu itu dan kini melepas dua panah beruntun, yang satu ke badan perahu sedang yang lain ke pemuda di atas perahu itu.

   Dan ketika dua panah mendesing dengan amat cepatnya, masing-masing menuju sasaran berbeda maka pemuda tampan gagah yang jantan itu memasang busurnya pula dan...jepjep, tiga panah menjepret sekaligus ke arah si kakek aneh.

   "Ha-ha, bocah-bocah cilik main pamer di depan si tua bangka ini. Uh, sombong dan tak tahu diri!"

   Tiga panah yang mele sat ditangkis kakek ini dan tiba-tiba satu di antara anak panah itu menyambar perahu Beng Li.

   Wanita ini berseru keras dan kaget memperingatkan teman-temannya namun terlambat.

   Terdengar gedobrak suara keras dan perahu terbalik, semua tercebur.

   Dan ketika Pak-taihiap dan lain-lain gelagapan, terlempar dan masuk ke laut maka Beng Li memaki-maki dan wanita inilah bersama suaminya menendang perahu kembali ke posisinya semula.

   Mereka tak melihat betapa dua panah yang lain menyambar pemuda gagah tampan itu dan terpental pula ditangkis busur.

   "Tak-tak!"

   Namun pemuda itu terhuyung.

   Ia melihat perahu kakek itu meluncur lagi sementara si kakekpun terkekeh-kekeh.

   Ia tertinggal dan panah yang dilepas temannya juga gagal, disampok atau ditangkis pemuda itu yang kemudian menggerakkan perahunya dengan cepat.

   Lalu ketika ia mendesis mengepal tinju, temannya melengking-lengking maka iapun menggerakkan dayungnya lagi mengejar.

   Beng Li dan Cao-ciangkun memaki-maki di atas perahu mereka.

   Enam orang inipun marah kepada kakek itu dan Beng Li mengerahkan Pek-in-kangnya lagi.

   Pukulan itu membuat perahu terlontar ke depan.

   Namun karena kakek dan pemuda itu sudah jauh di depan, begitu pula dua muda-mudi itu maka mereka bekerja keras mengejar lawan, akhirnya melihat ka kek itu sudah dekat daratan besar dan tujuh kali diserang muda-mudi"itu.

   Anak-anak panah mereka bergantian menyambar namun kakek dan pemuda itu amat hebat.

   Si kakek menyampok dan bahkan meniup dengan mulutnya, bukan main.

   Dan ketika pemuda itu menggerakkan dayungnya menangkis dan perahu hampir menepi maka sebatang panah besar meng hunjam pantat perahu dan air laut seketika masuk.

   "Hei... blub-blub!"

   Perahu menjadi bocor dan kagetlah kakek dan pemuda itu.

   Si kakek tertawa-tawa girang hingga lengah pendengarannya, la tak tahu betapa pemuda gagah tampan itu menjepretkan busurnya tanpa suara, sebatang panah besar menancap dan melubangi perahunya, bocor dan masuklah air laut dengan deras.

   Akan tetapi karena daratan sudah di depan mereka dan Ang-bi-to tampak kecil di belakang maka kakek ini berjungkir balik dan tawanan tetap berada di atas pundaknya.

   "Kurang ajar, tikus-tikus cilik itu membuat perahu kita bocor, untung sudah dekat. Haiyaa...!"

   "Benar, akan tetapi lihqt siapa di depan itu. Kita rupanya harus menghadapi banyak musuh, suhu. Keparat benar mere ka ini tak tahu siapa kita!"

   Pemuda itu berjungkir balik pula dan ia melotot beta pa di daratan ini belasan orang berlari menyongsong.

   Golok dan pedang berhamburan, juga teriakan.

   Orang-orang kang-ouw ini rupanya sebagian sudah di situ dan kini mereka menyerang.

   Akan tetapi ketika pemuda dan gurunya itu mengibas, kakek ini terkekeh-kekeh maka ia mementalkan lawanlawannya dan jari-jarinya mengetuk atau menampar orang-orang itu.

   "Wah, heh-heh. Kalian keroco-keroco busuk mencari penyakit. Ayo pergi dan jangan banyak tingkah!"

   Sembilan orang terlempar.

   Mereka menjerit dan berteriak ketika serangkum angin kuat menerpa ke depan, mengangkat dan melempar tubuh mereka dan tak satupun mampu bertahan.

   Orang-orang kangouw ini terbanting.

   Akan tetapi karena serangan mereka telah menghentikan dua orang ini, betapapun gangguan mereka membuat kakek dan"

   Pemuda itu tertahan maka dua muda-mudi di atas perahu itu berjungkir balik dan melayang cepat ke arah guru dan murid ini. Perahu mereka ditinggalkan dan masih bebera pa tombak dari pantai.

   "Sia-tiauw-eng-jin, berikan padaku!"

   Lepaskan tawanan dan "Atau kau dan muridmu ini mampus! gadis di samping pemuda ini menukik dan menyambar pula dan tahu-tahu ia telah menyerang pemuda yang menjadi murid kakek itu.

   "Kaupun tak akan lolos dariku dan semua hutang kekurangajaranmu harus dibayar!"

   Pemuda yang diserang ini terkejut ber seru keras dan iapun membalik menangkis pukulan dari udara itu.

   Sepasang lengan gadis ini bergetar tanda penuh tenaga sinkang, matanyapun melotot dan penuh kemarahan.

   Akan tetapi ketika lawan membentak dan menangkisnya, juga bergetar penuh sinkang maka...

   dukk, dua orang itu terpental sementara pemuda ini memaki gusar.

   "Kau siluman betina ini kiranya. Bagus, berani benar kau mengejar-ngejar aku dan suhu, Kui Yang, siapa takut pada mu akan tetapi bukan saatnya kita bertanding. Pergilah dan lain kali kita mengadu kepandaian!"

   "Tak perlu banyak mulut. Akupun baru tahu bahwa kaulah biangnya, Siauw-toh. Tak mungkin kau lari selama aku di sini!"

   Gadis itu menyerang lagi dan iapun melengking dan melepas pukulan-pukulan cepat bertubitubi.

   Tubuhnya berkelebatan sementara kakinyapun menyambar-nyambar.

   Hebat gadis ini.

   Tandangnya bagai harimau betina.

   Dan karena lawan juga diganggu orang-orang kang-ouw yang berteriak23 teriak, juga saat itu muncullah sepasukan berkuda berderap riuh maka tepi daratan menjadi gaduh oleh bentakan dan teriakan.

   "Siapa menculik tawanan. Serahkan ke pada kami atau kalian dicap pemberontak!"

   Seorang perwira mengelebatkan goloknya ke kanan kiri dan pasukan besar itu menerjang siapa saja.

   Orang-orang kang-ouw menjadi terkejut dan otomatis menyi bak, terlihatlah kakek dan pemuda itu.

   Dan karena kakek ini memanggul tawanan dan dialah yang paling menyolok maka perwira itu berderap maju dan saat itu pemuda yang berkelebatan di depan kakek ini berseru, suaranya nyaring lantang.

   "Sia-tiauw-eng-jin, menyerahlah baik-baik dan berikan tawanan kepada kami atau kerajaan mencapmu sebagai pembe rontak. Hayo berikan dan serahkan baik-baik atau semua orang menyerangmu di sini!"

   "Heh-heh, bocah ingusan masih bau kencur. Aku lupa-lupa ingat kepadamu, anak muda. Siapa kau dan kenapa galak benar memerintah orang tua. Sebutkan namamu atau nanti kutendang pantatmu!"

   "Dia Kang Hu!"

   Pemuda yang bertempur di sana berseru.

   "Dia pemuda yang dulu bertemu di Liang-san itu, suhu, dan ini Kui Yang yang gagal menjadi muridmu dulu itu. Merekalah orang-orang sombong yang kini rupanya menjilat kerajaan!"

   "Uwah, anak-anak itu? Mereka berdua ini kiranya? Ha-ha, aku ingat, sekarang aku ingat. Betul kalian kiranya tapi dari mana kalian belajar ilmu memanah yang hebat. He, tak mungkin kalian menjadi murid-murid Liang-san karena ilmu panah kalian menonjol... plak-bress!"

   Kakek itu menangkis dan mementalkan pemuda ini sementara orang-orang kang-ouw terbanting bergulingan.

   Mereka itu hendak merebut dan merampas tawanan akan tetapi kakek ini amat lihai.

   Ia mengibas dan mengebutkan lengan bajunya dan sia-papun terpelanting.

   Hanya pemuda itu yang bergoyang dan terhuyung-huyung.

   Dan ketika kakek ini kagum membelalakkan mata, pemuda itu menyerangnya lagi maka saat itulah pasukan berkuda dipimpin perwiranya yang memutar-mutar golok datang dengan cepat.

   "Kau kiranya pembawa lari tawanan. Serahkan kepada kami atau kau mampus, kakek busuk. Kami tak akan mengampunimu apabila kau berani kurang ajar!"

   Akan tetapi perwira ini berteriak.

   Ka kek itu seakan tak melihat serangannya dan lebih menghadapi pemuda lihai yang kemudian berkelebatan itu.

   Pemuda ini membentak dan menyerang cepat dan ka kek itu rupanya lebih memperhatikan.

   Ma ka ketika goloknya membacok namun patah bertemu bahu lawan, kakek ini seakan terkejut dan baru menoleh maka ben takannya disusul gerakan tangan ke perwira ini.

   "Kau membokong? Keparat, pergilah!"

   Perwira itu terlempar.

   Ia berteriak terhembus dari atas kudanya dan terbanting berguling-guling.

   Kakek itu hanya menggerakkan tangan dari jauh akan teta pi sebuah pukulan kuat menyambar.

   Angin sinkangnya mendorongnya dan ia terlempar, bukan main kagetnya perwira ini.

   Akan tetapi karena pasukannya sudah datang dan dari delapan penjuru muncul pasukan berkuda yang lain, itulah prajurit atau pasukan Kiang-taijin maka kakek ini membelalakkan mata dan tampak terkejut.

   Itu pasukan kota raja yang langsung dibawa ke sini! Topi dan baju perang mereka berbeda dengan seragam pasukan Cao-ciangkun! "He, angkat kaki dan pergi dari sini.

   Ribuan orang bisa mengepung kita, Siauw toh, jangan ladeni musuhmu lagi!"

   Kakek itu berteriak dan tiba-tiba ia melonjak cepat.

   Kedua kakinya menggeser ke kiri kanan lalu lolos.

   Tiba-tiba ia telah melewati ketiak lawannya.

   Dan ketika pemuda itu terkejut dan kehilangan sasaran, kakek itu mendekati temannya maka Ku Yang, gadis cantik jelita ini mendapat totokan.

   "Lepaskan muridku dan lain kali main-main lagi!"

   Gadis ini kaget.

   Tentu saja ia tak tahu datangnya kakek ini dan totokan itu pun menyambar.

   Untung secepat itu pula ia mengerahkan I-kiong-hoan-hiatnya, memindah jalan darah.

   Maka ketika kakek itu juga terkejut betapa telunjuknya mengenai urat kenyal, meleset dan tergelincir maka totokanpun gagal akan tetapi gadis itu melempar tubuh bergulingan memakimaki.

   Ia harus menyelamatkan diri dari serangan susulan yang mungkin terjadi.

   "Curang, kakek busuk... Sungguh tak tahu malu membokong gadis!"

   Akan tetapi kakek itu tertawa geli.

   Saat itu muridnya terbebas sejenak dan Cao-ciangkun serta lain-lainnya mendarat tiba.

   Merekapun membentak dan berkelebatan datang.

   Namun karena ia telah mencekal lengan muridnya ini dibawa pergi meloncat dan terbang di atas kepala orang-orang itu maka baik pasukan maupun orang-orang kang-ouw dibuat terhenyak oleh gerakannya yang luar biasa.

   "Heh-heh, lain kali saja kita bertemu lagi.

   Selamat tinggal!"

   Tak ada satupun yang mampu mengha langi.

   Kakek ini terbang di atas kepala mereka dan ketika berada di pasukan berkuda itu kakek ini memperguna kan kepala orang-orang itu untuk pijakan kaki.

   Cepat dan lincah sekali ia kabur.

   Kepala yang diinjak membuat pemiliknya tertegun.

   Dan ketika semua bengong sementara Cao-ciangkun dan temantemannya tiba maka Beng Li melengking gusar.

   "Hei, kejar dan tangkap kakek itu. Jangan sampai lolos!"

   Orang-orang ini sadar.

   Mereka seakan bangun tidur dan mengeprak kudanya, semua berteriakteriak.

   Akan tetapi karena kakek itu telah jauh dan akhirnya melayang turun terkekeh-kekeh, ia telah di lu ar kepungan maka selanjutnya guru dan murid ini lenyap memasuki hutan, cepat sekali melarikan diri.

   Beng Li memaki dan membanting-banting kaki.

   Wanita ini gusar sekali karena tak mampu mengejar kakek lihai itu.

   Sejak dari Ang-bi-to sampai daratan sini tetap juga ia gagal, kakek itu lolos dan tawanan lenyap.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kurang ajar.

   Dan ketika ia begitu marah berapi-api, Cao-ciangkun surut tak banyak bicara maka wanita inipun tiba-tiba membalikkan tubuh meloncat pergi.

   "Franky, kita tak ada perlunya lagi di sini. Mari kejar dan tangkap kakek itu dan biar Cao-ciangkun ataupun pasukan Kiang-taijin menyusul di belakang!"

   Pemuda tinggi besar itu mengangguk.

   Ia tahu kemarahan isterinya sementara ia pun juga menahan geram.

   Lolosnya tawan an adalah malapetaka bagi orang-orang lain.

   Sungguh kurang ajar kakek itu dan siapa dia.

   Maka berkelebat menyusul isterinya pemuda inipun meninggalkan tempat itu berseru pada Cao-ciangkun.

   "Ciangkun, maafkan kami berdua. Pertahanan kita bobol juga. Biarlah kau menyusul di belakang dan kerahkan semua kekuatan mencari dan menangkap kembali tawanan!"

   Cao-ciangkun mengangguk, muram.

   Tentu saja ia merasa sedih dan diam-diam bersalah karena ia dan pasukannya tak dapat menjaga tawanan.

   Pak-taihiap dan putera-puterinya ini ternyata juga ku rang tangguh.

   Mereka semua dipermainkan kakek aneh dan lihai itu.

   Maka ketika ia murung dan amat sedih, diri sendiri begitu lemah mendadak pikirannya sea kan terbaca jago Se iang itu, sahabatnya.

   "Ciangkun, maaf kir.

   kami yang ternya ta tak mampu memberi bantuan memadai.

   Kami keluarga Pak ternyata bodoh semua.

   Maafkan kami tapi semua ini membuat kami penasaran dan kami juga akan pergi mencari dan menyusul kakek itu.

   Kami tak akan berpeluk tangan dan pulang ke Se-kiang!"

   "Ah, taihiap tak perlu meminta maaf. Kalau kau bodoh apalagi aku. Akulah yang paling bertanggung jawab dan tentu semua ini akan dilaporkan ke pusat. Aku juga sedih tapi sebisaku akan kucoba me ngejar dan menangkap kembali tawanan. Aku juga tak akan pulang!"

   "Kalau begitu mari laksanakan tugas kita sendiri-sendiri. Aku dan anak-anakku telah bertekad untuk mencari dan me nemukan kakek itu. Selamat tinggal, ciangkun, sekali lagi maaf kami tak dapat menemanimu lagi. Sampai jumpa di tempat lain!"

   Paktaihiap ternyata benar-benar terpukul dan jago Sekiang itu tak mau lagi bersama sahabatnya.

   Ia ma lu tak dapat memberikan bantuan berarti bagi perwira itu.

   Ang-bi-to tetap juga di serobot musuh.

   Maka berkelebat dan melambai pada putera-puterinya, berseru pada kusirnya agar kembali ke rumah maka ayah dan anak inipun meninggalkan tempat itu.

   Dan begitu Cao-ciangkun terma-ngu-mangu dan hening di, tempat, ia benar-benar masygul sekali maka dicarinya sepasang muda-mudi itu akan tetapi ternyata merekapun hilang entah ke mana! *** Kakek ini tertawa-tawa membawa tawanan.

   Ia begitu gembira dan senang bahwa tawanan akhirnya jatuh ke tangannya.

   Bukan tawanan yang dia cari melainkan busur itu, Busur Kumala.

   Maka ketika pagi menjelang tiba dan ia telah jauh sekali meninggalkan pantai, kini mere ka tiba di daerah berbatu di perbukitan memanjang akhirnya kakek ini melempar tawanannya dan membebaskan totokan.

   Tak ada orang atau pengejar menyusulnya.

   "Heh-heh, sekarang kau telah kuselamatkan. Apa yang dapat kauberikan kepadaku, bule manis. Kau tentu lapar dan mari sarapan dulu. Aku membawa roti kering dan arak!"

   Kakek itu mendorong tawanannya akan tetapi lelaki kulit putih ini tiba-tiba merintih.

   Ia terjatuh dan mengerang, mata kakinya luka.

   Dan ketika kakek itu terkejut dan sadar, muridnya mengusap keringat maka kakek ini teringat bahwa tawanannya luka tembakan.

   "Ah, maaf, aku lupa. Kau terkena peluru!"

   Tanpa banyak bicara lagi kakek ini menyambar laki-laki itu dan dilihatnya luka menyedihkan di bawah mata-kaki.

   Ia melihat sebutir peluru mengeram di situ.

   Akan tetapi ketika ia hendak mengobati dan mencabut peluru itu mendadak muridnya berseru menahan.

   "Tunggu, nanti dulu. Dia harus menjawab dulu pertanyaanmu, suhu. Kalau ia belum menjawab tak usah kau menambah kebaikan lagi. Ia harus membayar!"

   "Heh-heh, benar, aku lupa. Kau benar Siauwtoh..., kau benar. Uh, aku menjadi linglung dan suka lupa. He!"

   Tiba-tiba sang kakek memasang wajah bengis, pura-pura galak.

   "Apa yang dapat kauberikan kepadaku apabila mengobati dan merawat lukamu ini. Apakah semuanya bakal cuma-cuma!"

   "Tidak, bukan itu. Ia harus memberi tahu kita dulu apa yang dapat diberikannya setelah kita menyelamatkan dia dari Ang-bi-to, suhu. Baru setelah itu apalagi yang dapat diberikannya jika luka ini kau sembuhkan!"

   Sang murid memotong.

   "Wah, heh-heh, benar lagi. Muridku benar, bule manis. Nah, katakan apa yang dapat kauberikan kepada kami setelah semua ini kami berikan padamu. Hayo jangan pecingas-pecingis!" Laki-laki itu mengeluh, menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika ^\^emn^Tr bercucuran air mata, guru dan murid tertegun maka kata-katanya terdengar memelas dan amat mengharukan sekali, sikap dan tutur katanya menunjukkan seorang pria halus dan lemah lembut.

   "Aku telah kalian selamatkan dan bawa dari ancaman maut, apalagi yang dapat kuberikan kalau tidak semua yang ku punyai? Kau seorang kakek gagah perkasa dan sakti, Sia-tiauw-eng-jin locianpwe, dan aku telah mendengar namamu ini yang puluhan tahun lalu malang-melintang di dunia kang-ouw. Aku seorang asing bodoh, akan tetapi aku memiliki harta benda cukup jika locianpwe dan anak muda ini menghendaki. Rasanya aku siap memberikan semua yang terbaik yang ada padaku. Terima kasih dan beribu terima kasih untuk pertolongan locianpwe yang tak mungkin kulupakan seumur hidup ini!"

   "Heh-heh-ha-ha-ha! Aku tak butuh harta benda dan kedudukan. Aku juga tak butuh wanita cantik atau kekuasaan. Aku butuh Busur Kumala, orang kulit putih. Itulah yang kuinginkan dan dapatkah kau memberikan nya kepadaku!"

   "Busur... Busur Kumala?" "Ya, itu. Bukankah kau yang bernama Leiker dan kaulah pembawanya. Aku Inginkan busur itu dan aku akan menolong mu lebih lanjut jika kau dapat memberikannya kepadaku!"

   "Ampun...!"

   Laki-laki ini menggigil, tiba-tiba menangis lagi.

   "Dua kali kau melakukan kesalahan, locianpwe, dan semua orang juga melakukan hal yang sama sepertimu ini. Ampun, aku bukan sahabatku yang curang yang kausebut-sebut itu. Aku Tony!"

   "Tony?"

   "Benar, locianpwe salah paham. Akan tetapi aku tahu di mana busur itu dan benar bahwa busur itu di tangan Leiker. Ia seorang curang dan licik yang mengorbankan aku hingga dikejar-kejar dan disangka dirinya. Orang itu, ah... jahat sekali, locianpwe. Ia sungguh jahat. Akan tetapi ia terkurung di suatu tempat dan kini tak dapat keluar. Ia menerima getah dari perbuatannya sendiri, la menipuku dan menipu semua orang!"

   Kakek ini terkejut dan membelalakkan mata dan Siauw-toh tiba-tiba tertarik.

   Ia kaget dan heran bahwa tawanan yang ditangkap ini ternyata orang lain.

   Katakata dan tangis laki-laki ini sungguh meyakinkan.

   Maka ketika ia terkejut namun kecewa bahwa Busur Kumala masih harus dicari di tempat lain lagi maka ia bertanya dan melompat ke depan.

   "Kau bukun pencuri busur itu? Kalau begitu kau tahu di mana manusia bernama Leiker itu?"

   "Tentu, tentu. Ia terjebak dan terkurung di sebuah tempat. Akan tetapi tempat itu amat berbahaya dan sukar dikunjungi."

   "Hm, tak ada tempat berbahaya bagi suhu maupun aku. Kalau kami mau maku lautan apipun bukanlah tempat berbahaya, orang asing. Sebutkan pada kami di mana manusia itu dan kami akan mengambil Busur Kumala!"

   "Dan meninggalkan aku terluka begini? Membiarkan aku bakal dikejar-kejar suami isteri lihai itu dan orang-orang lainnya?"

   Siauw-toh tertegun, akan tetapi gurunya tibatiba terkekeh.

   "Ha-ha, tentu tidak... tidak kalau kau membantu dan memberi tahu kami. Kami tak akan meninggalkanmu dan mem biarkanmu begini, Tony. Tentu saja kami akan membawamu dan merawat lukamu sampai sembuh. Kami tak akan membiarkan siapapun mengejar dan menangkapmu!" "Locianpwe berjanji?"

   "Wah, tua bangka ini tak pernah dusta, tapf kau harus membantu dan menemukan Busur Kumala. Atau kau kami bunuh jika ternyata bohong dan main gila!"

   "Benar, kami akan membunuh dan me nyiksamu jika ternyata kau mempermainkan kami. Aku setuju dan sependapat dengan guruku, orang asing. Kaukatakanlah di mana tempat itu dan kami melindungi dan merawat lukamu sampai sembuh!"

   Siauw-toh tiba-tiba sadar dan berseru me nimpali gurunya dan laki-laki asing itu menarik napas dalam.

   Ia masih menangis akan tetapi kemudian menghapus air ma tanya dan berdiri ber


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini