Mencari Busur Kumala 12
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 12
kaca-kaca.
Ancaman atau kata-kata keras guru dan murid itu rupanya tak membuatnya takut, buktinya wajah dan sikapnya biasa-biasa saja.
Namun ketika ia mengeelrng dan tiba-tiba mendesah, pandangannya menerawang ke depan maka kata-katanya membuat guru dan murid itu penasaran.
Sia-tiauw-eng-jin dan muridnya heran juga melihat orang ini tak takut ancaman mereka.
"Hm, tak mungkin aku meripu dan membohongi kalian. Aku orang lemah dan tiada berkepandaian, locianpwe, sementara kalian adalah orang-orang hebat berke pandaian tinggi. Aku tak mungkin bisa berbuat apa-apa tanpa sepengetahuan kalian. Akan tetapi bekas sahabatku yang berbahaya itu amatlah licik, aku khawatir kalian gagal."
"Gagal karena kami tak mampu memerasnya? Tak mungkin, aku atau suhu dapat menyiksanya hingga ia memilih mati daripada hidup. Akan tetapi kami tak akan membiarkannya mati!"
Siauw-toh me motong pembicaraan lawan namun laki-laki ini tersenyum.
Ia membungkuk halus di depan pemuda itu dan matanya bersinar.
Kekagumannya tak dapat disembunyi kan di sini.
Namun ketika ia menggeleng dan kembali berkata bahwa bukan itu soalnya maka pemuda ini tertegun.
"Aku percaya bahwa sobat muda dapat membuat orang lain tersiksa sehebat-hebatnya. Akan tetapi tahukah kalian kelicikan dan kelicinan sahabatku itu? Ia duapuluh tahun berada di Tionggoan, namun baru sekarang diketahui dan dikejarkejar. Tidak, bukan ini yang membuat ku khawatir melainkan kecerdikannya yang luar biasa. Dan inilah yang membuat ia tak tertangkap dan hingga saat ini selamat!" "Kepandaian apa yang dia punyai itu, memang nya ia dapat terbang ke langit!"
"Hm, muridmu ini terlampau bersemangat, akan tetapi semangat tanpa kecerdikan bakal tiada gunanya. Bagaimana menurut pendapat mu, locianpwe. Apakah kata-kataku nanti masih membuat kepercayaanmu tegar."
Laki-laki itu tersenyum dan kali ini ia memandang Sia-tiauw-eng.
Kakek ini tertawa dan mengangguk-angguk dan diam-diam ia Sebagai orang berpengalaman dan tahu gelagat ia dapat mencium keseriusan orang asing ini, lagi pula ada sesuatu yang didengar yang menggetarkannya.
Maka mengangguk dan bertanya apakah itu kakek ini lak segan-segan lagi bersikap mengalah.
"Baiklah, apa yang hendak kaukatakan itu. Aku percaya kepadamu dan tentu keteranganmu sungguhsungguh!"
"Ia pandai menyamar,"
Jawabannya membuat Siauw-toh terkejut.
"Karena itu meskipun tertangkap dan seringkah dijaga kuat ia selalu lolos, locianpwe. Dan justeru kepandaiannya yang amat hebat inilah yang membuat pekerjaan kita menjadi sulit. Sahabatku itu dapat merubah-rubah wajahnya seperti kalian berdua misalnya, atau aku sendiri!"
Sia-tiauw-eng-jin membelalakkan mata akan tetapi muridnya berseru tertahan. Tiba-tiba pemuda ini ngeri kalau lawan menjadi gurunya misalnya, tentu repot. Maka terkejut tak menyimpan rasa kagetnya ia berseru.
"Menjadi guruku? Ia pandai menyamar? Wah, kalau ini tentu siluman. Manusia itu iblis!"
"Karena itulah Busur Kumala tak gampang ditemukan. Ia dapat berubah-ubah ujud, sobat muda, dan iapun sewaktu-waktu dapat menjadi wanita cantik atau nenek-nenek buruk. Pendeknya sahabatku itu memiliki seribu muka dan inilah yang tak gampang dilacak. Ia bisa menipu semua orang."
Siauw-toh mengumpat-caci sementara Siatiauw-eng-jin mengangguk-angguk.
Memang inilah yang ia dengar dan tiba-tiba dipandanginya tajam lakilaki asing itu.
Jangan-jangan laki-laki inipun pandai menyamar, atau bahkan dia sendirilah si seribu muka itu dan mengecoh dirinya.
Akan tetapi sebelum ia berbuat sesuatu atau mengeluarkan kata-kata ternyata pikirannya itu dapat dibaca lawan.
Pandang mata tajam kakek ini menembus ke ulu hati.
"Locianpwe tak perlu mencurigai aku sebagai sahabatku itu.
Kalau aku disangka menyamar atau mengenakan kedok karet biarlah kukerat sedikit kulitku.
Lihatlah, aku tak memakai apa-apa! benar saja laki-laki ini mengerat kulitnya dan darah mengalir di pipi.
Sia-tiauw-eng.
jin tertawa dan menganggukangguk dan tentu saja seketika ia lega.
Muridnya baru mengerti setelah gurunya memberi isyarat.
Kiranya gurunya diam-diam curiga.
Dan ketika ia berdesir kenapa tak curiga juga, untunglah ada gurunya maka kakek ini bergerak dan melempar sebungkus obat luka.
"Baik, ha-ha. Kau telah menunjukkan iktikad baikmu. Aku percaya kepadamu, Tony, dan sekarang taburlah bubuk ini dan jangan hiasai pipimu dengan luka. Mari kubantu mengobati kakimu dan kuke luarkan peluru itu. Tentunya kau berjanji mengantar dan tetap bersama kami mencari sahabatmu itu!"
"Ah, terima kasih. Justeru kalau kau tak minta maka akulah yang ingin perlin dunganmu, locianpwe. Berada di tengah-tengah kalian amatlah aman bagiku. Aku juga ingin membalas kekejaman sahabatku yang memfitnah dan membuat diriku dikejar-kejar orang!" Sia-tiauw-eng-jin meremas dan selanjutnya lakilaki itu mengaduh ketika luka di kakinya dipegang dan diobati kakek ini. Ia menghentikan kata-katanya dan menahan sakit ketika tanpa memperdulikan-nya lagi peluru itu dikeluarkan. Kakek ini bekerja cepat. Dan ketika selanjutnya ia membebat dan sudah memboreh kan obat luka, tak lama kemudian laki-laki ini terpincang-pincang maka kakek itu bertanya di mana Busur Kumala harus dicari.
"Aduh, aku masih sakit. Aku tak dapat berjalan jauh ke sana, locianpwe. Sebaiknya tak terlalu buruburu!"
"Akan tetapi aku dapat membawamu, atau bergantian dengan muridku."
"Benar, akan tetapi tempat itu jauh. Sebaik nya... sebaiknya beristirahat sehari dulu dan biar kakiku lemas sedikit. Lagi pula aku lapar. Aku, maaf... aku haus pula!"
"Ha-ha, benar, aku sudah berjanji. Eh kita memang harus sarapan, Tony, aku lu pa. Uh, mari duduk dulu dan ceritakan padaku di mana tempat itu. Seberapa jauhnya!"
Kakek ini terkekeh kepada murid nya dan tahu-tahu sebungkus roti kering dan arak harum dikeluarkan.
Ia sendiri sudah bersila dan menyuruh yang lain duduk.
Siauw-toh tersenyum dan menyeringai kepada gurunya dengan pandangan bersinar.
Akan tetapi ketika laki-laki itu mengeluh dan menyebut Liang-san maka kakek dan muridnya ini terhenyak.
"Tempat itu jauh, memang jauh. Walaupun secara bergantian locianpwe berdua memanggul aku tetap juga harus beristirahat. Sahabatku itu terjebak di Liang-san."
"Liang-san? Maksudmu tempat Dewa Mata Keranjang itu?"
"Benar, di sanalah. Berkuda dari sini bisa delapan hari, locirnpwe. Akan tetapi kalau locianpwe mengerahkan ilmu lari cepat barangkali bisa tiga atau empat hari. Kita memang harus ke sana kalau ingin merampas Busur Kumala!"
Kakek ini tertegun, semenara muridnya juga berkejap-kejap.
Sungguh tak mereka sangka bahwa Busur Kumala berada di Liang-san.
Tempat itu sarang macan.
Tempat keturunan Dewa Mata Keranjang berkumpul.
Akan tetapi tersenyum dan terkekeh riang kakek ini menenggak arak sebelum bicara.
"Heh-heh, tak perlu kita takut memasuki tempat itu. Liang-san pernah kukunjungi beberapa tahun yang lalu, Tony, dan aku bisa masuk keluar dengan bebas. Di mana temanmu bersembunyi itu, apakah di tempat pertapaan Dewa Mata Keranjang!"
"Aku tak tahu namanya tapi dapat mengantar atau menunjukkan kepada kalian. Yang jelas di belakang puncak, di balik sebuah guha."
"Kalau begitu cepat saja ke sana, kita kembali!"
"Hieh-heh, tak lari gunung dikejar. A-da apa begini terburu-buru, Siauw-toh, lagi pula bukankah harus mengajak teman kita ini. Kita sudah berjanji untuk melindungi dan membawanya serta!"
"Hm, benar,"
Pemuda itu duduk lagi, tadi berseru dan bangkit bersinar-sinar.
"Kalau begitu maumu tentu saja aku ikut, suhu. Tentu saja kita ajak temai kita ini akan tetapi bagaimana sahabatnya itu berada di sana. Bukankah Liang-san tak gampang dimasuki orang luar dan merupakan tempat terjaga!"
"Benar, karena itulah biar kita dengar ceritanya. Bagaimana kau dan sahabatmu itu berada di sana, Tony, dari apa pula yang terjadi hingga sahabatmu terjebak di Liang-san!"
Laki-laki asing ini mengepal tinju dan ia meneguk secawan arak sebelum menjawab.
Wajah dan matanya bersinar-sinar.
Kemarahan tak dapat disembunyikan lagi.
Lalu ketika ia batuk-batuk dan menceritakan itu maka Sia-tiauw-eng-jin mendengar kan betapa dua sahabat ini bersembunyi di Liang-san sudah belasan tahun yang lalu.
Mengejutkan! "Waktu itu tak satupun kuketahui selain bahwa kami berdua ketinggalan kapal.
Teman-teman kami sudah pergi ke negeri seberang.
Dan karena kami tertinggal dan sendirian berdua maka Leiker mengajakku ke Liang-san dengan pikiran sederhana.
kami akan aman dan tenteram di situ karena siapa berani mengganggu keluarga Liang-san..."
"Nanti dulu, baimana kau tahu jalan ke sana dan pergi!"
Potong Sia-tiauw-eng-jin.
"Kami tahu jalan karena waktu itu rombongan orang-orang kulit putih sering mengikuti Tuan Smith, locianpwe, atau anak-anak mereka nona Sylvia dan para pembantunya. Locianpwe tentu tahu bahwa antara gadis kulit putih ini dan Fang Fang ada jalinan asmara. Mereka..."
"Ya-ya, teruskan!"
Kakek itu memotong dan pura-pura tahu, padahal mana mungkin ia tahu karena waktu itu ia di luar Tiong-goan! "Aku tak suka mendengar kisah asmara orang-orang lain, Tony, ceritakan selanjutnya pada ceritamu itu sendiri!"
"Hm, kami mengenal Liang-san karena seringnya ajakan pimpinan kami. Dan karena Liangsan akhirnya berhubungan baik dengan pimpinan kami maka Leiker mengajak kami bersembunyi di situ sambil menunggu datangnya kapal lagi."
"Dan selama itu kalian tak dipergoki sekalipun? Tak ada penghuni Liang-san yang tahu keberadaan kalian?"
"Kami amat berhati-hati sekali, locian pwe,"
Lelaki ini waspada.
"Dan untungnya bahwa penghuni sering keluar atau meninggalkan tempat. Tentu locianpwe tahu jika Fang Fang atau keluarganya mengadakan acara kunjung-berkunjung."
"Hm-hm, ya. Tapi masa selama itu kalian tak diketahui sedikitpun. Penghuni Liang-san adalah orang-orang berkepandaian tinggi!"
"Ini berkat Busur Kumala!"
Lelaki itu tiba-tiba berseri.
"Di bawah kesaktiannya dan pamornya yang luar biasa kami seakan tak kelihatan jika bertemu orang lain, locianpwe. Busur itu sungguh hebat dan entah dari mana sahabatku itu mendapatkannya!" Sia-tiauw-eng-jin terkejut, akan tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia tersenyum dan percaya bahwa sebuah senjata pusaka dapat melindungi pemegangnya dan acapkali secara gaib menolong dan melepaskan segala petaka. Kalau kini orang ini bicara seperti itu maka ia tak usah heran. Itulah tuah senjata keramat. Maka mengangguk dan menyuruh lawan melanjutkan lagi segera laki-laki ini bercerita betapa ia dan temannya aman-aman saja di Liang-san, betapa Busur Kumala yang bercahaya dan terang-benderang itu menyilaukan mata. Cahaya busur ini mampu menyembunyikan mereka dari pan dangan orang lain. Akan tetapi ketika malapetaka baru datang tanpa diduga maka tiba-tiba dua sahabat ini pecah. Sampai di sini laki-laki ini menggigit bibir dan matanya berkilat-kilat. Sia-tiauw-eng jin tertegun.
"Waktu itu sungguh tak kusangka bahwa begini akhirnya persahabatan kami yang bertahun-tahun. Dia, sahabatku itu tiba-tiba mengganggu seorang penduduk!"
"Hm, apa yang dia lakukan,"
Kakek ini tertarik juga. "Dia mengganggu seorang wanita yang sudah menjadi pilihanku, locianpwe, dan ... dan ia hampir memperkosanya!"
Sia-tiauw-eng-ji mendadak berkilat.
Kakek ini pun tiba-tiba menjadi marah akan tetapi pandang mata muridnya menahannya.
la sadar dan batukbatuk menyeringai, meskipun sebuah batu tiba-tiba di remasnya hancur dan membuat laki-laki itu melelet kan lidah.
Alangkah hebatnya daya remas kakek ini.
Akan tetapi sadar akan ceritanya tadi dan melanjutkan maka ia terbata bicara dan tiba-tiba menangis.
"Aku, kami berdua... ah, itulah awal mula kuketahui kepandaiannya yang luar biasa, locianpwe. Betapa setelah siang itu aku menegur dan menyelamatkan kekasihku ternyata tanpa kusangkasangka malam harinya ia menyamar dan berubah menjadi diriku dan menggauli kekasihku itu. Ia melakukan ini berulang-ulang dan baru kuketahui ketujuh kalinya. Kekasihku histeris dan selanjutnya kami baku hantam, apalagi ketika wanita yang kucinta itu membuang malu dengan menjerit dan melempar tubuh ke dalam jurang! Kakek dan muridnya ini tergetar namun Siauwtoh menyeringai lebar. Tiba-tiba terbayang di depan nya seorang wanita melompat ke jurang, sementara dua laki-laki berkelahi dengan sengit memperebutkan dirinya. Satu perbuatan yang sia-sia karena wanita yang diperebutkan telah tewas. Akan tetapi tak mengganggu dan membiarkan lawannya bicara lagi ma ka lelaki bule ini mengusap air mata. Ceritanya mengundang keharuan Sia-tiauw-eng-jin.
"Aku kalap dan hampir saja membunuh sahabatku itu kalau saja ia tidak mengeluh dan minta ampun. Ia mengingatkan aku bahwa kami sama-sama pendatang asing. Ia khilaf dan mencium kakiku berulang-ulang. Dan ketika ia mengingatkan juga bahwa wanita itu telah meninggalkan kami berdua, tak ada siapapun yang bakal beruntung maka kami baik-ba ik lagi dan saat itulah kupikir bahwa sebaiknya aku turun gunung. Kami sudah lama sekali tak mendengar kapal datang."
Kakek ini menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
Sampai di situ Sia-tiauw-eng-jin menaruh simpati dan ia mulai kasihan.
Cerita lawan benar-benar menarik.
Dan ketika ia menyodorkan lagi araknya pembasah tenggorokan, lawannya berkacakaca maka ia menepuk pundak orang berkata menghibur.
"Wanita dan harta memang selalu membuat orang mabok.
Lanjutkan ceritamu lagi, Tony, apa yang akhirnya kautentui."
Laki-laki ini mengusap air matanya.
"Aku hendak berangkat tapi didahului sahabatku itu. Pagipagi sekali ia meninggalkan pesan dan menyuruhku tunggu sela ma enam hari."
"Ia mencari berita kapal?"
"Begitulah yang dikatakannya, locianpwe, akan tetapi semua itu ternyata tipu daya belaka. Ia menjebak dan kiranya mencelakakan aku!"
"Apa yang ia lakukan."
"Ia memberi tahu penghuni Liang-san bahwa aku menyembunyikan Busur Kumala. Ia menyebar berita bahwa di puncak itu aku bersembunyi!"
"Lalu kau tertangkap?"
"Hampir saja, locianpwe, akan tetapi sesuatu menyelamatkan aku!"
"Hm, apa itu."
Sang kakek berdebar.
"Barangkali Busur Kumala." "Tidak, busur itu dibawanya. Ia lari dan membiarkan aku namun sesuatu kutemukandi guha itu!"
"Hm, apa."
"Terowongan!"
"Terowongan?"
"Ya, sebuah jalan rahasia, locianpwe. Aku tak tahu bahwa selama ini ada terowongan di situ. Aku kaget dan melarikan diri ketika di luar guha terdengar bentakan-bentakan. Aku menggigil dan menyusup masuk untuk akhirnya menemui te rowongan bawah gunung itu. Tentu itulah jalan bawah tanah yang biasa dipergunakan Dewa Mata Keranjang bila ingin mengunjungi kekasih-kekasihnya yang lain!"
"Hm, Dewa Mata Keranjang memang laki-laki tak tahu malu. Lalu bagaimana keadaanmu, Tony, selamatkah dirimu."
"Ya, aku selamat, dan tiba-tiba saja kulihat sahabatku itu di kaki gunung!"
"Ah, dan langsung kauserang dan cekik dia?"
Siauw-toh kali ini berseru.
"Tidak, mana kutahu kebusukannya waktu itu.
Kukira kedatangan penghuni Liang-san hanyalah secara kebetulan, sobat muda.
Waktu Itu aku sama sekali tak tahu bahwa dialah biang bencana, aku malah memanggilnya dan membawanya masuk ke dalam terowongan."
"Bodoh, goblok sekali!"
"Ya, aku memang goblok, bodoh sekali. Akan tetapi dari situlah semuanya bakal mencelakakan si jahat itu. Leiker terkurung dan akhirnya terkubur hidup-hidup di tempat ini!"
"Apa yang terjadi."
"la mencoba menyembunyikan Busur Kumala tapi terpeleset ke jurang. Ia ber teriak-teriak minta tolong."
"Dan kau menolongnya?"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami adalah sahabat sejak awal, sobat muda. Mana aku tega membiarkannya begitu. Lagi pula waktu itu aku tak tahu bahwa ia bermaksud menyembunyikan Busur Kumala."
"Hm, jadi selama ini ia tak pernah melepaskan busur itu." "Benar, locianpwe, dan akupun tak ingin merebutnya. Kupikir untuk apa bagiku. Aku bukan seorang pemanah. Lagi pu la aku tak berkepandaian seperti orang-orang persilatan di negerimu ini."
"Dan tak tahukah kau keistimewaan busur itu?"
"Yang kutahu bahwa busur itu indah, locianpwe, di samping dapat menyembunyikan kami dari pandangan orang lain. Aku tak tahu yang lain-lain kecuali ini!"
"Hm, bagus, lanjutkan lagi."
"Ku tolong dia yang menggapai-gapai di bibir jurang. Dan ketika aku mengangkatnya dan berhasil menyelamatkannya maka ia tersedu-sedu mengucap kan terima kasih."
"Lalu kauajak ke dalam terowongan lagi?"
"Benar, dan sejak itu kami rukun lagi. Tapi anehnya tempat ini mulai tak tenang karena beberapa bayangan kulihat berkelebatan seolah-olah mencari kami. Dan sahabatku akhirnya pergi lagi, setelah semalam aku tidur pulas dan tak menyangka dikerjai tangannya yang jahat!"
"Apa yang ia lakukan." "Membius diriku, menyulap wajahku menjadi wajahnya!"
"Hee, kenapa begitu?"
"Aku tak tahu, locianpwe, akan tetapi akhirnya sadar. Ia ingin meninggalkan jejak tapi akulah korbannya."
"Maksudmu?"
"Ia telah kepergok dan dikenal penghuni Liangsan. Karena itu agar bebas dan dapat lolos maka wajahnya dipindahkan ke wajahku. Penghuni Liangsan tentu saja mengejar aku dan kau tahu sendiri be tapa aku dibawa ke Ang-bi-to dan semalam berada di tangan suami isteri keturunan Dewa Mata Keranjang itu!"
"Dan Busur Kumala?"
Siauw-toh meloncat dan bersinar-sinar.
"Busur itu masih tetap dipegang sahabatmu itu? Dan bagaimana ia terjebak dan masih di Liang san seperti katamu itu?"
"Sabar, sobat muda, ceritaku belum habis. Sahabatku itu benar-benar licik dan keji hingga semua salah tangkap. Ia kuwalat oleh kejahatannya sendiri."
Sia-tiauw-eng-jin menarik muridnya dan kakek ini bersinar-sinar.
Cerita demi cerita yang didengarnya tiba-tiba begitu merangsang dan membuat ia gatal.
Ia pun rasanya tak sabar mendengar kisah ini, apa yang terjadi dan bagaimana penutupnya.
Maka menarik muridnya menyuruh orang ini bicara lagi iapun berseru dengan mata bersinar-sinar.
Busur Kumala itu harus segera didapatkannya jangan sampai jatuh ke tangan Liang-san! "Duduk dan dengarkan ceritanya baik-baik atau aku menendang pantatmu nanti.
Cerita memang belum habis, Siauw-toh.
Ayo duduk dan jangan menghalangi pandangan gurumu!"
Pemuda ini terhenyak dan menyeringai akan tetapi ia segera duduk lagi. Gurunya mencekalnya. Dan ketika ia tersipu dipandang tersenyum maka ia membuang malu dengan berseru.
"Baiklah, bagaimana dengan busur itu dan kenapa pula sahabatmu terkurung di Liang-san. Ceritakanlah kepada kami!"
"Ia gelisah di dalam terowongan itu, akhirnya minta tolong sesuatu."
"Minta tolong apa?"
"Membuatkan busur palsu, sobat muda. Menggandakan Busur Kumala agar ada dua." "Celaka, tikus licik. Lalu bagaimana tanggapan mu dan apakah ia seorang ahli busur hingga dapat menciptakan gendewa!"
"Sudah kubilang bahwa ia seorang cerdik dan pandai merobah-robah wajah. Beberapa bulan belakangan ini ia sering meninggalkan Liang-san, sobat muda, katanya belajar sesuatu. Dan ketika ia meminta tolong agar aku membantunya membuatkan busur maka aku sendiri terheran-heran betapa sebuah gendewa yang persis sama dapat dibuatnya dan mirip benar dengan Busur Kumala. Bagai pinang dibelah dua!"
"Setan, itu tak boleh terjadi!"
Siauw-toh meloncat bangun dan memaki-maki.
"Kalau Busur Kumala ada dua yang sama persis maka yang asli atau palsu tak dapat dibedakan lagi, orang asing. Kalian dua orang ini ternyata sama-sama busuk dan tak punya perasaan!"
"Tenang, duduklah,"
Sia-tiauw-eng-jin tertawa dan meraih lagi muridnya.
"Kalau orang lain memalsu panah tentu dapat ditipu, muridku, akan tetapi aku Si Pemahan Rajawali tak mungkin ditipu. Tuah atau kekeramatan busur itu pasti berbeda!" "Benar, locianpwe benar,"
Lelaki itu mengangguk-angguk.
"Akan tetapi jangan lupa bahwa ada orang ketiga yang menyempurnakan pamor busur tiruan ini. Ia seorang Nepal berdarah campuran, kuat tapa dan memiliki kekuatan gaib. Tangannya mampu menyepuh dan membuat busur tiruan secemerlang aslinya. Aku sampai tak tahu lagi mana yang asli dan palsu!"
"Hah, ada orang ketiga?"
"Benar, locianpwe, dan campur tangan orang ketiga inilah yang membuat Busur Kumala menjadi ramai. Kini busur itu ada dua dan agaknya hanya para empu istana yang mampu membedakannya dengan mata batin mereka!"
Sia-tiauw-eng-jin terbelalak dan terheran-heran dan rasa terkejut tak dapat di sembunyikan lagi pada pandang matanya.
Ia berdesir mendengar disebutnya seorang Nepal penyepuh gendewa.
Maka ketika ia bertanya siapakah orang itu, suara dan wajahnya menunjukkan ketegangan maka laki-laki ini tersenyum dan pandang mata licik tiba-tiba muncul.
"Kupikir locianpwe tak mengenalnya, buat apa kuceritakan." "Tidak, katakan siapa dia kalau kau benar tak bohong."
"Namanya Hanlun." (Bersambung
Jilid 18) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XVIII *** "HANLUN?"
Kakek Ini mencelat, tiba-tiba berseru keras "Kau menyebut pembuat Busur Kumala itu Hanlun?"
"Benar, locianpwe, akan tetapi hanya Busur Kumala tiruan. Maksudku..."
"Ya-ya, sebutkan ciri-ciri orang ini dan di mana ia sekarang berada. Aku kenal orang itu, tidak salah!"
Kakek Ini menghentak-hentakkan kaki dan ia nampak tidak sabar mendengar cerita laki-laki itu.
Tiba-tiba wajah kakek ini berubah begitu girang sementara muridnya mengkerutkan kening.
Ada perasaan kaget dan tergetar juga di pandang mata pemuda itu.
Akan tetapi kalau guru dan murid kelihatan berdebar, tegang, adalah pria bule Ini tersenyum dan mengangguk-angguk.
Pandang matanya kian licik.
"Locianpwe tampaknya mengenal penyepuh gendewa ini, sungguh mengherankan.
Padahal ia mengaku tak pernah keluar dunia selain di pertapaannya itu."
"Aku tak butuh kau heran atau tidak. Cepat ceritakan padaku ciri-ciri orang ini, Tony, atau antarkan aku segera padanya!"
"Mana mungkin, ia sudah meninggalkan kami. Aku tak tahu di mana sekarang ia berada, locianpwe, akan tetapi ciri-cirinya adalah seorang berusia empat puluh limaan tahun yang bertahi lalat di kedua pipinya. Kulitnya agak sawo kecoklat an dan wajahnya, eh... mirip-mirip dengan muridmu ini. Mata dan hidungnya sama!"
Orang itu malah tercengang memandang Siauw-toh akan tetapi pemuda ini tertawa dingin, la berkata bahwa ia seorang yatimpiatu, tak beribu bapak la gi.
Dan ketika Sia-tiauw-engjin mengang guk-angguk dan berseru kembali maka kakek ini memandang pria bule itu.
"Cocok, kalau begitu dialah Hanlun yang kukenal itu. Dialah muridku pada empatpuluh tahun yang lalu. Sekarang di mana pertapaannya itu biar kucari!" "Hm, yang dekat orang ini adalah sahabatku Leiker, bukan aku. Aku hanya melihat mereka dari jauh, locianpwe, jarang bercakap-cakap. Yang tahu lebih ba nyak adalah sahabatku itu, bukan aku!"
Sang kakek tertegun, lalu menghela napas dalam-dalam.
Tiba-tiba ia kecewa namun pandang matanya masih menaruh harapan.
Kakek itu bersinarsinar.
Lalu ketika ia mengangguk dan memaklumi ini, Leiker itulah yang harus dicari akhirnya dia membuang kecewanya dengan ber kata.
"Baiklah, mari sekarang ke Liang-san dan kau tak perlu berkeberatan lagi. Aku atau muridku dapat membawamu?"
Lalu menyambar dan menotok laki-laki ini, lawan berteriak kaget tibatiba kakek itu berkelebat dan keluar dari daerah ber batu-batu ini.
Mereka telah mengisi perut dan tak ada alasan lagi membuang-buang waktu di situ.
Sia-tiauweng-jin membawa tawanannya ini kembali.
Lalu ketika ia melayang dan mengerahkan ilmu lari cepatnya, sang murid berkelebat dan menyusul di belakang maka dua orang itu tak perduli lagi permintaan lawannya untuk beristirahat sehari.
Dan be gitu kakek ini meluncur dan bergerak amat cepat maka laki-laki bule itu pucat karena kakek ini harus melewati jalan se malam di mana mereka meninggalkan mu suh-musuh mereka.
Berarti bakal bertemu dengan sepasang suami isteri muda itu dan mungkin juga yang lain-lain.
Celaka.
Akan tetapi karena ia tak berkutik dan ke Liang-san memang harus melalui tempat itu, tak disangkanya kakek ini tak mau beristirahat maka iapun mengeluh dan diam-diam menjadi gelisah.
Dan begitu ia memejamkan mata tak kuat oleh desau angin yang amat tajam, kakek ini seakan terbang membuat segalanya berlarian ke belakang maka pria ini menahan ratap tangisnya dan diam-diam berharap semoga ia terlepas dan lolos dari cengke raman kakek ini.
Dan untuk itu harus dicari akal! Maka begitu ia mengerahkan segenap pikirannya melayang-layang maka sebuah tipu dayapun harus diambil! Apa yang dikhawatirkan laki-laki ini terjadi.
Karena harus kembali dan melewati jalan yang sama maka pertemuan dengan Beng Li dan lain-lainnya itu tak dapat dicegah lagi.
Wanita itu bersama suaminya mengejar dan menyusul kakek ini.
Meskipun mereka kehilangan jejak akan tetapi keduanya terutama Beng Li amatlah hapal daerah itu.
Tak mungkin kakek ini memasuki kota membawa tawanan.
Hanya ke hutan dan keluar mema suki daerah perbukitan batu kakek ini menghindar.
Maka ketika tak mengenal lelah dan mengejar terus tiba-tiba saja wanita itu melihat kakek ini.
Dan alangkah herannya betapa kakek itu malah ber lari menyongsong, dan yang membuat ia girang adalah tawanan tetap di pundak kakek itu.
"He, berhenti. Serahkan tawanan dan kami bertindak atas nama kerajaan. Berhenti!"
Nyonya muda itu langsung membentak dan iapun berdiri menghadang dengan bertolak pinggang.
Franky juga terkejut betapa kakek ini kembali.
Mereka hampir putus asa semalam.
Maka ketika pagi itu ia terbelalak dan heran serta ka get akan tetapi juga girang kakek ini me nyongsong mereka, hal yang sungguh tak disangka-sangka maka pemuda ini langsung mencabut pistolnya dan mengancam.
Kakek selihai ini tak dapat dibuat main-main lagi.
"Orang tua, bagus sekali kau datang. Serahkanlah tawanan baik-baik dan kami akan melupakan semua dosa-dosamu!"
"Heh-heh, kalian anak-anak muda tak layak mengancam orang tua. Minggirlah, nyonya muda, dan kaupun tak usah mengacung-acungkan pistol mainan mu itu...
"tak-tak!"
Kakek ini menendang dua batu kecil dan tiba-tiba saja dua batu ini menyambar suami isteri itu.
Beng Li maupun Franky tak menyangka.
Gerakan kakek itu amatlah cepat dan juga wajar-wajar saja.
Kakinya bergerak berlari-lari akan tetapi siapa menyangka menendangkan batu kecil segala.
Maka ketika wanita itu menjerit dan membanting tubuh bergulingan, suaminya berteriak jari-jarinya dihantam batu keras maka pistol terlepas dan kakek itu melewati mereka, cepat sekali.
"Heh-heh, aku tak ada waktu untuk main-main dengan kalian. Pergilah!"
Suami isteri itu terkejut.
Franky mem banting tubuh bergulingan sambil menyam bar kembali senjatanya yang terlempar.
Ia kaget sekali oleh kelihaian kakek ini.
Akan tetapi ketika mereka meloncat bangun dan melotot marah ternyata kakek itu sudah jauh sekali dan terbang terkekeh-kekeh.
Namun Sia-tiauw-eng-jin tak menghadapi suami isteri ini saja.
Baru puluhan tombak kakek itu meluncur maka dua ba yangan berkelebat.
Itulah Kang Hu dan Kui Yang.
Dan ketika dua muda-mudi ini membentak menghadang kakek itu maka Kui Yang melepaskan panah menjepret kakek ini.
"Serahkan tawanan atau kau roboh!"
Kakek itu tertawa.
Tentu saja ia menangkis dan memukul patah anak panah ini.
Akan tetapi ketika gadis itu menyusunnya cepat dengan anak-anak panah la in, mendesing dan menyambar pula tawan an maka kakek itu menjadi marah karena tawanan tibatiba menjerit.
"Aduh!"
Kakek ini terbelalak.
Tony menggelinjang di atas pundaknya dan bahu kiri ter kena sambaran panah kecil.
Panah ini me mang meluncur di antara panahpanah la in sementara Kang Hu juga berkelebat dan menyerang kakek itu.
Pemuda ini mempergunakan busurnya pula memukul dan menyabet.
Maka marah betapa ia ke colongan, tawanan mengeluh tiba-tiba ka kek ini menggerakkan lengan ke depan dan ia telah melakukan pukulan dengan jurus Eng-hiap-wan-sinhoat (Rajawali Me nyergap Lutung).
"Pergi kalian anak-anak busuk!"
Dua muda-mudi itu terkejut.
Serang-kum angin kuat mendahului mereka sebelum jari-jari kakek itu tiba.
Buku jari ka kek itu berkerotokan.
Dan ketika keduanya menangkis sambil menggerakkan senjata mereka ternyata busur melengkung dan bakal patah kalau terus bersikap nekat.
"Plak-aihh!"
Kui Yang melempar tubuh bergulingan sementara tangan kirinya melempar panah-panah kecil.
Ini adalah panah-panah tangan yang biasa ia pergunakan sebagai amgi (senjata rahasia).
Namun ketika pukulan kakek itu menolak runtuh semua panah tangannya, meloncat bangun dan ia melihat kakek itu meloncat pergi maka kakek ini berseru pada muridnya untuk menjaga di belakang.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda ini memang belum melakukan sesuatu membantu gurunya.
"Jaga dan jangan sampai tikus-tikus busuk itu menggangguku lagi. Tawanan terluka!"
Siauw-toh terkejut.
Setelah malam terusir lenyap dan matahari menguasai bumi maka ia melihat jelas bekas lawan-lawan nya yang cantik dan gagjah ini.
Ia melihat betapa Kui Yang semakin matang se mentara ia yang sudah tumbuh dewasa berdesir oleh birahi yang menyala.
Dulu ia hanya menganggap gadis itu cantik saja, tak ada embel-embel.
Akan tetapi se telah ia menjadi seorang pemuda dan ada sesuatu yang menarik di hatinya maka ia tergetar betapa bekas musuhnya sejak ke cil ini tampak kian cantik jelita saja, gagah dengan ujung rambut menjuntai berkibar-kibar.
"Kui Yang, jangan ganggu kami atau aku merobohkanmu nanti. Jangan sombong!"
"Keparat, siapa yang sombong. Kaulah yang sombong dan menantang kami, Siau toh, kau Unta Kecil yang licik dan tak tahu malu. Kalian membawa lari tawanan kerajaan!"
"Tidak, kalian salah,"
Pemuda itu tiba-tiba teringat. 'Ini bukan orang yang kalian cari-cari, Kui Yang, kalian tertipu. Itu Tony, bukan Leiker!"
"Siapa bilang!"
Bayangan merah menyambar dan menerjang pemuda itu.
"Aku lebih tahu dari siapapun, bocah. Gurumu dan kau ditipunya dan berikan kepada kami atau kau mampus!"
Siauw-toh terkejut dan menangkis dan ia membiarkan gurunya lari di depan.
Tentu saja ia memandang rendah siapapun setelah menjadi murid gurunya.
Siapa tak kenal Sia-tiauw-eng-jin.
Dan ketika benar saja wanita itu terpental namun Kui Yang berseru menyerang maka sikap jumawa membuat ia terpental kaget mes kipun gadis itu juga tertolak dan terlempar ke belakang.
"Dukk!"
Pemuda ini berjungkir balik.
Tiba-tiba ia dikepung dari muka belakang oleh Kui Yang dan suami isteri itu.
Kang Hu kini berada di samping kanannya dan menyerangnya pula.
Dan ketika ia menja di marah dan membentak pemuda ini, ba ru saja menaruh kakinya maka Kang Hu terasa lebih kuat dari Kui Yang, tenaganya lebih besar.
"Dukk!"
Siauw-toh terlempar berjungkir balik dan iapun terkejut betapa Kui Yang sudah menyusul dengan serangan-serangan lagi.
Gadis itu berkelebatan dan terdengar seruan agar menangkap dan merobohkannya.
Pemuda ini d&pat ditukar dengan tawanan.
Dan ketika sebentar kemudian ia menghadapi empat orang itu, suami isteri itu cukup lihai sementara Kui Yang dan Kang Hu lebih lihai lagi maka pemuda ini mengeluarkan lengkingan dan gurunya terkejut menoleh.
Ternyata muridnya terdesak! Entah bagaimana dan berawal dari apa tiba-tiba muridnya itu seperti orang bingung.
Kakek ini tak tahu betapa bau harum wanita itu membuat sang murid terbengong.
Kui Yang dan nyonya muda itu menyambar-nyambar.
Dan karena Beng Li mele-dak-ledakkan rambut sebagai senjata, mengeluarkan Sin-mauw-hoatnya (Silat Rambut Harum) maka bau wanita ini membuat pemuda itu terangsang dan kibasan rambut Kui Yang juga membuat pemuda itu mabok dan sebentar kemudian seperti orang ling-lung.
"Keparat, tidak boleh main keroyokan dan curang.
Hayo minggir!"
Sia-tiauw-eng jin berkelebat datang dan apa boleh buat kakek ini menolong muridnya dulu.
Ia he ran dan marah kenapa muridnya terdesak, padahal sepengetahuannya tak semes tinya muridnya begitu lemah.
Dan ketika ia turun tangan dan bantuan gurunya ini tentu saja melegakannya maka pemuda itu berseru agar menangkap dan merobohkan Kui Yang.
Betapapun ia lebih tertarik gadis ini daripada nyonya muda itu.
Akan tetapi apa jawab gurunya? Ia malah dimaki-maki! "Apa, kau mulai gila perempuan? Kau menyuruh aku menangkapnya? Kurang ajar, bocah edan.
Bukan saatnya bicara seperti ini dan ingatlah kita masih punya pekerjaan penting yang harus diselesaikan.
Hayo bawa tawanan dan aku menjaga di belakang...
wut!"
Kakek itu melempar tawanannya dan sang murid menangkap cepat.
Tentu saja pemuda ini menjadi merah apalagi Kui Yang memaki-maki.
Gadis ini tak tahu bahwa Siauw-toh mulai jatuh cinta.
Sebagai pemuda yang sudah dewasa dan terkena getar-getar be rahi maka hal itu mengganggu Siauwtoh.
Pemuda ini mulai mabok.
Akan tetapi ke tika diingatkan tugas mereka dan betapa semua itu lebih penting, pemuda ini menahan malu maka ia berkelebat dan akhirnya gurunya itulah yang melindungi dan mendorong empat lawan ini.
Beng Li dan Franky terpelanting sementara Kang Hu dan Kui Yang terhuyung-huyung.
Namun Sia-tiauw-eng-jin tak bermaksud melukai atau bertangan besi terhadap anak-anak muda ini.
Sebagai angkatan tua yang menjaga gengsi tentu saja ia ha nya memukul mundur dan mendorong lawan-lawannya itu.
Mereka bukanlah tandingannya.
Maka terkekeh dan memutar tubuh ia berkelebat pergi meninggalkan lawan-lawannya itu, menyusul muridnya.
Akan tetapi Beng Li dan Kui Yang maupun teman-temannya bukanlah orang-orang yang gampang menyerah.
Mereka membentak dan menyerang lagi, Beng Li mencabut pedangnya.
Akan tetapi karena kakek itu memang lihai dan tertawatawa menangkis maka oodang wanita ini malah terlepas dan hanya Kui Yang serta Kang Hu yang bergoyang dan terhuyung-huyung.
Dua muda-mudi ini membuat kagum kakek itu dan mulai memperhatikan.
Gaya ilmu silat mereka seakan dikenalnya.
"Kalian, he! Murid siapa dan bagaimana memperoleh ginkang sebagus itu. Rasanya seperti Sin14 ciak-khai-peng (Merak Sakti Membuka Sayap), eh... seperti Sinho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan)...!"
Dua anak muda itu tak menjawab karena mereka penasaran dan marah, sekali terhadap kakek ini.
Memang mereka berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuh yang disebut Sin-ho-coan-in, kadang-kadang dengan Sin-ciak-khai-peng ketika lengan mereka berkembang dan mengele-pakngelepak seperti sayap.
Akan tetapi karena semuanya itu tak dapat juga merobohkan lawan, bahkan mereka sering tergetar dan terhuyung-huyung maka dua muda-mudi ini menggigit bibir dan Kui Yang memakimaki kakek itu.
"Serahkan tawanan tak usah banyak cakap, atau kau mampus!"
"Heh-heh, bocah tak tahu diri. Kalau aku mau kau dapat kurobohkan hanya de ngan sebuah jariku, tikus cilik. Tak usah cuap-cuap dan kau pergilah, desdess!"
Ga dis itu terpental lagi dan kali ini terbanting memekik nyaring.
Kakek itu menam bah tennganya dan dari dorongan kelima jarinva keluar angin panas.
Angin itu me niup dan membuatnya kelabakan.
Namun ketika ia membanting diri bergulingan memaki-maki, temannya dan yang lain menghadapi hal yang sama maka kakek itu meloncat dan lari lagi.
Muridnya di depan membawa tawanan.
Akan tetapi Kui Yang mulai melepaskan anakanak panahnya dari jauh.
Ia berseru kepada temannya agar mengganggu atau paling tidak menahan lari kakek itu, juga ia mengarahkan panahnya kepada Siauw-toh.
Pemuda itu terkejut ketika anak panah tiba-tiba mendesing di belakang punggungnya, di saat gurunya menangkis dan sibuk mengurusi diri sendiri.
Dan ketika ia membalik dan menampar semua panahpanah itu maka gadis itu mulai melepaskan anak-anak panah yang tanpa suara.
"Ssh-jep!"
Siauw-toh terkejut betapa dengan amat cepat dan tiba-tiba sebatang panah lewat di sisinya menghantam sebatang pohon.
Ia kebetulan menikung di sebuah pertigaan jalan, kaget dan berseru keras dan tentu saja marah sekali.
Apa boleh buat harus lebih berhati-hati dan dikeluarkannya sebatang anak panah sendiri.
Dipasangnya telinga tajam-tajam sementara gurunya tak tertawa-tawa lagi di belakang.
Gurunya mulai membentak dan marah karena gangguan panah-panah itu kian lama kian berbahaya, meskipun dapat ditangkis patah akan tetapi yang tak Lersuara membuat kakek itu terkejut.
Ia membelalakkan mata dan memandang gadis itu dengan berubah, mulutnya komat-kamit.
Akan tetapi karena nyonya muda dan suaminya itu dapat menyusul lagi, akhirnya empat orang ini akan mengepung dan mengeroyoknya sengit maka kakek yang menjadi gemas ini lama-lama dibuat gusar juga.
Celakanya ia tak ingin melukai atau membunuh empat orang muda itu, gengsi atau kedudukannya membuatnya tak mungkin melakukan itu.
"Keparat, kalian tak boleh mengejarku terusterusan. Kalian harus tahu bahwa aku banyak mengalah!"
"Aku tahu, akan tetapi kaupun harus tahu bahwa tawanan amat penting bagi kami. Serahkan baik-baik atau kau dan kami roboh, kakek siluman. Keinginan ka mi di atas segala-galanya dan kami siap berkorban jiwa!"
"Kalian salah duga, itu Tony!"
"Itupun tak jadi soal dan kenapa kaupun mempertahankannya. Serahkan kepadaku atau aku mengadu jiwa dan kau kakek busuk akan dikejar-kejar pasukan ke-rajaan!"
Beng Li melengking di sela-sela bentakan Kui Yang dan nyonya muda itu berkelebat.
Memang harus diakuinya bahwa kakek ini tak bersikap telengas, kepandaiannya begitu tinggi dan banyak me ngalah kepada mereka.
Akan tetapi karena tawanan amatlah penting dan apapun dilakukannya maka nyonya ini menyerang nekat dan kakek itu mengibasnya terbanting.
Nyonya muda ini marah sekali.
"Franky, tembak kakek itu! Tembak!"
Sia-tiauw-eng-jin terkejut.
Pemuda tinggi besar itu ragu-ragu dan setelah tembakan pertama tadi ia tak mempergunakan senjatanya lagi.
Pistol itu malah disimpannya, bukan apa-apa melainkan semata betapa kakek ini banyak mengalah terhadap mereka.
Kalau kakek itu bersikap ganas dan berlaku kejam tentu ia dan kawan-kawannya roboh, paling tidak terluka atau celaka.
Maka mendengar teriakan isterinya sementara isterinya bergulingan meloncat bangun maka kakek itu diam-diam meliriknya akan tetapi pemuda ini tak mencubut senjata apinya.
"Tembak dan robohkan kakek itu, ia akan menghalangi kita terus-terusan!"
"Tidak, aku tak sampai hati. Ia banyak mengalah kepada kita, Li-moi, tak seharusnya kita bersikap kejam,"
Pemuda itu menjawab dan kakek itu tiba-tiba ter kekeh.
Tentu saja ia kagum akan jawaban ini dan ketetapannya untuk tidak melukai orang-orang muda ini semakin tebal.
Dia tentu saja dapat mendahului pemuda itu jika mencabut pistolnya misalnya, menimpukkan batu atau menendang kerikil sebagaimana tadi ia lakukan.
Akan tetapi karena jawaban ini melegakannya dan tak perlu ia menghajar pemuda itu maka kakek ini meloncat pergi setelah memukul mundur lawan-Iawannya.
Namun seperti yang terjadi berulang-ulang maka empat orang muda itu selalu mengejarnya.
Mereka menyusul dan menempel dan Kui Yang serta Kang Hu ber ada di depan.
Panah-panah mereka tetap berbahaya dan terhadap dua muda-mudi ini kakek itu memberi perhatian khusus.
la tentu akan berhenti dan mencari tahu lebih lanjut tentang kepandaian muda-mu di ini, terutama ilmu pernahnya yang demikian hebat yang membuat ia berkerut, kening.
Ada sesuatu yang membuat ia tak berani menurunkan tangan keras kepada anak-anak muda ini, di samping karena mereka pernah menjadi calon muridnya yang gagal juga karena ginkang atau ilmu meringankan tubuh mereka yang hebat itu.
Hanya karena urusan tawanan membuat ia tak mau berlama-lama.
Ia ingin cepat meninggalkan anak-anak muda itu akan tetapi muridnya bergerak amat lamban.
Beban di pundak muridnya membuat muridnya tak dapat bergerak gesit, padahal kalau ia yang mengambil alih ma ka muridnya ini tak mampu menghadapi empat orang itu, repot.
Dan sementara kakek ini terus melindungi muridnya menangkis atau menghalau semua serangan-serangan itu, mereka sudah hampir di se buah hutan kecil yang lain mendadak teriakan muridnya membuat kakek ini kaget.
"Suhu, tawanan lenyap!"
Bukan hanya kakek ini yang terkejut melainkan Kui Yang dan lain-lain juga terkejut.
Mereka terus mengejar dan menyerang kakek ini ketika tiba-tiba teriak an Siauw-toh mengundang perhatian.
Sebu ah bayangan hitam berkelebat disusul bayangan lain.
Kui Yang melihat itu karena kebetulan ia berada di depan, kakek itu membalik dan menghadapi mereka dan dialah yang melihat pertama kali.
Akan tetapi karena bayangan itu amat cepatnya dan bersamaan itu terdengar teriakan Siauw-toh, gadis ini terbelalak maka pemuda itu berteriak sekali lagi ketika bayangan hitam menyambar dan menyerangnya dari atas.
Bayangan kedua entah ke mana dan bayangan hitam inilah yang muncul dan tahu-tahu menghantam petnu da itu.
"Aihh, celaka!"
Pemuda itu membanting tubuh bergulingan karena tadi pundak kirinya tahu-tahu ditepuk seseorang.
Bersamaan itu tawanan diserobot dan ia .
lumpuh sejenak.
Apa yang terjadi tak ia ketahui karena kakinya baru saja memasuki mulut hutan.
Maka ketika tiba-tiba bayangan hitam menyambarnya sementara ia masih kaget oleh tepukan di pundak, tak tahu dan tak melihat siapa lawannya maka pemuda ini terbelalak marah ketika seorang wanita cantik jelita menyerangnya cepat dan dua tamparan di kanan kiri membuat ia berseru keras dan membentak serta menangkis.
"Plak-plak!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw-toh tergetar semen tara lawan berjungkir balik melayang turun.
Dua tenaga bertemu dan pemuda ini menjadi kaget.
Ia merasa kedua lengannya panas.
Dan ketika lawan berdiri berhadapan sementara iapun sudah tegak kembali, pemuda ini membelalakkan mata dan berdebar kencang maka seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri bertolak pinggang menuding padanya, suaranya nyaring galak akan tetapi harus di akui begitu cantik jelita.
Sukmanya seakan terbang bergetar-getar.
"Kau, penculik dan pengecut hina. Kiranya kau yang telah membawa lari tawanan dan kini menyerahlah dan ikut baik-baik ke kota raja. Aku tak akan meng ampunimu bila kau melawan dan bersikap kurang ajar! Pemuda ini bengong dan terbelalak di tempat dan murid Sia-tiauw-eng-jin ini mengucek-ucek matanya seakan tak percaya. Manusiakah yang dihadapinya ini, atau seorang peri atau bidadari kahyangan? Wajahnya begitu cantik jelita dan wajah maupun telunjuk yang menuding itu begitu halus menantang. Dan ia telah me rasakan hebatnya jari-jari mungil itu, jari atau tangan yang membuat ia tergetar panas. Masa manusia bisa seperti ini! Maka bengong dan begitu terkesima, wanita yang ini rasanya jauh lebih cantik daripada nyonya muda itu atau Kui Yang maka Siauw-toh melotot dan akibatnya tubuh itu berkelebat dan jari-jari itu me nampar.
"Tikus busuk tak tahu malu, mampuslah kalau tak bisa bicara!"
Pemuda ini kaget.
Otomatis ia mengelak dan menangkis, menambah tenaga akan tetapi sama juga.
Ia terpental dan terbanting.
Rasa bengongnya membuat ia seperti tersihir.
Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun berdiri lagi, barulah ia sadar maka wanita itu berkelebat lagi dan kini menyerangnya bertubitubi, hendak menangkapnya! "Kau pengacau dan penculik tawanan.
Aku tak akan mengampunimu dan mampus di sini atau kutangkap baik-baik!"
Pe muda ini terkejut dan kaget sekali betapa seluruh bagian wanita itu menyambar dan menyerangnya cepat, mulai dari jari-jari lentik halus itu sampai sepasang kaki dan tangan yang bergerak amat cepatnya.
Ia sampai bingung.
Dan ketika terdengar ledakan dan itulah rambut yang menyambar cepat, mengingatkannya akan nyonya muda di sana itu maka seke jap kemudian kesadaran pemuda ini pulih dan ia membalas serta membentak marah.
Betapapun keganasan dan kegalakan wanita ini membuat pemuda itu tak senang.
"Plak-duk-plakk!n wanita itu terpental dan pemuda ini mulai dapat memperbaiki diri setelah ia menangkis dai- memusatkan pikiran. Rambut itu meledak-ledak dan bau harum menguasai hidung akan te tapi murid Sia-tiauw-eng-jin ini tak mabok lagi. Ia telah sadar dan kaget oleh benturan tadi, juga ginkang yang ditunjukkan lawannya ini yang membuat lawan melayang begitu cepat dan amat ringannya bagai kapas kering. Tubuh itu menyambar dan berpindah-pindah amat cepatnya. Maka ketika ia membentak dan seruannya telah mengundang gurunya, ia benar-benar kaget tak tahu di mana dan siapa perampas tawanan maka Kui Yang dan lain-lain berkelebatan datang dan me rekapun mengenal wanita berpakaian serba hitam ini.
"Enci Kiok Eng!"
"Eng-cici!"
Siauw-toh terbelalak.
Tiba-tiba empat orang itu menyebut lawannya dan segera pikirannya menuju Liang-san.
Kiok Eng! Ah, ini kiranya wanita gagah perkasa itu.
Ini kiranya puteri Fang Fang cucu murid Dewa Mata Keranjang.
Maka ketika ia tertegun dan sedikit kelambatan ini dibayar cepat tiba-tiba tengkuknya bertemu jari-jari wanita itu membuatnya terpelanting dan berteriak.
"Plak!"
Pemuda itu melempar tubuh bergulingan akan tetapi saat itu guruny berkelebat datang.
Sia-tiauw-eng-jin marah betapa muridnya diserang hebat, lawan baru yang tangguh dan sepak terjang nya lebih ganas dari empat orang muda itu.
Tak aneh, inilah Kiok Eng yang dulu mengobrak-abrik banyak orang dan membuat geger kota raja.
Bekas wanita yang marah kepada ayahnya sendiri dan betapa dulu diracuni dendam yang dimasukkan gurugurunya sendiri, sebelas isteri Dewa Mata Keranjang.
Maka ketika wanita itu menyerang dan mendesak hebat lawan yang tak menjawab pertanyaannya, marah karena pemuda itu memandangnya melotot maka Kiok Eng baru terlempar dan berjungkir balik ketika kakek itu menolong muridnya dengan berkelebat dan menotok punggungnya.
"Dess!"
Wanita ini membalikkan tangan akan tetapi bukan main kagetnya oleh jari-jari dingin sekuat baja.
Ia merasa ngilu dan seakan patah, padahal sudah mengerahkan sinkangnya oleh totokan lihai itu.
Dan ketika ia meloncat bangun membentak marah, kakek itu berkilat memandangnya maka Sia-tiauw-eng-jin bertanya kepada muridnya.
Perubahan demikian cepat dan mendadak sekali.
"Mana tawanan, apa yang terjadi. Siapa mengambilnya darimu, Siauw-toh. Orang kurang ajar dari mana berani main-main di depan Sia-tiauw-engjin!" "Aku tak tahu dan tak melihat apa yang terjadi. Waktu aku memasuki hutan tahu-tahu pundakku ditotok seseorang, suhu, lumpuh dan saat itulah tawanan berpindah tangan. Aku tak tahu siapa yang melakukan akan tetapi jelas bukan wanita ini. Orang lain atau iblis yang mengambilnya!"
"Tak mungkin, tak ada iblis di sini. Pasti kawankawan mereka ini dan biar kutanya wanita ini, atau semua akan kuhajar!"
Dan marah memandang Kiok Eng kakek itu berseru.
"Kau, siapa kau dan mana tawanan. Kau pasti tahu dan jangan main-main di depan Sia-tiauw-eng-jin. Nah, katakan padaku atau aku membekukmu!"
Kiok Eng, wanita ini bersinar-ainar.
Sebenarnya ia datang bersama suaminya dan suaminya itulah yang merampas.
Cit Kong puteranya bersembunyi.
Dan karena kita tahu betapa Tan Hong sekarang bukanlah Tan Hong beberapa tahun yang la lu maka pendekar itulah yang menotok Siauw-toh dan gerakannya yang luar biasa cepat tak mampu diikuti pemuda ini, apalagi isterinya mengecoh dan mengalihkan perhatian pemuda itu.
Kini wanita itu dituding dan ditanya.
Sebagai wanita yang keras dan galak tentu saja Kiok Eng marah.
Ia dan suaminya telah melihat kejar-kejaran itu, sang sua mi berbisik dan terheran-heran oleh hadir nya seorang kakek lihai.
Maka membagi tugas dan girang bahwa Beng Li dan sua minya ada di situ, mendengar dan melihat semuanya maka suaminya merampas tawanan dan ia berhadapan dengan pemu da itu.
Akan tetapi kakek ini datang dan menolong muridnya.
"Kau,"
Kiok Engpun tak mau kalah.
"Aku Kiok Eng enci adikku Beng Li ini, Sia-tiauw-eng-jin. Aku pernah mendengar namamu tapi tak kenal dan tak perlu takut. Kalau kau guru pemuda ini berarti kaupun harus bertanggung jawab. Hayo ikut aku ke kota raja dan kalian menerima hukuman. Aku tak ingin kalian membantah dan jangan bikin kemarahanku bertambah!"
"Hm, heh-heh!"
Kakek ini tiba-tiba me lepas marahnya dengan tawa mendongkol.
"Kau seperti ratu tanpa rakyatnya, bocah she Kiok, sombong dan besar mulut tak tahu siapa aku. Aku bertanya di mana ta wanan dan tak mungkin ia hilang begitu saja. Jawab atau aku menghajarmu."
"Aku she Fang, bukan Kiok. Akan tetapi sekarang aku adalah Tan-hujin (nyonya Tan). Nah, suamiku itulah yang merampasnya dan kau mau apa!"
Kiok Eng berkacak pinggang dan tiba-tiba ia melihat suaminya muncul di balik sebatang pohon.
Akan tetapi ketika semua menoleh dan kakek itu terkejut mendadak Tan Hong menghilang lagi dan kakek itu beru bah.
Sekejap ia melihat bayangan putih yang lenyap amat cepatnya.
"Kau she Fang?"
Serunya.
"Kalau begi tu kau cucu murid Dewa Mata Keranjang? Wah, Dewa Mata Keranjangpun tak akan sekurang ajar ini bertemu aku. Hayo kau menyerah!"
Kakek itu tiba-tiba berkelebat dan cepat sekali ia mencengkeram dan menyambar nyonya ini.
Kiok Eng kaget dan melempar tubuh namun kalah cepat, masih juga ujung lengan bajunya sobek.
Dan ketika ia.
bergulingan meloncat bangun sementara Beng Li membentak dan menerjang kakek itu maka Kui Yang dan Kang Hupun bergerak cepat.
"Enci Eng, kakek ini berbahaya. Tangkap dan robohkan dia!"
Kiok Eng berubah pucat.
Ia mengeluarkan keringat dingin setelah lolos dari terkaman cepat yang dilakukan kakek itu.
Sedikit terlambat saja ia benarbenar tertangkap.
Maka marah dan melengking nyaring mendadak nyonya ini menerjang dan sepasang tangannya tiba-tiba berobah menjadi Kiamciang (Tangan Pedang), berdesing dan bersiutan.
"Jahanam keparat, kau kakek curang tak tahu malu!"
Sia-tiauw-eng-jin mengelak.
Tiba-tiba ia sudah diserang muda-mudi itu dan juga Beng Li dan suaminya.
Sejenak mereka ini menyambar dan melayang-layang cepat mengepung dirinya.
Akan tetapi karena dengan mudah ia berkelit dan menyampok sana-sini, membalas dan mendorong maka kakek itu menerima hajaran Kiok Eng.
"Plak-plak!"
Wanita itu terpental.
Kiok Eng berseru kaget betapa ia terpelanting dan hampir bergulingan lagi.
Tangan Pedangnya seakan lumpuh, ia tergetar hebat dan hampir menjerit.
Dan ketika ia kaget bukan main namun teman-te mannya sudah mengeroyok dan mengelilingi kakek itu maka Siatiauw-eng-jin marah dan ia membentak muridnya agar mencari dan menemukan tawanan, la akan menghajar sendiri lawan-lawannya ini.
"Tak usah membantu dan pergilah cari tawanan kita. Aku dapat menghadapi anak-anak muda sombong ini agar tahu rasa!" Pemuda itu mengangguk. Ia tadi hendak membantu gurunya namun sang guru mengusir, memang tak perlu gurunya ini dicemaskan dan justeru tawanan itulah yang penting. Maka berkelebat dan meninggalkan gurunya akhirnya pemuda ini tak jadi majw dan kakek itu menghadapi lima orang lawannya dengan amat cepat dan menangkis serta membentak mereka. Hebat akibatnya. Beng Li dan Franky menjerit karena kini kakek itu bersikap bengis. Ia marah oleh hilangnya tawanan sementara perasaannya berdebar tak enak oleh bayangan putih yang hilang tadi. Firasatnya menunjukkan bahwa seseorang menanti nya segera, seorang lawan berat. Maka ketika ia memekik dan menggerakkan kaki tangannya tiba-tiba kakek ini le nyap dan sebagai gantinya dua ujung lengan bajunya menotok dan menghantam orangorang muda itu di mana Beng Li segera roboh sementara suaminya juga mengeluh dan terbanting karena pundak mereka lumpuh dan selanjutnya mereka bengong melihat kakek itu dikeroyok tiga orang teman mereka.
"Plak-plak-dukk!" Kang Hu dan Kui Yang mendesis dan gadis ini malah mengeluh. Mereka mencoba bertahan dari ujung lengan baju kakek itu namun gagal. Kian lama ujung lengan baju itu kian keras saja. Kakek ini menambah sinkangnya. Maka ketika mereka terhuyung namun kakek itu juga kagum bahwa mereka tak roboh dan masih dapat bertahan maka kakek ini bersinar-sinar memandang Kiok Eng dan tibatiba ia ingin menangkap dan menawan wanita ini. Bukankah tawanan dirampas suami wanita itu dan ia harus membalasnya. Maka membentak dan tak perduli Tangan Pedang yang menyambar kembali kakek itu tiba-tiba berkelebat ke arah nyonya ini seraya berseru.
"Kau roboh dan kutangkap baik-baik atau suamimu muncul dan menyerahkan tawanan kembali!"
Nyonya ini terpekik.
Ia sudah menyerang dan membacok kakek itu akan tetapi selalu mental.
Berapa kali ia menahan jari-jarinya begitu sakit.
Maka ketika kakek ini berkelebat di saat dua muda-mudi itu terhuyung, ia terbelalak dan marah maka rambutnya tiba-tiba meledak dan leher kakek ini tahu-tahu terlilit, namun saat itu juga ia tertangkap dan tangan kakek itu mencengkeram sepasang lengan nya.
Padahal ia sedang menyerang dengan Kiam-ciang.
"Plak-bret-plakk!"
Nyonya ini menjerit dan menggerakkan kakinya namun tahu-tahu ia lumpuhKiok Eng menendangkan kaki namun gagal karena cengkeraman kakek itu tahu-tahu melenyapkan semua tenaganya.
Rambut yang melilit dan ditarik juga kehilangan kekuatannya, ia lumpuh dan tak berdaya.
Dan ketika selanjutnya kakek itu menyambar dan menotoknya roboh maka Kui Yang dan Kang Hu dibentak agar tidak menyerang.
"Berhenti, atau aku membunuh wanita ini!"
Dua muda-mudi itu tertegun.
Mereka sedang terhuyung ketika kakek ini membalik dan merobohkan Tan-hujin, semuanya berlangsung cepat.
Maka ketika mereka terbelalak dan hanya dapat bersikap bengong, kemarahan kakek itu bisa berarti bahaya tnaka keduanya berhenti dan saat itulah terdengar jeritan tertahan dan seseorang muncul membawa Siauw-toh.
Pemuda inipun ditangkap dan berada dalam cengkeraman seseorang.
"Suhu!"
Kakek itu terbelalak.
Tiba-tiba ia berubah betapa muridnya menggelantung lemah di tangan seorang pria muda yang gagah tampan.
Pria ini tersenyum-senyum dan itulah bayangan putih yang tadi dilihatnya.
Tan Hong! Dan ketika kakek ini tertegun dan pemuda itu sudah berada di depannya maka pemuda ini membungkuk dan berkata, sikap dan kata-katanya halus.
"Locianpwe tentu tak akan menyusahkan isteriku sebagaimana akupun tak akan menyusahkan muridmu ini. Bagaimana kalau kita tukar-menukar dan setelah itu bicara baik-baik?"
"Hm!"
Kakek ini penasaran, tiba-tiba tertawa dan menyerahkan tawanannya.
"Kalau begitu tentu saja boleh anak muda. Marilah serahkan muridku dan aku menyerahkan wanita ini!"
Tan Hong, pemuda itu tersenyum.
Ia tentu saja menggerakkan lengannya menyerahkan Siauw-toh namun tiba-tiba secara kilat dan tak terduga kakek itu menyerangnya.
Di balik tubuh tawanan kakek ini mencengkeram perutnya, sekali kena bisa terburai.
Serangan itu tersembunyi di balik tubuh isterinya.
Akan tetapi karena gerakan itu dilihat dan refleks kewaspadaannya begitu tinggi, tentu saja iapun tak bodoh mempercayai kakek ini begitu saja maka di bawah tubuh Siauw-toh tiba-tiba iapun menangkis dan mengerahkan sinkang menyambut serangan itu.
"Dukk!"
Dua-duanya tergetar, Sia-tiauw-eng-jin terdorong mundur.
Kakek ini terkejut dan membelalak kan mata dan ia seakan tak percaya oleh pemuda di depannya ini.
Pemuda itu masih tetap tersenyumsenyum akan tetapi serangannya gagal.
Ia terdorong! Maka melotot dan semakin pe nasaran tiba-tiba kakek ini maju lagi dan seruannya yang nyaring disusul gerakan cepat melempar tawanannya.
"Anak muda, kau rupanya tak suka berdekatan dengan aku. Baiklah terima isterimu ini dan serahkan muridku!"
Tan Hong waspada, tetap tersenyum.
Tentu saja ia lega melihat isterinya dikembalikan.
Akan tetapi melihat betapa isterinya meluncur lamban dan amat berat, ia mengerutkan keningnya maka sadarlah dia bahwa kakek itu mengujinya sekali lagi dan tiba-tiba iapun melempar tubuh tawanan melakukan hal yang sama.
Ia mengerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) ke arah kakek itu.
"Locianpwe, terima kasih untuk kebaikanmu. Namun terimalah pula muridmu!" Kakek itu terbelalak, melihat muridnya meluncur namun berat dan lamban pula. Seketika ia sadar bahwa lawan membalas, ia bersinar-sinar. Akan tetapi menangkap dan menerima muridnya ia sudah mengembangkan lengan menyambut muridnya itu, sama seperti lawan yang juga menangkap dan menerima isterinya.
"Bless!"
Kakek ini terkejut ketika telapak kakinya amblas ke tanah ketika menerima muridnya itu.
Ban-kin-kang yang diterima ternyata tak kuat ditahan, muridnya begitu berat hingga seolah sepuluh ribu kati pula, ia berseru keras.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika kakek ini mencabut kakinya dan terbelalak dengan muka berubah maka di sana Tan Hongpun mengalami hal serupa dan kedua kakinyapun amblas ke tanah, dicabut dan kagum memandang kakek itu.
"Kau siapa, maksudku dari mana dan siapa gurumu!"
Sia-tiauw-eng-jin membebaskan totokan muridnya dan tentu saja kakek ini terkejut bukan main.
Bahwa ada seorang pemuda begitu hebat dan mampu menandinginya membuat ia betul-betul kaget.
Baru kali ini hal itu dijumpainya.
Akan tetapi, ketika pemuda itu menjura dan menjawab lembut maka ia merasa lebih heran lagi.
"Aku Tan Hong, murid sekaligus putera ayahku sendiri mendiang Dewa Mata Keranjang.
Karena aku sudah memperkenalkan diri tentu locianpwe tak segan menunjukkan nama dan julukan yang terhormat."
"Kau putera Tan Cing Bhok?"
Kakek itu tak perduli pertanyaan lawan.
"Kau anaknya dan sehebat ini? Tak mungkin, kau bohong!"
Lalu membentak dan berkelebat ke depan tiba-tiba kakek itu menyerang dan kedua jarinya menusuk ke depan dengan amat ganasnya.
"Plak!"
Tan Hong menangkis dan kali ini pemuda itu terhuyung.
Ia tak menyangka si kakek bersungguhsungguh dan tenaganya tadi hebat sekali.
Akan tetapi karena ia tak roboh dan kakek itu semakin penasaran saja maka Sia-tiauw-eng-jin menjadi marah dan kakek ini lenyap berkelebat dan seruan nyaringnya membuat siapapun tergetar.
"Bocah she Tan, barangkali ayahmu sudah menjelma di dalam dirimu. Akan tetapi aku tak percaya dan mari main-main sebentar!"
Tan Hong terkejut dan mengelak akan tetapi lawan mengejar dan berkelebatan cepat.
Tiba-tiba kakek itu menjadi belasan dan kaki tangannya menderu-deru.
Ujung lengan baju meledak pula dan kini benda lemas itu menjadi kaku keras bagaikan toya.
Dan ketika Tan Hong menangkis dan suara keras membuat lengan pemuda itu terpental maka pemuda ini berseru keras dan iapun tiba-tiba berkelebat lenyap.
Serangan kakek itu mulai ber bahaya dan jari atau ujung lengan baju itu menyambar dahi atau kepalanya.
"Locianpwe, kita hanya main-main saja, tak perlu bersungguh-sungguh!"
Teriakan Tan Hong bermaksud mengingatkan akan tetapi kakek itu tak menjawab.
Sia-tiauw-eng-jin semakin penasaran betapa pemuda itu mampu menolak pukulanpukulannya, ditambah tenaganya namun lawan hanya tergetar dan terhuyung, tidak roboh.
Dan ketika pemuda itu juga berkelebat dan mampu mengimbanginya, lenyap beterbangan maka kakek ini membelalakkan mata betapa gerakan pemuda itu tak kalah cepat dengannya.
"Uwah, hebat sekali. Kau melebihi bapakmu!"
Tan Hong tak menjawab.
Kakek itu memuji akan tetapi serangan-serangannya kian cepat dan ganas.
Semakin ia mengimbangi kakek itu semakin menggila.
Dan ketika pertemuan tenaga memaksa pemuda ini mengerahkan sinkangnya, membuat kakek itu tergetar dan terhuyung pula akhirnya kakek ini tergelak berseri dan tiba-tiba memekik.
"Anak muda, kau terimalah ilmu silat Eng-hiapwan-sin-hoatku (Silat Rajawali Penyergap Lutung)!"
Tan Hong terkejut.
Kakek itu mengembangkan kedua lengannya dan menda dak beterbangan bagai seekor rajawali menyambar-nyambar.
Kedua tangan nya di tekuk dengan jari-jari melengkung, mencengkeram dan mematuknya dan dialah lutung yang dijadikan sasarannya.
Dan ketika semua ini masih ditambah dengan kedua kaki yang mencuat menarinari, cepat dan luar biasa maka kakek ini seakan dua pasang rajawali ketika ujung bajunya berkibar pula dan kini mengelepak dan menyerangnya pula bagai sayap yang hidup.
"Plak-plak-plak!"
Tan Hong mengerahkan Kiam-ciangnya dan kakek ini terkejut.
Lain sang isteri lain pula sang suami.
Tangan Pedang pemuda itu begitu hebatnya, mendesing dan membacok lengan bajunya hingga terpental.
Kalau ia tak mengerahkan sinkangnya tentu baju kakek itu robek-robek, bahkan mungkin putus terbabat.
Akan tetapi ketika kakek ini semakin gembira sementara Tan Hong semakin khawatir, kakek ini terkekeh tergelak-gelak maka kakek itu kian mempercepat gerakannya dan juga tenaganya.
"Kau membuat gairahku menggebu-gebu. Kau lawan tanding yang menggembirakan dan mengheran kan. Ha-ha, kau tak usah banyak bicara membujuk aku, anak muda. Ketahuilah bahwa inilah kesempatanku membalas ayahmu yang dulu memalukan aku. Hayo layani aku dan jangan berteriak-teriak seperti perempuan bawel!"
Tan Hong melindungi diri dengan Kiam-ciang dan juga ginkangnya.
Ia terpaksa mengeluarkan Sinbian-ginkang yang hebat itu, ilmu meringankan tubuh Kapas Sakti dan kakek itu terkekeh-kekeh.
Tentu saja Sia-tiauw-eng-jin mengenal ini.
Dan ketika pemuda itu berkelebatan cepat di antara bayang-bayang si kakek, Sia-tiauw-eng-jin lupa diri akhirnya kakek ini mengerotokkan buku-buku jarinya dan ia mulai mengerahkan Hoakut-ciang (Tangan Penghancur Tulang).
"Suhu, ingat akan tawanan dan robohkan lawan mu itu. Ia masih menyembunyikan milik kita!" "Benar, pertandingan ini sekaligus taruhan kita. Kau harus mengembalikan tawanan dan menyerahkan nya baik-baik kalau kau roboh, anak muda, sekaligus pengakuan ayahmu kalau aku menang. Hayo tandingi aku dan lihat aku bersungguh-sungguh... dess!"
Jari kakek itu mencengkeram luput dan sebagai gantinya batang pohon di belakang Tan Hong hancur.
Pemuda ini terkejut dan berkelit dan tentu saja semakin khawatir.
Kakek ini sudah lupa diri.
Dan ketika serangan kakek itu semakin ganas dan Hoakut-ciang menyelinap di antara ilmu silat Eng-hiap-wan-sin-hoat maka pemuda itu mengerahkan Pek-in-kang dan mainkan Im-bian-kun (Silat Kapas Dingin) untuk menahan atau menandingi kakek ini.
Akibatnya kakek itu tak tertawa-tawa lagi.
Imbian-kun membuat pemuda itu bergerak amat lemas dan perlahan-lahan hawa dingin menyelimuti lawan nya.
Semacam kabut muncul.
Dan ketika Hoakut-ciang didorong Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih) maka kakek ini melotot betapa ia tak dapat mendesak dan menekan lawannya ini.
Sinkang pemuda itu amat kuat dan tak kalah dengan mendiang Dewa Mata Keranjang sendiri.
Berarti tak kalah dengan dirinya yang sudah berlatih puluhan tahun! "Keparat!"
Kakek ini gusar.
"Kau hebat, anak muda, akan tetapi kau tak dapat mengalahkan aku!"
"Harap locianpwe ingat!"
Pemuda itu berseru.
"Kita hanya main-main saja dan tak perlu kelewat batas. Aku siap mengalah dan mengaku kalah jika locianpwe ha nya menginginkan kemenangan!"
"Apa, mengalah dan memberiku kemenangan kosong? Jangan menghina si tua bangka ini. Aku akan merobohkanmu dan mengalahkanmu, anak muda. Kau mewakili ayahmu dan aku boleh tak perduli la gi akan tawanan. Aku tak ingin main-main lagi, terimalah... dess!"
Tan Hong menangkap dan menerima pukulan Hoakut-ciang dan kakek ini mengerahkan segenap tenaganya.
Gajahpun akan remuk diremas kakek ini, jari-jari itu seperti besi dan panas pula.
Akan tetapi ketika Pek-in-kang menyambut dan hawa dingin menyusup, cengkeraman panas itu bertemu hawa dingin maka kakek ini tak mampu membakar dan sejenak keduanya dorong-mendorong, tertolak dan sama-sama melempar tubuh bergulingan membuang tenaga lawan yang besar.
Sia-tiauw-eng-jin menjadi merah dan kakek ini marah sekali.
Baru kali ini ia bertemu tanding seorang lawan muda yang pantas menjadi cucunya.
Apakah Dewa Mata Keranjang sudah sesakti itu, puteranya demikian hebat.
Maka ketika ia menyerang dan membentak lagi, Siauw-toh berteriak di luar arena maka kakek itu membentak agar muridnya diam.
Kini semua menonton dan Kiok Engpun berseru agar suaminya tak perlu mengalah.
Kakek itu harus ditangkap dan dibawa ke kota raja.
"Kau tak perlu membujuk dan bersikap lemah lagi. Hajar dan robohkan kakek itu, Hong-ko. Kami di sini akan meringkus muridnya!"
Siauw-toh terbelalak.
Tiba-tiba benar saja wanita berpakaian hitam-hitam itu melompat, sikapnya mengancam dan ia tentu saja terkejut.
Dan ketika Beng Ll wanita berpakaian merah itu juga berkelebat dan mengurungnya maka wanita yang marah oleh hajaran gurunya tadi berseru.
"Enci Eng, bocah ini memang harus di ringkus. Semalam ia telah mengacau Ang bi-to dan tak perlu diampuni lagi. Mari tangkap dan robohkan dia!"
Pemuda itu mengelak ketika dua wanita ini tibatiba menyerang dan menotoknya.
Kiok Eng lebih dulu dan Beng Li menyusul.
Akan tetapi ketika terdengar seruan Tan Hong agar jangan mengganggu pemuda itu maka dua wanita ini tertegun namun Beng Li berkelebat lagi.
"Ia tak akan kupaksa kalau siap menyerah baikbaik. Kalau kau ingin mundur biarlah aku sendiri, enci Eng. Aku akan membalas kesombongannya dan masih ada suamiku di sana!"
Kiok Eng ragu, mundur mengerutkan kening, berpikir bahwa tak ada salahnya menuruti kata-kata Tan Hong karena tawanan telah mereka rampas.
Akan tetapi ketika Beng Li terpental dan berteriak bertemu pemuda itu maka ia siap meloncat ketika tiba-tiba Franky bergerak.
"Biar kubantu isteriku dan kutangkap pemuda ini!"
Kiok Eng tak jadi maju.
Ipar dan adik nya sudah menerjang dan Franky merftper gunakan pukulanpukulan Liang-san.
Sebagai mantu atau keluarga besar Dewa Mata Keranjang maki tentu saja pemuda ini cukup lihai.
Akan tetapi karena Siauw-toh adalah murid Sia-tiauw-eng-jin dan kakek ini tak khawatir muridnya dikeroyok maka benar saja muridnya mampu menolak atau menghalau suami isteri mu da itu, membuat Kang Hu terutama Kui Yang gatal tangan.
"Biar kalian minggir dan kuhadapi dia.
Bocah ini bagianku!"
Kang Hu mengerutkan kening.
Sesungguhnya dia tertarik oleh pertandingan cepat kakek itu dan putera Dewa Mata Keranjang.
Diam-diam ia merasa kagum dan kecil.
Dibanding pendekar Liang-san itu rasanya ia masih jauh.
Akan tetapi melihat Kui Yang menerjang Siauw-toh dan suami isteri itu disuruh mundur maka ia berseru mendukung temannya.
"Benar, sebaiknya kalian serahkan pemuda itu kepada Kui Yang. Biar dia yang melayani dan merobohkannya!"
"Jangan sombong!"
Siauw-toh membentak.
"Kui Yang tak mungkin dapat mengalahkan aku, Kang Hu, dan kaupun boleh maju kalau mau. Ayo kalian berdua maju dan jangan berlagak alim. Kalian juga sudah mengeroyok suhuku!"
"Tak perlu banyak mulut dan lihatlah serangan ku. Kau dari dulu selalu bermusuhan dengan aku, Unta Kecil. Kalau kau dapat mengalahkan aku barulah Kang Hu maju. Terimalah... plak-plak!"
Gadis itu menampar lawannya dan Siauw-toh meng elak serta menangkis.
Dari dulu memang keduanya bermusuhan.
Akan tetapi ketika pemuda itu mengerahkan sinkangnya dan dapat menetapkan hati, ia tak mabok lagi seperti tadi maka Siauw-toh membalas dan selanjutnya dua orang ini bertanding.
Kui Yang terpental dan berjungkir balik ke belakang.
Kini terjadi dua pertandingan di situ.
Sia-tiauweng-jin terbelalak sejenak ke arah muridnya akan tetapi selanjutnya tertawa dingin.
Ia percaya muridnya dapat mengatasi gadis itu dan kembali memperhati kan lawannya lagi.
Kian lama hatinya kian panas.
Pemuda ini amat lihai dan tak dapat juga dirobohkan.
Maka memekik dan menyambar-nyambar lagi bagai seekor rajawali mulailah kakek ini menggunakan pengalamannya yang sudah puluhan tahun, menjentik dan mencengke ram dan gerak kakinya berubah-ubah amat cepat dengan tendangan dan sapuan berbahaya.
Tak jarang ia mengepret dan melakukan tamparantamparan sinkang, menyambar dan bercuitan menyerang pemuda itu.
Namun karena Tan Hong telah mainkan Im-bian-kun dan mempergunakan Pekin-kangnya untuk menolak atau mendorong, beterbangan pula dengan Sin-bian ginkangnya yang hebat itu maka lawan di buat geram betapa tak satupun juga berhasil merobohkannya.
Ia dan kakek itu sama-sama terpental dan sinkang atau tenaga sakti mereka tak jauh berbeda, bahkan Tan Hong sedikit lebih unggul dalam hal napas.
Menang muda.
Kakek ini mulai terbakar.
Hoakut-ciang bertemu Pek-in-kang dan harus diakui bahwa ia tak dapat berbuat banyak dengan ilmunya ini.
Sekali pemuda itu ke na tangkap akan tetapi lengan lawan tiba-tiba seperti kapas, empuk dan tak dapat diremuk.
Dan karena semua itu sia-sia dan ia penasaran sekali akhirnya kakek ini mengeluarkan bentakan dan tibatiba dari dalam gulungan lengan bajunya menyambarlah panah-panah kecil ke kepala sampai kaki Tan Hong.
"Awas, anak simpananku!"
Muda.
Aku mengeluarkan Tan Hong terkejut.
Dari dalam gulungan lengan baju menyambar anak-anak panah yang amat cepat.
Bersamaan itu kakek inipun mencabut sebatang anak panah berkilauan dari balik punggungnya, sebatang panah emas.
Dan ketika dengan senjata itu kakek ini bicara, tangan kirinya menderu dengan Hoakut-ciang maka dari balik lengan baju masih terus berhamburan panah-panah gelap sebagai pendamping.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cit-cit-cit!" Tan Hong mengebut. Ia menangkis dan meruntuhkan semua anak-anak panah yang berbahaya akan tetapi membiarkan yang menuju dada atau bagian tubuhnya yang lain, mengerahkan sinkang dan membuat anak-anak panah itu runtuh. Sang kakek kagum. Akan tetapi ketika panah emas di tangan kakek itu menyambar dan ia terkejut oleh sinar menyilaukan, mengira ke bawah akan tetapi menyambar ke atas maka pemuda ini berseru me nangkis dan cepat sekali lengan bajunya berkibar.
"Plak!"
"Heh-heh!"
Sia-tiauw-eng-jin tertawa, lawan terhuyung dan berubah.
"Kali ini tak mungkin kau bertahan, anak muda, pergunakan senjatamu dan cabut sebelum roboh!"
Tan Hong memang berubah.
Dari ujung anak panah emas itu ada getaran gaib yang membuat ia seperti tersengat.
Ada semacam tenaga listrik di batang anak panah itu.
Maka ketika ia terbelalak dan tak tahu inilah Po-sia-kim (Panah Emas Sakti) yang ampuh milik Sia-tiauw-eng-jin maka kakek itu tertawa menyerangnya lagi, mulut mulai berkemak-kemik dan aneh sekali tubuh kakek ini mulai menyatu dengan panah emasnya yang amat hidup, cahayanya kian menyilaukan hingga kakek itu terbungkus warna emas dan keadaan ini tentu saja berbahaya bagi pemuda itu.
Tan Hong tak mampu lagi melihat lawannya di mana, terbungkus cahaya terang-benderang! "Ha-ha, sekarang kau berhadapan dengan Pemanah Rajawali yang sakti.
Aku akan merobohkan mu, anak muda, aku akan mengalahkanmu.
Dewa Mata Keranjang maupun keturunannya tak dapat mengalahkan aku!"
Pemuda itu benar-benar terkejut ketika kakek yang terbungkus warna terang ini menyerangnya dari mana-mana.
Panah emas itu semakin berkilauan sementara panah-panah tangan berhamburan.
Sungguh ia sibuk.
Dan ketika apa boleh buat pemuda ini mencabut tongkatnya, senjata yang jarang dikeluarkan maka ia tertawa dan tawanya membuat kakek itu heran.
Pemuda ini seakan bercanda dan bahkan memujinya.
"Locianpwe, ilmu panahmu hebat sekali, pantas kalau kau mendapat julukan Sia-tiauw-eng-jin, aku kewalahan dan harus mengakui kelihaianmu. Panah emasmu gilang-gemilang!"
Manusia mana tak akan senang oleh pujian.
Kakek ini juga begitu dan ia tertawa bergelak oleh seruan pemuda itu.
Ia mendesak dan membuat pemuda ini keteter.
Akan tetapi ketika dari celah-celah cahaya emasnya mencuat sinar hitam yang amat cepatnya, menusuk dan hampir mengenai tenggorokannya maka kakek ini kaget melempar kepala.
"Heii!"
Tan Hong menarik senjatanya dan pemuda ini tertawa-tawa lagi memuji lawannya.
Tubuhnya mulai melenggak-lenggok dan kakek itu kian heran, kini pemuda itu bahkan memukul kepalanya sendiri dengan batang tongkat.
Akan tetapi ketika dari pentalan itu senjatanya ini menyambarnya lagi, kian cepat oleh tenaga pukulan maka Sia-tiauw-eng-jin nyaris terhajar pundaknya kalau tidak mengelak dan melempar tubuh bergulingan.
"Gila, kau menipuku. Ilmu silatmu tidak waras dan tentu ini warisan bapakmu yang miring itu!"
Tan Hong tertawa-tawa, tak menjawab.
Ia mengayun-ayun tongkatnya lagi dan menyerang sanasini, bukan hanya kakek itu akan tetapi tanah dan pohon-pohon yang lain, juga batu atau apa saja yang membuat ia seperti tidak waras.
Akan tetapi ketika di balik semua itu senjatanya mencuat dan menyambar kakek ini, sungguh di saat-saat tak terduga maka sadarlah Sia-tiauw-eng-jin bahwa ia sesungguhnya menghadapi ilmu tongkat luar biasa yang belum pernah dilihatnya.
Dewa Mata Keranjang rupanya menciptakan ilmu aneh yang dulu tak pernah diketahui nya.
"Keparat,"
Kakek ini memaki-maki.
"Apa yang kaupergunakan ini, anak muda, ilmu silat apa yang diciptakan bapakmu itu. Ini seperti ilmu silat pemabok tapi lebih berbahaya lagi!"
Tan Hong tak menjawab, masih juga menyerang dan tertawa-tawa.
Ia mengeluarkan silat tongkat yang disebut Hau-li-sin-tung-hoat (Merayu Dewi), yakni silat ciptaan ayahnya yang berkesan ugal-ugalan, memukul dan tidak hanya menyerang lawan akan tetapi juga benda-benda lain dan bahkan diri sendiri.
Lenggak-lenggok itu hanya tipuan karena setiap kali tongkat terpental maka pentalan inilah yang menyambar lawan, meneruskan gerakan dan sesungguhnya merupakan susulan jurus berbahaya yang tak dapat diikuti lawan, sulit dibaca.
Maka ketika ia mainkan itu dan inilah peninggalan ayahnya yang jarang digunakan, sebenarnya dia enggan karena ilmu silat itu harus dimainkan seperti orang tidak waras maka Tan Hong kini mempergunakannya karena semata tak ingin kakek itu merendahkan nama ayahnya.
Betapapun ia mulai terke jut dan penasaran ketika kakek ini mengeluarkan ilmu panahnya dan panah emas itu mengandung sesuatu yang gaib.
Tentu diisi dengan tapa dan rapal-rapal mantra ketika dilihatnya pula kakek ini berkemak-kemik.
Benar saja, lawan mulai mencak-mencak.
Karena tak tahu dan belum mengenal baik ilmu tongkat itu maka kakek ini kebingungan.
Sambil mainkan tongkat pemuda itu memuji-mujinya, padahal dialah yang seharusnya memuji ilmu silat tongkat itu dan mengakui bahwa Dewa Mata Keranjang memang bukan manusia sembarangan.
Kini ia menghadapi keturun annya dan semua serangan pemuda itu amatlah berbahaya.
Siapa menyangka ketika memukul diri sendiri mendadak tongkat itu menyambar dan menyerangnya.
Kalau ia tidak waspada dan cepat menangkis tentu dialah yang kena kemplang.
Maka memaki dan berkelebatan bingung akhirnya kakek ini kacau mainkan ilmu panahnya dan iapun segera mengamati atau mencari kelemahan silat tongkat itu.
Namun tak mudah bagi kakek ini menemukan rahasianya.
Tan Hong sendiri ha nya bersifat melindungi diri dan mengurangi tekanan apabila kakek itu melompat mundur, tak menyerangnya.
Dan kare na masing-masing pihak jadi mengendor dan Siatiauw-eng-jin membelalakkan mata maka pertandingan antara Kui Yang dan Siauw-toh mencapai puncaknya.
Seperti gurunya akhirnya pemuda ini mainkan Eng-hiap-wan-sin-hoatnya.
Ilmu silat Rajawali Menyergap Lutung ini dihadapi Kui Yang dengan baik dan gadis itu menyambar-nyambar pula dengan Sinho-coan-innya.
Ia menang cepat akan tetapi lawan menang tenaga, gadis itu pe nasaran.
Dan ketika ia mencabut busurnya dan menyerang dengan gagang busur, tangan kiri mencabut anak panah maka Siauwtoh melakukan hal yang sama dan terjadi hal menarik di antara dua orang muda ini, yakni gerak dan gaya mereka hampir sama meskipun Siauw-toh mengganti anak panah di tangan kiri dengan cengkeramancengkeraman Hoakut-ciang yang amat dahsyat.
Dua orang itu bertanding sambil memaki-maki.
Kui Yang mempercepat gerak annya akan tetapi lawan memperberat dengan tangkisan-tangkisan kuat.
Tangan kiri pemuda itu mampu membuat anak panah terpental, bahkan bengkok.
Dan ketika gadis itu menjadi marah dan mainkan gendewa lebih hebat maka busur di tangan pemuda itu digerakkan semakin cepat dan selalu mengimbanginya.
"Trak-trakk!"
Kui Yang selalu terhuyung akan tetapi gadis ini meloncat dan menyerang lagi.
Ia membentak dan mengerahkan ginkangnya dan Siauw-toh men jadi silau oleh bayangan gadis itu.
Demikian cepat Kui Yang bergerak.
Akan tetapi karena ia memiliki pertahanan kokoh dan tenaganyapun lebih besar, berkali-kali gadis itu terpental akhirnya pemuda ini melakukan gerak tipu yang disebut Rajawali Sembunyikan Ekor.
Begitu gadis ini terpental lagi mendadak ia menggelinding ke bawah dan ujung busurnya tiba-tiba menyodok paha.
Kui Yang menjerit dan memaki-maki.
Ia baru saja terhuyung ketika pemuda ini membanting tubuh bergulingan.
Tentu saja ia terkejut dan marah oleh serangan itu.
Siauw-toh berkesan kurang ajar.
Dan ketika ia menangkis namun terpental, ke dudukanpun goyah tiba-tiba pemuda itu tertawa dan sebatang panah kecil menyambar perutnya, panah bermata tumpul akan tetapi bakal membuat ia roboh karena itulah senjata penotok yang cukup ampuh.
"Tuk!" Kui Yang terpelanting dan benar saja gadis ini roboh. Ia sendiri memegang panah tangan akan tetapi bengkok. Dan ketika pemuda itu menyambarnya dan hendak memondongnya maka Siauw-toh ganti terkejut karena tiba-tiba sebuah tendangan mencuat dari gadis itu mengenai perutnya telak.
"Dess!"
Pemuda ini menjerit dan terbanting dan ia lupa bahwa gadis itu dapat memindahkan jalan darah.
I-kiong-hoan-hiat yang dipergunakan Kui Yang te pat sekali.
Ia memang roboh oleh panah tumpul akan tetapi jalan darahnya telah bergeser.
Hanya rasa sakit yang membuat gadis itu marah.
Maka begitu lawan menubruknya dan menyangka ia lumpuh, di saat itulah kakinya bekerja maka pemuda ini terlempar dan kebetulan sekali jatuh di dekat gurunya.
"Bluk!"
Sia-tiauw-eng-jin melotot dan saat itu terdengar teriakan anak kecil.
Semua tiba-tiba terkejut tapi Tanhujin berkelebat.
Itulah jeritan Cit Kong yang dikenal.
Dan ketika Tan Hong juga terkejut dan menyambar ke belakang, menyusul dan melampaui isterinya maka seseorang mencengkeram anak itu dan Cit Kong meronta serta melepaskan diri.
"Duk!" Tan Hong menyambar orang ini dan keluhan tertahan terdengar dari mulut orang itu. Ia seorang laki-laki tinggi kurus akan tetapi wajah dan kepalanya tertutup topeng, Tan Hong membentak dan mengejut kan orang itu. Dan ketika Cit Kong terlepas dan bergulingan menjauh, ia menuding namun sesak napas mendadak anak itu terguling dan Kiok Eng menyusul tiba sementara laki-laki aneh itu melarikan diri.
"Cit Kong menunjuk arah tawanan. Celaka, apa yang terjadi!"
Tan Hong ber kelebat setelah isterinya menyambar puteranya dan tak perduli kepada laki-laki bertopeng itu.
Akan tetapi ketika ia tiba di sana dan tak melihat sesuatu, bahkan isterinya berseru kaget maka terlihatlah dua orang memanggul tawanan, berlari cepat dan masuk hutan.
"Ah, itu tawanan. Ada dua orang!"
Bukan hanya pendekar ini yang terkejut melainkan Sia-tiauw-eng-jin dan lain-lain.
Kakek itupun menyambar sambil me narik muridnya.
Ia membentak Tan Hong mengira pemuda itu meninggal kan pertempuran.
Akan tetapi ketika didengarnya seruan nyonya itu dan betapa dua orang melarikan diri di kiri kanan hutan, masing-masing membawa seorang kulit putih yang diduga tawanan maka kakek itu ber seru keras dan mendadak ia terbang mengejar! Kakek ini melupakan Tan Hong dan sekonyong-konyong marah sekali teringat tawanan.
"Heii, siapa kau dan kembalikan orang itu. Ia tawananku!"
Orang itu tak berhenti.
Ia berkelebat di kiri hutan sementara yang lain masuk dan hilang di sebelah kanan.
Yang dikejar kakek ini yang sebelah kiri.
Maka ke tika ia dibentak dan justeru mempercepat larinya, kakek itu meluncur tapi kaget lawannya memiliki ginkang yang amat luar biasa maka laki-laki ini hilang dan sekejap kakek itu tertegun bingung.
Ia mengejar orang kedua yang tadi dituding Tan-hujin.
"Kita kejar yang sebelah kanan dan kalian yang lain menyusul kakek itu!"
Tan Hong tiba-tiba berseru dan pendekar ini menyambar isteri dan anaknya. Begitu cepat ia bergerak hingga pendekar ini tahutahu lenyap. Dan ketika yang lain terkejut dan terhenyak di situ maka Beng Li berseru pada Kang Hu dan Kui Yang. (Bersambung
Jilid 19) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XIX *** "SUSUL dan jangan biarkan kakek itu sendiri. Siapa tahu tawanan asli ada di sana!"
Kang Hu berdua terkejut.
Tiba-tiba nyonya itu melompat dan terbang ke arah kiri hutan, disusul suaminya pemuda tinggi besar kulit putih itu.
Dan ketika sejenak mereka ragu-ragu dan saling pandang, Kang Hu mengangguk maka pemuda ini pun berkelebat mengejar.
"Benar, susul dan jangan biarkan kakek itu sendiri. Kalau tawanan asli ada di sana tentu kita harus merebutnya, Kui Yang. Biarkan Tan-siauwhiap mengejar di sebelah kanan sementara kita sebelah kiri!"
Tak ada lain jalan bagi gadis ini untuk bergerak dan mengejar.
Di sana Sia-tiauw-eng-jin telah lenyap.
Maka memben tak dan berseru keras iapun terbang dan menyusul.
Akan tetapi hutan tiba-tiba menjadi gelap.
Bersamaan orang-orang itu masuk ke sana maka udara pekat menyambut.
Beng Li dan Franky berteriak lalu mundur.
Hawa busuk menyerang pula.
Dan ke tika dua muda-mudi itu berkelebat dan berada di samping mereka maka mereka berseru agar pasangan itu berhati-hati.
Kang Hu juga terkejut betapa ia tiba-tiba tak dapat melihat ke depan.
Hutan gelap gulita.
"Awas, ilmu hitam rupanya menyerang kita!"
Kui Yang juga terkejut.
Gadis ini ber henti dan menjadi marah ketika udara pe kat menyelimuti isi hutan.
Ada orang main-main dengan mereka, ilmu hitam.
Akan tetapi ketika ia mencabut busurnya dan membentak sambil menerjang maju maka cahaya busur memancar ke empat penjuru.
"Aku tak perduli dan barangkali kakek ini main gila. Biar kuterjang dan siapa takut!"
Kang Hu berteriak kaget.
Temannya itu sudah masuk ke dalam dan lenyap dibungkus kabut hitam.
Hanya samar-samar tampak cahaya busur di tangan Kui Yang.
Maka berkelebat dan mencabut busurnya pula tiba-tiba pemuda ini menyusul temannya dengan khawatir, sebatang anak panah dilepas dan mendesing serta meledak di dalam.
Bunga api berpijar dan saat itu tampaklah Kui Yang menerobos te ngah hutan.
"Kui Yang, tunggu!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang kaget dan bingung adalah suami isteri ini.
Pancaran terang dari busur dan anak panah hanya sekejap saja, setelah itu hutan pun gelap kembali.
Maka ketika Beng Li hendak melompat namun dicekal suaminya, pemuda ini cemas maka Franky mengajak isterinya memutari hutan.
"Jangan masuk dan membahayakan diri sendiri. Mari kejar dengan jalan memutari hutan!"
Wanita itu mengangguk.
Akhirnya ia sadar dan membiarkan dirinya dicengkeram.
Tiba-tiba wanita ini maklum bahwa kepandaiannya masih di bawah anakanak muda itu.
Harus diakui bahwa Kui Yang dan Kang Hu adalah muda-mudi yang hebat.
Maka memutari hutan sambil mengutuk caci akhirnya iapun menyusuri tepian hutan namun anehnya seluruh hutan sudah menjadi gelap.
Begitu gelap hingga mataharipun tak tampak lagi.
Dan ketika tiba-tiba hawa dingin menggigit tulang di susul harum dupa yang amat aneh, mereka tiba-tiba mengantuk maka suami isteri ini roboh den selanjutnya mereka tak tahu apa yang terjadi karena saat itu ke duanya pingsan oleh semacam asap bius bercampur hawa sihir! Kiok Eng menggigil memegang lengan Tan Hong yang berdiri mematung di hutan sebelah kiri.
Sama seperti yang dialami Kang Hu maupun Kui Yang maka hutan tiba-tiba menjadi gelap.
Mula-mula tampak kabut tipis yang kian lama kian menebal.
Dan ketika mereka tertegun o-leh bau aneh seperti dupa selaksa bunga, Tan Hong mengerutkan kening mendadak isterinya terhuyung dan Cit Kong yang di panggul ibunya tiba-tiba mendengkur dan sudah pulas.
"Ah, Ban-hwa-sin-hoat-sut!"
Tan Hong menampar tengkuk isterinya dan Kiok Eng yang terhuyung dan hampir roboh tiba-tiba terkejut.
Wanita itu diserang kantuk hebat dan nyaris saja terguling.
Ia tak sempat berpikir panjang ketika tibatiba sebuah hawa sihir menyerangnya.
Akan tetapi ketika ia sadar dan Tan Hong menampar tengkuknya tadi maka wanita ini berubah dan melihat betapa puteranya begitu pulas.
Cit Kong tak sadar lagi dan benar-benar dicengkeram asap bius bercampur sihir.
"Kita diserang Ban-hwa-sin-hoat-sut (Sihir Selaksa Bunga). Buka mata lebar-lebar dan tutup semua jalan darah, Eng-moi. Aku hendak bernapas dengan kulit dan telan obat ini!"
"Ban-hwa-sin-hoat-sut? Kita diserang sihir atau ilmu hitam?"
"Bukan sekedar sihir akan tetapi juga asap biusTelan obat itu dan tetap buka mata lebar-lebar. Aku akan masuk dan melihat orang itu!"
Tan Hong tak menjawab isterinya lagi dan tiba-tiba pemuda ini mengempos semangat dalam-dalam.
Tiba-tiba kulitnya menggelembung dan sesuatu yang aneh terjadi.
Kulit tubuhnya bergerak-gerak.
Dan ketika ia tak bernapas lagi dengan hidung melainkan dengan kulitnya, seluruh pori-porinya terbuka dan kembangkempis maka Kiok Eng membelalakkan mata akan tetapi suaminya berkelebat dan tiba-tiba membawa nya masuk ke dalam.
"Gelap!"
Teriakan nyonya ini terhenti ketika ia berbangkis dan berseru kaget.
Suaminya melompat begitu saja sementara di dalam ada pohon-pohon dan apa saja.
Sekali menabrak tentu mereka terjimg kal.
Akan tetapi ketika tak terjadi apa-apa dan mereka terus masuk ke dalam maka wanita ini pasrah dan akhirnya me nyerahkan segalanya kepada pemuda itu.
Diam-diam kekaguman menjadi begitu besar di hati nya.
Tan Hong memang pemuda yang sudah berbeda jauh dengan enam atau tujuh tahun lalu.
Sejak ia bertapa dan menemukan "jati-dirinya"
Maka pemuda ini mendapatkan kesaktian-kesaktian yang hebat.
Ia misalnya telah dapat menandingi Sia-tiauweng-jin yang luar biasa itu atau seperti sekarang telah bernapas dengan cara seperti ikan, melalui kulit.
Tentu saja semua ini membuat sang isteri kagum selain menemukan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru tentang hidup.
Maka ketika pemuda itu bergerak dan terus memasuki awan gelap di seluruh penjuru hutan, semuanya benar-benar amat pekat hingga Kiok Eng sendiri tak mampu melihat apa-apa sebaliknya pemuda ini begitu tajam dan awas pandangan.
Ia bahkan memperlihatkan sesuatu di sepasang matanya yang mencorong itu, mata yang menyala terang tiada ubahnya sepasang baterai di tengah malam gelap gulita! Akan tetapi pemuda ini tiba-tiba terkejut.
Di pusat kekuatan di mana Ban-hwa-sin-hoat-sut bekerja semakin kuat mendadak ia mendengar suara orang bertempur.
Bentakan dan caci-maki hiruk-pikuk.
Pohon-pohon besar tiba-tiba roboh.
Dan ketika awan gulita terhempas oleh angin raksasa yang amat kuat, yang mem buat ia terdorong dan hampir saja terlem par maka di tengah hutan, di pusat Ban-hwa-sin-hoatsut tampaklah dua bayangan menyambar-nyambar disusul kilatan atau ledakan api.
Sia-tiauw-eng-jin ternyata sudah di situ.
"Keparat, buka dan lepaskan topeng burukmu itu. Aku tak ingin membunuh lawan yang tak kuketahui siapa, tikus busuk. Ayo perlihatkan dirimu atau nanti mampus... des-dess!"
Dua pukulan beradu sama kuat dan kakek beserta lawannya itu terpental.
Pohon di kiri kanan mereka bertumbangan dan kakek itu memaki-maki.
Hanya di tempat inilah awan gelap membuyar hingga Tan Hong melihat jelas, begitu juga Kiok Eng.
Seorang laki-laki berkedok berhadapan dengan kakek itu.
Akan tetapi ketika keduanya me loncat bangun dan laki-laki bertopeng ter tawa dingin maka ia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan tiba-tiba menoleh ke arah Tan Hong.
"Sia-tiauw-eng-jin, pertandingan ini rasanya cukup. Lihat pemuda itu datang dan dialah musuhmu sesungguhnya!"
Kakek ini terbelalak, kaget.
Jelas ia kagum betapa pemuda itu mampu memasuki hutan tanpa terpengaruh asap bius atau sihir.
Bahkan pemuda itu bernapas dengan kulitnya.
Akan tetapi karena lawan merampas dan menyembunyikan tawanan, dia membentak lagi maka diterjangnya laki-laki bertopeng itu dengan ke marahan
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Pedang Inti Es Karya Okt