Pertarungan Gunung Tengkorak 1
Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Bagian 1
PERTARUNGAN DI GUNUNG TENGKORAK oleh Fahri A.
Cetakan pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta Hak cipta dilindungi undang-undang Dila-rang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Di ujung selatan pulau Jawa, ada sederetan pe-gunungan.
Jumlahnya amat banyak.
Dan di antara pegunungan itu, ada sebuah gunung yang teramat sunyi.
Yang tak pernah dijamah oleh manusia.
Gunung itu angker dan menyeramkan.
Sekilas bila dipandang dari kejauhan, nampak mirip seperti tengkorak.
Sehingga orang-orang menamakan gunung itu, Gunung Tengkorak.
Namun sejauh ini, belum ada seorang pun yang terdengar berani tinggal dan menempati gunung itu.
Karena mereka yakin akan keangkeran Gunung Teng-korak.
Tetapi ada tiga orang pemuda desa yang tidak percaya akan keangkeran Gunung Tengkorak.
Mereka dengan pongah dan sombongnya berkata hendak ting-gal di sana "Kalian sungguh-sungguh?"
Tanya kepala desa di suatu pagi ketika ketiga pemuda itu tengah bersiap untuk pergi dan tinggal di Gunung Tengkorak "Jangan kuatir, Ki Lurah,"
Kata yang bertubuh besar dengan kumis melintang. Kalau diperhatikan dengan seksama dia berwajah tampan. Namun bila di-perhatikan sekilas nampak seperti pemuda beranda-lan. Pemuda itu bernama Baskoro, usianya kira-kira 24 tahun.
"Kami tidak percaya dengan keangkeran Gunung Tengkorak."
"Jangan terlalu sombong, Baskoro. Kau masih muda. Belum banyak memakan asam garam kehidu-pan,"
Kata Ki Lurah Sangsoko terus memperingatkan.
"Tetapi kalau asam dan garam dapur, aku ser-ing melakukannya, Ki Lurah!"
Balas Baskoro dengan nada mengejek, sambil tertawa.
Kata-katanya disambut tawa pula oleh kedua temannya.
Suseno dan Randumoko.
Suseno bertubuh besar pula, mirip dengan Baskoro.
Tetapi ia tidak memiliki kumis setebal Baskoro.
Usia Suseno pun kira-kira sama dengan Baskoro.
Sedangkan Randumoko seorang pemuda yang bertubuh kurus.
Wajahnya tirus cekung dengan kedua mata yang seakan mengantuk.
Dari bentuk dagunya yang lancip, menandakan dia seorang laki-laki yang li-cik.
Randumoko berusia lebih tua dua tahun daripada kedua temannya.
Sebenarnya Ki Lurah Sangsoko tidak heran dengan sikap pongah dan sombong ketiga pemuda itu.
Mereka memang terkenal sebagai tukang ribut di desa.
Kerja mereka hanya berkelahi, mabuk-mabukan dan mencuri kecil-kecilan.
Tentunya dengan kenekatan mereka untuk per-gi dan menetap di Gunung Tengkorak, bukannya un-tuk menyelidiki keadaan Gunung Tengkorak, tetapi agar dibilang jago dan digjaya.
Cuma Ki Lurah Sangsoko amat menyayangkan ketergesaan mereka.
Karena sebenarnya Ki Lurah Sangsoko telah mendengar kabar, kalau Gunung Tengkorak didiami oleh setan yang amat jahat! Ketika dia memberitahu hal itu kepada tiga pe-muda tadi, mereka hanya tertawa.
"Biarpun seribu setan jahat akan menghadang dan mengganggu kami, akan kami ganyang mereka!"
Ujar Baskoro sambil menepuk dada. Di pinggangnya terselip sebatang golok besar.
"Kalau perlu, kami akan menangkapnya,"
Lanjut Suseno.
"Atau... bila setannya setan perempuan, kami akan menidurinya dengan kehangatan yang luar bi-asa... hahaha!"
Sambung Randumoko sambil terbahak.
Di samping jengkel dan marah yang luar biasa karena kesombongan ketiga pemuda itu, Ki Lurah Sangsoko juga merasa kasihan.
Dia menganggap, keti-ganya semata-mata untuk menunjukkan bahwa mere-ka berani dan jagoan.
Tak ada kesan sedikit pun kalau mereka memang benar-benar hendak menyelidiki keadaan Gunung Tengkorak.
Begitu pula dengan sebagian penduduk yang hadir di sana.
Mereka juga jengkel dan kasihan pada ketiga pemuda itu.
Namun sebagian besar diam saja.
Karena mereka juga ingin memberi pelajaran kepada ketiganya agar tidak menjadi keras kepala dan som-bong.
"Tak sedikit pun kalian ingin mengurungkan niat kalian?"
Tanya Ki Lurah Sangsoko lagi.
"Tidak, Ki Lurah! Kami bertiga sudah mantap untuk melakukannya!"
Kata Baskoro mewakili kedua temannya.
"Benar?"
"Ya!"
Sahut ketiganya bersamaan.
"Dengan segala resikonya?"
"Ki Lurah... resiko apa yang akan kami hada-pi?"
Seru Randumoko sambil mendengus mengejek.
"Kau masih dipengaruhi oleh ajaran kemustahilan dan peradaban lama! Kami tak akan menemukan resiko apa-apa! Bahkan kami menamakan ini sebuah perja-lanan, sedang berpergian, mengerti?"
"Kau tidak mengerti, Randumoko...."
Balas Ki Lurah tetap dengan kesabaran.
"Apanya yang tidak ku mengerti? Dari desa kita ini, Gunung Tengkorak terlihat dengan jelas. Dan di sana tentunya ada suatu pemandangan yang teramat indah dan bagus. Ini yang aku tidak mengerti, Ki Lu-rah?"
Merasa tidak ada gunanya untuk menahan ke-pergian mereka, Ki Lurah Sangsoko hanya mengang-guk saja.
Agak menyesali karena mereka tidak mau mendengarkan nasehat dan larangannya.
Para orangtua dari ketiga pemuda itu pun tak sanggup untuk menahan dan melarang mereka.
Kali ini pun para orangtua ketiga pemuda itu hanya mem-perhatikan saja sambil berdoa banyak-banyak dalam hati agar tidak terjadi sesuatu yang menimpa putra mereka.
Matahari nampak sudah sepenggalah.
Ketiga pemuda itu pun mengangkat perlengkapan mereka dan berangkat sambil tertawa-tawa.
Ada yang mengagumi keberanian mereka.
Ada yang menyesali keberanian mereka.
Ada yang jengkel dengan kesombongan mereka.
Dan ada yang merasa kasihan dengan kebera-nian dan kesombongan mereka.
Tapi tak ada yang bisa mencegah keinginan me-reka, yang dilakukan semata-mata biar dikatakan jago dan digjaya.
Matahari nampak semakin tinggi.
Dan panas-nya terasa makin menyengat.
Apalagi ketika ketiga pemuda itu sudah merasakan tubuh yang teramat pe-nat dan panasnya terik matahari.
Dari desa mereka, Gunung Tengkorak terlihat sangat dekat.
Namun setelah dituju, sudah hampir li-ma jam mereka bergerak, belum sedikit pun nampak Gunung Tengkorak semakin dekat.
"Kita istirahat saja dulu, Bas,"
Kata Suseno yang sudah merasa kepayahan.
"Baiklah, kita cari tempat yang teduh!"
Kata Baskoro yang juga sudah lelah.
Tak lama kemudian, ketiganya pun sudah be-ristirahat dengan membuka bekal mereka masing-masing.
Namun belum sempat mereka mencicipi hi-dangan apa yang mereka bawa, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri seorang dara jelita berbaju kuning.
Ma-ta ketiganya terbelalak.
Di samping dara itu teramat cantik, juga pa-kaiannya yang tembus pandang.
Yang memperlihatkan lekuk tubuh yang padat dan montok.
Ketiganya berpandangan.
Tersenyum.
Dan ber-gegas berdiri.
"Selamat siang, Nona...."
Sapa ketiganya bersamaan. Merasa ketiganya mengucapkan kata-kata bersamaan mereka jadi saling pandang. Lalu Baskoro yang terlihat bicara.
"Ada apa gerangan Nona, hingga Nona sampai di sini?"
Dara jelita itu tersenyum, berkesan genit. Dia melangkah mendekati mereka. Saat melangkah itu se-luruh tubuhnya yang tembus pandang bergerak. Mem-buat ketiganya menelan ludah.
"Tubuh indah luar biasa,"
Desis ketiganya dalam hati.
Ketiganya memang dikenal sebagai berandalan di kampungnya.
Ketiganya juga sering mendatangi tempat pelesiran dan kompleks pelacuran.
Makanya ketika melihat satu sosok yang terpampang indah di depan mata, ketiganya bergerak bagaikan seekor kuc-ing melihat ikan.
Dan ikannya kali inilah yang kelihatan menan-tang.
Membuat ketiga kucing itu semakin buas dan mendengus-dengus.
"Hihihi... aku? Yah... cuma berjalan-jalan saja. Kalian sendiri sedang apa?"
Tanya dara berbaju kuning itu.
"Kami?"
Ulang Baskoro sambil menunjuk di-rinya dan diri kedua temannya. Mengingat rencana mereka hendak mendaki dan menetap di Gunung Tengkorak, maka dengan pongahnya dia berkata.
"Ka-mi hendak menginap di Gunung Tengkorak."
"Gunung Tengkorak?"
Dara itu memekik.
Wa-jahnya seketika pias.
Melihat wajah yang nampak pucat ketakutan itu, Baskoro menjadi semakin pongah.
Pikirnya, dara itu tentu akan menaruh rasa kagum atas keberanian-nya, Dan dia pun tak mau melepaskan kesempatan yang ada di depan mata ini.
"Benar, kami akan pergi dari menginap di sa-na,"
Kata Baskoro sambil menunjuk Gunung Tengkorak yang meskipun siang hari tetap kelihatan angker dan menyeramkan.
"Kalian berani sekali,"
Kata Dara berbaju kuning dengan suara kagum.
"Tentu. O iya, namaku Baskoro. Ini kedua te-manku, Suseno dan Randumoko. Siapa namamu, Ma-nis?"
Kata Baskoro yang sudah kelihatan belangnya.
"Namaku... hihihi... namaku Saraswati..."
Kata dara itu sedikit tersipu. Namun kegenitannya masih nampak.
"Namamu indah sekali, Saraswati..."
Kata Baskoro memancing. Dia yakin, gadis yang bernama Saraswati ini mudah sekali diajak berkencan. Melihat dari cara berpakaiannya yang tembus pandang, juga sikapnya yang begitu genit.
"Hihihi... kalianlah yang gagah perkasa. Aku senang berkenalan dengan pemuda-pemuda gagah se-perti kalian. O iya, siapakah yang mempunyai ide un-tuk mendaki dan menginap di Gunung Tengkorak?"
Kata Saraswati sambil mengerling genit.
"Aku!"
Kata Baskoro sambil menepuk dada dengan sikap congkak.
Memang benar.
Usul untuk mendaki dan men-ginap di Gunung Tengkorak memang datang dari Baskoro.
Sedang Suseno dan Randumoko hanya mengikuti saja, karena mereka sebagai teman yang akrab.
Namun di depan gadis manis ini, Suseno dan Randumoko menjadi sedikit kesal karena Baskoro nampak bisa menjual lagak.
Berarti mereka tentunya tak akan mendapatkan perhatian dari Saraswati.
Di tempat sepi dan seram ini, tentunya bila di-temani oleh seorang gadis dapat, membuat hangatnya suasana.
Randumoko sudah memikirkan satu cara un-tuk mendapatkan Saraswati.
Sekarang dia membiarkan saja.
Dia melihat wajah Saraswati memandang pe-nuh kekaguman pada Baskoro.
"Kau hebat sekali, Kakang... Kau sungguh ga-gah berani...."
Wajah Baskoro memerah karena bangga.
Ba-ginya, gadis ini harus menjadi miliknya.
Sedikit pun dia tak akan membagi dengan Suseno dan Randumoko seperti yang biasa mereka lakukan di tempat pelesiran atau pun kompleks pelacuran.
Agaknya Suseno dan Randumoko pun tahu akan niat Baskoro.
Mereka tak akan mau membiarkan gadis itu jatuh ke tangan Baskoro.
"Kau sendiri mau ke mana, Ni mas?"
Tanya Randumoko sambil menatap cantiknya wajah Saras-wati. Dadanya berdebar. Hmm... tak akan kubiarkan kau jatuh ke tangan Baskoro, Saraswati.
"Kau? Hihihi... aku tinggal di sekitar sini."
"Kau tinggal di sini?"
"Ya."
"Di lembah itu!"
Sahut Saraswati sambil menunjuk sebuah lembah yang cukup dalam dilihat dari tempat mereka berada.
"Dengan siapa kau tinggal?"
"Sendiri."
"Sendiri?!"
Kali ini terdengar suara ketiganya serempak dan melihat Saraswati dengan mata membu-lat. Seorang gadis cantik bertubuh sintal seperti Saraswati tinggal seorang diri di lembah itu? Oh, bukankah ini suatu kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
"Ya, aku sendiri. Apa anehnya?"
"Tidak, tidak ada yang aneh,"
Kali ini Baskoro yang kembali mengambil alih pembicaraan, membuat Randumoko melirik jengkel.
"Hihihi... memang tidak ada yang aneh!"
Terkikik Saraswati.
Tiba-tiba berkesiur angin besar ke arah mereka.
Sigap mereka merunduk.
Dan kala mereka berdiri den-gan posisi sempurna kembali, mereka melihat dua so-sok tubuh berdiri di hadapan mereka.
Dua orang itu laki-laki berwajah seram.
Wajah keduanya dipenuhi dengan bulu-bulu.
Keduanya men-genakan pakaian warna hitam terbuka di dada dengan celana panjang warna hitam pula.
Di dada keduanya terlihat ada sebuah kalung tengkorak.
Salah seorang berkata dengan suara angker.
"Dewi Baju Kuning... ke mana pun kau lari akan kami kejar! Dan kami tangkap untuk dihadapkan kepada Ketua!"
Ketiga pemuda yang berdiri di dekat Saraswati langsung meliriknya.
Karena hanya dialah di sini seorang gadis; Dan dia pun mengenakan baju berwarna kuning seperti yang diserukan oleh laki-laki berwajah seram itu.
Mereka juga terkejut ketika Saraswati berkata.
"Bangsapati! Kau memang pengawal Ketua yang teramat patuh! Begitu pula dengan adik seperguruanmu, Bimapati! Kalian berdua adalah pengawal-pengawal yang teramat patuh! Tentunya kalian tak akan mele-paskan ku begitu saja! Yah, aku yakin sampai ke mana pun dan kapan pun kalian akan tetap mencariku! Dan mempersembahkan kepalaku kepada Ketua! Bukankah begitu, Bangsapati dan Bimapati?!"
"Kau betul, Dewi!"
Kata Bangsapati.
"Bila kau tidak kembali dan menyerahkan diri, kamilah yang akan membawa pulang... atau pun membunuhmu dan mempersembahkan penggalan kepalamu kepada Ke-tua! Kau mengerti?!"
"Yah... dan aku pun siap menghadapi kalian la-gi!"
Kata Saraswati yang kini maju setindak.
Ketiga pemuda yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi itu saling berpandangan.
Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tetapi dasar ketiganya sudah terpengaruh oleh kecantikan Saraswati atau yang dipanggil Dewi Baju Kuning oleh Bangsapati, langsung maju tiga langkah dan berdiri di depan Saraswati.
Seolah mereka melin-dungi gadis itu.
Baskoro berkata.
"Ki sanak... apa sebenarnya yang telah terjadi antara kalian dengan Saraswati? Je-laskan!"
Bangsapati mendengus.
"Anak muda... sebaik-nya kau dan kedua temanmu menyingkir dari hadapan kami. Dan jangan turut campur dengan urusan kami ini! Kami paling tidak suka bila urusan kami ada yang mencampurinya!"
"Bangsapati...."
Panggil Baskoro yang mengenal langsung karena Saraswati menyebutkan nama laki-laki itu Bangsapati dan di sebelahnya Bimapati.
"Tentunya sebagai laki-laki, kalian pantang mengeroyok seorang wanita bukan? Dan sebagai seorang laki-laki, kalian tentunya akan melindungi seorang wanita yang dalam keadaan kesulitan, bukan? Nah, kami akan me-lakukan hal seperti itu untuk Saraswati!"
"Anak muda!"
Geram Bangsapati.
"Sekali lagi kukatakan, jangan turut campur dalam urusan ini! Kau akan mendapatkan ganjaran yang teramat me-nyakitkan, Anak muda!"
"Bangsapati... sedikit pun aku tak akan berges-er dari tempatku berdiri, bila kau belum menjelaskan ada urusan apa kau dengan Saraswati?"
Seru Baskoro yang di samping ingin dipuji, juga menjadi keheranan karena nampak gadis itu punya urusan yang teramat pelik.
Mengingat kata-kata Baskoro tadi, yang bila tidak menyerahkan diri kepada Ketua, maka dia akan membunuhnya.
Entah siapa ketua itu dan berada di mana.
"Anak muda!"
Bentak Bangsapati.
"Kau mem-buatku muak!"
Lalu serunya pada Saraswati.
"Dewi... cepat kau menyerahkan diri sebelum kesabaran kami habis! Cepat! Hei... kau pun telah membuang kalung tengkorak dari partai kita!"
Saraswati mengangguk.
"Yah... karena aku su-dah tidak mau lagi ikut dengan partai sesat itu!"
"Bangsat! Kau berani menghina partai kita? Partai Tengkorak yang berpusat di Gunung Tengkorak? Saraswati, dosamu sudah tak terampun lagi! Aku pun tak segan-segan untuk membunuhmu! Nah, Dewi Baju Kuning! Bersiaplah untuk menerima kematianmu!"
Dengus Bangsapati sambil membuka jurusnya untuk menyerang. Namun lagi-lagi terdengar suara dari Baskoro.
"Tahan! Bila kalian ingin membunuhnya, hadapilah kami terlebih dahulu!"
"Dewi... katakan padanya, kalau dia akan sia-sia menghadapiku!"
Saraswati alias Dewi Baju Kuning pun menghe-la nafas.
Dia kagum dengan keberanian Baskoro meskipun tadi dia berkesan pemuda itu terlalu som-bong.
Namun sekarang dia merasa kagum.
Cuma sayang, keberanian Baskoro itu akan sia-sia belaka.
Malah akan mengundang maut bagi dirinya sendiri.
Sebenarnya, siapakah Saraswati ini? Sebenarnya, dugaan orang-orang terhadap Gu-nung Tengkorak tak berpenghuni salah besar.
Di atas puncak Gunung Tengkorak terdapat sebuah partai yang terdiri dari orang-orang kejam, buas dan sadis.
Mereka menamakan diri dengan sebutan Partai Teng-korak.
Partai Tengkorak dipimpin oleh seorang manu-sia yang sakti mandraguna.
Dia bertubuh cebol.
Den-gan tubuh bulat.
Di pergelangan kedua tangannya ter-dapat gelang yang jumlahnya banyak.
Orang cebol itu bernama Tunggul Petaka, dan berjuluk Si Cebol Pe-nyebar Petaka.
Tunggul Petaka seorang yang amat ditakuti oleh para anak buahnya karena kekejamannya.
Tak seorang pun yang berani membantah perintahnya.
Bahkan di Partai Tengkorak ada sebuah peraturan yang menyatakan, siapa saja yang sudah masuk ke Partai Tengkorak tak akan bisa melepaskan diri.
Bila nekat pula untuk keluar dari Partai Tengkorak, maka matilah taruhannya.
Dan orang-orang yang telah tinggal di sana, tak satu pun yang berani memberontak.
Mereka begitu menurut dan patuh pada Tunggul Petaka.
Kerja Partai Tengkorak adalah membunuh, me-rampok dan memperkosa.
Tapi akhir-akhir ini, pimpi-nan mereka, Tunggal Petaka menghendaki agar di se-tiap malam Jumat disediakan orok yang baru lahir.
Dan tugas itu jatuh kepada Saraswati alias De-wi Baju Kuning.
Semula Saraswati melakukannya den-gan enak saja.
Tanpa rasa segan, mencoba menentang atau pun marah.
Namun pada suatu malam, ketika dia hendak menculik seorang orok yang baru dilahirkan lagi, ada sebuah kejadian yang membuat hatinya menjadi terenyuh dan ragu-ragu.
Malam itu purnama bersinar terang.
Namun mendadak langit berubah hitam.
Awan-awan hitam bergerak dihembus angin.
Dan langit yang cerah tadi berubah menjadi gelap.
Guntur pun terdengar dan hu-jan pun turun dengan derasnya.
Samar-samar satu sosok bergerak lincah me-nembus hujan hinggap dari genting ke genting.
Gera-kannya ringan dan cepat.
Sosok itu adalah Saraswati atau Dewi Baju Kuning, yang malam ini harus beroperasi lagi untuk memenuhi keinginan Tunggul Petaka yang sedang memperdalam sebuah ilmu.
Tadi siang Saraswati sudah mencari tahu di mana orang yang hendak melahirkan.
Dan kini dia tengah menuju ke rumah orang itu.
"Hmm... agaknya ibu muda itu sudah melahir-kan,"
Gumamnya ketika samar-samar dia mendengar suara jerit bayi baru lahir.
Saraswati menjadi bergegas.
Dia kini berada tepat di atas genting rumah ibu muda yang baru melahirkan itu.
Hujan tetap turun dengan deras.
Hati-hati Saraswati membuka sedikit genting.
Dan jelas dia melihat ibu muda itu baru melahirkan.
Kini bayinya sedang dimandikan oleh seorang dukun yang membantunya.
Sementara di pojok sana dia me-lihat seorang laki-laki muda nampak tengah berdoa dengan wajah gembira menyambut bayinya dan gembi-ra karena istrinya selamat.
Karena menurut orang, melahirkan itu adalah antara hidup dan mati bagi seo-rang wanita.
Saraswati tersenyum.
"Hmm... bagus, mandikanlah bayi itu dengan cepat, Nyai Dukun. Biar aku dengan mudah membawanya...."
Desisnya sambil menutup genting itu kembali.
Lalu dia bersalto turun.
Ditunggunya sampai dukun yang menolong itu meninggalkan tempat itu.
Tak berapa lama, dukun itu pun keluar.
Lalu Saraswati mendekati rumah itu dan mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok! "Siapa?"
Terdengar suara laki-laki. Pasti suami ibu muda itu.
"Saya... saya kedinginan di luar. Hujan turun dengan deras sekali. Bolehkah saya mampir untuk menumpang berteduh?"
Suami istri muda itu adalah orang-orang yang polos dan jujur. Tentu saja mereka mengizinkan, meskipun keadaan istrinya masih lemah karena baru melahirkan. Pintu itu pun dibuka "Silahkan masuk,"
Kata laki-laki itu. Saraswati masuk. Matanya memandang berke-liling. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak dengan cepat, memukul tengkuk laki-laki itu hingga pingsan seketika.
"Hei!"
Terpekik ibu muda yang baru melahirkan itu.
Kagetnya bukan main.
Dan seketika timbul rasa takutnya.
Dia hendak memburu suaminya, namun ra-sa sakit yang ditimbulkan setelah melahirkan, amat menyiksanya dan membuatnya hanya bisa terlentang dengan hati pedih, galau dan takut bercampur satu.
Saraswati menyeringai.
"Tak perlu takut denganku, Ibu muda. Hmm... siapa namamu?"
Ibu muda itu menelan ludahnya. Dalam kea-daan seperti ini siapa yang tidak takut? Suaminya di-pukul hingga keadaan pingsan. Dan wanita itu menye-ringai padanya. Siapa yang tidak takut? Dipandangnya wanita yang cantik itu dan ba-sah kuyub.
"Saya... Narsih...."
"Hmm, bagus. Bagus sekali! Narsih, malam ini, aku datang ke sini cuma ingin meminta sesuatu pa-damu,"
Kata Saraswati.
"Apa... apa yang kau hendaki?"
Saraswati tersenyum.
"Bayimu."
"Oh! Bayiku! Tidak, tidak... jangan ambil bayi-ku! Kau tidak boleh mengambilnya!"
Jerit Narsih panik. Dia hendak menjangkau-jangkau bayinya, namun rasa sakitnya habis melahirkan masih terasa sekali. Saraswati terkekeh.
"Hehehe... biarpun kau melarangnya... aku te-tap tak akan perduli!"
"Jangan... jangan ambil bayiku! Jangan... ku mohon, jangan ambil bayiku!"
"Hehehe...."
"Tolong, Dewi... tolong jangan ambil bayiku. Ku mohon padamu, Dewi... Demi tuhan, jangan ambil bayiku. Tolong aku, tolong aku...."
"Tenanglah, Narsih. Bayimu akan aman dalam gendongan ku."
"Tidak, biar dia ada padaku! Dia bayiku, Dewi! Bayiku!!"
"Narsih... kulihat kau miskin sekali. Suamimu juga hanya seorang petani. Bagaimana kau bisa meng-hidupi bayimu, hah?!"
"Jangan Dewi... dia milikku. Dia darah daging ku... apa pun akan kulakukan untuknya... asal perbu-atan halal. Dia milikku, milikku, Dewi...."
"Aku minta padamu, Narsih... kalau tidak, bayimu akan kubunuh!"
"Oh, jangan, jangan bunuh bayiku! Bunuhlah aku lebih dulu, Dewi... Bunuh aku!"
Rintih Narsih. Dia tak perduli dengan rasa sakitnya yang amat menyengat. Dia lebih memperdulikan bayinya. Saraswati terkikik sambil mendekati bayi yang sedang terpejam itu. Pulas tertidur.
"Hmm... bayi yang mungil sekali..."
Desisnya.
"Jangan ambil bayiku, jangan, Dewi... aku mo-hon, aku mohon padamu...."
"Hehehe... bayi yang montok,"
Desis Saraswati, kali ini dia sangat jujur. Dan entah kenapa tangannya terulur hendak memegang pipi bayi itu. Terdengar suara Narsih berteriak.
"Jangan sen-tuh bayiku! Jangan sentuh dengan tanganmu yang ko-tor!"
"Bangsat!"
Geram Saraswati. Tangannya melayang menampar pipi Narsih. Yang tidak mengaduh atau pun memekik kesakitan. Malah matanya melotot dengan gusar.
"Dewi... kau seorang perempuan... sama seperti aku... Apakah kau tidak pernah merasakan sakitnya mengandung dan melahirkan?"
Kata Narsih dengan mata berlinang. Pilu. Dan entah kenapa tiba-tiba Saraswati terdiam. Melihat wanita itu terdiam dan seperti hendak mendengarkan kata-katanya, Narsih melanjutkan.
"Dewi... mengandung dan melahirkan bagi seorang wanita amat menyakitkan sekali. Sekaligus membaha-giakan. Karena inilah satu-satunya jalan kesempur-naan bagi dirinya yang berstatus wanita. Melahirkan. Mempunyai anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Darah dagingnya sendiri. Bila kau merasakan hal itu... betapa cintanya kau begitu melihat anakmu... Anak yang kau dambakan... Anak yang kau impikan... Begi-tu pula denganku. Aku amat mencintai bayiku... bayi yang baru saja keluar dari rahim ku. Dan kau sebagai seorang wanita... betapa jahatnya hendak mengambil anakku... mengambil bayiku... Di mana perasaanmu sebagai seorang wanita, Dewi? Di mana? Apakah kau akan memberikan begitu saja seandainya aku hendak mengambil bayimu baik secara halus maupun secara paksa? Tentunya kau akan mempertahankan sekuat tenagamu, bahkan nyawamu sendiri akan rela kau le-paskan untuk mempertahankan bayimu. Begitu pula aku, Dewi... aku akan mempertahankannya meskipun nyawa harus ku korbankan....
"
Saraswati terdiam. Tiba-tiba dia trenyuh men-dengar kata-kata itu. Dan tanpa disadarinya air ma-tanya menetes. Tiba-tiba saja dia berbalik menatap Narsih.
"Narsih... maaf aku!"
Hanya itu yang dikatakannya, lalu dia melesat keluar menerobos hujan yang masih deras.
Dia berlari.
Berlari dan berlari.
Kata-kata Nar-sih tadi membangkitkan akan satu ingatan di masa la-lunya.
Dulu dia adalah seorang gadis yang baik dan cantik.
Dan betapa senangnya ketika dia dilamar oleh pemuda idamannya.
Semuanya bagaikan suatu kehi-dupan baru yang mempesona.
Namun ketika dia sedang hamil enam bulan, suaminya main serong dengan wanita lain.
Dia sedih dan putus asa.
Dalam keputusasaannya itu dia me-ninggalkan rumahnya.
Pergi jauh karena malu me-nanggung semua itu.
Malu pada orang tuanya.
Malu pada keluar-ganya.
Dan malu pada para tetangganya.
Karena pe-muda yang amat dibanggakannya dan dicintainya ter-nyata hanya pemuda hidung belang.
Dalam mengandung tua itu dia pergi entah ke mana.
Berjalan sekehendak hatinya.
Dan saat dia me-lahirkan tanpa pertolongan siapa pun, dia pun mera-sakan hal yang sama dengan wanita lain setiap mela-hirkan.
Antara hidup dan mati.
Namun begitu anaknya lahir, dia bukannya ba-hagia.
Malah membencinya.
Karena anak itu juga da-rah daging pemuda yang telah membuatnya sakit hati, kecewa dan putus asa.
Dengan geram dibunuhnya anak itu.
Lalu mayatnya dibuang ke sungai.
Saat itulah dia bertemu dengan seorang nenek yang kemudian memungutnya sebagai anak.
Dan dari nenek itu pulalah dia mempe-roleh pelajaran ilmu silat.
Sampai nenek itu meninggal.
Lalu dia mening-galkan tempat itu dan secara tidak sengaja dia sampai di Gunung Tengkorak dan terlibat pada Partai Tengkorak.
Saraswati tergugah dari lamunannya.
Tubuh-nya dibasahi hujan yang makin, lebat.
Dari kejadian itulah dia bermaksud ingin me-ninggalkan Partai Tengkorak.
Untuk kembali ke sana, tak mungkin karena pasti nyawalah taruhannya.
Maka dia memutuskan untuk pergi malam itu juga.
Sementara Tunggul Petaka yang menunggu ke-datangan Saraswati sampai esok paginya, menjadi murka karena wanita itu tidak muncul juga.
Lalu dia pun menyuruh Bangsapati dan Bima-pati untuk mencarinya.
Berkali-kali keduanya menjumpai Saraswati dan terlibat perkelahian yang hebat.
Namun Saraswati selalu berhasil meloloskan diri.
Dia juga selalu menggoda laki-laki ataupun menjeratnya hingga laki-laki itu mau membantunya untuk menghadapi Bangsapati dan Bimapati.
Dan bila laki-laki atau pemuda yang dijerat itu terlibat perkelahian dengan keduanya, kesempatan itu selalu dipergunakannya untuk meloloskan diri.
"Kau harus menyerahkan diri, Dewi!"
Geram Bangsapati.
"Ke mana pun kau lari pasti akan kami temu-kan! Kau harus dihukum sesuai hukum yang berlaku di Partai Tengkorak!"
Lanjut Bimapati.
Saraswati atau pun Dewi Baju Kuning terus melarikan diri.
Di samping tidak mau terbunuh oleh kedua orang itu, juga tak mau dihukum di Gunung Tengkorak.
Dia tahu kekejaman Tunggul Petaka.
Hingga bertemulah dia dengan Baskoro, Suseno dan Randumoko.
Sesuai dengan rencananya yang sela-lu menjerat setiap laki-laki untuk menghadapi Bang-sapati dan Bimapati.
Benar saja, ketika laki-laki itu seakan ingin berlomba menunjukkan kejantanannya.
Bahkan siap mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.
Inilah yang diharapkan Saraswati ketika dia bertemu dengan ketiga pemuda itu.
Baginya, tak ada jalan lain buat menghadapi Bangsapati dan Bimapati selain memanfaatkan tenaga orang lain yang telah dijeratnya.
Dan dia pun akan berbuat yang sama seperti yang sudah-sudah dilakukannya.
Melarikan diri ketika pemuda atau laki-laki yang dijeratnya sedang bertarung melawan Bangsapati dan Bimapati.
Biasanya dia pun tak memperdulikan nyawa mereka.
Karena baginya, jiwa dan keselamatannyalah yang terpenting.
Persetan dengan nyawa orang lain! Karena di samping itu, dia amat dendam dengan laki-laki.
Dalam bayangannya semua laki-laki itu sama seperti suaminya dulu.
Terdengar suara Bangsapati membentak.
"Anak muda... menyingkirlah kalian dari sini! Karena ini bukan urusan kalian!"
"Perdulilah dengan katamu, Bangsapati! Kami tetap akan membela wanita ini!"
Bangsapati terbahak.
"Hahaha... nasibmu sama dengan laki-laki atau pun pemuda lain yang dijeratnya! Hanya dijadikan ta-meng oleh wanita itu demi nyawanya! Cepat menying-kir dari sini, sebelum kemarahanku beralih kepadamu dan juga kedua temanmu itu!!"
Tetapi tiga pemuda itu tetap terpaku di tempat-nya, siap menghadapi kedua manusia seram ini.
Kini mereka seakan melupakan tentang keirian di hati mas-ing-masing untuk mencari muka di depan Saraswati.
Mereka kembali bersatu.
Dan merasakan kedua manusia yang berdiri di hadapannya ini adalah lawan yang harus mereka basmi.
"Kami akan melayani kemauan kalian berdua!"
Dengus Baskoro sambil mencabut goloknya. Begitu pula yang dilakukan Suseno dan Ran-dumoko. Kini ketiganya memegang golok terhunus di tangan kanan. Dan siap bergerak. Melihat hal itu, Bangsapati menjadi makin marah. Sambil menggeram dia menerjang.
"Bangsat kalian semua! Kalian membangkitkan marah ku!"
Serangannya cepat dengan diiringi satu tenaga angin yang cukup kuat.
Menderu.
Ketiganya yang bersiap pun segera menghindar dengan jalan melompat dan balas menyerang.
Bangsapati bukanlah jago baru muncul, tetapi dia adalah jago kawakan yang telah mengabdi lama pada Tunggul Petaka.
Dan kekejamannya hampir sama dengan Tunggul Petaka.
Maka dia tidak tanggung-tanggung lagi menyerang ketiganya.
Tetapi rupanya ketiga pemuda itu pun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Mereka ternyata dapat mengimbangi Bangsapati.
Melihat hal itu, Bimapati yang hendak menye-rang Saraswati menjadi berbalik.
Dia datang memban-tu.
Langsung menyerang Baskoro.
Baskoro terkejut.
Dia cepat mengibaskan go-loknya ke angin yang datang ke arah kepalanya.
Bima-pati menarik jotosannya dan mengirimkan satu ten-dangan.
"Des!"
Tendangan yang dilancarkan cepat itu tidak bi-sa dielakkan Baskoro. Dadanya terhantam tendangan itu. Cukup sakit.
"Bangsat!"
Sambil menggeram panjang, Baskoro mener-jang hebat ke arah Bimapati.
Goloknya mengayun den-gan cepat.
Di samping sebuah pukulan yang dilancar-kan tangan kirinya, lurus ke wajah Bimapati.
Bimapati merasakan tenaga yang kuat tersalur di tangan Baskoro.
Dia mengelak ke samping dan membalas dengan sapuan ke kaki Baskoro.
Baskoro cepat melompat.
Dan saat melompat dia kembali menukik dengan golok lurus ke wajah Bi-mapati.
Sedetik Bimapati tidak menunduk, mampuslah dia! Hal itu membuatnya menjadi geram.
Dia pun membalas dengan serangan-serangan cepat dan hebat.
Sementara itu Saraswati yang hendak kabur seperti rencananya menjadi ragu.
Karena tiba-tiba saja dia melihat Baskoro begitu mati-matian membelanya.
Dan tiba-tiba pula dia merasakan ada sesuatu di ha-tinya terhadap Baskoro.
Mendadak saja dia masuk ke pertarungan anta-ra Baskoro dan Bimapati.
"Hahaha... bagus, Dewi! Mengapa tidak sejak tadi kau bantu dia, hah?!"
Ejek Bimapati sambil bersalto.
Dan begitu kakinya hinggap di tanah, tubuhnya melenting kembali.
Kali ini kedua tangannya terbuka, membentuk cakar macan.
Hebat.
Sadis dan kejam.
Kelebatan kedua tangannya menimbulkan an-gin dingin, terasa di kulit.
Baskoro cepat mengayunkan goloknya ketika cakaran itu siap menghujam ke jantungnya.
"Wuuut!!"
Golok itu tak mengenai sasaran karena Bima-pati cepat menarik tangannya kembali.
Namun tangan yang satunya lagi menyusul ke wajah Baskoro.
Baskoro terkejut.
Kecepatan yang diperlihatkan Bimapati sung-guh mengejutkannya.
Sangat cepat dan hebat.
Dia merasa sukar untuk menghindar atau pun menangkis.
Karena jaraknya dengan Bimapati begitu dekat.
Dia menjadi pasrah saja dan cakaran itupun siap menghunjam di wajahnya Namun mendadak terdengar benturan yang cu-kup kuat.
"Des!"
Seketika Baskoro membuka matanya ketika di-rasakannya angin cakaran Bimapati melenceng.
Dia melihat Saraswati sedang bertarung hebat dengan Bi-mapati.
Merasa jiwanya diselamatkan oleh Saraswati, Baskoro kembali membantu.
Dengan ayunan golok, yang cepat dan hebat.
Sementara itu, pertarungan antara Bangsapati dengan Suseno dan Randumoko berlangsung seru.
Meskipun Bangsapati dikeroyok berdua, namun lama kelamaan dia nampak berhasil menguasai keadaan.
Dua kali pukulannya mengenai sasaran pada Suseno.
Begitu pula halnya dengan Randumoko.
Da-danya dihantam satu pukulan yang cukup kuat.
Mem-buatnya muntah darah.
Dia merasa dadanya bagai di-hantam sebuah godam besar.
Bangsapati terbahak.
"Hahaha... itulah akibatnya bila berani mem-bangkang perintahku! Dan semua ini bukan salahku... karena kalianlah yang tak mau pergi, padahal aku su-dah memperingatkan tadi!"
Randumoko mengusap darah yang mengalir di bibirnya.
"Bangsat busuk! Majulah! Kami akan mengadu jiwa denganmu!"
Geramnya marah. Tetapi kegeramannya hanya disambut tawa oleh Bangsapati.
"Hahaha... kalian tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit! Baik, ke marilah... biar kuhabisi kalian sekaligus!"
Randumoko dan Suseno berpandangan.
Lalu mengangguk.
Keduanya jelas sudah sepakat untuk mengadu jiwa dengan Bangsapati.
Lalu diiringi pekikan yang cukup kuat, keduanya bergerak maju menyerang.
Bersamaan dengan golok yang terhunus.
Tetapi Bangsapati hanya tertawa saja, dia ber-salto ke belakang dan melenting kembali begitu ka-kinya hinggap.
"Des!"
"Des!"
Kedua telapak tangannya masing-masing menghantam punggung Suseno dan Randumoko se-hingga mereka tersuruk ke depan. Bangsapati bersalto dua kali lalu hinggap den-gan mulusnya.
"Hahaha... itulah jawaban dari yang kalian min-ta! Kini... bersiaplah kalian untuk mampus!"
Geram Bangsapati sambil merangkum kedua tangannya menjadi satu. Lalu terlihatlah asap berwarna merah keluar dari kedua tangannya. Terdengar jeritan Saraswati, 'Telapak Darah'!!"
"Jangan ribut, Dewi... biarlah kedua temanmu ini menikmati kematiannya! Hahahaha...."
Saraswati bersalto. Di samping buat menghin-dari serangan Bimapati juga untuk bergerak ke arah Bangsapati. Dia hinggap di depan Bangsapati.
"Jangan bunuh dia!"
Serunya gagah.
"Hahaha... biasanya kau membiarkan saja orang-orang yang telah kau jerat mampus di tangan ku atau di tangan Bimapati! Kenapa sekarang kau berubah, Dewi? Apa kau hendak menyerahkan diri? Haha-ha... bagus, bagus sekali!"
"Jangan bermimpi aku akan menyerah, Bang-sapati!"
Balas Saraswati geram.
"Kaulah yang harus mampus di tanganku hari ini!"
"Hahaha... sejak meninggalkan Partai Tengko-rak kau menjadi gila rupanya! Sinting!"
"Kita lihat Bangsapati, kau atau aku yang mampus hari ini!"
"Hahaha..."
Tertawa Bangsapati. Tetapi tiba-tiba dia bersalto, karena Saraswati udah menderu menyerang.
"Tahan serangan, Bangsapati!"
"Keluarkan semua yang kau miliki, Saraswati!!"
Seru Bangsapati sambil mulai membalas.
Terlihatlah pertarungan yang hebat antara ke-duanya.
Saraswati sendiri sudah mengeluarkan ilmu simpanannya.
Menanggulangi Bara Api.
Karena menu-rutnya, Telapak Darah Bangsapati amat berbahaya se-kali.
Bagi yang terkena Sentuhan telapak tangan itu, bisa hangus tubuhnya dan langsung mengeluarkan darah.
Bila beradu tenaga dalam dan tenaga dalam la-wannya kurang kuat, bisa disedotnya.
Sementara Suseno dan Randumoko tak kuat untuk membantu.
Mereka merasakan punggung mere-ka sakit luar biasa.
Bahkan mereka yakin, tulang punggung mereka ada yang patah.
Tiba-tiba terdengar jeritan Baskoro keras.
Bahu kirinya telah terhantam cakaran Bimapati.
"Hahaha... ketahuilah, Anak muda... cakaran ku mengandung racun yang mematikan!"
"Bangsat!"
Baskoro menggeram marah.
"Lebih baik aku mati sekalian daripada sekarat dimakan racun mu, Bimapati!"
Lalu dengan sekuat tenaga dia menyerang lagi. Kali ini sambaran goloknya cepat dan hebat. Setiap kali goloknya berkelebat menimbulkan suara angin yang cukup keras.
"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu, Anak muda!"
Ejek Bimapati.
"Mampuslah kau, Orang busuk!"
Maki Baskoro sambil mengayunkan goloknya ke arah Bimapati.
Bimapati cepat merunduk.
Dan tangan kanan-nya bergerak hendak mencakar kemaluan Baskoro.
Baskoro cepat berguling melihat bahaya yang mengancam.
Namun Bimapati yang bertekad untuk menyudahi pertarungan itu, memburunya.
Cakaran-cakarannya siap mencabut nyawa Baskoro.
Dan Baskoro pun makin terdesak.
Dia terpojok ketika satu tendangan dari Bima-pati mengenai sasarannya.
"Mampuslah kau, Pemuda sok tahu!"
Geram Bimapati dan siap melancarkan serangan cakarannya. Baskoro memejamkan matanya melihat ajal yang sudah di depan mata. Namun mendadak terdengar jeritan Bimapati, dan disusul dengan ambruknya tubuhnya. Di belakang tubuhnya menancap dua buah golok.
"Akkkhhh!!"
Jeritannya keras.
Darah menyembur dari tubuh bagian belakangnya.
Lalu ambruk.
Baskoro membuka matanya.
Dia melihat Suse-no dan Randumoko sedang tersenyum padanya dan meringis kesakitan.
Rupanya dalam keadaan genting itu, keduanya masih sempat menolong Baskoro dengan melemparkan golok mereka secara berbarengan.
Dan tepat mengenai sasarannya.
Mendengar jeritan dan melihat kawannya mati dengan dua buah golok menancap, Bangsapati meng-geram marah.
Dia menyerang Saraswati secara mem-babi buta.
Saraswati menjadi sedikit kewalahan.
Namun mendadak Bangsapati bersalto, mele-wati tubuh Saraswati.
Dan kedua telapak tangannya terbuka ke arah Suseno dan Randumoko yang hanya menatap pasrah.
Tanpa ampun lagi Telapak Darah Bangsapati mengenai sasarannya.
"Aaaaaakhhh!!"
"Aaaaakhhhh!"
Dua buah jeritan keras terdengar. Lalu am-bruknya tubuh Suseno dan Randumoko dalam kea-daan hangus.
"Mokoooo! Senoooo!!"
Seru Baskoro pilu dan bergegas menghampiri keduanya yang telah menjadi mayat.
Saraswati sendiri tidak menyangka kalau kedua pemuda itu yang menjadi sasaran Bangsapati.
Entah kenapa dia menjadi sedih dan merasa bersalah.
Lalu sambil memekik dia bergerak menyerang Bangsapati.
"Kau harus mampus menyusul Bimapati, Bang-sapati!"
Geramnya.
"Atau kau yang akan mati, Dewi!"
Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan hebat.
Saraswati sendiri menggempur dengan jurusnya Menggulung Bara Api.
Namun sampai sejauh itu belum menemui sasarannya.
Begitu pula halnya dengan Bangsapati yang se-jak tadi belum berhasil mendaratkan pukulannya, Te-lapak Darah! Hal ini semakin membuatnya geram mengingat matinya adik seperguruannya.
Dia bertekad untuk membunuh Saraswati sebagai balasan kematian adik seperguruannya sendiri.
Sedangkan Baskoro bangkit perlahan-lahan.
Matanya nyalang melihat Bangsapati.
Kedua kawan akrabnya harus mampus di tangan manusia itu.
Un-tuk kali ini Baskoro menyesali kesombongannya dan mengajak kedua kawannya untuk mendatangi Gunung Tengkorak.
Andaikata mereka tidak jadi pergi dan dia tidak punya ide gila itu, tentunya Suseno dan Randumoko belum mati.
Mengingat itu, dendamnya pada Bangsapati menjadi-jadi.
Dia bertekad untuk membalas kematian kedua sahabatnya.
Lalu perlahan-lahan diambilnya goloknya yang tergeletak di tanah saat dia menyaksikan mayat Suse-no dan Randumoko.
Digenggamnya golok itu erat-erat.
Matanya nyalang memperhatikan Bangsapati.
Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa di bahu kirinya.
Rupanya racun dari cakaran Bimapati mulai berfungsi.
Mengingat itu, tekad Baskoro semakin bulat untuk membalas kematian kedua sahabatnya.
Bahkan dia bertekad untuk mengadu jiwa dengan Bangsapati.
"Bangsapati... kau harus membayar kematian kedua sahabatku ini!!"
Geramnya murka dan menerjang memasuki pertarungan. Goloknya berkelebat den-gan hebat. Cepat dan tangguh.
"Bagus! Majulah kau sekalian! Biar cepat mam-pus di tanganku dan aku tak membuang waktu lagi?"
Sahut Bangsapati sambil melompat menghindari sam-baran golok Baskoro yang menderu cepat.
"Mampus kau, Bangsapati!"
Geram Baskoro meneruskan serangannya secara beruntun.
"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu, Anak muda!"
Tertawa Bangsapati.
Menghadapi serangan Baskoro yang membabi buta, baginya bukanlah suatu hal yang berbahaya.
Te-tapi serangan yang dilancarkan Saraswatilah yang membuatnya berhati-hati.
Namun dengan datangnya serangan-serangan dari Baskoro, bukannya membantu Saraswati, malah mengacaukannya.
Dia jadi bingung untuk menyerang Bangsapati, karena Baskoro telah mendahuluinya.
"Baskoro... minggirlah!"
Serunya.
"Tidak, Ni mas... Aku harus membalas kema-tian kedua temanku!"
"Tapi kau malah mengacaukan seranganku!"
Baskoro bergerak ke samping kiri dengan mak-sud memberi kesempatan pada Saraswati untuk me-nyerang.
Namun Bangsapati yang sudah melihat gela-gat itu, cepat bergerak ke kiri pula sehingga kembali dia berhadapan dengan Baskoro yang membelakangi Saraswati.
Tiba-tiba Saraswati bersalto, melewati kepala Baskoro.
Dan dia terus menyerang Bangsapati yang te-lah siap menyambutnya.
"Des!!"
Terjadilah benturan antara kedua pukulan sak-ti itu.
Keduanya terhuyung ke belakang dan berdiri si-gap kembali.
Tak ada yang terluka, menandakan ke-duanya seimbang dan sama-sama kuat.
Tetapi Bangsapati tak mau lagi membuang waktu, kali ini sasarannya adalah Baskoro yang nam-pak kian lemah karena pengaruh racun cakaran Bi-mapati.
"Mampuslah kau, Anak muda!"
Geramnya. Namun di saat yang genting itu, Saraswati ce-pat bergerak dan menyambar tubuh Baskoro lalu me-larikan diri.
"Bangsat kau, Dewi!"
Geram Bangsapati marah.
Namun bayangan tubuh Saraswati yang mem-bopong tubuh Baskoro telah lenyap dari pandangan-nya.
Bangsapati menggeram marah Lalu dia mendekati mayat adik seperguruan-nya.
Dan membopongnya.
Lalu melesat kembali ke Gunung Tengkorak.
Pagi cerah.
Matahari baru sepenggalah.
Di tepi sungai nampak satu sosok sedang asyik mencuci.
Uda-ra berhembus dingin.
Burung-burung bernyanyi gem-bira melihat matahari muncul.
Sosok tubuh yang asyik mencuci itu pun nam-pak gembira.
Dia bernyanyi-nyanyi kecil.
Gadis itu bernama Pitaloka.
Usianya kira-kira 17 tahun.
Dia berkulit kuning langsat.
Mulus.
Wajah-nya bulat.
Dengan sepasang mata yang besinar cerah.
Hidungnya bangir di atas mulutnya kecil dengan sepa-sang bibir yang memerah.
Sungguh besar karunia Tuhan padanya.
Dia adalah seorang dara manis dari desa di pinggiran Gu-nung Tengkorak.
Pagi ini, seperti biasanya Pitaloka selalu men-cuci.
Dan dia selalu gembira.
Namun tiba-tiba dia mendengar suara kekehan dari belakangnya.
Dan bukan main terkejutnya Pitalo-ka ketika melihat satu sosok cebol telah berdiri di belakangnya.
Belum pernah dia melihat wajah manusia se-perti itu.
Kecil dan bulat.
Dan selain kecil dan bulat, yang dilihatnya ini begitu menakutkan.
Dengan kalung tengkorak di dadanya.
Pitaloka menjadi takut.
Dia buru-buru membe-reskan cuciannya yang belum selesai dicuci.
"Hehehe... mengapa buru-buru, Manis?"
Si Cebol yang tak lain Tunggul Petaka ketua Partai Tengkorak terkekeh.
"Kulihat... kau belum selesai mencuci. Bukankah benar ucapanku?"
Wajah Pitaloka makin pucat.
"Si... siapa kau?"
Tanyanya gemetar.
"Hehehe... aku adalah Kangmas mu yang telah lama memperhatikan mu, Manis..."
Pitaloka semakin ngeri. Apalagi ketika si Cebol itu bergerak perlahan mendekatinya.
"Oh, jangan... jangan dekati aku..."
Rintih Pitaloka memohon.
"Kenapa, Manis? Bukankah kau pun telah lama menunggu Kangmas mu ini? Hehehe... ayolah... jangan takut padaku...."
"Jangan, jangan..,."
"Hehehe... mengapa takut? Ayo, sini...! He-hehe... kau akan menjadi permaisuri ku di Partai Tengkorak. Pasti kau suka sekali...."
"Tidak, aku tidak mau...."
Sahut Pitaloka sambil bergegas berlari. Tetapi Tunggul Petaka dengan sekali loncat su-dah berada di hadapannya. Dia menyeringai yang membuat Pitaloka semakin ketakutan.
"Hehehe... kau mau ke mana?"
"Tolong... tolonglah aku... jangan dekati aku...."
Rintih Pitaloka.
"Kau mau ke mana? Aku suka padamu, Ma-nis..."
Kata Tunggul Petaka mendekati.
"Jangan, jangan...."
Pitaloka mundur.
"Kalau tidak, aku akan berteriak..."
"Hehehe... berteriaklah sekuat tenagamu. Siapa yang akan mendengar teriakan mu, hah?!"
Pitaloka menyadari hal itu. Dia menjadi makin ketakutan. Siapa pula yang akan mendengar teriakan-nya. Rumahnya cukup jauh dari tepi sungai ini. Dan di sini pun tak ada siapa pun. Menyadari hal itu, Pitaloka berbalik dan berlari.
"Hehehe... ke mana pun kau lari tak akan bi-sa...."
Terkekeh Tunggul Petaka sambil bersalto mengejar. Dan kembali dia sudah berada di depan Pitalo-ka yang melirik-lirik sekelilingnya dalam keadaan bingung. Dan mendadak dia menjerit ketika Tunggul Pe-taka memburu dan mendekapnya.
"Tolong, tolong!!"
"Hehehe...."
"Jangan, jangan lakukan itu..."
"Hehehe... tubuhnya montok dan padat! Kau membangkitkan gairah ku... he... he... he...."
"Jangan, jangan...
"
Pitaloka mencoba berontak. Namun sia-sia karena tenaganya jauh kalah besar dengan tenaga Tunggul Petaka.
"Hehehe... kau sungguh-sungguh menggairah-kan aku...."
Terkekeh Tunggul Petaka sambil merobek baju di bagian dada Pitaloka.
"Breeek!"
Dan terlihatlah sepasang buah dada yang putih mulus, gempal. Tunggul Petaka menelan ludahnya.
"Bukan main... tak sia-sia aku menemukanmu, Manis... Hehehe...."
"Jangan... jangan...."
"Ya, ya... aku mengerti. Jangan dilepaskan maksudmu bukan?"
Tawa Tunggul Petaka. Dan dengan buas menciumi bagian dada Pitaloka yang menjerit-jerit sambil berusaha meronta.
"Jangan, jangan.... ahhh!!"
Karena terlalu ngeri dan takutnya, Pitaloka jatuh pingsan. Tunggul Petaka terkekeh.
"Sialan! Tapi biar-lah... yang penting tubuhnya begini montok dan ha-lus...."
Ketika dia hendak membuka seluruh pakaian Pitaloka, terdengar suara bernada wibawa dari belakangnya.
"Lepaskan gadis itu...!"
Tunggul Petaka menoleh. Dia melihat sesosok tubuh berjubah putih dengan tersenyum arif dan bi-jaksana.
"Siapa kau, heh?!"
Serunya yang merasa ter-ganggu. Dihadapinya sosok berjubah putih itu.
"Aku adalah aku...."
Kata si Jubah putih dengan tersenyum.
"Kau mempermainkan aku rupanya!"
"Kau tidak bertanya siapa namaku, kau hanya bertanya siapa aku! Tadi sudah kujawab. Aku adalah aku."
"Bangsat! Sebutkan nama jelek mu! Hari ini kau tengah berhadapan dengan Tunggul Petaka yang berjuluk si Cebol Penyebar Petaka!"
Seru Tunggul Petaka sombong. Dan kegeramannya makin menjadi-jadi karena orang itu berani-beraninya mengganggu kea-syikannya. Tetapi laki-laki setengah baya yang mengena-kan jubah putih itu hanya tersenyum arif dan bijaksa-na.
"Aku hanyalah orang biasa yang kebetulan le-wat di tempat ini dan melihat perbuatan busukmu itu!"
"Apa kau tidak tahu, bahwa mengganggu kese-nangan ketua Partai Tengkorak sama saja dengan mencari mati!"
Seru Tunggul Petaka.
"Maaf... aku tidak mencari mati. Aku hanya in-gin memperingatkan bahwa perbuatanmu itu salah."
"Salah atau benar itu urusan ku! Dan matilah sebagai ganjaran mu!"
"Mati di tangan Tuhan, Tunggul Petaka. Bila Tuhan menghendaki nyawaku saat ini, tentu saja aku akan mati. Tapi bila tidak, hari ini pun aku akan tetap hidup,"
Kata laki-laki berjubah putih itu dengan suara wibawa. Dan senyumnya yang arif dan bijaksana.
"Bangsat! Kau berkhotbah di depanku! Hhhh! Katakan siapa namamu sebelum ku cabut nyawa mu!"
"Kalau kau memaksa, baiklah. Namaku... Ma-dewa Gumilang...."
"Madewa Gumilang!"
Ulang Tunggul Petaka agak terkejut. Tetapi kemudian dia mendengus.
Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana