Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Gunung Tengkorak 2


Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Bagian 2



"Hhhh! Rupanya hari ini aku berhadapan dengan manusia dewa yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"

   "Ah, kau melebih-lebihkan aku,"

   Kata Madewa merendah. Namun kata-katanya itu malah semakin mem-bangkitkan kemarahan Tunggul Petaka.

   "Madewa... telah lama aku mendengar sepak terjang mu sebagai pendekar budiman, yang selalu menolong orang. Namun di hari ini, namamu akan ter-kubur habis di tanganku!"

   "Tunggul Petaka... aku hanya kebetulan lewat dan tidak berniat sedikit pun untuk berkelahi den-ganmu...."

   Kata Madewa.

   "Tapi kau telah mengganggu kesenanganku!"

   "Aku hanya memperingatkan, bahwa perbua-tanmu itu salah. Dan jelas aku tidak menyukai perbu-atan kejimu itu, Tunggul!"

   "Kalau begitu, baik... memang sudah lama aku mendengar nama besarmu! Dan telah lama pula aku mencoba kesaktianmu!"

   Geram Tunggul Petaka.

   "Nah, bersiaplah!"

   "Kukatakan sekali lagi Tunggul, aku tidak ingin berkelahi...."

   "Kalau begitu, pergilah dari sini dan biarkan aku berbuat semau ku!"

   "Bila itu permintaanmu, aku tidak bisa meme-nuhinya."

   "Kalau begitu terima seranganku!"

   Sehabis berkata begitu tubuh cebol itu bergerak dengan cepat.

   Se-buah pukulan bertenaga mengarah ke arah Madewa Gumilang.

   Orang yang memang Madewa Gumilang itu alias Pendekar Bayangan Sukma dapat merasakan be-tapa besarnya tenaga Tunggul Petaka yang dialiri ke pukulannya.

   Dia pun sudah menduga kalau tubuh ce-bol itu dapat bergerak dengan gesit dan cepat.

   Madewa memiringkan tubuhnya ke kiri.

   Seran-gan Tunggul Petaka tak mengenai sasarannya.

   Namun mendadak tubuh cebol itu berguling mengejar Made-wa.

   Kali ini Madewa bersalto ke belakang.

   "Hebat!"

   Desisnya.

   "Kau harus mampus, Madewa!"

   Geram Tunggul Petaka yang jengkel sudah dua kali serangannya gagal.

   Dia pun melancarkan serangannya lagi.

   Lebih cepat, tangguh dan ganas.

   Kali ini Madewa pun meng-gunakan jurus menghindarnya, Ular Meloloskan Diri.

   Serangan-serangan yang dilancarkan Tunggul Petaka tidak menemui sasarannya.

   Tunggul Petaka menggeram sambil bersalto ke belakang.

   "Sambut seranganku, Madewa!"

   Serunya sambil menyerang kembali.

   Madewa sendiri kali ini pun mulai membalas dengan jurus Ular Mematuk Katak.

   Cepat dan tangkas.

   Keduanya nampak seimbang.

   Bahkan Tunggul Petaka dapat bergerak berputar, berguling dengan hebat.

   Namun kembali serangannya tak menemui sa-saran.

   Sampai suatu ketika, dia menjerit hebat sambil melancarkan pukulannya.

   Melihat hal itu, Madewa pun bergerak mema-pakinya dengan pukulan Tembok Menghalau Badai.

   "Des!"

   Dua pukulan yang diiringi tenaga sakti itu ber-benturan dan menimbulkan suara yang cukup keras.

   Tunggul Petaka nampak terhuyung beberapa tindak.

   Sedangkan Madewa Gumilang hanya satu tindak.

   Tunggul Petaka menatap marah.

   Matanya me-mancarkan sinar membunuh.

   Tiba-tiba dia mengembangkan kedua tangan-nya.

   "Kau hadapilah ilmuku yang satu ini, Madewa!"

   Serunya.

   "Lihat!"

   Madewa melihat kedua tangan yang memben-tang itu mengeluarkan asap berwarna biru. Dan men-dadak kedua tangan itu pun berubah menjadi biru.

   "Ini pukulan Langit Biru, Madewa! Bila kau ter-kena pukulan ini, maka hancurlah tubuhmu seketika!"

   "Buktikanlah, Tunggul!"

   Kata Madewa tetap dengan tersenyum arif dan bijaksana.

   "Awas serangan!"

   Sehabis berkata begitu, Tunggul Petaka meme-kik menerjang ke depan.

   Pukulannya sangat ganas.

   Ketika pukulan itu bergerak, Madewa merasakan hawa panas yang luar biasa.

   Dia bergerak mundur dua langkah dan bersalto ke depan ketika kedua tangan Tunggul Petaka siap mengenai sasarannya.

   "Kau mau ke mana, Madewa!"

   Bentak Tunggul Petaka.

   "Aku di sini, Tunggul! Pukulanmu amat berbahaya!"

   Sahut Madewa tenang.

   "Masih ada lagi yang akan kuperlihatkan pa-damu, Madewa Gumilang! Tahan seranganku!"

   Kemba-li Tunggul Petaka menyerang.

   Madewa pun bersalto kembali dan menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Dirinya.

   Hawa panas yang keluar dari kedua tangan Tunggul Petaka amat luar biasa.

   Dan sambil bersalto, Madewa mengelua-rkan pukulan Angin Saljunya untuk mengimbangi ha-wa panas yang ditimbulkan oleh Pukulan Langit Biru Tunggul Petaka.

   Madewa pun menjajakinya dan mencari tempat yang kosong.

   Namun pertahanan Tunggul Petaka begi-tu rapat.

   Setelah lima jurus berlangsung lagi, keduanya kini berhadapan.

   Tunggul Petaka terkekeh.

   "Kini mampuslah kau, Madewa Gumilang!"

   "Kita belum melihatnya, Tunggul!"

   "Baik, tahan seranganku ini!"

   Sambil memekik keras Tunggul Petaka menye-rang kembali.

   Kali ini Madewa tidak menghindar.

   Dia malah maju pula untuk memapakinya.

   Keduanya menderu maju.

   Keduanya menyiapkan pukulan sakti masing-masing.

   Keduanya saling berbenturan hingga menim-bulkan suara yang cukup keras.

   "Duaaaarrr!!!"

   Kedua pukulan itu mengepulkan asap putih.

   Dan dari asap putih itu terpental dua sosok tubuh ke belakang.

   Tunggul Petaka merasakan sekujur tubuhnya dingin menggigil.

   Sedangkan Madewa Gumilang merasakan sekujur tubuhnya panas.

   Keduanya langsung duduk bersila.

   Tunggul Petaka berkonsentrasi untuk menghi-langkan hawa dingin itu, Sedangkan Madewa Gumilang berkonsentrasi untuk menghilangkan hawa panas.

   Itu menandakan kedua pukulan mereka seim-bang.

   Dan kini keduanya telah berdiri dengan sikap sempurna.

   Namun Tunggul Petaka merasakan sakit di da-danya, dia menekap dadanya.

   Dan berkata menyerin-gai.

   "Kau menang kali ini, Madewa! Tapi kutunggu kau di Gunung Tengkorak, saat purnama tiba! Bila kau seorang jago datanglah memenuhi tantanganku! Kita bertarung hidup dan mati!"

   Sesudah berkata begitu, tubuh cebol itu pun berkelebat menghilang.

   Madewa cuma mendesah panjang.

   Biar bagai-manapun, dia akan datang memenuhi tantangan Tunggul Petaka.

   Karena dia tidak ingin perbuatan ja-hat yang dilakukan Tunggul Petaka dan anak buah-nya, terus berlanjut.

   Lalu dia pun menyadarkan Pitaloka yang terke-jut karena di hadapannya kini nampak satu sosok ber-jubah putih.

   Tetapi begitu melihat senyum arif dan bijaksana yang diperlihatkan sosok jubah putih itu, dia sadar bahwa dirinya sudah bebas dari bahaya.

   "Ni mas... sekarang sudah aman. Kembalilah ke rumahmu...."

   Kata Madewa.

   Setelah membereskan cuciannya yang beranta-kan dan mengucapkan terima kasih, Pitaloka bergegas meninggalkan tempat itu.

   Madewa mendesah panjang.

   Menatap langit yang cerah.

   Dia akan menunggu sampai purnama datang.

   Di sebuah gubuk kecil yang terdapat sebuah hutan, terdengar erangan kesakitan.

   Yang cukup me-milukan.

   "Aduh! Sakit sekali, Ni mas... sakit sekali...."

   Jerit suara itu.

   "Tahan dulu, Baskoro. Racun yang berasal dari cakaran Bimapati sudah lima hari mengendap di tu-buhmu. Dan baru sedikit yang bisa ku keluarkan,"

   Terdengar suara menyahut.

   "Biarkan aku mati saja, Ni mas Saraswati... aku sudah tidak tahan lagi...!"

   "Tahan... tahan dulu... Yah, berkonsentrasi-lah... Duduklah dengan tenang... Keluarkan tenaga dalam dan hawa murni mu, Baskoro..."

   Ternyata gubuk jelek dan rombeng itu didiami oleh Baskoro dan Saraswati.

   Setelah melarikan diri sambil membopong tubuh Baskoro, Saraswati mene-mukan sebuah gubuk kecil di tengah hutan.

   Dia dapat mengetahui kalau Baskoro terkena racun dari cakaran Bimapati.

   Selama lima hari itu dia berusaha mengobatinya dan mengeluarkan racun dari tubuh Baskoro.

   Tetapi agaknya racun itu sudah bersatu dengan darah Baskoro.

   Hingga menyusahkannya untuk di ke-luarkan.

   Hari inipun Saraswati tengah berusaha untuk mengeluarkan racun itu Dia menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Baskoro yang terbuka.

   Dan menyalurkan tenaga dalamnya untuk mendorong keluar racun di tubuh Baskoro.

   "Bantu aku, Baskoro. Keluarkan pula tenaga dalammu...."Baskoro merasakan ada hawa panas yang ma-suk ke dalam tubuhnya dan bertemu dengan hawa pa-nas yang dikeluarkannya. Hawa panas itu timbul ka-rena desakan tenaga dalam Saraswati dan Baskoro.

   "Tahan, Baskoro...."

   "Aku sudah tidak tahan lagi, Ni mas..."

   "Tahan... tahan... aku sudah merasakan adanya hawa panas yang melawan hawa panas dari tanganku ini...."

   Keduanya terus berusaha untuk mengeluarkan racun dari tubuh Baskoro. Tubuh keduanya sudah berpeluh banyak. Tiba-tiba tubuh keduanya bergetar, Baskoro merasakan adanya desakan yang hendak keluar dari dalam tubuhnya. Mendadak dia muntah.

   "Huuaaak!!"

   Darah merah keluar bersamaan cairan berwar-na hijau.

   "Tahan, Baskoro... Tahan... racun itu sudah ke-luar!"

   Seru Saraswati sekuat tenaga sambil tetap menyalurkan tenaga dalamnya untuk mendorong keluar-nya racun dari tubuh Baskoro.

   Baskoro muntah lagi.

   Kali ini lebih banyak dari semula.

   Dan sekali lagi Baskoro muntah darah.

   Bersamaan dengan muntahnya yang terakhir, tubuh Saraswati terkulai dan pingsan.

   "Ni mas!"

   Seru Baskoro yang merasakan tubuhnya sudah agak pulih kembali.

   Dia melihat Saraswati nampak lemah sekali dan wajahnya amat pucat.

   Baskoro menjadi sadar bahwa betapa banyak-nya tenaga dalam yang dikeluarkan Saraswati hingga wanita itu pingsan.

   Dia menjadi terharu melihat Saraswati yang nampak rela mengorbankan dirinya agar dia terbebas dari racun yang ganas itu.

   Hati-hati dia membaringkan tubuh Saraswati yang masih pingsan.

   Lalu hati-hati pula dia mengelap keringat yang mengalir di tubuh wanita itu.

   "Maafkan aku, Ni mas, kau jadi begini karena menolongku...."

   Desisnya.

   Baskoro dapat merasakan betapa baiknya wa-nita itu sebenarnya.

   Selama lima hari wanita itulah yang melayaninya karena dia masih sakit akibat racun dari cakaran Bimapati.

   Dan diam-diam di hatinya telah tumbuh tunas-tunas cinta pada Saraswati.

   Baskoro masih tetap me-rasa heran sebenarnya.

   Apa yang telah dilakukan Sa-raswati hingga dia dicari oleh Bangsapati dan Bimapa-ti.

   Dia pun menjadi penasaran, sebenarnya ada apa di Gunung Tengkorak.

   Kini keinginannya untuk ke sana bukan lagi disebabkan oleh kesombongan dan kesokjagoannya, tetapi ingin mengetahui misteri apa yang terdapat di sana.

   Menjelang senja, barulah Saraswati tersadar dari pingsannya.

   Begitu sadar yang dicarinya adalah Baskoro.

   Begitu dilihatnya Baskoro tidak ada di tem-patnya dia menjadi panik.

   "Baskoro! Baskoro!"

   Serunya. Dia merasakan tubuhnya agak lemah akibat tenaga dalamnya telah terkuras. Dia memerlukan waktu kurang lebih sehari semalam untuk memulihkan tenaga dalamnya.

   "Baskoro.. di mana kau?!"

   Serunya panik. Tiba-tiba muncul Baskoro. Dia baru saja selesai mandi di sungai yang terdapat di belakang gubuk itu.

   "Aku di sini, Ni mas...."

   Desisnya pelan. Saraswati langsung berbalik. Dan menubruk tubuh Baskoro.

   "Kau sudah sembuh, Bas... kau sudah sem-buh?"

   Baskoro terharu melihat wanita ini benar-benar mengkuatirkan dirinya.

   "Berkat bantuanmu, Ni mas ..."

   "Oh, aku gembira sekali melihatnya...."

   Perlahan-lahan Baskoro mendekap tubuh yang berada di dalam rangkulannya.

   Saraswati sedikit ter-jingkat kaget karena dia seakan baru menyadari kalau tubuhnya tadi memeluk tubuh Baskoro.

   Wajahnya me-rona merah karena malu.

   Dia berusaha untuk melepaskan diri.

   "Kenapa, Ni mas?"

   Desis Baskoro mesra.

   "Kau tidak suka ku rangkul?"

   "Oh, aku... aku...."

   Saraswati nampak serba salah. Sesungguhnya di hatinya pun telah tumbuh tunas kasih sayang terhadap pemuda ini. Tetapi dia malu untuk mengungkapkannya. Namun sikapnya kali ini su-dah menunjukkan rasa kasih sayangnya. Makanya dia menjadi malu.

   "Aku suka merangkulmu, Ni mas...."

   Wajah Saraswati makin memerah.

   "Be... benarkah, Kakang?"

   Desisnya pelan.

   "Ni mas... Ni mas! kau memanggilku Kakang? Benarkah kau memanggilku Kakang?"

   Suara Baskoro terdengar sesak karena gembira dan bahagia.

   "Aku... aku...."

   Desah Saraswati makin tersipu.

   Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena malu.

   Dan perlahan-lahan kepalanya tertunduk.

   Dengan hati-hati Baskoro mengangkat dagu Sa-raswati, hingga mau tak mau gadis itu menatapnya.

   Baskoro menatapnya dengan mesra.

   "Ni mas... aku... aku... ah!"

   Baskoro sendiri susah untuk mengungkapkan kata hatinya. Saraswati yang menduga Baskoro sakit lagi akibat racun itu menjadi cemas. Dia belum tahu kalau kini Baskoro sudah terbebas dari racun itu.

   "Kau... kau kenapa, Kakang? Racun itu menya-kitimu lagi?"

   Tanyanya cemas. Baskoro menggelengkan kepalanya.

   "Bu... bukan itu maksudku, Ni mas.. Aku... ah, kau tidak marah kalau aku ngomong sesuatu?"

   "Kau belum mengatakannya Kakang. Sehingga aku tidak tahu harus marah atau tidak...."

   "Sungguh?"

   "Katakanlah, Kakang...."

   "Ni mas... aku... ah, entah kenapa.. aku tiba-tiba mencintaimu...."

   Saraswati menundukkan kepalanya.

   Melihat gadis itu menundukkan kepalanya dan terdiam, hati Baskoro menjadi tidak enak.

   Meskipun dia sering berkencan dan mendatangi tempat pelesi-ran, Baskoro belum pernah sekalipun mencintai seo-rang wanita secara sungguh-sungguh.

   Pikirnya Saras-wati marah karena dia telah lancang mengatakan cin-ta.

   "Ah....kau... kau marah, Ni mas? Maaf... maafkan aku... Aku... aku telah lancang berkata demikian,"

   Kata Baskoro terburu-buru. Perlahan-lahan Saraswati mengangkat kepa-lanya. Baskoro dapat melihat kalau gadis itu menan-gis. Perasaan bersalah makin menghunjam hati Baskoro.

   "Aku... aku sungguh-sungguh minta maaf, Ni mas... Anggap... anggaplah perkataan ku tadi tidak pernah ada...."

   Desisnya gugup.

   "Bukan... bukan itu, Kakang Baskoro...."

   "Lalu... lalu apa, Ni mas? Bukankah Kau marah padaku?"

   Saraswati menggeleng.

   "Tidak Kakang...."

   "Kalau begitu... kau menerima cintaku?"

   Desis Baskoro gembira. Tetapi Saraswati malah terdiam. Kembali Baskoro menjadi bingung.

   "Ni mas... kau bagaimana? Marah tidak, mene-rima cintaku pun tidak. Atau... ah, kau menolak cinta-ku?"

   Desis Baskoro agak kecewa. Saraswati buru-buru mengangkat kepala.

   "Bukan, bukan itu maksudku, Kakang... Ta-pi...."

   Kembali dia tertunduk.

   "Tapi apa, Ni mas?"

   "Oh, tidak... tidak..."

   Mendadak Saraswati melepaskan diri dari rangkulan Baskoro. Lalu dia menangis di sudut gubuk.

   "Ni mas... Ni mas... kau kenapa?"

   Tanya Baskoro sambil memburu.

   "Kakang... kau begitu baik padaku,"

   Desis Saraswati terisak.

   "Kau pun baik padaku, Ni mas...."

   "Bukan... bukan itu maksudku... Kau tidak ta-hu siapa aku, Kakang...."

   "Ni mas... mengapa kau berkata begitu? Aku tahu siapa kau? Kau adalah seorang wanita cantik yang pernah kukenal...."

   "Bukan, bukan itu, Kakang... Aku... aku... ah, aku adalah seorang wanita yang penuh dosa...."

   "Aku tak mengerti maksudmu, Ni mas...."

   "Aku... huhuhu... aku tak pantas menerima cinta mu, Kakang.... Aku adalah wanita yang bergeli-mang dosa dan nista... Kakang, harus kukatakan seca-ra jujur sekarang... Semula aku memang berusaha un-tuk memikat kau dan kedua temanmu semata-mata untuk kujadikan sebagai tameng bila kedua orang itu, Bangsapati dan Bimapati datang mendapatkan aku... Saat itu, aku memang ingin melarikan diri... tetapi, entah kenapa pikiranku berubah saat melihat kau dide-sak Bangsapati.... Kakang... aku hanyalah wanita ja-hat, wanita jalang... Aku tak pantas mendapat cinta mu, Kakang...."

   "Jangan kau berkata begitu, Ni mas... Aku pun tak seperti sangkaan mu... Aku adalah pemuda som-bong, sok jago dan berandalan...."

   "Tapi kau tak pernah terlibat kejahatan, Ka-kang...."

   Bantah Saraswati.

   "Ni mas... ceritakanlah sebenarnya apa yang te-lah terjadi sesungguhnya? Aku masih tidak tahu den-gan apa yang telah terjadi...."

   Lalu dengan terisak Saraswati pun bercerita apa yang telah terjadi. Baskoro mendengarnya dengan sepenuh hati. Dia jadi terenyuh mendengar kisah itu. Hati-hati didekapnya Saraswati.

   "Ni mas... siapa pun adanya kau ini, aku tetap mencintaimu...."

   "Benarkah, Kakang?"

   Tersendat Saraswati.

   "Percayalah padaku, Ni mas...."

   "Oh, Kakang Baskoro!"

   Saraswati berbalik merangkul Baskoro.

   Keduanya berangkulan erat sekali.

   Seakan tak mau dipisahkan.

   Dan hati keduanya telah menyatu.

   Setelah itu, keduanya pun duduk.

   Hati Saras-wati teramat bahagia.

   Malam mereka lewatkan berdua dengan penuh kebahagiaan dan penuh kasih sayang.

   Setelah itu, Baskoro berkata sambil menatap langit-langit gubuk.

   "Ni mas...."

   "Ya, Kakang...."

   "Kupikir... kita harus segera ke Gunung Teng-korak."

   "Untuk apa, Kakang?"

   "Kita harus menghentikan sepak terjang dari orang-orang Partai Tengkorak...."

   Saraswati terdiam. Lalu katanya.

   "Kakang... kau belum mengetahui siapa sesungguhnya Tunggul Petaka, Ketua dari Partai Tengkorak. Dia adalah seo-rang yang sakti mandraguna. Belum lagi Bangsapati. Menghadapi Bangsapati saja aku belum tentu menang. Apalagi menghadap Tunggul Petaka. Dan yang perlu kau ketahui, Kakang... penjaga yang mengawal Tung-gul Petaka jumlahnya hampir dua puluh orang. Dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan...."

   Baskoro terdiam. Dia menghela nafas panjang.

   "Ni mas... ketahuilah... selama ini kerja ku hanya berbuat salah dan dosa. Bukankah bila aku berhasil membasmi Partai Tengkorak berarti aku bisa menebus semua dosaku?"

   "Mungkin, Kakang... Tetapi bukan hanya itu sa-ja caranya. Kau bisa mengabdikan dirimu pada desa-mu. Dan kau bisa minta maaf pada orang-orang yang telah kau ganggu...."

   "Tapi...."

   "Kakang...."

   "Ni mas... keinginanku sudah bulat untuk da-tang ke Gunung Tengkorak. Masih ingatkah kau ketika pertama kali bertemu dan apa yang aku katakan?"

   "Ya, Kakang. Kau ingin menetap di Gunung Tengkorak."

   "Betul, Ni mas... dan keinginan itu masih ada hingga sekarang meskipun di sana ada orang-orang jahat bermukim. Ni mas... kau tahu bukan pekerjaan orang-orang itu?"

   "Ya."

   "Mereka tentunya teramat jahat. Bahkan mere-ka suka membunuh, bukan?"

   "Benar, Kakang...."

   "Nah,"

   Tidak berlebihan bukan bila kita datang ke sana untuk membasmi Partai Tengkorak itu."

   "Tapi, Kakang...."

   "Pastilah kita akan menang... Karena sesung-guhnya aku ingin membalas dendam atas kematian Suseno dan Randumoko....!"

   Suara Baskoro berubah menjadi geram. Kali ini Saraswati memakluminya. Dia sebenar-nya ingin menolak keinginan Baskoro. Dia ingin me-nikmati kebahagiaan ini selama-lamanya, berdua saja dengan Baskoro.

   "Kakang... bila itu maumu, kita pergi ke Gu-nung Tengkorak...."

   "Terima kasih, Ni mas... sebelumnya, besok pa-gi kita pergi dulu ke desa ku. Kita minta bala bantuan dari penduduk desa, Ni mas...."

   Malam pan semakin larut.

   Hampir sebulan lamanya Baskoro dan kedua temannya meninggalkan desanya.

   Hal itu membuat pa-ra orang tua mereka menjadi bingung, cemas dan pa-nik.

   Begitu pula halnya dengan Ki Lurah Sangsoko.

   Dia sedikit menyesali akan kesombongan ketiga pemu-da itu.

   Berkali-kali dia mengadakan rapat di Balai desa untuk segera mencari ketiga pemuda itu ke Gunung Tengkorak.

   Dan beberapa orang memang sudah menyang-gupi untuk pergi ke Gunung Tengkorak.

   Namun di kala senja sudah datang, penduduk desa itu dikejutkan dengan munculnya Baskoro dan seorang wanita cantik Saraswati sudah mengganti ba-junya dengan yang lebih sopan.

   Sesuai dengan rencana mereka dua malam yang lalu, besok paginya mereka pun segera menuju ke desa Baskoro.

   Sudah tentu para penduduk desa amat terkejut.

   Mereka berbondong-bondong keluar dari ru-mah untuk menemui Baskoro.

   Ibu Baskoro langsung memeluki anaknya.

   Begi-tu pula dengan ayahnya.

   Sedangkan ibu dari Suseno dan Randumoko mencari-cari ke mana anaknya.

   Setelah mereka yakin Baskoro hanya datang bersama wanita itu, mereka pun langsung bertanya.

   Baskoro menjadi bimbang dan ragu.

   Tetapi dia merasa tidak boleh menyembunyikan suatu kebena-ran.

   Lalu dengan hati-hati dia berkata.

   "Bu... aku minta... kalian berdua menabahkan diri mendengar cerita ku ini,"

   Kata Baskoro kepada kedua ibu itu yang menunggu dengan cemas.

   "Ada apa dengan anak ku, Suseno, Baskoro?"

   Tanya ibunya Suseno.

   "Anakku, anakku bagaimana, Baskoro?"

   Sam-bung ibu Randumoko tidak sabar.

   "Mereka... mereka mati terbunuh, Bu..."

   "Oh, Tuhan!"

   Seruan itu keluar dari mulut ibu Suseno dan ibu Baskoro.

   Dan tiga detik kemudian, kedua wanita setengah baya itu jatuh pingsan.

   Orang-orang pun menjadi ribut, beberapa orang ibu, membimbing ibu Suseno dan Randumoko ke ru-mah masing-masing.

   Sementara Ki Lurah Sangsoko mengajak Baskoro ke Balai desa.

   Dan sebelumnya Baskoro memperkenalkan Saraswati pada para pendu-duk dan menyuruhnya untuk tinggal di rumahnya ber-sama ayah dan ibunya.

   Di Balai desa Baskoro menceritakan apa yang telah terjadi.

   Sudah tentu mereka amat terkejut men-dengarnya.

   Ki Lurah Sangsoko berkata.

   "Hmm.. rupanya pencurian bayi yang terjadi di desa tetangga kita, ulah orang-orang Gunung Tengkorak...."

   "Benar, Ki Lurah... Dan kedatanganku ke sini, ingin mengusulkan kepada kalian semua, agar kita mendatangi Gunung Tengkorak dan membasmi orang-orang itu,"

   Kata Baskoro. Kata-katanya langsung disambut setuju oleh yang lain. Mereka pun menjadi geram mengingat Su-seno dan Randumoko tewas di tangan orang Gunung Tengkorak.

   "Benar, Ki Lurah! Kita serbu ke sana!"

   "Kita bakar markas mereka!"

   "Kita bunuh mereka semua!"

   "Kita ganyang mereka sampai ke akar-akarnya!!"

   Sahutan-sahutan ramai terdengar. Mereka jelas geram sekaligus dendam pada orang-orang Gunung Tengkorak Ki Lurah Sangsoko menenangkan mereka. Dia pun setuju untuk menyerang ke Gunung Tengkorak.

   "Kalau begitu... kita siap untuk menyerang ke sana. Dan hari ini pula kita harus mempersiapkan se-gala sesuatunya. Dan besok pagi, kita berangkat ke Gunung Tengkorak."

   Senja itu pula terlihat para penduduk desa menjadi sibuk. Ada sebagian yang segera mengasah senjata milik mereka. Berupa pisau, golok, parang, ce-lurit dan tombak. Sementara Ki Lurah Sangsoko masih berbicara dengan Baskoro.

   "Baskoro... sebenarnya bagaimanakah keadaan di Gunung Tengkorak?"

   Tanya Ki Lurah Sangsoko.

   "Maafkan saya, Ki... sebenarnya saya belum sampai menginjak Gunung Tengkorak. Tetapi di ten-gah jalan kami bertemu dengan Saraswati, wanita yang bersama saya tadi. Dan terlibat perkelahian dengan dua orang dari Gunung Tengkorak. Dalam perkelahian itulah Suseno dan Randumoko tewas"

   "Kalau begitu kau mengetahui keadaan Gunung Tengkorak dari wanita itu?"

   "Benar, Ki Lurah..."

   "Hmm...."

   Ki Lurah terdiam. Lalu katanya dengan hati-hati.

   "Kalau begitu... apakah dugaanku salah bila kukatakan wanita itu adalah salah seorang dari Partai Tengkorak? Mengingat dia begitu jelas secara pasti mengetahui keadaan Gunung Tengkorak?"

   Baskoro terdiam.

   Memang, dia tadi tidak mem-beri tahukan siapakah Saraswati sebenarnya.

   Dikare-nakan Baskoro takut para penduduk desa menjadi marah begitu tahu siapa Saraswati.

   Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya.

   Mena-tap Ki Lurah yang menunggu.

   Tatapan Ki Lurah Sang-soko begitu lembut dan bijaksana.

   Tidak ada kesan mendesak sedikit pun.

   "Ki Lurah, apa yang kau katakan itu benar adanya. Saraswati memang bekas orang-orang Partai Tengkorak. Tetapi kini dia telah sadar, Ki... bahkan karena dialah kami sampai berkelahi dengan Bangsapati dan Bimapati. Saat kami bertemu dengannya, dia da-lam keadaan dikejar-kejar oleh kedua orang itu. Kare-na Saraswati hendak berontak dari perkumpulan sesat itu. Namun dia juga sadar akan sangsi yang diberikan oleh orang-orang Partai Tengkorak, itulah sebabnya dia melarikan diri, Ki Lurah...."

   Ki Lurah Sangsoko mendesah panjang.

   "Aku mengerti perasaanmu, Baskoro. Kulihat... kau mencin-tai wanita itu dan begitu pula halnya dengan dia... Bukankah begitu?"

   Baskoro mengangguk. Dia diam-diam sangat mengagumi kecerdasan Ki Lurah Sangsoko.

   "Benar, Ki... saya amat mencintainya... Kini dia telah insyaf dan berniat untuk menjadi wanita baik-baik... Ki Lurah... apakah Ki Lurah bersedia meneri-manya sebagai penduduk desa di sini?"

   Tanya Baskoro hati-hati. Ki Lurah Sangsoko tersenyum.

   "Baskoro... kuli-hat kau telah berubah dari perangai mu yang lama. Yah... bila wanita itu menjadi istrimu... secara otomatis dia pun akan menjadi penduduk di desa ini...."

   "Oh, terima kasih, Ki Lurah...."

   "Baiklah, mari kita persiapkan segala sesua-tunya untuk mendatangi Gunung Tengkorak...."

   Gunung Tengkorak, dari kejauhan nampak gu-nung itu sunyi dan menyeramkan.

   Namun ketika su-dah dekat, nampaklah di tengah-tengah puncak gu-nung itu, sebuah bangunan besar, mirip dengan kuil.

   Di bangunan itu, nampak beberapa orang pen-jaga yang semuanya mengenakan kalung tengkorak.

   Saat ini di ruangan tengah kuil itu, Tunggul Petaka sedang termenung.

   Dia masih memikirkan kekalahannya dari Madewa Gumilang.

   Dan dia bertekad untuk mem-balasnya.

   Dan malam hari itu, tiba-tiba muncul Bangsa-pati dengan membopong mayat adik seperguruannya, Bimapati.

   Tunggul Petaka amat terkejut melihatnya.

   Dia tidak menyangka Dewi Baju Kuning, anak buah-nya yang durhaka dapat mengalahkan keduanya, bah-kan membunuh salah seorang dari mereka.

   "Maafkan saja, Ketua... Dewi Baju Kuning... di-bantu oleh tiga orang pemuda gagah... Dan dua orang pemuda itulah yang membunuh Bimapati..."

   Kata Bangsapati sedih.

   "Namun saya sudah membalas kematian Bimapati...."

   "Bagus! Nah, Bangsapati... mulai saat ini kau berlatihlah! Karena aku menduga, Saraswati akan da-tang ke Gunung Tengkorak!"

   "Benarkah, Ketua?"

   "Ya."

   "Hmmm... Saraswati... kini tak ada jalan lain bagimu untuk meloloskan diri!"

   Memang, selain ahli dalam ilmu silat Tunggul Petaka juga ahli ilmu peramalan.

   Menurut bintang-bintang di langit, dia melihat dua buah bintang mendekati sebuah bintang yang cu-kup besar.

   Dan dia mengartikan, akan datang dua orang jago ke Gunung Tengkorak.

   Dan sebelum purnama tiba, saat pertarungan-nya dengan Madewa Gumilang, Tunggul Petaka telah menyempurnakan ilmu yang baru dipelajarinya.

   Dan dia yakin, akan dapat mengubur nama besar Pendekar Bayangan Sukma selama-lamanya.

   Gunung Tengkorak akan menjadi sejarah di dunia persilatan.

   "Ini merupakan sejarah terbesar dalam dunia persilatan..,. hahahaha!"

   Tiba-tiba dua pengawal pengintai masuk ke ruang dalam dengan tergopoh-gopoh.

   "Ada apa?!"

   Si Cebol bulat itu membentak, membuat jantung kedua pengawal tadi seakan mau copot.

   "Maaf, Ketua... kami melihat iring-iringan rakyat desa datang ke sini...."

   Lapor yang seorang.

   "Mau apa mereka?"

   "Mereka hendak menyerang kita, Ketua! Karena terlihat mereka membawa senjata apa saja...."

   "Menyerang?"

   Pekik Tunggul Petaka geli. Tiba-tiba dia terbahak.

   "Hahaha... orang-orang desa yang cari penyakit! Biarkan mereka mendaki sampai ke puncak, setelah itu hantam mereka sampai mampus semuanya... hahaha... tak kusangka mereka mau mampus di hari ini!"

   Iring-iringan rakyat desa yang dipimpin oleh Ki Lurah Sangsoko dan Baskoro itu terus bergerak menu-ju puncak Gunung Tengkorak.

   Mereka semua nampak bersemangat sekali.

   Dendam telah membakar mereka, di samping mereka pun ingin membasmi Partai Teng-korak yang sesat itu.

   Mereka tak mengenal lelah.

   Setelah menempuh waktu dua jam untuk men-daki, iring-iringan itu tiba di puncak Gunung Tengkorak.

   Namun belum lagi mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar seruan keras.

   "Serbuuuuu!!!!"

   Dari balik semak, sekitar lima belas orang muncul dengan pedang di tangan.

   Dan barisan berpe-dang itu dengan cepat mengocar-ngacirkan iring-iringan itu.

   Ki Lurah Sangsoko segera maju ke arena menghadapi seorang lawan.

   Begitu pula dengan Baskoro.

   Dan Saraswati alias Dewi Baju Kuning kembali berhadapan dengan Bangsapati yang nampak geram bukan main.

   "Hhh! Akhirnya kau datang sendiri untuk me-nyerahkan nyawamu, Dewi...."

   Dengus Bangsapati sambil melipat kedua tangannya di dada.

   "Kau salah besar, Bangsapati... Aku datang ju-stru ingin mencabut nyawa busukmu! Kau sudah tak layak untuk berlama-lama hidup, karena hanya mem-buat kerusakan dan keonaran di muka bumi ini!"

   "Hei, pandai pula kau berkhotbah sekarang, hah?!"

   "Aku tidak sedang berkhotbah, Bangsapati! Ta-pi aku datang memang ingin mencabut nyawa mu!"

   Sahut Saraswati tegas.

   "Bangsat! Buktikan ucapanmu itu, Dewi!"

   Geram Bangsapati sambil menyerang. Pukulannya cepat. Mengandung tenaga dalam yang cukup besar. Saraswati pun mulai menjajakinya. Dia tidak menghindar, melainkan menangkis.

   "Des!"

   Dua buah pukulan itu beradu. Saraswati mera-sakan tangannya kesemutan. Ini menandakan tenaga dalam Bangsapati lebih besar.

   "Aneh, mengapa dia menjadi lebih hebat?"

   Desis Saraswati dalam hati.

   Namun Saraswati tidak sempat berfikir lagi, ka-rena Bangsapati sudah menyerangnya kembali.

   Terja-dilah pertempuran yang cukup sengit antara kedua-nya.

   Sementara pertarungan yang lain pun berlang-sung.

   Ki Lurah Sangsoko masih seimbang menghadapi seorang lawannya.

   Begitu pula dengan Baskoro.

   Namun yang amat menyedihkan, adalah para penduduk desa yang hanya bermodalkan keberanian saja tanpa kebisaan apa pun.

   Maka dengan mudahnya mereka dibunuh oleh orang-orang Partai Tengkorak.

   Jeritan pilu terdengar.

   Pekik kesakitan mengumandang.

   Rintih kematian menggetarkan.

   Suara senjata yang beradu cukup keras pula.

   Di puncak Gunung Tengkorak seketika banjir darah terjadi.

   Saraswati sebisanya mengimbangi Bangsapati yang tengah diliputi dendam sehingga serangannya menjadi amat ganas dan berbahaya.

   Berulang kali se-rangannya mengancam jiwa Saraswati, yang dengan susah payah menghindar dengan jalan melompat ataupun bersalto.

   Dan sekali-kali dia masih berusaha untuk membalas.

   "Kau harus mampus di Gunung Tengkorak ini, Dewi! Ini adalah rumah dan kuburanmu!"

   Seru Bangsapati sambil terus menekan dan mendesak.

   "Jangan bermimpi dapat mengalahkan aku, Bangsapati! Justru kaulah yang akan mampus di Gu-nung Tengkorak!"

   Sahut Saraswati sambil bersalto menghindari sambaran kaki Bangsapati ke wajahnya.

   "Wuuuut!"

   Tubuh itu bergerak memutar dua kali di udara.

   Dan hinggap dengan manisnya.

   Saraswa-ti dapat melihat betapa banyaknya rakyat desa yang tak berdosa menjadi korban.

   Untuk sementara dia sengaja meninggalkan Bangsapati.

   Diraihnya sebilah golok yang tergeletak di tanah.

   Lalu diapun memasuki pertempuran.

   Goloknya berkelebat ke sana ke mari menyam-bar sasarannya.

   Kini ganti terdengar pekikan dari mulut orang-orang Partai Tengkorak.

   Dan darah mereka pun me-nyembur membasahi bumi.

   Melihat hal yang tidak menguntungkan itu, Bangsapati pun menerjunkan diri ke pertempuran.

   Tangannya pun bergerak ke sana ke mari.

   Dan setiap kali tangannya bergerak pasti terdengar suara jeritan disusul dengan tubuh ambruk.

   Dan Saraswati pun menjadi geram.

   Kalau dia tidak menahan amukan Bangsapati, bisa kacau balau.

   Semuanya bisa habis dibantai.

   Di lain pihak, Baskoro sudah menyelesaikan lawannya.

   Namun begitu dia akan bergerak, mengha-dang lagi seorang lawannya.

   Dan kembali dia terlibat pertarungan.

   Ki Lurah Sangsoko pun sudah menyudahi la-wannya.

   Dia pun mengamuk dengan hebat dalam per-tempuran.

   Namun dia merasakan ada sebuah pukulan yang teramat keras menimpa dadanya.

   "Dukkkk!!"

   Tubuh Ki Lurah Sangsoko terpental ke bela-kang. Dan ketika dia membuka matanya, di hadapan-nya berdiri satu sosok pendek cebol. Dan makhluk ce-bol itu terkekeh sambil berkacak pinggang.

   "Rupanya kau pemimpin dari pengacau ini, hah?!"

   Bentaknya dan seketika wajahnya berubah menyeramkan.

   Matanya bersinar memancarkan nafsu in-gin membunuh.

   Yang membuat Tunggul Petaka marah karena malam nanti adalah malam purnama.

   Di mana dia te-lah menantang Madewa Gumilang untuk bertarung.

   Ki Lurah Sangsoko langsung menduga kalau si Cebol inilah yang bernama Tunggul Petaka sesuai den-gan cerita dari Baskoro.

   Dia tahu, dia tengah menghadapi manusia sakti.

   Namun Ki Lurah Sangsoko tidak takut sedikit pun.

   Bahkan dia pun bersiap.

   Memegang erat-erat go-loknya.

   Matanya pun nyalang.

   "Tunggul Petaka... akulah pemimpin dari semua ini! Dan kami datang ingin menghancurkan Partai Tengkorak!"

   Seru Ki Lurah Sangsoko.

   "Hahaha... tak kusangka kau pemimpin ru-panya, Orang tua!"

   "Cebol jelek! Kau rupanya yang bermimpi ingin berlama-lama bermukim di Gunung Tengkorak! Kami datang ingin membasmi gerombolanmu sampai ke akar-akarnya!"

   Balas Ki Lurah Sangsoko.

   "Besar mulut! Awas serangan!"

   Si Cebol kecil Tunggul Petaka pun menderu maju menyerang.

   Ki Lurah Sangsoko terkejut.

   Karena orang itu mampu bergerak sedemikian cepatnya.

   Serentak dia menghindar ke samping.

   Namun Tunggul Petaka cepat berbalik dan mengirimkan satu jotosan ke bahu Ki Lurah Sangsoko.

   "Buk!"

   Pukulan itu bersarang di bahu Ki Lurah, yang merasakan kesemutan. Namun hal itu bukan membuat Ki Lurah Sang-soko menjadi takut, dia makin menggeram marah.

   "Aku akan mengadu jiwa denganmu, Tunggul Petaka!"

   Serunya seraya menyerang dengan golok terhunus ke depan.

   Tunggul Petaka hanya terkekeh saja.

   Lalu ber-salto dengan lincah.

   Tubuh cebolnya bak bola karet belaka.

   Begitu lentur setiap kali menjejakkan kaki di bumi, karena tubuh itu langsung melenting kembali.

   Ini membuat Ki Lurah Sangsoko menjadi agak kewalahan.

   Di samping Tunggul Petaka bergerak san-gat cepat, dia juga memiliki tenaga dalam yang besar.

   Berulangkali pukulan dan tendangan Tunggul Petaka hampir mengenai sasarannya.

   Namun selama tiga jurus Ki Lurah Sangsoko selamat.

   Tetapi pada jurus selanjutnya, nampaklah dia terdesak hebat.

   Dan satu jotosan membuat Ki Lurah Sangsoko terhuyung ke belakang dan muntah darah.

   Tunggul Petaka terbahak.

   "Hahaha... mampus-lah kau, Orang tua!!"

   Tunggul Petaka menderu maju menyerang den-gan pukulan lurus ke depan. Ki Lurah Sangsoko yang sudah menderita luka dalam, tak bisa berbuat apa-apa selain memejamkan mata dan pasrah pada nasib. Tiba-tiba.

   "Des!!"

   Terdengar sebuah benturan keras.

   Kaget Ki Lu-rah Sangsoko membuka matanya dan melihat satu so-sok berjubah putih.

   Begitu pula halnya dengan Tunggul Petaka yang merasakan pukulannya menghantam tembok be-sar.

   Dia pun kaget begitu melihat Madewa Gumilang berdiri di hadapannya.

   Rupanya dialah yang memapaki serangannya tadi.

   Bangsat! "Hhhh! Rupanya kau, Madewa Gumilang!"

   Ge-ramnya jengkel.

   "Maafkan aku, Tunggul Petaka. Aku menging-kari janji. Purnama belum tiba dan malam pun belum datang, tetapi aku telah lancang berada di sini dan mengganggu keasyikan mu!"

   Kata Madewa tetap tersenyum arif dan bijaksana.

   "Mengingkari atau tidak mengingkari, yang pas-ti kau sudah berada di sini! Dan harap kau ketahui, Madewa... Gunung Tengkorak inilah tempatmu diku-bur!"

   Seru Tunggul Petaka sombong.

   Madewa cuma tersenyum.

   Sementara diam-diam Ki Lurah Sangsoko terkejut mendengar siapa adanya laki-laki berjubah putih ini.

   Madewa Gumilang! Pendekar Bayangan Sukma! Dia sudah sering menden-gar akan sepak terjang pendekar budiman itu.

   Dan dia tidak pernah menyangka akan berjumpa dengannya hari ini.

   Diam-diam pula Ki Lurah Sangsoko mendesah gembira, merasa dewa penolong telah datang.

   Sedangkan Tunggul Petaka menggeram marah.

   Dia tak mau membuang waktu lagi.

   Dengan memekik keras dia pun menerjang hebat.

   "Mampuslah kau, Madewa!"

   Geramnya seraya melancarkan pukulan lurus ke wajah Madewa.

   Madewa memiringkan tubuhnya dan membalas dengan satu jotosan ke perut si Cebol.

   Namun Tunggul Petaka kembali memperlihatkan kegesitan dan kelin-cahannya.

   Tubuh itu mendadak saja berguling.

   Den-gan hebat dan gesit.

   Pukulan Madewa lewat di atasnya.

   Dan menda-dak tubuh Tunggul Petaka bergerak berguling ke arah Madewa.

   Kakinya siap menyapu kaki Madewa.

   Madewa pun bersalto.

   Namun tubuh si Cebol terus berguling dengan hebat mengejarnya.

   Saat dia berguling itu menimbulkan suara gemuruh yang he-bat, juga debu-debu yang beterbangan.

   Sementara rakyat masih menggempur berusaha masuk ke bangunan besar itu.

   Mereka dengan gigih menghadapi serangan-serangan dari orang-orang Par-tai Tengkorak.

   Berkat kegigihan dan jumlahnya yang cukup banyak, mereka berhasil membunuhi orang-orang itu.

   Dan masuk ke bangunan besar itu.

   Lalu mengobrak-abrik barang-barang yang ada di sana.

   Dengan buas dan bernafsu.

   Di luar pertarungan antara Baskoro dengan sa-lah seorang pengawal berlangsung pula dengan seru.

   Namun melewati beberapa jurus kemudian, nampak Baskoro berada di atas angin.

   Goloknya berkelebat ke sana ke mari dengan hebat.

   Mengancam bagian-bagian berbahaya bagi la-wannya.

   Tiba-tiba dia memekik keras.

   "Des!"

   Goloknya berhasil menyambar tangan kanan dari lawannya hingga buntung.

   Di saat orang itu men-jerit kesakitan, Baskoro langsung menghabisinya den-gan menghunjamkan goloknya ke ulu hati lawannya.

   Lalu mampuslah lawannya dengan bersimbah darah.

   Baskoro langsung menerjunkan diri pada perta-rungan antara Saraswati dengan Bangsapati.

   Dia meli-hat Saraswati mendapatkan tekanan-tekanan yang he-bat dari Bangsapati.

   "Mampus kau, Bangsapati!"

   Geram Baskoro sambil mengibaskan goloknya ke leher Bangsapati. Bangsapati merundukkan kepalanya dan ber-salto ke belakang.

   "Hahaha... memang itu yang kuharapkan! Biar kau pun cepat mampus di tanganku!"

   Baskoro menggeram marah.

   "Kau harus membayar nyawa kedua sahabatku, Bangsapati!!"

   "Membayar? Hahaha... atau kau yang akan menemani mereka di akhirat!"

   "Manusia busuk!"

   Geram Baskoro sambil me-nyerang dengan ayunan goloknya.

   Saraswati pun bergerak dengan cepat.

   Dia su-dah mengeluarkan jurusnya Menggulung Bara Api.

   Membuat Bangsapati agak kewalahan.

   Belum lagi dengan serangan-serangan Baskoro yang ganas dan berbahaya.

   Membuatnya berulangkali bersalto menghindar.

   Tiba-tiba dia melenting kembali dan di tangan-nya jurus andalannya Telapak Darah sudah dikelua-rkan.

   Dia memburu dengan hebat pada Baskoro.

   Sebisanya Baskoro mengibaskan goloknya un-tuk menahan serangan-serangan ganas Bangsapati.

   Melihat hal itu Saraswati pun bergerak mem-bantu.

   Membuat Bangsapati berpaling menyerang pa-danya.

   Dia pun tak mau dirinya dijadikan sasaran ju-rus Menggulung Bara Api milik Saraswati atau Dewi Baju Kuning yang dahsyat itu.

   Kembali keduanya bertarung dengan hebat.

   Baskoro pun datang membantu dengan ayunan goloknya.

   Hebat Bangsapati.

   Dalam keadaan membe-lakangi Baskoro dia bisa bersalto menghindar begitu dirasakannya desiran angin yang ditimbulkan dari ayunan golok itu mendekatinya.

   "Hup!!"

   Dia hinggap di tanah dengan ringannya.

   Merasa serangannya gagal dan dipengaruhi dendam untuk menuntut balas kematian kedua sahabatnya, Baskoro berbalik lagi dan menyerang.

   Namun ini merupakan kesalahan yang teramat fatal baginya.

   Karena tiba-tiba pula Bangsapati bergerak me-mapakinya.

   Tangan kanannya menepak golok Baskoro hingga terlepas dari genggamannya.

   Dan tangan ki-rinya siap hinggap di dada Baskoro yang terbuka.

   "Awaaassss!!"

   Terdengar pekikan Saraswati dan menderu maju menghalangi pukulan Bangsapati pada Baskoro. Dan tanpa ampun lagi dirinya yang menjadi sasaran pukulan Telapak Darah milik Bangsapati. Tubuh itu pun terpental dengan deras ke samp-ing. Baskoro menjerit.

   "Nimaaaasss!!"

   Serunya seraya memburu. Dia mendapati dada Saraswati hangus oleh pukulan Telapak Darah Bangsapati.

   "Ni mas...."

   Panggilnya. Saraswati membuka matanya perlahan. Nam-pak layu dan tak bersemangat. Dia berusaha terse-nyum. Dan keluar darah dari mulutnya. Dadanya se-rasa terbakar.

   "Kakang...."

   Panggilnya sambil menahan rasa sakit yang teramat sakit.

   "Ni mas...."

   "Kakang... ah, sakit sekali, Kakang...,"

   "Mengapa kau lakukan itu, Ni mas? Mengapa?"

   Terbata-bata suara Baskoro.

   "Kakang...."

   Saraswati tersenyum.

   "Karena... aku mencintaimu... aku... aku baha-gia, Kakang... Aku... aaahhh!!"

   Kepala itupun terkulai, dan nyawanya pun melayang.

   "Nimaaaass!!"

   Pekik Baskoro sambil memeluk tubuh yang telah menjadi mayat itu. Dia amat pedih. Sakit hati. Tiba-tiba dia berdiri. Dan menatap Bangsapati dengan tatapan membara.

   "Kau harus membayar semua yang telah kau lakukan, Bangsapati!"

   "Hahaha... sebentar lagi kau pun akan menyu-sul... heit!"

   Belum selesai kata-kata Bangsapati, Baskoro sudah menyerang dengan hebat dan cepat.

   Dia harus membalas semua ini.

   Harus! Sementara itu antara Madewa Gumilang dan Tunggul Petaka sedang terjadi benturan antara puku-lan Angin Salju yang dilepaskan Madewa dan Pukulan Langit Biru yang dilepaskan Tunggul Petaka.

   Tubuh keduanya terpental.

   Dan seperti yang lalu, keduanya merasakan hawa dingin dan panas di tubuh mereka.

   Tiba-tiba Tunggul Petaka memekik keras.

   Dan punahlah hawa dingin yang membelenggu itu.

   Dia menggeram.

   "Madewa... kini terimalah ju-rusku yang berikut. Memusnahkan Gunung Karang!"

   Serunya seraya membuka jurusnya. Saat dia membuka jurus itu, Madewa dapat merasakan betapa besarnya tenaga dari Tunggul Peta-ka. Dia pun bersiap dengan pukulan Tembok Mengha-lau Badainya.

   "Tahan serangan!"

   Seru Tunggul Petaka sambil melesat ke arah Madewa. Madewa pun bergerak dengan, cepat. Memapa-ki serangan itu. Kembali dua benturan keras tak dapat dielak-kan.

   "Duaaaarrr!!"

   Suaranya bagaikan ledakan sebuah bom yang keras.

   Daun-daun di sekitar sana berguguran.

   Dari asap yang mengepul itu, terlontar satu so-sok tubuh berjubah putih.

   Madewa Gumilang ter-huyung ke belakang dan muntah darah.

   Sedangkan Tunggul Petaka tetap berdiri tegar di tempatnya.

   "Hahaha... ternyata hanya begitu saja nama be-sarmu, Madewa Gumilang!"

   Madewa mengusap darah yang keluar dari mu-lutnya.

   Dia dapat merasakan betapa dahsyatnya puku-lan yang dilepaskan oleh Tunggul Petaka.

   Dan andai-kata orang itu bukan Madewa Gumilang yang telah memiliki tenaga dalam tingkat maha sempurna ten-tunya orang itu sudah mati dengan tubuh hancur! "Sekarang...

   terimalah kematianmu, Madewa!"

   Geram Tunggul Petaka sambil mempersiapkan diri lagi.

   Kali ini Madewa tidak mau berbenturan untuk kedua kalinya.

   Dia merasa dadanya cukup sesak keti-ka memapaki serangan Tunggul Petaka tadi.

   Dan tiba-tiba dia terdiam.

   Lalu perlahan-lahan tangannya terangkum di dada.

   Dari kedua tangan itu mengepullah asap putih.

   Itulah pukulan pamungkas yang dimiliki oleh Madewa Gumilang, Pukulan Bayan-gan Sukma! Terpaksa dia mengeluarkan pukulannya itu demi menahan serangan dari Tunggul Petaka.

   "Majulah, Tunggul! Kita lihat siapa yang lebih digjaya!"

   "Hahaha... kini kau harus mampus di tangan-ku, Madewa!"

   Seru Tunggul Petaka dan tubuhnya menderu menyerang. Lagi-lagi Madewa pun bergerak memapakinya. Dan mau tak mau kembali dua benturan pukulan sak-ti terdengar. Kali ini lebih hebat dari yang tadi. Lebih keras. Lebih dahsyat.

   "DUAAAARRR!!!"

   Ledakan keras terdengar kembali.

   Debu-debu beterbangan.

   Dan daun-daun kembali berguguran, Bahkan salah satu pohon yang tumbuh di sana tum-bang akibat goncangan yang sangat hebat! Kembali dari debu dan asap putih yang menge-pul itu terlempar dua sosok tubuh.

   Sama-sama keras dan hebat.

   Madewa terjatuh dan kembali muntah darah.

   Begitu pula dengan Tunggul Petaka.

   Tetapi ti-ba-tiba dia bangkit.

   Berdiri dengan gagah.

   "Hahaha... ternyata kau tak mampu mengalah-kan aku, Madewa! Hahaha... aku... oh, akhh... aaaaakkhhh!!"

   Tubuh itu menjerit dan kelojotan.

   Lalu ambruk dengan tubuh hancur.

   Madewa mendesah panjang.

   Betapa saktinya Tunggul Petaka.

   Namun Pukulan Bayangan Sukmanya ternyata lebih sakti.

   Dia melihat Baskoro tengah terdesak hebat oleh Bangsapati.

   Madewa pun menggerakkan tangan ka-nannya.

   Dan serangkum angin besar menderu ke arah Bangsapati.

   Hingga dia terlempar dan menabrak pohon besar.

   Kepalanya pecah! Mampuslah Bangsapati.

   Madewa pun berdiri.

   Dadanya masih terasa sa-kit.

   Dia berkata pada Ki Lurah Sangsoko yang telah berdiri di dekatnya.

   "Kuburkan semua mayat-mayat di sini. Dan hancurkan bangunan itu! Aku masih harus mencari anak dan menantuku, Pranata Kumala dan Ambarwa-ti!"

   Katanya lalu "Wwwuuttt!"

   Tubuh itu pun lenyap dari pandangan. Ki Lurah Sangsoko mendesah. Dia belum men-gucapkan terima kasih. Dan pelan-pelan dia berkata.

   "Terima kasih pendekar budiman...."

   Lalu dia pun menghampiri Baskoro yang se-dang menangis di depan mayat Saraswati. SELESAI Scan/E-book. Abu Keisel Juru Edit. Fujidenkikagawa

   

   

   

Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini