Ceritasilat Novel Online

Welas Asih Tak Terkalahkan 3


Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Bagian 3



"Siapa itu ?", bentak So Hok Sing dengan keras.

   "A .. aku Lay Ting Hok", jawabnya tersekat-sekat.

   "Oh Engko Lay!", teriak kedua pemuda ini berbareng. Dan serempak mereka membungkuki tubuh Lay Ting Hok. Setelah diketahuinya, bahwa yang terluka dikepalanya, Lo Cie Sian lantas melesat lari masuk kerumah untuk mencari kain pembalut. Sesudahnya dapat, lain dibalutnyalah kepala Lay Ting Hok yang terluka kena pukulan ini. Sebentar kemudian, sebelum kedua sahabatnya sempat bertanya tentang sebab-musababnya, tiba-tiba Lay Ting Hok lantas bangkit dari duduknya seraya masih memegangi kepalanya, berkatalah kepada. kedua teman setianya ini .

   "Adik So dan adik Lo, tolong rawatlah tubuh ayah Oen Hong Kiauw yang ada dibawah pohon itu! Tetapi, baiknya bawalah kerumahmu saja! Dan kini aku pinjam golokmu untuk menuntut- balas dan mencari jejak kekasihku yang diculik orang-orang bertopeng itu!"

   Sehabis berkata, tanpa menunggu jawaban, dengan cepat ia merebut golok Lo Cie Sian yang kemudian melesat pergi.

   Dan dengan sekejap mata saja, Lay Ting Hok telah lenyap dari pandangan mata.

   Kedua pemuda yang ditinggalkan ini, hanya terlongoh-longoh saja menyaksikan kawannya yang mempunyai hati seperti baja itu.

   Betapa tidak? Karena ia sendiri sebetulnya terluka-parah, tetapi tanpa memikirkan keselamatan jiwanya, lantas bertekad teguh untuk menuntut-balas pada lawannya yang telah-berani mencuiik kekasihnya yang sangat ia cintai.

   Kini, kedua orang muda ini hanya patuh dan menurut sa.

   ja pada apa yang telah dipesankan oleh sahabat-karibnya, Lay Ting Hok.

   Kemudian tubuh orang tua yang malang ini, segera digotong keruma.h Lo Tile Sian untuk dirawatnya disana.

   ? oOo ? Hari mulai terang, fajar menyingsing diuftik timur keine rah- merahan warnanya.

   Bukit-bukit, batu-batu, rerumputan dan dedaunan lainnya, nampak seperti habis mandi saja layaknya terkena embun pagi.

   Pagi ini, serambi-tengah rumah tuan tanah Thio yang bagai kan istana raja itu, nampaklah keempat orang yang sedang berunding.

   Rupa-rupanya perundingan ini bersifat sangat rahasia, karena temyata semua pintunya tertutup rapat.

   Pertama-tama yang tanah Thio, katanya "Heee, Ting Liang ! Bagaimana kabarnya, apakah sudah berhasil semua tugasmu?"

   "Berkat do'a tuanku, semuanya telah Beres! Dan semuanya telah berjalan menurut apa yang kita rencanakan. Barangkali, si cecurut itu kini sudah mampus, lantaran kebacok pundak nya sampai menggelepar seperti ayam disembelih saja".

   "Bagus, bagus, itulah yang kuharankan! Lantas anak si tikus itu apakah sudah kepegang juga?", tanya si tuan-tanah lebih lanjut.

   "Sudah ayah, malahan sekarang ia sudah kukurung dikamarku", sambung Thio King dengan muka berseri-seri.

   "Sjukur, sjukurlah! Karena engkau memangnya sudah jatuh cinta kepadanya, meski saja sendiri sebetulnya tidak begitu menyetujuinya. Tetapi yaa apa boleh buat, malahan sebaiknya supaya lekaslekas saja kita atur dan kita tentukan hari perkawinanmu itu'', sahut situan-tanah. Dan Thio King hanya manggut-manggut senang tanda menyetujui.

   "Cuma saja ada hal-hal yang perlu dikuatirkan, tuanku", kata Ting Liang menyela.

   "Hm, apa lagi yang perlu dikuatirkan, Ting Liang ?"

   Membuka pembicaraan adalah tuan.

   "Begini tuanku, kukira pemuda Lay Ting Hok si keparat. itu kini belum mampus, jadi masih bisa balas-dendam".

   "Hah, masa sebodoh itu kau, Ting Liang! Percuma aku piara kau! Masakan cuma dia sendiri seorang diri saja sampai bisa mengalahkan kita berempat?", bentak si tuans-tanah sembari marah- marah.

   "Bukan begitu, tuanku ! Memang kalau cuma dia seorang saja, sudah barang tentu tak begitu berbahaya. Tetani, karena dia punya sobat-kentel, yaitu Sutee-suteku So Hok Sing dan Lo Cie Sian, inilah yang sangat berat untuk menghadaninya", kata Ting Liang dengan sungguh-sungguh.

   "Huh, macammu, Ting Liang! Justru mereka hanya adik seperguruanmu, mengapa engkau mesti takut?"

   "Terus-terang saja kuakui, bahwa kedua Suteeku tak boleh dipandang enteng. Lebih-lebih lagi Lo Cie Sian, ia telah memiliki ilmu yang paling sukar dipelajarinya, yaitu yang dinamakan . Jien Sin Lang Jen. Sedang saya sendiri tak mampu mempelajarinya, tuanku !"

   "Habis, lalu bagaimana ? Apakah kita mesti gulung-tikar saja?", sahut ayah Thio King dengan sangat marahnya, sampai kakinya dihentak-hentakkannya ke lantai.

   "Baiknya begini tuanku. Sekarang tuan-muda Thio King, Kwan Ling dan saja sendiri supaya segera pergi kerumah Suhu Liang Hong untuk meminta bantuannya, yaitu dengan jalan supaya Suhu untuk sementara waktu mau berdiam dirumah tuanku sini, sehingga dengan demikian, kalau sewaktu-waktu bahaya, cukuplah dia sendiri yang menghadapinya !", jawall-Ting Liang yang penuh akal- busuknya ini.

   "Hiii-ha-hahaaa, pendapat yang bagus inu.! Tetapi, lalu bagaimana caranya supaya Suhu-mu itu mau bertempat-tinggal sementara disini ?"

   "Hm , untuk itu, cukuplah diserahkan saja kepadaku, tuanku! Pokoknya, aku harus bisa memancing serta menghasut-hasut Suhu supaya berpihak kepada kita, tuanku", jawab Ting Liang dengan sungguhsungguh.

   "Kalau begitu, baiklah, Ting Liang! Baiknya sekarang juga engkau bertiga kerumah Suhu Liang Hong untuk meminta bantuannya", kata situan-tanah, dan kini mukanya diadi bening lagi. Mereka bertigapun segera mintadiri, dan bergegas-Regas pergi menuju kearah jalan besar. Dan tak perlu pulalah kiranya diceritakan lebih lanjut, tentang bagaimana caranya ketiga orang itu menghasut-hasut dan memburuk-burukkan kedua orang muda So Hok Sing dan Lo Cie Sian dihadapan Suhunya itu. yang pada pokoknya, Suhu ini termakan juga oleh hasutan-hasutan jahat itu, sehingga akhirnya mau juga ia berdiam sementara dirumah siraja tuan tanah Thio yang jahat itu, untuk dijadikan begundalnya . Kembali-lah kita kerumah situan-tanah Thio yang pada saat mana sedang diadakan perundingan rahasia antara situan tanah, Ting Liang, Thio King dan Kwan Ling itu. Pada waktu mana, saking asyik-asyiknya mereka berunding, hingga mereka tak tahu, bahwa diatas genteng rumah ini telah ada sepasang telinga jg, asjik pula mendengarkannya, sehingga semua yang dibicarakan secara rahasia itu telah bocor dan didengar seluruhnya oleh seseorang yang mengintip diatas genteng. Siapakah gerangan yang berani mengintipnya itu? Dia adalah pemuda Lay Ting Hok, yang tatkala itu sedang mencari jejak kekasihnya yang diculik oleh ketiga penjahat yang bertopeng. Dan kini telah menjadi jelas 'persoalannya setelah ia mende-ngar seluruh percakapan rahasia keempat orang pengecut itu. yang paling penting, ialah bahwa kini Lay Ting Hok telah menjadi tahu bila kekasihnya telah dikurung dirumah tersebut. Tetapi untuk maerebut kembali kekasihnya ini dengan hanya seorang diri saja, adalah suatu perbuatan yang sangat gegabah dan mungkin tak akan terleksana. Karenanya, setidak-tidaknya ia hares mencari bantuan terlebih dulu. Memperoleh pikiran demikian, setelah ketiga orang itu pergi keruma,h Suhu Liang Hong untuk menghasutnya, dengan secepat kilat ia melesat turun kebawah dengan tanpa bersuara sedikitpun. Kini, darah yang melekat dikepalanya telah mengering, namun kadang-kadang masih terasa nyeri juga kepalanya. Tetapi hal ini tak begitu dirasakannya, lantaran terdorong oleh rasa cinta yang sangat besar terhadap buah-hatinya Oen Hong Kiauw, yang selama ini ia selalu dirundung oleh mara-bahaya dan kesengsaraan hidup yang tak ada taranya. Memikir demikian, karuan saja Lay Ting Hok lantas semakin menjadi terharu, kasih-an, sayang, cinta dan entah apa lagi, yang kesemuanya bercampur menjadi satu si pemuda ini. Sehingga semakin pula mempertebal dan mempertega rasa cintanya yang selama ini telah menjadi semakin bertambah subur. Tak perlu kiranya diandarkan juga dalam perjalanannya, Kini Lay Ting Hok telah sampai dirumah sahabat-karibnya yang kcbetulan sekali pada saat mana mereka sedang berkumpul dan duduk beromong-omong. Betapa kaget dan girangnya kedua Pemuda itu, demi melihat Lay Ting Hok telah kembali dengan selamat.

   "Oooo, Engko Lay!", teriak kedua pemuda ini hampir berbareng.

   "Yaaa, akulah yang datang! Dan bagaimana tentang nasib Lo Pek Oen Kok Siang ?", tanya Lay Ting Hok tak sabar.

   "Ia telah siuman kembali Engko, dan luka-lukanya telah kuobati sebisa- bisanya. Tulang-iganya telah terpotong tiga ruas, sedang urat- pundaknya putus samasekali", jawab Lo Cie Sian apa adanya. Kemudian Lay Ting Hok lantas diantar ke bilik dimana orang tua ini ditidurkan. Begitu Lay Ting Hok melihat tubuh siorang tua, begitu pula ia lantas berjongkok disamping ranjangnya, sambil air-matanya mengembeng dipelupuk matanya. Pemuda ini merasa sangat terharu memikirkan nasib orang tua ini, yang selama itu selalu digerayangi oleh malapetaka dan bahaya. Padahal bela kangan ini ia baru saja merasa agak senang hidupnya, mendadak saja datang lagi bahaya itu yang hingga hampir saja merenggut nyawanya. Memikirkan hal yang sedemikian itu, maka membuat ia semakin teguh niatnya untuk segera menuntut-balas, karena sekarang ia baru tahu, bahwa biangkeladi dari kesemua-nya kejahatan itu adalah terletak atas akal-busuknya situan-tanah dan anaknya ini.! Setelah mengasoh sesaat lamanya, segera diandarkanlah hadapan kedua orang muda sahabatnya ini, tentang segala apa yang telah ia dengar, sewaktu Lay Ting Hok mengintip diatas genteng rumah tuan-tanah Thio. Mendengar andaran ini, kedua pemuda So Hok Sing dan Lo Cie Sian jadi amat marah dibuatnya, lantaran tak urung Suhunya akan termakan juga oleh hasutan-hasutan dari si, pengecut-pengecut itu. Sebab Ting Liang adalah murid yang tertua, sehingga sudah barang tentu akan dipercayai pula segala omongannya. Oleh karenanya, kedua pemuda ini lantas berse pakat untuk menuntut-balas terhadap pengehianatan yang dilaku-kan oleh Ting Liang dan kawan- kawannya ini, sambil sedapat mungkin akan menginsjafkan Suhunya yang tersesat itu. Runding punya runding, maka akhirnya dengan serempak mereka telah bersepakat, bahwa pada saat itu juga mereka segera bersiap pergi ke rumah si tuan tanah, untuk membela kebenaran dan keadilan ?oOo ? Pagi ini, Oen Hong Kiauw bangun dari tidurnya lantas be ngong. Ia merasa heran ibukari main, setelah mengetahui bahwa kini ia tidur dikasur yang empuk dengan spreinya yang putih-bersih, sedangkan tempat-tidurnya berukir sangat indahnya dengan dkerodongi kelambu yang bersulamkan benang emas ba-gaikan diistana raja saja layaknya. Ia lantas menggosok-gosok matanya, seolah-olah tak percaya pada apa yang ia lihat. Baru setelah ia mengingat-ingat kembali kejadian tadi malam yang mengerikan yang pemah ia alami, kini ia maenjadi sedih luar-biasa, sedang badannya maasih terasa kaku dan nyeri sekali. Apalagi setelah teringat pula akan nasib ayahnya yang malang itu, yang mungkin telah tewas dianiaja oleh gerombolan penjahat yang bertoneng. Maka gadis ini lantas menangis tersedu-sedu sembari turun dari tempat-tidur yang indah itu, yang kemudian duduk dilantai tanpa alas. Teringatlah pula kini ia akan nasib kekasihnya yang dipukul dari belakang dan terus rubuh berlumuran darah itu.

   "Apakah kiranya ia masih hidup?", demikianlah pikir Oen Hong Kiauw seraya semakin keras tangisnya. Karena mengingat, bahwa pemuda inilah yang selalu menolong dan membela keluarganya, sampai- sampai ia tak mengingat akan keselamatannya sendiri. Ia pulalah yang membelikan sawah ayahnya, sehingga ayahnya pada belakangan ini kelihatan agak gembira. Tetapi .. oh nasib belum lagi lama ayahnya merasakan hidup nya agak senang, mendadak saja datanglah lagi bahaya yang menimpanya. Lalu bangkitlah ia dari duduknya, kemudian larilah kepintu sana, dikunci! Lari kepintu sini, juga dikunci! Lantas larilah ia kejendela situ, sama juga, dikunci! Saking jengkelnya lalu menjatuhkan diri kelantai seraya menangis terisak-isak. Setelah menangis sepuas-puasnya, ketika itu ia sangat terkejut bukan kepalang, lantaran dengan mendadak saja dan tanpa dketahui datangnya, didepannya telah berdiri sesosok tubuh yang baunya amis luar-biasa. Kiranya seorang nenek-nenek tua yang badannya tinggal tulang dan kulit melulu. Tatkala itu, nenek-nenek ini berdiri dekat sekali didepan Oen Hong Kiauw yang duduk dilantai tanpa alas, sehingga pada saat mana yang terlihat oleh sigadis hanya kakinya belaka. Kemudian Oen Hong Kiauw mendongak keatas untuk melihat bagaimana rupa sinenek-nenek ini. Tetapi "Yaaa Tuhan'', pekik sigadis ini seraya menundukkan kembali kepalanya kelantai. Bulu-kuduknya lantas meremang, badannya menggigil ketakutan ! Mengapa demikian? Karena muka si nenek-nenek ini sungguh menyeramkan sekali, pipinya peot-peot, matanya cekung masuk kedalam hampir tak kelihatan, giginya menjorok keluar, hidungnya rumpung. Maka kalau roman muka nenek-nenek ini diamat-amati serta diperhatikan betul, kiranya sudah seperti bukan manusia yang masih hidup, tetapi tepat apabila dikatakan. Tengkorak yang bisa jalan! Sedangkan baunya amis luar-biasa! Mungkin saking takutnya, Oen Hong Kiauw lantas menjerit panjang tak sadarkan diri. Tetapi nenek-nenek tua ini masih tetap berdiri juga berada didalam kamar ini, hanya mundur beberapa langkah saja. Dan ia tertawa menyeringai, seolah-olah merasa puas lantaran yang dijaganya merasa takut kepadanya. Kiranya nenek-nenek ini memang disuruh oleh Thio King untuk menjaga agar sigadis yang telah diculiknya itu jangan sampai melarikan diri. Sesudah siuman kembali, Oen Hong Kiauw lantas mengarahkan lagi pandangnya kearah nenek-nenek ini yang ketika itu masih berdiri tak jauh dari tempat sigadis duduk. Sedang. kan nenek-nenek tua ini, kini berdirinya membelakangi si gadis, jadi mukanya menghadap kesana.

   "Ih ha-haha-haaa, anak manis! Engkau jangan takut, karena aku sekarang membelakangimu! Tetapi jangan coba-coba untuk merat dari kamar ini, kalau sajang akan jiwamu!", ancam nenek- nenek ini seraja tertawa dalam hidung. Suaranja sangat parau, seperti suara dari dalam kubur. Hong Kiauw tidak menjawab, melainkan hanja matanja saja jang tents mengawaskan tubuh jang nampak mengerikan itu, sembari hidungnja ditutup dengan lengan bajunja, lantaran tidak tahan ibau anjir jang disebarkan dari badan sinenek-nenek itu.

   "Ho-ho-hi hi-ha haaaa, anak manis, anak manis! Besok engkau akan dikawinkan dengan tuan-muda Thio King yang gagah itu. Sungguh ini adalah keberuntunganmu, anak manis! Karena kau akan dikawin oleh putera seorang kaya-rayja seantero dusun ini, sedang penganten lelakinja pun masih muda dan tampan ho-ho hi-hi-ha-haaaa ? Mendengar omongan ini, sigadis tetap membungkam seribu- bahasa, sedang bulu-tengkuknja mulai ;bercliri lagi demi mende- ngar tertawa jang aneh itu, bagaikan tertawanja hantu kubur saja. Kini hati Hong Kiauw berontak, lantaran tadi dikatakan, bahwa besok ia akan dikawinkan dengan si bajul-buntung itu. Sungguh rasa hatinja jadi pilu, jijik, jengkel, dan entah apa lagi, yang kesemuanya beraduk menjadi satu didalam kalbu-nya. Maka lalu mengambil. keputusan nekat, bahwa lebih baik mati daripada diperisteri si pembunuh ayahnja ini. Kemudian dengan cepat Hong Kiauw bangkit dari duduknya lantas melesat lari kepintu untuk merat. Tetapi celaka, pintunja masih tetap terkunci! Tatkala ia sedang kutak-kutik akan membuka pintu, sekonyong-konyong dua-belah tangan kurus yang hanya tinggal tulang melulu serta berbau amis mencengkeram pundak sigadis dari belakang lantas dibalikkan. Dan begitu Hong Kiauw melihat muka sinenek-nenek ini lagi, begitu pulalah ia lantas pingsan tak sadarkan diri lagi. Pada sore harinya. Senja ini adalah senja dimana esok harinya akan dilangsungkan perkawinan antara Thio King de-ngan Oen Hong Kiauw. Rumah tuan-tanah Thio ini, yang berupa sebuah gedung besar yang dikitari oleh dinding-dinding yang kokoh dan tinggi itu, kini telah mulai ramai dengan suara genderang dan terompet sahut-menyahut. Sedang didalam gedung ini, yang pintunya terlihat ,dari luar berwarna hitam mengkilat ditambah dengan gelangan kuningan berkepala binatang besar, kini telah dihiasi dengan lampion-lampion (ting-zing) yang dipajang sangat indahnya. Siapakah sebenarnya tuan-tanah Thio ini ? Dan siapa pula nama selengkapnya ? Si empunya gedung ini adalah she Thio tetapi oleh karena ia jarang sekali bergaul dengan para tetangga-nya, maka tak seorangpun yang tahu nama kepanjangannya, hanya tahunya Thio saja. Konon-kabarnya, tuan-tanah Thio yang kaya-raya ini berasal Boe Ciang (perwira) yang telah pensiun. Ia sangat kikir, bengis dan kejam. Dan hampir seluruh sawah dan ladang didusun ini adalah miliknya, yang disewa-sewakannya atau digarapkan pada petani- petani miskin didesanya. Sewa-tanahnya sangat berat, yang hingga mencekik leper kaum tani, sedangkan ia memperlakukan tenaga penggarapnya seperti terhadap binatang saja! Tuan-tanah Thio mempunyai anak hanya seorang saja, yakni Thio King. Oleh karena Thio King adalah anak satu-satunya, maka sudah barang tentu anak ini sangat dimanjakan, sehingga apa saja yang dimintanya, tentulah selalu dituruti. Dan lan-taran selalu dimanjakan dan dituruti inilah yang membuat si pemuda itu lantas berwatak jahat luar-biasa yang hingga melebihi kejahatan ayahnya. Malam itu, Thio King sedang membujuk-bujuk Oen Hong Kiauw supaya gadis ini jangan membangkang dan supaya menurut saja dikawinkan dengannya. Namun selama itu Pula, si gadis tetap menolaknya, tak sudilah ia diperisteri si pembunuh ayah nya.

   "Nona Oen, engkau sekarang telah sebatang-kara, tak beribu tak berayah, lantas siapakah yang akan mengurusimu? Sedang kalau engkau mau dikawinkan dengan aku, hidupmu akan terjamin karena ayahku seorang kaya-raya seantero dusun ini", bujuk pemuda ini. Tetapi Hong Kiauw tetap membungkam tak mau menjawabnya. Ketika itu ia tetap duduk dilantai tanpa alas, kendati didekatnya telah tersedia kursi kursi yang tempat duduknya empuk dibungkus dengan kain beludru yang sangat halus. Sejenak setelah ditunggu-tunggu, namun sigadis tetap membisu, maka Thio King berkata lagi .

   "Bagaimana nona Oen, mengapa engkau tak mau menjawab juga? Anggaplah seluruh apa yang ada didalam rumah ini sebagai milikmu, dan pakailah perhiasan-perhiasan yang mahal-mahal harganya yang semenjak tadi kutaroh dan kusediakan diatas meja itu!"

   Memang, semenjak tadi diatas meja didekatnya itu telah tersedia perhiasan-perhiasan yang bertatahkan ratna-muturmani- kam atau intanberlian, yang hingga sinarnya menyaaukan mata bagi siana yang memandangnya, tentulah perhiasan-perhiasan ini amat mahal harganya.

   Walaupun demikian, sigadis sedikit pun tak tertarik pada perhiasan-perhiasan ini, jangankan mau memakainya, sedang menyentuhpun ia tak sudi melakukannya.

   Sementara ini, Thio King yang berwatak berangasan, sudah habis kesabarannya, lantaran ia bicara sampai meniren, namun tak sepatahpun dapat jawaban Hari sigadis.

   Ia lalu bangkit Mari duduknya.

   Amarahnya pun timbul, matanya merah, mulutnya gemetaran, samba ia maju kemuka menghampiri Hong Kiauw.

   Tetapi dengan sebat pula, sigadis lantas menghunus pisau-dapur yang diselipkan dipinggangnya.

   Rupa-rupanya ketika ia diantari makanan dan buah- buahan, pisaunya lalu diambil dan disembunyikannya.

   "Kalau engkau berani menyentuh tubuhku, maka pilau ini akan kutikamkan keperutku! Terus-terang aku bilang, daripada kawin denganmu, lebili baik aku mat menyusul ayahku yang kau bunuh itu", ancam Hong Kiauw dengan lantangnya. Sebetulnya ia sampai berani berbuat nekat seperti itu karena terpaksa juga, lantaran ia sudah tak tahan lagi menanggung asab- sengsara yang selalu menimpa dirinya. Sejenak Thio King tertegun, ia amat kaget bukan main, seperti disambar geledek meleset. Lantaran tidak diduga sebelumnya, bahwa Hong Kiauw sampai berani akan berbuat senekat itu. Ia lantas mundur lagi selangkah, samba memikir-mikir.

   "Masakan aku tak bisa merebut pisau itu dari tangannya!", Memperoleh pikiran demikian, maka dengan sebat luar-biasa ia melesat menubruk si gadis ini. Tetapi "Plok", sebuah pelor mengenai dadanya, sehingga Thio King lantas jatuh terjengkang. Seibelum, ia mendusin apa yang terjadi, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan yang datang dari arah jendela lantas menyambar kepalanya. Tetapi, karena Thio King memiliki juga ilmu. silat yang lumajan, maka begitu ia diserang lantas mengelak dengan jalan mengguling- gulingkan badannya kelantai. Dan setelah Thio King ,bisa berdiri tegak, segera nampaklah didepannya seorang pemuda tampan yang berdiri dengan gagahnya. Ia adalah Lay Ting Hok yang semendjak tadi memang sudah mengintip melalui jendela kamar ini, yang pintunya terbuka sedikit setelah dicukil dengan goloknya. Marilah kita tinggalkan dulu kedua pemuda yang saling bertanding mati-matian ini. Diruangan lain, nampaklah ke-4 orang sedang bertarung dengan sengitnya. Yakni antara Ting Liang melawan Lo Cie Sian, sedang So Hok Sing dilawan oleh Kwaa Ling. Pertarungan berjalan sesaat lamanya, tetapi sebegitu lama belum ada juga yang kalah atau menang. Lebih-lebih lagi bagi pasangan kedua lawan yang seperguruan seperti Ting Liang dengan Lo Cie Sian, karena biar bagaimanapun kedua-belah pihak, namun tipu-tipunya telah sama-sama diketahui sehingga pertarungan itu berjalan dengan tempo yang terlalu lama. Tatkala itu, Lo Tiie Sian sedang mengadakan serangan yang cepat sekali, sehingga Ting Liang tak sempat menghindar, dan terpaksalah ia menangkisnya. Dan terkena benturan tangan Lo Cie Sian ini, Ting Liang bergetar dan mundur dua langkah. Selintas Ting Liang berpikir, bahwa kalau bertanding hanya dengan tangan kosong belaka tentulah akan memakan waktu yang lama. Sedangkan selama itu lawannya tentu masih kuat bertahan, karena ia masih muda usianya. Tetapi bagi dirinya, apabila pertarungan gampai memakan tempo lama, tentulah tenaganya akan berkurang juga. Memperoleh pikiran demikian, secepat-kilat ia lantas menghunus pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya 3 berkelebat menikam lambung lawannya. Tetapi, Lo Cie Sian memang lawan yang tangguh, karena begitu ia diserang dengaa pedang, dengan kalemnya lantas miringkan tubuhnya sambil menghantan, pergelangan tangan lawannya yang memegang pedang. Kena hantaman ini, pedang Ting Liang terpental tinggi 2 keudara, dan tak diduganya lantas "Aduh mati a a-ku !", suatu jeritan ngeri keluar dari mulut Kwan Ling, yang selanjutnya terus amhruk kelantai melajang jiwanya. Temyata pedang Ting Liang yang terpental keras keudara itu, jatuhnya tepat mengenai kepala Kwan Ling yang botak ini, hingga pedang ini tertancap kekepalanya menembus sampai ke otaknya, dan tewaslah ia seketika itu juga. Sungguh celaka, matinya sialgojo yang kejam dan bengis ini mati- konyol, lantaran terkena senjata kawannya sendiri. Itulah sebagai hukum alam. Menyaksikan kawannya tewas terkena senjatanya, Ting Liang menjadi gugup dan gelisah. Lantaran, baru seorang lawan seorang saja ia merasa belum tentu menang, apalagi kalau ia sampai dkeroyok dua orang yang masing-masing memiliki ilmu yang sangat lihay. Maka hatinya lantas jadi mengkeret sebesar semut. Sambil mengelak serangan lawannya, selintasan ia teringat, bahwa didalam rumah situan-tanah ini banyaklah terpasang Cie Kuan atau alat-perangkap rahasia untuk menjebak mausuh. Dan dengan sebat ;uar...biasa, ia lantas melesat kearah pintu seraya menekan sebuah knoll kecil. Dan, tak diduga-duganya, lantai yang diinjak oleh So Hok Sing dan Lo Cie Sian itu lantas bergerak kebawah, terus . terus turun kebawah! Kini kedua orang muda itu seakan-akan berada didalam sumur, sekelilingnya hanya tembok melulu. Sebentar kemudian, disetiap penjuru sumur ini segera keluar airnya yang memancur dengan derasnya. Air ini semakin lama, semakin ,bertambah tinggi, sehingga kedua nemuda ini sekarang badannya terendam air sampai kelututnya. Ting Liang menyaksikan segalanya ini, lantas tertawa sem-bari mengejek . Ha-ha-haaa, hi-hihiii, ho-ho-hooo ! Selamat tinggal, Sute Sampaikan salamku kepada Malaikat yang akan mencabut nyawamu . !? Kembalilah kita kini kekamar Thio King, yang pada waktu itu masih berlangsting pertarungan yang tidak kalah pula serunya, Mereka saling serang-menyerang dan mempertahankan diri. Sungguh, mereka bertempur secara mati-matian memperebutkan sidara-ayu! Tatkala itu, mereka berdua bertanding masih dengan tangan kosong. Dasar kepandaian silatnya Thio King ini masih kalah beberapa tingkat dengan Riau silatnya Lay Ting Hok, dan ini terbukti telah beberapa kali mereka bertanding selalu Thio King-lah yang keok, maka kali inipun si pemuda bengal itu jadi kerepotan juga menghadapi lawan yang bukan tandingnya ini. Ketika ia diserang dengan jurus-jurus maut yang mematikan dari Lay Ting Hok, terpaksalah ia menghunus pedangnya untuk menangkis. Dan lawannya inipun segera mempergunakan pula goloknya, dengan maksud agar pertarungan ini segera dapat diselesaikan. Tetapi, dalam mempergunakan senjata, temyata Thio King terbilang lumajan juga kepandaiannya. Pada suatu saat, dimana Lay Ting Hok sedang mengadakan serangan dahsyat dengan goloknya kearah lawannya, temyata serangan ini dapat digagalkan oleh musuhnya, yaitu dengan jalan miringkan badannya kesamping, sambil menyapu pergelangan tangan Lay Ting Hok yang memegang golok, dengan jejakan kaki yang sangat kuatnya, sehingga golok sipemuda ini terpental jauh kesudut kamar. Kini Lay Ting Hok sudah tak bersenjata lagi, tetapi kemudian dari 'belakangnya terdengar suara .

   "Engko Lay, ini gu nakanlah !!", teriak Hong Kiauw sambil menyodorkan pisau-dapur kepada kekasihnya. Dan pisau ini segera disambut dengan hati gembira oleh Lay Ting Hok. Kini semangat bertempurnya bertambah, setelah mendapat dorongan dan bantuan dari jantung- hatinya itu. Meski hanya bersenjatakan pisau-d?nur saja, namun gerakan-gerakannya sangat gesit dan mantap, sehingga membikin kacau-balau lawannya. Selagi sengit-sengitnya pertandingan, tiba-tiba dibelakang Thio King nampaklah Ting Liang dengan pedang terhunus. Celakanya, saat itu Thio King lantas menoleh untuk mengetahui siapakah gerangan yang datang itu. Tetapi kesempatan baik ini tidak disia- siakan pula oleh Lay Ting Hok. Dengan sebat luar-biasa, pemuda ini lantas menyambar badan Thio King, yang dengan sangat mudahnya tubuh ini lantas diangkat keatas seperti mengangkat bantal saja. Kemudian badan ini lantas diputar-putar diatas kepalanya, yang adhirnya dilemparkan kearah badan Ting Liang, yang ketika itu ia sudah siap dengan pedang, nya untuk menikam dada Lay Ting Hok. Dan "Matiii .. ak .. a-ku .. !!", terdengarlah suatu jeritan panjang yang sangat ngeri, yang keluar dari mulut Thio King. Temyata ketika badan Thio King dilemparkan kearah Ting Liang bisa tepat menancap keujung pedang Ting Liang, yang pada saat itu sedang bersiap untuk menusuk dada lawannya. Dan pedang inipun tertanam, kedada Thio King hingga tembus sampai dipunggungnya. Kini tamatlah riwajat pemuda bengal yang sudah banyak dosa ini, yang matinya juga mengalami mati konyol seperti algojonya, yakni tertusuk oleh senjata kawan-nya sendiri. Menyaksikan tuannya mati diatas senjatanya, begitu pula Kwan Ling yang tewasnya juga lantaran pedangnya, ia lalu menjadi kalap, sebab betapa marahnya s ituan-tanah apabila ia mendengar peristiwa ini. Mungkin ia lantas digantung atau dikubur hidup- hidup!.

   "Sungguh ngeri !", pikirnya. Memikir demikian, hatinya menjadi cut dan takutnya luar biasa, bulu-kuduknya lantas berdiri seinua. Maka ia lalu bertekad-bulat untuk lebih baik mati saja daripada hidup tetapi disiksa oleh majikannya yang sudah terkenal sangat bengis, buns dan tak mengenal kasihan itu. Dengan dibarengi oleh perasaan takut kepada majikannya serta amarah yang tak ada taranya terhadap pemuda yang dihadapinya itu, maka lanun segera menggerung sembari menyerang dengan hebatnya. Tetapi oleh nafsu amarah yang meluap serta perasaan yang membayanginya, dimana ia telah berjanji lebih baik mati daripada hidup, maka serangan ini lebih condong kebunuh diri daripada untuk membinasakan lawannya. Demikianlah serangan itu dengan mudah saja dapat digagalkan oleh pemuda lawannya ini, dengan jalan menggulingkan badannya kelantai. Dengan berguling- guling dilantai ini, Lay Ting Hok masih sempat pula sambil menyapu betis lawannya. Dasar hatinya sedang risau dan kalangkabut, maka sabetan kaki lawannya ini, tak dapat ia elakkan. Dan "Bruk", Ting Liang jatuh terpelanting. Belum Iagi ia dapat berdiri lurus, suatu bayangan telah berkelebat dimukanya seraya menghantam dadanya dengan dahsyatnya, sehingga Ting Liang jatuh lagi terduduk sambil mulutnya memuntahkan gumpalan- gumpalan darah. Meskipun telah terluka parah, Ting Liang masih dapat juga bangkit sembari menahan keluarnya gumpalan kental yang tersekat dalam kerongkongannya. Ia bersiap akan menyerang lagi. Tetapi kini lawannya telah memegang senjata, yaitu goloknya yang tadi jatuh terpental kesudut kamar, yang kemudian diambil oleh Hong Kiauw secara merangkak-rangkak yang kemudian diserahkan kepada Lay Ting Hok. Dengan demikian, kedua kekasih ini kini telah dapat bekerja-sama untuk menuntut-balas dan memberantas si angkara. Waktu itu, Ting Liang sudah mulai menyerang lagi, tetapi tidak sehebat tadi sebelum ia terluka, sehingga serangannya dapat pula digagalkan. Sementara ini, Lay Ting Hok ganti menyerang. Dengan sekali menjejak tanah, ia telah melesat keudara. Turunnya, goloknya berkelebat menusuk dada, sedang tangan kiri nya menerkam tulang- rusuk. Dan "Bruk", Ting Liang ambruk lagi, tetapi kali ini tubuhnya sudah tak bernyawa lagi. Dadanya tembus sampai kepunggungnya oleh tikaman golok Lay Ting Hok. Tatkala Lay Ting Hok akan mengajak kekasihnya untuk lekas- lekas meninggalkan kamar ini, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok tubuh yang seperti angin saja datangnya. Dan tahu-tahu ia telali berada dihadapan Lay Ting Hok. Temyata dia adalah Suhu Liang Hong. Kemudian dengan marahnya ia lantas membentak .

   "Keparat, seolah-olah seantero -jagat ini hanya kau sendiri yang laki-laki ! Engkau telah melakukan pembunuhan besar, hingga si anak tuan-tanah dan muridku yang tertua tewas karena nya", kata Suhu itu,berhenti sejenak untuk mengamat-amati tubuktubuh yang sudah tak mbernyawa itu. Kemudian sambungnya "Lekas, sebutkan namamu sebelum engkau mampus!!".

   "Namaku Lay Ting Hok, Lo Pek", jawab pemuda ini dengan hormatnya.

   "Hm, lantas apa maksudmu melakukan pembunuhan keji ini, keparat ?"

   "Ya Lo Pek, aku akan menuntut balas demi keadilan dan kebenaran !"

   "Wah, aku tak perduli ! Pokoknya hutang darah harus di bayar dengan darah pula !", dengus Suhu Liang Hong. Dengan hanya mengibaskan lengan bajunya, maka lantas tirnbullah desiran angin yang amat kerasnya, sehingga tahu-tahu badan Lay Ting Hok terpental beberapa langkah. Dan seketika itu juga pemuda ini lantas menyerang dengan pukulan tangannya kearah dada orang tua ini. Tetapi sungguh mengherankan, bahwa orang tua ini tidak mengelak sama-sekali, dan masih berdiri dengan tenangnya di tempat itu juga. Pukulan tangan sipemuda telah dibiarkan ben sarang didadanya. Dan "Plok", tetapi tubuh orang tua ini tak bergetar sedikitpun. Sebaliknya tangan Lay Ting Hok terasa panas dan nyeri seperti memukul sebongkah batu. Ke mudian pemuda ini lantas mengirimkan tendangannya yang bertubi-tubi, namun badan orang tua ini tetap tak bergeser sama-sekali dari tempatnya, malah kaki Lay Ting Hok terasa nyeri bukan kepalang. Maka dengan penasaran, Lay Ting Hok lalu menyerang de- ngan goloknya ditikamkan kearah dada orang tua itu. Mendapat serangan yang hebat ini, namun orang tua itu hanya miringkan badannya sedikit, sambil ia mementil ujung golok ini dengan jarinya. Tetapi hebat akibatnya, sebab golok ini lantas terpental jauh dilantai. Lay Ting Hok hanya terlongoh-longoh saja menyaksikan kesjaktian Liang Hong ini. Dan hanya dengan gerakan sedikit saja tetapi sangat cepatnya, sehiugga Lay Ting Hok belum lihat bagaimana caranya orang ini melayangkan tangannya, maka tahu-tahu pundak si pemuda telah dapat dipegangnya. Dan seketika itu juga, tubuh Lay Ting Holt lantas tak berdaya dan tak dapat bergerak sama-sekali, badannya menjadi lemas bagaikan seutas tali yang direndam di air. Sedang urat-uratnya seperti terlolosi semua. Tatkala itu, Suhu Liang Hong lalu menghunus pedang- wasiatnya, yang kemudian diangkat tinggi-tinggi untuk memeng gal Icier Lay Ting Hok. Tetapi Suhu ini tertegun sebentar, demi mendengar jeritan nyaring dari arah belakangnya. Seko nyong- konyong berlalulah sesosok tubuh yang menghampiri diri-nya. Temyata seorang gadis yang lari-lari terus koei dihadapan-nya sembari membenturbenturkan kepalanya kelantai.

   "Oh .. Lo Pek, kasihanilah aku! Janganlah kau bunuh, dia!", rintih Hong Kiauw.

   "Hah .. siapa ini ? Mengapa ada perempuan disini, siapa namamu ?", bentak orang tua ini.

   "Namaku, Oen Hong Kiauw, Lo Pek!"

   "Hm, Oen Hong Kiauw?", ulang orang tua ini agak kaget. Kemudian tanyanya lagi.

   "Lantas, siapakah nama ayah mu?".

   "Nama ayah ku adalah Oen Kok Siang!".

   "Haaa ., Oen Kok Siang?", ulangnya lagi semakin terperanjat, seakan-akan tak percaya.

   "Betul, Lo Pek! Tetapi ayahku itu telah meninggal akibat dianiaja dan dibunuh oleh si tuan-tanah Thio, beserta anak dan algojo-algojonya. Sedang ibuku telah lama meninggalnya, se.. jak aku masih kecil. Maka kini aku hidup sebatang-kara ..!? jawab Hong Kiauw sambil menangis terisak-isak. Demi mendengar penuturan sigadis ini, situa Liang Hong jadi terkejut dibuatnya. Dan dengan tanpa mengeluarkan kata kata sepatahpun, orang tua ini lantas melesat pergi meninggalkan kamar itu. Sebenarnya Suhu Liang Hong adalah seorang yang berbudi- luhur dan baik hati. Tetapi lantaran termakan oleh hasutan-hasutan yang sangat licin bagaikan belut, maka ia lalu dapat diperdayakan yang hingga ia bisa diperalat oleh situan-tanah untuk maksudmaksud jahatnya. Sampai-sampai ia harus berlawan dengan murid-muricinya sendiri. Tadi ia mendengar dari mulut sigadis, yang menyebut tentang nama Oen Kok Siang. Saat itu ia jadi terperanjat bukan main, dan segera teringatlah ia bahwa Oen Kok Siang sebetulnya adalah masih saudara sekandungnya sendiri ! Suhu Liang Hong sebenarnya adalah hanya nama samaran saja, sedang nama yang sebetulnya ialah Oen Kok Hong. Saudara- sekandungnya Oen Kok Siang ini, olehnya telah lama ditinggal pergi berkelana kegunung Hu Ling yang terkenal angker itu, yang termasuk wilayah propinsi Hu Nan. Ia merantau untuk mencari dan memperdalam ilmunya ketingkat yang lebih tinggi lagi. Kini ia hidup berkelana sambil mengajar ilmu silat kepada anak-anak muda, yang akhirnya sampailah ia didesa Tun San ini. Selanjutnya ia bertempat-tinggal dipedusunan tersebut, untuk melanjutkan tugasnya sebagai guru silat. Setelah mengingat-ingat kejadian-kejadian yang telah lampau, Suhu ini lantas merasa berduka dan bersedih hati bukan kepalang, sebab tadi ia mendengar dari mulut si gadis, bahwa saudara- sekandungnya ini telah meninggal dunia, sedang kini ia berpihak kepada orang yang telah membunuh saudaranya itu. Ia merasa berdosa besar !! Baru saja Suhu ini keluar dari kamar yang tadi dipakai pertempuran antara Thio King, Lay Ting Hok dan Ting Liang muridnya yang tertua itu, maka tiba-tiba nampaklah didepannya sebuah sumur besar yang temyata didalamnya berisi kedua orang muridnya, yaitu So Hok Sing dan Lo Cie Sian, yang ketika int badannya terendam air yang kian lama air ini semakin tinggi. Dan pada saat itu, airnya telah mencapai dileher kedua orang muridnya ini, sehingga kalau tidak segera mendapat pertolongan, tak urung kedua orang muda ini akan mati kelelap. Sebat luarbiasa, situa Liang Hong lantas mendobrak pintu kamar sebelahnya, yang meski pintu ini terkunci dari dalam, namun kena gebrakan kedua-belah tangan Suhu ini lantas berdetak rubuh kedalam. Segera nampaklah didalamnya, ketiga orang yang berbadan tinggi-besar dan tegap-tegap yang ketika itu sedang menjaga sebuah roda besar dengan terali-teralinya yang segede- gede lengan. Kiranya roda besar ini dipergunakan untuk menaik- turunkan lantai kamar rahasia yang telah menjebak So Hok Sing dan Lo Cie Sian itu. Dengan hanya mengibaskan lengan bayunya kearah tiga orang tersebut, maka sudah cukuplah untuk merobohkan ketiga orang yang berbadan tinggi-tinggi-besar ini. Dengan secepat-kilat Liang Hong lantas menyentil roda besar itu dengan jarinya. Tahu-tahu lantai yang diinjak oleh So Hok Sing dan Lo Cie Sian ini lantas bergerak naik keatas, sedang airnya tumnah ke. sebelah-menyebelah dinding kamar. Kini kedua orang muda ini seolah-olah telah berada didalam sebuah kamar lagi, sedang pakaiannya .basahkujub. Setelah melihat Suhunya, mereka lalu koei dihadapannya. Seraya katanya .

   "Kami mengucap terima kasih banyak Suhu, yang mana Suhu telah menolong kami dari bahaya-maut! Kalau sampai terlambat sedikit saja, mungkin Suhu sudah tak dapat bersua lagi dengan kami dalam keadaan masih hidup !"

   "Hm, tak apalah! Memang sudah sewajibnya seorang guru menolong muridnya. Kini yang sangat perlu kutanyakan, ialah . Apakah kalian tahu tentang seorang tua yang bernama Oen Kok Siang ?"

   "Tentu saja tahu, Suhu Malah kini ia kurawat dirumahku, lantaran ia terluka-parah dibahunya akibat dianiaja oleh si keparat Thio King dengan kawan-kaunnya", jawab Lo Cie Sian menerangkan.

   "Ho-hooo, jadi kalau begitu apakah ia masih hidup?", katanya sangat girang.

   "Betul Suhu, ia memang masih hidup. Hanya saja ia terluka- parah".

   "Haaaah Bagus, bagus. Kau memang seorang muda yang baik-hati dan berbudi luhur. Terima kasih, terima-kasih anak muda !", sahut Suhu Liang Hong dengan gembira sembari tangannya menepuk-nepuk punggung Lo Cie Tian. Kemudian sambungnya lagi .

   "Ketahuilah, hai anak muda, bahwa Oen Kok Siang adalah masih saubara-sekandungku sendiri. Maka kini akan kuambil dari rumahmu, selanjutnya akan kubawa kegunung Hu Ling untuk kurawat dan kuobati sampai ia sembuh. Dan kalian sekarang juga bantulah kawanmu Lay Ting Hok untuk bersama-sama menumpas tuan-tanah dan kawan-kawannya, yang jadi sumbernya kekacauan dan kejahatan itu!". Belum lagi kedua orang muda ini sempat menjawab kata-kata Suhu itu, telah melesatlah tubuh Suhunya yang nampak sangat ringan itu dan dengan sekejapmata saja telah lenyap dari pandangan mata, hingga seperti menghilang saja layaknya. Menaati pesan gurunya, kedua orang muda ini cepat-cepat menemui kawan-karibnya . Lay Ting Hok, yang secara kebetulan juga saat itu ia sedang bersiap pergi untuk meninggalkan kamar itu seraya menggandeng tangan kekasihnya. Melihat kedua orang nuda sobat-kentalnya So Hok Sing dan Lo Cie Sian yang masih dalam keadaan selamat ini, Lay Ting Hok lantas merangkulnya erat-erat. Tak diceritakan lebih lanjut tentang pertemuannya ke empat orang-orang muda ini, yang pada pokoknya mereka lantas menghimpun segenap tenaga serta mempersiapkan segala senjata yang ada pada mereka, untuk menumpas rezim tuan-tanah Thio si penghisap dan penindas kaum tani itu. Sementara itu, suasana dalam rumah gedung yang besar dan indah ini telah menjadi kacau-balau dan kalang-kabut. Sedang antek-antek dan begundal-begundalnya situan-tanah Thio yang mulai dari pelayannya, penjaganya, pengawalnya dan algojo- algojonya yang bengis dan kejam-kejam itu, semuanya telah disapu bersih oleh ketiga orang muda yang gagah-gagah dan berani ini. Sedangkan sisanya yang masih hidup, lantas lari terbirit-birit mencari hidup masuk kehutan-hutan-belukar. Situan-tanah Thio sendiri sewaktu ia baru bersiapsiap untuk merat melarikan diri, mendadak saja kepergok oleh Lay Ting Hok yang semenjak tadi memang mencari-carinya. Ketika itu ia berada dibelakang si tuan-tanah. Baru saja si tuan-tanah ini mengangkat kaki-panjang untuk melarikan diri', sekonyongkonyong berkelebatlah sebuah golok yang berkilat-kilat kena sinar-sinar lampion, yang melesat dengan lajunya kearah punggungnya. Kemudian ............

   "Aaaaaa ............

   ", suatu jeritan panjang yang mengerikan keluar dari mulut situan-tanah yang sudah banyak dosanya itu. Selanjutnya rubuhlah ia jatuh tengkurap kelantai dan sudah tak bernyawa lagi. Sedang punggungnya tertancap sebilah golok yang menembus sampai kedadanya. mati sia-sia !! Temyata golok ini berasal dari tangan Lay Ting Hok yang ',ada saat itu berada di belakang situan-tanah. Dan dengan suatu lemparan yang menentukan serta yang dilemparkan dengan sekuat- tenaga, maka golok ini mengenai sasarannya dengan tepat, yakni dipunggung situan-tanah itu ? oOo ? Disebuah pekarangan yang sangat luas, bekas dimana gubuk Bien Kok Siang dulu didirikan, berdirilah sebuah rumah gedung, yang kendati tidak begitu besar, namun kelihatan indah dan mearik hati. Halaman gedung yang luas ini, ditanami dengan bunga-bunga yang bermacam-macam dan beraneka-warna, sehingga semakin menambah asrinya pemandangan. Memang, kini gubuk Oen Kok Siang telah dibongkar dan diganti dengan sebuah gedung yang indah itu. Dan sekarang baruulah bisa disebut rumah, tidak seperti dulu sebelum bangunan didirikan, yang boleh dikata jauh daripada bisa disebut malahan boleh dibilang hampir seperti kandang sapi saja layaknya. Orang tua ini sekarang sudah tidak lagi bekerja sendiri di sawahnya, sebab memang sudah lanjut usianya, jadi badan sudah tidak kuat lagi untuk bekerja keras-keras. Meski sekarang penghidupan Oen Kok Siang telah mengalami kemajuan yang sangat nesat, sehingga hidupnya menjadi serba kecukupan, namun sikap orang tua ini masih tetap tidak berubah terhadap para tetangganya, yakni tetap sederhana tidak sombong serta tetap sopan-santun dan berlaku hormat terhaclap siapapun juga. Sedang Suhu Liang Hong alias Oen Kok Hong, ia sering pula datang kemari untuk menengok keselamatan saudara sekandungnya ini. Lalu bagaimana pula tentang anak-gadisnya Oen Kok Siang yang cantik-jelita itu? Ia kini telah ciikawinkan dengan pemuda pujaan hatinya, Lay Ting Hok. Hidupnya kini mengalami kebahagiaan seperti apa yang dicita-citakan sebelumnya, yaitu . Aman, tenteram dan makmur TAMAT

   

   

   


Golok Halilintar Karya Khu Lung Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian

Cari Blog Ini